Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat Bagian 2
selesaikan denganku, yaitu tentang bumbung tuakku!"
Orang itu terdiam dengan mata tetap memandang
Suto. Cermin pembunuh berdarah dingin terlihat jelas dari wajahnya yang putih
tanpa senyum di bibirnya yang biru pucat itu. Orang itu membisu beberapa saat,
sampai akhirnya Pendekar Mabuk sendiri yang teruskan kata,
"Bumbung tuakku hilang saat aku tidur di gua tepi pantai. Mulut gua pun tertutup
oleh batu yang tak bisa dipecahkan. Jika bukan orang sakti berilmu tinggi macam
kau yang mencuri bumbung tuakku dan menutup mulut gua dengan batu gaib itu, tak
mungkin ada orang lain yang bisa melakukannya!"
"Bumbung tuak..."!" gumamnya, lalu ia tundukkan kepala seakan berpikir dan
mempertimbangkan. Bahkan ia pejamkan matanya pelan-pelan. Sementara Suto
Sinting tetap menunggu jawaban sambil sesekali melirik ke arah Dewa Racun dan
Hantu Laut, yang posisi
mereka ada di sebelah kanan dan kiri Pendekar Mabuk.
Dewa Racun tampak tetap siagakan anak panahnya yang sewaktu-waktu
siap dilepaskan ke arah orang berkerudung hitam itu.
Karena terlalu lama menurut ukuran Pendekar
Mabuk, ia pun segera berkata,
"Tak perlu ragu, serahkan saja bumbung tuakku itu!
Buatmu bumbung itu tidak berguna, tapi buatku sangat berguna!"
Orang itu tidak menjawab. Masih tundukkan kepala
dengan pejamkan mata. Suto memperhatikan terus
sampai akhirnya dahinya berkerut dan wajahnya sedikit mendekat memandang wajah
orang itu. Kemudian
terdengar gerutuan Suto di sela gema ruangan tersebut,
"Sial! Dia malah tidur"!"
"Hah..."!" Hantu Laut terkejut mendengar gumam gerutuan Pendekar Mabuk. Dewa
Racun terperangah
tanpa suara dengan dahi berkerut pula. Hati Suto jadi jengkel. Sebagai
pelampiasannya, Pendekar Mabuk
cepat melayangkan kaki kanannya menendang tongkat El Maut bagian bawah.
Plakkk...! Gerakan kaki Pendekar Mabuk tanpa tenaga dalam
yang menendang tongkat itu tiba-tiba tertahan dan bagaikan diadu dengan gerakan
kaki orang yang tidur itu. Rupanya dalam keadaan tidur, orang berkerudung hitam
yang tadi dipanggil sebagai sang ketua oleh Hantu Laut itu, ternyata masih bisa
pekakan inderanya, sehingga ia tahu akan mendapat tamparan kaki Pendekar Mabuk
pada tongkatnya.
Gerakan kaki orang itu begitu cepat menyambut
tendangan kaki Pendekar Mabuk, sehingga Pendekar Mabuk sendiri menjadi kaget,
karena tak menduga sama sekali kalau akan mendapat sambutan seperti itu. Sang
ketua itu segera membuka matanya dengan sedikit
menyipit bagai orang terbangun dari tidur.
"Tidak ada!" tiba-tiba orang itu ucapkan kata demikian.
"Apanya yang tidak ada?" tanya Pendekar Mabuk.
"Hmm... kau tadi tanyakan soal apa?" orang itu ganti
bertanya. "Bumbung tuakku!"
"O, ya! Bumbung tuakmu itu tidak ada padaku!"
"Bohong!" Pendekar Mabuk sedikit menyentak.
"Terserah apa katamu, tapi aku harus membunuh Hantu Laut!"
"Tak kuizinkan kau menyentuhnya sebelum kau serahkan bumbung tuakku itu!"
"Kalau begitu kau menantangku!"
"Ya!" jawab Suto dengan tegas dan berani, walaupun tetap bersikap tenang dan
kalem. Orang berkerudung hitam yang berwajah muda dan
tampan itu bergerak melangkahkan kaki ke samping, sepertinya ia malas melayani
tantangan Suto Sinting itu.
Sambil melangkah malas-malasan, ia ucapkan kata
dengan suara sedikit keras,
"Tantanganmu akan kulayani setelah aku membunuh Hantu Laut!"
"Kau tak akan bisa membunuhnya selama aku masih ada!"
balas Pendekar Mabuk dengan ikut-ikutan melangkah seenaknya, namun tetap tak jauh dari
pertengahan lingkaran itu. Keduanya saling melangkah memutar secara tak sadar.
Kemudian, manusia berwajah putih itu menghentikan langkah, Pendekar Mabuk pun
mengikuti. Mereka
kembali berhadapan bagai menyiapkan pertarungan
dengan jarak empat langkah. Tiba-tiba orang berwajah kaku itu ucapkan kata
kepada Suto Sinting,
"Baiklah! Kuturuti tantanganmu! Kulayani kemauanmu, tapi jika kau bisa mengangkat tongkat saktiku ini...!"
Werrr...! Orang itu melemparkan tongkat pusaka El Maut seenaknya saja. Suto
menerima lemparan tongkat yang pelan itu. Tapi tiba-tiba ia jatuh terpelanting
dan tongkat itu menindih dadanya, ia ingin mengangkat tongkat itu tapi tak kuat.
Ia kerahkan tenaganya sekali lagi, tapi tongkat itu bagaikan gunung yang
dijatuhkan di dada Pendekar Mabuk.
"Gila ilmu orang ini!" pikir Pendekar Mabuk dalam kebingungannya. Wajah Suto
sempat berkerut karena menahan tongkat yang makin lama terasa semakin berat.
Urat-urat lehernya sampai tampak keluar karena kuatnya ia kerahkan tenaga untuk
memindahkan tongkat itu dari dadanya. Tapi Suto belum juga berhasil dengan
usahanya itu. "Ha ha ha ha...!" orang berkerudung hitam itu tertawa dengan wajah tetap kaku
dan mulut terasa malas untuk digerakkan melebar. Lalu, orang itu berseru dengan
nada menghina, "Baru mengangkat tongkatku saja kau tak mampu, apalagi mau
menantangku"! Kau masih perlu banyak belajar, Bocah Kencur! Jangan sekali-kali
menantangku sebelum kau bisa pindahkan gunung ke seberang lautan!"
Hantu Laut benar-benar heran. Baru sekarang ia
melihat Siluman Tujuh Nyawa menakar kekuatan
seorang lawan dengan melemparkan tongkatnya. Padahal itu sangat berbahaya bagi dirinya sendiri. Jika lawannya mampu
mengangkat tongkat itu, berarti
tongkat pusaka El Maut itu akan dimiliki oleh lawannya.
Jelas lawannya pasti berilmu lebih tinggi dari dirinya.
Hantu Laut tentu saja heran, mengapa Siluman Tujuh Nyawa sampai berani mengambil
sikap untung-untungan begitu" Biasanya Siluman Tujuh Nyawa andaikata harus
menguji ketinggian ilmu lawannya, ia akan menyuruh Doma Damu untuk melawan orang
itu. Apakah karena ia tahu bahwa Doma Damu sudah dikalahkan oleh
Pendekar Mabuk, sehingga ia menggunakan tongkatnya untuk menguji kekuatan diri
Pendekar Mabuk"
"Memang sebaiknya kau tiduran di situ tertindih tongkatku, sementara
kuselesaikan urusanku dengan Hantu Laut!" katanya.
Dewa Racun cepat berseru, "Kulepaskan pan...
pann... panah ini jika tidak segera kau angkat tong...
tong... tong...."
"Tongkrongan"!"
"Bukan! Tongkatmu, maksudku! Lekas angkat tongkatmu dari tubuh temanku itu!" gertak Dewa Racun.
Tapi Siluman Tujuh Nyawa hanya pandangi wajah
Dewa Racun beberapa kejap. Tiba-tiba tubuh kecil itu jatuh terduduk, kakinya tak
bisa dipakai berdiri, ia berusaha bangkit tapi justru terpelanting jauh dari
tempat semula. Kakinya lumpuh mendadak dan sama sekali tak bertulang serta tak
berurat sedikit pun.
Siluman Tujuh Nyawa masih terus memandang Dewa
Racun. Cepat-cepat Dewa Racun meraih busurnya yang agak jauh dari tangan akibat
terpelanting tadi, lalu ia siapkan anak panah lagi ke arah Siluman Tujuh Nyawa.
Tali busur terentang dan anak panah mengancam.
"Terpak... terpak... terpaksa aku melakukannya!" kata Dewa Racun sambil mau
melepaskan anak panahnya itu.
Tetapi, tiba-tiba tulang lengannya terkulai bagaikan lepas dari engselnya. Kedua
tangan Dewa Racun tak bisa dipakai untuk bergerak. Dewa Racun merasa lumpuh kaki
dan tangannya. Melihat hal itu, Hantu Laut menjadi tegang. Kecemasannya kian membungkus keberanian. Tapi ia sembunyikan hal itu, walau
hatinya pun merasa kecewa terhadap Suto dan Dewa Racun yang diharapkan
menjadi pelindungnya, ternyata mampu dilumpuhkan Siluman Tujuh Nyawa.
Orang berkerudung hitam bagai utusan dari alam
kubur itu mulai melangkahkan kaki mendekati Hantu Laut. Pendekar Mabuk merasa
cemas akan nasib Hantu Laut. Dalam keadaan tertindih beban yang amat berat itu,
Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Sentilan
jurus 'Jari Guntur' itu tepat mengenai punggung lawan. Debbb...!
Siluman Tujuh Nyawa merasa mendapat tendangan
bertenaga kuda yang amat besar dan keras, ia pun tersungkur jatuh. Brukk...!
Tapi lekas berdiri dan membalikkan badan menghadap Pendekar Mabuk, ia
menggeram melalui dengusan napas memanjang. Tapi wajahnya masih dingin dan kaku.
Hanya matanya yang terlihat lebih tajam memandang Suto sebagai ungkapan
kemarahannya. "Kurang ajar! Berani-beraninya kau melakukan hal
itu kepadaku, hah"!"
Sambil menahan beban berat, Suto berkata, "Aku hanya ingin membuktikan, bahwa
biar dalam keadaan terjepit begini, tapi aku masih bisa menumbangkan dirimu!
Apalagi jika aku tidak sedang terjepit begini!
Dan kujamin kau sendiri tak akan bisa mengangkat kembali tongkatmu ini, karena
separo lebih dari ilmumu telah kumusnahkan dengan jurus 'Jari Guntur'-ku tadi!"
"'Jari Guntur'..."!" Siluman Tujuh Nyawa sedikit heran dalam gumamnya itu. Tapi
ia tetap pandangi Pendekar Mabuk tanpa perubahan wajah.
"Terus terang, aku curang karena membokongmu!
Tapi tak ada jalan lain untuk menyedot separo lebih dari ilmumu, hingga untuk
mengangkat tongkat ini pun kau tak akan bisa lagi!"
"Omong kosong!" sentaknya, lalu cepat ia melangkah mendekati Suto dan segera
mengambil tongkatnya.
Wuttt...! Bersama terangkatnya tongkat itu, Pendekar Mabuk sentakkan tenaga dalamnya yang
tinggi melalui sorot pandangan matanya. Maka, tongkat yang telah didorong oleh
tenaga dalam melalui mata itu menjadi sangat ringan
bahkan bergerak naik dengan cepat, tak terkendalikan oleh pemegangnya.
Pendekar Mabuk cepat bangkit sambil menghela
napasnya yang tadi terasa sesak, sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terangkat terbang
karena kekuatan tenaga dalam yang tinggi dari mata Pendekar Mabuk. Mata Pendekar
Mabuk tetap pandangi terus tongkat itu, hingga
kepala Siluman Tujuh Nyawa mencapai langit-langit ruangan yang tinggi itu.
"Keparat! Turunkan aku! Turunkan!" teriak Siluman Tujuh Nyawa dari atas sana.
Suto hanya tersenyum sambil dongakkan kepalanya dan pandangi tongkat itu terus.
Jurus 'Pucuk Rembulan' digunakan Suto Sinting.
Kalau saja tadi kekuatan besar yang ditanamkan oleh lawan di tongkat itu tidak dilepaskan lebih dulu, jurus
'Pucuk Rembulan' gagal dipakai mengangkat tongkat itu.
Tapi karena lawan sudah mengurangi kekuatan tenaga dalam yang ditanamkan di
tongkat itu dengan cara pancingan Suto tadi, maka jurus 'Pucuk Rembulan' tak
boleh telat dipancarkannya. Jurus yang menggunakan kekuatan mata itu adalah
pemberian Bidadari Jalang, bibi gurunya, yang mampu membuat seseorang atau
benda apa pun terangkat terbang jika dipandang dari bawah. Seakan ada tenaga
pendorong yang amat besar dan bisa menopang beban tak terlalu berat.
"Turunkan aku, Bocah Ingusan...!" teriak Siluman Tujuh
Nyawa yang masih tergantung-gantung
di ketinggian. Rasa heran dan curiga membuat Siluman Tujuh
Nyawa lupa, bahwa semestinya ia bisa melepaskan saja tongkat itu dan membiarkan menggantung di atas sementara ia melompat turun, atau menggunakan lagi tenaga
dalam pembeban tongkat itu seperti tadi, sehingga tongkat dan dirinya akan turun
sendiri. Sesuatu yang mengganggu pikiran dan hatinya dapat
membuatnya menjadi orang bodoh. Dan sesuatu itu kini mulai dipertanyakan ketika
Pendekar Mabuk melepaskan jurus 'Pucuk Rembulan' dari tongkat tersebut. Lepasnya
jurus itu membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa
tersentak turun bersama tongkat El Maut-nya.
Jlegg...! Ia mendarat dengan mantap dan tegak, tanpa ada gerakan limbung sedikit
pun. Bahkan ketika ia mendaratkan kakinya di lantai, kaki itu mengepulkan asap
tipis warna putih, kejap berikutnya napas itu hilang bagaikan padam dari
baranya. "Kau memang berilmu tinggi, tapi tidak punya kecerdasan!" kata Suto mengecam.
Mata orang beralis sangat tipis karena tertutup warna putih semacam bedak itu
memandang Suto dengan lebih tajam lagi. Agaknya ia tidak hiraukan kecaman itu,
karena ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Apakah kita harus teruskan perkara ini dengan pertarungan secara kesatria?"
pancing Pendekar Mabuk dalam tantangannya.
Tapi Siluman Tujuh Nyawa itu hanya berkata, "Jurus
'Pucuk Rembulan' kau miliki..."!"
Suto Sinting terkejut mendengar jurus itu disebutkan Siluman
Tujuh Nyawa, ia tak sangka
Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya mengetahui nama jurus itu. Bahkan Siluman Tujuh
Nyawa ucapkan kata,
"Jurus 'Pucuk Rembulan' itu milik Bidadari Jalang!"
Mulut Suto terperangah, mata bergerak melebar.
Sebelum ia ucapkan kata, Siluman Tujuh Nyawa segera bicara,
"Jurus 'Jari Guntur' adalah milik si Gila Tuak!"
"Bagaimana kau bisa tahu kedua jurusku itu?" tanya Suto heran.
Siluman Tujuh Nyawa pejamkan mata tanpa tundukkan kepala. Tapi makin lama makin bergerak menunduk kepalanya itu, sedikit
miring ke kiri. Bibirnya yang semula rapat sedikit membuka. Suto menyangka orang
itu melakukan semadi untuk kembalikan daya ingatnya
sehubungan dengan pertanyaan Pendekar Mabuk. Tapi makin lama semakin kelihatan pulas dan terdengar suara dengkurnya
kecil. "Sial! Tidur lagi dia"!" ucap Pendekar Mabuk sambil memandang Dewa Racun yang
masih lumpuh kaki dan
tangannya. "Hai, bangun!" sentak Suto sambil hentakkan kaki ke lantai.
Orang itu tersentak,
melonjak ke atas sambil
menggeragap. Lalu, ketika kakinya menginjak kembali ke lantai, ia sudah siap
dengan kuda-kuda dan jurus pembuka serangan. Tongkatnya dipegang oleh dua
tangan dan siap ditebaskan. Tapi Suto segera ulangi tanya,
"Bagaimana kau bisa tahu kedua jurusku itu" Apakah kau kenal dengan kedua guruku
juga?" Siluman Tujuh Nyawa redakan ketegangannya, ia
kembali berdiri dengan sikap santai. Tongkatnya digenggam tangan kanan dalam keadaan berdiri di
sampingnya. "Apa maksudmu menanyakan aku kenal dengan
kedua gurumu" Kedua guru yang mana?"
"Si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" jawab Pendekar Mabuk.
Siluman Tujuh Nyawa terkejut dengan cara menarik kepala ke belakang sedikit,
tapi wajahnya tetap beku dan dingin.
"Apakah benar kau murid mereka?"
"Ya! Kau takut berhadapan dengan mereka?"
Siluman Tujuh Nyawa tidak kasih jawaban, tapi
justru ajukan pertanyaan lagi,
"Sebutkan nama asli mereka jika memang kau murid mereka!"
"Ki Sabawana dan Nawang Tresni!" Suto sebutkan nama asli Gila Tuak dan Bidadari
Jalang. "Edan!" cetus Siluman Tujuh Nyawa, ia hempaskan napas panjang-panjang dengan
melangkah ke belakang, lalu membalik lagi, seperti menyimpan kekecewaan,
penyesalan dan kegelisahan.
Pendekar Mabuk, Hantu Laut, dan Dewa Racun,
sama-sama memandang Siluman Tujuh Nyawa dengan
perasaan heran. Hati mereka bertanya-tanya, mengapa Siluman Tujuh Nyawa tampak
berubah sikap. Bahkan sekarang ia duduk di tepian lantai bundar itu, kakinya di
tangga kedua. Tongkat El Maut-nya digeletakkan begitu saja walau berada tak jauh
darinya. Lama ia termenung di situ dengan sikap duduk, satu kaki melonjor, satu tangan
bertumpu ke belakang, sementara wajahnya menatap Suto Sinting. Hantu Laut baru
sekarang melihat Siluman Tujuh Nyawa bersikap
duduk tanpa wibawa sama sekali. Bahkan ia sempat garuk-garuk kepalanya walau
tetap terbungkus kain kerudung hitam.
Lalu, terdengar ia ajukan tanya kepada Suto, "Jika kau memang murid si Gila
Tuak, mengapa kau membela Hantu Laut" Tak tahukah kau siapa Hantu Laut itu"!"
"Aku tahu, dia bekas anak buahmu, yang ingin menentang kekuasaanmu. Karena tak
ingin lagi berada di jalan yang sesat! Tapi masalahnya sekarang bukan hanya aku
membela dia, tapi karena aku inginkan
bumbung tuakku yang kau curi itu."
Siluman Tujuh Nyawa hempaskan napas, seperti
kesal pada dirinya sendiri, ia kembali berkata kepada Suto.
"Bumbung tuakmu masih ada! Tidak kupecahkan!"
Setelah berkata begitu, Siluman Tujuh Nyawa membuka kerudung hitamnya dari
bagian leher ke atas, dan sesuatu yang lengket itu pun ikut terlepas dari
wajahnya. Sesuatu yang lengket itu adalah topeng tipis berwajah Siluman Tujuh
Nyawa. Kini wajah aslinya terlihat jelas, dan Hantu Laut segera serukan kata
kagetnya, "Ki Gendeng Sekarat..."!"
"Ya. Aku Gendeng Sekarat! Kau masih ingat"!" ujar Ki Gendeng Sekarat kepada
Hantu Laut. Tapi Hantu Laut hanya terbengong, demikian juga halnya Dewa Racun
dan Pendekar Mabuk.
* * * 5 RAMBUT ikal tanpa hitam selembar pun kecuali
warna putih uban itu diikat dengan ikat kepala kain hitam. Rambut itu tidak
panjang, hanya sebatas tengkuk saja. Kumisnya yang putih, juga tidak terlalu
lebat seperti jenggotnya yang putih pula itu. Badannya kurus, tapi tidak ceking.
Pakaiannya serba merah, diikat sabuk hjtam lebar. Sebuah kipas warna hitam
terselip di pinggangnya itu.
Wajah tua berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih itu dikenal Hantu Laut dan
Dewa Racun sebagai orang yang berjuluk Gendeng Sekarat. Dialah penguasa Pulau
Mayat yang selamat dari pembantaian Kapal Siluman.
Itulah sebabnya Gendeng Sekarat bernafsu sekali untuk membunuh Hantu Laut,
karena dia tahu Hantu Laut anak buah Siluman Tujuh Nyawa.
"Aku punya dendam terhadap semua anak buahnya Siluman Tujuh Nyawa," kata Ki
Gendeng Sekarat sambil membawa masuk mereka ke sebuah lorong, karena ia ingin
membawa mereka ke suatu tempat yang sangat rahasia.
Ia berkata lagi, "Bahkan aku mencoba menyamar sebagai Siluman Tujuh Nyawa di
depan kalian, karena samaran ini yang nantinya kupakai untuk membantai mereka!
Dan ternyata kalian tidak ada yang menyangka bahwa aku adalah Durmala Sanca
palsu," kata Ki Gendeng Sekarat dengan menyebutkan nama asli
Siluman Tujuh Nyawa.
"Saya kira tadinya Ki Gendeng-lah orang yang selama ini menjadi Siluman Tujuh
Nyawa," kata Suto dalam langkahnya yang mengiringi orang tua berbadan segar dan
tegap itu. "Aku bukan orang picik, mengapa harus menjadi orang macam Durmala Sanca.
Menyamar sebagai dia
saja kupertimbangkan berbulan-bulan. Akhirnya aku berhasil membuat topeng
Siluman Tujuh Nyawa dengan menggunakan kulit manusia yang kuolah dan kubuat
sedemikian rupa. Maka jadilah topeng wajah yang
menurutku sangat persis dengan wajah Durmala Sanca.
O, ya... bagaimana kabar si Gila Tuak?"
"Beliau dalam keadaan sehat-sehat saja, Ki," jawab Suto dengan sopan dan penuh
hormat. "Bidadari Jalang apakah masih jalang seperti dulu?"
"Beliau sudah mengasingkan diri dan menghentikan segala tindakan masa lalunya."
"Bagus!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil membelok ke
kiri, dan Dewa Racun serta yang lainnya mengikutinya, ia berkata lagi,
"Mungkin kau belum tahu apa hubunganku dengan gurumu si Gila Tuak itu, Suto!"
"Saya baru akan menanyakannya, Ki."
"Aku dulu bekas pelayannya!" kata Ki Gendeng Sekarat dengan rasa bangga.
"Tapi Gila Tuak pelit, tak mau turunkan ilmunya sedikit
pun kepadaku. Aku ngotot, lalu gurumu menyuruh aku pergi ke seorang temannya yang bernama Pramban Jati dan berguru
kepadanya."
"Apakah Eyang Pramban Jati sekarang masih hidup, Ki?"
"Sudah meninggal. Bahkan gurumu yang menyempurnakan jasadnya, karena ia meninggal dalam keadaan menjadi seekor naga
di Gunung Kundalini
akibat kutukan Nyai Suketi. Dan Nyai Suketi itu
sebenarnya penguasa Gunung Kundalini yang terkenal sakti mandraguna, dia masuk
dalam golongan tokoh-tokoh sesat. Tapi ia dikalahkan oleh seorang ratu dari alam
halus yang bernama Gusti Ratu Kartika Wangi!"
Srek...! Kaki Pendekar Mabuk terhenti seketika,
demikian pula Dewa Racun. Kedua orang itu sama-sama kaget ketika mendengar nama
Gusti Ratu Kartika Wangi disebutkan oleh Ki Gendeng Sekarat. Tentu saja Ki
Gendeng Sekarat merasa heran melihat sikap dua orang yang memandangnya.
"Kenapa kau kaget?" tanyanya kepada Suto.
"Ki Gendeng kenal dengan Gusti Ratu Kartika Wangi?"
"Sangat kenal, karena dulu aku pun mengabdi kepada beliau, sebagai penjaga Kolam
Sabda Dewa. Tapi karena aku tergila-gila dengan seorang perempuan di alam nyata
ini, maka kutinggalkan pengabdianku dan Gusti Ratu Kartika Wangi tidak merasa
keberatan. Aku pergi secara baik-baik dan seizin dia. Hmmm... ada apa kau
tanyakan hal itu?" Ki Gendeng Sekarat tampakkan kecurigaannya.
Tapi Suto menjawab,
"Hmmm... tidak! Tidak ada apa-apa. Aku hanya pernah mendengar cerita tentang
Gusti Ratu Kartika
Wangi dari negeri Puri Gerbang Surgawi."
"Benar. Pasti gurumu yang menceritakan hal itu. Dan sekarang, Puri Gerbang
Surgawi di alam nyata itu ada di Pulau Serindu. Negeri itu juga dalam ancaman
bahaya Siluman Tujuh Nyawa."
Sebenarnya Pendekar Mabuk ingin jelaskan siapa
dirinya dan Dewa Racun. Tapi ia takut ada kesan
menyombongkan diri di depan orang sakti itu, sehingga ia pun diam saja dan
mengikuti terus dengan perasaan tak enak karena mendapat sikap kurang ramah dari
Ki Gendeng Sekarat.
Mereka masuk ke sebuah ruangan menyerupai kamar
besar. Ruangan itu penuh dengan nyala obor-obor kecil, berkeliling dinding
terbagi menjadi tiga baris. Di kamar itu juga ada beberapa peti mati.
Warnanya hitam bertutup tanpa kunci. Suto menghitung peti mati itu, ternyata berjumlah delapan belas peti. Entah ada
isinya semua atau hanya sekadar pajangan saja.
Hantu Laut tak berani ikut masuk. Agak ngeri ia
melihat suasana seram seperti itu, sehingga ia hanya berdiri di pintu masuk
saja, sambil bersikap sebagai penjaga keamanan suatu tempat yang sebenarnya tak
perlu dijaga itu.
"Di sini aku mempersiapkan bala tentaraku untuk menyerbu Kapal Siluman. Tapi
baru ada delapan belas orang. Itu pun yang satu sudah kau hancurkan di depan
gua." "Mak... mak... mak... maksud Ki Gendeng, mayat
yang bisa menyerang orang dengan ilmu 'Cakar Kubur'?"
tanya Dewa Racun.
"Ya. Betul apa katamu. Ilmu 'Cakar Kubur' kubekalkan kepada mereka," sambil berkata begitu, Ki Gendeng Sekarat sentilkan
jarinya ke tiap-tiap peti mayat. Maka, satu persatu mayat itu pun bangkit dari
dalam peti dengan wajah-wajah buas dan liar. Mata mereka serba putih, tapi jelas
arahnya tertuju pada Suto dan Dewa Racun.
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun terperanjat dan
undurkan diri dua tindak. Tapi Ki Gendeng Sekarat cepat berkata,
"Jangan takut! Aku sedang memperkenalkan kalian kepada mereka, supaya mereka
tidak menyerang kalian lagi sewaktu-waktu jumpa di jalan."
"Berr... ber... berjumpa pun saya enggan, Ki," kata Dewa Racun.
Ki Gendeng Sekarat tertawa, ia tundukkan kepala dan pejamkan mata. Suto dan Dewa
Racun saling pandang.
Hantu Laut disuruhnya masuk, tapi menolak dan
memilih berdiri di pintu saja. Sementara itu, mayat-mayat itu menyeringai bagai
memamerkan senyum
kengeriannya masing-masing. Bahkan ada yang melambaikan tangan bagai menggoda anak kecil kepada Dewa Racun. Dewa Racun
bersungut-sungut sambil
bergeser merapat ke tubuh Suto.
Kejap berikutnya mayat-mayat itu masuk kembali ke dalam peti masing-masing
sebagai tempat tidur mereka.
Dewa Racun hembuskan napas, selain merasa lega juga
mengusir bau tak sedap yang ditimbulkan dari dalam tiap peti mati itu.
Ki Gendeng Sekarat masih tundukan kepala dan
pejamkan mata. Makin lama makin miring posisi
kepalanya. Pendekar Mabuk mulai curiga dan mencolek lengan Dewa Racun agar ikut
memandang ke arah Ki Gendeng Sekarat. Lalu, Dewa Racun menggerutu.
"Tidur lagi dddi... dia!"
"Mungkin itu salah satu dari penyakitnya!" kata Suto.
"Bangunkan dia!"
"Ki Gendeng!" panggil Pendekar Mabuk dengan suara agak keras.
"Hmmm...!" sahut Ki Gendeng Sekarat dengan masih tertidur.
"Sebenarnya banyak yang ingin kami bicarakan dengan Ki Gendeng. Tapi rasarasanya Ki Gendeng
perlu istirahat dulu. Biarlah kami di luar gua ini. Tapi, ke mana jalan menuju
keluar?" "Ke kiri, terus ke kanan, kiri lagi, kiri dan ke kanan sedikit, baru ke kiri
lagi, terus luurruuus... saja jangan belok-belok, setelah ada dua simpangan
lorong, kalian ke kanan, lalu ke kiri lagi, dan akhirnya ke kanan terus, baru
setelah itu ke kiri dan kalian akan temui mulut gua tempat kalian datang pertama
Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali itu!"
Ki Gendeng Sekarat menjelaskan tentang jalan keluar itu sambil kepalanya miring,
matanya tetap terpejam dan ia pun pulas tertidur. Pendekar Mabuk dan yang
lainnya merasa heran, juga geli melihat kebiasaan tidur Ki Gendeng Sekarat.
Karena sudah terbiasa, biar dalam
keadaan tidur pun orang itu masih bisa diajak bicara dan tahu jalan rupanya.
"Ki, kami bingung mengikuti arah petunjuk Ki Gendeng Sekarat itu!"
"Ah, kalau begitu biar kuantar keluar saja kalian!" Ki Gendeng Sekarat melangkah
sambil tetap pejamkan
mata, sesekali terdengar ngoroknya.
"Ki Gendeng, tentang bumbung bambu tempat tuak milik saya itu mana, Ki" Saya
harus bawa tempat tuak itu!"
"O, iya! Tadi kamu tidak bilang sekalian!" gerutunya sambil kembali lagi masuk
ke kamar tadi, lalu keluar sudah membawa bumbung tempat tuak dalam keadaan
masih terpejam. Bumbung itu diserahkan kepada Suto sambil berkata,
"Bumbung ini tidak ada gunanya jika kau bawa kemari, selain hanya sebagai tempat
tuak." "Mengapa begitu, Ki?" tanya Hantu Laut beranikan diri mengakrabkan hubungan agar
tak canggung. "Karena segala kekuatan gaib yang masuk ke sini tidak akan bisa bekerja, kecuali
tenaga inti, tenaga dalam, tenaga batin dan tenaga kasar kita! Gua ini adalah
gua penyadap gaib! Sihir atau teluh tidak bisa masuk ke tempat ini!"
Sambil melangkah mengikuti Ki Gendeng Sekarat
yang tidur dengan enaknya itu, Suto ajukan tanya lagi,
"Lalu, bukankah batu besar penutup gua itu adalah batu gaib" Mengapa kekuatannya
sangat besar di gua ini?"
"Siapa yang taruh batu" Di mulut gua tidak ada batu!
Aku hanya kendalikan indera keenam kalian supaya melihat apa yang ada di depan
gua adalah batu besar yang tak bisa ditembus apa pun! Sebenarnya kalau kalian
nekat keluar, bisa saja kalian keluar!"
"Tapi waktu kami pukul dengan tenaga dalam kami, batu itu tidak mempan dan
pukulan membalik ke arah kami!"
"Karena indera keenammu sudah yakin betul bahwa di depan ada batu besar yang
sulit digeser dan
dipecahkan!" jawab Ki Gendeng sambil membelok ke kanan. "Kalau indera keenammu
mengatakan tak ada batu tak ada apa pun, ya tetap tak ada! Kalian hantamkan
pukulan tenaga dalam juga tak akan membalik arah karena tidak ada penghalang
apa-apa." Dewa Racun pandangi Suto, sementara Hantu Laut
berbisik, "Menarik sekali kekuatan kendali indera itu!"
Dewa Racun cepat ajukan tanya dari belakang, "Tapi kami tadi jug... jug... juga
melihat gambar-gambar aneh mengenai diri kami. Siapa pelukisnya, Ki?"
"Ya kalian sendiri! Indera keenam kalian yang melukis peristiwa yang pernah
kalian alami dan masih hangat di otak kalian!"
"Mengenai cahaya terang yang tiba-tiba gelap dan terang lagi di arena itu,
bagaimana?" tanya Hantu Laut yang
sangat penasaran sekaligus kagum kepada kesaktian Ki Gendeng Sekarat.
Sambil tidur dan melangkah Ki Gendeng Sekarat
menjawab, "Sama saja! Indera kalian yang kukendalikan supaya seolah-olah melihat
suasana jadi terang, jadi gelap dan jadi terang lagi."
"Termasuk cahaya kuning dan putih yang ada di persimpangan
gua?" tambah Suto Sinting sambil kembali menenggak tuaknya dalam jalan.
"O, kalau itu karena jebakan! Memang aku menjebak kalian. Kalau kalian salah
pilih ke sinar kuning, maka kalian akan berhadapan dengan ribuan ekor ular
berbisa yang paling ganas di dunia ini! Aku menyimpannya di lorong sebelah kiri
dari arah kalian masuk tadi!"
Dewa Racun menyahut, "Berarti kelumpuhan saya tadi juga karena tipuan indera
keenam saja ya, Ki?"
"O, kalau itu memang kehebatan tenaga dalamku!"
jawab Ki Gendeng Sekarat sedikit banggakan diri.
"Dan hilangnya bumbung tuakku juga tipuan indera?"
"O, kalau itu memang kucolong!"
Mereka tertawa pendek. Ternyata ketika mereka
melewati dinding bergambar tadi, gambar tersebut sudah tidak ada. Itu pertanda
kendali indera telah dilepas oleh Ki Gendeng Sekarat, sehingga apa yang mereka
lihat, yang mereka pegang, dan yang mereka rasakan adalah asli apa adanya.
Benar juga kata Ki Gendeng Sekarat, bahwa di mulut gua tak ada batu. Bekas batu
besar pun tak ada. Rumput yang seharusnya tertindih batu besar itu tetap mekar
dan tumbuh segar. Itu berarti rumput tersebut tak pernah tertindih benda besar.
Di mulut gua, Ki Gendeng Sekarat menghentikan
langkah dan berkata dengan masih pejamkan mata
karena tidur. Suaranya pun tetap mengambang sumbang seperti sejak keberangkatan
dari dalam kamar penghuni mayat itu,
"Badai sudah reda, kalian bisa teruskan perjalanan kembali! Kalian bisa kembali
untuk bicara padaku setelah urusan kalian selesai. Caranya mu... mu... mu...,"
Ki Gendeng Sekarat membuka matanya, ia sempat
bingung sejenak melihat keadaan sekeliling. "Lho, ada di sini aku?"
"Ki Gendeng tadi tidur sambil berjalan," kata Pendekar Mabuk seraya tersenyum
ramah, demikian
pula Dewa Racun dan Hantu Laut.
"O, begitu" Aku tidur sambil berjalan" Hmmm...!" Ki Gendeng Sekarat kerutkan
dahi. Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat sentakkan diri ke
belakang, matanya membelalak tegang memandang
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun bergantian. Yang
dipandang jadi kebingungan sendiri. Lalu, Suto ajukan tanya,
"Ada apa, Ki" Kenapa Ki Gendeng pandangi kami demikian?"
Sekarang Ki Gendeng Sekarat malahan membungkukkan badan di depan Dewa Racun dan Suto Sinting yang sudah ada lima
langkah di depan mulut gua itu, sedangkan Hantu Laut ada di belakang mereka
berdua. "Ampunilah hamba...! Hamba tidak tahu sama
sekali!" ucap Ki Gendeng Sekarat membuat Suto dan
Dewa Racun tambah bingung. Maka, Suto pun membisik lirih,
"Wah, benar-benar gendeng dia ini! Kenapa dia menghormat dan menjadi takut
kepada kita?"
"En... entahlah! Ja... ja... jangan-jangan kita yang gendeng! Dia malah tidak
mau pandang kita lagi, Suto.
Dia tetap tundukkan kepalanya!"
Maka segera Pendekar Mabuk bertanya, "Mengapa Ki Gendeng bersikap begitu kepada
kami" Biasa-biasa saja seperti tadi, Ki!"
"Tid... tidak! Saaaya... eh, hamba tidak berani!"
"Apa sebabnya"'
"Hamba baru tahu bahwa di dahi Tuan-tuan ada noda merah, sebagai orang
kehormatan dari Istana Puri Gerbang Surgawi. Hamba tahu, noda merah itu adalah
pemberian dari Gusti Ratu Kartika Wangi!"
"Ooo...," kedua orang itu manggut-manggut, bahkan Hantu Laut ikut manggutmanggut walaupun dia heran, noda merah apa yang dimaksud Ki Gendeng Sekarat itu"
Sebab Hantu Laut sendiri tidak melihat ada noda merah di dahi Dewa Racun dan
Pendekar Mabuk.
Tidak semua orang bisa melihat tanda merah sebagai anggota kehormatan Puri
Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib itu. Hanya orang sesama anggota dan orang
berilmu tinggi yang bisa melihatnya. Dan tanda
kehormatan noda merah merupakan kehormatan tertinggi yang selalu harus dihormati oleh mereka yang tahu tentang Puri Gerbang
Surgawi. Apalagi Ki Gendeng Sekarat pernah menjadi penjaga Kolam Sabda Dewa,
pasti dia akan takut dan hormat kepada Suto dan Dewa Racun. Jika tidak, ia bisa
kena hukuman dari Gusti Ratu Kartika Wangi, penguasa negeri gaib itu. Jika tadi
Ki Gendeng Sekarat seenaknya mempermainkan indera
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun, itu karena di dalam gua tanda gaib itu tidak
terlihat. Dan sampai sekarang Ki Gendeng Sekarat belum mau tegakkan diri sebelum
mendapat ucapan semacam berkat atau doa dari kedua orang itu. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode:
"Manusia Seribu Wajah").
Maka, setelah ingat hal itu, Suto pun segera ucapkan sapaan berkat kepada Ki
Gendeng Sekarat.
"Damai hidupmu, panjanglah umurmu!"
Dewa Racun ucapkan sapaan sendiri, "Keselamatan selalu menyertaimu. Bangkitlah!"
Beruntung sekali Dewa Racun tidak tergagap bicaranya, sehingga tampak wibawa dan penuh kharisma. Maka, Ki Gendeng Sekarat pun segera
mengangkat badannya, tegakkan diri sambil mengucap,
"Terima kasih." Setelah itu ia sambungkan kata,
"Hamba sama sekali tidak menyangka bahwa...."
"Cukup, Ki Gendeng!" potong Suto. "Aku tak mau kau berlebihan dalam menghormat
kami. Biasa-biasa saja. Percuma jika mulut dan sikap menghormat tapi batin tidak
menghormat. Cukuplah Ki Gendeng bersikap hormat di dalam hati kepada kami,
supaya hubungan kita tidak canggung!"
"Baik kalau memang itu perintah darimu," jawab Ki Gendeng Sekarat.
"Banyak yang ingin kubicarakan berkenaan dengan negeri Puri Gerbang Surgawi itu!
Aku juga ingin bicarakan tentang Siluman Tujuh Nyawa itu! Tapi
seperti apa kata Ki Gendeng tadi, memang sebaiknya kami selesaikan dulu urusan
kami di Pulau Serindu.
Nanti kami baru mampir kemari lagi!"
"Saya setuju dengan rencanamu itu, Suto; Pendekar Mabuk!" kata Ki Gendeng
Sekarat masih agak kaku karena hormat.
Dewa Racun ucapkan kata, "Jaga diri baik-baik, supaya kita bisa satukan kekkk...
kekkk... kekkk...."
"Wah, macet lagi dia!" pikir Hantu Laut.
"Kkek... kekkkuatan... kekuatan kita untuk menyerang Kapal Siluman!"
"Baik. Aku sangat setuju dan tunggu perintah."
Jawaban itu cukup mantap dan tegas. Tapi kelebatan tangan Suto yang ingin
melambai sebagai tanda pamitan membuat Ki Gendeng Sekarat sangat terkejut lagi.
Lalu, dia buru-buru bersujud dan mencium tanah sambil
berteriak, "Ya, ampuun...! Mohon ampun hamba...! Mohon ampun...! Hamba sungguh-sungguh
tidak tahu-menahu!"
"Ada apa lagi dia ini?" tanya Pendekar Mabuk kepada Dewa Racun. Yang ditanya
hanya bengong saja
memperhatikan Ki Gendeng Sekarat bersujud di dekat kaki Suto. Hantu Laut semakin
bingung dan menggaruk-garuk kepalanya yang gundul itu sambil bergumam,
"Tak salah lagi namanya! Memang dia gendeng, barangkali!"
Pendekar Mabuk cepat mengangkat tubuh Ki Gendeng Sekarat dengan sopan, tapi Ki Gendeng
Sekarat tetap bersujud menyembah Suto Sinting.
"Ada apa lagi, Ki Gendeng?"
"Hamba melihat tato di telapak tangan Tuan Pendekar Mabuk! Hamba tahu itu adalah
tanda yang diberikan kepada Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri
Gerbang Surgawi! Hamba akan dipancung oleh Gusti Ratu Kartika Wangi jika tidak
bersujud kepada Tuan Panglima!"
Pendekar Mabuk sebenarnya ingin tertawa keras, tapi takut menyinggung perasaan
Ki Gendeng Sekarat, ia pun ikut-ikutan Dewa Racun, menutup mulut agar tak
lontarkan tawa dalam suara. Kejap berikutnya, Suto segera berikan salam,
"Damai hidupmu, panjanglah umurmu. Bangkitlah, Ki Gendeng Sekarat! Hormatlah
dalam hati saja!" Ki Gendeng Sekarat pun diam. Namun tetap bersujud.
Suto segera memanggilnya, "Ki Gendeng...! Ki Gendeng...!" Terdengar suara ngorok
kecil di balik sujudnya. Pendekar Mabuk pun berkata, "Aduh, tidur lagi!"
* * * 6 BARU saja mereka akan berangkat meninggalkan
Pulau Mayat, tiba-tiba datang serombongan kapal
berbendera biru muda dengan gambar seekor merpati putih dan rembulan kuning.
Kapal utamanya bertiang layar tiga, sedangkan di kanan kirinya terdapat kapal
pengawal bertiang dua, di belakangnya dua kapal lagi bertiang
dua juga, dan di depannya satu kapal berbendera sama dengan tiang layar tunggal. Enam kapal itu bergerak merapat ke
pantai. Ki Gendeng Sekarat tak jadi mengucapkan selamat
jalan kepada rombongan Suto Sinting. Mulutnya hanya ternganga tak keluarkan
bunyi. Matanya memandang lebar ke arah datangnya rombongan kapal berbendera biru
dengan gambar merpati putih dan rembulan kuning.
Apa yang dilakukan Dewa Racun sama dengan apa
yang dialami Ki Gendeng Sekarat. Dewa Racun yang sudah berada di atas perahu,
tertegun bengong dalam senyum keceriaan yang tertahan. Matanya menatap ke arah
rombongan kapal
Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang makin mendekat. Sedangkan Hantu Laut yang juga sudah siap di haluan pun berhenti dari semua
gerakannya. Tak berkedip pandangi datangnya rombongan kapal itu.
Pendekar Mabuk berdiri di samping Ki Gendeng
Sekarat dan melemparkan pandangan matanya ke arah kapal-kapal itu sambil
bergumam dalam tanya yang lirih,
"Siapa mereka, Ki Gendeng" "
"Orang-orang Pulau Serindu," jawab Ki Gendeng Sekarat dengan suara mengambang
karena terpaku melihat sesuatu yang tak pernah diduga-duga itu.
Pendekar Mabuk tersentak kaget, lalu cepat pandangi wajah Ki Gendeng Sekarat.
"Maksud Ki Gendeng,
mereka orang-orang Puri Gerbang Surgawi" "
Sebelum Ki Gendeng Sekarat menjawab, Dewa
Racun telah serukan suaranya dari atas perahu.
"Merr... mmeer... mereka datang! Mereka kemari, Suto!"
Wuuttt...! Orang kerdil itu sentakkan kakinya dan tubuhnya melenting di udara,
tahu-tahu sudah berada di depan Pendekar Mabuk.
"Nyai... Nyai Gusti Mahkota Sejati datang, Suto!"
"Dyah Sariningrum, maksudmu"!"
"Betul! Kapal bertiang lila... layar tiga itu adalah kapal khusus untuk
perjalanan beliau! Aaaku... aku yakin beliau ada di kapal itu!"
Ki Gendeng Sekarat cepat menyahut, "Bukankah Nyai Gusti Mahkota Sejati sedang
dalam pengaruh pukulan 'Candra Badar'"!"
"Sssse... sse... setahuku memang begitu. Tap... tapi kapal Sasangga Seto itu
tidak akan berlayar jika bukan membawa Nyai Gusti Mahkota Sejati!" kata Dewa
Racun. Wajahnya sedikit tegang, antara gembira dan curiga. Tetapi wajah Ki
Gendeng Sekarat jelas-jelas curiga, sehingga tiada seulas senyum pun di bibir
orang tua itu. Suto sendiri mengucap kata lirih, "Apa yang terjadi di sana, sehingga ratu
tinggalkan tempat dalam keadaan terancam pukulan 'Candra Badar'"!"
Pendekar Mabuk justru kelihatan gelisah. Teringat pukulan 'Candra Badar' yang
dihantamkan ke tubuh Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi
yang ada di Pulau Serindu. Pukulan itu bisa membuat orang yang menderitanya akan
hangus terbakar jika terkena sinar matahari, sinar rembulan, bintang, kunangkunang, dan apa saja yang bersifat sebagai cahaya alam.
Siluman Tujuh Nyawa sengaja melancarkan pukulan
itu kepada Dyah Sariningrum untuk memenjarakan ratu cantik jelita itu agar tidak
bisa ke mana-mana, dan hidupnya dalam ketergantungan terhadap Siluman Tujuh
Nyawa. Hal itu dilakukan karena Siluman Tujuh Nyawa berkeinginan
besar untuk memperistri Dyah Sariningrum. Tetapi lamarannya selalu ditolak.
Pukulan 'Candra Badar' itu tidak bisa lepas dari tubuh Dyah Sariningrum jika
bukan Durmala Sanca atau
Siluman Tujuh Nyawa yang melepaskannya. Sedangkan Dyah Sariningrum sudah
telanjur jatuh cinta dengan Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak yang bernama Suto
Sinting. Mereka memang belum pernah bertemu secara nyata, tapi mereka pernah
bertemu di alam semadi Suto, hingga Pendekar Mabuk mencucurkan air mata berdarah
di luar kesadarannya. Itu pertanda Pendekar Mabuk adalah calon jodohnya Dyah
Sariningrum (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Untuk selanjutnya, mereka sering jumpa lewat mimpi.
Sampai suatu ketika, Dyah Sariningrum mengutus Dewa Racun untuk mencari pemuda
tanpa pusar yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk.
Dyah Sariningrum sendiri sebenarnya anak dari ratu penguasa alam gaib yang
beraliran putih, yaitu Gusti Ratu Kartika Wangi. Dyah Sariningrum mempunyai
seorang kakak, guru di Perguruan Merpati Wingit, yaitu Nyai Betari Ayu.
Perempuan ini pun sebenarnya jatuh cinta
kepada Suto, tetapi demi mendengar Suto memburu cintanya kepada Dyah Sariningrum, akhirnya Betari Ayu mengundurkan diri,
tapi masih tanamkan kasih sayang kepada Pendekar Mabuk. Kini Betari Ayu
mengasingkan diri untuk menjadi seorang pertapa di Gunung Kundalini. (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di Bukit Jagal" dan "Utusan
Siluman Tujuh Nyawa").
Perjalanan Pendekar Mabuk menuju Pulau Serindu
itulah yang menciptakan berbagai petualangan, di mana Dewa
Racun selalu berada di samping Suto, mendampingi calon suami ratunya itu. Kesetiaan Dewa Racun sebagai utusan yang
jujur dan penuh pengabdian itulah yang membuat Ratu Kartika Wangi memberikan
gelar kehormatan kepadanya sebagai Duta Terpuji, dan ia berhak mendapat tanda
merah di dahinya sebagai orang yang harus dihormati oleh rakyat Puri Gerbang
Surgawi di alam gaib. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu
Wajah"). Sebenarnya setelah singgah di Pulau Mayat lantaran badai lautan mengamuk, Suto
dan rombongannya akan bertolak ke Pulau Serindu untuk membebaskan Dyah
Sariningrum dari pengaruh pukulan 'Candra Badar', sekaligus menyerahkan Kitab
Wedar Kesuma yang
menjadi salah satu permintaan Dyah Sariningrum untuk mas kawinnya nanti. Tetapi
mengapa sekarang Gusti Ratu Mahkota Sejati itu keluar meninggalkan negerinya
dalam keadaan masih terkena pengaruh pukulan 'Candra Badar'" Mungkinkah Durmala
Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa telah membebaskan pengaruh pukulan 'Candra Badar'
itu" Atas dasar apa ia melepaskan pengaruh pukulan yang menjerat hidup seseorang
yang diincarnya selama ini" Mungkinkah Dyah Sariningrum telah
memberikan kesuciannya kepada Durmala Sanca sebagai tebusan untuk lepasnya
pukulan 'Candra Badar'"
Hati kecil Suto Sinting mengatakan, bahwa itu tak mungkin. Dyah Sariningrum
selalu menjaga kesucian mahkotanya. Usianya yang sudah jauh lebih banyak dari
Suto dan tetap kelihatan muda serta cantik itu, ternyata masih belum kehilangan
kesuciannya, sehingga ia
mendapat julukan sebagai Gusti Ratu Mahkota Sejati.
Dia masih gadis, dan kegadisannya itu akan dipersembahkan kepada orang yang paling dicintainya, yaitu Pendekar Mabuk.
Dewa Racun berseru kegirangan ketika bertemu
dengan kapal terdepan yang dipimpin oleh seorang perempuan
cantik berpakaian biru sisik emas. Perempuan itu adalah si Cakar Jatayu. Jika Dewa Racun adalah orang ketujuh
kepercayaan Dyah Sariningrum, maka si cantik bermata sayu Cakar Jatayu itu
adalah orang kedua kepercayaan Dyah Sariningrum. Ada pun orang kepercayaan Gusti
Mahkota Sejati yang pertama adalah Cendana Wilis, yang memegang pusaka Pedang
Kayu Cendana sebagai pengawal pribadi Ratu Mahkota Sejati.
Kapal-kapal itu kini merapat, tapi tak bisa sampai di
tepian pantai. Beberapa orangnya turun, mengawal sebuah peti dari lapisan logam
emas berukir yang digotong memakai tandu beratap lengkung. Sebuah
payung kerajaan mendampingi peti berlapis emas,
menaungi peti tersebut. Peti panjang itu digotong oleh enam prajurit berseragam
putih-putih dengan hiasan benang emas pada bagian tepinya.
Ki Gendeng Sekarat menerima rombongan itu dengan keramahan dan rasa penuh
hormatnya, ia orang yang paling sibuk mengatur barang-barang dan tempat untuk
mereka. Tapi lebih dulu Cakar Jatayu berbicara dengan Ki Gendeng Sekarat, yang
di belakangnya berdiri Suto dan Hantu Laut. Sedangkan Dewa Racun mendampingi
Cakar Jatayu sebagai penghubung antara orang-orangnya ratu dengan pihak Ki
Gendeng Sekarat dan Pendekar Mabuk. Dewa Racun pula yang memperkenalkan
Pendekar Mabuk kepada si Cakar Jatayu, dan membeberkan siapa Hantu Laut yang sekarang ini,
sehingga orang-orangnya ratu tidak memusuhi Hantu Laut.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Cakar Jatayu?" tanya Ki Gendeng Sekarat setelah
Cakar Jatayu memberi
hormat kepada Suto Sinting, karena ia melihat tanda merah di dahi Suto dan Dewa
Racun. "Durmala Sanca mengerahkan orang-orangnya,
menyerbu Pulau Serindu dan membantai dengan kejamnya!" jawab Cakar Jatayu. "Peristiwa pembantaian itu persis seperti yang ia
lakukan terhadap penduduk Pulau Mayat ini dulu. Kami terdesak, dan kami cepat
melarikan ratu dengan menempatkan sang ratu di dalam peti kedap cahaya."
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya, "Lalu, bagaimana keadaan di Pulau Serindu saat ini?"
"Dibumi-hanguskan oleh Siluman Tujuh Nyawa!"
jawab Cakar Jatayu dengan rona duka tertahan.
"Keterlaluan!" Suto Sinting menggeram dengan jantung berdetak keras, ia cepat
kuasai diri untuk tidak melepaskan amarah sembarangan, karena ia ingat bahwa
napasnya akan menjadi badai jika ia marah, sebab ia menelan Pusaka Tuak Setan.
Ki Gendeng Sekarat berkata, "Jika begitu, sebaiknya cepat bawa Ratu Gusti
Mahkota Sejati ke dalam guaku.
Sembunyikan beliau di dalam gua itu! Sementara yang lainnya bisa menempati gua
sebelah utara untuk
sementara waktu. Gua itu berhubungan dengan gua
mayatku!" "Jadi, kau izinkan kami mengungsi kemari?"
"Ya! Ini sudah menjadi kewajibanku, Cakar Jatayu!"
Hantu Laut ikut membantu menurunkan barangbarang Ratu Gusti Mahkota Sejati dari kapal. Mulanya ia sempat diserang oleh
empat prajurit ratu karena
dianggap orangnya Siluman Tujuh Nyawa. Tapi pertikaian itu segera dipadamkan oleh Cakar Jatayu dan Dewa Racun.
Ki Gendeng Sekarat mengeluarkan semua mayatmayatnya untuk menjaga pantai. Sementara itu, peti berlapis emas yang kedap
sinar diletakkan di sebuah ruangan tak jauh dari ruang arena yang dipakai
pertarungan Suto dengan Gendeng Sekarat itu.
Di dalam kamar yang berpenerangan delapan obor
itu, Cendana Wilis mengizinkan para bawahannya
membuka peti tempat persembunyian ratu. Waktu itu, Pendekar Mabuk sedang
berbicara dengan Cakar Jatayu di tepian arena berbentuk bundar itu. Arena
tersebut dipersiapkan
oleh Ki Gendeng Sekarat untuk mengumpulkan para mayat yang akan diajak menyerbu Siluman Tujuh Nyawa. Tapi
karena jumlah tentara
mayatnya belum memenuhi syarat, maka tempat itu
belum digunakan sebagaimana mestinya, kecuali untuk melatih
diri Ki Gendeng Sekarat sendiri dalam merangkaikan ilmu-ilmunya.
"Apakah Durmala Sanca ikut terjun langsung dalam pembantaian itu?" tanya
Pendekar Mabuk kepada Cakar Jatayu.
"Tidak. Dia hanya ada di atas kapal dan memberi perintah kepada para anak
buahnya." "Apa yang menjadi penyebab utama sehingga ia membumihanguskan Pulau Serindu?"
Dengan mata sayu, Cakar Jatayu menjawab,
"Cendana Wilis memotong telinga utusan dari Kapal Siluman yang menyampaikan
Kitab Wedar Kesuma
palsu kepada Gusti Ratu."
"Ooo...!" Suto manggut-manggut, tangannya masih bersidekap di depan dadanya yang
kekar dan bidang itu.
"Kudengar juga kabar dari mulut ke mulut," lanjut Cakar Jatayu, "Siluman Tujuh
Nyawa sangat murka dan sakit hati karena pengawal pribadinya yang diutus ke
Pulau Beliung lenyap di tanganmu!"
"Hei, dari mana dia tahu hal itu?"
"Dia mengikuti perjalanan kedua pengawal kembarnya itu melalui pusaka yang dimilikinya, yaitu sebuah perisai bercermin
yang dinamakan Perisai Mata Iblis. Kini dia sudah melihat sendiri seperti apa
wujud dan rupa orang yang bernama Pendekar Mabuk."
"O, begitu rupanya" Jadi dia sekarang juga tahu kalau aku ada di sini?"
"Tidak," jawab Cakar Jatayu. "Menurut cerita ratu, Cermin Perisai Mata Iblis
hanya bisa dipakai oleh orang yang membawa Cermin Benggala Kembar. Karena dua
utusannya itu membawa pusaka Cermin Benggala
Kembar, maka dia dapat memantau perjalanannya,
sampai matinya di tanganmu!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin
Pemburu Nyawa").
Ki Gendeng Sekarat muncul dari salah satu lorong, segera menemui Suto Sinting
dan Cakar Jatayu. Dengan sangat sopan dan hormat, Ki Gendeng Sekarat menyela
Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
percakapan tersebut.
"Ratu ingin bertemu denganmu, Suto. Beliau ingin bicara di sini saja! Apakah kau
keberatan?"
"Tidak! Tapi tolong tutup atap ruangan ini supaya tidak ada sinar alam yang
masuk!" "Baik. Akan kulakukan untuk merapatkan semua lubang cahaya!" kata Ki Gendeng
Sekarat, tapi sebelum ia melangkah, kepalanya terkulai, bibirnya sedikit memble,
suara dengkurnya yang kecil samar-samar
terdengar. "Hmmm... tidur lagi dia," gerutu Suto dalam gumam.
Cakar Jatayu sunggingkan senyum geli melihat Ki
Gendeng Sekarat berjalan sambil tertidur. Buat Cakar Jatayu, pemandangan seperti
itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Semua orangnya ratu tahu bahwa Ki Gendeng
Sekarat adalah tokoh berilmu tinggi yang tak pernah bisa menahan kantuk yang
menyerangnya secara tiba-tiba.
Cakar Jatayu memeriksa ruangan itu. Dua puluh obor menerangi tempat tersebut,
karena atap berlubang dengan bentuk cerobong gunung berapi itu telah ditutup
oleh Ki Gendeng Sekarat dengan segumpal awan hitam yang tak bisa ditembus cahaya
matahari. Ruangan itu sangat rapat dari cahaya alam.
Cakar Jatayu juga memeriksa tempat duduk ratu yang ada di tengah lantai bundar
dari marmer putih itu.
Singgasana itu sempat dibawa dari Pulau Serindu dan dipindahkan ke dalam gua
tersebut. Dua orang gadis cantik bagian pengipas sudah siap di kanan kiri tempat
duduk ratu. Beberapa orang yang termasuk pejabat istana sudah mengelilingi
ruangan itu. Suto tetap menyandang bumbung tuak di pundaknya, ia berdiri di tepian lantai
bundar itu, tiga langkah di samping Cakar Jatayu. Kejap berikutnya, Gusti Ratu
Mahkota Sejati; Dyah Sariningrum keluar dari sebuah lorong tempat kamarnya.
Kemunculannya didampingi oleh seorang wanita cantik berpakaian kuning emas
mengkilap dan ketat, dengan rompi putih beludru berhias emas pula di tepiannya.
Rambutnya panjang berponi, matanya bulat bening menambah kecantikannya. Orang
itulah yang menjadi pengawal pribadi ratu, yang dikenal dengan
nama Cendana Wilis. Di punggungnya tersandang pusaka
Pedang Cendana yang baunya menyebar harum di setiap sudut ruangan tersebut.
Pendekar Mabuk sedikit gemetar kakinya ketika
melihat Dyah Sariningrum melangkah menuju singgasana. Mata perempuan cantik jelita berkharisma tinggi itu tiada berkedip
menatap ke arah Suto. Bibir mungilnya
yang indah bak kuncup melati itu sunggingkan senyum tipis berkesan malu-malu. Pendekar Mabuk jantungnya berdegup cepat, dadanya bergemuruh dicekam kegembiraan
dan kebahagiaan
yang selama ini hanya menjadi buah impian belaka.
Gusti Ratu Mahkota Sejati tampak anggun dan amat mengagumkan mata lelaki yang
memandangnya. Dia
mengenakan pakaian mirip Betari Ayu, kakaknya. Jubah kuning dengan pakaian dalam
warna biru muda dari bahan mengkilap dan lembut, ia mengenakan mahkota pada
rambutnya yang disanggul indah itu. Sebuah
kalung yang bernama Sangsangan Susun dikenakannya, yaitu kalung emas bertaburan
intan berlian bersusun tiga.
Kalung Sangsangan Susun merupakan tanda bahwa
pemakainya masih gadis. Di samping itu ia juga tampak mengenakan cincin ungu
bening yang dinamakan
Delima Wulung. Konon cincin itu jika dimasukkan ke dalam kolam, maka air kolam
bisa berubah menjadi bayangan suatu kehidupan dari orang yang dikehendaki.
Melalui cincin Delima Wulung itulah Dyah Sariningrum sering memperhatikan
kehidupan Suto Sinting jika
hatinya sedang dicekam rindu.
Semua pejabat istana yang ada di situ segera
tundukkan kepala menghormat Gusti Ratu Mahkota
Sejati, termasuk Cakar Jatayu dan Pendekar Mabuk sendiri. Lalu, Gusti Ratu
segera ucapkan kata,
"Damaiku adalah damai kita bersama!"
Setelah ratu ucapkan salam begitu, hormat mereka pun selesai. Mereka kembali
tegak, termasuk Cakar Jatayu dan Pendekar Mabuk. Mata Dyah Sariningrum cepat
alihkan pandang ke arah Suto, dan ia berkata dengan suara lembutnya,
"Lain kali kau tak perlu tundukkan kepala seperti mereka, Suto!"
"Mengapa?" tanya Pendekar Mabuk polos saja.
"Karena kau termasuk orang yang seharusnya juga memberi berkat dalam salammu
untuk mereka. Bahkan kedudukanmu
sebetulnya lebih tinggi dari kedudukanku."
Pendekar Mabuk bingung dengan berkerut dahi, lalu ajukan tanya, "Mengapa saya
lebih tinggi dari Gusti Ratu?"
"Dekatlah kemari, akan kujelaskan...!" walau gemetar kakinya, Suto pun segera
mendekati sang ratu.
"Bukalah telapak tanganmu yang kanan dan perlihatkan kepada mereka," kata sang ratu. Suto pun melakukannya,
membuka telapak tangannya dan dihadapkan kepada mereka.
Ternyata mereka semua terperanjat kaget, kemudian buru-buru mereka tundukkan
kepala memberi hormat
secara serempak. Pendekar Mabuk tak segera memberikan salam kepada mereka, ia malah bertanya,
"Mengapa Cakar Jatayu dan Cendana Wilis ikut hormat kepadaku?"
"Kau seorang panglima, dan kau adalah Manggala Yudha Kinasih yang diangkat resmi
oleh ibuku, Nyai Ratu Kartika Wangi! Mereka kenal betul dengan tato di tanganmu
itu; Suto!"
Dyah Sariningrum segera berdiri dan membungkukkan badan menghadap Pendekar Mabuk
sambil berkata,
"Kau lebih tinggi derajat kedudukannya dibandingkan dengan aku dan Kakak Betari
Ayu. Karena kami,
sebagai anak Ibu Kartika Wangi, tak bisa menjadi Manggala Yudha Kinasih dari
negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam hening."
"Ooo... begitu," Suto manggut-manggut seperti orang pongah, ia tidak segera
ucapkan salam berkat, sehingga mereka masih tetap menunduk tak berani tegakkan
diri. Bahkan di tepian lorong menuju kamar ratu, tampak pula Dewa Racun yang ikut
membungkuk memberi hormat
kepada sang Manggala Yudha Kinasih.
Karena lamanya Suto tertegun memandangi sekelilingnya, maka ratu pun berbisik, "Lekas ucapkan salam berkatmu, Suto...!"
Dasar sinting, Suto meneguk tuaknya sebentar,
setelah itu baru berkata, "Damai hidupmu, panjanglah umurmu...!"
Barulah mereka tegakkan badan sambil menghembuskan napas lega.
* * * 7 RUPANYA Ratu Kartika Wangi punya pertimbangan
lain. Ia tahu, Pendekar Mabuk akan menjadi suami dari anaknya
yaitu Dyah Sariningrum. Padahal Dyah Sariningrum adalah seorang ratu yang dihormati oleh semua rakyatnya, sedangkan
Suto tidak mempunyai
jabatan apa-apa. Jika Suto telah menikah dengan Dyah Sariningrum maka ia berada
di bawah kekuasaan
istrinya. Ratu Kartika Wangi tak ingin kedudukan Suto lebih rendah dari istrinya. Tak baik
untuk hubungan suami-istri jika sang istri mempunyai kedudukan lebih tinggi dari
suami, sehingga sang istri akan kurang hormat kepada sang suami. Sebab itu, Ratu
Kartika Wangi tingkatkan kedudukan derajat Pendekar Mabuk dengan mengangkatnya
sebagai Manggala Yudha Kinasih,
panglima pilihan sang ibu yang menguasai negeri gaib, yang kedudukannya lebih
tinggi dari seorang ratu di alam nyata. Dengan begitu, kelak Dyah Sariningrum
punya rasa hormat kepada suaminya dan tidak meremehkan sang suami karena merasa sebagai ratu.
Pendekar Mabuk baru tahu, apa alasan utama Ratu
Kartika Wangi mengangkatnya sebagai Manggala Yudha Kinasih. Dyah Sariningrum
sendiri yang membeberkan
alasan sang ibu tersebut pada waktu Suto selesai menghilangkan pengaruh kekuatan
pukulan 'Candra
Badar'. Pukulan penjerat hidup Dyah Sariningrum. Suto Sinting menoreh
kedua jempol tangannya hingga mengeluarkan darah, dan kedua jempol tangan Dyah Sariningrum pun ditorehnya pula
hingga keluarkan sedikit darah.
Mereka duduk bersila berhadapan. Kedua tangan
mereka saling merapat berhadapan. Bekas luka di jempol masing-masing saling
merapat, sehingga
terjadilah pertukaran darah sebagian kecil dalam diri mereka.
Darah Suto masuk ke tubuh Dyah Sariningrum, dan
darah Dyah Sariningrum sendiri masuk sebagian ke dalam tubuh Suto. Pada saat
penukaran itu, Suto
mengalirkan hawa murni dari dalam tubuhnya dan
semburkan darah Tuak Setan yang digunakan untuk
melenyapkan kekuatan pukulan 'Candra Badar'. Dengan sentakan darah Tuak Setannya, maka kekuatan pukulan
'Candra Badar' di dalam darah Dyah Sariningrum
menjadi lenyap dan tawar.
"Sekarang kau bebas pergi ke mana saja," kata Pendekar Mabuk dengan menyeka
keringatnya yang
mengucur di sekujur tubuhnya akibat cara pengobatan tersebut.
"Aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu," kata Dyah Sariningrum. Ia
sendiri yang mengambil kain halus sebagai penyeka tubuh, dan ia sendiri yang
membantu mengeringkan keringat Pendekar Mabuk dengan sentuhan lembut dan penuh
kemesraan. "Berterima kasih itu mudah," kata Suto, "Tapi membina kasih itu yang sulit!"
Dyah Sariningrum sunggingkan senyumnya di depan
Suto. Hati Suto berbunga melihat senyum berlesung pipit yang luar biasa
cantiknya itu. Namun Pendekar Mabuk masih bisa kendalikan diri untuk memendam
kegembiraan yang semestinya melonjak seperti anak kecil menerima hadiah dari
orangtuanya. "Aku sudah membawa Kitab Wedar Kesuma sebagai mas kawin untukmu!" ujar Pendekar
Mabuk setelah beberapa saat lamanya mereka saling beradu pandang.
"Kitab Wedar Kesuma"! Dari mana kau tahu aku menghendaki mas kawin kitab milik
ayundaku Betari Ayu itu?"
"Dewa Racun menceritakan padaku tentang mas kawin yang kau ajukan kepada Siluman
Tujuh Nyawa, yaitu sebuah kitab pusaka Wedar Kesuma dan satu hal lagi... mungkin
kepalanya Suto Sinting!"
Dyah Sariningrum tertawa pelan. "Aku hanya mempersulit dia!"
"Tapi kau memang membutuhkan kitab ini, karena aku tahu apa maksudmu meminta
Kitab Wedar Kesuma sebagai salah satu dari mas kawinmu! Dewa Racun
menceritakan segalanya kepadaku!"
Dyah Sariningrum tersenyum bangga ketika menerima Kitab Wedar Kesuma dari tangan Suto
Sinting. Di dalam kitab itu selalu tercatat dengan sendirinya semua jurus temuan
dan ciptaan dari Betari Ayu dan Dyah Sariningrum. Tetapi Dyah Sariningrum
tidak tahu bahwa di dalam kitab itu pun tercatat dengan sendirinya semua jurus
Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang digunakan Pendekar Mabuk menyerang
lawannya selama Pendekar Mabuk membawa kitab itu yang terselip di punggungnya.
Dyah Sariningrum yang bangga itu pun berkata, "Aku sangat bangga bisa bertemu
dengan calon suamiku dan menerima kitab ini...."
"Baru kitab ini yang bisa kuberikan sebagai tanda cintaku padamu, Dyah
Sariningrum. Untuk permintaan yang satunya lagi, yaitu kepala Suto Sinting, aku
belum sanggup!" canda Suto.
Dyah Sariningrum hanya
tertawa kecil sambil berkata, "Bagaimana jika diganti kepala siluman saja?"
"Kurasa itu bukan mas kawin, tapi memang kewajibanku memenggal kepalanya!"
"Baiklah jika begitu! Kita akan menikah setelah kau berhasil memenggal kepala
Siluman Tujuh Nyawa!"
"Akan kulakukan secepatnya, supaya lengkap sudah mas kawinku!"
"Kuharap kau sendiri yang melakukannya! Bukan orang lain!"
"Aku mengerti harapanmu, dan aku ingin buktikan bahwa aku tak akan kecewakan
harapanmu! Karena aku merasa, dengan menyerahkan kepala Siluman Tujuh
Nyawa, berarti aku telah menyerahkan kedamaian untuk masa hidupmu, rakyatmu dan
sesamamu!"
"Tak ada yang lebih pantas diterima Siluman Tujuh Nyawa kecuali penggalan
kepala!" "Aku akan menantangnya bertarung!"
"Hati-hati...
aku tak harapkan kepalamu yang terpenggal!"
Cendana Wilis beranikan diri menemui ratu dan Suto.
Wajahnya tampak tegang walau tetap berkesan tenang.
Ratu Gusti Mahkota Sejati segera kerutkan dahi melihat sesuatu
Pedang Berkarat Pena Beraksara 13 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Cinta Bernoda Darah 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama