Ceritasilat Novel Online

Prahara Pulau Mayat 3

Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat Bagian 3


tak beres tercermin di wajah pengawal pribadinya, "Ada apa, Cendana Wilis?"
"Kapal kita hilang semua, Gusti Ratu!" jawab Cendana Wilis.
Ratu terperanjat dan menatap Pendekar Mabuk.
Tetapi, Suto justru sunggingkan senyum dan berkata,
"Tak perlu kau cemaskan, Cendana Wilis! Aku yang menghilangkan semua kapal
dengan jurus 'Sembur
Siluman'-ku!"
"Kenapa hal itu kau lakukan, Suto?"
"Supaya orang-orang Siluman Tujuh Nyawa tidak ada yang melihat kapal kita
berlabuh di pulau ini, sehingga mereka akan kehilangan jejak!"
Dyah Sariningrum segera hembuskan napas lega.
Tapi Cendana Wilis masih tampak gelisah dan cepat ucapkan kata,
"Tapi di luar ada yang menyerang mayat-mayat prajuritnya Ki Gendeng Sekarat,
Gusti Manggala!"
Suto yang dipanggil Gusti Manggala Kinasih jadi
kerutkan dahi, dan cepat bertanya,
"Siapa orang yang mengamuk itu?"
"Saya belum jelas, Gusti Manggala!"
"Cakar Jatayu apakah tidak bisa meredakan amukan
orang itu?"
"Cakar Jatayu terkena pukulan berbahaya dan ia menjadi lumpuh tanpa daya, Gusti
Manggala!"
Suto cepat palingkan pandang ke arah Dyah Sariningrum. Ratu nampak makin gelisah, lalu cepat berkata,
"Aku akan temui orang itu!"
"Jangan!" cegah Suto. "Diamlah di tempat bersama Cendana Wilis! Biar aku yang
tangani orang itu!"
Orang yang sudah berhasil menghancurkan dua
mayat tentaranya Ki Gendeng Sekarat itu berambut putih dikonde di tengah kepala.
Jenggotnya panjang dengan kumis tebal warna putih pula. Usianya setara dengan
usia Ki Gendeng Sekarat. Orang itu mengenakan
pakaian model biksu berwarna putih, bertubuh kurus tapi masih kelihatan lincah
dan gesit, membawa tongkat kayu bercabang yang diambil dari sembarang kayu di
tengah perjalanannya. Orang itu tak lain adalah Jangkar Langit, pemilik Pusaka
Tombak Maut, yang hilang dicuri dan dibawa lari oleh Tapak Baja bersama Hantu
Laut. Bahkan Jangkar Langit sendiri pernah berhadapan
dengan Hantu Laut setelah tombak itu akhirnya direbut oleh Hantu Laut dari
tangan Tapak Baja dengan
membunuh Nakhoda Kapal Neraka itu. Pada waktu itu, Hantu Laut unggul karena ia
memegang Pusaka Tombak Maut. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pusaka Tombak Maut").
Jangkar Langit menghancurkan dua mayat setelah ia merubuhkan Hantu Laut yang
dibela oleh Cakar Jatayu.
Perempuan bermata sayu indah itu pun akhirnya terkena pukulan berat dari Ki
Jangkar Langit. Lehernya membiru legam dan susah dipakai untuk bicara atau
bernapas. Sedangkan Hantu Laut sendiri dibuat lumpuh tak
berdaya dengan menderita kebutaan di matanya.
Amukan Jangkar Langit itu segera diredakan oleh Ki Gendeng Sekarat sebelum
kedatangan Pendekar Mabuk di tempat pertarungan mereka, pinggiran pantai. Ki
Gendeng Sekarat mencoba menenangkan hati teman
lamanya itu, "Jangkar Langit, tidak semua persoalan bisa diselesaikan dengan kekerasan! Ada baiknya jika kau redakan kemarahanmu dan kita
bicarakan secara baik-baik!"
"Aku tak punya kesempatan untuk bicara!" kata Ki Jangkar Langit yang masih ingin
menggempur Hantu Laut untuk mendapatkan tombak pusakanya itu. Sebab setahu dia,
Hantu Laut-lah yang membawa pusaka itu. Ia belum tahu bahwa pusaka itu sudah
dilenyapkan oleh Pendekar Mabuk dengan jurus 'Sembur Siluman'-nya.
"Aku tahu, kau orang yang sabar, Jangkar Langit!
Aku percaya, kau orang yang bisa diajak bicara!"
"Untuk merebut tombak pusakaku, aku bukan orang yang bisa diajak bicara!
Kembalikan tombakku, atau mati orang itu!" tegas Ki Jangkar Langit.
Ki Gendeng Sekarat mencoba untuk tersenyum dan
tampakkan sikap bijaknya. Ki Gendeng Sekarat merasa perlu melindungi Hantu Laut,
karena menurut anggapan, Hantu Laut adalah anak buah Suto Sinting. Rasa
hormatnya kepada Pendekar Mabuk itulah yang membuat Ki Gendeng Sekarat menahan kemarahan
Jangkar Langit kepada Hantu Laut.
"Sekali lagi aku berharap padamu, Jangkar Langit...
redakan amarahmu dan mari kita bicarakan secara baik-baik!"
"Tak bisa! Sebaiknya menyingkirlah dari hadapanku, Gendeng Sekarat! Jangan kau
halangi aku menggempur si botak keparat itu!"
"Ini pulau kekuasaanku, Jangkar Langit. Kau tak berhak usir aku dengan cara apa
pun! Tapi aku berhak mengusirmu untuk cepat tinggalkan pulauku!"
"O, jadi sekarang kau memihak anak buah Durmala Sanca itu?"
"Aku bukan memihak! Aku hanya berdiri sebagai penengah saja!"
"Kalau kau sebagai penengah, berarti kau telah menghalangi
langkahku untuk merebut tombak pusakaku dari tangan setan gundul itu!"
"Kalau aku menjadi penghalangmu, lantas kau mau apa"!" kata Ki Gendeng Sekarat
mulai kehilangan kesabarannya.
"Aku tak akan gentar mendengar tantangan halusmu ini, Gendeng Sekarat! Demi
memperoleh pusakaku
kembali, aku tak keberatan jika persahabatan kita menjadi putus sampai di sini!"
"Kalau itu maumu, aku pun tak akan keberatan kehilangan nyawa seorang sahabat!"
"Jika begitu, lepaskanlah ilmu totokmu yang kau
salurkan melalui suaramu ini! Biarkan aku bergerak melawanmu, Gendeng Sekarat!"
Beberapa prajurit ratu yang memperhatikan pertarungan itu menjadi terperangah. Mereka baru tahu, bahwa Ki Jangkar Langit
sejak tadi berdiri dengan kaki rapat dan tangan berada di belakang dan yang kiri
berada di samping memegangi tongkatnya, bukan karena
sekadar diam biasa, melainkan karena telah ditotok jalan darahnya melalui suara
Ki Gendeng Sekarat. Tenaga dalam itu disalurkan lewat ucapan dan suara Ki
Gendeng Sekarat yang mampu membuat lawannya diam tak
bergerak bagaikan patung.
Sebuah ilmu yang jarang dilihat oleh para prajurit ratu selama ini. Dalam hati
mereka timbul rasa kagum dan pujian yang tinggi untuk Ki Gendeng Sekarat. Dan
anehnya lagi, sekarang Ki Gendeng Sekarat justru tundukkan kepala dengan
terkulai dan bibirnya sedikit ternganga kendor. Itu pertanda dia tertidur
nyenyak hingga mengeluarkan dengkur pelan yang samar-samar.
"Hmm...! Rupanya dari dulu kau belum bisa atasi penyakit tidurmu itu, Gendeng
Sekarat!" kata Jangkar Langit.
"Memang belum!" jawab Ki Gendeng Sekarat sambil tetap tertidur. "Tapi buatku itu
tak masalah. Karena menahan kantuk itu lebih sulit daripada menahan amarah diri
sendiri!" "Percuma kau bilang begitu kalau tak bisa menahan nafsu kantukmu sendiri!"
"Percuma juga kau bilang begitu kalau kau tak bisa
lepaskan daya totokku"!" ejek Ki Gendeng Sekarat dengan suara sumbang, seperti
malas-malasan bicaranya.
Jangkar Langit merasa diremehkan, ia menggeram
gemas. Kemudian ia pejamkan mata pula dengan kepala tetap tegak tak tertunduk.
Kedua orang tua itu seperti saling
tidur dalam keadaan berdiri. Tapi kejap berikutnya, Ki Gendeng Sekarat tiba-tiba memekik sambil melonjak,
"Aaauh...!"
Pekikan itu keras, dan akibatnya totokan jalan darah Jangkar Langit pun lepas.
Kini Jangkar Langit bebas bergerak kembali, karena ia telah memancing suara Ki
Gendeng Sekarat agar disentakkan bersama tenaga
dalam penotok darahnya, dengan cara menghantam ulu hati Ki Gendeng Sekarat
melalui sentakan batin.
Jangkar Langit tidak cepat menyerang Ki Gendeng
Sekarat yang membuka mata sebentar dan terkantuk lagi itu. Tetapi, Hantu Laut
yang sedang menahan rasa sakit di bawah sebuah pohon itulah yang segera diserbu
oleh Jangkar Langit, ia melesat bagaikan menghilang dari tempatnya. Tetapi ia
sama sekali tak menduga bahwa begitu ia tiba di depan Hantu Laut yang buta
matanya itu, ternyata Ki Gendeng Sekarat sudah mendahului menghadang di
depannya. Wusttt...! Wuttt...!
"Mau ke mana kau, Jangkar Langit"!" kata Ki Gendeng
Sekarat dengan tetap tertidur dan mengeluarkan dengkur kecil.
"Setan alas! Kau benar-benar mau halangi aku, hah!
Hihh...!" Ki Jangkar Langit menebaskan tongkatnya ke kepala Ki Gendeng Sekarat yang
terkulai tidur. Tapi dengan cepat tongkat itu bisa ditangkis dan ditangkap oleh
tangan Ki Gendeng Sekarat. Tapp....! Lalu, dengan satu sentakan bertenaga dalam
cukup tinggi, tongkat itu didorongkan ke depan. Wuttt...! Tubuh Jangkar Langit
ikut terdorong mundur bagaikan terbang, karena telapak kakinya tidak dipijakkan
ke tanah. Beggh...! Punggung Jangkar Langit menghantam
salah satu batang pohon berdaun rindang. Pohon itu langsung daunnya menjadi layu
karena benturan dengan punggung Jangkar Langit itu dialiri tenaga dalam yang
cukup tinggi. Sambil masih tertidur, Ki Gendeng Sekarat melangkahkan kakinya maju beberapa tindak untuk
mendekati Ki Jangkar Langit. Sementara itu, mereka yang menyaksikan pertarungan
itu semakin dibuat
terpukau, karena para prajurit bawahan itu baru sekarang melihat orang bertarung
dalam keadaan tetap tidur.
Jangkar Langit tetap berdiri di bawah pohon yang habis ditabraknya itu. Lalu ia
ucapkan kata, "Perlukah kita beradu nyawa untuk merebutkan orang keling itu"!"
"Aku hanya melayanimu," jawab Ki Gendeng Sekarat dengan suara sumbang. "Kalau
kau mau adu nyawa, aku siap. Kalau kau mau adu debat, aku juga siap!"
"Baik! Mungkin memang sudah takdir, bahwa kita harus adu nyawa untuk mempercepat
siapa yang harus lebih dulu mati di antara kita berdua, Gendeng Sekarat!"
"Aku sudah siap!" jawab Ki Gendeng Sekarat walau sebenarnya
ia masih tertidur. "Tapi sekali lagi kuingatkan padamu, Jangkar Langit, bahwa tombak itu memang tidak ada pada Hantu
Laut. Tombak itu
menurut ceritanya, sudah dilenyapkan oleh Pendekar Mabuk, murid teman kita
sendiri; si Gila Tuak!"
"Persetan dengan bicaramu! Sudah telanjur di ubun-ubun amarahku padamu, Gendeng
Sekarat! Hiiih...!"
Zlllap...! Sebuah sinar putih melesat dari salah satu cabang pada tongkat Ki
Jangkar Langit. Sinar putih itu cepat menguasai tubuh Ki Gendeng Sekarat. Tubuh
Ki Gendeng Sekarat menjadi berpendar-pendar cahaya
putih yang sebentar lagi akan lenyap, tinggal suara lengkingnya yang menjauh dan
menghilang pula.
Namun sebelum hal itu terjadi, Suto Sinting telah melesat dari atas sebuah
pohon, ia semburkan tuak dari dalam mulutnya. Bruusss...! Tuak itu menyembur ke
tubuh Ki Gendeng Sekarat. Dan tiba-tiba sinar putih itu padam tanpa asap sedikit
pun. Saat itu Jangkar Langit terperanjat hingga membelalakkan matanya. Tak pernah ada orang yang bisa padamkan sinar putih jika
sudah mengenai sasaran.
Tapi sekarang ia merasa menghadapi kenyataan yang sukar dipercaya oleh hati
kecilnya sendiri.
Ki Gendeng Sekarat mengibaskan kepalanya seperti tidurnya disiram oleh air satu
ember. Matanya terbuka lebar dan setengah menggeragap. Ketika ia melihat Suto
sudah ada di sampingnya, ia lebih bingung lagi dan berkata,
"Ada hujankah tadi?"
"Sedikit, Ki! Mundurlah, biar kuhadapi orang itu!"
Ki Jangkar Langit jadi berpikir dua kali menghadapi pemuda berbaju coklat dan
bercelana putih yang telah mampu memadamkan ilmu 'Kejap Netra' itu. Tapi
melihat bumbung tuak di punggungnya, Jangkar Langit segera tahu siapa pemuda
tampan berambut panjang itu.
"Kaukah murid si Gila Tuak?"
"Betul!"
"Pantas kau mampu padamkan ilmu 'Kejap Netra'
ku!" "Supaya tidak timbulkan korban, itu harus saya lakukan," kata Suto bernada
menghormati lawannya yang tua.
"Jika Tombak Maut kau pulangkan di tanganku, maka aku berjanji tak akan


Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

timbulkan korban lebih banyak lagi!"
"Memang saya yang lenyapkan tombak itu, hanya sekadar untuk pengamanan saja.
Bukan untuk saya
miliki sendiri! Sekarang, terimalah Pusaka Tombak Maut ini...!"
Suto maju beberapa tindak mendekati Jangkar Langit dan berbisik, "Jangan pandang
saya, Ki. Biarkan saya kembalikan tombak itu melalui tongkat Jangkar Langit itu!
Jika Jangkar memandang saya, saya sulit mengendalikan jurus 'Jelma Siluman'!"
Ki Jangkar Langit palingkan pandang ke arah Hantu Laut. Suto memandangi tongkat
kayu bercabang itu. Dan tiba-tiba, clappp...! Tongkat kayu itu telah berubah
menjadi tombak berujung taring babi. Jangkar Langit terkejut, dan sempat sangsi.
Tapi setelah ia mencoba untuk menggunakan tombak itu dengan menebaskannya ke
samping, ternyata ada getaran kuat yang diterima oleh telapak tangannya. Itu
pertanda tombak tersebut adalah Pusaka Tombak Maut.
"Terima kasih! Suatu saat akan kubalas kebaikanmu!"
kata Jangkar Langit sebelum tinggalkan Pulau Mayat itu.
* * * 8 CENDANA Wilis terheran-heran kagum melihat
ilmu Pendekar Mabuk. Gerakan terbang Suto saat
semburkan tuak untuk padamkan ilmu 'Kejap Netra' itu membuatnya tak berkedip
sedikit pun. Juga pada saat memunculkan kembali tombak pusaka, juga membuat
mata Cendana Wilis tak mau berkedip sedikit pun. Dari kejauhan dia memandang,
tapi cukup jelas baginya, bahwa Pendekar Mabuk memang layak menyandang
gelar sebagai Manggala Yudha Kinasih. Apalagi ketika ia melihat cara sang
Pendekar Mabuk sembuhkan luka pada diri Cakar Jatayu dan Hantu Laut, yang dengan
hanya meminumkan tuak saja bisa bikin mereka sehat kembali dalam waktu yang
tergolong singkat itu, Cakar Jatayu dan Cendana Wilis lebih kagum lagi kepada
Suto Sinting. Ki Jangkar Langit segera tinggalkan tempat dengan
mulai berlayar menggunakan perahu layar biru, milik anak buah Siluman Tujuh
Nyawa. Cendana Wilis
memperhatikan kepergian orang tua itu yang menurutnya memang tak seimbang ilmunya jika bertarung melawan Cakar Jatayu.
Cendana Wilis tiba-tiba terperanjat kaget ketika melihat seseorang yang
berseragam prajurit sang ratu itu muncul dari samping perahu Ki Jangkar Langit.
Orang yang muncul itu dikenal oleh Cendana Wilis dengan nama Ludiro.
Kemunculannya dari kedalaman air di samping perahu membuat Cendana Wilis curiga,
hingga ia cepat menghubungi Suto dan memberitahukan hal itu sambil menunjuk ke
arah perahu yang siap berlayar itu.
"Saya rasa ada pihak lain yang menginginkan Tombak Maut itu, Gusti Manggala!"
kata Cendana Wilis.
"Hmmm... ya! Kelihatannya begitu!"
Ki Gendeng Sekarat yang waktu itu ada di samping Suto Sinting juga mendengar
ucapan Cendana Wilis dan segera memandangi kepergian Jangkar Langit. Lalu, Ki
Gendeng Sekarat ucapkan kata,
"Biar saja! Orang itu akan mati di tangan Jangkar Langit! Tak mungkin Jangkar
Langit kecolongan lagi pusakanya itu!"
Tetapi, ketika Ludiro melesat timbul dari kedalaman air dan hinggap di buritan
perahu dengan ringannya, Cendana Wilis cepat berlari mendekati tepian pantai.
Kemudian, kelima jari kanannya
menguncup dan disentakkan ke depan seperti seekor ular mematuk
lawannya dari samping. Wesst...! Beggh...!
Pukulan tenaga dalam bernama jurus 'Patuk Kelabang Liar' itu mengenai sasarannya
walau dalam jarak lebih dari dua puluh langkah. Pukulan itu tidak bersinar,
sehingga sulit dilihat oleh lawan. Ludiro yang sedang berdiri hendak melancarkan
pukulan tenaga dalamnya mengarah ke punggung Jangkar Langit, tersentak
seketika dan tercebur ke perairan kembali.
Cendana Wilis cepat berlari pada saat Jangkar Langit palingkan wajah ke
belakang. Cendana Wilis berseru,
"Dia mau membokongmu, Ki Jangkar Langit!"
"Siapa dia?"
"Anak buahku. Maafkan! Tapi kami akan urus dia sesuai hukum kami! Harap jangan
jadikan ini perkara!"
"Lakukan yang terbaik menurut ratumu!" kata Ki Jangkar Langit.
Ludiro segera ditangkap oleh Cendana Wilis, Jangkar Langit segera tinggalkan
tempat. Ludiro diseret dan dihadapkan kepada Suto oleh Cendana Wilis.
"Apa yang harus saya lakukan untuk orang ini. Gusti Manggala"!"
"Buka baju rompinya dan periksa punggungnya!"
Ludiro yang pucat pasi karena habis terkena pukulan
'Patuk kelabang Liar' itu, tak bisa berbuat apa-apa.
Badannya lemas ketika diseret dan dilepas baju rompinya. Pada mulanya, Cendana Wilis hanya merasa tak enak kepada Ki Jangkar Langit jika
ketahuan bahwa Ludiro ingin merebut tombak pusaka tersebut. Setidaknya akan
timbul perselisihan pihak Jangkar Langit dengan pihak sang ratu. Walaupun apa
yang dikatakan Ki Gendeng Sekarat tadi memang benar, bahwa Jangkar Langit akan
bisa mengatasi tindakan Ludiro. Tapi itu akan menimbulkan kesan jelek pada pihak prajurit sang gusti ratu. Sebab itu, Cendana
Wilis cepat bergerak dan menangkap Ludiro sebelum Ki Jangkar Langit yang
melakukannya sendiri.
Tetapi, pikiran Pendekar Mabuk tidak hanya sampai di situ. Ia langsung saja
menaruh curiga kepada Ludiro dan menyuruh periksa tubuh Ludiro. Ternyata di
punggungnya ada tato gambar tengkorak dengan dikelilingi tujuh mata rantai. Itulah simbol yang dimiliki oleh para mata-mata
Siluman Tujuh Nyawa.
"Sudah berapa lama dia menjadi prajurit Puri Gerbang Surgawi?"
"Dua tahun lewat," jawab Cakar Jatayu yang langsung ikut menangani masalah
Ludiro itu. "Berarti sudah dua tahun lewat kalian kemasukan orangnya Durmala Sanca! Mereka
memang pandai menyusup dan mengirim berita melalui hubungan batin!"
"Kurang ajar!" geram Cendana Wilis dan Cakar Jatayu.
Cakar Jatayu berkata, "Pantas orang-orang pilihan ratu, seperti Seruni, Giri
Santi, Kipas Buana dan yang lainnya dibabat habis lebih dulu oleh mereka.
Rupanya mereka sudah mempunyai daftar nama-nama orang
kepercayaan ratu yang menjadi prajurit pilihan!"
"Benar. Dan sekarang tinggal kita berdua ditambah
Dewa Racun!" kata Cendana Wilis. "Jika begitu, saya akan
mengggantungnya
sekarang juga, Gusti Manggala!"
"Jangan!" cegah Pendekar Mabuk yang membuat Cendana Wilis dan Cakar Jatayu
tekejut heran. Bahkan Pendekar Mabuk tambahkan kata,
"Pulangkan dia ke Kapal Siluman!"
"Dia mata-mata, Gusti! Tak bisa kita biarkan perlakuan mata-mata yang sudah dua
tahun lebih bercokol di dalam tubuh kita!" ujar Cendana Wilis dengan sedikit ngotot.
"Dengan maksud apa dia dipulangkan, Gusti Manggala?" tanya Ki Gendeng Sekarat yang sudah mulai sayu matanya, mau tidur
lagi. "Aku mau pinjam tenaganya untuk menyampaikan salamku kepada Siluman Tujuh Nyawa.
Bawa kemari orang yang bernama Ludiro itu!"
Maka, dengan cepat Cakar Jatayu menyeret orang
yang bernama Ludiro itu. Tubuhnya masih lemas akibat pukulan 'Patuk Kelabang
Liar' yang diterimanya dari Cendana Wilis.
Suto segera pandangi wajah orang bertubuh kurus
tapi berdagu lancip itu. Matanya memancarkan kelicikan yang dalam. Suto segera
ucapkan kata kepada Ludiro,
"Ludiro, penyamaranmu sudah terbongkar! Kau mata-mata utusan dari Siluman Tujuh
Nyawa!" "Ya. Memang!" jawab Ludiro tetap berani.
"Kau kujatuhi hukuman mati!"
"Aku tidak peduli!"
Plakk...! Cendana Wilis menampar Ludiro dengan
gerakan tangan yang berkelebat cepat. Tamparan itu disertai lepasnya tenaga
dalam, sehingga wajah Ludiro dalam waktu yang amat singkat menjadi memar
membiru separo wajah. Orang itu hanya menggigit
bibirnya dengan menyipitkan mata menahan rasa sakit di wajahnya.
"Kau kubebaskan, Ludiro!" kata Pendekar Mabuk.
"Pulanglah ke Kapal Siluman dan temui sang ketua!
Katakan kepadanya, saat purnama mendatang, dia
kutunggu di Pulau Padang Peluh! Katakan pula, di sanalah aku membunuh Doma Damu
dengan sangat mudahnya!"
Pendekar Mabuk sengaja memancing kata-kata yang
memerahkan telinga Siluman Tujuh Nyawa jika ucapan yang serupa disampaikan oleh
Ludiro. Tetapi, ternyata kata tantangan itu membuat Ki Gendeng Sekarat
menjadi murung, ia ingin memotong ucapan itu, tapi tak berani, karena Suto
Sinting lebih tinggi kedudukannya dan harus dihormati. Bagaimanapun juga, Ki
Gendeng Sekarat masih merasa menjadi orang Puri Gerbang
Surgawi, walaupun bebas tugas.
Buat Cendana Wilis dan Cakar Jatayu, pesan penuh tantangan
itu sempat membuatnya berdebar-debar.
Karena mereka berdua merasa cemas dan takut kalau ternyata Pendekar Mabuk tak mampu mengungguli
ilmunya Siluman Tujuh Nyawa dan mati di tangan orang sesat itu. Bahkan Cendana
Wilis sempat ajukan usul,
"Sebaiknya jangan Gusti Manggala sendirian yang
hadapi Siluman Tujuh Nyawa! Berbahaya, Gusti! Dia orang licik, tak mungkin
datang sendirian! Pasti dia akan kuras dulu tenaga Gusti Manggala untuk
bertarung melawan anak buahnya. Setelah tenaga Gusti Manggala berkurang banyak,
barulah dia sendiri yang akan maju!"
"Apa pun yang terjadi, aku harus hadapi dia! Malam purnama mendatang adalah
malam kepastian, dia akan merajalela atau lenyap tanpa tinggalkan selembar
rambut pun!"
Suto berpikir sejenak, kemudian segera berkata lagi,
"O, tidak! Dia tidak akan lenyap, hanya akan terpenggal kepalanya dan kubawa
menghadap ke ratu kalian!"
"Sudah pastikah ketentuan ini, Gusti Manggala?"
tanya Cakar Jatayu, dan Suto menjawab dengan tegas,
"Ya! Pasti!"
"Jika begitu, saya akan bebaskan Ludiro biar temui Siluman Tujuh Nyawa, bila
mana perlu suruh dia
sampaikan surat tantangan dari Gusti Manggala!"
"Gagasan yang bagus itu!" kata Pendekar Mabuk sambil mengangkat bumbung tuak dan
meneguknya beberapa kali. Ludiro dilepaskan oleh Cendana Wilis dengan
dibekali surat tantangan dari Suto Sinting. Tetapi seperti yang sudah-sudah,
tawanan itu dilepas oleh Cendana Wilis
setelah satu telinganya dipotong putus menggunakan pisau milik orang lain. Ludiro menjerit tak terbayangkan lagi
kerasnya, ia dibekali sebuah perahu, kemudian dilepaskan di lautan.
Pada sisi lain, Ki Gendeng Sekarat minta supaya Suto
masuk ke kamar penyimpanan mayat. Semua mayat
memang sudah dilepaskan dan menjadi penjaga pantai, dua di antaranya telah
hancur oleh kekuatan dahsyat Jangkar Langit. Kini kamar itu kosong, hanya berisi
tumpukan peti mayat, dengan satu peti mayat agak besar yang menjadi tempat tidur
Gendeng Sekarat.
"Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan hanya berdua saja!" begitu pada awalnya,
sehingga Suto datang ke kamarnya Gendeng Sekarat dengan tanpa diketahui oleh
siapa pun. "Apa maksud Ki Gendeng memanggilku kemari?"
tanya Suto. "Soal tantanganmu dengan Siluman Tujuh Nyawa,"
jawab Gendeng tak terlalu hormat seperti di luaran.
"Aku keberatan kau kirimkan surat tantangan kepada Durmala Sanca!"
"Di mana letak keberatan Ki Gendeng?"
"Ilmunya tak sebanding denganmu! Kau bukan
tandingannya, Suto!"
"Mungkin saja saya bukan tandingannya, Ki Gendeng. Tapi saya harus bisa kalahkan dia!"
"Itu tak mungkin!" sahut Ki Gendeng Sekarat. "Kau hanya punya keberanian besar
tapi tidak punya ilmu sejajar dengannya! Kau hanya akan mati konyol, Suto!
Pikirkanlah hal itu!"


Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi apa maksud Ki Gendeng?"
"Batalkan pertarungan itu!" jawab Ki Gendeng Sekarat sedikit cemberut.
"Saya tidak bisa menarik mundur tantangan pertarungan, Ki!"
"Harus bisa! Kalau kau mati, siapa yang akan menjaga Gusti Ratu?"
"Saya yakin, saya tak akan mati."
"Ah, itu hanya semangatmu saja!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil wajahnya semakin
cemberut jengkel kepada Suto. Kemudian ia berkata lagi, kali ini sambil berjalan
mondar-mandir di depan Pendekar Mabuk, yang tidak berani ia lakukan begitu jika
ada orang lain, demi menghargai Pendekar Mabuk sebagai sang Manggala
Yudha. "Coba renungkan kata-kataku...! Siluman Tujuh Nyawa punya umur lebih tua dari
umur gurumu, si Gila Tuak itu! Sedangkan kau baru anak kemarin sore.
Siluman Tujuh Nyawa punya ilmu cukup tinggi dan
pengalaman yang jauh lebih banyak dibandingkan
dengan dirimu! Sedangkan ilmumu belum ada separo dari ilmunya! Dia orang licik
dan jahat, kau tidak bisa licik dan tidak mau jahat! Dia tidak punya tanggungan
seandainya dia mati, kau punya kewajiban sebagai Manggala Yudha Kinasih.
Bagaimana jika kau mati di tangannya" Lantas siapa yang akan diunggulkan oleh
Gusti Ratu Kartika Wangi dan Gusti Mahkota Sejati itu"!
Siluman Tujuh Nyawa sudah cukup puas menikmati hidupnya yang lama itu, sehingga mati pun sudah sewajarnya, sedangkan
kau belum puas menikmati hidup! Kawin pun belum!"
Ki Gendeng Sekarat berhenti tepat di depan Suto, matanya memandang tajam ke arah
Suto sebagai mata
seorang guru memandang gemas kepada muridnya. Suto hanya menarik napas dalamdalam, setelah itu berkata dengan pelan.
"Apa yang Ki Gendeng katakan memang benar. Tapi saya sudah keluarkan surat
tantangan! Pertarungan harus terjadi pada malam purnama nanti, Ki!"
"Batalkan saja! Jangan kau yang pergi ke Pulau Padang Peluh, melainkan aku saja
yang ke sana! Aku yang hadapi dia, Suto!"
"Tidak bisa, Ki! Harus saya yang hadapi dia!"
"Kau akan mati, Tolol!" bentak Ki Gendeng. "Tapi jika dia berhadapan denganku,
dia yang akan mati!"
"Tidak bisa!" debat Pendekar Mabuk. "Saya harus bertarung melawannya pada malam
purnama nanti!"
Brakk...! Ki Gendeng Sekarat jengkel sendiri, lalu ditendangnya tumpukan peti
mati itu. Dua peti mati hancur seketika, kayu papannya menjadi potongan-potongan
kecil. Suto sempat kaget dan cemas melihat Ki Gendeng Sekarat mulai marah.
"Percuma kupertinggi ilmuku selama ini, kalau pada akhirnya aku hanya sebagai
penonton kematian-nya!"
kata Ki Gendeng Sekarat sambil bersungut-sungut, kembali ia berjalan mondarmandir. Katanya lagi, "Aku yang punya dendam kepada dia! Aku yang punya
kewajiban membalas sakit hati atas kematian penduduk Pulau Mayat ini! Aku yang
selama ini memimpikan
kematiannya di tanganku! Sekarang kesempatan ini akan kau rebut begitu saja!"
"Aku Manggala Yudha, Ki Gendeng!" ucap Suto
dengan tegas dan sedikit keras. Agaknya ia hampir kehilangan kesabaran juga
melihat sifat ngototnya Ki Gendeng Sekarat itu.
Ki Gendeng Sekarat diam, menatap Suto sejenak, lalu alihkan pandang dengan
termenung. Suto kembali
ucapkan kata, "Untuk apa aku menjadi Manggala Yudha Kinasih, jika pertarungan maut itu
kuserahkan kepadamu"! Hidup atau mati, itu sudah jaminan bagi seorang panglima,
Ki Gendeng! Jadi jangan harap aku mau batalkan pertarunganku dengan Siluman Tujuh Nyawa! Apa pun alasannya, pertarungan itu
harus terjadi!"
Setelah berkata setegas itu, Suto cepat tinggalkan tempat itu. Ki Gendeng
Sekarat diam saja, masih
termenung dengan kedongkolannya, sampai kemudian ia tertidur dalam keadaan
berdiri bersandar pada dinding.
Rupanya Ki Gendeng Sekarat masih penasaran, ia tak bisa menentang keputusan
Suto, karena Suto seorang Manggala Yudha. Maka, ia segera menemui Gusti Ratu
Dyah Sariningrum secara diam-diam, kemudian ia bujuk sang ratu agar mau mencegah
pertarungan Suto dengan Siluman Tujuh Nyawa itu. Tapi agaknya sang ratu
berpihak kepada keputusan Pendekar Mabuk. Sang ratu berkata,
"Membantai kezaliman itu memang tugasnya, Ki Gendeng Sekarat! Kurasa, aku tak
perlu cemaskan nasibnya! Hidup dan mati ada di tangan Yang Maha Kuasa, Ki Gendeng!"
"Memang, Gusti! Tapi setidaknya manusia diwajibkan bertindak dengan perhitungan. Itu sebabnya manusia dikaruniai otak
dalam kepalanya masing-masing! Kalau menurut perhitungan ilmunya Pendekar Mabuk
itu masih belum ada separo ilmu Siluman Tujuh Nyawa itu, maka sudah semestinya
kita mengingatkan dia, mencegah kecerobohannya, Gusti Ratu!"
Gusti Ratu Dyah Sariningrum sunggingkan senyum
kewibawaannya, lalu dengan lembut ia berkata, "Aku tahu apa yang kau cemaskan,
Ki Gendeng! Tetapi perlu diingat, bahwa dia adalah panglima negeri tempat ibuku
memerintah! Aku tak berani menentang keputusan dia, Ki. Kalau aku desak dia dan
melarang dia maju ke pertarungan itu, aku takut kena marah oleh Kanjeng Ibu!"
Dengan lesu dan lemas, Ki Gendeng berkata, "Jadi, kita hanya bisa relakan dia
mati di tangan Durmala Sanca, Gusti"!"
"Tugas kita mendoakan! Bukan mengharapkan dia mati!"
"Baiklah kalau memang begitu keputusan Gusti Ratu!" ucap Ki Gendeng Sekarat
dengan semakin pelan.
Kemudian kepalanya pun terkulai lemas, matanya
terpejam dan suara dengkurnya terdengar lirih. Ki Gendeng Sekarat tertidur
kembali. Tak peduli di depan Ratu Gusti Mahkota Sejati, jika saatnya ia
terserang kantuk yang berat, maka tidurlah dia di tempat itu juga.
* * * 9 PULAU Padang Peluh adalah pulau yang tandus dari sekian banyak gugusan pulau di
wilayah laut utara. Tak ada pohon di sana, kecuali jenis rumput yang tumbuh di
beberapa tempat saja. Pulau Padang Peluh mempunyai banyak gugusan batu dan
cadas. Luas Pulau itu lebih kecil dari luas Pulau Mayat. Gundukan-gundukan batu
atau cadas ada di mana-mana. Salah satu gundukan cadas ada yang membukit. Bagian
atasnya datar, walau ada pula gugusan batu yang bertonjolan seperti pohon
bersemak-semak, tapi jarak satu gugusan dengan lainnya cukup jauh. Yang paling
rapat adalah dua gugusan berjarak tiga langkah, tingginya melebihi tubuh manusia
dewasa. Di pulau itulah dulu Suto menemukan wanita cantik yang terkapar dan butuh
pertolongan. Wanita cantik itu adalah Dayang Kesumat, yang merupakan jelmaan
dari wujud tua renta si Mawar Hitam, tokoh sesat dari Pulau Hantu. Dan di pulau
itulah, Pendekar Mabuk bertarung melawan pengawal pribadi Siluman Tujuh Nyawa
yang kembar rupa itu, yakni Doma dan Damu. Sepasang
pengawal kembar yang membawa pusaka Cermin
Benggala Kembar itu akhirnya hancur di tangan Suto Sinting, menjadi debu yang
tak dapat dilihat lagi bentuknya. Juga di pulau itu Doma Damu berhasil
mengalahkan ketua kapal Bajak Naga yang bernama si Tua Rakus dengan cermin
pusaka Benggala Kembar. Si Tua Rakus menjadi patung batu yang sampai saat ini
masih tetap ada dan dapat dilihat bentuk serta wujudnya oleh Pendekar Mabuk.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
Seperti apa yang diperkirakan Pendekar Mabuk,
malam itu purnama tepat jatuh di atas Pulau Padang Peluh.
Langit terang dan rembulan bundar itu menyorotkan cahayanya dengan benderang pula. Suto bergegas menuju ke sebuah
bukit yang tak seberapa tinggi, namun yang menjadi tempat paling atas dari semua
tempat yang ada di pulau tersebut.
Angin samudera berhembus sepoi-sepoi dan membuat rambut Suto yang panjang itu meriap-riap dipermainkan angin. Dari
tempatnya berdiri menunggu lawan, Suto dapat memandang ke arah pantai. Di sana
hanya ada satu perahu, yaitu perahunya sendiri, sedangkan kapal atau perahu tunggangan Siluman Tujuh Nyawa belum kelihatan
merapat ke pantai.
Karena pulau itu tidak ada tanaman pohon, tempatnya sangat terbuka terang, maka
seseorang yang berdiri di pantai dapat melihat dengan jelas sosok Pendekar Mabuk
di atas bukit cadas itu. Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak tuaknya itu
tampak tidak sabar menunggu lawannya datang. Baginya, malam itu adalah malam
penentuan bagi hidup Siluman Tujuh Nyawa,
juga penentuan bagi hidupnya sendiri.
Pendekar Mabuk sadar bahwa Siluman Tujuh Nyawa
berusia jauh lebih tua darinya, bahkan lebih tua dari gurunya sendiri. Apa yang
dikatakan Gendeng Sekarat memang benar, Siluman Tujuh Nyawa atau Durmala
Sanca punya cukup banyak pengalaman bertarung di rimba persilatan, juga
mempunyai segudang ilmu
bertaraf tinggi. Tetapi Suto tidak punya rasa gentar sedikit pun di dalam
hatinya. Yang membuat Suto
bergemuruh di dalam dadanya adalah ketidaksabarannya menunggu kemunculan Durmala
Sanca. Pantai menjadi sasaran pandangan mata Pendekar
Mabuk, karena dari sanalah Durmala Sanca akan muncul menyambut surat tantangan
yang dikirimkan Suto lewat mata-mata yang dipulangkan itu. Pendekar Mabuk
yakin, Durmala Sanca pasti akan datang menyambut tantangannya, karena selain
surat tantangan itu cukup membakar darah, juga membuat darah kian mendidih
melihat mata-matanya pulang dengan telinga dipotong satu oleh Cendana Wilis.
Baru saja Pendekar Mabuk berpikir demikian, tiba-tiba ia merasakan ada gerakan
hawa panas yang sangat cepat menyerang arah punggungnya. Wuussst...! Cepat-cepat
Suto membalikkan badan sambil melepaskan satu pukulan tenaga dalam dengan
gerakan tangan terayun cepat bersama berputarnya tubuh. Wusssh...! Blarrr...!
Dua pukulan tenaga dalam membuat bumi bagai
berguncang. Pukulan itu beradu tanpa bentuk dan sinar.
Pendekar Mabuk sempat mundur satu tindak karena
hembusan angin kencang dari benturan dua tenaga dalam yang timbulkan daya ledak
tinggi itu. Tetapi mata Pendekar Mabuk tidak melihat bentuk
manusia di depannya. Tak ada gerakan yang bisa dicari oleh mata dan bisa
diserang tiba-tiba. Mata Suto
memandangi sekelilingnya dengan liar. Kini terasa lagi semburan hawa panas dari
arah samping kirinya.
Wuusss...! Pendekar Mabuk cepat melompat dan bersalto ke
depan, lalu begitu mendarat ia cepat gerakkan badan ke kanan dan satu sentakan
kuat dari telapak tangannya mengeluarkan tenaga dalam tanpa rupa lagi.
Wusssh...! Blarrr...! Ledakan itu menandakan pukulan lawan berhasil
dihancurkan oleh pukulan Suto Sinting. Tetapi lawan yang melepaskan pukulan itu
masih belum kelihatan. Ini berarti Durmala Sanca tidak mau tampakkan diri dalam
pertarungannya untuk membuat Suto kebingungan mengarahkan serangan-serangannya.
"Tampakkan
wujudmu! Kita bertarung secara kesatria, Durmala Sanca!" seru Suto Sinting dengan badan membungkuk miring ke
kiri bagai orang mau
jatuh karena mabuk, tapi sebenarnya Suto bukan sedang mabuk. Gerak gaya jurusnya
memang mirip orang
sempoyongan akibat kebanyakan minuman arak atau
tuak. Karena Suto tak bisa melihat bentuk lawannya, maka ia segera memejamkan matanya
dan merasakan setiap gerakan yang datang mendekatinya. Dengan cara seperti
itulah Pendekar Mabuk melihat di mana posisi lawan berada dan apa yang akan
menyerangnya. "Hmmm... sebuah gerakan lembut tipis datang dari arah kiriku. Pasti sebuah
senjata tajam yang dilayangkan untuk menebas leherku!" pikir Pendekar Mabuk
dalam terpejamnya mata. Maka dengan cepat ia merundukkan kepalanya, dan tiba-tiba
benda yang bergerak itu berkelebat di atas kepala Pendekar Mabuk. Wussh...!
Pendekar Mabuk tahu lawannya ada di sebelah kiri, jaraknya tak sampai empat
tindak karena ia menyerang dengan senjata. Setidaknya tongkat El Maut yang punya
jarak tak lebih dari tiga langkah. Maka dengan cepat Pendekar Mabuk menggunakan
pukulan 'Sekat Nadi'
jarak jauh yang dapat menotok jalan darah lawan di bagian mata kakinya. Jari
tangan Pendekar Mabuk
disentilkan beberapa kali dan pukulan 'Sekat Nadi' jarak jauh meluncur cepat
bertubi-tubi setinggi tak lebih dari satu jengkal di atas permukaan tanah. Tabb
tab tab tab tab...
dub! Kena. Pendekar Mabuk merasakan pukulannya mengenai mata kaki lawan. Lalu ia membuka matanya dan ternyata wujud yang menghilang dari pandangannya tadi sudah
berada di depannya dalam nyata. Berdiri dengan kerudung hitam dari kepala hingga


Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya, menggenggam tongkat panjang berujung sabit sedikit lengkung. Itulah
senjata pusaka El Maut. Orang berwajah putih dengan bibir biru dan mata
memandang dingin itu segera menggeserkan langkah ke kanan.
Terdengar suaranya yang datar berkata,
"Cukup lumayan ilmumu, Anak muda...! Tak sia-sia aku datang kemari memenuhi
tantanganmu!"
"Bersiaplah untuk menjadi kesatria! Jangan berani menyerang sambil sembunyi, itu
sifat seorang banci pengecut!" kata Pendekar Mabuk sengaja memancing panas hati
lawannya. Lawannya justru tertawa terbahak-bahak. Pendekar Mabuk kerutkan dahi sedikit.
Tapi ia segera melompat sambil bersalto ke samping kanan, karena suara tawanya
itu timbulkan getaran gelombang aneh yang terasa mau menyerangnya. Sambil
melompat Pendekar Mabuk
melepaskan satu pukulan jarak jauh menggunakan
kibasan tangan kirinya. Weesss...! Plakkk...!
Tawa membahak itu tiba-tiba terhenti. Wajah putih itu
terlempar ke samping dengan kaki nyaris terpelanting. Rupanya Pendekar Mabuk mengirimkan tamparan jarak jauh yang
bertenaga dalam cukup tinggi, sehingga wajah putih itu tersentak kuat ke
samping. Tawanya yang mengandung getaran gelombang berbahaya itu hilang seketika, berubah menjadi suara geram yang mendendam.
"Haiaaatt...!"
Lawan melompat tinggi dan bersalto satu kali ke arah Pendekar Mabuk, lalu
senjata El Maut-nya ditebaskan dari samping kanan ke kiri. Wuttt...! Hampir saja
mengenai leher Pendekar Mabuk jika Pendekar Mabuk tidak segera berguling ke
tanah, lalu bangkit dan sentakkan kakinya ke tanah. Tubuh Pendekar Mabuk melesat
ke atas dan bersalto satu kali ke arah belakang Wuuttt...!
Pendekar Mabuk berada di tempat yang lebih tinggi, yaitu sebuah gugusan cadas
sebesar kerbau. Lawannya juga berada di gugusan batu sedikit lebih tinggi dari
tempat Suto. Jarak mereka ada antara enam langkah.
Dua tubuh siap berdiri melepaskan serangan lagi di
bawah bayangan cahaya purnama terang.
Lawannya segera sentakkan tongkat ke depan, dan
dari ujung tajam di pucuk tongkat itu keluar cahaya merah
membawa percikan-percikan
cahaya biru. Gerakannya begitu cepat, sehingga Pendekar Mabuk pun cepat
meraih bumbung tuaknya dan digunakan menangkis cahaya merah bintik-bintik biru itu. Crasss...!
Wurrrrh...! Cahaya itu membalik dengan lebih besar dan lebih cepat lagi. Lawannya terkejut,
dan cepat menggulingkan badan ke kanan, nyaris jatuh dari gugusan cadas itu.
Wess...! Blabbb...! Cahaya merah berbintik-bintik biru itu mengenai batu tinggi
dan batu tersebut lenyap bagai ditelan bumi. Bahkan batu di belakangnya pun ikut
lenyap juga. "Jahanam kau!" geram lawannya terdengar lirih.
"Heaaah...!"
Siluman Tujuh Nyawa yang berwajah kaku itu segera sentakkan kakinya, dan
tubuhnya pun melesat melayang bagaikan terbang. Suto pun melakukan hal yang sama
sehingga dua-duanya saling melesat di udara, saling membenturkan diri dengan
senjata siap menyerang
lawan. Pendekar Mabuk hanya menggunakan bumbung
tuaknya yang berkelebat cepat menangkis sabetan
senjata El Maut itu. Trangngng...!
Mendadak tubuh Suto Sinting yang melayang di
udara itu berjungkir balik setelah menangkis dan kakinya menyentak ke belakang
dengan kerasnya.
Baagggh...! Kaki Pendekar Mabuk yang menyala hijau
muda itu mengenai punggung lawannya dengan telak sekali, karena serangan tendang
itu sama sekali tak diduga dapat dilakukan Pendekar Mabuk dalam keadaan terbang
begitu. Akibatnya, tubuh lawan terlempar lima tombak
jauhnya dan membentur sebuah gugusan batu hitam.
Prakkk...! Batu itu retak tapi tak sampai berjatuhan.
Tubuh lawannya terhempas jatuh ke tanah dengan suara pekik tertahan.
Suto berdiri dengan tegak menunggu lawannya
bangkit kembali. Tapi lawannya itu seperti mengalami kesulitan untuk bangkit
kembali. Tulang punggungnya terasa hilang. Tak bisa ia merayap dan berdiri, ia
terengah-engah dalam keadaan duduk di tanah setelah tiga kali berusaha bangkit
tapi gagal. Pendekar Mabuk sengaja membiarkan dulu lawannya begitu, karena ia
punya kesempatan untuk meneguk tuaknya beberapa
kali. "Sungguh tak kusangka gerakan mabukmu di udara cukup hebat!" kata lawannya yang
mulai reda helaan napasnya. Pendekar Mabuk yang berdiri dalam jarak empat
langkah dari lawan itu hanya tertawa pelan.
"Kurasa kau masih mampu berdiri untuk meneruskan pertarungan, Durmala Sanca!
Ayolah, aku tak ingin menyerang orang yang sedang terluka!"
"Baik! Tapi tunggu sesaat lagi. Kupulihkan tulang punggungku yang hilang karena
tendangan mautmu itu!
Dapat dari mana jurus itu"!"
"Mengapa kau ingin tahu"!"
"Aku mengagumi jurus itu, karena... karena...,"
suaranya makin pelan, kepalanya makin terkulai tunduk.
Matanya terpejam pelan-pelan, sementara punggungnya tetap bersandar pada batu di
belakangnya. Suto jadi kerutkan dahi kuat-kuat.
"Matikah dia..."!" pikir Pendekar Mabuk dengan merasa aneh.
Terdengar suara dengkur yang samar-samar dari
mulut yang masih tetap terkatup rapat itu. Suto makin terkesiap melihat lawannya
tertidur. Lalu, segera ia teriakkan suara menyentak penuh kejengkelan hati,
"Gendeng Sekarat!"
"Hai...!" sahut lawannya yang tertidur dengan suara malas-malasan.
"Lepaskan topengmu!" sentak Suto. Ada rasa sesal yang menjengkelkan setelah tahu
orang itu adalah Ki Gendeng Sekarat yang menyamar sebagai Siluman
Tujuh Nyawa. Dalam, keadaan tertidur, Ki Gendeng Sekarat melepaskan topengnya sesuai perintah Suto Sinting.
Wajahnya terlihat jelas sebagai wajah Ki Gendeng Sekarat yang termasuk orang
konyol menurut pandangan Suto. Orang itu bahkan tetap tertidur walau sudah
melepas topeng dan mendengar suara geraman Suto.
"Mengapa kau menyamar lagi sebagai Durmala
Sanca, hah"! Mengapa kau menyerangku"!" sentak Suto dengan hati tetap dongkol,
karena rasa sesal yang telah melepaskan pukulan dan tendangan maut ke arah Ki
Gendeng Sekarat.
Orang tua yang tidur itu menjawab, "Aku ingin merebut pertarungan ini dari
tanganmu! Jika aku bisa lumpuhkan kamu tanpa harus membunuh, aku akan
punya kesempatan bertarung dengan Siluman Tujuh
Nyawa! Supaya kau terpancing bertarung denganku, aku terpaksa menggunakan
pakaian dan topeng samaran ini!"
"Sial! Bodoh betul kau ini, Ki! Kau bisa mati kalau melawanku!"
"Jika memang itu akhir yang kutemui, aku telah siap!
Prahara di Pulau Mayat toh telah membuatku mati, seandainya aku tidak cepat
sembunyikan diri ke dasar bumi! Aku sembunyi bukan untuk lari, tapi untuk cari
kesempatan membalas perbuatan Durmala Sanca dalam peristiwa berdarah Prahara
Pulau Mayat, sekian tahun yang lalu! Kesempatan ini sudah ada, ilmuku sudah
cukup, tapi kau ingin merebutnya! Aku tak rela! Aku harus
mengalahkanmu dulu jika memang begitu caranya!" "Nyatanya bagaimana?"
"Ya. Kau memang punya keunggulan yang tidak kusangka-sangka! Kupikir kau hanya
punya keberanian tanpa kematangan ilmu kanuragan!"
Sebuah sinar merah menyala melesat dari arah
samping belakang Pendekar Mabuk. Cepat sekali
gerakannya, hampir tak bisa dilihat. Tetapi Ki Gendeng Sekarat cepat sentakkan
tangannya dan keluarlah sinar putih yang melesat cepat dari pangkal pergelangan
tangannya. Wuttt...! Sinar putih itu menghantam sinar merah yang hampir mengenai
punggung kiri Suto.
Blarrr...! Sinar merah itu hancur dan timbulkan
gelombang ledak yang besar, sehingga tubuh Suto
tersentak hampir menabrak batu yang dipakai bersandar Ki Gendeng Sekarat dalam
tidurnya. "Terima kasih, kau telah selamatkan nyawaku, Ki!"
ucap Suto setelah menyadari ia dalam sedikit kelengahan tadi.
"Terima kasih itu gampang," kata Ki Gendeng Sekarat sambil tetap tertidur, "Yang
penting sekarang hadapi dia dulu. Dia sudah datang dari arah timur.
Sambut dia, Gusti Manggala Yudha...!"
"Baik. Tapi sebelumnya minum dulu tuakku ini!
Lekas...!"
Sambil masih tertidur, Ki Gendeng Sekarat membuka mulutnya dan Pendekar Mabuk
menuangkan tuaknya ke mulut itu. Glek glek glek...! Setelah itu Suto cepat
menyambut kedatangan lawannya dari arah timur.
Sebuah kapal berbendera hitam telah berlabuh di
pantai. Sebuah lagi masih terlihat jauh mendekati pulau itu juga. Rombongan
orang-orang kapal itu turun dan mendekati bukit tersebut tanpa sosok Siluman
Tujuh Nyawa. Rombongan yang mendaki itu melihat Suto
berdiri di tepi tebing, mereka segera hentikan langkah.
Nakhoda Salju berseru,
"Itu dia! Seraaaang...!"
Mereka serempak menyerang Pendekar Mabuk dengan pukulan tenaga dalam jarak jauh. Umumnya
mereka menggunakan pukulan-pukulan handal yang
sangat membahayakan. Beberapa sinar aneka warna
keluar dari tangan mereka masing-masing. Semua arah sinar melesatnya ke tubuh
Suto. Melihat penyerbuan seperti itu, Suto pun merasa
panas hatinya dan ia menarik napasnya lalu dihentakkan keras-keras. "Haaah...!"
Wuuaarrrr.....!
Badai datang mengamuk dari mulut Pendekar Mabuk, ia
telah menggunakan napas Tuak Setan yang menggulung habis para keroco itu. Sinar aneka warna yang meluncur dari tangan
mereka membalik arah
karena sapuan badai besar yang mengerikan. Sinar itu ada yang mengenai
pemiliknya, dan yang menerpa orang lain. Ada yang hancur tubuhnya, ada pula yang
hitam menghangus. Ada pula yang selamat dan berusaha
melarikan diri. Tapi badai besar melemparkan mereka tak beraturan. Ada yang
terhempas menghantam batu besar hingga kepalanya pecah, tapi ada pula yang
tertindih batu yang menggelinding dari atasnya. Bahkan ada yang saling
berbenturan kepala sampai keduanya mati mengerikan.
Langit tiba-tiba menjadi gelap, walau masih ditembus cahaya rembulan pucat.
Kilatan cahaya petir biru berloncatan dari langit satu ke langit lainnya.
Gelegar suara gunturnya mengerikan. Badai Tuak Setan memporak-porandakan pulau yang tandus dan yang
hanya mempunyai tonjolan-tonjolan batu mirip pilar-pilar
raksasa itu. Batu-batu tersebut patah di pertengahannya karena hembusan badai. Ada pula yang tumbang dan menjatuhi tubuh
anak buah Siluman Tujuh
Nyawa yang sedang melarikan diri.
Di pantai, terjadi kekacauan pula. Air laut bagai disingkapkan naik dan
menggulungkan ombak besar, melemparkan Kapal Siluman sehinga kapal itu akhirnya
pecah dan berantakan ke mana-mana. Tapi kapal yang baru datang dari arah utara
itu masih dalam keadaan tenang
mendekati pulau itu, karena arah badai menghembus dahsyat ke timur. Badai itu membuat Ki Gendeng Sekarat yang tidur
menggumam, "Celaka! Anak itu ternyata punya napas Tuak Setan"!
Pantas ia berani melawan Durmala Sanca..."!"
Tiba-tiba sebuah hantaman tak terlihat melesat dari belakang Suto. Wusss...!
Dabbb...! Suto terpelanting hampir jatuh ke lereng bukit itu. Pukulan tersebut
datang secara mendadak dan tak diketahui wujudnya, tak terasa getaran
gelombangnya. Pendekar Mabuk merasakan pundaknya bagai hancur
remuk karena pukulan itu. Tapi matanya tidak melihat bentuk manusia
penyerangnya. Bahkan ia tak merasakan getaran gelombang panas berikutnya yang
membuat ia terjengkang
kembali saat mau berdiri. Buggh...! Srappp...! Rasa panas menyerang tubuh seketika. Suto berguling ke belakang dan
mencoba mengatasi rasa sakitnya itu dengan menahan napas. Matanya menatap ke
sana-sini dengan liar. Tak ada bentuk manusia penyerang yang dilihatnya. Tak ada


Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakan yang dapat dirasakan
mendekat. Pendekar Mabuk terpaksa pejamkan mata untuk tingkatkan kepekaan inderanya.
Tapi, baru saja ia pejamkan mata, tiba-tiba, crasss...!
Dadanya bagai dirobek oleh benda tajam yang tak
terlihat bentuknya. Suto berdarah, ia terpental ke belakang, dan cepat berguling
sambil seringaikan wajah menahan sakit. Luka itu cukup dalam dan panjang,
mengucurkan darah segar yang membasahi bajunya.
Tiga pukulan tenaga dalam dilepaskan Suto Sinting ketiga arah. Wuttt... wuttt...
wuttt...! Tapi tak satu pun ada yang mengenai sasaran selain batu-batu tak
bersalah. Bahkan ia tiba-tiba terkena luka di ujung pangkal pundaknya. Luka tebasan yang
menyerempet tipis itu timbulkan
darah kembali dan rasa sakit yang memanaskan tubuhnya. Suto mengerang sambil berusaha melompat beberapa kali menjauhi lokasi
tersebut. "Sukar sekali kulacak gerakannya! Aku tak bisa menotok mata kakinya jika begini
caranya!" Wungngng...! Beegggh...!
"Aaahk...!"
Pendekar Mabuk memekik tertahan dengan tubuh terlempar karena pukulan jarak jauh telah menghantam tubuh
belakangnya, sedangkan waktu itu bumbung tuak sudah ada di tangannya. Punggung
Pendekar Mabuk menjadi sasaran telak bagi lawan.
Pendekar Mabuk cepat menenggak tuaknya lagi
untuk sembuhkan luka sendiri. Baru saja selesai
menenggak tuak, tubuhnya diserang lagi dari samping kanan, yang membuat lengan
kanan Suto terluka!
Crass...! "Aauh...!" Suto terpekik tak sadar. Cepat-cepat ia bersalto ke depan, melenting
di udara dan bersalto lagi
hingga ia mencapai tempat tinggi dari sebuah gugusan batu.
"Musuh tak bisa dilihat! Ini berarti ia ada di alam gaib!" pikir Pendekar Mabuk.
Maka dengan cepat ia mengusap keningnya yang bertanda merah dengan
tangan kirinya. Sllappp...!
Ki Gendeng Sekarat sendiri terbengong melihat Suto hilang lenyap tak berbentuk.
Tak bisa dicari di mana ia berada.
Tapi suara pukulan dan ledakan-ledakan
terdengar di sana-sini. Suara benturan senjata El Maut dengan bumbung bambu juga
terdengar menggema
sesekali. Ini pertanda di alam gaib, Pendekar Mabuk bertarung dengan sengitnya
melawan Durmala Sanca yang sejak tadi menggunakan ilmu silumannya. Suto bisa
mengejar lawannya ke alam gaib karena ia telah mempunyai tanda merah di
keningnya yang jika diusap dengan tangan kiri dapat berada di alam gaib, tempat
makhluk-makhluk sesat berada.
"Hiaaaat....!"
"Heeaaah...!"
Trang...! Beg beg brasss...! Bluhkk...! Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat melihat
tubuh Siluman Tujuh Nyawa jatuh dalam keadaan nyata, seperti jatuh dari langit.
Rambutnya yang terbuka dari kerudung hitam itu
tampak basah. Rupanya Pendekar Mabuk telah menggunakan jurus 'Jelma Siluman' dengan semburan tuaknya, sehinggga sosok tubuh
yang hilang dari
pandangan mata itu bisa menjelma kembali. Ini dilakukan Suto setelah ia gagal menotok mata kaki
lawannya beberapa kali.
Kini ganti Suto yang menghilang dari pandangan
mata Siluman Tujuh Nyawa. Orang itu menggeram
dengan gigi menggeletuk dan mata melebar.
"Keluar kau, Bangsat!" teriaknya.
Jleggg...! Suto pun tampakkan diri di depan Durmala Sanca. Tubuhnya tetap segar
dan sehat, tanpa luka sedikit pun. Durmala Sanca terkesiap melihat kehebatan
lawannya. Maka, segera ia kerahkan ilmu 'Siluman Tujuh'-nya dengan mengangkat
kedua tangan dan
menghentakkan suara keras-keras, "Heeaaa...!"
Clap clap clap clap....! Tujuh manusia sama rupa dan sama wujudnya berjajar di
samping kanan Siluman
Tujuh Nyawa. Tujuh manusia sama rupa itu segera
mengepung Suto Sinting, membuat Ki Gendeng Sekarat menjadi tegang sendiri
melihatnya. Pada saat itu, Suto pun cepat tempelkan tangan kanannya ke dada
dalam posisi telapak tangan berdiri lurus ke atas. Matanya terpejam kurang dari
satu helaan napas, dan tiba-tiba, clap clap clap clap clap...! Tujuh manusia
kembar Pendekar Mabuk muncul dari samping kanan Pendekar Mabuk.
"Edan! Dia juga bisa keluarkan manusia kembar tujuh"!" sentak Ki Gendeng Sekarat
terkejut, ia dalam keadaan terbangun. "Setahuku, ilmu itu yang dinamakan jurus
'Sapta Tingal', yang dimiliki oleh Bidadari Jalang..."! Rupanya diturunkan
kepada anak muda itu"!
Edan! Sekarang ada delapan kembar melawan delapan kembar"! Mana dari mereka yang
asli"!"
Delapan manusia berwujud kembar Pendekar Mabuk
itu juga mengagetkan lawan. Tapi pertarungan segera dimulai. Delapan manusia
kembar melawan delapan
manusia kembar dengan tingkah dan jurus yang berbeda-beda. Tentu saja suasana
menjadi ramai, saling pekik, saling pukul, saling timbulkan ledakan.
Prak prak...! Trang...! Bungng...! Plak...! Trangng...!
Duerrrr...! Ramai sekali keadaan di pertarungan itu. Kapal yang tadi berada di kejauhan
sudah mendarat di pantai.
Mereka adalah rombongan Cakar Jatayu dan Cendana Wilis yang diperintahkan Gusti
Ratu Mahkota Sejati untuk mengawal pertarungan Suto. Tapi mereka sempat dibuat
bingung melihat ke arah bukit, pertarungan menjadi massal. Mereka juga bingung
membedakan mana Durmala Sanca yang asli dan mana Suto Sinting yang asli. Dewa Racun dan
Hantu Laut yang ikut pula hadir di situ, dibuat melompong oleh keadaan kembar
delapan tersebut.
Kejap berikutnya, terdengar suara pekikan keras dari mulut Siluman Tujuh Nyawa
itu. "Aaaahg...!"
Pendekar Mabuk berhasil melukai Siluman Tujuh
Nyawa yang asli dengan jurus 'Pukulan Guntur Perkasa'
yang membuat lawan memar membiru dan bisa cepat
menjadi busuk. Seketika itu pula, tujuh nyawa kembar Durmala Sanca lenyap,
tinggal satu yang mengerang kesakitan. Pendekar Mabuk cepat kembalikan wujud
kembar tujuhnya, slappp...! Kini menjadi satu Pendekar
Mabuk yang asli.
"Kalau kugunakan jurus 'Manggala', aku tak bisa penggal kepalanya! Jadi, aku
harus gunakan jurus lain untuk memenggal kepalanya," pikir Pendekar Mabuk kala
itu. Tapi belum sempat ia bergerak, Durmala Sanca telah lebih dulu melesat pergi
sambil tinggalkan suara,
"Kali ini aku kalah, tapi kelak aku akan datang mengalahkan kamu lebih parah
dari ini, Suto!"
Clappp...! Ia menghilang dari pandangan siapa saja.
Suto ingin mengejarnya, tapi suara Cendana Wilis terdengar,
"Gusti Manggala...! Jangan kejar dia! Sebaiknya kembali ke Pulau Mayat! Gustinda
Betari Ayu datang, ingin bicara!"
"Katakan pada Nyai Betari Ayu, aku sedang mengejar Siluman Tujuh Nyawa!"
"Tapi, Gusti Manggala... tunggu dulu...!"
Clappp...! Pendekar Mabuk menghilang setelah mengusap keningnya dengan tangan kiri. Ia mengejar lawannya yang melarikan diri
ke alam gaib. Mereka hanya bisa terbengong dan saling membisu seketika.
Ki Gendeng Sekarat segera berkata, "Sudahlah! Biar dia mengejar orang sesat itu!
Sebaiknya aku yang mewakili Gusti Manggala untuk menemui Nyai Betari Ayu...!"
Ki Gendeng Sekarat melangkah. Tapi kepalanya
terkulai kembali dan suara dengkur tipis terdengar, ia tidur sambil menuju ke
kapal. SELESAI Ikuti kelanjutan kisah ini!!!
serial Pendekar Mabuk Suto Sinting
dalam episode: PEDANG GUNTUR BIRU
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Sukma Pedang 7 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Peristiwa Merah Salju 14

Cari Blog Ini