Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung Bagian 2
Jurang Mati beberapa waktu yang silam, dengan diam merasa bersyukur bahwa
pendekar Demak itu dapat
lolos kembali. Dengan begitu, maka hadiah dari Ki Rikma Rembyak yang disediakan bagi tertangkapnya Mahesa Wulung masih belum ada yang menerimanya. Seribu keping emas untuk Mahesa Wulung! Begitu tawaran Ki
Rikma Rembyak kepada segenap pendekar-pendekar
bawahannya yang diucapkan paling akhir.
Wajah kedua orang hukuman tadi semakin bertambah pucat ketika iring-iringan Ki Rikma Rembyak tiba di teluk kecil yang
berdinding karang.
Daerah itu memang kelihatan agak aneh. Dinding
karang yang mengelilingi teluk itu cukup tinggi, sedang mulut dari teluk yang
berhubungan dengan laut sa-ngatlah kecil, dan di situ terpasang sebuah pintu
kayu besi yang berlapis logam. Bila air surut, maka pintu kayu besi yang tebal
tadi ditutup sehingga teluk kecil tersebut tetap berisi air.
Orang tidak perlu bertanya-tanya lagi terhadap kepentingan teluk kecil yang aneh ini, sebab mereka telah tahu bahwa Ki Rikma
Rembyak memiliki kegemaran yang aneh-aneh dan ganjil.
Seperti teluk kecil ini yang sekarang dikelilingi oleh seluruh pengikut Ki Rikma
Rembyak dan berdiri di
atas dinding-dinding teluk, merupakan satu pemandangan yang aneh!
Ki Rikma Rembyak juga berdiri di situ dan segera ia membacakan keputusan hukuman
kepada kedua terdakwa itu. Surokolo sudah menduga sebelumnya, kalau kedua orang ini pasti dijatuhi hukuman mati oleh pemimpinnya.
Dan itu memang benar. Segera ia mendapat abaaba dari Ki Rikma Rembyak.
"Dorong ke bawah!"
Kedua pengawal terhukum itu menjerit ketakutan
sewaktu tangan-tangan algojo mendorong tubuhnya ke bawah. Keduanya terpelanting
ke bawah dan sesaat
kemudian langsung diterima oleh air teluk yang tenang dengan suara berdebur
keras. Byuuurrr! "Hua, ha, ha, ha," tawa Ki Rikma Rembyak meledak
ketika melihat dua orang hukuman itu tercebur ke air teluk.
Seluruh perhatian dan pusat pandangan mata diarahkan kepada dua orang ini. Sesungguhnya, hukuman itu lebih diarahkan sebagai hiburan bagi Ki Rikma
Rembyak dan para pengikutnya.
Kedua orang hukuman tadi cepat-cepat menguasai
diri dan berenang ke arah tepian teluk. Mereka berenang dengan cekatan. Mereka
tidak lagi mengingat
apakah mereka akan mampu memanjat keluar dinding
teluk yang cukup terjal setinggi lebih kurang sepuluh kali orang berdiri. Yang
penting mereka secepatnya ti-ba di tepian teluk.
Agaknya mereka telah menduga dan membaui adanya sebuah bahaya yang telah mengintai mereka, datangnya dari dasar teluk ini. Begitulah naluri mereka berkata! Jika tidak,
mengapakah mereka dilemparkan ke dalam teluk itu" Dan apa pula perlunya"
Tiba-tiba buih-buih besar dan gelembung-gelembung air bermunculan dari dasar air dan muncul di
permukaan dalam letupan-letupan gemuruh. Semua
pandangan makin tegang.
Dan mendadak saja, meledaklah jeritan-jeritan kagum dan ngeri, seiring dengan munculnya belalai-belalai raksasa dari bawah air.
"Gurita raksasa!" desis Jagal Wesi kaget. Begitu pu-la Andini Sari, Surokolo,
Bido Teles, Soma Karang, Sigayam, Blending dan lain-lainnya menjadi terkejut
bukan main. Kedua orang hukuman yang tengah berenang itulah
yang paling terkejut! Sewaktu mereka menoleh ke belakang, tampaklah beberapa
belalai-belalai raksasa yang berwarna abu-abu kebiruan dan berbintik-bintik biru
dan putih telah terjulur ke arah tubuh mereka.
Seketika itu pula, guguplah mereka dan gerakan
renang mereka menjadi lebih cepat, namun juga menjadi tak keruan karena dicampuri oleh rasa takut dan kaget yang luar biasa.
Salah seorang hukuman di antaranya yang berwajah lebih tua, menjadi tertinggal di belakang dan sebuah belalai gurita raksasa tahu-tahu telah menerkamnya. "Aaaarrgghhh!"
Tawanan berwajah tua menjerit parau, begitu ujung
belalai tadi membelit pundak dan lehernya. Keruan sa-ja orang ini menggapaigapaikan tangannya sebagai
luapan rasa takut dan rasa paniknya.
Kepala dari gurita itu sebagian muncul di atas permukaan air, seperti mengintai
akan sasaran yang telah ditangkapnya. Dua buah matanya yang kecil kekuningan
menatap tajam ke arah korbannya.
Kini si korban sudah tak berdaya lagi. Tubuhnya
terseret oleh tangan belalai gurita ke arah mulutnya yang bergigi paruh seperti
paruh burung betet.
"Aaaaaahh!" pekik terakhir dari mulut si korban
berbareng tubuhnya lenyap di bawah kepala gurita
raksasa. Busa bergumpal-gumpal menggelegak ke permukaan air tercampur warna merah darah mengambang mengerikan, sebagai pertanda tamatnya riwayat si korban karena terlahap
seluruh tubuhnya ke dalam mulut gurita raksasa tadi.
Melihat nasib kawannya tersebut, maka si pengawal
muda yang berenang di sebelah depan cepat-cepat menambah gerakannya, dan
untunglah ia telah tiba di
pantai teluk ini.
Begitu mendarat, orang hukuman yang kedua dan
masih muda tadi dapat menarik nafas lega serta kemudian menyandarkan diri ke dinding teluk yang terdiri dari batu karang terjal
yang sangat tinggi.
Surokolo, Jagal Wesi, Andini Sari serta para penonton lain yang menyaksikan
kejadian tersebut kini dapat menarik nafas lega, sebab masih ada yang selamat
dari ancaman gurita raksasa tadi. Untuk sementara
ketegangan menjadi reda dengan selamatnya si orang hukuman muda.
Tetapi benarkah bahwa dia akan terbebas dari maut
yang tengah mengancamnya" Memang gurita raksasa
tadi tidak berusaha mengejarnya. Agaknya ia telah cukup puas dengan melahap
seorang korban dan kini di-biarkannya yang seorang itu lepas dari incarannya.
Melihat ke bawah pula, Ki Rikma Rembyak lalu tertawa tergelak-gelak, bagai ketawa hantu yang seketika bergaung memantul ke
segenap dinding karang.
Ketawa tadi ternyata membuat semua orang yang
berada di tempat tersebut sama-sama menatap ke arah Ki Rikma Rembyak, sebab
seolah-olah hawa maut telah tersebar karenanya dan ketawa tadi adalah sebagai
isyarat. Betul juga akhirnya!
Sekali lagi Ki Rikma Rembyak tertawa pendek serta
berteriak ke arah orang hukuman tersebut.
"Tikus kecil! Kau kira akan dapat lolos hidup-hidup dari tempat ini, heeeii"!
Perhatikan tanah di sekitar-mu!"
Orang hukuman muda ini melihat ke bawah dengan
ketakutan, begitu didengarnya ancaman si iblis berambut panjang itu.
"Aaakh!" keluhnya yang berputus asa terdengar.
"Celaka ini!"
Tiba-tiba, tanah pasir di sekitar orang hukuman itu berdiri terdengar gemerisik.
Sesaat kemudian, lubang-lubang kecil pada permukaan tanah menjadi semakin
lebar dan muncullah ketam-ketam kecil sebesar ibu ja-ri. "Ooh, kiranya ketamketam yang lucu saja!" gerundal si orang hukuman seraya mengusap peluh dinginnya. Sejenak, takutnya menjadi reda.
Akan tetapi benarkah ketam-ketam kecil itu binatang yang lucu dan tidak perlu ditakuti" Memang pada umumnya seperti demikian.
Ketam-ketam kecil yang
banyak hidup di tepi-tepi pantai itu adalah binatang yang penakut sekali.
Apabila nampak olehnya sesuatu makhluk mendekatinya, maka secepat kilat ia akan
la-ri dan masuk ke dalam lubang tanah yang merupakan
pintu liang rumahnya, serta bersembunyi di situ. Delapan kaki dan dua capit
kecil pada tubuhnya bergerak cepat ke samping. Dengan demikian gerakan berjalan
atau berlari dari ketam ini selalu miring, ke samping kiri atau kanan. Sungguh
lucu tampaknya!
Namun, ketam-ketam kecil dari teluk maut milik Ki
Rikma Rembyak ini lain lagi. Secepat ia keluar dari lubang-lubang rumahnya,
mereka serentak bergerak perlahan-lahan mendekati si orang hukuman.
Maka sesungguhnya inilah awal ketegangan yang
terakhir! Ketam-ketam kecil tersebut bergerak bersa-ma. Dari segenap lubang
tanah, mereka bermunculan.
Kaki-kakinya yang kecil bergerak dan menimbulkan
suara gemerisik pada pasir yang dilaluinya.
Bukan main takutnya si orang hukuman tadi, sehingga dengan nekadnya ia bermaksud memanjat dinding karang terjal di belakangnya.
Ternyata usahanya tadi adalah sia-sia belaka, sebab dinding karang tadi cukup
licin juga. Kiranya hanya orang-orang berilmu tinggilah yang mampu melakukannya. Tidak seperti si orang hukuman muda tadi,
yang kemudian tergelincir jatuh!
Tubuhnya terhempas di pasir. Cepat-cepat ia bangkit berdiri. Dilihatnya ketam-ketam kecil tadi telah mengepung dirinya!
Akhirnya, karena terjepit oleh ketakutan dirinya, si orang hukuman tadi
mempunyai keberanian sedikit.
Kaki kanannya terangkat ke atas dan selanjutnya
menginjak hancur beberapa ekor ketam yang terdepan.
Breeekkk! Kriiyesss!
Namun bukan main kagetnya. Ketika kaki kanannya beraksi, tahu-tahu kaki kirinya merasa sakit dan pedih. Ternyata di kulit
dagingnya, beberapa ekor ketam kecil telah menggigitnya.
Cepat-cepat ia menghentakkan kaki kirinya ke tanah. Kembali beberapa ekor ketam hancur terinjak
oleh kakinya. Tetapi ketam-ketam yang tadi menempel pada kaki kirinya tidak juga
lepas ataupun jatuh. Dengan begitu, si orang hukuman itu menjadi semakin
ketakutan dan ngeri. Apalagi ketika ketam-ketam itu mulai menyerang kaki
kanannya pula, ia sudah berada pada puncak ketakutannya!
Akhirnya iapun berlari ke sana-ke mari sambil melolong-lolong seperti orang gila. Ke mana saja ia meng-injakkan kakinya, di situ
pulalah ketam-ketam kecil lainnya menggerayangi dan merambati kakinya.
Kini sebagian ketam-ketam tadi telah memanjat tubuhnya ke atas sambil menggigit-gigit. Keruan saja ia bertambah kalang-kabut dan
mencak-mencak ke sana-sini sehingga akhirnya iapun jatuh terantuk batu pada
kakinya. Dan inilah sebenarnya detik-detik terakhir dari hi-dupnya. Karena demikian
tubuhnya jatuh tergolek di tanah, secepat itu pulalah ketam-ketam kecil tersebut
menerkam tubuhnya!
Dalam sekejap mata, tubuhnya telah dikerumuni
oleh ketam-ketam kecil. Lolong dan jerit kesakitan keluar dari mulutnya.
Beberapa kali si orang hukuman ini menggulingkan
tubuhnya ke kiri dan ke kanan, namun itu tidak mempengaruhi ketam-ketam kecil
yang telah mulai meng-gumpal dan menggerogoti daging tubuhnya.
Darah merah segar berkucuran dari luka-luka gigitan ketam-ketam kecil tadi membasahi tanah di sekitarnya. Karenanya pula, ketamketam lainnya semakin mengeroyoknya.
Terakhir sekali, orang itupun menjerit panjang untuk kemudian tubuhnya tak berkutik sama sekali! Ber-akhirlah riwayatnya sudah.
Melihat ini Ki Rikma Rembyak tersenyum puas dan
menarik-narik rambutnya sebagai pertanda kegembiraan yang meluap-luap.
Sementara itu, Andini Sari masih saja menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, sesudah ia melihat tontonan yang mengerikan
itu. Hatinya tidak sampai menyaksikan kematian yang
begitu mengerikan dan kejam. Jika ia pernah menyaksikan orang yang mati di medan
pertempuran, itu tidak begitu menggoncangkan hatinya, karena semua itu
sudah wajar. Sedang kematian yang baru saja disaksikan ini, jauh lebih
mengerikan. Secara perlahan-lahan, menyakitkan dan merupakan siksaan hebat!
Di sebelah yang lain, Jagal Wesi juga memalingkan
kepala, melengos untuk menghindarkan pandangan
matanya dari tubuh si orang hukuman yang telah
bermandi darah dan tak berbentuk itu!
Para penonton, anak buah Ki Rikma Rembyak lainnya seperti terpesona, termasuk Soma Karang, Bido
Teles, Surokolo, Sigayam dan lain-lain. Setidak-tidak-nya, hal itu merupakan
contoh bagi mereka, tentang hukuman bagi siapa saja yang dianggap berkhianat
dan berani menentang kepada Ki Rikma Rembyak.
Dengan demikian, ketakutan kepada Ki Rikma Rembyak makin bertambah dan kesetiaan kepadanya menjadi lebih besar. Memang inilah tujuan sebenarnya dari maksud Ki Rikma Rembyak
yang baru saja menghu-kum kedua orang bekas anak buahnya itu.
Hanya saja, ia tidak menduga bahwa dengan mempertunjukkan kekejaman dan siksaan-siksaannya selama ini, beberapa orang di antara anak buahnya menjadi tidak senang, termasuk
pula Jagal Wesi dan Andini Sari sendiri!
*** Malam hari, sesudah pelaksanaan hukuman terhadap kedua anak buahnya, Ki Rikma Rembyak lalu mengumpulkan para pendekar pengikutnya di pendapa
rumahnya. "Kalian memang cukup sakti dan tangguh, tapi toh
masih kurang teliti! Buktinya, Mahesa Wulung masih belum tertangkap sampai saat
ini!" bentak Ki Rikma Rembyak sambil menuding dan menunjukkan tangannya ke wajah
Soma Karang, Bido Teles, Surokolo, Sigayam dan lain-lainnya. "Dengar kalian,
heeii! Hadiah seribu keping emas telah tersedia untuk kalian, jika Mahesa Wulung
berhasil kamu tangkap!"
"Ampun, Tuan," sambung Surokolo memberanikan
diri. "Masih banyak para pendekar utusan Andika yang belum pulang sampai hari
ini. Siapa tahu, bahwa merekapun akan berhasil melaksanakan tugasnya dan
menyeret si bedebah Mahesa Wulung itu ke hadapan
Tuanku!" Ki Rikma Rembyak termenung sesaat dan berkatalah ia kepada Surokolo, "Ngengngg. Pendapatmu itu
benar, Surokolo. Memang sebaiknya aku akan menunggu mereka."
"Andika masih ingat," sahut Surokolo pula, "Kakang Talipati si peniti tombak
yang sakti masih belum kembali. Demikian pula Kakang Tangan Iblis yang bertangan
petir, serta Lampor Anom dan lain-lainnya. Mereka telah berjanji akan berusaha
mati-matian untuk menangkap Mahesa Wulung!"
"Heh, heh, he, he. Bagus! Bagus. Hampir saja aku
melupakan mereka itu. Jika begitu aku tidak perlu kuatir. Pertemuan kita kali
ini cukuplah sekian dahulu, dan kalian boleh kembali ke tempat masing-masing,"
kata Ki Rikma Rembyak.
Para pendekar itu kemudian meninggalkan pendapa
rumah pemimpinnya, tepat sang rembulan mulai muncul dari balik awan mendung.
Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Cahaya yang semula redup-redup kini menjadi terang kembali menerangi segenap sudut Pulau Mondoliko. Menerangi lekuk-lekuk batu karang, pepohonan, seluruh pantai dan apa saja
yang terdapat di situ, seperti pula sebuah bangunan bukit karang yang berlubang
kepundan di tengahnya, merupakan bentuk sebuah kepala singa berambut panjang dan menengadah
ke atas dengan mulut menganga. Sungguh dahsyat
dan mengagumkan bangunan tersebut. Orang sukar
menduga, apakah bangunan tadi dipahat dari sebuah
bukit karang ataukah disusun secara bertahap?"
Sekonyong-konyong tampaklah sesosok bayangan
manusia yang mengendap di antara batu-batu karang
dan mendekati Bukit Kepala Singa tersebut dalam loncatan-loncatan panjang dan
cekatan. Dari sekilas sinar rembulan yang menimpa tubuh
orang ini, dapatlah terlihat satu perawakan yang kekar dan gagah. Gerakannya
mirip seekor tupai, sangat ha-ti-hati dan cermat. Terkadang tubuhnya seperti
melekat pada bukit karang dan kemudian meloncat ke
tempat lain tanpa membuat suara yang ribut.
Kiranya Bukit Kepala Singa ini bukanlah satu bangunan yang sembarangan dan remeh. Hal ini akan
segera terbukti, sebab di sebuah lekukan dinding ka-rangnya, terlihatlah tiga
sosok bayangan manusia yang lain tengah mengawasi.
Ketiganya adalah para penjaga Bukit Kepala Singa.
Pembicaraan mereka masih berkisar pada peristiwa
yang baru saja terjadi, yakni tentang dihukum matinya
kedua orang anak buah Surokolo oleh Ki Rikma Rembyak sendiri. Mendadak saja seorang di antara mereka dapat melihat sesosok tubuh kekar manusia yang menghampiri lubang kepundan dari mulut
singa di sebelah atas. Dalam sekejap pula ia segera memberitahu kepada dua
orang temannya.
"Ssttt, lihatlah! Ada orang yang menghampiri puncak Bukit Kepala Singa! Ia telah memasuki daerah terlarang."
"Ayo cepat kita menangkapnya!" ujar penjaga yang
lain sambil menepuk bahu temannya.
Maka serentak pula ketiganya berloncatan ke atas
dalam kecepatan yang menakjubkan. Terang sekali
bahwa ketiganya berilmu tinggi. Sambil memburu, mereka menyiapkan senjata, yang
seorang bersenjata
tombak, sedang dua orang lainnya bersenjata pedang!
"Berhenti di tempat!" seru penjaga bertombak bersamaan kedua orang temannya telah mengepung orang
asing tadi. "Dari mana kau datang"!"
Sejenak orang asing yang telah terkepung itu menatap ketiga penjaga. "Buat apa kalian bertanya"! Aku juga penghuni Pulau
Mondoliko ini!"
"Setan alas!" gerundal penjaga tadi. "Kau akan menyombong, hah"! Kau belum tahu, kalau kakimu telah menginjak daerah terlarang"!"
"Daerah terlarang"! Hmm, jika begitu, malah kebetulan. Aku ingin mengetahui apakah yang terlarang di sini. Kalian bertiga telah
membikin kaget sewaktu aku tengah menghampiri puncak Bukit Kepala Singa ini,"
ujar orang asing tadi dengan enaknya. "Kamu belum
tahu" Aku berdiri di sini untuk melihat pemandangan yang indah di sekitarnya."
"Bohong! Kau mesti tengah memata-matai dan menyelidiki tempat ini!" ujar si penjaga bertombak seraya
memberi isyarat kepada kedua temannya. "Pedang
Kembar, lekas kita ringkus orang ini hidup-hidup! Biar kita jadikan umpan di
Teluk Maut!"
"Bagus, Kakang Sitongkol!" jawab kedua penjaga
bersenjata pedang itu. "Kami telah siap dengan pedang maut ini!"
"Oooo, kalian bertiga akan memaksaku"! Mari kerjakanlah jika kalian sanggup!" Si orang asing berkata berani. Wajahnya yang bulat
telur dan tampan kelihatan sangat tenang. Rambutnya disanggul di atas, berikat
kepala lebar berbunga-bunga dan pada pinggangnya
tergantung sebilah pedang pendek bertangkai tebal.
"Mampus kowe!" teriak ketiga orang penjaga, sekaligus menerjang si orang asing
dengan senjata-senjatanya. Disertai bunyi berdesing, ujung sepasang pedang
dan tombak tersebut mencoblos dan menebas ke tubuh lawan yang berpedang pendek. Namun betapa kagetnya mereka, bila tiba-tiba orang asing tadi melenting ke atas dengan satu putaran sambil kedua tangannya bergerak ke arah
pinggang. Sriiiingnggg! Ternyata orang asing tersebut telah mencabut pedang pendeknya dan terkejut pulalah ketiga lawannya ketika pedang pendek itu
dapat terpisah menjadi dua bilah pedang pendek tipis!
Seketika itu pula pertempuran hebat segera terjadi di puncak Bukit Kepala Singa.
Kedua orang penjaga
yang bergelar Pedang Kembar mengeluarkan ilmu pedangnya, sehingga dalam sekejap mata pedang-pedang lebar mereka bergulung-gulung
melibat lawannya.
Demikian pula Sitongkol tak tinggal diam dengan
tombaknya. Dengan ilmu permainan dan jurus-jurus
maut, ia memutar tombak tadi dalam gerakan yang
saling bersahutan. Sebentar mata tombaknya seperti
paruh seekor garuda, mematuk lawan. Tapi dalam saat yang lain, pangkal tombaknya
menyapu garis pertaha-nan lawan, laksana sabetan ujung dari ekor ular naga yang
lagi murka! Dengan serangan-serangan hebat dari Sitongkol dan
kedua orang rekannya itu, sudah boleh dipastikan
bahwa lawan mereka akan segera roboh dan pecundang! Akan tetapi, orang asing yang bersenjata pedang
pendek dan berwajah bulat tampan ini, dengan berani dan mudahnya menghalau
setiap ujung senjata lawan
yang berani mendekatinya.
Merasa akan ketangguhan lawannya, Sitongkol bertiga makin menjadi marah. Kini sadarlah mereka bah-wa orang asing itu telah
sengaja datang ke tempat mereka untuk mencari mati. Maka tidak mengherankan
bila Sitongkol bertiga telah menumpahkan segenap kepandaian dan ilmunya untuk
menumpas lawan.
Si wajah tampan berpedang pendek, mulai merasakan tekanan-tekanan berat dari serangan lawan, sehingga terpaksalah ia lebih berwaspada.
Sementara itu pula, kedua orang pendekar Pedang
Kembar makin mempercepat serangan-serangannya
dan tampaklah ujung-ujung pedangnya memburu terus-menerus ke tubuh lawannya.
"Hyaaat!"
Si wajah tampan menerkam ke atas dan kedua
ujung pedang pendek di kedua belah tangannya menyambar ke arah kepala lawan-lawannya.
Gerak serangan si wajah tampan ini sungguh di
luar dugaan, dan ketiga lawannya terpaksa mengumpat-umpat sambil menghindar.
Wessst. Breettt!
"Uuaarh!"
Sitongkol menjerit, ketika sebuah ujung pedang
pendek lawannya yang berwajah tampan itu, menyambar dan menyayat pipinya. Darah segar seketika memercik keluar. Tapi hanya untuk sebuah luka saja, Sitongkol justru makin bertambah liar dan beringas. Sebagai seorang anak buah Ki Rikma
Rembyak yang telah kaya
akan pengalaman dan seluk-beluk pertempuran, Sitongkol segera dapat mengukur akan tingkat kepandaian dan ilmu lawannya.
Menurut perhitungannya, ilmu lawannya yang berwajah tampan ini tidak terlalu jauh selisihnya dengan ilmu yang ia miliki.
Tetapi yang ia tak habis mengerti, apabila ia mengeluarkan jurus-jurus
puncaknya, lawannya tersebut senantiasa berhasil mengatasi. Dari kenyataankenya- taan tersebut, Sitongkol menduga bahwa lawannya tidak seluruhnya mengeluarkan
ilmu. Kedua pendekar Pedang Kembar telah bangkit
memperbaiki diri dan beberapa kali masih terdengar umpatan dari mulutnya.
Sejurus kemudian serangan mereka bertambah hebat dan rupanya, si wajah tampan mulai terdesak pu-la. Beberapa kali ia berada
dalam posisi dan kedudukan yang kurang menguntungkan. Hanya berlandaskan kenekadan dan kegesitan belakalah, ia masih selalu sempat meloloskan diri
dari senjata-senjata lawan yang datangnya bagai curahan hujan.
Di tengah dahsyatnya pertarungan itu, melesatlah
satu bayangan manusia, lalu menerjunkan diri ke tengah arena. Dengan kedua
tangannya yang kosong, si pendatang baru ini menyerang ke arah Sitongkol dan
kedua pendekar Pedang Kembar.
Tentu saja Sitongkol bertiga terperanjat dan lebih kaget lagi bila wajah si
pendatang itu penuh coreng-moreng dengan warna-warna kotor. Sehingga dengan
demikian menjadi tersamarlah wajah orang tersebut.
"Keparat! Kau turut campur dengan urusan kami.
Heei! Siapa pula kamu ini"!" teriak Sitongkol dengan mendongkol. "Kau berusaha
menyembunyikan wajah-mu?"
"Jangan cerewet!" bentak si wajah coreng-moreng.
"Kamu bertiga telah mengeroyok orang ini dan bermain-main dengan hebatnya," berkata begitu si pendatang itu segera mengelus-elus
kumisnya yang tebal.
"Sekarang aku ingin meramaikan permainan ini dan
bersama pemuda ini!"
"Yaah. Jadi kau mau membelanya, bukan"!" ujar Sitongkol sambil meludah ke tanah. "Boleh. Boleh. Sebentar lagi engkaupun akan
mampus oleh ujung-ujung senjata kami! Kau berhadapan dengan Sitongkol, ta-hu!"
"Sombong sekali kau, sobat! Sambutlah ini. Hyaaat!"
Si wajah coreng-moreng menebaskan sisi telapak tangannya. Serentak bersiutlah bunyi sambaran angin maut ke
arah Sitongkol yang seketika cekakaran menangkis serangan tersebut dengan
melintangkan batang tombaknya di muka kepala.
Werrr! Pletakkk!
Tombak Sitongkol terpatah menjadi dua oleh tebasan tangan si wajah coreng-moreng. Suara berderak
terdengar. Hampir semuanya kaget oleh kejadian ini, lebihlebih dengan Sitongkol sendiri. Walaupun begitu, tombaknya yang menjadi pendek
itu masih digenggamnya
dengan erat dan dengan senjata tersebut pula ia melancarkan seranganserangannya. Sementara itu, sepasang pendekar Pedang Kembar
tampak seimbang dalam pertempurannya menghadapi
lawannya, si wajah tampan. Hanya saja keseimbangan
ini tidaklah berlangsung lebih lama, sebab mereka sudah tidak lagi dibantu oleh
Sitongkol. Melewati jurus kedua puluh, si wajah tampan melakukan satu gerakan menerobos, ketika sepasang pendekar Pedang Kembar menebaskan pedangnya ke arah
kepala dari samping kiri dan kanan berbareng.
Sreettt! Wreekkk!
"Eaahhh!" Jerit salah seorang dari kedua pendekar
Pedang Kembar sambil memegang lambungnya yang
baru saja tersobek oleh pedang pendek si wajah tampan. Namun tiba-tiba si wajah
tampan tergelincir kakinya.
Sitongkol kaget sekali oleh robohnya rekan tadi, dan di saat itulah kedua tangan
lawannya yang kokoh menyambar tangan kanan Sitongkol yang menggenggam
tombak. "Uuukh!" Keluh Sitongkol kaget, begitu si wajah coreng-moreng telah menyambar
tombaknya. Maka dengan menggerakkan segenap kekuatan, Sitongkol berusaha mati-matian melepaskan diri.
Melihat sikap Sitongkol tadi, si wajah coreng-moreng seperti tidak terpengaruh sama sekali, malahan ia meringis kegirangan dan
berkata pula dengan geram-nya, "Sitongkol yang sombong, cobalah lolos dari kedua
tanganku ini!"
Sekali lagi Sitongkol berusaha melepaskan diri, tapi di saat itu pula, si wajah
coreng-moreng menghentakkan kedua tangan ke atas dengan daya tarik yang hebat.
Maka tanpa ampun lagi tubuh Sitongkol ikut terangkat ke atas, dan ketika si wajah coreng-moreng sekali lagi memutar gerakan
tangannya ke bawah, ma-ka tubuh Sitongkol terhempas ke bawah, ke atas permukaan
batu karang dengan kerasnya.
Brruuukkk! "Heekkk!"
Leher Sitongkol patah sedang kepalanya remuk berdarah, dan matilah ia seketika.
Tetapi si wajah coreng-moreng melihat bahaya lain
yang tengah mengancam rekannya, si wajah tampan!
Ketika itu si wajah tampan tengah tergelincir sesudah ia selesai merobohkan
salah seorang dari kedua pendekar Pedang Kembar. Dalam kesempatan ini, pendekar
kedua dari Pedang Kembar telah siap menebaskan pedangnya ke leher si wajah tampan dengan
marahnya. Untunglah saja, si wajah coreng-moreng telah waspada lebih dulu. Secepat kilat ia melesat ke arah lawan, berbareng kepalan
tangan kanannya tepat menerjang ke tulang punggung pendekar kedua dari Pedang
Kembar. Kreekkk! Terdengar derak tulang patah dan pendekar kedua
Pedang Kembar terjungkal roboh dengan melontakkan
darah segar dari mulutnya.
"Aaarghh!"
Si wajah tampan segera berdiri dan menatap ke
arah si wajah coreng-moreng, kemudian berkata. "Ah, siapa Anda dan mengapa
bersusah payah menolongku?"
Si wajah coreng-moreng tersenyum lebar. Katanya,
"Maaf, Nona Andini Sari. Saya tidak mengharapkan
leher yang jenjang dan lembut itu tergores oleh pedang orang ini."
Bukan main terkejutnya si wajah tampan, ketika dirinya dipanggil dengan nama Andini Sari oleh si penolong. Akan tetapi ia jadi
tersipu-sipu sewaktu ia mendapatkan ujung sanggulnya telah terlepas dan terurai
di pundaknya. "Semoga Andika tak keberatan dengan nama yang
aku sebutkan tadi," ulang si wajah coreng-moreng seraya tersenyum.
Si wajah tampan yang sesungguhnya memang Andini Sari menggeleng pelan dan tiba-tiba iapun berseru dengan wajah berseri.
"Haaai, aku mengenal suaramu!
Engkaukah Saudara Jagal Wesi"!"
Sambil tersenyum pula, si wajah coreng-moreng
berkata pelan, "Heh, heh, heh. Ingatan Nona memang tajam! Tidak keliru lagi hal
itu. Akulah Jagal Wesi."
Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mmm, mengapa pula Anda berada di tempat ini?"
tanya Andini Sari seraya mengatur kembali gelung
sanggulnya yang terlepas.
"Aku tak sengaja kemari," sambung Jagal Wesi. "Namun ketika aku melihat Andika mengendap-endap dan
menginjak ke daerah terlarang Bukit Kepala Singa ini, aku jadi bercuriga. Saya
ingin mengetahui, apakah
yang akan dilakukan oleh Andika di sini."
"Jadi Anda semula tidak mengetahui, kalau yang
mengendap-endap itu adalah saya?" bertanya Andini
Sari pula. "Sama sekali saya tidak mengetahuinya," ujar Jagal Wesi. "Karenanya pula saya
jadi tertarik ketika Andika menuju daerah ini."
"Sebenarnya aku ingin mengetahui, mengapakah
tempat ini dijadikan daerah terlarang oleh ayahku Ki Rikma Rembyak."
"Nona Andini Sari ingin tahu?" sahut Jagal Wesi.
"Lihatlah ke lubang kepundan atau mulut dari Bukit Kepala Singa ini. Dari situ
sering aku melihat adanya bintang berekor yang meluncur keluar dan terbang ke
angkasa!" "Bintang berekor"!" ulang Andini Sari dengan kagetnya. "Keluar dari mulut Bukit Kepala Singa ini"! Ya, memang aku sering
melihatnya, tapi tidak kuketahui kalau bintang berekor tadi meluncur dari sana!"
"Marilah kita melihatnya," ajak Jagal Wesi pula.
"Sudah lama saya pun ingin melihatnya. Secara kebe-tulan kita telah merobohkan
ketiga orang penjaga di sini."
"Baik. Lekaslah kita mendekati mulut kepundan
itu," ujar Andini Sari berbareng kakinya meloncat ke arah puncak bukit, diikuti
oleh Jagal Wesi.
Dalam waktu singkat, keduanya telah sampai pada
tepi lubang kepundan yang berbentuk mulut singa, dengan gigi-giginya terukir
melingkar sepanjang tepi lubang.
"Heei, ada cahaya api dari dalam!" desis Andini Sari takjub. "Lihatlah di bawah
sana. Ada sebuah busur
panah raksasa!"
"Benar!" sambung Jagal Wesi yang telah pula mengintip ke dalam lubang kepundan. "Sebuah gendewa
panah yang berukuran luar biasa! Apa pula gunanya
benda sebesar itu?"
"Aku pun tidak tahu!" sela Andini Sari. "Agaknya
ayahku telah melakukan rencana-rencana dan pekerjaan besar!"
"Dan itulah yang menyebabkan daerah ini terlarang!" ujar Jagal Wesi. "Kiranya, sudah cukup pekerjaan kita ini. Marilah kita
kembali. Aku mendengar langkah-langkah kaki dari sebelah sana!"
"Tapi bagaimana ketiga penjaga yang telah mati
itu?" sahut Andini Sari. "Apakah kita biarkan sehingga penjaga-penjaga lain
mengetahuinya?"
"Jangan kuatir. Akan kulemparkan tubuh mereka
ke Teluk Maut di sebelah utara, bisa dihabiskan oleh gurita raksasa. Ayo,
bantulah mengangkat tubuh-tubuh ini ke pundakku dan kita selekasnya pergi ke
sana." Cepat-cepat Andini Sari membantu Jagal Wesi mengangkat mayat ketiga orang penjaga tersebut dan mereka lalu melangkah ke arah utara, menuruni kaki bukit serta lenyap di balik
gerombolan pohon-pohon.
Sebentar itu pula tempat tersebut menjadi sepi
kembali. Hanya desir angin malam yang melanda dinding-dinding Bukit Kepala Singa terdengar mendesau.
Lubang kepundan yang merupakan mulut dari bentuk
Bukit Kepala Singa itu masih saja menganga ke atas, persis mulut iblis raksasa
yang siap mencaplok korban.
Tak seorangpun yang bakal mengira bahwa di tempat tersebut baru saja terjadi pertarungan sengit yang memakan korban tiga orang
penjaga bukit itu. Dan tak seorang pula yang mengira bahwa di tengah-tengah
gerombolan Ki Rikma Rembyak yang kejam dan jahat ini, masih ada beberapa
gelintir manusia yang berhati
baik, tahu membedakan mana yang buruk dan mana
yang baik. Namun sanggupkah mereka kiranya untuk mempertahankan diri di tengah-tengah suasana kalut dan hitam itu" Hanya mereka
sendirilah yang bisa menja-wabnya.
*** 5 SEBUAH PERAHU layar yang cukup besar dengan
laju bertolak meninggalkan Muara Demak - sebuah
bandar kecil yang terletak di muara Sungai Tuntang.
Seorang gadis berwajah murung, senantiasa menatap ke arah laut dengan tatapan pandang yang sayu.
Seolah-olah ia menapak dunia yang kosong dan datar di hadapan matanya. Begitulah
lamunannya, sampaisampai ia tak mengetahui, bahwa di dekatnya telah
berdiri seorang laki-laki berjubah dan berkumis melintang.
"Aku tahu perasaan Andika, Adi Pandan Arum," ujar
si laki-laki berjubah. "Namun percayalah bahwa kita segera mendapatkannya
kembali." "Mengapa Kakang Gagak Cemani dapat berkata demikian," desah Pandan Arum tanpa berpaling kepada
Gagak Cemani yang berbicara di sampingnya.
"Adimas Mahesa Wulung bukanlah orang yang sembarangan," sambung Gagak Cemani. "Ia cukup sakti
dan ulet. Aku yakin bahwa Adi Mahesa Wulung akan
dapat menjaga dirinya."
"Sukar aku bayangkan, Kakang Cemani," sahut Pandan Arum pula. "Bagaimana Kakang Mahesa Wulung
yang telah teringkus tanpa daya dalam jala lawannya, masih akan dapat
menyelamatkan dirinya?"
"Aku tak menyangkal bahwa Andika berpendapat
demikian. Tapi pendapat tersebut kurang kuat, sebab hanya berpegang dan
berdasarkan pandangan sekilas, yakni pada waktu peristiwa itu terjadi. Sedang
kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi sesudah
itu Adi Pandan Arum belum memperhitungkannya!"
Pandan Arum jadi termenung oleh tutur kata Gagak
Cemani. Pendekar dari daerah timur ini yang usianya beberapa tahun lebih tua
daripada Mahesa Wulung,
ternyata sangat baik kepadanya.
Malahan Pandan Arum sendiri telah menganggapnya sebagai kakak kandung, yang setiap kali bersedia membantu dan menasehatinya
bila Pandan Arum tampak murung dan susah.
Gagak Cemani sendiri telah maklum akan kesedihan gadis itu. Bukankah Pandan Arum telah melihat
dengan mata kepala sendiri, ketika Mahesa Wulung
kena ringkus dan diculik oleh Surokolo dengan perahunya" Memang, kehilangan seorang kekasih adalah
menyedihkan. Kini mereka berusaha mencari dan mengejar jejak
perahu Surokolo tadi. Dengan menyewa sebuah perahu dan dibantu oleh beberapa orang prajurit Demak
dan sahabat-sahabatnya, mereka telah berlayar ke
arah timur laut, menyelusuri sepanjang pantai utara Demak yang membujur jauh
sampai ke daerah bandar
Jepara, pusat pangkalan dari Armada Demak.
"Masihkah Kakang Mahesa Wulung dapat kita selamatkan?" bertanya kembali Pandan Arum.
"Tentu dapat, Adi Pandan Arum. Jika ternyata perlu, kita akan minta dengan resmi bantuan perahuperahu Armada Demak untuk menggempur pusat persembunyian Surokolo dan begundal-begundalnya."
"Ooo, terima kasih, Kakang Gagak Cemani," Pandan
Arum berkata dengan nada gembira. "Betapa aku harus membalas kebaikan Kakang tadi?"
"Mmhh, janganlah Adi sungkan-sungkan begitu.
Bukankah saya pernah pula ditolong oleh Adi Mahesa Wulung beberapa waktu yang
lalu?" Pandan Arum mengangguk pelan, sementara seorang awak kapal mendekati mereka berdua dan Gagak
Cemani segera menyambutnya.
"Bagaimana, Saudara Tungkoro, apakah kita telah
mendapat jejak-jejak yang kita perlukan?"
Tungkoro menggeleng perlahan dan berkata, "Belum
ada jejak-jejak yang penting seperti yang kita harapkan. Namun beberapa orang nelayan telah bercerita bahwa mereka pernah melihat
sebuah rakit yang terapung-apung dengan penumpangnya di tengah lautan
di sekitar tempat ini!"
"Eeh, coba Andika ulangi sekali lagi," pinta Pandan Arum sambil tercengang.
"Sebuah rakit dengan penumpangnya pernah terlihat di sekitar tempat ini," berkata kembali Tungkoro keheranan. "Agaknya, inikah
petunjuk yang kita cari"
Begitukah pendapat Andika, Nona Pandan Arum?"
"Hiya, ya. Memang aku berpendapat demikian," kata
Pandan Arum. "Hanya sayang kita tidak mengetahui
tempatnya yang pasti."
"Hmm, mudah-mudahan kita dapat menemukan
rakit tersebut," sambung Gagak Cemani pula.
"Telah cukup jauh kita meninggalkan bandar Muara
Demak." Perahu yang mereka naiki memang telah jauh menempuh ombak dan kini melaju di tengah lautan. Daratan pantai Demak tampak merupakan deretan hitam
dengan puncak-puncak pohon kelapa yang melambai
oleh tiupan angin.
*** Di tengah-tengah ombak yang menggelombang dan
naik turun serta membuih itu, terlihatlah sebuah rakit yang terayun-ayun seperti
barang mainan ke sana-ke mari. Dan yang mengagumkan adalah kedua orang
penumpangnya. Tanpa memperdulikan suasana dan
keadaan rakit yang terombang-ambing oleh ombak tadi, mereka duduk-duduk dengan tenangnya.
Bahkan mereka kelihatan asyik berbicara dan berbincang-bincang. Bagi siapa yang belum mengetahui
tentang kedua orang ini, mungkin akan mengira bahwa keduanya adalah sepasang boneka yang dipaku
pada lantai rakit, dan sengaja dilarung atau diha-nyutkan ke laut sebagai
upacara selamatan.
Namun terdengarlah salah seorang dari mereka menyapa rekannya yang seorang lagi. "Badanku telah sehat kembali, Palumpang.
Mungkin sebentar waktu lagi aku akan pulang ke Demak."
"Aku tahu, tugas Andika cukup banyak dan negara
Demak sangat membutuhkan orang-orang yang seperti
Andika ini. Setia, berbudi luhur dan sakti. Ketiga-tiganya merupakan tritunggal
yang penting, lebih-lebih bagi setiap orang yang mengabdikan diri kepada
negara." Mahesa Wulung manggut-manggut oleh ucapan Palumpang tadi. Dalam hati ia menyetujuinya. Ia tidak menyangka bahwa Palumpang
yang jarang bergaul dengan manusia lain itu, mampu berpikir dengan cemerlang.
"Jika boleh, saya ingin mengajak Anda untuk bersamaku ke Demak. Tentu Anda akan kami terima dengan baik dan saya mengharap sudilah Anda menjadi
penasehat dalam lingkungan keprajuritan," ujar Mahe-sa Wulung.
"Ajakan Andika ini sangat membesarkan hatiku,"
sahut Palumpang. "Tapi itu terlalu besar dan tinggi buat seorang nelayan liar
semacam aku ini."
"Jadi, maksud Anda, akan seterusnyalah keadaan
Anda begini" Tinggal di atas rakit dan jauh dari pergaulan ramai?"
"Sudah kukatakan bukan, sejak kita bersahabat
dan saling berkenalan, bahwa aku sengaja menjauhi
dunia ramai untuk memperoleh ketenangan diri?"
"Mmm, aku masih ingat hal itu," sambung Mahesa
Wulung pula. "Maaf, aku tak bermaksud mendesak
Anda." "Tak mengapa," ujar Palumpang. "Perlu pula Andika
mengetahui pendirianku tadi. Bukan berarti aku tak menghendaki atau meremehkan
pergaulan ramai seha-ri-hari, tetapi semata-mata aku bermaksud menguranginya.
Harap Andikapun tidak lalu menjadi berprasangka yang keliru tentang diriku."
Sekali lagi Mahesa Wulung menggumam setuju dan
sesaat kemudian berkata pula. "Pendirian Anda sangat
teguh. Karenanya saya bergembira mempunyai sahabat seperti Anda."
"Maka, biarlah aku tetap tinggal di atas rakit ini sa-ja. Dan Andika tentu lebih
mudah mencariku di sini,"
ujar Palumpang. "Heh, heh, he. Jangan lupa hidangan masakanku, bubur tangkur
kuda akan selalu menyambut Andika."
"Eh, ehm, tapi... tapi...."
"Apanya yang tetapi?"
"Saya kuatir kalau saya terpaksa akan menghabiskan beberapa mangkuk masakan Anda itu."
"Heh, heh, heh, heh. Ya, aku ingat hal itu. Semula aku pun kuatir kalau diriku
sendiri sampai tidak ke-bagian masakan tadi. Heh, heh, heh."
Sejenak mereka teringat ketika keduanya saling berkenalan dan makan-makan di
tepi pantai. Teringat pu-la betapa waktu itu Mahesa Wulung dengan lahapnya
menyikat habis makanan yang disediakan oleh Palumpang. Ternyata makanan tadi berkhasiat menyembuhkan Mahesa Wulung.
Begitulah keduanya tertawa berbareng mengenang
kejadian dan pengalaman-pengalaman masa lalu. Suara tawa mereka mengalun bersama buih ombak yang
menghempas bergulung-gulung, seakan-akan ikut merasakan kegembiraan dua orang sahabat ini.
Sekonyong-konyong, Mahesa Wulung dan Palumpang berbareng menghentikan ketawanya. Keduanya
menatap ke arah utara, dengan pandangan menyelidik ke arah deburan dan
gelombang-gelombang laut.
"Andika mendengar sesuatu?" Palumpang bertanya
seraya menengadah mendongakkan hidungnya ke
atas. "Hidungku mencium sesuatu yang asing. Mungkin ini merupakan bahaya buat kita!"
Mau tak mau Mahesa Wulung terpaksa dibikin kagum dan takjub oleh ketajaman hidung sahabatnya
ini. Tetapi di saat itu, telinganya sendiri juga menangkap suara putaran angin
yang mendesing-desing dari arah utara, sehingga iapun berkata, "Tidak keliru,
sobat. Saya pun mendengar suara aneh dari arah utara!"
Terpaksa keduanya memutar duduknya ke arah
utara dan siap-siap menanti sesuatu yang datang dari arah itu.
Dan inilah dia. Bersamaan dengan terangkatnya gelombang laut yang tinggi, muncullah seorang manusia berambut pendek, kaku
seperti ijuk, meluncur di atas buih gelombang laut sambil tertawa-tawa dengan
suara berderak seperti perahu pecah, menyeramkan.
Sedang di tangan kanannya tampaklah sebuah tali
panjang yang selalu berputar dengan ujungnya berbentuk roda logam berduri.
"Hua, ha, ha, ha. Kiranya di sinilah kalian bersembunyi, para kelinci!" ujar
Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manusia berambut ijuk tadi tertuju kepada Mahesa Wulung dan Palumpang.
Roda logam berduri tersebut mempunyai lingkaran
cincin, tepat di tengah sumbu dari salah satu sisinya.
Sedang ujung talinya pun bercincin logam, dan di situlah cincin dari sumbu roda
berduri tadi terikat. Dengan demikian, maka roda berduri tadi mampu berputar ke segala arah sesuai dengan putaran talinya.
"Ha, ha, ha, ha. Kamu belum tahu" Akulah yang
bergelar Talipati, si peniti buih!" berkata si rambut ijuk tadi seraya memutarmutar talinya yang berujung roda berduri. Sementara itu kedua kakinya selalu
dengan lincah meniti dan meloncat-loncat di atas buih yang memutih bertebaran di
atas permukaan air laut.
Betapa kuatnya tenaga dalam si rambut ijuk Talipati ini, membuat Mahesa Wulung dan Palumpang terhenyak kaget dan terlongoh keheranan. Seolah-olah mereka tengah berhadapan dengan
seorang iblis yang
berjalan di atas air. Biarpun keduanya pernah pula
berjalan di atas air, tapi toh mereka masih menggunakan alas kaki yang terbuat
dari kelopak seludang bunga kelapa. Sedang Talipati ini, kedua telapak kakinya
telanjang saja, tanpa selembar alas apapun. Dan inilah yang sebenarnya membuat
kagum kepada Mahesa Wulung dan Palumpang. Diam-diam keduanya meraih
masing-masing sepasang seludang kelapa.
Meskipun demikian, keduanya dapat menguasai diri
dan tetap tenang dengan duduk bersila di atas rakitnya. Sejenak kemudian Mahesa
Wulung berkata nyaring. "Talipati, kedatanganmu memang mengagetkan! Dan
kami menjadi heran, apakah kepentinganmu terhadap
kami berdua"!"
"Hua, ha, ha. Kau berpura-pura bengong" Tak apalah jika demikian," ujar Talipati sambil mencibirkan bibir. "Engkau tentulah si
Mahesa Wulung, yang lolos dari perahu sobatku Surokolo. Aku telah mendengar
segala pembicaraan kalian dan tanpa setahu kamu,
aku telah membayangimu sejak lama!"
"Heh, memang akulah yang bernama Mahesa Wulung, dan sekarang apa yang kau kehendaki!" kata Mahesa Wulung sekaligus memberi
isyarat kepada Palumpang supaya berhati-hati.
"Bagus! Kau mau berterus terang di hadapan Talipati. Jiwa ksatriamu sungguh tidak kuragukan," sahut Talipati. "Ketahuilah,
bahwa aku akan menangkapmu
kembali. Kalian berdua akan kuringkus seperti dua
ekor kelinci ompong!"
"Hoo, jadi terangnya engkaupun komplotan dari Surokolo"!" Mahesa Wulung menyahut.
Talipati menggeram. "Goblok! Kau kelinci goblok!
Aku bukan komplotan dari Surokolo. Aku pendekar
yang berdiri sendiri! Kami tengah berlomba untuk menangkapmu, ngerti"!"
"Hm, kami bukan kelinci-kelinci goblok seperti yang engkau katakan!" terdengar
Palumpang ikut bicara.
"Kau boleh saja menangkap kami. Tapi itu tidak akan semudah yang kau kira!"
"Kurang ajar! Akan kubuktikan kata-kataku tadi.
Heeitt!" terdengar Talipati berteriak seraya memutar ta-li yang berujung roda
berduri ke arah selatan. Maka seketika itu juga menyambarlah roda berduri dengan
suara berdesing menyakitkan telinga.
Wuuttst! Nguuungng!
Tak terbayangkan betapa kagetnya Mahesa Wulung
serta Palumpang. Roda berduri yang berkilatan dan
menyilaukan mata itu tahu-tahu telah menyambar ke
arah mereka. Beruntung, bahwa mereka berdua sejak tadi telah
berwaspada terlebih dahulu. Sehingga di saat roda
berduri tadi menyambar rendah, keduanya secepat kilat mengendapkan diri rapatrapat ke lantai rakit.
Nguungng! Roda berduri lewat menyambar beberapa jengkal di
atas kepala Mahesa Wulung dan Palumpang dengan
kecepatan dahsyat dan menderu bagaikan angin topan. "Hia, ha, ha, ha. Kalian kaget bukan"!" seru Talipati serta menarik kembali
senjatanya. "Maaf, dua kelinci goblok. Itu tadi hanyalah sekadar perkenalan
terdahu-lu. Ha, ha, ha!"
Mahesa Wulung terhenyak kagum. Ternyata dengan
lincahnya Talipati mampu mengulur dan menarik senjatanya. Dengan demikian, untuk menghadapi sasaran-sasaran yang jauh, ia tidak mendapat kesukaran apapun.
"Untuk serangan berikutnya, harap Andika berhatihati," berkata Mahesa Wulung memperingatkan Palumpang. Peringatan itu ternyata tidak sia-sia, sebab tiba-tiba Talipati telah
menyambarkan senjatanya kembali dengan gerakan membelah.
Seketika itu pula roda berduri yang berkilatan menyambar ke bawah ke arah rakit sasarannya dan tepat di saat itu, berserulah
Mahesa Wulung kepada sahabatnya.
"Loncaat!"
Syrat.... Syraat.... Byaaarrr!
Suara berderak terdengar berbareng dengan hancurnya rakit milik Palumpang berkeping-keping seperti bekas dipotong-potong oleh
mata gergaji. Talipati tertawa terkekeh-kekeh girang, karena piki-rannya telah memastikan
bahwa kedua buronannya
itu akan mampus. Dengan demikian ia akan dapat
menyeret tubuh mereka ke hadapan Ki Rikma Rembyak. Hadiah uang emas seribu keping telah terbayang-bayang di rongga matanya, seakan-akan telah tergenggam di dalam
tangannya. Akan tetapi bukan buatan kagetnya, sewaktu ia
mendapatkan Mahesa Wulung dan Palumpang telah
berloncatan lincah di atas permukaan air. Oleh sebab itu tak mengherankan kalau
Talipati mengutuk-ngutuk, bergerundalan kalang-kabut bagaikan kakek-kakek
yang kebakaran jenggot.
Kiranya, bukan hanya dirinya sajalah yang mampu
berjalan di atas permukaan air. Kini berdirilah di hadapannya dua orang lain
yang menjadi musuhnya dalam posisi dan sikap yang sama.
Pada saat itu juga, terlihatlah sebuah pemandangan yang ganjil dan menakjubkan.
Di atas permukaan air laut yang menggelombang, berloncatanlah tiga orang manusia
bagaikan tiga ekor serangga anggang-anggang yang lagi bermain-main di atas air.
Talipati tidak tinggal diam lagi. Kembali ia memutar senjata roda berdurinya dan menerjanglah senjata hebat tadi ke arah Mahesa Wulung dan Palumpang,
dengan suara mendesau
dan kecepatan yang sukar diukur. Sebentar lagi, pertarungan hebatpun pasti
terjadi. Sukar dibayangkan, betapa bahaya dan gawatnya
menghadapi serangan senjata aneh yang datang dan
perginya laksana kilat tanpa diketahui juntrungannya.
Memang jarak antara Talipati dan kedua lawannya ini, cukup jauh. Tetapi dengan
senjata yang bertali panjang sedemikian, rasanya tak ada halangan apapun
untuk menerjang sasaran yang jauh.
Mahesa Wulung merasa, seolah-olah ia tengah
menghadapi amukan senjata cakra milik Sang Prabu
Kresna. Begitulah memang, senjata roda berduri milik Talipati ini mirip dengan
senjata cakra. Hingga untuk melawannya, terpaksalah Mahesa Wulung dan Palumpang
memeras tenaga dan kepandaiannya. Mereka
mengendap, mletik ke sana-ke mari untuk menghindari serangan-serangan maut tadi.
"Hua, ha, ha, ha. Sekarang kalian tahu, bukan" Dengan siapa kamu berhadapan sekarang ini! Masihkah
kalian ingin memamerkan kekuatanmu"!" teriak Talipati secara sombong, sedang tangan kanannya senantiasa memutar-mutar senjata roda berdurinya. Berbareng pula tangan kirinya
menggenggam segulungan tali hitam mengkilat.
"Hmm, selamanya kita belum pernah berkenalan
ataupun bertemu dan kita belum pernah saling merugikan. Tetapi mengapakah kita saling baku-hantam?"
berkata Mahesa Wulung dengan tenangnya.
Talipati mencerengkan mata, lalu mulutnya bergerundal. "Berlagak pilon, heei"!
Untuk satu pertarungan yang telah kuimpi-impikan ini, tidak perlu kita saling
kenal-mengenal lebih dahulu!"
"Jelasnya, engkau telah lama mengincarku, heh"!"
sahut Mahesa Wulung pula.
"Nah, sekarang engkau telah lebih tahu, bukan?"
ujar Talipati. "Memang untuk hadiah seribu keping
emas yang banyak itu, aku bersedia menyabung nyawa!" "Jika demikian, mengapa sahabatku ini ikut pula
kau musuhi"!"
"Heh, heh, heh. Engkau terang menjadi musuhku.
Maka siapa saja yang menjadi sahabatmu berarti pula menjadi musuhku!" demikian
kata Talipati seraya me-nyabetkan senjatanya ke arah Mahesa Wulung.
Roda berduri itu berputar menyambar kembali ke
arah kepala Mahesa Wulung, namun pendekar Demak
ini ternyata masih mencintai kepalanya, maka tak ayal lagi ia mengendapkan diri
ke bawah. Wessst! Senjata maut milik pendekar berambut ijuk itu menyambar sangat rendahnya di atas kepala Mahesa Wulung. Untungnya saja ia tidak terlambat dengan gerakannya. Jika tidak, pasti
batok kepalanya akan terpa-pas seperti buah kelapa.
"Gila! Kau bisa lolos dari senjataku ini, hah! Lagi mujur nasibmu kali ini,
kelinci goblok!" berkata Talipati setengah jengkel. "Baiknya kau coba sekali
lagi me-nangkisnya.... Hyaaatt!"
Tanpa ampun, senjata roda berduri menyambar lagi
ke tubuh Mahesa Wulung. Kali ini arahnya sangat rendah sehingga tidak mungkin
lagi jika Mahesa Wulung harus mengendap pula.
"Yaakkk!" Mahesa Wulung menggeram sambil melenting ke atas, laksana seekor belalang mencelat dengan gerakan ringan.
Talipati terpaksa mengutuk-ngutuk mendapatkan
bahwa dua serangannya yang bertubi-tubi bisa dielakkan oleh lawannya.
Dalam pada itu, belum lagi Talipati mengulang serangannya, mendadak ia mencium
desiran angin datang
dari arah samping.
Secepat kilat Talipati menengok ke samping dan
alangkah kagetnya ketika dilihatnya Palumpang menyerang dengan tikaman pisau tulang ikan yang putih kekuningan dan runcing.
Serangan berbahaya ini tampaknya sukar dihindari.
Tapi bagi Talipati yang kenyang pengalaman, tidaklah membuatnya gugup. Secepat
kilat ia membuang diri ke samping sementara kedua kakinya lincah meniti buih
ombak yang memutih dan berhempasan.
Sreeettt! "Huuhh!"
Terdengar Talipati mengeluh ketika ia dapat lolos
dari serangan pisau tulang milik Palumpang. Ketika ia meraba sudut bajunya,
ternyata telah sobek sepanjang satu jari.
Inilah yang membikin Talipati kaget setengah mati.
Tak menyangka bahwa gerakannya masih kalah cepat
dari tikaman pisau Palumpang. Biarpun tubuhnya tidak cedera, Talipati cukup jengkel karena pisau lawannya masih sempat merobek
ujung bajunya. Dari gerakan-gerakan ketiga pendekar tadi, timbullah gelombang-gelombang air laut yang berpusingpusing menggetarkan hati siapa yang melihatnya.
Beberapa ekor burung camar terbang menjauh sambil mengepak-ngepakkan sayapnya saking ketakutan.
Ketika Talipati makin gencar melakukan serangannya, Mahesa Wulung melesat ke depan seraya memutar pedangnya. Betapapun besarnya bahaya, ia tak
mau terlalu memberi hati dan cuma berloncatan menghindar.
Talipati sangat kaget. Ia melihat tubuh lawannya ini melesat bagai sebuah
meteor, sedang di tangannya tergenggam sebilah pedang berkilat siap menyerang dirinya. Tentu saja Talipatipun bukan seorang bodoh.
Segera ditariknya senjata roda berduri dalam ukuran jarak pendek, untuk
menyongsong serangan Mahesa
Wulung. Werrr! Traaang!
Benturan kedua senjata terjadi, diiringi loncatan
asap panas mengepul ke udara. Sementara itu pedang Mahesa Wulung tergetar hebat
seperti baru saja mem-bentur dinding baja yang tebal. Sedang Talipati sendiri
cepat meloncat ke belakang beberapa langkah disertai perasaan heran berlebihlebihan. Senjata roda berduri di tangannya memental ke samping beberapa kali.
Dengan demikian sadarlah, bahwa ia telah menjumpai
lawan yang tangguh.
Palumpang tidak mau kalah. Melihat Talipati menghindar ke belakang, iapun menerjangnya dari arah
samping sambil mengibaskan tangannya.
"Hiyaatt!"
Seketika itu pula melesatlah belasan duri ikan beracun ke arah Talipati.
Namun si peniti buih ini memang luar biasa. Sebelum duri-duri beracun tadi menembusi tubuhnya, ia
telah lebih dulu menyampok runtuh dengan putaran
senjatanya, roda berduri. Ketawanyapun terdengar pu-la. "Hua, ha, ha, jangan
mengimpi untuk bisa menja-tuhkan Talipati si peniti buih!"
Sehabis berkata, Talipati menarik kembali senjata
roda berdurinya. Kemudian dengan perlahan-lahan
dan lebih teratur, Talipati memutar lagi senjata maut-nya.
Werrr... sring... sring.
Roda berduri tersebut bertubi-tubi menyambar sasarannya, tanpa memberi banyak waktu yang lowong
kepada Mahesa Wulung berdua.
Begitulah, pendek kata mereka berdua selalu mengambil langkah yang bertentangan! Dan karena ini pula Talipati semakin mengamuk
sejadi-jadinya.
Pertempuran terus berlangsung dengan hebat seolah-olah tidak akan ada akhirnya. Sampai sejauh itu, Talipati masih belum tahu,
bagaimana ia harus merobohkan kedua lawannya itu. Sebaliknya, Mahesa
Wulungpun belum menemukan jalannya, bagaimanakah cara menaklukkan Talipati yang bersenjata dahsyat dan ganjil ini. Apalagi si iblis peniti buih ini sangat lincahnya bergerak
di atas permukaan air laut, di atas buih yang berserakan tersebar di sana-sini.
Diam-diam Mahesa Wulung mengagumi ilmu peringan tubuh dan tenaga dalam Talipati yang mampu
membuat dirinya ringan dan lincah bergerak di atas air tanpa alas kaki apapun.
Berbeda dengan dirinya dan Palumpang yang masih melengkapi kakinya dengan
sepasang seludang bunga kelapa, sehingga memung-kinkan kakinya meluncur ringan
ke sana-ke mari di
atas permukaan air.
*** Ketika tengah berlangsungnya pertarungan dahsyat
seperti itu, matahari lagi bersinar dengan teriknya, meskipun beberapa awan
mendung bergumpalan me-laluinya.
Dari arah selatan, sebuah perahu layar membelah
Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air sangat lajunya. Layarnya mengembang dengan indah seolah sayap raksasa keputihan menjulang ke
udara. Di atas geladak perahu tampaklah beberapa orang
sibuk mondar-mandir melempar pandangannya ke segenap arah, ke setiap penjuru permukaan laut. Begitu pula yang berada di atas
puncak tiang layar, selalu
mengawasi permukaan air, seperti tengah mencari sesuatu yang amat penting.
Memang benar. Mereka tengah mencari rakit yang
dikabarkan oleh sementara nelayan sering mondarmandir terapung di laut dengan dua orang penumpangnya. Seorang berjubah yang tidak lain adalah Gagak Cemani sibuk dengan teropongnya memeriksa ke segenap bagian dari cakrawala di
depannya. Tak jauh dari Gagak Cemani, berdiri pula Pandan
Arum dengan pikiran yang cemas, terlihat dari caranya menggigit-gigit bibirnya
yang merah delima, sebagai penahan getaran hatinya.
"Hoiii!" teriak seorang pengawas di ujung tiang
layar. "Perahu dari timur laut!"
Oleh teriakan tadi, baik Gagak Cemani, Pandan
Arum, Tungkoro dan setiap penghuni geladak perahu
menatap ke arah timur laut. Sebuah perahu nelayan
muncul dari arah sana. Seorang penumpangnya tampak melambai-lambaikan tangannya ke arah perahu
Pandan Arum. Karenanya Gagak Cemani segera berseru kepada juru kemudi. "Dekatkan ke arah perahu nelayan itu!
Awas hati-hati dan pelan!"
Sejurus itu pula kedua perahu tadi saling mendekat. Si penumpang perahu nelayan cepat berseru kembali. "Hooi, harap hati-hati mengambil arah utara. Di sana tengah terjadi
sesuatu yang mengerikan!"
"Heeii, apa yang mengerikan"!" teriak Gagak Cemani dengan lantangnya.
"Sebuah pusaran angin dengan sinar yang berkilatan muncul di sana!" kembali si nelayan berseru. "Lihatlah burung-burung camar
yang terbang ketakutan
di atas itu! Jika boleh kunasehatkan, janganlah mengambil arah utara!"
"Terima kasih, sobat!" ujar Gagak Cemani pula.
"Memang itulah yang kami cari!"
Terperanjat si nelayan tadi mendengar kata-kata
Gagak Cemani. Begitu pula beberapa orang temannya
ikut tercengang. Si nelayan tua menggeleng-gelengkan kepala seraya mulutnya
bergumam komat-kamit lalu
kedua tangannya diusapkan ke wajahnya, dan kedengaran gumamnya. "Semoga Anda semua dilindungi
Tuhan!" Agaknya, si nelayan tua tadi baru saja mengucapkan doanya kepada perahu Pandan Arum tersebut.
Kemudian kedua perahu itupun saling menjauh,
masing-masing dengan tujuannya sendiri. Perahu
Pandan Arum terus melaju ke utara tanpa menggubris tutur kata kecemasan dari
mulut nelayan tua itu.
Keteguhan hati setiap penumpangnya seperti juga
teguhnya kerangka perahu yang mampu menempuh
dan menahan getaran serta hempasan gelombanggelombang lautan.
"Agaknya tengah terjadi keributan di sebelah utara sana, Adi Pandan Arum," gumam
Gagak Cemani. "Jadi benar juga kata nelayan tua tadi," sahut Pandan Arum. "Bahwa di sebelah
sana ada sesuatu yang
mengerikan!"
"Menilik dari burung-burung camar yang terbang
ketakutan itu, memang agaknya ada apa-apa di sana!
Mudah-mudahan bukan hantu laut saja yang kita temui di sana."
"Aah, Kakang Cemani mau menakut-nakuti Pandan
Arum"!" gumam Pandan Arum seraya memberengut
sehingga Gagak Cemani tersenyum. Pendekar berjubah yang telah menganggap si
Pandan Arum sebagai adik-nya sendiri kadang-kadang tidak segan untuk melucu,
sekadar untuk menghibur terhadap kecemasan Pandan Arum. Mendadak gadis ini berseru seraya menunjuk ke air
laut. "Heei, lihatlah, Kakang Cemani! Perhatikanlah di bawah itu! Potongan dan
serpihan-serpihan kayu tampak terapung-apung terbawa ombak. Apakah itu tidak
kelihatan ganjil"!"
Gagak Cemani dan orang-orang lainnya segera pula
memperhatikan permukaan air laut. Mereka dapat melihat banyaknya potongan-potongan kayu terombangambing ke sana-ke mari. Di antaranya terdapatlah potongan-potongan kayu yang
masih terikat dengan seutas tali pada ujungnya.
Melihat itu Pandan Arum seketika berseru dengan
lantang, "Itu adalah pecahan dari sebuah rakit. Ya, bekas-bekas rakit yang
hancur!" Gagak Cemani mengangguk, membenarkan pendapat Pandan Arum. Dalam hati ia mengakui ketajaman
pikiran gadis ini dan kemudian iapun berkata. "Memang benar. Itu adalah bekas-bekas kayu dari sebuah rakit. Jika begitu pasti ada
sebab-sebab lain yang menyebabkan pecahnya rakit tersebut."
"Mungkin jawabannya ada di sebelah utara sana,
seperti yang ditakutkan oleh nelayan tua tadi," begitu sahut Pandan Arum.
"Ya, jawabannya saya kira ada di sana," sambung
Gagak Cemani seraya mengarahkan teropongnya kembali ke arah utara.
Tiba-tiba Gagak Cemani seperti orang linglung. Ia
memeriksa teropong panjangnya dan menggosok-gosok
kedua ujung kacanya dengan lengan bajunya, seperti mencoba membersihkan alat itu
dari kemungkinan-kemungkinan debu yang melekat dan mengotori sehingga menimbulkan pemandangan-pemandangan
yang mengganggu.
Sesudah itu Gagak Cemani malah mengucek-ngucek kedua matanya, sehingga Pandan Arumpun menjadi bertanya-tanya dalam hati.
"Aneh sungguh kelakuan Kakang Cemani." Iapun
kemudian berkata kepada Gagak Cemani, "Hei, apakah Andika melihat hantu laut,
Kakang Cemani"!"
"Ehh, aku tak tahu, Adi. Lihatlah dengan teropong
ini. Ada sesuatu yang bergerak-gerak dan berloncatan di sebelah sana," kata
Gagak Cemani seraya menye-rahkan teropong panjang kepada Pandan Arum. "Rupanya seperti bentuk manusia, tetapi mereka berloncatan di atas permukaan air!"
Pandan Arum segera memasang teropongnya dan
betullah apa yang dikatakan oleh Gagak Cemani tadi.
Di antara deru dan hempasan gelombang laut, Pandan Arum dapat melihat tiga
bayangan manusia berpusar
berloncatan di atas permukaan air, sehingga iapun
menyeletuk. "Kakang Cemani. Aku yakin itulah yang
ditakutkan oleh nelayan tua tadi. Di antara gerakan-gerakan tadi memang terlihat
adanya sinar yang berkilatan berputar-putar!"
"Nah, ke sanalah kita akan menuju, Adi Pandan
Arum," sambung Gagak Cemani pula.
Pandan Arum makin berdebar-debar dadanya, ketika perahu makin menuju ke arah utara. Sedang Gagak Cemanipun memberi aba-aba kepada juru mudi.
"Arahkan ke utara lurus!"
Haluan perahu membelah permukaan air, menyibakkan gelombang laut laksana ikan lumba-lumba
yang lagi berenang dan berkejaran.
Meskipun telah begitu cepatnya, namun toh seluruh
awak kapal merasa bahwa perahunya masih sangat
lambat, lebih-lebih dengan Pandan Arum sendiri.
Ketika Pandan Arum mengarahkan teropongnya
kembali, berserulah ia dengan kaget, "Kakang Cemani!
Itu adalah tiga orang manusia yang berloncatan di atas
permukaan air. Tidak keliru lagi. Kelihatannya mereka tengah bertempur, Kakang
Cemani!" "Bertempur?" ulang Gagak Cemani heran. "Mari aku
pinjam teropong itu. Aku tak habis mengerti dengan mereka!" Demikian Gagak
Cemani menerima kembali
teropong dari tangan Pandan Arum dan secepatnya ia melihat ke arah utara.
"Betul! Mereka adalah tiga
orang manusia yang lagi bertempur! Sungguh menakjubkan!" Memang menakjubkan. Ketiga manusia yang dilihat
oleh mereka tadi, tidak lain adalah Talipati, Mahesa Wulung dan Palumpang yang
tengah bertempur dengan sengitnya. Beberapa puluh jurus mereka telah
menghabiskannya, namun sampai saat itu mereka
masih tampak segar-bugar dan bersemangat. Satu hal yang jarang dapat ditemui!
Ketika pertempuran hebat masih akan berlangsung
lebih lama, Mahesa Wulung belum bermaksud menggunakan cambuk Naga Geninya, sebab ia tidak akan
memakainya bila keadaan tidak betul-betul gawat.
Tiba-tiba Talipati mendongakkan kepala seraya meng-gerendeng, "Keparat! Temantemanmu berdatangan, Mahesa kerdil. Kau pasti akan main keroyok. Nah,
sampai jumpa lagi dalam arena pertarungan yang akan datang!"
Habis berkata, Talipati memutar tubuhnya lalu melesat ke utara bersama-sama gulungan ombak laut dan lenyaplah ia dari pandangan
mata! Menakjubkan sekali.
Mahesa Wulung menarik nafas dan berpaling ke
arah selatan. Begitu pula Palumpang yang berhidung tajam segera berseru.
"Lihatlah, sebuah perahu menghampiri kita."
Keduanya segera menampak sebuah perahu layar
yang laju, meluncur ke arah mereka. Semula kedua
sahabat ini masih bertanya-tanya, siapakah gerangan yang berperahu mendatangi
mereka. Namun Mahesa
Wulung segera berseri wajahnya, bila telinga tajamnya mendengar teriakan nyaring
yang telah dikenalnya, dengan memanggil-manggil namanya.
"Kakang Mahesa Wulungngng...!"
Itulah suara Pandan Arum! Dan karenanya Mahesa
Wulung serta Palumpang segera berloncatan menyambut perahu tadi.
Sesungguhnyalah Mahesa Wulung telah mengenal
dan hafal akan suara tadi. Dengan suaranya saja Mahesa Wulung telah dapat
membayangkan betapa wajah
orangnya, potongan tubuhnya dan rambutnya yang hitam bergelombang tersanggul dengan ujungnya terurai ke pundak.
Begitulah, kalau seseorang telah mencintai, maka
apa saja yang bersangkut-paut dengan orang yang dikasihi tadi akan mudah
terbayang olehnya. Suatu daya ingat dan daya bayang yang kuat telah terbukti di
sini, seirama dengan pemusatan pikiran yang sempurna.
Agaknya tak bedanya dengan orang yang menonton
pesawat televisi, maka ia tidak saja mampu melihat orang yang dikasihi tadi,
tapi juga dapat melihat kejadian-kejadian yang telah lewat seolah-olah kejadian
tadi masih berlangsung di hadapannya.
Oleh sebab itu, tak usah diherankan bila pemusatan pikiran dan daya bayang yang dilakukan sangat
berlebih-lebihan tanpa dikendalikan secara bijaksana akan menyebabkan orang
bertingkah-laku kurang wajar, mengarah seperti orang yang tidak waras. Kadangkadang ia tertawa sendiri, berkata-kata dan menangis terhadap bayangan yang
dilihatnya tadi. Rupanya itu pulalah sebabnya mengapa seseorang yang jatuh cinta
kepada seseorang lalu dikatakan sedang menderita
"sakit cinta" atau "lara wuyung" dalam istilah Jawa.
Teriakan jarak jauh yang dilontarkan oleh Pandan
Arum itupun bukan sekadar teriakan biasa, tapi dilambari oleh tenaga dalam yang kuat.
Melihat adegan ini, Palumpang sesaat tertegun sendiri dan hampir-hampir ia tertinggal oleh Mahesa Wulung yang berloncatan dengan
pesatnya ke arah selatan untuk mendekati perahu tersebut.
"Haai, tunggulah aku, sobat!" seru Palumpang seraya mengejar di belakang Mahesa Wulung. "Andika
terlalu cepat! Aku jadi tertinggal karenanya!"
Mahesa Wulung menengok ke belakang oleh teriakan sahabatnya, dan iapun lalu terkejut bila ternyata si Palumpang memang
tertinggal agak jauh di belakangnya.
Dengan segera ia memperlambat sedikit gerakannya
seraya berkata. "Heh, heh, maaf, sobat Palumpang.
Kekasihku berada di perahu itu. Kau dengar teriakannya, bukan" Pastilah ia telah kecemasan sejak tertangkapnya aku oleh Surokolo
itu!" "Ooo, jadi diakah Nona Pandan Arum, seperti yang
pernah Andika ceritakan?" sahut Palumpang dengan
wajah cerah. "Pantas Andika telah terbirit-birit me-nyongsongnya. Akh, anak
muda, anak muda!"
Mahesa Wulung cuma tersenyum oleh kelakar sahabatnya tadi, dan keduanya telah menjadi semakin
dekat perahu yang datang dari arah selatan.
Begitu sampai, maka Mahesa Wulung berdua berloncatan ke atas geladak perahu dengan gerakan selincah belalang.
Tap! Tap! Tap! Keempat kaki mereka yang ber seludang bunga kelapa mendarat dan melekat ke atas
geladak perahu,
membuat seluruh awak perahu tersebut keheranan
dan takjub. "Kakang Wulung!" seru Pandan Arum seraya memeluk Mahesa Wulung dengan eratnya, seperti tidak akan mau melepaskannya kembali.
"Engkau tidak apa-apa,
Kakang!" "Aku telah ditolong oleh sahabatku ini. Namanya
adalah Palumpang," ujar Mahesa Wulung memperkenalkan sahabatnya yang berkulit hitam itu.
"Aku telah cemas dengan kepergianmu, Adi Mahesa
Wulung. Sejak perahu Surokolo itu bertolak dan membawa dirimu, kami menjadi
sangat kuatir," ujar pendekar berjubah si Gagak Cemani kepada Mahesa Wulung. "Aku telah menjadi agak lengah waktu itu," sahut
Mahesa Wulung. "Tapi Surokolo memang orang yang
sakti. Demikian pula dengan lawan yang baru kami
jumpai tadi. Ia pandai meniti buih dan bersenjata roda berduri. Ia bergelar
Talipati, si peniti buih. Baiknya aku ceritakan semua pengalamanku tadi untuk
lain kali." "Akan kembalikah kita ke Demak?" bertanya Gagak
Cemani. "Ataukah terus ke Jepara?"
"Kita kembali saja ke Demak, Kakang Cemani," ujar
Mahesa Wulung. "Banyak persoalan yang harus kita
bicarakan di sana."
Dan tak lama kemudian, aba-aba untuk memutar
haluan terdengar mengumandang di segenap sudut perahu.
Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kembali ke Demak!"
Seperti seekor ular naga, perahu panjang itu memutarkan diri lalu berbalik ke arah selatan dengan lajunya. Angin laut berhembusan
dengan cepatnya, melanggar tali-temali perahu dan layar bersiutan seperti bunyi siulan-siulan merdu
yang menggembirakan.
Hingga di sini, selesailah seri Naga Geni "Seribu
Keping Emas untuk Mahesa Wulung". Segera menyusul seri Naga Geni yang berjudul "Bukit Kepala Singa".
Salam buat pembaca-pembaca tersayang.
TAMAT Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** 2 *** *** 3 *** *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** TAMAT Hantu Wanita Berambut Putih 5 Pendekar Bloon 4 Betina Dari Neraka Pendekar Bodoh 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama