Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung Bagian 1
1 BERDIRI di tepi pantai utara Demak, pendekar Mahesa Wulung telah dikepung oleh Surokolo dan para
pengikutnya, sementara Gombong masih saja tunduk
terpekur di tanah.
Angin sore bertiup santer sekali dan matahari perlahan-lahan telah bergeser rendah ke cakrawala barat dengan warna membara.
"Heh, heh, heh. Kau mau membela Pakerti?" ujar
Surokolo sambil mencibir. "Hah, bocah itu telah buntung dan pasti akan segera
mampus kehabisan darah.
Itulah hukuman bagi siapa yang berani menentang ke-kuasaan Rikma Rembyak!"
Surokolo melotot ke arah
Mahesa Wulung dengan pandangan tajam, lalu berkata pula, "Dan kau! Segera pula
akan mendapat hukuman
dari tanganku ini!"
"Jangan coba menakut-nakuti aku!" berkata Mahesa Wulung. "Kalian berdiri di tanah pemerintahan Demak, dan hukuman selalu
menantimu!"
"He, kau ganti mengancamku, hah"! Keparat!" Surokolo mengumpat dengan marahnya. "Kau kira pemerintahan Demak berlaku atas kami"! Bah! Kami toh
bukan orang-orang Demak, karenanya kami bebas berbuat sekehendak hati!"
"Kakang Surokolo. Apakah ia akan kita biarkan untuk mengoceh terus-menerus?" demikian seru seorang berwajah bengis yang
mempunyai luka membengkak
pada kening atasnya.
"Tidak, Bedor," sahut Surokolo. "Sebentar lagi akan kita ringkus si Mahesa
Wulung ini. Kaulah nanti yang akan pertama-tama menangkapnya. Bukankah engkau
dulu mengatakan demikian kepadaku?"
"Benar, Kakang Surokolo," sambung Bedor seraya
tangannya mengusap-usap bengkak di kepalanya. "Memang itulah yang aku inginkan."
"Tapi ingatlah baik-baik, Bedor!" berkata Surokolo memperingatkan si Bedor.
"Orang ini harus kita tangkap, hidup atau mati. Jangan sampai ia dapat meloloskan diri. Yang penting, kalian harus bisa meringkusnya dengan cepat!"
"Ohh tentu, Kakang Surokolo. Kali ini aku akan lebih berhati-hati."
"Bagus, Bedor!" berkata pula Surokolo. "Kau boleh
membuat bengkak di atas kepala Mahesa Wulung, sebagaimana ia telah membuat bengkak kepalamu."
Bedor menjadi bertambah merah matanya, dan katanya kemudian, "Yah, dia telah melemparku di Asemarang beberapa waktu yang lalu. Bengkaknya masih
membekas sampai hari ini. Kini kedua tanganku telah gatal dan siap untuk meremas
kepalanya!"
"Heh, jadi kamulah pengintai gelap yang telah kuhadiahi dengan kepalan batu itu"!" sela Mahesa Wulung setengah mengejek, membuat Bedor menggeram
marah. Sriiiinng! Bedor tanpa menunggu lebih lama telah menghunus pedangnya dan memberi aba-aba.
"Adi Salung dan Balur! Siapkan teman-teman untuk
meringkus bergejil ini!" Bedor segera melesat lebih du-lu ke arah Mahesa Wulung
dengan sebuah tebasan
maut! Untungnya Mahesa Wulung telah waspada. Serangan yang tiba-tiba, dahsyat tapi juga terburu nafsu ini, dapat dihindarinya
dengan melangkah ke samping.
Berbareng saat itu juga kaki dan tangan Mahesa Wulung bergerak cepat. Kaki kanan mengait dan tangan kiri menyabet ke pundak si
Bedor. Wessst! Buug! "Eaarrhh!"
Bedor tersungkur jungkir-balik di tanah dan pedangnya terlepas dari tangannya.
Mahesa Wulung masih berdiri dengan tenangnya
bagaikan tonggak baja yang berakar di tanah, sementara pandangannya masih
menatap kepada si Gombong yang kelihatan ragu-ragu dan sedikit bingung.
"Gombong, sekali lagi kuperingatkan mumpung belum kasip. Sadarlah atas kesesatanmu selama ini!"
ujar Mahesa Wulung memperingatkan si Gombong.
"Insyaflah dan berdiri di sampingku! Aku akan memaafkan segala kesalahanmu."
Oleh kata-kata Mahesa Wulung, semua pandangan
mata lalu tertuju ke arah Gombong.
Malahan oleh kata-kata Mahesa Wulung tadi, Gombong seperti dilemparkan terhadap satu angan-angan dan lamunan tentang kedudukan
sebenarnya dari dirinya sendiri.
Memang ia mengakui, bahwa sebelum dirinya memasuki dan mengabdikan dirinya di Demak sebagai
seorang prajurit kawal, ia telah banyak berhutang budi kepada Surokolo. Dan itu
tidak sedikit yang ia dapatkan. Uang, bahan makanan dan masih banyak halhal lainnya yang telah dilimpahkan Surokolo kepada dirinya. Maka mengingat itu
semua, sudah sepatutnya bila ia membalas budi kepada Surokolo.
Dan untuk itu, ia telah bersedia menuruti perintah Surokolo untuk memancing
Mahesa Wulung datang ke
tempat itu! Kendatipun demikian, dalam sebuah relung di hatinya, Gombong terpaksa mengakui penyesalannya
atas perbuatan yang telah dilakukan itu, sehingga ka-ta-kata Mahesa Wulung yang
menyebutkan bahwa dia
telah berkhianat terhadap atasannya, adalah benar belaka! Terus terang saja
Gombong mengakui dalam hati.
"Yah, itu memang benar! Aku telah berkhianat kepada Pendekar Demak ini, kepada
Wiratamtama atasanku."
Dan ia tahu jelas hukuman apakah yang bakal diterimanya. Dipancung atau
digantung sampai mati, itulah yang akan didapatnya. Begitulah kesadaran Gombong
lebih terbuka kini.
Bahkan ia teringat akan sumpah prasetya yang diucapkannya ketika ia mulai memasuki alam keprajuritan, bahwa ia akan setia
kepada Kerajaan Demak dan pemerintahannya. Setia kepada segenap pimpinan dan
atasannya. Sumpah prasetya tadi dahulu diucapkan di depan
rekan-rekannya dan kini wajah rekan-rekannya itu
seolah-olah terbayang kembali satu demi satu di rongga matanya, dengan mengejek
dan menghinanya karena ia telah mengkhianati sumpah prasetya tadi!
Gombong menjadi malu kepada dirinya sendiri. Malu kepada setiap benda yang ada di sekitarnya, karena mereka itu seolah-olah
telah melontarkan kutukan dan umpatan atas pengkhianatannya.
Dalam pada itu Bedor telah bangkit. Mulutnya mengeluarkan geram marah, apalagi ketika Mahesa Wulung menyapanya.
"Heh, heh. Masih berani"!"
Semakin marah si Bedor. Cepat ia memungut kembali pedangnya dan bersiap menyerang kembali ke
arah Mahesa Wulung. Sekonyong-konyong gerakannya
terhenti oleh bentakan Surokolo.
"Tahan! Aku tak ingin orang ini mempermainkan
anak buahku! Biar aku sendiri yang menyelesaikannya. Ki Rikma Rembyak tentu akan senang memperoleh hasil jerih payahku ini!"
"Bagus! Itulah yang lebih kusenangi! Aku lebih senang langsung menghadapi yang benggolan macam
tampangmu ini, daripada menghadapi tikus-tikus kecil
sebangsa Bedor itu!" ejek Mahesa Wulung dengan sia-sat memancing kemarahan
lawan-lawannya dan itu
rupanya berhasil, sebab tahu-tahu Surokolo telah melesat, menerjang dengan
pukulan maut ke arah dada
Mahesa Wulung. "Hiaaaat! Jebol dadamu, laknat!"
Weer! Pukulan Surokolo menimbulkan suara berdesau,
seribut angin puyuh melanda lawannya.
Tetapi sekali lagi Mahesa Wulung telah bersiaga
menangkis pukulan tersebut.
Blaaaarrr! Mahesa Wulung tergeser surut beberapa langkah
untuk kemudian jatuh terduduk dengan pandangan
mata berkunang-kunang. Sedangkan Surokolo terpental cekakaran ambruk di tanah sambil meringis-ringis.
Namun sungguh hebat orang ini! Bertepatan Mahesa Wulung mulai berdiri, iapun meloncat bangkit seraya tertawa-tawa menggelegar.
"Hia, ha, ha, ha. Bagus! Kali inilah aku mendapatkan seorang lawan yang pilih tanding. Ayo, Mahesa Wulung, bersiaplah untuk
serangan-serangan berikutnya! Heeit!"
Surokolo tak menunggu lebih lama lagi. Secepat kilat ia meloncat, menyerang dengan jurus-jurus mautnya ke arah lawannya yang
telah bersiaga pula.
Begitulah, sekarang mereka terlibat dalam perang
tanding yang dahsyat. Surokolo diam-diam telah mulai mengetrapkan segala ilmu
simpanannya dan selanjutnya ia telah bertekad untuk mencurahkan dan memeras segala ilmunya dalam batas kemungkinan yang
ada, dalam menghadapi Mahesa Wulung. Disadari oleh Surokolo, bahwa Mahesa Wulung
adalah seorang pendekar yang namanya cukup menggetarkan setiap dada
gerombolan hitam dan lawan-lawannya.
Dengan tegangnya, Bedor mengikuti perkelahian
itu. Demikian pula dengan Salung, Balur, Gombong
dan segenap pemimpin dan atasannya.
Gombong seperti tersadar dari mimpinya dan mendapati dirinya telah terlibat dan terjerumus dalam keadaan yang rumit dan gawat!
Dapatkah ia memperbaiki dirinya"
Kepada Wiratamtama Mahesa Wulung yang seolaholah telah terkepung itu, Gombong tidak lagi berani menatapnya. Wajahnya lalu
tunduk ke bawah, seperti merenungi bumi dan menebak, berapa butir pasir yang ada
di bawahnya itu.
"Hia, ha, ha, ha. Pendekar Mahesa Wulung!" bentak
Surokolo keras-keras. "Tak perlu kau banyak omong
dengan bualmu kepada si Gombong. Hadapilah kenyataan! Kini kau berhadapan langsung dengan Surokolo!
Akulah yang bernama Surokolo! Kau dengar dan tahu
kini, heei"!"
"Hmm, aku sudah menduga sebelumnya! Dan memang aku tengah mencari-carimu untuk membuat perhitungan dengan dirimu! Kau telah menyiksa si Pakerti!" ujar Mahesa Wulung.
"Pakerti"! Hah, bocah itu telah cedera dan mungkin akan segera mampus kehabisan
darah. Itulah hukuman bagi siapa yang berani menentang Rikma Rembyak!" teriak Surokolo sambil melotot. "Dan kau! Segera pula akan mendapat
hukuman dari tanganku!"
Orang-orang lainnya tak lepas mengikuti setiap jurus dan gerak dari kedua pendekar yang lagi bertarung itu. Di sebelah utara awan
mendung mulai mengumpul dan di langit yang suram mulai muncul kilat yang bersambungan. Sejalan itu pula, tampaklah pertempuran antara Mahesa Wulung dan
Surokolo makin mendah-syat. Apalagi Mahesa Wulung telah pula menggunakan
pedangnya ketika ia melihat bahwa Surokolo pun telah menghunus belatinya yang
berlekuk dan berpamor beras wutah.
Gombong dan rekan-rekannya dibuat terpukau oleh
pertarungan itu. Kedua pendekar tersebut mampu bergerak lincah, seperti dua ekor
burung sikatan, tapi sekali waktu juga segarang dua ekor harimau yang saling
menerkam. Tiba-tiba saja Surokolo mencabut sesuatu dari balik bajunya, dan begitu
dikebutkan, maka terkembanglah sebuah jala yang bening dan gemerlap di tangan
lawannya. Keruan saja Mahesa Wulung menjadi kaget
dan lebih kaget lagi bila jala itu telah mulai menyerang dirinya. Dengan
terkaman-terkaman dan sambaran
yang hebat seperti cakar raksasa, jala di tangan Surokolo tadi selalu
mendesaknya. Bahkan ia tak habis heran, bila tebasan-tebasan pedangnya tak mampu
me- nyobek jala itu.
"Heeiit!" Mendadak saja Surokolo melenting dan kemudian menyambar Mahesa Wulung dengan kedua
senjatanya. Detik itu Mahesa Wulung telah siap menangkis dan tahu-tahu jala Surokolo telah begitu cepat meluncur dan menerkam
dirinya. "Aaukh!" desis Mahesa Wulung ketika kulit dagingnya yang tersentuh oleh tali-temali jala tadi menimbulkan rasa pedih dan
mengalirlah rasa yang aneh! Mahe-sa Wulung berontak, namun tiada faedahnya sama
se- kali. Rasa letih, malas dan mengantuk yang dialirkan oleh tali-temali jala
tersebut telah menerkam tubuh Mahesa Wulung dan membuatnya lemas dan tak berdaya
sama sekali! Serentak itu pula pengikut-pengikut Surokolo meringkusnya.
"Heh, he, ha, ha, ha. Kutangkap kau sekarang, monyet! Dan inilah pembalasan dari Rikma Rembyak.
Tentu beliau akan senang menerimamu. Karenanya
menurut sajalah, supaya kami tak berlaku kasar kepa-damu!" ujar Surokolo.
"Wheh! Ternyata cuma sedemikian kekuatan Mahesa Wulung ini, Kakang Surokolo," berkata Bedor sambil bertolak pinggang di
samping Surokolo. "Dengan kekuatanmu saja ia telah dapat kita ringkus. Apalagi
jika dia berhadapan sendiri dengan Ki Rikma Rembyak, pastilah sedari tadi telah
terpukul mampus!"
Kemarahan terpancar dari sinar mata Mahesa Wulung yang menatap dengan tajamnya ke arah Surokolo dan para pengikutnya. Mereka
telah berdiri mengelili-nginya tak ubahnya para pemburu yang telah berhasil
menangkap binatang buronannya.
"Heh, heh, ha, ha. Lihatlah pada diriku, Mahesa
Wulung!" berkata Surokolo kembali. "Terjerat tak berdaya di dalam jaring seperti
ikan. Sekali-sekali jangan mencoba untuk memutus tali jala yang terbuat dari
bahan serat istimewa. Percuma saja, dan mungkin hanya senjata seampuh Kiai
Pleret atau Kiai Sengkelat yang sanggup menyobeknya!"
Mahesa Wulung menggeram marah, meskipun dirinya telah terjerat dalam jaring yang merupakan jala itu. Yang ia tak habis heran
adalah getaran aneh yang dipancarkan oleh tali-tali jala ketika menyentuh badannya. Rasa letih dan mengantuk telah menyerangnya membuat tubuhnya seperti lumpuh di segenap
sendi tulang-tulang dan ototnya.
"Kau boleh ketawa sekarang, Surokolo! Ketawalah
sepuasmu, agar kelak engkau tak perlu lagi ketawa ji-ka berhadapan sekali lagi
dengan diriku!" berkata Mahesa Wulung dengan lantangnya.
Surokolo mengerutkan dahi oleh kata-kata Mahesa
Wulung yang kelewat berani tadi. Sejenak kemudian
Surokolopun tersenyum lebar seraya berkata, "Heh, setelah dirimu terjerat dalam
jala wasiatku ini, apakah
engkau memastikan akan berhasil lolos kembali"!"
"Memang demikianlah kata hatiku ini!" sahut Mahesa Wulung tegas.
Si Bedor rupanya saja sudah tidak dapat menahan
Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
geram hatinya oleh kata-kata Mahesa Wulung yang
pernah melukainya itu. Maka berkatalah dia, "Keparat!
Mahesa Wulung gila! Masih berani membuka mulut
besarmu, hah! Bagaimana Kakang Surokolo, apakah
akan kita biarkan saja musuh ini"!"
"Balaskan sakit hatimu, Bedor! Itu aku ijinkan!"
sambung Surokolo. "Asal saja engkau jaga, agar ia tidak mati cuma-cuma di sini,
sebab ia harus mati di tangan Ki Rikma Rembyak sendiri!"
Serentak kedua mata si Bedor menjadi berkilat-kilat saking gembiranya. "Terima
kasih, Kakang Surokolo.
Hari ini aku akan membalaskan sakit hatiku kepada
Mahesa gila itu!"
"Kakang Bedor," kata si Balur pula, "bolehkah aku
membantumu?"
"Ooo, itu usul yang bagus, Balur," sahut Bedor.
"Bantulah aku dengan sepuas hatimu. Juga Adi Salung dan lain-lainnya boleh membantuku pula."
"Heh, nyatanya kalian adalah pengecut-pengecut
kotor yang memuakkan!" teriak Mahesa Wulung. "Kalian cuma berani terhadap lawan-lawan yang telah tak berdaya. Apakah kau masih
mengingat kejadian yang
baru berselang, Bedor" Kau telah jungkir balik di tanah olehku. Di saat itu jika
aku mau membereskanmu, tentulah telah sedari tadi kulakukan! Tapi itu tak perlu,
sebab musuh utamaku adalah Rikma Rembyak dan
tokoh-tokoh andalannya seperti Surokolo itu!"
"Ah, edan kowe! Masih berani mengoceh, ya" Terimalah ini, hiiiah!" Bedor dengan
sebat meloncat dan kepalan tangannya menghajar dagu Mahesa Wulung.
Seketika itu pula, tubuh si pendekar tamtama Demak
terjengkang dari duduknya dengan teriakan tertahan.
Bedor tidak berhenti sampai di situ, sebab begitu dilihatnya Mahesa Wulung
berusaha untuk bangun, tiba-tiba ia telah melancarkan tendangan kaki ke punggung Mahesa Wulung, sehingga
sekali lagi pendekar
Demak inipun terjerembab kembali ke tanah.
"Aaaghhh!"
Tidak bisa si Balur tinggal diam melihat hal ini. Secepat kilat iapun
melancarkan tendangan kakinya ke lambung Mahesa Wulung. Begitu pula Salung
beraksi dengan pukulan-pukulan berat ke tubuhnya, hingga
beberapa kali terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ataupun keluhan pendek
dari mulut Mahesa Wulung
yang kini telah mengucurkan darah akibat siksaan
mereka itu. Pada saat tubuh Mahesa Wulung menjadi bulanbulanan dari pukulan dan tendangan pengikut-pengikut Surokolo, si Gombong menjadi bergetar hatinya.
Betapapun ia semula telah bersedia untuk menjebak
dan menangkap Mahesa Wulung, tapi sama sekali ia
tak menduga bahwa keadaan akan menjadi berkembang sedemikian buruknya.
Tambahan lagi, dalam dada si Gombong terjadi gelora perasaan yang bercampur-baur. Antara kewajibannya sebagai anggota gerombolan Ki Rikma Rembyak dan kesetiaannya sebagai prajurit kawal dari
Demak. Pergulatan perasaan antara kejahatan dan
pengkhianatan melawan kebaikan dan kejujuran.
Oleh sebab itu tak heran bila Gombong berdiam diri mematung, menatap rekanrekannya yang tengah
menghajar Mahesa Wulung.
Makin lama Gombong menjadi tak senang melihat
perbuatan mereka itu, dan mendadak saja ia telah meloncat ke depan, ke arah
Bedor dan kawan-kawannya
berada. Dalam pada itu, si Bedor dan orang-orang lainnya
yang lagi sibuk tidak melihat adanya satu bayangan yang meloncat ke arah mereka.
Tahu-tahu setelah
bayangan itu begitu dekat dan berseru dengan suara yang mengagetkan.
"Berhenti! Kalian pengecut busuk!"
Bedor, Salung dan Balur serta beberapa orang lainnya segera dapat mengenal suara itu, dan mereka
menjadi terlongoh keheranan, sebab bayangan tadi tidak lain adalah si Gombong!
Kekagetan mereka tidak sampai di situ saja, karena sebelum mereka menyadari
tentang maksud si Gombong yang sebenarnya, mendadak saja kawannya yang
bertubuh kekar dan bermata sipit ini telah menggerakkan kedua tangannya
menyampok ke kiri dan ke kanan. Buuk! Praak! Plaak!
Baik Bedor, Salung maupun Balur terjengkang roboh di tanah dengan perasaan kaget yang tak terhing-ga sambil melotot memandang
ke arah Gombong yang
berdiri di hadapan mereka. Sedang orang-orang lainnya terpaksa mundur ke
belakang dengan herannya
pula. Bedor masih terduduk seraya menghapus darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya yang terluka oleh pukulan si Gombong.
Begitu pula keadaannya dengan si Balur yang mengelus-elus pelipisnya yang
bengkak berdarah ataupun Salung yang menutup hidungnya dengan kedua belah tangannya karena mengucurkan darah.
"Oooh, kau sudah gila, Kakang Gombong"!" seru
Balur dan Salung. Berbareng keduanya meloncat
bangkit serta menghadap ke arah Gombong.
"Bukan aku yang gila, tapi kalianlah!" ujar Gombong dengan lantangnya, sementara Surokolo yang
masih agak bingung mengawasi saja dari tempatnya
tanpa berbuat sesuatu apa.
"Keparat! Kau membela tawanan ini, Kakang Gombong" Kau ternyata orang yang bermuka dua dan merupakan musuh dalam selimut!" umpat Balur serta
berpaling kepada Salung, berkata mengajak sahabatnya ini. "Ayo, Salung. Kita bereskan sekali si Gombong ini!"
Selesai berkata, mereka berdua segera melolos goloknya, dan kedua orang ini cepat menerjang ke arah Gombong. Senjata mereka
menebas dan menusuk dengan gerakan lincah, tetapi sangat ganas!
Wess! Sreetttt! Sreet!
Demikianlah golok-golok si Balur dan Salung bergulung dan berputar mengurung Gombong yang tanpa
takut meloncat ke sana-ke mari seraya menangkis senjata mereka beberapa kali.
Surokolo belum berbuat apa-apa melihat pertarungan ini. Pada pikirnya, pastilah Bedor bertiga akan segera dapat
menyelesaikannya.
Sesungguhnya Bedorpun telah bangkit lalu menggenggam pedangnya dan terjun ke dalam lingkaran
pertempuran yang kelihatan makin seru.
Mahesa Wulung diam-diam mengikuti juga pertempuran itu. Meski tubuhnya sakit-sakit dan wajahnya penuh luka berdarah, tapi
dengan seksama ia menyak-sikannya.
Pertempuran keempat orang itu terus menghebat
dan tiba-tiba pada jurus ke limabelas, Gombong melancarkan permainan puncak dari ilmu pedangnya ke
arah lawan-lawannya.
Beruntunglah bahwa pada detik itu Bedor sempat
berkelit dan meloncat ke samping, sedang Salung dan Balur agak sial nasibnya
karena ia tidak begitu cepat.
Mata pedang si Gombong dengan gesitnya mematuk
dada Salung dan ketika ujung pedang itu menyerong
ke bawah, sempat pula menebas putus ikat pinggang si Balur.
Surokolo terkejut melihat hal ini. Demikian pula dengan Bedor serta kawan-kawan
lainnya. Mereka melihat, betapa Salung menebah dadanya yang terluka
mengucurkan darah sambil meringis kesakitan.
Namun begitu pandangan mata mereka sampai pada Balur, hampir saja mereka tak dapat menahan ketawanya, karena celana dan kain si Balur melorot lepas ke bawah dan menumpuk
pada ujung kakinya.
Merasa bahwa tubuh bagian bawahnya tak tertutup
sama sekali, si Balur menjerit kaget bercampur malu.
Kemudian cepat-cepat ia memungut kembali kain dan
celananya lalu terbirit-birit lari ke balik semak pohon bakau.
Surokolo tak bisa lagi membiarkan Gombong berbuat semaunya, maka cepat-cepat ia melompat ke depan Gombong sekaligus menghunus pisau belatinya
yang berlekuk itu. Serunya. "Gombong, kau telah ber-tindak kelewat batas!
Terimalah ini! Hiiaaatttt!"
Gombong sedikit terkejut melihat belati Surokolo
memagut ke dadanya, namun segera ia memutar pedangnya seperempat putaran guna menangkis serangan senjata Surokolo.
Traaak! Benturan kedua senjata terjadi. Dalam saat yang
sama pula, tangan kiri Surokolo dengan dahsyatnya
menerjang ke dada si Gombong, membuat orang ini
terguncang ke belakang seperti dihempaskan oleh to-pan yang mengamuk. Tanpa
berdaya, Gombong mencelat ke belakang beberapa langkah.
Akan tetapi, Gombong dengan beraninya telah bersiaga dan siap kembali menerjang ke depan. Sayanglah bahwa ia tak melihat
sesosok tubuh yang bergerak di
belakang tubuhnya.
Hanya tahu-tahu ia merasakan sebuah sambaran
benda tajam pada punggungnya dan kemudian terasalah sesuatu yang panas mengalir membasahi punggung. Sewaktu ia menoleh, tampaklah olehnya bahwa Bedor berdiri dengan menggenggam pedang yang ujungnya telah basah oleh darah segar.
Kini tahulah ia, bahwa Bedor telah menyerang dan
melukai punggungnya! Sambil menggeram marah,
Gombong bersiap untuk mengamuk dengan sekuat tenaganya. Agak sayang kiranya, bahwa belum lagi
Gombong beranjak, Surokolo telah menerjang dengan
belatinya lebih dahulu.
Blesss! Claap! "Eearrhhh!"
Ujung belati berpamor beras wutah milik Surokolo itu telah menghunjam dalamdalam ke dada Gombong
disusul oleh darah segar memuncrat keluar.
"Mampus kau, pengkhianat!" seru Surokolo serta
mencabut kembali belatinya dari dada si Gombong.
Tak ubahnya sebuah patung, tubuh Gombong sesaat berdiri kaku, lalu bergoyang-goyang. Pedangnya lalu terlepas jatuh di
tanah. Matanya yang mendelik menahan sakit itu, tiba-tiba menatap ke arah Mahesa
Wulung yang tergolek di tanah dalam jeratan jala.
Dengan langkah terhuyung-huyung Gombong mendekati Mahesa Wulung, dan tepat di dekatnya, Gombong segera roboh dengan tubuh berlepotan darah.
"Tuan... Wira... Tam... tama... Mahesa Wulung," ujar Gombong terputus-putus
kepada Mahesa Wulung yang
terbaring di sampingnya. "Aku tak... dapat berbuat banyak."
Mahesa Wulung tersenyum haru oleh kata-kata
Gombong yang diseling oleh batuk-batuk sesak tadi.
Jawabnya, "Kau telah berbuat lebih banyak, Gombong.
Anda telah berlaku jantan!"
"Sayang... aku tak... dapat lagi menolong Tuan."
Gombong berkata kembali. "Semoga... Tuhanlah...
yang akan menolong Tuan."
"Tak usah... kuatir, Gombong," sambung Mahesa
Wulung pula. "Aku pasti akan berusaha melepaskan
diri dari cengkeraman mereka."
"Apakah Tuan sudi memaafkan segala kesalahan
dan perbuatanku yang sesat ini..., Tuan?"
"Yah. Aku akan memaafkanmu, Gombong," berkata
Mahesa Wulung. "Semua kesalahanmu aku hapus dan
aku maafkan."
"Dan apakah aku akan mati sebagai prajurit kawal
yang baik..., Tuan?" tanya Gombong sambil terengah-engah.
"Ya, ya. Itu benar, Gombong," sambut Mahesa Wulung. "Kau akan tewas sebagai prajurit yang baik!"
"Teri... ma... ka... sih, Tuan... aaakhhh!" Gombong mengakhiri kata-katanya
berbareng kepalanya terkulai layu bagaikan sebatang pohon yang ditebang. Matilah
sudah si Gombong dan tubuhnya tergolek di samping
Mahesa Wulung. Beberapa orang segera menolong Salung yang terluka dan mengobatinya, sementara itu Bedor telah dipanggil oleh Surokolo untuk menerima perintah-perintah berikutnya.
"Siapkan perahu layar kita, Bedor! Cepat!" perintah Surokolo. "Matahari telah
mencium cakrawala barat
dan kita harus selekasnya meninggalkan pantai ini!"
"Baik, Kakang Surokolo," sahut Bedor seraya lari ke tepi air dan memberitahu
teman-temannya akan perintah dari Surokolo tadi.
Beberapa orang segera kelihatan bergegas menyiapkan sebuah perahu layar yang tersembunyi di balik pohon-pohon bakau.
"Ha, ha, ha. Sayang bukan, bahwa Gombong tak
berhasil menolongmu"! Sekarang dia telah mampus!
Sebentar lagi engkau kuhadapkan ke depan Ki Rikma
Rembyak di sarangnya!" ujar Surokolo kepada Mahesa Wulung.
"Kakang Surokolo," berkata Balur, "bagaimana dengan Mahesa Wulung ini" Apakah jaring jala ini kita lepas sekarang?"
"Jangan sekarang, Balur. Nanti saja di dalam perahu. Kalian tak perlu repot-repot. Lempar saja tubuhnya ke dalam perahu,"
demikian perintah Surokolo.
Sekonyong-konyong, setelah mereka menyalakan
obor-obor, terdengar suara berdesir di sebelah selatan, membuat mereka
terperanjat. Tepat di sebelah selatan muncullah sesosok bayangan manusia, begitu juga dari arah tenggara dan barat daya. Ketika cahaya obor
menyentuh wajah mereka, segera Balur dapat mengenal satu di antara mere-ka. "Kakang Surokolo," desis
si Balur seraya menunjuk ke arah tokoh yang datang dari selatan, "itulah Gagak
Cemani dan kawan-kawan Mahesa Wulung lainnya!"
"Siapkan senjata kalian!" kata Surokolo kepada si
Balur, Bedor dan beberapa orang pengikutnya yang berada di sebelah belakang.
"Jangan bergerak! Kalian telah terkepung!" seru Gagak Cemani dengan lantang.
"Dan bebaskan kembali
sahabat kami Mahesa Wulung itu!"
Suasana menjadi hening sejenak. Tetapi Surokolo
yang berotak licin ini tiba-tiba membungkuk dan meng-acungkan belatinya ke dada
Mahesa Wulung disertai
Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawanya yang terkekeh-kekeh.
"Heh, he, heh. Jangan coba menakut-nakuti kami!
Lihatlah sahabatmu ini. Jika kalian bergerak ke arah
kami, maka nyawa Mahesa Wulung ini akan terbang
oleh senjataku!"
Gagak Cemani serta kedua bayangan yang tidak
lain adalah Tungkoro dan Pandan Arum seketika tertegun dari gerakannya. Mereka terpaksa menghentikan langkahnya untuk menyerang
Surokolo karena ancaman maut yang tertuju kepada Mahesa Wulung benarbenar sangat gawat.
"Nah, itu bagus," kembali berkata Surokolo kepada Gagak Cemani. "Kalian tentu
ingin sahabatmu ini baik-baik saja, bukan"! Karenanya, biarkan kami meninggalkan pantai ini dengan tenang!"
Melihat ketiga sahabatnya itu ragu-ragu oleh ancaman Surokolo, Mahesa Wulung segera pula berseru kepada Gagak Cemani. "Kakang
Gagak Cemani! Jangan
perdulikan tentang diriku! Serbulah mereka dan binasakan Surokolo beserta orangorangnya!"
"Hah, ha, ha, ha. Berkaok-kaoklah sepuas hatimu,
Mahesa Wulung. Aku yakin bahwa sahabat-sahabatmu
cukup pandai dan tidak akan membiarkan dadamu jebol oleh senjataku ini! Bukankah begitu, sobat-sobat"!"
ujar Surokolo sambil memberi isyarat kepada Bedor
dan Balur untuk mengangkat tubuh Mahesa Wulung
ke dalam perahu mereka.
Begitulah, dengan ancaman keselamatan Mahesa
Wulung oleh Surokolo, Gagak Cemani bertiga dibuat
tidak berdaya sama sekali. Mereka membiarkan tubuh Mahesa Wulung digotong ke
arah perahu, sebab mereka kuatir jika dirinya bergerak, maka Surokolo akan
benar-benar melaksanakan ancamannya, yakni mem-bunuh Mahesa Wulung dengan
senjatanya! Sebentar saja Surokolo dan orang-orangnya telah
naik ke dalam perahunya dan bergeraklah ke arah uta-ra, persis seekor naga yang
muncul dari sela-sela pohon bakau.
Bersamaan dengan itu, Pandan Arum tak bisa lagi
membendung air matanya dan hampir-hampir saja ia
roboh tak sadarkan diri bila Gagak Cemani serta Tungkoro tidak lekas-lekas
menolongnya. Tiga orang prajurit Demak yang datang bersama
Gagak Cemani tampak tengah memeriksa mayat Gombong. *** 2 BAGAIMANAPUN bentuknya, sebuah hinaan akan
benar-benar mempengaruhi perasaan dan jiwa seseorang. Namun janganlah sampai ada yang selalu menganggap bahwa sebuah hinaan atau cemooh akan bersifat buruk dan membawa keburukan.
Langkah pertama yang paling tepat bagi seseorang
yang mendapat cemooh atau hinaan, adalah bermawas
diri. Tepatnya ialah mengaca atau meninjau diri sendiri.
Jika cemooh tadi memang benar, berarti bahwa diri
kita yang mempunyai kekurangan. Dan sudah sepantasnyalah bahwa kita segera memperbaiki apa-apa
yang kurang pada diri kita tadi.
Namun hal itupun memerlukan jiwa dan sikap yang
teguh. Memanglah, bagi jiwa yang lemah dan mudah
putus asa, sebuah hinaan atau cemooh akan merupakan alat penghancur yang hebat.
Akan tetapi tidaklah demikian buat orang-orang
yang mempunyai keteguhan jiwa. Justru, sebuah hinaan akan membuatnya makin kokoh dan bekerja keras dalam mengejar semua kekurangan-kekurangan
tersebut. Seperti halnya Bambang Ekalaya yang ditolak oleh
Dorna untuk menjadi muridnya, justru membuat sang
Ekalaya makin keras tekadnya. Maka dibuatnyalah patung sang Dorna. Dan
selanjutnya di depan patung ti-ruan tadi belajarlah Ekalaya dengan rajinnya
dalam hal memanah, seolah-olah seperti ia belajar di hadapan sang guru itu
sendiri. Sehingga akhirnya dapatlah
Ekalaya menyamai kepandaian sang Arjuna dalam hal
memanah. Begitulah juga kiranya bagi seorang pemuda yang
bernama Palumpang, terpaksa memencilkan diri dari
kawan-kawan nelayan lainnya. Semenjak ia diejek oleh kawan-kawannya, disebabkan
ketidak-mampuannya
untuk lebih lama menyelam di dalam laut, Palumpang segera memisahkan diri dari
mereka. Sungguh malu rasanya bagi Palumpang, apabila ia
setiap kali teringat akan kejadian beberapa waktu berselang yang telah
dialaminya. Waktu itu mereka mengadakan lomba ketangkasan
untuk menyelam di dalam air, disaksikan oleh para ke-luarga nelayan. Di antara
mereka tak ketinggalan pula gadis-gadis cantik ikut menonton perlombaan
tersebut. Dan itu pulalah kiranya yang membuat semangat mereka berkobar untuk memenangkan diri dalam lomba
menyelam itu. Palumpang, sebagai anggota nelayan dari daerah
Muara Serang tak ketinggalan pula untuk mengikutinya. Tetapi sayang sekali, dan kejadian inilah yang akhirnya menyebabkan si
Palumpang menjadi bahan
tertawaan dan cemoohan dari kawan-kawan nelayan
lainnya. Begitu aba-aba diberikan, maka berterjunanlah mereka ke dalam laut dari bibir-bibir perahu. Busa putih dan gelembung-gelembung
air laut bertebaran dan
memutih di permukaan air laut, diiringi oleh soraksorai para penonton.
Belum lagi sepemakanan sirih lamanya, tiba-tiba
Palumpang telah memunculkan kepalanya di permukaan air, dan seketika pecahlah sorak-sorai ejekan dan cemooh dari mulut para
penonton disertai tangan-tangan mereka pada menunjuk-nunjuk ke arah Palumpang. "Ha, ha, ha, ha. Lihatlah kawan-kawan! Di sana ada kambing kecemplung air,"
terdengar ejekan dari salah seorang penonton.
"Ya, benar. Heh, heh, heh," sambung yang lainnya
pula. "Lebih baik menyelam di tempat tidur saja, Nak!"
"Hoh, ho, ho, kau kurang pantas menjadi pelaut,
Bung!" seru penonton yang lain, dan begitulah, berma-cam-macam ejekan
dilontarkan kepada Palumpang,
membuat pemuda ini cuma tertunduk diam menahan
malu. Secara jujur, Palumpang sendiri mengakui bahwa
dialah yang paling kalah. Dilihatnya, bahwa kawankawan lainnya masih belum muncul sampai saat itu.
Palumpang segera berenang ke tepi dan meninggalkan para penonton tadi dengan rasa malu dan kecewa.
Meskipun di saat itu Palumpang cuma berdiam diri
tanpa mengucapkan sepatah katapun, tetapi di dalam hatinya ia berteriak sekeraskerasnya, "Awas! Kalian boleh mengejekku sekarang ini. Tapi tunggulah beberapa
waktu lagi. Akan kutunjukkan kepada kalian,
siapa aku sebenarnya! Aku akan berlatih diri dan kalian akan kutantang untuk
pertandingan menyelam
dalam air!"
Maka sejak kejadian itulah Palumpang lalu memisahkan diri dari kawan-kawannya. Rupanya Palumpang termasuk pemuda yang memiliki keluhuran budi
dan ia mampu mengetrapkan diri dalam keadaan yang
sebenarnya. Peristiwa tadi yang diawali dengan ejekan dan cemooh telah membajakan diri Palumpang. Bukannya ia
menjadi putus asa ataupun hancur, tapi malah sebaliknya! Mula-mula sekali, dibuatnya sebuah rakit yang cukup lebar dari lonjoranlonjoran bambu dan batang pohon. Sesudah siap, rakit tersebut diturunkan ke laut
serta didayungnya ke tengah.
Mulai hari itu, Palumpang benar-benar menggembleng dirinya. Dengan seutas tali yang cukup panjangnya, Palumpang telah
mengikatkannya pada pinggang.
Sambil menghirup udara yang banyak, ia menerjunkan diri ke air. Tubuhnya menembus permukaan
air laut, meluncur ke bawah dengan pesatnya.
Namun seperti peristiwa di dalam perlombaan menyelam dahulu, kembali Palumpang tak mampu bertahan diri untuk lebih lama tinggal di dalam air.
Dadanya seakan-akan mau meledak karena terlalu
lama menahan udara di dalamnya. Karenanya dalam
sekejap mata Palumpang telah menggenjotkan kakinya ke bawah dan tubuhnya
meluncur kembali naik ke
permukaan air. Begitu sampai di atas permukaan air dan mencapai
rakitnya, mulut Palumpang kelihatan megap-megap,
bagaikan seekor ikan yang kekeringan air.
"Huuh, pantas mereka berani mengejekku!" desah
Palumpang seraya mengusap-usap rambutnya. "Nah,
akan kucoba lagi sekarang!"
Untuk kedua kalinya, Palumpang terjun kembali ke
air, dan sekali ini ia berhasil memperpanjang waktunya untuk menyelam di dalam
air. Berbagai cara telah dicobanya untuk melatih paruparunya, menyimpan udara dan menghematnya di dalam air, sehingga lama-kelamaan Palumpang telah ter-biasa dengan alam
sekitarnya. Air laut, ombak, rakitnya, udara terbuka, angin, burung dan binatang-binatang laut yang berbagai corak telah dikenalnya dengan
baik. Mereka itu seolah-olah telah menjadi sahabatnya, merupakan bagian dari hidupnya. Bila lapar, Palumpang tak terlalu pusing untuk
mencari makanan. Dengan sebentar menyelam ia akan
segera dapat menangkap beberapa ekor ikan yang dikehendaki dan selanjutnya ia memanggangnya di daratan.
Demikianlah, akhirnya Palumpang menjadi seorang
penyelam ahli dan tangguh. Itu semua telah dicapainya berkat latihan-latihan
yang rajin dan ulet, sementara waktupun telah lewat tanpa pernah dihitung oleh
Palumpang lagi.
Latihan! Sekali lagi latihan! Dan itu semua menyebabkan Palumpang seperti tak memerlukan lagi untuk berkumpul dengan kawankawannya. Sang waktupun terus berjalan dan kini Palumpang
tidak saja mahir menyelam, tapi juga terus melatih dirinya dalam ilmu
keseimbangan tubuh.
Bila ombak laut menjadi besar dan angin ribut bertiup, maka rakit Palumpang itu terombang-ambing ke sana-ke mari bagai sepotong
sabut kelapa. Dan di saat itulah Palumpang kembali menggembleng dirinya. Dengan duduk bersila dan memusatkan perhatian, ia menjaga
keseimbangan dirinya untuk tetap bertahan pada permukaan rakitnya meskipun ombak besar menghempasnya ke sana-ke mari.
Sepintas lalu, pemandangan ini menimbulkan kekaguman, tapi juga kengerian dan keseraman, sebab siapakah orangnya yang tidak
akan gemetar bila menyaksikan sebuah rakit dengan seorang penumpangnya
duduk bersila tenang, meskipun timbul tenggelam di sela-sela ombak yang
menggulung ganas!
Dari hari ke hari, panas matahari selalu membakar
kulitnya, dan di malam hari, udara dingin menggelut tubuhnya sehingga tubuh
Palumpang menjadi hitam
mengkilat. Rambutnya menjadi panjang, terikat oleh selembar kain ikat kepala
merah tua. Sedang kumis
dan jenggotnya melebat tumbuh menghias wajahnya,
menambah suasana keangkeran dan kekerasan.
Dalam keadaan sekarang ini, Palumpang sudah bukan seperti Palumpang beberapa tahun yang lalu, yang mudah terbakar amarahnya
oleh kata-kata orang lain.
Kini ia telah memiliki kepandaian yang tinggi dan me-lebihi teman-teman lainnya.
Namun ketika ia telah memiliki semua kepandaian,
Palumpang tidak lagi mempunyai maksud untuk kembali menantang teman-temannya, guna mengadu ketahanan diri dalam menyelam di dalam air.
Maksud tadi sudah tidak lagi ada padanya. Semboyannya, buat apakah suatu kepandaian mesti dipamerkan dan dipertontonkan di hadapan orang lain"
Memanglah, Palumpang kini telah berbeda dengan
waktu-waktu yang lalu. Jiwa dan pribadinya yang telah mengendap, tercermin jelas
dalam sikap dan tindak-tanduknya.
*** Pada suatu malam, ketika Palumpang tengah bersila di atas rakitnya yang diayun-ayunkan gelombang
itu, tiba-tiba hidungnya telah menangkap bau sebuah perahu dan manusia.
Sebenarnya ia tak perlu heran untuk hal itu, tetapi entah mengapa bahwa
nalurinya mengatakan kalau
ada sesuatu yang perlu diperhatikan dan menarik.
Palumpang mengambil dayung, dan setelah sejenak
ia berdiri serta dapat mengetahui munculnya sebuah perahu, segeralah ia
mendayungkan rakitnya untuk
mendekati perahu tersebut.
Belum lagi mendayung sepuluh kali, tiba-tiba ia
berhenti. Tampaklah Palumpang merenung sejenak
sambil terus mengawasi perahu tadi.
"Hmmm, ada dua orang penjaga yang selalu mondar-mandir di depan kamar buritan!" menggumam si
Palumpang seorang diri. "Dan dua obor yang dipasang di sebelah haluan!"
Secermatnya ia mengawasi gerak-gerik perahu yang
berlayar menuju ke arah timur laut, sementara itu pu-la ia memasang dua bilah
mancung, atau kelopak
bunga kepala yang berbentuk seperti badan perahu,
pada kedua belah kakinya.
"Aku menjadi sangat tertarik pada perahu tersebut, dan rasanya ada sesuatu yang
tidak beres di sana!"
desah Palumpang seraya meloncat ke air sambil sekaligus mengetrapkan segenap
ilmunya. "Aku akan selidiki perahu itu!"
Tap! Tap! Kedua kaki Palumpang yang beralaskan kelopak
bunga kelapa itu mendarat di air dan secepatnya digerakkan ke depan dan belakang
silih berganti.
Akibatnya sungguh mengagumkan. Palumpang seketika dapat meluncur berjalan di atas air, sehingga seolah-olah bukan manusia
tampaknya, tetapi hantu
laut. Bintang di langit kelam bertaburan dengan indahnya, dan perahu yang diintai oleh Palumpang itu
Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membelah air dan maju ke depan dengan tenangnya.
Gerakan Palumpang semakin hati-hati apabila kedudukannya telah dekat dengan buritan perahu tadi.
Sebentar kemudian dengan tangkasnya ia telah menggantungkan kedua belah tangannya pada buritan.
Telinganya yang cukup tajam segera dapat menangkap pembicaraan kedua pengawal perahu tadi.
"Ahh, untunglah Surokolo cukup tangguh menghadapi si Mahesa Wulung itu!" terdengar suara bernada serak dari salah seorang
pengawal. "Hi, hi, hi. Tentu saja Kakang Surokolo dapat meringkus Mahesa Wulung," sambung suara lain yang
sedikit besar. "Bukankah ia termasuk pendekar pilihan dari Pulau Mondoliko"!"
"Namun apakah Kakang Surokolo kiranya mampu
melaksanakan tugasnya, seandainya ia tidak memiliki jala sutera sakti itu?"
"Huss, kau jangan meragukan kesaktian Kakang
Surokolo! Dengan jala ataupun tidak, aku yakin bahwa Surokolo akan sanggup
merampungkan tugasnya!"
"Dan sekarang bagaimana keadaan tawanan kita, si
Mahesa Wulung itu?"
"Tubuhnya telah terikat keras-keras dan tak seorangpun yang tahu bila Mahesa Wulung telah kita
tangkap dan kini berada dalam perahu ini!"
"Meskipun demikian, kita harus tetap waspada, sebab tawanan kita itu sangat berharga bagi Ki Rikma Rembyak! Dan kau tahu" Hadiah
besar telah menanti
kita!" "Ha, ha, ha. Benar kawan.... Tapi aneh"! Kupingku
mendengar sesuatu di sebelah buritan perahu kita ini!"
"Sesuatu" Yah... bunyi deburan air yang aku dengar selama ini."
"Goblok kowe! Dengar baik-baik. Nah, ada dengu-san nafas dari arah dinding
buritan. Pasti ada sesuatu yang mencurigakan di sebelah sana. Mari, kita periksa
bersama!" Mendadak saja, belum lagi mereka melangkahkan
kakinya sampai lima langkah, tiba-tiba melentinglah satu tubuh manusia dari arah
buritan dan berputar di udara satu putaran, untuk selanjutnya menerjang ke bawah
dengan gesitnya!
Betapa kagetnya kedua orang penjaga itu tak dapat
dibayangkan lagi. Tambahan pula, melihat tampang si pendatang tersebut, mereka
segera mengira bahwa
hantu laut telah mendatangi mereka!
Dengan serentak mereka menyiapkan senjatanya.
Tetapi sekali lagi mereka tak berdaya apa-apa ketika bayangan manusia tadi tahutahu telah menotokkan
kedua ujung jari-jari dari kedua belah tangannya ke leher mereka.
Tuk! Tuuk! Braak!
Entah bagaimana rasanya, mendadak saja kedua
penjaga yang bernasib sial itu roboh menggeletak setengah lumpuh, dengan mulut
yang bisu tak dapat
berkata-kata. Bagaikan orang lagi bermimpi, kedua penjaga ini
dapat melihat semua kejadian di depannya, akan tetapi ia tak mampu berbuat apaapa, bergerakpun mereka
tak kuasa! Dan mereka menyaksikan, betapa si pendatang itu
membuka kamar buritan dengan cekatan, kemudian
masuk ke dalamnya.
Dugaan Palumpang semula yang mencurigai akan
perahu ini ternyata benar. Dan juga dari pembicaraan kedua penjaga itu,
Palumpang pun segera tahu bahwa perahu ini membawa muatan yang paling berharga,
yakni pendekar Mahesa Wulung!
Bagi Palumpang, nama tersebut sudah tidak asing
lagi meskipun ia sendiri belum pernah mengenal dan berjumpa sendiri dengan
orangnya. Masih cukup segar dalam ingatan Palumpang ketika
beberapa saat yang silam di waktu ia masih bersama-sama hidup sebagai nelayan.
Pada saat itu, hampir
semua nelayan menjadi takut untuk berlayar terlalu jauh ke tengah Laut Jawa,
sebab di sana, sering muncul Kapal Hantu yang dahsyat dan menakutkan.
Sudah tak terhitung banyaknya perahu-perahu
yang dibinasakan sampai ke penumpang-penumpangnya sekaligus! Untungnya sebuah kapal dari armada
Demak yang dipimpin oleh Mahesa Wulung telah berhasil membinasakan Kapal Hantu tadi.
Dan kini Palumpang telah mendengar, bahwa Mahesa Wulung telah tersekap dan ditawan di dalam perahu ini. Maka tanpa membuang
waktu lagi, Palumpang segera memeriksa seluruh kamar buritan dan sebentar
kemudian, pada sebuah sudut kamar yang terlindung
oleh tumpukan-tumpukan karung, dapatlah ia menjumpai seseorang yang duduk meringkuk dengan tangan dan kakinya terikat sedang mulutnya pun tersumbat oleh ikatan selembar kain.
Keduanya saling terperanjat ketika pandangan mata
mereka saling bertemu. Palumpang ragu-ragu sejenak, lalu berkata. "Benarkah Anda
yang bernama Mahesa
Wulung?" "Aah! Uh! Uh!" jawab orang itu dengan menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Oo, maaf, Kisanak. Aku lupa membuka kain ini lebih dahulu," ujar Palumpang seraya melepas ikatan
kain yang menyumbat mulut Mahesa Wulung.
"Benar, sobat!" ujar Mahesa Wulung. "Akulah yang
bernama Mahesa Wulung. Tapi... dari manakah Andika tahu tentang diriku ini"!"
"Nanti akan kuceritakan lebih lanjut," berkata Palumpang dengan hormatnya. "Tapi ikatan tali yang me-lilit tubuh Andika ini harus
aku lepaskan terlebih dahulu!"
"Yah, itu lebih baik," jawab Mahesa Wulung, sambil matanya mengawasi, betapa
dengan cekatan si penolong ini melepas semua tali-temali tadi dengan sebilah
pisau kecil. Sebentar kemudian, bebaslah tubuhnya.
"Perkenalkan Tuan, nama saya Palumpang," kata
Palumpang seraya menjabat tangan Mahesa Wulung.
Namun ia terkejut, dan begitu pula dengan Mahesa
Wulung sendiri, ketika tangan pendekar Demak ini tidak mampu untuk menyambut
jabatan tangan dari Palumpang. "Ookh, aku telah dilumpuhkan oleh mereka!" desah
Mahesa Wulung. "Harap dimaafkan jika saya tak mampu menyambut tangan Saudara."
"Dilumpuhkan"!" desis Palumpang seraya memeriksa segenap bagian tubuh Mahesa Wulung. "Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa uraturat ataupun jalan darah Anda tertotok oleh sesuatu!"
"Memang begitu, sobat," jawab Mahesa Wulung.
"Aku terlumpuh bukan disebabkan terkena totokan
urat atau jalan darah, tetapi disebabkan oleh senjata jala sutera yang meringkus
diriku." "Jika demikian, agaknya tubuh Andika telah terkena bisa pelumpuh!"
"Rupa-rupanya memang demikian," sambung Mahesa Wulung seraya mengeluh.
"Akh, tak perlu Andika cemas," jawab Palumpang
pula. "Aku akan berusaha menolong Andika keluar da-ri perahu ini!"
"Terima kasih. Tapi aku tak mampu berenang dengan keadaan tubuh semacam ini."
"Itu tak menjadi soal. Andika berteguh hati saja...,"
ujar Palumpang sambil mengangkat tubuh Mahesa
Wulung dan memondongnya ke luar dari kamar buritan. Di luar, pada geladak perahu itu masih tergeletak
kedua orang pengawal perahu yang tadi telah dilumpuhkan oleh Palumpang.
Serentak Mahesa Wulung menatapkan pandangannya ke arah orang-orang itu. Iapun berkata kepada Palumpang. "Sebentar, sobat.
Lihatlah pada pinggang
pengawal yang berikat kepala kuning itu. Pedangku
ada padanya, dirampasnya ketika aku terlumpuh."
Palumpang mengangguk dan dengan sebatnya ia
meloloskan pedang Mahesa Wulung yang terselip pada pinggang si pengawal berikat
kepala kuning. Kedua pengawal itu ternganga melihat si pendatang
itu telah membebaskan dan menolong Mahesa Wulung
keluar dari kamar buritan.
Akan tetapi, mereka cuma ternganga saja tanpa dapat berbuat sesuatu. Malahan mereka menjadi terbengong, sewaktu Palumpang mengenakan kembali terompahnya yang terbuat dari seludang bunga kelapa itu dengan cekatan.
"Heh, heh, heh," tawa Palumpang serta menoleh ke
arah kedua pengawal itu. "Katakan pada pemimpinmu, bahwa seorang hantu laut
telah merampas tawanan-mu! Heh, heh, heh!"
Begitu rampung berkata, Palumpang dengan sebatnya sambil memondong Mahesa Wulung telah meloncat terjun ke air, membuat pengawal-pengawal itu melototkan mata seperti tak mau
percaya oleh penglihatannya.
Seorang di antaranya dengan nekad telah membenturkan kepalanya kepada sebuah tong kayu yang seketika menggelinding dengan
suara berderak.
Oleh suara itu, beberapa awak perahu tampak berloncatan ke luar dari kamar geladak dan kamar haluan termasuk Surokolo sendiri.
Mereka berseru kaget dan serentak mereka samasama memandang ke arah samping timur perahu, ketika kedua pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala serta melototkan matanya ke arah timur sebagai
isyarat. "Whaah"!" Seru Surokolo, begitu ia melihat sesosok tubuh dengan memondong tubuh
yang lain telah meluncur dan berloncatan, berjalan di atas permukaan
air laut, bagai ikan terbang. "Siapa mereka"!" bentak Surokolo, seraya memandang
kedua pengawal perahu
itu. "Uh! Uuh!" jawab kedua orang pengawal yang tengah lumpuh tersebut disertai
kepalanya menggelenggeleng pertanda akan ketidak-tahuannya.
"Hemm, kalian berdua telah dilumpuhkan mereka,"
kata Surokolo bernada geram. "Baiklah, kalian harus kubebaskan dulu!"
Sambil berkata demikian, Surokolo menggerakkan
tangannya dan begitu ujung-ujung jarinya menyentil sisi leher dari kedua orang
pengawal itu, serentak mereka terbangun dari kelumpuhannya seraya membungkuk-bungkuk hormat.
"Nah, sekarang lekas jelaskan tentang kedua orang
tadi! Dan bagaimana tawanan kita sampai bisa lolos!"
Surokolo membentak keras, menyebabkan dua pengawal tersebut mengerutkan leher saking takutnya.
"Ampun, Tuan," ujar seorang yang lebih tua. "Waktu kami tengah berjaga, tibatiba saja tanpa suara dan asal-usulnya meloncatlah satu bayangan manusia
yang berwajah dan berperawakan seram dari arah buritan. Dalam saat yang demikian gentingnya itu, maka kami segeralah melolos
senjata-senjata kami. Tetapi tanpa diduga, si pendatang tadi tahu-tahu telah
menotok leher kami dan membuat lumpuh! Akhirnya tanpa
dapat berbuat sesuatu, kami cuma dapat melihat bah-wa si pendatang itu
menggotong keluar tubuh Mahesa Wulung, sambil mengejek bahwa dialah yang
bergelar Setan Laut, si penolong."
Surokolo mengangguk-angguk puas oleh keterangan
ini, namun kembali ia berseru marah. "Kenapa kau tidak mau berteriak, heei"!
Goblok! Kalian tidak bertanggung jawab! Tahu"!"
"Ooh, maaf, Tuan. Kami begitu kaget oleh kemunculan si pendatang itu dan kami tak sempat berteriak!"
"Nah, itulah kesalahan kalian!" sahut Surokolo pula. "Untuk itu kalian nanti harus bertanggung jawab di hadapan Ki Rikma Rembyak
sendiri!" "Aduuh," keluh kedua penjaga tadi dengan putus
asanya. Mereka telah menduga bahwa Ki Rikma Rembyak akan marah sejadi-jadinya. Oleh sebab itu keduanya semakin ketakutan, dan
dalam keadaan yang demikian itu, sering pula menimbulkan perbuatan-perbuatan nekad. Seperti digerakkan oleh tenaga yang
sama, maka kedua penjaga itu meloncat ke arah ping-giran perahu untuk
menerjunkan diri ke arah laut.
Sebagai seorang pemimpin, agaknya Surokolo telah
dapat meraba setiap kemungkinan yang bisa terjadi, sehingga ia tidak menjadi
kaget oleh tindakan kedua orang penjaga yang hendak membuang diri ke laut.
"Tangkap keduanya!" bentak Surokolo menggelegar
lantang berbareng segenap anak buahnya berloncatan dengan cepatnya untuk
meringkus mereka.
Surokolo tertawa gelak-gelak dan merasa puas ketika matanya melihat bahwa kedua penjaga yang mencoba melarikan diri tadi telah tertangkap hidup-hidup.
"Ha, heh, heh, heh, heh. Kau berdua, si tikus busuk akan kuhadapkan di muka Ki
Rikma Rembyak! Dan
sekarang, ayo kawan-kawan! Jebloskan mereka ke dalam kamar tahanan!"
"Jangan! Jangan!" teriak kedua penjaga itu dengan
wajah tegang ketakutan. "Aku tak mau ditahan di kamar bawah!"
"Hoh, ho, ho. Jadi kalian tak mau ditahan di sana?"
ujar Surokolo dengan mulut menyeringai lebar. "Apakah kamu ingin tinggal di
puncak tiang layar dengan terikat erat-erat?"
Kedua penjaga tadi cuma terdiam tanpa berani
membuka mulut ataupun menatap pandangan mata
Surokolo. Yang terasa oleh mereka adalah keputusasaan dan kematian yang segera akan dijumpainya
apabila mereka tiba di Pulau Mondoliko.
Kini mereka sadar, bahwa menjadi pengikut Ki Rikma Rembyak bukanlah pekerjaan yang ringan sematamata. Selain keberanian serta kesetiaan, merekapun harus cerdas, dan hal inilah
yang kurang dipunyai oleh kedua pengawal tadi.
Mereka tidak lekas-lekas berteriak ketika Palumpang muncul, sehingga tiada orang lain yang mengetahuinya kecuali mereka berdua
sendiri. Biarpun begitu, tak habis juga keheranan mereka
ketika Palumpang tadi dengan mudahnya berjalan dan berloncatan di atas permukaan
air laut dengan lincahnya.
Meskipun kejadian tadi dilihatnya beberapa saat
yang lalu, akan tetapi sampai sekarangpun seolah-olah masih terbayang jelas di
rongga mata mereka, betapa si pendatang itu telah menyerobot tawanan mereka
dan kemudian memondongnya serta membawanya terjun ke air, itu semua masih dapat diingat baik-baik oleh mereka.
Kedua penjaga tadi tak dapat lagi menggerakkan
tubuhnya, sebab tangan-tangan awak perahu lainnya
dengan jari-jemarinya yang kuat telah mencengkeram dan menyekap erat tubuh-tubuh
mereka. Yang tampak oleh mereka berdua hanyalah sorotsorot mata liar dan tajam dari para awak perahu tadi.
Kesan yang semula membayangkan persahabatan kekal, kini berubah dengan pandang kecurigaan dan kebencian seluruhnya.
Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagi awak perahu lainnya, kedua pengawal tersebut
telah menjadi barang menjijikkan yang tidak patut
tinggal bersama mereka lagi!
"Hukuman kalian akan menjadi lebih berat, karena
kalian telah mencoba melarikan diri!" seru Surokolo.
"Har... harap diampuni, Tuan," keluh si penjaga tua sambil membungkuk-bungkuk
rendah sekali saking
takutnya. Sedang penjaga yang satunyapun ikut pula ketakutan, karena dalam
hatinya mereka telah menduga bahwa hukuman akan segera jatuh pada mereka.
"Hmm, jadi kalian minta diampuni?" gumam Surokolo. "Tapi apakah kalian sadar bahwa melepaskan
ataupun membiarkan seorang tawanan lari, akan mendapat hukuman mati dari Ki Rikma Rembyak"!"
Bagai mendengar guruh di telinganya, kedua pengawal tadi terhenyak tanpa dapat berkata-kata apapun.
Dengan menghembuskan nafas resah, beberapa
saat kemudian si pengawal tua berkata kembali. "Kami berdua telah berbuat
sebisanya, Tuan. Namun serangan si setan laut tadi benar-benar diluar dugaan kami." "Ehhh, aku tak mau mendengar alasan-alasan dari
mulutmu. Salah atau tidak, kalian dibebaskan atau
harus dihukum, hanya Ki Rikma Rembyaklah yang boleh memutuskannya! Karena kalian pun tentu tahu
bahwa yang terlepas tadi adalah Mahesa Wulung, yang tidak lain adalah musuh
besar Ki Rikma Rembyak dan juga musuh kita semua!" seru Surokolo serta melotot
tajam. Kemudian Surokolo berpaling ke arah salah
seorang anak buahnya yang berperawakan kekar dan
bermata kecil, lalu berseru, "Klowong! Lekas jebloskan kedua pengkhianat ini ke
kamar bawah!"
"Baik, Kakang!" sahut si tubuh kekar yang bernama
Klowong tadi lalu memberi isyarat kepada beberapa
orang untuk bergerak.
Kedua orang pengawal yang bersalah itu tanpa berkutik segera diseret ke bawah, ke dalam kamar geladak yang biasa digunakan untuk
menyekap tawanan-tawanan rendahan dan perantaian.
*** 3 MAHESA WULUNG menggosok-gosokkan jarinya ke
pelupuk mata, ketika ia merasa bahwa dirinya telah siuman kembali. Percikanpercikan buih dari ombak
laut telah membasahi kulit wajahnya, ditambah dengan udara subuh yang telah mulai tiba, membuat
Mahesa Wulung tersadar pingsannya.
Dengan sedikit lupa-lupa ingat, ia masih dapat
menggambarkan kembali semua lelakon beberapa saat
yang telah lewat.
Mula-mula ia dapat mengingat betapa seseorang telah menolongnya keluar dari perahu para penjahat
yang hendak menyeretnya ke Pulau Mondoliko!
Mahesa Wulung melayangkan pandangan matanya
ke daerah sekeliling, dan mendadak saja ia berseru keheranan bercampur kaget.
"Heeii! Aku masih di tengah laut"!"
Begitu kagetnya, Mahesa Wulung melongo menatap
ombak-ombak besar bermain berhempasan di sekelilingnya. Ia mendapatkan dirinya tergolek di tengah-tengah rakit yang cukup
lebar. Pada sebuah ujungnya terikatlah sebuah peti kayu berukir berwarna
kehitaman. Semakin heranlah Mahesa Wulung ketika ia cuma
mendapati dirinya hanya seorang tergeletak di atas rakit ini.
"Uuh, ke mana si penolongku ini?" gumamnya sambil berusaha duduk dengan bersusah-payah. "Aku masih lumpuh terkena racun senjata Surokolo!"
Meskipun telah berusaha, Mahesa Wulung tidak
berhasil menguasai dirinya, dan dengan mendesah, ia rubuh kembali ke geladak
rakit. Di kala itu, di antara celah deburan ombak laut,
muncullah sesosok bayangan manusia berloncatan dengan lincah dan cekatan.
Melihat itu Mahesa Wulung tertegun penuh takjub.
Kalau pada beberapa tahun yang lalu ia pernah melakukan hal semacam itu dengan
menggunakan terompah kayu, tapi kali ini yang dilihatnya, adalah jauh lebih sempurna. Orang yang
meloncat-loncat di atas
permukaan air laut itu, seolah-olah seperti berjalan di atas permukaan tanah
keras yang biasa. Jika ada ombak yang agak tinggi, kadangkala orang itu melesat
di atas puncak ombak tadi dan membiarkan dirinya meluncur terbawa arus serta
kemudian meloncat kembali ke atas puncak gulungan ombak seperti semula.
Namun ternyata bukan itu saja yang membuat Mahesa Wulung kagum, sebab orang tersebut makin jelas dan dekat. Ternyata kedua
kakinya menggunakan dua
buah seludang bunga kelapa, sedang agak jauh di belakangnya berloncatanlah
beberapa ekor ikan terbang yang mengejarnya.
"Heeh, he, he. Bagus, sobat. Bagus sekali!" berkata si peloncat ombak tadi
tertuju ke arah ikan-ikan terbang itu. "Kalian hampir dapat mengejarku!"
Sewaktu mereka hampir sampai di dekat rakit, si
peloncat ombak berseru lagi. "Sobat-sobat yang baik, hari ini sampai di sini
saja permainan kita!"
Para ikan-ikan terbang tadi dengan cepatnya memutar haluan dan mereka berbelok ke arah utara
sampai akhirnya lenyap di antara celah-celah deburan ombak.
Si peloncat air yang tidak lain adalah Palumpang,
lalu meloncat naik ke atas rakitnya. Dan iapun berseru
gembira ketika ia melihat Mahesa Wulung telah siuman kembali dari pingsannya.
"Waakh, syukurlah jika Anda telah sadar!" berkata
Palumpang. "Nah, sebentar lagi kita akan mendarat di pantai. Ini aku telah
mengumpulkan bahan-bahan ob-at untuk mengobati kelumpuhanmu."
Palumpang berkata begitu sambil menunjukkan
kantongan jaring yang berisi rumput-rumput laut dan beberapa bahan lainnya. Di
antaranya tampaklah beberapa ekor ikan tangkur kuda yang masih bergerakgerak hidup. "Hoo! Anda telah menyelam ke dasar laut"!" komentar Mahesa Wulung serta memandangi kantongan jaring yang dibawa oleh Palumpang.
"Benar. Jauh di bawah sana tersimpanlah kekayaan
lautan yang tak terhingga harganya. Aku akan menco-ba mengobati tubuhmu dengan
ramuan yang akan kubuat nanti."
"Hmm, mengapa Anda berusaha menolongku dengan mempertaruhkan nyawa?" bertanya Mahesa Wulung kepada Palumpang yang duduk di sebelahnya.
"Aneh juga pertanyaan Andika," sambung Palumpang diiringi senyuman polos. "Tapi baiklah Andika ketahui, bahwa semula aku tak
mengira bahwa Andika
berada di dalam perahu mereka sebagai tawanan untuk Ki Rikma Rembyak. Hanya nalurikulah yang mengatakan, bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan patut aku curigai pada perahu
tersebut. Maka tanpa menunggu lebih lama, aku secepatnya mendekati perahu tadi,
sehingga dari percakapan dua orang pengawal
mereka, akupun dapat mengetahui siapakah sebenarnya Andika ini!" demikian tutur kata Palumpang yang diungkapkan dalam kata-kata
tenang dan penuh rasa
hormat. "Dan selanjutnya, akupun menyelamatkan
Andika karena nama Andika telah cukup dikenal luas.
Secara tidak langsung, Andika pernah menolong nasib para nelayan ketika Andika
berhasil menghancurkan
Kapal Hantu."
Dengan manggut-manggut Mahesa Wulung mendengarkan itu semua dan iapun berkata pula, "Jika boleh aku duga dan menilik dari
kepandaian yang Anda miliki, rupanya Andapun termasuk seorang pendekar
gemblengan!"
"Heh, heh, heh. Perkiraan Andika tentang diriku ternyata kurang tepat," sela
Palumpang sambil tersenyum. "Maksud Anda?" seru Mahesa Wulung dengan kagetnya pula. "Aku bukan seorang pendekar seperti yang Andika
duga tadi. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dan
belum pernah aku berbentrok ataupun bertempur melawan seseorang, sampai beberapa hari yang lalu ketika aku terpaksa menotok
lumpuh kedua pengawal
perahu yang menawan Andika."
Mahesa Wulung tercengang sesaat seperti tidak habis percaya oleh keterangan Palumpang tadi. Sehingga akhirnya Palumpangpun
terpaksa menceritakan riwayat dan asal-usul tentang dirinya. Mulai ia diejek dan
dihina sampai akhirnya ia menggembleng dirinya sendiri di tengah laut dengan
rakitnya. "Nah, begitulah sekadar riwayat diriku yang sesungguhnya," kata Palumpang ketika
ia mengakhiri ceritanya. "Betapapun seorang pendekar memiliki kesaktian, toh
setiap kali ia akan menjumpai yang jauh lebih sakti daripada dirinya. Dan
sesungguhnya pula, di situlah seorang pendekar akan teruji sampai di manakah ia
telah mendalami ilmunya!"
"Anda memang benar. Hanya saja kita mesti ingat
bahwa kesaktian yang digunakan untuk maksud-maksud jahat dan diselewengkan, maka akibatnya akan
membawa bencana."
Palumpang ganti tersenyum oleh kata-kata Mahesa
Wulung, dan jenggotnya yang lebat itu dielus-elusnya beberapa kali, lalu ia
menyeletuk, "Mm, pendirian Andika ternyata tepat dengan pendirianku."
"Terima kasih."
"Berbaringlah Andika baik-baik. Aku akan mendayung rakit ini ke arah pantai," berkata Palumpang seraya memungut sebilah
dayung panjang yang telah
tersedia di atas rakit.
Beberapa saat kemudian, rakit yang ditumpangi
mereka telah bergerak membelah air ke arah pantai
dalam kelajuan yang penuh.
*** Di pantai utara Demak yang membujur dengan megahnya berhempasanlah sepanjang tepinya, buih-buih ombak yang bertaburan.
Di sela pepohonan bakau, tertambatlah sebuah rakit, jauh dari tempat yang sering dijangkau oleh perahu-perahu atau tangan
manusia. Sungguh sepi tempat itu. Suasana lengang dan cuma gemersik dedaunan atau kadang-kadang pekikan
burung camar pantai terdengar sekali-sekali.
Sesungguhnya memang tempat demikianlah yang
sering didatangi oleh Palumpang dan dipilihnya, bila saja ia merindukan daratan
atau ada sesuatu kepentingan yang diperlukannya di sini.
Dengan tenangnya Mahesa Wulung berbaring beralaskan daun-daun kering yang disusun oleh Palumpang seperti kasur tipis dan cukup empuk.
Di dekat pendekar Demak ini, tampaklah Palumpang menunggui sebuah periuk tanah yang tengah ter-jerang di atas perapian
tungku darurat. Agaknya tungku itu dibuat oleh Palumpang secara tergesa-gesa namun cukup baik. Dari beberapa batu karang yang disusun membentuk lingkaran dan sebuah lubang untuk memasukkan kayu bakarnya, maka terbentuklah
tungku darurat tadi.
Mata Palumpang tak henti-hentinya mengawasi isi
periuk tanah yang tengah direbusnya itu, karena ternyata telah mulai mendidih.
Bunyi kemerusuk dari cairan mendidih diikuti oleh asap putih yang mengalun
keluar dari periuk, membawa bebauan yang sedap setengah harum.
Ketika Mahesa Wulung mencium bau tersebut, dia
meneguk. "Mmm, agaknya Anda membuat masakan istimewa, Palumpang."
"Ini kusiapkan untuk Andika," tukas Palumpang,
seraya menyenduk-nyenduk masakannya itu dengan
sebilah pisau kecil. "Ramuannya kutemukan sendiri
selama aku mengasingkan diri di atas rakitku ini. Mudah-mudahan saja kelumpuhan
Andika segera tersembuhkan olehnya."
Bau sedap dan harum tadi betul-betul menimbulkan selera makan Mahesa Wulung, yang selama ditawan dalam perahu Surokolo hampir tak pernah menerima makanan yang layak.
Dan rasanya Mahesa Wulung seperti tidak sabar
menanti masakan tersebut, kentara dari sikapnya yang beberapa kali meneguk air
liurnya. Hal itu membuat Palumpang tersenyum kecil dan ia segera mempercepat
pekerjaannya. Dengan mangkuk-mangkuk aneh yang terbuat dari
kulit lokan kerang yang selebar daun teratai, Palumpang lalu menuangkan masakan
dari periuk tadi ke
dalamnya. "Nah, marilah segera Andika melahap masakanku
ini, agar kesembuhan akan segera Andika dapat dari-padanya," demikian Palumpang
mempersilakan Mahesa Wulung. "Andika tidak usah sungkan-sungkan kepadaku." "Aah, terima kasih," sahut Mahesa Wulung seraya
menyambut mangkuk kulit kerang tadi. "Masakan Anda sungguh sedap baunya."
"Dan pakailah sepasang cupit tulang ikan cucut ini untuk menjumput sayur di
dalamnya," begitu ujar Palumpang dan sepasang cupit itupun segera sampai ke
tangan Mahesa Wulung yang telah duduk bersandar
pada sebuah gumpalan batu karang.
Demikianlah, kedua sahabat tadi duduk di dekat
perapian dan menikmati masakan yang dibuat dari
ramuan-ramuan istimewa ciptaan Palumpang. Dia
sendiri hanya mencicipi sedikit saja, sebab sebenarnya memang masakan tadi
dibuat khusus untuk Mahesa
Wulung. Tanpa merasa malu-malu lagi Mahesa Wulung telah
menyikat habis makanan tadi pada mangkuk pertamanya, dan kemudian disusul dengan mangkuk kedua. Apa yang dirasa oleh Mahesa Wulung adalah kenikmatan dan kesegaran. Maka tak heran bila Mahesa
Wulung memuji kepandaian sahabatnya di dalam hati.
Akan tetapi selang beberapa waktu setelah menghabiskan masakannya, Mahesa Wulung merasakan perubahan pada dirinya. Itulah sebabnya mengapa pendekar Demak ini segera menatap wajah Palumpang.
"Sekarang ramuan tadi telah mulai bekerja!" cetus
Palumpang. "Andika tidak perlu cemas dan marilah
aku tolong untuk berbaring."
Mahesa Wulung dengan ditolong oleh Palumpang,
lalu membaringkan diri, tertelentang dengan tenang.
Satu rasa yang aneh, rasa kepanasan telah timbul di dalam tubuhnya. Seolah-olah
Pendekar Naga Geni 17 Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia tengah dirubung oleh tungku api dan ini menyebabkan keringatnya mulai
bercucuran menerocos keluar dari lubang kulitnya.
"Nah, mungkin Andika sekarang bakal tidak percaya oleh penglihatan sendiri. Ramuan tadi, sari-sari-nya akan meresap ke
segenap daging, kulit dan setiap tubuh Andika. Mereka akan secara cepat mendesak
hawa racun dan bisa yang telah melumpuhkan Anda,
untuk keluar dari kulit. Haah, sekarang inilah dia!" se-ru Palumpang,
Kata-kata Palumpang tadi ternyata memang benar.
Air keringat Mahesa Wulung yang keluar tadi, makin lama makin berwarna kehijauan
dan akhirnya berubah hitam.
Pada saat itulah Mahesa Wulung menyeringai-nyeringai seperti menahan sakit yang amat hebat. Namun itu tidaklah lama. Setelah
keringat hitam tadi keluar, rasa sakit, pedih dan nyeri segera lenyap secara berangsur-angsur.
Hawa segar terasa oleh pori-pori kulit Mahesa Wulung yang telah sembuh dan bebas dari pengaruh racun dan bisa. Mahesa Wulung tersenyum kepada Palumpang dan
berkata. "Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Kisanak. Andika telah menyembuhkanku." Demikian Mahesa Wulung berkata seraya menggerakkan tangannya.
"Heee, tanganku sekarang tidak lumpuh lagi!" cetus Mahesa Wulung seraya menatap
tangannya dan juga
kedua belah kakinya telah dapat digerakkan secara
normal, seperti sediakala. Dan akhirnya duduklah ia di atas tanah.
"Janganlah Andika terlalu banyak bergerak lebih
dahulu," berkata Palumpang menasehati sahabatnya.
"Sekarang, keringat-keringat hitam yang masih menempel pada kulit tubuh Andika akan kubersihkan!"
Palumpang lalu mengambil sebuah bunga karang
dari kantong kulitnya dan ditutul-tutulkan pada keringat hitam tadi, sampai
akhirnya bersih sama sekali.
Biarpun telah sembuh dari gangguan racun pelumpuh itu, Mahesa Wulung masih terpaksa harus menuruti peraturan-peraturan dari sahabatnya yang berwajah seram dan berkulit
kehitaman itu. Memang Palumpang ternyata tidak tanggung-tanggung dalam menolong sahabat barunya ini. Ia mengharap agar Mahesa Wulung memperoleh kembali sepenuhnya akan kesehatan dan kekuatan tubuhnya.
Seringkali pula Mahesa Wulung tinggal sendiri di
pantai tersebut untuk menunggu Palumpang turun ke
laut, guna mencari ramuan-ramuan obat dan bahan
makanan untuk bekal mereka.
*** "Hah! Andika ternyata sangat mahir mempergunakan alat itu!" seru Palumpang dari atas rakit kepada Mahesa Wulung yang dengan
lincah dan tangkasnya
berjalan dan berloncatan di atas air laut dengan mem-pergunakan terompah
seludang bunga kelapa itu!
"Oo, jangan terlalu keheranan, Palumpang. Jauh sebelum ini aku memang pernah memakai alat serupa
ini," kata Mahesa Wulung seraya mendekati rakit dan meloncat ke atasnya. "Dan
sesungguhnya aku masih
jauh lebih heran akan kekuatan Anda yang mampu
menyelam di dalam air hampir seperdelapan hari lamanya." "Heh, heh, heh. Andika rupa-rupanya telah menghitungnya dengan teliti. Hanya seorang yang berpengalaman luas dan berilmu
tinggilah yang mampu mengerjakannya."
Mahesa Wulung cuma tersenyum oleh kata-kata Palumpang yang berisi sanjungan, dan iapun berkata pu-la, "Apakah kira-kira aku
boleh mengangkatmu sebagai guru dalam ilmu menyelam ini?"
Palumpang terhenyak sesaat, namun kemudian iapun tertawa terkekeh-kekeh sampai bahunya terguncang. "Heh, heh, apakah aku mempunyai potongan untuk itu dan pantas menjadi gurumu"!"
"Bagi saya, seorang guru tidaklah harus berkedudukan tinggi, berwajah tampan ataupun berpakaian
bagus. Yang penting adalah keluhuran budinya, kecin-taannya terhadap sesama umat
dan...." "Cukup... cukup," sela Palumpang tersipu-sipu.
"Aku tak tahan terhadap kata-katamu itu," begitu kata Palumpang seraya
menyeringai dengan wajah lucu.
"Baiklah, Andika akan kuangkat menjadi muridku."
Sebenarnya, Palumpang pun merasa bersyukur di
dalam hati karena mendapat murid seorang pendekar
yang namanya telah jauh terkenal. Meski pada mulanya ia merasa sungkan, tapi akhirnya hilanglah hal itu berkat sikap Mahesa
Wulung yang pandai membawa diri dan ramah-tamah.
Tanpa kesukaran apapun, Mahesa Wulung mampu
mempelajari ilmu menyelam dari Palumpang, dan tidak jarang keduanya bersama-sama
sering melatih diri di dalam air.
Sedang yang kelihatan kemudian, hanyalah sebuah
rakit yang terayun-ayun di atas air ke sana-ke mari tanpa penghuni. Tak tahunya
di sebelah bawah sana
kedua penumpangnya tengah bersila di dasar laut seperti arca. Atau, jika mereka
tidak bersila, maka bere-nanglah menyelam ke sana-ke mari ke setiap sudut ba-tu
karang dan rerumputan laut.
*** 4 SEJAK MENDARAT kembali di Pulau Mondoliko,
Surokolo dan anak buahnya kena marah oleh Ki Rikma Rembyak. Lebih-lebih terhadap dua orang pengawal perahu yang lalai waktu Mahesa Wulung lolos, Ki Rikma Rembyak tidak memberi
ampun lagi. Mereka
secara singkat diadili oleh Ki Rikma Rembyak sendiri, sebagai pemimpin tertinggi
dari pulau tersebut. Penga-dilan singkat tanpa kesempatan untuk kedua terdakwa
itu membela diri.
Untuk itu, memang Ki Rikma Rembyak tidak ingin
memperpanjang waktu. Baginya, jika terdakwa sudah
terang bersalah, maka harus dihukum secepatnya.
Dan siang itu, kedua orang pengawal yang terhukum
lalu digiring ke arah sebuah teluk, dengan diikuti oleh seluruh penghuni pulau
para pengikut Ki Rikma Rembyak.
Berita tentang lolosnya Mahesa Wulung dari perahu
Surokolo, secara diam-diam membuat gembira bagi Jagal Wesi. Juga Andini Sari
yang menaruh rasa simpati kepada Mahesa Wulung, sejak ia ditolongnya di daerah
Pusaka Warisan Iblis 2 Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Naga Sasra Dan Sabuk Inten 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama