Ceritasilat Novel Online

Wanita Keramat 2

Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat Bagian 2


keadaanku, sehingga mereka berusaha ingin
memperistri diriku."
Pendekar Mabuk menggumam panjang dan
manggut-manggut. Puting Selaksa membuang
pandangan jauh-jauh sambil berdiri. la melangkah jauhi Suto. Seolah-olah ia tak
berani memandang
Suto terlalu lama, karena takut gairahnya tergoda.
"Puting Selaksa," panggil Suto sambil berdiri juga.
"Kalau boleh kutahu, apakah sampai sekarang kau belum punya pilihan tentang
lelaki yang akan
menjadi suamimu?"
"Belum!" sahut perempuan itu dengan cepat dan tegas, wajahnya dipalingkan
memandang Suto Sinting. Suto mendekatinya. "Kau. . kau benar-benar
belum punya kekasih?"
Puting Selaksa gelengkan kepala sambil tetap
menatap lekat-lekat pada Suto.
"Dulu aku pernah punya kekasih. Tapi aku
dikhianati. Setelah dia merenggut kesucianku,
setelah dia puas menikmati tubuhku, dia pergi dan menikah dengan putri seorang
raja. Hatiku sakit
sekali, dan sejak itu hatiku sulit menerima kehadiran seorang lelaki"'
Sekali lagi kepala Suto manggut-manggut sambil
perdengarkan gumamnya yang lirih. Tapi batin
pemuda itu mulai berkecamuk antara percaya dan
tidak. "Jika aku kawin dengan perempuan ini, tentunya hidupku akan berlimpah
kebahagiaan sampai pada
keturunan-keturunanku. Tapi bagaimana dengan
Dyah Sariningrum" Oh, kasihan dia. Hatinya pasti
akan hancur selama-lamanya. Dan lagi. . benarkah
apa yang diceritakannya itu" Jangan-jangan cerita itu hanya untuk mempengaruhi
pendirianku dan
membuatku terpikat padanya" Hmmm. . aku harus
hati-hati berhadapan dengan perempuan yang satu
ini!" Puting Selaksa tersenyum sinis ketika mata Suto
kepergok sedang menatapnya. Suto sempat salah
tingkah dan tak enak hati. Lebih tak enak lagi
setelah Puting Selaksa berkata dengan nada dingin.
"Aku tahu kau meragukan kebenaran ceritaku
tadi. Tapi kuharap jangan punya prasangka bahwa
aku mengincarmu sebagai calon suamiku. Aku tidak
berselera, dengan lelaki yang punya wajah tampan
dan gagah sepertimu."
"O ya..."! Mengapa kau tidak berselera?"
"Karena lelaki sepertimu pasti lelaki buaya, doyan selingkuh dan mata
keranjang!" jawab Puting
Selaksa dengan nada ketus yang membuat wajah
Suto menjadi semburat merah menahan rasa malu.
"Aku memburumu kemari karena ada yang ingin
kutanyakan padamu!" sambung Puting Selaksa.
"Tentang apa?" Suto masih bisa pertahankan sikap kalemnya, walau dirinya penuh
gairah dan mengecam kata-kata Puting Selaksa tadi.
"Di mana guruku dan Manggar Jingga sekarang"!"
"Aku tak tahu. Tapi sebelum kami berpisah,
kudengar mereka merencanakan untuk mencarimu
ke Perguruan Tangan Besi. Mereka akan menyelidiki keadaan di sana. Jika benar
kau ditawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, maka mereka akan
menyerang perguruan itu!"
"Tapi aku tidak melihat mereka ada di antara kobaran api pertempuran antara
orang-orang Pulau
Boneng dengan orang-orang Perguruan Tangan
Besi!" Suto angkat bahu. "Kalau begitu mereka tidak ke sana, atau mungkin sudah menjadi
mayat di antara
tumpukan para korban itu"!"
Mata bertepian hitam itu sempat melebar
sekejap. Wajah cantik angkuh itu menjadi tegang.
"Kalau begitu aku harus kembali ke tanah
Mentawai dan memeriksa para mayat yang
bergelimpangan di sana!"
"Silakan saja. Jangan berharap aku akan
mendampingimu untuk pergi ke sana!" ucap Suto Sinting bernada ketus, setajam
ucapan Puting Selaksa tadi. Wajah perempuan itu menjadi merah
menahan malu dan marah.
"Satu sama!" ucap Suto sambil tersenyum nyengir. Puting Selaksa tampak
menggeletukkan giginya dengan pandangan mata setajam ujung
tombak. Pendekar Mabuk sempat merinding
dipandang demikian, walau wajahnya tetap cengarcengir konyol. * * * 5 TERNYATA bukan hanya mereka berdua yang ada
di tempat teduh itu. Sepasang mata dan telinga
telah menyadap pembicaraan mereka dan
memperhatikan gerak-gerik Pendekar Mabuk serta
Puting Selaksa. Orang ketiga itu sengaja tak mau
tampakkan diri sebelum mengetahui akhir dari
percakapan tersebut.
Agaknya pengintaian si orang ketiga itu dilakukan tanpa disengaja. Perjalanannya
terhenti ketika
melihat Suto Sinting berteduh di balik batu. Rasa penasarannya semakin bertambah
setelah kemunculan Puting Selaksa yang juga telah
dikenalnya sebagai murid Resi Parangkara. Maka si orang ketiga itu mengambil
tempat yang sama dan
sangat tersembunyi, namun bisa mendengarkan
percakapan yang dilakukan oleh dua orang tersebut.
Pohon berdaun rindang yang tumbuh di belakang
batu besar adalah tempat aman yang dipilihnya
sebagai tempat persembunyian. Lompatan geraknya
dari dahan ke dahan yang tidak menimbulkan suara
itu dapat dikenali sebagai lompatan tokoh berilmu tinggi. Cara berdirinya di
dalam kerimbunan daun
yang hanya berpijak pada satu ranting kecil
menandakan tokoh tersebut menguasai ilmu
peringan tubuh dengan baik.
Pada saat ia mendengar Suto berkata kepada
Puting Selaksa,
"Namun sebagai sahabat baru Resi Parangkara, aku berkewajiban mencari tahu juga
nasib beliau di antara mayat-mayat orang Perguruan Tangan Besi.
Jadi tak ada jeleknya jika kita berangkat bersama ke puing-puing reruntuhan
perguruan tersebut."
Puting Selaksa hanya sunggingkan senyum dingin
yang tipis, lalu ia melangkah lebih dulu dan
Pendekar Mabuk bergegas menyusulnya. Pada saat
itulah, si orang ketiga segera melompat turun dari atas pohon bagaikan seekor
elang ingin menyambar
mangsanya. Wuuus...! Seandainya Puting Selaksa kurang peka terhadap
hembusan angin di sekitarnya dan ia tidak segera
tundukkan kepala, maka kepala itu akan tersambar
tendangan kuat dari orang ketiga itu. Sambil
bergerak tundukkan kepala dan rendahkan badan,
Puting Selaksa segera mencabut pedangnya karena
gerakan refleksnya terhadap datangnya bahaya
sewaktu-waktu. Sreet...!
Jleeeg...! "Tahan. .!" seru Suto sambil rintangkan tangan di depan Puting Selaksa begitu si
orang ketiga daratkan kakinya di tanah depan mereka. Terkesip
mata si Pendekar Mabuk pandangi orang itu,
terbelalak nanar mata si Puting Selaksa begitu tahu siapa yang tadi ingin
menyambarnya dari arah
belakang. "Bara Perindu..."!" sapa Pendekar Mabuk bernada heran.
Gadis itu tidak menyapa namun memandang
Puting Selaksa penuh permusuhan. Suto sempat
salah tingkah sendiri melihat cara kedua perempuan itu dalam beradu pandang.
"Agaknya kalian sudah saling kenal," ujar Suto mengisi kebungkaman di antara
mereka. Puting Selaksa bicara kepada Suto dengan mata
tetap memandang tajam kepada Bara Perindu.
"Rupanya kau sudah mengenal gadis tolol itu, Suto!"
"Hmmm... iiy... iya, aku sudah mengenalnya. Bara Perindu adalah prajurit
kehormatan dari istana
Kadipaten Mancanagari. Hmmm... kami pernah
bertemu dan saling membantu pada saat geger ilmu
'Lintah Tambak Cumbu' yang dimiliki putri angkat Kanjeng Adipati Purwatahta
itu," jawab Suto sambil mengenang peristiwa munculnya tokoh jalang
bernama Nyai Mata Binal, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Perempuan Jahanam").
Bara Perindu yang mengenakan baju ketat
berbelahan dada lebar warna merah itu masih
bungkam dengan sikapnya yang penuh keberanian
itu. Gadis cantik berambut sepundak dengan poni
bagian depan itu juga kelihatan sama judes dengan Puting Selaksa. Tangan
kanannya sudah pegangi
gagang pedang yang sewaktu-waktu siap cabut bila
lawan menyerang. Suto Sinting mencoba meredakan
ketegangan itu dengan senyum kaku yang lebih
terlihat sebagai cengar-cengir salah tingkah.
"Kalian berdua sahabatku, sebaiknya tak perlu saling bersitegang begini."
Tapi rupanya kedua perempuan itu bagai tak
mendengar ucapan Suto Sinting. Bahkan gadis
pemberani berusia dua puluh dua tahun itu mulai
lontarkan kata ketusnya kepada Puting Selaksa
dengan keras. "Muslihat apa lagi yang akan kau lakukan di
depan Pendekar Mabuk, Perempuan Licik!"
"Aku tak punya urusan lagi denganmu!" ucap Puting Selaksa dengan datar dan
berkesan dingin.
"Tapi jika kau masih ingin teruskan perkara lama, aku siap mencabut nyawamu
sekarang juga!"
"Hei, hei... tunggu dulu!" sergah Suto Sinting.
"Jangan buru-buru main cabut nyawa, sebab nyawa berbeda dengan singkong, yang
sekali cabut, batangnya ditanam lagi bisa tumbuh kembali. Tapi
nyawa manusia sekali cabut, bangkainya ditanam,
tidak pernah akan tumbuh lagi, bukan"!"
"Suto...!" seru Bara Perindu. "Jangan mau termakan oleh tipu muslihat perempuan
jalang itu! Cerita yang dibuatkan panjang lebar tadi hanya
siasat untuk menjebak gairahmu belaka! Tak ada
Rona Dewaji. Apa itu Rona Dewaji" Tahi kucing!"
sentak Bara Perindu.
"Suto, menyingkirlah dan biarkan gadis pongah itu mencium ujung pedangku dulu
agar tak bicara
sembarangan di depan siapa saja!" ujar Puting Selaksa dengan nada ketus
menyeramkan. Bola
matanya tak pernah bergerak, kelopaknya tak mau
berkedip, seakan seluruh perhatian dipusatkan
kepada Bara Perindu.
"Cabut pedangmu, Bara Perindu! Buktikan bahwa ketajaman mulutmu lebih tajam dari
pedangmu sendiri!" tantang Puting Selaksa.
Pendekar Mabuk bagai orang terhipnotis saat
memperhatikan sorot pandangan mata tajamnya
Puting Selaksa. la menjadi berdebar-debar dan
undurkan langkah beberapa kali.
"See. . sebaiknya. . sebaiknya ini tak perlu terjadi, Puting Selaksa... Bara
Perindu...."
Sreet. .! Bara Perindu mulai mencabut pedangnya.
Suto Sinting bertambah cemas dan bingung. Kedua
perempuan itu sama-sama pemberani dan sukar
dibujuk jika sudah naik pitam begitu.
"Puting Selaksa, jangan harap kau bisa
mengelabui sahabatku; Suto Sinting itu, jika Bara Perindu masih dapat mencabut
pedangnya! Tak akan kubiarkan Pendekar Mabuk itu jatuh dalam
pelukanmu hanya sekadar pemuas nafsumu
semata!" "Gadis beracun tikus! Rupanya kau merasa iri melihat pemuda itu bersimpati
kepadaku. Apakah
kau tak sadar bahwa kau mempunyai kecantikan
yang memuakkan bagi setiap lelaki, sehingga tak
ada lelaki yang mau jatuh dalam pelukanmu"!"
"Mulut busukmu akan hancur sekarang juga,
Puting Selaksa. Hiaaah...!"
Wees, wees. .! Kedua perempuan itu saling lompat, saling
menerjang, dan saling beradu kecepatan pedang di
udara. Pendekar Mabuk terpaksa makin mundur karena
takut menjadi salah sasaran dari sabetan pedang
yang sama-sama berkecepatan tinggi itu.
Trring, tring, trrang, trring. .!
Sampai keduanya turun ke darat, pedang mereka
masih saling beradu dengan cepat. Gerakan mereka
pun sama-sama lincah dan penuh nafsu untuk
membunuh. Rupanya persoalan lama mereka
melatarbelakangi kebencian Bara Perindu kepada
Puting Selaksa. Sebab ia dulu pernah hampir dibuat mati oleh Puting Selaksa
ketika berebut sebuah
kitab milik Eyang Sagawira, kakak dari Resi
Parangkara. Sedangkan Eyang Sagawira adalah
gurunya Bara Perindu.
Sementara itu, pikiran Pendekar Mabuk mulai
terpengaruh oleh ucapan Bara Perindu tadi. Batin
pun akhirnya berkecamuk sambil pandangi
permainan jurus pedangnya Puting Selaksa.
"Puting Selaksa tampak marah sekali kepada


Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bara Perindu. Mungkinkah karena Puting Selaksa
takut jika muslihatnya terbongkar di depanku" Oh, apa benar ucapan Bara Perindu
tadi bahwa Rona
Dewaji itu tidak ada dan hanya sekadar tahi kucing belaka" Gawat kalau begini.
Mana yang benar"
Masuk akal juga dakwaan Bara Perindu tadi yang
mengatakan bahwa Puting Selaksa hanya ingin
memikatku dengan cara membual panjang lebar.
Tapi. . tampaknya Puting Selaksa bersungguhsungguh dalam menuturkan kisah Rona Dewaji
tadi"!"
Pendekar Mabuk garuk-garuk kepala. Saat itu ia
segera melompat ke samping karena sabetan
pedang kedua perempuan itu semakin mendekati
tempatnya berdiri. Agaknya jurus pedang mereka
sama-sama kuat, sehingga sejak tadi tak ada yang
tergores luka sedikit pun.
"Pada saat aku bertemu dengan Resi Parangkara, sang Resi tidak menceritakan
tentang keistimewaan
yang ada pada diri Puting Selaksa. Apakah karena
takut didengar Manggar Jingga"! Atau karena
keistimewaan itu memang tidak ada?" pikir Suto Sinting lagi sambil tetap
memperhatikan jurus-jurus yang dipakai Puting Selaksa. Sebab ia merasa perlu
mencari kelemahan jurus-jurus tersebut, sehingga
sewaktu-waktu berhadapan dengan Puting Selaksa
ia dapat melumpuhkan perempuan itu dengan
cepat. Rupanya semakin lama Puting Selaksa semakin
penasaran karena tak bisa melukai Bara Perindu.
Perempuan itu pun segera berkelebat melambung
ke udara dan bersalto ke belakang dua kali. Wuk,
wuk...! Jleeg...!
Begitu kakinya mendarat ke tanah, pedangnya
segera disentakkan ke depan pada saat Bara
Perindu ingin mengejarnya. Suuut.. ! Maka dari ujung pedang itu keluar selarik
sinar biru sebesar lidi yang menghantam dada Bara Perindu. Claaap. .!
Bara Perindu segera hentikan pedangnya di
depan dada, sehingga sinar biru tersebut akhirnya menghantam pedang putih
berkilauan milik Bara
Perindu. Zaaaang...! Sinar ungu membias dari benturan sinar biru
dengan pedang Bara Perindu. Sinar ungu itu sangat menyilaukan bagi Puting
Selaksa, sehingga
perempuan itu merunduk dan menghadangkan
tangannya untuk melindungi mata.
Pada saat Puting Selaksa merunduk dan
kebingungan hindari sinar yang amat menyilaukan
dan bisa membutakan mata itu, Bara Perindu segera melompat lakukan satu
terjangan dengan pedang
berkelebat. Wees. .!
Trang, craaas...!
Satu tangkisan pedang berhasil dilakukan oleh
Puting Selaksa. Tapi tangkisan kedua melesat dan
pundak Puting Selaksa pun terluka oleh tebasan
pedang Bara Perindu.
"Aah. .!" Puting Selaksa terhuyung-huyung.
Pedang beracun telah membuat tubuhnya menjadi
panas dan lemas. Tapi sebelum serangan Bara
Perindu datang lagi, Puting Selaksa berhasil
menyentakkan tangan kirinya dan dari tangan kiri itu melesat sinar jingga
sebesar ibu jari. Wuuus...!
Bara Perindu tak menyangka lawannya akan
menyerang dengan sinar jingga. Maka ia segera
menghadang sinar itu dengan pedangnya lagi.
Blaaab, blegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi menggetarkan
pepohonan sekeliling mereka. Bara Perindu
terlempar keras oleh gelombang ledakan tersebut, ia jatuh membentur batu besar
yang tadi dipakai
berteduh Suto Sinting itu. Brruk...!
"Aaahk..." Bara Perindu memekik kesakitan sambil mulutnya semburkan darah
kental. la segera jatuh terbanting yang membuat pedangnya terlepas
dari genggaman.
"Hoooek. .!" Bara Perindu muntahkan darah lebih banyak lagi. Wajahnya menjadi
pucat kebiru-biruan.
Pendekar Mabuk cemas melihat keadaan Bara
Perindu. Namun ketika itu juga Puting Selaksa jatuh berlutut karena luka di
pundaknya semakin
melumpuhkan urat-urat di sekujur tubuh. la
terengah-engah sambil pegangi luka di pundak.
Pendekar Mabuk bingung, mana dulu yang harus
ditolongnya, la hanya bisa menggerutu bernada
keras, "Kalian perempuan memang payah! Di ngatkan
agar jangan bertarung masih tetap ngotot. Dasar
dua-duanya keras kepala! Kalau sudah begini, siapa dulu yang harus kuselamatkan
dengan tuakku ini"!
Uuuh...! Dasar perempuan!"
Bara Perindu bangkit dengan limbung dan
pegangi dadanya, sementara tangan kanannya
sudah menggenggam pedang lagi. Tapi wajahnya
pucat semakin menyerupai mayat yang terlambat
dikubur. "Bara Perindu. . jangan bergerak dulu!" seru Suto Sinting segera menghampirinya.
Tapi Bara Perindu
telanjur jengkel kepada Pendekar Mabuk yang hanya diam saja dan tidak memihaknya
dalam pertarungan tersebut.
Wuuut.. ! Bara Perindu sempat sentakkan kaki ke
tanah dan tubuhnya meluncur ke atas, lalu hinggap di pucuk batu besar itu.
"Sekali lagi kuingatkan padarnu, Suto.. kalau kau
mau selamat, hindari perempuah pendusta itu!
Jangan percaya dengan bualannya tadi!"
"Bara Perindu, kau terluka parah!"
Tapi gadis itu justru berseru dengan suara berat
dan sambil menyeringai menahan sakitnya.
"Puting Selaksa. .! Pertarungan ini belum
berakhir! Kelak akan kita lanjutkan lagi sampai ada yang harus dikubur! Tapi
percayalah, racun dalam
pedangku ini cukup mampu membuatmu
kehilangan nyawa dalam beberapa waktu lagi."
Wees. .! Bara Perindu segera pergi tinggalkan
tempat tersebut melalui pohon demi pohon. Agaknya ia tak mau bicara lagi dengan
Pendekar Mabuk yang menurutnya cenderung berpihak kepada Puting
Selaksa. Sementara itu, luka di pundak Puting Selaksa
membuat leher dan wajah perempuan itu menjadi
memar; merah kebiru-biruan, pertanda racun yang
terdapat pada luka tersebut mulai mengganas.
Puting Selaksa pun jatuh terduduk, lalu bergeser ke samping untuk dapat
bersandar pada sebatang
pohon. Melihat hal itu, kecemasan Suto semakin
bertambah dan ia segera hampiri Puting Selaksa.
"Minumlah tuakku sekarang juga, Puting Selaksa!
Minumlah, biar racun dalam lukamu itu tidak
menjalar ke mana-mana!"
"Per. . percuma! Aku tahu pedang itu
menggunakan racun 'Darah Peri' yang hanya dimiliki oleh Eyang Sagawira, gurunya
Bara Perindu. Racun
ini... tidak bisa disembuhkan oleh...."
"Minumlah dulu tuak ini, dan jangan banyak
bicara!" sentak Suto Sinting sambil sodorkan bumbung tuak. la tinggal menuang
bumbung itu jika mulut Puting Selaksa terbuka. Tapi perempuan itu
justru rapatkan gigi dan menyeringai karena rasa
sakitnya semakin bertambah.
"Puting Selaksa!'" bentak Suto dengan dongkol.
"Kalau kau masih ingin hidup dan menikmati
kejayaan Rona Dewaji, minum tuak ini! Lekas, buka mulutmu!"
Puting Selaksa akhirnya mau membuka mulut
dengan bibir gemetar. Suto Sinting menuang tuak
pelan-pelan sehingga Puting Selaksa meneguknya
beberapa kali. "Sudah kuingatkan agar jangan lakukan
pertarungan, tapi kalian masih tetap ngotot.
Akhirnya ya begini ini!" omel Suto Sinting sambil bersungut-sungut, tapi
akhirnya ia menenggak
tuaknya sendiri.
"Aku tak berani memihak siapa pun, karena aku belum tahu siapa yang benar!"
gumam Suto dalam hatinya.
Puting Selaksa terengah-engah. Pedangnya
dimasukkan ke dalam sarung pedang dengan
tangan gemetar. Tapi hati perempuan itu mulai
membatin dalam kekaguman yang tersembunyi.
"Aneh sekali. Rasa sakit ini menjadi berkurang.
Sekarang tinggal perih saja. Tapi urat-uratku terasa
mulai mengencang kembali. Hmmm.. tuak apa yang
kuminum tadi" Apakah benar dia bernama Suto
Sinting alias si Pendekar Mabuk yang sering
dibicarakan Manggar Jingga itu" Oh, alangkah
beruntungnya aku jika dia benar-benar Pendekar
Mabuk yang terkenal berilmu edan-edanan itu"!"
Mata bertepian hitam dengan kesan galak itu
melirik Suto yang sedang berdiri sambil
mengencangkan tali bumbung tuaknya. Pemuda itu
menggerutu, tapi tak jelas apa yang digerutukan.
Hanya saja, Puting Selaksa mulai merasa berdebardebar lagi jika terlalu lama memandangi Suto
Sinting dari arah mana pun, terlebih dari bawah.
"Benar. Kurasa dia memang benar Pendekar
Mabuk yang juga disebut-sebut sebagai Tabib Darah Tuak. Buktinya sekarang rasa
perih ini hilang sama sekali dan, ooh... kurasakan ada sesuatu yang
merayap di pundakku. Sepertinya. . sepertinya
lukaku mulai bergerak merapat sendiri. Oh, sungguh ajaib. Ternyata apa yang
sering diceritakan orang-orang tentang kesaktian tuak si Pendekar Mabuk itu
bukan sekadar dongeng belaka. Aku merasakan
buktinya. Padahal dulu kusangka mereka terlalu
membesar-besarkan kesaktian si Pendekar Mabuk,"
ujar Puting Selaksa dalam hati.
Beberapa saat kemudian, luka itu benar-benar
mengering dan merapat. Bahkan sekarang sudah
tidak terlihat lagi. Kulit pundak menjadi halus seperti tak pernah terluka
sedikit pun. "Bagaimana" Sudah bisa dipakai untuk
melanjutkan perjalanan"!" tanya Pendekar Mabuk begitu melihat Puting Selaksa
berdiri dan menarik napas panjang-panjang. Perempuan itu anggukkan
kepala tanpa senyum sedikit pun. la segera
merapikan pakaiannya dan membersihkannya dari
tanah dan daun kering yang menempel di celana.
"Aku tetap akan memeriksa mayat-mayat di
padepokan Perguruan Tangan Besi itu," kata Puting Selaksa. "Aku harus meyakinkan
diri bahwa guruku dan Manggar Jingga tidak termasuk korban
keganasan orang-orang Pulau Boneng."
Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Baik.
Kurasa kita harus segera sampai ke sana sebelum
petang tiba. Matahari mulai condong ke barat,
sebentar lagi akan tenggelam. Kita harus bergerak cepat!"
Setelah memutuskan begitu, Pendekar Mabuk
sempatkan diri menenggak tuaknya lagi. Tetapi di
luar dugaan, tiba-tiba seberkas sinar merah kecil seukuran lidi melesat dari
belakangnya dan
menghantam bahu kanan dengan telak.
Slaaap...! Jraaasss...!
"Aaaahk. .!" pekik Suto Sinting sambil tubuhnya tersentak dan bumbung tuaknya
terlempar ke depan. "Sutooo. ."!!" pekik Puting Selaksa dengan sangat terkejut. Lalu ia segera
menyambar tubuh Suto yang limbung dan mau jatuh itu. Sementara bumbung
tuaknya sudah telanjur jatuh ke tanah, tuaknya
tumpah karena bumbung itu tidak dalam keadaan
tertutup. * * * 6 SINAR merah itu melubangi bahu Suto hingga
tembus ke dada kanan. Lubang kecil itu kepulkan
asap, selain berwarna hitam juga melelehkan cairan hitam pula. Pendekar Mabuk
menjadi terkulai lemas bagai tanpa tulang dan tenaga sedikit pun. Sekujur
tubuhnya terasa sedang disayat-sayat dengan pisau tajam. Namun ia tak mampu
mengerang atau merintih karena tak punya tenaga lagi. Wajah pun
segera berubah sepucat mayat, mencemaskan hati
Puting Selaksa.
Perempuan yang telah memperoleh kekuatannya
kembali itu menjadi berang melihat Suto dilukai
dengan cara licik. la segera memandang ke arah
datangnya sinar merah tadi. Matanya yang nanar
berkesan liar itu segera temukan seraut wajah milik seorang lelaki berkumis
lebar dan berbadan gemuk.
"Rupanya kau yang berbuat licik itu, Gobang
Garu"!' geram Puting Selaksa sambil meletakkan
Suto pelan-pelan dalam keadaan sedikit bersandar
akar pohon. Sutb Sinting sebenarnya masih sempat pandangi
wajah penyerangnya itu. Bahkan hatinya sempat
berkecamuk dengan detak jantung melemah.
"Siapa lelaki itu" Oouh. . sepertinya riwayat hidupku hanya sampai di sini.
Tubuhku terasa dingin sekali. Pandangan mataku menjadi buram. Napas
pun terasa tipis, tak bisa menghirup udara banyak-banyak. Oooh. . jurus apa tadi
yang mengenaiku
hingga aku kehilangan tenaga dan kekuatan
separah ini"!"
Dengan mata sulit dipakai untuk berkedip, telinga Suto masih sempat mendengar
ucapan-ucapan lelaki berkepala botak tengah namun mempunyai
rambut ikal di bagian sekitar telinga ke belakang.
Dengan suara berat, lelaki berpakaian merah tua itu lepaskan tawa terlebih dulu.
Badannya yang gemuk
terguncang-guncang oleh tawanya.
"Rupanya kau masih belum lupa dengan diriku, Puting Selaksa! Aku memang si


Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gobang Garu, utusan Adipati Wijanarka yang sudah berapa hari ini kebingungan mencarimu!
Ternyata kau ada bersama
cecunguk ingusan itu, Puting Selaksa. Hah, hah, hah, hah...!"
"Jahanam kau, Gobang Garu!" geram Puting Selaksa. "Rupanya saat ini adalah hari
terakhirmu menghirup udara di permukaan bumi. Bersiaplah
untuk mati demi menebus kelancanganmu yang
berani melukai pemuda ini, Gobang Garu!"
"Hoh, ha, ho, ho... jangan mengancamku, Nona Manis! Bagiku ancaman adalah angin
yang berhembus di senja hari. Ada baiknya jika kau
menurut saja padaku, supaya aku tidak melukaimu.
Aku tak enak hati kalau sampai menyerahkan dirimu di depan Kanjeng Adipati
Wijanarka dalam keadaan
terluka. Tapi kalau memang terpaksa, yaah... apa
boleh buat. Hah, hah, hah, hah...!"
Fuih. .! Puting Selaksa lepaskan jurus napasnya
yang mampu hadirkan angin kencang dari hidung.
Tetapi, angin kencang Itu hanya membuat Gobang
Garu mundur selangkah dan rendahkan kaki dengan
pakaian dan kalung manik-manik hitam terhembus
ke belakang. "Huah, hah, hah, hah. ! Untuk apa kau bermain napas denganku, Wanita Keramat"!
Gobang Garu sudah sering masuk angin, jadi tak akan goyah
walau kau hadirkan sejuta badai di depanku!" ujar Gobang Garu sambil memanggul
senjatanya berupa
gobang besar yang salah satu sisinya bergerigi
seperti garu pembajak sawah.
Puting Selaksa maju dua langkah. Tapi Gobang
Garu berkata lebih dulu kepadanya.
"Wanita Keramat, kumohon dengan segala
hormat. Ikutlah aku dan jangan melawanku. Aku
takut kau akan mati di tanganku, Wanita Keramat!"
"Persetan dengan hormatmu!" geram Puting Selaksa, lalu ia melepaskan pukulan
jarak jauh dari tangan kirinya yang menggenggam dan menyentak
ke depan. Wuuut...! Bruuuuss...!
Pukulan tanpa sinar itu menerjang tubuh Gobang
Garu yang berperut buncit. Tapi orang itu tak
bergeming bagaikan prasasti tanpa sejarah. Hanya
saja, pohon-pohon yang ada di belakangnya, di
samping kanan-kirinya, mengalami keretakan begitu terkena pukulan tenaga dalam
Puting Selaksa.
Bahkan dua pohon langsung tumbang dalam
keadaan akarnya terdongkel ke atas dan tanah pun
berhamburan. "Semakin ganas, Kanjeng Adipati semakin suka padamu, Puting Selaksa! Apa pun
yang kau inginkan pasti akan dituruti oleh sang Adipati! Karena itu, ikutlah aku
menghadap Adipati Wijanarka sekarang
juga, Cah Ayu!"
Sreet....! Puting Selaksa segera mencabut
pedangnya tanpa mau bicara lagi. Dalam sekejap
tubuhnya telah melesat bagaikan terbang dengan
cepat dan menyabetkan pedang ke leher Gobang
Garu. Wees...! Traang.. ! Gobang Garu menangkis dengan
mengibaskan gobang besarnya ke arah depan.
Tubuh gemuknya bergeser ke kanan, lalu tangan
kirinya menyentak dengan dua jari mengeras.
Wuuut. .! Claaap. .! Sinar biru bagaikan bintang
pecah menghantam paha Puting Selaksa.
Namun perempuan itu cepat gerakkan pedangnya
yang gagal kenai sasaran itu. Pedang tersebut
menutup pahanya sehingga terhantam oleh sinar
biru tersebut. Blaaarr...! Tubuh Puting Setaksa terlempar dan jatuh
berguling-guling. Gobang Garu masih tetap diam di tempat sambil menertawakan
jatuhnya Puting
Selaksa. "Hah, hah, hah, hah...! Sudah kubilang, kau tak akan mampu melumpuhkan diriku,
Wanita Keramat!
Percuma saja kau lakukan unjuk rasa bela pati di
depan pemuda itu, rohnya nanti justru akan mencibir kebodohanmu!"
Gobang Garu melangkah dekati Suto, sementara
Puting Selaksa berhasil bangkit kembali dengan
pedang siap menyerang.
"Apakah pemuda ini kekasihmu"! Oh, kalau
begitu tak perlu terlalu lama ia menderita luka itu.
Sebaiknya biar gobangku yang mencabut nyawanya
sekarang juga. Heaaah...!!"
Wuuut, brrus...! Traaang...!
Puting Selaksa menerjang Gobang Garu sewaktu
senjata besar itu diangkat dan ingin dihantamkan ke kepala Suto. Senjata
tersebut sempat tertahan oleh pedangnya Puting Selaksa, jika tidak pasti akan
membuat kepala Suto terbelah menjadi dua bagian.
Ketika pedang berhasil menahan gobang besar
itu, kaki Puting Selaksa menjejak mulut si Gobang Garu. Prrook...!
"Oouhf...!" Gobang Garu hanya terayun ke belakang, tapi kedua kakinya tetap
menapak di tempat, ia bagaikan pilar yang sukar ditumbangkan.
Bahkan kini senjatanya yang tersentak ke belakang karena tangkisan pedang tadi
segera berkelebat
dalam satu putaran dan langsung menyambar dalam
gerakan memotong dada Puting Selaksa. Wuuung...!
Senjata besar yang menyeramkan itu tak sempat
kenai dada Puting Selaksa, karena saat di udara,
kaki Puting Selaksa berhasil menjejak batang pohon yang menaungi Suto itu.
Jejakan kaki tersebut
membuat tubuh Puting Selaksa melejit balik dalam
gerakan bersalto. Jika tidak lakukan salto balik, maka senjata besar itu akan
memotong tubuh Puting Selaksa secara menyedihkan.
Pendekar Mabuk masih bisa melihat adegan itu.
Dalam hatinya ia hanya bisa berucap, "Selamat, selamat, selamat.... Moga-moga
aku dan Puting Selaksa selamat dari ancaman maut orang mirip
celengan Semar ini!"
Jleeg...! Puting Selaksa tiba di samping Gobang
Garu. Tapi kaki orang gemuk itu segera diangkat dan menendang ke samping.
Beet. .! Dees. .!
Puting Selaksa menahan tendangan kaki itu
dengan lengan kiri diangkat ke atas. Pada saat
itulah pedangnya berkelebat cepat sekali.
Wees, craas...!
"Aahhrrrk...!"
Gobang Garu mendelik, kini tubuhnya oleng ke
belakang. Lehernya koyak lebar karena terkena
sabetan pedang Puting Selaksa. Seketika itu pula
tubuh Gobang Garu menjadi merah seperti kepiting
rebus, karena pedang Puting Selaksa dilapisi racun yang mampu membakar kulit
tubuh manusia secara
cepat. Cras, cras...! Puting Selaksa kembali tebaskan pedangnya dari
atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dua tebasan itu membuat dada Gobang Garu
robek dan perutnya
pun jebol. Akhirnya orang gemuk itu tumbang tanpa ampun lagi. Tubuhnya semakin
merah bagai habis
direbus sampai matang, dan luka tebasan pedang
itu mengeluarkan busa-busa kuning. Gobang Garu
akhirnya diam, cuek terhadap apa saja yang
dilakukan lawannya, karena ia sudah tidak bernyawa lagi.
Darah berlumuran di pedang Puting Selaksa. Tapi
dalam beberapa kejap darah itu menguap dan hilang tanpa bekas. Pedang itu
menjadi putih bersih
berkilauan seperti tak pernah dipakai untuk melukai lawan mana pun. Pendekar
Mabuk sempat memperhatikan hal itu dan berkata dalam hatinya,
"Pedang yang bagus! Tak kusangka pedang itu
mempunyai keajaiban seperti itu! Hanya saja. . ouh, tubuhku sendiri bagai
semakin dibakar dengan bara api yang membuat bagian dalam tubuhku sepertinya
telah menjadi arang. Tuakku, oh. . tuakku tumpah
semua, Mudah-mudahan masih ada sisa sedikit saja
dan Puting Selaksa menuangkannya ke mulutku.. "
Puting Selaksa masih berwajah ganas,
menyeramkan. Mayat lawannya dipandangi bagai
tiada habis kebenciannya. Napasnya tampak
memburu seakan ingin lampiaskan sisa murkanya
kepada mayat itu.
Namun ketika ia melirik ke arah Suto,
ketegangan di wajahnya segera berkurang, la buruburu hampiri Pendekar Mabuk dan memeriksa luka
di dada kanannya.
"Celaka! Luka ini akan semakin parah kalau tidak segera terobati!" ujarnya dalam
suara menggeram.
"Bertahanlah, Suto! Bertahanlah...!"
Suto Sinting sempat rasakan jengkel dalam
hatinya, karena ia tak bisa berkata apa-apa. Padahal ia ingin mengatakan bahwa
luka itu bisa diatasi
dengan meneguk sisa tuak dari dalam bumbungnya.
Namun harapan itu sangat sia-sia. Puting Selaksa memang mengambil bumbung tuak
dan tutupnya, tapi bumbung itu justru ditenteng agak miring ke
bawah sehingga sisa tuak mengucur habis
membasahi tanah.
"Oooh. . perempuan bodoh yang malang. Untung aku dalam keadaan tak berdaya
begini, kalau aku
masih bisa bergerak sedikit saja kulempar kepalamu pakai batu yang mengganjal
pantatku ini! Tuak
tinggal sedikit malah dibiarkan tumpah semua.
Dasar perempuan goblok!" omel Suto Sinting dalam hati dengan pandangan mata
makin lama semakin
buram. "Aduh, mataku sudah mulai tak bisa melihat. Aku akan buta, karena sekarang pun
apa yang kulihat
serba remang-remang," keluh Suto Sinting, tanpa menyadari bahwa saat itu memang
matahari sudah mulai tenggelam dan petang akan tiba. Walau tak
terluka pun alam sekitarnya memang menjadi
remang-remang. "Aku harus segera menyelamatkannya! Ooh,
tubuhnya terasa sedingin es. Celaka! Kelihatannya jika terlambat sedikit saja
dia akan kehilangan
nyawanya," ujar Puting Selaksa dalam hati, "Harus kubawa ke mana dia" Hmmm. .
sebaiknya kubawa
ke desa itu lagi. Kelihatannya dia akrab dengan si..
pemilik kedai. Mudah-mudahan si pemilik kedai bisa carikan obat untuk
menyelamatkan nyawanya!"
Dengan menggunakan tenaga dalam tersendiri,
Puting Selaksa akhirnya memanggul tubuh kekar
Pendekar Mabuk itu. Bumbung tuak ditenteng di
tangan kiri, pedang diselipkan di pinggang, pundak kanan memanggul tubuh Suto,
perempuan itu pun
segera melesat menuju ke desa tempat Ki Pulasoma
buka kedai itu. Dengan pergunakan tenaga peringan tubuh, Puting Selaksa berlari
cepat bagai berpacu dengan datangnya malam.
Ki Pulasoma terkejut melihat Puting Selaksa
memanggul tubuh kekar Pendekar Mabuk. Bahkan
si pemilik kedai itu sempat gugup melihat Suto
dalam keadaan sepucat mayat. Para tamu yang
sedang makan di kedai itu ikut menjadi tegang dan segera memberi bantuan
sebisanya, sebab mereka
telah merasa ditolong oleh Pendekar Mabuk dari
keonaran orang-orang Pulau Bonang tadi siang.
"Genduk!" panggil Ki Pulasoma kepada anak
gadisnya. "Cepat bantu Nona ini mempersiapkan kamar untuk merawat Suto!"
Ki Pulasoma telah mengenal nama Suto Sinting
dan tahu persis bahwa Suto adalah si Pendekar
Mabuk, karena malam sebelumnya mereka ngobrol
panjang-lebar sampai menjelang fajar. Rupanya Ki
Pulasoma dan orang-orang desa tersebut adalah
penggemar berat Pendekar Mabuk, sehingga
keadaan yang genting itu segera menjadi bahan
pemikiran oleh mereka.
Kamar sewaan khusus untuk tamu terhormat
diberikan oleh Ki Pulasoma sebagai tempat merawat Pendekar Mabuk. Malam
sebelumnya, Suto tidak
tidur di kamar tersebut, karena kamar itu memang
disediakan untuk disewa oleh para bangsawan atau
saudagar kaya. Kamar itu lebih besar, lebih bersih dan lebih rapi dari kamarkamar sewaan lainnya.
"Adakah seorang tabib di desa ini, Ki?" tanya Puting Selaksa.
"Hmmm,.. eeh... tidak ada, tapi kalau dukun bayi, ada."
"Dukun bayi"! Untuk apa" Kau pikir Suto mau
melahirkan"!" sentak Puting Selaksa seakan tak suka jika luka-luka Suto
diremehkan, padahal Ki
Pulasoma tidak bermaksud meremehkan keadaan
Suto Sinting. Beberapa saran dari penduduk desa dicoba untuk
obati luka Pendekar Mabuk. Namun tubuh pemuda
itu semakin dingin, wajahnya semakin pucat, helaan
napasnya kian pelan, nyaris tidak bernapas lagi. Hal ini sangat menegangkan
Puting Setaksa. "Dia tak boleh mati! Aku tak mau kalau dia sampai mati!
Ooh. . apa yang harus kulakukan jika begini"!" gusar Puting Selaksa di dalam
kamar itu. "Sudah kucoba salurkan hawa murniku, tapi tak membawa hasil
sedikit pun. Atau. . haruskah kucurahkan semua
kekuatan hawa murniku ke dalam tubuhnya"!"
Pendekar Mabuk dibaringkan agak miring ke kiri
dengan menggunakan bantal sebagai pengganjal, ia
berada di atas ranjang berkasur yang biasa dipakai tidur para bangsawan atau
saudagar kaya. Baju
coklatnya sudah dilepaskan oleh Puting Selaksa,
beberapa ramuan tumbuk telah diborehkan di
sekitar luka. Tapi ramuan itu tak membuat luka
mengalami pengeringan. Bahkan lubang luka itu
makin lama tampak semakin membesar.
Puting Selaksa sangat cemas dan baru kali ini dia merasa tegang menghadapi luka
seseorang. Sampai
larut malam, ia tak bisa tidur dan sebentar-sebentar memeriksa denyut nadi Suto.


Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Denyut itu dirasakan
kian pelan. Puting Selaksa benar-benar tersiksa
batinnya; cemas, tegang, jengkel, geram, semuanya bercampur menjadi satu dalam
kebingungan yang
menyesakkan pernapasannya sendiri.
Ki Pulasoma juga ikut gelisah dan sangat prihatin melihat keadaan Suto.
"Seorang tetangga kami sedang pergi ke Lembah Tirta untuk memanggil seorang
tabib ahli racun,"
kata Ki Pulasoma.
"Bagus! Kapan tabib itu bisa dibawa kemari?"
"Hmmm. . perjalanan ke Lembah Tirta pulang
pergi memakan waktu dua hari."
"Celaka! Dua hari bukan waktu yang tepat untuk menyelamatkannya, Ki!"
"Tapi setidaknya kita sudah berusaha sekuat
tenaga, Nona!"
Anak gadis Ki Pulasoma muncul, "Pak, bumbung tuaknya Kang Suto sudah kuisi penuh
tuak. Sebaiknya simpan saja di kamar ini kalau sewaktuwaktu Kang Suto kepingin minum tinggal nyedot!"
"Nyedot bagaimana" Bernapas saja susah kok
memikirkan minumnya segala!" gerutu Ki Pulasoma.
"Sana taruh di dekat rak piring saja!"
"Tunggu!" sergah Puting Selaksa, ia segera meraih bumbung tuak dari tangan anak
gadis Ki Pulasoma. Ingatannya kembali pada saat ia terluka dan meminum tuak dari bumbung
tersebut. "Lukaku cepat sembuh dan lenyap tanpa bekas
secara ajaib begitu menelan tuaknya." Puting Selaksa bicara kepada Ki Pulasoma.
"Tapi. . bukankah menurut cerita Nona tadi tuak mujarab itu telah tumpah semua?"
"Ya, memang begitu. Dan itulah yang kusesali."
"Mungkin., mungkin sekarang dia memang butuh minum untuk membasahi
tenggorokannya.
Sebaiknya dulangkan saja tuak itu pelan-pelan ke
mulutnya, Nona,"
"Hmmm. .," Puting Selaksa manggut-manggut tipis sambil termenung sesaat. Setelah
itu ia meminjam sendok kepada Ki Pulasoma.
"Coba pinjam sendoknya!"
Malam dibiarkan merayap terus. Kedai pun tutup.
Puting Selaksa menyendok tuak dari dalam
bumbung bambu itu. Untung keadaan tuak telah
penuh sehingga mudah diambil dengan sendok
kayu. Tuak tersebut didulangkan ke mulut Suto
pelan-pelan. Mulut itu sedikit menganga karena ikut digunakan untuk bernapas.
Sedikit demi sedikit tuak itu masuk ke
tenggorokan dan tertelan. Hanya empat sendok yang dituangkan ke mulut Suto, itu
pun memakan waktu
cukup lama, karena tuak tersebut masuk ke
tenggorokan bagaikan setetes demi setetes.
"Mengapa aku mau melakukan begini segala"!"
pikir Puting Selaksa, merasa heran atas apa yang
dilakukan terhadap Suto, sebab selama ini ia tak pernah bersikap seperti itu
terhadap pria mana pun, bahkan terhadap kekasihnya yang dulu menggores
di hati. "Aku gelisah sekali memikirkannya. Seharusnya tak perlu kupikirkan nasibnya ini!
Aah. . sebaiknya kutinggal mandi dulu, biar badanku segar dan
kegelisahanku berkurang. Aku penat sekali!" keluh batin Puting Selaksa. Tak
peduli malam berudara
dingin, perempuan itu tetap mengguyur tubuhnya
sebagai cara mengusir kelelahan yang sering
dilakukannya selama ini.
Beberapa saat selesai mandi, badan memang
terasa segar dan kelelahan pun berkurang. Puting
Selaksa segera masuk ke kamar.
"Ooh. ."!" mata perempuan itu mendelik, karena Suto Sinting tidak ada di
pembaringan. Wajah pun
menegang dan jantung berdetak-detak membuat
darah bagai mulai mendidih.
"Ke mana dia"!" geram hati Puting Selaksa diburu kepanikan.
la bergegas turun dari lantai atas, menggedorgedor kamar Ki Pulasoma. Tapi sebelum pintu
digedor, telinga perempuan itu menangkap suara
langkah di loteng. la bergegas ke loteng kembali.
Jalanan depan kamar-kamar tampak sepi, karena
memang malam itu yang bermalam di situ hanya
mereka berdua. Tak ada tamu lain.
Dengan mata melirik penuh waspada, Puting
Selaksa dekati kamarnya kembali. Samar-samar ia
mendengar suara hembusan napas memanjang.
Hati Puting Selaksa menjadi semakin tegang. Maka
pintu kamar pun segera dibukanya dengan tangan
kanan siap lepaskan pukulan bertenaga dalam
tinggi. * ** 7 PUTING Selaksa tertegun di depan pintu melihat
sosok kekar tanpa baju sedang meletakkan
bumbung tuak pertanda habis menenggak isi
bumbung itu. Mata tajam perempuan itu tak
berkedip pandangi wajah tampan yang kini
menatapnya dalam senyum.
"Aku ke kamar mandi di sebelah kamar mandi
yang kau pakai tadi," ujar Suto Sinting dengan suara jelas. Rupanya luka
pendekar tampan itu telah
lenyap tanpa bekas sejak ia menelan tuak dari
bumbungnya. Puting Selaksa tak tahu bahwa tuak
dari mana pun jika sudah masuk ke bumbung tuak
tersebut maka akan mempunyai khasiat
penyembuhan yang sangat ajaib, sehingga tak heran walau hanya setetes dua tetes,
seseorang yang terluka parah akan segera sembuh jika meneguk
tuak tersebut. Ketika Puting Selaksa mandi, proses
penyembuhan luka di tubuh Pendekar Mabuk itu
berjalan dengan cepat. Tubuh Suto Sinting menjadi segar dan seperti tak pernah
terluka apa pun
beberapa saat setelah ia didulang tuak oleh Puting Selaksa.
Melihat keadaan Pendekar Mabuk telah sehat
kembali, Puting Selaksa tampak gembira sekali.
Wajahnya tak setegang tadi. Bahkan di bibirnya ada seulas senyum yang
memancarkan rasa damai dari
dalam hati perempuan itu. Sayangnya senyum dan
keramahan itu hanya sebentar, karena beberapa
kejap kemudian Puting Selaksa mulai menjaga
sikapnya agar tak diremehkan oleh seorang lelaki, sehingga keketusan dan
keangkuhannya terpampang kembali.
"Tuakmu memang dahsyat!" ujarnya bernada datar. "Kusangka kau tadi diculik orang
atau. . " "Memangnya kalau diculik orang kenapa?"
pancing Suto Sinting dengan senyum tipis menawan.
Puting Selaksa tak membalas senyuman itu.
"Lain kali jangan membuatku menjadi tegang
seperti tadi."
"Aku hanya ikut-ikutan mandi karena badanku
lengket sekali."
Puting Selaksa percaya dengan pengakuan itu,
karena di tubuh Suto masih tampak butiran air yang belum terhapus oleh baju
coklatnya sebagai ganti
handuk. Pendekar Mabuk mengguyur tubuhnya agar
memperoleh kesegaran lebih nyaman lagi, namun
rambutnya dibiarkan kering, karena malam hari
terasa tak enak jika harus mencuci rambut segala.
"Terima kasih atas bantuanmu yang membawaku
sampai ke sini. Kalau tidak, dalam waktu beberapa saat lagi nyawaku akan
melayang."
"Ya, aku tahu persis hal itu," jawab Puting Selaksa datar-datar saja. la duduk
di tepian ranjang sambil melepaskan gulungan rambutnya. Kini rambut itu
meriap kering sepanjang punggung.
"Ooh. ."!" gumam Suto Sinting dengan mata
berbinar-binar memandangi Puting Selaksa.
"Ada apa?" tanya Puting Selaksa heran.
"Kau tampak semakin cantik dalam keadaan
rambut diriap begitu."
"Hati-hati bicaramu!" ucapnya bernada
mengancam. Tapi Suto justru melebarkan senyum
dan tak ragu-ragu dalam memandangnya. Puting
Selaksa menggerai-geraikan rambutnya dengan
tangan seakan tak peduli dengan tatapan mata
Pendekar Mabuk.
"Gobang Garu telah kuhabisi. Aku terpaksa
menghabisi nyawanya karena aku tak ingin dikejarkejar oleh orangnya Adipati Wijanarka lagi."
"Ya, aku masih sempat melihat bagaimana kau
bertarung melawannya. Jurus-jurusmu hebat dan
mengagumkan. Hanya saja, apakah setelah Gobang
Garu binasa, berarti kau bebas dari kejaran Adipati Wijanarka?"
"Kurasa masih ada satu orang lagi yang harus dibinasakan. Dia dikenal dengan
nama: Dewa Tumbal. Ilmunya tinggi dan kejam sekali."
"Siapa itu Dewa Tumbal?"
"Penjaga manusia peliharaan Adipati Wijanarka.
Biasanya Dewa Tumbal dikeluarkan jika keadaan
sangat terpaksa. Dengan matinya Gobang Garu, aku
yakin Adipati Wijarnaka akan mengutus Dewa
Tumbal untuk membunuhku."
"Membunuhmu" Mengapa kau yakin dia akan
membunuhmu?"
"Karena dia tak ingin aku diperistri lelaki lain.
Rasa iri dan sirik ada pada jiwa Adipati Wijanarka."
"Tapi apakah dia akan tahu bahwa kaulah orang yang membunuh Gobang Garu?"
"Pasti tahu, karena mayat Gobang Garu menjadi merah. Itulah ciri orang yang
menjadi korban pedangku."
"O, ya. Aku ingat kehebatan pedangmu juga.
Sayang waktu itu aku tak bisa memujimu."
"Aku tak butuh pujian!" ucapnya datar dan tawar sekali.
"Apakah ada pihak lain yang menurutmu
berbahaya bagi keselamatan jiwamu?"
"Tak ada. Jagalawa telah tewas di tangan orang-orang Pulau Boneng. Dua lelaki
lainnya yang juga
ingin memperistriku bukan orang berilmu tinggi. Aku bisa atasi mereka sambil
tidur nyenyak. Tapi Adipati Wijanarka harus kuhadapi dengan sungguh-sungguh.
Orang simpanannya itu yang berbahaya sekali. Jika aku bisa membunuh Dewa Tumbal,
maka kekuatan sang Adipati akan lenyap. Dia tak akan berani
menggangguku lagi. Dewa Tumbal sudah dianggap
manusia paling sakti yang tak mungkin ada yang
bisa mengalahkan, menurut sang Adipati."
"Hmmm. . kalau begitu," Suto berdiri di depan Puting Selaksa yang masih duduk di
tepian ranjang.
". . jika Dewa Tumbal memburumu, biarlah aku yang menghadapinya."
"Tak perlu," jawab Puting Selaksa seperti orang
menggumam. "Aku tak ingin melibatkan dirimu
terlalu jauh dalam perkara ini."
Pendekar Mabuk segera duduk di samping kiri
Puting Selaksa, "Kau sudah melibatkan diriku. Tak mungkin aku berhenti di tengah
jalan. Sekalipun kau melarang, aku akan memaksa!"
Puting Selaksa berpaling pandangi Suto Sinting.
Tatapan matanya yang selalu tajam dan berkesan
angker namun punya nilai kecantikan tersendiri itu membuat hati Suto bergetar
kembali. "Mengapa kau bertekad begitu?" tanya Puting Selaksa. "Kalau kau mati, apa
untungmu" Kalau kau menang, apa pula untungmu?"
Pendekar Mabuk angkat bahu. "Aku tak mencari keuntungan, karena aku bukan
pembunuh sewaan.
Aku hanya ingin membuktikan kebenaran katakatamu tentang Rona Dewaji itu."
"Sebaiknya tak perlu dipercaya lagi. Anggap saja aku tak pernah bercerita
tentang Rona Dewaji. Aku wanita biasa, bukan Wanita Keramat."
"Tapi kau punya keistimewaan."
"Tidak. Aku tidak punya keistimewaan."
"Punya...," jawab Suto tetap ngotot tapi dengan nada lembut, membuat Puting
Selaksa semakin
enggan membuang pandangan matanya ke arah
lain. "Apa keistimewaanku menurutmu?"
Suto tersenyum tipis. "Cantik, berani, galak, dan..."
"Jinak," sahutnya seraya mulai ada senyum yang membayang di sudut bibirnya.
"Apanya yang jinak" Galakmu seperti singa lapar habis ditipu sang kancil!"
"Siapa pun bisa menyentuh hatiku, dia akan bisa menjinakkan keangkuhanku."
"O, begitukah?" Suto melebarkan senyum.
"Bagaimana cara menjinakkanmu?"
"Mengerti pribadiku, mengerti tabiatku, dan
mengerti seleraku."
Makin lama beradu pandang, semakin berdebardebar hati Pendekar Mabuk. Debaran itu
mengandung sejuta bunga indah yang sukar
dilukiskan dengan kata. Tak ada rasa bosan walau
memandang wajah cantik berkesan galak itu selama
sepuluh helaan napas.
Malam yang bisu akhirnya diusik oleh suara lirih
Suto yang terlontar bagai di luar kesadaran.
"Cantik sekali....."
Mata perempuan itu tak berubah, ekspresi
wajahnya pun tetap dingin.
"Kau marah ika kupandang begini?"
"Tidak!" jawabnya pelan sekali, bahkan suara paraunya terdengar jelas.
"Kau. . kau percaya kalau aku mengagumi
kecantikanmu?"
"Tidak...."
"Aku... benar-benar mengagumimu. Sayang sekali kau. . galak," Pendekar Mabuk
tersenyum, tapi
perempuan itu tidak sama sekali. Lalu mereka saling bungkam lagi dengan tetap
saling beradu pandang.
"Kau suka padaku?"
"Tidak," jawab Puting Selaksa semakin lirih.
"Kau tahu aku bergairah sekali melihat bibirmu?"
"Tidak," suara itu lebih pelan dari yang tadi.


Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi.. kau tidak keberatan jika aku mengecup bibirmu?"
Malam hening, kamar menjadi sepi, Puting
Selaksa tak menjawab. Suto menunggu penuh
harap. "Jawablah...," bisik Suto.
"Ti... dak...."
Sii r.. ! Hati Suto berdesir begitu indah mendengar jawaban yang nyaris tak
terdengar itu. Maka ia pun segera menempelkan bibirnya ke bibir Puting
Selaksa. Seeerr.. ! Sekujur tubuh bagai disiram air hangat ketika bibir itu
saling sentuh. Pendekar
Mabuk merenggangkan bibirnya, lalu bibir Puting
Selaksa dipagutnya pelan-pelan. Cuuuup. .! Semakin hangat rasa di sekujur tubuh
Suto pada saat itu.
Sayang sekali perempuan tersebut masih diam
tanpa reaksi apa pun. la hanya memejamkan mata
ketika bibirnya dipagut-pagut buat mainan bibir Suto.
la juga tetap diam tanpa gerakan sedikit pun ketika lidah Suto menyapu permukaan
bibir itu. Namun
ketika lidah Suto mendesak lebih dalam dan bibir itu pun dipagut agak kuat,
perempuan itu mulai
bereaksi kecil, menyodorkan lidahnya agar bertemu dengan lidah Pendekar Mabuk.
Ketika lidah itu dipagut Suto, bendungan
keangkuhan itu tak tertahankan lagi. Puting Selaksa segera membalas kecupan
lembut itu. Bahkan kini
ia melumat bibir Suto dengan ganas. Tangannya
meremas rambut kepala bagian belakang pemuda
itu, seakan ia ingin agar bibir itu lebih lekat lagi dalam lumatannya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba Puting Selaksa
lepaskan kecupan dan menarik kepala ke belakang.
Wuuut.. ! la terengah-engah sambil pandangi Suto
Sinting yang bibirnya masih merekah menandakan
masih ingin dilumat lagi itu.
"Kenapa berhenti"!"
"Kau terlalu berani membakar gairahku," jawab Puting Selaksa.
"Tak bolehkah aku sedikit berani padamu?"
"Kau akan kewalahan nantinya."
"Mengapa harus kewalahan?"
"Tuntutan gairahku akan lebih besar dari
gairahmu."
"Kalau aku merasa sanggup menuruti
keinginanmu, bagaimana?"
Kali ini bola mata yang tepian kelopaknya
berwarna hitam itu bergerak-gerak karena gelisah.
Pendekar Mabuk sengaja tetap memandang dan
mendekatkan wajah pada jarak tetap. Terlalu lama
memandang Suto, Puting Selaksa terlalu rapuh
mempertahankan keinginannya.
Maka dengan cepat ia segera menyambar bibir
Pendekar Mabuk dan melumatnya dengan lebih
ganas dari yang tadi.
Tangan meremas dan gerakan menjalar ke manamana. Pelukannya diperkuat, seakan ia ingin
membuat tubuh Suto agar terbenam dalam
tubuhnya. Punggung Suto yang tidak berbaju itu
menjadi sasaran remasan tangan menahan gejolak
keindahan. Pendekar Mabuk sempat gelagapan ketika
ciuman itu makin memburu, menyapu ke pipi, ke
telinga, dan mengelilingi leher dengan pagutanpagutan hangat.
Pendekar Mabuk tak mau tinggal diam.
Tangannya mulai bergerilya, menelusup ke dalam
belahan baju perempuan itu. Belahan diperlebar,
sehingga tangan semakin bebas. Maka
tertangkaplah apa yang dicari tangan Suto di
permukaan dada Puting Selaksa itu.
Dada berbukit sekat dan membengkak bagai
ingin meledak itu mulai menjadi pusat kenakalan
tangan Suto. "Aaah. .!" Puting Selaksa mendesah pendek, lalu mendesis dengan gemas. la bahkan
menyentakkan bajunya sendiri hingga belahannya terlepas dari ikat pinggang...."
"Ambil. ! Ambil . .!" sentaknya dalam bisik sambil menekan kepala Suto hingga
terbenam di dadanya.
Maka pemuda tampan itu pun menyambar ujungujung bukit dengan kehangatan mulutnya.
"Oouh...! Terus! Terus!" geram Puting Selaksa. la meronta digelitik keindahan.
la mengamuk meremasi tubuh dan rambut Suto. Amukannya tak
sadar telah membuat pembungkus tubuhnya
terlepas, dan ia tak marah ketika tangan Suto
membantu melepaskan seluruhnya.
"Terus! Semuanya, Suto! Semuanya. .!"
perintahnya dengan suara menggeram, lalu napas
pun tersentak-sentak.
Pendekar Mabuk sempat hentikan seluruh
gerakannya sambil matanya memandang lebar ke
bentangan hangat di depannya itu. Puting Selaksa
memandang sayu, bahkan sengaja membuka
segalanya agar menjadi lebih jelas bagi Pendekar
Mabuk. "Gila. ." Kau punya. . kau punya bukit tujuh buah"!" ujar Suto membisik penuh
keheranan. "Sembilan," jawab Puting Selaksa.
Pendekar Mabuk berdebar-debar memperhatikan
bukit-bukit yang berujung menantang itu. Dua bukit paling besar dan montok ada
di dada seperti
lazimnya seorang perempuan. Tapi di samping dua
bukit di dada, ternyata ada lagi dua bukit di pinggang kanan-kiri, hanya saja
tak sebesar yang di dada. Tapi ujungnya tampak jelas sebagai ujung perbukitan
seorang wanita.
Selain di pinggang, ada juga sepasang bukit di
samping perut, tepat pangkal paha kanan-kiri.
Namun hanya tampak sedikit menggunduk dan
berpuncuk kecil. Sedangkan tepat di bawah pusar,
hampir berhimpit dengan pusar, juga ada bukit kecil yang mempunyai ujung
seukuran dengan di dada.
"Luar biasa. ."!" gumam Suto Sinting penuh keheranan.
Puting Selaksa segera tengkurap sambil berkata,
"Dua lagi di sini...."
"Oh, gila. .!!" Suto Sinting hampir terpekik melihat dua bukit di bahu kanankiri, hanya saja tidak
semenonjol yang di dada. Namun mempunyai ujungujung yang sama besarnya dengan yang di dada.
Pendekar Mabuk mencoba mendekati salah satu
bukit yang di bahu kiri, ia menyapunya dengan
kecupan lembut.
"Ooh, teruskan...! Teruskan, Suto!"
"Kau... kau suka?"
"Indah sekali! Teruskan. .!" perintahnya setengah membentak. Maka Suto pun
segera menyambar
kedua bukit di bahu kanan-juri itu secara bergantian.
Ternyata Puting Selaksa merasakan keindahan
seperti saat dadanya dipagut Suto.
Kini Suto diperintahkan menjelajahi kesembilan
bukit itu. Ternyata kesembilan bukit itu mempunyai keindahan yang sama jika
berada dalam pagutan.
"Pantas dia bernama Puting Selaksa. Ternyata memang mempunyai jumlah bukit yang
lebih banyak dari para wanita lainnya," pikir Suto sambil memberikan pagutan dan kecupan
lembut di sekujur
tubuh Puting Selaksa. Perempuan itu mengerang
dan mendesah-desah, karena setiap jengkal
tubuhnya bagaikan menghadirkan; sejuta keindahan
dan kebahagiaan jika disentuh dengan apa pun.
"Terus, Suto...! Terus ke bawah! Ooh... aku suka sekali, Suto! Aoow. .!"
pekiknya dengan ganas ketika Suto mencapai tempat yang dimaksud Puting
Selaksa. Perempuan itu pun tak kuasa menahan diri hingga meliuk dengan ganasnya.
Setelah memekik beberapa kali karena mencapai
puncak keindahan, walau perahu belum berlayar,
perempuan itu pun menarik Suto agar wajah mereka
saling berpadu lagi.
"Aku ingin sekarang, Suto! Oh, sekarang! Harus sekarang! Ayo, Suto! Ayooo.. !" '
Tapi tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh Ki
Pulasoma. Suara Pak Tua itu pun terdengar jelas
hingga menghentikan semua gerakan di atas
ranjang. "Nona Puting Selaksa. . ada tamu yang mencari namamu, Nona!"
"Oh..."!" Puting Selaksa memandang Suto dengan tegang.
"Cepat berkemas!" sentak Puting Selaksa membuat Suto menggeragap dan saling
merapikan diri kembali. "Setan alas!" gerutu Puting Selaksa dengan hati kesal.
Rasa heran Puting Selaksa membuatnya lebih
cepat bergerak daripada Pendekar Mabuk. la segera
menemui Ki Pulasoma di ujung tangga bawah.
"Siapa yang mencariku?"
"Aku belum tanyakah namanya. Tapi dia datang ke desa ini langsung menemui kepala
desa kami, dan ia datang diantar oleh pesuruh lurah kami."
Semakin penasaran sekali Puting Selaksa,
sehingga langkahnya dipercepat tanpa menggubris
seruan Pendekar Mabuk yang sedang
mengencangkan ikat pinggang kain merahnya itu.
Tak lupa Suto pun menyambar bumbung tuaknya
karena ia memang kehausan.
Sambil berjalan menuju ke ruang kedai, ia
menenggak tuak beberapa teguk, sehingga
badannya terasa segar kembali. Pada daat itu ia
melihat Puting Selaksa keluar dari kedai dan bicara di balik pintu kedai.
Pendekar Mabuk mempercepat
langkahnya. Rupanya Puting Selaksa menemui pelayan kepala
desa yang berbadan kurus itu.
"Seorang tamu datang kepada Ki Lurah dan
menanyakan nama Puting Selaksa. Kami tidak tahu
dan tidak merasa punya warga bernama Puting
Selaksa. Setelah dia memberitahukan ciri-cirinya, kami baru ingat bahwa ciriciri itu adalah ciri-cirimu, Nona. Beberapa tetangga memberitahukan bahwa
kau bermalam di sini bersama Pendekar Mabuk.
Maka kucoba untuk membawanya kemari."
"Di mana orang itu sekarang?"
"Itu. . di bawah pohon sana. Beliau menunggu
Nona di sana. Entah mengapa beliau malu untuk
hampiri Nona kemari."
Dalam keremangan cahaya rembulan separo
bagian. Puting Selaksa tak bisa melihat jelas siapa orang yang ada di bawah
pohon seberang kedai itu.
Pendekar Mabuk segera mengusulkan agar mereka
menghampiri orang tersebut. Puting Selaksa pun
akhirnya melangkah ke seberang kedai didampingi
Suto. "Mencurigakan sekali!" gumam Suto lirih. Puting Selaksa mendengar tapi tak
pedulikan gumaman
tersebut, Perhatiannya terpusat ke arah bawah
pohon. Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti setelah
orang yang ada di bawah pohon itu melangkah maju
beberapa kali. Cahaya rembulan yang samar-samar
itu segera menerangi wajah orang tersebut. Puting Selaksa tampak terkejut.
"Celaka!" gumamnya menegang.
"Kenapa?" tanya Suto. "Kau kenal dengannya?"
"Dia yang bernama Dewa Tumbal!"
"Ooh, dia. ."!" Suto tampak tenang. Tapi Puting Selaksa sempat cemas dan
kebingungan. "Pedangku kutinggal di kamar!"
"Tenang saja. Biar kuhadapi dia!"
Orang berpakaian serba hitam dengan tepian
putih itu semakin dekat dengan mereka.
Penampilannya sangat tenang. Wajahnya tak
berkesan angker. Usianya sekitar empat puluh
tahun. la bertubuh tinggi, tegap, sebaya dengan
Pendekar Mabuk. Di pinggangnya terselip sebilah
pedang perak yang memantulkan cahaya matahari.
"Maaf mengganggumu, Puting Selaksa," ujar si Dewa Tumbal dengan nada dingin.
"Kuikuti kepergian Gobang Garu setelah kudengar gurumu
sedang mencarimu. Tapi aku terlambat. Kutemukan
ia telah menjadi mayat dalam keadaan tubuhnya
merah matang. Kukenali kematian seperti itu adalah kematian di ujung pedangmu.
Maka kucari tempat
terdekat di sekitar sini. Kutemukan desa ini dan
kutanyakan kepada lurah di sini, ooh. . ternyata
dugaanku tak meleset. Kau ada di desa ini bersama oh, siapa dia, Puting
Selaksa?" Tutur kata yang lembut itu seolah-olah tidak
menampakkan sikap permusuhan. Tetapi Puting
Selaksa dan Pendekar Mabuk sudah dapat menduga
apa akhir dari tutur kata yang lembut itu. Karenanya, Puting Selaksa segera
ajukan tanya bernada ketus.
"Singkatnya saja, apa maksudmu mencariku,
Dewa Tumbal?"
"Adipati Wijanarka sudah tak sabar dengan cara kerja di Gobang Garu. Sang
Adipati segera mengutusku untuk mencarimu dan membawanya
pulang ke kadipaten. Tapi sang Adipati juga
memberi wewenang padaku, jika kau menolak aku
boleh membunuhmu! Maka sekarang terserah
pilihanmu; ikut ke kadipaten, atau pergi ke neraka bersama pemuda itu"!"
Hati Suto Sinting bagai dibakar sembilan obor
saat dirinya dituding oleh Dewa Tumbal. Tanpa basa-basi lagi akhirnya Suto pun
berkata kepada Dewa
Tumbal. "Kau dan seluruh prajurit kadipaten, termasuk sang Adipati sendiri, sebaiknya
maju bersama untuk merebut Puting Selaksa ini! Karena jika aku belum menjadi
bangkai, kalian tak akan sanggup memaksa
Puting Selaksa untuk menjadi istri sang Adipati itu!"
"Oh, kau telah membuka arena pertarungan
denganku, Anak Muda! Jika begitu, kuperkenalkan
lebih dulu jurus pembukaanku ini!"
Dewa Tumbal hentakkan kakinya ke tanah


Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pelan. Duuuhk!
Weees. .! Pendekar Mabuk terlempar ke atas,
meluncur dengan cepat bagai ingin menembus
langit. Puting Selaksa terperanjat dan segera
lepaskan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Dewa
Tumbal. Wuuut...! Baaaahk...!
Dewa Tumbal mengadu pukulan tenaga dalamnya
yang tanpa sinar. Gelombang padat yang dikirimkan Puting Selaksa justru membalik
arah dan menerjang tubuh perempuan itu sendiri. Buuhk...! Weeers...!
Brrruk...! Puting Selaksa terjungkal lima langkah ke
belakang. "Huuahk. .!" Puting Selaksa memuntahkan darah segar.
Pada saat itu Suto dalam keadaan turun dari
ketinggian terbangnya. Tapi ia telah mampu
menjaga keseimbangan tubuhnya, sehingga ia dapat
mendaratkan kakinya ke tanah dengan baik, bahkan
tanpa suara. Seet...! "Cukup lumayan juga jurus perkenalanmu," ujar Suto Sinting dengan tenang. Tapi
Dewa Tumbal terkesip memandang Suto mampu daratkan kakinya
tanpa suara. la tahu hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah kuasai
ilmu peringan tubuh
cukup tinggi. "Bagaimana dengan jurus perkenalanku ini?" kata Suto, lalu ia menghentakkan
kakinya ke tanah
dengan pelan juga. Duuuhk. .!
Brruuuusss...! Dewa Tumbal amblas ke bumi akibat kekuatan
jurus 'Telan Bumi'-nya Pendekar Mabuk. Orang
berjubah hitam itu sempat menggeragap karena
tubuhnya terbenam di tanah sampai batas dada.
Sebelum ia lakukan sesuatu, Pendekar Mabuk
sentakkan kakinya lagi ke tanah. Duuuhk...!
Brrruuusss...! "Oohk. .!" Dewa Tumbal terbenam seluruh tubuhnya bagai ada yang menarik dari
dasar bumi. Permukaan tanah pun menjadi rata kembali, walau
tak serata semula.
Puting Selaksa memandang kagum walau ia
harus menahan rasa sakit di dadanya. Pendekar
Mabuk tersenyum kepada Puting Selaksa. Tapi
senyum itu hilang setelah tiba-tiba Dewa Tumbal
melesat dari dalam tanah, menjebol permukaan
tanah yang menjadi rata itu. Bruuul l...! Brrrus...!
Tubuh itu melayang cepat di udara bersama tanah
yang berhamburan. Kemudian ketika ia bersalto satu kali, sebuah pukulan
bercahaya merah dilepaskan
dari tangannya. Claaap. .!
Cahaya itu berbentuk bintang berekor yang segera
menerjang Suto. Dengan cepat bumbung tuak
dihantamkan ke arah cahaya merah tersebut.
Blegaaaarrr..! Ledakan dahsyat membangunkan penduduk
desa, karena rumah-rumah bergetar, genteng
merosot, dan beberapa tanaman pun terguncang
karena bumi menjadi bergetar menerima gelombang
ledakan tadi. Sreet. .! Dewa Tumbal mencabut pedangnya.
Wees. .! la melesat bagaikan kilat menerjang
Pendekar Mabuk. Trang, trang.. ! Pedang pun beradu dengan bumbung tuak. Percikan
bunga api menyebar ke mana-mana.
Pada mulanya Pendekar Mabuk mampu hindari
tebasan pedang Dewa Tumbal dengan jurus
mabuknya yang menggeloyor ke sana-sini bagai mau
tumbang. Tapi kejap berikut, Dewa Tumbal
pergunakan jurus pedang andalannya yang
kecepatannya seperti pusaran arus angin.
Wut, wut, wut, wut, wut.. !
Pendekar Mabuk sempat kewalahan hindari
pedang yang kecepatannya tak bisa dilihat mata itu.
Bahkan Dewa Tumbal bagaikan hilang dari
pandangan mata siapa saja. Akibatnya, Pendekar
Mabuk terpaksa keluar dari lingkaran gerak si Dewa Tumbal itu dengan pergunakan
jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...! Cras, cras...! "Aaahk....!"Pendekar Mabuk terpekik, tahu-tahu tubuhnya muncul dalam keadaan
dada terbelah dan
lengannya luka. Darah mengucur dari kedua luka itu.
Pendekar Mabuk benar-benar sempoyongan
menahan luka yang amat berbahaya itu. Sedangkan
Dewa Tumbal masih mengitari tempat tadi, karena
ia tak melihat Pendekar Mabuk sudi pergi dari
tempat tersebut,
"Suto...! Tuak! Lekas minum tuak!" seru Puting Selaksa sambil berlari
menghampiri Suto Sinting. la tampak cemas sekali.
Keadaan Dewa Tumbal yang masih memutari
tempat tersebut sambil menebaskan pedangnya itu
dipergunakan Suto untuk meneguk tuaknya
beberapa kali. Dengan begitu, luka tersebut cepat menjadi rapat dan rasa
sakitnya pun lenyap.
"Bangsat!" teriak Dewa Tumbal setelah menyadari dirinya kecele dan memandang
Suto sudah berada
di tempat jauh. Maka Dewa Tumbal pun menjadi
berang dan melesat bagaikan terbang ke arah
Pendekar Mabuk.
"Heaaaat...!
"Keparat kudis orang ini!" geram Suto Sinting, akhirnya ia melepaskan jurus yang
tak bisa ditangkis dan dihindari oleh lawan mana pun. Jurus 'Yuda'
pemberian calon ibu mertuanya: Ratu Kartika Wangi itu dilepaskan untuk
mengakhiri pertarungannya
dengan Dewa Tumbal.
Clap, clap, clap, clap. .! Dari tangan Suto
keluarkan sinar cahaya perak dalam bentuk bintang segi lima. Sinar itu melesat
cepat dan jumlahnya
lebih dari sepuluh bintang perak. Sinar tersebut
menerjang Dewa Tumbal dan gerakan Dewa Tumbal
terhenti seketika.
Juuurrrb...! Jreeeg....! la diam mematung dalam keadaan mengangkat
pedangnya. Sampai lama sekali Dewa Tumbal tak
bergerak. Puting Selaksa melihat jelas sinar perak berbentuk bintang segi lima
itu menghantam kuat
dada Dewa Tumbal.
Pada saat itu, seluruh luka Pendekar Mabuk telah
lenyap dan keadaannya pulih seperti sediakala. la segera menenggak tuak lagi.
Setelah itu hampiri
Puting Selaksa yang tertegun bengong pandangi
Dewa Tumbal yang tak bergerak lagi.
"Sudah selesai sekarang. .," ujar Suto dalam bisikan.
"Tapi.. tapi Dewa Tumbal belum tumbang dan
agaknya ia sedang menahan rasa sakitnya akibat
sinar perakmu tadi."
"Sebentar lagi tumbak!" kata Suto Sinting dengan kalem.
Sebelum Puting Selaksa ajukan tanya lagi, tibatiba matanya menjadi terbelalak karena melihat
Dewa Tumbal mengalami keanehan. Satu persatu
anggota tubuhnya berjatuhan. Setiap ruas tulang,
setiap persendian, terlepas, dan saling berjatuhan ke tanah, sampai akhirnya
lengannya jatuh sendiri ke tanah. Disusul kemudian kepala si Dewa Tumbal
menggelinding bagai bola, dan paling akhir adalah sendi lututnya terlepas dan
robohlah si Dewa Tumbal dalam keadaan terpotong-potong setiap
persendiannya. "Luar biasa.. !" gumam Puting Selaksa dengan nada mendesah penuh kekaguman.
Dengan demikian, maka lega sudah hati Puting
Selaksa, karena tak ada lagi yang ditakuti yang akan mengejar-ngejarnya dalam
urusan perkawinan.
Puting Selaksa kini sunggingkan senyum kepada
Suto Sinting dengan disinari cahaya rembulan pucat.
Namun senyum itu tetap tampak indah dan
mendebarkan hati Pendekar Mabuk.
"Apa lagi yang harus kulakukan untukmu?" tanya Suttfl
"Melanjutkan pelayaran cinta kita yang tertunda tadi?"
"Oh, jangan! Sebaiknya jangan lakukan demi
Rona Dewaji yang ada padamu agar tak hilang. Itu
keberuntunganmu selama tujuh turunan lebih!
Jangan sia-siakan dengan pencemaran cinta seperti tadi."
Puting Selaksa akhirnya hanya bisa tarik napas
panjang-panjang.
"Sebaiknya malam ini kita istirahat saja. Esok kita cari gurumu dan si Manggar
Jingga!" "Terima kasih atas ketulusanmu!" ucap Puting Selaksa sambil memeluk Suto dalam
siraman cahaya rembulan.
Dua hari kemudian, mereka bertemu dengan Resi
Parangkara dan Manggar Jingga dalam sebuah
perjalanan menuju Teluk Sendu. Ketika Suto
menanyakan tentang Rona Dewaji kepada Resi
Parangkara, sang Resi pun menganggukkan kepala
dan menjawab dalam bisikan.
"Memang benar. Karena itulah aku mencaricarinya, karena aku tahu ada beberapa orang yang
mengincar Puting Selaksa. Perlu kau ketahui, Nak....
Rona Dewaji hanya akan turun pada orang-orang
yang mempunyai kelainan dalam tubuhnya.
Misalnya, berjari sebelas, berpusar dua, atau.,. "
"Termasuk berpayudara sembilan. ."!"
Resi Parangkara terkejut dan matanya terbelalak.
"Kalau begitu kau telah. . "
"Hanya sebatas mandi saja, Eyang Resi.
Percayalah, Rona Dewaji masih ada dalam diri
Puting Selaksa alias si Wanita Keramat itu!"
Resi Parangkara menghempaskan napas lega.
Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara sambil
lemparkan pandangan ke arah lain.
SELESAI Segera terbit!!!
PERAWAN SINTING
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Pedang Kayu Harum 21 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 5

Cari Blog Ini