Ceritasilat Novel Online

Penyembah Dewi Matahari 1

Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari Bagian 1


PENYEMBAH DEWI MATAHARI
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting, Turi S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Penyembah Dewi Matahari
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Matahari tepat di atas kepala. Sinarnya yang kuning keemasan, seperti hendak
menghanguskan semua makhluk di atas bumi. Tiupan angin sesekali membawa hawa
panas yang pengap, membuat orang berpeluh.
Dua sosok tubuh tampak melangkah ringan menyusuri tanah yang berumput kering
terpanggang sinar matahari. Kepala mereka dilindungi caping bambu lebar,
sehingga wajah mereka tidak terkena gigitan sinar matahari.
"Di hutan sebelah depan sana, kita istirahat sebentar, Kakang. Aku tidak tahan
berjalan di tengah panas seperti ini...," ujar sosok tubuh ramping berpakaian
serba hijau seraya menolehkan wajahnya.
Tampaklah seraut wajah jelita dengan butir-butir peluh di kening dan pipinya.
Sosok ramping itu seorang gadis muda, berusia sekitar sembilan belas tahun.
Pemuda bertubuh sedang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih, hanya
menganggukkan kepala. Dan memberikan isyarat agar mempercepat langkah. Sebentar
kemudian, keduanya tiba di tepi hutan.
"Kita terus ke dalam, atau beristirahat di sini?" tanya pemuda tampan berjubah
putih sambil melepas caping bambunya, dan menggunakannya untuk mengipasi tubuh.
Wajah pemuda itu berpeluh. Bahkan sebagian tubuhnya sudah basah, hingga menembus
jubah luarnya. "Sebaiknya, kita beristirahat di sebelah dalam saja, Kakang. Di sini panasnya
masih terasa menyengat...," jawab si gadis sambil mengipasi tubuhnya yang
berlelehan peluh.
Setelah berkata demikian, gadis itu melangkah memasuki hutan, diiringi pemuda
tampan kawan seperjalanannya.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya tampak duduk bersandar pada sebatang pohon
besar yang berdaun rindang. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan. Pasangan muda
itu sungguh-sungguh menikmati sejuknya hembusan angin yang menerpa tubuh mereka.
Namun, ketenangan itu rupanya tidak berlangsung lama. Enam sosok tubuh berwajah
pucat, bermunculan dari sekitar tempat itu. Dari raut wajah dan sorot matanya,
jelas terlihat bahwa kemunculan mereka tidak bermaksud baik. Kedua orang muda
itu segera bergerak bangkit berdiri, dan saling bertukar pandang dengan tatapan
heran. "Hm.... Tampaknya mereka bermaksud kurang baik. Entah siapa mereka" Yang jelas
bukan orang sembarangan. Sebab, aku sama sekali tidak mendengar langkah kaki
mereka...?" bisik pemuda tampan berjubah putih itu kepada gadis di sebelahnya.
"Siapa pun mereka, dan apa pun maksud kedatangannya, yang jelas mereka telah
mengganggu ketenangan kira! Dan, aku tidak menyukai hal itu...!" gadis itu
mengomel dengan nada jengkel. Jelas, ia merasa sangat terganggu dengan kehadiran
tamu tak diundang yang bersikap tidak bersahabat itu.
Sementara itu, keenam sosok tubuh berwajah pucat dengan sorot mata tajam, sudah
melangkah semakin dekat. Mereka melakukan gerakan mengepung. Jelas sudah, kalau
kedatangan mereka memang tidak bermaksud baik.
"Kalian berdua telah melanggar peraturan, memasuki wilayah kekuasaan majikan
kami tanpa izin. Untuk itu, kalian berdua harus mendapat hukuman...!"
Seorang yang bertubuh tinggi kurus berkata dengan suara kaku dan sikap angkuh.
Hal ini makin membuat dara jelita berpakaian hijau itu bertambah jengkel. Dengan
wajah berang, dara jelita itu melangkah maju beberapa tindak menghampiri lelaki
kurus tadi. "Hm.... Kalian ini siapa" Apakah hutan ini milik kalian" Sehingga bisa mengusir
orang seenaknya saja" Kalau aku tidak bersedia menerima hukuman itu, kalian mau
apa...?" tantang gadis itu sambil bertolak pinggang. Wajahnya merah padam
menahan marah. Berbeda dengan gadis itu, pemuda tampan berjubah putih lebih memiliki kesabaran
dibanding kawannya. Dengan langkah tenang, ia bergerak maju. Disentuhnya tubuh
si gadis dengan maksud agar bersikap sabar, dan menyerahkan persoalan itu
kepadanya. Sejenak, dara jelita itu seperti hendak membantah. Tapi, ketika
dilihatnya senyum lebar serta anggukan kepala pemuda itu, ia pun mengangguk
lemah. "Kisanak. Maaf, kami telah lancang memasuki wilayah kekuasaan kalian tanpa izin.
Sudilah kiranya Kisanak menarik kembali hukuman untuk kami. Sebab kami tidak
tahu, kalau hutan ini merupakan daerah kekuasaan kalian. Sekali lagi, kami mohon
maaf. Secepatnya kami akan meninggalkan tempat Ini..," ujar pemuda tampan berjubah
putih itu dengan suara lembut dan sopan. Kemudian, ia mengajak kawannya untuk
segera meninggalkan tempat itu.
"Tidak bisa!"
Lelaki tinggi kurus bermuka pucat itu membentak dengan nada tinggi. Membuat
kedua anak muda itu menahan langkahnya, dan memandang dengan wajah heran.
"Mengapa kalian tidak memperbolehkan kami pergi" Apakah perbuatan kami tidak
bisa dimaafkan...?" tanya pemuda tampan itu penasaran, melihat sikap lelaki
tinggi kurus yang ingin memaksakan kehendaknya.
"Kalian tetap akan mendapat hukuman...!" tegas lelaki itu sambil menggerakkan
tangannya memberi isyarat. Kelima lelaki berwajah pucat lainnya, segera
merapatkan kepungan. Jelas sudah, perkelahian sulit dihindari lagi.
"Hm...."
Pemuda tampan berjubah putih itu bergumam perlahan, seraya mengedarkan
pandangannya merayapi wajah keenam lelaki muda yang berwajah pucat. Ia melihat
adanya keganjilan, baik dari sikap maupun ucapan lelaki tinggi kurus itu. Wajah
mereka yang tanpa sinar kehidupan, dan sinar yang kaku, membuat pemuda itu ingin
mengetahui penyebab keanehan-keanehan yang ada pada diri keenam telaki muda
sebayanya. Dan ketika merasa tidak mungkin lagi menghindari perkelahian, pemuda
itu pun bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Hmh...!"
Tiba-tiba lelaki tinggi kurus yang rupanya pimpinan kelompok itu mendengus
sambil mengibaskan lengan kanannya. Dan memberi isyarat pada teman-temannya
untuk meringkus pemuda tampan serta dara jelita itu.
"Heaaah...!"
Pemuda maupun gadis itu tidak sudi menyerah begitu saja. Mereka bergerak ke kiri
dan kanan menyambut datangnya serangan lawan. Tiga sosok tubuh berwajah pucat
itu menyerang secara bersamaan.
Plak! Plak! Plak!
"Heh..."!"
Pemuda tampan berjubah putih, yang memang mencurigai orang-orang berwajah pucat
itu, tak urung merasa kaget juga ketika mencoba memapaki serangan lawan.
Beruntung ia tidak memandang remeh mereka. Dirasakannya tenaga dalam kuat yang
disertai hawa panas, mengalir melalui serangan lawan.
Ia heran melihat ketiga orang pengeroyoknya tidak menunjukkan reaksi apa pun.
Bahkan, mereka kembali merangsek maju. Sepertinya mereka ingin menyelesaikan
perkelahian itu secepatnya.
"Hm...," pemuda tampan berjubah putih itu bergumam perlahan.
Ia melompat ke belakang sejauh satu setengah tombak. Dilihatnya gadis jelita itu
tengah dikeroyok tiga orang lawan. Menyadari kekuatan lawan, ia merasa khawatir
gadis itu tidak dapat menghadapi serangan yang dilancarkan tiga orang
pengeroyoknya. Tetapi, rupanya gadis itu dapat mengimbangi mereka. Pemuda itu
sedikit berlega hati. Maka ia pun segera bergerak maju menghadapi serangan
ketiga orang lawannya tadi.
"Kalian terlalu memaksa, Kisanak...," ujar pemuda tampan itu.
Melihat ketiga orang lawannya tidak meladeni dan kembali menyerang dengan jurusjurus maut, pemuda itu segera mengimbanginya dengan mengerahkan tenaga saktinya.
Sekujur tubuhnya tampak diselimuti kabut putih keperakan, yang memancarkan hawa
dingin menggigit tulang.
Kali ini, justru ketiga pengeroyoknya yang terkejut. Kelihatan, mereka mulai
terdesak. Pemuda berjubah putih itu, jelas tidak bisa dianggap enteng. Maka,
mereka melancarkan jurus-jurus mematikan untuk mendesaknya.
Melihat kenyataan itu, pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain dari Panji,
atau berjuluk Pendekar Naga Putih, makin memperhebat serangannya, ia pun
berusaha mendesak lawan dengan jurus-jurus ampuhnya.
"Heaaat..!"
Tubuh Panji berkelebat cepat, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sempurna.
Sebentar saja, ketiga orang lawan merasa seperti tengah bertarung dengan
bayangan mereka sendiri. Setiap kali mereka melontarkan serangan, bayangan lawan
selalu saja telah lenyap dari pandangan mata. Ini membuat mereka makin sibuk dan
kewalahan menghadapinya.
Desss...! Suatu saat, Panji berhasil menyarangkan sebuah pukulan telapak tangan kanannya
ke tubuh seorang pengeroyok. Karuan saja, tubuh lelaki kurus yang menjadi
pimpinan orang-orang berwajah pucat itu terpental deras.
Pukulan yang keras dan mengandung hawa dingin itu, ternyata tidak membuatnya
menjadi lumpuh. Tubuh yang tengah meluncur itu, berputaran di udara, dan
mendarat ringan dengan kedua kaki lebih dahulu. Wajahnya tetap datar dan dingin
tanpa perasaan.
Seolah pukulan keras Pendekar Naga Putih tidak berarti apa-apa bagi dirinya. Hal
ini sempat membuat Panji terheran-heran.
"Gila! Dari partai mana sebenarnya orang-orang aneh ini" Mereka memiliki tenaga
dalam yang mengandung hawa panas. Dan mereka pun ternyata memiliki kekebalan
tubuh yang cukup ampuh! Aku tidak boleh memberi hati lagi kepada mereka. Bisabisa aku yang celaka di tangan orang-orang aneh ini...," desis Panji, yang mulai
merasa yakin bahwa orang-orang berwajah pucat itu memang memiliki kepandaian
tinggi. "Yeaaah...!"
Mendadak ketiga orang itu berteriak secara bersamaan. Tubuh mereka
berlompatan, dan bersatu dengan cara saling menempelkan telapak tangan masingmasing. Panji mengerutkan kening, ketika melihat dari telapak tangan mereka
berpendaran sinar kuning keemasan yang meniupkan hawa panas. Jelas, ketiga orang
pengeroyoknya itu mulai mengeluarkan ilmu andalan.
"Heaaah...!"
Dengan teriakan mengguntur, ketiga orang lelaki muda berwajah pucat itu kembali
melompat dengan gerakan-gerakan aneh. Yang mengejutkan, setiap kali telapak
tangan mereka bergerak, selalu disertai kilatan sinar kuning keemasan yang
menyilaukan mata.
Bahkan hawa panas yang disebarkan, terasa sangat menyengat, membuat udara di
sekitar arena pertarungan terasa panas seperti di dalam tungku.
"Gila...! Kepandaian mereka ternyata lebih hebat dari yang kubayangkan...!"
desis Panji. Secepat kilat, pemuda itu melompat ke samping kanan, ketika salah seorang
lawannya melontarkan sebuah pukulan jarak jauh diiringi kilatan cahaya kuning
keemasan. Blarrr...! Hebat sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan itu. Sebatang pohon
besar yang menjadi sasaran, berderak, dan roboh dengan bagian yang terkena
pukulan hangus bagaikan terjilat lidah api Panji semakin berhati-hati dibuatnya.
Di bagian lain, Pendekar Naga Putih melihat dara jelita berpakaian serba hijau
yang tidak lain Kenanga, tengah terdesak oleh ketiga orang pengeroyoknya.
Kenanga agak kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Mereka sama lihainya dengan
pengeroyok Panji.
Melihat itu, Pendekar Naga Putih merasa khawatir akan nasib kekasihnya.
Perhatiannya terpecah, sehingga lawan berhasil mendesaknya.
"Kurang ajar...!" geram Panji sambil berlompatan menghindari sergapan lawanlawannya. Untuk mengimbangi kekuatan lawan, dengan terpaksa ia mulai menggunakan
ilmu andalannya yang telah membuat namanya dikenal oleh kaum rimba persilatan.
"Yeaaat...!"
Diiringi pekikan yang menggetarkan jantung, Panji memainkan 'Ilmu Silat Naga
Sakti' yang sampai saat ini belum ada tandingannya. Tubuhnya berkelebat cepat,
bagaikan seekor naga putih yang tengah bermain-main di angkasa. Sepasang
tangannya yang berbentuk cakar naga, menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat,
disertai hembusan angin dingin menusuk tulang!
Plak! Plak! Plak!
Ketiga orang pengeroyok itu berusaha memapaki terkaman Panji yang jelas sangat
berbahaya itu. Kali ini, mereka merasakan kehebatan pemuda tampan berjubah putih
itu. Tamparan dan pukulan mereka tidak berarti sama sekali. Bahkan, mulai terdesak
oleh sambaran-sambaran angin dingin yang menusuk tulang sumsum. Terbukti, tenaga
hawa panas mereka kalah dengan hawa dingin 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
"Haiiit..!"
Desss! Buggg...!
"Aaakh...!"
Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih sulit diimbangi lawan-lawannya. Dua buah
hantaman keras Panji bersarang di dada dan lambung dua orang lawannya. Tanpa
ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu terjungkal keras, dan terbanting ke
tanah. Kali ini, orang-orang berwajah pucat itu mengakui kehebatan Pendekar Naga Putih.
Kekebalan tubuh mereka mampu ditembus, setelah Panji mengerahkan lebih dari
separuh tenaga saktinya untuk melancarkan pukulan itu. Tubuh kedua orang
lawannya menggigil diselimuti lapisan kabut putih.
Lawan Panji yang tinggal seorang itu tampak mulai merasa gentar. Orang itu
bergerak mundur beberapa langkah ke belakang. Panji tidak mempedulikannya.
Pemuda itu langsung melesat ke arah pertempuran yang berada dua tombak lebih di
sebelah kanannya. Dan, langsung menerjunkan diri dalam pertarungan.
Plak! Plak! Panji langsung mengirim dua tamparan keras, yang membuat dua orang
pengeroyok Kenanga terpental sejauh satu tombak lebih. Meskipun demikian, mereka
yang sempat memapaki tamparan Panji, kembali melompat bangkit, dan membangun
serangan yang lebih hebat.
Kenanga, yang kali ini hanya menghadapi seorang lawan, langsung menggempur
musuhnya dengan sambaran-sambaran Pedang Sinar Rembulan. Sebentar saja, lawan
dara cantik itu telah terdesak hebat, dan tak mampu lagi melakukan serangan
balasan. Rupanya dalam kejengkelannya, Kenanga langsung saja mengeluarkan ilmu pedang
andalannya. Sehingga kehebatannya tidak disangsikan lagi.
"Hiaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh tiga, Kenanga mengeluarkan
bentakan nyaring. Tubuh ramping itu bergerak cepat, dengan sambaran pedang yang
berkelebat laksana sambaran kilat.
Brettt..! "Aaargh...!"
Lelaki muda berwajah pucat itu memekik kesakitan, ketika dadanya tersambar
Pedang Sinar Rembulan. Darah segar merembes keluar dari luka memanjang yang
merobek kulit dan daging. Meskipun tidak mematikan, luka yang diderita orang itu
cukup parah. Serangan Kenanga tidak berhenti sampai di situ saja. Gadis itu mengejar lawannya
yang terhuyung-huyung sambil mendekap dada yang terluka. Dara jelita itu
melenting ke atas, dan menukik turun seraya menjejakkan telapak kakinya ke dada
lawan. Buggg! "Huagkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki muda berwajah pucat itu terjungkal ke tanah.
Darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Meskipun demikian, ia masih kuat,
dan melenting bangkit, siap melanjutkan pertarungan.
Tapi, Kenanga tidak memberi kesempatan. Kembali kaki kanannya melayang dengan
tendangan berputar, langsung menghajar pelipis lawan. Karuan saja tubuh orang
itu terpelanting dan jatuh ke tanah.
"Hm... Ingin kulihat, apakah kali ini kau masih mampu bangkit..?" ejek Kenanga
seraya menatap wajah lawan yang mengerang menahan sakit.
Diam-diam Kenanga kagum akan kekuatan lawan. Semestinya, lelaki berwajah pucat
itu sudah jatuh pingsan akibat tendangannya tadi. Tapi, lelaki itu malah tengah


Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha bangkit kembali. Tentu saja kenyataan itu membuat Kenanga mengerutkan
keningnya dalam-dalam.
"Hmh...!"
Sosok lelaki berwajah pucat itu menggeram gusar, penuh kemurkaan. Melihat hal
itu. Kenanga siap menggebrak lawan dengan jurus-jurus ampuhnya.
"Aihhh...!! "
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat Kenanga terpekik ngeri, dan
melangkah mundur dengan wajah pucat! Pemandangan di hadapannya sungguh
mengerikan. Tubuh lelaki itu meleleh bagaikan lilin yang terbakar. Sebentar saja
kulit dan dagingnya lumer, hingga tulang-belulangnya saja yang masih tersisa!
Kenanga menatap tulang-belulang itu dengan mata terbelalak lebar. Perlahan
tulang-belulang itu ambruk ke tanah. Kenanga baru menarik napas lega setelah
melihat kejadian yang aneh dan mengerikan itu berakhir.
Panji yang mendengar jeritan kekasihnya segera melayang ke tempat dara jelita
itu berada. Kesempatan itu digunakan kedua lawannya untuk melarikan diri.
Sedangkan tiga orang lainnya telah pergi sejak tadi.
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji khawatir.
"Aku tidak apa-apa, Kakang. Hanya sedikit terkejut melihat kejadian yang sama
sekali tidak pernah terbayang dalam pikiranku," ujar Kenanga yang kemudian
menceritakan kejadian tadi pada Panji.
Panji memperhatikan tulang-tulang yang kini telah hancur. Kening pemuda itu
berkerut dalam, mencoba memecahkan rahasia keenam orang aneh itu. Lama pemuda
itu berpikir, tapi tak satu jawaban pun didapatnya.
"Hm.... Mungkin di sekitar hutan ini terdapat sebuah perguruan silat. Mari kita
selidiki...," ujar Panji pada kekasihnya. Dengan cara itu Pendekar Naga Putih
berharap dapat memecahkan misteri orang-orang berwajah pucat yang menghadangnya.
2 Hari masih sangat pagi. Fajar baru saja datang. Di ufuk Umur belum lagi terlihat
tanda merah. Suara binatang malam masih terdengar ramai, menemani keremangan
fajar. Dan tiupan angin terasa dingin menyentuh kulit.
Dalam keremangan itu, terlihat serombongan orang bergerak memasuki hutan.
Mereka berbaris rapi, seperti sepasukan prajurit yang hendak berangkat ke medan
laga. Rombongan kecil yang berjumlah sekitar tiga puluh orang itu dipimpin tiga orang
lelaki tegap berwajah angker. Ketiganya mengenakan pakaian ringkas, yang membuat
sosok mereka tampak ramping dan gesit. Dari gerak-gerik mereka, mudah ditebak
kalau ketiganya merupakan orang-orang persilatan golongan tinggi. Hal itu
terbukti dari sorot mata, dan cara mereka melangkah yang laksana harimau jantan.
Tepat di belakang ketiga lelaki itu, terdapat sebuah tandu yang dipikul empat
orang lelaki bertubuh kekar. Tandu itu sendiri terhias indah dengan tirai-tirai
yang terbuat dari sutera bersulam benang emas. Sedangkan di belakang para
pemikul tandu, terdapat puluhan orang lainnya.
Rombongan itu terus bergerak memasuki hutan lebat, dengan bantuan sinar obor
yang dipegang beberapa orang anggota rombongan. Sehingga, perjalanan mereka
tidak terlalu sulit.
Persis saat cahaya kemerahan mulai menghiasi kaki langit sebelah timur, salah
seorang pimpinan rombongan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Mereka
berhenti tepat di atas sebuah anak bukit. Kemudian, ketiga orang kepala
rombongan berlutut diikuti para anggotanya.
"Wahai Sang Dewi Matahari yang agung, penerang kegelapan. Kami, para pemujamu,
datang untuk mempersembahkan tumbal bagi kejayaanmu. Semoga Sang Dewi berkenan
menerimanya...!" terdengar salah seorang pimpinan rombongan yang berjubah
panjang dan berikat kepala merah, berkata lantang sambil mengangkat kedua
tangannya. Tubuhnya menghadap cahaya kemerahan yang semakin merona nyata. Jelas sudah,
mereka adalah para penyembah Dewi Matahari.
Begitu ucapan pemimpin upacara selesai, dua orang lelaki kekar yang mengenakan
jubah panjang berwarna merah, bergerak ke depan. Mereka mengiringi seorang
pemuda tampan bertubuh tinggi tegap, dan berbaju kuning emas. Ia mengenakan
sebuah mahkota yang juga berwarna emas.
Lelaki tegap berjubah dan berikat kepala merah, yang menjadi pemimpin upacara
suci itu, bergerak bangkit menyambut kedatangan pemuda tampan yang akan
dijadikan tumbal. Sedangkan pengiringnya, kembali ke belakang dua orang pemimpin
lainnya, yang saat itu masih tetap bersimpuh, berikut seluruh anggotanya.
"Anak muda...," panggil sang pemimpin upacara dengan suara berwibawa. "Kau
sungguh beruntung terpilih menjadi pengawal Sang Dewi Matahari yang agung,
penerang kegelapan. Semoga kau tidak mengecewakan hati Sang Dewi...."
"Terima kasih, Ki. Semoga dengan pengabdianku ini, Sang Dewi yang agung,
penerang kegelapan, akan memberikan anugerahnya kepada kita semua...," ujar
pemuda tampan yang telah siap dipersembahkan pada Dewi Matahari yang mereka puja
itu. Lelaki gagah pemimpin upacara yang berusia lima puluh tahun itu tersenyum penuh
keharuan. Kemudian, pemuda itu diminta untuk menuju sebuah pondok kecil, yang
terletak sekitar dua tombak di depan rombongan.
Ki Sangkila, pemimpin upacara suci itu, kembali berlutut saat pemuda tampan
berpakaian warna emas melangkah ke arah pondok. Demikian pula seluruh anggota
rombongan. Sebentuk sinar kuning keemasan berpendar menerangi pondok, saat pemuda itu tiba
di ambang pintu. Bagaikan benda hidup, sinar kuning keemasan itu langsung
membungkus tubuh si pemuda. Dan, pintu pondok pun kembali tertutup. Perlahan
sinar kuning keemasan itu memudar, tepat ketika cahaya matahari mulai muncul
mengusir keremangan.
"Jayalah Sang Dewi.... Abadilah Sang Dewi.... Semoga kejayaan dan keberkahan
selalu menyertai kami..," desis Ki Sangkila dengan suara bergetar, menebarkan
pengaruh yang membuat para anggota rombongan mengangguk-angguk, dan membenturkan
keningnya di atas tanah.
Tidak berapa lama kemudian, Ki Sangkila bergerak bangkit, dan memerintahkan
kepada anggota rombongannya untuk bangkit berdiri. Upacara telah selesai.
"Kita kembali...," perintah Ki Sangkila yang segera melangkah mendahului anggota
rombongannya. Jubah dan ikat kepala lelaki tua itu telah dilepas, dan disimpan
rapi. Demikian pula dengan dua orang pimpinan lainnya. Juga empat orang pemikul tandu,
yang pada waktu upacara mengenakan jubah berwarna merah. Rombongan pun kembali
bergerak meninggalkan hutan.
Namun, baru saja Ki Sangkila dan rombongannya hendak menuruni bukit, muncul tiga
orang lelaki gagah berpakaian ringkas yang berdiri menghadang jalan. Melihat
sikap dan raut wajah mereka, tampaknya kemunculan ketiga orang itu tidak
bermaksud baik.
"Hm.... Kalian telah tersesat terlalu jauh. Rupanya, kabar angin yang kudengar
selama ini bukan bualan kosong. Semua yang kusaksikan barusan, merupakan bukti
nyata bahwa kalian benar-benar bodoh. Tega mengorbankan nyawa seorang pemuda,
hanya untuk sesuatu yang tidak jelas...," kata salah satu dari ketiga orang
lelaki gagah itu.
Ditatapnya wajah Ki Sangkila dengan sorot mata tajam penuh teguran.
"Hm.... Jumirta si Macan Gunung Galung, kiranya...," gumam Ki Sangkila, yang
rupanya telah mengenal lelaki tegap berusia empat puluh tahun itu.
Dengan tenang, Ki Sangkila melangkah beberapa tindak, diiringi dua orang di kiri
dan kanannya. Sikapnya terlihat sangat angkuh, dan memandang remeh Jumirta yang
berjuluk Macan Gunung Galung.
Jumirta pun tidak kalah gertak. Lelaki tegap itu maju beberapa tindak, sampai
keduanya berdiri dalam jarak satu tombak. Mereka saling bertatapan dengan dagu
terangkat. Dan sorot mata tajam, saling menantang.
"Mengapa kau menghadang perjalanan kami, Jumirta?" tanya Ki Sangkila dengan nada
tak senang. Sepasang matanya menatap tajam, dan tidak beralih sedikit pun dari
wajah lawan bicaranya.
"Sebagai orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku
berkewajiban untuk meluruskan perbuatanmu, Ki Sangkila. Karena kau telah
menjerumuskan orang lain untuk ikut dalam kesesatanmu. Perbuatanmu ini jelas
salah, dan menyimpang dari kebenaran. Untuk itu, kuminta kau mau
menghentikannya...!"
Jawab Jumirta tegas dan lantang. Sehingga, terdengar oleh anggota rombongan Ki
Sangkila. Terdengar suara menggeram marah, menyambut ucapan Jumirta yang bagi pengikut Ki
Sangkila jelas merupakan penghinaan. Geraman itu berasal dari dua orang lelaki
kekar berkepala botak, yang merupakan-dua dari empat pemikul tandu. Keduanya
bergerak maju dengan wajah bengis.
"Hm.... Biar kami urus manusia sombong yang telah menghina kita itu, Ki...,"
desis salah seorang dari dua lelaki botak itu, dengan sorot mata tajam menusuk.
Ki Sangkila hanya tersenyum. Kemudian, mengembangkan kedua lengannya, melarang
kedua orang lelaki botak yang tampak marah itu.
"Tenanglah, dan kembali ke tempatmu...!" perintah Ki Sangkila tegas, tidak ingin
dibantah. Kedua lelaki berkepala botak itu hanya bisa menelan kemarahan. Mereka bergerak
mundur, dan kembali ke dalam barisan.
"Kau dengar dan lihat sikap mereka dalam menanggapi ucapanmu barusan, Jumirta"
Sebaiknya kau pergi, dan jangan campuri urusan kami Apa yang kulakukan sama
sekali tidak merugikanmu, bukan" Nah, pergilah! Dan jangan ganggu kami lagi.
Kalau tidak, kau akan menyesal seumur hidup...!" ancam Ki Sangkila.
"Ki Sangkila!" tegas Jumirta sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah orang
tua itu. "Perbuatanmu sangat merugikan! Kalau dibiarkan, akan banyak orang yang
terseret ke dalam kesesatanmu itu. Karena itu, aku tidak akan mundur...!"
"Kalau begitu, kau memang menginginkan kematian, Jumirta! Menyesal aku harus
bertindak kasar terhadapmu...!" geram Ki Sangkila.
Kemarahan Ki Sangkila mulai bangkit melihat kebandelan Macan Gunung Galung.
Dengan wajah gelap, lelaki setengah baya itu melangkah mundur seraya mengebutkan
lengan bajunya ke depan.
Jumirta bukan tidak menyadari gerakan itu. Cepat, ia melangkah ke belakang
dengan lompatan pendek, begitu merasakan adanya sambaran angin yang keluar dari
kibasan lengan Ki Sangkila. Jelas kalau lelaki tua itu telah menyerangnya dengan
halus. "Hmh...," Jumirta menggeram dengan wajah tegang.
Jumirta yang berjuluk Macan Gunung Galung ini agak terkejut merasakan kuatnya
angin pukulan lawan. Jumirta mengenal siapa Ki Sangkila. Lelaki tua itu adalah
Kepala Desa Pugar Selatan, yang memiliki kepandaian tangguh.
Sebagai orang yang telah cukup lama mengenal Ki Sangkila, Jumirta dapat mengukur
sampai di mana ketangguhan lawan. Tapi, serangan barusan sempat membuatnya tak
percaya! Sebab, ia merasakan betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Ki
Sangkila sekarang. Padahal, setahu Jumirta, kesaktian orang tua itu masih berada
di bawahnya. Kenyataan itu membuat keningnya berkerut dalam.
"He he he...! Mengapa kau menjadi seperti orang bodoh, Jumirta" Kalau memang
takut, cepatlah pergi dari hadapanku, sebelum aku berubah keputusan...," ejek Ki
Sangkila, yang rupanya dapat meraba keterkejutan lawan.
Jumirta bukan orang lemah. Sebagai seorang pendekar yang telah mendapat julukan
Macan Gunung Galung, tentu saja kepandaiannya tidak bisa dipandang remeh.
Bahkan dalam perguruannya, ia telah mendapat kedudukan yang cukup tinggi, yaitu
sebagai Wakil Ketua Perguruan Gunung Galung.
Kehadirannya di hutan itu, karena tugas dari ketua yang juga gurunya, untuk
menyelidiki kabar-kabar yang tersebar di luaran. Perguruan Gunung Galung sendiri
tidak terlalu jauh letaknya dari Desa Pugar Selatan. Itulah sebabnya, mengapa
berita tentang para penyembah Dewi Matahari, sampai terdengar Ketua Perguruan
Gunung Galung. "Kau terlalu sombong, Ki Sangkila. Apa pun yang bakal terjadi, aku akan tetap
mencegah dan meluruskan jalanmu. Untuk itu, rasanya memang perkelahianlah yang
bisa menyelesaikan persoalan ini...," sahut Jumirta, tenang.
Dua orang murid Perguruan Gunung Galung yang menyertai kedatangan Jumirta, sudah
menghunus senjata masing-masing. Sedangkan Macan Gunung Galung sendiri telah
mempersiapkan ilmu 'Cakar Macan'nya, yang telah membuat namanya terkenal dalam
kalangan persilatan.
Melihat ketiga lawannya telah bersiap, dua orang wakil Ki Sangkila hendak maju
membantu. Namun, Ki Sangkila mencegah, dan menyuruh mereka mundur. Sepertinya,
orang tua itu ingin menghadapi lawan seorang diri.
Melihat hal itu, Jumirta mengerutkan keningnya semakin dalam, ia yang tahu
sampai di mana kepandaian Ki Sangkila, mereka heran. Mungkinkah Ki Sangkila
telah memiliki kemajuan yang sangat pesat! Jumirta membatin tak percaya.
"Majulah, aku telah siap...!" tantang Ki Sangkila.
Macan Gunung Galung yang belum yakin akan kepandaian Ki Sangkila,
memerintahkan kedua orang kawannya mundur. Sepertinya Jumirta ingin mencoba dulu
kelihaian lawannya seorang diri.
Ki Sangkila tersenyum mengejek melihat Jumirta maju seorang diri. Tapi, lelaki
tua itu tidak berkata apa-apa. Sepasang matanya bergerak mengikuti langkah
Jumirta yang bergerak ke arah kanannya.
*** "Haaat..!"
Dengan pekikan yang nyaring, merobek udara pagi, tubuh Jumirta melesat ke depan
diiringi sambaran cakarnya yang berdecitan tajam. Macan Gunung Galung
mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, karena tidak ingin berbuat ceroboh
setelah merasakan kekuatan angin pukulan lawan.
Wuttt..! Ki Sangkila mendengus sambil memiringkan tubuhnya menghindari sambaran cakar
lawan, yang datang bertubi-tubi mengancam tubuhnya. Kemudian, lelaki tua itu
berputar mengirimkan tebasan lengannya yang mengancam tengkuk Jumirta.
Wukkk! Terdengar sambaran angin tajam mengiringi datangnya lengan Ki Sangkila, yang
telah berisi tenaga dalam tinggi.
"Hiaaah...!"
Jumirta yang masih merasa belum yakin akan kekuatan tenaga dalam lawan, menarik
tubuh ke belakang sambil mengangkat tangan kirinya menyambut tebasan tangan
lawan. Plak! "Ughhh..."!"
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar hampir tidak dapat dipercaya oleh
Jumirta. Benturan itu bukan saja telah membuat lengannya terasa panas bagai
terbakar. Tapi, kuda-kudanya pun tergempur dan tubuhnya nyaris terpelanting.
"Gila..."!" umpat Jumirta sambil memijat lengannya yang terasa nyeri dan panas.
Untung sebelumnya Jumirta telah siaga dengan mengerahkan lebih dari separuh
tenaga dalamnya. Kalau tidak, mungkin tulang lengannya sudah remuk akibat
benturan keras tadi.
Hal itu membuat Macan Gunung Galung jadi tak mengerti, ia tidak habis pikir,
seorang pendekar ternama seperti dirinya, nyaris dipecundangi oleh Ki Sangkila
yang tidak tersohor sama sekali. Ini tidak bisa diterima Jumirta.
Sadar akan kenyataan itu, Jumirta menggeram marah. Cepat ia menghimpun semangat
dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya. Sepasang cakar macannya tampak
bergetar, karena berisi tenaga dalam kuat.
"Yeaaah...!"
Untuk kedua kalinya, Jumirta kembali melesat diiringi teriakan yang melengking
tinggi. Sepasang cakarnya bergerak susul-menyusul mengancam tubuh lawan.
Serangan Macan Gunung Galung kali ini benar-benar hebat dan tidak bisa dipandang
remeh. Ki Sangkila bergerak ke samping ketika sambaran lawannya kembali datang. Dan
langsung membalas dengan serangan-serangan yang cepat dan menerbitkan hawa
panas, yang membuat pikiran lawan terganggu. Jumirta kembali diliputi keheranan,
melihat kehebatan lawan yang sama sekali di luar perhitungannya.
Sebentar saja kedua tokoh itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Keduanya saling terjang dengan mengandalkan jurus-jurus ampuh yang dimiliki.
Namun, Jumirta benar-benar harus mengakui keunggulan lawan. Setelah dua puluh
jurus pertarungan berlalu, Ki Sangkila mulai melakukan tekanan-tekanan berat
terhadapnya. Belum lagi adanya hawa panas yang mengelilingi arena pertarungan. Jumirta harus
menguras seluruh kepandaiannya, jika ia tidak mau celaka.
"Hiaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh dua, Ki Sangkila mengeluarkan
pekikan yang mengejutkan lawan. Berbarengan dengan itu, tubuhnya berputar cepat
dengan serangan-serangan maut yang mematikan.
"Akh..."l"
Jumirta memekik kaget sambil melesat menghindari pukulan dan tamparan berhawa
panas yang dikirimkan lawan. Peluh membasahi pakaian dan wajahnya. Jumirta
merasa cepat lelah, karena adanya hawa panas yang terbit dari setiap serangan
lawan.

Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehingga, laki-laki gagah itu menjadi semakin kewalahan. Dan....
Blaggg! "Huagkhhh...!"
Suatu ketika, Jumirta tidak sempat lagi menghindari sebuah pukulan telapak
tangan lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu tersentak ke belakang,
memuntahkan darah segar. Kemudian, terbanting ke tanah tanpa ampun.
"Pergilah ke akhirat, Jumirta...!" seru Ki Sangkila, seraya hendak melanjutkan
serangan. Jelas, lelaki tua ini ingin menamatkan riwayat lawannya.
"Haaat...!"
Dua orang murid utama Perguruan Gunung Galung, yang menyertai kedatangan
Jumirta, tidak tinggal diam. Keduanya segera melesat ke depan untuk
menyelamatkan wakil ketua mereka.
Plak! Plak! Namun kecepatan gerak Ki Sangkila benar-benar luar biasa! Dalam keadaan tubuh
melayang di udara, lelaki tua itu masih sempat memutar sepasang lengannya, guna
menyambut tebasan dua batang pedang lawan. Akibatnya, tubuh kedua orang lelaki
muda bertubuh tegap itu terpental batik, dan terbanting jatuh ke tanah. Jelas,
kekuatan mereka berdua masih belum mampu mengimbangi kehebatan tenaga dalam Ki
Sangkila. Jumirta yang sudah bangkit tegak, segera saja menghunus senjatanya, siap
melanjutkan pertarungan. Tapi, melihat keadaannya, rasanya tidak mungkin Macan
Gunung Galung akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh jurus untuk menghadapi
lawannya. Hal itu diketahui jelas oleh kedua orang rekannya. Sehingga, kedua
orang murid utama Perguruan Gunung Galung segera melompat mendampingi Jumirta.
"Hm.... Begitu lebih bagus...," ejek Ki Sangkila, seraya tersenyum iblis melihat
ketiga orang lawannya bergabung untuk mengeroyok dirinya.
Dan baru saja ucapannya selesai, tubuh orang tua itu telah melayang dengan
kecepatan yang menggetarkan, ke arah pengeroyoknya.
Bettt... bettt...!
Sambaran angin pukulan berhawa panas, kembali menyebar memenuhi arena
pertarungan, membuat ketiga orang lawannya tidak dapat melakukan perlawanan
dengan pikiran tenang. Karena hawa panas itu telah mengacaukan pikiran, sehingga
gerakan mereka pun menjadi kacau tak beraturan.
Ki Sangkila, yang menyadari kehebatan murid-murid Perguruan Gunung Galung, terus
saja mendesak dengan tamparan dan tendangan yang cepat dan kuat. Sehingga,
ketiga orang pengeroyok itu jadi terdesak hebat. Sampai-sampai mereka tidak lagi
mampu untuk melancarkan serangan balasan. Sebab, serangan mereka seperti
terhalang dinding hawa panas, yang membuat tenaga serangan mereka membalik.
"Yaaat...!"
Memasuki jurus yang kedua puluh, Ki Sangkila kembali mengeluarkan pekikan
nyaring, diiringi tamparan mautnya.
Plak! "Aaakh...!"
Jumirta menjerit ngeri, saat tamparan lawan mendarat telak di pelipisnya. Tanpa
ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terjungkal, tewas dengan kepala retak. Darah
segar mengalir, menggenangi bagian kepala lelaki gagah itu.
Nasib kedua orang murid utama Perguruan Gunung Galung pun tidak berbeda jauh
dengan wakil ketuanya. Sepasang telapak tangan Ki Sangkila singgah di dada kedua
orang itu, membuat tubuh keduanya terpental deras, dan terbanting jatuh
memuntahkan darah kental kehitaman. Asap tipis tampak mengepul dari tanda hitam
di dada kedua orang itu, yang bergambar telapak tangan Ki Sangkila. Keduanya
menghembuskan napas terakhir diiringi senyum iblis lelaki tua itu.
"Tinggalkan saja bangkai mereka untuk binatang-binatang penghuni hutan ini...,"
ujar Ki Sangkila, segera mengajak rombongannya meninggal hutan.
Tanpa ada bantahan sedikit pun, rombongan itu pun kembali bergerak
melanjutkan perjalanan.
3 Tiga ekor kuda berderap melintasi jalan berbatu, di bawah terik sinar matahari.
Debu tipis tampak mengepul mengiringi gerak maju ketiga ekor kuda, yang masingmasing ditunggangi seorang lelaki tegap berpakaian ringkas.
Ketiga orang penunggang kuda itu baru memperlambat lari kudanya, ketika memasuki
batas sebuah desa. Sebuah tiang batu yang bertuliskan 'Batas Desa Pugar
Selatan', tampak berdiri kokoh di tepi jalan. Para penunggang kuda itu berbelok
ke kanan, memasuki jalan tanah yang cukup lebar.
"Kisanak yang menunggang kuda, harap berhenti sebentar...!" tiba-tiba terdengar
seruan, yang membuat ketiga orang penunggang kuda itu menarik tali kekang. Kuda
pun berhenti seketika.
Di depan ketiga orang penunggang kuda itu, dalam jarak dua tombak lebih, tampak
enam orang lelaki berdiri menghadang jalan. Salah seorang di antaranya, yang
bertubuh gemuk dan berkumis tebal, melangkah lebar menghampiri. Sedangkan ketiga
orang penunggang kuda lainnya, terap berada di atas punggung binatang
tunggangannya. "Hm.... Kiranya Kakang Balasara yang datang. Ada keperluan apa kalian
mengunjungi desa ini...?" tanya lelaki gemuk berkumis tebl itu, menatap
penunggang kuda terdepan.
Lelaki gagah bermata tajam yang dipanggil dengan nama Balasara, hanya
menganggukkan kepalanya sedikit, membalas sapaan lelaki gemuk itu.
"Adi Suganta. Kami datang sebagai utusan Ki Sakya Wulung, kepala desa kami.
Harap kalian memberi jalan kepada kami untuk menghadap Ki Sangkila, kepala desa
kalian...," sahut Balasara dengan nada bersahabat.
Meskipun begitu, kelihatan sekali kalau keduanya sama-sama bersikap kaku,
seperti mempunyai ganjalan di dalam hati.
"Tentu saja boleh, Kakang Balasara. Tapi, kalau boleh kami tahu, keperluan
apakah kiranya...?" tanya lelaki gemuk berkumis lebat yang bernama Suganta itu,
setengah menyelidik.
"Maaf, aku terpaksa tidak bisa mengatakannya, Adi Suganta. Pesan Ki Sakya Wulung
hanya untuk kepala desa kalian. Harap kau memakluminya...," sahut Balasara.
Suganta, lelaki gemuk berkumis lebat dan berkepala gundul itu agak berubah
wajahnya. Kelihatan sekali, ia merasa tidak senang dengan jawaban Balasara.
Suasana mendadak hening. Suganta sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hanya
sepasang matanya saja yang tajam menyapu tiga wajah di depannya yang nampak
mulai diliputi ketegangan. Terdengar helaan napas panjang Suganta.
"Hhh.... Karena aku telah mengenal baik kalian, biarlah aku bermurah hari,
memberikan kelonggaran untuk menemui Ki Sangkila. Bersikaplah sebagai tamu yang
baik, agar tidak mengundang hal-hal yang tidak diinginkan...," ujar Suganta.
Jawaban itu jelas menyiratkan sebuah peringatan bagi Balasara dan kawankawannya. 'Terima kasih, Adi Suganta. Peringatanmu akan kami perhatikan baik-baik...,"
ucap Balasara, yang segera mengajak kedua orang kawannya untuk memasuki desa.
Suganta dan kelima orang kawannya hanya mengiringi kepergian ketiga orang tamu
itu dengan tatapan mata tajam, tak bersahabat. Balasara sendiri tidak menanggapi
ia terus saja menjalankan kudanya, meninggalkan tempat itu bersama kedua orang
kawannya. Baru setelah agak jauh, mereka memacu binatang tunggangannya, menuju kediaman
Kepala Desa Pugar Selatan.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di depan sebuah bangunan besar yang
dijaga empat orang lelaki berpakaian serba hitam. Balasara mengajak kedua orang
rekannya turun dari aras punggung kuda.
"Ki Balasara. Ada keperluan apakah hingga kau sampai ke tempat ini?" tegur salah
seorang penjaga gerbang rumah kepala desa itu.
"Kami hendak menghadap Ki Sangkila. Ada sesuatu hal yang pedu kami bicarakan.
Harap kau segera memberitahukannya kepada beliau...," jawab Ki Balasara tanpa
basa-basi lagi.
Penjaga itu pun segera beranjak memasuki bangunan besar, untuk melaporkan
kedatangan Ki Balasara kepada majikannya. Sementara yang seorang lagi,
mengantarkan Ki Balasara serta kedua orang kawannya untuk menunggu di pendopo.
Ketiga penunggang kuda itu memperlambat lari kudanya, ketika memasuki desa.
Sebuah tiang batu bertuliskan 'Batas Desa Pugar Selatan', tampak berdiri kokoh
di tepi jalan. Para penunggang kuda itu berbelok ke kanan, memasuki jalan tanah yang cukup
lebar. Tetapi, tiba-tiba terdengar seruan menghadang...!
Mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, orang yang
ditunggu datang, diiringi penjaga gerbang yang melaporkan kedatangan ketiga
orang tamu itu.
"Hm.... Berita apa yang kau bawa dari Ki Sakya Wulung, Balasara" Apakah kepala
desamu itu masih merasa keberatan, dengan keyakinan yang kujalani saat ini...?"
tanya Ki Sangkila, setelah menyuruh pergi kedua orang penjaga gerbang untuk
kembali ke posnya.
Kemudian, lelaki gagah itu duduk menghadapi ketiga orang tamunya.
"Maaf, Ki," jawab Ki Balasara, setelah mengangguk hormat kepada lelaki gagah
berusia sekitar lima puluh tahun itu. "Sebenarnya, Ki Sakya Wulung sudah tidak
ingin mencampuri urusanmu. Tapi..., perginya sepuluh orang warga desa kami yang
menyeberangi desa ini, membuat Ki Sakya Wulung terpaksa mengutus kami untuk
menghadapmu. Karena orang-orang Desa Pugar Selatan ini telah membujuk dan
mempengaruhi mereka untuk menyeberang, dan mengikuti segala kesesatan di desa
ini. Kedatangan kami kemari adalah untuk mengajak kembali warga Desa Pugar Utara,
yang terkena hasutan itu...," jawab Ki Balasara.
"Hmh...."
Ki Sangkila menggeram gusar, setelah mendengar keterangan Ki Balasara.
Wajahnya yang semula segar, mendadak kelam. Jelas, lelaki setengah baya itu
tidak senang dengan ucapan tamunya.
"Balasara! Kedatangan sepuluh orang pemuda warga desamu itu, adalah atas
kehendak mereka sendiri. Tak seorang pun dari pengikut-pengikutku yang menghasut
atau membujuk mereka untuk bergabung. Jadi, jelas kau sengaja hendak mencaricari alasan untuk menyalahkan kami. Aku tidak bisa menerima tuduhan itu. Ingat
baik-baik...!" jelas Ki Sangkila dengan suara dalam dan berat
"Maaf. Apa yang kusampaikan tadi adalah yang sebenarnya, Ki. Sebab, ada seorang
yang tidak terkena hasutan, menyampaikannya kepada kepala desa kami. Selain itu,
banyak orang yang menyaksikan perbuatan para pengikutmu itu, Ki. Kami hanya
sekadar menyampaikan. Masalah Ki Sangkila meluluskan atau tidak permintaan kami,
itu terserah penilaian dan kebijaksanaan Aki sebagai kepala desa. Harap Ki
Sangkila memberikan jawaban pasti kepada kami, agar bisa melaporkannya kepada
kepala desa kami...," jawab Ki Balasara.
"Hm.... Sebenarnya, aku bisa saja mencelakai atau melenyapkan kalian bertiga.
Tapi mengingat kalian hanya orang utusan, biarlah kuampuni. Satu hal yang perlu
kau ingat, dan sampaikan kepada Ki Sakya Wulung, Balasara! Katakan padanya, agar
jangan mencampuri urusanku! Kalau ada warga desanya yang menyeberang kemari, itu
adalah hak mereka. Kalau Ki Sakya Wulung tidak menghendaki hal itu, ia harus
bisa memberi kehidupan yang lebih baik kepada warga desanya. Kau bisa lihat
sendiri, bukan"
Kehidupan di Desa Pugar Selatan ini jauh lebih baik dibanding Desa Pugar Utara.
Jadi, wajar saja kalau orang-orang desamu menyeberang kemari. Sekarang, bawalah
kedua orangmu pergi dari desa ini, dan jangan kembali lagi. Kalau peringatanku
tidak kau indahkan, jangan salahkan kalau aku berbuat kasar...!"
Setelah berkata demikian, Ki Sangkila bergerak bangkit dan mempersilakan ketiga
orang tamunya untuk meninggalkan tempat itu.
"Baiklah, Ki. Kami akan menyampaikan apa yang telah kami dengar barusan. Maaf,
kami telah mengganggumu," Ki Balasara mohon diri.
Lelaki tegap itu berusaha menahan emosinya, karena hal itu hanya akan mencelakai
dirinya dan kedua orang kawannya.
"Pergilah! Ingat, aku tidak menghendaki kunjungan kalian lagi. Kalau kejadian
ini sampai terulang, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian...!" ujar Ki
Sangkila mengancam.
Setelah ketiga orang tamunya lenyap, lelaki tua yang masih gagah itu pun
bergerak memasuki rumahnya.
*** Ki Balasara dan kedua orang kawannya memacu kuda mereka meninggalkan wilayah
perbatasan Desa Pugar Selatan Mereka berpacu dengan waktu, agar tidak kemalaman
di jalan. Saat itu, matahari memang semakin naik tinggi. Sedangkan perjalanan
yang harus ditempuh, masih cukup jauh.
Tapi perjalanan Ki Balasara dan kawan-kawannya tidak semulus ketika mereka
datang. Setelah agak jauh meninggalkan perbatasan Desa Pugar Selatan, terlihat
dua sosok tubuh berdiri menghadang jalan, saat itu mereka hendak melewati sebuah
hutan kecil. Memang, ietak Desa Pugar Utara tepat berada di seberang hutan kecil
itu. "Hm.... Mereka pasti orang-orang utusan Ki Sangkila. Iblis tua itu memang licik
sekali! Ia hanya berpura-pura melepaskan kita meninggalkan wilayah desanya.
Lalu, mengutus orang-orangnya untuk menghadang jalan kita. Benar-benar
licik...!" desis lelaki tegap berusia tiga puluh tahun, yang berada di sebetah
kanan Ki Balasara.
Lelaki itu sudah meraba gagang pedangnya, siap menghadapi bahaya yang bakal
terjadi "Mungkin ya, mungkin juga tidak, Adi. Kalau memang kedua orang itu diperintahkan
untuk menghadang kita, kenapa ia menyuruh kira pergi" Bisa jadi, mereka adalah
orang ketiga yang hendak memancing di air keruh. Tapi, biar bagaimanapun, kita
harus berhati-hati...," pesan Ki Balasara, seraya menatap tajam kedua orang
penghadang itu.
Sepertinya, ia hendak mengenali mereka. Kalau benar, orang-orang itu merupakan
pesuruh Ki Sangkila, ia pasti mengenalinya.
Dengan sikap waspada, Ki Balasara bersama kedua orang kawannya terus bergerak
maju, menjalankan kudanya lambat-lambat. Ketiganya baru menarik tali kekang,
ketika jarak di antara mereka hanya tinggal dua tombak lagi.
"Hei..."! Bukankah kau Adi Balyanang" Apa maksudmu menghadang jalanku...?"
Ki Balasara hampir tidak percaya dengan pandangannya. Ia bukan hanya kenal
dengan salah seorang penghadangnya itu, tapi pemuda itu merupakan kerabat
dekatnya, yaitu adik dari istrinya, yang ikut menyeberang ke Desa Pugar Selatan
beberapa hari yang lalu. Ia terkejut, sekaligus gembira melihat pemuda itu.
Karena, salah satu tujuannya datang ke Desa Pugar Selatan adalah untuk mencari
adik istrinya itu.
Tapi, kegembiraan Ki Balasara perlahan memudar. Sebab, pemuda yang bernama
Balyanang itu sama sekali tidak menunjukkan wajah gembira ataupun senang. Wajah
itu dingin dan beku. Hanya sepasang matanya saja yang menyorot tajam,
memancarkan rasa dingin bagi orang yang ditatapnya.
"Kau kenapa, Balyanang" Apakah kau tidak mengenali aku lagi" Apa sebenarnya yang
telah terjadi denganmu...?" tanya Ki Balasara, yang sudah melompat turun dari
atas punggung kudanya.
Meskipun begitu, Ki Balasara tidak meninggalkan kewaspadaannya. Sebab, sikap dan
tatapan Balyanang, sangat mencurigakan. Bahkan terkesan mengerikan, sehingga
membuat bulu kuduk Ki Balasara berdiri.
Kedua orang pemuda yang memang sengaja menghadang itu, tidak menyahut.
Bahkan, mereka mulai bergerak maju dengan wajah yang tetap beku, sedingin es.
"Kami harus melenyapkan kalian semua...!" desis Balyanang dingin dan datar.
Mendengar suara yang bukan seperti suara manusia itu, Ki Balasara dan kedua
orang lainnya menggigil. Semestinya, suara itu datang dari mulut mayat yang baru
bangkit dari kubur. Ki Balasara segera bergerak mundur, ia membaui kesungguhan
dalam ucapan adik iparnya itu.
"Balyanang. Sadarlah! Aku adalah suami kakakmu! Jangan kau turuti bisikan setan
yang ada dalam hatimu...!" Ki Balasara mencoba mengingatkan pemuda itu.
Biar bagaimanapun, ia tidak mungkin bertarung melawan adik iparnya, ia tahu,
sampai di mana kepandaian pemuda itu. Itulah yang membuat Ki Balasara hanya
mundur selangkah, saat tangan Balyanang meluncur perlahan, hendak mencengkeram
bahunya. Sikap memandang remeh Ki Balasara, hampir saja membuat nyawanya melayang.
Uluran cengkeraman yang kelihatannya perlahan itu ternyata hampir saja
mencengkeram tulang bahunya. Untunglah lelaki tegap itu segera sadar saat
merasakan sambaran angin keras, yang datang mengiringi uluran cengkeraman jarijari tangan Balyanang.
Wettt...! "Aihhh..."!"
Ki Balasara memekik tertahan seraya melompat ke belakang, sejauh setengah
tombak. Wajah lelaki gagah itu berubah pucat, ketika mendengar decitan tajam
jari-jari Balyanang yang mencengkeram angin kosong.
"Gila"! Dari mana ia mendapatkan tenaga dalam yang demikian hebat hanya dalam
waktu singkat..." Mungkin pendengaranku salah, karena terpengaruh sikapnya yang
aneh?" gumam Ki Balasara, yang masih belum percaya kalau Balyanang memiliki
tenaga dalam yang sangat tinggi, melebihi kekuatan tenaga dalamnya sendiri.
Tapi Ki Balasara tidak bisa berpikir lebih jauh lagi, karena saat itu kedua
orang rekannya telah bertarung melawan pemuda tampan yang datang bersama
Balyanang.

Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerakan pemuda berwajah dingin pucat itu sangat cepat dan kasar. Angin pukulan
yang dilontarkannya terdengar mengaung-ngaung bagaikan ratusan lebah marah. Tak
mengherankan jika dua orang kawan Ki Balasara, yang merupakan jago-jago muda
Desa Pugar Utara, telah terdesak hanya dalam lima jurus. Ki Balasara menjadi
khawatir akan nasib kedua orang rekannya.
"Balyanang, sadarlah! Mereka berdua adalah kawan-kawanmu bermain sejak kecil!
Apakah kau tega mencelakai mereka...?" tegur Ki Balasara, yang masih berusaha
menyadarkan dan mengembalikan ingatan adik iparnya itu. Sayang usahanya sia-sia.
Buktinya, Balyanang kembali melontarkan cengkeraman, tanpa mempedulikan ucapan
kakak iparnya itu.
Wuttt..! Serangan yang dilancarkan Balyanang sangat cepat, laksana sambaran kilat yang
membelah langit. Karuan saja hal itu membuat Ki Balasara jadi kelabakan. Cepatcepat orang tua itu melempar tubuhnya dan berjumpalitan beberapa kali di udara.
Tapi, Balyanang tidak berhenti sampai di situ saja. Pemuda tampan berwajah
dingin pucat itu melanjutkan cengkeramannya dengan sebuah lompatan, disertai
tendangan keras mengarah ke punggung lawan yang masih berputaran di udara.
Plak! "Akh..."!"
Ki Balasara yang tidak mungkin dapat mengelakkan tendangan kilat itu, cepat
mengangkat tangannya menangkis tendangan lawan. Tapi, lelaki tegap itu terpekik
kesakitan ketika merasakan betapa telapak kaki pemuda tampan itu ternyata
mengandung kekuatan hebat, dan menebarkan hawa panas. Ki Balasara hampir tidak
mempercayai apa yang dialaminya itu.
Balyanang tidak memberi peluang pada Ki Balasara untuk memikirkan keanehankeanehan itu. Ia terus saja menerjang dengan serangan-serangan yang mematikan
dan sangat berbahaya.
"Yeaaah...!"
Bettt...! Menyadari kalau adik iparnya itu sudah tidak mungkin lagi dapat disadarkan, Ki
Balasara segera menghunus senjatanya. Ia langsung menjegal serangan Balyanang
dengan sambaran pedangnya yang siap membabat putus lengan lawan.
Trak! "Hei..."!"
Untuk kesekian kalinya, Ki Balasara kembali dikejutkan oleh kehebatan Balyanang.
Pemuda itu tidak mengelakkan sambaran pedangnya. Bahkan memapakinya dengan
pergelangan tangan. Akibatnya, pedang Ki Balasara patah menjadi dua, ketika
bertemu dengan lengan Balyanang yang seolah-olah telah berubah menjadi sebatang
baja bulat. Bahkan ketika lengan itu berputar menghajar tubuhnya, Ki Balasara tidak mampu
menghindar. Akibatnya, tubuh orang tua itu terjungkal memuntahkan darah segar.
"Yeaaah...!"
Balyanang tidak berhenti sampai di situ. Pemuda itu langsung melesat, mengejar
tubuh lawannya yang terbanting di atas tanah berbatu. Dan....
Crabbb...! "Wuaaa...!"
Ki Balasara memekik keras, saat jari-jari tangan Balyanang amblas ke dalam
perutnya. Darah segar menyembur keluar ketika jari-jari tangan pemuda itu
tercabut membawa jantung Ki Balasara yang telah direnggutkan dari tempatnya.
"Hm...."
Balyanang menggeram dan langsung mengunyah jantung yang masih berdenyut hidup
itu. Sedangkan tubuh lawannya telah meregang, dan tewas dengan mata mendelik.
Sesaat setelah kematian Ki Balasara, terdengar pekikan kematian berturut-turut,
merobek angkasa. Disusul dengan terbantingnya dua sosok tubuh pengikut Ki
Balasara ke atas tanah. Keduanya tewas dengan batok kepala remuk akibat tamparan
lawan yang sangat kuat.
Tanpa mempedulikan mayat-mayat yang menjadi korban kekejamannya, kedua pemuda
berwajah pucat itu menghela tiga ekor kuda yang segera meninggalkan tempat itu.
Selanjutnya, Balyanang dan kawannya melesat pergi, meninggalkan korban-korban
keganasan mereka.
4 Senja mulai menapak ketika para penjaga perbatasan Desa Pugar Utara dikejutkan
dengan kemunculan tiga ekor kuda tanpa penunggang. Mereka mengenali kuda-kuda
itu milik Ki Balasara, dan dua orang jagoan desa yang diutus Ki Sakya Wulung.
"Kita harus hentikan binatang-binatang itu! Nampaknya mereka telah menjadi
liar...!" seru lelaki bertubuh pendek kekar yang merupakan kepala jaga dari
empat orang kawannya. Usai berkata demikian, tubuh lelaki itu langsung melejit,
menghadang kuda terdepan, yang ia tahu milik Ki Balasara, tangan kanan kepala
desanya. "Haiiit..!"
Gerakan lelaki pendek kekar itu ternyata cukup gesit. Sekali melompat saja, ia
telah hinggap di atas punggung kuda berbulu hitam itu. Meskipun demikian,
binatang itu ternyata belum menyerah kalah. Dengan gerakan liar, kuda berbulu
hitam itu melompat-lompat hendak melemparkan orang yang menungganginya. Karuan
saja lelaki pendek kekar itu menjadi sibuk dibuatnya.
"Hiyeeehhh...!"
"Aaa...!"
Setelah cukup lama bertahan, akhirnya lelaki itu harus mengakui kekalahannya.
Tubuhnya terlempar dari atas punggung kuda, dan nyaris terbanting ke tanah.
Untung lelaki itu masih sempat menguasai keadaan. Dengan sebuah gerakan yang
indah, ia bersalto dan mendarat dengan kedua kaki terlebih dahulu.
"Gila...! Setan mana yang membuat kuda jinak ini jadi liar" Ke mana perginya Ki
Balasara" Apakah beliau mendapat kecelakaan...?" gumam lelaki pendek kekar itu,
tak mengerti. Rupanya, kejadian tadi tidak hanya dialami laki-laki itu. Jeritan-jeritan ngeri
datang susul-menyusul, disertai bunyi gedebuk yang cukup keras. Suara-suara itu
berasal dari empat orang penjaga yang terlempar dari atas punggung kuda.
Ternyata bukan hanya kuda berbulu hitam mengkilat itu saja yang menjadi liar,
tapi dua ekor kuda lainnya pun mengalami hal serupa. Bahkan, dua dari empat
penjaga itu terkena sepakan kaki kuda.
Kekacauan itu bukan saja telah membuat kelima orang keamanan Desa Pugar Utara
menjadi kelabakan. Beberapa orang penduduk yang kebetulan melintasi perbatasan
dibuat kalang-kabut. Sebab, kuda-kuda liar itu tiba-tiba mengejar dan menyerang
mereka. Empat orang gadis desa yang baru saja pulang dari mencuci pakaian, berlarian
sambil menjerit-jerit ketakutan. Kuda berbulu hitam itu meringkik nyaring,
sambil mengejar keempat gadis desa yang ketakutan setengah mati.
"Aaahhh...! Tolooong...!"
Salah seorang gadis menjerit minta tolong. Ia terjatuh, dan kuda hitam itu telah
mengangkat kedua kaki depannya, siap menghantam tubuh gadis di bawahnya.
Kepala keamanan desa menjadi pucat wajahnya. Lelaki itu hanya terkesima, tanpa
mampu menyelamatkan gadis malang itu. Ia terpisah sekitar tiga tombak dari
tempat gadis itu terjatuh.
Penduduk desa dan para penjaga perbatasan menjerit ngeri ketika kaki depan kuda
hitam itu meluncur turun, siap meremukkan tubuh lemah di bawahnya.
Tapi tiba-tiba secercah sinar putih tampak berkelebat cepat. Dan sesosok tubuh
terbungkus jubah panjang putih, telah berdiri membopong tubuh gadis desa itu.
Dengan sikap tenang, sosok pemuda tampan berjubah putih itu menyerahkan gadis
yang dipondongnya kepada penduduk desa yang masih terkesima. Kemudian ia
melesat, menghadapi kuda hitam yang kehilangan korbannya.
"Hm...."
Pemuda itu bergumam, seraya menatap tajam mata binatang di depannya, yang
mendengus-dengus bagaikan kerbau liar. Namun sebelum kuda hitam itu sempat
bergerak, tubuh pemuda itu sudah melayang dengan kecepatan kilat ke atas
punggung kuda. Orang-orang yang menyaksikan perbuatan pemuda itu memekik ngeri.
Tapi, mendadak mereka terdiam ketika melihat kuda hitam itu diam saja, tidak
berusaha memberontak. Malah, secara perlahan-lahan, kuda berbulu hitam yang
semula liar itu merendahkan tubuhnya, dan duduk di atas tanah berbatu.
Orang yang pertama kali menyadari apa yang telah terjadi dengan kuda berbulu
hitam itu adalah lelaki pendek kekar yang merupakan kepala keamanan Desa Pugar
Utara. Sebagai orang yang mengerti ilmu silat, hal itu tidak terlalu aneh baginya,
meski memang mendatangkan kekaguman.
Lelaki itu tahu, pemuda tampan berjubah putih itu pastilah seorang yang memiliki
kepandaian tinggi. Ia menggunakan tenaga saktinya untuk melipatgandakan berat
tubuhnya. Sehingga, kuda liar itu tidak mampu untuk menahan beban di atas
punggungnya. Itulah, sebabnya, mengapa kuda itu mendadak rebah ke tanah.
"Kisanak. Perbuatanmu benar-benar membuat aku kagum dan bersyukur. Kau telah
menyelamatkan seorang warga kami, dan berhasil menjinakkan binatang yang entah
kenapa telah menjadi liar dan buas ini...," ujar lelaki pendek kekar itu, seraya
membungkukkan tubuhnya ke arah pemuda tampan berjubah putih.
"Hm.... Kuda ini sebenarnya adalah kuda yang baik, Paman. Tapi, ada orang yang
telah berbuat jahil dengan menanamkan sebuah jarum pada tubuh bagian
belakangnya...,"
sahut pemuda itu, sambil menunjukkan sebatang jarum berwarna merah yang
ditemukan di atas kaki belakang kuda hitam itu.
Rupanya, ketika melihat warna mata kuda yang memerah, pemuda tampan berjubah
putih itu langsung dapat menduga bahwa binatang itu mengalami suatu yang tidak
wajar. "Hahhh..."! Kalau begitu, kuda-kuda yang lain pun pasti mengalami hal yang
serupa. Maukah kau menolong kami, menjinakkan dua ekor kuda lainnya yang juga
pasti menderita keracunan jarum merah itu?" pinta lelaki pendek kekar itu.
"Tidak perlu khawatir. Paman. Lihatlah! Bukankah kedua ekor kuda itu yang kau
maksudkan...?" ujar pemuda berjubah putih, seraya menunjuk ke belakang lelaki
kekar itu. "Ahhh..."!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki pendek kekar itu terkesima. Ketika ia menoleh ke
arah yang ditunjukkan pemuda berjubah putih itu, dilihatnya seorang dara jelita
berpakaian serba hijau tengah melangkah menuntun dua ekor kuda yang dimaksudkannya tadi. "Kuda-kuda ini keracunan. Ada orang yang sengaja menanamkan jarum-jarum beracun
pada kaki belakang sebelah atas. Apakah kuda berbulu hitam itu juga mengalami
hal serupa, Kakang...?" tanya dara jelita itu, sambil menunjukkan dua batang
jarum merah yang ditemukannya.
"Ya. Ada orang yang telah sengaja membuat binatang ini menjadi liar dan buas.
Untunglah belum ada korban yang jatuh...," jawab pemuda berjubah putih.
Siapa lagi pasangan muda yang gagah dan cantik itu, kalau bukan Panji dan
Kenanga, yang secara kebetulan ada di sana saat kuda-kuda itu tengah mengamuk.
"Hm.... aku tidak tahu, apa yang telah terjadi dengan kuda-kuda milik kawan kami
ini. Yang jelas, aku dan kawan-kawan mengucapkan terima kasih atas pertolongan
kalian berdua. Maaf, aku harus membawa binatang-binatang itu untuk menghadap
kepala desa kami...," pinta lelaki pendek kekar itu, seraya menatap penuh terima
kasih kepada Panji dan Kenanga.
"Silakan, Paman...," jawab Panji.
Kemudian, diserahkannya ketiga binatang itu, yang segera dibawa pergi lelaki
pendek kekar. Panji dan Kenanga hanya menatap kepergian kepala keamanan Desa
Pugar Utara yang kian menjauh.
"Ada baiknya kita mencari tempat beristirahat, sambil mengisi perut yang telah
keroncongan ini, Kakang," ujar Kenanga memeluk lengan kekasihnya.
"Marilah! Mudah-mudahan di desa ini kita bisa melewatkan malam dengan
tenang...," sahut Panji yang segera melangkah menyusuri jalan utama Desa Pugar
Utara. Beberapa penduduk yang merasa berterima kasih kepada pemuda itu,
menganggukkan kepalanya ketika pasangan pendekar muda itu melintas di depan
mereka. *** Panji dan Kenanga baru saja hendak masuk ke dalam kamar ketika pelayan
penginapan memberi tahu bahwa Ki Sakya Wulung ingin bertemu dengan mereka.
"Siapa Ki Sakya Wulung...?" tanya Panji kepada pelayan setengah baya itu.
"Beliau adalah Kepala Desa Pugar Utara ini, Kisanak Mungkin Ki Sakya Wulung
ingin mengucapkan terima kasih. Karena, Paman dengar Kisanak berdua telah
menyelamatkan seorang penduduk desa ini yang hampir terpijak kuda liar. Saat
ini, berita itu sudah tersebar dan masih dibicarakan para penduduk...," jelas
pelayan setengah baya itu.
"Baiklah, Paman. Kami akan segera menemui Ki Sakya Wulung...," ujar Panji.
Kemudian Pendekar Naga Putih mengajak Kenanga untuk menemui Kepala Desa Pugar
Utara itu. Ada rasa tidak enak di hati mereka, karena orang yang berkuasa di
desa itu datang langsung hendak menemui mereka. Padahal, kalau Ki Sakya Wulung
mau, ia bisa mengundang mereka melalui para pembantunya. Sikap itulah yang
membuat Panji dan Kenanga menaruh hormat. Keduanya langsung merasa suka,
meskipun belum bertemu muka dengan penguasa desa itu.
Pelayan kedai dan penginapan itu membawa Panji dan Kenanga ke ruang dalam, milik
majikan dan penginapan dan kedai terbesar di Desa Pugar Utara itu.
"Ah....Selamat bertemu, Orang-orang Muda Yang Gagah! Aku merasa gembira sekali
karena kalian mau menjumpaiku. Maaf, kalau aku telah mengganggu istirahat
kalian...,"
sambut seorang lelaki gagah berusia sekitar enam puluh tahun.
Wajah lelaki itu tampak sehat dan masih segar, meskipun nampak letih karena
terlalu banyak berpikir. Dialah Ki Sakya Wulung, Kepala Desa Pugar Utara.
"Ah, tidak mengapa, Ki. Kami merasa mendapat kehormatan atas kunjungan Ki Sakya
Wulung. Bukankah dugaanku tidak keliru...?" sahut Panji.
Pendekar Naga Putih gembira melihat penyambutan orang tua itu yang penuh
keramahan. Pasangan pendekar muda itu segera duduk ketika Ki Sakya Wulung telah
mempersilakannya.
"Maksud kedatanganku menemui kalian adalah untuk mengucapkan terima kasih, atas
perbuatan kalian yang telah menyelamatkan seorang warga desa, dan juga mungkin
para warga lainnya. Sebab, kalau kuda-kuda itu tidak segera dijinakkan, mungkin
akan banyak jatuh korban dan kerusakan lainnya. Untuk itu, aku mengucapkan
banyak terima kasih kepada kalian berdua..," ujar Ki Sakya Wulung dengan wajah
berseri dan menatap kagum pasangan pendekar muda itu. Ia memang telah mendengar
laporan dari para pembantunya, mengenai kelihaian pasangan muda itu dalam
menjinakkan kuda-kuda yang sedang liar dan buas beberapa waktu lalu.
"Ah, harap Ki Sakya Wulung tidak berlebihan memuji kami. Apa yang kami lakukan
itu hanyalah suatu kebetulan. Saat itu kami berdua memang hendak menuju desa ini
untuk melewatkan malam. Lagi pula, apa yang kami perbuat itu memang sudah
menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, bukan begitu...?" balas
Panji. Pendekar Naga Putih memang merasa tidak enak melihat orang tua itu tampak
seperti tengah menghadapi seorang pahlawan, yang telah berjasa besar terhadap
negerinya. "Yah, apa yang kau katakan itu memang tidak salah, Panji. Hanya aku masih belum
mengerti, kenapa kuda-kuda itu kembali tanpa penunggangnya" Aku mengkhawatirkan
keselamatan Ki Balasara dan dua orang lainnya. Akulah yang telah mengutus mereka
untuk mendatangi Desa Pugar Selatan...," desah lelaki tua itu sambil menghela
napas panjang. Panji dan Kenanga saling berpandangan sejenak Keduanya mulai menduga-duga,
tentang kejadian yang mungkin menimpa ketiga orang utusan Ki Sakya Wulung.
"Desa Pugar Selatan..." Sedangkan nama desa ini adalah Desa Pugar Utara. Apakah
sebelumnya, antara desa selatan dan utara mempunyai suatu hubungan, Ki...?"
tanya Panji yang agak sedikit heran mendengar ada dua buah desa bernama serupa,
hanya dibedakan oleh wilayah tempatnya berada.
"Hm.... Bukan hanya hubungan, Panji. Pada dasarnya, kedua desa itu adalah satu,
yaitu Desa Pugar. Tapi, akhirnya terpecah menjadi dua karena antara aku dan
wakilku yang bernama Ki Sangkila mempunyai perbedaan keyakinan. Ki Sangkila
pergi membawa para pengikutnya menuju selatan, yang akhirnya dikuasainya. Itulah
sebabnya, mengapa desa ini terbagi menjadi dua...," jelas Ki Sakya Wulung,
membuat Panji dan Kenanga mengangguk-angguk mulai mengerti.
"Tapi.... Kalau hanya soal keyakinan, mengapa Ki Sangkila dan Ki Sakya Wulung
harus berpisah" Dan, mengapa Aki tidak berusaha mengambil alih Desa Pugar
Selatan, agar bisa bersatu lagi...?" tanya Kenanga, yang rupanya masih
penasaran. Panji ikut menatap Ki Sakya Wulung, ingin mendengar jawaban lelaki tua yang
masih gagah itu. Sedangkan orang tua itu tampak tersenyum pahit seperti merasa
berduka mengingat hal itu.
"Kalau hal itu merupakan rahasia pribadi antara Aki dengan Ki Sangkila, tidak
perlu Aki menjawabnya. Karena, kami tidak berhak ikut campur dalam masalah
pribadi...,"
sergah Panji, ketika melihat wajah orang tua itu berubah murung.
Namun, Ki Sakya Wulung menggelengkan kepalanya, tersenyum getir.
"Tidak mengapa, Panji. Persoalan ini bukan masalah pribadi. Ki Sangkila telah


Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menempuh jalan sesat dengan melakukan penyembahan terhadap sesuatu yang tidak
ada. Tapi, ia begitu yakin. Sehingga, banyak penduduk yang terpengaruh dan mengikuti
jalannya."
Ki Sakya Wulung menghentikan ucapannya sejenak. Dihelanya napas panjang-panjang,
seolah-olah ingin melonggarkan dadanya yang terasa sesak.
"Menurutnya, penyembahan itu telah mendatangkan bukti dengan melimpahnya hasil
panen mereka. Padahal, menurutku semua keberhasilan itu dikarenakan tanah di
daerah selatan memang jauh lebih subur dibanding di utara. Hhh.... Sayangnya Ki
Sangkila tetap bersikeras, bahwa semua itu adalah berkah dari Dewi Matahari yang
mereka sembah. Yahhh.... Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya mengharap
agar Ki Sangkila dan para pengikutnya dapat sadar suatu saat nanti...," Ki Sakya
Wulung mengakhiri penjelasannya dengan wajah suram. Jelas, ia merasa berduka
mengingat peristiwa pahit itu.
"Hm.... Seharusnya orang seperti Ki Sangkila itu dilenyapkan saja agar tidak
mendatangkan kesusahan bagi orang lain..!" geram Kenanga, yang merasa jengkel
setelah mendengar keterangan Ki Sakya Wulung.
"Ya. Mengapa Ki Sakya Wulung tidak berusaha untuk melenyapkan atau mengusir Ki
Sangkila dari Desa Pugar" Bukankah kepergian orang tua sesat itu akan membuat
warga desa ini aman dan tenteram...?" Panji ikut mengusulkan.
Pendekar Naga Putih mempunyai pendapat, orang yang sudah tidak ingin berpaling
ke jalan kebaikan, tidak ada jalan lain lagi. Kecuali melenyapkan orang itu,
agar tidak menghasut dan mengajak orang lain mengikuti kesesatannya.
"Aku telah beberapa kali mencobanya. Hasilnya, penduduk Desa Pugar Selatan dan
Utaralah yang menjadi korban. Akhirnya aku menghentikan usaha itu, dan
membiarkan segala perbuatan Ki Sangkila. Tapi, kejadian tadi membuat aku
berpikir lain. Tiga orang utusanku, kutugaskan untuk menanyakan sepuluh orang
wargaku yang terhasut mereka, tidak kembali. Hanya kuda-kuda mereka sajalah yang
kembali. Itu pun dalam keadaan yang berbahaya, karena telah diracuni...! Karena
itu, aku berniat mendatangi Ki Sangkila, untuk menanyakan perihal ketiga orang
utusanku itu...," geram Ki Sakya Wulung dengan wajah berubah kelam, dan tinju
terkepal erat. Rupanya, ia mencurigai Ki Sangkila yang telah mencelakakan ketiga
orang utusannya.
"Hm.... Apakah Ki Sakya Wulung sudah merasa pasti, bahwa ketiga orang utusan itu
dicelakakan Ki Sangkila...?" tanya Panji seraya menatap tajam wajah orang tua
itu. Sepertinya, Pendekar Naga Putih belum yakin sepenuhnya bahwa ketiga orang utusan
Ki Sakya Wulung telah dicelakakan Ki Sangkila.
"Bukti itu akan kami selidiki lebih dulu. Setelah mendapatkan bukti-bukti yang
jelas, barulah aku akan bergerak dengan seluruh wargaku, untuk menggempur Ki
Sangkila dan para pengikutnya!" tegas Ki Sakya Wulung.
Perbuatan Ki Sangkila kali ini dianggap Ki Sakya Wulung telah melewati batas.
Apabila dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin, kelakuan Ki Sangkila akan
semakin menggila. Hal itu sama sekali tidak diinginkan Ki Sakya Wulung.
"Kalau Ki Sakya Wulung tidak keberatan, kami berdua menawarkan diri untuk
menyelidikinya. Kami merasa tertarik dengan keyakinan Ki Sangkila yang menyembah
Dewi Matahari itu...," Panji menawarkan bantuan kepada Ki Sakya Wulung. Selain
itu, Pendekar Naga Putih ingin mencari tahu perihal orang-orang aneh yang pernah
menyerang dirinya dan Kenanga, ketika hendak menuju Desa Pugar Utara.
"Ah.... Tentu saja kami akan berterima kasih sekali. Tapi, rasanya aku tidak
ingin menyusahkan karian berdua. Apalagi kalian telah kuanggap sebagai tamu
terhormatku...,"
jawab Ki Sakya Wulung.
Kepala, Desa Pugar Utara itu merasa tidak enak kalau harus melibatkan pasangan
pendekar itu. Namun, Panji dan Kenanga menegaskan bahwa mereka ikhlas melakukan
penyelidikan itu, demi kepentingan penduduk Desa Pugar Utara dan Selatan.
Akhirnya, Ki Sakya Wulung mengalah. Dan, menerima tawaran Panji.
"Kalau begitu, biarlah kami berangkat besok pagi-pagi sekali, sebelum fajar
datang...," ujar Panji.
Ki Sakya Wulung hanya menganggukkan kepala, dan menyerahkan keputusan di tangan
Panji. Lelaki tua itu bangkit, ketika Panji dan Kenanga meminta diri untuk
beristirahat. "Sebelumnya, aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian berdua...,"
ucap Ki Sakya Wulung, yang dibalas senyuman oleh pasangan pendekar muda itu.
5 Kokok ayam jantan terdengar bersahutan, menyambut fajar yang segera datang.
Hembusan angin masih terasa dingin menyentuh kulit saat dua sosok tubuh bergerak
ringan melintasi batas Desa Pugar Utara. Sosok bayangan putih dan hijau itu
adalah Panji dan Kenanga. Sesuai dengan janji mereka kepada Ki Sakya Wulung,
maka pagi itu keduanya bergerak meninggalkan Desa Pugar Utara untuk mengadakan
penyelidikan. "Apakah kita akan langsung menuju Desa Pugar Selatan, untuk menemui Ki Sangkila,
Kakang,..?" tanya Kenanga tanpa mengurangi kecepatan larinya.
"Hm.... Semula aku masih penasaran mencari orang-orang yang telah menyerang kita
di Hutan Kerambah, beberapa waktu yang lalu. Tapi, kalau kau mempunyai usul yang
lain, katakanlah. Mungkin aku akan mempertimbangkannya...," jawab Panji.
"Aku pun berpikir begitu, Kakang. Siapa tahu Ki Balasara dan kedua rekannya
dicelakai orang-orang berwajah pucat yang aneh itu. Sebab, Hutan Kerambah tidak
jauh letaknya dari Desa Pugar Utara dan Selatan. Jadi, bisa saja ketiga orang
utusan Ki Sakya Wulung itu dicelakai dalam perjalanan pulang," ujar Kenanga
mengemukakan pendapatnya.
"Ya. Mungkin saja orang-orang berwajah pucat itu sengaja hendak memperuncing
permusuhan antara Ki Sakya Wulung dan Ki Sangkila. Kalau benar begitu, kita
harus mencari orang-orang aneh itu lebih dulu. Sebab, bukan tidak mungkin
merekalah yang menjadi kunci semua kejadian ini...," ujar Panji.
"Tapi..., ke mana kita harus mencari orang-orang aneh itu, Kakang" Sedangkan
seluruh pelosok Hutan Kerambah sudah kita telusuri. Kita sama sekali tidak
mempunyai petunjuk. Sayang, aku lupa menanyakan perihal orang-orang aneh itu
kepada Ki Sakya Wulung. Siapa tahu orang tua itu bisa memberikan sedikit
petunjuk...," sesal Kenanga.
Letak Hutan Kerambah yang tidak terlalu jauh dari Desa Pugar Selatan dan Utara,
memungkinkan Ki Sakya Wulung mendengar, atau bertemu dengan orang-orang aneh
itu. Sayang, Panji dan Kenanga lupa menceritakan peristiwa itu pada kepala desa itu.
Sehingga, mereka harus melakukan penyelidikan tanpa petunjuk sedikit pun.
"Yahhh.... Itu karena kita tidak melihat adanya hubungan antara Ki Sakya Wulung
dengan orang-orang aneh itu, baru sekarang kita menduganya. Tapi.... Sebaiknya
kita kembali menjelajahi Hutan Kerambah. Siapa tahu, ada tempat-tempat yang
terlewat, saat kita mencari orang-orang aneh itu tempo hari...," usul Panji.
"Kakang...," panggil Kenanga lirih, saat mereka memasuki wilayah hutan kecil,
yang merupakan pemisah antara Desa Pugar Selatan dan Utara.
"Ya...," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih segera menoleh ketika mendengar ucapan kekasihnya yang
menggantung tanpa penyelesaian.
"Menurutmu, apakah Dewi Matahari itu benar-benar ada" Mengapa yang disembah Ki
Pendekar Pedang Sakti 12 Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati Pendekar Latah 12

Cari Blog Ini