Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan Bagian 2
melesat mundur sambil mengibaskan senjatanya untuk melindungi tubuh.
"Syukurlah 'kau segera datang, Kakang Soganta. Terlambat sedikit saja, mungkin
aku sudah menjadi mayat Pemuda ini tidak bisa dipandang ringan," ucap Guntala
ketika mengetahui penolongnya adalah Soganta, tangan kanan Ki Brajanata. Lelaki
kekar itu datang pada saat yang tepat
"Haaat...!"
Sanggala yang sangat dendam pada orang-orang yang telah merebut pulaunya dan
membuatnya sengsara, segera menerjang dengan putaran pedangnya. Seluruh
kemampuannya dikerahkan untuk menghabisi kedua lawannya secepat mungkin.
Sebagai putra Ki Wanalungga, Sanggala tentu sudah dibekali ilmu-ilmu tinggi.
Pada saat ditolong Panji, dia dalam keadaan terdesak karena dikeroyok empat
orang lawan. Tapi kalau hanya menghadapi Guntala dan Soganta, pemuda itu tidak
dapat dikalahkan dengan mudah. Hanya saja Sanggala belum berpengalaman dalam
bertarung. Sehingga seringkali terlihat ragu untuk mempergunakan kesempatankesempatan yang sering didapatinya dari kedua lawannya itu.
Sedangkan Guntala dan Soganta adalah orang-orang kasar yang hidupnya lebih
banyak dijalani dengan pertarungan-pertarungan. Sehingga kedua pembantu utama Ki
Brajanata itu memiliki pengalaman yang lebih banyak dari Sanggala. Hanya
berkat keuletan dan ketabahannyalah Sanggala masih sanggup menghadapi keroyokan
lawan-lawannya. Pertempuran merka berjalan seimbang, hingga belasan jurus
terlewati. Sementara Kenanga bertarung ketat melawan Ki Dayut Ganda. Dara jelita yang
menyadari kesaktian lawannya setelah pertarungan semakin jauh, mulai menggunakan
ilmu-ilmu andalannya. Baik yang disempurnakan Panji, maupun yang digabungkannya
sendiri. Sehingga tidak mudah bagi Ki Dayut Ganda untuk segera melumpuhkannya.
Ki Brajanata pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Dia berusaha menerobos masuk ke dalam kamar yang tertutup dan dijaga ketat dara
jelita itu. Karena meskipun Kenanga tengah bertarung melawan Datuk Lautan Timur,
namun gadis itu selalu berusaha mencegah Ki Brajanata masuk ke dalam kamar.
"Setan...!" geram Ki Brajanata yang setiap kafi bergerak maju, selalu kembali
melompat mundur. Karena pedang sinar putih keperakan dara jelita itu selalu
menghalanginya.
"Haaat..!"
Ki Dayut Ganda yang mengetahui maksud Ki Brajanata, berusaha mendesak dara
jelita itu dengan serangan-serangan yang mematikan. Bahkan kakek kurus itu telah
menggunakan senjata khasnya yang berbentuk dayung, namun kedua sisinya tajam
seperti mata pedang. Dengan senjata aneh itu Datuk Lautan Timur berusaha
merobohkan Kenanga.
Kenanga sendiri berusaha sekuat tenaga untuk menghadapi gempuran kakek sakti
itu. Dia sengaja tidak mau membenturkan pedangnya dengan senjata lawan, karena
sadar tenaga saktinya masih kalah. Sehingga Kenanga lebih banyak menghindari
bila dayung maut lawan mencecarnya. Dan sesekali membalas serangan lawan, hingga
membuat hati Ki Dayut Ganda semakin bertambah penasaran.
*** Sedangkan di dalam kamar Ki Wanalungga! Panji tengah mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' yang disalurkan ke tubuh Ki Wanalungga] Perlahan-lahan hawa sakti
yang dingin meresa masuk ke dalam tubuh Ki Wanalungga. Kemudia Panji
menggerakkan kekuatannya untuk mendorong keluar racun yang berada di tubuh
Majikan Pulau Setan itu. Luka dalam yang diderita lelaki gagah itu sudah berubah
menjadi racun, hingga FV Wanalungga sering terbatuk hebat sampai menger luarkan
darah kehitaman.
Wajah Ki Wanalungga perlahan-lahan beruba. kehitaman, ketika Panji mengerahkan
kekuatanny untuk mengeluarkan racun itu. Untuk melakukannya bukan pekerjaan yang
mudah bagi Panji. Penl dekar Naga Putih harus mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga saktinya agar Ki Wanalungga dapa sembuh seperti sediakala. Dan usaha
Panji akan berhasil, kalau saja pada saat yang sangat menentukan itu, tidak
muncul seorang lelaki yang sebagian wajahnya tertutup selembar kain hitam.
Jleg! Sosok tubuh tinggi kurus itu meluncur turun setelah menjebol atap kamar.
Gerakannya terlihat demikian ringan, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah
cukup tinggi. Sosok tubuh itu melangkah mendekati Panji yang tengah tenggelam dalam usaha
penyembuhan luka dalam Majikan Pulau Setan.
"Hmhhh...!"
Terdengar dengusan mengejek dari sosok tinggi kurus.
Kemudian, semangatnya dikempos untuk memancing keluar seluruh tenaga sakti yang
dimilikinya. Dan....
Desss...! Tanpa ragu-ragu lagi, dengan curangnya lelaki tinggi kurus itu mendorongkan
telapak tangannya menggedor punggung Pendekar Naga Putih! Akibatnya....
"Aaa...!"
Dalam keadaan yang sangat berbahaya, 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang
seluruhnya sedang terpusat untuk menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga, langsung
memecah ketika merasakan ada bahaya yang datang mengancam majikannya. Sebagian
tenaga yang merasuk ke dalam tubuh Ki Wanalungga langsung berbalik melindungi
tubuh Panji dari serangan gelap itu. Akibatnya, tubuh tinggi kurus itu terpental
balik menjebol bagian belakang dinding kamar yang terbuat dari kayu. Dan jatuh
terguling-guling ke luar.
Sedangkan yang dialami Ki Wanalungga tidak kalah mengejutkan. Akibat berbaliknya
seluruh kekuatan yang tengah mendorong racun di dalami tubuh, tubuhnya bergetar
hebat Dan memuntahkan darah segar dari mulurnya.
"Huakhhh...!"
Darah segar itu menyembur keluar membasahi balai-balai dan lantai di bawahnya.
Kemudian tubuh Majikan Pulau Setan itu terjungkal dari atas balai-balai dan tak
sadarkan diri. Sementara Pendekar Naga Putih mendapat akibat yang tidak ringan. Tubuh pemuda
itu terlempar dari atas pembaringan dan terjerembab meng-hantam dinding depan
kamar, tepat di sampingi pintu. Hantaman licik yang telak menghajar punggungnya,
membuatnya muntah darah. Karena berbaliknya
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang disalurkannya ke tubuh Ki Wanalungga, membuat
Panji mendapat luka dalam yang tidak ringan.
Sedangkan sosok tinggi kurus yang sebagian wajahnya dilindungi kain hitam, sudah
merangkak bangkit meskipun dengan susah-payah. Kemudian bergerak memasuki kamar
dan menyambar tubuh Ki Wanalungga. Dengan memanggul tubuh Majikan Pulau Setan di
atas bahu kanannya, sosok tinggi kurus itu bergerak meninggalkan rumah
penginapan. Sementara, Kenanga yang saat itu tengah terdesak hebat oleh gempuran Datuk
Lautan Timuil terkejut mendengar suara ribut di dalam kamar yang dijaganya.
Wajah dara jelita itu semakin pucat melihat sesosok tubuh menjebol dinding kamar
di samping kanannya.
"Kakang..."!" teriak Kenanga, yang langsung mengenali Panji. Dan karena
kelengahannya itu, Kenanga menanggung akibat yang tidak ringan. Sebuah hantaman
gagang senjata Ki Dayut Ganda mendarat di punggungnya.
Bukkk! "Huakhhh...!"
Darah segar menyembur keluar seiring dengan terlemparnya tubuh Kenanga.
Kemudian, terus bergulingan ke dekat sosok Panji yang mulai bangkit meski dengan
pandangan nanar.
"Kenanga..."!"
Panji berseru tertahan ketika matanya menangkap sosok bayangan hijau yang
terguling di dekat kakinya. Cepat tangannya terulur meraih tubuh kekasihnya.
Terpentalnya tubuh Panji ke luar kamar, membuat Ki Dayut Ganda dan Ki Brajanata
saling berpandangan. Mereka merasa heran dengan kejadian itu. Seperti
diperintah, keduanya bergerak ke dalam kamar melalui dinding yang jebol
terlanggar tubuh Pendekar Naga Putih.
"Apa yang terjadi" Mana Ki Wanalungga...?" tanya Ki Dayut Ganda kepada Panji
yang saat itu tengah berpelukan dengan kekasihnya.
"Tidak perlu berpura-pura, Manusia Licik! Salah seorang dari kalian telah
memasuki kamar dan membokongku dengan licik.
Mungkin sekarang orang itu telah melarikan Ki Wanalungga...,"
desil Panji, membuat kedua tokoh sesat itu saling berpandangan dengan wajah
menyiratkan keheranan. Rupanya mereka tidak memahami ucapan pemuda i berjubah
putih itu. "Hm.... Kaulah yang menipu kami, Anak Muda! Kami datang ke tempat ini hanya
berempat Tidak ada orang lain yang menginginkan Majikan Pulau Setan selain kami!
Cepat serahkan Ki Wanalungga! Atau aku akan mencabut nyawamu sekarang juga..."!"
bentak Ki Brajanata tidak mempercayai keterangan Panji. Dia menduga kalau
Pendekar Naga Putih ingin menipunya dengan berpura-pura terkika dan
menyembunyikan Ki Wanalungga darinya.
"Hm.... Jangan samakan kami dengan kalian yang bergelimang kelicikan dan
kejahatan! Kalau tidak percaya, aku tidak akan memaksa. Kami siapi menghadapi
kalian sampai titik darah terakhir geram Panji tidak kalah gertak dengan Ki
Brajanata: Sehingga lelaki gemuk itu menjadi ragu.
"Kalau begitu, siapa lagi yang menginginkan! Majikan Pulau Setan" Hm... Dia
pasti juga mengetahui perihal benda keramat itu...," gumam Ki Brajanata mulai
mempercayai keterangan Panji danj berpikir tentang tokoh lain yang mungkin
bertujuan sama dengan dirinya.
"Sudahlah, Ki Brajanata. Sebaiknya kita segera mengejar orang itu. Kalau pemuda
ini berbohong, kita akan kembali untuk memenggal batang lehernya...," ujar Ki
Dayut Ganda yang sejak tadi menatap sosok pemuda berjubah putih yang terluka itu
Lelaki tua itu melihat sinar kejujuran di mata Panji.
Sehingga, segera mengajak Ki Brajanata untuk melakukan pengejaran terhadap orang
misterius yang telah menculik Ki Wanalungga.
"Guntala, Soganta! Ayo, kita tinggalkan tempat ini...!"
perintah Ki Brajanata, segera bergerak menyusul Ki Dayut Ganda.
Kedua pembantu utama Ki Brajanata kelihatan sangat terkejut Mereka tidak
mengerti, mengapa ketua mereka mengajak untuk meninggalkan tempat ini. Padahal
dalam beberapa jurus lagi mereka dapat merobohkan putra Majikan Pulau Setan itu.
Memang, Sanggala kelihatan sudah hampir tidak mampu lagi mengadakan perlawanan.
Di beberapa bagian tubuhnya tampak luka goresan pedang. Bahkan bajunya sudah
terkoyak di beberapa tempat
"Ayo, Guntala...!" ajak Soganta melihat Ki Dayut Ganda dan pimpinannya telah
melangkah pergi. Tanpa banyak cakap lagi, keduanya bergerak meninggalkan
Sanggala yang jatuh terduduk kehabisan tenaga.
"Sanggala...!" seru Kenanga dan Panji hampir bersamaan.
Keduanya segera bergerak mendekati pemuda itu yang kelihatan sangat payah.
Butir-butir keringat dan bercak-bercak darah terdapat di beberapa bagian
tubuhnya. "Hhh.... Aku lelah sekali, Panji. Rasanya seluruh tenagaku terkuras habis...,"
desah Sanggala dengan napas tersengal-sengal.
Panji dan Kenanga menghela napas lega. Pemuda itu tidak mendapat luka yang
berbahaya, kecuali luka-luka kecil yang hampir tidak berarti.
"Mengapa..., mereka pergi..." Bagaimana dengan ayahku"
Apakah dia sudah sehat..?" tanya Sanggala, membuat Panji dan Kenanga saling
berpandangan! "Kau tidak perlu khawatir, Sanggala. Sebaiknya pulihkan dulu tenagamu, nanti
kuceritakan...," ujar Panji, tidak ingin membuat pemuda ituj terpukul.
Pendekar Naga Putih sengaja tidak mengatakan terus terang mengenai kejadian yang
dialaminya. Nanti, setelah keadaannya sudah cukup tenang, Panji akan
menjelaskannya kepada Sanggala apa yang telah terjadi sebenarnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Sanggala segera mengikuti petunjuk yang diberikan
Panji. Sebentar, kemudian, pemuda itu telah tenggelam dalam semadi
"Kakang. Apakah kau tidak sempat mengenali pembokong licik itu?" tanya Kenanga,
setelah Panji memberinya obat luka dalam. Keadaan tubuh dara jelita itu tidak
terlalu mengkhawatirkan.
Panji mengajak Kenanga untuk menjauhi Sanggala, agar tidak mengganggu semadi
pemuda itu dengan pembicaraan mereka. Pendekar Naga Putih menghela napas
panjang, sebelum menjawab pertanyaan Kenanga.
"Semula aku menduga penyerang licik itu salah seorang dari mereka. Ternyata
dugaanku keliru. Nyatanya lelaki gemuk yang bernama Ki Brajanata dan lelaki tua
itu tidak tahu. Mereka pun hanya datang berempat tanpa membawa kawan lainnya.
Aku tidak sempat melihatnya meskipun sekilas, karena manusia curang itu
membokongku dengan sangat licik. Untung saja
tenaga saktiku bergerak memecah dan langsung melindungi tubuhku. Kalau tidak,
mungkin aku sudah tewas oleh serangannya. Entah bagaimana nasib Ki Wanalungga.
Mungkin dia langsung tewas karena kekuatanku tiba-tiba lenyap separo dari dalam
tubuhnya. Tapi, mudah-mudahan Tuhan masih melindunginya," sahut Panji seraya
melepaskan pandangannya ke langit kelam.
"Jadi kau tidak sempat melihat bentuk tubuh maupun raut wajah pembokong itu,
Kakang...?" tanya Kenanga lagi, menegasi.
"Tidak. Peristiwa itu berlangsung sangat cepat Mungkin selagi aku berusaha
bangkit, orang itu sudah melesat pergi dengan membawa Ki Wanalungga," jawab
Panji, membuat Kenanga menghela napas, seperti menyesali kejadian yang tidak
diduganya itu. "Mungkinkah orang itu terluka, mengingat tenaga saktimu bergerak menahan
gempurannya...?"
Pertanyaan itu tidak begitu jelas terdengar, karena mirip sebuah desahan
panjang. Tapi bagi Panji terdengar cukup jelas.
"Jelas dia terluka akibat benturan itu, Kenanga. Tapi melihat dia dapat
melarikan Ki Wanalungga dengan sangat cepat, rasanya penyerang gelap itu bukan
tokoh sembarangan. Orang itu pasti berilmu tinggi atau bisa jadi salah seorang
musuh lama Ki Wanalungga...," jawab Panji, mulai menduga-duga hubungan penyerang
gelap itu dengan Majikan Pulau Setan. Karena baik dirinya maupun kekasihnya
belum mengetahu secara jelas asal-usul Ki Wanalungga dan Sanggala.
"Nanti kita tanyakan saja kepada Sanggala, Kakang...," usul Kenanga yang agaknya
ingin mengungkap misteri yang melibatkan mereka berdua.
"Apa yang hendak kalian tanyakan padaku...?"
Tiba-tiba terdengar sahutan atas usul Kenanga. Sanggala muncul dengan wajah dan
tubuh lebih segar. Meskipun kesehatannya belum pulih seluruhnya, tapi pemuda itu
kelihatan sudah bisa tersenyum.
"Mari duduk bersama kami, Sanggala," ajak Panji kepada putra Majikan Pulau Setan
itu. "Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu...."
Sanggala mengerutkan keningnya melihat sikap Panji dan Kenanga yang kelihatan
bersungguh-sungguh. Pertanyaan tentang ayahnya yang sudah berada di ujung lidah
ditahannya. Dia ingin mendengar lebih dulu, apa yang akan disampaikan kedua penolongnya itu.
"Kami ingin menanyakan perihal ayahmu...," ujar Panji, setelah Sanggala duduk di
hadapannya. Pertanyaan Panji seperti membuka peluang bagi Sanggala untuk menanyakan perihal
ayahnya. Maka, sebelum menjawab pertanyaan Panji, Sanggala mengajukan pertanyaan
lebih dahulu. "Aku melihat kamar itu berantakan dan ada ceceran darah di dekat balai-balai.
Apa sebenarnya yang sudah terjadi, Panji"
Apakah ayahku berhasil mereka culik...?" tanya Sanggala seraya menatap wajah
Panji. Pendekar Naga Putih tidak segera menjawab pertanyaan Sanggala. Dia hanya
menghela napas panjang, dan mengalihkan pandangannya ke kegelapan malam.
Sementara Sanggala menunggu dengan sabar. Apa yang akan disampaikan Panji,
diduganya mungkin sangat berat Sehingga, Sanggala tidak mendesak penolongnya
itu. Suasana hening untuk beberapa saat. Panji tengah memikirkan kata-kata yang akan
disampaikannya kepada Sanggala. Pendekar Naga Putih tidak ingin Sanggala menjadi
kalap dan gelap mata, lalu bersikeras hendak mencari sendiri penculik ayahnya.
Kenyataan seperti itu yang ingin dihindari Panji.
*** 6 "Aku minta maaf jika apa yang akan kusampaikan ini membuatmu terpukul, Sanggala.
Tapi percayalah, aku akan membantumu dengan sekuat tenaga," ujar Panji sebelum
menyampaikan kejadian yang menimpa Ki Wanalungga.
"Maksudmu, ayahku berhasil diculik mereka...?" tanya Sanggala tak sabar.
"Benar, ayahmu telah diculik. Tapi bukan oleh mereka.
Rupanya ada orang lain yang menginginkan ayahmu...," jawab Panji hati-hati dan
matanya tak lepas mengamati perubahan wajah Sanggala.
"Orang lain..." Siapa orang lain yang kau maksudkan itu, Panji?" desak Sanggala
semakin tak sabar. Pemuda itu tidak menduga ada orang lain yang menginginkan
ayahnya, selain musuh yang kini menguasai Pulau Setan.
Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu yang ingin kutanyakan padamu; Sanggala. Apa kau tahu, siapa musuh-musuh
ayahmu" Dengan begitu, kita akan lebih muda melacak, ke mana ayahmu dibawa pergi
orang misterius itu," ujar Panji lagi, membuat Sanggala terdiam seolah hendak
mencari jawaban pertanyaan itu.
"Setahuku, selama ini kami hidup tenang di Pulau Setan, tanpa mempunyai musuh
seorang pun. Aku tidak tahu ada permusuhan apa antara ayahku dengan Ki
Brajanata, orang yang telah menyerbu dan menguasai Pulau Setan. Selain mereka,
aku tidak tahu...."
Sanggala sungguh tidak mengerti dengan rentetan kejadian yang membuat
keluarganya berang takan.
"Apakah ayahmu tidak pernah bercerita tenl tang sesuatu yang dapat kita jadikan
pegangan untuk mengetahui penculiknya?" tanya Panji beri usaha mencari
keterangan sebanyak mungkin.
"Maksudmu...?" tegas Sanggala yang rupanya belum mengerti ke mana arah
pembicaraan Panji
"Begini, Sanggala. Apa kau tahu alasan Ki Brajanata merebut Pulau Setan dari
ayahmu" Sebab, bukan mustahil penculik itu mempunyai tujuan yang sama," jelas
Panji, membuat Sanggala tersentak kaget
"Aku ingat sekarang!" seru pemuda itu, mengejutkan Panji dan Kenanga. "Ayah
pernah bercerita tentang suatu benda keramat, yang menurutnya merupakan alasan
Ki Brajanata dan kawan-kawannya merebut dan menguasai Pulau Setan.
Sayangnya, ayah tidak tahu-menahu mengenai benda keramat yang dimaksud Ki
Brajanata. Seperti apa bentuk benda itu, ayah pun tidak tahu. Entah dari mana
manusia jahat itu mengetahuinya...?"
"Benda keramat itulah yang menjadi pokok persoalan sebenarnya, Sanggala. Tapi,
benarkah ayahmu tidak mengetahui benda keramat itu" Atau beliau sengaja
merahasiakannya agar tidak diketahui orang lain," ucap Panji termenung
memikirkan persoalan yang kini mulai menemui titik terang.
'Termasuk aku...?" Sanggala menegasi maksud ucapan Panji.
"Mungkin. Tapi itu belum pasti, hanya sekadar dugaan,"
sahut Panji. Suasana jadi hening beberapa saat lamanya. Ketiga orang muda itu termenung
dibawa arus pikiran masing-masing.
"Jika benar benda itu ada pada ayah, tidak mungkin dia merahasiakannya padaku.
Bukankah aku putra tunggalnya yang akan mewarisi seluruh peninggalannya
kelak...?" gumam Sanggala, seolah berkata pada diri sendiri. Namun, terdengar
jelas oleh Panji dan Kenanga. Sehingga kedua orang itu menoleh ke arah Sanggala
yang kelihatan sangat berduka.
"Sudahlah, Sanggala. Hal itu tidak perlu menjadi beban pikiranmu. Sebaiknya
sekarang kita pikirkan ke mana kira-kira penculik itu membawa pergi ayahmu. Kita
harus menemukan beliau secepatnya. Aku sendiri belum tahu bagaimana nasibnya.
Mudah-mudahan Tuhan masih melindunginya...," hibur Panji, mencoba membangkitkan
semangat pemuda berbaju biru itu.
Sanggala yang merasa sedih bercampur geram karena ayahnya diculik orang tak
dikenal, melirik sekilas ke arah Panji.
Jelas terlihat sinar keputus-asaan pada sepasang matanya.
"Sebelum meninggalkan Pulau Setan, ayah telah menasihatiku untuk melupakan semua
peristiwa ini Karena meskipun aku belajar seumur hidup, aku tetap tidak akan
mampu merebut Pulau Setan dari tangan mereka. Sebab kesaktian Datuk Lautan Timur
sangat tinggi dan sukar dicari bandingannya...," keluh Sanggala, teringat ucapan
ayahnya sebelum mereka meninggalkan Pulau Se tan secara sembunyi-sembunyi
"Ah! Aku baru ingat sekarang!" seru Panji seraya memukul keningnya dengan
telapak tangan. "Pantas aku seperti pernah
melihat kakek kurus bersenjata dayung baja itu. Tidak salah lagi, dialah yang
berjuluk Datuk Lautan Timur. Benarkah dugaanku, Sanggala?"
"Aku pun belum pernah berjumpa dengan datuk sesat itu.
Tapi menurut ayah, tokoh itu berusia sekitar tujuh puluh tahun dan bertubuh
kurus. Kakek itu yang telah menyiksa dan melukai ayahku," ujar Sanggala yang
hanya menyebut ciri-ciri dan usia datuk sesat itu, tanpa membenarkan ucapan
Panji. "Hm.... Lalu, apa rencanamu sekarang" Apa kau tidak ingin mencari ayahmu, dan
merebut Pulau Setan dari tangan mereka...?" tanya Kenanga, ingin mengetahui.isi
hati Sanggala. "Mereka terlalu kuat. Nasihat ayah benar. Sebaiknya aku memang tidak usah
memikirkan Pulau Setan lagi. Dan kalau benar ayah masih hidup, aku akan berusaha
mencarinya...,"
jawab Sanggala dengan suara lemah dan tak bersemangat Rupanya dia sadar akan
kemampuan dirinya.
"Sanggala...," ujar Panji seraya duduk di samping pemuda itu. "Meskipun kita
baru saling mengenal, tapi percayalah, kami berdua akan membantumu dengan sekuat
tenaga. Baik untuk merebut Pulau Setan maupun mencari ayahmu...."
'Tapi yang kita hadapi tokoh-tokoh sesat berkepandaian tinggi Mana mungkin kita
bertiga sanggup melawan mereka?"
sergah Sanggala penasaran.
"Biarpun begitu, kita harus berusaha semampu kita, Sanggala. Soal berhasil atau
tidak, Itu perkara nanti. Yang penting kita mempunyai semangat dan kemauan.
Karena biar bagaimanapun, kejahatan pasti akan dapat dikalahkan...," ucap Panji
bersemangat untuk menggugah semangat Sanggala yang telah pudar.
"Aku hanya tidak ingin kalian tewas karena menolongku,"
ujar Sanggala lemah.
"Bagi orang-orang gagah seperti kita yang selalu mendahulukan kepentingan orang
banyak, mati bukanlah hal yang menakutkan, Sanggala.
Kala kami harus mati, tidak perlu kau sesali. Sebab kami membantumu dengan
ikhlas," tegas Panji menekankan keinginan hatinya, membuat Sanggala terharu.
Kalian terlalu baik padaku...," desah Sanggala, yang akhirnya bersedia menuruti
perkataan Panji untuk merebut Pulau Setan, dan mencari ayahnya yang entah berada
di mana. "Bagus! Ayo, kita segera berangkat sambil memikirkan langkah-langkah yang akan
diambil...," ujar Panji lega, karena telah berhasil membangkitkan semangat hidup
Sanggala. Malam itu juga ketiganya berangkat meninggalkan penginapan, setelah Panji
membayar semua kerugian yang diderita pemilik rumah penginapan itu.
*** Di siang hari yang terik, tampak sebuah perahu nelayan berlayar mengarungi
lautan lepas. Penumpang perahui nelayan itu adalah tiga orang muda yang tak lain
dari Panji, Kenanga, dan Sanggala. Tujuan mereka satu, Pulau Setan.
Dengan ilmunya yang tinggi, tidak sulit bagi Panji untuk mempercepat perjalanan.
Setiap kali menggerakkan dayung di tangannya, perahu melaju pesat membelah
samudera. Sehingga, sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi pantai.
Sanggala duduk di bagian depan perahu. Pemuda itu bertindak sebagai penunjuk
jalan, sehingga perjalanan
berlangsung cepat Dan saat matahari semakin tinggi, Pulau Setan sudah tampak di
depan mereka. "Sebaiknya kita mencari tempat yang agak tersembunyi untuk mendarat..," usul
Sanggala ketika perahu mereka sudah semakin mendekati Pulau Setan.
"Hm.... Berapa besar kekuatan mereka di pulau itu, Sanggala?" tanya Panji
sebelum menjawab usul putra Majikan Pulau Setan itu.
Sanggala yang tidak mengerti maksud pertanyaan Panji, menoleh ke arah pemuda
tampan berjubah putih itu. Kelihatan sekali kalau pertanyaan Panji tidak begitu
dimengertinya. "Jumlah mereka tidak terlalu banyak. Kurang lebih lima belas orang termasuk Ki
Brajanata dan Datuk Lautan Timur," jawab Sanggala setelah terdiam beberapa saat.
"Hm.... Kalau begitu kita tidak perlu datang dengan sembunyi-sembunyi. Lagi pula
pulau itu adalah milikmu. Aku akan meminta dengan baik-baik agar mereka
menyerahkannya padamu," jelas Panji, membuat Sanggala terkejut Sampai saat ini,
Sanggala memang belum mengetahui Panji adalah Pendekar Naga Putih yang namanya
telah menggetarkan rimba persilatan.
"Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, tapi mereka memiliki kepandaian
tinggi. Ayahku sendiri bersama penduduk pulau tidak sanggup menghalau mereka.
Jadi bagaimana mungin kita dapat menghadapi keroyokan mereka...?" tanya
Sanggala, masih belum mengerti jalan pikiran Panji.
"Mudah-mudahan mereka mau berdamai dengan kita, Sanggala," sahut Panji penuh
harap. Suasana kembali hening. Sanggala yang masih belum mengerti jalan pikiran Panji
jadi termenung. Pemuda itu heran
melihat keberanian Panji yang berniat memasuki pulau dengan terang-terangan.
Padahal orang-orang yang saat itu menguasai pulau bukan tokoh-tokoh yang berilmu
rendah. "Hhh...!"
Akhirnya Sanggala hanya bisa menghela napas panjang. Dan menyerahkan segala
keputusan kepada pemuda tampan berjubah putih itu. Apalagi Kenanga tidak
kelihatan cemas saat mendengar ucapan Panji. Sehingga membuat Sanggala bertanyatanya. Apa yang diandalkan kedua orang itu, sehingga mereka tidak merasa gentar
menghadapi kematian"
Sementara itu, perahu mereka sudah merapat di pantai.
Panji segera melompat dan menarik perahu ke pantai berpasir.
Sedangkan Sanggala dan Kenanga sudah lebih dulu melompat turun dan siap
menghadapi orang-orang Pulau Setan yang mungkin telah mengetahui kedatangan
mereka. Apa yang dikhawatirkan Sanggala memang tidak berlebihan.
Baru saja mereka mengedarkan pandangan berkeliling, tampak serombongan orang
berlari mendatangi mereka.
Panji yang baru saja selesai menyeret perahu ke atas pasir, segera melompat
menghadang enam orang lelaki kasar yang datang dengan senjata teracung Hal itu
dilakukan agar Sanggala tidak sempat menumpahkan kemarahan dan dendamnya kepada
orang-orang yang telah merebut pulau itu.
"Siapa kalian.."!" tegur seorang lelaki gemuk berperut buncit dengan kepala
separo botak. Tapi begitu sepasang matanya memandang wajah Sanggala, lelaki itu bergerak
mundur. Kemudian senjatanya disilangkan, siap menghadapi pemuda yang dikenalnya
sebagai putra Majikan Pulau Setan.
"Hmh...!" Sanggala menggeram sambil mencabut senjatanya. Kilatan dendam dan nafsu membunuh
terpancar jelas pada sepasang matanya.
'Tahan, Sanggala. Biar aku yang menghadapi mereka...,"
cegah Panji melintangkan lengannya ketika melihat Sanggala bergerak maju.
Pendekar Naga Putih memang bisa menahan tindakan Sanggala Tapi tidak bisa
mencegah enam lelaki kasar yang bergerak maju dengan senjata siap dihunjamkan ke
tubuh mereka bertiga.
"Serbuuu...!"
Lelaki berperut buncit yang separo kepalanya botak segera memerintahkan kawankawannya untuk menggempur Panji, Kenanga, dan Sanggala. Keenam orang itu rupanya
sudah menduga, kalau kedatangan Sanggala ke pulau ini untuk membalas dendam dan
mengambil kembali pulau yang menjadi haknya.
"Sudah kuduga mereka tidak bisa diajak bicara baik-baik,"
desis Sanggala segera menghunus pedangnya dan langsung melompat menyambut
datangnya serangan lawan.
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah tindakan Sanggala.
Pendekar Naga Putih tahu, keenam orang itu tidak mungkin dapat diajak berdamai.
Apalagi saat melihat keenam lelaki itu sangat garang, memancarkan nafsu membunuh
yang meledak-ledak. Sehingga tanpa banyak bicara lagi, Panji langsung menghadapi
dua orang lawan.
Demikian pula dengan Sanggala dan Kenanga. Masing-masing menghadapi dua orang
lawan. Sebentar kemudian, pertarungan pun berlangsung tanpa bisa dicegah lagi.
"Haaat..!"
Sanggala agaknya memanfaatkan kesempatan itu untuk membalas dendam. Maka
serangan yang dilancarkannya sangat ganas. Pedang di tangannya diputar
sedemikian rupa, sehingga dalam beberapa jurus saja kedua pengeroyok kelabakan.
Breeet! Seorang lawan Sanggala yang tak sempat menghindari sambaran pedangnya, langsung
terjungkal mandi darah. Tewas seketika dengan luka memanjang di perut
"Heaaa...!"
Tanpa mempedulikan korban sambaran pedangnya, Sanggala kembali menggerakkan
senjatanya ke arah lawan yang tinggal seorang. Kemudian mencecarnya tanpa
memberikan kesempatan pada lawan untuk membalas. Hingga akhirnya....
Crakkk! Tanpa ampun lagi, tubuh orang itu langsung tersungkur mencium tanah. Dan
nyawanya terbang saat itu juga.
Tenggorokannya nyaris putus oleh sambaran pedang putra Majikan Pulau Setan itu.
Bukan hanya Sanggala saja yang telah menyelesaikan lawan-lawannya. Panji dan
Kenanga pun telah menyelesaikan pertarungan Bedanya, Panji dan Kenanga hanya
melukai dan membuat lawan-lawannya tak sadarkan diri. Pasangan pendekar itu
memang tidak berniat membunuh lawan-lawannya.
"Hm...!"
Sanggala menggeram ketika mengetahui hal itu Cepat dia melompat hendak
menghabisi nyawa keempat orang yang tergeletak pingsan. Tentu saja perbuatan itu
membuat Panji dan Kenanga terkejut
"Sanggala, tahan...!" seni Panji mencegah pemuda itu agar jangan membunuh lawan
yang sudah tidak berdaya.
Tapi Sanggala tidak mau mendengarkan ucapan Panji lagi.
Tebasan pedangnya yang menimbulkan angin berkesiutan tetap dilanjutkan.
Plakkk! "Ahhh..."!"
Sanggala kaget bukan main melihat sosok Panji melesat dan menepiskan lengannya.
Sehingga pedang di tangan pemuda itu terlepas dari pegangan. Bahkan tubuh
Sanggala terjajar beberapa langkah ke belakang.
"Kau..., membela mereka..."." desis Sanggala dengan suara bergetar. Jelas,
Sanggala tidak senang Panji mencegah maksudnya untuk menghabisi nyawa orangorang jahat itu.
"Membunuh lawan yang sudah tidak berdaya bukan sifat orang gagah, Sanggala...,"
ujar Panji menentang tatapan tajam pemuda itu.
"Kau tidak tahu, Panji! Mereka manusia-manusia keji yang membunuh ibu dan kawankawanku. Kalau sekarang kita ampuni, nanti mereka pasti akan mengulangi
perbuatannya lagi. Aku tidak ingin orang lain mengalami nasib sepertiku.
Maka aku harus membunuh mereka...," bantah Sanggala yang rasa dendamnya telah
melewati batas.
"Kita harus berjiwa besar, Sanggala. Siapa tahu setelah siuman, mereka akan
berubah pikiran dan mau meninggalkan perbuatan jahat yang selama ini dikerjakan
Berilah kesempatan kepada mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Untuk
menebus dosa-dosa yang telah mereka lakukan di masa lalu...,"
ujar Panji, tetap tidak menyetujui sikap Sanggala.
"Aku tidak percaya! Orang-orang jahat yang selama hidupnya selalu menyusahkan
orang lain, past' akan kembali melakukannya. Mana mungkin orang berhari
hitam.seperti mereka dapat menjadi orang baik-baik...?" kilah Sanggala, tetap
pada pendiriannya. Sehingga Panji harus bersabar menghadapi pemuda yang tengah
dilanda dendam itu.
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Kalau memang mereka masih belum sadar dari
kesesatannya, apa susahnya membunuh mereka...?" ujar Panji lagi, membuat
Sanggala terdiam. Karena merasa ucapan Panji benar dan tidak bisa dibantah lagi.
"Sebaiknya kita segera mendatangi tempat tinggalmu. Siapa tahu Ki Brajanata dan
Datuk Lautan Timur telah berhasil menemukan penculik tak dikenal itu dan membawa
ayahmu ke pulau ini.
Ketika melihat Sanggala terdiam, Panji langsung memanfaatkan kesempatan itu
untuk mengalihkan perhatian Sanggala.
Kelihatannya usaha Panji berhasil. Terbukti Sanggala menganggukkan kepalanya.
Biar bagaimanapun, menurutnya keselamatan ayahnya lebihi penting daripada
membunuh orang-orang itu yang bisa dilakukannya lain waktu. Maka tanpa banyak
cakap lagi, Sanggala segera membawa Panji darf Kenanga ke tempat tinggalnya yang
telah direbut Ki Brajanata dan gerombolannya.
*** 7 "Aneh, mengapa pulau ini kelihatan sepi-sepi saja" Apakah Datuk Lautan Timur
belum kembali...?" gumam Panji ketika tiba
di dekat sebuah bangunan besar tidak menemukan seorang manusia pun
Bukan hanya Panji dan Kenanga saja yang merasa heran.
Sanggala pun kelihatan mengerutkan keningnya ketika mendapati tempat itu seperti
tak berpenghuni. Langkah kakinya pun diperlambat, khawatir jika suasana itu
sebuah perangkap lawan untuk menjebak mereka.
"Hm.... Selama aku tinggal di pulau ini, belum pernah pintu gerbang bangunan ini
Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertutup. Mungkin dugaanmu tidak salah, Panji. Datuk Lautan Timur bersama Ki
Brajanata dan dua orang pengikutnya belum kembali ke tempat ini. Kalau demikian,
tidak sulit bagi kita untuk merebut pulau ini...," ujar Sanggala perlahan.
Ada nada kelegaan dan kegembiraan dalam suara pemuda itu. Sebab dia tidak perlu
bersusah-payah untuk merebut kembali tempat tinggalnya.
"Sanggala, tunggu...!" seru Panji ketika melihat Sanggala hendak memasuki
pekarangan sebelah dalam bangunan dengan melompati pintu gerbangj "Mengapa...?"
tanya Sanggala, terpaksa menaJ han gerakannya dan menoleh ke arah Panji, seolah
meminta penjelasan pemuda itu.
"Suasana ini terlalu mencurigakan.... Aku khawatir, jangan-jangan mereka telah
mempersiapkan jebakan untuk kita...,"
jawab Panji, membuat Sanggala mengurungkan niatnya untuk melompati pintu
gerbang. "Lalu, apakah kita harus memanggil mereka keluar...?" tanya pemuda itu seraya
menatap Panji yang sedang meneliti keadaan di sekitar bangunan.
"Kita tidak perlu melakukannya. Sebaiknya kau dan Kenanga berjaga-jaga di sini.
Aku akan mencoba memeriksa keadaan
sebelah dalam bangunan ini. Seandainya benar tempat ini kosong, kalian boleh
ikut masuk...," usul Panji.
'Tapi aku tidak bisa diam berpangku tangan, sementara kau mempertaruhkan nyawamu
untuk menolongku. Kau bisa celaka, Panji...," ujar Sa g-gala penuh kekhawatiran.
Ucapannya itu tentu saja membuat Kenanga tersenyum.
Sedang Panji diam-diam me gagumi pemuda berwatak polos itu.
"Kau tidak perlu khawatir, Sanggala. Kakan Panji tentu bisa menjaga diri...."
Kenanga akhirnya angkat bicara untuk meyakinkan Sanggala bahwa kekasihnya tidak
perlu dikhawatirkan.
"Yahhh.... Terserah kalianlah...," Sanggala akhirnya mengalah.
Tapi sebelum Panji bergerak melompati pagar setinggi satu setengah tombak itu,
tiba-tiba di kiri dan kanan pintu gerbang muncul sosok-sosok tubuh yang siap
membidikkan anak panah ke arah mereka. Tentu saja Panji terkejut. Bagi dirinya
dan Kenanga, mungkin serangan anak panah itu tidak bisa berbuat banyak. Tapi,
apakah Sanggala mampu menghalau hujan anak panah itu"
"Mundur...!" seru Panji.
Kemudian, Pendekar Naga Putih langsung menyambar tubuh Sanggala dan melesat
beberapa tombak menjauhi pintu gerbang.
Tindakan Panji memang sangat tepat Karena pada saat melompat terdengar suara
berdesingan, pertanda anak panah telah dilepaskan lawan.
Zinggg! Zinggg!
Suara berdesingan yang memekakkan telinga mengiringi datangnya hujan anak panah
yang puluhan jumlahnya.
Kenanga meloloskan Pedang Sinar Rembulan untuk menghalau hujan anak panah yang
mengancam tubuhnya.
Terdengar suara benda keras berparahan ketika pedang dara jelita itu meruntuhkan
belasan anak panah yang menuju ke arahnya. Gerakan itu memang tidak sulit
dilakukan oleh seorang dara seperti Kenanga yang memiliki kecepatan dan kekuatan
melebihi ukuran manusia biasa.
Panji yang saat itu masih mengapung di udara, segera mengibaskan lengan kanannya
ke belakang dengan mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga puluhan anak panah itu
langsung runtuh ke tanah sebelum mencapai sasarannya.
Baru terbuka mata Sanggala akan kehebatan Panji dan Kenanga, saat melihat cara
mereka menghalau datangnya hujan anak panah. Sebab, ayahnya sendiri belum tentu
mampu melakukannya. Apalagi dia yang kepandaiannya masih berada di bawah
ayahnya. Kini Sanggala yakin akan dapat merebut pulau itu dengan bantuan dua
orang sahabatnya yang ternyata memiliki kepandaian tinggi.
"Aneh, mengapa jumlah mereka jadi berlipat ganda" Padahal sewaktu aku
meninggalkan pulau ini, mereka hanya berjumlah kurang lebih lima belas orang.
Heran, dari mana datangnya orang-orang itu...?" gumam Sanggala terkejut bukan
main melihat jumlah lawan ternyata cukup banyak. Paling sedikit jumlah mereka
sekitar lima puluh orang.
"Hm.... Menurutku mereka pengikut Datuk Lautan Timur.
Mungkin tokoh sesat itu telah membawa anak buahnya untuk tinggal di pulau ini.
Dan itu tidak terlalu mengherankan, mengingat datuk sesat itu ikut membantu Ki
Brajanata merebut pulau ini...," sahut Panji, menduga-duga.
Perkiraan Panji ternyata tidak meleset Ki Dayut Ganda memang telah membawa para
pengikutnya untuk bergabung dengan pengikut Ki Brajanata. Itu sebabnya, mengapa
Ki Dayut Ganda tidak khawatir meninggalkan pulau dalam waktu cukup lama.
"Keparat licik! Pantas sampai saat ini mereka belum kembali!
Rupanya pulau ini telah dijaga ketat oleh pengikut-pengikutnya...!" geram
Sanggala merasa harapan untuk dapat merebut tempat itu sangat kecil. Sebab,
jumlah lawan sangat banyak dan telah terlatih baik untuk menghadapi setiap
serbuan yang datang ke pulau itu.
"Hm.... Satu-satunya jalan, kita harus membuka paksa pintu gerbang. Jika tidak,
akan sulit sekali untuk mendekat dan memasuki bagian dalam bangunan. Sebaiknya
kau tunggu di sini, Sanggala. Aku akan mencoba menghancurkan pintu gerbang itu,"
ujar Panji seraya bergerak maju mendekati bangunan yang dijaga ketat oleh
pasukan-panah. "Biarkan Kakang Panji melakukannya, Sanggala...," cegah Kenanga ketika melihat
Sanggala hendak beranjak mengikuti Panji.
Pemuda itu pun hanya memandang dari jauh apa yang akan diperbuat Pendekar Naga
Putih. Melihat sosok pemuda tampan berjubah putih bergerak mendekati pintu gerbang,
hujan anak panah pun kembali berdesingan ke arah sosok Panji. Tapi Pendekar Naga
Putih tidak mempe-dulikannya, dan tetap melangkah maju tanpa terganggu hujan
anak panah yang mengenai tubuhnya. Kecuali yang mengarah ke bagian matanya,
Panji tidak peduli. Setiap anak panah yang menyentuh tubuhnya selalu runtuh ke
tanah, tanpa mampu menembus lapisan kabut bersinar putih keperakan yang
menyelimuti sekujur tubuhnya.
"Luar biasa sekali kesaktian kekasihmu, Kenai nga.
Seharusnya pemuda sepertinya mendapat julukan dari kaum rimba persilatan...,"
desis Sanggala takjub melihat Panji dengan tenangnya terus bergerak mendekati
pintu gerbang. Sanggala melihat setiap anak panah yang menyentuh tubuh Pendekar Naga Putih
langsung runtuh ke tanah, tanpa melukai kulit atau merusak pakaiannya. Sanggala
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kejadian itu.
'Tentu saja dia mempunyai julukan. Apa kau belum mengetahuinya...?" sahut
Kenanga tenang, menyembunyikan senyumnya.
Tentu saja jawaban dara jelita itu membuat Sanggala menoleh dengan kening
berkerut "Apa julukannya, Kenanga" Mengapa kalian tidak menceritakannya padaku...?" tanya
Sanggala yang sangat bernafsu mengetahui julukan Panji.
"Kakang Panji dijuluki Pendekar Naga Putih. Apa kau pernah mendengarnya...?"
jawab Kenanga! sambil meneliti perubahan wajah Sanggala.
Dara jelita itu tidak yakin kalau Sanggala' pernah mendengar tentang Pendekar
Naga Putih. Sebab menurut Sanggala, dia tidak pernah meninggalkan Pulau Setan sejak kecil.
Jadi, kemungkinan besar pemuda itu belum mendangar nama besar Panji.
"Pendekar Naga Putih...?" gumam Sanggala mengulang julukan Panji dengan wajah
tercenung. Rupanya, putra Majikan Pulau Setan itu sedang mengingat-ingat, kapan dan di mana
pernah mendengar orang menyebut julukan itu.
"Ahhh.... Aku ingat sekarang! Beberapa waktu lalu sekembalinya ayah dari
daratan, dia pernah bercerita tentang seorang pendekar muda yang membuat kaum
sesat kalang-kabut. Sungguh tidak kusangka kalau pendekar besar itu Panji,"
ujar Sanggala tidak menyembunyikan rasa kagumnya.
Kemudian, kembali dipandanginya sosok Panji yang saat itu berada di dekat pintu
gerbang. *** Begitu tiba di depan pintu gerbang yang kelihatan sangat kokoh, Panji langsung
mendorong sepasang lengannya ke depan dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'. Dan.... Krakkkhhh...! Diiringi suara berderak keras, pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal itu
pecah berantakan! Serpihan kayunya menyebar ke segala arah. Tanpa menunggu
reruntuhan itu jatuh ke tanah, Panji langsung melesat menerjang ke dalam.
Melihat Panji sudah menerobos masuk, Kenanga segera mengajak Sanggala menyusul.
Tubuh keduanya melesat menuju bangunan dengan pengerahan ilmu lari cepat
Pendekar Naga Putih saat itu sudah dikepung sekitar tiga puluh orang bertampang
kasar. Tapi sikapnya tetap tenang sambil menatap wajah-wajah pengepungnya.
"Aku ada keperluan penting dengan Datuk Lautan Timur dan Ki Brajanata! Tolong
kalian panggilkan kedua tokoh itu...!" seru Panji mengerahkan tenaga dalam
melalui suaranya, sehingga terdengar jelas dan lantang.
"Siapa kau, Anak Muda" Sebut namamu, baru kami menyampaikannya kepada pimpinan
kami...," seorang pengepung yang bertindak sebagai pimpinan, melangkah maju
sambil meneliti sosok Panji dari ujung kaki sampai ke ujung rambut
"Hm.... Katakan saja kepada pimpinanmu kalau putra Majikan Pulau Setan
menginginkan agar dia segera angkat kaki dari tempat ini!" sahut Panji, membuat
wajah lelaki kekar itu merah padam.
"Lancang sekali bicaramu, Anak Muda! Apa kau pikir kami budakmu, sehingga dapat
kau suruh-suruh seperti itu.."!"
bentak lelaki kekar itu sambil menuding wajah Panji dengan ujung pedangnya.
"Aku tidak mengatakan demikian. Tapi kalau kalian ingin menjadi budak-budakku,
aku tidak keberatan...," sahut Panji lagi, membuat lelaki kasar itu mendengus
kasar. "Keparat! Rupanya kau datang untuk mencari mati!" bentak lelaki kekar itu tak
bisa menahan kemarahannya lagi Dengan teriakan parau, lelaki itu segera
memerintahkan orang-orangnya untuk menggempur pe-t muda berjubah putih itu.
"Haaat..!"
"Heaaa...!"
Terdengar bentakan susul-menyusul diiringi berkelebatnya para pengepung menyerbu
Panji J Senjata-senjata di tangan mereka berkilauan menuju sasaran.
Panji tetap berdiri tegak dengan sikap tenang, siap menyambut para
pengeroyoknya. Kemudian kakinya bergerak ke kiri dan kanan menghindari! sambaran
pedang yang susul-menyusul datang mengancam tubuhnya. Sepasang tangannya pun
bergerak kian kemari membagi-bagi pukulan, membuat lawan terdekatnya langsung
terpelanting tanpa mampu bangkit lagi Sepak terjang pemuda itu membuat para
pengeroyoknya kaget.
Ketika dalam beberapa gebrakan saja delapan orang tergeletak di tanah, para
pengeroyok Panji' pun bergerak mundur dengan wajah berubah.]
Terlihat rasa gentar pada wajah-wajah mereka.
"Sebaiknya turuti saja kata-kataku. Panggil pimpinanmu agar kalian tidak
merasakan kerasnya kepalanku...," ujar Panji, lantang.
"Jangan dengarkan omongan pemuda keparat itu! Ayo, serang dia...!"
Lelaki kekar yang memimpin kawan-kawannya, berteriak memberi perintah. Sehingga
Panji pun kembali diserbu dari segala penjuru.
Di bagian lain, Kenanga menghadapi keroyokan belasan pengikut Datuk Lautan
Timur. Dara jelita itu menggunakan senjatanya yang berkelebat kian kemari
membawa hawa kematian. Setiap kafi pedangnya bergerak, selalu ada sosok lawan
yang terjungkal mencium tanah dengan tubuh bermandikan darah. Sehingga dalam
waktu yang tidak terlalu lama, Kenanga telah merobohkan tujuh orang pengeroyok.
Kendati demikian, para pengeroyoknya tidak merasa jera.
Mereka terus menyerbu disertai teriakan-teriakan keras.
"Haiiit..!"
Untuk yang kesekian kalinya, pedang di tangan dara jelita itu kembali berkelebat
meminta korban! Dua sosok pengeroyoknya terjungkal dan tewas seketika. Darah
segar semakin-banyak menggenangi permukaan tanah dan menyebarkan bau anyir.
Di arena lain, tidak jauh dari pertarungan Kenanga, Sanggala tengah mengamuk
menghadapi keroyokan dua belas orang lawan. Pemuda itu rupanya hendak
membalaskan dendamnya yang] menggumpal di dalam dada. Ingatan tentang ayah,j
ibu, serta saudara-saudara seperguruannya, mem-j buat Sanggala lebih mirip iblis
haus darah! Pedang; di tangannya tak pernah berhenti bergerak. Dalam sepuluh
jurus, empat orang pengeroyok telah berhasil dirobohkannya. Semua tewas dengan
leher1 hampir putus! Sungguh mengerikan sepak teriang pemuda yang hatinya
terbakar dendam itu.
"Yeaaat..!"
Breeet! Breeet!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Dua orang pengeroyok terdepan langsung terjungkal dengan tubuh bersimbah darah.
Sanggala yang seperti tidak pernah puas itu, tidak mem-pedulikan korban sambaran
pedangnya. Dia terus merangsek maju mencari korban berikutnya.
Sementara itu para pengeroyok Panji semakin menipis.
Sudah dua puluh orang lebih yang bergelimpangan pingsan terkena pukulan atau
tendangannya. Sehingga lawan yang tinggal dua belas orang termasuk lelaki kekar
yang menjadi pimpinan, bergerak mundur tanpa diperintah. Rupanya kali ini mereka
memang merasa gentar pada pemuda tampan berjubah putih itu.
Pendekar Naga Putih menghentikan gerakannya dan melangkah satu-satu menghampiri
lawan-lawannya yang tenis bergerak mundur.
"Mengapa majikan kalian belum kelihatan batang hidungnya"
Apa dia takut melihat kehadiranku...?" tanya Panji sambil menatap wajah-wajah
yang kini kelihatan sangat pucat.
Dan ketika tak seorang pun menjawab pertanyaannya, Pendekar Naga Putih segera
melangkah memasuki bagian dalam bangunan. Tapi....
"Haaat..!"
Lelaki kekar pemimpin para pengikut Datuk Lautan Timur, tiba-tiba melesat cepat
disertai kelebatan pedangnya. Jelas, lelaki itu tidak menginginkan Pendekar Naga
Putih menginjakkan kakinya di bagian dalam bangunan besar itu.
"Hm...."
Panji mendengus melihat serangan lawan. Tangan kanannya terulur memapaki
sambaran pedang, kemudian mengirimkan
serangan balasan dengan hantaman telapak tangan ke tubuh lawan.
Plakkk! Sebelum telapak tangan Pendekar Naga Putih sempat menyentuh tubuh lawan, tibatiba terdengar teriakan melengking nyaring disusul berkelebatnya sesosok tubuh
memapak hantaman telapak tangannya. Seman kaget terdengar dari sosok bayangan
hitam yang menyambut serangan Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri sempat terkejut merasakan lengannya bergetar..
Meskipun kuda-kudanya tidak sampai tergempur mundur, tapi cukup mengejutkannya.
"Datuk Lautan Timur..."!" desis Panji ketika melihat sosok kakek bertubuh kurus
yang berdiri menatapnya dengan sorot mata berkilat tajam.
"Bagus, jika kau sudah mengetahui siapa aku...," geram kakek yang memang Datuk
Lautan Timur dengan wajah dingin.
Dipandanginya sosok pemuda tampan berjubah putih itu dengan penuh selidik.
Panji pun tidak mengalihkan pandang matanya dari wajah kakek kurus itu. Sehingga
untuk beberapa saat lamanya kedua tokoh sakti itu saling bertatapan tajam.
"Rupanya kau sengaja menipuku agar tidak segera kembali ke pulau ini. Lalu kau
pergunakan kesempatan itu untuk menyerbu pulau ini. Sungguh suatu tipu muslihat
yang sangat jitu dan patut dipuji...," ujar Datuk Lautan Umur, tanpa melepaskan
pandang matanya.
Diam-diam Datuk Lautan Timur terkejut melihat kilatan sinar bola mata pemuda itu
yang mengandung perbawa amat kuat
Hatinya mulai menduga-duga, siapa pemuda tampan berjubah putih itu.
"Apa maksudmu, Datuk Lautan Timur" Aku tidak bermaksud menipumu. Ki Wanalungga
memang telah diculik oleh orang tak dikenal. Katakan saja kalau kau tidak bisa
menemukan penculik itu. Tidak perlu berdalih karena ketidakmampuan-mu..," balas
Panji tenang. "Hm.... Rupanya kau harus dipaksa untuk mengatakan di mana keparat Wanalungga
berada...!" geram Datuk Lautan Timur sambil menyiapkan jurus andalannya untuk
menggempur Panji.
Agaknya benturan tadi membuat Datuk Lautan Timur lebih berhati-hati. Lelaki tua
yang bernama Ki Dayut Ganda itu merasakan kekuatan tenaga Panji.
Pendekar Naga Putih yang juga menyadari sepenuhnya kalau kakek itu bukan lawan
yang ringan, segera menggeser tubuh dua langkah ke samping. Kemudian, menyiapkan
ilmu andalannya untuk menghadapi Datuk Lautan Timur.
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, tubuh Ki Dayut Ganda melesat ke arah
Panji dengan serangan mautnya.
Sepasang tangannya berputaran menimbulkan suara bercicitan saat meluncur ke arah
Panji. Kenyataan itu menunjukkan kalau tenaga dalam Datuk Lautan Timur tidak
Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa dipandang ringan.
"Haiiit..!"
Panji tidak ingin menunggu serangan lawan tiba di dekatnya.
Maka, tubuhnya langsung melesat menyambut serangan lawan.
Sebentar saja, kedua to-j koh sakti itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan
sengit dan mendebarkan!
*** 8 Kemunculan Datuk Lautan Timur, berarti juga kemunculan Ki Brajanata dan dua
pembantu utamanya. Rupanya mereka memutuskan kembali ke Pulau Setan, setelah
gagal menemukan penculik Ki Wanalungga. Kedatangan mereka memang pada saat yang
tepat. Terlambat sedikit saja, bukan tidak mungkin Panji, Kenanga, dan Sanggala
sudah menguasai pulau itu.
"Bedebah...!" bentak lelaki gemuk berwajah brewok.
Lelaki yang tak lain dari Ki Brajanata itu marah sekali ketika melihat pengikutpengikutnya banyak yang tewas di tangan Kenanga dan Sanggala yang dikenalnya
sebagai putra tunggal Ki Wanalungga. Maka tanpa banyak cakap lagi, Ki Brajanata
segera melesat ke arah Kenanga dan langsung melancarkan serangan kilat
Whuuut' Merasakan ada desingan tajam datang dari belakangnya, Kenanga langsung menoleh.
Pedang di tangannya bergerak menyambut ketika melihat kelebatan pedang mengancam
tubuhnya. Tranggg! "Aihhh..."!"
Ki Brajanata yang terlalu memandang rendah dara jelita itu terpekik kaget.
Tubuhnya hampir terpelanting terkena tangkisan lawan yang demikian kuat.
Untunglah keseimbangan
tubuhnya masih dikuasai. Sehingga tidak sampai terbanting jatuh dalam satu
gebrakan saja. "Hm.... Bagus kau muncul, Ki Brajanata. Dengan begitu, aku bisa sekaligus
mengirimmu ke neraka. Kasihan pengikut-pengikutmu di sana. Mereka pasti akan
kehilangan jika kau tidak menyertai mereka," ujar Kenanga dengan nada mengejek.
Hingga paras Ki Brajanata merah seperti terbakar.
"Awas kau, Perempuan Liar! Kalau sampai tertawan olehku, kau akan kupermainkan
sepuas hatiku...!" geram Ki Brajanata dan segera menyilangkan pedangnya di depan
dada. Kenanga hanya tertawa kecil mendengar ucapan lelaki gemuk itu. Dara jelita itu
tidak gentar mendengar ancaman yang menyembunyikan niat kotor itu.
"Hiaaat...!"
Ki Brajanata segera menerjang maju tanpa memberi kesempatan lawan untuk bersiap.
Lelaki gemuk brewok itu memang berwatak curang dan licik.
Bettt...! Kenanga menggeser tubuhnya dengan gerakan
menyamping. Sehingga tusukan pedang lawan lewat setengah jengkal di sisi
tubuhnya. Kemudian, langsung dikirimkannya serangan balasan yang cepat dan kuat
Ki Brajanata yang mengetahui kekuatan lawan, tidak ingin membenturkan senjatanya
kalau tidak terpaksa, karena itu hanya akan merugikan dirinya sendiri. Maka
ketika serangan balasan dara jelita itu datang, Ki Brajanata melompat ke
belakang. Dan kembali membangun serangan yang lebih hebat Pertarungan pun terus
berlanjut sengit!
Di bagian lain, Sanggala kembali berhadapan dengan Guntala dan Soganta. Sadar
kalau kedua orang lawan sangat lihai, Sanggala segera mengerahkan seluruh
kemampuan untuk menahan gempuran lawan-lawannya. Dan sesekali mengirimkan
serangan balasan bila melihat ada peluang yang terbuka.
Dalam jurus-jurus awal, pertarungan mereka kelihatan seimbang. Kedua belah pihak
saling berusaha untuk segera merobohkan lawan. Sehingga pertempuran jadi sangat
seru dan mendebarkan.
Di tempat lain, pertarungan Panji dan Datuk Lautan Timur semakin meningkat
Apalagi tokoh sesat berkepandaian tinggi itu sudah menggunakan senjata dayung
maut andalannya.
Pertarungan itu membuat orang-orang yang berada di dekatnya segera menjauh.
Karena angin pukulan kedua tokoh itu dapat menewaskan, meski dalam jarak satu
setengah tombak.
Sehingga arena pertempuran kedua tokoh sakti itu agak terpisah dari dua
pertarungan lainnya.
Panji yang menggunakan tangan kosong dengan
mengerahkan 'Ilmu Silat Naga Sakti', mampu mengatasi serangan dayung maut Datuk
Lautan Timur. Sehingga kakek itu semakin penasaran.
"Hm.... Sejak semula aku memang sudah men-curigaimu, Pendekar Naga Putih!
Ternyata penglihatanku tidak salah...!"
geram Ki Dayut Ganda yang kini dapat menebak jati diri pemuda tampan berjubah
putih itu. Maka kakek itu pun semakin memperhebat serangannya, setelah
mengetahui siapa lawannya.
"Haiiit..!"
Untuk kesekian kalinya, Datuk Lautan Timur kembali memperdengarkan pekik yang
menggetarkan jantung.
Sehingga beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu dan tidak memiliki
tenaga dalam yang tinggi, langsung roboh sambil mendekap dada yang teras nyeri
dan sesak. Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya pekikan Datuk Lautan Timur!
Sayangnya pekikan itu tidak berpengaruh bagi Pendekar Naga Putih. Hingga Datuk
Lautan Timur semakin penasaran.
Dan sampai jurus kesembilan puluh dua, kakek itu masih belum mampu melukai
Panji. Jangankan melukai, menyentuh pakaiannya pun sangat sulit dilakukan.
"Heaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus keseratus tiga belas, riba-riba Pendekar Naga
Putih mengeluarkan pekikan keras yang terasa merontokkan jantung. Bersamaan
dengan itu, tubuhnya melesat ke depan dengan kecepatan yang sulit ditangkap
mata. Sepasang tangannya digerakkan menyilang berganti-ganti, membuat pandangan
Datuk Lautan Timur kacau. Sehingga....
Bukkk! Desss...!
"Huakkkh...!"
Dua buah hantaman keras membuat tubuh kakek itu terjungkal muntah darah. Lalu
jatuh berguling-guling sejauh satu tombak lebih. Dan ketika bangkit berdiri,
terlihat kuda-kudanya goyah. Sedang kedua tangannya mendekap dada yang terkena
hantaman Panji.
Pendekar Naga Putih yang ingin segera menyelesaikan pertarungan, langsung
melesat ke depan dengan mendorong sepasang telapak tangannya. Dan Datuk Lautan
Timur yang senjatanya telah terpental dari genggaman, hanya bisa menatap dengan
wajah pucat bagai mayat Maka....
Bresssh...! Bagaikan selembar daun kering tubuh Datuk Lautan Timur terpental deras. Darah
segar kembali menyembur.ke luar dari mulutnya. Maka tanpa ampun lagi, tubuh
renta itu terbanting di tanah dan tewas dengan dada remuk!
Melihat lawannya telah tewas, Panji menoleh ke arah pertarungan lain. Betapa
terkejutnya hati Pendekar Naga Putih ketika melihat Sanggala terdesak hebat oleh
dua orang pengeroyoknya. Bahkan tubuh pemuda itu telah dipenuhi luka yang
mengucurkan darah. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera memasuki
arena pertarungan. Dan begitu tiba, kedua tangannya langsung dikibaskan ke kiri
dan kanan memapaki sambaran pedang dua pembantu utama Ki Brajanata yang siap
menghabisi nyawa Sanggala.
Plak! Bresssh...!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu terpelanting deras. Bahkan
Soganta lebih sial dari Guntala, karena dadanya terkena hantaman telapak tangan
Panji. Akibatnya, darah segar menyembur keluar dari mulut lelaki kekar itu.
Setelah berkelojotan beberapa saat, tubuhnya diam tak bergerak lagi.
Soganta tewas dengan isi dada pecah!
Sanggala pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Ketika melihat tubuh Guntala terhuyung-huyung, maka dengan sisa-sisa tenaganya,
pemuda itu menerjang maju dengan tusukan pedang lurus tertuju ke jantung lawan.
Blesss! "Aaakh...!"
Guntala terpekik ngeri ketika pedang di tangan Sanggala masuk ke dalam perutnya
hingga setengah. Wajah lelaki itu menegang menahan rasa sakit yang dideritanya.
"Heahhh...!"
Seiring bentakan itu, Sanggala menarik keluar pedangnya yang terbenam di tubuh
lawan. Darah segar pun mengucur keluar dari luka yang dalam itu. Dan tubuh
Guntala roboh mencium tanah dengan nyawa terbang ke alam baka.
"Aaakh...!"
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar jerit kematian keluar dari mulut Ki
Brajanata. Tubuh lelaki gemuk bermata bengis itu terpelanting terkena sambaran
pedang Kenanga yang merobek tubuh bagian depannya. Ki Brajanata pun tewas
menyusul yang lainnya.
Para pengikut Datuk Lautan Timur dari Ki Brajanata yang masih selamat langsung
melempar senjata mereka, setelah melihat kedua pemimpinnya tewas. Mereka
berlutut di depan ketiga pendekar itu sambil meminta ampun.
Sanggala menoleh ke arah Panji seolah meminta keputusan pemuda itu. Pendekar
Naga Putih tersenyum dan melangkah menghampiri lima belas lelaki bertampang
kasar itu. "Minta maaflah kepada majikan muda kalian, yang mulai hari ini jadi Majikan
Pulau Setan," ujar Panji seraya menoleh ke arah Sanggala yang menerima keputusan
itu dengan senyuman.
Sebagai pertanda kalau pemuda itu mengampuni bekas musuh-musuhnya.
'Terima, kasih, Tuan Muda Sanggala...!" ujar kelima belas lelaki kasar itu yang
merasa bersyul karena telah diampuni.
Mereka berjanji akan mengabdi kepada Sanggala, Majikan Pulau Setan yang baru
*** "Sanggala. Menurut dugaanku, ayahmu mungkin dilarikan ke pulau ini...," ujar
Panji setelah mereka membereskan semua kerusakan di tempat itu, dan membuang ke
laut mayat-mayat yang berserakan.
"Mengapa kau menduga demikian, Pendekar Naga Putih...?"
tanya Sanggala heran.
"Karena benda keramat itu pasti berada di sekitar pulau ini.
Jika orang misterius itu ingin membunuh ayahmu, untuk apa dia harus bersusahpayah melarikannya. Padahal kesempatan untuk itu telah terbuka lebar...," jelas
Panji yang mulai menemukan jawabannya setelah merangkai semua peristiwaperistiwa yang terjadi.
"Lalu di mana benda keramat itu disembunyikan?" tanya Sanggala.
"Hm.... Apakah seluruh keluargamu secara turun-ternurun tinggal di pulau ini?"
tanya Panji. Pendekar Naga Putih memang mulai menemukan titik terang dari semua kejadian yang
menimpa penghuni Pulau Setan.
Sanggala hanya mengangguk menjawab pertanyaan Panji.
Kening pemuda itu tampak berkerut merasakan pikirannya mulai terbuka.
"Apa kau ingin mengatakan kalau benda keramat itu tersimpan di sekitar makam
leluhurku..?" duga Sanggala seraya menatap Panji dengan wajah menegang.
"Itu hanya dugaanku, Sanggala," sahut Panji, membuat Sanggala segera melesat
meninggalkan tempat itu.
"Ikuti aku...!" teriak Sanggala tanpa mengurangi kecepatan larinya. "
Tanpa banyak tanya lagi, Panji danjfenanga bergegas mengikuti pemuda yang terus
bergerak menuju ke arah selatan Pulau Setan.
"Makam leluhurku terletak di selatan pulau ini. Di sana ada sebuah bangunan kuno
yang tidak terlalu besar. Tapi tak ada seorang pun yang berani memasukinya
selama ini," jelas Sanggala sambil tetap berlari.
"Mudah-mudahan dugaanku tidak keliru. Dan kita bisa menemukan ayahmu di
sana...," sahut Panji berharap agar persoalan itu segera terungkap.
Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di daerah pekuburan yang tidak terlalu
luas. Di dalamnya terdapat enam belas makam dalam ukuran sedang.
"Itu bangunan yang kumaksudkan...," ujar Sanggala seraya menudingkan jarinya ke
sebuah bangunan yang terbuat dari batu dan tidak terlalu besar namun terlihat
sangat kokoh. Tiba-tiba Panji menarik lengan Sanggala dan Kenanga, sehingga langkah keduanya
tertahan. "Aku mendengar suara bentakan yang samar...," ujar Panji sebelum keduanya sempat
bertanya. Karena Panji mengatakannya dengan berbisik, Sanggala dan Kenanga pun
mengerti kalau mereka tidak boleh mengeluarkan suara terlalu keras.
"Aku tidak mendengar apa-apa...," bisik Sanggala mencoba mengerahkan indera
pendengarannya. Tapi tetap saja tidak dapat menangkap suara yang dimaksudkan
Panji. "Aku juga belum bisa mendengarnya...."
Kenanga pun tidak berbeda dengan Sanggala. Dara jelita itu tidak mendengar suara
yang didengar kekasihnya.
"Kalian berdua tunggu di sini. Aku akan menyelidikinya...,"
ujar Panji yang dijawab dengan anggukan oleh Sanggala dan Kenanga. Panji segera
bergerak maju dengan langkah hati-hati.
Suara bentakan samar itu mulai bertambah jelas terdengar, membuat Pendekar Naga
Putih semakin mempercepat langkahnya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, langkah
Panji tidak menimbulkan suara. Sehingga tidak mudah ditangkap pendengaran
manusia biasa. Langkah Pendekar Naga Putih terhenti di sebuah mulut gua yang berukuran sedikit
lebih besar dari tubuhnya. Kemudian, Panji merapatkan tubuhnya di dinding mulut
gua. Dan berusaha menjenguk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi di dalam
sana. "Keparat kau, Saluya! Tidak kusangka kau semakin terseret jauh ke dalam lumpur
kesesatan! Kalau yang kau maksudkan benda keramat itu peninggalan leluhurku,
sampai mati pun aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Sebaiknya kau bunuh
saja aku! Percuma kau menakut-nakuti-ku...!"
Terdengar suara parau dan lemah, menandakan pemilik suara itu tengah menderita
luka dalam. "Ki Wanalungga..."!" desis Panji yang segera dapat mengenali pemilik suara itu.
"Hm.... Kalau kau tetap keras kepala aku akan menyiksamu, hingga kau menyesal
telah dilahirkan di dunia ini!" bentak suara lainnya yang terdengar garang dan
penuh kemarahan Kini semakin jelaslah bagi Panji, apa yang sedang
dipertengkarkan kedua orang yang berada di dalam gua itu.
"Murid murtad! Lakukan apa yang kau ingin kau ingini! Tapi jangan harap aku akan
memberitahukan di mana benda
keramat itu tersimpan!" terdengar suara Ki Wanalungga menyiratkan kemarahan yang
terpendam di dalam hati.
"Hm.... Jadi penculik itu salah seorang murid Ki Wanalungga yang telah
berkhianat dan memilih jalan sesat..," gumam Panji semakin mengerti.
Terdengar suara langkah kaki bergerak menuju mulut gua.
Panji yang sedang mendengarkan pembicaraan mereka, segera melayang naik ke atas
pohon yang berada tidak jauh dari mulut gua. Dan ketika sesosok tubuh jangkung
muncul dari mulut gua, Pendekar Naga Putih langsung meluncur turun dan
menghadangnya. "Siapa kau..."! Mau apa datang ke tempat ini..."!" bentak lelaki jangkung itu
terkejut sambil meraba gagang pedang di pinggangnya.
"Hm.... Kau sungguh seorang murid yang tidak berbudi, Saluya. Untuk itu kau
harus dihukum!" geram Panji, membuat lelaki jangkung itu terkejut mendengarnya.
Tapi Panji tidak memberikan kesempatan kepada Saluya untuk mengungkapkan
keheranannya. Pendekar Naga Putih segera menerjang maju untuk membekuk lelaki
jangkung yang telah berkhianat kepada gurunya untuk mendapatkan benda keramat
yang bukan miliknya.
Beeet! Tamparan tangan Panji mengenai angin kosong, karena Saluya telah menggeser
tubuhnya dengan lompatan pendek ke samping. Bahkan mulai memberikan perlawanan
dengan serangan-serangan yang cepat dan kuat. Tapi semua serangan itu tidak
berarti banyak bagi Pendekar Naga Putih, karena dengan mudah dapat dielakkannya.
Sebentar kemudian,
keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan yang tidak seimbang.
Setelah lewat dua puluh jurus Saluya menyerang habis-habisan, Pendekar Naga
Putih segera menundukkan lelaki jangkung itu dengan sebuah tendangan keras.
Kontan tubuh Saluya terpental dan jatuh di atas sebuah makam.
"Setan belang...!"
Saluya mengumpat seenaknya. Tapi belum sempat lelaki itu berdiri tegak, Pendekar
Naga Putih telah mengirimkan sebuah pukulan yang bersarang telak di tubuhnya.
Bukkk! "Huakkkh...!"
Pukulan keras itu membuat Saluya memuntahkan darah segar. Tubuhnya menggigil
seketika, karena Pendekar Naga Putih telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana
Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bulan'nya. Saluya agaknya tidak sanggup menahan pukulan keras itu.
Terbukti, lelaki jangkung itu langsung! menggeletak pingsan.
Sementara darah segar masih mengalir dari bibirnya.
Panji segera meninggalkan tubuh lawannya. Pemuda itu bergerak memasuki gua dan
menyelamatkan Ki Wanalungga yang keadaannya semakin bertambah parah.
Setelah memberikan dua butir pil berwarna merah dan putih yang langsung ditelan
lelaki tual itu, Panji segera memapah Ki Wanalungga keluar j dari dalam gua.
"Ayah...!"
Sanggala berteriak ketika melihat Panji melangkah sambil menggendong tubuh Ki
Wanalungga di bahu kanannya dan tubuh Saluya di bahu sebelah kiri.
"Penculik ayahmu adalah Saluya, Sanggala," jelas Panji sebelum Sanggala
menanyakannya. "Kakang Sahaya..."! Hm.... Dulu pun dia pernah berkhianat Lalu ayah mengusirnya
dari pulau ini. Peristiwa itu terjadi kira-kira tiga tahun yang lalu. Rupanya
dia merasa sakit hati pada kami...," jelas Sanggala.
"Hm.... Manusia jahat dan berhati licik ini harus mendapat hukuman yang
setimpal. Tapi, yang terpenting persoalan ini sudah selesai. Sekarang tinggal
mengobati ayahmu, Sanggala.
Kemungkinan besar beliau masih bisa diselamatkan. Beri doalah untuk kesembuhan
ayahmu...," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih memutuskan untuk menginap di Pulau Setan untuk menyembuhkan
luka dalam Ki Wanalungga.
Rombongan kecil itu bergerak meninggalkan daerah pekuburan. Baru beberapa
tindak, Panji tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Sanggala.
"Sanggala, kalau diperkenankan, aku ingin melihat benda keramat yang
diperebutkan itu...?" ujar Panji, perlahan.
Sanggala ikut menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah Panji. Ditatapnya
pendekar muda itu dengan sinar mata aneh. Kemudian berpaling pada ayahnya yang
juga mendengar ucapan pendekar muda itu.
"Mari kita ke sana. Aku pun belum pernah membukanya.
Hanya ada beberapa kitab peninggalan ayahku, yang menurut beliau diambil dari
daerah pekuburan tua ini...."
Ki Wanalungga rupanya percaya penuh kepada Pendekar Naga Putih. Terbukti lelaki
tua itu membawa Panji ke tempat penyimpanan pusaka leluhurnya.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di depan sebuah bangunan yang kokoh
dan sangat tua. Ki Wanalungga minta agar tubuhnya diturunkan.
Atas persetujuan Ki Wanalungga, Panji membongkar bagian depan bangunan itu
dengan menggunakan pukulan jarak jauh.
Dinding yang kokoh itu pun jebol dengan suara ribut.
Terciptalah sebuah lubang besar yang cukup untuk dimasuki dua orang.
"Luar biasa...!"
Panji bergumam sambil melangkah ke luar dari dalam bangunan itu dengan membawa
beberapa kitab, pedang, dan permata. Semua mata yang melihat terbelalak takjub,
termasuk Majikan Pulau Setan dan putranya. Sebab, mereka pun belum pernah masuk
ke dalamnya. Setelah melihat benda-benda pusaka itu, rombongan pun kembali bergerak menuju
bangunan tempat tinggal Ki Wanalungga. Setibanya di bangunan yang telah dihuni
selama berpuluh tahun, Ki Wanalungga memerintahkan orang-orangnya untuk
mengangkut benda-benda pusaka leluhurnya.
Dan membuatkan sebuah ruangan khusus untuk menyimpan benda-benda pusaka itu.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Wasiat Darah Di Bukit Toyongga 2 Tengkorak Maut Karya Khu Lung Dewi Jalang Gunung Tunggul 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama