Ceritasilat Novel Online

Pendekar Murtad 2

Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad Bagian 2


tajam. Wuttt..! Bettt..!
Panji memiringkan tubuhnya sambil
menggeser kaki kanannya ke belakang.
Kemudian secepat kilat dilancarkannya serangan balasan yang tidak kalah
dahsyat Kedua tangannya yang membentuk cakar naga tampak bergerak cepat
melakukan sambaran-sambaran yang
menebarkan hawa dingin.
Tak pelak lagi, pertarungan
sengit pun berlangsung hebat. Kedua tokoh sakti itu saling menyerang
hebat. Ilmu-ilmu andalan yang biasanya jarang sekali digunakan, kini
dikeluarkan untuk menjatuhkan lawan.
Sedangkan para tokoh lain
bergerak mundur menjauhi pertarungan yang mendebarkan itu. Sebab angin
pukulan yang teriontar dari tangan
kedua tokoh sakti itu menyambarnyambar ke segala arah. Dan kalau tidak segera bergerak mundur, bisa jadi mereka
akan terkena sambaran pukulan nyasar.
Jurus derm jurus berialu cepat.
Tak terasa, pertarungan telah memasuki jurus yang keenam puluh.
Namun, sampai sejauh itu belum
terlihat tanda-tanda yang bakal
terdesak "Heaaah...!"
Suatu saat, Ketua Perguruan
Garuda Putih membentak keras. Sepasang tangannya yang membentuk cakar garuda
bergerak susul-menyusul
mengancam tubuh Panji. Plakkk! Plakkk!
"Aaah...!"
Seketika terdengar ledakan yang
memekakkan telinga ketika kedua lengan tokoh sakti itu saling berbenturan.
Tubuh mereka masing-masing tampak
terjajar mundur beberapa langkah ke
belakang. Baik Panji dan kakek itu
sama sama menyeringai menahan rasa
nyeri pada tulang lengan mereka. Untuk beberapa saat keduanya saling tatap
bagaikan dua ekor ayam jago yang siap berlaga kembali.
"Haaat..!"
Pada saat mereka tengah terdiam
sambil menehtl gerak satu sama lain, dua orang tokoh persilatan melompat
disertai sambaran senjata yang
menimbulkan deruan angin keras.
Wuttt! Wuttt...!
Cepat Panji melempar tubuhnya ke
bclakanq. menghindari dua batang
pedang yang mengancam tubuhnya itu.
Setelah berputar di udara, tubuh
Pendekar Naga Putih melayang turun
sejauh tiga tombak dari dua orang
Iawannya itu. Namun, baru saja kedua kakinya menyentuh pcrmukaan tanah,
serangan dari yang lain sudah meluncur datang.
Panji melangkah mundur sejauh dua
tindak ketika dua batang pedang
menyambar perut dan lambungnya. Begitu dua serangan itu lolos, tubuh pemuda itu
melambung ke udara disertai
sambaran cakarnya yang membawa hawa
dingin menggigit tulang.
Bet! Bet...! "Ahk...!"
Bukan main kagetnya hati kedua
orang tokoh itu ketika mendadak tubuh mereka bagaikan dikurung dalam sebuah
ruangan salju. Mereka kemudian cepat-cepat mengempos semangat, untuk
mengerahkan hawa murni agar rasa
dingin yang mengganggu gerakan mereka terusir. Dan pada saat sepasang cakar
Pendekar Naga Putih hampir mencelakai, mereka pun bergulingan menghindarkan
diri. Ketika telah berada sejauh tiga
tombak, kedua orang itu melenting
bangkit. Namun alangkah terkejutnya
hati mereka ketika pada saat itu
Pendekar Naga Putih telah melontarkan pukulan jarak jauh disertai pengerahan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan*.
Wusss! Blarrr! Untunglah kedua orang itu sempat
melempar tubuhnya dan bergulingan ke samping. Kalau tidak, akan hancurlah tubuh
mereka. Buktinya, pohon besar
sepelukan orang dewasa yang ada di
belakang mereka
langsung tumbang
menimbulkan suara berderak keras.
Wajah kedua orang tokoh
persilatan itu langsung pucat. Ciut hati mereka membayangkan seandainya
terkena pukulan maut pendekar muda
itu. "Sambut pukulanku, Pendekar Naga Putih!" bentak Eyang Sancaka
memperingatkan. Saat itu juga tubuhnya meluncur disertai dorongan telapak
tangannya yang menimbulkan terpaan
angin keras. Mendengar teriakan itu, Panji
bergegas membalikkan tubuhnya. Tampak tubuh Eyang Sancaka meluncur
menerjang. Maka Pendekar Naga Putih
segera mendorong sepasang telapak
tangannya untuk menyambut pukulan maut kakek itu.
Bresss! Bumi di sekitar arena pertarungan
bagai diguncang gempa ketika dua
tenaga dalam tinggi saling berbenturan dahsyat. Tubuh mereka terpental ke
belakang dan jatuh menimbulkan suara berdebuk keras.
Panji dan Eyang Sancaka bergegas
melenting bangkit.
Keduanya segera
menyedot udara banyak-banyak untuk
menghilangkan rasa nyeri yang menusuk rongga dada mereka. Dari sudut bibir
masing-masing tokoh sakti itu tampak cairan merah mengalir.
"Haaat..!"
Empat orang tokoh persilatan yang
melihat keadaan itu cepat melompat
menerjang Panji. Mereka memang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas selagi
pendekar muda itu terluka.
Senjata mereka berdesing membelah
udara. Plak! Plak! Bret!
"Ahk..!"
Dua di antara empat batang
senjata itu berhasil dttepiskan
telapak tangan Pendekar Naga Putih.
Namun dua senjata lain berhasil
merobek tubuhnya! Untunglah Panji
masih sempat memiringkan tubuhnya,
sehingga lukanya tidak terlalu parah.
Tubuh Pendekar Naga Putih
terjajar mundur sejauh enam langkah, dan agak limbung. Tangan kirinya
menekap luka di lambung, sedangkan
tangan kanan menekap dada. Pada sela-sela jarinya keluar darah segar dari luka
sehingga menodai jubahnya.
Meskipun kedua luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat wajah
pendekar muda itu meringis menahan
nyeri Meskipun kemarahan membakar
dadanya, namun Panji sadar kalau bukan orang-orang itulah yang menjadi
musuhnya. Maka begitu melihat lawan-lawannya lengah, ia bergegas melompat
meninggalkan tempat itu. Gerakannya
demikian cepat, karena disertai ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf
kesempurnaan. "Mau lari ke mana kau, Pendekar Murtad"!" bentak Panjala yang segera menghadang
Panji. Senjatanya melintang di depan dada dan siap menyerang.
Banawa yang berada di samping
Panjala bertindak cepat. Tanpa basa-basi lagi, tubuhnya segera melesat
sambil menyabetkan senjata ke tubuh
Pendekar Naga Putih.
Panjala pun berbuat hal yang
serupa. Pedang di tangannya diputar
sedemikian rupa hingga membentuk
gundukan sinar yang membungkus seluruh tubuhnya. Dibarengi bentakan keras,
tubuhnya langsung melayang ke arah
Panji. Kali ini Panji sudah benar-benar
marah. Melihat kedua orang murid utama Perguruan Garuda Putih itu menghalangi
jalannya, sepasang telapak tangannya segera didorongkan ke depan Serangkum angin
dingin berhembus keras
mengiringi dorongan tangan pemuda itu.
Rupanya dalam kemarahannya kali ini, Pendekar Naga Putih telah menggunakan
pukulan jarak jauh disertai pengerahan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang sangat dahsyat itu.
Bukan main terkejutnya hati kedua
orang tokoh Perguruan Garuda Putih
itu. Wajah mereka pucat seketika.
Untuk menghindar, rasanya sudah tidak mungkin lagi, tubuh keduanya dalam
keadaan menga-pung di udara. Cepatcepat mereka mendorongkan telapak
tangan kiri sepenuh tenaga.
Blarrr! "Aaargh...!"
Banawa dan Panjala berteriak
ngeri ketika tubuh mereka bagaikan
membentur sebuah kekuatan raksasa.
Tubuh mereka terlempar keras hingga bebarapa tombak ke belakang. Tanpa
dapat dicegah lagi, tubuh keduanya
terbanting keras di atas permukaan
tanah. "Ouhhh...!"
Kedua tokoh Perguruan Garuda
Putih itu mcrintih setelah teriebih
dahulu memuntahkan segumpal darah
kental. Mereka mengerang sambil
menekap dada yang terasa bagaikan
dihantam godam!
"Panjala...! Banawa...!"
Eyang Sancaka yang menjadi Ketua
Perguruan Garuda Putih berlari memburu kedua orang muridnya itu dengan wajah
membayangkan kecemasan. Dia segera
berjongkok memeriksa luka yang
diderita kedua orang muridnya. Rasa
cemas terbayang di wajahnya melihat
keadaan muridnya. Hal ini membuat
kakek itu melupakan kehadiran Panji
yang berdiri tegak beberapa langkah di sampingnya.
Melihat kesempatan baik itu,
Panji bergegas melompat meninggalkan tempat itu. Segera dikerahkan ilmu
meringankan tubuhnya agar tidak sampai terkejar orang-orang itu.
"Pendekar Naga Putih, tunggu...!
Persoalan di antara kita belum
selesai!" teriak Eyang Sancaka seusai memberi obat pulung kepada kedua orang
muridnya. Suaranya dikerahkan lewat
tenaga dalam yang cukup tinggi,
sehingga menggema sampai jauh.
"Keparat! Pemuda cabul itu telah berhasil meloloskan diri!" umpat salah seorang
tokoh persilatan, geram.
"Ayo, kita kejar pendekar biadab itu!" ajak yang lainnya, cepat.
Setelah berkata demikian, mereka
segera melesat mengejar Pendekar Naga Putih.
Enam orang lainnya bergegas
menyusul kawannya. Rupanya hati mereka belum puas kalau beium dapat menghukum
pendekar muda yang kira sangat dibenci itu.
*** 6 Pemuda berjubah putih itu terus
berlari menerobos semak belukar. Pada bagian dada dan lambung terdapat noda
merah yang membasahi pakaiannya. Namun sepertinya dia sama sekali tidak
mempedulikan luka yang dideritanya
itu, dan terus saja berlari ke dalam lebatnya rimba.
Wajah yang bersih dan tampan itu
tampak sayu bagaikan orang kehilangan semangat. Peluh yang membasahi seluruh
wajah dan tubuhnya sudah tidak
dihiraukannya lagi. Sepertinya jiwa
pemuda tampan berjubah putih itu
tengah mengalami pukulan berat.
Setelah agak lama berlari dan
telah jauh memasuki hutan, pemuda
tampan itu menjatuhkan tubuhnya di
atas permukaan rumput tebal. Disandarkan punggungnya pada sebatang pohon besar yang berada di
belakangnya. Terdengar helaan napasnya yang berat, membayangkan kelelahan
lahir dan batin.
"Ouhhh...!"
Pemuda tampan yang tak lain
adalah Panji itu mengusap wajahnya
diseretai keluhan berat. Agak lama
pemuda itu menutupi wajahnya tanpa
mempedulikan keadaan di sekelilingnya.
Kemudian perlahan-lahan direbahkan
tubuhnya. Matanya dipejamkan seolaholah hendak mengusir pergi bayanganbayangan buruk yang mengganggunya.
"Mengapa orang-orang itu
memusuhiku" Mengapa mereka begitu
yakin kalau aku telah melakukannya"
Dan menurut keterangan mereka, orang yang melakukan perbuatan-perbuatan
keji dan biadab itu adalah aku.
Mungkinkah ada pemuda lain di dunia
ini yang memiliki wajah serupa
denganku" Apakah orang itu pun
mempunyai Tenaga Sakti Gerhana Bulan'


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

warisan Eyang Tirta Yasa" Aaah...,
rasanya mustahil?" desah batin
Pendekar Naga Putih yang bergelut
dengan berbagai pertanyaan yang tidak mampu dijawabnya sendiri.
Panji kembali menghela napas
berat, melepaskan gumpalan yang terasa mengganjal dalam rongga dadanya.
Pikirannya menerawang, mencoba
mengingat-ingat apa saja yang telah diperbuatnya selama ini. Namun sampai lelah,
tak satu pun perbuatan jahat
yang pernah dilakukannya.
"Tapi, mengapa mereka menuduhku
pendekar murtad"!"
Ucapan itu terlontar begitu saja
dari mulut Panji, hingga sempat
tetperanjat mendengamya. Sepertinya, suara pertanyaan itu terlontar karena rasa
penasaran dan tidak puas yang
menekan jiwanya.
Mendadak Pendekar Naga Putih
terlonjak dari duduknya, seperti baru saja teringat akan sesuatu. Dan bisa saja
itu dapat menyingkap tabir
rahasia ini. Dengan gerakan perlahan, sepasang mata Pendekar Naga Putih
mulai meneliti sekujur tubuhnya,
seolah-olah ingin mencari
kelainan yang akan dapat membedakan dirinya
dengan manusia culas yang mengaku-aku sebagai dirinya.
"Ah, ini dia!" seru Pendekar Naga Putih sambil menurunkan Pedang Naga
Langit dari punggungnya. Wajahnya
tampak berseri ketika melihat benda
pusaka yang tidak ada duanya dalam
dunia persilatan. Perlahan lahan
dicabutnya pedang itu dari sarungnya, yang berukir seekor naga yang berwarna
kuning keemasan (Untuk jelasnya
tentang Pedang Naga Langit yang
dimiliki Panji ini, silakan pembaca
mengikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode "Bunga Abadi di Gunung
Kembaran").
Srek! Sinar kuning keemasan berpendar
ketika Pendekar Naga Putih meloloskan pedang pusaka dari sarungnya. Sejenak
Panji menutupi mata dengan sebelah
tangannya, karena sinar pedang itu
begitu silau. "Ya. Hanya pedang inilah yang
akan membedakan antara aku dengan
bangsat keji itu! Aku yakih kalau
orang yang telah mencemarkan namaku
pasti tidak akan memiliki pedang
pusaka yang tiada duanya ini," tegas Panji.
Hati Pendekar Naga Putih sedikit
lega karena telah mempunyai bukti kuat kalau dirinya bukanlah orang yang
dimaksud. Dengan Pedang Naga Langit
yang tak ada duanya dalam rimba
persilatan, jelas akan membedakan
Panji dari yang lainnya.
'Tapi, apakah mungkin orang-orang
itu akan menerima alasanku" Dapatkah mereka mempercayainya apabila pedang ini
kutunjukkan sebagai bukti kalau
aku tidak bersalah" Hm.... Sepertinya masalah ini belum selesai hanya dengan
menunjukkan pedang ini sebagai
alasan," gumam Panji dalam hati.
Kembali Pendekar Naga Putih
menghela napas sebagai tanda
kekecewaannya. Pikirannya menerawang jauh hingga sampai ke wajah
kekasihnya. Tiba-tiba saja wajah
Kenanga muncul dalam benaknya.
"Ahhh.... Seandainya saja saat
ini Kenanga ada bersamaku, pastilah
akan dapat membantuku untuk memecahkan masalah rumit ini Tapi.... Tapi,
ahhh...!" desah Panji sambil menepak keningnya perlahan.
Pendekar Naga Putih merasa
khawatir juga apabila persoalan ini
telah sampai ke telinga Kenanga. Sulit digambarkan, bagaimana tanggapan gadis
itu ketika mendengar tuduhan yang
telah dilimpahkan orang-orang kepada Panji. Apakah tuduhan itu akan
dipercayainya" Ataukah akan lebih
percaya kepada Panji"
Setelah menyarungkan pedangnya
kembali, Panji duduk bersandar pada pohon di belakangnya. Pandangannya
dilayangkan ke arah cakrawala yang
mulai tersaput keremangan senja. Hati Pendekar Naga Putih ikut melayang dan
mengembara entah ke mana.
*** "Kakang...!"
Panji tersentak bangkit bagaikan
disengat kalajengking. Dadanya
berdebar tegang ketika mendengar suara merdu yang sangat dikenalnya. Mulut
pemuda itu menggerimit seolah-olah
tengah berhadapan dengan hantu yang
menakutkan! Seluruh urat-urat tubuhnya menegang! Wajahnya pun pucat, dan
keringat dinginnya mulai menitik
Pemuda itu menjadi tegang karena suara merdu itu terdengar agak ketus.
Perlahan-lahan Pendekar Naga
Putih menolehkan pandangan ke arah
asal suara itu. Debaran dalam dadanya terdengar semakin bergemuruh ketika tampak
sesosok tubuh ramping berparas jelita tengah memandang tajam ke
arahnya. Dari raut wajahnya, Panji
sadar kalau gadis itu telah mengetahui duduk persoalannya. Karena wajahnya
menyiratkan kebencian hebat!
"Kenanga, kau.... Kau mengapa ada di tempat ini?" tanya Panji bergetar.
Pemuda itu merasa aneh ketika
mendengar suaranya demikian asing di telinga. Seolah-olah suara itu
bukanlah suara sendiri. Karena
demikian kering dan bergetar, seperti dari alam lain.
"Hm.... Seharusnya aku yang harus bertanya seperti itu kepadamu"!
Mengapa kau berada di tempat ini"! Apa yang tengah kau lakukan"!" tanya gadis
jelita itu. Suaranya terdengar tidak enak sekali di telinga Panji.
Hati pemuda itu pun semakin tidak
enak ketika gadis itu tidak iagi
menyebutnya 'kakang'. Jelas sekali
kalau dia sudah tidak menunjukkan
sikap mesra kepadanya. Dan hal itu
membuat debaran dalam dada Panji
semakin keras. "Aku.... Aku sama sekali tidak
melakukan apa-apa, Kenanga. Aku....
Aku hanya sedang melepaskan lelah,"
sahut Panji. Suaranya masih tetap
bergetar karena hatinya masih diliputi ketegangan.
Diam-diam hati pemuda itu
berharap agar kekasihnya belum
mendengar berita-berita yang
menyudutkan dirinya. Siapa tahu gadis itu hanya marah karena telah berpisah
dengannya tanpa sengaja.
"Hm.... Mengapa ada luka di
tubuhmu?" tanya Kenanga. Gadis itu menatap tajam penuh kebencian pada
Pendekar Naga Putih.
Panji berdiri lesu bagaikan
seorang pesakitan yang menunggu
keputusan hakim. Sepasang mata
kekasihnya yang biasanya selalu
menimbulkan perasaan indah itu, kini tak lagi nampak Sebenarnya Panji lebih suka
ditodongkan ujung tombak daripada mendapat tatapan mata kekasihnya yang tajam
dan sangat menusuk hati
"Pendekar Naga Putih! Apakah kau
memang sudah berubah menjadi seorang pengecut yang tidak mau
mempertanggungjawabkan perbuatanmu" Ke mana perginya kegagahan yang selama
ini kau miliki" Kau benar-benar telah membuatku kecewa, Panji!" sindir Kenanga.
Wajahnya tampak mulai basah oleh air mata. Kata-kata itu memang demikian tajam.
Bahkan sepertinya
Kenanga tidak menganggap Panji lagi.
Kening Panji berkerut-kerut
menahan rasa sakit hati akibat ucapan kekasihnya itu. Kalau saja orang lain yang
mengatakannya, mungkin tidak apa-apa. Tapi ucapan itu justru keluar
dari mulut orang yang amat
dicintainya. Tentu saja hal itu
bagaikan ujung tombak yang menikam
jantungnya. "Kenanga. Kau pun percaya akan
tuduhan orang-orang persilatan itu
kepadaku" Kau..., kau lebih
mempercayai mereka daripada aku"
Ohhh...!" Panji terhuyung ke belakang
dengan wajah pucat. Keningnya semakin berkerut-kerut manahankan guncangan
hebat pada dirinya. Ucapan kekasihnya itu bagaikan ujung pedang yang
mengiris-iris jantungnya. Bahkan
rasanya lebih baik tubuhnya diirisiris ujung pedang daripada harus
mendengar tuduhan itu.
"Hm.... Pada mulanya aku memang tidak mempercayai berita yang tersebar di
kalangan persilatan itu. Karena,
aku mengenal betul siapa dirimu. Dan rasanya keyakinanku itu tidak akan
berubah apabila tidak memergoki
perbuatanmu yang keji itu. Jangan
coba-coba membodohi aku, Pendekar Naga Putih. Karena aku telah memergokimu
ketika kau baru saja melakukan
perampokan, pembunuhan, dan sekaligus menodai seorang gadis anak keluarga
kaya di Desa Tirtasana. Aku tahu, kau pasti telah melupakannya. Atau memang
sengaja berpura-pura lupa agar aku
mempercayaimu," ucap gadis itu sambil menyusut air matanya yang mulai jatuh dan
bergulir di pipinya yang halus
itu. Kenanga segera menarik napas
untuk melonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak.
'Tidak mungkin...! Kau pasti
keliru, Kenanga! Aku... aku tidak
pernah melakukan apa-apa! Sungguh!"
bantah Panji. Suara Pendekar Naga Putih
terdengar semakin lemah dan serak.
Kedua kakinya tampak gemetar.
Sepertinya ia tidak mampu lagi untuk menahan bobot tubuhnya. Terlihat
pemuda tampan itu menyeringai menahan sakit sambil meremas-remas dadanya.
"Kau bilang aku keliru" Huh!
Siapa lagi di dunia ini yang memiliki ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'"
Siapa lagi di dunia ini yang tubuhnya dapat mengeluarkan sinar putih
keperakan" Dan siapa tokoh sakti di
dunia ini yang masih muda dan tampan yang memiliki ilmu pukulan berhawa
sedingin salju?" desah Kenanga.
Suara gadis itu semakin lama
semakin tinggi. Bahkan pada akhir
kalimatnya, gadis itu berteriak
sekeras-kerasnya. Rupanya bukan hanya Panji saja yang menerima guncangan
batin yang hebat Sepertinya gadis
jelita itu juga tidak terlepas dari
pukulan yang mendera batinnya.
"Tidak mungkin, Kenanga...! Tidak mungkin..! Oh, Tuhan.... Dosa apa yang telah
hamba perhuat, sehingga begitu kuat cobaan yang Kau berikan..."!"
desah Panji dengan suara yang semakin serak dan lemah.
Pemuda itu berdiri bergoyanggoyang bagai orang mabuk. Sepasang
matanya yang selalu menyorotkan sinar tajam, kini nampak sayu.
"Jangan sebut-sebut nama Tuhan!
Kesalahanmu sungguh besar, Pendekar
Naga Putih. Dan kini kau masih juga
berusaha menyangkal! Padahal kita
sempat bertanding selama
beberapa jurus. Dan sebelum melarikan diri, kau berkata agar aku segera melupakanmu
dan tidak usah mencari-carimu lagi"!
Apakah kau pun telah lupa dengan
ucapanmu itu"!" bentak Kenanga semakin keras.
Meskipun wajah gadis itu sama
pucatnya dengan wajah Panji, namun
Kenanga tampak lebih bisa menguasai dirinya. Itu bukan berarti dia lebih tegar.
Tapi karena gadis itu sudah
pasrah kepada nasib yang menimpa
dirinya. "Oh, Tuhan...," Panji mengeluh sambil menekap wajahnya.
Jari-jari tangan Pendekar Naga
Putih tampak gemetar ketika mengusap wajahnya. Namun debaran dalam dadanya sudah
tidak lagi sehebat tadi.
Pendekar Naga Putih mulai bisa
menenangkan gejolak hatinya.
"Baiklah. Kalau kau memang sudah tidak mempercayaiku lagi, terserah.
Aku pasrah. Namun aku bersumpah, bahwa aku sama sekali tidak melakukan hal-hal
seperti yang kau tuduhkan itu.
Biarlah kalau memang sudah begin!
suratan nasibku, aku pasrah, Kenanga,"
kata Panji. Suara Pendekar Naga Putih kini
lebih tenang meskipun masih tetap
bergetar, penuh perasaan kasih. Sambil mencoba menguatkan hatinya, Panji
melangkah mendekati kekasihnya.
"Diam di tempatmu! Kalau kau
masih juga melangkah, maka terpaksa
kau akan kubunuh, Pendekar Naga
Putih!" bentak Kenanga sambil
menodongkan ujung pedang yang
mengeluarkan sinar keperakan ke tubuh Panji. Rupanya gadis itu masih juga
mencurigainya. Meskipun saat itu Panji telah benar-benar pasrah.
"Aku bersumpah tidak pernah
melakukan perbuatan-perbuatan keji
itu, Kenanga. Percayalah kalau orang yang pernah bertarung denganmu itu
bukanlah aku!" tegas Panji yang telah mendapatkan kembali ketenangan


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya. Semua itu didapatkan setelah kepasrahan dalam dirinya timbul.
Meskipun ia tetap tidak mengakui
segala apa yang telah dituduhkan
kepada dirinya itu.
"Hm.... Kalau memang kau masih juga tidak mengakui segala perbuatan biadabmu
itu, marilah kita bertarung!
Meskipun aku harus kehilangan orang
yang paling kucintai. Ini terpaksa
kulakukan demi menegakkan keadilan!"
tegas Kenanga yang segera melintangkan pedangnya, siap menghadapi pertarungan
mati-matian. 'Tidak! Aku tidak akan melawanmu,
Kenanga! Kalau kau memang ingin
membunuhku, silakan! Dan aku akan
ikhlas menerimanya," jawab Panji pasrah.
Memang jelas, bagaimana mungkin
Pendekar Naga Putih akan melakukan
pertarungan dengan kekasihnya. Dan
Panji tahu betul kalau gadis jelita
itu tidak akan berani membunuhnya.
Melihat Pendekar Naga Putih
tampak berdiri pasrah, Kenanga
membanting-banting kaki kanannya
karena kesal. Hatinya bergetar
menerima tatapan lembut yang
menyiratkan perasaan kasih yang dalam di hati pemuda itu. Hingga untuk
beberapa saat lamanya, Kenanga hanya dapat memandang bingung.
"Lawanlah aku, Pendekar Naga
Putih! Apakah kau telah berubah
menjadi seorang pengecut"!" teriak Kenanga yang menjadi gemas melihat
sikap yang ditunjukkan pemuda itu.
Panji hanya tersenyum getir
melihat keadaan gadis yang
dicintainya. Pemuda itu menggeleng
pelan sebagai tanda kalau tidak bisa meluluskan permintaan kekasihnya.
"Hm.... Jangan dikira aku tidak akan berani untuk membunuhmu, Pendekar Naga
Putih" Kalau kau masih juga tidak akan mencabut senjatamu, terpaksa kau akan
kubunuh!" teriak Kenanga yang menjadi gusar.
"Aku siap menerima hukuman
darimu, Kenanga," sahut Panji lembut.
Suara Pendekar Naga Putih
bergetar menahan perasaan sakit dan kecewa. Wajahnya berkerut-kerut
menandakan betapa terpukul hatinya
melihat orang yang dicintainya sudah tidak mempercayi dirinya lagi.
Melihat kenyataan kalau Panji
masih juga belum mencabut senjatanya, Kenanga menggertakkan giginya menahan
geram. Biarpun pemuda itu adalah orang satu-satunya yang dicintainya,
akhirnya ia terpaksa memutuskan untuk melenyapkan kebathilan. Gadis itu masa
bodoh apabila kehilangan orang yang
paling dicintainya.
"Kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu, baiklah! Bersiaplah untuk menerima
hukuman, Pendekar Naga
Putih!" ancam Kenanga yang sudah menggerakkan senjatanya, siap
melenyapkan Pendekar Naga Putih.
*** 7 Wuk! Wuk..! "Hiaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh
gadis itu pun melesat sambil
menusukkan pedangnya ke dada Panji.
Kenanga menguatkan hatinya yang sempat bergetar melihat tatapan penuh kasih yang
terpancar di wajah pemuda itu.
Dan getaran di hatinya telah membuat senjata
di tangannya ikut pula
bergetar! Cappp! "Akh...!"
Panji mengeluh pendek, menahan
rasa sakit pada perutnya yang
tertembus pedang kekasihnya. Mesk-pun wajahnya semakin memucat, namun
tatapan penuh kasih itu tetap memancar di wajahnya.
"Ah...!"
Kenanga menahan jeritannya
melihat darah segar mulai mengucur
membasahi jubah pemuda itu. Bergegas tubuhnya melompat mundur sambil
mencabut senjatanya dari perut Panji.
Bibir gadis jelita itu bergetar
menahankan perasaan hatinya yang
terguncang. Kenanga berdiri terpaku melihat
tubuh kekasihnya roboh mandi darah.
Bibir Panji tampak tersenyum memandang wajah kekasihnya. Akhimya karena tak
sanggup menerima kenyataan, Kenanga
langsung jatuh terduduk di atas
rerumputan. Wajahnya basah oleh air
mata yang mengalir deras menganak
sungai. "Ohhh..., Kakang. Apa artinya
hidup ini bagiku! Tunggulah aku,
Kakang...."
Sambil berkata demikian, Kenanga
mengangkat pedangnya. Dan kini mata
pedangnya menempel di belahan dadanya.
Sepertinya Kenanga ingin bunuh diri
karena tidak sanggup
menahan penderitaan yang mendera jiwanya.
Dengan kedua tangan gemetar dan
wajah bersim-bah air mata, gadis
jelita itu memejamkan matanya. Pedang Sinar Rembulan terangkat dan siap
dihunjamkan ke dada yang berisi
kehancuran. Dan ketika ujung pedang
itu hendak ditekan, mendadak...
Trang! "Akh...!"
Kenanga terpekik kaget ketika
pedangnya yang meluncur turun itu
tiba-tiba terpental. Belum lagi gadis itu sempat mengetahui apa yang telah
membuat senjatanya teriepas dari
genggaman, tahu-tahu saja di depannya telah berdiri seorang kakek berusia
sekitar delapan puluh tahun. Ternyata dengan pengerahan tenaga dalam tinggi,
kakek itu menjentikkan kerikil dan
tepat memapak pedang Kenanga.
"Cucuku, kematian bukanlah sebuah penyelesaian," kata kakek itu.
Dihampirinya Kenanga yang telah
bersimbah air mata. Begitu dekat,
dibelainya rambut kepala gadis jelita itu penuh kasih. Wajah tua itu
berkerut ketika melihat tubuh seorang pemuda berjubah putih tergeletak
beberapa tombak di depannya.
"Ohhh, Eyang.... Biarkanlah aku menyusul Kakang Panji. Aku... aku
tidak sanggup untuk menahan
penderitaan ini, Eyang," Kenanga menangis sesenggukan ketika mengenali orang
yang berdiri di depannya itu.
Kakek itu tak lain adalah Raja Obat.
"Hm.... Rupanya aku terlambat..,"
desah Raja Obat penuh sesal.
"Bangkitlah, Cucuku. Mari kita lihat keadaan kekasihmu itu."
Setelah berkata demikian, kakek
itu melangkahkan kakinya menghampiri tubuh Panji yang tergeletak berlumur darah.
Mendengar ucapan Raja Obat,
Kenanga bangkit merintih pilu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, gadis
jelita itu segera berlari meninggalkan tempat itu. Isaknya masih terdengar
mengiringi langkah kakinya.
"Kenanga, tunggu...!" seru Raja Obat mencoba menahan kepergian gadis jelita itu.
Dan orang tua itu hanya bisa
menggelengkan kepalanya melihat gadis itu terus mempercepat larinya
Untuk beberapa saat lamanya, Raja
Obat hanya termangu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Matanya kembali
menatap tubuh yang tergeletak itu.
Setelah agak lama terdiam, kakek
itu pun mengulurkan tangannya
memeriksa keadaan Panji. Senyum lega membayang di wajah tua itu ketika
merasakan denyut jantung yang
terdengar lemah. Jelas kalau pemuda
itu masih mempunyai harapan hidup.
"Hhh.... Syukurlah, dia masih
bisa diselamatkan," ucap Raja Obat lega.
Tak lama kemudian, kakek itu
melangkah meninggalkan tempat itu
dengan membawa tubuh Panji yang
ternyata belum tewas.
Kegelapan mulai merangkak
menyelimuti permukaan bumi. Tampaknya sang malam mulai menampakkan
kekuasaannya. Tak lama kemudian,
rembulan muncul menerangi jagat raya dengan sinarnya yang temaram.
*** Di sebuah kedai makan, tampak
tiga orang tengah berbincang-bincang Mereka duduk dekat pintu masuk.
Sementara ada seseorang yang duduk di pojok. Dia hanya memperhatikan saja.
Sedangkan enam orang lainnya seperti acuh tak acuh.
"Hm.... Semakin hari sepak
terjang Pendekar Naga Putih semakin
merajalela saja. Sudah terlalu banyak perbuatan keji yang dilakukannya. Dan
kalau kita belum juga dapat
melenyapkannya, maka akan binasalah
semua manusia di permukaan bumi ini,"
jelas seorang laki-laki bertubuh
sedang, geram. Sepasang matanya tampak mencorong tajam menandakan kegusaran
hatinya. "Ya! Sayangnya sampai saat ini
belum ada seorang pun yang sanggup
menghentikan keganasannya. Bahkan kini yang menjadi korban bukan lagi orangorang awam, melainkan para tokoh
golongan putih," timpal seorang laki-laki berusia setengah baya. Wajahnya yang
gagah itu tampak tertutup
mendung. Berkali-kali
kepalanya digelengkan disertai helaan napas
berat "Dan tampaknya kita harus
menerima kenyataan pahit ini, Ki. Saat ini para tokoh golongan hitam bersorak
gembira dan berpesta mengelu-elukan
Pendekar Naga Putih. Tampaknya
pendekar muda yang selama ini diagung-agungkan tokoh golongan putih telah
berubah haluan. Entah apa yang telah menyebabkannya?" orang yang lainnya ikut
menimpah dengan suara penuh
penyesalan. "Apakah Ki Barak sudah berhasil menghubungi Ki Ageng Mandalewa?" tanya lelaki
bertubuh sedang, yang pertama kali membuka percakapan. Langsung
ditatapnya laki-laki setengah baya
yang dipanggilnya dengan nama Ki
Barak. Wajahnya yang lelah itu tampak menyiratkan sebuah harapan.
"Hhh.... Sayang sekali aku tidak berhasil,
Aki Bantar. Menurut
keterangan para muridnya, orang tua sakti itu sudah setengah bulan lebih
menyembunylkan diri di tempat
pertapaan. Kita baru dapat
menghubunginya pada lima purnama
mendatang. Hhh..., entah siapa lagi
yang harus kita hubungi untuk meminta bantuan dalam menghadapi keganasan
Pendekar Naga Putih," sahut Ki Barak berdesah kecewa.
"Yahhh.... Belum lagi kita harus menghadapi tokoh golongan hitam yang sepertinya
mulai bangkit dan melakukan kekacauan di mana-mana. Rasanya kali ini para tokoh
golongan putih tengah menghadapi ujian berat," ujar orang lainnya yang bertubuh
gemuk dan berkepala botak.
Tanpa sepengetahuan ketiga orang
yang tengah berbincang itu, seorang
laki-laki bertubuh sedang dan berusia sekitar enam puluh tahun lebih tampak ikut
memasang telinganya. Sesekali
terdengar helaan napasnya yang berat.
Sepertinya dia juga tengah merasakan apa yang dirasakan orang-orang yang
tengah berbicara itu. Kakek itu duduk tenang di pojok kedai sambil mencicipi
hidangan di atas meja.
Saat itu suasana kedai memang
tidak terlalu ramai. Hanya ada enam
orang lagi, selain si kakek dan ketiga orang yang tengah berbincang itu.
Untuk beberapa saat lamanya suasana
menjadi hening ketika ketiga orang
laki-laki yang semula berbincang itu tampak berhenti
dan menikmati makanannya. Kakek yang duduk pada meja yang
terdapat di sudut, tampak bergerak
bangkit dari bangkunya. Kemudian,
kakinya melangkah tertatih-tatih
mendekati meja ketiga orang
yang tengah menikmati hidangannya. Wajahnya yang mulai berkeriput itu tampak pucat,
seolah-olah tengah mengalami
penderitaan yang berkepanjangan.
Setelah terbatuk-batuk kecil, kakek
itu menyapa Ki Barak dan dua orang
kawannya. "Ohhh.... Maaf, Kisanak. Bolehkah aku bergabung dengan kalian" Rasanya tidak
enak sekali kalau harus
menikmati hidangan tanpa seorang pun teman yang dapat diajak bicara," pinta
kakek itu dengan suara lembut dan
sopan. Sepasang matanya yang menghitam pada bagian bawahnya tampak menatap
penuh harap. Ki Barak, Bantar, dan kawannya
yang seorang lagi sama-sama menatap ke arah wajah yang ditumbuhi kumis dan
jenggot memutih itu.
"Oh, mari, mari, Ki. Silakan,"
sahut Ki Barak yang merupakan orang tertua di antara ketiga orang itu.
Kemudian, laki-laki setengah baya
itu segera menarik kursi yang memang tinggal sebuah itu. Memang dalam satu meja,


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdapat empat buah kursi.
"Ah, apakah aku tidak
mengganggu?" tanya kakek itu yang sepertinya masih ragu, sehingga masih saja
berdiri di tempatnya.
Dipandanginya wajah ketiga orang
itu satu persatu, seolah-olah ingin
memastikan kalau ketiga orang itu
benar-benar tidak merasa keberatan
dengan keberadaannya. Setelah melihat ketiganya mengangguk ramah, maka tanpa
rasa ragu lagi segera diambilnya kursi yang telah diperuntukkan baginya.
Ki Barak bergegas menggapai
seorang pelayan dan minta agar hidangan untuk mejanya ditambah. Hal ini dimaksudkan kalau dia sama sekali tidak
merasa keberatan.
"Ah! Aku telah membuat kalian
repot," desah kakek itu yang menjadi risih karena mendapat perlakuan yang
demikian ramah dari lelaki setengah
baya itu. "Janganlah merasa sungkan,
Kisanak. Anggaplah kami ini sebagai
sahabat lama yang baru bertemu
kembali," Ki Bantar menyahut sambil memperdengarkan tawanya yang lunak dan
menunjukkan kegembiraan yang tidak
dibuat-buat 'Terima kasih.... Terima kasih.
Kalian benar-benar orang-orang baik
Ah, beruntung sekali
aku dapat berkenalan dengan kalian," ucap kakek itu lagi sambil melepaskan senyumnya.
Untuk beberapa saat lama-nya wajahwajah yang tertutup mendung tebal itu tampak berseri gembira.
"Boleh kami tahu, siapakah
namamu?" tanya Ki Barak sesudah memperkenalkan namanya dan nama kedua orang
temannya. Meskipun tampaknya penyakitan dan
lemah, namun Ki Barak dapat menduga
kalau kakek itu bukanlah orang
sembarangan. Memang, dari sinar mata yang sayu itu terkadang berkilat tajam dan
mengandung perbawa kuat. Diam-diam Ki Barak memperhatikan wajah kakek itu dengan
seksama kalau-kalau saja
mengenal kakek itu.
"Namaku Ki Tungkil. Kedatanganku ke desa ini semula hendak mengunjungi cucuku.
Aku memang sudah lama tidak pernah mengunjunginya. Tapi sayang
kedatanganku terlambat. Sebab, cucuku itu ternyata telah pindah beberapa
hari yang lalu. Maka aku pun singgah di kedai ini untuk mengisi perutku
yang dari kemarin belum dimasuki apa-apa," jelas kakek yang mengaku bernama Ki
Tungkil itu pelan. Di akhir
ucapannya, Ki Tungkil
tertawa terkekeh. "Ah, sayang sekali! Apakah para tetangganya tidak memberi tahu, ke
mana cucu Ki Tungkil itu pindah?"
tanya Ki Barak sekadar berbasa-basi.
Dan sebagai orang yang berpengalaman, Ki Barak bisa menduga kalau kakek itu
menyembunyikan sesuatu.
"Sayang sekali tidak, Kisanak
Tapi biarlah. Karena, aku yakin ia
akan mengunjungiku setelah
kepindahannya selesai," sahut Ki Tungkil menghela napas sejenak.
Pembicaraan mereka mendadak
terhenti ketika pelayan kedai datang membawa pesanan. Sambil tertawa ramah,
laki-laki setengah baya itu segera
mempersilakan untuk segera menikmati hidangan yang
masih mengepul dan
menebarkan bau harum Itu.
"Ayolah, Selagi masih hangat,"
ajak Ki Barak yang tanpa ragu-ragu
lagi segera menyantap hidangannya.
Suasana pun kembali sunyi. Yang
terdengar hanya kunyahan mulut mereka.
"Maaf," selak Ki Tungkil setelah mereka menyantap hidangan. 'Tadi aku mendengar
kalian membicarakan Pendekar Naga Putih. Sepertinya aku sering
mendengar nama itu disebut-sebut orang di desa tempat tinggalku. Bisakah
Kisanak menerangkan kepadaku, siapa
sebenarnya orang itu" Dan bagaimana
rupanya?" tanya Ki Tungkil sambil menatap Ki Barak lembut.
Mendengar pertanyaan itu, Ki
Barak dan kedua orang temannya saling berpandangan sejenak. Dugaan laki-laki
setengah baya itu semakin kuat kalau kakek itu bukanlah orang biasa,
seperti orang kebanyakan. Dan sudah
bisa diraba sebelumnya, apa maksud
kakek itu bergabung dengan mereka.
Yang jelas pasti bukan hanya untuk
mencari teman untuk berbicara. Dan
tentu saja ada maksud lain yang
disembunyikan. "Maaf. Sebelum aku menjawab
pertanyaan itu, bolehkah aku yang
rendah ini mengetahui nama besarmu, Ki Tungkil?" tanya Ki Barak hati-hati,
karena tidak ingin kalau kakek itu
sampai tersinggung.
"He he he...!" kakek itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Sepertinya Ki Tungkil merasa geli mendengar pertanyaan Ki Barak
yang terdengar aneh di telinganya itu.
Tentu saja Ki Barak dan kedua
orang kawannya saling berpandangan tak mengerti. Mereka merasa heran melihat
kakek itu tertawa mendengar pertanyaan Ki Barak tadi. Karena, mereka sama
sekali tidak menemukan sesuatu yang
lucu dalam pertanyaan itu.
"Mengapa Ki Tungkil tertawa"
Apakah ada sesuatu yang lucu dalam
pertanyaanku tadi?" tanya Ki Barak dengan kening berkerut. Hatinya agak
tersinggung juga melihat Ki Tungkil
tertawa. "He he he.... Maaf kalau suara
tawaku telah membuatmu tersinggung, Kisanak. Tapi aku benar-benar merasa geli
mendengarnya. Sebab, aku hanyalah orang biasa yang tidak mempunyai
kepandaian apa-apa. Jadi, tentu saja aku merasa lucu mendengar pertanyaan itu,"
jawab Ki Tungkil yang masih saja terkekeh sambil menyembunyikan
mulutnya karena terrutup telapak
tangan. "Hm.... Maaf, Ki Tungkil.
Meskipun aku bukanlah seorang pendekar besar, tapi tidak bisa tertipu. Dan aku
bisa melihat bahwa kau pastilah
memiliki ilmu silat. Buktinya tubuhmu terlihat masih segar dan berisi. Dan juga
sinar matamu terkadang
mengeluarkan kilatan tajam. Itulah
yang membuatku yakin kalau Ki Tungkil tentu bukan sekadar memiliki ilmu
silat. Bahkan mungkin juga seorang
pendekar yang berusaha menyembunyikan diri. Apakah kau juga ingin mencari
Pendekar Naga Putih?" tanpa ragu-ragu lagi Ki Barak pun langsung menyudutkan Ki
Tungkil. Ki Tungkil tersentak juga
mendengar uraian Ki Barak yang
memiliki pandangan cukup tajam Itu.
Untuk beberapa saat lamanya, dia hanya terdiam
sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya dan menggaruk rambutnya
meskipun sama sekali tidak gatal.
'Teryata pandanganmu sangat
tajam, Ki Barak.
Tapi, memang. Sebenarnya aku tidak memiliki nama
besar seperti yang kau duga itu. Aku memang pernah mempelajari ilmu silat, namun
hanya untuk menjaga kesehatan
tubuhku saja dan tidak ada maksudmaksud tertentu. Maaf kalau aku
mengecewakanmu, Kisanak," kilah Ki Tungkil dengan wajah penuh sesal.
"Yah. Kalau memang begitu,
sudahlah. Eh, masihkah Ki Tungkil
menginginkan keterangan tentang Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Barak mencoba menghilangkan suasana kaku di antara
mereka. Tawa Ki Barak pun sudah terdengar
kembali meskipun agak sedikit sumbang.
Tapi jelas sekali kalau lelaki
setengah baya itu berusaha
menghilangkan kekakuan yang
menyelimuti mereka.
"Tentu saja, kalau kau tidak
merasa keberatan," sahut Ki Tungkil cepat sambil terkekeh nyaring.
"Sama sekali tidak, Ki. Justru
aku minta maaf kalau keteranganku ini hanya serba sedikit. Kuakui, aku pun belum
pernah berjumpa dengan pendekar muda yang kini tengah ramai
dibicarakan orang rimba persilatan,"
ujar Ki Barak sebelum memulai
ceritanya. "Hm. Mengapa begitu" Apa yang
telah. dilakukannya?" tanya Ki Tungkil seraya mengerutkan keningnya.
Sepertinya kabar yang menggemparkan
itu memang belum pemah didengarnya.
"Yah, karena pendekar muda yang selama ini dipuja tokoh golongan putih itu,
telah berubah menjadi seorang
penjahat yang sangat kejam! Kejahatan yang dilakukannya benar-benar telah
melewati takaran! Makanya, ia kini
dikenal sebagai seorang perampok,
pembunuh, dan sekaligus pemerkosa.
Kebanyakan dari gadis yang dinodainya karena terpikat oleh ketampanan
Pendekar Naga Putih! Dan ia tidak
segan-segan membunuh gadis itu setelah terlebih dahulu dinodainya. Memang ada
beberapa di antaranya yang dilepaskan begitu saja. Tapi, apa bedanya hidup dan
mati bagi seorang gadis yang telah kehilangan kehormatannya?" Ki Barak
menghentikan ceritanya sejenak.
Diteguknya sisa air di gelasnya yang terbuat dari potongan bambu itu.
*** 8 Sesosok tubuh ramping melangkah
tersuruk-suruk menyusuri jalan
berbatu. Sesekali terdengar keluhan
lirih disertai isak tangisnya yang
memilukan. Wajah yang
sebenarnya cantik jelita itu nampak kotor tak
terurus. Sebentar-sebentar air matanya disusut dengan punggung tangan.
Sepertinya dia tengah mengalami suatu penderitaan yang sangat berat, hingga
tidak lagi mempedulikan keadaan
dirinya. Siapa lagi gadis cantik yang
mengenakan pakaian serba hijau itu
kalau bukan Kenanga. Pedang Sinar
Rembulan masih tergenggam di
tangannya. Pada ujung mata pedang itu masih terdapat darah yang telah
mengering. Dan gadis itu sama sekali tidak berusaha membersihkan ujung
pedangnya yang ternoda itu. Tampaknya hatinya merasa terpukul setelah membunuh
Panji. Bahkan ia memutuskan
untuk menghabisi nyawanya sendiri pada waktu itu. Untunglah Raja Obat keburu
datang mencegahnya. Kalau tidak,
mungkin saat itu ia sudah menyusul
kekasihnya. "Oh, Kakang...," keluh gadis jelita itu dengan hati hancur.
Kembali butiran air bening
mengalir turun membasahi wajahnya yang tampak pucat dan agak kurus itu.
Tubuhnya melangkah limbung begitu
teringat akan Panji yang telah
dibunuhnya. Meskipun Kenanga berusaha mengeraskan hatinya, namun tetap saja
tidak mampu menghibur hatinya yang
terguncang. Gadis jelita itu terus berjalan
mengikuti langkah kakinya. Sepertinya dia sudah tidak mempunyai tujuan lagi, dan
hanya membiarkan langkah kaki yang akan membawa tubuhnya.
"Oh..."!"
Kenanga menahan jeritan dengan
menutupkan telapak tangan ke mulutnya.
Tubuhnya bergetar hebat ketika melihat sosok tubuh terpampang di depannya.
Sepasang matanya yang semula sayu tak bergairah, tiba-tiba terbelalak bagai
orang melihat hantu di siang bolong!
"Oh, tidaaak..!"
Gadis jelita itu mengerjapngerjapkan matanya, seolah-olah ingin mengusir bayangan yang dianggapnya
semu itu. Kepalanya menggeleng-geleng diiringi keluhan menyayat. Tubuhnya
bergerak mundur terhuyung-huyung.
Sepertinya, penderitaan tak kunjung lenyap dari kehidupannya.
"Kenanga...."
Sosok tubuh berjubah putih yang
membuat gadis itu terbelalak menyapa dengan suara lembut dan bergetar.
Rupanya dialah yang telah kembali
mengguncangkan hati Kenanga.
Akibatnya, wajahnya sampai berkerut-kerut menahankan perasaan hati yang
teraduk-aduk. "Tidak mungkin...! Kau..., kau
sudah mati..!" Akhimya suara itu meluncur juga dari bibir mungil yang pucat itu.
Jari-jari gadis itu gemetar ketika mengarahkan telunjuknya ke
wajah sosok berjubah putih yang tak
lain adalah Panji.
"Mengapa, Kenanga...?" tanya pemuda tampan berjubah putih itu agak heran melihat
sikap Kenanga. "Mengapa kau bilang aku sudah mati?"
"Bukankah kau.... Kau telah
kubunuh di dalam hutan beberapa hari yang lalu" Jadi... jadi tidak mungkin kalau
hidup lagi. Tidak mungkin!"
Kenanga berteriak keras sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya karena tidak mempercayai apa yang dilihatnya itu.
Pendekar Naga Putih tampak
tertegun sesaat ketika mendengar
ucapan gadis jelita itu Tapi sesaat
kemudian, senyumnya pun kembali
menghiasi wajahnya yang tampan itu.
"Hm.... Jadi kau telah berhasil membunuh manusia keparat yang telah


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencemari namaku, Kenanga" Bagaimana kau bisa menemukan manusia iblis itu"
Apakah ia benar-benar sudah tewas"''
pertanyaan itu meluncur begitu saja
dari mulut Pendekar Naga i Putih.
Wajah tampan itu mendadak berseri
gembira. Langsung kakinya melangkah
menghampiri gadis jelita itu
"Membunuhnya..." Apa... apa
maksudmu, Kakang?" tanya Kenanga yang menjadi terkejut ketika
mendengar kata-kata pemuda tampan berjubah putih itu.
"Ya. Orang yang telah kau bunuh itu adalah Pendekar Naga Putih palsu yang telah
melakukan perbuatan-perbuatan keji. Selamat, Kenanga,
"sahut Panji semakin mendekati Kenanga sambil mengulurkan tangannya.
'Pendekar Naga Putih palsu"
Benarkah itu" Tapi, mengapa demikian mirip" Tidak! Tidak mungkin!" desah Kenanga
seperti berkata kepada dirinya sendiri.
Sejenak kemudian, Kenanga
memijat-mijat kepalanya yang terasa
berdenyut-denyut.
Rasanya pusing sekali memikirkan hal yang sepertinya tidak masuk akal itu. Apalagi saat ini
kondisinya memang sangat lemah dan
tidak memungkinkan untuk berpikir
keras. "Mengapa tidak mungkin, Kenanga.
Aku sudah pemah berjumpa sekali
dengannya. Tapi sayang, ia berhasil
meloloskan diri. Selain ilmu silatnya tinggi, ternyata manusia keparat itu pun
memiliki ilmu sihir yang hebat!
Dan dengan mengandalkan kehebatan ilmu sihirnya, tokoh-tokoh persilatan
berhasil dikelabuinya. Dan kini,
akulah yang terkena getahnya. Kau
mengerti, Kenanga?" jelas Panji secara panjang lebar kepada Kenanga.
Sementara langkahnya semakin mendekati Kenanga.
"Jadi... jadi..., ohhh!" Kenanga tak mampu menruskan kata-katanya.
Rupanya karena kelelahan yang
amat sangat, gadis itu jadi tidak kuat hatinya menghadapi pertemuan yang
mengejutkan. Tubuh Kenanga yang kini tampak kurus itu melorot jatuh di atas
tanah berbatu. Pingsan!
*** "Kenanga...!"
Panji segera melompat hendak
menangkap tubuh gadis itu agar tidak terjatuh di atas tanah berbatu. Belum lagi
tubuh Pendekar Naga Putih sampai ke tempat Kenanga, tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat cepat.
Maka Pendekar Naga Putih cepat-cepat
menarik pulang tangannya.
"Jangan sentuh gadis itu...!"
bentak bayangan itu, langsung
mendorongkan telapak tangannya ke dada Pendekar Naga Putih.
Bergegas Pendekar Naga Putih
melempar tubuhnya ke belakang dan
berjumpalitan beberapa kali di udara.
Maka telapak tangan bayangan itu hanya lewat di depannya, sehingga
menimbulkan angin mencicit tajam.
"Siapa kau! Mengapa mencampuri.
urusanku!" bentak Pendekar Naga Putih geram. Seluruh wajahnya tampak memerah
karena menahan kemarahan yang meluap.
"Hm! Apakah kau sudah pikun,
Pendekar Naga Putih" Bukankah kita
pemah bertemu beberapa waktu yang
lalu" Dan aku juga telah berjanji akan mengejarmu walau sampai ke ujung
langit sekalipun!" tegas si kakek yang mengenakan pakaian serba putih itu
seraya tersenyum lembut. Ia tak lain adalah Eyang Sancaka, Ketua Perguruan
Garuda Putih. Dan memang pemah
bertempur dengan Panji. Waktu itu,
Eyang Sancaka ditemani dua orang
muridnya yang juga ikut mengeroyok
Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Jangan berpura-pura
bodoh, Pendekar Murtad!" bentak salah seorang dari murid Perguruan Garuda
Putih yang juga telah berada di tempat itu.
"Dan hari ini kau tidak mungkin akan lolos lagi, Manusia Bejat!"
timpal salah seorang murid utama kakek berpakaian putih yang bernama Banawa.
"He he he...! Jangan takut,
Pendekar Naga Putih. Kami datang
membantu!" terdengar tawa terkekeh sember yang cukup mengejutkan. Belum lagi
gema suara itu lenyap, tahu-tahu sesosok tubuh jangkung telah berdiri di tempat
itu. Ternyata dia adalah
Setan Langit "Ha ha ha...! Aku pun ikut,
Kakang...!" kembali terdengar suara tawa yang menyakitkan anak telinga.
Suara tawa itu tadi dibarengi pula
dengan menggelindingnya sebuah benda bulat yang mirip bola. Dia lebih
dikenal dengan julukan Setan Bumi.
Tujuh orang tokoh Perguruan
Garuda Putih yang berdiri dekat dengan benda yang menggelinding itu cepat
berloncatan menghindar. Wajah mereka nampak terkejut melihatnya. Belum lagi rasa
kaget mereka hilang, tiba-tiba benda itu melambung setinggi satu
tombak "Ha ha ha...!"
Kembali tokoh Perguruan Garuda
Putih itu berlompatan sambil mencabut senjata masing-masing. Rasanya jantung
mereka hampir copot ketika tahu-tahu saja sesosok tubuh gemuk pendek
mengejutkan mereka dengan suara
melengking "Kaget, ya?" ledek sosok tubuh yang berwajah bulat seperti wajah
kanak-kanak itu.
"Setan Langit dan Setan Bumi...!"
seru Eyang Sancaka yang mengenakan
pakaian serba putih, terkejut.
Dari nada suara laki-laki tua itu
jelas sekali kalau dia merasa khawatir dengan kehadiran kedua orang aneh yang
sake itu. "Hm.... Pantas saja kau begitu
tega menyebar maut, Pendekar Naga
Putih" Kiranya kau berteman dengan dua setan tak tahu adat itu!" kata Eyang
Sancaka lagi. Nada suaranya terdengar sinis.
"He he he.... Bagus kau masih
mengenaliku, Sancaka. Tanganku jadi
semakin gatal saja melihat
keberadaanmu di tempat ini!" kata Setan Langit yang bertubuh tinggi
kurus. Bahkan Eyang Sancaka sampai
mendongakkan kepalanya ketika
memandang wajah Setan Langit yang satu setengah kali lebih tinggi darinya
itu. Wajah Eyang Sancaka tampak cemas
dengan adanya kedua orang itu. Karena, ia tahu betul akan kehebatan kedua
orang manusia telengas itu. Dan di
antara para tokoh yang terdapat di
situ, hanya dialah yang mampu
mengimbangi kesaktian kedua orang itu.
Tentu saja hal ini membuatnya
khawatir! "He he he.... Pendekar Naga Putih palsu, si manusia bejat! Hari ini
Malaikat Maut akan menjemputmu!"
Tiba-tiba terdengar suara
menggema yang memenuhi sekitar tempat itu. Dan sebelum suara itu lenyap,
terlihat seorang kakek kakek bertubuh sedang, berlari menuju ke tempat para
tokoh rimba persilatan itu. Di
belakangnya tampak Ki Barak dan dua
orang kawannya. Siapa lagi kakek itu kalau bukan Ki Tungkil.
"Pendekar Naga Putih palsu...?"
Suara merdu yang parau itu keluar
dari mulut Kenanga yang rupanya sudah mulai tersadar dari pingsannya. Dan
gadis jelita itu kembali mengernyitkan kening, karena nama Pendekar Naga
Putih palsu kembali terdengar disebut-sebut untuk yang kedua kalinya.
"Apa maksudmu dengan ucapan itu, Kakek Tua?" tanya salah seorang murid Perguruan
Garuda Putih yang menjadi
terkejut mendengarnya.
"Hm.... Dapatkah kau
membuktikannya, Kisanak?" tanya Ketua Perguruan Garuda Putih yang juga tidak
kalah heran. "Hm..., Nisanak Tahukah kau,
senjata apa yang dimiliki Pendekar
Naga Putih yang asli" Dan apakah
senjata itu ada pada orang yang
mengaku sebagai Pendekar Naga Putih?"
tanya Ki Tungkil kepada Kenanga sambil menunjuk ke arah pemuda tampan berjubah
putih itu. "Oh! Mengapa aku baru teringat
sekarang!" keluh Kenanga pelan. "Ya, aku ingat sekarang! Kakang Panji,
tunjukkan senjatamu kepadaku?"
Pemuda tampan berjubah putih itu
menjadi terkejut. Jelas sekali kalau ia agak bingung mendengar permintaan gadis
itu. Dengan gerakan ragu-ragu, akhimya pemuda itu pun mengeluarkan
pedangnya yang tergantung di pinggang.
"Hm.... Inilah senjataku,
Kenanga!" sahut Pendekar Naga Putih sambil berusaha menenangkan
perasaannya yang berdebar tegang.
"Kau... kau bukan Kakang Panji!
Ohhh...!" Gadis jelita itu menjerit tatkala
mengingat perbuatannya yang telah
membunuh Pendekar Naga Putih asli di sebuah hutan pada beberapa hari yang lalu.
"He he he.... Kau salah, Manusia Keji. Inilah senjata Pendekar Naga
Putih kalau kau ingin tahu!" seru Ki Tungkil.
Laki-laki tua itu kemudian
mengeluarkan sebatang pedang yang
tergantung di punggungnya. Selama ini, rupanya kakek itu menyembunyikannya di
balik jubah, sehingga tidak begitu
terlihat orang lain.
"Pedang Naga Langit...!"
Seruan kaget dan kagum itu keluar
dari mulut tokoh-tokoh tua seperti
Eyang Sancaka, Setan Langit, dan Setan Bumi. Karena hanya merekalah yang
pernah mendengar riwayat dan
keberadaan pedang mukjizat itu.
"Aku menemukan senjata ini di
sebuah hutan lebat di samping mayat
pendekar muda itu," lanjut kakek itu menerangkan.
*** 9 "Ohhh...!"
Kenanga kembali mengeluh ketika
mendengar ucapan terakhir kakek itu.
Gadis itu benar-benar merasa berdosa kepada kekasihnya.
"Keparat kau, Manusia Keji!
Terimalah balasanku!" bentak gadis
jelita itu yang segera memutar
pedangnya kuat-kuat
"Nisanak, tahan! Biar aku yang
menghadapinya!" cegah Ki Tungkil yang segera melompat ke arah pemuda
berjubah putih itu. Sepasang mata
kakek itu mencorong tajam
menggiriskan. "Ha ha ha.... Jangan kalian kira akan begitu mudah menangkapku! Nah!
Kalian bisa lihat baik-baik! Seekor
naga berkepala tiga akan segera
menelan kalian semua hidup-hidup!"
ancam pemuda berjubah putih itu.
Suaranya terdengar demikian keras dan menggetarkan hati para tokoh
persilatan yang berada di tempat itu.
"Ahk...!"
Ki Tungkil, Kenanga, Eyang
Sancaka dan para tokoh persilatan
lainnya berteriak kaget dengan mata
membelalak: Tanpa sadar kaki mereka
bergerak mundur ketika menyaksikan
pemandangan yang tak masuk akal.
"Ilmu iblis...!"
"Ilmu sihir...!"
Terdengar teriakan-teriakan parau
dan bergetar. Dan memang, apa yang
diucapkan pemuda tampan itu benarbenar menjadi kenyataan! Segumpal asap hitam bergulung-gulung keluar dari
tangan pemuda itu, kemudian membentuk seekor naga berkepala tiga!
"Graaaurrr...!"
Naga berkepala tiga itu meraung
keras sambil bergerak siap menelan
tubuh mereka hidup-hidup!
"Huh! Jangan kira aku takut
dengan pertunjukan murahan itu, Pemuda Biadab! Lihatlah!"
Setelah berkata demikian, Ki
Tungkil segera mencabut keluar pedang dari sarungnya.
Sringngng! Sinar kuning keemasan berpendar
dari badan Pedang Naga Langit yang
telah keluar dari sarungnya.
"Heaaat..!"
Ki Tungkil segera melompat sambil
menyabetkan pedangnya ke arah naga
berkepala tiga. Sinar keemasan itu
terlihat semakin melebar ketika pedang itu digerakkan.
Wusss...! Blarrr! Terdengar ledakan keras yang
mengguncangkan tanah di sekitar tempat itu! Naga berkepalatiga ciptaan
Pendekar Naga Putih palsu itu langsung lenyap begitu sinar kuning keemasan yang
memancar dari Pedang Naga Langit membabat kepalanya.
"Aaahk...!"
Bersamaan dengan ledakan dan
lenyapnya wujud naga itu, terdengar
jerit kesakitan yang keluar dari mulut Pendekar Naga Putih palsu. Tubuhnya
terjajar mundur ke belakang. Memang, dengan lenyapnya ilmu sihir ciptaannya itu,
maka tenaga sihimya


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan sendirinya membalik dan memukul
tubuhnya. "Bangsat kau, Kakek Tua! Siapa
kau sebenarnya"!" bentak Pendekar Naga Putih palsu sambil bergerak bangkit
karena tadi dia sempat terjatuh. Di
sudut bibimya tampak cairan merah
menetes. Sepertinya pemuda itu
mengalami luka dalam akibat ilmu
sihimya telah dipatahkan kakek itu.
"He he he.... Ilmu sihirmu memang dapat kau pergunakan untuk mengelabui orang
lain. Tapi tidak berlaku
untukku. Dan aku pun akan
mengembalikan ke ujud asalmu yang kini masih menyamar sebagai Pendekar Naga
Putih!" ancam Ki Tungkil yang sudah bersiap melancarkan serangan berikut.
"Bedebah! Kubunuh kau, Kakek
Peot!" teriak pemuda tampan itu Setelah berteriak keras, tubuh
pemuda itu pun melompat disertai
sabetan pedangnya. Rupanya ia sudah
tidak berniat lagi menggunakan ilmu
sihimya, karena hal itu akan percuma saja. Sebab, kakek itu pasti akan
memunahkannya dengan menggunakan
pedang mukjizat yang tergenggam di
tangannya itu. Satu-satunya jalan
ialah pedang itu hams dapat direbut
dari tangan si kakek.
"Haaat...!"
Ki Tungkil berseru nyaring.
Tubuhnya melesat menyambut serangan
pemuda itu. Sesaat kemudian, keduanya sudah bertarung sengit. Dua gulungan sinar
putih dan kuning saling libat
dan saling mengalahkan! Sedangkan
tubuh kedua orang yang tengah
bertarung itu sudah tidak tampak lagi.
Yang terlihat kini hanya bayangan
samar berkelebatan saling desak!
Jurus demi jurus terus berlalu.
Kedua orang itu berusaha keras untuk segera menjatuhkan satu sama lain
secepatnya. Ilmu-ilmu andalan masing-masing telah keluar untuk mencapai
kemenangan. Namun sampai sedemikian
jauh, keduanya tampak masih tetap
seimbang. *** Sementara itu, pertarungan yang
lain pun sudah pula berlangsung. Eyang Sancaka berhadapan dengan Setan
Langit. Nampaknya kakek itu menemukan lawan yang seimbang. Buktinya,
keduanya terlihat sama-sama gesit. Dan pukulan-pukulan mereka juga sama-sama
menimbulkan deruan angin tajam. Dan
memang pertarungan dua orang tokoh
yang berbeda golongan itu tidak kalah serunya dibanding pertarungan Ki
Tungkil dengan Pendekar Naga Putih
palsu. Sedangkan Setan Bumi dikeroyok
Kenanga, Ki Barak, Banawa dan Panjala, sehingga menjadi kewalahan juga.
Apalagi keempat orang pengeroyok itu bukanlah tokoh sembarangan. Terutama gadis
jelita berpakaian serba hijau
itu. Serangan-serangannya demikian
ganas dan menggiriskan. Mau tak mau
Setan Bumi terpaksa harus memusatkan perhatiannya kepada gadis itu.
Di tempat lain, pertarungan yang
berlangsung antara Ki Tungkil dan
Pendekar Naga Putih palsu terlihat
semakin seru dan menegangkan. Rupanya ilmu pedang yang dimiliki kakek itu
memang benar-benar hebat.
Sehingga semakin lama sinar putih itu pun
semakin mengecil lingkarannya.
"Heaaat..!"
Diiringi sebuah teriakan nyaring,
Ki Tungkil menyabetkan pedangnya
secara mendatar, mengarah ke pinggang lawan. Sinar
kuning keemasan
berkeredep disertai sambaran angin
yang menggemuruh.
Wuttt! Trangngng! "Uhhh...!"
Pemuda ahli sihir itu bergegas
menggerakkan pedangnya menangkis
serangan. Maka seketika terdengar
benturan yang memekakkan telinga.
Tubuh Pendekar Naga Putih palsu
terjajar mundur diiringi
keluhan kesakitan.
Pemuda tampan berjubah putih itu
berdiri limbung sambil menyeringai
menahan sakit pada lengannya yang
digunakan untuk menangkis tadi. Jelas sekali hatinya merasa terkejut ketika
mendapat kenyataan kalau tenaga dalam kakek itu ternyata masih berada di
atasnya. "Yeaaat..!"
Ketika melihat lawannya termangu
dengan seringai kesakitan, Ki Tungkil tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Bergegas dia melompat dengan kecepatan kilat Sepertinya kakek itu sudah tidak
sabar untuk segera menghabisi riwayat pemuda itu.
Wukkk! Wukkk..!
Pendekar Naga Putih palsu buruburu melempar tubuhnya ke belakang
beberapa tombak, maka dua buah
serangan kakek itu mengenai angin
kosong. Begitu kakinya menjejak bumi, tubuh pemuda itu melambung ke arah Ki
Tungkil disertai bacokan dari atas ke bawah.
Kakek tua yang kelihatan
penyakitan itu ternyata memiliki
kegesitan hebat! Begitu serangan lawan tiba, segera kaki kanannya digeser ke
depan dengan kuda-kuda rendah. Sesaat setelah serangan lawan lolos, Ki
Tungkil menusukkan pedangnya ke
lambung lawan yang terbuka. Namun
Pendekar Naga Putih palsu cepat
memiringkan tubuhnya sambil
melontarkan sebuah tendangan ke
kepala. Bret! Desss! "Aaah...!"
"Uuuh...!"
Keduanya terjajar mundur disertai
jeritan masing masing. Pakaian yang
dikenakan pemuda itu robek. Ternyata mata pedang kakek itu sempat melukai kulit
perutnya. Untung tubuhnya sempat dimiringkan. Kalau tidak, mungkin
lambungnya bolong akibat tusukan
pedang kakek Hu.
Sedangkan kakek itu pun terlihat
meringis sambil mengusap bahunya yang terkena tendangan lawan. Ki Tungkil
rupanya salah tafsir. Semula disangka tendangan itu mengarah perutnya. Maka ia
pun mengegos sambil menarik kaki
kanan sehingga kuda-kudanya agak naik.
Dan ketika tendangan itu terus
melayang ke atas, terpaksa bahunya
dibiarkan jadi sasaran lawan. Dan
tentu saja bahunya telah terlindungr oleh tenaga dalam.
"Keparat! Kau harus membayar
mahal akibat perbuatanmu ini, Kakek
Peot!" teriak pemuda itu marah.
Setelah berkata
demikian, pedangnya segera dilintangkan, siap
melancarkan serangan!
"He he he.... Lihatlah, Kawankawan! Apakah manusia biadab ini
benar-benar Pendekar Naga Putih?" Ki Tungkil bertanya kepada para tokoh
persilatan yang tengah menyaksikan
pertarungan itu.
"Hei! Dia ternyata Pendekar Naga Putih palsu!" seru salah seorang tokoh.
Tentu saja semua orang yang ada
di situ menjadi terkejut melihat wajah pemuda itu telah berubah. Hal itu
disebabkan, tubuhnya telah tersentuh Pedang Naga Langit yang memang dapat
melenyapkan pengaruh ilmu sihir.
"Ya! Dia bukan Pendekar Naga
Putih!" seru yang lainnya, heran.
Sedangkan pemuda berjubah putih
itu nampak kebingungan, karena ia
sendiri tidak dapat melihat bagaimana rupa wajahnya sekarang. Padahal wajahnya
kini memang benar-benar telah
berubah menjadi dirinya sendiri.
Ki Tungkil menatap tajam wajah
pemuda yang juga tampan dan bersih
itu. Sebaris kumis tipis tampak
menghias wajahnya. Dan di kedua sisi wajahnya tampak tumbuh bulu-bulu halus yang
menyerupai cambang Rupanya
seperti itulah wajah asli pemuda
tukang sihir itu sebenarnya.
"Kini terimalah kematianmu,
Keparat'" Sambil berkata demikian, tubuh
kakek itu meluncur disertai sambaran pedang yang mengaung memekakkan
telinga. Pemuda tukang sihir yang semula
menyamar sebagai Pendekar Naga Putih itu terperanjat ketika melihat sinar kuning
berpendar menyilaukan mata.
Tanpa sadar telapak tangannya bergerak melindungi matanya dari sinar kuning
menyilaukan yang berben-tuk bulat itu.
Maka.... Wukkk! Crasss! "Aaargh...!"
Pemuda itu menjerit setinggi
langit ketika ujung pedang di tangan lawannya telah membeset perutnya.
Darah segar langsung menyemprot dari goresan luka yang dalam dan memanjang itu.
Tubuh pemuda itu terhuyung mundur disertai darah yang berceceran.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya
ambruk ke tanah dan tak mampu bangkit lagi.
"Ough.... Bunuhlah aku, Kakek
Peot!" ratap pemuda yang rupanya belum tewas itu. Tubuhnya bergetar dan
berkelojotan menahan rasa sakit yang diderita.
"Hm.... Aku tidak akan
membunuhmu, Iblis Keji! Karena tanpa kubunuh pun kau akan mati! Sekarang
jawab pertanyaanku! Siapa kau
sebenarnya" Dan apa tujuanmu
mencemarkan nama Pendekar Naga Putih?"
ujar kakek itu sambil menghembuskan
napasnya kuat kuat la hanya berdiri
menatap wajah pemuda yang tak berdaya itu.
"Baiklah. Aku akan menjelaskannya agar kau tidak menjadi penasaran,
Kakek Peot," sahut pemuda itu
terengah-engah. "Ketahuilah. Aku berjuluk Raja Sihir dari Barat Dan
cita-citaku adalah menguasal dunia
persilatan. Namun rupanya Pendekar
Naga Pullh adalah satu-satunya
penghalang berat yang harus segera
kusingkirkaa Karena tidak mungkin
dapat mengalahkannya,
maka aku menyamar sebagai dirinya
untuk melakukan kejahatan. Nah! Dengan
demikian, aku dapat menghancurkan
Pendekar Naga Putih dan juga tokohtokoh golongan putih lainnya. Apakah kau puas, Kakek Peot?" tanya pemuda yang
ternyata berjuluk Raja Sihir dari Barat itu dengan napas yang semakin
memburu. Ki Tungkil sama sekali tidak
menjawab. Tanpa mempedulikan lawannya yang sudah tak berdaya itu, kakinya
melangkah meninggalkan tubuh lawan
yang tak mampu bangkit lagi.
Sedangkan di arena lain, tampak
pertarungan yang berlangsung antara
Eyang Sancaka dan Setan Langit sudah mencapai puncaknya! Tubuh keduanya
saat itu tengah melambung ke udara
sambil mendorongkan telapak tangan
masing-masing. Blarrr! "Aaahk...!"
Udara di sekitar arena
pertarungan bergetar ketika dua
gelombang tenaga sakti yang sama kuat saling berbenturan di udara. Tubuh
keduanya terlempar balik diiringi
jerit kesakitan.
"Kkk.. kau... hebattth
Sancaka...!" puji Setan Langit yang berdiri limbung.
Rupanya tokoh sesat itu tidak
sampai terbanting jatuh di tanah,
ketika kedua kakinya mendarat di
tanah. Darah segar tampak mengalir
dari mulutnya. "Hkkk..., kau pun hebat, Setan
Langit...!" Eyang Sancaka pun memuji kehebatan lawannya.
Kakek itu berdiri tegak sambil
menekap dadanya Sedangkan dari
mulutnya, juga mengalir tetesan darah segar. Seperti halnya Setan Langit,
kakek itu. Juga melayang turun dengan kedua kaki lebih dulu.
Sementara itu Setan Bumi yang
sekujur tubuhnya telah dipenuhi
goresan-goresan luka, bergegas melesat meninggalkan lawan-lawannya begitu
melihat saudaranya terluka.
"Kakang.... Kau tidak apaapa...?" tanya Setan Bumi sambil memapah tubuh Setan Langit yang masih limbung
itu. Kenanga dan tiga orang lainnya
bergegas memburu


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setan Bumi yang
tengah memapah saudaranya itu. Rupanya mereka masih penasaran karena belum
dapat membunuh lawan.
"Biarkan mereka...!" tiba-tiba Ki Tungkil berseru menahan gerakan
keempat orang itu.
"Mengapa mereka dilepaskan, Ki?"
tanya Ki Barak heran melihat sikap Ki Tungkil yang melepaskan kedua tokoh
sesat itu begitu saja.
"Biarkanlah.
Mudah-mudahan saja
dengan begitu mereka akan menyadari
kesalahannya. Karena orang yang
menjadi biang keladi dari semua ini
adalah pemuda itu," sahut Ki Tungkil sambil menunjuk
sosok tubuh yang
tengah tak berdaya.
Para tokoh persilatan itu
bergerak menghampiri sosok tubuh yang berlumuran darah. Banawa dan Panjala
berpaling sejenak ke arah gurunya yang saat itu tengah bersemadi.
"Keparat kau, Manusia Iblis! Kau telah menghancurkan hidupku!" sambil terisak,
Kenanga mengayunkan
senjatanya ke leher pemuda yang telah menyebabkan kesengsaraan pada dirinya itu.
"Kenanga, tahan...!" cegah Ki Tungkil ketika melihat apa yang
dilakukan gadis itu. Namun, terlambat!
Ternyata pedang gadis itu telah
menebas putus leher pemuda yang tengah meregang nyawa.
Kenanga memalingkan wajahnya ke
arah Ki Tungkil. Ternyata pada saat
berteriak tadi, suara kakek itu
terdengar lain dari biasanya. Dan
suara itu sangat dikenalnya.
Sedangkan Ki Tungkil yang tanpa
sadar telah mengeluarkan suara
aslinya, hanya tersenyum melihat gadis jelita itu menatapnya lekat lekat.
"Kau.... Siapa kau sebenarnya,
Ki?" tanya gadis jelita itu dengan suara bergetar karena ketegangan yang amat
sangat. "Eh! Apakah kau suka kepadaku,
Nisanak" Mengapa kau memandangiku
seperti itu?" ledek Ki Tungkil yang tidak lagi menyembunyikan suaranya.
"Kau... kau...!"
"Ah, sudahlah. Lebih baik aku
pergi sekarang!" desah Ki Tungkil lagi sambil berpamitan kepada para tokoh
persilatan yang berada di tempat itu.
"Mari, Kenanga...."
"Kakang..., kaukah itu?" desah Kenanga dengan wajah yang mulai basah oleh air
mata. Ki Tungkil sama sekali tidak
mempedulikan gadis itu, dan terus saja melangkah meninggalkan tempat itu.
Langkahnya kini nampak berbeda dengan yang sebelumnya. Beberapa tombak
kemudian, kakek itu menghentikan
langkahnya dan melambaikan tangan
kepada Kenanga.
Gadis jelita itu semakin tertegun
melihat cara berjalan kakek itu.
Wajahnya semakin pucat karena
ketegangan. Air mata semakin banyak
menuruni pipinya yang halus itu.
"Kakaaang...!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga
segera berlari memburu Ki Tungkil yang saat itu masih berdiri sambil
melambaikan tangan. Kedua tangan kakek itu mengembang ketika Kenanga berlari
menghampirinya.
Begitu tiba, Kenanga langsung
memeluk tubuh kakek itu erat-erat.
Nalurinya begitu yakin kalau kakek itu adalah Panji atau Pendekar Naga Putih
yang semula dikira telah tewas di
tangannya. Kakek itu memeluk tubuh Kenanga
dengan penuh kasih. Dibelainya rambut kepala gadis itu lembut, membuat
Kenanga semakin sesenggukan tangisnya.
"Ah! Tidak malukah kau berpelukan dengan seorang kakek-kakek semesra
ini, Bidadariku?" goda kakek itu sambil tersenyum.
"Kakang. Mengapa kau masih ingin menyiksa perasaanku" Tidak tahukah kau akan
penderitaan yang kualami?" isak Kenanga sambil mengangkat kepalanya
menatap wajah Ki Tungkil. Tiba-tiba tangan kanannya terulur mencabut kumis dan
jenggot putih yang ternyata palsu.
"Ah, Kenanga. Apakah kau kira aku bahagia selama ini?" tanya kakek itu yang
ternyata adalah Pendekar Naga
Putih asli. Pemuda itu sama sekali tidak
berusaha mengelak ketika Kenanga
mencabut kumis dan jenggot palsunya.
Malah dibantunya dengan menggosok
kedua telapak tangan ke wajahnya.
Sehingga, keriput yang menghiasi
wajahnya pun lenyap. Dan Ki Tungkil
kini telah berubah menjadi Pendekar
Naga Putih. Tanpa malu-malu lagi, Kenanga
segera menciumi wajah kekasihnya penuh kerinduan. Beberapa saat kemudian,
Panji menjauhkan wajahnya dari wajah gadis itu. Lalu, dihapusnya air mata yang
masih membasahi wajah kekasihnya.
"Hm.... Kau nampak kurus,
Kenanga" Kau menyiksa dirimu sendiri,"
gumam Panji ketika menyadari kalau
wajah gadis jelita itu agak kurus.
"Ampuni dosaku, Kakang.... Aku
mengaku salah," ucap gadis itu setelah mereka sama-sama melepaskan
rangkulannya. "Sudahlah. Jadikanlah semua itu pelajaran. Aku yakin setelah kejadian ini,
pikiranmu akan lebih dewasa. Dan kau tidak akan memutuskan segala
persoalan tanpa penyelidikan lebih
dahulu. Janji?"
"Aku berjanji, Kakang. Dan aku
pun menyadari kekeliruanku setelah aku merasa kau telah tiada. Tapi,
bagaimana kau bisa selamat dan
menyamar sebagai kakek-kakek jelek
itu?" tanya Kenanga. Gadis ini sengaja mengatakan kakek-kakek jelek untuk
menggoda Panji.
"Biar jelek tapi kau suka kan?"
"Ih, tidak sudil" sahut Kenanga mencibir.
"Buktinya kau tidak malu memeluk kakek-kakek jelek tadi. Apakah itu
bukan pertanda suka?" goda Panji lagi.
"Ah, sudahlah. Aku pergj saja
kalau Kakang tidak sudi menjawab
pertanyaanku tadi!" desah Kenanga, merajuk.
"Ayolah. Nanti aku ceritakan
sambil jalan," sahut Panji.
Lalu Pendekar Naga Putih
melangkah sambil memeluk tubuh
kekasihnya. Kenanga pun melingkarkan lengannya di pinggang pemuda
pujaannya. Sambi melangkah meninggalkan
tempat itu, Panji segera menceritakan semuanya. Waktu itu dirinya telah
diselamatkan Raja Obat, dan diberikan nasihat agar batinnya tidak terpukul atas
kejadian itu. Sedangkan Kenanga mendengarkan penuturan kekasihnya itu penuh
perhatian. "Jadi yang mendandani Kakang
menyamar sebagai kakek-kakek itu Raja Obat?" tanya Kenanga begitu Panji telah
menyelesaikan ceritanya.
"Benar. Sungguh besar sekali budi Raja Obat kepadaku. Dia ternyata
mempercayaiku. Sebab menurutnya, tidak mungkin kalau aku melakukan perbuatan
keji itu. Dan sebelum pergi, dia
berpesan agar aku menggunakan Pedang Naga Langit untuk menghadapi ilmu
sihir. Karena salah satu keistimewaan pedang itu adalah sebagai penangkal
ilmu sihir."
"Lalu di manakah sekarang Raja
Obat berada, Kakang?" tanya Kenanga lagi.
"Entahlah. Dia pergi begitu saja, tanpa memberi tahu ke mana tujuannya,"
sahut Panji sambil melepaskan
pandangan ke arah cakrawala biru.
Keduanya kembali membisu. Hanya
wajah mereka sajalah yang menampakkan kebahagiaan, karena ternyata dapat
bersatu kembali.
"Oh ya, Kakang. Dari mana
Pendekar Naga Putih palsu tahu kalau aku kekasihmu?" tanya Kenanga yang masih
bingung karena Pendekar Naga
Putih palsu seakan-akan mengenai betul dirinya.
"Orang yang menyamar, biasanya
akan berusaha sesempurna mungkin
meniru orang yang disamarinya. Bahkan sampai meniru kehidupannya."
"Maksudmu?"
"Ya, tentu saja dia berusaha
mencari keterangan tentang
kehidupanku. Sampai tentang, siapa
kekasihku!" jelas Panji.
Kenanga mengangguk-anggukkan
kepalanya mulai mengerti.
Kini sepasang pendekar muda itu
melanjutkan pengembaraan kembali.
Begitulah sikap seorang pendekar
sejati yang selalu siap membela orang-orang lemah.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
Neraka Hitam 3 Dewa Iblis Karya Tak Diketahui Bangau Sakti 46

Cari Blog Ini