Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik Bagian 2
bergantian. Batas wilayah Pantai Porong dijaga ketat oleh mereka dengan senjata
siap perang. "Ke mana si wajah heboh itu, ya" Jangan-jangan ditelan cumi-cumi?" gerutu salah
seorang murid laki-laki yang ditugaskan menyusuri pantai bersama beberapa orang
lainnya. "Hei, lihat...! Kepala siapa itu yang tergeletak di seberang sana"!"
seru salah seorang. Lalu mereka menghampiri benda yang dituding oleh orang
tersebut. "Oh, kepala manusia"! T api... kurasa ini bukan kepala si pendekar heboh.
Pendekar heboh itu tidak berkumis!"
"Siapa tahu kumisnya tumbuh mendadak"!" ujar temannya dengan konyol.
Setelah mereka perhatikan bagian-bagian tubuh yang menyebar itu, maka tahulah
mereka bahwa potongan tubuh itu miiik orang T anjung Leak. Mereka segera
melaporkan hal itu kepada Eyang Panembahan Pancalingga.
Ketua perguruan itu turun tangan sendiri, memeriksa mayat yang berantakan di
pantai. Dari hasil pemeriksaan indera keenamnya, Eyang Panembahan yakin bahwa
mayat itu adalah mayat orang T anjung Leak, tapi bukan dibunuh oleh Pendekat
Mabuk. "Seseorang telah membunuhnya entah karena persoalan apa."
"Lalu, ke mana Pendekar Mabuk itu, Eyang?" tanya Mahayuni dengan cemas.
Rahisan menyahut dengan tengilnya, "Kurasa dia pulang, karena takut kalau harus
melawan Nyai Gincu Barong."
"T ak mungkin," sahut Eyang Panembahan. "Suto pamit padaku mau mencari kedua
orang temannya, siapa tahu terdampar di sepanjang Pantai Porong ini."
"Jangan-jangan tertangkap orang-orangnya Nyai Gincu Barong dan diba wa ke T
anjung Leak"!" ujar Mahayuni.
Eyang Panembahan pejamkan mata sejenak, melihat dengan
indera keenamnya. Sebentai kemudian ia buka mata dan gelengkan kepala,
"T idak, tidak ada di sana."
"Lalu ke mana dia, Eyang" Coba lihat dengan mata batin Eyang,"
desak Rahisan. Beberapa saat setelah Eyang Panembahan pejamkan mata, ia jadi bingung sendiri
dan berkata kepada kedua cucunya.
"Sulit sekali, Ada kabut hitam yang menyelimutinya, sehingga sukar kutembus di
mana dia berada."
Mereka tidak tahu kalau Pendekar Mabuk diba wa oleh Andani ke tebing karang
berongga besar. Rongga besar itu ada gua yang mempunyai lorong panjang entah
sampai di mana.
"Mengapa kita harus di sini, Andani"!" tanya Suto dengan rasa penasaran.
"Aku tak ingin pengobatanku nanti ada yang melihatnya."
"Seandainya ada yang melihatnya, mengapa kau keberatan?"
"Karena dia tahu orang itu kenal dengan musuhku dan ia memberitahukan pengobatan
ini, sehingga ia datang lagi untuk menyerangku kembali."
"Kurasa kemungkinan itu tipis sekali, Andani. Dan lagi caraku mengobatimu tidak
kentara. Kau hanya meminum tuak ini. Minum biasa saja, seperti orang sedang
haus. Dan batu 'Karang Siksa' itu akan hancur dengan sendirinya tanpa keanehan
apa-apa." Andani mendekati Suto hingga berjarak dua langkah, ia memandang tajam tapi berkesan sayu. Hati Suto bergetar lagi menerima tatapan
mata yang penuh daya pikat itu.
"Yang jelas, aku tak ingin ada orang mengetahui pertemuanku denganmu."
"Kenapa begitu?"
"Supaya musuhku pun tak tahu kalau aku telah mengenalmu dan menjadi seorang
sahabatmu. Bukankah... bukankah kita bersahabat, Suto?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala dengan bibir sunggingkan
senyum menawan. Kalem, lembut dan enak dipandang. Andani
semakin ceria dan berbinar-binar bagai ditaburi bunga-bunga indah.
Ia melangkah ke balik gugusan batu setinggi perut yang memanjang sekitar dua
langkah. Cahaya yang masuk melalui mulut gua membuat gua itu berpenerangan
remang-remang. Di balik batu setinggi perut itu terdapat tumpukan jerami yang lebar, sepertinya
sudah biasa digunakan untuk tidur. Andani berdiri di sana menunggu Suto
mendekat. "Andani, apakah kau sudah sering tinggai di gua ini?" tanya Suto Sinting sambil
memandang di kedalaman gua yang gelap.
"Ya, gua ini kadang kupakai sebagai tempat persembunyian dari pengejaran musuhmusuhku. Atau sesekali kupakai untuk bersemadi.
Jarang orang mengetahui tempat ini, Suto. Aku merasa aman jika sudah berada di
sini." Sambil mendekati Andani, Suto ajukan tanya dengan suara tegas.
"T embus ke mana lorong di kedalaman sana?"
"Aku tak pernah mencobanya," jawab Andani tepat pada saat Suto berhenti di
depannya dalam jarak satu jangkauan.
"Kapan kau ingin mengobatiku, Tabib Darah T uak"!"
"O, sekarang pun bisa." Suto Sinting pun meraih bumbung tuaknya. T api pada saat
itu Andani melepaskan jubahnya. Kini pundak dan punggungnya tampak terbuka
dengan bebas. Kemulusan tubuh itu membentang tanpa penghalang apa pun.
"Andani, kau tak perlu harus buka pakaian. Kau hanya meminum tuak ini, seperti
penjelasanku tadi."
"O, ya... maaf. Kusangka kau akan salurkan hawa saktimu melalui punggungku."
Andani tertawa kecil. Tapi ia tidak mengenakan jubahnya lagi. Ia menerima
bumbung tuak itu dan menenggaknya beberapa kali.
Se bagian tuak tercecer di sekitar mulut dan dagu hingga lehernya.
"Aahhh...! Segar sekali rasanya," ujar Andani sambil serahkan kembali bumbung
itu kepada Suto Sinting.
"Nanti malam kau tak akan merasakan hal-hal yang menyakitkan seperti katamu
tadi." "O, ya" T api hanya beginikah caramu mengobatiku?"
"Memang hanya begitu."
"Sederhana sekali."
"Ya. T api... sayang sekali tuak itu tumpah di sekitar bibir dan lehermu."
"Kau mau mengeringkannya?" pancing Andani.
"Mau, asal aku mengeringkan dengan bibirku juga," goda Suto Sinting.
"Cobalah lakukan, aku ingin tahu bagaimana caramu mengeringkan tuak dari bibir, dagu, leher, dan... oh, ada yang membasah di
belahan dadaku. Hi, hi, hi...!"
Pendekar Mabuk semakin deg-degan mendapat tantangan seperti itu. Lalu, pelanpelan ia mendekatkan wajahnya setelah meletakkan bumbung tuak di batu se belah.
Andani setengah memejamkan mata dan dagunya sedikit naik dengan bibir ranum
merekah. Suto Sinting pun menjilat air tuak yang masih membasah di sudut bibir
itu. Seeet...! Hangat sekali rasanya bagi Andani.
T epian bibir itu dikecup-kecup dengan hisapan lembut supaya air tuak tertelan
oleh Suto. Kecupan itu membuat hati Andani makin berdesir-desir hingga napasnya
sering dilepaskan lewat mulut bersama desah yang samar-samar.
Dari tepian bibir, kecupan Suto merayap ke dagu, menjilat tuak yang membasah di
sekitar dagu itu, lalu menyusuri leher. Lidah Suto menyapu leher yang basah oleh
tuak. T anpa diketahui Suto, ternyata Andani telah melepaskan tali simpul dari
kain pinjungnya. Kini pinjung itu jatuh ke kaki dan dada itu terbuka. Pendekar
Mabuk masih sibuk menyusuri tempat yang basah oleh tuak.
Ia menjadi terkejut setelah bibirnya menyentuh tepian bukit dada, matanya
melirik ke samping, ternyata bukit itu telah menantang penuh keberanian.
Andani mendesis lirih. "Sssssh...! Oh, indah sekali sentuhanmu, Suto. Geserlah
ke kiri sedikit."
Kecupan Suto bergeser ke kiri. Sekalipun tak ada tuak di situ, tapi mulut Suto
masih memagut-magut dengan pelan, lembut sekali.
"Ooh, Suto... ke kiri lagi. T erus ke kiri...." Ketika kecupan Suto makin ke
kiri dan menyentuh ujung bukit, Andani mengerang panjang sambil meremas pundak
Suto. "Ooouh...! Indah sekali itu, Suto. Indah sekali... oh, agak kencang sedikit,
Sayang. Aah, yaa... ya... terus, jangan berhenti. Aku suka sekali pagutanmu,
Suto. Oouh... nikmatnya bukan main. Aaah...."
Sambil menghamburkan kata-kata yang menjadi ungkapan dari perasaannya, Andani
meremas pundak Suto makin kuat. Bahkan tanpa disengaja ia telah membuat baju
Suto mengendor ke lengan, akhirnya baju itu dilepaskan olehnya. Suto membiarkan
bajunya dilepas oleh Andani. T etapi tangannya yang merangkul pinggang Andani
akhirnya menemukan ujung pengikat. T angan
Suto melepaskan ujung kain pengikat dan kain penutup bagian bawah Andani pun jatuh
terkulai di kaki perempuan itu.
Dengan masih seperti bayi yang kehausan, Suto
Sinting merayapkan kedua tangannya ke bagian belakang tubuh Andani.
T angan itu akhirnya mengelus pinggul, lalu meremas bagian yang menggunduk sekal
di sekitar pinggul itu.
"Ooh, Suto... aku senang sekali kau perlakukan begini. Ooh...
bikin aku semakin melayang-layang lagi, Suto...," ucap Andani seperti bocah
kecil merengek.
Ciuman Suto Sinting mulai merayap turun setelah kedua bukit di dada Andani
tersapu habis seluruhnya. Andani sendiri yang meminta agar kecupan Suto turun ke
bawah dengan menekan kepala Suto agar turun ke bawah.
"T erus, terus...! Uuh... terus ke bawah, Suto. Oh yaa... ya... di situ, Suto!
Bikin aku lebih indah lagi...." Lalu ia memekik, "Aaaah...!
Sutooo.... Oh, ya... kau pintar sekali melambungkan jiwaku yang, ooouuh...!" Ia
meremas rambut kepala Suto kuat-kuat karena merasakan keindahan yang hampir
mendekati puncaknya.
Andani menaikkan kaki kanannya ke atas batu yang setinggi perut itu. Suto
Sinting berlutut dan seakan pintu kehangatan telah dibuka lebar-lebar oleh
Andani, sehingga kecupan dan sapuan lidah Suto
dapat bergerak dengan lebih bebas lagi.
Rupanya perempuan itu mempunyai tato gambar kupu-kupu di
paha kirinya. Tato itu tadi sempat dilirik Suto saat sebelum kemunculan
Singaloya. Menurut penglihatan Suto, tato kupu-kupu itu dalam ukuran kecil. T
api sekarang Suto melihat tato kupu-kupu itu menjadi besar dan sayapnya melebar.
Rupanya tato itu bukan sembarang tato. Ia dapat mekar dan mengecil sesuai dengan
gairah Andani. Jika gairah perempuan itu masih kecil, maka tato gambar kupu-kupu
itu tetap kecil. T api jika gairah Andani semakin besar, maka tato kupu-kupu itu
pun menjadi lebar.
T ato itu sekarang disapu oleh lidah Suto dengan gerakan pelan sekali. Andani
memekik kegirangan.
"Aaow...!"
Suto berhenti dan mendongak. "Sakit..."!"
"T idak, Sayang, itu tempat yang pailng nikmat untuk dikecup.
Lakukan lagi, Sayang. Lakukan lebih lama lagi. Aaooww...!"
Andani memekik lagi, karena belum selesai bicara lidah Suto Wah menyapu tato
tersebut. Rupanya memang benar apa kata
perempuan itu, semakin lama tato itu dikecup atau disapu dengan lidah, Andani
semakin memekik keras bagai dihujam seribu
kenikmatan. Pendekar Mabuk mencoba menggigit pelan tato itu, Andani kian liar,
teriakannya dan remasan tangannya bagai orang sedang menahan sesuatu yang ingin
meledak bersama keindahannya T angan Suto akhirnya tak mau tinggal diam di
pinggul. T angan itu merayap dan jarinya mulai berani memasuki gerbang kemesraan
Andani. "Oooh, oooh... teruskan, Suto! Aku suka yang begini, ooh...!
Indah sekali, Suto. Indah sekaliii...!"
Napas Andani terengah-engah, ia masih bertahan untuk tetap berdiri dengan satu
kaki, sementara pinggulnya pun meliuk-liuk mengikuti irama keindahan. T angan
Suto masih menari di gerbang kemesraan Andani dan semakin lincah lagi, sementara
tato kupu- kupu itu masih pula dipagut-pagut serta digigit-gigit kecil oleh Suto.
"Sutooo, oouh... Sayang, aku mau... aku mau sampai, Sayang.
T erus, terus... lebih cepat lagi, Suto. Ooouh, oouh.... Aaaahk...!"
Andani memekik panjang. Sekujur tubuhnya mengejang kaku.
Kepalanya mendongak dengan mata terpejam kuat-kuat. Rupanya ia telah
mencapai puncak keindahannya
sebelum Suto Sinting menggunakan dayungnya untuk mengayuh perahu cinta. Mereka belum berlayar, tapi
Andani sudah mencapai puncak pelayaran lebih dulu. Jika bukan karena kepandaian
Suto dalam memainkan irama kemesraan, tak mungkin perempuan itu mencapai puncak
kemesraan lebih dulu.
Kini tubuh Andani basah oleh keringat. T api ia tak mempedulikannya.
Ia masih menyukai jurus-jurus kemesraan
sebelum keduanya berlayar dengan perahu cinta. Bahkan Suto Sinting ternyata
mampu membuat perempuan itu melambung tinggi-tinggi mencapai puncak kemesraannya
beberapa kali. T ak heran jika suara pekikan dan erangan Andani membuatnya
menjadi serak dan parau.
"Cukup, Suto! Cukup...! Kau harus menikmati seperti apa yang kurasakan!
Ooh, berdirilah, Sayang...! Aku ganti akan melambungkan jiwamu ke langit-langit asmara...."
Suto Sinting bangkit berdiri, bersandar pada batu setinggi perut.
Andani lebih dulu menerjang bibir Suto. Bibir itu dilumat hingga lama, dan
gairah Suto menjadi berkobar-kobar. Lalu, lidah Andani pun menyusuri da gu,
hingga mencapai leher. Di sana ia memagut-magut lembut, menimbulkan rasa syur di
hati Suto Sinting.
Gerakan bibir itu makin lama semakin liar. Pagutan Andani bagai seekor singa
yang buas. Dada Suto pun menjadi sasaran berikutnya.
Andani bagai seorang bayi yang kehausan dan rakus. Suto Sinting bagai seorang
ibu yang membiarkan bayinya minum dengan sepuas-puasnya, ia hanya mengusap-usap
kepala perempuan itu sambil sesekali meremas karena menahan desiran kenikmatan.
Akhirnya ciuman Andani turun terus ke bawah dan perempuan itu
menemukan pusat keindahan Suto. Ia meremasnya dengan kepala mendongak ke atas,
menyunggingkan senyum kegirangannya.
Namun baru saja Andani ingin berlutut, tiba-tiba gua itu terasa bergetar. Suara
gemuruh terdengar samar-samar bagai datang dari luar gua. Mereka sama-sama
terkejut, bahkan Andani segera bangkit dan terduduk dengan mata melebar
memandang Suto Sinting.
"Ada apa itu"!"
Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Entahlah! Sepertinya terjadi ledakan dahsyat di atas tebing ini."
Gleeerrr...! Gua berguncang semakin hebat. Langit-langit gua bagaikan mau runtuh. Mau tak mau
Andani dan Suto Sinting sama-sama bergegas mengenakan pakaiannya kembali.
"Jika langit-langit gua ini runtuh, kita bisa mati tertimbun di sini!"
ujar Pendekar Mabuk sambil berkemas untuk keluar dari gua.
"Suto, tunggu...!" Andani terburu-buru mengenakan pakaiannya.
Kemudian ia menyusul Pendekar Mabuk yang sudah berada di mulut gua.
"Kita periksa dulu apa yang terjadi di atas tebing ini!" ujar Andani dengan
penuh semangat. Kemudian mereka berdua melesat tinggalkan gua itu dan mendaki tebing dengan cara melompat bagaikan seekor
tupai. T ab, tab, tab, tab, tab...!
Dalam sekejap saja mereka sudah sampai ke atas tebing. T ernyata bagian atas
tebing itu merupakan tempat yang jarang ditumbuhi pohon dan banyak bebatuan yang
berserakan di sana-sini dalam ketinggian masing-masing. Ada yang tingginya
seukuran tinggi tubuh Suto, tapi ada pula yang dua kali tinggi ukuran tubuh
Suto. "Aku tak melihat ada pertarungan di sini!" ujar Andani.
"Coba kita cari di sebelah sana!" sambil Suto mendahului bergerak ke arah yang
dimaksud. * * * 6 DUGAAN Suto benar. Di tempat yang tampak masih mengepulkan asap itu terjadi pertarungan. Namun agaknya pertarungan itu sangat tak seimbang.
Pendekar Mabuk terkejut ketika melihat siapa yang bertarung di situ. Seorang
perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun melawan
seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Perempuan yang tampak masih lajang itu sangat berang kepada si pemuda yang
mengenakan baju kuning dan celana hitam berikat kepala kuning merah. Pemuda
bertubuh tak terlalu kurus itu mempunyai kulit gelap dan wajahnya masih
kelihatan polos.
"Mahesa Gibas..."!"
Suto Sinting nyaris terpekik
begitu mengenali pemuda itu.
Mahesa Gibas sedang diserang oleh perempuan muda yang
berpakaian serba merah itu. Tendangan si perempuan kenai
punggung Mahesa Gibas, membuat pemuda itu terpental dan
berjungklr balik.
"Edan! Tentu saja ia dapat menghajar Mahesa Gibas, karena Mahesa
Gibas tak mempunyai ilmu yang cukup. Akulah tandingannya!" ujar Suto Sinting sambil ingin melompat dari balik semak. Tapi
tangannya segera dicekal oleh Andani.
"T ak perlu ke sana. Aku tahu perempuan itu adalah orang T anjung Leak, murid si
Gincu Barong!"
"T apitemanku itu akan celaka jika dibiarkan saja!"
"Akan kuselesaikan dari sini demi temanmu!"
Andani membuktikan kata-katanya, ia melepaskan pukulan jarak jauh berupa sinar
merah seperti ujung tombak yang keluar dari ujung telapak tangannya. Clapp...!
Satu sinar merah terbang cepat dan dengan telak menghantam tubuh perempuan
berpakaian serba merah yang sedang ingin menerjang Mahesa Gibas dengan
lompatannya itu.
Blarrr...! Mahesa Gibas terperangah dan memekik kaget, ia melihat
lawannya pecah menjadi beberapa bagian akibat dihantam sinar
merah tadi. Nasib perempuan itu seperti yang dialami Singaloya.
Menyedihkan, sekaligus mengerikan. Mahesa Gibas mematung di tempat karena
dicekam perasaan kaget yang mengerikan.
"Beres, kan"!" ujar Andani sambil tersenyum pandangi Suto.
"Seharusnya kau tak perlu gunakan jurus mautmu itu."
"Sudahlah, jangan mengecam! Hampiri temanmu itu!"
Pendekar Mabuk pun segera hampiri Mahesa Gibas, sedangkan Andani masih tetap di
balik semak-semak.
"Mahesa...!" sapa Suto Sinting.
"Haah..."! Sutooo"!" Mahesa Gibas makin terperangah, bahkan sempat terpekik
keras karena girangnya. Ia pun berlari dan menghamburkan pelukan kepada Suto
Sinting. "Sutoo... ooh, untung aku bisa bertemu denganmu lagi. Jika tidak, aku tak tahu
seperti apa nasibku nanti. Mungkin aku akan bunuh diri di ba wah pohon toge!"
pemuda itu terharu dalam kegembiraannya.
"Di mana Perawan Sinting?"
"Aku tak tahu. Aku tak bertemu dengannya. Aku justru bertemu dengan perempuan
itu." "Mengapa kau dihajar oleh perempuan Itu?"
"Dia... dia ingin minta dicumbu. Ak... aku sudah mencumbunya.
T api dia minta lebih dari sekadar dicumbu. Aku tak mau, karena hatiku sedang
sedih dan bingung memikirkan nasib kita. Rupanya perempuan itu marah, ia
menunjukkan kehebatan ilmunya dengan menghantam pohon besar itu yang langsung
meledak dan menjadi serpihan kayu seperti yang kau lihat itu...."
Pendekar Mabuk memperhatikan serpihan kayu yang berceceran ke berbagai arah.
Rupanya ledakan itulah yang tadi mengguncangkan hingga terasa sampai di dalam
gua. "Dia menakut-nakutiku dengan cara begitu. T api aku tetap tidak mau memberikan
kenikmatan yang dimintanya."
"Kenapa tak kau layani saja?" pancing Suto.
"Aku... aku tidak punya kemampuan, karena hatiku masih gelisah dan memikirkan
kau serta Perawan Sinting. Apa yang ia harapkan
tak bisa bangun, sehingga ia semakin marah padaku, lalu aku dihajarnya...,"
sambil ia menunjukkan wajahnya yang babak belur.
Pendekar Mabuk justru tertawa melihat Mahesa Gibas bonyok begitu.
"Kasihan. Minumlah tuakku ini!"
Mahesa Gibas bur u-buru meminum tuak, dan rasa sakit dan luka-lukanya segera
hilang dalam waktu singkat.
"Padahal kalau aku mau melayaninya, aku akan diajak menemui gurunya dan akan
dijadikan murid si guru itu," kata Mahesa Gibas.
"Siapa guru yang dimaksud itu?"
"Kalau tak salah ia menyebutkan Nyai Gincu Barong."
"Hmmm... kalau begitu apa kata Andani memang benar. Dia orang Tanjung Leak, anak
buah Nyai Gincu Barong."
"Andani" Siapa Andani itu, Suto"!"
"Seorang teman baru. O, ya... Ikut aku, Mahesa! Kukenalkan kau kepada Andani!"
Sambil melangkah menuju balik semak tempat Andani bersembunyi, Mahesa Gibas bercerita tentang saat-saat ia terdampar di sebuah
pantai dalam keadaan terjepit karang. Untung ia berhasil melepaskan diri dari
jepitan karang itu walau siku dan pahanya sempat robek. T api luka itu kinitelah
tiada sejak meminum tuak Suto tadi.
Pendekar Mabuk berseru sebelum mencapai semak-semak.
"Andani...! Keluarlah, temanku ini ingin berkenalan denganmu!"
T etapi Andani tak menjawab. Bahkan Suto Sinting tak melihat ada gerakan di
balik semak-semak itu. Mahesa Gibas pun diajak menerobos semak untuk menemui
Andani. Tetapi Andani tidak ada di tempatnya semula.
"Andani..."! Andani...!!" seru Suto sambil memandang ke sana-sini.
"Andani itu perempuan atau lelaki, Suto?"
"Perempuan cantik dan bertubuh mulus menggairahkan. Kau pasti akan suka
memandanginya."
"Jika dibandingkan kecantikan Perawan Sinting, mana yang lebih unggul?"
"Keduanya sama-sama cantik. Tapi... terus terang aku lebih suka Perawan Sinting.
Hmmm... di mana si Andani tadi!" Suto pun berseru kembali sambil badannya
memutar pelan-pelan.
"Andanii..."! Hai, di mana kau, Andani"!"
T etap saja tak ada jawaban. Pendekar Mabuk terpaksa mencarinya di sekitar
tempat itu. Mahesa Gibas diam menungu sambil clingak-clinguk.
Kejap kemudian Pendekar Mabuk kembali dekati Mahesa Gibas dengan napas
terhempas. Mahesa Gibas memandang dengan dahi berkerut.
"Mana temanmu itu, Suto?"
"Entahlah. T adi dia ada di sini. Mengapa sekarang pergi?"
Suto pun membatin, "Apakah dia sengaja menghindariku" Atau karena ia melihat
lawannya dan segera kabur"! Hmmm... ke mana si Andani" Oh, ya... mungkin ia
kembali ke gua dan menungguku di sana."
Mahesa Gibas segera berkata, "Suto, kata T unawi, perempuan yang ingin
memperkosaku tadi, di tempat ini ada sekelompok manusia pemakan orang. Mereka
tinggal di padepokan dan
mempunyai perguruan sendiri yang bernama Perguruan Pantai Porong! Hati-hatilah
jika kau bertemu dengan orang Perguruan Pantai Porong."
"Ah, siapa bilang"!"
"T unawi! Orang Pantai Porong katanya selalu bersikap baik lebih dulu. T api
pada akhirnya kita akan disembelih seperti kambing dan dimakan mentah-mentah!"
"T unawi berbohong! Justru aku diselamatkan dan ditolong oleh orang-orang
Perguruan Pantai Porong! Aku kenal mereka dan aku ada di pihak mereka."
"Lho, tapi kenapa T unawi berkata begitu?"
"T entu saja T unawi berkata begitu. Karena T unawi orang T anjung
Leak. Ketahuilah, Mahesa... orang T anjung Leak sedang bermusuhan dengan orang
Pantai Porong."
Mahesa Gibas menggumam. "Lalu, bagaimana dengan rencana kita" Sang Adipati pasti
menunggu hasil kerja kita. Beliau tak mau kehilangan menantunya; Rama Jiwana
itu." "Kita memang akan lanjutkan perjalanan. Tapi kudengar negeri Samudera Kubur
telah hancur dan si Bayangan Setan sudah tidak tinggal di Pulau Blacan lagi."
"Ah, kata siapa"!" Mahesa bersungut-sungut. "Baru beberapa hari yang lalu dia
menyerang kadipaten dan menyuruh anak buahnya pulang ke Samudera Kubur, kenapa
sekarang kau bilang Samudera Kubur telah hancur" Si Bayangan Setan itu bukan
orang yang mudah dilumpuhkan, Suto."
"Aku pun sependapat denganmu. T api keterangan ini kudapatkan dari orang yang
bisa kupercaya juga, yaitu ketua Perguruan Pantai Porong yang bernama Eyang
Panembahan Pancalingga. Dia tak mungkin berkata bohong, Mahesa. Bahkan
menurutnya, kehancuran Samudera Kubur terjadi delapan tahun yang lalu."
"Semakin tak masuk akal!" gumam Mahesa Gibas dengan lagaknya yang sok tahu.
"Sudah, tak perlu hiraukan kata-kata itu.
Sekarang sebaiknya kita cari perahu baru untuk lanjutkan perjalanan ke Pulau
Blacan!" "Nanti dulu. Aku harus temukan Perawan Sinting dulu. Aku harus tahu bagaimana
nasibnya. Aku tak mau meninggalkan Perawan Sinting sebelum kuketahui nasibnya!
Dan lagi...."
Kata-kata Suto terhenti oleh suara ledakan yang menggelegar di sebelah barat, ia
dan Mahesa Gibas saling pandang dengan se dikit tegang.
"Ada pertarungan di sana!"
Mahesa Gibas menimpali, "Ya. Jangan-jangan si Perawan Sinting yang bertarung
dengan orang T anjung Leak"!"
"Celaka! Aku harus segera ke sana!"
Zlappp...! "Heii...! T unggu aku, Suto!"
Mahesa Gibas tertinggal karena Suto menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Mau tidak
mau Suto hentikan langkah dan harus
menyesuaikan gerakan Mahesa Gibas, karena ia tak mau kehilangan teman satu
pemberangkatan itu.
T ernyata pertarungan itu terjadi antara Mahayuni dan dua orang berpakaian serba
hitam. Dua lelaki berpakaian serba hitam itu mengenakan ikat kepala merah dan
yang satunya hijau. Mereka berbadan kekar dan tinggi, usia mereka rata-rata
sekitar tiga puluh tahunan.
Mahayuni tampak terdesak oleh tendangan si ikat kepala hijau itu.
T endangan itu sangat cepat datangnya, seakan seperti angin yang tak dapat
dilihat. Mahayuni berusaha menangkisnya beberapa kali, tapi akhirnya dadanya menjadi
sasaran empuk kaki tersebut. Druk, duk...!
"Aahk...!" Mahayuni terlempar ke belakang dalam keadaan melayang. Brruk...! Ia
jatuh terbanting begitu saja.
Sementara lelaki berikat kepala merah melepaskan pukulan jarak jauhnya yang
bersinar merah dengan asap tipis menyertainya.
Weesss...! Pada saat itu, Mahayuni baru saja akan bangkit. Tiba-tiba ia harus menghadapi
sinar merah yang sudah ada di depan matanya.
Mahayunitak punya waktu untuk berkelit atau menangkisnya.
Blarrr...! Sinar merah itu pecah dan timbulkan ledakan yang melemparkan tubuh Mahayuni
lagi. Seandainya tak ada sinar hijau dari arah kiri yang menghantam sinar merah
itu, sudah pasti Mahayuni akan kehilangan nyawanya. T etapi dengan munculnya
sinar hijau yang menghantam sinar merah itu, Mahayuni hanya terlempar ke
belakang dan berguling-guling beberapa saat.
"Keparat! Ada yang mau ikut campur urusan kita, Bedana!"
geram lelaki berikat kepala merah kepada lelaki berikat kepala hijau yang
ternyata bernama Bedana itu.
"Serang dia, dan aku akan menyerang perempuan kotor itu, Gambra!" seru si ikat
kepala hijau kepada yang berikat kepala merah, yang ternyata bernama Gambra itu.
Bedana segera mencabut goloknya dan lakukan lompatan bersalto beberapa kali
untuk dekati Mahayuni. Sementara itu, Gambra melepaskan sinar merahnya lagi ke
arah kerimbunan semak. Clapp...!
Namun pada saat itu Pendekar Mabuk muncul dengan bumbung
tuak telah berada di tangan. Wess...! Satu lompatan Suto membuat sinar merah itu
segera menghantam bumbung tuak yang dipakai untuk menangkis.
T ubbs, weng...! Sinar merah itu berbalik arah dalam keadaan lebih besar dan le
bih cepat. Sementara itu, bumbung tuak Suto tidak mengalami cedera atau lecet
sedikit pun. Gambra terkejut melihat sinar merahnya menuju ke arahnya
Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat, ia terpaksa melompat tinggi dan
bersalto di udara. Wess...!
Sinar merah itu memang tak jadi kenai tubuh Gambra. Namun sinar merah besar itu
meluncur terus ke belakang Gambra di mana Bedana sedang ingin mengibaskan
goloknya ke kepala Mahayuni.
Pada saat itulah, sinar merah tersebut menghantam punggung Bedana. Jedarrr...!
"Aaaaa...!!" Bedana menjerit sekeras-kerasnya, ia berlari ke sana-sini dalam
kedaan tubuhnya dibungkus api. Rupanya sinar merah dari Gambra adalah sihar
pembakar tubuh yang mestinya hanya membuat lawan hangus bagian dalamnya. Tapi
karena sinar merah itu menjadi lebih besar dua kali lipat, maka akhirnya sinar
merah itu bukan saja membakar bagian dalam tubuh Bedana, namun juga membakar
sekujur tubuhnya.
"Bedana..."!!" teriak Gambra dengan tegang, ia sangat terkejut melihat temannya
terbungkus api sebesar itu. Ia kebingungan memadamkannya, sementara Bedana
berguling-guling di rerumputan dengan jeritan yang menyayat hati.
"Kasihan...!" gumam Suto Sinting. Lalu, tuak pun ditenggaknya.
Se bagian ditelan, sebagian lagi disimpan dalam mulut.
Zlapp...! Dengan gerakan cepat, Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah ada di dekat Bedana yang
meraung-raung. T uak dalam mulut itu segera disemburkan untuk padamkan kobaran
api. Api padam seketika. T api tubuh Bedana sudah telanjur hangus, ia
menghabiskan sisa napasnya sebentar, kemudian tak berkutik lagi selama-lamanya.
Gambra memekik keras penuh murka melihat temannya tewas. Pekikan keras itu
merupakan ungkapan rasa penyesalannya terhadap serangannya tadi yang akhirnya
kenai teman sendiri, dan juga ungkapan kemarahannya kepada Suto Sinting.
"Kau telah membunuh temanku, Bangsaaat...! Heeeaaahh...!"
Gambra melompat sambil cabut goloknya. Golok itu ditebaskan ke arah dada Suto
Sinting. Wuuttt....
Suto Sinting menangkisnya dengan bumbung tuak. Trrang...! Tapi dari arah samping
kanan Gambra, melesat sinar biru kecil yang langsung menghantam pinggang lelaki
itu. Clapp...! Jrass...!
"Aaahk...!" Gambra memekik sambil tumbang ke tanah. Sinar yang datang dari
Mahayuni itu membuat pinggangnya hangus dan seluruh badannya terasa mengering.
"Bangsat! Awas kalian nanti! Aku akan datang lagi menuntut balas. T unggu
saatnya yang terbaik!"
Gambra akhirnya larikan diri. Ia tak sanggup melawan Mahayuni dan Pendekar Mabuk
dalam keadaan terluka begitu. Mahayuni mau mengejar dan melepaskan pukulan
tenaga dalamnya dari jarak jauh.
T api Pendekar Mabuk segera merentangkan tangan dan berseru kepada Mahayuni.
"T ahan!" Ia mendekati perempuan yang tak jadi lepaskan pukulannya itu.
"Dia sudah lemah. T ak perlu diserang lagi!"
"T api dia mengancam ingin membalas kekalahannya ini!"
"Biar aku yang berurusan dengannya nanti," ujar Suto Sinting.
* * * 7 PENDEKAR Mabuk dan Mahesa Gibas diba wa ke padepokan
oleh Mahayuni. Orang-orang padepokan yang sedang mencari Suto Sinting ditarik
kembali. Mereka diperintahkan untuk melakukan penjagaan lebih kuat lagi, karena
orang-orang T anjung Leak tampaknya semakin gencar lagi lakukan penyerangan
secara bertahap. Suto ceritakan pertemuannya dengan perempuan cantik yang
bernama Andani. Tapi Eyang Panembahan dan para muridnya tak ada yang pernah
mengenal nama Andani.
"Di seluruh Pantai Porong dan sekitarnya, tak ada wanita yang bernama Andani
dengan ciri-ciri yang kau sebutkan tadi," kata Eyang Panembahan. "Kurasa dia
bukan orang sini."
"T api mengapa memihak kita, Eyang" Dia membunuh dua orang T anjung Leak;
pertama Singaloya dan kedua perempuan yang hendak membunuh Mahesa Gibas itu!"
ujar Suto. "Berarti kita punya satu kekuatan lagi untuk melawan Nyai Gincu Barong," sela
Mahayuni. Si kecil Rahisan menyahut, "Jangan buru-bur u menilai begitu.
Siapa tahu dia lakukan hal itu semata-mata hanya ingin dipuji oleh Suto" Biasa,
cari perhatian!"
Percakapan malam itu terhenti seketika karena kemunculan
seorang murid yang bernama Argayosan. Ia adalah mata-mata yang ditugaskan
menyusup ke Tanjung Leak dan mempelajari kekuatan serta rencana-rencana Nyai
Gincu Barong. Kedatangan Argayosan disambut baik oleh Eyang Panembahan. Hampir
seluruh murid berkumpul mendekati Argayosan untuk mendengar kabar yang
diba wanya. "Kabar apa yang kau peroleh dari T anjung Leak, Argayosan?"
tanya Eyang Panembahan kepada pemuda berambut ikal dan
berpakaian abu-abu itu.
"Nyai Gincu Barong murka, Eyang. Dua orangnya ditemukan tewas dalam keadaan
pecah raganya. Salah satu orang yang tewas itu adalah Singaloya, orang andalan
sang Nyai sendiri. Maka Nyai pun merencanakan akan menyerang kita esok siang
dari arah timur!"
jawab Argayosan dengan wajah masih agak tegang.
"T api mereka yang tewas dengan raga terpisah itu bukan oleh perbuatan orangorang kita, Argayosan."
"Nyai Gincu Barong tak mungkin mau percaya, Eyang, ia tetap saja menuduh pihak
kita yang melakukannya."
"Hmmm...,"
Eyang Panembahan manggut-manggut
sambil menggumam. "Jadi ia akan menyerang dari timur esok siang?"
"Benar, Eyang. T erutama setelah menggantung tawanannya pagi hari."
"O, Gincu Barong punya tawanan"! Apakah tawanan itu dari pihak kita?"
"Bukan, Eyang," jawab Argayosan dengan tegas. "Saya yakin dia bukan orang kita,
Eyang. Saya sendiri merasa asing melihat perempuan itu."
"Seorang perempuankah tawanan itu?"
"Benar, Eyang. T api Nyai Gincu Barong tetap menuduh perempuan itu orangnya
kita, Eyang. Perempuan itu dituduh se bagai mata-mata dari pihak kita, sehingga
disiksa sedemikian rupa agar mengaku. T api perempuan itu tetap mengaku bukan
orang Perguruan Pantai Porong dan tidak mengenai Eyang Panembahan Pancalingga
serta yang lainnya."
Pendekar Mabuk termenung, sebentar. Dahinya mulai berkerut begitu mendengar
tawanan perempuan itu mengaku tidak mengenal Eyang Panembahan dan yang lainnya.
Mulailah timbul kecurigaan di hati Pendekar Mabuk, hingga ia beranikan diri
untuk ajukan tanya kepada Argayosan.
"Siapa nama perempuan itu?"
"Kudengar ia mengaku bernama Perawan Sinting."
"Hahh..."!"
Wajah si Pendekar Mabuk menjadi merah seketika. Mahesa Gibas hanya mendelik dan
membuka mulutnya. Mahayuni saling pandang dengan Rahisan, sementara Eyang
Panembahan Pancalingga hanya menarik napas sebagai ungkapan rasa kagetnya.
"Eyang," kata Suto Sinting. "Sekarang juga aku akan pamit pergi ke T anjung
Leak!" "Jangan sekarang, Nak Mas Pendekar."
"Aku tidak ingin temanku itu mati di tangan Nyai Gincu Barong."
"Benar. Aku pun tak ingin Perawan Sinting, temanmu itu menjadi korban kebrutalan
si Gincu Barong. T etapi ada saatnya sendiri untuk melakukan pembebasan itu.
Malam ini bukan saat yang baik. Banyak rintangannya. Karena pada malam hari
tentunya pihak T anjung Leak mempertinggi penjagaan keamanan mereka. T entunya
keamanan itu dilakukan secara berlapis-lapis, dan mereka yang berjaga-jaga dalam
keadaan waspada tinggi pula. Tapi jika menjelang fajar tiba, pertahanan mereka
akan mulai mengendur. Kurasa kita bisa
melumpuhkan mereka dengan mudah di saat mereka dihinggapi kelelahan dan rasa
kantuk." Mahayuni menimpali, "Aku setuju untuk lakukan penyerangan menjelang fajar tiba.
Akan kubawa beberapa orang kami yang pandai lakukan penyusupan, termasuk
Argayosan sendiri."
Pendekar Mabuk mendesah karena gelisah. Bayangan Perawan
Sinting dalam keadaan tersiksa semakin muncul di benaknya dan membuat Pendekar
Mabuk bertambah tak sabar lagi untuk menunggu sampai menjelang fajar. Sekalipun
Eyang Panembahan sudah berikan penjelasan dan bujukan macam-macam, tapi
kegelisahan itu tak bisa hilang dari hati Pendekar Mabuk, ia tak rela jika
sampai Perawan Sinting mati di tangan Nyai Gincu Barong.
Maka setelah lewat tengah malam, Suto Sinting nekat keluar dari padepokan dengan
cara mengendap-endap. T anpa pamit siapa pun, tanpa diketahui oleh siapa pun, ia
melesat pergi menuju T anjung Leak. Sebelumnya ia sudah lakukan percakapan empat
mata dengan Argayosan tentang keadaan di T anjung Leak, termasuk tempat-tempat rawan yang
mudah diterobos, dan tempat di mana Perawan Sinting ditawan. Argayosan
menjelaskan segalanya, tapi ia juga mengingatkan agar Suto Sinting menuruti
saran Eyang Panembahan.
Suto berlagak setuju dengan saran tersebut, agar tidak timbulkan perdebatan
terlalu lama. Karenanya, ketika ia pergi meninggalkan padepokan menuju
T anjung Leak, ia sudah tahu jalan mana yang harus diambilnya agar sampai ke T
anjung Leak. Pada waktu ia meninggalkan padepokan, sang rembulan masih tersisa
di langit, hingga cahayanya cukup lumayan untuk menjadi penerang jalan.
Zlaap, zlaap, zlaap...! Gerakan Suto seperti anak panah menerabas semak
dedaunan. Kecepatan geraknya memang luar biasa. Dalam waktu tak terlalu lama, ia
akan sampai di perbatasan Tanjung Leak.
T etapi sebelumnya, langkah itu terpaksa dihentikan karena mata Suto melihat
bayangan yang bergerak di sela-sela pepohonan samping kanannya, ia segera
merunduk, sembunyikan diri dan memperhatikan bayangan yang bergerak di ba wah
pohon dalam keremangan cahaya rembulan yang terhalang dedaunan itu.
"Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu"!" pikir Suto Sinting. "Hmmm...
coba kulihat lebih dekat lagi. Apa yang dilakukan perempuan itu di sana?"
Bayangan itu memang bayangan seorang perempuan yang
mempunyai rambut panjang terurai, tapi tak jelas wajah dan pakaiannya. Perempuan
itu sedang melakukan kegiatan di bawah pohon, sepertinya sedang menikmati
hidangan yang menggairahkan.
Ketika Pendekar Mabuk berhasil melesat ke atas pohon tanpa suara, dan ia
melompat dari pohon ke pohon menggunakan ilmu peringan tubuhnya, maka sampailah
ia di tempat yang paling dekat dengan perempuan itu. Ia memandang dengan jelas
apa yang dilakukan oleh si perempuan, dan ia pun tahu siapa perempuan itu sebenarnya.
Pendekar Mabuk terkejut dan menggumamkan nama dalam hati,
"Andani..."!" Matanya tak mau berkedip melihat apa yang dilakukan oleh Andani.
Justru apa yang dilakukan Andani itulah yang membuat Suto Sinting semakin
terkejut dan nyaris ingin terpekik dengan suara keras.
"Ooh..."!" Pendekar Mabuk menutup mulutnya sendiri agar tak timbulkan suara.
Namun sekujur tubuhnya menjadi gemetar melihat pemandangan yang mengerikan itu.
Rupanya Andani bertemu dengan seorang lelaki yang berusia sekitar tiga puluh
tahun. Lelaki itu kini dalam keadaan terbaring tanpa busana. Agaknya Andani
habis bercumbu dengan lelaki itu dan menikmati puncak kemesraan secara bersamasama. T etapi yang membuat Suto hampir muntah adalah tindakan
Andani berikutnya. Entah bagaimana caranya, lelaki yang telah dijadikan pemuas
dahaga itu dibunuh oleh Andani. Lelaki itu bukan hanya dibunuh saja, melainkan
juga dimakan secara rakus. Pendekar Mabuk tak berani menggambarkan bagaimana
caranya Andani menggigit bagian perut lelaki itu, dan bahkan tampaknya Andani juga memakan
'jimat kejantanan' lelaki tersebut dengan lahapnya.
T entu saja hal itu membuat sekujur tubuh Suto merinding dan gemetar.
"T ak kusangka dia seorang perempuan pemakan daging manusia"!" gumam hati Suto bernada tegang. "Oh, seandainya pada waktu di dalam
gua itu aku jadi berkencan dengannya, mungkin setelah ia memperoleh kepuasan
maka aku akan dimakannya seperti lelaki
itu" Hiih...! Cantik-cantik tapi menyeramkan sekali kegemarannya."
Pendekar Mabuk tak berani terlalu lama menyaksikan, adegan mengerikan itu. Ia
segera tinggalkan Andani dengan tanpa timbulkan suara. Untuk sementara Andani
dilupakan. Suto lebih memusatkan perhatiannya kepada nasib Perawan Sinting di
tangan Nyai Gincu Barong.
Saat mendekati perbatasan T anjung Leak, tiba-tiba seberkas sinar biru melesat
dari arah depan Suto. Mau tak mau gerakan Suto
dihentikan dan sinar itu segera ditangkis dengan bumbung tuaknya.
Claap...! Buuuss...!
Sinar itu tidak timbulkan ledakan apa pun, juga tidak memantul balik ke arah
semula. Sinar biru itu hanya meletup kecil dan menyemburkan asap abu-abu.
"Hmm... siapa orangnya yang menyerangku dari depan saja"!
Pasti dia berilmu tinggi, karena serangannya tak bisa dipantulbalikkan oleh bumbung tuakku ini!" pikir Suto Sinting dengan mata
memandang tajam. Keremangan cahaya rembulan
membuat pandangan tak mampu menembus kejauhan. Pendekar
Mabuk akhirnya melesat ke atas pohon dan mengintai dari sana.
Wuuutt...! Weesss..!
Sekelebat bayangan datang dari arah depan. Seseorang yang berkelebat sangat
cepat itu hanya bisa dilihat seperti bayangan merah yang melintas di bawah pohon
tempat persembunyian Suto Sinting.
Mau tak mau pandangan Suto mengikuti bayangan merah tersebut.
"Pasti dialah orangnya yang melepaskan sinar biru tadi," ujarnya membatin.
Semula Suto ingin membiarkan orang itu lewat begitu saja. Ia ingin teruskan
langkahnya menuju gerbang T anjung Leak. T etapi ketika ia bergerak kembali,
ternyata bayangan merah itu telah berbalik arah. Mungkin karena tak menemukan
Suto di tempat yang dituju, orang itu kembali ke tempat semula dan pada saat itu
Suto Sinting mendengar desau angin yang mencurigakan, ia segera berbalik, dan
akhirnya berpapasan dengan orang berpakaian serba merah itu.
"Oh, rupanya kau sudah ada di sini, Penyusup!" geram orang brewok berkepala
botak dengan pakaian serba merah. Orang itu bertubuh tinggi, besar, dan berwajah
angker. "Siapa yang menyuruhmu malam-malam begini berkeliaran di perbatasan Tanjung
Leak, hah"!" bentak orang itu menampakkan kegalakannya. Pendekar Mabuk tetap
tenang, sempat melirik sekelilingnya. O, ternyata orang itu sendirian.
"Aku ingin bertemu dengan Nyai Gincu Barong!"
"Mau apa kau bertemu dengan Guru malam-malam begini"!"
"Menantang pertarungan dengannya!" tegas Suto Sinting tanpa basa-basi lagi,
karena di benaknya terbayang keadaan Perawan Sinting yang tersiksa seperti yang
diceritakan Argayosan itu.
"Manusia jahanam! Ngelunjak
Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali kau, malam-malam menantang guruku"! Itu sama saja kau ingin membedah dadaku, tahu"!" bentak orang
bersenjata golok besar itu.
"Kalau kau mengartikan begitu, terserah! Kurasa kalau memang kau minta dibedah
dadamu, aku tak keberatan menjadi juru
bedahnya!" kata Suto tetap kalem, namun kata-katanya sengaja memancing emosi
lawan. Orang brewok berbadan besar itu menggeram. Matanya yang
lebar semakin lebar ketika ia melotot menampakkan kemarahannya.
Pendekar Mabuk hanya melangkah ke samping dengan pandangan mata tak pernah
berkedip. "Bocah' urap! Rupanya kau belum tahu siapa si Bagolo ini, hah"!"
Buuhk, buhk...! Ia menepuk dadanya sendiri. Pendekar Mabuk justru sunggingkan
senyum tipis dan membatin, "Oo... namanya Bagolo"! Nama yang lucu menurut
telingaku! Tapi sesuai dengan perawakannya yang tinggi besar itu."
"Sebaiknya urungkan saja niatmu dan kuberi kebijaksanaan agar kau pulang saja.
Jangan sampai murkaku tak terbendung lagi di depanmu, Anak muda! Kau bisa
kehilangan nyawa dalam tiga
kedipan saja!" ujar Bagolo dengan suaranya yang besar menyeramkan itu.
"Aku sudah siap kehilangan nyawa! Aku akan pulang kalau temanku yang kalian
tawan itu dibebaskan!"
"O, jadi kau teman si perempuan liar bernama Perawan Sinting itu"!"
"Benar! Dan aku menuntut pembebasan atas dirinya!"
"Kalau begitu tak ada salahnya jika sebelum kau bikin onar, lebih baik kucabut
nyawamu sekarang juga! Heeeaah...!"
Bagolo tiba-tiba menerjang tanpa diketahui kapan bergeraknya.
Brruusk...! Pendekar Mabuk menggeragap dan terpental lima langkah dari tempatnya
semula. Dadanya terasa mau jebol akibat terkena lutut Bagolo saat menerjang
tadi. Bukan saja panas, namun juga sakit sekali dipakai untuk bernapas.
Pendekar Mabuk mencoba bertahan dalam keadaan terluka dalam, ia bangkit kembali
pada saat Bagolo mengayunkan golok besarnya ke arah kepala Suto. Wuuut...!
Zlaap...! Pendekar Mabuk bagaikan menghilang ditelan bumi. Lenyap begitu saja,
sehingga golok besar itu tak mengenai sasaran apa pun. Bagolo kebingungan sesaat
mencari lawannya.
"Aku di sini, Kawan!"
Bagolo kaget mendengar suara itu dan buru-buru berpaling ke belakang. T api
tepat ia berpaling, kaki Suto berkelebat cepat melepaskan jurus tendangan mabuk
yang sukar dihindari. Beet....!
Prrok...! "Ouhff...!" Bagolo terpental, wajahnya menjadi sasaran telak tendangan Suto
Sinting itu. Sesaat setelah berguling-guling di tanah, Bagolo bangkit dengan satu kaki
berlutut, kemudian tangan kirinya menyentak ke depan.
"Heaaah...!"
Weess...! Seberkas sinar biru seperti tadi melesat menghantam dada Suto Sinting.
Namun sebelum sinar itu kenai dada Suto, lebih dulu kaki Suto menyentak ke tanah
dan tubuhnya melenting di udara dengan cepat. Wuuukk...!
T api tak disangka-sangka Bagolo juga melesat ke atas menerjang Pendekar Mabuk
dengan golok segera ditebaskan dari arah samping kanan ke kiri. Beet...!
Traang...! Pendekar Mabuk menangkis tebasan golok dengan
bumbung tuaknya. Bersamaan dengan itu, kaki Suto menendang lengan Bagolo dari
bawah. Dess...! Krrak...!
"Ouuh...!" Bagolo memekik, tulang sikunya bagaikan patah akibat tendangan tadi.
Goloknya sendiri terpental ke atas. Pendekar Mabuk
segera jejakkan kaki kanannya saat mereka bergerak turun. Duuhk...!
"Heehg...!" Bagolo terlempar ke belakang, goloknya melayang turun dan segera
disambar oleh tangan Suto. Teeb...! Kini golok itu ada di tangan kiri Pendekar
Mabuk. Sekalipun Bagolo terkena tendangan tenaga dalam Suto beberapa kali, tapi
tampaknya ia tak merasa terlalu kesakitan, ia dapat segera bangkit dan masih
kelihatan segar. Bahkan kali ini ia lepaskan pukulan tenaga dalamnya dari kedua
telapak tangan. Pukulan itu berupa sinar merah yang terang yang menerjang Suto
dengan cepat. Wuuuss...! Pendekar Mabuk terpaksa mengibaskan bumbung tuaknya dalam satu putaran ke depan.
Wuuuk, blaarr...! Kibasan itu keluarkan tenaga sakti tersendiri yang beradu
dengan sinar merahnya Bagolo.
Ledakan dahsyat pun terjadi mengguncangkan tanah dan alam sekitarnya.
Bagolo dan Pendekar Mabuk sama-sama terpental ke belakang.
Namun dalam waktu singkat keduanya sama-sama bangkit kembali.
"Bangsaaat kau, Bocah urapan! Heeeaaah...!"
Bagolo lakukan lompatan panjang bagaikan terbang. Kedua
tangannya menyala merah seperti besi dipanggang api. Kedua tangan itu menyentak
ke depan dan keluarkan sinar merah runcing bagaikan tombak. Clap, clap...!
Zlaap...! Pendekar Mabuk gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk pindah tempat. T
ahu-tahu ia sudah berada di samping Bagolo, dan golok Bagolo yang ada di tangan
kiri Suto itu ditebaskan dalam satu gerakan melambung melintasi kepala Bagolo.
Wuut, craas, crraas...!
"Aaaah...!" Bagolo memekik keras dan panjang, karena dalam waktu sekejap
ternyata kedua lengannya menjadi buntung akibat tebasan golok di tangan Pendekar
Mabuk tadi. "Bangkai busuk kauuu...! Ggrrrmm...!" Bagolo mengerang-ngerang penuh luapan
murka yang membuatnya panik sekali, ia pandangi potongan kedua tangannya yang
tergeletak di tanah. Ia pandangi lengannya yang buntung, ia menggeram seperti
orang mau menangis. "Ggrrmm...! Bagaimana nyambungnya kalau begini, Setaaan...!!
Huuuaaa...! T anganku buntung. Huaaa...!" Bagolo benar-benar menangis seperti
anak kecil. "Aku hanya memberi peringatan pada gurumu agar Perawan Sinting harus segera
dilepaskan. Jika tidak, semua orang T anjung Leak akan kubuntungi sepertimu,
Bagolo!" "Peringatan ya peringatan, tapi tak usah pakai acara buntung-buntungan begini!
Huaaa...! Kalau begini, lantas bagaimana nanti kalau aku mau cuci muka"!
Huaaa...! Kebangetan kau, kebangetan, huaaa...!"
"Sekarang pulang dan menghadap gurumu! Sampaikan pesanku, bahwa Perawan Sinting
harus dibeba skan. Jika tidak, gurumu yang akan kubuntungi kepalanya! Paham"!"
"Setan kau! Huaaa...!"
"Atau kepalamu yang akan kubuntungi lebih dulu!"
"Jangan! Huaaa...! Kalau kepalaku kau buntungi, lantas bagaimana aku bisa sampaikan pesanmu kepada Guru. T olol!
Huaaa... sakit!"
Bagolo masih berusaha ingin membawa pulang potongan kedua tangannya itu. T api
tak ada kemampuan untuk memegangnya, sehingga Suto pun segera berkata dengan
tegas. "T ak perlu kau bawa potongan itu!"
"Kalau digondol kucing ba gaimana"! Huaaa...! Biar berbulu begini, tangan ini
sering dipakai untuk mengusap-usap dada si Darmasih, istri mudaku!"
"Cepat pulang dan beri tahukan kepada gurumu!"
"Iyaa... iyaa...!" Bagolo ketakutan ketika Pendekar Mabuk mulai angkat golok
besar itu lagi. Bagolo akhirnya berlari meninggalkan potongan tangannya sambil
berseru dalam tangis.
"Awas kau! T unggu pembalasan dari guruku! Bukan tanganmu yang akan kubuntungi,
tapi nyawamu juga akan dibuntungi. Huaaa...
nasib, nasib. Huaaa...!"
Pendekar Mabuk hempaskan napas kelegaan. Golok besar segera dibuang, ia
menenggak tuaknya untuk obati luka terjangan Bagolo tadi.
* * * 8 T ANJUNG Leak menjadi gempar setelah Bagolo tiba di sana
dalam keadaan kedua tangan buntung. Padahal Bagolo adalah termasuk orang andalan
Nyai Gincu Barong. T entu saja sang Nyai menjadi murka melihat Bagolo dibuntungi
lawan. "Siapa yang melakukannya"!"
"Anak muda, Guru! Anak muda sekali!" jawab Bagolo sambil menyeringai antara
sedih dan takut.
Nyai Gincu Barong yang mengenakan jubah merah hitam
bertepian benang emas itu menggeletukkan gigi, menahan murka yang ingin meledak.
Wajahnya yang masih tampak muda seperti baru berusia tiga puluh tahunan itu,
kelihatan memancarkan api kemarahan
yang ingin segera dilampiaskan. Dalam hatinya perempuan berambut disanggul dengan tubuh sekal dan masih tampak montok itu
berkata membatin,
"Jika Bagolo saja berhasil dibuntungi tangannya, berarti anak muda itu berilmu
lebih tinggi dari Bagolo!"
Saat itu, Bagolo segera sampaikan pesan Suto Sinting.
"Dia menghendaki supaya temannya dibebaskan. Gadis yang mengaku bernama Perawan
Sinting itu adalah teman anak muda itu, Gur u! Dia juga ingin menantang
pertarungan dengan Guru jika Perawan Sinting tidak dibebaskan!"
"Keparat! Berani betul dia sesumbar begitu"!" geram Nyai Gincu Barong yang
berbibir merah lebar namun mengundang ajakan untuk bercumbu ba gi lelaki mana
pun. Akhirnya Nyai Gincu Barong merasa gengsinya jatuh jika tak berani hadapi si
anak muda itu. Ia akan kehilangan wibawa di depan murid-muridnya jika tak mau
layani tantangan pertarungan si anak muda itu. Maka dengan suara keras ia
berseru kepada para muridnya.
"Ambil obor, ikut aku sebagian! Kini akan kuperlihatkan kepada kalian bagaimana
caranya membalas dendam kepada seseorang yang telah membuntungi kedua tangan
muridnya!"
Lebih dari dua puluh orang berbondong-bondong mengikuti
langkah Nyai Gincu Barong. Di tangan mereka masing-masing menggenggam obor yang
membuat suasana malam menjadi terang.
Namun ketika mereka keluar dari pintu gerbang, ternyata seorang pemuda tampan
berbadan kekar dengan menggantungkan bumbung tuak di pundak, telah berdiri
menghadang langkah mereka.
"Itu dia orangnya, Guru!" sentak Bagolo sambil mundur hingga menginjak kaki
temannya. "Aduh! Hati-hati kau, ah!"
Plak...! T emannya menabok pelan. T api karena yang ditabok tepat bagian yang
buntung dan masih berdarah, maka Bagolo pun menjerit keras-keras mengagetkan
yang lain. "Aaooww...!!"
Plook...! Wajahnya justru ditampar Nyai Gincu Barong yang sedang memendam murka,
karena teriakan Bagolo juga membuat tubuh sang Nyai terlonjak kaget. Tamparan
itu ternyata adalah tamparan bertenaga dalam. Akibatnya, Bagolo terpelanting
jatuh dan pingsan seketika dalam keadaan pipinya menjadi hangus.
Sang Nyai se gera pandangi Pendekar Mabuk yang berdiri tegak dengan kedua kaki
sedikit merenggang. Dalam hati sang Nyai sempat memuji ketampanan Pendekar Mabuk
yang tak disangka-sangka itu.
"Setan! Ternyata kali ini lawanku pemuda ganteng yang bertubuh kekar dan
menggiurkan seleraku! Aduh, celaka kalau begini! Dia sangat menawan, semakin
lama dipandang semakin membangkitkan gairahku. Hmmm... haruskah kubatalkan
pembalasan dendamku ini"
Oh, tidak! Murid-muridku akan mengancamku jika aku tergiur oleh ketampanan anak
muda itu. Aku harus tetap membunuhnya agar di
mata orang-orangku wiba waku masih tetap ada!"
Lalu, sang Nyai berseru, "Kepung dia!"
Wuurrs...! Beberapa orang yang menggenggam obor itu segera mengepung Pendekar
Mabuk. T angan kiri mereka memegang obor, tangan kanan mereka menggenggam
senjata masing-masing. T etapi sang pendekar tampan itu tetap berpenampilan
tenang dan mantap, ia biarkan mereka mengepung, ia biarkan Nyai Gincu Barong
mendekat. T etapi seluruh inderanya dipasang dan dipekakan supaya sewaktu-waktu
mendapat serangan dari berbagai arah dapat dirasakan hembusan anginnya.
"Kaukah yang menantang pertarungan denganku, Anak muda"!"
sentak Nyai Gincu Barong.
"Benar! Aku memang menantangmu adu nyawa jika Perawan Sinting tidak kau
bebaskan!" tegas Suto.
"Hmmm...! Jangan mimpi dulu, Anak muda! Kau belum tahu siapa Nyai Gincu Barong
ini!" "Kau pun belum tahu siapa Suto Sinting ini!" balas Suto sambil menuding dadanya
sendiri. Nyai Gincu Barong dan beberapa pengepung sempat terperangah, mata mereka
terkesip kaget begitu mendengar nama Suto Sinting.
Se bab mereka tahu bahwa yang bernama Suto Sinting itu adalah orang yang
bergelar Pendekar Mabuk. Apalagi setelah mereka perhatikan ciri-ciri yang ada
pada Suto, mereka semakin yakin bahwa pemuda itu memang benar-benar Suto
Sinting, si Pendekar Mabuk.
Para pengepung mundur satu langkah membuat lingkaran menjadi lebih lebar. T
etapi Nyai Gincu Barong tak menampakkan rasa takutnya walau ia sadar siapa yang
dihadapinya, ia justru mengumbar sesumbar untuk membangkitkan keberanian para
muridnya. "Kebetulan sekali kali ini aku berhadapan denganmu, Pendekar Mabuk!
Sudah lama kuidam-idamkan ingin menumbangkan kekuatanmu, biar namamu tidak menjadi pujian setiap orang!
Agaknya sebentar lagi adalah giliran namaku yang disanjungsanjung oleh setiap orang, karena aku berhasil membunuh Pendekar Mabuk yang
katanya berilmu tinggi itu. Hmmm...! Kurasa itu hanya isapan jempol dari orangorang bodoh saja!"
"Aku tak ingin banyak bicara, Nyai! Aku hanya ingin agar Perawan Sinting kau
bebaskan, karena kami bukan orang Perguruan Pantai Porong! Kami terdampar dari
tempat yang jauh dengan tujuan ke suatu tempat yang ada hubungannya dengan
pihakmu! Jika kau tak mau bebaskan Perawan Sinting, maka kita akan beradu nyawa
sampai salah satu ada yang terkirim ke neraka!"
"Dengan senang hati kulayani tantanganmu, Pendekar Mabuk!
Kalau kau memang bisa tumbangkan diriku, maka ambillah si Perawan Sinting itu
dan ba walah pulang secepatnya. T api jika kau yang tumbang di tanganku, maka
kalian berdua akan kugantung begitu matahari terbit nanti."
"Sebuah perjanjian yang manis bagiku, Nyai!"
"Bersiaplah untuk sekarat, Bocah hangus...!"
T iba-tiba sang Nyai sentakkan tangan kirinya bagai memercikkan air. Praat...!
Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Weess, buuhk...!
Pendekar Mabuk terkejut sekali. Kepretan tangan sang Nyai ternyata mengandung
kekuatan tenaga dalam sangat besar. Suto seperti dihantam dengan batu gunung se
besar dua kali kepala kerbau yang mengenai dadanya dengan telak.
Brruk...! Pendekar Mabuk pun terlempar jatuh dengan dada
merasa sakit sekali. Seakan tulang dadanya menjadi remuk seketika itu juga. Sang
Nyai tetap di tempat, memandang angkuh, seakan menunggu lawannya bangkit
kembali. Begitu Suto berdiri, sang Nyai se gera bertepuk tangan satu kali dengan kedua
tangan lurus ke depan. Plook...! Crralaap...!
Oh, rupanya tepukan tangan itu hasilkan cahaya petir biru yang melesat
cepat dengan gerakan berkelok-kelok menuju wajah
Pendekar Mabuk. Namun dengan cepat, bumbung tuak segera
dihadangkan ke depan wajah dan sinar biru itu menghantam telak bumbung tuak
tersebut. Jegaarr...! Ledakan dahsyat terjadi begitu sinar itu kenai bumbung tuak Suto.
Pendekar Mabuk terlempar kembali dan terbanting dengan keras hingga tulang
punggungnya ba gaikan patah. Wajah Suto menjadi merah matang karena ledakan tadi
semburkan hawa panas yang menyengat. Sekujur tubuh Suto menjadi perih sekali
seperti alami luka bakar. Sedangkan Nyai Gincu Barong masih tetap berada di
tempatnya tanpa bergeser sedikit pun.
"Bangun kau, Jahanam! T unjukkan kesaktianmu yang sering dipuji-puji orang itu!"
seru Nyai Gincu Barong.
Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya dua teguk. Lalu ia bangkit dengan
satu lompatan yang bertumpu pada pinggul.
Wuuut...! Jleeg...! T ubuhnya segera menjadi segar dan hawa panas tak dirasakan
lagi. Kulit wajahnya tidak tadi, dan rasa perih hilang dari seluruh tubuhnya.
Pendekar Mabuk melangkah dengan tenang dekati lawannya lagi.
T iba-tiba Nyai Gincu Barong melayang bagaikan terbang dalam keadaan tetap
berdiri tegak. T api kedua tangannya mengarah ke depan dengan sepuluh jari lurus
ke arah Suto. Srraap...! T iba-tiba dari kesepuluh jari itu keluar kuku tajam
dan runcing dalam ukuran panjang. Kesepuluh jari itu memancarkan cahaya merah
bagai besi dipanggang api.
Wees...! Nyai Gincu Barong menyerang Suto dengan kesepuluh jarinya yang menyala
merah itu. T etapi Pendekar Mabuk segera gunakan jurus ' Gerak Siluman' untuk
hindari terjangan lawannya.
Zlaap...! T ahu-tahu ia sudah berada di belakang Nyai Gincu Barong.
Merasa terjangannya tak berhasil kenai lawan, Nyai Gincu Barong segera berpaling
ke belakang dan tubuhnya memutar dengan cepat.
Pada saat itulah, Suto lepaskan jurus 'T angan Guntur', berupa sinar biru besar
dari telapak tangannya yang melesat
cepat menghantam Nyai Gincu Barong. Clap, wweeess...!
Kedua telapak tangan Nyai Gincu Barong berdiri tegak merapat.
Maka sinar biru itu tertahan oleh kedua telapak tangan tersebut.
Deeeb...! Beesss...!
Sinar itu padam begitu saja tanpa timbulkan suara ledakan ataupun letupan kecil.
Pendekar Mabuk terkesip melihat jurus
'T angan Guntur'-nya dapat dipadamkan oleh lawannya. Bahkan dengan cepat kedua
telapak tangan Nyai Gincu Barong berkelebat bagai memutar dan menyentak ke
depan, sehingga dari ujung kesepuluh kuku jarinya itu keluar sinar merah
berkelok-kelok bagaikan cacing membara. Cralaaap...!
Pendekar Mabuk sengaja diam di tempat. Begitu sepuluh sinar merah berkelok-kelok
itu telah berada di depan hidungnya, tubuh Suto melayang ke atas dalam satu
sentakan. Suuttt...! Weess...!
T ubuh Suto tetap dalam posisi seperti berdiri tegak. Sementara kesepuluh sinar
merah itu melesat terus hingga kenai enam orang pengepung di belakang Suto.
Jegarr...! Keenam orang itu langsung tumbang dalam keadaan tubuh mereka
berlubang be sar dan tak bernyawa lagi.
Nyai Gincu Barong tersentak kaget.
"Biadab kau! Muridku jadi korban salah sasaran! Kuhabisi nyawamu sekarang juga,
Bangsat! Hiaaah...!!"
Nyai Gincu Barong melesat dalam keadaan tubuh berputar cepat di udara. Lalu dari
putaran tubuhnya itu memancarkan sinar merah terang ke berbagai arah, empat
sinar di antaranya menyerang Pendekar Mabuk. Maka dengan gerakan cepat, Pendekar
Mabuk hantamkan bumbung tuaknya dalam satu putaran. Wuuutt...! Empat sinar merah
itu bagaikan tersapu bumbung tuak dan menimbulkan ledakan lebih besar lagi.
Glegaaarr...! Pendekar Mabuk terpental, tapi Nyai Gincu Barong tetap
melayang menerjangnya. Hanya saja, karena keadaan Suto terlempar dan jatuh di
luar kepungan, maka tubuh Nyai Gincu Barong pun menabrak dua orang anak buahnya
yang memegangi obor. Brruuss...!
"Aaaahhk...!" kedua muridnya itu sama-sama memekik keras dan
panjang, karena tangan mereka terpotong seketika begitu ditabrak tubuh Nyai
Gincu Barong yang berputar cepat bagaikan gangsing itu.
Pendekar Mabuk segera melompat tinggi-tinggi dan bersalto dua kali di udara,
kemudian ia daratkan kakinya dalam keadaan sudah berada di dalam lingkungan
pertarungan lagi. Jleeeg...!
Pada saat itu, Nyai Gincu Barong segera melompat dengan
gerakan tangan cepat bagai ingin mencabik-cabik lawan. Kuku-kuku yang panjang
bagaikan mata pisau runcing itu masih memancarkan cahaya merah bara, sehingga
tiap gerakan tangan diikuti oleh bayangan sinar merah tersebut yang mirip
bintang berekor.
Jleeg...! Nyai Gincu Barong tiba di depan Suto, langsung
kesepuluh kukunya ditancapkan ke pinggang kanan-kiri Suto.
Cruuss...! "Aaahk...!" Suto Sinting mengejang dengan wajah menyeringai.
Namun sebelum kesepuluh kuku itu merobek tubuh Suto, kedua tangan Suto segera
menyentak ke samping kanan-kiri hingga kesepuluh kuku itu lepas dari tubuhnya.
Deess...! Lalu kedua tangan Suto menghantam ke depan bersamaan dalam keadaan
telapak tangan terbuka. Buuhk...!
"Haaahk...!" Nyai Gincu Barong mendelik seketika dengan tubuh melayang mundur
beberapa langkah.
Suto Sinting tak hiraukan luka-lukanya yang mengucurkan darah segar itu. Ia
segera menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh, tapi tahu-tahu bumbung tuaknya
disodokkan tepat di ulu hati lawannya.
Wuuut, duuhk...!
"Uuaahk...!" sang Nyai sentakkan napas dalam keadaan mulut terbuka. Bersamaan
dengan itu menyemburlah darah segar hingga nyaris kenai wajah Suto jika Suto
tidak segera berlutut satu kaki.
Dengan satu kaki berlutut, Suto Sinting sentakkan kembali bumbung tuaknya yang
dinamakan jurus 'Mabuk Lebur Gunung' itu.
Wuuut, beeehk...!
"Oouhk...!" Nyai Gincu Barong makin mendelik, darah yang muncrat dari mulutnya
semakin banyak. Wajahnya dan anggota
tubuh lainnya menjadi biru legam. Rambut sang Nyai mulai rontok, namun sang Nyai
masih bertahan untuk tetap berdiri hadapi Suto Sinting.
T iba-tiba sekelebat bayangan melintas cepat menendang Nyai Gincu Barong.
Weesss...! Plaakk...! Tendangan keras itu membuat Nyai Gincu Barong yang sudah
terluka parah oleh kekuatan jurus
'Mabuk Lebur Gunung' itu segera terlempar dan jatuh berguling-guling. Kemudian
seraut wajah cantik muncul di tempat itu. Jleeg...!
"Andani..."!" sapa Suto dengan kaget.
"Pergilah dan cari si perawan itu, lalu bebaskan dia dari kamar tawanan yang ada
di ruang ba wah tanah itu. Aku akan menghadapi si Nyai Gincu Barong yang merasa
dirinya sudah paling ampuh itu!"
Mau tak mau Suto Sinting segera melesat memasuki pintu
gerbang yang diterjang begitu saja dan hancur dalam waktu kurang dari satu
kedipan mata. Prrak, brraak...! Sementara itu, Andani segera melepaskan jurus
merahnya dari telapak tangan yang menyerupai ujung tombak itu. Claaap...!
Blaarr...! Maka hancurlah tubuh Nyai Gincu Barong dalam keadaan
anggota tubuhnya terpotong dan terpisah saling berjauhan. Padahal menurut Suto,
tanpa keikutsertaan si Andani, sang Nyai pun tak akan dapat berkutik lagi,
karena sodokan bumbung tuak tadi.
"Hahh..."! Guru kita tewas! Gur u..."! Guruuu...!"
Para murid tampak marah melihat guru mereka tak bernyawa lagi.
Mereka segera menyerang Andani. tapi mereka saling terpental begitu Andani
sentakkan kedua tangannya ke kanan-kiri. Wuuut...!
Bruuk...! Bruukk...!
Suto berhasil temukan Perawan Sinting dalam keadaan terikat rantai di dua tiang.
Kedua kaki dan tangan direntangkan. T ubuhnya penuh luka, bahkan wajahnya hancur
menyedihkan. Namun Perawan Sinting segera angkat wajahnya yang tertunduk dengan
pelan ketika ia mendengar seseorang berseru,
"Perawan Sinting..."!"
Rupanya ia tahu suara itu adalah suara Pendekar Mabuk, sehingga tenaganya yang
nyaris terkuras habis karena siksaan itu menjadi timbul kembali dan ia mampu
mengangkat wajahnya. Kedua
matanya yang memar memandang kecil kepada Suto. Bibirnya yang hancur pun mulai
bergerak dengan suara lirih.
"Sutooo...?"
Pendekar Mabuk segera lepaskan rantai-rantai pengikat itu.
Perawan Sinting dipaksa untuk meminum tuaknya. Walaupun perih, Perawan Sinting
tetap menelan tuak sakti Suto, sehingga dalam beberapa
saat kemudian luka-lukanya menjadi hilang dan kekuatannya pulih kembali.
"Suto, pedangku di mana"!"
"Kita cari pedang itu!"
Setelah Pedang Galih Guntur berhasil ditemukan dalam kamar sang Nyai, mereka pun
segera tinggalkan tempat itu. Mereka sempat terperangah kaget melihat suasana di
luar gerbang. T ernyata para murid Nyai Gincu Barong terkapar semua tak
bernyawa. Mayat bergelimpangan di sana-sini dalam keadaan tubuh mereka pecah,
anggota tubuh saling berpencar ke mana-mana.
"Gila! Dibantai habis begini jadinya"!" gumam Suto Sinting dengan mata menegang.
"Siapa yang melakukannya, Suto"!"
"Melihat keadaan mayat terpotong-potong begini, siapa lagi yang melakukan kalau
bukan Andani!"
"Andani..."! Oh, rupanya kau sempat serong selama aku dalam penyiksaan, Suto"!"
"Bukan begitu. Maksudku...."
"Dasar pemuda hidung belang!" gertak Perawan Sinting yang merasa cemburu jika
Suto berkenalan dengan seorang perempuan, karena gadis berpakaian ungu itu
menaruh hati kepada Pendekar Mabuk.
Akhirnya Suto menjelaskan pertemuannya dengan Andani sambil matanya memandang ke
sana-sini mencari Andani yang ternyata
telah menghilang lebih dulu sebelum Suto dan Perawan Sinting tiba di tempat itu.
Suto pun menceritakan ciri Andani dengan tak lupa menyebutkan tato gambar kupukupu di paha perempuan itu.
"Apa..."! Di pahanya ada tato gambar kupu-kupu"!" Perawan Sinting mendelik.
"Apakah tato itu bisa menjadi besar dan bisa mengecil, tergantung gairah yang
ada padanya?"
"Benar! Kulihat tato itu sempat menjadi besar."
"Celaka! Kalau tak salah dugaanku, perempuan itulah yang bernama Peri Kahyangan,
di mana kita dulu pernah bermalam di reruntuhan biaranya!"
"Peri Kahyangan"!" Suto segera teringat cerita Perawan Sinting tentang Peri
Kahyangan yang bekas biaranya pernah dipakai bermalam oleh mereka dan Mahesa
Gibas, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Buronan Cinta Sekarat").
Se belum mereka lanjutkan bicara, tiba-tiba dari arah timur muncul
Mahayuni bersama beberapa orang murid Eyang Panembahan, termasuk Mahesa Gibas ikut dalam rombongan itu.
Rupanya mereka mencari kepergian Suto yang sudah diduga arahnya ke T anjung
Leak. Perawan Sinting segera menyambut gembira bisa bertemu dengan Mahesa Gibas,
lalu Mahesa Gibas menceritakan siapa Mahayuni dan yang lainnya itu.
"T adi kami sudah sampai sini dan melihat perempuan cantik sedang memakan
beberapa potong tubuh mayat-mayat itu. T api ia segera kabur begitu Mahayuni
menyapanya," kata Mahesa Gibas.
"Benarkah begitu, Mahayuni?"
"Ya. dan kami mengejarnya, tapi tak berhasil."
"Siapa perempuan itu sebenarnya?"
"Si Bayangan Setan!"
"Hahh..."!" Pendekar Mabuk mendelik seketika itu juga, demikian pula Perawan
Sinting. "Ke mana larinya?"
"Ke timur!"
"Kalau begitu, kita kejar dia ke timur, Suto!" ajak Perawan Sinting.
"T unggu dulu! Kita perlu pelajari siapa perempuan itu sebenarnya melalui Eyang
Panembahan."
Mahesa Gibas menyahut, "Jelas dia adalah si Bayangan Setan!
Aku pernah melihat perempuan itu membunuh beberapa pelayan di kadipaten!"
"Ya, ya... tapi aku membutuhkan beberapa saran dari Eyang Panembahan untuk
hadapi perempuan itu," kata Suto. "T erutama tentang kehancuran Samudera Kubur
delapan tahun yang lalu itu."
"Delapan tahun yang lalu"!" Perawan Sinting menggumam heran.
"Bukankah kita baru pergi dari kadipaten delapan hari lamanya, Suto"!"
Pendekar Mabuk tak hiraukan keheranan itu, ia segera melangkah menuju ke
Padepokan Pantai Porong untuk menemui Eyang
Panembahan; Pancalingga. Yang lainnya pun segera mengikuti sang pendekar heboh
itu bersama munculnya sang fajar di ufuk timur.
SELESAI PENDEKAR MABUK Se gera menyusul!!!
RAHASIA BAYAN GAN SET AN
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Pendekar Sadis 11 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Pedang Asmara 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama