Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan Bagian 3
Sementara hati Teratai Kipas segera membatin, "Dia tetap segar dan tak menjadi
pucat sedikit pun. Hebat sekali"! Apakah karena ia meminum tuaknya?"
Pendekar Mabuk segera melangkah pergi pelan-pelan sambil berkata, "Kalau
tak mau disembuhkan ya sudah! Aku tak akan memaksamu."
"Tunggu!" sergah Teratai Kipas. la bergegas mendekati Pendekar Mabuk yang
sengaja hentikan langkah sambil melirik ke belakang.
"Apa sangsinya jika ternyata kau meracuniku dengan tuak ini?"
"Tak ada sangsinya! Aku tak jadi berikan tuakku untukmu!" jawab Suto Sinting
sambil lanjutkan langkah hendak masuk ke dalam pondok yang salah satu dinding
kayunya jebol akibat gelombang ledakan dahsyat tadi. Tapi karena dada Teratai
Kipas semakin panas, dan ia meludahkan darah kental lagi dari mulutnya, maka
kecemasan yang mencekam hati telah membuatnya bergegas mengejar Suto
kembali, lalu mencekal pundak Pendekar Mabuk yang tidak dikenalinya itu.
"Berikan tuakmu!" katanya masih tak ramah. "Jangan, Nanti kalau kau mati aku yang
dituntut arwahmu," goda Suto Sinting.
"Aku percaya padamu, Ki Suto!" Suto Sinting berbalik badan, kini wajah pucat
pasi itu dipandanginya dalam senyum ramah seorang lelaki tua. Bumbung tuak
diberikan, dan Teratai Kipas segera menenggaknya. Beberapa saat setelah itu,
Teratai Kipas merasakan ada perubahan dalam dadanya. Dada yang panas menjadi dingin.
Dada yang sakit menjadi lega dan sehat. Tubuhnya yang lemas menjadi kuat
kembali. Tapi wanita cantik itu menjadi tertegun merasakan perubahan yang cepat itu. la
merasa heran dan terkagum-kagum dalam hati, karena ia merasakan tubuhnya
segera menjadi lebih segar dari sebelum melakukan pertarungan dengan si tua aneh
itu. Ki Suto..., siapa sebenarnya dirimu dan ada hubungan apa dengan Nyai Sapu
Lanang itu" Tolong je laskan agar aku tak salah anggapan terhadapmu!"
6 SEBATANG kayu kering terbujur di samping pondok, letaknya tepat di bawah
sebongkah batu sebesar rumah yang tersumbul dari kemiringan tanah lereng.
Cahaya matahari terpayungi batu besar itu. Batang pohon yang sudah lama tumbang
itu menjadi tempat duduk Suto Sinting dan Teratai Kipas yang telah saling
berdamai setelah Suto jelaskan mengapa ia berada di pondok itu. Tapi Suto Sinting belum
memberitahukan apa tujuannya datang ke Gunung Kundalini dan siapa sebenarnya
dirinya itu. "Adikku diculik oleh Menak Goyang, muridnya Malaikat Miskin dari Perguruan
Tongkat Sakti. Saat aku mengejar Menak Goyang itulah aku dihadang oleh Nyai Sapu
Lanang dan terkena racun tersebut, sehingga keadaanku menjadi setua ini."
"Bukankah 'Racun Gugah Jantan' hanya berguna untuk membangkitkan gairah
seorang lelaki agar bersemangat mengarungi lautan cinta bersamanya?"
"Benar. Tapi apabila gairah itu tertahan, maka sifatnya berubah menjadi racun
penua raga. Apabila aku mau layani perempuan itu, aku tidak akan lekas menjadi
tua seperti ini. Walau gairahku tetap melonjak-lonjak asalkan tetap disalurkan
kepadanya, penuaan tidak akan terjadi pada diriku."
Teratai Kipas manggut-manggut. "Kalau begitu selama ini kau menolak ajakan
bercintanya?"
"Benar. Aku tak mau melayaninya walau satu kali saja."
"Mengapa kau sebodoh itu" Seharusnya kau mau melayaninya demi
keselamatan ragamu agar tak menjadi lekas tua begini! Kau sudah terkena racun
itu dan hanya dia yang mempunyai obat penawarnya. Mengapa kau tak mau menyerah
saja?" "Aku tak tega menodai cinta. Aku harus menjaga kesucian cintaku kepada
seseorang yang amat kusayangi. Sebab itu aku memilih bertahan berada di dekatnya
dengan harapan suatu saat dapat membujuknya memberikan obat penawar itu. Dan
aku terpaksa menjaga keselamatan jiwanya, sebab kalau dia mati, aku tak akan
dapatkan obat penawa racun itu. Dia sendiri berharap aku menyerah dan pasrah
padanya padanya jika setiap saat dibangkitkan gairahnya dan aku harus tersiksa
menahan gejolak batin."
Teratai Kipas diam termangu beberapa saat. Batinnya sempat berkecamuk
sendiri tiada yang tahu.
"Alangkah setianya Suto Sinting ini kepada orang yang dicintainya. Jarang
sekali ada lelaki sesetia dia! Padahal seandainya ia mau layani Nyai Sapu
Lanang, toh kekasihnya tidak mengetahuinya. Tapi agaknya ia membenci pengkhianatan diri
pribadi. la tidak mau berbuat tak senonoh dengan perempuan lain walau sang
kekasih tak melihatnya. Oh, alangkah agung dan mulianya cinta orang ini. Hanya
saja... mengapa Nyai Sapu Lanang sangat berharap dan penasaran sekali kepada
orang ini, hingga melepaskan 'Racun Gugah Jantan'" Apakah orang ini sebelum
mengalami penuaan berwajah tampan" Hmm...! Seperti apa ketampanannya itu,
sampai sang nyai dibuat penasaran" Kurasa wajar-wajar saja. Ketampanannya tidak
akan melebihi Raden Panji, kekasihku yang mati terbunuh di tangan lawannya itu.
Ah... entah seperti apa ketampanannya, aku tak akan tertarik. Aku hanya merasa
kasihan dengan nasibnya yang menjadi tua begini sementara adik
nya ada dalam penawanan si Malaikat Miskin."
Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi. Setelah itu terdengar suara Teratai
Kipas ajukan tanya, "Mengapa adikmu diculik Menak Goyang?"
"Aku dituduh mencuri pisau pusaka milik Malaikat Miskin!"
"Maksudmu, Pisau Tanduk Hantu?"
"Ya. Rupanya kau tahu tentang pisau itu"!"
"Aku kenal Malaikat Miskin. Aku kenal orang-orang perguruan itu, karena
almarhum kekasihku dulu memang orang Perguruan Tongkat Sakti."
"Kalau begitu kau tentunya tahu di mana letak Perguruan Tongkat Sakti"!"
"Sangat tahu!" jawab Teratai Kipas. "Kau ingin agar aku mengantarmu ke sana
dan membantu merebut adik kecilmu itu?"
"Hanya menunjukkan tempatnya saja. Soal merebut adikku itu urusanku. Aku
bisa menanganinya sendiri."
"Apa keuntunganku jika mengantarmu ke sana?"
Suto Sinting diam sambil tersenyum tanpa memandang Teratai Kipas. la
segera angkat pundak dan berkata, "Aku tak tahu apa yang kau harap dari jasamu
nanti. Kau punya keinginan apa, Teratai Kipas?"
"Membalaskan dendamku pada Nyai Sapu Lanang! Aku tahu dia cukup sakti,
ilmuku kalah tinggi dengannya. Walau aku punya siasat sendiri untuk
menumbangkannya, tapi aku akan cedera melawannya. Kalau kau kutolong pergi ke
Perguruan Tongkat Sakti, tentunya aku berharap kau membantuku dalam
melapiaskan dendamku kepada Nyai Sapu Lanang."
"Apakah dendam itu cara penyelesaian yang baik?"
"Menurutku memang begitu! Aku tak peduli apa anggapan orang tentang
dendam. Yang jelas, jiwaku menjadi dituntut terus, seakan didesak oleh roh
adikku untuk membalaskan sakit hatinya kepada Nyai Sapu Lanang."
Keras sekali kemauan wanita cantik itu. Suto Sinting merasa percuma
menyadarkan Teratai Kipas agar jangan menuruti nafsu dendam. Karena dilihatnya,
bagi Teratai Kipas tak ada cara lain untuk membalaskan sakit hatinya kecuali
dengan melampiaskan dendam. Maka Pendekar Mabuk pun segera berkata,
"Aku bisa membantumu jika Nyai Sapu Lanang sudah memberiku obat
penawar 'Racun Gugah Jantan'. Jika ia belum memberiku obat penawar, aku masih
bersikap menjadi pelindungnya. Kurasa kau bisa memahami mengapa aku bersikap
demikian."
"Ya, aku bisa memahaml maksudmu."
Suto Sinting tarik napas dalam-dalam karena ia mulai merasakan hasratnya
meletup-letup. Pandangan matanya sudah berusaha dihindarkan dari gumpalan
dada putih sekal, tapi bayangan sebentuk kehangatan di dada itu masih sesekali
menggoda benak dan membangkitkan gairah. Suto Sinting yang cepat dibakar api
asmara itu menjadi geiisah. Napasnya terasa mulai tidak teratur. la pun berucap
kata dalam batinnya,
"Celaka! Hasratku timbul kembali karena terlalu lama berdekatan dengan
Teratai Kipas. Ah, gawat juga kalau begini! Aku membayangkan sedang bercumbu
dengan Teratai Kipas. Mati aku, Mak...! Jantungku berdetak cepat dan jiwaku
memberontak menuntut pemu-asan batin. Apa yang harus kulakukan jika begini"
Apa..."!" Suto Sinting menjadi bingung sendiri dan dicekam kegeiisahan yang
menjengkelkan. Terdengar pula suara Teratai Kipas berkata, "Aku mau membantumu, tapi kau
harus berjanji akan membantuku menumbangkan Nyai Sapu Lanang jika kau telah
dipulihkan dalam keadaan raga sebenarnya. Kau mau berjanji, Suto?"
"Baik. Aku berjanji!" jawab Suto dengan napasnya tampak memberat dan
keringat dinginnya mulai membersit di kening.
Teratai Kipas memandang heran melihat perubahan sikap Suto Sinting yang
geiisah dan resah itu. Maka terlontarlah pertanyaan dari mulut berblbir mungil
dan sedikit tebal menggemaskan itu,
"Ada apa"! Mengapa wajahmu menjadi pucat, na-pasmu menjadi cepat dan
kau tampak tak tenang. Ada apa sebenarnya?"
"Hmm... eeh... tidak apa-apa," jawab Suto Sinting dengan rasa malu.
"Sebaiknya sekarang juga kita pergi ke Perguruan Tongkat Sakti. Kau bersedia?"
tanya Suto Sinting dengan suara semakin lirih.
"Baik. Aku bersedia!" tegas Teratai Kipas. "Tapi jelaskan dulu mengapa kau
menjadi sepucat itu?"
"Hmm... penjelasannya nanti saja. Apakah... apakah kau sanggup berlari cepat
seperti anak panah lepas dari busurnya?"
Tentu saja aku bisa lakukan hal itu. Apa maksudmu bertanya demikian?"
"Kita adu kecepatan lari. Tentukan arah yang harus kita tuju, dan kita akan
berlomba kecepatan lari ke arah sana!"
Teratai Kipas sunggingkan senyum tipis, namun wajah cerianya terpapar jelas
di mata Suto Sinting. Senyuman itu mempunyai lesung pipit, walau tak seberapa
jelas namun cukup mengingatkan pikiran Suto Sinting kepada seraut wajah pemilik lesung
pipit. Wajah itu tak lain adalah wajah kekasihnya; Dyah Sariningrum. Semakin
tergoda kasmaran hati Suto Sinting, semakin mencekam hasrat bermesraannya membakar da
rah. Maka, Suto pun segera mengawali adu kecepatan berlari. Karena dengan begitu
ia akan menjadi leiah dan kelelahan itulah yang mampu membuat darah
kemes-raannya menjadi dingin, tak sepanas saat itu. Teratai Kipas tak tahu
maksudnya, ia hanya menyangka Suto Sinting ingin unjuk kebolehan dalam
kecepatan berlarinya. Padahal Suto berlari tidak dengan menggunakan kekuatan
tenaga dalam penuh. la juga tidak pergunakan ilmu peringan tubuhnya, sehingga ia
tertinggal jauh oleh Teratai Kipas. Tapi justru keadaan itulah yang membuat Suto
terhindar dari gairahnya.
Perguruan Tongkat Sakti ternyata terletak di lereng Gunung Kundalini juga.
Letaknya agak tinggi dari tempat pondoknya Nyai Sapu Lanang. Lebih tepatnya
sebelah utara saat Suto Sinting pertama kali bertemu dengan Nyai Sapu Lanang.
Sebenarnya saat itu Suto tinggal beberapa waktu lagi sudah mencapai Perguruan
Tongkat Sakti. Tapi karena terhalang Nyai Sapu Lanang ia jadi menunda waktu
datang ke perguruan tersebut.
Perguruan itu dikeliiingi oleh benteng kayu yang rapat dan kokoh. Pada tiap
sudut terdapat menara pengawas yang dijaga oleh satu orang untuk satu menara.
Hal itu mempersempit kemungkinan pencuri masuk ke bangunan pusat perguruan
yang ada di tengah benteng kayu itu. Anehnya justru perguruan itu sedang dilanda
musibah dengan masuknya seorang pencuri yang berhasil membawa lari Pisau
Tanduk Hantu. Sudah pasti pencurinya orang berilmu tinggi karena bisa menerobos
masuk ke benteng yang dijaga ketat itu.
"Bagaimana caranya masuk tanpa menimbulkan korban?" tanya Suto Sinting
kepada Teratai Kipas.
"Itu yang sedang kupikirkan," jawab Teratai Kipas dengan mata pandangi
benteng perguruan itu. "Jika benar Pisau Tanduk Hantu dicuri orang, maka mereka
juga akan mencurigai diriku sebagai pencurinya. Sebab akulah orang yang dulu
sering keluar-masuk benteng itu selama menjadi kekasih Raden Panji. Ini yang
mem-buatku agak ragu untuk mendekati secara baik-baik."
Pendekar Mabuk mau ucapkan kata, tapi tiba-tiba niatnya diurungkan karena
melihat sekelabat bayangan biru melintas menuju gerbang benteng. Mata tua Suto
sempat menangkap seraut wajah yang dikenalnya sebagai milik Menak Goyang.
Maka dengan gerakan cepat ia pun menghadang langkah gadis berjubah biru itu.
Zlaaap...! Melihat Suto Sinting menghadang seseorang, Teratai Kipas ikut menyusulnya
dengan gerakan cepat pula. ia sempat merasa heran melihat Suto Sinting mampu
bergerak lebih cepat dari saat beradu lari tadi, namun pikiran tersebut segera
dihilangkan. Kini perhatian Teratai Kipas terpusat pada Menak Goyang yang
terkejut melihat Suto Sinting menghadang langkahnya.
"Siapa kau" Mau apa menghadangku?" tanya gadis itu sambil kakinya
bergoyang-goyang tak bisa diam. Rupanya ia tidak mengenali Suto Sinting karena
penampilan Suto yang seperti seorang kakek itu.
"Kita masih punya urusan yang belum selesai, Menak Goyang."
Gadis itu kerutkan dahinya. Tapi semakin heran ketika dilihatnya Teratai Kipas
muncul dan mengambil tempat di samping Suto Sinting. Seakan Teratai Kipas
tunjukkan sikap memihak kepada Pendekar Mabuk yang masih belum dikenal oleh
Menak Goyang itu.
"Teratai Kipas..."! Apa maksudmu membawa kakek tua ini datang kemari"!"
"Jika tak ada urusan penting denganmu tak mungkin dia datang kemari,"
jawab Teratai Kipas dengan tenang.
"Siapa Pak Tua ini sebenarnya"! Aku merasa tak punya urusan dengannya!"
Suto Sinting segera menjawab, "Bukalah matamu baik-baik, Menak Goyang.
Walau keadaanku menjadi setua ini tapi tentunya kau masih ingat dengan seseorang
yang kau sebut-sebut sebagai Pencuri Tampan"!"
Setelah mempertegas penglihatannya, Menak Goyang terperanjat jelas-jelas.
Matanya melebar mulutnya ternganga. Sebentar kemudian terdengar ia berucap,
"Kau rupanya..."!"
"Benar! Aku orang yang kau tuduh pencuri pusaka gurumu! Aku datang untuk
mengambil adikku yang kau bawa lari itu!"
"Apakah pisau itu sudah kau bawa juga sekarang ini?"
"Selamanya aku tak pernah memiliki pisau itu, karena bukan aku pencurinya!"
"Kalau kau datang tanpa membawa Pisau Tanduk Hantu, kami tak akan mau
serahkan adikmu yang aneh itu!" kata Menak Goyang.
Teratai Kipas menengahi dengan sikap tenangnya, "Menak Goyang, kau salah
orang. Kau hanya bikin penyakit saja. Dia bukan pencuri pisau itu!"
"Kau tak perlu ikut campur, Teratai Kipas. Guru akan marah kepadamu kalau
kau ikut campur urusan Ini. Kecuali jika ternyata kaulah pencurinya, maka urusan
ini memang menjadi urusanmul"
"Jangan menuduh sembarangan, Menak Goyang! Aku bisa marah padamu!"
Menak Goyang justru mendekat dengan sikap me-nantang. "Apakah kalau kau
marah lantas aku takut padamu"!"
Kalau kau tak takut padaku, coba serang aku lebih dulu!" pancing Teratai
Kipas dengan mata jell menatap calon lawannya.
"Rupanya kau ingin bukti keberanianku" Terlmalah ini, hiaaah...!"
Menak Goyang lepaskan tendangan memutar dengan cepat. Sasaran kaki
yang berkelebat adalah wajah Teratai Kipas. Namun dengan cekatan tangan Teratai
Kipas menghantam mata kaki itu dengan kepalan kerasnya. Dees...!
"Aauh...!" Menak Goyang terpekik ketika tubuhnya terpelanting dan jatuh di
samping Suto Sinting.
Ketika ia berusaha bangkit, Suto Sinting segera menyentakkan tangannya.
Kedua tangan yang menguncup itu menghantam dengan gerakan limbung seperti
orang sedang mabuk. Pukulan itu mengenai tubuh Menak Goyang dengan cepat dan
beruntun, sulit dilihat oleh mata orang biasa. Des, des, des, des...!
Serangkaian jurus
totokan mengenai sasaran dengan te-lak. Menak Goyang jadi terkulai lemas bagai
kehilangan seluruh urat tubuhnya. Tulang-tulangnya seakan telah remuk dan tak
bisa digerakkan sedikit pun. Namun kesadarannya masih ada, masih bisa merintih dan
bicara. Suto Sinting menakut-nakuti dengan kata, "Mudah sekali bagiku untuk
membuat kau kehilangan kepala. Sekarang pun bisa kulakukan. Tapi kuberi
Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesempatan padamu untuk membawa kami menghadap gurumu; si Malaikat Miskin
itu. Jangan ada pihakmu yang menyerang kami. Jaminannya adalah nyawamu. Sekali
totok lagi, nyawamu akan lenyap dari raga!"
"Bbba... baik... baik akan kubawa kalian menghadap Guru, tapi bebaskan dulu
totokan ini!"
"Tidak bisa! Kau akan kami seret sampai di depan gurumu!" kata Suto Sinting
tanpa senyum sedikit pun walau wajahnya tidak berkesan angker.
Dengan cara menyeret Menak Goyang, mereka mendekati pintu gerbang
benteng. Teratai Kipas menyangga ketiak kanan Menak Goyang dan Suto Sinting
menyangga ketiak kiri gadis itu. Kaki Menak Goyang terseret bagian telapaknya
karena tak mampu menapak sedikit pun.
"Menak Goyang...!" seru penjaga pintu gerbang. Empat orang itu segera
mengepung Suto Sinting dan Teratai Kipas. Mereka bersiap melepaskan serangan.
Tetapi Menak Goyang melirik tangan Suto Sinting tetap menguncup berarti siap
lepaskan satu pukulan yang akan mencabut nyawanya. Menak Goyang ngeri, dan
segera berseru kepada keempat penjaga gerbang,
"Jangan serang mereka! Nyawaku terancam! Buka pintu gerbang dan bawa
kami menghadap Guru!"
"Tapi...."
"Jangan membantah perintahku!" sergah Menak Goyang dengan kepala masih
bisa bergerak-gerak tak mau diam.
Teratai Kipas sempat menggerutu pelan, "Dasar Menak Goyang, biar ditotok
masih saja bisa goyang-goyangkan kepala!"
Pintu gerbang dibuka, Suto Sinting membawa masuk Menak Goyang bersama
Teratai Kipas. Semakin banyak murid perguruan yang melihat keadaan itu semakin
banyak yang mengepung dari kejauhan. Wajah-wajah mereka tampak tegang, karena
Menak Goyang yang dikenal sebagai murid tertinggi di situ bisa dilumpuhkan oleh
dua tamu tak diundang, berarti kedua tamu itu berilmu tinggi. Begitu setidaknya
jalan pikiran para murid Malaikat Miskin itu.
Seorang lelaki berambut rata, kurus dan tinggi, matanya cekung, tulang
pipinya bertonjolan, muncul menghadang langkah Suto Sinting dan Teratai Kipas
yang hendak memasuki ruang pertemuan.
Teratai Kipas bUikkan kepada Suto, "Pak Tua yang memakai jubah abu-abu itu
si Malaikat Miskin."
Suto Sinting hanya anggukkan kepala sambil masih tetap menopang tubuh
Menak Goyang. Matanya memandang orang yang memakai jubah abu-abu
ber-tambal kain warna-warni hingga nyaris tak terlihat lagi warna abu-abunya.
Malaikat Miskin yang berpakaian mirip gelandangan itu mengenakan ikat kepala
hitam dengan bertambal kain kecil-kecil. Celananya pun hitam dengan tambalan di
sana-sini. la mempunyai mata cekung yang memandang dengan dingin.
Menggenggam tongkat putih yang ujungnya bercabang tiga pendek-pendek.
Sepertinya tongkat dari kayu pohon biasa. Tanpa ukiran dan hiasan apa pun.
Menak Goyang segera dilemparkannya dan jatuh terpuruk bagaikan sarung
basah. Melihat Menak Goyang terlempar jatuh di depan kakinya, Malaikat Miskin
memandang dengan lebih tajam lagi. Giginya tampak sedang menggeletuk menahan
amarah. Mata tajam itu segera berpindah dari Suto ke Teratai Kipas. Suara
Malaikat Miskin terdengar berat.
"Apa maksudmu datang kemari secara bermusuhan, Teratai Kipas"!"
"Aku mengantarkan orang ini, Eyang Guru!" jawab Teratai Kipas masih
menghormat Malaikat Miskin seperti saat menjadi kekasih Raden Panji dengan
sebutan Eyang Guru.
"Apa perlunya datang kemari dengan melumpuhkan Menak Goyang
muridku"!" tanyanya lagi dengan nada datar dan suara berat.
Suto Sinting yang menyahut, "Aku datang untuk mengambil adikku!"
"Siapa adikmu"!"
Belum sempat dijawab, tiba-tiba dari arah dalam ruang pertemuan muncul
gadis kecil berlari-lari. Gadis itu berusia sekitar empat tahun. Dan Suto
Sinting terbelalak
kaget melihat bocah kecil itu ternyata adalah Sumbaruni yang sudah semakin
menyusut. la mirip bocah berusia empat tahun yang belum bisa berlari dengan
tegar. Malaikat Miskin segera menyambar Sumbaruni dan dalam waktu sekejap sudah
berada di gendongannya. Kedua tangan Sumbaruni tersekap hingga tak bisa
meronta-ronta. Sedangkan Malaikat Miskin lemparkan pandangan tajamnya ke wajah
bocah itu yang membuat sang bocah tak berani meronta lagi. Penuh rasa takut.
"Runi..."!" ucap Suto Sinting lirih.
Bocah kecil itu memandangi Suto Sinting dengan heran. Makin lama semakin
lebar matanya, lalu terdengar bocah itu bicara seperti orang dewasa.
"Suto,.."! Kaukah itu..."!"
"Ya. Aku Suto... kakakmu!"
"Ooh..."!" Sumbaruni tercengang sejenak. Wajah ciliknya tampak penuh haru
dan ketakutan. "Mengapa... mengapa kau bisa menjadi setua itu, Suto"!"
"Ceritanya panjang, Runi...."
Suto Sinting belum selesaikan kata, Malaikat Miskin sudah menyuruh anak
buahnya untuk membawa masuk Sumbaruni. Anak itu pindah gendongan dan
dibawa lari masuk. Suto Sinting mendengar suara teriakan Sumbaruni yang mengiris
hati, "Tidak mau...! Tidak mau...! Aku mau pulang! Aaauh... Sutooo...!"
Berkelebatlah Pendekar Mabuk dengan menggunakan Gerak Siluman'-nya
untuk mengejar Sumbaruni. Tapi gerakan cepat itu tertangkap mata Malaikat
Miskin. Kaki orang jangkung itu menendang tak sampai menyentuh tubuh Suto. Wuuut...!
Beeehg...! Ulu hati Suto Sinting bagaikan dihantam dengan pilar baja yang besar. Mata
tua Pendekar Mabuk menjadi mendelik dan kontan memuntahkan darah segar dari
mulutnya. Tubuh itu terjengkang ke belakang dan terkapar dengan napas
tersendat-sendat. Gelombang tenaga dalam yang amat besar dilepaskan dari kaki
Malaikat Miskin dan membuat Pendekar Mabuk mengalami luka memar tepat di ulu
hatinya. Biru legam di sekitar bawah dada. Bumbung tuak mengganjal punggung
karena belum diambil dari tempatnya.
Teratai Kipas sengaja tidak ikut menyerang Malaikat Miskin untuk
membuktikan bahwa ia hanya mengantarkan Suto Sinting tiba di tempat itu. Tetapi
Malaikat Miskin berkata kepada Teratai Kipas,
"Bawa pergi orang ini jika belum membawa Pisau Tanduk Hantu milikku!
Katakan padanya, dalam waktu satu malam jika ia tidak membawa pisau itu kemari,
maka adik kecilnya akan kujadikan korban pengganti pusaka, dan ia sendiri akan
mati membusuk karena jurus Tendangan Melarat'-ku tadi!"
Tapi dia bukan pencurinya, Eyang Guru."
Tahu apa kau, hah"! Hanya dia orang asing yang ada di wilayahku saat pisau
pusaka itu hilang. Berarti dialah pencurinya!"
"Belum tentu!"
"Jangan membantah keputusanku kalau kau tak ingin kuanggap bersekongkol
dengan orang itu!" sambil Malaikat Miskin menuding Suto Sinting yang terkapar
dengan wajah kian memucat
Teratai Kipas tak berani membantah lagi. la sadar bahwa ilmunya kalah tinggi.
Malaikat Miskin bukan tandingannya. Jika ia melawan hanya untuk membela Suto
Sinting itu sama saja ia mati konyol tanpa arti. Maka segera saja tubuh Suto
Sinting diangkat dengan menggunakan ilmu tenaga dalamnya hingga tubuh itu terasa
ringan. la memanggul tubuh Suto Sinting dan melesat pergi tinggalkan perguruan
tersebut. "Waktumu hanya semalam untuk menebus adikmu Itu dengan Pisau Tanduk
Hantu," kata Teratai Kipas ketika merasa sudah jauh dari Perguruan Tongkat
Sakti. "Ja... jangan bicara dulu.... Beri aku... tuak...! Tuak...!" Suto sulit bicara
karena sekujur tubuhnya bagaikan berubah menjadi kayu keras.
49 TUAK sakti itu pula yang selamatkan Pendekar Mabuk dari pembusukan yang
dikarenakan jurus Tendangan Melarat' si Malaikat Miskin itu. Jika Teratai Kipas
terlambat memberikan tuak kepada Suto Sinting, maka pembusukan akan segera
berlangsung dan itu berarti mereka terlambat melawan pengaruh kekuatan jurus
Tendangan Melarat' tersebut.
"Apa rencanamu sekarang"1' tanya Teratai Kipas. "Membalas budi baikmu
yang telah selamatkan aku dari pembusukan. Tapi ketuaanku ini masih belum bisa
hilang," jawab Suto Sinting sambil membuka tutup bumbung tuak dan meneguk tuak
lagi dua tegukan.
"Apakah kau ingin kembali ke pondoknya Nyai Sapu Lanang?" tanya gadis itu.
"Aku belum punya keputusan. Aku ingin beristirahat di sini dulu."
Suto Sinting sengaja duduk melonjor dengan punggung bersandarkan batang
pohon. Angin berhembus menghadirkan semilir kesejukan yang membuat orang
terkantuk-kantuk. Tetapi agaknya baik Suto maupun Teratai Kipas tak mau hanyut
tertidur di situ. Teratai Kipas ikut duduk bersandar, berhadapan dengan Suto
Sinting. Punggung Teratai Kipas bersandar pada sebongkah batu cadas berlumut tipis.
Kakinya tidak melonjor, melainkan menapak ke tanah hingga kedua lututnya
terlipat naik. Sikap duduknya seperti seorang lelaki yang mampu bergerak dengan gesit dan
cekatan. Suto Sinting memandang lurus pada permukaan tanah di depannya. la
menerawang dengan wajah sendu tanpa keceriaan. Teratai Kipas dapat menduga apa
yang membuat Suto Sinting menerawang sedih.
"Kurasa yang lebih utama adalah menyelamatkan adikmu itu dulu!" kata
Teratai Kipas memecah kebisuan mereka yang berlangsung beberapa saat lamanya.
Sambungnya lagi, "Bocah itu tidak berdosa. Kulihat ia menangis sedih saat dibawa
lari. la rindu padamu. Cuma anehnya, ia bicara seperti orang dewasa. Lucu dan
menyedihkan. Padahal jika ia berhasil kita bawa keluar dari sana, aku ingin
sekali menggendongnya."
Pendekar Mabuk yang mulai membungkuk karena pengaruh ketuaannya itu
hanya bisa tarik napas dalam-dalam. Kejap berikutnya terdengar suaranya pelan,
"Ya, memang lucu...."
"Aku jadi heran padamu, mengapa bocah sekecil itu kau bawa-bawa sampai
ke kaki gunung ini" Seharusnya anak seperti dia tidak boleh ikut melintasi hutan
di pegunungan. Jangan ajak anak sekecil dia untuk berkelana mengikuti langkahmu
yang tak pasti itu."
"Sebenarnya kedatanganku ke Gunung Kundalini punya maksud tertentu yang
berkaitan dengan si kecil Runi itu."
"Apa maksud tertentumu itu?"
"Mencari Telur Mata Setan."
Seeet...! Wajah Teratai Kipas terangkat tegak dan menatap Suto Sinting yang
menunduk. Sekalipun dalam keadaan menunduk, tapi ekor mata Suto dapat melihat
gerakan cepat wajah yang menjadi tegak dan sedikit tegang itu. Maka Pendekar
Mabuk pun segera menatap Teratai Kipas.
"Kami membutuhkan Telur Mata Setan. Kabarnya ada di Gunung Kundalini,
tapi kami tak tahu di mana letaknya yang tepat."
Teratai Kipas masih tertegun tanpa gerak dan tanpa kedip. Suto Sinting
merasa heran dan akhirnya bertanya, "Apakah kau tahu letak Telur Mata Setan?"
Teratai Kipas cepat-cepat hembuskan napas, sunggingkan senyum tipisnya.
Pandangan mata beralih ke arah lain sebentar, lalu kembali lagi memandang Suto.
Kepalanya menggeleng-geleng pelan sambil masih tersenyum berkesan
meremehkan pertanyaan Pendekar Mabuk tadi.
"Jika kau tahu, bantulah aku mendapatkan Telur Mata Setan itu."
Si lesung pipit segera menjawab dengan hiasan senyumnya, "Kau seperti anak
kemarin sore saja."
"Apa maksudmu berkata begitu?" Suto Sinting kerutkan dahi.
"Lupakan tentang Telur Mata Setan!"
"Mengapa harus kulupakan, sedangkan aku sangat membutuhkannya untuk
suatu kepentingan yang sangat penting."
Tawa kecil terdengar dari mulut si cantik beralis sedikit lebat itu.
"Telur Mata Setan itu tidak ada," katanya tegas-tegas. "Telur Mata Setan hanya
ada dalam dongeng anak-anak desa sekitar kaki Gunung Kundalini. Dongeng itu
dituturkan para orang tua menjelang sang anak tidur. Dongeng Telur Mata Setan
memang menarik bagi alam pikiran anak-anak, sehingga nama Telur Mata Setan
menjadi kondang. Tapi sesungguhnya telur itu tidak ada."
Suto Sinting terperangah bengong sampai beberapa saat lamanya tak
terdengar berucap kata apa pun. Teratai Kipas menertawakan, tampak geli melihat
wajah seorang kakek menjadi terbengong seperti itu.
"Telur itu... telur itu tidak ada"! Hanya sebuah dongeng"!"
"Ya, hanya sebuah dongeng menjelang bobo' saja. Kusarankan, jangan
mencari Telur Mata Setan lagi. Lebih baik kau mencari teiur mata sapi, itu
banyak terjual di kedai-kedai atau di pasar tak jauh dari sini. Hik, hik, hik...!"
Suto Sinting kembali terbengong. Jauh-jauh ia memburu Telur Mata Setan
sampai mengalami nasib menjadi cepat tua seperti itu, ternyata telur itu hanya
ada dalam dongeng belaka. Alangkah sia-sianya waktu dan tenaga yang telah dicurahkan
untuk mengejar telur dalam dongeng" Rasa kecewa bercampur dengan rasa sesal.
Percampuran kedua rasa itu membuat hati Suto Sinting menjadi jengkel. Belum lagi
jika ia memikirkan 'Racun Gugah Jantan' yang belum terobati dari tubuhnya itu,
semakin besar saja kedongkolan hati Pendekar Mabuk menerima kenyataan itu.
"Sekali lagi kusarankan, lupakan tentang dongeng Telur Mata Setan. Kau tidak
akan berhasil mendapatkannya walaupun sampai masuk ke liang lahat. Jika kau
nekat ingin mencarinya, kau harus masuk ke alam negeri dongeng. Tapi itu pun sesuatu
yang amat mustahil!"
Tarikan napas Pendekar Mabuk tampak memberat. Kejap berikutnya suaranya
mulai terdengar lirih tapi jelas di telinga Teratai Kipas.
"Permainan siapa sebenarnya yang kujalankan ini" Nyai Paras Murai atau si
Bongkok Sepuh"!"
Wajah cantik itu terperanjat, "Kau mengenal Nyai Paras Murai?"
"Ya. Aku berkenalan di tengah jalan dan ia memberitahukan tentang Telur
Mata Setan itu. Katanya telur tersebut ada di Gunung Kundalini. Maka kami segera
lari kemari."
"Aku juga mengenai nama Nyai Paras Murai. Ketika aku menjadi kekasih
Raden Panji, aku pernah melihat Malaikat Miskin bertarung dengan Nyai Paras
Murai, tapi perempuan itu kalah dan melarikan diri. Tapi kuanggap ia tokoh perempuan
yang punya kesaktian cukup lumayan."
Pendekar Mabuk bangkit berdiri bagai tak hiraukan kata-kata Teratai Kipas.
Matanya memandang jauh ke satu arah membayangkan kesia-siaannya datang ke
kaki Gunung Kundalini. Dalam sikap punggung sedikit bungkuk ia dekati Teratai
Kipas dalam dua langkah.
"Aku akan kembali ke Perguruan Tongkat Sakti! Akan kukerahkan semua
ilmuku untuk merebut Sumbaruni dari tangan Malaikat Miskin."
Dengan sentakan cepat Teratai Kipas bangkit berdiri dan wajahnya menegang.
"Kau juga mengenai nama Sumbaruni"! Bukankah dia perempuan sakti yang
terkenal sebagai istri Jin Kazmat dan tinggal di gua Pantai Semberani"
Kesaktiannya melebihi Nyai Paras Murai!"
"Dari mana kau mengetahuinya?"
"Guruku banyak bercerita tentang Sumbaruni!"
"Siapa gurumu itu?"
"Namanya tak terlalu penting bagimu. Tapi jika kau ingin mengetahuinya,
maka kau dapat mengingat sebuah nama...."
Belum sempat nama itu terucap, tiba-tiba Suto Sinting segera menarik tangan
Teratai Kipas ke arah pe-lukannya, karena dari samping kiri gadis itu tampak
sinar' hijau berkelebat cepat menuju kepada gadis itu. Claaaap...!
Wuuut...! Brruk!
Suto Sinting sampai terjengkang karena benturan badannya dengan badan
Teratai Kipas. Mereka jatuh bertumpuk-tumpuk. Sinar hijau tadi menghantam pohon
dan pohon itu menjadi retak tiga bagian dari bawah ke atas. Krraak...! Tak ada
dentuman yang terdengar ledakan kecuali letupan kecil.
"Apa yang kau lakukan padaku, hah"!" sentak Teratai Kipas menjadi merah
wajahnya menahan malu dan marah. Tetapi begitu mendengar suara pohon retak,
ke-marahannya segera sirna dan berubah menjadi ketegangan yang mengejutkan.
"Seseorang ingin membunuhmu dari jarak jauh!"
Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, ya... aku tahu!" Teratai Kipas bergegas bangkit. Tapi tabrakan tubuh
dengan tubuh itu membuat Suto Sinting berdesir hati karena sempat rasakan
keha-ngatan badan Teratai Kipas. Desiran hati membuat gairah cumbu Suto Sinting
hampir saja meledak-ledak lagi. Untung ia segera dapat alihkan perhatiannya
kepada munculnya sesosok tubuh sintal berpakaian merangsang syaraf, namun juga
merangsang permusuhan terpendam. Orang itu tak lain adalah Nyai Sapu Lanang.
"Biadab kau, Suto!" makinya dengan geram tertahan di mulut. "Rupanya
hasrat bercumbumu sengaja tidak ingin kau berikan padaku karena kau punya
maksud ingin memberikannya kepada di betina itu"!"
"Nyai Sapu Lanang!" sentak Teratai Kipas. "Kau boleh seenaknya menuduhku
punya maksud tak senonoh dengan si tua Suto ini! Tapi sebelumnya perkenalkan
dulu, aku adalah Teratai Kipas, kakak dari Arya Wuka yang menjadi gila karena
asmara bercumbumu dan akhirnya mati bunuh diri karena tak jumpa lagi denganmu.
Kini aku menuntut pembalasan! Nyawa adikku hanya bisa kautebus dengan
nyawamu sendiri, Nyai Sapu Lanang!"
"Hmm...!" Nyai Sapu Lanang sunggingkan senyum sinis, sebagai senyum
penghinaan terhadap kemampuan Teratai Kipas yang dianggapnya sepele itu.
Katanya setelah itu, "Aku tak peduli apakah kau kakaknya Arya Wuka atau
bukan, yang jelas kau telah membuatku benci kepadamu karena bermesraan di sini
dengan Suto Sinting! Tanpa kau tuntut nyawaku, aku pun akan menuntut nyawamu
karena kau berani bertumpuk-tumpuk dengan lelaki yang kuharapkan menjadi benih
keturunanku!"
"Apa maumu sekarang, hah"!" bentak Teratai Kipas tak ada takutnya sama
sekali. Melihat keadaan membahayakan Teratai Kipas, Suto Sinting segera
menengahi pertentangan itu. la bergegas maju ke pertengahan jarak di antara
kedua perempuan tersebut yang masing-masing tak ingin dilihat tewas di mata Suto.
"Redakan kemarahanmu, Nyai...! Redakan dendammu, Teratai Kipas. Ingat
sesuatu hal yang perlu kau pertimbangkan masak-masak."
Teratai Kipas mendengus kesal. la tahu maksud Suto Sinting, tak boleh
mencelakakan Nyai Sapu Lanang sebelum obat penawar racun diberikannya. Tapi
gemuruh dendam sudah telanjur mendesak dada. Sulit untuk dibendung lagi.
Karenanya gadis itu segera berkata kepada Suto Sinting berambut putih,
"Urusanmu adalah urusanmu. Aku akan mengurus masalahku sendiri!
Menyingkirlah dari hadapanku, karena aku tak ingin kau menjadi korban dendamku!"
"Teratai..., sadar! Jangan gegabah. Pandanglah siapa yang kau lawan!" bujuk
Suto Sinting. Selagi Suto membujuk Teratai Kipas agar kurangi niat membalas dendam
pada saat-saat sekarang, tiba-tiba Nyai Sapu Lanang lepaskan senjata rahasianya
berbentuk bintang segi enam dari lempengan baja putih. Slaap...! Dub! Ziing...!
Benda itu dilemparkan ke arah pohon dan memantul cepat menuju kepala Teratai Kipas.
Pantulan cahaya matahari pada benda pipih itu terlihat oleh mata Suto Sinting
yang memunggungi Nyai Sapu Lanang. Dengan cepat tangan Suto Sinting menyentak ke
arah benda tersebut. Claaap...! Seberkas sinar biru dari jurus 'Tangan Guntur'
melesat melalui pertengahan telapak tangan Suto Sinting. Sinar biru itu menghantam benda
mengkilap itu sebelum benda tersebut mendekati kepala Teratai Kipas. Duaaar....!
Tentu saja benda itu hancur. Tubuh Teratai Kipas melenting di udara dengan
hentakan kaget yang membuat kakinya menyentak ke tanah secara naluriah.
"Keparat kau, Suto! Kau ternyata ada di pihak perempuan lacur itu, hah"!"
bentak Nyai Sapu Lanang. Kemudian ia melesat dalam satu lompatan ke punggung
Suto Sinting. Wuuut...!
Suto Sinting sendiri cepat putarkan bumbung tuaknya. Dan bumbung itu
melesat terbang ke arah tubuh Nyai Sapu Lanang. Bumbung itu bagaikan terbang
membawa Suto Sinting. Ujung bambu menyodok ke depan dan dihantam dengan
kepalan tangan Nyai Sapu Lanang.
Duus...! Duaaar...!
Ledakan cukup keras kembali terdengar saat pukulan bertenaga dalam tinggi
itu mencoba memecahkan bumbung tuak sakti tersebut. Ledakan tersebut membuat
tubuh Nyai Sapu Lanang terpental melayang ke belakang dan jatuh terbanting
dengan punggung membentur gumpalan batu. Blluhk...!
"Heegh...!" pekik tertahan terdengar dari mulut Nyai Sapu Lanang.
Rupanya pukulan itu membalik keras menghantam tubuh Nyai Sapu Lanang
sendiri. Pukulan tenaga dalam yang berbalik dalam keadaan lebih besar dari
aslinya itu membuat sekujur tubuh Nyai Sapu Lanang menjadi biru legam. Matanya
cenderung menjadi merah bagai ingin keluarkan darah. Tetapi mulut dan hidungnya
sudah lebih dulu mengucurkan darah sebelum ia jatuh terbanting.
Melihat Nyai Sapu Lanang terkapar dalam keadaan luka parah dan boleh jadi
dikatakan sedang sekarat, Teratai Kipas segera cabut senjatanya. Sreet...! Lalu
dengan teriakan penuh dendam ia melintasi pohon di depan Suto Sinting, berkelebat ke
arah tubuh yang tak berdaya itu. Wuuut...!
"Hiaaah...!"
"Terataiii...!" teriak Suto Sinting sangat ketakutan kalau sampai kipas itu
menghabisi nyawa Nyai Sapu Lanang. Maka dengan gerakan nyaris tak terlihat lagi
karena cepatnya, Suto Sinting segera menyambar tubuh Nyai Sapu Lanang tepat
ketika ujung kipas menge luarkan mata pisau tajam dan siap dihunjamkan ke tubuh
Nyai Sapu Lanang. Tapi karena tubuh itu lebih dulu disambar Suto Sinting, maka
pisau yang keluar dari ujung kipas hanya menancap di tanah dekat batu yang
mengganjal tubuh Nyai Sapu Lanang tadi.
Juubb...! Dalam sekejap Suto Sinting telah jauh dari Teratai Kipas. la berdiri
membungkuk sambil memanggul tubuh Nyai Sapu Lanang. Dari tempatnya ia
berseru, "Teratai..., maafkan aku! Kau tak boleh membunuhnya sebelum urusanku
selesai! Aku terpaksa harus selamatkan dia lebih dulu, Teratai! Sampai jumpa di
lain waktu!" "Sutooo...! Serahkan dia padaku atau kau ikut menjadi korbanku"! Sutooo...!"
Teriakan itu tak dihiraukan. Suto Sinting bagai lenyap ditelan bumi karena
gerakannya begitu cepat. Te ratai Kipas penasaran dan segera lari mengejarnya.
8 DEMI mendapatkan obat penawar racun, Suto Sinting terpaksa larikan
musuhnya dan mengobatinya dengan tuak. Mulut perempuan itu dingangakan dan
dituangi tuak sedikit demi sedikit. Hal itu sengaja dilakukai oleh Suto Sinting
tidak di pondok Nyai Sapu Lanang, melainkan di suatu tempat tersembunyi. Karena Suto
Sinting punya dugaan akan dikejar oleh Teratai Kipas ke arah pondok. Maka ia
lakukan penyembuhan itu di tempat lain. Dan ternyata dalam beberapa waktu
kemudian setelah Nyai Sapu Lanang berhasil meneguk tuak beberapa kali, ternyata
keadaannya mulai membaik. Nyawa sang nyai tertolong oleh tuak Suto.
Nyai Sapu Lanang hanya pandangi wajah Suto Sinting yang berdiri bersandar
pada sebuah pohon. Samar-samar ia masih sempat mengingat saat disambar oieh
Suto Sinting dan dipaksakan meminum tuaknya. Kini rasa sakit terbakar di sekujur
tubuh telah lenyap, dan Nyai Sapu Lanang sadar bahwa kesembuhannya berkata
pertolongan Suto Sinting.
"Ternyata kau lebih setia padaku daripada terhadap gadis itu, Suto!" katanya
sambil mendekati Suto Sinting. la menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, tubuh
diliukkan ke sana-sini, ternyata sangat enteng dan tidak merasakan ngilu sedikit
pun. "Bumbung tuakmu itu ada isinya?"
"Tentu. isinya tuak," jawab Suto Sinting seenaknya saja.
"Maksudku mempunyai hawa sakti tersendiri yang bisa memantulkan
pukulankutadi. Hampir saja aku mati oleh tenaga dalamku sendiri."
"Apakah kau ingat siapa yang menyelamatkan nyawamu dari bahaya
kematian?"
"Tentunya kaulah orangnya," jawab Nyai Sapu Lanang dengan
mengusap-usap lengan Suto, senyumnya membias berkesan nakal. "Kau pasti
menyadari bahwa akulah wanita yang kau butuhkan dalam hidupmu. Tentunya kau
tak rela jika melihat aku mati terbakar oleh tenaga dalamku sendiri sementara
kau belum merasakan kehangatan yang kumiliki di sela kemesraanku."
"Kau keliru, Nyai...," sambil Suto Sinting melangkah berpindah pohon. "Kalau
aku menyelamatkan nyawamu, lantaran aku ingin agar kau sadar bahwa aku tidak
menaruh kebencian padamu. Kau telah kutolong, maka sebaiknya kau pun membalas
pertolonganku ini dengan memberikan obat penawar racunmu ini!"
Nyai Sapu Lanang mendekat dengan senyum masih tetap nakal. "Lupakanlah
tentang obat penawar racun itu, Suto. Kau tak akan mendapatkannya sebelum kau
mau turuti hasratku. Biasanya, lelaki yang sulit diperoleh adalah lelaki yang
mampu memberikan keturunan lebih dari sepuluh anak! Hik, hik, hik, hik...!"
Suto Sinting menggeram jengkel dalam hatinya. "Nyai, aku sudah
menyelamatkan nyawamu. Tidakkah kau ingin menyelamatkan nyawaku juga dari
racunmu yang mempercepat ketuaanku ini"!"
Nyai Sapu Lanang gelengkan kepala. "Aku tak menyuruhmu menyelamatkan
nyawaku. Semua kau lakukan karena gagasanmu sendiri, bukan atas permohonanku.
Jadi aku merasa tak punya hutang budi padamu."
"Benar-benar buta mata hatimu, Nyai! Seumur-umur baru sekarang
kutemukan manusia yang tak tahu balas budi!"
"Akulah orangnya!" kata Nyai Sapu Lanang dengan membusungkan dada. la
justru merasa bangga dikatakan sebagai manusia tak tahu balas budi. Suto Sinting
tambah jengkel. Kalau tak ingat perempuan itu adalah kunci kesembuhannya dari
'Racun Gugah Jantan', sejak tadi sudah dihabisi oleh Suto Sinting dengan
ditantang bertarung secara terhormat.
Nyai Sapu Lanang berkata lagi, "Jangan menolong orang yang tak tahu balas
budi, nanti hatimu kecewa dan menyesal! Tetapi berbuatlah keindahan kepada orang
yang mempunyai sejuta kehangatan, maka kau akan bahagia dalam pelukannya,
Suto. Kalau kau tak percaya, kau bisa mencobanya sekali-dua kali."
"Muak aku mendengar rayuanmu, Nyai!" sentak Suto Sinting lalu buang muka
sambil mendenguskan napas lewat hidung. Semak berduri yang berjarak lima
langkah darinya terhempas bagai ditiup angin kencang. Angin itu adalah angin
napas yang keluar dari hidung Suto Sinting. Dalam keadaan marah seperti itu, Suto
Sinting mampu hadirkan angin badai yang amat dahsyat karena ia mempunyai ilmu 'Napas
Tuak Setan' yang amat berbahaya dan jarang dipergunakan itu.
Nyai Sapu Lanang bagaikan tidak menghiraukan kejengkelan Suto Sinting. la
makin merayapkan tangannya dengan nakal. Suto Sinting walau sudah berwujud
seorang kakek beruban rata, namun masih cepat menggerakkan tangannya menepis
tangan Nyai Sapu Lanang. Plaak...!
"Jangan memancing kemarahanku, Nyai!" ancamnya dengan suara pelan tapi
sorot matanya menatap tajam.
"Apakah kau tak ingin menjadi muda seperti usia aslimu?"
"Siapa orangnya yang mau cepat tua?"
"Menjadikanmu muda kembali adalah hal yang mudah. Tinggal
kesanggupanmu dan tekadmu. Hanya dengan beberapa kali mengarungi samudera
cinta bersamaku, kau akan kembali muda dan mungkin juga akan melihat
ketampanan dari keturunanmu yang kulahirkan sembilan bulan kemudian, Suto."
"Aku tak butuh rayuanmu lagi, tahu"!" bentak Suto Sinting dengan gusar.
Napas yang terlepas dari mulutnya ternyata cukup besar dan kencang. Tubuh Nyai
Sapu Lanang sempat terhempas delapan tombak jauhnya. Wuuusss...!
Suto Sinting sendiri terkejut karena ia tak sengaja membuat Nyai Sapu Lanang
terpental. Ketika mengu-capkan kata: "Tahu...." maka 'Napas Tuak Setan'-nya ikut
terlepas karena keadaan hati sedang marah. 'Napas Tuak Setan' itulah yang
menerbangkan tubuh Nyai Sapu Lanang dan menumbangkan tiga pohon kecil yang
ada di depannya. Semak-semak di balik pohon itu pun rusak, sebagian bagaikan
tercabut dari akarnya.
"Celaka! Aku harus mengendalikan amarahku biar tak menimbulkan bencana
di sekitar sini! Hampir saja kaki gunung itu dilandai badai hebat karena napasku
terlepas dalam keadaan marah," pikirnya dengan rasa sesal di hati.
Nyai Sapu Lanang yang terlempar jauh itu segera bangkit. la mulai dibakar
oleh hawa marahnya. Merasa dipermainkan oleh Suto Sinting, maka ia segera
menemui Suto kembali dengan mata membelalak garang.
"Sekarang kau terang-terangan ingin menantangku, Suto!"
"Maafkan aku, Nyai! Jangan marah padaku! Jangan pancing kemarahanku!"
"Persetan dengan dirimu! Kau telah permainkan aku seenakmu dengan
sentakan napasmu. Kau pikir hanya kau yang mempunyai kekuatan seperti itu"
"Napasku tak sengaja terlepas keluar, Nyai. Maafkan aku," Suto merendah
untuk menghindari perselisihan dengan perempuan pemegang obat penawar racun
rtu. Tetapi agaknya perempuan itu berang dan tersinggung sekali dilemparkan
bagaikan seonggok sampah.
Maka dengan cepat kakinya menerjang Suto Sinting dalam satu lompatan
bersuara keras, "Heaaah...!"
Brrrus...! Suto Sinting diterjang dengan kekuatan tendangan bertenaga dalam.
Suto Sinting tidak melawan dan menerima tendangan itu secara rela. Tubuhnya
terlempar sejauh enam langkah ke belakang. la jatuh berguling-guling, terpental
ke sana-sini. Rupanya Nyai Sapu Lanang ingin membalas perlakuan Suto tadi dengan
pengerahan tenaga dalam di kakinya.
Pendekar Mabuk hanya menyeringai karena tulang iganya seperti mengalami
keretakan. la berusaha bangkit pelan-pelan dan tidak lakukan pembalasan apa pun.
la bahkan menenggak tuaknya dua teguk, lalu menutup bumbung tuak itu agar tak
tumpah ke mana-mana. Tapi begitu selesai menenggak tuak, tiba-tiba Nyai Sapu
Lanang menyentakkan kedua tangannya ke depan dengan jari membentuk cakar
harimau. "Terimalah pembalasanku ini, Suto! Heaaah...!"
Wuuuttt...! Tenaga dalam tak bersinar terlepas dari kedua tangan itu. Tenaga
dalam bergelombang panas itu .amat besar dan membuat tubuh Suto Sinting
ter-jungkal di udara saat terhempas terbang ke belakang. Tubuh itu jatuh sambil
memeluk bumbung tuaknya yang hampir terlepas dari pegangannya. Akibat
terbanting-banting, pelipis Suto menjadi berdarah karena membentur batu runcing
di tanah. Pelipis itu robek, namun tak dihiraukan oleh Suto.
"Cukuplah murkamu, Nyai. Jangan marah lagi padaku," bujuk Suto Sinting
yang masih tetap berusaha untuk mengalah. Sebab jika ia lakukan penyerangan, ia
takut akan menewaskan Nyai Sapu Lanang.
"Kau mau menuruti keinginanku atau harus menerima hajaran seperti ini,
hah"!" bentak sang nyai semakin gusar dan berang karena tak ada perlawanan dari
Pendekar Mabuk.
Sosok tua yang tampak rapuh itu hanya menjawab, "Hentikan amarahmu dan
jangan lagi memaksaku untuk melayanimu, Nyai."
"Setan! Kalau begitu kau memang layak dihajar sampai akhirnya kau tahu
bahwa memenuhi harapanku itu lebih enak daripada menerima hajaranku! Hiah!"
Dada Suto Sinting dihantam dengan pangkal telapak tangan. Tubuh Suto
yang telah mengurus dimakan 'Racun Gugah Jantan' itu terdorong keras ke belakang
dengan darah muncrat dari mulutnya. Tubuhnya sempat melayang empat langkah
dan jatuh terpelanting membentur pohon dalam keadaan bersimpuh. Tapi bumbung
tuak masih ada di tangannya, dipegang kuat-kuat. Hasrat untuk melawan ditekan
kuat-kuat walau sangat menyiksa batinnya.
Wuuut...! Tiba-tiba sekelebat bayangan muncul melintasi pertengahan jarak di
antara mereka berdua. Sosok yang hadir di antara mereka itu tak lain adalah
kakek serba putih yang dulu pernah dianggap sebagai tokoh misterius. Orang tersebut
adalah si Setan Merakyat, kakak dari Bongkok Sepuh. Rambutnya panjang berwarna
putih rata, pakaiannya serba putih, dan ketika berkelebat datang seperti
gumpalan salju yang terhempas angin.
"Setan Merakyat..."!" Nyai Sapu Lanang terkejut karena ia mengenali tokoh tua
berilmu tinggi itu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tabib Darah
Tuak"). Tetapi Setan Merakyat tidak menanggapi sapaan itu, melainkan justru
menyingkir dari pertengahan jarak dan berkata kepada Suto Sinting yang masih
dikenalinya, "Mengapa tak kau lawan" Kau hanya akan menjadi bulan-bulanan oleh si binal
Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhati keji itu! Lawan dia, tunjukkan harga dirimu sebagai lelaki!"
"Aku terkena racun, Bapa Setan Merakyat! Hanya dia yang bisa sembuhkan racun
itu! Jika dia mati...."
Setan Merakyat menyahut, "Jika dia mati aku yang akan sembuhkan 'Racun Gugah
Jantan' itu!"
Mendengar ucapan Setan Merakyat, Suto Sinting tergugah keberaniannya untuk
lakukan sesuatu yang pantas dilakukan. Nyai Sapu Lanang berwajah beri-ngas
memandang Setan Merakyat.
"Kau tidak berhak mencampuri urusanku, Setan Merakyat!"
"Karena kau sudah kelewat batas, Waryanti!" kata Setan Merakyat yang agaknya
mengenai nama asli Nyai Sapu Lanang. "Kau pertahankan kecantikanmu, kau
pertahankan kemudaanmu, tapi tindakanmu semakin menyerupai iblis dari neraka.
Layaklah jika Suto Sinting meleburkan jasadmu agar menyatu dengan apinya neraka,
Waryanti!"
"Keparat kau, Murdawira! Heeeaaah...!"
Nyai Sapu Lanang baru saja ingin serang Setan Merakyat dengan jurus andalannya,
namun Suto Sinting sudah lebih dulu melepaskan jurus 'Manggala' yang mampu
melesatkan beberapa puluh pisau kecil dari tangannya yang disentakkan ke depan
dalam keadaan miring. Zlap, zlap, zlap, zlap...! Zrrrreeeb...!
Pisau-pisau kecil itu menghunjam tubuh Nyai Sapu Lanang. Mata sang nyai
terbelalak, berdirinya tegak dan diam tak bergerak dengan mulut ternganga.
Sampai beberapa saat ia masih diam bagaikan mematung. Tapi ketika angin
berhembus, tubuh itu berhamburan menjadi debu-debu lembut yang tak bisa
dikumpulkan lagi.
Nyai Sapu Lanang akhirnya mati menjadi debu oleh jurus 'Manggala' milik Pendekar
Mabuk, pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya yang menjadi penguasa
sebuah negeri di alam gaib; Negeri Puri Gerbang Surgawi.
Setan Merakyat selesai memandangi tubuh Nyai Sapu Lanang yang berhamburan
menjadi debu-debu lembut itu. la segera menatap Suto Sinting, tundukkan kepala
sedikit sebagai hormat samar-samar.
"Sudah seharusnya sejak dulu aku menghormat padamu, karena kulihat noda merah di
keningmu sebagai tanda kehormatan tertinggi yang layak dihormati oleh para tokoh
berilmu tinggi. Kutunggu tuntutanmu, tapi kau tidak menuntutku. Berarti kau
bukan orang yang gila hormat. Dan aku suka dengan murid yang tidak gila hormat,
Anak Muda!"
"Jangan memanggilku 'anak muda' dalam keadaan seperti ini, Bapa. Aku malu!
Keadaanku hampir sama tuanya dengan Bapa Setan Merakyat."
"Itu hanya pengaruh 'Racun Gugah Jantan'. Kuperhatikan seluruh sikapmu dari
Gunung Kemuning, ternyata kau memang lelaki sejati yang mampu menghargai
kepercayaan dan cinta kasih kepada seorang calon istri. Aku menaruh hormat
padamu, Anak Muda; Manggala Yudha Kinasih."
"Sudahlah, Bapa... jangan berlebihan memujiku.
Sebaiknya tolong bantu aku menawarkan 'Racun Gugah Jantan' ini. Aku tak mau
cepat tua, Bapa!"
"Tak ada yang sulit bagiku demi menyelamatkan calon muridku nanti."
"Bapa, tempo hari kita jumpa di Pulau Selayang, Bapa bilang aku adalah calon
muridmu. Apa sebenarnya yang terjadi dan terencana dalam benak Bapa Setan
Merakyat?"
Tokoh tua berilmu tinggi itu tersenyum. "Ada sebuah ilmu yang akan kuturunkan
pada seseorang. Tapi hanya orang yang tanpa pusar saja yang bisa menerimanya,
selain itu tak bisa. Dan orang tanpa pusar itu adalah kau. Maka ilmu itu akan
kuturunkan padamu jika waktunya telah tiba. Sebab itulah aku membayang-bayangimu
terus sampai akhirnya kita bertemu di sini, Suto."
"Ilmu...?" Suto Sinting menggumam. "Apakah kau tak bersedia?"
"Hmm... eh... tentu saja bersedia, Bapa Setan Merakyat. Tapi... agaknya yang
kubutuhkan saat ini bukan ilmu itu tapi Telur Mata Setan untuk memulihkan
keadaan Sumbaruni yang terkena 'Racun Ludah Naga' dari Syakuntala, Bapa!"
"Akan kubantu mencarinya. Karena secara pasti aku sendiri tak tahu di mana Telur
Mata Setan itu berada. Tapi aku tahu, di Gunung Kundalini ada seorang pertapa
yang pasti mengetahui di mana telur keramat itu berada. Kau bisa tanyakan
kepadanya,"
"Siapa nama pertapa itu, Bapa?"
"Calon kakak iparmu sendiri!" jawab Setan Merakyat. Tiba-tiba matanya
memancarkan sinar hijau terang menerjang Suto Sinting. Suto merasa silau.
Dan tiba-tiba sinar hijau itu lenyap seketika. Setan Merakyat pun lenyap tak
diketahui ke mana arah kepergiannya.
Tapi Suto Sinting segera terbelalak girang ketika melihat wujudnya telah pulih
menjadi muda seperti sedia-kala dengan kegagahan dan ketampanan yang akan
membuat banyak wanita bertekuk lutut di depannya.
SELESAI Segera terbit!!!
TELUR MATA SETAN
Pendekar Setia 1 Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Sian Ku Po Kiam Karya Khu Lung Manusia Meteor 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama