Ceritasilat Novel Online

Sengketa Kalung Pusaka 1

Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka Bagian 1


1 BULAN MASIH tergantung di angkasa ketika pertempuran di daerah Tanjung Jati itu mencapai puncaknya. Cahaya yang terang dan tanpa sepotong awanpun membuat arena pertempuran terang-benderang,
sehingga memungkinkan masing-masing orang mengetahui lawannya.
Namun Mahesa Wulung, Ki Lurah Mijen maupun
Pandan Arum serta Endang Seruni dan Jagabaya
Cangkring sama sekali tidak mengetahui bahwa dari
balik batu-batu karang tersembul tubuh-tubuh manusia yang telah siap menembakkan panah-panahnya ke
arah tubuh-tubuh mereka.
Tanpa mengetahui akan datangnya bahaya yang
bakal merenggut nyawa-nyawa mereka, kelima orang
ini masih saja gigih bertempur menghadapi keroyokan anak buah Bido Teles.
Ki Bango Wadas tertawa menyeringai. Dibiarkannya
para anak buah Bido Teles terus menyerang ke arah
Mahesa Wulung. Setiap kali seorang di antara mereka terpukul roboh oleh sambaran
cambuk Naga Geni di
tangan Mahesa Wulung. Sedang Ki Bango Wadas sendiri selalu menjauhkan diri dari setiap jangkauan
ujung cambuk tersebut, dan hanya sekali-kali saja dia menyerang langsung ke arah
Mahesa Wulung. Ketika Ki Bango Wadas merasa bahwa waktunya telah tiba dan tidak ada gunanya lagi membiarkan keempat lawannya menambah korban pada anak buahnya, tiba-tiba iapun bersuit nyaring melengking menyelusup ke segenap penjuru dan dedaunan, sambil
berteriak, "Hancurkan mereka!"
Bunyi berdesing bersahutan, kejar-mengejar terdengar mengaung di udara malam mengiringi belasan
anak panah yang melesat ke arah rombongan Ki Lurah
Mijen tersebut. Mula-mula Mahesa Wulunglah yang lebih dulu sadar akan munculnya bahaya tersebut, dan
ia melihat betapa belasan anak panah telah menyambar ke arah mereka dari beberapa arah dengan kencangnya. Maka sesaat Mahesa Wulung merasa tertegun, sebab bahaya tersebut tidak mungkin dihadapi seorang
diri. Apalagi mereka berada di tempat yang berjauhan.
Nah, dalam saat yang begitu mengerikan itulah tiba-tiba saja terjadi suatu kejadian lain yang menak-jubkan pandangan.
"Hyaaat!"
Satu teriakan melengking dahsyat terlontar ke udara bersamaan satu bayangan manusia bercaping melesat dan berloncatan mengitari arena pertempuran dengan gerakan kilat sehingga tidak mengherankan bila yang tampak adalah bayangan
hitam melulu. Sambil bergerak tadi, si tokoh bercaping senantiasa mengobat-abitkan pedang di
tangan kanannya diseling pula oleh kibasan sarung pedang di tangan kirinya.
Di saat itu pula terdengar benturan nyaring berkali-kali, susul-menyusul.
Triing! Tring! Craak! Craak! Craak!
Ternyata itulah akibat benturan mata pedang si tokoh bercaping yang setiap kali berhasil dengan tepat menyapu anak panah-anak
panah yang tengah meluncur menuju ke arah sasarannya, yakni tubuh-tubuh Ki Lurah
Mijen, Mahesa Wulung, Pandan Arum, Endang
Seruni dan Jagabaya Cangkring!
Maka sekejap mata saja tersapu rontoklah semua
anak panah dari udara, lalu berjatuhan ke atas tanah.
Keruan saja orang-orang yang berada di medan pertempuran menjadi melongo oleh kemunculan si tokoh
bercaping yang telah berhasil menyapu segenap anak
panah tersebut.
Terlebih-lebih bagi para pemanah yang telah merasa
melepaskan tembakan-tembakan panahnya tadi seakan-akan tercenung bagaikan patung-patung bernyawa yang terbisu di balik batu-batu karang.
Demikian pula dengan Ki Bango Wadas, Bido Teles
serta segenap anak buahnya tak kalah herannya menyaksikan pemandangan yang begitu mengagumkan.
Mereka serentak saling menduga dan bertanya-tanya
di dalam hati siapakah sebenarnya si tokoh bercaping yang baru saja muncul tadi"
Ternyata Mahesa Wulung, Ki Lurah Mijen, Pandan
Arum, Endang Seruni serta Jagabaya Cangkring terpesona pula oleh si tokoh bercaping yang baru saja menyelamatkan nyawa-nyawa
mereka. Maka diam-diam
kelima orang ini mengucapkan syukur di dalam hati
karena bencana yang dapat terhindar itu.
Paling tersadar lebih dahulu adalah para pemanah
tadi. Merasa serangannya gagal sama sekali, maka secepat kilat mereka memasang
kembali anak panahnya
pada busur-busur mereka untuk kemudian dibidikkan
ke arah sasarannya kembali, yakni rombongan Ki Lurah Mijen tersebut.
Namun sebelum mereka, yakni para pemanah tadi,
sempat bertindak lebih lanjut, sekonyong-konyong si tokoh bercaping itu sekali
lagi berkelebat melesat ke arah mereka dibarengi teriakan garang terlontar dari
mulutnya. "Haaaaiit!"
Sungguh hebat gerakan si tokoh bercaping tadi,
yang begitu cepat laksana prahara melanda sasarannya dan sekejap kemudian beberapa pemanah roboh terguling ke tanah dengan masing-masing terluka tebasan pedang pada
badannya. Sedang dua tiga orang lainnya yang masih selamat terpaksa mengumpatumpat, sebab busur-busur panah mereka telah terpotong putus menjadi dua bagian dan tidak ada kemungkinan gunanya lagi.
Seraya mencampakkan potongan-potongan busur
panahnya, mereka serentak berloncatan turun ke arena pertempuran setelah mencabut golok-goloknya.
Melihat ini, Mahesa Wulung dapat menarik nafas lega, setelah penyerangan gelap dari anak buah Bido
Teles gagal berantakan. Dan itulah sebabnya mengapa sesaat kemudian gerakan
Mahesa Wulung semakin hebat dan sigap. Cambuknya berkali-kali melecutkan
ledakan-ledakan keras mengerikan hati para lawannya.
Kehadiran si tokoh bercaping tadi benar-benar mengacaukan pengepungan rombongan Bido Teles dan Ki
Bango Wadas terhadap Ki Lurah Mijen serta rekanrekannya. Setiap pedang di tangan pendekar bercaping tadi berkelebat, pasti
menimbulkan korban yang mati ataupun paling sedikit terluka parah. Dan sudah
barang tentu, para anak buah Bido Teles tergetar hatinya, sehingga ke mana si
pendekar bercaping menuju, di situ pula mereka menjauh menghindarinya. Kalau toh
pendekar bercaping tersebut memburunya dengan serangan-serangannya, maka mereka
paling-paling hanya menangkis dan menghadapinya dari jarak jauh saja.
Dengan kedatangan pendekar bercaping tadi, maka
bertambahlah lawan yang harus dihadapi oleh anak
buah Bido Teles, sehingga tekanan serangan terhadap Ki Lurah Mijen serta rekanrekannya menjadi berku-rang.
Dalam pada itu, Mahesa Wulung senantiasa memperhatikan pendekar bercaping yang telah menolongnya. Sejak tadi ia sibuk menduga-duga siapakah sebenarnya orang ini" Dilihat
dari gerakan-gerakan serta jurus-jurus pedangnya, ia seakan-akan pernah mengenalnya. Mahesa Wulung melihat adanya unsur-unsur
gerakan Sigar Maruta yang juga bercampur dengan
unsur gerakan lainnya lagi. Dengan begitu, maka unsur gerakan Sigar Maruta yang semula dilihatnya menjadi semakin kabur dan lenyap
oleh jalinan jurus-jurus yang lain. Tetapi beberapa saat kemudian unsur gerakan
Sigar Maruta menjadi muncul kembali.
Hal ini membuat Mahesa Wulung semakin tertarik
oleh kegesitan ilmu pedang si pendekar bercaping. Tapi sayang wajahnya yang
tertutup oleh bayangan gelap
dari capingnya, membuat Mahesa Wulung tak dapat
meneliti siapakah orang ini sesungguhnya"
Di lain pihak, Ki Bango Wadas dan Bido Teles mengumpat-umpat dalam hati oleh turut campurnya si
pendekar bercaping tadi. Mereka melihat bahwa beberapa orang anak buahnya telah berkaparan di tanah
tak bernyawa. "Wah, celaka jika terus-terusan begini!" desis Ki
Bango Wadas. "Bisa habis orang-orang Bido Teles oleh mereka dan akhirnya kedua
kalung hijau ini akan jatuh ke tangan mereka kembali!"
Sementara itu Bido Telespun rupanya berpikir yang
sama. Setelah dilihatnya bahwa beberapa orang anak
buahnya telah mati, cepat-cepat ia mengambil satu keputusan.
"Hmmm, aku harus mengundurkan diri selekas
mungkin. Yang penting, kedua kalung hijau itu telah berada di tangan kami dan
harus kami larikan segera!"
Maka tak antara lama, tampaklah Bido Teles memasukkan jari-jari tangan kirinya ke dalam mulut lalu menyusul sebuah suitan
nyaring melengking membelah kesepian malam, menyusur ke segenap lekuklekuk batu karang dan pepohonan tua.
Mahesa Wulung, Ki Lurah Mijen serta rekan-rekan
lainnya sangat terkejut mendengar suara tersebut. Bahkan si pendekar bercaping
itu terkejut pula karenanya.
Bagaikan hantu-hantu malam, segenap anak buah
Bido Teles segera berloncatan melesat meninggalkan
arena pertempuran dan lenyaplah di balik batu-batu
karang, termasuk pula kedua pemimpinnya, Ki Bango
Wadas dan si Bido Teles sendiri.
Baik Ki Lurah Mijen maupun Mahesa Wulung serta
rekan-rekan lainnya tak berusaha mengejar mereka.
Selain berbahaya, juga tak ada gunanya lagi. Sebab, bukankah tujuan utama mereka
menyelamatkan Endang Seruni" Dan itu semua telah berhasil karena pertolongan si
pendekar bercaping yang telah muncul secara tiba-tiba, tepat di saat mereka
diancam bencana.
Maka cepat-cepat mereka bermaksud mendekat dan
menyatakan terima kasihnya kepada si pendekar bercaping. Tetapi alangkah mereka dibuat terkejut untuk kedua kalinya, karena
secara tiba-tiba pula si pendekar bercaping menggenjotkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya melesat ke arah selatan laksana belalang
melontarkan diri.
"Heei, Kisanak! Tunggu...!" seru Ki Lurah Mijen
mencegah si pendekar bercaping itu. Tetapi orang tersebut bagaikan bayang-bayang
melesat dan sebentar
saja telah lenyap di balik semak-semak ilalang.
"Aaakh, sayang sekali ia telah pergi!" desah Ki Lurah dengan nada kecewa sambil menyarungkan kembali kerisnya. "Kita tak sempat mengucapkan terima
kasih kepadanya."
Mahesa Wulung yang telah berada di dekat Ki Lurah
dapat pula memahami kekecewaan orang tua ini. Sebab sudah seharusnya mereka menyatakan terima kasih, apabila sebuah pertolongan telah diberikan oleh seseorang. Terlebih lagi
pertolongan tersebut sungguh kelewat besar artinya bagi keselamatan mereka.
"Yah, memang sayang sekali, ia telah pergi!" sambung Mahesa Wulung. "Mudah-mudahan kita akan
bertemu lagi dengan dia dan kita dapat mengucapkan
terima kasih kita kepadanya!"
"Mudah-mudahan begitu!" ujar Ki Lurah pula. "Nah,
Angger Mahesa Wulung, sekarang kita teruskan perjalanan kita ke arah Tanjung Bugel."
"Baik, Bapak," ujar Mahesa Wulung seraya berloncatan menuju ke kudanya yang masih saja berdiri di
dekat sebuah pohon mati dengan meringkik-ringkik
kecil. Dengan sigap iapun cepat-cepat meloncat ke atas
punggung kudanya, lalu dipacunya ke arah timur bersama-sama Ki Lurah Mijen, Pandan Arum, Endang Seruni dan Jagabaya Cangkring.
Sebentar saja mereka berlima telah kabur ke sebelah timur bersama kudanya, meninggalkan debu berkepul serta derap kaki kuda yang gemuruh suaranya.
*** Sedang di saat itu pula, jauh di sebelah selatan dari bekas medan pertempuran,
berdirilah si pendekar bercaping di atas gundukan batu karang. Ia melayangkan
pandangannya ke bekas tempat pertempuran tersebut
dengan mengelus-elus dagunya.
"Mmmm, ternyata mereka telah mempersengketakan kalung pusaka itu, dan sekarang telah jatuh ke
tangan gerombolan Bido Teles! Mereka kini pergi ke
arah timur. Heh, ke mana arah tujuan mereka" Sedang orang-orang gerombolan Bido
Teles itupun aku lihat berjalan menuju ke arah timur. Hmmm, jadi tujuan
mereka adalah sama, yaitu ke arah timur. Dan rupanya di sana telah menunggu sesuatu yang penting
atau berharga!" demikian pikir si pendekar bercaping dan sejurus kemudian ia
telah meloncat turun mendekati bekas arena pertempuran.
Tempat tersebut kini telah menjadi sepi kembali,
dan tampaklah beberapa tubuh berkaparan tak berkutik terjelapak di atas tanah dan batu-batu karang, memberikan pemandangan yang
mengerikan dan seram.
"Aku akan menyelidiki mayat-mayat itu. Siapa tahu
akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang penting bagi diriku!"
Si pendekar bercaping segera mulai meneliti tubuhtubuh yang tak berkutik tadi. Satu, dua, tiga tubuh telah diperiksanya, tetapi
tak satupun keterangan yang diperoleh. Juga pada tubuh yang keempat tak terdapat
petunjuk apa-apa. Kesemuanya telah tak bernyawa la-gi. Namun tiba-tiba pada
tubuh yang kelima, si pendekar bercaping berjongkok agak lama, sementara kedua matanya berkilat gembira sebab kedua tangannya
yang tengah memeriksa tubuh orang tersebut, telah
menangkap adanya detak-detak jantung yang sangat
lemah. "Orang ini belum mati sama sekali!" desis si pendekar bercaping. "Semoga ia masih dapat berkata-kata!"
Si pendekar bercaping lalu mengusap-usap wajah
orang tersebut dan sesaat kemudian orang itupun
membuka matanya, sedang nafasnya telah tersengalsengal. "Kisanak," ujar si pendekar bercaping dengan nada
lemah-lembut, "teman-temanmu telah kabur semuanya dan engkau tertinggal di sini seorang diri. Aku bermaksud menolongmu, namun
lebih dulu jawablah pertanyaanku ini."
"Earrrgh... apa... yang ingin... kau ketahui?" ujar orang tersebut dalam suara
yang sangat lemah, hampir tak terdengar.


Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke manakah tujuan kalian" Aku lihat teman-temanmu menuju ke arah timur!" kata pendekar bercaping. "Mereka... men... menuju ke Tanjung Bugel...!"
"Oooh, ke Tanjung Bugel"!" desis pendekar bercaping. Sementara itu tak jauh dari belakang si pendekar
bercaping, sesosok tubuh lain yang tadi terkapar mem-bisu, tiba-tiba saja mulai
bergerak dan tersadar dari pingsannya. Ternyata ia hanya terluka parah pada
bahunya yang kelihatan seperti terbelah oleh bekas senjata tajam. Ketika mulai
sadar dan matanya menatap
ke sebelah muka, orang ini menyeringai garang. Ia melihat si pendekar bercaping
yang tadi telah menebas bahunya dalam pertempuran, kini tengah duduk membelakang di depannya.
"Hmmm, inilah saat pembalasanku yang tepat!" pikir orang ini seraya memungut goloknya yang tergeletak di dekatnya. Dengan sisa
tenaganya yang terakhir, ia menubruk ke arah pendekar bercaping seraya
membacokkan goloknya ke arah kepala lawannya.
Si pendekar bercaping yang lagi menolong orang
pertama tadi, tiba-tiba merasakan suara berdesing di belakangnya dan secepat
kilat ia bertindak! Sambil
mengegoskan tubuhnya ke kiri, ia melolos pedangnya
dan sekaligus berkelebat menebas setengah lingkaran.
Apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan.
Si penyerang tersebut berteriak hebat dan menebah
perutnya dengan tangan kiri.
"Haaaargh!" Tubuh orang ini menjadi limbung dan
terjungkal ke depan merobohi orang pertama yang telah ditolong oleh si pendekar bercaping.
"Aaaargh!" terdengar teriakan kedua yang mengerikan, sehingga si pendekar bercaping terkejut pula karenanya. Dan begitu ia
melihat ke samping, tampaklah
bahwa golok si penyerang yang roboh tadi telah meng-hunjam ke dada orang
pertama. "Keduanya telah mati!" desis pendekar bercaping
sesudah sesaat ia memeriksa kedua tubuh orang itu.
"Heh, itulah rupanya tebusan atas dosa-dosa mereka!"
Ia menyarungkan kembali pedangnya dan berjalan
ke arah timur dengan bergumam, "Aku harus segera
tiba di Tanjung Bugel dan melihat apakah yang bakal terjadi di tempat itu!"
Dengan loncatan-loncatan kecil dari batu ke batu
dan dari satu semak ke semak belukar yang lain, si
pendekar bercaping bergegas ke arah timur dan sejurus kemudian telah lenyap ditelan malam.
Sang rembulan telah condong ke cakrawala barat
dan beberapa kelelawar terbang mencicit melintasi bekas arena pertempuran
seperti terkejut melihat mayat-mayat yang berkaparan di atas tanah dan batu-batu
karang di Tanjung Jati.
*** 2 GULUNGAN OMBAK putih berkejaran memecah di
sepanjang pantai selatan Pulau Mondoliko. Pulau yang ditumbuhi oleh semak liar
pohon pisang dan ilalang
serta pohon kelapa itu tampak sepi-sepi saja.
Namun sebenarnya tidaklah demikian. Di antara sela-sela rumpun pohon pisang, kelihatan orang-orang
berjaga-jaga dengan bersenjata tombak dan pedang.
Mereka senantiasa mengawasi pantai tersebut yang
langsung berhadapan dengan pantai utara Jawa. Setiap ada gerakan yang mencurigakan dari kapal-kapal, mereka segera melaporkan
kepada pemimpin mereka
yakni Ki Rikma Rembyak.
Di pusat pulau, terdapatlah beberapa rumah-rumah
kayu dikelilingi oleh dinding-dinding tinggi terbuat dari batang-batang pohon
kelapa, merupakan benteng yang
cukup tangguh menahan serangan-serangan dari luar.
Di halaman sebuah rumah terbesar, tampak beberapa orang berkerumun, berkeliling menghadap ke
arah pintu, di mana Ki Rikma Rembyak tengah duduk
di atas sebuah kursi berukir indah bersepuh warna
emas sangat megahnya.
Pendekar berambut gondrong awut-awutan ini menampakkan wajah kaku dengan sorot mata menatap
tajam ke arah sebuah tepi lingkaran manusia di sebelah barat, di mana seorang
berwajah garang tapi kepucatan telah terikat kedua belah tangannya.
"Garangpati!" teriak Rikma Rembyak dengan suara
menggeledek. "Kau telah melaporkan bahwa Kapal
Hantu kebanggaanku telah hancur! Hal itu telah pula aku terima dari laporan si
Andini Sari. Dan kemudian kau ternyata melarikan diri dari Kapal Hantu tadi
serta membiarkannya hancur. Kau telah ingkar dari tugas-mu, Garangpati! Untuk
kesalahanmu yang pertama itu
mungkin aku bisa memaafkan, akan tetapi ketika untuk kedua kalinya engkau lari dari medan pertarungan, serta membiarkan si Mata Siji dan Bengara tewas di tangan Mahesa Wulung serta orang-orangnya,
aku tak bisa lagi mengampuni! Engkau harus menerima hukuman, sebagai contoh bagi segenap pengikutku
yang berani meninggalkan temannya dalam keadaan
terancam bahaya!"
Mendengar kata-kata itu semua, Garangpati cuma
tertunduk diam. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, apalagi sampai
berani menatap wajah pemimpinnya yang berambut gondrong itu. Sama sekali
ia tak berkutik dan tinggal menanti, apakah hukuman
yang bakal dijatuhkan kepadanya.
"Garangpati! Kau tahu akan segala kesalahanmu itu
semua?" seru Ki Rikma Rembyak dengan kerasnya.
Garangpati mengangguk kecil seraya menjawab pelan, "Tentu, Kiai. Memang aku bersalah dalam hal tersebut dan aku bersedia
menerima hukumannya."
"Bagus! Kau masih punya sifat jantan, Garangpati.
Tetapi aku tak akan semena-mena menjatuhkan hukuman terhadap anak buahku. Aku masih ingin memberi kesempatan kepadamu untuk memperlihatkan
sampai dimana kepandaianmu selama ini!" Ki Rikma
Rembyak berkata seraya meringis puas, lalu berserulah kembali menyebut sebuah nama. "Jagal Wesi! Masuklah ke dalam gelanggang ini!"
Garangpati terkejut mendengar nama itu dan sejurus kemudian iapun melihat seorang bertubuh kekar
memasuki gelanggang dengan langkah-langkah tegap
setengah kaku. Orang ini cuma mengenakan baju tak
berlengan dan pada kedua pergelangan tangannya mengenakan gelang perisai dari logam.
Garangpati terpaksa mengernyitkan keningnya, sebab baginya nama Jagal Wesi baru kali ini didengarnya, dan terang saja ia belum mengenal orang tersebut. Kini yakinlah Garangpati bahwa Jagal Wesi adalah orang baru di dalam gerombolan Rikma Rembyak.
Dua orang anak buah Rikma Rembyak lainnya segera melepaskan ikatan tali pada tangan Garangpati, sesudah itu keduanya kembali
ke dalam tempatnya
pada pagar manusia yang setengah berjejal untuk menyaksikan adu kekuatan antara Jagal Wesi dengan Garangpati. Merasa tangannya telah bebas, Garangpati segera
bersiaga dengan jurus pembukaannya, sementara kedua matanya menatap tajam ke arah Jagal Wesi yang
juga telah bersiaga.
"Hmm, tak keliru lagi perkiraanku. Orang ini adalah orang baru!" pikir
Garangpati. "Aku harus dapat mengalahkannya kalau tidak ingin mendapat malu
lebih besar. Dengan mengalahkannya aku berarti dapat
menghapus arang yang telah mencoreng mukaku!"
Keduanya melangkah saling mendekat dan ketika
jarak antara kedua orang tersebut tinggal kira-kira sa-tu tombak, mereka berseru
seraya membuka serangannya. "Heeeittt!"
Keduanya ternyata bergerak dalam waktu yang bersamaan sehingga serang-menyerang tadi gagal. Kini
keduanya bersiaga lagi, lalu saling mengitari lingkaran dan mengawasi segala
gerak-gerik lawannya.
"Jagal Wesi, lekas robohkan si Garangpati itu!" seru Rikma Rembyak seraya
meringis tidak sabar.
"Maaf, Ketua. Saya ingin memberi kesempatan menyerang pertama kepada rekan Garangpati. Sebab aku
ingin tahu apakah ia benar-benar mempunyai kemampuan bertempur setelah dua kali ia melarikan diri dari gelanggang pertempuran!"
ujar Jagal Wesi.
Alangkah marahnya Garangpati sesudah mendengar kata-kata Jagal Wesi yang bernada mengejek itu.
Maka iapun berseru kepada lawannya, "Jagal Wesi!
Ocehanmu memanaskan hatiku. Kau orang baru di sini dan apakah kau telah mengalami sendiri terlibat dalam pertempuran-pertempuran
dahsyat seperti aku"!"
Jagal Wesi tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Garangpati tadi dan iapun berkata pula, "Heh, heh, heh. Rekan Garangpati,
janganlah Anda menyom-bongkan diri karena telah ikut di dalam pertempuranpertempuran dahsyat tadi. Meskipun aku orang baru
di dalam pengikut Ki Rikma Rembyak, aku tak akan
takut menghadapi orang lama seperti Anda!"
"Keparat! Awas jagalah seranganku ini!" seru Garangpati seraya membuka jurus serangannya.
"Nah, ayo, rekan Garangpati! Seranglah aku dengan
sepuasmu!" ujar Jagal Wesi sambil tersenyum.
"Haaaittt!" Garangpati berteriak sekaligus melayangkan tebasan sisi telapak
tangan kanannya ke arah leh-er Jagal Wesi.
Namun lawannya yang bertubuh kekar itu cukup
waspada. Begitu pukulan Garangpati melayang ke arah lehernya, ia secepat kilat
menangkis dengan kedua
tangannya bersilang.
Praaak Benturan hebat terjadi..
Masing-masing tergetar tubuhnya dan rupanya Garangpati telah mempersiapkan serangan susulan, sebab dengan mendadak kaki kirinya menendang ke
arah lambung Jagal Wesi.
Terkejut bukan main si Jagal Wesi mendapat serangan yang tiba-tiba, dan boleh dipastikan bahwa tendangan tersebut tidak sempat
ditangkisnya. Maka tiba-tiba pula ia menggenjotkan kakinya ke tanah sehingga
tubuhnya mencutat ke atas dan akibatnya tendangan
kaki Garangpati cuma mendapatkan tempat kosong
saja. Terpaksalah Garangpati melompong melihat kedua
serangan beruntunnya telah gagal mengenai lawannya
dan kini ia mengakui diam-diam bahwa Jagal Wesi cukup gesit sebagai lawan yang harus dihadapi.
Akan tetapi, dasar Garangpati tidak mau begitu saja dikecewakan oleh kegagalan
serangannya, oleh karenanya pula secepat kilat ia menyerang kembali si Jagal
Wesi dengan gencarnya.
Bertubi-tubi dan bergulung-gulung serangan tangan
Garangpati menerjang lawannya laksana seleret ombak badai yang menghempas ke
pantai menimbulkan bunyi
berdesau dan rasa nyeri terhadap siapa saja yang mendengarnya. Hanya saja, Jagal Wesi cukup ulet dan tangkas. Sehingga ia tidak perlu menjadi cemas oleh seranganserangan tadi. Setiap pukulan Garangpati melanda tubuhnya, setiap kali pula
Jagal Wesi berhasil menangkis ataupun mengelak dengan tepat.
Pertempuran tersebut meningkat semakin seru, bertepatan sang matahari bergeser makin ke atas. Di sekeliling terdengarlah
berkali-kali suara tertahan ataupun teriakan kecil pada setiap kali terjangmenerjang itu berlangsung.
Bunyi kemerosak dari dedaunan pohon kelapa yang
banyak tumbuh di sekitar perumahan itu, seperti ingin ikut berteriak dan
bersorak atas pertempuran seru tersebut. Memang angin cukup kencang, membuat
daun- daun kelapa melambai-lambai dan menghempas ke kiri-kanan dengan kerasnya.
Rikma Rembyak mengangguk-angguk melihat pertempuran tersebut. Wajahnya sebentar tegang dan sebentar berseri serta tertawa lebar kegirangan, persis seorang tukang adu ayam
melihat dua ekor jago tengah berlaga.
Jurus demi jurus susul-menyusul dan Garangpati
terpaksa mengakui akan kekuatan Jagal Wesi yang senantiasa berhasil mengatasi serangan-serangannya.
Sebenarnya Garangpati memang belum mengerahkan segenap tenaganya, sebab ia ingin lebih dulu menyelidiki kemampuan lawannya
yang bertubuh kekar
itu. Sekarang tahulah sudah si Garangpati bahwa Jagal Wesi bukan lawan yang
boleh dipandang dengan sebelah mata saja. Perkiraannya yang semula meremehkan
Jagal Wesi, karena dianggapnya cuma anggota baru
dari anak buah Ki Rikma Rembyak, kini ternyata meleset sama sekali.
Sejak saat itulah ia berusaha menyerang Jagal Wesi
dengan sungguh-sungguh. Maka sebentar itu pula ia
mengerahkan segenap ilmu dan jurus silatnya yang
sedikit banyak pernah dipelajarinya dari mendiang si Mata Siji dan pendekar liar
Bengara ketika ia berada di hutan Borneo beberapa waktu yang lalu.
Sebentar kemudian terlihatlah kalau gerakan silat
Garangpati semakin cepat dan ganas. Loncatan-loncatan yang dibuatnya sungguh mengagumkan, mirip
dengan gerakan kera yang lagi bertarung.
Melihat ini, Jagal Wesi dan orang-orang lainnya tersentak kagum, sedang Ki Rikma
Rembyak sendiri cuma manggut-manggut dan menyeringai sambil berpikir
sendirian. "Hmmm, Garangpati cukup tangguh. Tapi
sayangnya ia setiap kali terlibat dalam pertempuran yang dahsyat selalu ngacir
dan pulang kandang sendirian. Nah, sekarang ini biarlah ia mendapat lawan yang
seimbang. Aku yakin Jagal Wesi tidak akan mengece-wakanku!"
Pertempuran benar-benar menjadi seru, apabila Garangpati telah mengerahkan segenap ilmunya. Kini serangan-serangan dari pihak
Garangpati tidak cuma
sekadar serangan tetapi telah dilambari dengan tenaga dalam, sehingga setiap
benturan tenaga dengan Jagal Wesi membuat lawannya yang berperawakan kekar itu
tergetar beberapa langkah surut sambil peringisan menahan sakit.
"Tak kuduga sama sekali bahwa Garangpati mempunyai kepandaian sedemikian tinggi! Keparat!" demikian desis Jagal Wesi.
"Pantas dia selalu diikutsertakan dalam tugas-tugas besar. Akan tetapi sekarang
ini aku diperintahkan Ki Rikma Rembyak untuk menghajarnya, maka mulai saat ini


Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku akan berusaha mengalahkannya! Harus!"
Jagal Wesi tiba-tiba meloncat ke samping dan memutar pinggangnya ke kanan dan ke kiri. Setelah itu ia merentangkan pula kedua
tangannya ke samping dan
hal ini menyebabkan Garangpati tersenyum mengejek
dan berkata, "Heh, heh. Rupanya si tubuh kekar ini
hendak terbang melarikan diri dari ilmuku yang terakhir!" Belum habis Garangpati menggerundal, mendadak
ia dikagetkan oleh teriakan dahsyat melengking.
"Huuraaah!"
Dan sambil berteriakan tadi tahu-tahu tubuh Jagal
Wesi telah melesat ke arahnya.
"Jurus Cucut Terbang!" desah Garangpati demi kedua matanya melihat bahwa tubuh Jagal Wesi meluncur menerjang ke arah dirinya, tak ubahnya seekor
ikan cucut menerjang calon korbannya.
Garangpati tak dapat menghindar terlalu jauh dan
ia cepat-cepat menangkis tebasan kedua tangan Jagal Wesi yang meluncur ke atas
kepalanya dengan mempergunakan kedua kepalan tangannya.
Bruuuk! Benturan dahsyat tak dapat dihindari lagi dan tubuh Garangpati terguling di tanah seraya mengaduh.
Namun ternyata ia tidak kehilangan kewaspadaannya
dan secepat kilat ia menggelindingkan tubuhnya ke
samping, sebab Jagal Wesi telah menggenjotkan kaki
kanannya ke arah dadanya.
Untung saja Garangpati tidak terlambat menggulingkan tubuhnya, sebab jika terlambat sedikit saja, tidak mustahil bahwa
dadanya akan jebol atau ambleg
tertimpa oleh genjotan kaki Jagal Wesi.
Kraaak... byaaaar!
Genjotan kaki Jagal Wesi cuma mendapat tanah halaman yang berbatu-batu dan akibatnya tanah tadi
berlobang sedalam kurang lebih dua jengkal disertai pecahan batu dan kerikil
mencurat ke mana-mana.
Beberapa orang penonton terpekik ngeri bercampur
kagum, demikian pula Ki Rikma Rembyak melotot matanya keheranan oleh ilmu silat Jagal Wesi tadi.
Sedang Garangpati sendiri lekas-lekas bangkit serta bersiaga kembali, sementara
dadanya kembang-kempis
dengan jantungnya berdentang-dentang amat santernya. "Toblas, toblas! Setan mana yang telah menggurui
Jagal Wesi sampai ia mempunyai ilmu yang sedemikian hebatnya"!" gerundal Garangpati. "Baiklah, biarpun bagaimana, aku akan
melawan mati-matian terhadap Jagal Wesi."
Memang benar, si Garangpati memperlipatgandakan
serangannya kepada Jagal Wesi, sebab iapun telah
bertekad bahwa pertempuran ini harus dihadapinya
dengan sungguh-sungguh.
Namun itu bukan berarti bahwa Jagal Wesi akan
segera dapat didesaknya. Lawannya yang bertubuh
kekar tadi terus saja gencar melancarkan seranganserangannya dan makin lama, terasalah oleh Garangpati kalau jurus-jurus silatnya telah terlibat dan ter-tindih oleh jurus-jurus
Jagal Wesi. Garangpati terpaksa mengeluh di dalam hati. Dan
betapapun ia telah mengerahkan segenap tenaga dan
ilmunya, tetapi Jagal Wesi baginya terasa seperti mempunyai tenaga berlipatlipat, sedang tangannya yang kekar itu bergerak bagaikan tangan-tangan hantu.
Bahkan Jagal Wesi tersenyum-senyum sambil menangkis sebuah pukulan yang dilancarkan Garangpati
serta berkata, "Ayo, Garangpati, tumpahkan segenap
kekuatanmu!"
"Keparat! Terimalah ini!" Teriak Garangpati seraya
menebaskan telapak tangannya ke pundak Jagal Wesi,
berbareng sebelah tangannya yang lain menjotos ke
arah ulu hati. Keruan saja Jagal Wesi terkejut setengah mati. Namun ia secepat itu pula menangkis jotosan Garangpati yang meluncur ke arah ulu
hatinya. Sedang tebasan
telapak tangan Garangpati sama sekali tak sempat di-hindarinya dan meluncur ke
pundaknya. Akibatnya, Jagal Wesi tergetar ke samping peringisan menahan rasa nyeri yang menyengat pundaknya.
Biarpun begitu Jagal Wesi sempat pula melayangkan
tendangan kakinya ke lutut Garangpati dan tepat mengenai sasarannya, disusul bunyi suara....
Krepyeeeek! Dan menjeritlah Garangpati seperti orang disembelih, sebab akibat tendangan Jagal Wesi tadi mengakibatkan mata lutut Garangpati
meleset bergeser ke
samping. Jagal Wesi tak memberi ampun lagi kepada lawannya, sebab tiba-tiba tangan kirinya telah menyodokkan pukulan yang langsung
bersarang ke perut Garangpati.
"Heeecck!"
Tubuh Garangpati meliuk ke depan dengan mulut
ternganga, dan sekali lagi Jagal Wesi mengirim tebasan sisi telapak tangannya ke
punggung Garangpati membuat orang ini tersentak tubuhnya menggeliat ke belakang
bagai cacing kepanasan sambil menjerit keras.
"Hoooaduuuh!"
Tubuh Garangpati terhuyung-huyung sesaat lalu oleng dan roboh tersungkur ke tanah serta menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Sementara Jagal Wesi yang terkena pukulan tenaga
dalam Garangpati pada pundaknya menjadi berkeringat dan agak lemas, lalu bersandarlah ia pada sebuah tiang kayu di tepi halaman
rumah. "Cukup!" seru Ki Rikma Rembyak serta memberi
isyarat kepada beberapa orang anak buahnya untuk
menggotong tubuh Garangpati, sambil bertanya pula,
"Bagaimana anak-anak, periksalah tubuh Garangpati!
Apakah ia....?"
"Masih hidup, Kiai! Garangpati cuma pingsan saja!"
ujar seorang anak buahnya.
"Hemm, kuat juga dia. Nah, anak-anak, rawatlah
Garangpati ke pondok kalian!"
"Baik, Kiai," ujar mereka berbareng, dan kemudian
bersama-sama menggotong tubuh Garangpati ke arah
pondok mereka untuk dirawat seperlunya. Sedang
Jagal Wesi sendiri setelah lebih dulu mengangguk
hormat kepada Ki Rikma Rembyak, iapun mengeloyor
pergi bersama anak buah Ki Rikma Rembyak lainnya.
Sesaat Ki Rikma Rembyak masih duduk di tempatnya seraya mengikuti langkah-langkah Jagal Wesi dengan hati penuh bertanya-tanya tentang anggotanya
yang baru itu serta kesaktian yang dipunyainya.
Bagi dirinya, nama Jagal Wesi memang asing dan
baru, tapi menilik kesaktian Jagal Wesi yang baru saja disaksikan ketika
bertempur melawan Garangpati,
menjadi yakinlah Ki Rikma Rembyak bahwa Jagal Wesi
pastilah seorang pendekar ulung. Terutama jurusjurus Cucut Terbang yang tadi telah dipamerkan oleh Jagal Wesi bukanlah sekadar
jurus gertakan untuk
menakut-nakuti saja, tetapi adalah jurus sakti yang ampuh.
Sekilas tergoreslah perasaan cemas, kuatir, kalaukalau Jagal Wesi adalah seorang pendekar yang diselundupkan oleh pihak lawan. Tapi menilik kesetiaan Jagal Wesi terhadap dirinya,
terhapuslah rasa kekuatiran tadi dari bilik hatinya.
Memang tak perlu diherankan bila Ki Rikma Rembyak selalu menaruh kecurigaan terhadap siapa saja, sebab selama ini ia telah
berhasil memiliki catatan rahasia Panah Braja Kencar yang semula milik mendiang
Empu Baskara. Baginya, catatan tadi sangat berharga dan akan dipertahankan dengan nyawanya dan nyawa anak buahnya. Itu pula sebabnya mengapa selama ini ia bersembunyi di Pulau Mondoliko,
pulau yang penuh rahasia
bagi orang luar. Yah, memang ia sebenarnya menyayangkan akan kematian gurunya, yakni Ki Topeng
Reges yang telah tewas di tangan Mahesa Wulung beberapa waktu berselang. Dan sebagai pewaris tunggalnya, Ki Rikma Rembyak telah
bertekad untuk meneruskan cita-cita gurunya yakni mengumpulkan segenap tokoh-tokoh hitam serta mendirikan pemerintahan tersendiri untuk menandingi
Demak. Bila ia teringat akan kematian Ki Topeng Reges, kehancuran Kapal Hantu, dan sahabat-sahabatnya yang
telah tewas di daratan Pulau Borneo, maka hatinya seperti terbakar. Dendamnya
terhadap Mahesa Wulung
dan sahabat-sahabatnya makin menyala dan ingin sekali ia berhadapan langsung dengan Mahesa Wulung
untuk membinasakan pendekar Demak ini!
*** Segenap Pulau Mondoliko telah tenggelam dalam
cahaya senja, dan pepohonan nyiur yang memagari
pantai pulau ini tersaput oleh warna merah kekuningan yang terpancar dari sang matahari yang kini telah separo lebih tenggelam di
cakrawala barat.
Suasana tenang yang terjelma oleh datangnya senja
ini tiba-tiba saja dikejutkan oleh teriakan-teriakan di sebelah tenggara pulau.
Di pantai tersebut, tampaklah beberapa orang berbondong-bondong mengiringkan dua orang yang terikat tangannya. Para pengiring tadi ternyata membawa senjata-senjata beraneka
ragam, di antaranya ada
yang membawa senapan-senapan lasak yang masih
sangat sederhana bentuknya. Sebagian lagi membawa
barang-barang yang dipanggul dalam karung-karung
dan peti-peti. Sesungguhnyalah orang-orang tersebut adalah para
pengikut ataupun anak buah Ki Rikma Rembyak yang
baru saja pulang dari tugasnya, yakni mencegat pera-hu-perahu dagang yang berani
mendekat ke daerah
Pulau Mondoliko.
Iring-iringan kecil ini langsung berjalan menuju ke pusat pulau di mana
perumahan gerombolan Ki Rikma
Rembyak ini berada.
Di halaman rumahnya, Ki Rikma Rembyak telah
berdiri dengan bertolak pinggang, untuk menanti iring-iringan tadi dan kemudian
menerima laporan dari
anak buahnya serta hasil barang-barang rampasan.
"Kiai, tunggulah sebentar lagi. Pasti Kiai akan puas dengan hasil yang kami
peroleh hari ini," ujar seorang anak buah Ki Rikma Rembyak yang berdiri di
dekatnya. "Hmmm, kau peroleh di mana barang-barang tersebut, Soma"!" tanya Ki Rikma Rembyak sambil melirik
ke arah Soma. "Apakah rombonganmu tidak terlalu
jauh mengadakan aksinya?"
"Ooo, tidak Kiai. Perahu dagang tersebut kami tangkap karena berlayar terlalu dekat dan rupanya menco-ba mendarat di Pulau
Mondoliko ini."
"Heh, heh! Itu bagus, Soma. Bagus!" ujar Ki Rikma
Rembyak saking gembiranya seraya menepuk-nepukkan tangannya ke punggung Soma Karang.
Mendapat tepukan tangan pada punggungnya sudah tentu Soma Karang merasa bangga karena dapat
memuaskan pemimpinnya, tapi begitu kena tepuk tangan Ki Rikma Rembyak tadi, tiba-tiba Soma Karang
tergetar tubuhnya dan terbatuk-batuk sampai beberapa saat. "Uhuk-uh, uh, uhuk, huk!"
Keruan saja Ki Rikma Rembyak sendiri menjadi kaget dan sadarlah ia, maka segera pula menghentikan
tepukan tangannya pada punggung Soma Karang. Dilihatnya wajah anak buahnya ini setengah pucat akibat tepukan tangan Ki Rikma
Rembyak yang cukup berat.
Dalam hati, Soma Karang mengakui kehebatan tenaga dalam Ki Rikma Rembyak tadi. Baru ditepuk begitu saja orang sudah terbatuk-batuk akibat nafas
yang tak lancar, menyebabkan Soma Karang sesaat
menjadi lemas seperti dilolosi tulang sungsumnya.
Apalagi kalau Ki Rikma Rembyak sampai melancarkan
pukulan tangannya dengan kekuatan penuh, boleh dibayangkan lawannya akan rontok isi dadanya atau pecah paru-parunya. "Aah, sungguh mengerikan!" demikian pikir Soma Karang seraya memperbaiki dirinya.
Dalam pada itu, Andini Sari yang berdiri di dekat Ki Rikma Rembyak terkejut pula
karenanya. Memang ia
telah memaklumi akan kehebatan ayahnya yang berambut gondrong awut-awutan ini.
"Heh, kasihan juga Soma Karang itu. Untunglah ia
seorang jagoan pula," berkata Andini Sari dalam hatinya. Sedang agak jauh dari tempat Ki Rikma Rembyak
berdiri, kelihatan pula bahwa Jagal Wesi tercengang oleh kejadian tadi dan iapun
manggut-manggut seraya menggerundal. "Huh, luar biasa tangan Ki Rikma
Rembyak! Adakah seseorang yang mampu menandinginya?" Belum lagi terjawab pertanyaan Jagal Wesi di dalam
gerundalnya tadi, tiba-tiba dari arah tenggara terlihatlah iring-iringan manusia
dengan satu dua orang yang membawa obor di tangan. Suasana senja dengan sisasisa warna semburat merah di langit barat, membuat
suasana perkampungan di pusat pulau tersebut menjadi seram dan mencekam perasaan.
Iring-iringan manusia tadi berhenti di depan halaman rumah Ki Rikma Rembyak dan dua orang tawanan yang digiring di sebelah depan, tahu-tahu didorong oleh para pengawal, sehingga keduanya jatuh tersungkur di tanah tepat di
depan Ki Rikma Rembyak
berdiri. Kedua tawanan tadi duduk berlutut di tanah sementara keduanya menatap ke atas dan betapa kagetnya, bila orang yang berdiri di hadapan mereka adalah Ki Rikma Rembyak yang
namanya telah sekian lama
ditakuti dan menjadi momok bagi ketenteraman.
Ketika kedua tawanannya masih saja menatap ke
arahnya, segera Ki Rikma Rembyak berseru, "Keparat!
Kau berdua, tikus-tikus kecil tidak lekas memberi hormat di hadapanku"!"


Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar ini, tawanan yang termuda lekas membungkuk hingga wajahnya hampir menyentuh tanah,
sedang yang tertua malah sebaliknya. Dengan sorot
pandangan mata penuh geram dan kebencian si tawanan tua menentang wajah Ki Rikma Rembyak seraya
berkata tajam. "Mana sudi aku menghormat seorang
benggolan pengacau negara seperti tampangmu"!"
"Kurang ajar! Kau berani pentang mulut semaumu
menghina pemimpinku"! Ayo lekas tunduk dan beri
hormat kepada Ki Rikma Rembyak!" teriak salah seorang pengawal sambil menginjakkan kakinya ke punggung si tawanan tua sehingga orang tersebut terjerumus ke tanah dengan mukanya
mencium debu. "Nah, begitu saja tunduk di hadapannya, kan tidak
ada jeleknya! Memang, dasar orang suka mencari penyakit!" ujar si pengawal sambil terus menggusur-gu-surkan kakinya ke arah
pundak dan leher si tawanan
tua, sampai wajah orang ini terbeset-beset pada permukaan tanah dengan luka-luka
mengelupas mengeluarkan darah, sementara debu dan tanah melekat pada segenap kulit wajahnya.
"Aaaaaakh... aduh... aduuuu!" rintih si tawanan
yang tua seraya berguling di tanah, sedang si pengawal tadi tertawa terkekehkekeh disambung oleh ketawa
segenap anak buah Ki Rikma Rembyak yang berada di
situ. Demikian pula Ki Rikma Rembyak sendiri tertawa cekakakan terbahak-bahak
demi melihat wajah si tawanan bandel tadi seperti mengenakan topeng dari tanah
berdebu tercampur darah. Maka penuhlah tempat
tersebut dengan derai ketawa yang gemuruh laksana
ketawa sekumpulan hantu yang mendapat mangsanya.
Semua tertawa dengan kerasnya, kecuali Andini Sari
dan Jagal Wesi yang justru mengerutkan keningnya
melihat siksaan terhadap si tawanan tua tadi.
"Hua, ha, ha, ha. Itulah hadiah bagi orang bandel
dan keras kepala," ujar Ki Rikma Rembyak. "Dan sekarang aku akan sekali lagi
memberi kesempatan kepadamu, agar engkau memperbaiki sikapmu. Ayo lekas
tunduk di hadapanku," Ki Rikma Rembyak berseru dengan bengisnya.
Tetapi sekali lagi pendekar jagoan berambut gondrong ini terbelalak melihat kenyataan yang dihadapinya. Bukannya si tawanan tua
lantas bersimpuh ataupun tunduk meminta ampun, malahan sebaliknya, si
tawanan tua mendelik menentang wajah Ki Rikma
Rembyak dan kemudian ia meludah ke tanah sambil
berkata, "Tidak pantas Angkara bersimpuh di hadapanmu, Rikma Rembyak! Hanya monyet-monyet sajalah yang pantas berbuat demikian!"
Bagai sambaran petir kata-kata Angkara terdengar
oleh Ki Rikma Rembyak dan secepat itu pula, pendekar rambut gondrong ini
melancarkan tendangan kakinya
ke arah tawanan tua.
Praaak! Angkara terguling ke tanah sambil menjerit kesakitan begitu tendangan kaki Ki Rikma Rembyak bersarang di dagunya.
Di saat itu pula si tawanan muda lalu menjatuhkan
dirinya seraya mendekati Angkara yang telah tergeletak tak berdaya.
"Oh, janganlah Tuan menyiksa pamanku ini," ujar
si tawanan muda kepada Ki Rikma Rembyak dengan
kata-kata yang memohon belas kasihan. "Lebih baik
biarkan dia hidup, dan bunuhlah saya sebagai gantinya jika Tuan menghendaki."
Ki Rikma Rembyak terperanjat sesaat namun dia
kemudian tertawa terkekeh-kekeh lalu berkata pula,
"Bagus. Kalau itu yang kalian kehendaki, segera akan kamu peroleh. Kamu akan
segera mati dengan cara-caraku yang istimewa dan menyedapkan!"
Jagal Wesi kaget mendengar keputusan tersebut
dan begitu pula dengan Andini Sari. Meskipun ia adalah anak Ki Rikma Rembyak,
namun terhadap kekejaman-kekejaman yang sering dilakukan ayahnya, ia tidak menyetujuinya.
"Ayo anak-anak, malam ini nanti kita akan menghukum mereka di Tambak Mati. Siapkan segala sesuatunya untuk keperluan ini, dan sekarang, seret mereka ke tempat hukuman. Ikat
mereka di sana dan jaga
baik-baik!" ujar Ki Rikma Rembyak.
"Boleh dihukum sekarang juga, Kiai?" tanya Soma
Karang setengah tak sabar.
"Hah, jangan sekarang! Tunggu saja nanti keputusanku!" sahut Ki Rikma Rembyak tajam. "Oleh sebab
itu, jaga kedua tawanan itu baik-baik. Kalau sampai lari, kau nanti sebagai
gantinya untuk menerima hu-kumanku! Tahu"!"
"Beb... beb... baik, Kiai!" ujar Soma Karang tergagap-gagap saking kagetnya. "Kami akan menjaga mereka baik-baik!"
Maka sesaat kemudian Soma Karang serta beberapa
orang anak buah Ki Rikma Rembyak lainnya segera
menggiring kedua orang tawanan tadi ke arah barat.
"Ah, Bapak akan menghukum mereka sekarang juga dan tidak pada hari-hari yang lain?" bertanya Andini Sari seraya mendekati
ayahnya. "Tentu saja! Bukankah kau tadi mendengar sendiri
bahwa mereka telah menentang dan menghina ayahmu ini"!" jawab Ki Rikma Rembyak. "Apakah kau
membiarkan dan senang jika aku dihina oleh seorang
tawanan?" "Tapi Bapak, mungkin mereka dapat kita ampuni
dan dapat kita pergunakan tenaganya."
"Bah, aku pantang berbuat demikian, Sari!" sahut
Ki Rikma Rembyak. "Orang yang telah menghinaku,
apalagi berani meludah di depanku, harus aku hukum
mati!" "Oooh," desah Andini Sari. Ia tahu, bila ayahnya
mengambil satu keputusan, sukarlah untuk dirubahnya lagi, dan karenanya, Andini Sari tak berkata lagi.
"Sari, hukuman tetap akan kulaksanakan terhadap
mereka malam nanti!" berkata lagi Ki Rikma Rembyak.
"Jika kau ingin melihat, datanglah ke Tambak Mati.
Dan kalau tidak, lebih baik engkau pergi tidur!"
Andini Sari mengangguk dan permisi kepada ayahnya lalu melangkah pelan-pelan meninggalkan tempat
tersebut, sementara Jagal Wesi mengikuti dengan pandangan matanya dari kejauhan.
Tempat tersebut kembali menjadi sunyi, dan tak
seorang pun yang tampak, kecuali bunyi desau angin
malam menggoyangkan daun-daun nyiur. Ki Rikma
Rembyak telah masuk ke dalam rumahnya, begitu pula
Andini Sari telah kembali ke pondoknya yang terletak tidak jauh dari rumah
ayahnya. Ketika membuka pintu pondok, Andini Sari segera
disambut oleh seorang wanita setengah tua dengan
tergopoh dengan pertanyaan, "Angger Sari, apa yang
terjadi di luar" Bibi melihat wajahmu sangat murung dan tadi aku mendengar suara
ribut serta jeritan-jeritan di halaman."
"Oh, mereka telah menangkap dua orang asing dan
ayah akan menghukum mati keduanya malam nanti."
"Mmm, tapi itu kan sudah biasa terjadi di sini, Sari?" ujar wanita setengah tua tadi seraya manggutmanggut. "Tapi Bibi Rukmi," jawab Andini Sari, "sebenarnya
aku merasa muak melihat siksaan-siksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang asing yang menjadi
tawanan di Pulau Mondoliko ini."
"Stt, jangan keras-keras berkata demikian, Sari. Ji-ka ayahmu mendengarnya,
pasti akan marah kepada
kamu, dan mungkin akan menghukummu pula!" kata
Bibi Rukmi dengan wajah kecemasan. "Nah, lekaslah
kau lupakan saja hal itu, Sari. Kini cucilah tanganmu dan makanlah, sebelum
sayurnya menjadi dingin."
"Terima kasih, Bibi Rukmi," ujar Andini Sari serta
menyiapkan makanan malamnya.
*** 3 KINI sang rembulan telah mengembang di angkasa
malam, dan di saat itulah Ki Rikma Rembyak bersama
empat orang pengawalnya telah menuju ke arah barat, ke arah Tambak Mati, di
tempat mana kedua tawanan
akan segera menjalani hukumannya.
Langkah-langkah mereka begitu tenang dan mantap
melewati jalan-jalan yang sebentar-sebentar menyelinap di sela semak belukar di
bawah naungan pohonpohon kelapa. Ki Rikma Rembyak berjalan di sebelah
muka dan keempat pengawalnya berjalan di belakang.
Dalam pada itu, agak jauh dari mereka berlarianlah
sesosok bayangan ramping meloncat dengan gerakan
yang lincah, selincah tupai. Kadang-kadang bayangan tadi berhenti sejenak di
balik batang pohon kelapa dan sejurus lagi berlari kembali mengikuti langkahlangkah Ki Rikma Rembyak beserta keempat orang pengawalnya.
"Hemmm, betapapun aku ingin melihat hukuman
apa yang bakal dijatuhkan oleh Bapak kepada kedua
orang tawanan tersebut!" gumam si bayangan yang tak lain adalah Andini Sari.
Andini Sari terus mengendap-endap dan mengikuti
ayahnya, Ki Rikma Rembyak, yang dengan tenangnya
menuju ke Tambak Mati. Sebentar kemudian, tibalah
mereka di dekat pantai dan suara berdebur dari ombak yang memecah terdengar
sangat jelasnya.
Segera Andini Sari berhenti di balik sebuah batu
karang dan mengawasi apa yang terjadi di Tambak Mati tersebut. Terlihatlah Ki Rikma Rembyak menemui
kedua tawanan yang terikat pada batu karang. Dan di sekitarnya, bersiaplah para
pengawal yang semenjak
tadi menjaga di situ.
"Bagaimana Jagal Wesi, apakah segala sesuatunya
telah beres?" tanya Ki Rikma Rembyak kepada Jagal
Wesi yang mengepalai penjagaan di situ.
"Semuanya beres, Kiai," jawab Jagal Wesi. "Dan kedua tawanan itu siap menerima hukumannya!"
"Bagus! Nah, sekarang bawalah ke mari tawanan
yang tertua lebih dulu!" kata Ki Rikma Rembyak dengan beringas. Rambutnya yang gondrong acak-acakan itu tertiup angin malam sehingga sebentar-sebentar menutup matanya yang berkilatan bagai mata serigala kelaparan.
Dua orang pengawal segera membawa Angkara ke
depan dengan tangan terikat dan diajukan ke depan Ki Rikma Rembyak yang telah
siap menjatuhkan hukumannya. Semua mata mengikuti tindakan Ki Rikma
Rembyak, sebab mereka belum tahu sampai saat ini,
tentang hukuman apakah yang akan diberikan oleh
pemimpinnya kepada Angkara. Mereka tidak melihat Ki Rikma Rembyak membawa
senjata, maka merekapun
mengira bahwa pemimpinnya akan memukul tubuh
Angkara berkali-kali sampai rontok isi dadanya ataupun tulang-belulangnya.
Wajah Angkara menjadi kepucatan namun pandangan matanya kelihatan tenang dan menatap tajam ke
arah Ki Rikma Rembyak. Baginya, ia sudah tidak
mempunyai harapan untuk hidup lagi.
Tiba-tiba semua mata terkejut begitu Ki Rikma
Rembyak mengeluarkan sebuah bumbung bambu kecil
dari balik bajunya seraya tersenyum meringis. Dan
mereka lebih terkejut lagi karena iapun lalu memungut sebuah batu bulat yang
tergeletak di atas tanah, tak jauh dari kakinya.
"Nah, anak-anak. Kalian telah tahu keampuhan
serbuk maut Panah Braja Kencar. Sekarang lihatlah ia akan kutuangkan ke atas
batu kecil ini!" Ki Rikma
Rembyak berkata seraya menuang dan melumuri batu
kecil bulat tadi dengan serbuk putih dari dalam bumbung kecilnya. "Kini segera
lepaskanlah ikatan tangan Angkara itu!"
Dua orang pengawal cepat-cepat melepaskan talitemali yang mengikat tangan Angkara, sehingga tawanan tua ini dapat bebas menggerakkan kedua tangannya. "Angkara! Kamu jelas harus menerima hukuman
dari tanganku. Tetapi aku tidak begitu saja menjatuhkan hukuman ini. Aku masih mau memberi kesempatan kepadamu untuk lari dari tanganku. Ini, lihatlah batu yang ada di
tanganku. Kau boleh lari ke arah
pantai sekuat-kuatnya dan berusaha menghindari lemparan batu ini supaya tidak sampai mengenai tubuhmu. Jika engkau berhasil, maka kau boleh pergi dari pulau ini dengan menggunakan
perahu yang telah ter-sedia di pantai. Dan itu berarti pula bahwa pemuda
kemenakanmu itu akan bebas!" demikian ujar Ki Rikma Rembyak seraya menimang-nimang batu bulat tadi
di atas tangannya. "Nah, sekarang mulailah!"
Betapapun cemasnya, Angkara segera memusatkan
tenaganya dan sebentar kemudian ia telah berlari dengan kencangnya, sambil
sekali-sekali ia menoleh ke belakang untuk mengetahui apakah Ki Rikma Rembyak
telah melemparkan batunya.
Ki Rikma Rembyak masih saja tersenyum-senyum
melihat Angkara berlari ke arah pantai. Dan ketika
hampir dirasanya bahwa si tawanan telah mencapai jarak lebih dari delapan
tombak, tiba-tiba dengan kecepatan kilat, Ki Rikma Rembyak melemparkan batu tersebut ke arah Angkara dan melesat dengan cepatnya.
Akibat pergeseran udara, maka lumuran serbuk
yang telah melekat pada lapisan batu bulat tadi menjadi menyala. Dan memang
inilah kehebatan serbuk
maut Panah Braja Kencar. Dengan demikian maka batu bulat tadi menyala terang kebiruan, tak ubahnya
sebuah bintang berekor atau meteor yang melesat ke
arah Angkara dengan kecepatan kilat.
Angkara terkejut ketika ia merasakan suara berdesis di belakangnya, maka secepatnya ia menoleh serta bersiap untuk mengelakkan
dirinya. Akan tetapi alangkah terkejutnya, sebab sebuah bulatan benda bersinar
terang dan menyala itu langsung meluncur ke arah dirinya. Karenanya, sesaat Angkara terkejut dan terpu-kau dan ia tak sempat
menghindari lagi ketika benda tersebut menyambar pundaknya!
"Eeearrrgghh!"
Suara jerit melengking keluar dari mulut Angkara
disusul tubuhnya berguling di tanah dalam keadaan
mengerikan. Tubuh Angkara tampak mengering hangus berwarna biru dan tak bernapas lagi. Sungguh
kematian yang mengerikan! Semua yang menyaksikan


Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlongoh kagum dan ngeri, tak ketinggalan pula Andini Sari yang mengintip dari batu karang. Hanya Ki Rikma Rembyaklah yang
tertawa terkekeh-kekeh.
"Sekarang bawa kemari juga tawanan muda itu! Ia
akan mati pula dengan cara yang serupa!" ujar Ki Rik-ma Rembyak.
Ketika si tawanan muda tadi telah dihadapkan ke
depan Ki Rikma Rembyak, mendadak Jagal Wesi
mengajukan usulnya.
"Kiai, jika Andika berlapang hati, biarlah aku saja yang membereskan si tawanan
muda itu. Aku ingin ia
bertarung melawanku sebelum ia mati oleh kedua tanganku ini!"
"Hemmm, itu baik juga, Jagal Wesi. Dengan cara
apapun, aku tidak perduli. Asal ia segera mati dan lu-mayan juga buat tontonan
anak buahku yang lain,
heh, heh, heh!" berkata Ki Rikma Rembyak kesenangan. Si tawanan muda yang telah dilepas ikatannya itu
segera bersiaga menghadapi Jagal Wesi, namun iapun
menjadi terperanjat sesaat bila sekilas ia melihat bahwa mata Jagal Wesi
mengerdip-ngerdip kepadanya.
"Hee, sebut namamu sebelum engkau mati!" seru
Jagal Wesi seraya membuka serangannya.
"Aku adalah Pakerti dari Tegal Arang dan siap menanti seranganmu!" teriak tawanan muda tersebut.
"Bagus! Terimalah ini! Haaait!" Jagal Wesi menerjang Pakerti, si tawanan muda itu, dan sebentar kemudian terjadilah pertarungan sengit.
Namun itu tidak berlangsung lama, sebab setelah
mencapai sepuluh jurus, Pakerti mulai terdesak dan
pada jurus kelima belas Pakerti kena tertotok jalan darahnya oleh jari-jari
Jagal Wesi sehingga pemuda itu tak berdaya lagi ketika tebasan telapak tangan
Jagal Wesi menerjang punggungnya.
"Heeerrrgh!"
Pakerti menyemburkan darah segar dari mulutnya
dan terjelapak rebah ke tanah tanpa berkutik lagi.
Seruan kagum terdengar dari mulut-mulut anak
buah Ki Rikma Rembyak yang lain. "Hebat si Jagal We-si!" Ki Rikma Rembyak merasa
puas juga melihat Jagal Wesi dapat membinasakan lawannya.
"Kiai, sekarang ijinkanlah tubuh orang ini aku bawa ke pantai dan akan kulempar
ke laut biar menjadi san-tapan ikan-ikan di sana!" ujar Jagal Wesi.
"Heh, itu terserah kepadamu, Jagal Wesi. Mayat itu
sekarang menjadi urusanmu!" kata Ki Rikma Rembyak, lalu iapun memerintah anak buahnya. "Ayo
anak-anak, kita kembali ke benteng!"
Jagal Wesi cepat-cepat mengangkat tubuh Pakerti
dan dipanggulnya ke atas pundak, lalu dibawanya ke
arah pantai. Sedang Ki Rikma Rembyak bersama anak
buahnya telah berjalan ke arah timur, kembali ke pusat perumahan gerombolannya.
Sambil berjalan itu, Jagal Wesi dapat mendengarkan detak jantung pemuda yang dipanggulnya ini,
sambil bergumam. "Oh, sayang sekali jika pemuda ini betul-betul mati. Untunglah
ia tadi telah aku totok jalan darahnya lebih dulu, dan semoga saja ia tidak
cedera terlalu berat!"
Jagal Wesi terus saja melangkah ke arah pantai dan
tibalah ia pada daerah semak pohon bakau yang banyak tumbuh di atas tanah pantai.
Tak lama kemudian Jagal Wesi membelok ke kiri lalu menyelinap di balik pohon-pohon bakau tersebut.
Sebentar ia menengok ke kiri dan ke kanan seperti
hendak meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun
yang melihat ataupun mengikutinya.
Kemudian Jagal Wesi menurunkan tubuh Pakerti
dengan pelan dan hati-hati sekali diletakkan di atas tanah, sedang kepalanya
ditahannya dengan lengan ki-ri Jagal Wesi supaya tetap tertegak.
Sekali lagi Jagal Wesi melihat di sekitarnya dan setelah merasa aman, segera ia
menotokkan jari-jarinya ke dada Pakerti.
Seperti terkena jilatan api, tubuh Pakerti lalu menggeliat dan bergerak-gerak
tersadar dari pingsannya.
Pakerti perlahan-lahan membuka matanya dan begitu pandangan matanya yang pertama tadi menatap
wajah Jagal Wesi, ia segera membuka mulut untuk
berteriak. Tapi untunglah Jagal Wesi terlebih dulu menutup mulutnya.
"Settt, jangan berteriak!" bisik Jagal Wesi. "Pakerti, tenanglah, aku bermaksud
baik! Aku akan menolongmu lari dari pulau ini!"
Keruan saja Pakerti menjadi kaget setengah mati
mendengar kata-kata Jagal Wesi. Ia tidak lekas mengerti dan menjadi heran, sebab bukankah tadi Jagal Wesi telah menghajarnya
setengah mati. Sedangkan
sekarang, Jagal Wesi malah berusaha menyelamatkan
dirinya. "Oh, tidak masuk akal!" demikian pikir Pakerti.
"Mungkin orang ini bermaksud menjebakku, atau
membuat lelucon barangkali. Tidak berbeda dengan
Paman Angkara yang disuruhnya berlari, kemudian
dibunuh oleh mereka!"
"Mengapa Anda termangu-mangu" Aku berkata
sungguh-sungguh. Nih, minumlah butiran obat, agar
badanmu tidak lemah dan pulih kembali kekuatanmu!" begitu ujar Jagal Wesi seraya mengambil sebuah butiran benda sebesar buah
ceremai berwarna hijau
kecoklatan yang terbalut oleh selembar sapu tangan
dan dikeluarkan dari dalam ikat pinggangnya.
Benda tadi diterima oleh Pakerti dengan pandangan
penuh tanda tanya dan setengah curiga kepada Jagal
Wesi, sehingga membuat Jagal Wesi menjadi tidak sabar dan segera berkata pula. "Lekas makanlah obat itu dan segera pergi
meninggalkan pulau ini. Aku telah
menyediakan sebuah perahu kecil lengkap dengan
layarnya yang masih tergulung. Sebaiknya Anda berdayung dahulu sampai ke tengah dan bila telah cukup jauh, barulah kau gunakan
layar tersebut!"
"Tap.... tapi mengapa Andika berbuat ini semua dan
bermaksud menolongku lolos dari pulau ini?" bertanya Pakerti kepada Jagal Wesi.
"Maaf, aku tak berkesempatan panjang lebar mengatakan alasan-alasan tersebut," jawab Jagal Wesi.
"Jelasnya aku tak sampai hati membiarkan dirimu tewas di tangan mereka! Nah, sudah jelas bukan?"
"Oh, terimakasih jika demikian," ujar Pakerti serta secepatnya menelan butiran
obat pemberian Jagal We-si tadi. "Lalu dengan apakah aku harus membalas budi
Andika yang sebaik ini?"
"Eeh itu tak perlu, Kisanak," jawab Jagal Wesi.
"Anggaplah ini bukan apa-apa. Sebab dalam mengerjakan sesuatu, lebih-lebih menolong seseorang yang
menderita kesusahan, aku tak mengharapkan balas
jasa apapun! Oleh sebab itu tak perlu Anda memikirkannya lebih jauh," demikian kata-kata Jagal Wesi
yang membuat Pakerti semakin kagum dan akhirnya
iapun yakin bahwa Jagal Wesi bukan termasuk golongan orang-orang Ki Rikma Rembyak. "Hanya saja aku
ada sebuah pesan dan aku harap engkau sampaikan
selekas mungkin ke Demak."
"Sebuah pesan"!" ulang Pakerti kaget.
"Ya, sebuah pesan. Terimalah ini!" ujar Jagal Wesi
sambil menyerahkan sebuah tabung bambu kecil tersumbat, yang dikeluarkan dari lipatan ikat pinggangnya. "Tabung bambu ini engkau
serahkan saja kepada
salah seorang tamtama Demak dan katakanlah berasal
dari Jagal Wesi di Pulau Mondoliko."
"Tetapi bagaimanakah aku bisa mengenal bahwa
dia seorang tamtama Demak?" Pakerti bertanya.
"Hmm, Andika dapat mengenal mereka dari kalung
yang dipakainya. Permata kalung itu berbentuk lingkaran dengan empat jari-jari
mata angin, mirip sebuah cakra."
"Cukup jelas sudah apa yang Andika terangkan dan
ijinkanlah aku berangkat sekarang juga!" ujar Pakerti seraya memasukkan tabung
bambu tadi ke dalam ikat
pinggangnya. "Yah, berangkatlah segera, Pakerti. Berhati-hatilah dan semoga engkau selamat!"
Jagal Wesi berkata seraya menjabat tangan Pakerti yang disambutnya dengan erat oleh pemuda itu.
Tak antara lama, Pakerti telah turun ke dalam perahu yang tertambat di celah pohon-pohon bakau dan
mulailah ia mendayungnya ke tengah dengan hati-hati dan perlahan-lahan. Sekali
lagi Pakerti melambaikan tangan ke arah Jagal Wesi sebagai ucapan selamat
tinggal, dan dibalas pula oleh Jagal Wesi.
Perahu kecil tadi bergerak ke arah tengah dan semakin jauh, menuju ke arah selatan bagaikan selembar daun terapung di atas air, bermandikan sinar rembulan yang kini telah jauh
bergeser ke langit barat.
Jagal Wesi menarik nafas lega ketika Pakerti bersama perahunya semakin menjauh, hampir lenyap dari
pandangan matanya. Yang terakhir sekali ia melihat
sebuah layar mulai dikembangkan pada tiang perahu
Pakerti tadi dan tampaknya perahu kecil itu bertambah laju meluncur di atas permukaan laut.
Sekali lagi Jagal Wesi menarik nafas panjang. Tetapi mendadak saja ia dibuat
kaget oleh suara ketawa kecil yang terdengar dari sebelah belakang.
"Bahaya!" demikian pikir si Jagal Wesi. "Ada seorang yang telah melihat perbuatanku! Dan satu-satunya jalan ialah melenyapkannya, sebelum ia sempat
membocorkan kejadian tadi kepada ketua Ki Rikma
Rembyak!" Habis berpikir demikian, Jagal Wesi secepat kilat
membalikkan dirinya, sekaligus melemparkan sebuah
pisau kecil yang dicabutnya dari ikat pinggang kiri dan seketika melesat ke arah
bayangan manusia yang berdiri di atas ketinggian bongkah batu karang sejauh
kurang lebih tujuh tombak lebih dari tempat Jagal Wesi berdiri!
Weeesss....! Traaang!
Jagal Wesi terpaksa kaget, sebab tanpa dinyana
orang tersebut juga menyambut lemparan pisau Jagal
Wesi dengan sebuah pisau pula, sehingga kedua pisau tadi berbentur dan kemudian
terpelanting tercampak
ke atas tanah Keruan saja Jagal Wesi kaget setengah mati dan tahulah ia bahwa orang tersebut pastilah berkepandaian tinggi.
"Huh, siapakah orang itu" Ki Rikma Rembyak" Wah
celaka bila orang tersebut adalah Ki Rikma Rembyak
sendiri!" begitu pikir Jagal Wesi. Maka secepat kilat Jagal Wesi telah bersiaga
dan ia siap mencabut pedangnya bila saja orang tersebut tidak keburu berteriak nyaring. "Tahan dulu, Saudara Jagal Wesi!"
Orang tersebut dengan beberapa loncatan ringan
seringan daun kering terhembus angin, melesat turun dari atas batu karang
langsung menuju ke arah Jagal Wesi.
"Suara perempuan!" desis Jagal Wesi terperanjat
dan bercampur takut. "Hih, setankah dia"!"
Akan tetapi Jagal Wesi kemudian menjadi kaget, sebab orang tersebut adalah Andini Sari, putri dari Ki Rikma Rembyak sendiri!
"Nona Andini Sari"!" seru Jagal Wesi. "Sudah lamakah Andika berada di tempat tadi?"
"Sudah sementara waktu, Saudara Jagal Wesi," kata Andini Sari seraya tersenyum manis membuat Jagal Wesi semakin kaget, tetapi
juga semakin gelagepan,
begitu melihat bibir gadis yang merah itu mengulum
senyum. Dalam cahaya terang bulan ia terpesona oleh Andini
Sari yang kelihatan semakin cantik, bertubuh semampai dan berdada padat, benar-benar seperti putri kera-ton yang pernah dilihatnya
di pulau Jawa. "Tapi, ah persetan!" pikir Jagal Wesi. "Toh dia adalah putri Ki Rikma Rembyak!
Tambahan lagi ia telah
melihat bahwa aku telah membebaskan Pakerti! Maka
aku harus waspada terhadapnya!"
"Saudara Jagal Wesi! Aku melihat bahwa Andika
menjadi geragapan oleh kedatanganku ini"!" begitu Andini Sari bertanya.
"Tidak keliru lagi, Nona Andini Sari," sahut Jagal
Wesi tajam-tajam. "Aku kuatir bahwa kita harus segera bertempur!"
"Bertempur" Hmmm, apakah itu disebabkan aku telah memergoki perbuatanmu?" Andini Sari berkata.
"Tepatnya demikian!" ujar Jagal Wesi. "Karena Nona
telah melihat bahwa aku menolong Pakerti untuk lolos dari pulau ini, maka itu
berarti bahwa keselamatanku akan terancam dan tidak mustahil kalau Andika akan
segera melaporkan kepada ayahmu, Ki Rikma Rembyak itu!"
"Anda keliru, Jagal Wesi!" sahut Andini Sari sambil wajahnya merengut. "Anda pun
rupanya beranggapan
bahwa antara aku dan ayahku ada persamaan watak
dan sikap?"
"Mengapa tidak"!" kata Jagal Wesi. "Bukankah Nona masih putri Ki Rikma Rembyak sendiri?"
"Benar!" sambung Andini Sari. "Namun itu bukan
alasan bahwa aku harus mempunyai watak yang sama
dengan dia! Apakah Anda masih teringat cerita Ramayana" Nah, meskipun satu saudara, tetapi tidak ada kecocokan antara Rahwana
dengan adik-adiknya seperti Kumbakarna dan Wibisana! Mereka bahkan sering bertentangan pendapat!"
"Hmmm, apakah Nona Andini Sari mencoba menjelaskan bahwa Nona tidak sepaham dengan Ki Rikma
Rembyak?" bertanya Jagal Wesi.
"Begitulah jelasnya, jika Anda mau percaya!" ujar
Andini Sari. "Jika tidak, Anda boleh meneruskan mak-sudmu, bertarung melawan
aku. Jangan kira bahwa
aku akan takut untuk menghadapi Anda!"
"Lho, eeh tidak! Tidak, Nona Andini Sari! Jika kata-kata Nona benar, maka
biarlah aku mengurungkan
maksudku tadi, dan sebaliknya aku meminta maaf kepada Andika!"
Andini Sari tampak menghela nafas lega mendengar
kata-kata Jagal Wesi tadi, kemudian iapun berkata,
"Ngngng, jadi Anda sekarang bisa memaklumiku?"
"Baiklah Nona Andini Sari," ujar Jagal Wesi. "Kini
aku merasa tenang bahwa di pulau ini masih ada
orang yang sepaham dengan diriku, yakni untuk...."
"Menentang kekejaman yang semena-mena!" sahut
Andini Sari menyambung kata-kata Jagal Wesi tadi.
"Oleh sebab itu, tak perlu Anda merasa kuatir lagi ke-padaku."
"Terima kasih Nona Andini Sari," berkata Jagal Wesi seraya menatap ke barat, ke
arah langit malam yang
bening itu dan iapun bergumam perlahan. "Sang rem

Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulan semakin mendekati cakrawala."
"Yah, malam telah kelewat larut dan aku harus secepatnya pulang ke rumah," kata Andini Sari.
"Andika akan pulang" Marilah aku antar sampai ke
rumah," Jagal Wesi berkata.
"Jangan! Sebaiknya kita pulang sendiri-sendiri saja, sahabat," kata Andini Sari.
"Aku tak mengharap orang-orang lain menjadi curiga karena pertemuan kita ini."
Jagal Wesi tak mencoba mendesak dan membiarkan
gadis itu berjalan, melangkah ke arah timur menuju ke pusat pulau, dan iapun
terpaksa mendesis kagum bila dengan beberapa loncatan panjang Andini Sari telah
lenyap dari depan pandangan matanya, kecuali tinggal satu titik hitam yang
bergerak-gerak, jauh di sebelah sana.
*** Masih saja termangu dan rasanya tidak percaya si
Jagal Wesi terhadap kejadian yang baru saja berlalu.
Seorang anak seperti Andini Sari sampai berani menentang sikap ayahnya sendiri. Namun hal itupun telah dijelaskan oleh Andini Sari beberapa saat yang la-lu, sehingga ia tidak lagi
kuatir bila gadis itu akan mengkhianatinya.
Demikianlah, sampai pagi hari Jagal Wesi baru dapat tidur sebentar dan tiba-tiba saja ia terbangun oleh langkah-langkah kaki
yang lewat di depan pondoknya.
Maka cepat-cepat Jagal Wesi mencuci muka dan menyisipkan pedangnya, lalu pergi ke luar.
"Hee, orang-orang itu menuju ke pesisir selatan.
Apakah yang terjadi di sana?" pikir Jagal Wesi setelah ia meninggalkan ambang
pintu pondoknya.
Tiba-tiba saja terdengarlah bunyi tiupan terompet
kulit siput yang arahnya dari sebelah selatan, membuat Jagal Wesi mengernyitkan keningnya.
"Hmm, itu tanda berkumpul dan ada orang yang
akan berlayar! Siapa pula mereka ini?" demikian kata Jagal Wesi di dalam
hatinya. "Sebaiknya aku harus cepat-cepat pergi ke sana juga!"
Dengan langkah-langkah lebar, Jagal Wesi berjalan
ke arah pantai selatan dan di jalanan, beberapa orang-pun tampak bergegas pergi
ke sana pula. Sementara itu, sebuah perahu layar telah disiapkan
di pantai ketika Jagal Wesi tiba di tempat tersebut. Kurang lebih sepuluh orang
berjajar lengkap dengan senjata-senjatanya, dan di muka mereka Ki Rikma Rembyak berdiri dengan tegapnya.
Di antara orang-orang yang berjajar itu, terlihatlah di antaranya Garangpati,
Soma Karang, si Tongkol dan lain-lainnya lagi.
Tak lama kemudian, Ki Rikma Rembyak berkata
kepada rombongan kecil tersebut.
"Anak-anak, kalian harus pergi ke pesisir utara Jawa untuk menghubungi saudara-saudara kita di sana.
Bantulah Ki Bido Teles di sana. Tugas-tugas lainnya, nanti akan dijelaskan oleh
Soma Karang! Dan kau Garangpati, kau kuberi kesempatan lagi untuk melaksanakan tugas dariku ini. Laksanakan sebaik-baiknya.
Jika kau gagal, kau jangan harap kembali ke mari! lebih baik kau membunuh diri
saja!" Garangpati mengangguk dan kemudian tunduk ke
bawah tanpa berani menatap sedikitpun kepada pemimpinnya, namun dalam hati ia telah berjanji bahwa sekali ini ia akan
sepenuhnya melaksanakan tugasnya.
Iapun telah bertekad untuk lebih baik mati daripada gagal untuk ketiga kalinya. Bagi gerombolan Ki Rikma Rembyak, kegagalan yang ketiga adalah tabu,
dan pula berarti kematian bagi si pelaku. Kalau tidak mati karena membunuh diri,
maka teman-teman sen-dirilah yang akan membunuhnya!
Tak antara lama, orang-orang tersebut telah berloncatan turun ke perahu, sesudah Ki Rikma Rembyak
memberi aba-aba untuk berangkat. Secepat dayungdayung bergerak, secepat itu pula perahu yang ditumpangi mereka meluncur ke
tengah laut dan sebentar
kemudian mereka telah memasang layar perahunya.
Soma Karang masih menatap ke utara ke arah pantai Pulau Mondoliko yang semakin menjauh dan mengecil itu. Kini yang tampak hanyalah pucuk-pucuk
pohon kelapa yang melambai-lambai daunnya, sedang
orang-orang yang berada di pantai cuma tinggal terlihat sebagai titik-titik
kecil saja. Ketika mereka telah jauh berada di tengah laut,
Soma Karang lalu membuka selembar kulit yang tadi
telah diterima dari Ki Rikma Rembyak.
"Hehhh, aku harus mendarat di tempat ini!" gumam
Soma Karang sambil memperlihatkan tulisan dan peta
kasar dari pantai utara Jawa yang melingkari Gunung Muria. "Memang sesuai dengan
petunjuk-petunjuk
yang diberikan oleh Bido Teles beberapa waktu yang
lalu!" Selesai membaca surat itu, Soma Karang segera melipatnya serta disimpannya kembali ke ikat pinggangnya.
"Si Tongkol, jagalah kemudinya baik-baik!" ujar Soma Karang kepada si pemegang kemudi.
"Baik, Kakang Soma!" sahut si Tongkol dengan tersenyum lebar. "Jangan kuatir, kemudi ini akan aku ja-ga dan aku kemudikan
seperti aku menjaga gadis kekasihku sendiri!"
"Ha, ha, ha, ha," terdengar suara ketawa riuh dari
segenap awak perahu termasuk Soma Karang pula.
"Ohh, kau selalu membicarakan wanita, si Tongkol?" kata Soma Karang sambil menahan sisa-sisa ketawanya. "Apakah hanya itu yang kau pikirkan?"
"Maaf, Kakang Soma. Habis, hanya wanitalah yang
dapat menambah semangatku!" sahut si Tongkol sambil mengelus dan menciumi ujung kemudi perahu,
membuat kawan-kawan lainnya semakin riuh tertawa.
Demikianlah, anak buah Ki Rikma Rembyak itu berkelakar dan saling mengganggu tanpa merasa bahwa
mereka telah jauh berlayar meninggalkan Pulau Mondoliko. Dalam pada itu, sekali-sekali Soma Karang melirik
ke arah Garangpati yang tengah menggosok-gosok sebilah pedang di tangannya. Sejak tadi Soma Karang
melihat bahwa Garangpati cuma berdiam diri dan sedikit ketawa saja.
"Hmmm, Kakang Garangpati kelihatannya sibuk
berpikir. Agaknya ia benar-benar memikirkan peringatan terakhir dari ketua Ki
Rikma Rembyak!" berkata
Soma Karang di dalam hatinya. "Memang tugas ini
adalah kesempatannya yang terakhir untuk memperbaiki dirinya! Jika gagal berarti ia harus mati!"
Perahu yang ditumpangi mereka terus membelah air
laut meluncur ke arah tenggara. Dari sebelah selatan terlihatlah bentuk Gunung
Muria yang berpuncak tiga membayang dengan indahnya, bagaikan raksasa yang
tengah tidur dengan lelapnya berselimut awan putih
beberapa potong. Para awak perahupun menjadi lebih
gembira karena tak lama lagi mereka akan tiba di daratan.
4 ENAM ORANG berkuda tampak menyusuri kaki timur Gunung Muria menuju ke utara. Mereka baru saja
meninggalkan Desa Tegalreja yang telah disinggahi beberapa saat untuk sekadar
melepaskan lelah dan minum serta makan secukupnya.
Mereka berpacu kembali, melewati jalan rintisan
yang berlika-liku di sepanjang kaki gunung. Beberapa orang desa yang kebetulan
lewat segera menepi dan
terpaksalah mereka dibuat keheranan bila mereka melihat bahwa seorang di antara orang-orang yang berkuda tadi, mengenakan topeng kain putih yang menutupi mukanya. Namun merekapun cuma berdiam diri sebab mereka pernah mendengar bahwa kadang-kadang orang
sakti sering berlaku aneh. Ada yang bertopeng, ada
yang berkerudung kulit macan, berkuku panjang-panjang yang dipolesi dengan racun dan sebagainya.
Begitulah, maka mereka berenam terus berpacu
tanpa menjumpai rintangan apapun. Sesudah melewati beberapa hutan-hutan kecil dan beberapa gerumbul pohon-pohon bambu mereka
mulai memasuki daerah
pedesaan lagi. "Bapak Pendekar Bayangan, kita telah memasuki
Desa Tayu," ujar Lawunggana. "Tujuan kita hampir
tercapai dan di pojok utara sanalah terletak Tanjung Bugel."
"Yah, kita sekali lagi singgah sebentar sambil mencari keterangan-keterangan tentang Ki Bango Wadas
dan kawan-kawannya. Tetapi berhati-hatilah. Sebisabisanya jangan sampai membuat keributan!" Pendekar
Bayangan berkata kepada Lawunggana dan juga kepada Kertipana, Sorogenen dan dua orang jagabaya yang
berkuda di belakang.
Beberapa sawah yang mulai menghijau terlihat menyenangkan hati, lebih-lebih bagi bapak-bapak tani
yang telah mengolah dan mengerjakannya sehingga
batang-batang padi tersebut tumbuh dengan suburnya. Ketika memasuki Desa Tayu, mereka berenam segera menghentikan kuda-kudanya di muka sebuah warung dan menambatkannya pada batang-batang pohon
di dekat pagar halaman.
Pendekar Bayangan, Lawunggana dan lain-lainnya
lalu melangkah masuk ke dalam warung. Namun mereka segera mengernyitkan dahinya bila di sebuah me-ja yang lain, terdapatlah
enam orang duduk-duduk seraya minum tuak dengan sebentar-sebentar tertawa
terkekeh-kekeh.
Akan tetapi rupanya para peminum tuak itupun terkejut pula melihat enam orang tamu baru masuk ke
dalam warung dan terutama mereka sangat tertarik
kepada Pendekar Bayangan yang mengenakan topeng
kain putih itu.
Tak lama kemudian Pendekar Bayangan beserta
rombongannya telah pula duduk dengan minumminum tuak, sambil bercakap-cakap seperlunya.
"Stttt, Lawunggana, berhati-hatilah! Keenam orang
peminum tuak di sebelah sana itu selalu memperhatikan kita!" demikian bisik Pendekar Bayangan kepada
Lawunggana. "Benar, Bapak! Baiklah, aku akan senantiasa berhati-hati," jawab Lawunggana seraya memberi isyarat pula kepada keempat sahabat
yang duduk di dekatnya.
"Hemm, jadi kuda-kuda yang tertambat di samping
warung itu rupanya adalah milik mereka!" bisik Kertipana.
"Berarti mereka adalah orang-orang asing dan datang dari tempat jauh! Bukankah begitu, Bapak"!" ujar Sorogenen pula.
"Memang, bisa jadi demikianlah sesungguhnya," kata Pendekar Bayangan membenarkan.
Keenam peminum tuak di meja sebelah sana itu
memang sesungguhnya memperhatikan Pendekar
Bayangan dan kelima orang pengikutnya. Dan mereka
lebih tertarik kepada Pendekar Bayangan yang bertopeng itu. Mereka tertawa terbahak-bahak bila Pendekar Bayangan menyingsingkan ujung bawah dari topeng kainnya bila ia hendak minum tuak dari mangkuk tembikarnya.
Yang paling keras tertawa adalah seorang yang berbibir tebal dan bermata tajam. Agaknya orang inilah pemimpin dari para peminum
tuak tadi. "Heh, heh, heh, heh. Lihatlah teman-teman, di sana
ada seorang bertopeng. Rupanya dia adalah seorang
penari topeng keliling yang lagi tidak laku!"
"Hi, hi, hi. Dan kita patut menaruh belas kasihan
kepadanya, Kakang Dobleh!" ujar seorang peminum
tuak lainnya dengan suara sember karena hidungnya
yang besar dan pesek itu.
"Betul, Adi Dempok. Kita harus kasihan kepadanya.
Nah, teman-teman, keluarkan uang tembagamu dan
berikan kepada tukang penari topeng itu. Heh, heh,
heh." Mendengar perintah Dobleh tadi, maka masing-masing segera mengeluarkan sekeping uang tembaga dari ikat pinggang. Tetapi mereka
tidak begitu saja memberikan uang tembaga tadi, dan inilah yang membuat
Pendekar Bayangan dan rombongannya terkejut.
Keenam peminum tuak tadi tiba-tiba meletakkan
masing-masing uang tembaganya ke dalam telapak
tangannya lalu digenggam erat-erat. Sesaat kemudian mereka membuka kepalan
tangannya dan sekaligus
melemparkan uang tembaganya tadi ke arah meja
Pendekar Bayangan diiringi teriakan Dobleh. "Nah, topeng barangan, terimalah
sekadar belas kasihan dari kami! Heh, heh, heh!"
Tak-tak-clap-clap-clap-tak!
Terdengar bunyi menancap membuat Pendekar
Bayangan, Lawunggana dan yang lain-lain terkejut bukan main, apalagi setelah di
atas permukaan meja di depan mereka bertancapan enam gulungan uang tembaga!
"Luar biasa! Tenaga dalam yang sempurna!" desis
Pendekar Bayangan penuh kagum. Mereka, lebih-lebih
para pengikut Pendekar Bayangan, tidak bisa mengerti mengapa keenam keping uang
tembaga yang tadinya
bulat terbuka dan cukup tebal itu dengan mudah tergulung seperti gulungan pucuk daun pisang muda
yang lagi tumbuh.
Demikianlah, kelima pengikut Pendekar Bayangan
terdiam bisu dengan perasaan tegang dan dada berdentang-dentang, kecuali keenam peminum tuak yang
melempar uang tadi malah tertawa ramai.
"Kakang Dobleh, lihatlah! Mereka melongo ketakutan setengah mati!" seru Dempok kegirangan. "Kasihan...." "Heh, heh, heh. Memang kasihan kalau mulut mereka yang melongo itu kemasukan lalat!" ujar Dobleh.
"Benar, Kakang Dobleh!" sahut Dempok seraya memungut seiris juadah ketan seraya berteriak. "Hee, sobat, awas mulutmu!" Dan
berbareng itu pula Dempok
mengibaskan tangannya tadi ke arah tempat Pendekar
Bayangan. Wesss! Juadah ketan tadi melayang dan tahu-tahu telah
menyumbat ke dalam mulut Sorogenen yang lagi melongo. Keruan saja Sorogenen segera menyemburkan
juadah ketan tadi ke tanah seraya menyumpah-nyumpah, menyebabkan Dobleh dan kawan-kawannya se

Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makin keras tertawa.
"Kurang ajar!" desis Lawunggana seraya meraba hulu pedangnya. "Kita harus melabrak mereka!"
"Sabar Lawunggana!" cegah Pendekar Bayangan.
"Kita harus hati-hati. Mereka bukan orang-orang sembarangan. Keenamnya pasti
pendekar-pendekar jagoan!" "Tapi, Bapak. Jika kita berdiam diri, pasti mereka
akan lebih kurang ajar lagi!" sela Lawunggana.
"Biarlah aku yang meladeni mereka, Lawunggana.
Kalian lihat saja nanti. Jika aku benar-benar kewalahan, barulah kalian boleh
turun tangan!" Pendekar Bayangan berkata seraya tersenyum di balik topengnya.
Lalu ia menatap ke arah Dobleh dan kawan-kawannya
dan berkata, "Heee, para sobat! Kalian telah bermurah hati memberikan uang-uang
tembaga ini. Tapi sayang
kami masih mempunyai persediaan lebih dari cukup!"
Sambil berkata begitu Pendekar Bayangan seraya
mencabuti keenam gulungan uang tembaga yang menancap di atas permukaan meja di depannya, lalu
dengan mudahnya membuka gulungan uang tembaga
tadi satu demi satu sehingga menjadi lurus dan bulat seperti sediakala.
"Ooooh!" desis Dobleh beserta kawan-kawannya.
Perjodohan Busur Kumala 11 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Suramnya Bayang Bayang 14

Cari Blog Ini