Ceritasilat Novel Online

Gendruwo Rimba Dandara 2

Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara Bagian 2


tangannya perlahan. "Sebaiknya sekarang kita lihat keadaan Ki Parwana. Mudahmudahan beliau sudah bangun...."
Kendari keduanya sadar Panji sengaja mengalihkan pembicaraan, tapi mereka
sedikit pun tidak membantah. Keduanya mengayun langkah mengikuti Panji dan
Kenanga yang membawa mereka ke kamar Ki Parwana.
Ki Parwana tengah duduk termenung di atas pembaringan. Berturut-turut masuklah
Panji, Kenanga, dan kedua murid lelaki tua itu setelah mengetuk pintu perlahan.
Kedatangan mereka tidak membuat Ki Parwana bangkit. Sepasang matanya tetap
mengawasi pemandangan di luar jendela kamar.
"Guru...."
Kaliawang dan Balitang segera menjatuhkan diri berlutut di bawah pembaringan Ki
Parwana. Suara itu rupanya sanggup menyadarkan Ki Parwana kembali ke alam nyata.
Sepasang matanya beralih pada dua lelaki yang masih berlutut di bawah kakinya.
Sementara Panji dan Kenanga berdiri memperhatikan sikap orang tua itu. Mereka
ingin melihat tanggapan Ki Parwana. Pada hari-hari kemarin, orang tua itu hanya
memandang kosong pada Kaliawang dan Balitang. Tapi, kali ini tampaknya ada
perubahan. Kening lelaki tua itu berkerut. Seolah tengah mengerahkan ingatannya
untuk mengenali kedua lelaki itu.
"Kalian siapa...?"
Sebuah pertanyaan bodoh meluncur dari mulut Ki Parwana. Kendati belum bisa
mengenali kedua orang muridnya, tapi suara itu jelas merupakan tanggapan atas
sikap Kaliawang dan Balitang. Panji dan Kenanga saling berpandangan dan bertukar
senyum. "Ki Parwana," ujar Panji mengerahkan kekuatan batinnya. Suaranya terdengar penuh
perbawa dan menelusup ke dalam jaringan otak lelaki tua itu, membuat Ki Parwana
mengangkat kepala.
"Perhatikan baik-baik. Mereka adalah kedua muridmu yang setia dan penuh tanggung
jawab...!" kembali suara Panji bergema menggetarkan sekujur tubuh Ki Parwana
untuk beberapa saat. Hal itu hanya diketahui Panji dan Kenanga.
"Mereka murid-muridku...?" desis Ki Parwana. Kerut di keningnya semakin terlihat
nyata. Pandangan matanya beralih ke bawah setelah bertatapan dengan sepasang
mata Panji yang mengandung kekuatan gaib.
"Katakan, Ki Parwana! Apakah sekarang kau bisa mengenali mereka?"
Ki Parwana kembali menoleh ke arah Panji. Lalu kembali memperhatikan Kaliawang
dan Balitang yang menengadah agar mudah dikenali lelaki tua itu.
"Ya. Mereka memang murid-muridku. Tapi, aku tidak tahu siapa mereka...," ujar Ki
Parwana perlahan, mirip keluhan putus asa. Kemudian lelaki tua itu meremas
rambutnya dengan jari-jari tangan bergetar. Sepertinya ia merasa kecewa karena
tidak bisa mengenali kedua muridnya.
Melihat sikap Ki Parwana, Panji segera bertindak cepat. Ia tahu orang tua itu
belum mampu mengingat dengan baik. Jika dipaksakan bisa-bisa pecah pembuluh
darah di kepala lelaki tua itu.
"Tubuhmu masih lelah, Ki Parwana! Sebaiknya kau beristirahat. Jangan paksa
dirimu...!"
Kendati Panji tidak mempelajari atau memiliki ilmu sihir, namun dengan kekuatan
batinnya yang terlatih baik ia sanggup membuat suaranya berpengaruh kalau memang
dikehendaki. Itu terbukti dari sikap yang diperlihatkan Ki Parwana.
"Aku sangat lelah.... Aku ingin istirahat...," ujar Ki Parwana seraya merebahkan
tubuhnya di pembaringan. Sepasang matanya mengerjap berkali-kali seperti orang
yang sangat kelelahan.
"Minumlah obat ini, Ki Parwana! Setelah bangun nanti, kau akan ingat segalanya
dengan baik...!" ujar Panji tetap menggunakan kekuatan batinnya sambil
menyerahkan sebutir pil kepada orang tua itu, yang langsung menelannya tanpa
membantah. "Aku akan ingat segalanya..... Ya, aku akan ingat segalanya setelah terbangun
nanti...."
Sambil memejamkan matanya, setelah menelan pil pemberian Panji, Ki Parwana
mengulang kata-kata yang diucapkah Panji. Sampai akhirnya lelaki tua itu jatuh
tertidur. "Mari kita pergi agar istirahatnya tidak terganggu. Mudah-mudahan ia akan
memperlihatkan kemajuan setelah terbangun nanti...," Panji mengajak Kenanga dan
kedua murid Ki Parwana untuk meninggalkan tempat itu.
"Kelihatannya beliau hampir sembuh, Panji...," bisik Kaliawang gembira, meski Ki
Parwana baru mengingatnya sebagai murid tanpa menyebut nama mereka.
Tapi itu sudah mendatangkan harapan bagi mereka untuk melihat bagaimana gurunya
sembuh seperti semula.
*** Hari yang dinantikan murid-murid Perguruan Kepalan Sakti pun tiba juga.
Pengobatan yang dilakukan Panji membawa hasil yang menggembirakan Ki Parwana
sembuh dari kegilaannya, meski terkadang masih suka termenung dan lebih senang
menyendiri. Kesembuhan Ki Parwana membuat murid-muridnya gembira.
Ki Parwana duduk di kursi bergagang gading di ruangan depan yang terbuka. Di
kiri-kanan lelaki tua itu duduk Panji dan Kenanga. Sedangkan beberapa langkah di
depan Ki Parwana terlihat Kaliawang dan Balitang duduk bersila dengan wajah
cerah. Sepasang mata kedua lelaki itu berkilat menggambarkan kegembiraan yang
sangat. "Murid-muridku sekalian...!" ujar Ki Parwana mengedarkan pandangannya ke arah
belasan murid yang berdiri di halaman depan, tempat beriatih silat "Aku berharap
kalian mau memaafkan perbuatanku yang telah membantai kawan-kawan kalian...,"
ucap Ki Parwana terhenti, seperti menunggu tanggapan.
"Guru...." Kaliawang merangkap kedua tangannya dengan sikap penuh hormat
"Kami semua tidak menyalahkan Guru. Sebab kami sadar perbuatan Guru dilakukan
karena pengaruh sihir, seperti yang dikatakan Panji dan Kenanga. Jadi, Guru
tidak perlu meminta maaf kepada kami. Kami tetap setia dan hormat kepada
Guru...." Ki Parwana tersenyum tipis mendengar ucapan Kaliawang yang mewakili suara hati
murid-murid lainnya. Hati orang tua itu merasa lega, kendati masih kelihatan
agak lemah. Kesehatannya memang belum pulih sepenuhnya. Hal itu tentu saja tidak terlalu
mengkhawatirkan. Untuk memulihkan tenaganya, Ki Parwana hanya tinggal
memperbanyak semadi. Setelah itu, tidak ada persoalan lagi.
"Terima kasih...," Ki Parwana memandang wajah murid-muridnya yang tinggal tujuh
belas orang. "Perlu kalian ketahui, semua ini berkat pertolongan seorang
pendekar muda yang duduk di sebelah kananku. Apakah kalian sudah mengenal pemuda
ini...?" Tujuh belas murid Ki Parwana menganggukkan kepala. Mereka memang telah mengenal
pemuda yang bernama Panji itu. Kaliawang dan Balitang pun ikut mengangguk
mendengar pertanyaan gunanya.
"Tidak. Kalian belum mengenal siapa sebenarnya pemuda perkasa ini," lajut Ki
Parwana, membuat murid-muridnya mengerutkan kening. Khawatir orang tua itu
kembali tidak bisa mengingat dengan baik.
"Guru...!" Kaliawang yang terlihat cemas buru-buru memanggil lelaki tua itu,
seperti hendak membawanya kembali ke alam sadar.
"Kau tidak periu cemas, Kaliawang. Yang akan kukatakan pasti akan membuat kalian
terbelalak!"
Ki Parwana terkekeh hingga murid-muridnya khawatir, dan memandang Panji yang
menggeleng-gelengkan kepala mencegah ucapan Ki Parwana. Panji tahu apa yang
dimaksud orang tua itu.
Gelengan kepala Panji ternyata ditanggapi lain oleh murid-murid Ki Parwana,
termasuk Kaliawang dan Balitang. Mereka mengira Panji merasa tidak sanggup lagi
mengobati guru mereka. Dan menganggap gelengan pemuda itu sebagai ungkapan
keputusasaan-nya.
"Dengarlah, Murid-muridku! Pemuda ini adalah seorang pendekar besar yang telah
mengguncang rimba persilatan dengan ilmu-ilmu mukjizatnya! Nah, apakah kalian
dapat menebak siapa pemuda yang bernama Panji ini...?" tanpa mempedulikan
kekhawatiran murid-muridnya, Ki Parwana melanjutkan perkataannya.
"Aaah..."! Benarkah... Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?"
Kaliawang rupanya telah banyak mendengar tentang Pendekar Naga Putih dari cerita
gurunya. Ia segera dapat menebak dengan tepat setelah memperhatikan sosok pemuda
tampan berjubah putih itu. Hanya Pendekar Naga Putih-lah yang memiliki ciri-ciri
persis seperti sosok pemuda bernama Panji itu. Kaliawang sedikit pun tidak
menduganya. "Benar, Kaliawang. Kalau bukan Pendekar Naga Putih, mana mungkin ia sanggup
menyembuhkan kegilaanku yang sangat parah ini...," Ki Parwana terkekeh gembira
mendengar Kaliawang dapat menebak dengan tepat.
Panji sendiri menjadi risih ketika melihat sikap murid-murid Perguruan Kepalan
Sakti semakin menunjukkan kekaguman, bahkan ada beberapa di antaranya
menyanjung-nyanjung pemuda itu.
"Kuharap kalian jangan membuatku jadi besar kepala! Julukan itu hanya sebuah
nama kosong belaka...!" ujar Panji merendah. Pujian-pujian itu tidak membuatnya
menjadi sombong. Malah semakin membuatnya rendah hati.
"Maafkan sikapku yang kurang hormat selama ini, Pendekar Naga Putih...."
Kaliawang memperlihatkan perubahan yang nyata. Itu karena ia tahu Panji adalah
Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, tentu sikapnya akan tetap seperti biasa, dan
tidak terlalu sungkan. Apalagi mengagung-agungkan pemuda tampan berjubah putih
itu. Ternyata nama besar dalam kalangan persilatan mendatangkan pandangan lain pada
orang banyak. "Sikap dan keluhuran budi pendekar muda ini patut kalian contoh!"
Ki Parwana menasihati murid-muridnya. Lelaki tua itu tampak tidak peduli walau
Panji berusaha mencegahnya. Dan terus memberikan wejangan-wejangan kepada
muridnya dengan sosok Pendekar Naga Putih sebagai contoh nyata.
"Sudahlah, Ki. Jangan diteruskan. Aku khawatir tidak bisa membawa beban berat
ini. Sebab, manusia sewaktu-waktu berubah. Aku tidak ingin mereka menyesal di
kemudian hari karena terlalu memujiku...," ujar Panji berusaha mengingatkan Ki
Parwana saat lelaki tua itu menghentikan ucapannya untuk menarik napas.
Kali ini Ki Parwana tampaknya mengerti akan perasaan pemuda tampan itu. Ia tidak
lagi melanjutkan wejangannya. Karena memang yang hendak disampaikannya telah
selesai. Saat itu hari sudah menjelang sore. Ki Parwana segera membubarkan
murid-muridnya dan mengingatkan akan tugas masing-masing. Lalu mempersilakan
Panji dan Kenanga untuk beristirahat. Tapi Panji menolak. Ada sesuatu yang
hendak diketahuinya dari orang tua itu.
"Kau hendak menanyakan sesuatu kepadaku, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Parwana
seperti dapat membaca pikiran, pemuda tampan itu.
"Benar, Ki...," sahut Panji cepat setelah murid-murid Ki Parwana meninggalkan
tempat itu. Yang tinggal hanya Kaliawang dan Balitang. Mereka dianggap sudah
pantas untuk mengetahui semua yang berhubungan dengan Perguruan Kepalan Sakti.
"Tanyakanlah, Pendekar Naga Putih. Aku akan menjawabnya sebisaku." Ki Parwana
menatap wajah pemuda tampan itu lekat-lekat.
"Tidak banyak yang ingin kuketahui, Ki. Tapi kalau kau menganggapnya terlalu
ptibadi, tidak perlu dijawab...."
Ki Parwana mengangguk-angguk. Sepasang matanya tetap mengawasi wajah Pendekar
Naga Putih yang telah lama dikaguminya. Memang pemuda seperti Panji-lah yang
diharapkan dapat menggantikan tokoh-tokoh tua seperti dirinya. Ia bangga dengan
kepandaian maupun budi pekertinya yang luhur. Ki Parwana percaya Pendekar Naga
Putih dapat mengemban tugas-tugas berat yang menjadi kewajiban setiap orang
gagah. "Apa yang membuat Gendruwo Rimba Dandara sangat mendendam pada Ki Parwana...?"
Panji langsung mengutarakan pertanyaan yang mengganjal di benaknya sejak
mengetahui orang yang menyebabkan kegilaan Ki Parwana.
"Hm.... Sebenarnya yang terjadi di antara kami adalah hal yang biasa dalam
kalangan persilatan. Sebagai orang gagah, tentu saja aku tidak bisa mendiamkan
kekejaman Gendruwo Rimba Dandara. Saat itu aku masih tinggal di daerah utara.
Bersama seorang rekan, aku menantang tokoh sesat itu bertarung. Gendruwo Rimba
Dandara terlempar ke jurang oleh pukulan kami yang dilontarkan bersamaan. Siapa
sangka tokoh yang kuanggap telah tewas itu, tiba-tiba muncul di daerah selatan
ini dengan ilmunya yang luar biasa! Hingga akhirnya ia berhasil membalas dendam
dengan menyiksaku," papar Ki Parwana menceritakan permusuhannya dengan Gendruwo
Rimba Dandara. "Kalau begitu, rekan Ki Parwana pun pasti akan didatanginya," ujar Panji.
"Tidak mungkin! Rekanku itu telah tewas. Ia mengalami luka dalam yang cukup
parah sewaktu bertempur menghadapi Gendruwo Rimba Dandara. Mungkin tokoh jahat
itu belum mengetahuinya. Rekanku tewas setahun setelah pertarungan di puncak
Bukit Mata Setan...," ucap Ki Parwana membuat Panji merasa lega.
"Jika demikian, izinkanlah aku dan Kenanga mohon diri. Kami hendak mencoba
menghentikan kejahatan tokoh sesat itu...," ujar Panji segera bangkit dari
duduknya. "Mengapa terburu-buru, Pendekar Naga Putih...?" kaget juga Ki Parwana.
Permintaan Panji sangat mendadak dan tidak disangka-sangka.
"Bukannya kami tidak kerasan tinggal di tempat ini, Ki. Tapi, sebaiknya kita
bertindak cepat dalam memberantas kejahatan. Dengan begitu, korban yang akan
jatuh bisa kita cegah...." Panji mengajukan alasan yang tepat hingga Ki Parwana
tidak bisa berkata apa-apa Ucapan Panji dapat dimakluminya.
"Berjanjilah untuk singgah ke tempat ini, Pendekar Naga Putih. Keberadaanmu akan
sangat baik bagi perkembangan murid-muridku...," pinta Ki Parwana yang tahu
tidak mungkin bisa menahan kepergian pemuda yang sangat dikaguminya itu.
"Bila persoalan ini telah selesai, aku berjanji akan singgah dan bermalam
beberapa hari...," janji Panji. Ki Parwana tampak puas. Janji orang seperti
Pendekar Naga Putih bukanlah janji kosong.
Matahari sudah bergeser semakin ke barat saat Panji dan Kenanga bergerak
meninggalkan Perguruan Kepalan Sakti. Ki Parwana mengantarkan sampai ke pintu
gerbang bersama murid-muridnya. Mereka baru bergerak masuk setelah bayangan
pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandangan
6 "Kakang, kau dengar suara lengkingan aneh yang mendirikan bulu roma itu...?"
Kenanga yang baru saja merebahkan tubuhnya di atas rumput dengan berbantalkan
buntalan pakaian bergegas bangkit.
"Hm.... Seperti suara lengkingan binatang malam atau sebangsanya. Tapi,
mengandung kekuatan aneh yang menggetarkan jantung.... Binatang apa yang
memiliki suara seseram itu...?" gumam Panji menyahuti ucapan kekasihnya.
Panji bangkit dari duduknya di atas akar pohon seraya mengerahkan indera
pendengarannya, ia merasa penasaran dan agak curiga dengan suara lengkingan aneh
yang menurutnya tidak wajar.
Dengan pendengarannya yang tajam, Panji dapat menangkap suara lengkingan itu
lebih jelas dari semula. Keningnya tampak berkerut. Seolah sedang berpikir
keras. Panji mulai dapat menduga suara lengkingan itu bukan berasal dari
binatang malam. Selama ini ia belum pernah mendengar suara seperti itu.
"Lengkingan itu bergerak ke arah timur! Kita harus mengikutinya, Kenanga.
Firasatku mengatakan suara lengkingan itu pertanda buruk,.," Panji mengajak
kekasihnya mengikuti suara lengkingan itu.
Tanpa mempedulikan suasana malam yang agak gelap, Panji melesat bersama
kekasihnya menuju ke arah timur. Pancaran cahaya bulan yang muncul penuh sangat
membantu gerakan mereka. Meskipun agak samar, namun mereka dapat bergerak lebih
leluasa dengan bantuan sinar bulan.
Dengan kepandaian ilmu lari cepatnya yang sangat tinggi, pasangan pendekar muda
itu bergerak mengikuti suara lengkingan yang semakin jelas terdengar. Jalan yang
mereka lintas pun semakin diterangi cahaya bulan. Jalan berbatu yang cukup lebar
itu memang tidak banyak terlindung pepohonan Tapi setelah suara itu, semakin
dekat jaraknya dengan mereka, tiba-tiba lenyap tanpa bekas. Hingga mereka
kehilangan arah dan tidak tahu harus ke mana.
"Hm... Apa sebenarnya yang mengeluarkan lengkingan aneh itu" Mengapa tiba-tiba
lenyap saat kita sudah dekat dengan pemilik suara itu?" Panji memperlambat
larinya. Pemuda itu tidak bisa menduga ke mana pemilik lengkingan aneh itu pergi.
Kenanga pun tidak kalah penasarannya dengan Panji. Kendati demikian, dara jelita
itu tidak menghentikan gerakannya. Langkahnya tetap terayun di samping Panji.
Sementara otaknya bekerja keras mencari jawaban.
Meskipun telah kehilangan arah, pasangan pendekar muda itu terus bergerak
menerobos keremangan malam. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah jalan yang
rata dan lebar.
Hm.... Jalan ini pasti berhubungan dengan sebuah perkampungan. Sebaiknya kita
mengikuti jalan ini. Mungkin lengkingan aneh itu menuju perkampungan di sebelah
timur Ku..., gumam Panji dalam hari menduga-duga. Pemuda itu melihat tiang batu
yang merupakan batas desa. Langsung saja larinya dipercepat agar segera tiba di
desa sebelah timur itu.
"Apa mungkin lengkingan itu suara hantu-hantu yang bergentayangan, Kakang...?"
tiba-tiba Kenanga bertanya demikian, membuat Panji menoleh sambil tenis berlari.
"Tidak mungkin...," sahut Panji setelah terdiam beberapa saat.
Suara lengkingan itu terdengar jelas dan nyata. Selain itu, tidak ada rasa takut


Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam hatinya. Kalau lengkingan itu milik makhluk-makhluk halus, ia dapat
merasakan perbedaannya. Suara alam gaib dapat menimbulkan rasa takut yang aneh,
yang tidak dimengerti manusia. Sedangkan suara lengkingan itu, meskipun
menyeramkan, tapi tidak mendatangkan perasaan takut yang aneh atau pun getaran
kengerian dalam hatinya. Panji yakin lengkingan itu berasal dari makhluk-makhluk
nyata seperti mereka berdua.
"Aaa...!"
Keyakinan Panji diperkuat oleh suara jeritan melengking seorang manusia. Jeritan
itu menunjukkan pemiliknya tengah menghadapi sesuatu yang mengerikan atau
kematian. "Suara jeritan orang yang tengah menghadapi maut..."!" desis Kenanga segera
menambah kecepatan larinya, mengikuti langkah Panji yang telah lebih dulu
melesat dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata. Kenanga tertinggal sejauh
satu setengah tombak. Dara jelita itu maklum akan sikap kekasihnya yang harus
secepatnya tiba di tempat jeritan itu berasal.
Namun, Panji tidak periu bersusah-payah mencari penyebab lengkingan maut itu.
Sebelum ia sampai di mulut desa, di depannya rampak enam sosok bayangan hitam
bergerak ke arahnya. Tiga dari enam sosok yang kelihatan kecil itu seperti
membawa beban di bahu kanannya. Panji juga mendengar teriakan orang banyak yang
rupanya sedang mengejar keenam sosok itu. Tahulah Panji kalau sosok yang
bergerak ke arahnya itu orang-orang jahat yang baru saja melaksanakan
kejahatannya. Apa yang kemudian disaksikan Panji benar-benar membuatnya hampir tidak percaya.
Keenam sosok hitam itu orang-orang kerdil yang kemudian diketahuinya bocah-bocah
tanggung berusia sekitar sepuluh tahun. Dan beban yang berada di aras pundak
tiga bocah-bocah itu anak-anak kecil yang diduganya baru berusia empat atau lima
tahun! Tampaknya mereka baru saja melakukan penculikan!
"Kuminta kalian berhenti...!" seru Panji menghentikan larinya dan berdiri tegak
menghadang jalan.
Tapi, bocah-bocah berkulit hitam dan berkepala gundul pelontos itu tidak
menghiraukan peringatan Panji. Tiga bocah terdepan bahkan mengirim serangan
kilat yang menyebarkan hawa panas menyengat! Panji terkejut bukan main!
"Gila! Mana mungkin bocah sekecil itu memiliki tenaga dalam yang demikian
hebat...!" desis Panji. 'Tenaga Sakti Geihana Bulan'nya langsung bergerak
melindungi sekujur tubuh pemuda itu. Sebentar saja lapisan kabut bersinar putih
keperakan melapisi seluruh tubuh Panji. Sehingga....
Tas tas tasss...!
"Heiii...!"
Panji berseru kaget menerima tiga pukulan jarak jauh berhawa panas! Kuda-kudanya
terjajar tiga langkah! Jelas itu tidak bisa didiamkan begitu saja.
"Hiii...!"
Tiga bocah aneh dengan sorot mata kehijauan itu kembali menerjang Panji dengan
ganasnya! Padahal saat pukulan mereka membentur tubuh pemuda itu ketiganya
terpental balik. Namun mereka dapat menguasai keseimbangan tubuhnya dengan baik
dan kembali melesat dengan serangan yang jauh lebih ganas dan berbahaya!
"Luar biasa...! Mungkinkah mereka bocah-bocah siluman yang tengah mencari
mangsa..."!" desis Panji yang telah siap menghadapi serangan bocah-bocah aneh
menyeramkan itu. Lengkingan tadi menjelaskan kepada Panji bahwa suara aneh yang
tengah dicarinya ternyata berasal dari bocah-bocah menyeramkan itu.
Bwet bwettt...!
Dua buah serangan yang tiba lebih dulu dielakkan Panji dengan lompatan ke
samping. Pemuda itu masih merasa sungkan untuk membalas, mengingat lawannya
hanya bocah-bocah kecil. Tapi....
Plarrr...! Serangan bocah ketiga yang dipapaki Panji membuat pemuda itu sadar bahwa mereka
bukan bocah-bocah biasa yang patut dikasihani. Karena pada saat lengannya
membentur serangan salah seorang bocah, Panji mendapat kenyataan bocah-bocah itu
sangat kuat! Maka, pemuda itu segera mengirim serangan balasan dengan kecepatan
kilat! Plakkk! "Eaakh...!"
Salah satu dari ketiga bocah aneh itu, yang kembali menerjang Panji, terpental
balik terkena tamparan cukup keras pemuda itu. Hingga jatuh berdebuk di atas
tanah berbatu! Tapi....
"Heiii..."!"
Bukan main kagetnya Panji melihat bocah itu langsung melenting bangkit seperti
tidak merasakan apa-apa. Padahal tamparannya sanggup memecahkan batu sebesar
kerbau! Tapi, bagi bocah itu tak lebih dari sebuah tepukan sayang. Kenyataan itu
membuat Panji semakin sadar bahwa bocah-bocah itu harus dilawannya dengan
sungguh-sungguh! Maka, Panji mulai mempersiapkan serangan-serangannya.
*** Sementara itu, Kenanga yang tiba belakangan mengerutkan kening melihat
kekasihnya dikeroyok tiga orang bocah gundul yang sangat ganas dalam melontarkan
setiap serangan. Belum lagi Kenanga menyadari sepenuhnya, tiba-tiba tiga bocah
lainnya yang memondong korbannya, menerjang dara jelita itu dengan sebelah
tangan. "Heiii..."!"
Kaget bukan main hati dara jelita itu mendengar suara angin menderu disertai
hawa panas menyengat! Sadarlah Kenanga tiga serangan itu bisa mendatangkan
kematian bila sampai mengenai tubuhnya. Tentu saja dara jelita itu tidak sudi
tubuhnya menjadi sasaran pukulan maut itu.
"Haiiit...!"
Diiringi teriakan melengking, Kenanga berlompatan mengandalkan kegesitan
tubuhnya untuk menyelamatkan diri. Tapi karena ia masih belum memberikan
serangan balasan, dara jelita itu menjadi sibuk ketika serangan lawan semakin
gencar berdatangan tak ubahnya gelombang lautan yang mengamuk!
"Kurang ajar...!"
Kenanga memaki geram. Cepat ia mempersiapkan jurus-jurusnya untuk
menghadapi bocah-bocah kurang ajar itu. Sepasang tangannya bergerak cepat.
Serangan-serangan balasannya meluncur datang. Sebentar saja Kenanga telah
terlibat sebuah pertarungan yang sangat seru!
"Kenanga, hati-hati! Jangan pandang remeh bocah-bocah itu! Mereka sangat hebat
dan memiliki kekebalan tubuh yang tangguh!" Panji yang melihat Kenanga juga
telah bertarung melawan tiga orang bocah gundul segera memperingatkan. Kalau
tidak, kekasihnya bisa mendapat celaka bahkan mungkin kematian. Bocah-bocah
gundul berkulit hitam itu tangguh luar biasa dan sangat gesit.
Setelah mendengar peringatan Panji, Kenanga tidak lagi ragu-ragu melontarkan
serangan balasan.
Kali ini dara jelita itu bersungguh-sungguh. Karena setelah bertarung selama
belasan jurus Kenanga mendapati bocah-bocah itu memang sangat berbahaya!
"Hm.... Kalian benar-benar harus diajar sopan santun..!" geram dara jelita itu
mulai mengerahkan jurus-jurus ampuhnya menghadapi keroyokan tiga bocah aneh itu.
Plakkk, plakkk!
Dua orang bocah yang tidak sempat menghindari tamparan Kenanga langsung
terpelanting jatuh mencium tanah! Tapi, mereka segera melenting bangkit. Kenanga
hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bocah-bocah itu tampak tidak
merasa sakit sedikit pun, apalagi terluka. Seolah Kenanga bukan melakukan
tamparan, tapi belaian hangat yang membuat bocah-bocah gundul itu semakin
bertambah ganas!
"Celaka! Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa aku yang celaka di tangan
mereka...!"
Kenanga segera mengempos semangatnya dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Lawan yang dihadapinya tidak bisa dibuat main-main lagi!
"Hiii...!"
Tapi, ketiga bocah gundul berkulit hitam itu tidak memperlihatkan sikap gentar.
Dibarengi teriakan melengking aneh yang mendirikan bulu roma, tubuh ketiga bocah
itu menerjang Kenanga dengan pukulan yang menyebarkan hawa panas menyengat!
Kenanga kelihatan tidak lagi bertindak tanggung-tanggung. Sebentar saja
pertarungan kembali berlanjut! Bahkan jauh lebih seru!
Sementara Panji mulai kewalahan menghadapi bocah-bocah tangguh itu. 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'nya seperti tidak mempunyai arti bagi lawan-lawannya.
Kenyataan itu membuat Panji penasaran. Meskipun demikian, pemuda itu tetap tidak
tega membunuh bocah-bocah itu dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Panji
menduga bocah-bocah itu mempunyai majikan, atau paling tidak ada yang
mengendalikan. Ia ingin menyingkap rahasia itu.
Hm... Satu-satunya jalan untuk merobohkan mereka tanda menciderainya adalah
dengan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Sikap bocah-bocah ini kelihatan tidak
wajar..., gumam Panji dalam hati, kemudian melompat jauh menghindari gempuran
ketiga bocah gundul itu.
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, Panji menyilangkan kedua tangannya di
depan dada dengan mata terpejam. Sebentar kemudian, terciptalah sinar kuning
keemasan membungkus sekujur tubuh Panji. Lalu terus bergerak ke kedua telapak
tangannya. Hanya sebatas pergelangan tangannya saja yang diwarnai sinar keemasan berhawa
panas itu. "Haiiit!" Bocah-bocah gundul itu menerjang Pendekar Naga Putih dari tiga arah
yang berbeda, Panji pun segera mendorongkan kedua telapak tangannya.
Breshhh...! "Kaaakh...! Kaaakh,..!" Disertai pekikan keras, tubuh bocah-bocah aneh itu
terjerembab ke tanah terkena hantaman sinar kuning keemasan milik Panji!
"Haiiit...!"
Ketika bocah-bocah gundul itu datang menerjang dari tiga arah yang berbeda,
Panji mendorong telapak tangannya kedua arah sekaligus!
Breshhh...! "Kaaakh...!"
"Kaaakh...!"
Sinar kuning keemasan yang meluncur dari sepasang telapak tangan Panji langsung
menghajar dua dari tiga bocah itu! Akibatnya, tubuh bocah-bocah aneh itu
terjerembab ke tanah. Kali ini mereka tidak sanggup bangkit lagi. Sinar keemasan
yang menerpa tubuh mereka berpendar melingkari tubuh kedua bocah yang rebah tak
bergerak itu. Sinar itu terus berputaran mengecil. Sampai akhirnya lenyap
seperti masuk ke dalam tubufi bocah-bocah gundul itu.
"Hiiikh...!"
Bocah yang tinggal seorang kelihatan gentar setelah menyaksikan sinar kuning
keemasan yang menghantam pingsan kedua kawannya. Dengan memperdengarkan suara
aneh, bocah itu bergerak mundur menarik pulang serangannya. Dan hendak melarikan
diri dari tempat itu.
"Hm.... Rupanya kau masih memiliki rasa takut juga, Bocah...," ujar Panji melihat
sikap lawannya yang tinggal seorang itu.
Tentu saja Panji tidak mau melepaskan lawannya begitu saja. Cepat pemuda itu
melesat mencegah kepergiannya. Dan melontarkan pukulan 'Tenaga Inti Panas Bumi'
yang telak menghantam tubuh belakang bocah itu!
Tanpa ampun lagi, tubuh bocah itu terjerembab ke tanah. Kejadian serupa yang
dialami kedua kawannya juga terjadi pada bocah itu, yang rebah pingsan akibat
pukulan Panji. Apa yang terjadi pada ketiga bocah gundul itu tidak aneh!
Kekuatan gaib jelmaan Pedang Naga Langit memang suatu kekuatan mukjizat yang
tidak ada duanya. Tenaga itu dapat hidup dan dikendalikan menurut pikiran
pemiliknya. Panji bermaksud sekadar melumpuhkan lawan-lawannya tanpa mencederai.
Tenaga mukjizat itu pun bekerja seperti yang diinginkan Panji. Sehingga, ketiga
bocah gundul itu hanya pingsan tanpa mengalami luka yang berbahaya bagi
keselamatan nyawanya.
Setelah berhasil dengan ketiga lawannya, Panji segera melesat ke tempat Kenanga
bertarung. Pemuda itu hendak melakukan perbuatan serupa pada tiga bocah lainnya.
"Kenanga, menyingkirlah! Biar aku yang melumpuhkan mereka!" seru Panji yang
tengah melayang di udara.
Mendengar seruan itu, Kenanga segera melompat jauh ke belakang. Selama
pertempuran gadis jelita itu memang belum menggunakan Pedang Sinar Bulan. Biar
bagaimanapun hatinya tidak tega membunuh bocah-bocah tanggung itu. Teriakan
Panji membuat dara jelita itu menarik napas lega. Beberapa jurus lagi Kenanga
sudah memutuskan untuk menggunakan pedangnya.
Panji yang meluncur ke tengah arena langsung menerjang ketiga bocah gundul yang
menjadi lawan kekasihnya. Kali ini Panji tidak melakukan pukulan jarak jauh.
Karena ada tubuh lain di bahu ketiga bocah itu. Panji harus lebih berhati-hati
agar tidak melukai tubuh anak-anak berusia empat atau lima tahun yang diculik
bocah-bocah gundul itu. Untuk melakukan itu tentu saja tidak mudah. Membutuhkan
waktu yang agak lama. Tidak seperti waktu merobohkan lawan-lawannya tadi.
7 Kenanga yang menyaksikan jalannya pertempuran mau tidak mau harus
menggeleng-gelengkan kepala. Betapa tidak! Pemandangan yang disaksikannya benarbenar sukar diterima akal sehat. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, Kenanga tidak akan percaya. Bagaimana mungkin seorang pendekar yang
telah menggemparkan rimba persilatan dengan ilmu-ilmu mukjizatnya yang langka
sampai harus mengerahkan kepandaiannya yang tertinggi untuk melumpuhkan tiga
orang bocah berusia sepuluh tahun! Sekali lagi, tiga orang bocah berusia sepuluh
tahun! Jelas itu mustahil terjadi! Tapi, kenyataannya Kenanga menyaksikan
peristiwa ganjil itu!
Gila...! Kalau bocah-bocah gundul itu sampai bebas berkeliaran rasanya sulit
mencari orang yang mampu menundukkan mereka! Kakang Panji sendiri mengalami
kesulitan merobohkan bocah-bocah aneh itu! Hhh.... Betapa rimba persilatan akan
geger jika bocah-bocah itu berkeliaran.., gumam Kenanga dalam hati dengan
perasaan tak menentu. Dara jelita itu sendiri nyaris tidak berdaya menghadapi
bocah-bocah gundul yang menyeramkan itu.
"Haaaiiit..!"
Menghadapi tiga bocah gundul itu, Panji harus menggunakan seluruh kelincahan
tubuhnya. Mereka seperti dapat membaca pikiran Panji yang mengkhawatirkan
keselamatan tubuh-tubuh mungil di bahu mereka. Baru setelah lewat dari dua puluh
jurus. Panji dapat merobohkan salah satu lawannya dengan sebuah tamparan telak!
Plaggg...! Begitu tubuh lawan terpental, Panji melesat menyambar bocah yang berada dalam
pondongannya. Sekali mengulur tangan korban penculikan itu pun berhasil
diselamatkan. Tapi.... Bukkk, desss...!
"Hukh...!"
Panji terjajar limbung terkena hantaman dua orang bocah lainnya saat tengah
menyelamatkan korban penculikan itu. Belakang tubuhnya terasa nyeri. Ada cairan
merah merembas dari sudut bibir pemuda perkasa itu.
"Hiii...!"
Dua bocah gundul itu mengeluarkan lengkingan tinggi yang mendirikan bulu roma.
Keduanya melesat cepat hendak menyusuli serangannya untuk merobohkan pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Hm...."
Panji cepat berbalik dan meliukkan tubuhnya menghindari dua serangan maut lawan!
Bwettt, whusss...!
Serangan-serangan itu lewat di samping tubuh Panji. Kendati demikian, sambaran
angin pukulannya menggoyahkan kuda-kuda Panji. Tapi, kedua bocah itu harus
membayar mahal kecerobohan mereka. Panji segera melancarkan serangan balasan
dengan kecepatan laksana kilat menyambar!
Bukkk! "High...!"
Saat tubuh bocah gundul itu terlempar roboh, tangan Panji kembali terulur
menangkap sosok yang terlepas dari pondongan lawan. Kemudian bergerak mundur ke
arah tempat Kenanga berdiri.
"Jaga kedua anak ini baik-baik...!" pesan Panji lalu melemparkan dua anak dalam
dekapannya. Bukan pekerjaan yang sulit bagi Kenanga menangkap kedua tubuh mungil itu.
Sekali melayang kedua tangannya telah memeluk tubuh mungil itu erat-erat.
Kemudian meluncur turun dengan ringan.
Sementara Panji harus menghadapi serangan lawannya yang tinggal seorang.
Karena sudah berhasil mengetahui cara merobohkan lawannya, tidak sulit lagi bagi
pemuda itu untuk menyelesaikan pertempuran. Dengan mengandalkan kecepatan
geraknya yang memang sulit dicari tandingan, bocah gundul itu terpelanting roboh
terkena hantaman telapak tangan Panji pada tubuh bagian depannya.
"Huppp!"
Sekejap sebelum tubuh lawan terbanting ke tanah, Panji melompat menangkap tubuh
mungil yang terlepas dari pegangan bocah gundul itu. Dan pemuda itu berhasil
menyelamatkannya.
Bersamaan dengan robohnya bocah-bocah gundul itu terdengar suara langkah orang
banyak mendatangi tempat itu Teriakan-teriakan ribut meningkahi datangnya
rombongan orang desa. Dalam sekejap tempat itu menjadi terang-benderang oleh


Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cahaya api obor.
"Itu dia bocah-bocah iblis itu..."!"
Terdengar seruan heran seorang penduduk seraya menudingkan telunjuknya ke sosok
bocah-bocah gundul yang rebah pingsan di tanah berbatu.
"Bunuh bocah iblis itu...!"
"Cincang! Jadikan perkedel...!"
Suara teriakan-teriakan marah penduduk desa membuat Panji segera melesat
mencegah. Tubuhnya melayang bagai seekor burung besar. Dan meluncur turun
beberapa langkah di hadapan rombongan yang berjumlah tidak kurang dari empat
puluh orang. "Tunggu..!"
Panji mengulurkan tangannya disertai bentakan yang sangat berpengaruh. Orangorang desa yang dipimpin para keamanan desa itu pun tersentak mundur. Wajah
mereka berubah pucat, mengira sosok Panji adalah hantu. Selain gerakannya tidak
terlihat, pemuda itu mengenakan pakaian serba putih!
"Saudara-saudara sekalian, harap jangan turutkan kemarahan yang bisa merugikan
kalian sendiri...," Panji menggunakan kesempatan selagi mereka terkejut untuk
mengingatkan tindakan mereka.
Mendengar ucapan pemuda tampan berjubah putih yang menggendong seorang bocah
korban penculikan, para penduduk saling berpandangan. Mereka tidak tahu siapa
pemuda itu, dan berasal dari mana. Tapi melihat tubuh bocah-bocah gundul
bergeletakan di atas tanah, mereka dapat menduga pemuda tampan itulah yang
menyelamatkan putra-putri penduduk desanya. Apalagi salah satu korban penculikan
ada dalam gendongan Panji.
Setelah beberapa saat, dari kelompok penduduk melangkah maju seorang lelaki
berwajah cukup berwibawa. Meski terlihat agak pucat, lelaki bertubuh tegap itu
berusaha bersikap tenang. Langkahnya terhenti setengah tombak di hadapan Panji.
Rupanya sikap dan raut wajah Panji membuat hati lelaki tegap itu agak tenang dan
percaya pemuda di depannya bukan orang jahat.
"Kisanak yang gagah, siapakah kiranya! Mengapa bocah-bocah iblis itu
bergeletakan di tanah" Kisanak-kah yang melakukannya...?" tanya lelaki bertubuh
tegap yang rupanya kepala keamanan desa. Itu dapat dilihat dari sikapnya yang
penuh tanggung jawab dan pakaiannya yang hitam-hitam.
"Paman," sahut Panji tenang dan ramah. "Secara kebetulan kami mendengar suara
teriakan seram bocah-bocah gundul itu. Kami berusaha mencari asal lengkingan.
Siapa sangka kami justru berbentrokan dengan mereka yang ternyata baru saja
melakukan tindak kejahatan. Syukurlah kami bisa melumpuhkannya dan menyelamatkan
korban-korban penculikan ini...."
Lelaki tegap itu kelihatan agak ragu ketika Panji menyodorkan tubuh mungil yang
ada dalam pondongannya. Namun melihat wajah tampan itu tersenyum dan mengangguk,
lelaki tegap itu pun mengulur tangannya menyambut tubuh mungil yang diserahkan
Panji. Perbuatan Panji diikuti Kenanga. Dua tubuh mungil yang ada dalam dekapannya,
yang tengah pingsan akibat totokan, segera diserahkan kepada dua orang penduduk
yang menyambutnya tanpa ragu. Sebab yang menyerahkannya seorang dara jelita
dengan bibir tersenyum manis, membuat mereka yakin dara itu pasti bukan orang
jahat. Mereka lebih percaya bila dara itu seorang bidadari penyelamat ketimbang
wanita iblis yang jahat.
"Kisanak muda yang gagah...." Kembali terdengar lelaki tegap, kepala keamanan
desa itu, berkata, "Kami sangat berterima kasih atas pertolongan kalian. Tapi,
kami mohon maaf karena tidak bisa mengampuni bocah-bocah gundul itu begitu saja.
Mereka bukan cuma menculik, bahkan membunuh ibu dari anak-anak itu dengan cara
yang sangat kejam! Karena itu, kami minta kalian tidak keberatan bila kami
membawa penculik-penculik itu untuk dihukum...."
"Maaf, Paman. Bukannya aku menolak atau hendak membela orang-orang yang telah
melakukan kejahatan. Tapi, ada baiknya jika Paman mau mendengarkan pertimbangan
yang akan kami utarakan...," tukas Panji yang tentu saja maklum akan perasaan
lelaki tegap itu maupun penduduk desa. Apalagi mengingat bocah-bocah gundul itu
juga membunuh selain menculik. Hanya karena ada dugaan tertentu sajalah, Panji
berusaha mencegah keinginan mereka.
Mendengar perkataan pemuda tampan berjubah putih itu, yang sama artinya dengan
penolakan, kening lelaki tegap itu tampak berkerut. Jelas hatinya tidak senang
dengan ucapan Panji.
"Kisanak yang gagah. Meskipun kami sadar kau sudah berjasa besar terhadap
penduduk desa dengan menyelamatkan anak-anak itu, tapi bukan berarti kami mau
saja menuruti kehendakmu yang jelas tidak benar itu! Apa sebenarnya yang kau
kehendaki dari bocah-bocah iblis itu?" lelaki tegap itu menuntut jawaban atas
sikap Panji yang jelas-jelas tidak mau menyerahkan bocah-bocah gundul itu kepada
mereka. "Paman," ujar Panji tetap tenang tidak terpengaruh kemarahan yang diperlihatkan
lelaki tegap itu. "Apa yang kulakukan ini demi kebaikan Paman dan penduduk desa.
Aku tidak ingin kalian akan mengutuki diri sendiri karena telah menjatuhkan
hukuman kepada bocah-bocah kecil yang kemungkinan besar telah digunakan orangorang sesat untuk melakukan tindak kejahatan."
"Apa maksud perkataanmu, Kisanak?"
"Begini, Paman," ujar Panji tetap dengan tekanan suara yang wajar. "Menurut
kami, penculik-pencullk itu tidak berbeda dengan anak-anak lainnya yang seusia
mereka. Bedanya mereka telah dipengaruhi suatu kekuatan aneh hingga sifat mereka berubah
mengerikan. Nah, sekarang katakanlah dengan jujur, Paman. Apakah kalian tega
menghukum atau membunuh bocah-bocah tak berdosa yang tidak sadar akan segala
perbuatannya?" Panji mengakhiri ucapannya dengan tekanan suara yang agak berat,
membuat lelaki tegap maupun penduduk desa terkejut.
"Jadi...," lelaki tegap itu mulai ragu. Tentu saja ia tidak akan pernah sudi
menghukum bocah-bocah gundul itu. Apalagi membunuhnya, seperti yang telah mereka
kehendaki bersama.
"Kalau Paman dan penduduk lainnya tidak keberatan, aku ingin membawa mereka ke
desa. Bila kau tidak bisa menyadarkan mereka dan mengembalikannya seperti
semula, anggaplah dugaanku keliru. Kalian boleh melakukan apa saja terhadap
bocah-bocah gundul itu...," usul Panji
Lelaki tegap itu kelihatan bimbang. Kemudian menoleh ke arah rombongan yang
sedang berbicara satu sama lain. Sehingga terdengar suara-suara mendengung.
"Bagaimana, Paman" Kami tidak bisa menunggu lama. Khawatir mereka keburu sadar.
Aku hanya membuat mereka pingsan untuk sementara waktu saja...," Panji menuntut
jawaban secepatnya. Sebab ia tidak bisa memastikan sampai kapan bocah-bocah itu
akan terkapar tak sadarkan diri.
Karena tidak mungkin meminta pendapat kawan-kawannya yang saat itu tengah sibuk
berbicara satu sama lain, lelaki tegap itu pun berkata kepada Panji.
"Tapi, bagaimana seandainya mereka sadar dan kembali melakukan pembunuhan"
Aku..., tidak berani bertanggung jawab...."
"Kami berdua bersedia menanggung segala akibatnya, Paman. Kalau mereka sadar dan
kembali mengamuk, kami yang akan maju mempertaruhkan nyawa lebih dulu...!"
Kenanga yang merasa tidak sabar oleh sikap ragu-ragu lelaki tegap itu, langsung
menukas dengan nada tinggi.
Agak kaget juga lelaki tegap itu. Ia menoleh ke arah Kenanga dengan wajah
kemerahan. Jelas sekali hatinya merasa malu. Yang berbicara adalah seorang dara
muda berparas jelita. Dara jelita itu telah mempertaruhkan nyawanya untuk orangorang yang tidak dikenalnya. Ucapan itu membuat kepala keamanan desa sadar bahwa
ia tengah berhadapan dengan orang-orang gagah.
"Baiklah, Kisanak. Aku akan menanggung segala akibat yang akan terjadi!" tegas
lelaki tegap itu merasa terpanggil mendengar ucapan Kenanga. Kemudian ia menoleh
ke arah rombongan penduduk dan keamanan desa yang tengah berkumpul di
belakangnya. "Bawa bocah-bocah gundul itu ke balai desa...!"
Panji dan Kenanga bertukar pandang dengan senyum di bibir. Mereka merasa lega
mendengar keputusan lelaki tegap itu Panji bisa menduga apa yang membuat lelaki
tegap itu berani mengambil tindakan itu. Panji merasa kagum dengan tanggung
jawab lelaki tegap itu.
"Terima kasih, Paman...," ucapan Panji dibalas dengan anggukan kepala oleh
kepala keamanan desa.
"Mari ikut bersama kami..," ujarnya mempersilakan Panji ikut ke balai desa.
Sikapnya kelihatan lebih ramah dan kesan segan kepada pasangan muda yang
diduganya pendekar-pendekar pembela kebenaran.
Tanpa banyak cakap, keduanya mengikuti kepala keamanan desa bersama
rombongannya. Tentu saja orang-orang itu baru berani menyentuh bocah-bocah
gundul setelah diperiksa Panji. Pemuda itu berkeyakinan bocah-bocah gundul itu
tidak akan sadar dalam waktu singkat.
Tapi meskipun Panji dan Kenanga merasa yakin bocah-bocah gundul itu akan pingsan
paling tidak sampai tengah hari, mereka tetap berjaga-jaga di samping enam
lelaki yang membawa tubuh-tubuh bocah itu. Pasangan pendekar muda itu siap
bertindak bila perkiraan mereka meleset.
Dengan diterangai sinar obor, rombongan itu bergerak memasuki desa yang terletak
cukup jauh dari tempat Panji merobohkan bocah-bocah aneh itu. Rombongan itu
rupanya telah dinanti-nanti oleh puluhan penduduk Desa Kalang. Suasana desa yang
terang-benderang oleh sinar obor membuat suasana malam tak ubahnya siang hari.
Peristiwa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan bocah-bocah gundul berkulit
hitam itu telah menggegerkan Desa Kalang! Hampir seluruh penghuni desa keluar
dari rumah. *** Setelah merebahkan bocah-bocah gundul itu di sebuah ruangan di balai desa, Panji
segera melakukan pemeriksaan dengan teliti. Pemuda itu hanya ditemani Kenanga
serta dua orang keamanan desa, termasuk lelaki tegap yang menjadi kepala
keamanan desa. Panji bertindak cepat karena khawatir bocah itu keburu tersadar.
Kekhawatiran Panji memang sangat beralasan, mengingat bocah-bocah itu memiliki
ketangguhan yang melebihi tokoh-tokoh persilatan terlatih. Bukan tidak mungkin
daya tahan tubuh yang luar biasa itu bisa menyadarkan mereka lebih cepat dari
perkiraan Panji. "Bagaimana, Panji...?" tanya kepala keamanan desa yang bernama
Ki Ganjira, dan telah saling berkenalan dengan Panji maupun Kenanga. Lelaki itu
segera melangkah maju melihat Panji selesai melakukan pemeriksaan.
Ki Ganjira, Kenanga, dan keamanan desa yang lain kelihatan tegang ketika melihat
kepala pemuda tampan berjubah putih itu menggeleng berkali-kali. Tampaknya usaha
pengobatan yang hendak dilakukan Panji menemui jalan buntu.
"Hhh...," Panji menghela napas berat yang berkepanjangan sebelum memberikan
jawaban, membuat ketiga orang itu semakin penasaran!
"Apakah mereka sudah tidak mempunyai harapan untuk hidup secara wajar,
Kakang...?" tanya Kenanga tidak sabar melihat sikap kekasihnya yang belum juga
memberikan jawaban.
"Menurut pengamatanku, bocah-bocah ini telah diberi makanan dan minuman yang
mengandung racun serta kekuatan gaib. Semua itu telah merusak jaringan urat
saraf di kepala mereka. Bahkan racun maupun pengarah gaib yang ditanamkan itu
telah menyatu dengan darah dan perasaannya. Sehingga, mustahil bagiku untuk
mengembalikan mereka ke dalam kehidupan yang wajar seperti bocah-bocah
lainnya...,"
Panji menjelaskan disertai helaan napas berulang-ulang. Kelihatannya pengobatan
itu memang tidak mungkin dapat dilaksanakan.
"Jadi...?" Ki Ganjira meminta ketegasan Panji.
"Karena jika dibiarkan terlalu berbahaya, sebaiknya mereka memang harus kita
bunuh. Dengan begitu berarti kita telah menolong mereka terbebas dari
penderitaan hidup...," sahut Panji mengambil keputusan.
"Kakang, apakah...?"
Kenanga terpaksa menggantung ucapannya yang belum selesai. Dara jelita itu
melihat kepala kekasihnya menggeleng lemah. Kemudian terdengar jawabannya yang
membuat Kenanga merasa lebih pasti kalau Panji mengetahui maksud ucapannya yang
belum selesai. "Pedang Naga Langit memang bisa melenyapkan racun serta pengaruh kekuatan gaib
yang ada dalam tubuh bocah-bocah itu, meskipun membutuhkan waktu yang sangat
lama. Tapi urat saraf yang telah rusak tidak mungkin dapat disembuhkan lagi.
Kalaupun aku berhasil menolong mereka, rasanya lebih baik mereka meninggalkan
dunia yang penuh penderitaan dan penyiksaan. Aku tidak bisa membuat mereka
waras...."
Bukan main kagetnya dara jelita itu mendengar penjelasan kekasihnya. Sungguh
tidak disangka yang dialami bocah-bocah gundul itu ternyata sangat menyedihkan.
Kenanga hanya bisa menghela napas panjang dengan perasaan iba.
Kedua keamanan desa itu pun tidak berkata apa-apa. Mereka merasa bersyukur Panji
telah bersikeras mencegah saat mereka hendak menindak bocah-bocah gundul itu.
Kalau tidak, Ki Ganjira dan seluruh penduduk Desa Kalang pasti akan menyesali
dosanya seumur hidup. Kalaupun sekarang mereka harus membunuh bocah-bocah itu,
karena rasa kasihan dan ingin melepaskan mereka dari penderitaan. Jelas ada
perbedaan yang menyolok, meski yang akan mereka lakukan sama-sama membunuh!
8 Malam itu keadaan Desa Kalang tampak sepi. Penduduk telah sejak sore masuk ke
dalam rumah dan mengunci pintu serta jendela rapat-rapat. Jalan-jalan desa
lengang dan sunyi. Tak satu makhluk pun terlihat melintas. Jangankan manusia,
kucing pun enggan berada di luar. Padahal malam itu bulan bersinar penuh
menerangi bumi di bawahnya.
Tapi tidak semua rumah tertutup rapat. Rumah terbesar di desa itu tampak terang
oleh sinar lampu. Beberapa sosok tubuh duduk di beranda depan. Rumah besar itu
adalah tempat kediaman Kepala Desa Kalang.
"Bagaimana kalau perkiraanmu meleset, Kakang...?" sosok tubuh terbungkus pakaian
serba hijau bertanya kepada pemuda tampan berjubah putih yang duduk di seberang
meja berhadapan dengannya.
"Kemungkinan besar tidak, Kenanga," sahut pemuda tampan berjubah putih yang
tidak lain Panji. Kemudian kembali melanjutkan ucapannya. "Menurut
perhitunganku, anak-anak yang diculik bocah-bocah aneh itu akan dijadikan korban
pada malam bulan purnama ini. Karena bocah-bocah aneh itu belum kembali,
majikannya pasti akan mencari dan mendatangi Desa Kalang. Lebih baik kita
bersiap menyambut kedatangan dalang penculikan itu daripada mencarinya tanpa
petunjuk. Aku yakin tokoh itu akan muncul malam ini...."
Kenanga menganggukkan kepala menerima alasan kekasihnya. Apa yang
diperkirakan Panji kemungkinan besar memang bisa terjadi. Itu sebabnya mereka
berdua bermalam di Desa Kalang. Khawatir jika majikan bocah-bocah aneh itu
muncul di desa itu.
Panji dan Kenanga tidak ingin melihat penduduk Desa Kalang menjadi sasaran
kemarahan tokoh yang belum diketahui siapa adanya itu.
"Bagaimana kalau tokoh yang menjadi dalang penculikan itu datang dengan membawa
para pengikutnya...?" pertanyaan itu datang dari seorang lelaki tegap yang tidak
lain Ki Ganjira, Kepala Desa Kalang.
Panji menoleh ke arah lelaki tegap itu. Ki Ganjira menemani mereka berdua karena
Kepala Desa Kalang sedang pergi mengunjungi kerabatnya yang menderita sakit di
desa lain. Hingga Ki Ganjira bertanggung jawab penuh atas keselamatan warga Desa
Kalang. Selama kepala desanya tidak berada di tempat, semua yang terjadi menjadi
tanggung jawab Ki Ganjira sepenuhnya.
"Semua sudah kuperhitungkan, Paman. Itu sebabnya aku mengusulkan agar penduduk
mengunci pintu dan jendela rapat-rapat dan tidur sore-sore. Apa pun yang akan
terjadi mereka harus tetap berada di dalam rumah. Dengan demikian, keselamatan
mereka dapat lebih terjamin. Apakah Paman sudah memberitahukan kepada semua
penduduk desa ini...?" tanya Panji setelah menjawab pertanyaan Ki Ganjira.
"Semua sudah kusampaikan, Panji. Aku yakin mereka akan menuruti pesan itu...,"
sahut Ki Ganjira tanpa keraguan sedikit pun.
"Syukurlah kalau begitu," tukas Panji menghela napas lega. Kemudian
menengadahkan kepala menatap langit yang ditaburi gemintang. "Sudah hampir
tengah malam. Sebaiknya kita segera bersiap dengan tugas masing-masing...,"
lanjut Panji memandang orang-orang yang berada di ruangan itu.
Mendengar ucapan Panji, Ki Ganjira beserta dua puluh orang keamanan Desa Kalang
segera bangkit. Mereka siap menjalankan rencana yang sudah diatur oleh pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Seperti yang telah kita rencanakan, aku dan Kenanga akan meronda sebelah timur
dan barat. Ki Ganjira bersama sepuluh orang ke selatan. Dan lainnya mengambil
arah utara. Beri tanda jika salah seorang dari kita menemukan sesuatu yang
mencurigakan,"
jelas Panji kembali mengutarakan rencananya.
"Ingat! Jangan sembarangan memberi tanda bila belum pasti...!"
Ki Ganjira dan dua puluh orang keamanan Desa Kalang menganggukkan kepala.
Mereka bergerak setelah Panji memberikan beberapa petunjuk lagi.
"Hati-hati, Kenanga! Jangan bertindak ceroboh. Ingat pesanku...!" Panji
mengingatkan kekasihnya setelah rombongan Ki Ganjira meninggalkan tempat itu.
"Beres, Kakang...," sahut Kenanga tersenyum menggoda. Kemudian melesat ke arah
timur seperti yang telah direncanakan Panji.


Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panji sendiri tidak segera beranjak dari tempatnya. Pemuda itu menunggu sampai
bayangan kekasihnya hilang dari pandangan. Kemudian baru menggenjot tubuhnya
menuju ke barat. Beberapa kali lompatan saja bayangan Panji telah jauh
meninggalkan tempat kediaman Kepala Desa Kalang, dan lenyap ditelan kegelapan
malam. *** Dengan ilmu larinya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Panji bergerak di
atas rumah-rumah penduduk. Sepasang matanya mengawasi jalan di bawahnya. Di
tempat-tempat yang terlindung kegelapan pemuda itu menghentikan larinya, dan
baru kembali melesat setelah memperhatikan sekitarnya agak lama.
Setelah mencapai tepi desa, Panji memutar tubuhnya kembali ke arah semula. Kali
ini ia tidak terlalu bergegas. Bahkan seringkali berhenti mengawasi sekitar.
Pendengarannya dikerahkan untuk menangkap suara gerakan yang mencurigakan. Belum
lagi jauh pemuda itu meninggalkan tepi desa, telinganya yang tajam menangkap
suara yang membuatnya tersentak!
Hm.... Panji bergumam dalam hati seraya menajamkan pendengaran. Meski suara itu tidak
begitu jelas terdengar, namun Panji yakin ia pernah mendengarnya.
"Hiii...!"
Tidak salah lagi! Suara lengkingan itu pasti milik bocah-bocah aneh"! Itu
berarti bocah-bocah itu masih ada yang lain lagi. Berapa banyak jumlah bocahbocah itu sebenarnya..." Gumam Panji dalam hati. Kemudian bergegas melesat ke
tepi desa. Dari sanalah suara lengkingan itu berasal.
Karena tidak ingin suara itu membuat gelisah penduduk Desa Kalang, Panji berniat
menghadangnya di tepi desa. Dengan demikian penduduk tidak perlu terbangun dari
tidurnya. Meski Panji tidak yakin benar penduduk dapat terielap dalam suasana
yang penuh ketegangan itu.
Bagai hantu yang keluar mencari mangsa, tubuh Panji bergerak cepat menuju asal
suara lengkingan. Sepasang matanya yang tajam dan mampu menembus kegelapan malam
bergerak menjelajahi tempat-tempat di sekitarnya.
Hm.... Panji kembali bergumam dalam hati, saat sepasang matanya menangkap gerakan
titik-titik hitam di depannya, ia dapat menduga titik-titik hitam yang kian
nyata itu sosok bocah-bocah yang memiliki ketangguhan tidak lumrah.
Tujuh orang..." Jumlah bocah itu ternyata lebih banyak dari kemarin. Tapi, tidak
kulihat sosok lain di antara mereka. Mungkinkah mereka tidak mempunyai majikan"
Atau salah satu dari ketujuh bocah itu yang menjadi pimpinannya..." Gumam Panji
dengan kening berkerut seraya memperhatikan ketujuh sosok bocah aneh itu.
Namun Panji tidak bisa lama-lama memikirkan hal itu. Sosok bocah-bocah aneh itu
sudah semakin dekat dari tempatnya berada. Tubuhnya segera meluncur turun dari
atas pohon dan menghadang jalan menuju Desa Kalang.
"Hiii...!"
Lengkingan yang diperdengarkan bocah-bocah aneh itu terdengar semakin tinggi
seperti hendak merobek langit kelam. Mereka marah melihat ada yang menghadang
jalannya. "Anak-anak baik, harap berhenti sebentar...!" Panji berdiri tegak menghadang
bocah-bocah aneh itu. Sepasang matanya bersinar di kegelapan malam, menatap
sosok di depannya satu persatu.
"Gila..."!" ucap Panji terkejut melihat sinar mata bocah-bocah aneh itu bersorot
kehijauan. Ada suatu kekuatan aneh terpancar dari sana, membuat dada Panji agak
bergetar. Tatapan mata-mata itu mendatangkan suatu keinginan untuk segera tunduk
dan menyembah mereka. Tahulah Panji kalau bocah-bocah aneh itu memiliki kekuatan
sihir yang ampuh! Kalau saja ia tidak terdidik dengan baik dan memiliki kekuatan
gaib yang mukjizat, mungkin Panji sudah bertekuk lutut menyembah bocah-bocah
aneh itu. Hm.... Panji bergumam pelan mengerahkan kekuatan mukjizatnya untuk melumpuhkan kekuatan
sihir bocah-bocah gundul itu Dan mencoba mengembalikan pengaruh sihir itu agar
berbalik hingga merekalah yang takluk.
Lagi-lagi Panji harus mengakui kehebatan bocah-bocah aneh itu. Usahanya sia-sia.
Bocah-bocah itu tetap tegak, bahkan tanpa melepaskan tatapan dari wajahnya.
Sadarlah Panji kalau perbuatannya tidak berarti bagi mereka.
Ketujuh bocah gundul berkulit hitam itu bergerak maju disertai lengkinganlengkingan yang menggetarkan jantung. Mereka bergerak mengelilingi Panji.
Bocah-bocah itu tampaknya cukup tahu lawan yang dihadapinya tidak bisa
diremehkan begitu saja. Mereka kelihatan berhati-hati dan tidak segera
melancarkan serangan.
Baru saja Panji hendak mengajukan pertanyaan kepada bocah-bocah aneh itu, tibatiba terdengar lengkingan lain yang membuat parasnya berubah tegang!
"Suiiit...!"
Siulan panjang itu sangat dikenal baik oleh Panji. Itu adalah siulan Kenanga
yang berarti kekasihnya tengah menghadapi lawan berat! Karuan saja pemuda itu
terkejut bukan main! Wajahnya sempat diliputi ketegangan.
Celaka...! Kenanga memerlukan bantuan secepatnya...! Sedangkan ketujuh bocah ini
tidak bisa kutinggalkan begitu saja. Untuk melumpuhkannya memerlukan waktu yang
tidak sedikit! Desis Panji dalam hati, gelisah bukan main. Di satu pihak ia
mengkhawatirkan keselamatan Kenanga. Sedang di pihak lain, Panji tidak bisa
meninggalkan ketujuh bocah aneh itu begitu saja. Mereka akan menyebar malapetaka
bila tidak segera ditundukkan.
Sadar bahwa ia harus mengambil keputusan, Panji segera menyiapkan jurusnya untuk
melumpuhkan bocah-bocah aneh itu. Kalau tidak kekasihnya akan celaka. Panji
hanya bisa berharap agar kedua rombongan lain mendengar siulan kekasihnya.
Dengan begitu, ia bisa menghilangkan kecemasannya.
"Maaf, Anak-anak Baik. Aku terpaksa harus merobohkan kalian selekasnya...,"
gumam Panji langsung mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Hanya tenaga
mukjizat itulah yang dapat melumpuhkan bocah-bocah aneh yang tangguh itu!
"Haiiit...!"
Seiring dengan lengkingan panjang yang menggetarkan jantung, Panji berkelebat
mengirimkan serangan ke arah dua bocah yang berada di depannya.
Whusss...! Serangkum angin keras membawa hawa panas membakar, menyebar ke sekitar tempat
itu. Kali ini Panji tidak lagi sekadar merobohkan, tapi langsung menghabisi
nyawa lawan-lawannya. Sebab bocah-bocah itu tidak dapat disembuhkan dari
keadaannya sekarang.
"Hiii...!"
Namun, bocah-bocah itu bukan sasaran yang empuk! Selain memiliki kekebalan tubuh
yang aneh, mereka dapat bergerak secepat angin. Dua buah serangan pembukaan yang
dilontarkan Panji hanya mengenai tempat kosong. Bocah-bocah itu sudah
berlompatan menghindar!
"Hiii...!"
Lima bocah yang berada di sekitarnya, melontarkan serangan dengan bersamaan.
Keadaan itu sempat menyulitkan Panji, ia harus mengelak sekaligus mengirimkan
serangan balasan dengan cepat! Kalau tidak, kemungkinan besar ia akan terkena
pukulan salah seorang pengeroyoknya. Tentu saja hal itu tidak diinginkan.
Maka.... "Yeaaah...!"
Sambil memejamkan mata rapat-rapat, Panji menyilangkan kedua tangannya di depan
dada. Pemuda itu menyiapkan jurus 'Naga Sakti Ciptakan Topan Prahara' yang
merupakan salah satu jurus ampuh dari 'Ilmu Silat Naga Sakti' warisan Eyang
Tirta Yasa alias Malaikat Petir!
Dibarengi 'Pekikan Naga Marah' Panji mengibaskan kedua lengannya ke kiri-kanan!
Dan.... Werrr...!
Sebentuk angin dahsyat tercipta dari kibasan sepasang lengan Pendekar Naga
Putih! Akibatnya bukan main hebatnya! Tubuh bocah-bocah aneh itu terdorong deras
ke belakang! Hawa panas membakar membuat bocah-bocah itu menjerit setinggi
langit! Dan jatuh ke tanah dengan tubuh hangus seperti terpanggang api! Kemudian
luluh menjadi debu yang beterbangan ditiup angin. Bocah-bocah aneh yang
menggiriskan itu tewas tanpa bekas!
Panji termenung tanpa rasa puas sedikit pun pada wajahnya. Bahkan ada bias sesal
tergambar samar. Jurus 'Naga Sakti Ciptakan Topan Prahara' memang belum pernah
dipergunakannya. Sebagaimana pesan gurunya, jurus itu tidak boleh dipergunakan
kecuali dalam keadaan genting dan sangat terpaksa. Apa yang dipesankan Malaikat
Petir ternyata bukan omong kosong! Panji sendiri bergidik melihat akibat jurus
dahsyatnya itu.
Semua dilakukannya dengan sangat terpaksa. Selain musuh-musuhnya sangat tangguh,
ia khawatir akan nasib kekasihnya yang mungkin tengah terancam maut!
"Kenanga...." Teringat akan kekasihnya, Panji berdesis cemas. Tubuhnya
berkelebat menuju arah timur!
Rasa cemas akan keselamatan kekasihnya membuat Panji mengerahkan seluruh
kepandaian ilmu lari cepatnya. Tubuh pemuda itu tidak dapat lagi tertangkap
mata. Sosoknya berubah menjadi seberkas sinar putih yang meluncur di atas tanah.
Kecepatannya yang sangat luar biasa membuat semak perdu yang dilaluinya tercabut
dari tanah dan beterbangan kian kemari! Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya
kecepatan ilmu lari pemuda itu. Semua terjadi karena ia merasa khawatir akan
keselamatan dara yang sangat dicintainya.
Apa yang dilihat Panji kemudian benar-benar mendidihkan darah pemuda itu!
Kedatangannya nyaris terlambat! Saat itu Kenanga tengah bergerak mendekati
seorang lelaki gemuk pendek berkepala gundul. Langkah Kenanga seperti orang
kehilangan semangat! Panji tahu kekasihnya berada dalam pengaruh sihir lelaki
gundul yang sepasang matanya bersinar kehijauan.
"Keparat busuk...!" desis Panji tak dapat menahan kemarahan yang menyesakkan
dadanya. Apalagi di sekitar tempat itu mayat-mayat keamanan desa bergeletakan
dengan kepala pecah! Maka....
"Kreeeaaakh...!"
Diiringi 'Pekikan Naga Marah' yang laksana ledakan puluhan petir di angkasa,
tubuh Pendekar Naga Putih melayang ke arah sosok gemuk pendek yang nyaris
memeluk kekasihnya.
Bukan main dahsyatnya pekikan yang diperdengarkan Panji! Angin keras bagai
putaran topan berhembus! Pepohonan di sekitar tempat itu berderak seperti hendak
tumbang. Ranting-ranting pohon dan dedaunan beterbangan. Bahkan mayat-mayat yang
bergeletakan di sekitar tempat itu terseret sejauh satu tombak lebih!
Tubuh Kenanga yang beberapa jengkal lagi berada dalam pelukan lelaki pendek
gemuk itu terdorong ke belakang dan jatuh bergulingan! Untunglah dara jelita itu
dalam pengaruh kekuatan sihir. Sehingga 'Pekikan Naga Marah' yang diperdengarkan
Panji dengan pengerahan tenaga gabungannya tidak membuat dara jelita itu
terluka. Hanya melenyapkan pengaruh sihir yang menguasainya.
Lain halnya dengan sosok gemuk pendek berkepala gundul itu. Teriakan Panji bukan
saja seketika melumpuhkan kekuatan sihirnya. Tubuh gemuk itu terdorong keras
sejauh dua tombak lebih. Meskipun kedudukannya tetap tegak sewaktu terdorong,
namun guratan tanah sedalam setengah jengkal, bekas tapak kaki lelaki gemuk
pendek itu, membuktikan betapa hebatnya pengaruh yang dirasakan sosok itu.
"Gilaaa...! Ini benar-benar gila...!"
Sosok pendek gemuk memaki geram. Wajah diliputi keheranan besar. Apa yang
terjadi pada dirinya hampir tidak dapat diterima akal. Sosok itu baru berani
mengangkat wajahnya setelah geseran tubuhnya terhenti.
Panji sendiri tidak peduli dengan sosok pendek gemuk itu. Tubuhnya langsung
meluruk ke arah Kenanga yang jatuh bergulingan. Kemudian menyambar tubuh
kekasihnya dan melompat agak jauh, khawatir jika sosok pendek gemuk itu
membokongnya. "Kenanga..."!"
Panji mendesis menyebut nama kekasihnya. Dara jelita itu tidak sadarkan diri.
Rupanya dua kekuatan yang bertemu dalam dirinya membuat gadis itu jatuh pingsan.
Cepat Panji memeriksanya.
"Kenanga...," bisik Panji dengan hati lega ketika tidak menemukan tanda-tanda
kekasihnya mengalami luka yang mengkhawatirkan. Baru saja ia hendak merebahkan
dara jelita itu di atas rerumputan, terdengar langkah suara banyak orang
mendatangi tempat itu membuat Panji menoleh.
"Panji..."! Apa yang terjadi...?"
Seorang lelaki tegap datang menghampiri. Pemuda itu merasa lega melihat
kedatangan Ki Ganjira bersama keamanan desa lainnya. Rupanya Ki Ganjira
terlambat tiba di tempat itu karena jarak yang harus ditempuhnya cukup jauh.
"Tolong jaga Kenanga, Ki. Aku akan menghadapi iblis jahat itu..," ujar Panji
tidak menjawab pertanyaan Ki Ganjira. Pemuda itu menyerahkan tubuh kekasihnya
kepada lelaki tua itu. Kemudian bergerak menghampiri sosok gemuk pendek yang
saat itu tengah menatap Panji dengan penuh selidik.
"Hm.... Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tegur sosok gemuk pendek
yang adalah Gendruwo Rimba Dandara. Tokoh sesat itu langsung dapat menebak siapa
pemuda tampan berjubah putih itu. Tokoh muda berkepandaian tinggi dalam rimba
persilatan memang tidak begitu banyak. Selain itu nama besar Pendekar Naga Putih
telah banyak didengar orang.
"Hm.... Siapa kau, Orang Tua...?" tanya Panji dengan mengabaikan pertanyaan
Gendruwo Rimba Dandara. Karena hal itu dianggapnya tidak perlu.
"Keparat! Rupanya kepandaianmu telah membuat kau menjadi sombong. Hingga tidak
mau menjawab pertanyaanku. Ketahuilah, saat ini kau sedang berhadapan dengan
Gendruwo Rimba Dandara...!" bentak lelaki gemuk pendek dengan suara parau
menggelegar. "Hm.... Jadi rupanya kau yang menjadi majikan bocah-bocah gundul itu...! Benarbenar keji perbuatanmu, Gendruwo Rimba Dandara! Yang kau lakukan terhadap bocahbocah tak berdosa itu sudah melewati batas! Hanya kematian yang pantas untuk
orang sepertimu...!" geram Panji tak kalah garangnya. Ditentangnya pandangan
mata Gendruwo Rimba Dandara tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Ha ha ha...! Mereka adalah hasil didikanku, Pendekar Naga Putih! Dengan
meminumkan ramuan ciptaanku yang kucampur dengan darah-darah bocah kecil, mereka
memiliki tubuh kebal dan kekuatan sihir yang tangguh. Sayang hasil pekerjaanku
yang memakan waktu tidak sedikit itu telah kau lumpuhkan. Entah cara apa yang
kau pergunakan untuk mengalahkan mereka...?"
"Mereka tidak dapat kusembuhkan lagi. Jadi terpaksa kulenyapkan agar penderitaan
mereka tidak berkepanjangan. Sekarang bersiaplah untuk menebus dosa-dosamu,
Gendruwo Rimba Dandara...!"
Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera menyiapkan jurus-jurusnya. Sepasang
matanya menatap tajam sosok Gendruwo Rimba Dandara yang segera menyiapkan
ilmunya. Lelaki gemuk itu tahu Pendekar Naga Putih tidak ingin berpanjang kata
lagi. "Haiiit...!"
Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan selekas mungkin melesat dengan
serangan-serangan mautnya! Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga datang
susul-menyusul disertai hembusan angin dingin menusuk tulang!
Gendruwo Rimba Dandara tampaknya tidak ingin main-main menghadapi Pendekar Naga
Putih. Ilmu-ilmu tinggi hasil ciptaannya di dalam goa yang terletak di bibir
jurang langsung dikerahkan. Sepuluh tahun lebih ia mempersiapkan diri di dalam
goa untuk menebus kekalahannya. Kini ilmu itu dipergunakan untuk menghadapi
Pendekar Naga Putih yang kepandaiannya telah menggetarkan rimba persilatan.
"Yeaaat...!"
Hawa panas menyengat menyebar saat Gendruwo Rimba Dandara menyambut
serangan Pendekar Naga Putih. Sebentar saja kedua tokoh itu telah terlibat
sebuah pertarungan mati-matian!
Melihat kedahsyatan pertarungan dua tokoh tingkat tinggi itu, Ki Ganjira
memerintahkan kawan-kawannya untuk menjauh. Hawa dingin dan panas yang bergantiganti terasa sampai tiga tombak lebih jauhnya.
"Haaat...!"
Ketika pertempuran menginjak jurus kedelapan puluh lima, Pendekar Naga Putih
kembali mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'. Meskipun tanpa menggunakan tenaga
gabungan, namun kedahsyatannya tidak bisa dipandang remeh! Apalagi Panji
mengiringi dengan juris 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan salah
satu jurus pamungkas dari rangkaian 'Ilmu Silat Naga Sakti'.
Whut whut whuttt...!
"Aaaiii..."!"
Gendruwo Rimba Dandara terperanjat ketika sepasang matanya tidak dapat melihat
gerakan lawan. Tubuh Panji terbungkus sinar putih keperakan yang berpendar
menyilaukan mata. Sehingga....
Bret bret breshhh...!
"Aaargh...!"
Darah segar berhamburan saat cakar-cakar naga Panji merobek tubuh lawan. Lalu
mengakhirinya dengan gedoran sepasang telapak tangannya! Tanpa ampun lagi, tubuh
Gendruwo Rimba Dandara terlempar deras. Dan jatuh berdebum di tanah berumput
dengan napas putus! Berakhirlah riwayat tokoh sesat yang menggiriskan itu di
tangan Pendekar Naga Putih.
Setelah merasa yakin lawannya telah binasa, Panji bergegas menghampiri rombongan
Ki Ganjira. Mereka kembali ke tempat kediaman Kepala Desa Kalang dengan membawa


Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh Kenanga yang belum sadarkan diri.
*** Tok tok tok...!
Panji bergerak bangkit dari atas pembaringan ketika pintu kamarnya diketuk
orang. Pertarungan semalam yang sangat melelahkan membuat Panji terlelap dengan pulas.
"Siapa...?" tanya Panji bergerak menghampiri pintu.
"Aku, Kenanga...."
"Ada apa. Kenanga" Pagi sekali kau bangun...?" tanya Panji begitu pintu kamarnya
terbuka. Didapatinya dara jelita itu tengah tersenyum manis dengan wajah segar
bersinar-sinar. "Kakang, dua orang murid Perguruan Kepalan Sakti datang membawa
sesuatu untukmu. Cepatlah kita temui mereka...," beritahu Kenanga.
Meski agak heran, Panji bergegas menemui dua orang murid Perguruan Kepalan Sakti
setelah membersihkan tubuhnya terlebih dulu. Didapatinya Balitang dan seorang
murid yang tidak dikenalnya sedang ditemani Ki Ganjira.
"Pendekar Naga Putih...," sambut kedua orang itu membungkuk hormat, membuat
kening Ki Ganjira berkerut. Pemuda tampan bernama Panji itu ternyata Pendekar
Naga Putih yang telah menggemparkan rimba persilatan.
"Kami menyampaikan amanat dari guru. Beliau telah tewas kemarin petang di tangan
Gendruwo Rimba Dandara. Surat ini ditulis beliau sebelum bertarung dengan iblis
jahat itu...," jelas Balitang menyerahkan segulung surat kepada Panji.
Bukan main terkejutnya Panji mendengar kematian Ki Parwana. Rupanya
Gendruwo Rimba Dandara telah mendatangi Perguruan Kepalan Sakti sebelum
menyantroni Desa Kalang. Tanpa banyak cakap lagi, dibukanya lembaran kulit kayu
itu. Dan dibacanya tulisan yang tertera di dalamnya.
"Apa pesan Ki Parwana, Kakang...?" tanya Kenanga setelah Panji menggulung
kembali surat itu.
"Beliau berpesan agar aku bersedia menurunkan sedikit kepandaian kepada muridmuridnya...."
"Lalu...?" Kenanga meminta kepastian kekasihnya.
"Pesan seseorang yang sudah meninggal tidak bisa kita abaikan begitu saja. Aku
akan tinggal di Perguruan Kepalan Saku untuk beberapa lama...," sahut Panji
membuat Kenanga mengangguk maklum.
Pagi hari itu juga Panji mohon diri kepada Ki Ganjira. Kemudian berangkat
bersama Balitang dan seorang murid Perguruan Kepalan Sakti. Kenanga ikut serta.
Karena ke mana kekasihnya pergi, dara jelita itu selalu menyertai. Tidak peduli
harus mengarungi kesusahan sekalipun.
Ki Ganjira dan warga Desa Kalang mengantar kepergian Panji hingga perbatasan
desa. Mereka baru bergerak pulang setelah bayangan keempat orang itu lenyap dari
pandangan. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Pusaka Negeri Tayli 14 Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas Pedang Keadilan 30

Cari Blog Ini