Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan Bagian 1
1 Fajar baru saja datang, saat serombongan orang bergerak mendekati pantai. Gerakgerik mereka yang cekatan dan lincah, menandakan mereka memiliki kepandaian ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi. Dan dari gagang senjata yang tersembul di
pinggang maupun di punggung, jelas menunjukkan rombongan itu kaum rimba
persilatan. "Guntala! Di mana kau simpan perahu-perahu itu...?" tanya seorang lelaki gemuk
dengan suara berat dan dalam. Lelaki gemuk itu melempar pandang ke arah seorang
lelaki tegap yang dipanggil Guntala.
"Jangan khawatir, Kakang Brajanata. Perahu-perahu itu kusimpan di tempat yang
aman. Segela sesuatunya telah kupersiapkan dengan baik, sesuai perintah
Kakang...," sahut Guntala sambil mengacungkan ibu jari dan memperdengarkan tawa
yang menggelitik telinga.
"Hm.... Kalau begitu, bawa beberapa orang kawanmu untuk mengambil perahu-perahu
itu. Aku dan yang lain akan menunggu di pantai," perintah lelaki bercambang bauk
yang memiliki sorot mata bengis.
"Baik, Kakang...," sahut Guntala dan segera mengajak enam orang anggota
rombongan untuk mengambil perahu.
Sedang lelaki gemuk yang bernama Ki Braja-nata, memerintahkan anggota rombongan
yang lain untuk mengikutinya menuju tepi pantai. Ada lima orang yang bergerak
mengikuti langkahnya, agaknya Ki Brajanata merupakan pimpinan rombongan.
Ki Brajanata berdiri tegak memandang lautan yang membentang luas di hadapannya.
Sosok lelaki gemuk yang berpenampilan menyeramkan itu, seperti tidak peduli
dengan air laut yang datang membasahi kakinya. Dan baru bergerak menggeser langkahnya
saat Guntala dan enam orang anggota rombongan datang membawa tiga buah perahu
yang cukup besar dan kuat untuk menahan gelombang lautan
"Ayo, kita berangkat...!"
Perintah Ki Brajanata kepada anggota rombongan untuk naik ke atas perahu.
Sementara kakinya sendiri sudah melangkah menuju sebuah perahu yang berjajar di
atas pasir. "Kakang...."
Tiba-tiba salah seorang anggota rombongan memanggil Ki Brajanata, membuat
langkah lelaki gemuk bermata bengis itu terhenti dan menoleh ke arah asal suara.
"Hm.... Ada apa, Soganta...?" tanya Ki Brajanata dengan kening sedikit berkerut.
Sepasang matanya menatap tajam sosok lelaki kekar yang bernama Soganta.
"Apa tidak sebaiknya kita berangkat saat matahari terbit, Kakang" Aku rasa itu
lebih baik, karena kita dapat memastikan arah yang dituju dengan tepat," Soganta
mengajukan pendapatnya, dan beberapa orang anggota tampak mengangguk menyetujui.
Tapi tidak demikian dengan Ki Brajanata. Setelah memandang wajah para
pengikutnya, terdengar jawabannya yang datar disertai dengusan tak senang.
"Soganta. Tujuan kita cukup jauh. Hari sudah siang sebelum tempat itu terlihat.
Itu sebabnya, mengapa aku perintahkan kalian berangkat sekarang juga...," lanjut
Ki Brajanata memberikan alasannya. Sehingga seluruh anggota rombongan mulai
mengerti jalan pikiran pimpinan mereka.
"Apa kita akan datang dengan terang-terangan, Kakang...?"
tanya anggota rombongan yang lain, membuat pandangan Ki Brajanata beralih.
"Kita belum tahu pasti kekuatan lawan. Selain itu, Ki Dayut Ganda agaknya tidak
akan datang. Mungkin paman guruku itu tidak bersungguh-sungguh mengucapkan
janjinya, saat aku datang menemuinya. Tapi biarpun demikian, kita tetap
berangkat. Dan tentu saja kita tidak langsung menunjukkan diri sebelum tahu
pasti kekuatan lawan," jelas Ki Brajanata dengan sesekali mengedarkan pandangan.
Seolah berharap dapat menemukan sosok Ki Dayut Ganda yang dipanggilnya paman
guru: Orang yang diharapkan kedatangannya oleh Ki Brajanata bukanlah tokoh
sembarangan. Ki Dayut Ganda sangat dikenal dalam rimba persilatan. Meskipun
tokoh menggiriskan itu jarang menampakkan diri di dunia ramai, tapi namanya
menggetarkan rimba persilatan dari barat sampai timur. Tokoh itu termasuk dalam
jajaran kaum tua yang menjadi tokoh puncak golongan hitam. Bahkan Ki Dayut Ganda
diakui sebagai datuk kaum sesat yang bersemayam di daerah lautan timur, sehingga
dijuluki Datuk Lautan Timur. Itu sebabnya, mengapa Ki Brajanata sangat
mengharapkan bantuan paman gurunya.
'Tapi sewaktu Ki Dayut Ganda mengucapkan janjinya akan membantu kita, beliau
kelihatan bersungguh-sungguh, Kakang.
Tidakkah sebaiknya kita tunggu sebentar lagi. Mungkin beliau hanya terlambat..."
Soganta rupanya masih ingin menanti kedatangan Datuk Lautan Timur. Lelaki kekar
itu pun ikut mengedarkan pandang matanya ke sekeliling. Soganta sangat berharap
dapat menemukan sosok Ki Dayut Ganda dalam bayang-bayang pohon kelapa yang
banyak tumbuh di pantai itu.
"Sebenarnya aku pun sangat mengharapkan kehadirannya, Soganta. Tapi kita tidak
bisa menunda kepergian, hanya karena menunggu kedatangan orang yang belum pasti
akan membantu kita. Kendati dia paman guruku, aku tidak akan sudi meminta
bantuannya dengan cara mengemis. Tanpa bantuannya pun aku yakin kita dapat
menundukkan lawan. Sudahlah. Mari kita berangkat..," Ki Brajanata mengakhiri
ucapannya. Kemudian membalikkan tubuh, dan melangkah menuju perahu yang berada
paling kiri. "Kakang, lihat...!"
Tiba-tiba Soganta berseru keras. Sepasang matanya tampak membelalak, menatap
sosok bayangan hitam yang sedang duduk di atas perahu yang akan ditumpangi
pimpinannya. Ki Brajanata sendiri sebenarnya tidak perlu diberi tahu Soganta. Lelaki gemuk
itu memang telah melihat sosok bayangan hitam yang tampak duduk tenang di atas
perahu sambil memandang riak gelombang air laut. Merasa penasaran, tubuhnya
berbalik dan memandang anggota rombongannya satu persatu. Agaknya, Ki Brajanata
hendak menghitung jumlah anggota rombongan. Dan hatinya sangat terkejut ketika
mendapati semua anggota rombongan masih berada di belakangnya. Kenyataan itu
menunjukkan, sosok bayangan hitam yang duduk di atas perahu bukan salah satu
anggota rombongannya.
"He he he...! Mengapa kau seperti orang tolol begitu, Ki Brajanata" Cepatlah
berangkat Aku tidak sabar lagi melihat sikap kalian yang penuh keraguan. Apa kau
telah menduga kalau aku telah berubah pikiran dan tidak jadi mengunjungi Pulau
Setan?" tegur sosok bayangan hitam, membuat wajah Ki Brajanata berubah gembira.
Jelas, pemilik suara itu telah dikenalnya.
"Dayut Ganda..."! Kaukah itu..."!" seru Ki Brajanata dengan suara tertahan.
Aneh memang, bila orang mendengar panggilan Ki Brajanata kepada tokoh yang
disebutnya paman guru itu. Dia sama sekati tidak memanggil eyang atau panggilan
hormat lainnya.
Melainkan cukup dengan nama saja. Mungkin bagi orang-orang yang memiliki
kesopanan, sikap Ki Brajanata dianggap kurang ajar. Tapi memang seperti itulah
sifat orang-orang golongan sesat. Kadang meraka tidak mempedulikan tata cara
kesopanan. Sikap mereka sangat bebas, tidak terikat peraturan yang menurut
anggapan mereka hanya sekadar basa-basi saja.
Ki Dayut Ganda sendiri tidak mempersoalkan panggilan itu.
"Tidak perlu banyak cakap lagi! Hayo, kita berangkat..!" seru Ki Dayut Ganda.
Sebenarnya, baik Ki Brajanata maupun anggota rombongannya masih terpana saat
mengetahui siapa sosok bayangan hitam yang duduk di atas perahu itu. Diam-diam
hati mereka bergidik melihat kesaktian tokoh yang telah berusia lanjut itu.
Sebab dari sekian banyak orang, tak satu pun yang melihat atau mendengar
kedatangan Ki Dayut Ganda. Bahkan tak seorang pun tahu, sejak kapan datuk sesat
itu duduk di atas perahu. Mungkinkah datuk itu sempat mendengar ucapan Ki
Brajanata yang bernada tak puas barusan"
Tapi semua pertanyaan di dalam hati setiap anggota rombongan itu tidak
memperoleh jawaban yang pasti. Segala pertanyaan yang memenuhi kepala mereka
lenyap, saat mendengar perintah Ki Dayut Ganda agar segera berangkat
meninggalkan pantai.
"Baik!" sahut Ki Brajanata bersemangat Kemudian tanpa banyak cakap lagi, lelaki
gemuk berwajah brewok itu segera memerintahkan anggota rombongan naik ke atas
perahu. Sebentar kemudian, ketiga perahu itu bergerak meninggalkan tepi pantai, membelah
gelombang lautan.
*** "Warsa! Ke mana perginya tuan mudamu...?" tegur lelaki gagah berusia sekitar
tema puluh tahun lebih, berwibawa.
Sepasang matanya yang setajam mata elang menatap sosok lelaki kurus yang duduk
bersimpuh di hadapannya.
'Tuan Muda Sanggala sedang bermain-main di laut, Tuanku.
Hamba..., hamba...."
"Bodoh! Bukankah sudah kukatakan agar kau menyampaikan pesanku, kalau Sanggala
tidak bo leh pergi meninggalkan pulau hari ini! Apa kau belum
menyampaikannya..."!" bentak lelaki gagah yang sangat marah melihat kelalaian
pembantunya. "Hamba sudah menyampaikan perintah Tuanku. Tapi, Tuan Muda Sanggala mengatakan
agar Tuanku tidak perlu khawatir.
Karena dia tidak akan pergi jauh meninggalkan pulau. Tuan Muda hanya ingin
menikmati keindahan laut. Hamba tidak dapat berbuat apa-apa, Tuanku...," jelas
Warsa dengan terputus-putus.
Wajah lelaki kurus itu tampak pucat dan dipenuhi butir-butir keringat. Jelas,
dia sangat takut i melihat majikannya marah.
"Hhh...."
Lelaki gagah berkumis lebat bernama Ki Wana-lungga yang menjadi Majikan Pulau
Setan, hanya bisa menghela napas mendengar keterangan pembantunya. Lelaki gagah
itu sadar, Warsa tidak pantas disalahkan. Putranya memang bandel dan tidak bisa
dinasihati. Apalagi hanya seorang pelayan seperti Warsa.
"Sudahlah. Kau boleh pergi sekarang, dan tunggu sampai majikan mudamu kembali.
Katakan padanya agar segera menemuiku," ujar Ki Wana--lungga dengan nada lebih
lunak, Warsa menarik napas lega. Dari tekanan suara majikannya, dapat diduga kalau
dirinya tidak akan mendapat hukuman.
'Terima kasih, Tuanku. Hamba mohon diri...," ucap Warsa.
Kemudian, bergegas lelaki kurus itu meninggalkan ruangan dengan tubuh
terbungkuk-bungkuk. Dikhawatirkan kalau majikannya akan berubah pikiran jika
dirinya berlama-lama di ruangan itu.
'Tunggu sebentar, Warsa...!" cegah Ki Wana-lungga tiba-tiba, membuat langkah
kaki lelaki kurus itu terhenti.
Wajah Warsa kembali memucat saat membalikkan tubuhnya sambil membungkuk dalamdalam. "Ya, Tuanku..."
"Sampaikan kepada Karmangga, aku ingin agar kawan-kawannya dikumpulkan dan
segera menghadapku," perintah Ki Wanalungga, membuat Warsa merasa lega.
Semula lelaki kurus itu menduga kalau majikannya akan memberi hukuman atas
kelalaiannya. Tapi dugaannya ternyata meleset. Meskipun majikannya seorang yang
berwatak keras dan penuh disiplin, tapi hatinya sangat baik.
"Baik, Tuanku. Akan hamba sampaikan secepatnya...."
Setelah membungkuk hormat, Warsa segera meninggalkan ruangan itu dengan setengah
berlari. "Kasihan Warsa, Kakang. Kelihatannya sangat takut akan menerima hukuman
darimu...," gumam seorang wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun yang
duduk di sebelah Ki Wanalungga. Wanita itu istri Ki Wanalungga, Majikan Pulau
Setan. "Aku tidak berniat menghukumnya. Tapi biar bagaimanapun, kita harus keras dalam
mendidik orang-orang yang tinggal di pulau ini. Apalagi belakangan ini hariku
merasa tidak tenteram.
Firasatku mengatakan, akan ada badai besar yang mungkin akan mengaramkan pulau
ini berikut isinya...," ujar Ki Wanalungga pelan, seperti berkata pada diri
sendiri. Tentu saja ucapan itu membuat istrinya terkejut. Tapi sebelum membuka mulut,
terdengar langkah orang banyak mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian, muncul
seorang pengawal yang langsung melapor.
'Tuanku, Ki Karmangga dan empat orang kawannya meminta izin untuk menghadap...,"
lapor pengawal itu setelah membungkukkan tubuh.
"Suruh mereka masuk...," sahut Ki Wanalungga cepat Tidak berapa lama setelah
pengawal itu lenyap di balik pintu, muncul seorang lelaki tinggi besar. Tubuhnya
terlihat sangat kokoh dan kuat, tak ubahnya seekor harimau muda yang garang dan
penuh semangat Lelaki berusia empat puluh* tahun itu adalah Ki Karmangga, yang
datang bersama empat orang rekannya. Mereka pembantu utama sekaligus murid utama
Ki Wanalungga. Setelah kelima orang pembantu utama itu duduk di hadapannya, Ki Wanalungga
segera mengutarakan kekhawatiran hatinya. Dan meminta kepada kelima orang itu
agar memperketat penjagaan di sekitar pulau, karena khawatir akan ada sesuatu
yang menimpa Pulau Setan
Baru saja Ki Karmangga ingin mengutarakan pendapatnya, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh kemunculan seorang pengawal dengan wajah pucat dan napas
memburu. "Ada apa" Mengapa kau menghadap tanpa kupanggil..."!"
bentak Ki Wanalungga, marah. Kedatangan pengawal yang tiba-tiba itu telah
mengganggu pertemuannya.
"Ampun, Tuanku. Di luar sedang terjadi pertempuran. Pulau ini telah diserang
segerombolan orang-orang berkepandaian tinggi," lapor pengawal itu, membuat
wajah Ki Wanalungga dan kelima orang pembantunya berubah tegang.
"Hm.... Panggil beberapa orang kawanmu untuk menjaga keselamatan istriku...!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh Ki Wanalungga telah melesat cepat
meninggalkan ruangan itu. Ki Karmangga dan keempat orang lainnya tentu tidak
tinggal diam. Mereka langsung bergerak menyusul, hendak melihat orang-orang yang
telah berani mengacau Pulau Setan.
*** "Datuk Lautan Timur..."!" desis Ki Wanalungga ketika melihat seorang lelaki tua
bertubuh tinggi kurus sedang melemparkan tubuh para pengawalnya dengan sebelah
tangan. Kehadiran datuk sesat yang menggariskan itu membuat Ki Wanalungga sangat
terkejut. "He he he...! Selamat bertemu, Majikan Pulau Setan. Orang-orangmu sangat ramah
sekali. Mereka menyambut kedatangan kami dengan meriah...," ujar kakek tinggi
kurus sambil memperdengarkan suara tawanya yang menyakitkan telinga.
"Kau terlalu kejam, Datuk Lautan Timur! Mereka bukan lawan-lawanmu...!" geram Ki
Wanalungga segera melesat mencegah korban jatuh lebih banyak. "Haaat..!"
"Hm...!"
Datuk Lautan Timur hanya mendengus melihat datangnya serangan lawan. Tubuhnya
bergeser ke kanan menghindari pukulan yang menimbulkan deruan angin keras.
Bettt! Begitu serangan lawan luput, telapak tangan Ki Dayut Ganda langsung bergerak
melancarkan serangan balasan. Cepat dan kuat sekali hantaman telapak tangan
kakek tinggi kurus itu, hingga membuat Ki Wanalungga terkejut. Sadar untuk
menghindar sudah terlambat, Majikan Pulau Setan itu mengangkat tangan kirinya
sambil menggeser kaki kanan ke belakang. Plakkk!
Pelipisnya memang selamat dari incaran telapak tangan lawan yang mampu
meremukkan batu karang. Tapi akibat perbuatannya, Ki Wanalungga terjajar mundur
dengan wajah menyeringai. Telapak tangannya terasa panas dan ngilu. Jelas,
kekuatan tenaga dalam lawan masih beberapa tingkat di atasnya.
"Hiaaah...!"
Belum lagi sempat memperbaiki kuda-kuda, Datuk Lautan Timur kembali mengirimkan
serangan susulan ke arah dada Ki Wanalungga.
"Haiiit..!"
Tidak ada jalan lain bagi Ki Wanalungga kecuali melempar tubuhnya berjungkirbalik ke belakang, dan terus berputaran sebelum mendaratkan kakinya sejauh satu
setengah tombak dari tempat semula.'
"Datuk Lautan Umur! Selama ini di antara kita tidak pernah terjadi perselisihan.
Lalu mengapa tiba-tiba kau memusuhiku"
Apakah ada salah seorang penduduk pulau ini pernah berbuat salah padamu?" tegur
Ki Wanalungga seraya menyiapkan ilmu untuk menghadap gempuran lawan berikutnya.
"Aku tidak mau tahu! Yang jelas, kedatanganku ke tempat ini dengan satu tujuan.
Merebut Pulau Setan dari tanganmu!
Sekarang, sebaiknya kau bersiap menghadap malaikat maut!"
sahut Ki Dayut Ganda kembali melesat tanpa memberi kesempatan pada lawan untuk
berbicara lebih banyak.
"Kalau begitu, aku akan mempertahankan pulau ini sampai titik darah
penghabisan...!" ujar Ki Wanalungga lantang.
"Hahhh!"
Ki Wanalungga melompat mundur ketika sebuah pukulan lawan datang mengancam jalan
darah kematian di tubuhnya.
Kemudian, langsung membalas dengan tidak kalah ganas.
Sebentar kemudian, kedua tokoh itu sudah saling gempur dengan hebatnya!
Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di tempat lain, Ki Karmangga tengah menghadapi Ki Brajanata. Dengan
kepandaiannya yang tinggi, lelaki gemuk bermata bengis itu menggempur Ki
Karmangga habis-habisan, hingga membuatnya kewalahan.
"Yiaaa...!"
Plak! Plak! "Aaah...!"
Ki Karmangga memang mampu menyelamatkan diri dari hantaman lawan. Tapi kudakudanya tergempur terkena tamparan lawan yang sangat kuat. Sehingga pada
serangan berikutnya, serangan Ki Brajanata tidak sempat lagi dihindari.Dan.... Desss! "Hugkhhh...!"
Tanpa ampun lagi tubuh Ki Karmangga terpental ke belakang akibat tendangan keras
yang singgah di dadanya. Tampak darah segar menyembur dari mulutnya. Dan
tubuhnya terbanting ke tanah dengan suara berdebuk nyaring!
'Tamat riwayatmu...!" bentak Ki Brajanata.
Lelaki gemuk ini tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Selagi lawannya tidak berdaya, tubuhnya langsung melesat siap menjejak tubuh
lawan! *** 2 Derrr...! Debu bercampur kepingan-kepingan tanah berhamburan, saat telapak kaki Ki
Brajanata yang mengandung kekuatan hebat menjejak tempat Ki Karmangga
tergeletak. Untunglah lelaki tinggi kekar itu sempat menggulingkan tubuh, hingga
selamat dari malapetaka yang mengerikan.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Ki Karmangga berusaha bangkit untuk
memberikan perlawanan. Dicabutnya sebilah golok besar yang tergantung di
pinggang. Kemudian memutarnya di depan tubuh, membentuk benteng pertahanan yang
sangat kuat. "Hmhhh...!"
Ki Brajanata mendengus meremehkan senjata lawan. Dan dengan langkah-langkah
pendek, tubuh lawannya dihampiri.
"Haaat...!"
Kali ini Ki Karmangga rupanya tidak ingin kedukaan oleh lawan. Saat tubuh lawan
bergerak mendekat, lelaki kekar itu melompat maju seraya memutar golok besarnya
yang menimbulkan deruan angin keras.
Bettt! Bettt! Dua kaK sambaran golok Ki Karmangga berhasil dielakkan lawan. Meski demikian, Ki
Karmangga tidak patah semangat.
Bahkan kelebatan goloknya semakin terarah dengan baik.
Sehingga untuk beberapa saat lamanya, Ki Brajanata tidak mampu membalas serangan
lawan. Karena ilmu golok yang digunakan Ki Karmangga sungguh tidak bisa
dipandang ringan.
Namun sikap yang ditunjukkan Ki Brajanata bukan karena tidak mampu melancarkan
serangan balasan. Agaknya, lelaki gemuk itu sengaja memancing lawan agar semakin
gencar melancarkan gempuran. Ki Karmangga terus berkelebat dengan menggunakan
kelincahan tubuhnya. Dan ketika melihat pertahanan lawan sedikit mengendur,
langsung saja kakinya mencelat melancarkan sebuah tendangan miring yang telak
menghajar iga Ki Karmangga.
Bukkk! "Aaakh...!"
Lagi-lagi Ki Karmangga harus mengakui kehebatan lawan.
Baik dalam kecepatan maupun kekuatan, dia masih berada di bawah Ki Brajanata.
Sehingga tanpa ampun lagi, tubuhnya kembali terbanting keras.
"Habis...!" bentak Ki Brajanata.
Saat Ki Karmangga tengah berusaha berdiri tegak, Ki Brajanata langsung melompat
sambil mengembangkan kedua lengannya. Dan....
Prakkk! "Aaargh...!"
Terdengar raung kematian yang menggetarkan seisi pulau.
Sepasang telapak tangan Ki Brajanata yang mengandung tenaga dalam kuat,
menghantam telak kedua pelipis lawan,
hingga retak. Darah segar pun meleleh keluar membasahi pakaian Ki Karmangga.
Lelaki kekar itu ambruk ke tanah dan tewas seketika.
Setelah menyelesaikan lawannya, Ki Brajanata angsu g melesat menuju bangunan
induk di pulau itu. Beberapa orang pengawal yang mencoba menghadang, langsung
berpelantingan terkena tamparannya.
Tanpa mempedulikan korban-korbannya, Ki Brajanata Bergerak memasuki bagian dalam
bangunan. Setiap kamar dijelajahinya dan isi kamar dia cak hingga porak-poranda.
Rupanya, lelaki gemuk itu sedang mencari sesuatu yang menjadi tujuannya
mendatangi pulau ini.
Brakkk...! Sebuah kamar yang terkunci rapat hancur terkena tendangan keras Ki Brajanata.
Sepasang mata lelaki gemuk itu berkilat saat melihat sesosok tubuh ramping
meringkuk di sudut kamar. Wanita itu tidak lain istri Majikan Pulau Setan!
"He he he...! Tak kusangka keparat Wanalungga memiliki seorang istri yang
cantik. Meskipun sudah tidak muda lagi, tapi masih sangat menggairahkan...,"
ujar Ki Brajanata terkekeh sambil meneliti sekujur tubuh wanita itu dengan
sepasang mata yang memerah saga.
"Pergi kau, Manusia Jahat! Atau aku akan mengakhiri hidupku dengan senjata
ini..."!" teriak wanita cantik itu sambil mengangkat sebilah pisau dengan tangan
kanannya. Tapi wanita yang tidak memiliki kepandaian silat itu tidak dapat berbuat apaapa. Dengan sekali berkelebat, Ki Brajanata melepaskan pisau itu. Kemudian
menotok lumpuh tubuhnya.
"Cepat katakan! Di mana suamimu menyembunyikan benda keramat itu"! Jika tidak,
aku tidak akan segan-segan
menyiksamu...!" ancam Ki Brajanata sambil mendekatkan wajahnya ke wajah wanita
cantik itu. "Aku tidak tahu benda apa yang kau cari! Aku pun tidak pernah melihatnya...!"
jawab wanita cantik itu, berusaha menjauhkan wajahnya. Tapi karena tubuhnya
telah tertotok, wanita itu hanya bisa menangis.
"Bohong...!"
Ki Brajanata tidak percaya dengan jawaban wanita itu.
Kemudian, dilemparkannya tubuh perempuan malang itu ke atas pembaringan. Dan....
Breeet..! Sekali renggut saja, kain yang dikenakan wanita itu langsung robek. Ki Brajanata
menjilati bibirnya dengan jakun bergerak turun-naik, melihat pemandangan yang
membangkitkan nafsu setannya.
"Bicaralah, atau...."
Kembali Ki Brajanata mengancam seraya mengulurkan tangan, membuat wanita itu
ketakutan. Tapi apa daya karena tubuhnya telah tertotok lumpuh. Wanita itu hanya
dapat menangis, ketika jemari tangan Ki Brajanata menggerayangi tubuhnya.
"Aku tidak tahu...!" rintihnya lemah dengan wajah bersimbah air mata.
"Setan...!"
Ki Brajanata memaki sambil melepaskan tubuh wanita malang itu. Kemudian, isi
kamar itu diobrak-abrik, mencari benda yang diinginkannya. Sayang, meskipun
seluruh sudut kamar telah diperiksanya, Ki Brajanata tetap tidak menemukan benda
yang dicarinya.
"Hm.... Kaulah yang memaksaku berbuat kasar, Nyai.
Rasakanlah akibat kekerasan sikapmu...!" geram Ki Brajanata dan langsung
menerkam tubuh di atas pembaringan itu, lalu menggelutinya dengan kasar.
Setelah melakukan perbuatan terkutuknya, Ki Brajanata memukul pecah kepala
perempuan malang itu hingga tewas seketika. Kemudian melompat ke luar kamar, dan
terus ke pekarangan.
Desss...! "Huakkkh...!"
Darah segar menyembur keluar dari mulut Ki Wanalungga.
Tubuh lelaki gagah itu terlempar deras dan jatuh terbanting di tanah.
"He he he...!"
Datuk Lautan Timur melangkah maju sambil terkekeh parau hingga menyakitkan
telinga. Kekejaman terpancar jelas pada sepasang matanya yang kecil dan tajam.
Ki Wanalungga menyeret tubuhnya menjauhi lawan, kemudian bergerak bangkit dengan
gerakan limbung.
Sementara lawannya sengaja memperlambat langkah untuk menyiksa lelaki gagah itu.
"Hm.... Rupanya kau telah diperdaya oleh keparat Ki Brajanata, Datuk Lautan
Timur!" desis Ki Wanalungga ketika melihat bayangan lelaki tinggi gemuk melesat
keluar dari dalam rumahnya.
"Apa maksudmu, Wanalungga...?" tanya Ki Dayut Ganda seraya menyipitkan sepasang
matanya. Agaknya tokoh sesat yang menggiriskan ini tidak mengerti maksud ucapan
Ki Wanalungga. "Ki Brajanata datang ke tempat ini dengan satu tujuan, merebut sebuah benda
keramat yang menurutnya ada padaku.
Dia telah memperalatmu untuk membantu usahanya...," sahut Ki Wanalunggai tibatiba mendapatkan akal untuk mengadu domba, kedua lawannya.
Setelah mendengar ucapan Ki Wanalungga, Datuk Lautan Timur segera mematingkan
wajahnya ke arah Ki Brajanata yang menjadi kaget melihat] perubahan itu.
"Ki Brajanata...!" panggil Datuk Lautan Timur dengan suara menggelegar.
Kakek itu memang tidak tahu tujuan sebenarnya perbuatan Ki Brajanata. Murid
keponakannya1 itu hanya mengatakan meminta bantuannya untuk merebut Pulau Setan.
Dan sama sekati tidak memberi tahu soal benda keramat yang dikatakan Ki
Wanalungga. Meskipun dengan wajah tegang, Ki Brajanata melangkah mendatangi paman gurunya.
Diam-diam lelaki gemuk itu menyiapkan jawaban bila Ki Dayut Ganda menanyakan
perihal benda keramat yang dicarinya.
"Katakan terus terang! Apa sebenarnya tujuan-mu menyerbu pulau ini"! Kalau tidak
kau akan menyesal, dan aku tidak akan memandangmu sebagai murid keponakan lagi!
Karena kau telah berani berdusta dan memperalatku...!" geram Ki Dayut Ganda
dengan sepasang mata berkilat tajam. Kakek itu sangat marah karena merasa
dipermainkan. "Aku tidak bermaksud mempermainkanmu, Dayut Ganda.
Aku hanya khawatir kau akan menolak membantuku, bila aku mengatakan hal yang
sebenarnya. Sebab dengan kepandaianmu yang tinggi, kau pasti tidak sudi
membantuku menemukan benda keramat itu. Jadi, aku tidak bermaksud memperalatmu,
apalagi menipumu," jawab Ki Brajanata, licik.
Sehingga kemarahan yang semula terpancar di wajah kakek itu kini menurun.
"Hm.... Coba kulihat, seperti apa benda yang sangat kau inginkan itu...?" ujar
Ki Dayut Ganda mengulurkan tangannya, meminta benda yang dicari Ki Brajanata.
"Aku belum menemukannya...," jawab Ki Brajanata sambil menggelengkan kepala.
"Hm.... Kau hendak mengetahuiku, Ki Brajanata...?" geram Datuk Lautan Timur
dengan sepasang mata berkilat tajam.
"Aku sudah menggeledah setiap sudut bangunan. Tapi, benda keramat itu tidak
kutemukan. Entah di mana bangsat Wanalungga menyembunyikannya...?" kilah Ki
Brajanata membela diri dan berusaha meyakinkan paman gurunya.
"Kalau begitu..., eh"! Keparat...!"
Ki Dayut Ganda yang teringat pada Ki Wanalungga segera menoleh ke tempat lelaki
gagah itu berada. Dan bukan main terkejutnya hati kakek itu ketika melihat Ki
Wanalungga telah lenyap dan tidak kelihatan lagi batang hidungnya. "Bangsat!"
Geram Datuk Lautan Timur sambil mengedarkan pandangan ke arah pertempuran yang
mulai berakhir. Namun sosok Ki Wanalungga tetap tidak ditemukan. Agaknya,
Majikan Pulau Setan itu telah melarikan diri saat Datuk Lautan Timur bertengkar
dengan Ki Brajanata.
"Ayo, kita cari keparat itu...!" ajak Ki Dayut Ganda yang langsung disetujui Ki
Brajanata dan beberapa orang anggota rombongan.
Ki Dayut Ganda dan Ki Brajanata berpencar untuk mencari Ki Wanalungga. Demikian
pula dengan anggota rombongan lelaki gemuk itu. Mereka men/ilajahi sekitar
tempat itu. Semua
tempat yang dicurigai sebagai tempat persembunyian, telah mereka geledah. Namun,
sosok lelaki tegap itu seperti lenyap ditelan bumi.
Setelah gagal mencari Ki Wanalungga, Datuk Lautan Timur kembali mengumpulkan
anggota rombongan murid keponakannya. Kini kakek itu mengambil alih pimpinan
yang semula dipegang Ki Brajanata.
"Saat ini lupakan Ki Wanalungga. Sekarang, kuperintahkan kalian semua
menggeledah setiap sudut pulau ini untuk mencari benda keramat itu. Tanyakan
pada Ki Brajanata tentang ciri-ciri benda itu. Tapi sebelumnya, kalian harus
membereskan tempat ini, dan buang mayat-mayat itu ke laut Aku ingin
beristirahat..."
Setelah berkata begitu, Datuk Lautan Timur melangkah pergi meninggalkan Ki
Brajanata dan kawan-kawannya yang hanya bisa bertukar pandang
"Kakek keparat...!"
Setelah Ki Dayut Ganda lenyap dari pandangan, Ki Brajanata baru berani mengumpat
Kemudian, memerintah semua anggota rombongannya untuk melaksanakan perintah
Datuk Lautan Timur.
*** "Eh..."! Apa yang terjadi di tempat kediamanku...?" desis pemuda tampan berusia
sembilan belas tahun ketika melihat mayat-mayat terapung di dekat pantai. Cepat
perahunya dibelokkan ke bagian pantai yang agak tersembunyi dari pandangan
orang-orang yang berada di Pulau Setan.
Setelah menyembunyikan perahunya di balik semak-semak, pemuda tampan itu
bergerak mengendap-endap, mendekati bangunan besar yang di depannya tampak
terjadi kesibukan.
"Hm.... Siapa mereka" Mengapa aku tidak melihat seorang pengawal pun di depan
bangunan" Aku harus menyelidikinya.
Entah apa yang telah terjadi di tempat ini. Mungkinkah Pulau Setan diserbu
gerombolan perampok" Tapi, rasanya tidak mungkin. Sebab aku tidak menemukan
perahu besar di pantai...," gumam pemuda tampan itu, bertanya-tanya sendiri.
Pemuda tampan yang berusia sembilan belas tahun itu adalah Sanggala, putra
tunggal Majikan Pulau Setan. Pemuda itu baru saja kembali dari laut, sehingga
tidak tahu apa yang telah terjadi di pulau itu. Untunglah kecurigaannya langsung
muncul ketika melihat belasan mayat terapung di laut. Kalau saja tidak berpikir
panjang dan langsung menuju tempat tinggalnya, kemungkinan Sanggala akan tewas.
Paling tidak akan tertawan gerombolan Ki Brajanata.
Sanggala semakin terkejut saat melihat orang-orang yang tidak dikenalnya itu
bergerak menyebar ke seluruh pelosok pulau. Pemandangan itu membuat hatinya
semakin bertanya-tanya.
"Siapa mereka sebenarnya" Mereka sepertinya tengah mencari-cari sesuatu" Ke mana
pula perginya ayah dan Paman Karmangga serta yang lainnya" Mungkinkah di antara
mayat-mayat yang terapung di laut itu terdapat mayat ayah atau Paman Karmangga"
Hhh.... Benar-benar pening aku dibuatnya.
Sebaiknya aku tidak usah menampakkan diri sebelum segalanya menjadi jelas.
Hm.....Lebih baik aku menyelidikinya melalui jalan rahasia...," gumam Sanggala
yang tiba-tiba teringat sebuah jalan rahasia yang hanya diketahui keluarganya.
Maka Sanggala segera melesat dengan hati-hati, menuju semak belukar yang
terdapat di samping bangunan yang menjadi tempat tinggalnya selama ini.
Tak seorang pun akan menduga kalau di dalam semak belukar yang terdapat di
samping bangunan, ada sebuah jalan rahasia. Memang tidak mudah untuk
mengetahuinya, karena pintu masuk jalan rahasia itu tertutup semak belukar. Tapi
bagi Sanggala, hal itu tidak sulit, karena sejak kecil telah seringkah
melaluinya. Sanggala menyusuri lorong panjang yang hanya bisa dilalui satu orang. Pemuda itu
berusaha tetap dapat menatap ke depan. Untuk itu, tenaga dalamnya harus
dikerahkan agar dapat melihat dalam cahaya remang-remang. Dan kewaspadaannya pun
harus tetap dijaga. Siapa tahu lorong rahasia ini telah diketahui orang-orang
yang tak dikenalnya.
Sebab, ketika memasuki tempat rahasia ini, sempat dilihatnya orang-orang asing
itu tengah mencari-cari sesuatu. Bukan tidak mungkin mereka sedang mencari jalan
rahasia yang kini dilaluinya.
Baru beberapa belas tombak berjalan, Sanggala menghentikan langkahnya. Wajahnya
seketika berubah tegang.
Samar-samar terdengar dengus napas berat dari arah depan.
"Hm.... Tidak kusangka tempat rahasia ini telah diketahui mereka. Apa sebenarnya
yang mereka cari di pulau ini...?"
gumam Sanggala.
Berpikir begitu, Sanggala segera meloloskan pedangnya perlahan lahan tanpa
suara. Dengan menyembunyikan pedang di balik lengan agar kilaunya tidak
tertangkap lawan, Sanggala kembali bergerak maju dengan lebih hati-hati.
Pemuda tampan itu bertambah tegang ketika dengus napas berat tadi semakin jelas
terdengar. Setelah terdiam beberapa saat untuk memastikan di mana pemilik napas
itu, Sanggala kembali bergerak maju. Tenaganya langsung menyebar ke seluruh
Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuh dan siap digunakan setiap waktu.
Sanggala yang merasa pasti kalau pemilik napas berat itu berada di balik dinding
sebelah depannya, segera melompat cepat dengan pedang terhunus. Namun....
"Ayah..."!"
Sanggala terpekik ketika mengenali sosok pemilik napas berat itu adalah ayahnya
sendiri. "Sanggala...! Kaukah itu...?" tegur lelaki tegap yang tergolek lemah,
bersandarkan dinding tanah lorong rahasia.
Sanggala tidak mampu lagi menahan perasaannya. Tanpa menjawab pertanyaan
ayahnya, pemuda itu langsung memburu dan memeluk tubuh Ki Wanalungga.
"Ayah.... Kau..., terluka..." Apa yang sudah terjadi, Ayah" Di mana ibu...?"
Sanggala langsung memberondong Ki
Wanalungga dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya.
"Sabar, Anakku. Kita harus tabah menghadapi cobaan berat ini...," bujuk Ki
Wanalungga seraya menepuk-nepuk bahu putranya.
Diam-diam lelaki gagah itu merasa bersyukur putranya tengah bermain di laut saat
peristiwa itu terjadi. Kalau tidak, mungkin Sanggala sudah tewas di tangan
lawan-lawannya yang berkepandaian tinggi. Terutama Ki Dayut Ganda yang berjuluk
Datuk Lautan Timur.
Dengan suara perlahan, Ki Wanalungga menceritakan peristiwa yang menimpa
penduduk Pulau Setan. Sanggala mendengarkan dengan hati terbakar. Meski
demikian, tak sekali pun cerita ayahnya dipotong. Baru setelah Ki Wanalungga
selesai bercerita, Sanggala mengungkapkan rasa marah dan penasarannya.
"Jadi kedatangan orang-orang jahat itu hanya karena sebuah benda yang sebenarnya
tidak ada pada Ayah"! Lalu, dari mana Ki Brajanata mendapat berita bohong itu"
Bagaimana pula nasib ibu" Apakah Ayah sudah mengetahuinya?"
Kembali Sanggala melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada ayahnya. Agaknya
pemuda itu sangat mengkhawatirkan keselamatan ibunya.
"Entahlah, Sanggala. Aku sendiri tidak tahu, dari mana keparat Ki Brajanata
mendapat berita bohong itu.... Tapi kelihatannya dia sangat yakin benda itu
berada di tangan Ayah.
Mengenai nasib ibumu..., dapat dipastikan tidak mungkin selamat. Sebab saat aku
bertarung dengan Ki Dayut Ganda, sempat kulihat Ki Brajanata keluar dari dalam
bangunan. Kemungkinan besar ibumu telah dibunuhnya...," jelas Ki Wanalungga dengan suara
terpatah-patah.
Sesekali lelaki gagah itu menyeringai sambil memegang dadanya yang terasa bagai
ditusuk ribuan jarum. Majikan Pulau Setan itu memang mengalami luka dalam yang
parah! "Ayah, luka dalammu mungkin sangat parah. Kau harus menyembuhkannya dulu,
setelah itu kita cari ibu," ujar Sanggala. Ucapan itu jelas menunjukkan Sanggala
masih sangat hijau dengan pengalaman.
Ki Wanalungga pun memaklumi ketidaktahuan putranya.
Lelaki gagah itu tersenyum pahit dan menggelengkan kepalanya disertai helaan
napas panjang. "Hhh.... Lukaku sangat parah, Sanggala. Selain orang yang memiliki tenaga sakti
sempurna, tidak ada lagi yang dapat menolongku. Sekarang aku tak ubahnya orang
lumpuh. Siapa pun dapat dengan mudah membunuhku. Sebaiknya, kau tinggalkan
tempat ini, carilah kehidupan baru di tempat lain.
Dan jangan sekali-kali berniat hendak membalas dendam, karena musuhmu bukan
orang sem-barangan. Tokoh sakti seperti Datuk Lautan Timur sangat sukar dicari
tandingannya. Kendati kau berlatih seumur hidup, tokoh itu belum tentu dapat dikalahkan. Untuk
itu, tinggalkan tempat ini. Lupakan Pulau Setan, Anakku," ujar Ki Wanalungga
menyadari saat kematiannya tidak akan lama lagi. Lelaki gagah itu ingin memberi
nasihat untuk terakhir kalinya kepada putra tunggalnya.
Batin Sanggala, menjerit mendengar ucapan ayahnya.
Betapa tidak" Dia tidak mampu membalas sakit hati kedua orangtuanya pada orangorang yang telah demikian kejam melukai ayah dan mungkin membunuh ibunya.
Sehingga Sanggala menyembunyikan wajahnya, khawatir air matanya akan jatuh dan
terlihat oleh ayahnya. Sanggala tidak ingin lelaki gagah yang sangat dicintainya
itu menganggap dirinya pemuda cengeng.
"Tidak. Kalau Ayah tidak pergi, aku pun akan tetap tinggal di sini. Dan jika
pergi, Ayah harus kubawa. Siapa tahu di daratan sana ada orang yang mampu
menyembuhkan luka Ayah. Nanti malam, aku akan membawa Ayah pergi dari pulau
ini," bantah Sanggala mantap, tidak dapat ditawar lagi.
Mendengar ucapan itu, Ki Wanalungga hanya bisa menghela napas panjang. Lelaki
gagah itu pasrah pada keinginan putra tunggal yang sangat disayangnya.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Ayah tidak bisa mencegah lagi, Sanggala.
Hanya saja kita harus hati-hati. Siapa tahu mereka masih mencariku...," ujar Ki
Wanalungga dengan suara perlahan.
"Jangan khawatir, Ayah. Aku pasti dapat membawamu meninggalkan tempat ini...,"
sahut Sanggala merasa yakin mereka dapat meninggalkan Pulau Setan dengan
selamat. Ki Wanalungga tidak menyahut. Rasa nyeri masih menggigit bagian dalam dadanya.
Ki Wanalungga hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa sakit yang dideritanya.
*** 3 Dua sosok tubuh tampak melangkah di bawah siraman cahaya matahari siang. Pasir
basah di tepi pantai, membuat jejak kaki mereka meninggalkan bekas yang cukup
dalam. Rambut dan pakaian mereka berkibaran dipermainkan angin pantai yang bertiup
keras. Tapi kedua sosok tubuh itu tampaknya tidak merasa terganggu. Malah
terlihat mereka menikmatinya sepenuh hati.
"Sudah lama sekali kita tidak merasakan suasana seperti ini, Kakang. Entah
mengapa, tiba-tiba aku ingin merasakan suasana laut. Bagaimana kalau perjalanan
ini kita lanjutkan melalui samudera yang luas itu" Apa kau tidak merasa
tertantang oleh gelombang yang bergulung-gulung itu, Kakang?"
Terdengar suara merdu sosok tubuh ramping berpakaian serba hijau. Wajahnya yang
jelita tampak kemerahan tersengat terik sinar matahari. Yang semakin menambah
pesona dirinya.
Pemuda tampan bertubuh sedang berjubah panjang warna putih tidak segera
menjawab. Pandang matanya dilayangkan ke laut lepas, memandang ombak yang
berkejaran menuju pantai.
Baru kemudian beralih menatap wajah jelita di sebelahnya.
"Kalau kau memang menginginkannya, aku setuju saja. Tapi kita harus mencari
pelabuhan yang terdekat Sebab di perkampungan nelayan ini aku tidak menemukan
kapal besar, yang ada hanya perahu penangkap ikan," sahut pemuda tampan berjubah
putih itu. Pandangannya diedarkan ke sekitar tempat itu. Tapi sejauh mata
memandang, yang terlihat hanya deretan perahu-perahu nelayan.
"Lalu...."
Dara jelita itu meminta kepastian dengan wajah dimiringkan, memandang pemuda
tampan di sebelahnya. Melihat adanya pijar kemesraan dalam pandang mata mereka,
dapat diduga pasangan muda itu bukan sekadar kawan seperjalanan.
"Ya. Kita cari dermaga tempat kapal-kapal besar merapat Mungkin kita bisa
menumpang bila kapal itu kembali bertolak,"
jawab pemuda tampan itu, menyetujui.
"Kalau begitu kita harus mencarinya, Kakang...," ujar dara jelita itu lagi.
Pemuda tampan itu kelihatannya setuju saja. Tapi baru saja mereka hendak
menjauhi tepi pantai, terdengar suara pertarungan yang cukup jelas.
"Kau dengar suara itu, Kenanga...?" tanya pemuda tampan berjubah putih, kepada
dara jelita yang tidak lain Kenanga.
Sedang pemuda itu adalah Panji yang dalam rimba persilatan berjuluk Pendekar
Naga Putih. "Ya. Aku mendengarnya, Kakang. Ayo kita lihat..!" ajak Kenanga.
Kemudian tanpa menunggu jawaban Panji, dara cantik berpakaian serba hijau itu
langsung melesat mencari sumber suara pertarungan.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya melihat seorang pemuda tampan berusia
sekitar sembilan belas tahun, tengah mati-matian membela diri dalam keroyokan
empat orang bertampang kasar. Sekali melihat saja, Panji bisa menilai pihak mana
yang harus dibelanya. Maka tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih segera
berkelebat mendahului kekasihnya.
"Haiiit..!"
Plak! Plak! Begitu tiba, Panji langsung memasuki arena pertempuran dan menyelamatkan pemuda
itu dari ancaman dua pedang lawan. Sehingga kedua orang kasar itu hampir
terpelanting terkena tangkisan Pendekar Naga Putih.
"Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusan kami"!"
bentak seseorang yang bertubuh tinggi tegap. Sepasang matanya berkilat menatap
wajah Pendekar Naga Putih.
Rupanya lelaki itu sangat marah melihat campur tangan Panji.
Panji hanya tersenyum mendengar ucapan lelaki bertubuh tegap itu. Dan dengan
sikap yang tenang pertanyaan itu dijawabnya.
"Kisanak. Persoalan di antara kalian memang bukan urusanku. Tapi sebagai orang
gagah, aku tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan terjadi di depan mata.
Sudah menjadi kewajiban setiap manusia untuk memerangi ketidakadilan," ujar
Panji, membuat lelaki tegap itu menggereng.
"Hm.... Kalau begitu, kau pun harus segera kukirim ke neraka! Bersiaplah...!"
geram lelaki tegap itu. Kemudian, anak buahnya diperintahkan untuk mengeroyok
Panji. "Kisanak, hati-hati...," ujar pemuda tampan berusia sembilan belas tahun yang
tubuhnya terlihat kokoh. "Mereka memiliki kepandaian tinggi."
'Tenang. Aku akan berusaha menyingkirkan mereka...,"
jawab Panji seraya melangkah maju mendekati empat orang lawannya.
"Hm.... Rupanya kau sudah tidak sayang dengan nyawamu, Pemuda Tolol...!" desis
lelaki kasar yang bertubuh kekar dan otot lengan bersembulan. "Haaat...!"
Sebelum Panji sempat menimpali ucapannya, lelaki kekar itu sudah menerjang
dengan kepalan-kepalannya yang besar.
Angin keras mengiringi setiap lontaran pukulannya, menandakan kekuatan yang
tersembunyi di dalamnya tidak bisa diremehkan.
"Hmh...."
Panji hanya mendengus melihat datangnya kepalan lawan.
Dengan mengegoskan tubuh, kedua serangan itu pun luput di dekat sasarannya. Dan
karena elakan Pendekar Naga Putih
dianggap suatu kebetulan, maka lelaki kekar itu pun mempergencar serangannya.
Plakkk! Seielah bosan berkelit, akhirnya Panji menepis sebuah kepalan yang mengincar
dadanya. Saat lawan terhuyung, Pendekar Naga Putih menyodok-kan sikutnya yang
telak mengenai iga lawan.
Dukkk! Lelaki kekar itu terkejut merasakan sodokan sikut yang membuatnya menyeringai.
Bahkan merasa heran melihat kuda-kudanya tergempur mundur. Maka amarahnya pun
meledak. "Aaat.J"
Sebelum lelaki kekar itu kembali melancarkan serangan, tiga orang pengeroyok
lain sudah menghambur ke arah Panji.
Kilatan-kilatan putih mulai memenuhi arena, saat tiga pedang lawan berkelebatan
mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
"Minggat kalian...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus kesepuluh, tiba-tiba Panji membentak sambil
mengibaskan kedua lengannya ke kiri dan kanan Akibatnya....
Bresssh...! Ketiga lelaki kasar itu terpekik ngeri dengan tubuh terlempar hingga satu tombak
lebih. Mereka menjadi gentar, karena tidak menyangka kalau pemuda tampan
berjubah putih itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. "Haaat..!"
Tapi lelaki kekar berotot yang hatinya masih penasaran, kelihatan belum jera.
Bahkan semakin memperhebat serangan, dan melipatgandakan kekuatannya untuk
merobohkan Pendekar Naga Putih.
"Hm....!"
Pendekar Naga Putih bergumam tak jelas melihat serangan yang dilancarkan lelaki
kekar itu. Kali ini Panji tidak berusaha mengelak, malah seperti hendak menerima
pukulan lawan dengan tubuhnya.
"Ahhh..."!"
Pemuda tampan yang diselamatkan Panji terpekik melihat kenyataan itu. Hampir
saja dia menyerbu ke dalam arena. Tapi Kenanga yang juga menyaksikan perkelahian
itu cepat menahannya. Sehingga pemuda itu tidak jadi membantu Panji, dan hanya
bisa menatap dengan rasa ngeri.
Bukkk! "Aaakh...!"
Kepalan yang besar dan kuat singgah dengan telak di tubuh Pendekar Naga Putih.
Tapi yang berteriak kesakitan justru lelaki kekar itu. Bahkan tubuhnya terhuyung
mundur sambil memegangi kepalannya yang bengkak. "Lari...!"
Menyadari pemuda tampan berjubah putih itu bukan tandingan mereka, lelaki kekar
itu segera menghambur meninggalkan tempat itu dengan mengajak ketiga kawannya.
Panji hanya tersenyum melihat keempat lawannya melarikan diri tunggang-langgang.
Pendekar Naga Putih tidak berniat mengejarnya, karena antara mereka dengan
dirinya tidak ada permusuhan.
"Mereka orang-orang jahat! Mengapa dibiarkan pergi begitu saja" Kelak mereka
akan mencarimu dengan membawa kawan-kawan dan pimpinannya."
Pemuda tampan bertubuh kokoh yang diselamatkan Panji menegur tak puas. Kelihatan
sekali kalau tindakan Panji yang membiarkan lawan-lawannya melarikan diri
disesalinya. "Apa yang menyebabkan kau bermusuhan dengan mereka"
Kelihatannya kau sangat membenci orang-orang kasar itu,"
tanya Panji tanpa mempe-dulikan perasaan tak puas pemuda berpakaian serba biru
itu. "Nanti kuceritakan. Sekarang aku hendak melihat ayahku.
Beruntung mereka tidak begitu memperhatikan. Kalau saja ayahku sampai terlihat,
mungkin mereka sudah membunuhnya....," ujar pemuda berpakaian serba biru yang
tidak iain Sanggala, putra Majikan Pulau Setan.
Rupanya pemuda itu berhasil meninggalkan Pulau Setan bersama ayahnya. Sayang
mereka terlihat lawan, sehingga Sanggala nyaris tewas di tangan musuh-musuhnya.
Untunglah Panji cepat datang menyelamatkannya.
Melihat pemuda itu berlari masuk ke dalam hutan kecil, Panji dan Kenanga
bergegas mengikuti. Sepasang pendekar muda itu kelihatannya sangat tertarik
dengan kejadian yang menimpa pemuda itu Bahkan mereka bermaksud ingin membantu
pemuda yang baru dikenal itu.
*** "Ayah...!" panggil Sanggala menyeruak ke dalam sela bebatuan yang agak
terlindung dari sinar matahari dan tertutup pepohonan berdaun rimbun.
"Sanggala...," desis lelaki gagah yang tampak semakin payah dan pucat.
Lelaki itu adalah Ki Wanalungga. Majikan Pulau Setan itu pergi dari pulaunya
dengan membawa luka dalam yang semakin parah.
"Ayah...," desah Sanggala semakin iba melihat keadaan ayahnya.
"Syukurlah kau selamat, Anakku. Apakah mereka sudah pergi dari tempat ini...?"
tanya Ki Wanalungga belum menyadari ada dua orang lain yang datang bersama
putranya. "Sanggala...," pangil Panji yang mengetahui nama pemuda itu dari panggilan
orangtuanya. "Kelihatannya luka ayahmu sangat parah. Kalau tidak keberatan, aku
ingin memeriksanya...."
Sanggala tidak langsung menjawab. Dipandanginya Kenanga dan Panji bergantiganti, seolah ingin menilai sepasang pendekar itu. Karena biar bagaimanapun,
mereka baru saja bertemu. Nama kedua penolongnya pun belum diketahuinya.
Jadi wajar saja jika Sanggala belum percaya sepenuhnya pada Panji dan Kenanga.
"Bagaimana, Sanggala...?" kali ini Kenanga yang mengajukan permintaan.
"Siapa mereka, Sanggala...?" tanya Ki Wanalungga ketika mendengar ada suara
lain. Kening lelaki gagah itu berkerut ketika melihat sseorang lelaki dan
perempuan muda membungkuk dan tersenyum padanya.
"Kami sahabat putramu, Paman...," sahut Panji mendahului Sanggala menjawab
pertanyaan Ki Wanalungga.
"Merekalah yang menyelamatkan aku dari manusia-manusia jahat itu, Ayah...,"
jelas Sanggala ketika Ki Wanalungga menatap anaknya meminta penjelasan.
"Namaku Panji. Sedangkan kawanku ini Kenanga. Kami kebetulan sedang lewat di
tempat itu saat Sanggala bertempur," jelas Panji, langsung memperkenalkan diri
tanpa diminta. 'Terima kasih atas pertolongan kalian...," ujar Ki Wanalungga. Lalu, terbatuk
hebat hingga terlihat cairan merah di sudut bibirnya.
"Luka dalam yang Paman derita kelihatannya sudah cukup parah. Bolehkah aku
memeriksanya" Kalau dibiarkan berlarut-larut bisa bertambah parah dan
membahayakan nyawa Paman...," ucap Panji ketika melihat kesempatan baik untuk
Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menawarkan bantuannya.
"Luka ini sudah sulit disembuhkan, Panji. Aku sudah pasrah menanti kematian...,"
kata Ki Wanalungga.
'Paman, sebelum kematian datang menjemput, kita wajib berusaha. Izinkan aku
memeriksa lukamu. Siapa tahu aku bisa meringankan jpende-ritaan Paman," bujuk
Panji. Pendekar Naga Putih langsung berjongkok di dekat Ki Wanalungga. Kemudian
tangannya diulurkan ketika melihat orang tua itu terdiam, seolah menyetujui
usulnya. "Hm.... Kita harus mencari tempat yang lebih baik untuk menyembuhkan luka
ayahmu, Sanggala," ujar Panji setelah memeriksa Ki Wanalungga.
"Kau bisa menyembuhkannya, Panji...?" tanya Sanggala setengah tak percaya.
Sebab menurut penuturan ayahnya, luka itu hanya bisa disembuhkan oleh orang yang
memiliki tenaga dalam sempurna. Sedang Sanggala tak yakin pemuda berjubah putih
itu memilikinya.
"Kita harus berusaha, Sanggala."
Setelah berkata demikian, Panji mengeluarkan dua butir obat berwarna merah dan
putih. Kemudian, memberikannya kepada Ki Wanalungga.
Lelaki gagah itu menatap Panji, lalu beralih ke obat yang diangsurkan. Agaknya
Ki Wanalungga merasa obat yang diberikan Panji tak akan berguna.
"Ambillah, Paman. Kedua obat ini dapat mengurangi rasa nyeri yang setiap kafi
datang mengganggu di dalam dada...,"
jelas Panji, membuat sepasang mata Ki Wanalungga terbelalak.
Rupanya orang tua itu kaget mendengar Panji mengetahui penderitaannya.
Melihat Panji mengangguk, Ki Wanalungga segera menerima kedua pil itu, dan
menelannya tanpa ragu. Wajah orang tua itu semakin memperlihatkan rasa kaget
ketika beberapa saat setelah kedua pil itu masuk ke dalam perutnya, dirasakan
ada sesuatu yang bergolak.
"Luar biasa! Pil yang kau berikan sangat mukjizat, Panji!"
ujar Ki Wanalungga sambil memperlihatkan senyum ketika merasakan sesuatu yang
hangat dan sejuk berganti-ganti menjalar ke seluruh tubuh. Kenyataan itu membuat
harinya gembira.
"Syukurlah, Paman. Memang itu yang kita harapkan...," ujar Panji tersenyum lega.
Sanggala yang melihat ayahnya sudah bisa tersenyum, menjadi heran. Tapi pemuda
itu tidak bisa menyembunyikan kegembiraan hatinya.
'Terima kasih, Panji. Meskipun ayahku belum sembuh, tapi kau telah mengurangi
penderitaannya. Agaknya kau sengaja dikirim untuk menolong kami...," ucap
Sanggala merasa gembira mendengar ucapan ayahnya.
"Bahaya masih belum lewat, Sanggala. Mari kita ke penginapan terdekat untuk
mengobati luka dalam ayahmu.
Mudah-mudahan beliau dapat diselamatkan...," ujar Panji.
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, tubuh Ki Wanalungga diangkat dan diletakkan
di bahu kanannya.
Semula Sanggala terkejut melihat perbuatan Panji. Namun ketika melihat pemuda
itu hanya sekadar ingin menolong, legalah hati Sanggala. Tanpa banyak tanya,
pemuda itu mengikuti Panji dan Kenanga mencari tempat yang lebih aman untuk
menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di sebuah desa yang cukup ramai.
Panji segera memesan tiga buah kamar di sebuah rumah penginapan bagi para
pelancong dan pedagang keliling.
*** 4 "Untuk menyembuhkan luka ayahmu, aku memerlukan waktu paling sedikit dua hari,
agar Ki Wanalungga terbiasa dengan tenaga yang kusa-lurkan ke tubuhnya. Tapi
cara pengobatan ini cukup berbahaya, mengingat kau dan ayahmu masih diburu
musuh," ujar Panji.
Saat itu mereka berkumpul di kamar Sanggala untuk membicarakan penyembuhan Ki
Wanalungga. "Apa bahaya yang kau khawatirkan, Panji?" tanya Sanggala yang memang belum
banyak pengalaman. Sehingga tidak mengetahui bahaya menyalurkan tenaga sakti ke
tubuh orang lain.
"Begini, Sanggala. Saat aku menyalurkan tenaga saktiku ke tubuh ayahmu, kau dan
Kenanga harus tetap siaga jika musuh datang menyerbu. Karena saat itu aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Kalau sampai aku terganggu atau dibokong lawan,
mungkin aku akan mendapat luka dalam yang parah, dan kemungkinan besar ayahmu
akan tewas. Itu sebabnya mengapa kita harus bicarakan terlebih dahulu sebelum
melakukannya," jelas Panji membuat Sanggala mengangguk-anggukkan kepala tanda
mengerti. "Sungguh berbahaya sekali...," gumam Sanggala tidak menyangka kalau akibat yang
akan ditanggung Panji sangat berat.
Diam-diam Sanggala kagum dengan keluhuran budi pemuda itu. padahal mereka baru
saling mengenal. Tapi pemuda tampan berjubah putih demikian tulus menolong
dirinya dan ayahnya. Sampai-sampai berani menanggung akibat yang besar dan
berbahaya. "Bagaimana" Apa kalian sudah siap" Nanti malam kita akan memulai pengobatan
itu...," ujar Panji meminta jawaban Sanggala dan Kenanga.
"Aku siap, Kakang...," sahut Kenanga mantap, tanpa keraguan sedikit pun.
"Demi kesembuhan ayahku, aku siap mengorbankan nyawa...," Sanggala pun menjawab
d^pgan tegas dan bersemangat, hingga Panji merasa puas.
"Kalau begitu, kalian harus berjaga-jaga di luar kamar selama aku mengobati Ki
Wanalungga...," ujar Panji memberi petunjuk pada kekasihnya dan Sanggala.
"Baik," jawab keduanya serentak.
*** Ketika gelap mulai datang menyelimuti bumi, Panji sudah siap melakukan
pengobatan pada Ki Wanalungga. Pemuda itu
melekatkan kedua telapak tangannya di punggung Majikan Pulau Setan yang duduk
bersila di depannya.
Sedangkan Kenanga dan Sanggala berjaga-jaga di luar kamar. Kenanga kelihatan
sangat tenang, karena sudah terbiasa menghadapi bahaya maupun ancaman maut
Berbeda dengan Sanggala yang selama ini hidup di Pulau Setan. Apalagi menghadapi
bahaya maut yang sewaktu-waktu datang tanpa dapat diduga. Maka tidak heran jika
pemuda itu tampak gelisah.
"Jangan terlalu tegang, Sanggala. Sebagai orang yang telah ditempa, kejadian
seperti ini sudah menjadi bagian hidup kita.
Dengan sikap tenang, kita akan bisa mengatasi segala ancaman yang datang," bujuk
Kenanga mencoba menenangkan hati pemuda itu. Karena kegelisahan Sanggala
terlihat jelas, tidak bisa disembunyikan.
"Hhh.... Selama hidup, aku belum pernah merantau atau meninggalkan Pulau Setan.
Kejadian-kejadian yang kualami belakangan ini membuat hidupku tidak tenteram.
Tapi biar bagaimanapun, aku siap menghadapi ancaman maut...," ujar Sanggala,
tidak malu mengakui perasaan hatinya kepada Kenanga.
"Bersemadilah, Sanggala. Pusatkan pikiranmu dan jangan biarkan mengembara tanpa
tujuan. Setelah itu, aku yakin kau akan merasa lebih enak...," Kenanga kembali
memberi nasihat kepada Sanggala.
Mendengar petunjuk gadis itu, Sanggala segera menurutinya. Pemuda itu agaknya
menyadari, hanya itulah jalan satu-satunya yang dapat dilakukan agar hatinya
menjadi lebih tenang, dan tidak selalu dihantui perasaan was-was.
Kenanga tersenyum ketika melihat Sanggala menuruti petunjuknya. Dara jelita itu
menyukai Sanggala yang tidak
mempunyai sifat sombong. Dan mau mempertimbangkan serta menuruti nasihat orang
lain. Selama nasihat itu berguna bagi dirinya.
Tapi baru beberapa saat Sanggala tenggelam dalam semadi, samar-samar Kenanga
menangkap suara ribut di luar. Kamar mereka memang terletak di belakang. Tentu
saja suara ribut itu membuat Kenanga terkejut.
"Hm.... Kalau tidak ingat pesan Kakang Panji, aku akan memeriksa apa yang
terjadi di luar sana. Mungkinkah musuh-musuh Sanggala dan ayahnya telah
menemukan tempat ini?"
gumam Kenanga seraya meraba gagang pedangnya. Sengaja Sanggala tidak dibangunkan
dari semadinya, sebelum mengetahui secara pasti apa yang sebenarnya terjadi di
luar sana. "Aaa...!"
Kenanga mulai yakin kalau kemungkinan besar musuh-musuh yang dikhawatirkan itu
benar-benar datang. Cepat gadis itu menyadarkan Sanggala dari semadinya.
"Ada apa, Kenanga...?" tanya Sanggala yang merasa harinya menjadi lebih tenang
setelah menjalankan semadi dengan sungguh-sungguh.
"Aku mendengar suara jerit kematian di luar sana. Mungkin musuh-musuhmu telah
mengetahui kalian menginap di desa ini.
Aku ingin memeriksanya sebentar. Kau tunggu di sini, dan jangan pergi ke manamana...," pesan Kenanga yang merasa!
penasaran ingin melihat apa yang terjadi dengan! pemilik penginapan.
Sanggala tidak sempat mencegah- kepergian dara jelita itu, karena bayangan
Kenanga segera lenyap dari pandangannya.
Akhirnya, Sanggala hanya bisa menghela napas panjang. Dan
berjaga-jaga di depan pintu kamar dengan tangan siap di gagang pedang.
*** Dugaan Kenanga ternyata meleset Memang benar di bagian depan penginapan itu
telah terjadi keributan. Tapi yang datang mengacau bukanlah musuh-musuh Ki
Wanalungga. Itu dapat diketahuinya saat melihat beberapa orang kasar memanggul
barang-barang di bahunya. Rupanya mereka para perampok.
"Keparat busuk...!" desis Kenanga.
Saat itu dilihatnya seorang wanita cantik berusia tiga puluh tahun dibawa dengan
paksa oleh seorang lelaki brewok yang tubuh bagian atasnya tidak tertutup
pakaian. Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga langsung melesat dan melepaskan sebuah
tamparan keras ke kepala orang itu.
Plakkk! "Aaakh...!"
Hebat sekali akibat tamparan telapak tangan dara jelita itu.
Korbannya yang tak sempat mengelak, langsung terpelanting roboh. Dan melihat
lelehan darah segar di kepala lelaki brewok itu, dapat dipastikan kalau batok
kepalanya retak.
"Kembalilah ke kamarmu. Biar aku yang akan memberi pelajaran pada perampokperampok busuk itu...!" ujar Kenanga seraya menarik bangkit perempuan itu, dan
mendorongnya ke ruang dalam.
Kemudian, Kenanga yang sedang dilanda amarah itu melompat keluar mengejar
perampok lainnya.
"Hei, berhenti...!" bentak Kenanga seraya melesat dan melambung ke udara.
Kemudian melayang turun setelah
berputar beberapa kali, dan menghadang enam lelaki kasar yang membawa barangbarang rampasan.
Tentu saja keenam perampok itu terkejut bukan main melihat sesosok bayangan
meluncur turun bagai jatuh dari langit. Mereka segera bergerak mundur sambil
menghunus senjata. "Aihhh..."!"
Salah seorang perampok yang melihat wajah Kenanga, berseru gembira. Betapa
tidak" Sosok bayangan itu ternyata seorang dara yang cantik luar biasa.
"Gadis cantik ini pasti bidadari yang turun dari langit untuk menemani kita!"
seru perampok yang bermata sipit, setelah melihat wajah sosok yang menghadang
mereka. "Manusia-manusia keparat!" desis Kenanga semakin bertambah marah mendengar
ucapan lelaki itu.
Kata-kata kotor yang dilontarkan mereka, membuat wajah Kenanga memerah. Maka
tanpa banyak cakap lagi, Kenanga langsung menerjang orang terdepan dengan
tamparan keras.
Plakkk! "Akhhh...!"
Tanpa ampun lagi, perampok bermata sipit itu terpelanting ke tanah. Tubuhnya
berkelojotan seperti ayam disembelih. Dan sebentar kemudian, diam tak bergerakgerak lagi. Perampok itu tewas dengan kepala retak!
"Siluman...!"
"Perempuan iblis...!"
Kelima perampok itu terkejut dengan wajah pucat Mereka hampir tidak percaya
kalau wanita yang memiliki kecantikan luar biasa itu dapat membunuh hanya sekali
pukul! Sungguh tidak masuk di akal!
"Hm.... Orang-orang seperti kalian tidak patut dibiarkan hidup lebih lama.
Kalian hanya menyusahkan orang lain saja.
Karena itu,' aku akan mencabut nyawa kalian satu persatu!
Siapa yang ingin maju lebih dulu...?" tantang Kenanga dengan sorot mata
menggetarkan jantung.
Kelima perampok itu saling bertukar pandang satu sama lain.
Tentu saja tak seorang pun dari mereka ingin mati. Sehingga, tidak ada yang
berani maju lebih dulu.
"Keparat kau, Perempuan Siluman! Kau pikir kami akan lari ketakutan mendengar
ancaman kosongmu! Walau kau memiliki ilmu iblis neraka sekalipun, aku tidak mau
menyerah begitu saja!"
Salah seorang perampok rupanya tidak merasa gentar. Jika kawannya tewas hanya
sekali pukul, mungkin itu hanya kebetulan, pikirnya menghibur diri. Maka,
kakinya pun melangkah maju dengan golok terhunus!
Melihat seorang kawannya bergerak maju dengan senjata di tangan, yang lainnya
pun tidak mau ketinggalan. Mereka segera bergerak mengurung dara jelita itu.
"Hm..., bagus...!" desis Kenanga seraya mengedarkan pandangannya, merayapi
wajah-wajah yang terlindung gelapnya malam. Dara jelita itu ikut berputar ketika
para pengepungnya bergerak mengelilingi dengan kedudukan berpindah-pindah.
"Haaat..!"
Didahului sebuah pekikan nyaring, pengeroyok di belakang Kenanga menerjang
sambil mengayunkan goloknya, disusul dengan yang lainnya berturut-turut.
Bettt! Singgg! Kilatan cahaya putih berkilauan mengancam tubuh Kenanga.
Tapi dengan penuh ketenangan, dara jelita itu menggeser tubuhnya di antara
sambaran sinar pedang lawan. Kemudian....
"Haiiit...!"
Tiba-tiba Kenanga berseru nyaring. Seiring seruannya, tubuhnya berkelebat cepat
disertai kilatan sinar putih yang berpendar menyilaukan mata. Memang, Kenanga
telah mengeluarkan Pedang Sinar Rembulan untuk menghadapi lawan-lawannya
Terdengar jerit kematian susul-menyusul memecah keheningan malam.
"Aaa...!"
Sekali Pedang Sinar Rembulan terhunus, kelima perampok itu roboh bergelimpangan
dengan tubuh bermandikan darah!
Kenanga berdiri tegak di tengah korban-korbannya. Setelah membersihkan pedangnya
pada pakaian lawan, senjata itu kembali melingkari pinggangnya.
Baru saja dara jelita itu hendak mengumpulkan barang-barang rampokan untuk
dikembalikan kepada pemiliknya, tiba-tiba matanya menangkap sosok-sosok yang
berkelebat cepat mendekati penginapan. Teringat akan musuh-musuh Ki Wanalungga
dan Sanggala yang mungkin akan datang mencari kedua orang itu, Kenanga pun
segera melesat naik ke atap rumah. Kemudian meluncur turun di samping rumah
penginapan, dan terus berkelebat menuju kamar tempat kekasihnya sedang mengobati
Ki Wanalungga. "Kenanga, mengapa lama sekali" Tadi aku mendengar jerit kematian berturut-turut
Apa mereka musuh-musuhku...?"
Sanggala langsung menyambut kedatangan Kenanga dengan pertanyaan. Tangan pemuda
itu menggenggam pedang telanjang, karena sempat terkejut melihat bayangan
berkelebat menuju tempatnya berjaga. Hati Sanggala baru merasa lega setelah mengetahui
bayangan itu adalah Kenanga.,
"Hm.... Hanya perampok perampok busuk yang tidak tahu diri. Aku terpaksa
membunuh mereka. Selain pekerjaan mereka hanya menyusahkan orang banyak, mereka
juga bermulut kotor dan menyebalkan," jelas Kenanga, membuat Sanggala menarik
napas lega. "Perampok-perampok naas. Mengapa mereka melakukannya saat kita sedang berjagajaga. Sehingga harus menemui kematian di tanganmu...," gumam Sanggala tersenyum
sambil menggeleng-gelengkan kepala memikirkan perampok-perampok sial itu.
"Jangan gembira dulu, Sanggala. Aku cepat-cepat kembali justru karena melihat
sosok-sosok bayangan mencurigakan sedang menuju penginapan ini. Sebaiknya kita
lebih berhati-hati. Siapa tahu yang kulihat itu musuh-musuhmu," ujar Kenanga,
membuat Sanggala berubah tegang.
"Benarkah, Kenanga" Kalau begitu, kita harus bersiap-siap menghadapi mereka...,"
ujar Sanggala seraya menggenggam pedangnya erat-erat Sepasang matanya tampak
berkilat memancarkan semangat tinggi yang membuat Kenanga tersenyum.
"Aku selalu siap, Sanggala...," sahut Kenanga.
Kemudian, dara jelita itu menggeser langkahnya menjauhi daun pintu. Kenanga
mengerahkan indera pendengarannya untuk menangkap suara-suara mencurigakan.
Suasana menjadi hening dan mencekam ketika Sanggala pun membisu tanpa kata.
Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** "Sanggala, bersiaplah! Mungkin mereka akan datang ke tempat ini...," ujar
Kenanga dengan suara rendah. Jari-jari tangan dara jelita itu meraba gagang
pedangnya, siap untuk digunakan.
Sanggala yang belum menangkap ada gerakan di luar rumah penginapan menjadi
tegang. Jemari tangannya semakin erat menggenggam gagang pedang. Dan beberapa
saat kemudian, pemuda itu mendengar ada suara langkah dari sebelah kanan rumah
penginapan serta dari atap rumah.
Sanggala menggeser tubuhnya dari depan pintu ke tempat yang agak tersembunyi
dari pandangan. Pemuda itu siap menghadapi segala kemungkinan dengan senjata di
tangan. Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekati kamar tempat
Panji sedang mengobati Ki Wanalungga. Dari suara langkahnya, dapat diketahui
kalau yang datang tidak hanya satu orang.
"Kau yakin mereka menginap di tempat ini...?" terdengar suara berat dan parau
bertanya kepada kawannya.
"Pasti, Kakang. Aku sudah menyelidiki sebelumnya. Dan telah bertanya pada
beberapa orang penduduk," sahut sebuah suara, lantang tanpa keraguan sedikit
pun. "Hm.... Tinggal tiga kamar di belakang ini yang belum kita periksa. Mudahmudahan keterangan yang kau dapat tidak salah...," ujar suara pertama, separuh
berharap. Suara langkah kala mereka semakin jelas terdengar.
Agaknya tamu-tamu tak diundang itu ingin secepatnya tiba di kamar bagian
belakang rumah penginapan.
"Kalian hendak mencari siapa...?" tegur Kenanga yang langsung berdiri
menghadang, ketika tiga sosok tubuh muncul dari pintu penghubung.
"Itu gadis yang telah menyelamatkan putra Majikan Pulau Setan! Pasti pemuda
berjubah putih dan yang lainnya berada di tempat ini!" seru lelaki bertubuh
tegap sambil menudingkan jarinya ke wajah Kenanga.
Kenanga hanya mendengus melihat lelaki tegap yang siang tadi dihajar Panji.
Gadis itu tidak berbicara separah kata pun, tapi segera menghunus senjata.
Perhatiannya tertuju kepada sosok kakek bertubuh kurus dan lelaki gemuk brewok
yang sedang menatapnya.
Lelaki gemuk brewok yang tidak lain Ki Brajanata, menatap Kenanga dengan mata
terbelalak, tak ubahnya seekor harimau lapar melihat kijang muda. Tapi hal itu
tidak aneh. Selain sosok Kenanga sangat mempesona, Ki Brajanata pun seorang
lelaki mata keranjang. Lelaki itu hampir meneteskan air liur melihat sosok yang
begitu mempesona. Ki Brajanata yang sudah melangkah maju, terpaksa menunda
gerakannya, ketika melihat tangan lelaki tua di sebelahnya melintang menghalangi
jalannya. "Hati-hati, Ki Brajanata. Kelihatannya gadis jelita ini cukup berisi. Biar aku
yang menghadapinya...," bisik lelaki tua yang tidak lain Ki Dayut Ganda, atau
lebih dikenal berjuluk Datuk Lautan Timur.
"Nisanak. Kami mencari telaki berusia sekitar lima puluh tahun yang sedang
menderita luka parah. Juga seorang pemuda tampan berusia sembilan belas tahun
yang mengenakan pakaian serba biru. Apakah kau melihatnya...?"
tanya Ki Dayut Ganda tanpa melepaskan pandang matanya yang tajam ke wajah dara
jelita berpakaian serba hijau itu.
Tapi sebelum Kenanga sempat menjawab, Sanggala yang sejak tadi bersembunyi
mendengar pembicaraan itu segera
melesat ke luar. Tentu saja perbuatan pemuda itu mengejutkan Kenanga.
"Sanggala...!" tegur Kenanga.
Tapi Sanggala tidak mempedulikannya. Pemuda itu sudah menghadapi ketiga orang
musuh ayahnya, dan menudingkan senjatanya ke arah mereka.
"Untuk menawan ayahku, kalian harus melangkahi mayatku dulu...!" bentak Sanggala
dengan wajah kemerahan menahan amarah.
"Bocah sombong!" desis Guntala, salah seorang pembantu utama Ki Brajanata.
Sedangkan Ki Brajanata hanya tertawa terkekeh melihat tingkah pemuda itu,
sepertinya melihat sesuatu yang lucu.
Baginya, pemuda itu tak ubahnya seekor kijang muda yang menggertak harimau
kelaparan. Perumpamaan itu membuat Ki Brajanata tak bisa menahan perasaan geli
yang menggelitik hatinya.
Wajah Sanggala semakin merah padam. Sepasang matanya berkilat memancarkan api
kemarahan. Dia tahu kalau lelaki brewok itu menertawakan dirinya.
"Hm.... Manusia-manusia pengecut! Kalian bisanya hanya mengeroyok! Kalau benarbenar jantan, kalian kutantang bertarung satu lawan satu sampai salah seorang di
antara kita menggeletak jadi mayat! Nah, apa jawab kalian..."!" geram Sanggala
seraya melangkah maju dua tindak hendak melewati Kenanga. Tapi dara itu segera
merentangkan lengannya, menahan gerak maju tubuh pemuda itu.
"Keparat! Kau sama keras kepalanya dengan ayahmu...!"
bentak Ki Brajanata tak bisa menahan kegeraman hatinya.
Diiringi gerengan keras, tubuh lelaki gemuk itu melesat maju dengan sebuah
tamparan telapak tangan yang mendatangkan hembusan angin menderu tajam.
"Haiiit..!"
Kenanga yang berada di depan Sanggala segera membentak nyaring. Tubuhnya
bergerak ke depan menyambut serangan lelaki gemuk brewok bermata bengis itu.
Dan.... Hak! Plak! "Akh..."!"
Terkejut bukan main hati Ki Brajanata ketika merasakan betapa kuatnya tenaga
yang tersembunyi di balik telapak tangan halus itu. Bahkan lelaki gemuk itu
merasakan telapak tangannya panas dan nyeri. Tubuhnya tergeser mundur akibat
tangkisan dara jelita itu.
"Setan...!" umpat Ki Brajanata jengkel. Sambil menggereng marah, segera jurusnya
disiapkan untuk menggempur Kenanga.
"Hm.... Kau hadapi dara jelita itu, Ki Brajanata. Aku akan mencari
Wanalungga...," ujar Ki Dayut Ganda seraya bergerak ke samping hendak melewati
Kenanga. "Berhenti...! Selangkah lagi kau maju, jangan salahkan aku kalau tubuh peotmu
remuk oleh pu-kulanku...!" ancam Kenanga segera melompat menghadang kakek itu.
Ki Dayut Ganda terkekeh mendengar ancaman dara jelita itu.
Sepasang matanya yang kecil semakin menyipit meneliti wajah jelita yang
menghadang jalannya. Kenanga sendiri sudah meloloskan Pedang Sinar Rembulan.
*** 5 Datuk Lautan Timur terbelalak ketika melihat sinar putih keperakan berpendar
keluar dari badan pedang di tangan Kenanga. Kekehnya kemudian terdengar ketika mengetahui pedang di tangan dara jelita itu bukan pedang
biasa. "Pedang bagus...!" puji Ki Dayut Ganda.
Kemudian, tangannya diulurkan hendak meno-tok pergelangan Kenanga. Jelas Ki
Dayut Ganda berniat merebut pedang di tangan gadis itu.
Tapi betapapun cepatnya gerakan Ki Dayut Ganda, sepasang mata indah dara itu
tidak bisa dikelabui. Sebelum serangan licik itu tiba, Kenanga sudah menarik
lengannya dan memutar dengan kecepatan mengagumkan. Sehingga, lengan kakek itu
yang kini terancam mata pedang.
"Hebat..!" kembali Ki Dayut Ganda mengeluarkan pujian melihat sambutan Kenanga.
"Tidak mengecewakan kau memiliki pedang sebagus itu, Nisanak."
Kenanga tidak tergoda oleh pujian lawan. Langkahnya segera digeser untuk
menyiapkan jurus andalannya menghadapi kakek itu. Karena dalam gebrakan pertama
tadi Kenanga sudah menilai kakek itu bukan orang sembarangan.
Sementara Sanggala saat itu sudah bertarung melawan Guntala. Pemuda itu
bertarung seperti banteng luka. Sehingga dalam beberapa jurus saja, pembantu
utama Ki Brajanata itu kelabakan. Mata pedang lawan seperti tidak pernah jauh
dari tubuhnya, selalu membayangi dan siap menghirup darahnya. .
"Haaat...!"
Saat Guntala berjuang sekuat tenaga untuk
mempertahankan selembar nyawanya, tiba-tiba terdengar
teriakan nyaring. Seiring dengan pekikan itu, sesosok tubuh kekar melesat dan
langsung menyerang Sanggala.
Bettt! Bettt! Sanggala yang saat itu tengah mencecar lawannya, terkejut merasakan sebuah
serangan hebat yang mengancam jalan darah kemarJan'di tubuhnya. Pemuda itu cepat
Bukit Pemakan Manusia 17 Pendekar Bloon 5 Memburu Manusia Setan Kupu Kupu Iblis 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama