Ceritasilat Novel Online

Keturunan Datuk Persilatan 1

Pendekar Naga Putih 37 Keturunan Datuk Datuk Persilatan Bagian 1


KETURUNAN DATUK-DATUK PERSILATAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit T. Hdayat
Serial Pendekar Naga PuHh
dalam episode: Keturunan Datuk-Datuk Persilatan
128 haL ; 12 x 18 cm
1 "Heyaaa... heyaaa...!"
Suara bentakan nyaring itu terdengar berkali-kali, merobek suasana siang yang
sunyi. Debu mengepul mengiringi suara derap bergemuruh, yang diselingi suara
berderit dari roda-roda kereta kuda, menggilas bebatuan.
Ctarrr.... Ctarrr...!
Suasana bising itu, masih diselingi pula ledakan cambuk sang Kusir, yang
merobek-robek angkasa. Semua itu makin menambah riuhnya suasana.
Kereta yang melaju pesat itu ditarik dua ekor kuda, dan diikuti beberapa
penunggang kuda di belakangnya. Sedangkan di bagian depan, terdapat dua orang
penunggang kuda lainnya.
Jelas, rombongan orang berkuda itu merupakan pengawal dari kereta kuda itu.
Rombongan kecil yang membawa sebuah bendera kuning berlukiskan seekor harimau
belang itu, bergerak cepat membelah jalan yang di kiri dan kanannya terdapat
pepohonan. Melihat dari huruf-huruf yang tertera pada bagian samping kereta, jelas mereka
sedang mengawal barang.
Dalam dunia persilatan, rombongan pengawal barang Harimau Terbang memang sangat
terkenal. Dan, selama bertugas, tidak pernah sekali pun perkumpulan itu
meninggalkan cacat.
Setiap mendapat pesanan untuk mengantarkan sesuatu, mereka selalu menyelesaikan
tugas dengan baik. Sehingga, nama pengawal barang Harimau Terbang makin terkenal
dan dipercaya para saudagar kaya.
Kelompok pengawal barang yang bernaung di bawah bendera Harimau Terbang, bukan
hanya dikenal di kalangan saudagar kaya saja. Tapi, kaum rimba persilatan pun
banyak yang mengikat tali persahabatan dengan kelompok itu. Luasnya pergaulan
kepala perkumpulan itulah yang membuat mereka selalu dapat menyelesaikan
tugasnya dengan baik. Karena, kaum perampok dan begal merasa segan untuk
berurusan dengan Kelompok Harimau Terbang.
Bukan hanya keluasan hubungan ketua perkumpulan itu yang membuat para perampok
dan begal segan
mengganggunya. Tapi, kebaikan hati ketua perkumpulan itu pun membuat para
perampok dan begal menghormatinya.
Tidak jarang ketua perkumpulan itu memberi hadiah kepada mereka sebagai ikatan
tali persaudaraan. Semua itu membuat Kelompok Harimau Terbang tidak pernah
mendapatkan gangguan dari para perampok dan begal dalam menunaikan tugasnya.
Tapi, perkumpulan pengantar barang Harimau Terbang itu bukan sekumpulan orangorang penakut dan lemah. Selain pemimpinnya seorang tokoh persilatan yang
disegani, para anggotanya pun rata-rata memilikia kepandaian yang dapat
diandalkan. Tidak jarang kelompok pengantar barang itu harus berurusan dengan
para perampok yang tidak mau peduli dengan bendera maupun nama ketua mereka.
Namun, semua itu dapat ditanggulangi dengan baik oleh Kelompok Harimau Terbang.
Sehingga, nama mereka semakin terkenal dan disegani kawan maupun lawan.
Menjulangnya nama Kelompok Harimau Terbang, membuat para saudagar lebih
mempercayakan barang-barangnya kepada mereka. Sehingga, hampir setiap hari
kelompok itu harus mengantarkan barang dagang atau upeti para saudagar.
Seperti biasanya, kali ini Kelompok Harimau Terbang mendapat kepercayaan dari
seorang pelanggannya. Barang yang akan mereka antarkan, pesanan seorang saudagar
kaya di kota kadipaten.
Setelah agak lama menyusuri jalan lebar yang cukup ramai oleh penduduk. Mereka
mulai memasuki mulut sebuah hutan.
Cuaca yang remang-remang karena cahaya matahari terhalang rimbun daun pepohonan,
membuat rombongan itu bergerak lebih lambat dari semula.
Ketika rombongan pengawal barang itu semakin dalam memasuki hutan, mendadak dua
orang yang berada di depan mengangkat tangannya ke atas. Karuan saja kusir
kereta barang itu segera menarik tali kudanya. Dan, kereta pun berhenti.
Dua orang dari enam rombongan yang berada di belakang, bergerak melarikan
kudanya. Begitu tiba di samping penunggang kuda terdepan, ia segera menarik tali
kudanya. "Ada apa, Kakang?" tanya lelaki brewok yang datang dari belakang itu dengan nada
heran. "Apa kau ingin kita beristirahat di dalam hutan ini?"
"Tidak, Adi Galing. Tapi, sepertinya aku mendengar sesuatu yang mencurigakan di
sekitar daerah ini," sahut lelaki gagah berusia lima putuh tahun, yang
sepertinya pimpinan rombongan kecil itu. Sambil berkata, ia mengedarkan
pandangannya dengan sikap waspada.
"Ah, yang Kakang dengar tadi, mungkin suara binatang hutan. Mereka berlarian
karena terganggu oleh kehadiran kita.
Seperti kita ketahui, daerah hutan ini sama sekali tidak rawan.
Jadi, kecurigaan Kakang itu sama sekali tidak beralasan,"
bantah lelaki brewok yang dipanggil dengan nama Galing itu.
Menilik dari jawabannya, jelas kalau ia sama sekali tidak merasa cemas dengan
ucapan pimpinannya.
"Hm...," lelaki gagah yang memimpin rombongan itu hanya bergumam pelan
menanggapi bantahan anggotanya. "Apakah kau tidak mendengarnya, Adi Bana Raga?"
tanyanya sambil berpaling ke arah kawannya yang berada di sebdah kiri.
Lelaki berusia empat puluh lima tahun yang merupakan orang kedua dalam rombongan
itu, terdiam sejenak. Sepertinya lelaki yang bernama Ki Bana Raga itu hendak
memastikan, sebelum menjawab pertanyaan pimpinannya. Setelah mendapatkan
jawaban, baru ia berpaling ke arah pimpinannya.
"Munkin aku pun sempat mendengarnya tadi, Kakang. Tapi, aku kurang yakin, apakah
suara itu patut kita curigai. Selain itu, yang kudengar tadi, mungkin tidak sama
dengan apa yang Kakang Mahinta dengar. Sebab, yang kudengar hanyalah suara-suara
yang mirip jeritan seekor kera," jawab Ki Bana Raga dengan wajah yang tetap
tenang. Meskipun sebenarnya ia merasa curiga, tapi perasaan itu lenyap begitu
saja. Seperti halnya Galing, Ki Bana Raga tahu kalau Hutan Grambang yang mereka lalui
itu merupakan daerah yang aman.
Dan, selama ia bergabung dengan kelompok pengawal barang Harimau Terbang, tak
pernah sekalipun mereka mendapat halangan di hutan itu. Pengalaman itulah yang
membuatnya bersikap tenang, tanpa rasa curiga sedikit pun.
"Aneh. Apa yang kudengar, justru berbeda. Bukan suara-suara itu yang
kumaksudkan, Adi Bana Raga. Tapi, gerakan-gerakan yang mirip dengan langkah kaki
manusia itulah yang membuat aku curiga," sanggah Ki Mahinta, pimpinan rombongan
itu, dengan kening berkerut. Jawaban itu sepertinya bukti bahwa Ki Mahintalah
yang mendengar suara itu.
Berbeda dengan Ki Bana Raga, Galing, atau anggota lainnya, Ki Mahinta adalah
seorang yang sangat berpengalaman, dalam kelompok Harimau Terbang. Dan, jasanya
terhadap perkumpulan pengantar barang itu pun tidak sedikit. Bahkan ketua
perkumpulan itu sendiri sangat mengagumi Ki Mahinta.
Ki Mahinta memang memiliki kelebihan, terutama kekuatan nalurinya. Sehingga,
tidak jarang lelaki gagah itu dapat menyelamatkan barang-barang antarannya,
dengan cara memutar jalan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Meski semua itu hanya bersandar pada kekuatan naluri Ki Mahinta, namun
seringkali menjadi kenyataan.
"Hm..., mungkinkah di wilayah Hutan Grambang ini ada gerombolan perampok...?"
gumam Ki Bana Raga yang jelas-jelas meragukan dugaan Ki Mahinta. Sambil
bergumam, lelaki kunis itu mengedarkan pandangannya berkeliling dengan kening
berkerut. "Kemungkinan itu akan selalu ada, Adi Bana Raga. Bisa saja gerombolan perampok
yang mengungsi dari daerahnya. Dan, mereka belum mengenal siapa kita. Jadi,
kuharap kalian semua selalu waspada...," Ki Mahinta yang tetap mencurigai
langkah-langkah yang didengarnya tadi, mengingatkan kepada anggotanya.
Setelah mendengar perkiraan itu, barulah Ki Bana Raga dan Galing menganggukanggukkan kepala. Sepertinya kedua orang itu mulai dapat menerima alasan yang
dikemukakan pimpinannya.
"Kalau begitu aku harus mengingatkan kawan-kawan yang lain, Kakang...," ujar
Galing yang segera mengajak kawannya melarikan kudanya ke belakang kereta.
Sepeninggal kedua orang anggotanya, Ki Mahinta kembali memerintahkan
rombongannya untuk bergerak maju. Sambil
tetap menjalankan kudanya perlahan, pimpinan rombongan itu tampak senantiasa
memusatkan pikirannya. Jelas kalau lelaki gagah setengah baya itu telah siap
menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Belum lagi rombongan kecil itu bergerak jauh, tiba-tiba terdengar suara
berdesingan nyaring.
Swingngng... syuuut..!
"Awaaas...!"
Ki Mahinta yang memang sejak tadi telah bersiap, segera berseru mengingatkan
anggotanya. Dan, lelaki setengah baya itu segera mencabut pedangnya yang
tergantung di pinggang kirinya. Diputarnya senjata itu hingga membentuk gulungan
sinar yang membungkus sekujur tubuhnya.
Trakkk! Trakkk!
Terdengar suara benturan keras yang disusul bunyi berderak. Beberapa batang anak
panah yang mengancam tubuh Ki Mahinta, langsung berjatuhan dalam keadaan patah!
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar jeritan susul-menyusul. Dua orang
anggota Kelompok Harimau Terbang, terjungkal dari atas punggung kudanya. Tubuh
mereka masing-masing tertancap empat batang anak panah! Sudah dapat dipastikan,
kedua anggota Ki Mahinta itu tewas akibat serangan gelap!
"Cepat berlindung...!"
Ki Mahinta sebagai seorang pimpinan, memang patut mendapat acungan jempol.
Lelaki gagah itu segera dapat menguasai keadaan, dan langsung memberikan jalan
keluar kepada anggotanya yang masih selamat.
Lelaki gagah pimpinan rombongan kecil itu sendiri, tidak tinggal diam. Setelah
memperingatkan anggota-anggotanya, ia segera melesat dan berjumpalitan di udara
dengan disertai putaran pedangnya.
Kembali terdengar suara benda berpatahan, ketika tubuh Ki Mahinta masih berputar
di udara. Entam batang anak panah berjatuhan dalam kedaan patah.
Melihat dari gerakan yang ditunjukkannya, jelas Ki Mahinta bukanlah orang yang
mudah menjadi sasaran serangan gelap.
Terbukti lelaki setengah baya itu dapat menyelamatkan nyawanya untuk yang kedua
kali. Dan, untuk kesekian kalinya, Ki Mahinta kembali menunjukkan kehebatan ilmu
meringankan tubuh. Benturan enam batang anak panah itu, ia gunakan sebagai
jembatan untuk kembali berputaran, kemudian kedua kakinya mendarat tepat di
samping kereta kuda.
"Hm..., siapa pun mereka, aku harus membuat perhitungan!
Kematian kedua orang kita harus dapat ditebus dengan nyawa pengecut-pengecut
licik itu, Kakang...," geram Ki Bana Raga yang sudah berada di samping kereta,
sebelum Ki Mahinta tiba.
"Hal itu boleh saja, Adi. Tapi, kita harus waspada, dan jangan bertindak
ceroboh. Selain kita tak mengetahui di mana mereka berada, juga kita belum
mengetahui kekuatan mereka.
Jadi, kuharap kau jangan bertindak gegabah," pesan Ki Mahinta. Meskipun ia
menyetujui ucapan pembantunya, tapi tetap mengingatkan dengan penuh ketegasan.
Ki Bana Raga, lelaki berusia empat puluh lima tahun itu mengangguk pasti.
Kendati rasa kemarahan telah memuncak, Ki Bana Raga tetap menghormati ucapan
pimpinannya. Hal itu membuktikan kalau Ki Mahinta merupakan pimpinan yang
disukai dan dihormati oleh anggotanya.
Ki Mahinta sendiri, tetap memerintahkan para anggotanya untuk berlindung di
balik kereta barang. Walaupun saat itu serangan gelap dari lawan telah berhenti,
Ki Mahinta tidak memperkenankan anggotanya bergerak.
Melihat Ki Mahinta seperti tengah memutar otak mencari jalan keluar dari intaian
maut itu, para anggotanya, termasuk Ki Bana Raga dan Galing, sama sekali tidak
berani mengganggu.
Mereka tetap tenang, meskipun keadaan sepertinya sudah mulai aman.
*** Kesunyian yang mencekam dan sangat meresahkan anggota pengantar barang Harimau
Terbang itu, berlangsung cukup lama. Sehingga, beberapa orang di antaranya
terlihat sudah tidak sabar untuk keluar dari persembunyian.
"Ingat! Jangan ada yang bergerak, atau keluar dari tempat persembunyian ini!
Meski keadaan terlihat sudah aman, tapi siapa tahu musuh masih menunggu dengan
anak-anak panahnya. Kuharap kalian semua dapat mengerti dan tidak bertindak
menuruti kemauan sendiri," pesan Ki Mahinta lagi ketika matanya menangkap rasa
gelisah beberapa orang anggotanya.
Meskipun Ki Mahinta sendiri tidak merasa tenteram dengan kesunyian yang mencekam
itu, namun ia tetap menekan keinginannya untuk keluar dari persembunyian.
Setelah beberapa saat kembali terlewat tanpa suatu gerakan Ki Mahinta bergerak
dengan tubuh membungkuk menghampiri Ki Bana Raga.
"Bana Raga, kita harus bergerak, untuk memancing penyerang-penyerang gelap itu.
Dengan demikian, mungkin kita bisa mengetahui di mana mereka berada. Kau siap?"
tanya Ki Mahinta berbisik lirih.
"Bagaimana caranya, Kakang" Apakah kita harus melompat dan menghalau hujan panah
mereka?" Ki Bana Raga yang sepertinya tidak bisa berpikir dengan baik, dan
meminta petunjuk dari pimpinannya.
Dalam menghadapi keadaan genting seperti itu, Ki Mahinta lebih berpengalaman
daripada dirinya. Sehingga, ia pun menanyakan rencana Ki Mahinta.
"Hm..., sebelum kita memaksa mereka keluar dari persembunyiannya, kita terpaksa
mengambil risiko menghadapi serangan anak panah mereka. Setelah itu, kita harus
berusaha untuk mencapai kuda-kuda kita. Nah, dengan menunggangi kuda, kita paksa
mereka untuk keluar," jelas Ki Mahinta menerangkan rencana yang telah
dipikirkannya dengan matang.
"Baiklah, Kakang. Dan, untuk itu rasanya kita harus berpencar. Dengan demikian,
kita bisa memecah perhatian mereka," ujar Ki Bana Raga yang mulai dapat berpikir
setelah mendengar rencana pimpinannya itu.
"Bagus! Rupanya kau juga dapat berpikir baik, Bana Raga,"
puji Ki Mahinta sambil mengembangkan senyum. Sepertinya apa yang diusulkan
pembantunya itu, memang sejalan dengan pikirannya.
Setelah mereka sepakat dengan rencana itu, Ki Mahinta dan Ki Bana Raga berpencar
ke kiri dan kanan kereta. Pedang mereka telah tergenggam erat-erat. Jelas mereka
telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan!
"Sekarang!"
Setelah berseru demikian, Ki Mahinta melesat dengan kecepatan tinggi, sambil
memutar pedangnya. Beberapa batang anak panah menyambut tubuhnya, dan langsung
dipukul runtuh dengan putaran senjatanya! Kemudian, tubuhnya melesat ke arah
seekor kuda yang tengah merumput di bawah sebatang pohon.
"Heyaaa...!"
Dengan sebuah bentakan nyaring, Ki Mahinta segera menggebah kudanya, begitu
berada di atas punggung binatang itu. Sambil merunduk dengan menggunakan kuda
sebagai perisai, Ki Mahinta membedal kudanya ke arah semak-semak, dari mana
hujan anak panah itu berasal!
Hampir bersamaan dengan Ki Mahinta, Ki Bana Raga pun telah pula berhasil
menunggangi seekor kuda lainnya.
Kemudian, ia terus membedal kudanya menuju kerimbunan semak. Karena, lelaki
kurus itu menduga dari balik kerimbunan semak itulah hujan anak panah mengancam
dirinya. Perhitungan Ki Mahinta ternyata tidak meleset! Begitu kuda yang ditungganginya
melesat ke arah rimbunan semak-semak, beberapa batang anak panah kembali
menyambutnya. Sayang, meskipun ia berhasil menghalau anak panah yang mengancam
dirinya, kuda tunggangannya meringkik kesakitan! Enam batang anak panah menancap
di lehernya. Tapi, nasib baik ternyata masih berpihak kepada lelaki setengah baya itu.
Walaupun kuda tunggangannya terluka parah, namun ia terus saja menerobos semak
belukar tempat para penyerang gelap itu bersembunyi.
"Heaaah...!"
Begitu terlihat beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam melompat dari semaksemak, Ki Mahinta segera menjejakkan kakinya ke punggung kuda. Seketika itu
juga, tubuhnya langsung mencelat ke arah delapan orang lelaki yang keluar dari
gerombolan semak belukar itu.


Pendekar Naga Putih 37 Keturunan Datuk Datuk Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Trangngng! Brettt! Brettt!
Salah satu dari delapan orang berseragam hitam itu, langsung tersungkur dengan
tubuh bermandi darah! Rupanya ia berhasil memapaki sabetan pertama dari senjata
Ki Mahinta, tapi sabetan kedua tidak bisa dielakkan lagi. Sehingga, pedang di
tangan lelaki setengah baya itu, merobek lambung lawannya.
Tujuh orang lelaki berseragam hitam lainnya, langsung mencabut pedang, dan
mengurung Ki Mahinta. Namun, lelaki gagah itu menghadapi lawannya dengan putaran
pedang yang cepat dan menggetarkan! Pertarungan sengit pun tidak bisa
dihindarkan lagi!
Di tempat lain, Ki Bana Raga juga telah berhasil memaksa para penyerangnya
keluar dari persembunyian. Meskipun untuk itu ia terpaksa kehilangan kudanya,
namun lelaki tinggi kurus itu merasa puas! Maka, begitu orang-orang berseragam
hitam yang menyerang secara gelap itu berloncatan ke segala arah, Ki Bana Raga
segera merangsek maju.
Tapi, bukan main terkejut hati Ki Bana Raga ketika mendapat kenyataan lain.
Tujuh orang lelaki berseragam hitam itu ternyata memiliki kepandaian yang tidak
rendah! Sehingga, Ki Bana Raga harus bekerja keras untuk menghadapi keroyokan
lawan-lawannya.
2 Pertempuran yang telah pecah itu, membuat para anggota Harimau Terbang yang
lainnya bersorak gembira. Tanpa perlu menunggu aba-aba lagi, mereka langsung
berlompatan keluar dari balik persembunyiannya.
Lima orang anggota Harimau Terbang, termasuk Galing dan kusir kereta barang itu,
langsung menyerbu ke arena pertempuran. Sudah pasti kelima orang itu di bawah
pimpinan Galing. Karena lelaki brewok itu merupakan orang ketiga setelah Ki
Mahinta dan Ki Bana Raga.
Namun, perbuatan Galing dan anggota lainnya itu mengejutkan hati Ki Mahinta.
Lelaki gagah berusia setengah baya itu, merasa cemas dengan tindakan yang
dilakukan anggotanya.
"Adi Galing...! Jaga kereta barang...!" sambil menghindari sabetan golok salah
seorang pengeroyoknya, Ki Mahinta berseru mengingatkan anak buahnya yang
berwajah brewok itu.
Seruan Ki Mahinta itu, tentu saja membuat Galing sadar kalau kereta barang tidak
terjaga sama sekali.
Maka, tanpa banyak cakap lagi, Galing langsung melesat ke arah kereta bersama
salah seorang kawannya.
Peringatan Ki Mahinta memang bukan sekadar omongan kosong. Lelaki setengah baya
yang telah banyak pengalamah itu, sudah menduga para penghadang itu pasti
mempunyai kawan-kawan yang lain. Dan, hal itu memang terbukti!
Galing dan lelaki tinggi kurus yang berlari dengan maksud untuk menjaga kereta
barang, terkejut bukan main ketika
mendengar sorak-sorai yang gegap gempita. Wajah lelaki brewok dan kawannya itu
berubah tegang! Dari sebelah depan dan belakang kereta, tampak belasan lelaki
berpakaian serba hitam menghambur dengan senjata di tangan!
"Celaka...!" desis Gilang dengan suara bergetar. Meskipun ada kilatan gentar di
matanya, namun lelaki brewok itu bergegas menyilangkan senjatanya di depan dada.
Sikapnya nampak gagah, meski ia sadar akan ancaman maut.
"Kita pertahankan isi kereta ini dengan taruhan nyawa, Kakang..," desis lelaki
kurus di sebelah Galing, yang juga telah bersiap menghadapi maut!
"Tentu, Adi...," sahut Galing dengan suara mantap.
Sepertinya lelaki brewok itu telah mengambil keputusan untuk mempertahankan
barang kawalannya dengan taruhan nyawa!
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Galing dan kawannya berdiri saling membelakangi satu sama lain. Musuh yang
datang menyerang sambil berteriak-teriak itu, langsung mereka sambut dengan
gagah! Sehingga, sebentar saja tubuh kedua orang anggota pengawal barang Harimau
Terbang itu lenyap di tengah kerumunan para pengeroyoknya.
Ki Mahinta dan Ki Bana Raga sempat menyaksikan kejadian itu, hati mereka merasa
cemas bukan main! Terlebih lagi Ki Mahinta yang paling bertanggung jawab
terhadap keselamatan kawan-kawannya mau pun barang kawalan mereka. Sehingga,
wajah lelaki setengah baya itu berubah agak pucat!
Ketegangan dan kecemasan yang memuncak di hati lelaki gagah setengah baya itu,
membuatnya semakin memperhebat serangan-serangan terhadap lawan. Pedang di
tangannya berkelebatan menebarkan hawa maut! Sehingga, ketujuh orang
lawannya sempat terkejut, dan berlompatan mundur karena amukan lelaki tua itu
benar-benar berbahaya!
"Adi Bana Raga, 'Air Pasang'...!" sambil berlompatan ke arah kereta barang, Ki
Mahinta berteriak nyaring dengan kata-kata yang hanya diketahui oleh setiap
anggota Harimau Terbang Brettt!
"Aaakh...!"
Karena perhatiannya terbagi-bagi, Ki Mahinta terpaksa harus menerima akibat dari
kelalaiannya! Sebuah sabetan pedang salah seorang pengeroyoknya membeset pangkal
lengan lelaki gagah itu. Meski tidak terlalu dalam, namun cukup membuat gerakkan
Ki Mahinta agak terhambat.
"Haiiit...!"
Ki Mahinta berjumpalitan sambil mengayunkan pedangnya, merobek perut lawan yang
hampir membuat kepalanya terpenggal!
Brettt! "Aaargh...!"
Pembokong sial itu meraung keras ketika pedang Ki Mahinta membuat ususnya
terburai keluar! Karuan saja tubuh lelaki itu ambruk ke tanah, dan tewas
seketika. Ki Mahinta bergulingan mendekati kereta barang. Namun, delapan orang lelaki
berseragam hitam yang semula mengeroyok dua orang anggotanya itu berbalik
memapakinya. Dan, Ki Mahinta tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Pedang di tangannya langsung saja diputar bergulung, sehingga membentuk gundukan
sinar yang turun naik bagaikan ombak laut!
Wuuuk! Wuuuk! Amukan lelaki setengah baya itu rupanya cukup mengerikan.
Terbukti kedelapan orang lawannya itu langsung berlompatan mundur! Lawannya
menyadari kalau senjata di tangan lelaki setengah baya itu memang behar-benar
berbahaya! "Aaa...!"
Bukan main pucatnya wajah Ki Mahinta ketika mendengar jerit kematian yang susulmenyusul itu. Ia mengenali suara teriakan itu seperti ia mengenali suara
teriakannya sendiri.
"Adi Galing...!" suara yang sebenarnya berupa teriakan itu, terdengar hampir
menyerupai bisikan. Karena selain kesedihan, juga ada kemarahan yang terpendam
dalam dada lelaki setengah baya itu. Sehingga, suara teriakannya tersumbat di
kerongkongan. Belum lagi berbagai perasaan yang bercampur-baur itu sempat ditumpahkannya,
kembali terdengar jerit kematian dari sebelah belakangnya. Sepasang mata tua itu
terbelalak menyaksikan tiga orang anggotanya, terlempar dengan tubuh dipenuhi
luka. Karuan saja lelaki setengah baya itu menggereng seperti harimau luka.
"Biadab!" desis Ki Mahinta dengan kemarahan yang sudah tidak bisa dibendung
lagi. Dengan disertai pekikan nyaring, Ki Mahinta melesat sambil memutar
senjatanya dengan sekuat tenaga.
Namun, apalah artinya kemarahan seorang Ki Mahinta dalam menghadapi keroyokan
para perampok yang rata-rata gesit dan memiliki kepandaian cukup lumayan itu"
Apalagi gerakan-gerakan mereka sangat kompak dan teratur. Maka, meskipun lelaki
setengah baya itu mengamuk bagaikan harimau luka, tetap saja ia tidak mampu
mendesak lawan-lawannya. Malah ia sendiri yang mulai terdesak oleh serangan
lawan-lawannya.
*** Di tempat lain, Ki Bana Raga sendiri sudah terlihat kepayahan. Di beberapa
bagian tubuhnya, tampak luka akibat goresan senjata lawannya. Dan, dari luka itu
mengucur darah segar. Sehingga, pakaian yang dikenakannya sudah tidak dapat
dikenali lagi warnanya.
Tapi, walaupun luka-lukanya terasa perih, Ki Bana Raga sama sekali tidak
menyerah. Dengan gagah lelaki berusia empat puluh lima tahun itu, melakukan
perlawanan yang tidak bisa dipandang remeh! Bahkan dalam keadaan seperti itu, ia
masih mampu merobohkan beberapa penyerangnya yang terdekat! Sehingga, kegagahan
dan perlawanan Ki Bana Raga sempat membuat lawan-lawannya berhati-hati, dan
tidak menyerang sembarangan.
"Berhenti...!"
Di tengah bisingnya suara-suara teriakan dan denting senjata, tiba-tiba
terdengar suara bentakan yang menggelegar!
Hebatnya, pertempuran yang tengah berlangsung sengit itu pun terhenti seketika!
Belum lagi gema bentakan itu lenyap, tahu-tahu muncul sosok tubuh raksasa yang
mengenakan rompi dari kulit ular.
Lengannya yang besar dan berotot itu, tampak ditumbuhi bulu-bulu halus. Demikian
pula dengan wajahnya, dipenuhi oleh kumis, cambang, dan jenggot yang lebat,
membuat penampilan lelaki itu semakin angker. Sedang di kiri dan kanannya tampak
dua orang lelaki yang juga bertubuh kekar, namun sedikit lebih pendek berjalan
mengiringi sosok bertubuh raksasa itu.
"Hidup Ketua Kalya Bantar si Raja Ular Emas...!"
Terdengar teriakan-teriakan memuji dari gerombolan lelaki berpakaian hitam yang
mengeroyok Ki Mahinta dan Ki Bana Raga itu.
"Ha ha ha...! Mundur, Anak-anak. Biar aku sendiri yang akan menghabisi dua
cecunguk yang sok jago ini," terdengar suara tawa serak dan parau dari lelaki
raksasa yang bernama Kalya Bantar itu.
Setelah menghentikan tawanya, ia melangkah menghampiri Ki Mahinta dan Ki Bana
Raga yang telah berdiri saling berdampingan itu.
"Raja Ular Emas...!" desis Ki Mahinta ketika mendengar dan mengenali lelaki
bertubuh raksasa dan berwajah bengis itu.
Dalam nada ucapannya tersembunyi kegentaran. Jelas, Ki Mahinta mengetahui Kalya
Bantar yang berjuluk Raja Ular Emas itu.
Gerombolan perampok Ular Emas memang bukan nama baru bagi telinga Ki Mahinta.
Lelaki setengah baya yang semasa mudanya gemar berpetualang itu, sudah mengenal
siapa sesungguhnya Kalya Bantar. Dialah seorang raja perampok yang sangat
ditakuti di kalangan rimba persilatan. Selain kepandaian lelaki itu sendiri
tidak rendah, juga para pengikutnya rata-rata berkepandaian tinggi. Sehingga,
nama gerombolan perampok itu sangat ditakuti lawan dan disegani kawan.
Ki Mahinta menatap tajam sosok lelaki bertubuh raksasa itu.
Ia sudah tahu sejak lama, wilayah Utara adalah daerah kekuasaan Raja Ular Emas.
Karena itu ia tidak percaya kalau gerombolan perampok yang menakutkan itu muncul
di daerah Selatan.
"Apa yang membuat gerombolan perampok gila ini sampai pindah ke Selatan" Hm...,
pasti ada sesuatu yang menyebabkan
mereka meninggalkan daerah ke kuasannya," gumam Ki Mahinta dengan kening
berkerut dan sepasang mata menyipit.
Lelaki gagah itu sadar betul kalau nyawa mereka berdua seperti telur di ujung
tanduk. Ia tahu betapa ganas dan kejinya Raja Ular Emas itu. Sepanjang
pengetahuannya, tidak pernah ada seorang lawan pun yang dibiarkan hidup oleh
lelaki bertubuh raksasa itu.
"Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali melawan mereka mati-manan. Biar
bagaimanapun mereka pasti tidak akan membiarkan kita berdua hidup," bisik Ki
Mahinta kepada Ki Bana Raga, tanpa mengalihkan pandangannya kepada Raja Ular
Emas. Ki Bana Raga yang juga telah bergabung cukup lama di bawah bendera Harimau
Terbang, tentu saja tahu akan risiko dari pekerjaannya.
"Benar, Kakang. Kita harus mempertahankan diri sampai titik darah terakhir...,"
Ki Bana Raga balas berbisik dengan tatapan mata lurus ke depan.
"Tidak kuduga kalau kita akan berjumpa di sini, Mahinta. Kau tentu masih ingat
kepadaku bukan" Ha ha ha..., sayang nama Pedang Bintang Timur harus terhapus
dari dunia persilatan hari ini," ujar Kalya Bantar memperdengarkan suara tawanya
yang berat dan parau. Menilik dari ucapannya, jelas lelaki bertubuh raksasa itu
mengenal Ki Mahinta yang memang berasal dari Utara.
Kedua orang tokoh dari golongan yang berbeda itu, memang tidak asing satu sama
lainnya. Meskipun di antara mereka tidak mempunyai dendam secara pribadi, tapi
Kalya Bantar si Raja Ular Emas tetap menganggap orang-orang golongan putih
sebagai musuh-musuhnya.
Walaupun mereka tak pernah bertemu dalam sebuah pertarungan, tapi hati kecil
Kalya Bantar menginginkan perjumpaan itu. Tak mengherankan kalau ia
memerintahkan anak buahnya mundur. Karena ia berkeinginan membunuh Ki Mahinta
dengan tangannya sendiri.
"Raja Ular Emas," ujar Ki Mahinta mencoba bersikap tenang,
"Apa yang membuatmu kesasar hingga sejauh ini" Apakah gerombolanmu dikejar-kejar
kerajaan?"
Ki Mahinta memang sengaja melontarkan kata-kata seperti itu untuk membangkitkan
kemarahan Raja Ular Emas. Sebagai orang tokoh tua yang berpengalaman, ia pun
tahu kalau serangan yang dibarengi dengan kemarahan yang tinggi, akan
menimbulkan kelalaian. Dan, keadaan seperti itulah yang dikehendaki Ki Mahinta.
"Ha ha ha..., ucapanmu tidak salah, Pedang Bintang Timur.
Aku memang melarikan diri dari kejaran prajurit kerajaan. Tapi, daerah baru ini
ternyata cukup menyenangkan. Buktinya, baru beberapa hari aku tiba, kau sudah
datang mengantarkan barang-barang berharga untukku. Dan, aku sangat berterima
kasih sekali bila kau juga mau menyerahkan kepalamu untukku," sambut Kalya
Bantar yang ternyata tidak tersinggung dengan ejekan lawannya. Sehingga Ki
Mahinta sempat kehilangan akal dibuatnya.
"Kau melupakan sesuatu, Raja Ular Emas. Sadarkah kalau perbuatanmu ini bisa
mengundang kemarahan ketua kami"
Apabila berita ini sampai terdengar, jangan kau sesali kalau dalam dua hari,
ribuan anggota pengawal barang Harimau Terbang akan mengaduk-aduk seluruh isi
hutan ini untuk membinasakanmu," gagal dengan ejekan, Ki Mahinta mencoba
mengancam Raja Ular Emas dengan bayangan-bayangan yang menyeramkan.
Tapi, ucapan Ki Mahinta itu hanya disambut dengan tawa berkepanjangan. Bahkan
beberapa orang anggota gerombolan Ular Emas ikut memperdengarkan suara tawanya.
Sehingga, Ki Mahinta dan Ki Bana Raga mengerutkan kening dan merasa heran.
Mereka benar-benar tak mengerti mengapa Raja Ular Emas dan pengikutnya malah
menertawakan ancamannya.
"Kau jangan coba-coba menakut-nakuti, Mahinta. Apakah kau pikir aku begitu bodoh
mau kau perdayai dengan ancaman palsumu itu" Agar kau tidak penasaran, baiklah
kuberi tahu. Anggota kelompok pengawal barang Harimau Terbang berjumlah kurang lebih empat
puluh orang. Bahkan ketua yang kau agung-agungkan itu, kini terbaring menanti
ajal. Karena ia telah menderita keracunan akibat pertarungannya dengan seorang
tokoh sesat. Meskipun tokoh sesat itu berhasil dibunuhnya, namun nyawa ketuamu
tidak akan berumur panjang. Aku tahu kalian memang sengaja merahasiakan masalah
ini dari telinga orang-orang persilatan. Tapi, aku si Raja Ular Emas, tidak
pernah ketinggalan berita. Karena telingaku ada di mana-mana. Bahkan aku juga
tahu gerombolan perampok mana yang paling berkuasa di wilayah Selatan ini. Dan,
mereka pun sudah takluk di bawah benderaku.
Ha ha ha...," jelas Kalya Bantar sambil memperdengarkan tawanya yang tidak enak
didengar telinga.
Kaget bukan main Ki Mahinta saat mendengar ucapan lawannya. Ia tak menduga sama
sekali kalau Kalya Bantar telah mengetahui rahasia yang disimpan rapat oleh
kelompoknya. Ki Mahinta sadar kalau ia tidak mempunyai jalan lain, kecuali
bertarung mati-matian.
"Kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu, Raja Ular Emas"
Mari kita selesaikan urusan ini tanpa campur tangan anak buahmu. Tapi, kalau
memang kau takut mati, boleh kau merengek meminta bantuan para pengikutmu yang
banyak itu,"
Ki Mahinta rupanya masih belum kehilangan akal. Dengan cerdiknya lelaki gagah
setengah baya itu melontarkan perkataan, yang jelas-jelas akan membawa
keuntungan bagi pihaknya. Kalau Raja Ular Emas maju seorang diri mereka
mempunyai harapan untuk lolos. Bahkan ada kemungkinan mereka dapat merebut
kembali barangnya.
Kalya Bantar pun bukanlah orang bodoh. Kalau ia berani menjawab tantangan Ki
Mahinta, sudah pasti ada sesuatu yang diandalkannya. Dan, jawaban yang keluar
dari mulut lelaki raksasa itu, ternyata tidak meleset dari harapan Ki Mahinta.
"Ha ha ha...! Kau memang sangat cerdik, Ki Mahinta. Tapi jangan khawatir. Aku
akan meluluskan permintaan terakhirmu itu. Nah, sekarang bersiapiah untuk
melayat ke akhirat," ujar Kalya Bantar sambil tertawa terkakak.
Girang bukan main hati Ki Mahinta mendengar jawaban itu.
Dengan majunya Raja Ular Emas seorang diri. Ia yakin bisa menundukkan lelaki
bertubuh raksasa itu. Sepengetahuannya, kepandaian yang dimiliki Raja Ular Emas
itu, boleh dibilang berimbang dengan kepandaiannya. Meskipun itu beberapa tahun


Pendekar Naga Putih 37 Keturunan Datuk Datuk Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lalu. Apalagi seorang kepala perampok seperti Raja Ular Emas. Tentu bukan
kemajuan yang diperolehnya selama beberapa tahun terakhlr. Bisa jadi malah
kepandaian ataupun tenaga lelaki raksasa itu berkurang. Hal itu disebabkan Kalya
Bantar sering membuang-buang hawa murninya dengan memuaskan nafsu bejadnya
terhadap wanlta-wanita. Pemikiran itulah yang membuat Ki Mahinta merasa yakin
akan dapat menundukkan lawannya.
Sayang, penilaian Ki Mahinta meleset jauh. Raja Ular Emas yang kini dihadapinya,
tidaklah dapat disamakan dengan beberapa tahun yang lalu. Malah kepandaian yang
dimilikinya saat itu, mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sebuah ilmu baru
yang diciptakannya telah membuat Raja Ular Emas berani
mencuri benda-benda pusaka istana. Itulah sebabnya mengapa ia sampai dikejarkejar prajurit kerajaan, sehingga ia mengungsi ke Selatan.
"Bagaimana dengan kau sendiri, Mahinta" Apakah kau pun akan merengek meminta
bantuan kawanmu itu untuk mengeroyokku?" Raja Ular Emas pun mencoba mencari
keuntungan bagi pihaknya. Meskipun ia seorang diri yakin dapat menundukkan kedua
orang calon lawannya. Namun, ia mencoba memancing harga diri calon lawannya.
Ucapan Kalya Bantar hanya disambut dengan senyum tipis oleh Ki Mahinta. Jelas,
ia tidak dapat dikelabui dengan ucapan lawannya.
"Raja Ular Emas. Sebenarnya aku sendiri mungkin akan dapat menundukkanmu tanpa
harus bersusah-payah. Tapi, karena kami berd+ua sama-sama bertanggung jawab
terhadap barang kawalan itu, tentu saja tak ada jalan lain bagi kami kecuali
bersama-sama pula menghadapimu. Lain halnya kalau kau takut menghadapi kami
berdua," balas Ki Mahinta dengan senyum lebar. Memang cerdik sekali lelaki
setengah baya itu.
"Ha ha ha.... Marilah... marilah kalian berdua maju. Aku Raja Ular Emas tidak
pernah takut menghadapi siapa pun," tegas Kalya Bantar tetap memperdengarkan
tawanya yang serak.
Setelah menghentikan tawanya, lelaki bertubuh raksasa itu melangkah beberapa
tindak ke depan.
Ki Mahinta sendiri sudah merenggang dan bergerak ke kanan. Senjata di tangannya
diputar sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kilatan-kilatan sinar yang
menyilaukan mata.
Jelas, lelaki setengah baya yang gagah itu mengeluarkan ilmu
'Pedang Bintang Timur'nya, yang telah mengangkat namanya dalam dunia persilatan.
Demikian pula halnya dengan Ki Bana Raga. Meskipun sekujur tubuhnya dipenuhi
luka sayatan pedang akibat pertempuran tadi, namun lelaki gagah itu tetap
bertekad untuk merebut kembali harta kawalan, yang dirampas oleh anak buah Raja
Ular Emas. Wuuut! Wuuut! Meskipun ilmu pedang Ki Bana Raga tidak sehebat Ki Mahinta, tapi permainan
senjatanya tidak kalah berbahaya dengan pimpinannya.
Raja Ular Emas yang diapit dari dua arah oleh kedua orang pentolan Harimau
Terbang itu, berdiri pongah sambil memperdengarkan suara tawanya yang
berkepanjangan.
Sepertinya lelaki bertubuh raksasa itu merasa yakin dapat menundukkan lawan
dengan kepandaian yang dimilikinya.
3 "Heaaat...!"
Diiringi teriakan nyaring sebagai tanda pertempuran sudah dimulai, tubuh Ki
Mahinta melesat seperti seekor burung besar, seraya memutar pedangnya.
Wuuut! Wuuut! Sekali bergerak saja, Ki Mahinta langsung melancarkan serangkaian serangan
beruntun yang susul-menyusul. Kilatan-kilatan sinar pedangnya berkelebatan kian
kemari mengancam keselamatan lawannya!
Ki Bana Raga pun tidak mau ketinggalan. Begitu mendengar teriakan Ki Mahinta, ia
segera melesat menyusul kawannya.
Senjata di tangannya bergerak bersilangan dengan kecepatan yang tidak bisa
dipandang ringan. Sekali bergerak, ia langsung melontarkan tiga buah serangan,
yang mengarah ke jalan darah kematian di tubuh lawan.
Namun, sikap Kalya Bantar memang patut mendapat acungan jempol. Tokoh sesat
Kepala Rampok Ular Emas itu, tetap berdiri tenang menanti serangan kedua orang
lawannya. Meski terlihat lelaki bertubuh raksasa itu tidak menggunakan senjata, tapi
jangan dikira ia akan berdiam diri dan menerima serangan kedua orang lawannya
begitu saja. "Haiiit...!"
Tepat kedua batang senjata itu tinggal sejengkal lagi di depan tubuhnya, Kalya
Bantar bergegas menggerakkan tangan kanannya ke arah pinggang. Kemudian, sambil
merendahkan tubuhnya, lelaki itu mengibaskan lengan kanannya sehingga
menimbulkan ledakan-ledakan keras yang memekakkan telinga!
Jtarrr! Jtarrr...!
Bunga-bunga api memercik disertai dengan kepulan asap tipis, ketika sebentuk
benda panjang bergerak-gerak dan meledak-ledak memapaki serangan Ki Mahinta dan
Ki Bana Raga. Jelas, Kalya Bantar menggunakan sebuah cambuk sebagai senjata
andalannya! Baik Ki Mahinta maupun Ki Bana Raga sempat terkejut mendengar ledakan-ledakan
keras yang memekakkan telinga itu. Menyadari kalau lawan menggunakan senjata,
keduanya bergerak cepat merubah serangan-serangannya. Pedang di tangan kedua
orang lelaki gagah itu, diputar setengah lingkaran, dan bergerak turun naik
sambil menghindari sambaran cambuk lawan!
"Yeaaah...!"
Jdarrr...! Ki Mahinta melakukan lompatan pendek, guna menghindari lecutan cambuk yang
mengincar kedua kakinya! Begitu tubuhnya bergulingan dengan lompatan harimau,
detik berikutnya tubuh lelaki gagah itu mencelat, bagaikan seekor kera yang
berpindah dari pohon yang satu, ke lain pohon.
Gerakan Ki Mahinta memang cepat dan tak terduga sama sekali! Berbarengan dengan
lompatan itu, pedang di tangannya berkeredep mengarah batang leher lawan! Jelas,
lelaki gagah itu hendak memenggal batang leher Kalya Bantar.
Bettt! Sebagai seorang tokoh sesat dan kepala rampok yang banyak pengalaman, Kalya
Bantar tentu mengetahui kalau nyawanya tengah terancam maut. Tapi, lelaki
bertubuh raksasa itu sama sekali tidak kelihatan gugup. Dengan sebuah gerakan
indah, tubuhnya merendah disertai dengan uluran lengan kiri menyambut tebasan
pedang lawan. Dan....
Trangngng...! "Aiiih...!"
Terdengar benturan nyaring yang diiringi pijaran bunga api!
Ki Mahinta sendiri berseru tertahan, tubuhnya terdorong mundur akibat terbentur
lengan kiri lawan. Namun, dengan sebuah gerakan manis, lelaki gagah itu
berjumpalitan guna mematahkan daya dorong benturan itu, dan mendarat dengan
kedua kaki terlebih dahulu.
"Aaah..., mungkinkah raksasa gila itu memiliki ilmu 'Kebal'?"
desis Ki Mahinta sambil meringis merasakan lengannya yang nyeri akibat benturan
itu. Kenyataan itu membuat ia sadar kalau tenaga dalam lawan masih dua tingkat
berada di sebelah atasnya.
Ki Mahinta yang merasa heran dengan kekebalan tubuh lawan, menatap tajam penuh
selidik ke arah lawan yang tengah bertarung dengan Ki Bana Raga. Dan, lelaki
gagah itu menarik napas lega ketika melihat kilauan cahaya, yang berpendar dari
pergelangan tangan musuhnya.
"Pantas dia berani memapaki tebasan pedangku. Rupanya ia mengenakan lempengan
baja pada kedua pergelangan tangannya. Hm..., benar-benar licik dan berbahaya
sekali raksasa gila itu," gumam Ki Mahinta yang kekhawatirannya lenyap, begitu
ia mengetahui apa yang membuat lawannya berani memapaki tebasan senjatanya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki gagah itu melesat membantu Ki Bana Raga
yang terlihat sudah sangat terdesak!
Namun, usaha yang dilakukan Ki Mahinta ternyata sedikit terlambat! Sebelum ia
tiba di arena pertempuran, terdengar
pekik kesakitan, yang disusul dengan terlemparnya tubuh Ki Bana Raga dari arena
pertempuran! "Adi Bana Raga...!"
Ki Mahinta, si Pedang Bintang Timur, terpaksa menunda serangannya. Cepat ia
melesat menyambar tubuh kawannya, agar tidak sampai terbanting ke tanah.
"Ughhh...!"
Ki Bana Raga terbatuk memuntahkan gumpalan darah segar dari mulutnya. Melihat
luka memanjang seperti terkena cakaran harimau itu, Ki Mahinta sadar kalau jiwa
rekannya tidak mungkin dapat tertolong lagi. Karena luka memanjang itu sangat
dalam, dan melihat pembengkakan di sepanjang luka itu, jelas kalau senjata yang
digunakan Raja Ular Emas mengandung racun!
Sedangkan Raja Ular Emas yang menggunakan cambuk berduri dan mengandung racun
itu, melecutkan senjatanya berkali-kali di udara. Seolah-olah lelaki raksasa itu
ingin mengejek Ki Mahinta.
Lelaki gagah yang dalam dunia persilatan berjuluk Pedang Bintang Timur itu
memekik memanggil nama Ki Bana Raga, ketika melihat kepala lelaki itu terkulai
lemas. Jelas, Ki Bana Raga telah menghembuskan napasnya yang terakhir di pelukan
Ki Mahinta. "Keparat keji...!" desis Ki Mahinta dengan wajah berduka.
Hati lelaki gagah itu sangat terpukul dengan kematian kawan-kawannya di depan
mata kepalanya sendiri.
"Ha ha ha... jangan merengek seperti anak kecil, Pedang Bintang Timur," ejek
Kalya Bantar dengan suara sengaja ditekan pada julukan Ki Mahinta. Sehingga, Ki
Mahinta segera membalikkan tubuh dan berdiri tegak menghadapi lelaki raksasa itu.
"Licik kau, Raja Ular Emas! Kau sengaja mengoleskan racun keji pada tubuh pecut
berduri itu! Kau memang pantas untuk menjadi penghuni neraka!" maki Ki Mahinta
dengan wajah merah. Tampak kalau kemarahan lelaki gagah itu terbangkit.
"Ha ha ha..., hati-hati, Pedang Bintang Timur. Kemarahanmu justru akan membawamu
ke neraka. Atau kau memang sudah siap untuk melayat ke alam yang mengerikan
itu?" kembali Kalya Bantar melontarkan ejekan-ejekan yang memanaskan hati
lawannya. Menyadari kemarahan akan merugikan dirinya, Ki Mahinta berusaha bersikap tenang
dengan menarik napas berulang-ulang. Meskipun demikian, wajahnya tetap merah,
menandakan kemarahannya sulit dibendung.
"Haaat..!"
Karena tak mampu menekan kemarahan di hatinya, Ki Mahinta langsung berteriak dan
menerjang lawan. Senjata di tangan orang tua itu kembali berputaran dengan
kilatan-kilatan cahaya, yang menyilaukan pandang mata lelaki bertubuh raksasa
itu. Namun, Raja Ular Emas telah siap menghadapi gempuran lawannya. Pecut berduri
yang telah diolesi racun keji itu meledak-ledak dan berputaran menebarkan hawa
maut! "Hiaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan pendek yang menggelegar, pecut di tangan Raja Ular
Emas meluncur cepat mengancam tubuh lawannya yang tengah melayang di udara.
Jtarrr...! Jtarrr...!
Ledakan yang susul-menyusul dengan disertai pijaran bunga api itu, memang benarbenar hebat. Karena mampu mengacaukan pikiran lawan. Terbukti serangan Ki
Mahinta langsung kacau karena pengaruh ledakan cambuk dan pijaran bunga-bunga
api yang bertebaran di sekitar tubuhnya.
Kenyataan itu, mau tidak mau membuat lelaki tua itu merasa kagum akan kemajuan
ilmu silat Raja Ular Emas. Dan, ia pun sadar kalau lelaki bertubuh raksasa itu
bukan lagi tandingannya.
"Heaaah...!"
Menyadari kepandaian lawan berada di atas, Ki Mahinta pun makin memperhebat
serangan-serangannya. Sehingga, bentuk senjatanya lenyap berganti dengan
gulungan sinar bagaikan baling-baling raksasa!
Bettt! Wuuut! "Hmh!"
Raja Ular Emas hanya memperdengarkan suara di hidung, ketika ia melihat sabetan
pedang lawan mengancam lambungnya. Dengan merendahkan tubuh dan menggeser
langkah dua tindak ke kanan, lelaki bertubuh raksasa itu menarik pulang
cambuknya sehingga membentuk gulungan di tangannya.
"Hiiih...!"
Begitu serangan lawan lewat Raja Ular Emas membentak nyaring seiring dengan
melesatnya cambuk berduri di tangannya!
Rrrt... Brolll!
"Aaakh...!"
Ki Mahinta menjerit keras ketika tangannya yang memegang pedang terkena babatan
cambuk lawan, yang langsung ditarik pulang oleh Kalya Bantar. Sehingga tangan Ki
Mahinta sebatas pergelangan, ikut terbawa oleh cambuk berduri lawannya!
Ki Mahinta terhuyung mundur dengan darah yang menyembur deras dari pergelangan
tangannya yang putus!
Wajah lelaki gagah itu menyeringai menahan rasa sakit yang luar biasa pada
lukanya. Karena luka itu tampak membengkak.
Jelas racun jahat pada senjata lawannya telah mulai bereaksi.
"Ha ha ha.... Aku tidak akan membunuhmu sekaligus, Mahinta! Tapi, aku ingin agar
kau merasakan cambuk berduri ini pada sekujur tubuhmu!" ujar Raja Ular Emas
tertawa berkakakan melihat lawannya tengah sibuk menotok pergelangan tangannya,
untuk mencegah darah yang terus mengalir dari lukanya.
"Biadab kau, Raja Ular Emas! Kalau mau bunuh, bunuhlah, aku tidak takut mati!"
teriak Ki Mahinta dengan suara lantang.
Lelaki gagah itu sadar betul, rengekan hanya akan membuat lawan semakin gembira
menyaksikan penderitaannya. Itulah sebabnya, mengapa Ki Mahinta malah menantang
Raja ULar Emas dengan suara lantang.
"Ha ha ha.... Sudah tentu aku akan membunuhmu, Mahinta!"
ujar Raja Ular Emas. Lalu ia berpaling kepada para pengikutnya dan berseru,
"Anak-anak, kalian boleh saksikan pertunjukan menarik ini...."
"Heaaah...!"
Dibarengi sebuah seruan nyaring, cambuk di tangan Raja Ular Emas meluncur dengan
disertai ledakan-ledakan yang memekakkan telinga!
Ki Mahinta yang hanya tinggal menanti maut itu, menatap tajam tanpa rasa takut
sedikit pun. Dinantinya ujung cambuk yang siap merobek tubuhnya itu dengan penuh
ketabahan! Prattt...! Tepat pada saat yang sangat menegangkan bagi Ki Mahinta, tiba-tiba melesat
sesosok bayangan ramping, yang langsung memukul balik luncuran cambuk Raja Ular
Emas! "Aaah..."!"
Raja Ular Emas memekik tertanan, ketika merasakan tangannya yang memegang cambuk
bergetar, akibat tangkisan yang dilakukan bayangan ramping itu. Dan, yang
membuatnya tak percaya, kuda-kuda lelaki bertubuh raksasa itu tergempur.
Sehingga, ia berdiri terpaku beberapa saat lamanya. Sedang sepasang matanya
terbelalak ketika ia melihat sosok tubuh ramping berdiri di samping Ki Mahinta.
*** Sosok tubuh ramping berpakaian kuning cerah yang telah menyelamatkan Ki Mahinta
itu, menatap dengan kening berkerut ke arah tangan lelaki gagah yang buntung
itu. "Aaah..., luka tanganmu mengandung racun, Paman...," ujar sosok ramping itu agak
terkejut. Menilik dari bentuk tubuh dan suaranya yang merdu, jelas sosok yang
menyelamatkan Ki Mahinta itu adalah seorang wanita.
Prattt..! Tepat pada saat Ki Mahinta tinggal menunggu maut, tiba-tiba melesat sesosok
bayangan ramping, yang lansung memukul balik luncuran cambuk Raja Ular Emas!
"Aaah...?" Raja Ular Emas memekik tertanan. Tangannya yang memegang
cambuk terasa bergetar! "Aaah, ya... ya...,"
Ki Mahinta yang
belum hilang dari rasa
terkejutnya, hanya
bisa mengeluarkan
ucapan itu. Sepertinya
ia belum dapat mempercayai, seorang gadis muda
yang pantas menjadi
anaknya, ternyata
dapat memukul balik
senjata Raja Ular
Emas. Benar-benar


Pendekar Naga Putih 37 Keturunan Datuk Datuk Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sukar untuk dipercaya! Kalau saja Ki Mahinta hanya mendengar cerita, mungkin orang yang
bercerita itu akan ditertawakannya habis-habisan.
"Mari kuobati, Paman...."
Tanpa menanti jawaban dari Ki Mahinta, gadis berpakaian kuning cerah itu
langsung mengeluarkan sejenis obat bubuk berwama putih. Ditaburkannya obat itu
pada luka di tangan Ki Mahinta. Kemudian, dengan cermat gadis itu merobek lengan
baju lelaki gagah itu, setelah meminta maaf terlebih dahulu sebelumnya.
Untuk kedua kalinya Ki Mahinta kembali dibuat kagum oleh kesigapan gadis cantik
itu. Sebentar saja, tangannya yang terluka telah terbalut rapi, dan tidak lagi
merasa nyeri. "Terima kasih, Nisanak... Kau hebat dan mengagumkan sekali," puji Ki Mahinta
yang secara tidak langsung memuji kecantikan gadis berpakaian kuning cerah itu.
"Mengapa Paman sampai berkelahi dengan raksasa itu...?"
tanya gadis itu tanpa mempedulikan tatapan penuh kagum dari Ki Mahinta. Dan, ia
tersenyum manis karena tatapan mata lelaki tua itu begitu tulus, tanpa maksudmaksud tertentu.
"Mereka merampok barang yang harus kami antar. Selain itu, mereka juga telah
membantai semua kawan-kawanku.
Kalau boleh kutahu, siapakah Nisanak" Dan, mengapa Nisanak menolongku?" ujar Ki
Mahinta tanpa melepaskan pandang matanya dari sosok di depannya. Sosok gadis
cantik dan berani yang telah menyelamatkan nyawanya dari kekejaman Raja Ular
Emas. "Namaku Aryani. Aku hanya tidak suka melihat kekejaman.
Begitu aku melihat wajah Paman yang tidak nampak seperti orang jahat, maka aku
langsung menolong Paman," sahut gadis berpakaian kuning cerah yang mengaku
bernama Aryani itu.
"Namamu indah sekali. Kau seperti seorang dewi, yang turun dari langit untuk
menyelamatkan diriku," desah Ki Mahinta seraya mengalihkan pandangannya ke arah
Raja Ular Emas.
Karena ia mendengar langkah kaki lelaki bertubuh raksasa itu ke arah mereka.
Tampak sorot matanya penuh dengan ancaman.
Aryani yang juga mendengar langkah kepala rampok itu, segera membalikkan
tubuhnya dan menatap tajam. Sepertinya gadis cantik itu tidak merasa gentar sama
sekali terhadap Raja
Ular Emas. Sikapnya demikian tenang dengan wajah terulas senyum tipis.
"Hati-hati, Aryani. Kepandaian raksasa gila itu hebat sekali.
Dia juga kejam, dan tak mengenal ampun," bisik Ki Mahinta yang diam-diam merasa
khawatir atas keselamatan gadis cantik yang telah menolongnya itu.
"Terima kasih, Paman. Tapi, rasanya aku mampu menghadapi raksasa jahat itu. Dia
kelihatannya saja kuat dan galak. Padahal, ia tidak lebih dari seorang raksasa
tolol," ujar Aryani dengan suara agak keras. Sepertinya ia memang sengaja agar
Raja Ular mendengar suaranya.
"Ha ha ha... Tak kusangka di hutan lebat ini aku bisa berjumpa dengan seorang
dewi. Hai, Nisanak. Aku akan memaafkanmu bila kau bersedia untuk menjadi
gundikku. Bagaimana" Kau setuju tawaranku?" tanya Kalya Bantar yang tidak menjadi marah
ketika melihat kecantikan gadis yang telah berani mencampuri urusannya itu.
Bahkan sepasang matanya yang besar itu, sudah bergerak liar menjelajahi sekujur
tubuh Aryani. "Hm.... Ternyata kau bukan hanya tolol, Raksasa Jelek. Tapi mulutmu juga harus
dibersihkan. Dan, kalau kau tidak sempat membersihkannya, biarlah aku yang akan
membantumu. Agar lain kali kau bisa menjaga perkataanmu itu," cetus Aryani yang
kedua pipinya menjadi merah mendengar ucapan yang jelas-jelas telah menyinggung
harga dirinya sebagai seorang wardta.
Maka, begitu ucapannya selesai, tubuh gadis cantik itu sudah melesat ke arah
Raja Ular Emas.
Piakkk! "Aaakh...!"
Kalya Bantar memekik kesakitan, ketika telapak tangan mungil itu telah mendarat
di pipi kirinya. Tanpa ampun lagi, pipi raksasa itu langsung membengkak. Bahkan
bibirnya pecah akibat tamparan Aryani yang keras.
Bukan hanya Kalya Bantar yang tidak mengerti kalau ia bisa kena tampar
sedemikian mudah. Bahkan Ki Mahinta pun sampai terbeliak matanya. Ia hampir tak
mempercayai dengan apa yang disaksikannya. Gerakan gadis cantik itu memang
sangat cepat, sehingga sulit ditangkap dengan mata biasa.
Melihat kenyataan itu, Ki Mahinta sadar kalau Aryani ternyata bukan seorang
pendekar wanita biasa. Mungkin kepandaian gadis cantik itu jauh berada di atas
tingkat kepandaiannya.
"Bangsat! Perempuan sundal...!"
Kalya Bantar memaki kalang kabut, sambil menyusut cairan merah yang membasahi
jenggotnya. Raksasa yang sombong itu ternyata tidak menyadari kehebatan Aryani.
Ia mengira hal itu terjadi hanya karena ia tidak siap.
"Eh, kenapa kau, Raksasa Tolol" Mengapa marah-marah seperti seorang kakek
kebakaran jenggot" Seharusnya kau berterima kasih karena aku telah membantu
membersihkan mulutmu," ujar Aryani sambil bertolak pinggang dan melontarkan
senyum mengejek.
"Setan...! Kau akan rasakan akibat kekurangajaranmu, Gadis Busuk!" geram Raja
Ular Emas sambil memutar cambuknya dengan sekuat tenaga.
Wuuuk! Wuuuk! Angin keras menderu-deru mengiringi putaran cambuk berduri kepala rampok itu.
Melihat dari tatapan matanya yang bengis, jelas bahwa ia benar-benar telah
murka! "Heaaah...!"
Berbarengan dengan suara bentakan menggelegar, cambuk di tangan Raja Ular Emas
meledak-ledak keras memekakkan telinga. Kemudian meluncur deras mengancam tubuh
ramping Aryani. Andai saja tubuh ramping itu terkena, dapat dipastikan tubuh
molek itu akan rusak dan tak berujud lagi.
Ki Mahinta sendiri sudah bersiap ingin melindungi gadis cantik itu. Sepertinya
lelaki gagah itu belum yakin akan kemampuan Aryani. Karena penampilan Raja Ular
Emas benar-benar menyeramkan. Sehingga, ia sendiri tidak tega membiarkan gadis
itu menghadapi maut.
"Tenanglah, Paman. Percayalah, raksasa itu pasti akan menjadi jinak sebentar
lagi," ucap Aryani sambil mengembangkan tangan kanannya mencegah Ki Mahinta.
Kemudian, lelaki tua itu bergerak mundur ketika Aryani memintanya.
Jtarrr...! Jtarrr...!"
Tanah di tempat Aryani berpijak meledak hingga membentuk beberapa buah lubang.
Untunglah gadis cantik itu telah melesat menghindarinya. Sehingga, tanah di
tempatnya berpijak itulah yang menjadi sasaran.
Ki Mahinta meleletkan lidahnya melihat akibat yang ditimbulkan lecutan cambuk
Kalya Bantar. Kenyataan itu, menyadarkan Ki Mahinta kalau Raja Ular Emas belum
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ketika ia bertempur dengan kepala perampok
itu. Kalau gadis itu tidak menolongnya, mungkin ia sudah menjadi mayat.
Tapi, gadis cantik itu sama sekali tidak merasa gentar, melihat akibat lecutan
cambuk lawannya. Bahkan ia malah mengejek dengan kata-kata yang memanaskan
telinga. Karuan saja kemarahan Raja Ular Emas makin menggelegak!
"Hik hik hik...! Hanya segitukah kehebatan cambuk mautmu?" ejek Aryani sambil
berloncatan menghindari ujung cambuk yang meledak-ledak mengancamnya. Permainan
cambuk yang mengerikan dari Raja Ular Emas itu, tidak lebih dari permainan anakanak bagi Aryani.
4 Pertarungan antara Aryani dan Raja Ular Emas, masih berlangsung dengan sengit.
Meskipun serangan cambuk Kalya Bantar sangat gencar menghujani tubuh gadis itu,
namun sampai sepuluh jurus, belum sekali pun ujung cambuk itu menyentuh tubuh
Aryani. Sehingga, Kalya Bantar semakin penasaran dibuatnya.
"Waktu untukmu menyerang sudah cukup, Raksasa Tengik!
Sekarang aku akan mulai membalas. Bersiap-siapiah...," ujar Aryani yang segera
menghindari lecutan cambuk ke arah dadanya. Kemudian ia berjumpalitan beberapa
kali, sebelum kakinya mendarat sejauh satu setengah tombak dari tempatnya
semula. "Kuntilanak, mau lari ke mana kau...?"
Kalya Bantar yang mengIra lawannya hendak meLarikan diri, segera mengejar dengan
lecutan cambuknya yang meledak-ledak memercikkan bunga-bunga api. Sepertinya
Raja Ular Emas memang berniat menghabisi lawannya.
Tapi kali ini Aryani tidak hanya sekadar mengelak. Dengan sepasang telapak
tangan terbuka, gadis cantik itu mulai membalas serangan-serangan cambuk
lawannya. Sambaran-sambaran angin berbau wangi mulai menebar, mengiringi setiap
lontaran telapak tangan gadis cantik itu. Bahkan setap kali ujung cambuk
dipapaki dengan pukulan telapak tangannya, selalu saja membalik, membuat Raja
Ular Emas terkejut bukan kepalang.
"Heaaah...!"
Rasa penasaran dan kemarahan, membuat Raja Ular Emas menjadi kalap! Sambil
menggereng seperti harimau luka,
diputarnya cambuk berduri itu dengan seluruh kekuatan yang ada! Akibatnya tentu
saja hebat! Sehingga, Aryani sendiri sempat mengagumi kepandaian kepala rampok
bertubuh raksasa itu.
Setelah pertarungan menginjak jurus keempat puluh, Aryani mulai mendesak lawan
dengan lontaran tendangan dan tamparan-tamparan maut! Kecepatan dan kekuatan
yang ditunjukkan gadis cantik itu, benar-benar mengejutkan sekali!
Sehingga, dalam waktu singkat. Raja Ular Emas dibuat tak berkutik oleh seranganserangan gadis itu.
"Haiiit...!"
Tepat saat pertarungan menginjak jurus keempat puluh dua, Aryani memekik nyaring
disertai lesatan tubuhnya yang benar-benar menggiriskan! Berbarengan dengan itu,
telapak tangan kanannya meluncur ke depan diiringi wewangian yang menebar.
Bahkan, dari telapak tangan gadis cantik itu terlihat warna kemerahan yang
samar! Desss...! "Aaakh...!"
Raja Ular Emas memekik ngeri ketika pukulan berbau harum yang memabukkan itu
menghajar telak dadanya! Karuan saja tubuh raksasa itu terjungkal, dan jatuh
berdebum di atas tanah!
"Huaaakh...!" gumpalan darah segar muncrat dari mulut Kalya Bantar. Melihat dari
warna darahnya yang agak kehitaman, Kalya Bantar sadar kalau ia telah mengalami
luka dalam yang mengandung racun.
Raja Ular Emas berusaha bangkit meski dengan susah payah. Tiba-tiba matanya
terbelalak ketika melihat rompi kulit ular yang dikenakannya, tampak robek di
bagian dada. Sedangkan dada yang terkena pukulan gadis cantik itu, terdapat tanda telapak
tangan berwarna kemerahan.
"Ilmu Pukulan Mawar Beracun"!" desis Kalya Bantar dengan wajah pucat! Jelas ia
telah cukup mengenal ilmu pukulan yang dipergunakan lawan.
Aryani tersenyum tipis melihat kekagetan Raja Ular Emas.
Dengan tenang, ia mengayunkan langkah menghampiri kepala rampok bertubuh raksasa
itu, yang masih terduduk dengan napas tersengal-sengal.
"Kau... apa hubunganmu dengan Raja Racun Merah yang menjadi datuk sesat di
wilayah Selatan ini...?" tanya Raja Ular Emas dengan wajah pucat. Menilik dari
cara ia mengucapkan nama datuk sesat itu, jelas hati Kalya Bantar dicekam rasa
takut. Ki Mahinta sendiri terperangah ketika mendengar disebutnya nama datuk sesat yang
menggiriskan itu. Meskipun dalam beberapa bulan terakhir ini, nama datuk sesat
itu tidak lagi terdengar, namun setiap nama itu disebut orang, pengaruhnya tetap
terasa bagi mereka yang berkecimpung di dalam dunia persilatan. Diam-diam lelaki
gagah itu menatap penuh selidik dan mulai menduga-duga, siapa sesungguhnya gadis
cantik yang sangat sakti itu.
"Dia adalah ayahku. Mengapa" Apakah kau ingin bertemu dengannya?" Aryani yang
sudah dapat menerka ketakutan di wajah lelaki bertubuh raksasa itu, sengaja
menakut-nakuti lawannya. Sepertinya gadis lincah itu ingin melihat sikap Raja
Ular Emas kalau dikatakan ayahnya berada di sekitar tempat mereka bertarung.
"Kau, putri Raja Racun Merah..."! Dan..., ayahmu juga datang bersamamu..?" desis
Raja Ular Emas dengan wajah semakin pucat. Bahkan ia mengedarkan pandangannya ke
sekeliling hutan itu dengan sepasang mata mendelik. Jelas, kalau ia sangat
ketakutan! Rasa takut yang menyelubungi hati Kalya Bantar tidaklah aneh. Karena datuk sesat
yang berjuluk Raja Racun Merah itu memang terkenal sangat kejam dalam mengambil
tindakan. Kalau sampai seorang kepala rampok yang kejam seperti Raja Ular Emas sudah
sedemikian takutnya, dapat dibayangkan betapa kejamnya Raja Racun Merah itu.
"Ya, ayah datang bersamaku. Apakah kau mau kupanggilkan?" goda Aryani lagi
dengan wajah sungguh-sungguh.
"Ah, tidak... tidak...," sambil berkata demikian, Kalya Bantar mengisyaratkan
kedua orang pembantunya untuk menghampiri.
Lalu, dengan dipapah kedua orang lelaki kekar itu, Raja Ular Emas bergegas
meninggalkan tempat itu, dengan disertai seluruh anggotanya.
"Hik hik hik...! Dasar raksasa penakut..." ejek Aryani tertawa terpingkalpingkal melihat raksasa itu bergegas lari meninggalkan tempat itu dengan wajah
ketakutan. Ki Mahinta menatapi kepergian Gerombolan Perampok Ular Emas dengan tarikan napas
lega. Meskipun ia harus kehilangan para anggotanya, namun lelaki tua itu merasa
bersyukur. Karena barang kawalannya telah selamat. Barang itulah yang lebih penting bagi
kelompoknya. Sedangkan kematian kawan-kawannya memang sudah menjadi risiko bagi
pekerjaan mereka.
*** "Aryani, benarkah kau putri datuk sesat yang berjuluk Raja Racun Merah...?"
tanya Ki Mahinta setelah mereka selesai menguburkan mayat-mayat yang
bergeletakan di tempat itu.
"Benar, Paman. Apakah Paman juga membenci ayahku...?"
Aryani balik bertanya dengan sepasang mata menghunjam tepat di kedua bola mata
Ki Mahinta. Jelas sekali gadis cantik itu ingin mengetahui perasaan hati lelaki
gagah itu terhadap ayahnya.
"Hm..., secara pribadi, aku memang tidak membencinya.
Tapi, kebanyakan dari kaum rimba persilatan golongan putih, sudah pasti mengecam
apa yang pernah diperbuat Raja Racun Merah selama ini. Maaf, kalau kukatakan
secara terus-terang bahwa ayahmu adalah seorang datuk yang kejam dan banyak
menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang tak terhitung,"
desah Ki Mahinta sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah lain. Biar
bagaimanapun, hati lelaki tua itu merasa tidak enak terhadap Aryani yang telah
mati-matian menyelamatkan dirinya dan nama kelompok pengawal barang Harimau
Terbang. Ki Mahinta sadar kalau tanpa pertolongan gadis cantik, putri datuk sesat itu,
bukan hanya dirinya saja yang tewas. Bahkan kelompok pengawal barang Harimau
Terbang mungkin akan hancur dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari para
pelanggannya. "Aku sadar dengan kejahatan yang pernah dilakukan ayah pada waktu yang lalu.
Tapi, apakah Paman percaya kalau sekarang ini ayahku telah mengundurkan diri,
dan tidak pernah melakukan kejahatan lagi?" ujar Aryani meminta pendapat Ki
Mahinta. "Ah, jadi lenyapnya Raja Racun Merah tanpa kabar selama beberapa bulan terakhir
ini, karena beliau sudah membersihkan
diri?" Ki Mahinta sempat kaget mendengar penjelasan Aryani.
Kalau saja orang lain yang mengatakannya, mungkin ia tidak mempercayai
sepenuhnya. Tapi, gadis cantik yang jelas-jelas membelanya mati-matian, dan juga
melihat dari sikap serta tutur katanya, mau tidak mau Ki Mahinta mempercayainya.
Hanya saja ia agak terkejut dengan berita itu.
"Benar, Pedang Bintang Timur," tiba-tiba terdengar sebuah suara berat yang
mengejutkan. Bersamaan dengan itu, munculah seorang lelaki berusia enam puluh
tahun lebih yang bertubuh kurus dan mengenakan jubah berwarna merah darah.
"Ayah...!" Aryani yang semula hanya berbohong ketika mengejek Raja Ular Emas
terkejut melihat kehadiran lelaki tua yang tidak lain dari ayahnya. Serentak
gadis cantik itu menghambur menyambut kedatangan ayahnya.
"Aryani...," desah lelaki tua itu sambil memeluk tubuh putrinya dengan penuh
kasih sayang. "Mengapa Ayan berada di tempat ini...?" tanya gadis cantik itu bernada tak
senang. "Maaf, kalau aku terpaksa membuntuti perjalananmu selama ini, Anakku. Apakah aku
tidak boleh mengkhawatirkan keselamatan putri yang satu-satunya?" bantah kakek
itu tersenyum sambil menatap sepasang mata bening yang menentang pandang
matanya. "Ah, Ayah...," desah gadis cantik itu manja. Dalam saat seperti itu kelihatan


Pendekar Naga Putih 37 Keturunan Datuk Datuk Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali, betapa tidak berbedanya kedua tokoh sesat itu dengan manusia-manusia
lain. Tidak nampak sedikit pun sinar kejahatan pada wajah keduanya.
Cukup lama seorang ayah dan anaknya itu melupakan kehadiran Ki Mahinta yang
terpaku seperti patung. Sekilas ada kecurigaan dalam hatinya, ketika melihat
kehadiran Raja Racun
Merah. Batinnya mulai menduga kalau semua perbuatan Aryani tadi, hanyalah sebuah
sandiwara belaka. Dan, munculnya datuk sesat yang sangat kejam itu, tentu ada
hubungannya dengan kereta barang yang dibawanya.
Dugaan yang membuat Ki Mahinta was-was itu, demikian kuat mencengkeram.
Sehingga, ia tidak menyadari ketika dua pasang mata ayah dan anaknya itu telah
menatapnya. "Paman Mahinta. Kau kenapa...?" tanya Aryani yang baru teringat akan keberadaan
orang tua itu. Bergegas gadis cantik itu menghampiri bersama ayahnya.
"Eh...!" Ki Mahinta tersentak sadar dari lamunannya.
Wajahnya terlihat berubah tegang ketika Raja Racun Merah dan Aryani datang
menghampiri. "Mengapa, Paman...?" tanya Aryani yang tidak mengerti kenapa wajah Ki Mahinta
tampak tegang. Tanpa curiga sedikit pun gadis itu mengulur tangannya bermaksud
menyentuh bahu orang tua itu.
Tapi, apa yang dilakukan Ki Mahinta benar-benar membuat hati Aryani terkejut.
Lelaki tua itu melompat menghindarkan diri. Seolah-olah uluran tangan gadis itu
hendak mencekik lehernya.
"Paman, kau kenapa...?" rasa penasaran membuat Aryani memekik, karena ia benarbenar tidak mengerti mengapa Ki Mahinta berbuat demikian aneh.
"Eh, aku... ah, tidak apa-apa...," sahut Ki Mahinta berusaha bersikap wajar.
Sayang, ketegangan masih terlihat jelas pada raut wajahnya.
"Hm...," Raja Racun Merah bergumam lirih. Sebagai orang tua, dan tokoh sesat
yang berpengalaman, ia segera dapat
membaca apa yang tengah terjadi dengan Ki Mahinta. Sekilas terlintas sinar
penyesalan di mata orang tua itu.
"Ayah, kenapa dia...?" Aryani yang mendengar gumaman ayahnya, membalikkan tubuh
dan bertanya kepada ayahnya.
Sinar matanya yang bening menuntut jawaban jujur.
"Hhh..., Mahinta tidak bisa disalahkan, Anakku. Wajar kalau ia merasa curiga
kepada kita. Ingat, kita adalah orang-orang sesat yang selalu berbuat kejahatan.
Dia curiga, kehadiranku dan pertolonganmu tadi mempunyai hubungan, dan bukan
kejadian yang kebetulan," ujar Raja Racun Merah dengan nada penuh penyesalan.
"Apa..., Paman Mahinta mencurigai kita" Mengapa" Apakah dia mengira kita akan
merampok kereta barangnya" Kurang ajar...!" dari rasa penasaran dan tak
mengerti, Aryani berubah menjadi marah. Sepertinya gadis cantik itu tidak bisa
menerima tuduhan Ki Mahinta.
''Aryani, sudahlah...," Raja Racun Merah mencegah putrinya yang hendak menerjang
Ki Mahinta. Dicekalnya pergelangan gadis cantik yang tengah murka itu.
''Paman, kau tega menuduh kami sekeji itu" Lalu, apa artinya aku
menyelamatkanmu" Kau benar-benar tidak tahu budi!"
Aryani berteriak-teriak marah dan menuding-nuding Ki Mahinta yang terlihat
menundukkan kepalanya seperti orang yang merasa bersalah.
"Maafkan aku..., aku..., telah bersalah mempunyai dugaan yang kotor terhadap
niat baikmu, Aryani. Aku..., menyesal..."
ujar Ki Mahinta terpatah-patah agak serak.
"Kau sama sekali tidak bersalah, Mahinta. Aku dan anakku memang patut untuk
dicurigai. Kami berdua memang pernah bersalah. Terlebih aku. Karena sebelumnya
aku memang seorang manusia kotor yang sangat kejam. Tapi, apakah salah kalau aku berniat
meninggalkan dunia sesat itu" Atau, salahkah seorang putri datuk sesat tidak
mengikuti jejak ayahnya?"
terdengar suara parau Raja Racun Merah. Sepertinya orang tua itu pun merasa
kecewa dengan sikap Ki Mahinta yang mencurigai mereka.
"Maafkan aku, Raja Racun, Aryani. Aku..., menyesal sekali.
Kalau saja kalian meminta nyawaku sebagai tanda penyesalan atas sikapku, aku
siap," tegas Ki Mahinta yang sepertinya benar-benar sangat menyesal atas
sikapnya, yang membuat ayah dan anaknya itu merasa terpukul.
Mendengar ucapan itu, Aryani yang tengah memeluk ayahnya, segera membalikkan
tubuh, dan menatap orang tua itu penuh selidik. Sepasang mata indahnya sempat
terbelalak melihat betapa di tangan kiri Ki Mahinta sudah tergenggam pedang
telanjang. Bahkan mata pedang itu sudah ditempelkan di lehernya.
"Aku tidak akan meminta nyawamu, Paman Mahinta. Kalau kau memang benar-benar
telah menyesali tuduhanmu itu, rasanya sudah cukup. Bantulah ayah untuk kembali
ke jalan yang benar, Paman," pinta gadis cantik itu sambil menatap Ki Mahinta
penuh harap. "Ah, aku benar-benar telah berdosa sekali...," desah Ki Mahinta lagi, "Sikapmu
telah menunjukkan bahwa kau tidak kalah dengan gadis-gadis pendekar, Aryani.
Bahkan tidak sedikit orang-orang golongan putih yang bersikap sombong dan mau
menang sendiri. Sekali lagi, aku mohon maaf atas sikapku yang telah menyakiti
hati kalian berdua."
"Terima kasih, Paman. Aku percaya dengan semua ucapanmu itu," ujar Aryani dengan
wajah yang kembali berseri.
Kemudian, ia berpaling kepada ayahnya, "Ayah harap kembali
saja, dan tidak perlu mengkhawatirkan aku. Kelak kalau aku sudah puas melihatlihat dunia yang luas ini, aku akan segera kembali percayalah."
"Hm..., kalau memang itu yang kau inginkan, baiklah. Dan, kalau boleh Ayah tahu,
ke manakah tujuanmu sekarang?" tanya Raja Racun Merah membelai rambut putri
satu-satunya yang telah membuatnya sadar akan kehidupannya yang sesat selama
ini. "Entahlah, Ayah. Aku belum bisa memastikannya. Tapi, aku akan ikut bersama Paman
Mahinta untuk mengantarkan barang yang ada di dalam kereta itu," jawab Aryani
yang segera mengambil keputusan untuk mengikuti Ki Mahinta mengantarkan barang kawalannya.
"Hm..., kau bersedia kalau putriku ikut bersamamu, Mahinta?" tanya Raja Racun
Merah sambil menatap Ki Mahinta.
"Bukan hanya bersedia, Raja Racun. Aku merasa sangat bahagia sekali dapat
berjalan bersama putrimu, yang gagah dan cantik itu," sahut Ki Mahinta sambil
membungkuk hormat kepada tokoh sesat yang telah sadar itu.
"Baiklah. Kutunggu kau di pertapaanku, Aryani...," belum lagi gema suara Raja
Racun Merah itu lenyap, tubuh orang tua itu telah menghilang dari hadapan Aryani
dan Ki Mahinta.
"Baik, Ayah...!" Aryani berseru menjawab perkataan ayahnya.
Ki Mahinta menggeleng-geleng kepala menyaksikan kesaktian Raja Racun Merah yang
sukar diukur itu.
Pertemuannya dengan ayah beranak itu, membuat Ki Mahinta merasa kepandaiannya
sama sekali tidak berarti apa-apa.
Jangankan dengan Raja Racun Merah. Dengan putrinya pun ia kalah jauh.
"Hhh..., demikian banyaknya orang sakti di dunia ini...,"
desah Ki Mahinta menghela napas panjang.
"Ayolah kita berangkat Paman," Aryani menyadarkan Ki Mahinta dari lamunannya.
Tanpa banyak cakap lagi, orang tua itu segera melompat ke atas kereta, kemudian
disusul oleh Aryani.
"Heaaah...!" Aryani yang meminta untuk menjadi kusir kereta itu berteriak dan
melecutkan cambuk di tangannya.
Kereta pun mulai bergerak meninggalkan hutan.
5 Gadis cantik itu melangkah ringan menyusuri jalan lebar di Kota Kadipaten Jaga
Karta. Rambutnya yang panjang dengan ikat kepala berwarna kuning cerah,
bergoyang mengikuti ayunan langkah kakinya. Pakaian yang berwana kuning cerah,
sangat serasi dengan kulit tubuhnya yang kuning langsat.
Sehingga, wajah cantiknya tampak semakin memikat.
Sesekali gadis itu menolehkan kepala ke kiri dan kanan dengan senyum selalu
menghias di wajahnya. Kelihatan sekali kalau gadis cantik, yang tidak lain dari
Aryani itu, sangat menikmati suasana ramai di sekitarnya. Beberapa orang lelaki
muda yang tengah duduk di depan kedai makan, melontarkan kata-kata godaan,
ketika Aryani lewat di depannya. Namun, gadis cantik itu sama sekali tidak
peduli. Ia terus melangkahkan kakinya.
Setelah mengantarkan Ki Mahinta ke kadipatenan itu, Aryani memaksa untuk
berpisah. Keikutsertaannya mengantarkan lelaki setengah baya itu, memang hanya
untuk menjaga agar barang yang dibawa Ki Mahinta sampai di tempat tujuan.
Sesudah tugas itu selesai, Aryani pun pamit. Karena ia hendak melanjutkan
perantauannya seorang diri. Sehingga, meskipun dengan berat hati, Ki Mahinta
terpaksa melepaskan kepergian gadis cantik yang telah menolongnya.
Ketika Aryani melewati sebuah kedai makan yang cukup besar dan tampak ramai,
timbul selera gadis cantik itu untuk singgah dan menikmati hidangan. Ia pun
mengayunkan langkah memasuki kedai makan.
"Silakan, Nisanak..."
Seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun dan berwajah ramah, menyambut
kedatangan Aryani. Wajah pelayan itu sempat berubah ketika melihat sebilah
pedang yang tergantung di pinggang kiri gadis cantik itu. Sekilas pandang
pelayan itu pun sadar, kalau gadis cantik itu bukanlah gadis lemah.
Aryani duduk di sebuah meja kosong sambil menunggu hidangan yang telah dipesan.
Sepasang matanya yang bening dan riang itu beredar di sekeliling ruangan yang
ramai oleh pengunjung.
Tengah ia menikmati keadaan di sekelilingnya, tiba-tiba terdengar suara ributribut yang berasal dari luar kedai. Kening gadis cantik itu agak berkerut,
ketika ia melihat empat orang lelaki muda tampak memasuki kedai. Lagak mereka
terlihat angkuh. Sehingga, hati Aryani langsung tidak menyukainya.
"Silakan..., silakan, Tuan Muda...." Sepasang mata Aryani menyipit ketika
mendengar pelayan yang tadi menyambutnya membungkuk-bungkuk hormat, menyebut
salah seorang dari mereka sebagai 'tuan muda'. Merasa penasaran, ditatapinya
wajah empat pemuda itu satu persatu. Sepertinya ia ingin mengetahui, siapa
gerangan yang disebut pelayan itu sebagai
'tuan muda'. Pada saat yang sama, secara kebetulan salah seorang dari empat pemuda itu tengah
melepaskan pandang ke arah Aryani.
Sehingga, tanpa sengaja mata keduanya pun bertemu.
"Hm..., diakah yang disebut sebagai Tuan Muda...?" gumam Aryani menatap tajam
pemuda bertubuh jangkung yang wajahnya tampak bersih, namun tersirat sinar
keangkuhan pada sepasang mata dan wajah itu. Cepat gadis itu mengalihkan
matanya, ketika pemuda jangkung itu tidak juga berpaling.
Senyum di bibir Aryani terkembang, ketika seorang pelayan datang membawakan
pesanannya. Sambil meletakkan hidangan, pelayan yang usianya sekitar lima puluh
tahun itu berbisik lirih.
"Nisanak, harap hati-hati. Salah seorang dari mereka yang bertubuh jangkung itu,
putra ketua perguruan yang disegani di Kadipaten Jaga Karta ini. Kalau dia
menggoda, harap jangan diladeni."
"Mengapa, Paman...," Aryani bertanya lirih, sambil berpura-pura sibuk ikut
mengatur hidangan. Sekali lihat saja, gadis yang cerdik itu menangkap nada
ketakutan dalam ucapan pelayan setengah baya itu. Maka, ia pun bertanya sambil
berbisik. "Lelaki jangkung itu, bermata keranjang. Harap Nisanak berhati-hati...," pesan
pelayan itu sambil cepat-cepat berlalu.
Dengan ekor matanya, ia melihat rombongan pemuda itu tengah menuju ke arahnya.
Perjodohan Busur Kumala 15 Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Cakrabuana 5

Cari Blog Ini