Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari Bagian 2
Sangkila justru Dewi Matahari, bukan Dewa Matahari" Bukankah matahari disebut
sebagai raja siang, bukan dewi siang" Kira-kira, apa maksud dari penyembahan Ki
Sangkila itu, Kakang...?" tanya Kenanga.
"Hm....! Mungkin Ki Sangkila ingin melenyapkan kesan ganas dengan menyebut Dewi
Matahari. Tengok saja Dewi Padi dan Dewi Bulan. Bukankah itu terkesan lembut dan
tidak garang, dibandingkan dengan Raja Siang atau Dewa Matahari. Mengenai ada
atau tidaknya, aku belum bisa memastikan. Yang jelas, segala sesuatu tercipta
karena keyakinan yang tinggi."
Panji menghentikan ucapannya sejenak. Keningnya terlihat berkemyit dalam,
menandakan kalau otaknya tengah berpikir keras.
"Mungkin saja apa yang semula disembah Ki Sangkila, tidak ada dalam wujud nyata
di bumi. Tapi, karena Ki Sangkila demikian yakin, maka daya keyakinannya yang
kuat itu menimbulkan sosok yang dipujanya. Rasanya tidak mungkin ia akan
melanjutkan penyembahannya, tanpa bukti yang masuk akal. Tapi, seperti apa yang
dikatakan Ki Sakya Wulung, bisa saja Ki Sangkila memang telah tersesat, dan
melupakan akal sehatnya...,"
papar Panji, sekadar, memberikan gambaran. Karena, ia sendiri belum bisa
memastikan, ada atau tidak sosok yang disebut sebagai Dewi Matahari itu.
"Jadi.... Menurut Kakang, sosok Dewi Matahari tercipta dari pikiran orang-orang
seperti Ki Sangkila...?" desak Kenanga, yang masih penasaran, ingin memperoleh
jawaban sejelas-jelasnya.
"Ya.... Seperti yang kukatakan tadi, bisa saja sosok itu benar-benar muncul.
Sehingga, keyakinan Ki Sangkila semakin bertambah kuat. Malah ia berani
mengambil keputusan gila, menyerahkan korban pada waktu-waktu tertentu, seperti
yang diceritakan Ki Sakya Wulung tadi malam. Menurut beliau, korban-korban yang
diserahkan Ki Sangkila kepada sesembahannya tidak pernah ada yang kembali.
Padahal, Ki Sangkila menyerahkan korbannya dalam keadaan hidup, dan Dewi
Matahari pun tidak pernah membunuh korban itu...," jelas Panji.
Pendekar Naga Putih cukup banyak mendengar cerita Ki Sakya Wulung, sebelum
mereka berangkat. Sedangkan Kenanga tidak sempat mendengar, karena sedang sibuk
mempersiapkan bekalnya.
Pembicaraan mereka terhenti saat berbelok, mengambil jalan ke sebelah barat
hutan kecil itu. Tujuan mereka adalah Hutan Kerambah, yang mereka curigai
sebagai markas orang-orang aneh berwajah pucat. Menurut orang-orang itu, daerah
itu adalah wilayah kekuasaan mereka. Ini yang membuat Panji memutuskan untuk
menjelajahi hutan itu sekali lagi. Menurutnya, mungkin ada sudut-sudut yang
terlewat pada waktu itu.
Keremangan fajar mulai terhapus saat cahaya merah menghiasi kaki langit sebelah
timur. Pasangan pendekar muda itu terus bergerak menerobos semak belukar, masuk
wilayah Hutan Kerambah semakin dalam. Keduanya tidak berlari. Mereka melangkah
hati-hati, dan meredam suara jejakan kaki, agar tidak menimbulkan suara
mencurigakan. Sebab, sosok aneh berwajah pucat dengan sinar mata dingin itu, dapat muncul
sembarang waktu. Apalagi, wilayah Hutan Kerambah, adalah daerah kekuasaan
mereka. Tentu keadaannya lebih berbahaya.
"Kakang, lihat...!" seru Kenanga perlahan, sambil menudingkan jari telunjuknya
ke depan. Sebenarnya dara jelita itu tidak perlu memberi tahu kekasihnya, karena Panji
telah melihatnya. Pendekar Naga Putih mengangguk, memandang sosok-sosok tubuh
yang tergeletak, dalam jarak dua tombak dari tempat mereka berpijak.
"Hm.... Mereka sudah tewas...," desis Panji sambil melangkah perlahan dengan
sikap waspada. Bisa jadi ketiga sosok mayat itu hanya jebakan. Itulah sebabnya, mengapa Panji
tidak terburu-buru mendekati mayat-mayat di depannya. Ia mengajak Kenanga
mengambil jalan berputar, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Apakah mayat-mayat itu merupakan jebakan, Kakang...?" tanya Kenanga, tanpa
melepaskan pandangan matanya dari tiga sosok mayat yang menebarkan bau tak sedap
itu. "Entahlah. Yang jelas, mayat-mayat itu belum lama terbunuh. Aku bisa menduganya
dari bau yang mulai tersebar. Paling tidak, baru kemarin ketiga orang itu
tewas...," sahut Panji, sambil mendekati ketiga sosok mayat yang diduganya
sebagal jebakan itu.
"Siapakah mereka, Kakang...?" tanya Kenanga setelah memperhatikan ketiga sosok
mayat itu. Dara jelita itu menutup hidungnya dengan selendang, yang selama ini
membelit pinggangnya.
"Siapa mereka, aku tidak tahu. Yang pasti, mereka adalah murid-murid Perguruan
Gunung Galung. Itu mudah dikenali dari pakaian, dan sulaman di dada kiri
mereka...,"
sahut Panji, setelah memeriksa dari jarak dekat.
Samar-samar, terdengar suara langkah mendekati tempat mereka berdiri. Menilik
dari suara yang ditimbulkan, Panji dan Kenanga dapat menduga kalau orang yang
baru datang itu pasti memiliki kepandaian tinggi.
"Hm.... Pembunuh biadab...! Kalian harus menebus nyawa murid-murid Perguruan
Gunung Galung...!" terdengar suara bentakan nyaring, diiringi serangan
mematikan. Panji dan Kenanga cepat melompat, menghindari serangan rak terduga itu. Mereka
tak menyangka akan diserang secara mendadak. Beruntung, keduanya dapat
menghindarinya.
"Kisanak, tunggu dulu! Jangan salah paham...!"
Panji berusaha menjelaskan kesalahpahaman itu. Setelah mendengar ucapan
penyerang gelap yang menuduh mereka berdua melakukan pembunuhan terhadap muridmurid Perguruan Gunung Galung.
Tapi, seruan Panji sia-sia belaka. Sosok berpakaian serba hitam yang memiliki
gerakan gesit dan mantap itu kembali melayang dan menerjang. Kenanga yang merasa
jengkel, segera saja melesat mendahului kekasihnya untuk menghajar orang liar
itu. Mendadak, beberapa sosok bayangan berlompatan dari balik semak-semak, langsung
memapaki serangan Kenanga. Sehingga, sebentar saja dara jelita itu dikeroyok
delapan orang lelaki gagah yang mengenakan seragam berwarna hitam pekat.
"Kurang ajar! Kalian benar-benar manusia liar yang tidak mengenal adat...!"
bentak Kenanga marah.
Gadis itu segera melompat mundur. Melihat cara mereka bertempur, Kenanga sadar,
kali ini ia menghadapi sebuah ilmu yang dimainkan oleh delapan orang sekaligus.
Ilmu seperti itu jelas sangat berbahaya.
Delapan orang lelaki berpakaian serba hitam itu tidak memberikan kesempatan
kepada Kenanga. Mereka kembali bergerak secara teratur, menyerbu dara jelita
itu. "Heaaat...!"
Empat bilah pedang berkelebatan, dan bergulung-gulung membentuk kilatan sinar
putih yang menyilaukan mata. Kemudian secara bersamaan keempat batang pedang itu
menusuk ke seluruh tubuh dara jelita itu, dari aras ke bawah.
Bagi lawan yang ilmu silatnya masih tanggung, akan sulit sekali meloloskan diri.
Lain halnya dengan Kenanga. Tanpa rasa gentar sedikit pun gadis itu menarik kaki
kanannya ke belakang, membentuk kuda-kuda silang dengan posisi tubuh doyong ke
belakang. Pedang Sinar Rembulan yang telah tergenggam di tangannya, berputaran
menimbulkan suara mengaung tajam. Kenanga ingin mematahkan serangan lawan dengan
kekuatan tenaga saktinya.
Whuuut..!"
"Hehhh..."!"
Kenanga berseru heran melihat keempat batang pedang itu tiba-tiba tertarik
pulang secara tak terduga. Sehingga, sambaran pedangnya mengenai angin kosong.
Belum lagi ia dapat menguasai keheranannya, terdengar teriakan susul-menyusul.
Keempat penyerangnya bergulingan ke samping, terpecah dua. Dari bagian tengah,
tempat keempat penyerangnya berpisah, muncul empat penyerang lain, yang rupanya
memang telah menunggu peluang itu.
"Heaaat..!"
Whuttt... Whuttt..!
"Hehhh..."!"
Kembali Kenanga terkejut bukan kepalang. Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang,
menghindari serangan yang tiba-tiba itu. Tapi untuk kesekian kalinya, dara
jelita itu kembali memekik kaget. Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, empat
orang pengeroyok yang tadi bergulingan menyebar, kembali menyerang.
"Kurang ajar...!" maki Kenanga.
Empat batang pedang datang menyambut tubuhnya. Terpaksa gadis itu
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, melenting jauh ke udara.
Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, melindungi tubuhnya dari serangan
gelap lawan. Jleg! Setelah berputar beberapa kali, tubuh Kenanga kembali mendarat ringan di atas
tanah. Tapi, alangkah jengkelnya hati gadis itu ketika melihat dirinya kembali
berada dalam kepungan kedelapan orang lawannya.
"Setan...!" umpat dara jelita itu.
Kenanga semakin bertambah marah karena dipermainkan. Sepasang mata
bulatnya berkilat, menyiratkan nafsu membunuh!
"Kenanga. Jangan turuti emosimu. Hadapilah mereka dengan hati yang tenang, dan
kepala dingin. Mereka menggunakan ilmu gabungan yang dimainkan secara bersamasama dalam bentuk barisan. Untuk itu, kau harus lebih memperhitungkan
tindakanmu, ketimbang mengumbar nafsu amarah yang hanya membawa celaka...,"
terdengar suara bisikan yang amat jelas di telinga Kenanga.
"Ah, terima kasih, Kakang...," kata gadis jelita itu sambil melirik ke arah
Pendekar Naga Putih yang tengah bertarung melawan seorang lelaki jangkung
berpakaian serba hitam.
Kenanga tersenyum dan mulai mengatur langkah setelah mendengar petunjuk dari
kekasihnya. Ditekannya semua kejengkelan yang bisa membuat dirinya celaka. Lalu,
dengan tenang, disambutnya serangan lawan. Pertempuran kembali berlanjut
*** "Haaat..!"
Lelaki jangkung kurus itu memekik nyaring. Golok perak di tangannya berkelebat
cepat menyilaukan mata. Serangan sosok jangkung itu sungguh hebat sekali.
Sehingga, Panji tidak bisa memandang remeh serangan lawan.
Whuuut...! Plak! Plak! Cepatnya sambaran golok perak itu, membuat Pendekar Naga Putih mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya untuk menangkis serangan lawan. Akibatnya tubuh
jangkung itu bergetar mundur, sejauh enam langkah ke belakang.
"Heiii..."!" pekik lelaki jangkung itu terkejut ketika merasakan akibat
tangkisan telapak tangan lawan.
Sosok jangkung yang ternyata seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun
lebih itu, menatap kagum sosok bertapis kabut bersinar putih keperakan di
depannya. Bukan hanya itu saja yang membuatnya terkejut. Getaran hawa dingin menusuk
tulang yang meresap melalui pergelangan tangannya, membuat lelaki itu terpaku
sejenak. Kelihatan ia ragu menatap sosok Panji.
"Kau.... Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya sosok jangkung
itu. Ia berdiri tegak, masih dalam keadaan siap tempur. Hanya saja wajahnya agak
tegang, menanti jawaban yang keluar dari mulut Panji.
"Benar. Orang-orang persilatan memberikan julukan itu kepadaku. Dan rasanya aku
bisa menebak, siapa orang yang menyerangku tanpa sebab yang jelas. Bukankah kau
yang berjuluk Raja Golok Perak, Ki...?" ujar Panji, yang telah dapat menebak
siapa lawannya.
"Hm... Benar dugaanmu. Aku adalah Raja Golok Perak. Dan, ketiga sosok mayat itu
adalah murid-murid dan wakilku! Mengapa kau sampai tega melenyapkan mereka,
Pendekar Naga Putih" Apa hubunganmu dengan Dewi Matahari...?" tanya orang tua
yang ternyata Ketua Perguruan Gunung Galung.
Tampaknya Raja Golok Perak masih tetap menuduh Panji sebagai pembunuh ketiga
sosok mayat yang tidak lain dari Jumirta dan dua orang rekannya. Mereka itu
adalah utusan Raja Golok Perak, untuk menyelidiki para penyembah Dewi Matahari.
"Jalangsa, hentikan pertempuran! Bawa adik-adikmu kemari...!" terdengar perintah
Raja Golok Perak ke arah delapan orang berseragam hitam yang sedang mengeroyok
Kenanga. Tanpa membantah, kedelapan orang lelaki gagah itu berlompatan menuju tempat Raja
Golok Perak berada.
"Guru.... Mengapa berhenti" Kita harus segera menangkap mereka, hidup atau
mati...!" Lelaki gagah berkumis tipis yang dipanggil Jalangsa, rupanya masih
penasaran. Sepertinya ia merasa akan dapat menundukkan dara jelita berpakaian hijau yang
menjadi lawannya.
"Hm.... Enak saja kau ingin menangkapku hidup atau mati! Ketahuilah, bahwa
sebelum kau dapat menangkapku, kepalamu akan menggelinding lepas dari leher...!"
bentak Kenanga jengkel, mendengar sesumbar lelaki gagah itu.
"Sabarlah, Kenanga...," gumam Panji, sambil membelai bahu kekasihnya, yang
berdiri di sebelahnya.
Dara jelita itu menoleh sejenak menatap Panji. Dan pemuda itu hanya tersenyum
melihat wajah kekasihnya yang cemberut.
"Hm.... Jalangsa. Coba kau perhatikan baik-baik, siapa pemuda tampan yang
menjadi lawanku barusan...?" tanya Raja Golok Perak, seraya menggerakkan
kepalanya ke arah Pendekar Naga Putih. Orang tua itu ingin melihat, apakah
Jalangsa bisa mengenali, siapa pemuda tampan berjubah putih itu.
"Apakah.., apakah Guru telah dapat dikalahkannya...?" tanya Jalangsa cemas,
mendengar pertanyaan gurunya.
"Bukan begitu maksudku, Jalangsa. Tapi, kau perhatikan pemuda itu baik-baik.
Bisakah kau menduga, siapa pemuda berjubah putih itu...?"
Raja Golok Perak kembali mengulangi pertanyaannya dengan lebih jelas. Nada
suaranya terdengar tidak sabar, melihat muridnya terlalu bertele-tele menimpali
ucapannya. "Hm.... Apakah yang Guru maksudkan, ia adalah pemuda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih" Benarkah pemuda itu Pendekar Naga Putih, yang telah membuat geger dunia
persilatan" Tapi..., mengapa ia membunuh Ki Jumirta dan saudara-saudara
kita...?" tanya Jalangsa.
Jalangsa setengah tidak percaya, bahwa pemuda di hadapannya adalah Pendekar Naga
Putih. Sebab, pendekar yang kabarnya sangat sakti itu adalah orang gagah yang
berbudi luhur, dan bukan seorang pembunuh seperti pemuda yang saat itu tengah
dihadapinya. "Bagaimana pendapatmu, kalau ia mengaku sebagai Pendekar Naga Putih" Apakah kau
bisa mempercayainya...?" tanya Raja Golok Perak lagi.
"Tapi.... Apakah ia memiliki 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang sedingin salju
itu" Itu satu-satunya yang kudengar tentang ciri-ciri Pendekar Naga Putih, Guru.
Bahkan, tubuhnya dapat mengeluarkan cahaya putih keperakan. Itulah yang banyak
kudengar di kalangan persilatan...," jelas Jalangsa.
"Semua itu telah diperlihatkannya ketika bertarung denganku, Jalangsa. Yang
tidak bisa kumengerti, mengapa ia sampai tega membunuh orang-orang kita?" ujar
Raja Golok Perak, menghela napas penuh sesal.
"Dengarlah, Raja Golok Perak. Secara kebetulan, aku tiba di tempat ini dan
melihat ketiga sosok mayat murid-muridmu. Kedatanganku kemari, adalah untuk
mencari sebuah partai yang beranggotakan pemuda-pemuda berwajah pucat, namun
memiliki kesaktian yang tinggi. Itulah alasannya, mengapa aku sepagi ini telah
berada di wilayah Hutan Kerambah...," jelas Panji dengan nada yang tetap tenang.
Pendekar Naga Putih tidak ingin memperuncing kesalahpahaman itu dengan emosi
yang dapat merugikan kedua belah pihak. Apalagi, Perguruan Gunung Galung adalah
sebuah perguruan beraliran putih. Tentu saja, Panji tidak ingin bentrok dengan
orang segolongan, hanya karena salah paham.
"Sebuah partai di dalam wilayah Hutan Kerambah" Ah, kau mengigau, Pendekar Naga
Putih. Selama hidup, aku belum pernah mendengar adanya partai persilatan yang
bermarkas di dalam hutan ini. Kau hanya mengada-ada, untuk membela diri.
Katakanlah, apa kesalahan murid-muridku sampai kau tega membunuh mereka. Kalau
tidak, aku akan mengadu nyawa denganmu...!"
Raja Golok Perak menganggap ucapan Panji sebagai alasan yang dicari-cari. Sebab,
ia memang belum pernah mendengar atau bertemu dengan orang-orang dari partai
yang disebutkan Pendekar Naga Putih.
"Aku tidak bohong, Ki. Beberapa hari yang lalu, kami dihadang oleh enam orang
pemuda berwajah pucat, dan bersuara dingin seperti datang dari liang lahat. Kami
berhasil memukul mundur mereka. Dan mereka melarikan diri, setelah salah seorang
dari mereka tewas di tangan kami...," jelas Panji lagi, berusaha meyakinkan Raja
Golok Perak akan kebenaran ceritanya.
"Bohong!" Jalangsa yang marah karena kematian ketiga orang saudara
seperguruannya, membentak keras. "Aku tidak pernah bertemu atau dihadang oleh
orang-orang seperti yang kau sebutkan itu, Pendekar Naga Putih! Jelas, kau
Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari-cari alasan untuk menghindar dari kami!"
"Kurang ajar! Siapa takut kepadamu. Tikus Hitam! Sembarangan saja kau menuduh
orang. Mulutmu memang harus dibungkam, biar tidak sembarangan bicara...!"
Kenanga yang memang masih menyimpan rasa penasaran, tidak sudi kekasihnya
dibentak-bentak seperti itu. Begitu ucapannya selesai, tubuh dara jelita itu
kembali melayang dengan tamparan yang mendatangkan angin menderu.
"Kenanga, tahan...!"
Panji mencoba menahan gerakan Kenanga. Sayang, gerakan pemuda itu dianggap
hendak membantu oleh Raja Golok Perak. Sehingga, lelaki jangkung itu membentak
nyaring, dan kembali menerjang Panji dengan kelebaran golok besarnya.
6 "Heaaat..!"
Serangan yang dilakukan Raja Golok Perak luar biasa sekali. Memang pantas kalau
lelaki tua bertubuh jangkung itu mendapat julukan Raja Golok. Permainan ilmu
goloknya benar-benar cepat, dan mengandung tipuan-tipuan yang tak terduga.
Sehingga Panji yang tidak bertarung sungguh-sungguh itu, sempat dibuat kerepotan
oleh kelebaran golok perak lawan. Hanya berkat kelincahannya sajalah, pemuda
tampan berjubah putih itu masih bisa menghindari sambaran golok lawan selama
hampir sepuluh jurus.
Bettt...! Untuk kesekian kalinya, sambaran sinar perak kembali berkelebat mengancam perut
Pendekar Naga Putih. Kali ini, Panji hanya memiringkan tubuhnya dengan kuda-kuda
agak rendah. Dari sebelah bawah, tangan kanannya bergerak menyambar dengan
bacokan sisi telapak tangan tangan ke arah pergelangan lengan lawan yang
memegang senjata. Sedangkan tangan kirinya telah siap dengan serangan
berikutnya. Raja Golok Perak pun sadar akan kehebatan lawannya. Maka, ketika melihat
sambaran tangan kiri lawan yang ingin melumpuhkan serangannya, lelaki jangkung
itu memutar senjatanya. Sehingga, telapak tangan pemuda itulah yang berbalik
terancam mata golok. Tapi, Panji memiliki perhitungan yang cerdik. Cepat
tubuhnya berkelit, sambil menarik pulang tangan kanannya. Berbarengan dengan
itu, telapak tangan kirinya terulur menggedor dada lawan!
Desss...! "Hugkhhh...!"
Tanpa dapat dielakkan lagi, telapak tangan yang berisikan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' mendarat telak di dada kiri lawan. Seketika itu juga, tubuh Raja Golok
Perak terdorong mundur. Kuda-kudanya tergempur, membuat tokoh sakti berperawakan
jangkung itu nyaris terbanting ke tanah. Untunglah ia masih sempat bergerak
sigap, dengan memutar kuda-kudanya. Meskipun demikian, terlihat lelehan darah di
sudut bibirnya. Bahkan terlihat tubuhnya agak gemetar, menahan hawa dingin yang
merasuk melalui pukulan Pendekar Naga Putih.
Panji mempergunakan kesempatan itu untuk melesat ke arah pertarungan Kenanga.
Dengan gerakan yang cepat luar biasa, pemuda itu merobohkan tiga orang lawan
yang mengeroyok kekasihnya.
"Kenanga, ayo kita tinggalkan tempat ini...!" ajak Panji, yang langsung saja
menangkap lengan kiri kekasihnya, dan melesat pergi meninggalkan arena
pertempuran. "Kejar...! Jangan biarkan pembunuh itu meloloskan diri...!"
Jalangsa berteriak, memerintahkan saudara-saudara seperguruannya untuk melakukan
pengejaran terhadap Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Mereka melesat dengan
mengerahkan seluruh kekuatan ilmu larinya.
Raja Golok Perak sendiri telah melesat melakukan pengejaran terhadap pasangan
pendekar muda itu. Ilmu lari cepatnya yang memang telah mencapai tingkat tinggi,
membuat tubuhnya berkelebat cepat mendahului murid-muridnya. Sayangnya, luka
akibat hantaman telapak tangan Panji, membuat gerakan orang tua itu agak
terganggu. Rasa sesak dalam rongga dadanya, membuat tokoh sakti itu terpaksa
menghentikan usahanya untuk mengejar Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
"Huagkhhh...!"
Segumpal darah kental, keluar dari mulut Raja Golok Perak. Hal itu terjadi
karena ia mengerahkan tenaga dalam untuk mengejar lawannya. Kalau saja lelaki
tua itu mau bersabar, dan mengobati lukanya terlebih dahulu, pasti tidak akan
bertambah parah.
Sayang tokoh tua itu sangat keras kepala. Sehingga, luka dalam yang semula
ringan itu menjadi parah.
"Guru...!"
Jalangsa yang melihat tubuh gurunya terhuyung limbung, segera memapahnya.
Kecemasan rampak membayang jelas di wajah lelaki gagah berkumis tipis itu.
"Guru, kau..., terluka...?" desis Jalangsa. Kemudian direbahkannya tubuh Raja
Golok Perak di bawah sebatang pohon rindang. Sementara, tujuh orang orang
muridnya yang lain, duduk bersimpuh di dekat tubuh orang tua itu.
"Hm.... Kalian tidak perlu khawatir. Aku hanya memerlukan sedikit istirahat
saja. Setelah itu, kesehatanku akan pulih kembali. Hhh.... Sayang, pemuda itu lolos
dari tangan kita...," sesal Raja Golok Perak menghela napas panjang. Kemudian,
ia mengisyaratkan agar murid-muridnya agak menjauh.
Jalangsa mengajak saudara-saudara seperguruannya untuk menjauhi tempat gurunya,
dan membiarkan orang tua itu mengobati luka dalamnya dengan bersemadi.
Mereka duduk bersimpuh, tidak jauh dari tempat guru mereka bersemadi, untuk
berjaga-jaga. "Keparat! Biar sampai ke ujung langit pun, kelak akan kucari pendekar keji
itu..!" geram Jalangsa yang semakin mendendam terhadap Pendekar Naga Putih.
"Benar. Kita harus membuat perhitungan dengan pendekar sombong itu. Rasanya
hatiku tidak akan pernah bisa tenang, sebelum pendekar keparat itu lenyap dari
muka bumi...!" timpal seorang rekan Jalangsa yang bertubuh kekar berotot.
Sepasang tinjunya terkepal erat seolah-olah ingin meremas hancur tubuh Pendekar
Naga Putih. "He he he...! Bagus..., bagus...! Pendekar Naga Putih memang harus dilenyapkan,
agar dunia persilatan menjadi tenang. Aku setuju sekali dengan rencana
kalian...!"
Tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat delapan orang murid Raja Golok
Perak saling menolehkan kepala dengan sikap waspada. Kening mereka berkerut
melihat seorang lelaki tua bertubuh gagah, melangkah sambil memperdengarkan
suara kekehnya yang parau.
"Siapa kau..." Apa hubunganmu dengan Pendekar Naga Putih...?" bentak Jalangsa.
Sambil berkata demikian, laki-laki berkumis tipis itu melangkah maju diikuti
tiga orang saudara seperguruannya. Sedangkan empat orang lainnya bergerak
melindungi guru mereka yang saat itu masih bersemadi.
"Eh! Bukankah orang tua itu Raja Golok Perak" Apa yang telah terjadi dengannya"
Apakah beliau telah terluka oleh Pendekar Naga Putih yang sombong itu...?" tanya
lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu.
Lelaki itu tidak mempedulikan pertanyaan Jalangsa. Bahkan dengan enaknya,
kakinya melangkah menghampiri Raja Golok Perak.
"Berhenti..! Kalau tidak, jangan salahkan kami jika terpaksa harus berbuat kasar
terhadapmu...!" cegah Jalangsa yang sudah menghunus senjatanya.
Perbuatan lelaki gagah berkumis tipis itu diikuti oleh tiga orang saudara
seperguruannya. Mereka bersiap dan mengepung lelaki tua yang tidak mereka kenal
itu. "Bodoh! Apakah kalian tidak bisa mengenaliku" Aku adalah sahabat guru kalian.
Sekarang sahabatku itu terluka dalam, dan aku harus membantu untuk
mengobatinya...."
Lelaki tua itu tidak mau kalah gertak. Bahkan ia kelihatan sangat marah pada
Jalangsa dan kawan-kawannya yang menunjukkan sikap permusuhan.
"Maaf, kami belum bisa mempercayaimu. Kalau benar kau adalah sahabat guru kami.
Tunggulah hingga beliau selesai bersemadi."
Jalangsa tetap berusaha mencegah orang itu untuk mendekati gurunya. Meskipun
demikian, terlihat sinar kekaguman tersirat pada sepasang matanya. Sebab,
mungkin saja orang tua itu benar-benar sahabat gurunya.
"Murid tolol! Dungu! Apakah kau tidak melihat kalau luka dalam gurumu cukup
parah! Kalau tidak segera dibantu, ia bisa celaka dan mungkin akan cacat seumur
hidup! Kau akan menyesal apabila hal itu terjadi, Murid Goblok!"
Orang tua itu marah bukan main melihat Jalangsa masih saja tidak
memperbolehkannya mendekati Raja Golok Perak. Wajah Jalangsa dan kawan-kawannya
berubah pucat. Terbayang kecemasan di wajah mereka, setelah mendengar ucapan
lelaki tua itu. "Hm.... Baiklah. Aku tidak akan ikut campur, dan bersedia
menunggu sampai gurumu selesai bersemadi. Tapi, kalau sampai Raja Golok Perak
menderita cacat, aku tidak bertanggung jawab...," lanjut orang tua itu lagi,
yang segera menghempaskan pantatnya di atas sebuah batang pohon kering yang
tumbang. Jalangsa semakin gelisah ketika mendengar ucapan orang tua itu. Sejenak ia
menoleh ke arah gurunya yang masih tenggelam dalam semadi. Wajah Raja Golok
Perak nampak pucat, membuat hari Jalangsa dan kawan-kawannya jadi semakin
gelisah. Mereka memang tidak tahu apa-apa dalam hal ilmu pengobatan. Selain itu,
mereka pun tidak mengetahui bagaimana Pendekar Naga Putih dapat melukai gurunya.
Pikiran-pikiran itu membuat murid-murid Raja Golok Perak semakin resah.
"Hm...."
Melihat keresahan yang semakin mencengkeram hati delapan orang murid Raja Golok
Perak, orang tua gagah itu bergumam perlahan. Kemudian bangkit dan melangkah ke
arah Raja Golok Perak. Kali ini, baik Jalangsa maupun ketujuh orang lelaki gagah
lainnya, tidak menunjukkan gerakan. Sehingga, orang tua itu melanjutkan
langkahnya. Senyum tipis membayang di bibirnya, menyaksikan betapa kedelapan orang murid
Raja Golok Perak hanya mengikuti langkahnya dengan pandangan mata saja.
Jalangsa dan kawan-kawannya saling berpandangan sekejap. Kemudian, satu-persatu
mereka bergerak mengikuti langkah orang tua yang tinggal beberapa langkah lagi
dari Raja Golok Perak Bahkan, empat orang yang semula mengelilingi tubuh
gurunya, agak merenggang, seperu hendak memberikan kesempatan kepada orang tua
itu untuk memeriksa dan membantu penyembuhan gurunya.
Orang tua bermata tajam, yang wajahnya terhias kumis dan jenggot yang telah
berwarna dua itu menghentikan langkahnya, tepat di depan tubuh Raja Golok Perak
Kemudian, tanpa disangka-sangka, lengan kanan orang tua itu terangkat dan
langsung meluncur turun, mengancam batok kepala Raja Golok Perak!
"Ahhh..."!"
Jalangsa dan saudara-saudara seperguruannya memekik kaget melihat perbuatan
orang tua itu. Tapi, karena kejadian itu berlangsung tiba-tiba dan tedampau dekat, mereka tidak
bisa mencegahnya. Dan hanya bisa memandang dengan wajah pucat!
Whuttt..! Tepat pada saat telapak tangan yang menerbitkan secercah sinar kuning keemasan
itu siap meremukkan batok kepala Raja Golok Perak, mendadak orang tua sakti itu
mengangkat kedua tangannya yang semula menyatu di depan dada, dengan kedudukan
menyilang di atas kepala.
Bresssh...! "Huagkhhh...! "
Akibatnya, terjadilah benturan keras yang membuat udara di sekitar tempat itu
bergetar. Tubuh orang tua tak dikenal itu terdorong mundur beberapa langkah ke
belakang. Sedangkan Raja Golok Perak terbenam ke tanah hingga sebatas pinggang.
Tokoh sakti itu memuntahkan darah kental dari mulutnya. Itu pertanda bahwa luka
dalam yang dideritanya kian bertambah parah.
Dengan menggunakan sisa-sisa kekuatan yang masih ada, Raja Golok Perak melenting
keluar dari dalam tanah yang membenamkan tubuhnya. Kuda-kudanya terlihat agak
goyah, ketika orang tua itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Bahkan, tubuhnya
tampak bergoyang-goyang dengan wajah yang semakin pucat.
"Kau... Ki Sangkila..."!" desis Raja Golok Perak dengan suara lemah.
Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu mengenal siapa orang yang telah
demikian curang menyerangnya selagi bersemadi. Untunglah tenaga saktinya
bergerak ketika merasakan adanya bahaya yang mengancam. Sehingga, meskipun luka
dalamnya bertambah parah, Raja Golok Perak berhasil menyelamatkan nyawanya dari
kematian. "He he he...! Bagus kau masih mengenaliku, Raja Golok Perak. Sayang, aku gagal
melenyapkanmu dari muka bumi ini. Tapi, kau jangan merasa lega dulu. Sebentar
lagi kau akan merasakan bagaimana gelapnya alam kematian itu...," ejek lelaki
tua berperawakan gagah yang ternyata adalah Ki Sangkila, Kepala Desa Pugar
Selatan. Raja Golok Perak memicingkan matanya dengan penuh rasa heran. Orang tua sakti
itu merasa terkejut melihat kepandaian lawan. Karena ia telah cukup lama
mengenal Ki Sangkila, sejak masih menjadi Wakil Kepala Desa Pugar. Sudah lebih
dari tiga tahun mereka tidak bertemu. Raja Golok Perak tetap tidak habis pikir,
mengapa kepandaian Ki Sangkila telah meningkat demikian jauh. Padahal sebelumnya
kepandaian Ki Sangkila jauh berada di bawah kepandaiannya.
"Hm.... Jangan seperti orang yang melihat hantu di siang bolong begitu, Raja
Golok Perak. Sebaiknya kau pikirkan saja, bagaimana sebenarnya alam kematian
yang sebentar lagi kau masuki...."
Kembali Ki Sangkila mengejek. Kekehnya semakin berkepanjangan, ketika melihat
Jalangsa dan kawan-kawannya telah melompat mengepung.
"Manusia keji! Sepantasnya kau berteman dengan iblis di dalam hutan ini!" bentak
Jalangsa. Usai berkata demikian, Jalangsa memerintahkan kawan-kawannya membentuk barisan
untuk menggempur Ki Sangkila. Pedang di tangannya tampak berputaran menimbulkan
suara mengaung tajam. Ki Sangkila masih saja terkekeh. Seolah-olah sama sekali
tidak merasa gentar melihat delapan orang lawan yang siap mencincang tubuhnya.
"Hm...."
Lelaki tua berhati iblis itu bergumam. Kemudian ia mengeluarkan suitan panjang,
yang disusul munculnya enam sosok tubuh dari belakang orang tua itu.
Jalangsa dan kawan-kawannya sangat terkejut melihat kemunculan orang-orang itu.
Ia tahu, orang-orang yang baru tiba itu rata-rata memiliki kepandaian cukup
tinggi. Cepat ia mengajak rekan-rekannya mundur, melindungi guru mereka. Hati lelaki
gagah berkumis tipis itu semakin gelisah ketika melihat keadaan gurunya yang
semakin bertambah payah. Jelas ia tidak bisa mengharapkan orang tua itu untuk
membantunya. "He he he...!"
Ki Sangkila terkekeh. Sepasang tangannya bergerak mengibas, mengisyaratkan
keenam orang pengikutnya untuk segera bergerak.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keenam orang lelaki pengikut Ki Sangkila,
langsung saja berlompatan menyerbu Jalangsa dan kawan-kawannya.
*** "Haaat..!"
Serbuan keenam orang lelaki yang dipimpin Suganta, lelaki berkepala botak
berkumis lebat itu, membuat Jalangsa dan kawan-kawannya kerepotan. Sebab, selain
harus melindungi diri sendiri, mereka pun harus melindungi guru mereka dari
ancaman senjata lawan. Hal itu membuat ia tidak bisa membentuk barisan bersama
kawan-kawannya.
"He he he...! Sebentar lagi kalian akan segera menyusul Jumirta, dan kedua orang
saudara seperguruan kalian itu...," ujar Ki Sangkila yang membuat wajah orangorang Perguruan Gunung Galung menjadi pucat
"Biadab! Jadi kau rupanya yang telah membunuh mereka, Sangkila"!" geram Raja
Golok Perak penuh kemarahan.
Diam-diam Raja Golok Perak menyesali kecerobohannya yang telah menuduh Pendekar
Naga Putih sebagai pelaku pembunuhan terhadap murid-muridnya. Kalau saja ia
tidak berkeras menuduh pendekar muda itu, mungkin tidak akan seperti ini
kejadian yang dihadapinya. Bahkan, bukan mustahil kalau Pendekar Naga Putih akan
membantunya untuk menemukan pembunuh murid-muridnya itu.
"Tidak salah, Raja Golok Perak. Dan sekarang adalah giliranmu!" ujar Ki
Sangkila, yang langsung melesat dengan cengkeraman mautnya untuk melenyapkan
Raja Golok Perak.
"Jangan khawatir, Raja Golok Perak! Aku datang membantumu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan menggetarkan jantung, yang membuat wajah Raja Golok
Perak berseri penuh harap. Ia melihat kedatangan sesosok bayangan yang
memancarkan sinar putih keperakan. Sekali lihat saja, ia tahu bahwa sosok tubuh
itu adalah Pendekar Naga Putih.
Mendengar seruan itu, Ki Sangkila melompat mundur, menarik pulang
serangannya. Wajah lelaki tua itu terlihat agak tegang ketika melihat Pendekar
Naga Putih yang telah berdiri melindungi Raja Golok Perak.
"Apa yang menyebabkanmu kembali ke tempat ini, Pendekar Naga Putih?"
Raja Golok Perak tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dan rasa bersyukurnya,
ketika melihat kemunculan pemuda sakti itu. Bahkan ia pun melihat adanya sosok
bayangan serba hijau yang tengah membantu murid-muridnya menggempur enam orang
pengikut Ki Sangkila.
Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm.... Tidak aneh, Ki. Sebenarnya kami berdua memang tidak meninggalkan hutan
ini. Seperti apa yang kuceritakan tadi, kami berdua telah memutuskan untuk
menjelajahi setiap pelosok hutan ini untuk mencari orang-orang muda berwajah
dingin pucat. Nah, ketika mendengar suara-suara teriakan di tempat ini, kami
memutuskan untuk segera kembali. Kami khawatir, apa yang telah menimpa ketiga
orang murid perguruanmu akan terjadi juga pada kau dan murid-murid yang
lain...," papar Panji, membuat orang tua itu mengangguk-angguk. Pendekar Naga
Putih mengulurkan sebutir obat luka dalam, dari buntalan pakaiannya. Tanpa
banyak tanya lagi, Raja Golok Perak langsung menelan obat itu. Karena ia pernah
mendengar kalau pendekar muda itu juga memiliki ilmu pengobatan.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Aku benar-benar menyesal telah menuduhmu
berbuat keji. Aku semakin tua, semakin bertambah bodoh saja...," ucap orang tua
itu, menyesali sikapnya terhadap pemuda sakti itu.
Panji hanya tersenyum penuh persahabatan. Sehingga, Raja Golok Perak semakin
merasa bodoh, dibanding pendekar muda itu.
Namun, pembicaraan kedua orang tua itu segera terhenti ketika terdengar suara
menggeram gusar. Keduanya menoleh ke arah Ki Sangkila, yang mengeluarkan suara
geraman itu. "Hm.... Jangan harap kalian semua akan dapat lolos dari tempat ini...!" geram Ki
Sangkila. Kemudian, lelaki tua itu melangkah ke kanan dengan jari-jari terkembang. Panji
menatap dengan kening berkerut ketika melihat pendaran sinar kurang keemasan
pada sepasang telapak tangan orang tua itu.
"Dari mana kau mendapatkan kekuatan seperti itu, Ki Sangkila" Apakah dewi
sembahanmu yang telah mewariskannya...?" sindir Panji.
Pendekar Naga Putih sadar akan keampuhan tenaga dalam Ki Sangkila. Karena
pendaran cahaya kuning keemasan itu menerbitkan hawa panas menyengat. Bila
tingkat kepandaian Ki Sangkila semakin tinggi, pastilah bisa memukul hangus
tubuh lawan dengan kekuatannya itu.
"Hm.... Tidak perlu banyak mengoceh, Pendekar Naga Putih! Sebaiknya bersiaplah
untuk melayat ke akhirat...!" desis Ki Sangkila yang bergerak semakin dekat.
"Heaaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh lelaki tua itu menerjang Pendekar Naga
Putih dengan sepasang telapak tangannya yang menimbulkan sambaran angin panas.
Cepat pemuda tampan itu bergerak ke kanan memiringkan tubuhnya, sekaligus
melontarkan serangan balasan dengan tusukan jari-jari tangan kanannya ke lambung
lawan. Plakkk! "Haih..."!"
Terdengar benturan seperti bara api yang dimasukkan ke dalam air. Ki Sangkila
memekik. Tubuhnya terdorong mundur sejauh satu tombak lebih. Jelas bahwa
kekuatan tenaga saktinya masih di bawah Pendekar Naga Putih. Wajah orang tua itu
tampak memucat, pertanda benturan itu telah mengguncangkan bagian dalam dadanya.
"Hmm...!"
Tiba-tiba saja Ki Sangkila mengangkat kedua tangannya ke atas seperti orang
berdoa. "Wahai Dewi Penerang Kegelapan! Berikanlah pelajaran kepada orang-orang yang
hendak menghancurkan kejayaanmu ini...!" ujar Ki Sangkila dengan suara bergetar,
menimbulkan kekuatan gaib, yang membuat dada Panji agak berdebar.
"Gila...! Orang tua ini benar-benar telah tersesat. Hm.... Aku jadi penasaran,
apakah Dewi Matahari itu benar-benar akan muncul menolongnya...," gumam Panji,
menunggu kelanjutan perbuatan Ki Sangkila.
Rupanya kekuatan pengaruh suara Ki Sangkila juga dirasakan oleh Kenanga,
Jalangsa, dan yang lainnya. Buktinya, pertempuran mereka terhenti. Semua mata
tertuju ke arah Ki Sangkila yang tengah menengadahkan kepalanya menatap langit
yang bertabur cahaya kuning keemasan.
Beberapa saat kemudian, hembusan angin yang semula bersilir lembut, terasa
semakin keras, hingga menggoyangkan batang-batang pohon besar, sampai
menimbulkan suara berderak-derak. Hawa terasa semakin bertambah panas.
"Gila...! Benarkah Dewi Matahari yang disembahnya itu akan terwujud" Seperti apa
kiranya makhluk yang disembah Ki Sangkila dan kawan-kawannya itu...?" desis
Panji perlahan. Pendekar Naga Putih terpaksa harus mengerahkan tenaga saktinya
untuk melawan hawa panas yang kian menyengat itu.
Werrr...! Entah dari mana munculnya, tahu-tahu saja kilatan sinar emas berpendaran dan
berputar-putar di sekitar tempat itu. Kemudian, kilatan-kilatan itu berkumpul,
merupakan titik-titik cahaya yang menjadi satu.
"Ahhh..."!"
Semua orang, kecuali Ki Sangkila dan para pengikutnya, sama-sama terbelalak
menyaksikan suatu pemandangan yang menurut mereka merupakan suatu yang mustahil.
Keberadaan wujud yang terlihat sangat nyata itu membuat Panji dan yang lainnya
terbelalak takjub!
7 Ki Sangkila dan enam orang pengikutnya langsung jatuh berlutut di atas tanah.
Sepertinya, kemunculan sosok yang berbentuk melalui titik-titik cahaya yang
bergumpal-gumpal itu bukan merupakan pemandangan baru bagi mereka. Terbukti, Ki
Sangkila dan para pengikutnya sama sekali tidak terkejut.
Lain halnya dengan Panji, Kenanga, Raja Golok Perak, Jalangsa, dan yang lainnya.
Mereka tersurut mundur dengan wajah tegang. Sebab, selain menebarkan hawa panas
seperti gumpalan api, sosok itu pun selalu bergerak-gerak mengikuti tiupan
angin. Tentu saja pemandangan seperti itu merupakan sesuatu yang aneh dan
mustahil bagi mereka.
Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya terpaku menatap sosok yang
semakin lama kian jelas bentuknya itu.
Seiring dengan semakin jelasnya bentuk sosok yang tercipta dari gumpalangumpalan cahaya keemasan itu, tiba-tiba terdengar suara samar-samar, mirip
desauan angin yang berirama tidak tetap.
"Hm.... Kau tidak mampu melenyapkan musuh-musuhmu ini, Sangkila...?" tegur suara
halus, seperti siliran angin yang sesekali menyentak.
Sosok itu sudah semakin nyata membentuk seorang wanita cantik jelita yang agung,
dengan sekujur tubuh bertabur cahaya emas. Rupanya dialah Sang Dewi Matahari
yang disembah Ki Sangkila dan para pengikutnya.
"Ampunkan hamba, Dewi Penerang Kegelapan. Mereka sangat sakti. Sehingga, hamba
yang bodoh tidak bisa melawan mereka...," sahut Ki Sangkila, yang masih tetap
bersujud, tanpa berani mengangkat kepalanya memandang sosok wanita cantik itu.
"Hm....," terdengar suara desauan angin yang menyiratkan kegusaran hatinya.
Perlahan-lahan, lengan kanan sosok wanita cantik itu terangkat menunjuk ke arah
Panji dan tokoh-tokoh lainnya. Sepasang mata sosok wanita cantik itu nampak
berkilauan, membuat mata orang yang menentangnya sakit dan nyeri.
"Awaaas...!"
Panji yang lebih dahulu menyadari bahaya ancaman, berseru memperingatkan yang
lainnya. Tubuh pemuda itu bergerak melakukan lompatan ke samping, diikuti Raja
Golok Perak dan yang lainnya. Malang, dua orang murid Raja Golok Perak bertindak
lamban. Akibatnya.... Brrrilll...! "Wuaaa...!"
Gumpalan sinar keemasan yang panas luar biasa itu meluncur dari jari-jari tangan
Dewi Matahari. Tanpa ampun lagi, kedua orang murid Raja Golok Perak yang malang
itu langsung terbakar seluruh tubuhnya. Sebentar saja kedua sosok tubuh itu
telah hancur jadi abu. Kejadian itu membuat yang lain menjadi terkejut dengan
wajah pucat. "Kakang...!" Kenanga mengeluh lirih, sambil merapatkan rubuhnya memegang lengan
Panji. Dara jelita itu terkejut dan ngeri menyaksikan kejadian yang menimpa dua orang
murid Raja Golok Perak. Panji sendiri tidak berani mengambil resiko untuk
menyambut serangan Dewi Matahari. Karena selain belum tahu kekuatan makhluk
ajaib itu, ia sadar bahwa yang dihadapinya adalah makhluk asing, yang tercipta
dari daya khayal dan pikiran Ki Sangkila. Makhluk itu pasti bukan berasal dari
bumi. Itu sebabnya, Panji memilih menghindar.
"Hm.... Kau benar-benar bodoh, Sangkila! Hanya manusia-manusia seperti itu saja
kau tidak mampu mengurusnya...," kembali suara mirip desau angin itu terdengar.
"Biar para pengawalku yang akan mengurusnya...."
Begitu ucapan Dewi Matahari selesai, bentuk wanita jelita penuh keagungan itu
pun perlahan lenyap, kembali membentuk gumpalan-gumpalan sinar kuning keemasan.
Terus berubah, menjadi bintik-bintik cahaya. Dan bintik-bintik cahaya yang
jumlahnya sangat banyak itu, lenyap bergabung dengan cahaya matahari, yang saat
itu memancar garang.
Kemudian, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di bekas tempat berdiri Dewi
Matahari, telah berdiri lima sosok tubuh yang terbungkus lapisan sinar keemasan.
Semakin jelas terlihat, seiring dengan lenyapnya lapisan sinar emas yang
membungkus lima sosok tubuh tegap itu. Mereka adalah lima orang pemuda tampan
bertubuh tegap dengan wajah pucat bagai mayat. Sorot mata mereka dingin,
merayapi Panji dan kawan-kawannya. Rupanya, mereka itulah yang disebut sebagai
pengawal Dewi Matahari!
"Hm.... Pantas saja kita tidak pernah menemukan mereka. Rupanya orang-orang
berwajah pucat yang pernah menyerang kita adalah pengawal-pengawal Dewi
Matahari. Benar-benar luar biasa, dan sangat sulit diterima akal sehat...!" gumam Panji,
begitu mengenali kelima sosok pemuda tampan berwajah pucat itu sebagai orangorang yang pernah menyerangnya.
Pendekar Naga Putih, Raja Golok Perak, Jalangsa, Kenanga, dan lima orang murid
Perguruan Gunung Galung, tidak mempunyai waktu lagi untuk menguraikan kejadian
aneh itu. Sebab, saat itu pengawal-pengawal Dewi Matahari telah berlompatan
menerjang kawanan tokoh peralatan itu.
"Heaaat...!"
Raja Golok Perak memekik nyaring sambil memutar senjatanya dengan sepenuh
tenaga. Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu sadar bahwa lawan bukan orangorang sembarangan. Sedikit saja ia bertindak ceroboh, bukan mustahil kalau
nyawanya sendiri yang akan melayang. Untunglah tokoh sakti itu telah mendapat
obat penyembuh luka dari Pendekar Naga Putih. Sehingga, kesehatannya telah pulih
seperti sediakala.
Namun, pemuda berwajah pucat yang menjadi lawan Raja Golok Perak, benar-benar
hebat dan sangat sulit didesak. Bahkan, tokoh itu jadi kelabakan, ketika
merasakan hawa panas yang menyebar dan pukulan-pukulan yang dilontarkan
lawannya. Hawa panas yang memenuhi arena pertempuran, membuat pemusatan pikiran
Raja Golok Perak terganggu. Sehingga, gerakan-gerakan yang dilakukannya kacau
dan mulai tak terarah.
Keadaan itu membuat Raja Golok Perak terdesak hebat, dan tidak mampu lagi
melontarkan serangan balasan.
Hal serupa juga dirasakan enam orang murid Raja Golok Perak Jalangsa yang
ditemani kelima orang kawannya, dibuat kelabakan oleh lawan yang hanya seorang.
Keampuhan jurus gabungan yang semestinya dimainkan oleh delapan orang itu
menjadi berkurang. Karena mereka kini tinggal berenam. Selain itu, hawa panas
yang terbit dari pukulan dan tamparan lawan, membuat keenam murid Perguruan
Gunung Galung itu semakin kewalahan. Akibatnya, dua orang dari mereka terpaksa
harus merelakan tubuhnya terkena hantaman lawan.
Buggg! Desss...!
"Hugkh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang itu tersungkur dan tewas. Tampak di dada dan
perut mereka terdapat gambar telapak tangan yang berbau sangit.
"Bedebah...!" maki Jalangsa.
Namun, laki-laki gagah berkumis tipis itu sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
Karena lawan memang terlalu tangguh bagi mereka. Meskipun demikian, empat orang
murid Raja Golok Perak itu berusaha mati-matian untuk mempertahankan selembar
nyawanya. Di bagian lain, Kenanga yang pernah bertarung melawan tiga orang pemuda tampan
berwajah pucat itu, jadi terkejut setengah mati. Belum lama ia merasakan
kelihaian lawan, dan merasa mampu untuk menghadapi dua orang lawan. Tapi, kali
ini ia dibuat penasaran! Sebab, menghadapi lawan yang hanya seorang, Kenanga
harus mengerahkan segenap kepandaiannya. Kepandaian lawan kini telah maju pesat.
Sehingga dara jelita itu terpaksa menghunus pedangnya untuk menghadapi gempuran
lawan. Sedangkan Pendekar Naga Putih terpaksa harus menghadapi dua orang lawan
sekaligus! Meskipun demikian, Panji harus mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Karena kepandaian dua orang lawannya benar-benar tidak bisa dianggap remeh.
"Heaaa....!"
Ketika pertempuran menginjak jurus yang keempat puluh, dan belum juga bisa
mendesak kedua orang lawannya, Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga
Marah'. Tubuhnya berkelebatan cepat, laksana bayangan hantu yang berkeliaran
mencari mangsa. Sepasang cakarnya menyambar-nyambar dengan kecepatan yang sulit
ditangkap mata. Suara berdecitan yang menghembuskan udara dingin menyengat
tulang, selalu mengiringi setiap lontaran cakar naga Panji.
Plarrr! Plarrr!
Terdengar dua kali ledakan keras yang menimbulkan kepulan asap tebal. Itu
dikarenakan inti tenaga yang mereka gunakan berlainan jenis. Akibat tangkisan
kedua orang lawannya, tubuh Pendekar Naga Putih sedikit bergoyang. Sedangkan
kedua orang lawannya, terpental sejauh satu batang tombak ke belakang. Ternyata,
kekuatan tenaga sakti Pendekar Naga Putih masih di atas kedua lawannya.
Tapi sepasang mata pemuda tampan berjubah putih itu terbeliak heran ketika
melihat tubuh kedua orang lawannya melenting bangkit, seperti tidak mengalami
cidera sedikit pun.
"Gila!" desis Panji, melihat kekuatan pengeroyoknya.
Tapi, rasa heran Pendekar Naga Putih perlahan memudar ketika teringat kalau
kedua orang itu adalah pengawal-pengawal Dewi Matahari, makhluk ajaib yang bukan
berasal dari bumi.
"Hmh...!"
Ingat akan kesaktian kedua orang itu, Panji menggeram datar. Pemuda itu
mengempos semangatnya, mengerahkan tenaga gabungan yang dimilikinya. Sebentar
kemudian, terlihat lapisan sinar kuning keemasan melapisi tubuh sebelah
kanannya. Sedangkan tubuh sebelah kiri, terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Itulah
gabungan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.
"Heaaat...!"
Disertai pekikan nyaring yang membuat tempat di sekitarnya bergetar, Panji
melesat mendahului kedua orang lawannya. Khawatir akan nasib Kenanga dan yang
lainnya, membuat Panji mengerahkan seluruh tenaga gabungannya untuk menggempur
lawan. Akibatnya sangat dahsyat sekali! Arena pertempuran bagaikan tengah diamuk badai
salju, yang kadang berubah sepanas udara gurun pasir. Kedua orang lawannya jadi
kelabakan. Hawa yang sebentar panas sebentar dingin menusuk tulang, membuat
pengeroyok Panji kewalahan. Kini mereka tidak mampu lagi membalas serangan, dan
hanya mencoba bertahan dari gempuran Pendekar Naga Putih yang kian dahsyat itu.
Panji yang telah bertekad melenyapkan lawan-lawann, tidak memberi hati lagi
kepada mereka. Tubuh pemuda perkasa itu berkelebatan laksana seekor naga putih
yang murka. Sambaran cakar dan tamparannya mengaung-ngaung bagaikan dengung
ribuan lebah yang marah.
"Yeaaah...!"
Setelah sepuluh jurus, Pendekar Naga Putih kembali mengeluarkan pekikan
melengking tinggi. Tubuhnya melenting ke atas berputaran, dan melunak turun
secara mengejutkan. Sepasang telapak tangannya mendorong bergantian, menebarkan
hawa panas dan dingin berganti-ganti. Dan....
Blarrr! Blarrr...!
"Aaargh...!"
Terdengar raungan tinggi bagaikan hendak merobek angkasa, ketika pukulan jarak
jauh Pendekar Naga Putih telak menghajar tubuh kedua orang lawannya. Tanpa ampun
lagi, tubuh mereka terpental deras dengan tulang-tulang remuk. Kedua orang
pengawal Dewi Matahari itu langsung ambruk dengan nyawa melayang meninggalkan
raga. Tanpa mempedulikan lawannya yang tewas, Panji langsung menoleh ke arah
pertarungan lain. Dilihatnya Kenanga masih bertempur sengit menghadapi seorang
lawannya. Sedangkan, Jalangsa dan tiga orang kawannya terdesak hebat. Yang lebih
mengkhawatirkan adalah keadaan Raja Golok Perak. Tokoh puncak Perguruan Gunung
Galung itu tidak akan dapat bertahan lebih dari lima jurus lagi. Pendekar Naga
Putih langsung mengambil kesimpulan untuk menyelamatkan Raja Golok Perak
"Ki, serahkan lawanmu padaku! Kau bantulah murid-muridmu...!" seru Panji.
Pendekar Naga Putih segera melayang ke arah pertempuran. Sepasang tangannya
bergerak cepat, menyambut datangnya pukulan lawan yang tengah mengancam tubuh
Raja Golok Perak.
Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Plakkk! Tangan kanan Panji yang terlapisi 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' jelas jauh
lebih unggul dari tenaga lawan. Tangkisan itu membuat tubuh lawannya
terpelanting sejauh dua tombak. Tanpa memberikan kesempatan lagi, pemuda tampan
berjubah putih itu kembali melesat melancarkan serangan mautnya.
Blarrr...! Debu dan rerumputan mengepul memenuhi arena pertarungan ketika telapak kiri
Pendekar Naga Putih menghajar tanah, tempat tubuh lawannya terjatuh. Untung
pengawal Dewi Matahari itu masih sempat menggulingkan tubuhnya. Sehingga,
serangan Panji hanya mengenai tanah, yang jadi berlubang sebesar kubangan
kerbau. Serangan Pendekar Naga Putih tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu
mengetahui lawan berhasil menyelamatkan diri, Panji langsung melenting ke udara,
dan berputaran mengejar tubuh lawan. Dari atas, tubuhnya meluruk turun. Kaki
kanannya mencuat secepat kilat ke arah dada lawan, yang saat itu tengah bersiap
melanjutkan pertarungan.
Desss...! Tendangan maut Pendekar Naga Putih telak singgah di dada lawan. Akibatnya dapat
ditebak. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat bagai mayat itu langsung
terjengkang, dan menghantam sebatang pohon besar yang berada di belakangnya.
Derrr...! Pohon besar itu bergetar, dan daun-daunnya berguguran saat tubuh pengawal Dewi
Matahari membentur batangnya dengan keras. Nasib pemuda berwajah pucat itu
mengenaskan sekali! Darah segar muncrat membasahi batang pohon. Tubuh yang
tulang-tulangnya sudah pasti patah itu langsung menggeloso, dan tewas dengan
mata mendelik. "Aaargh...!"
Panji menoleh secepat kilat ketika mendengar pekik kematian yang datang dari
arah kanannya. Hati pemuda itu menjadi lega ketika melihat Pedang Sinar Rembulan
milik Kenanga merobek tubuh pengawal Dewi Matahari yang menjadi lawannya. Sosok
yang tatapannya menggetarkan jantung itu pun roboh dengan tubuh bermandikan
darah. "Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji yang telah melesat ke dekat
kekasihnya. Dara jelita itu tampak lelah sekali setelah menguras seluruh kepandaiannya dalam
menghadapi pengawal Dewi Matahari yang memang benar-benar tangguh itu.
"Aku baik-baik saja, Kakang. Hanya merasa sangat lelah sekali...," desah Kenanga
seraya menghela napas lega, karena telah berhasil menamatkan riwayat lawannya.
"Mari kita bantu Raja Golok Perak dan murid-muridnya, Kakang. Tampaknya mereka
kewalahan menghadapi pengawal-pengawal Dewi Matahari yang tinggal seorang itu,"
lanjut Kenanga sambil menoleh ke arah pertarungan lain.
Panji mengangguk. Kemudian keduanya segera melesat ke arah pertarungan yang
masih berlangsung seru itu. Karena tidak ingin membiarkan Raja Golok Perak dan
murid-muridnya terancam bahaya maut. Panji langsung saja berseru kepada tokoh
puncak Perguruan Gunung Galung itu.
"Biar kucoba untuk melumpuhkannya, Ki..." seru Panji yang sudah melayang ke dalam
kancah pertempuran.
Saat itu Pendekar Naga Putih melihat salah seorang murid Raja Golok Perak
terancam bahaya maut. Cepat-cepat pemuda itu bertindak menyelamatkan murid Raja
Golok Perak yang tidak mampu lagi menyelamatkan dirinya.
Plak... bukkk! "Hugkh...!"
Begitu memasuki arena pertarungan, Panji langsung memapaki pukulan pengawal Dewi
Matahari, dan sekaligus mengirimkan hantaman telapak tangan kanannya dengan
kecepatan yang sulit ditangkap mata biasa. Akibatnya, tubuh lawan langsung
tersurut mundur sejauh dua tombak. Sedangkan Pendekar Naga Putih, telah melompat
berputar sambil mengibaskan lengan kanannya ke batang leher lawan.
Desss! Kreeeekh...! Kibasan lengan Panji yang dilapisi kekuatan tenaga dalam tinggi itu telak
membentur leher bagian samping lawannya. Terdengar suara gemeretak tulang patah.
Dan tubuh pengawal Dewi Matahari yang terakhir itu harus merelakan nyawanya
melayang ke akhirat. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu ambruk dengan kepala
terkulai. "Hhh.... Benar-benar sulit dipercaya! Kesaktian pemuda pengawal-pengawal Dewi
Matahari itu sungguh luar biasa sekali. Kalau saja tidak ada kau yang menolong
kami, rasanya Perguruan Gunung Galung hanya tinggal nama saja...," desah Raja
Golok Perak seraya menggelengkan kepalanya. Ditatapnya Pendekar Naga Putih
dengan pandangan kagum.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Aku minta maaf, karena telah menuduhmu
sembarangan...," Jalangsa ikut angkat bicara.
"Manusia memang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Jadi, wajar saja kalau
sekali waktu kalian khilaf. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan kejadian itu.
Yang penting, kita telah sadar," sahut Panji, membuat hati Raja Golok Perak dan
Jalangsa menjadi lega.
"Eh, ke mana perginya Ki Sangkila dan para pengikutnya" Kita sampai melupakan
mereka, si penyebab semua kejadian ini"
"Ah...! Pasti ia telah melarikan diri. Mari kita kejar! Ki Sangkila dan para
pengikutnya pasti telah kembali ke desanya...," timpal Raja Golok Perak, yang
juga tidak menemukan sosok Ki Sangkila dan kawan-kawannya di sekitar tempat itu.
"Mari...," ajak Panji. Kemudian, rombongan kecil itu pun segera bergerak menuju
Desa Pugar Selatan, tempat Ki Sangkila menjadi penguasa.
8 "Hm.... Mengapa desa ini tampak sepi sekali..." Tidakkah ini mencurigakan,
Baldawa...?" gumam seorang lelaki gagah berusia enam puluh tahun.
Ucapannya itu ditujukan kepada lelaki kekar yang berada di sebelah kanannya.
Keduanya sama-sama menunggang kuda, dan memperlambat laju binatang
tunggangannya saat memasuki perbatasan Desa Pugar Selatan.
"Mungkin mereka telah tahu kedatangan kita, Ki. Kalau begitu, kita harus
meningkatkan kewaspadaan...," sahut Baldawa seraya mengedarkan pandangan matanya
ke sekitar tempat itu.
Namun, yang dilihatnya hanyalah rerumputan dan pohon-pohon bisu yang berjejeran
di sepanjang jalan. Baldawa tidak mendengar adanya suara-suara mencurigakan,
kecuali desir angin yang menggoyangkan dedaunan pohon.
Lelaki tua yang tidak lain dari Ki Sakya Wulung, terus menjalankan kudanya
lambat-lambat memasuki mulut Desa Pugar Selatan, beberapa penduduk yang melihat
dan mengenali lelaki tua itu tampak gelisah. Mereka berlarian masuk ke dalam
rumah. Karena Ki Sakya Wulung membawa pengikut yang jumlahnya sekitar lima puluh
orang lebih. Dan masing-masing membawa senjata, seperti hendak berperang. Hal
itu membuat penduduk Desa Pugar Selatan menjadi ketakutan.
"Hm.... Kurasa Ki Sangkila sedang meninggalkan desa ini. Kau lihat, Baldawa.
Yang ada dalam desa hanya anak-anak dan wanita. Para keamanan desa ini pun tidak
terlihat...," ujar Ki Sakya Wulung lagi, kepada Baldawa yang merupakan tangan
kanannya. Sambil berkata demikian, Ki Sakya Wulung melompat turun dari atas punggung
kudanya. "Ki, lihat...!"
Baru saja kedua kaki lelaki gagah itu menginjak tanah, tiba-tiba Baldawa berseru
sambil menudingkan telunjuknya ke depan.
Ki Sakya Wulung mengangkat kepalanya, ketika mendengar seruan Baldawa. Lelaki
tua yang masih tampak gagah itu melihat belasan orang bersenjata tengah
berlarian menyongsong pasukannya. Melihat pakaiannya, Ki Sakya Wulung dapat
mengetahui kalau mereka adalah para keamanan Desa Pugar Selatan.
"Hm.... Mau apa kalian datang kemari..."!" tegur seorang lelaki tinggi kurus
berwajah agak pucat. Tangan kanannya tampak telah menghunus pedang, siap
mengusir pergi rombongan Ki Sakya Wulung dari desanya.
"Durgana," ujar Ki Sakya Wulung seraya melangkah beberapa tindak ke depan,
membuat lelaki tinggi kurus itu surut dua langkah. "Aku datang selain hendak
meminta pertanggungjawaban Ki Sangkila, sekaligus juga untuk menghentikan
kesesatannya. Orang-orang desaku telah banyak yang dihasutnya, sehingga mengikuti perbuatan
sesatnya. Dan, tiga orang utusanku, termasuk Ki Balasara, tidak pernah kembali
lagi setelah datang menemui kepala desamu. Semua alasan itulah yang membuat aku
mengambil keputusan untuk melenyapkan kesesatan Ki Sangkila dan semua
pengikutnya. Sekarang kau boleh pilih! Ikut jalan sesat yang ditempuh Ki Sangkila dan
kubasmi, atau menyerah untuk kuampuni...?"
"Hm.... Jangan coba-coba membujuk kami, Ki Sakya Wulung. Kau lihat sendiri, desa
ini jauh lebih makmur dengan hasil panen yang melimpah, dibanding desamu yang
kering kerontang itu. Bilang saja kau ingin merebut desa ini. Tapi, aku tidak
akan mundur!" sambut Durgana.
Sambil berkata demikian, Durgana melintangkan pedangnya di depan dada. Dan
memberi perintah kepada delapan belas orang pengikutnya untuk menggempur pasukan
Ki Sakya Wulung.
Baldawa yang saat itu masih berada di atas punggung kudanya, segera melompat
turun dengan pedang terhunus. Para pengikutnya yang berada di belakang, langsung
diperintahkan untuk menyambut datangnya musuh. Sebentar saja, perang kecil itu
pun pecah. "Heaaat..!"
Dengan teriakan nyaring, Baldawa segera maju menggempur lawan-lawannya.
Pedang di tangannya berkelebatan ke sana kemari, menyambar-nyambar dengan
kecepatan yang menggetarkan. Sebentar saja, telah dua orang lawan tersungkur
mandi darah, terkena sambaran pedangnya. Amukan lelaki pendek kekar yang gesit
itu membuat lawan menjadi gentar.
Sedangkan Ki Sakya Wulung saat itu tengah menghadapi Durganta. Lelaki tua yang
masih gesit gerakannya itu, hanya menggunakan tangan kosong untuk menghadapi
gempuran pedang lawan. Meskipun demikian, kelihatan sekali kalau Ki Sakya Wulung
berada di atas angin, dan dapat menguasai lawannya setelah bertempur selama dua
puluh jurus. Lelaki tua itu terus mendesak lawannya dengan tamparan-tamparan
keras dan tendangan-tendangan kilat yang tak terduga.
Plak! "Aaakh...!"
Suatu saat, ketika pedang lawan berkelebat membacok dari samping, Ki Sakya
Wulung melontarkan tendangannya yang tepat menghantam pergelangan lawan, membuat
pedang di tangan Durganta tedepas dari pegangan.
"Hiaaah...!"
Ki Sakya Wulung yang ingin melumpuhkan lawan secepatnya, segera saja mengirimkan
pukulan kerasnya ke dada lawan. Tapi, saat itu juga, berkelebat sesosok bayangan
hitam yang langsung menyambut datangnya pukulan Ki Sakya Wulung. Dan....
Plak! "Aihhh...!?"
Tangkisan keras itu membuat Ki Sakya Wulung memekik kesakitan! Tubuh orang tua
itu terhuyung limbung, memegangi telapak tangannya yang panas bagaikan terjilat
lidah api. "Ki Sangkila...!" desis lelaki tua itu, ketika mengangkat wajah melihat siapa
orang yang baru datang.
Sosok yang telah menyelamatkan Durganta itu memang Ki Sangkila, yang tiba
bersama enam orang pengikutnya. Kedatangan Ki Sangkila membuat Ki Sakya Wulung
terkejut Apalagi, kesaktian lelaki tua yang pernah menjadi wakilnya itu
kelihatan telah maju pesat. Hal itu dapat diduga dari benturan yang barusan
dirasakannya. "Hm.... Apa maksudmu mendatangi desa ini, Sakya Wulung" Apakah desamu telah
kekeringan, dan para penduduknya kelaparan" Kalau hendak meminta sedekah,
mengapa tidak langsung berterus-terang saja?" ejek Ki Sangkila dengan senyum
yang menyakitkan hati. "Kau benar-benar sombong, Sangkila! Tiga orang utusan
yang kukirim secara baik-baik untuk menemuimu, telah kau celakai pula. Cepat
serahkan Balasara dan kedua orang pembantuku, juga orang-orang desaku yang telah
kau hasut itu. Kalau tidak, aku terpaksa harus memaksamu dengan kekerasan...!"
geram Ki Sakya Wulung sambil meraba gagang pedangnya.
"Ha ha ha...!" Ki Sangkila terbahak keras, mendengar ancaman Ki Sakya Wulung.
"Hei, Orang Tua Tak Berguna! Kalau memang kau mempunyai kepandaian, ayo
tunjukkan! Mari kita buktikan, siapa di antara kita yang paling kuat..," tantang Ki
Sangkila, sombong.
Ki Sakya Wulung belum sempat membalas ucapan lawannya ketika terdengar jerit
kematian berturut-turut yang membuat lelaki tua itu menoleh dengan wajah tegang.
Kekhawatirannya terbukti. Para pengikutnya tampak bertumbangan, dibasmi pengikut
Ki Sangkila. Bahkan, Baldawa sendiri kelihatan tengah kerepotan menghadapi
seorang pengikut Ki Sangkila. Sekali lihat saja, Ki Sakya Wulung sadar
keadaannya tidak menguntungkan. Tapi, karena semua itu sudah telanjur, maka ia
pun mengeraskan hati.
Menurutnya, lebih baik hancur daripada mundur dari medan pertempuran.
"Hm.... Mari kita selesaikan urusan ini, Sangkila...!" geram Ki Sakya Wulung,
segera menghunus pedangnya dan menyilangkan di depan dada, siap untuk bertarung.
*** "Ki Sakya Wulung, kami datang membantu...!" tiba-tiba saja terdengar seruan
nyaring, membuat Ki Sakya Wulung dan Ki Sangkila menoleh ke arah datangnya
suara. "Panji...!" desis Ki Sakya Wulung.
Wajah orang tua itu berubah cerah ketika melihat sosok bayangan putih dan hijau
berlarian saling mendahului. Di belakang kedua pendekar muda itu berlari lima
orang lelaki gagah.
"Apa kabar, Ki Sakya Wulung...?" tegur sesosok lelaki tua, yang datang bersama
Panji dan Kenanga.
"Raja Golok Perak...! Ah, aku sama sekali tidak menyangka kalau kau bisa berada
di tempat ini...," ujar Ki Sakya Wulung semakin bertambah gembira, melihat sosok
lelaki tua itu. Keduanya memang telah saling mengenal, karena Perguruan Gunung
Galung tidak begitu jauh letaknya dari Desa Pugar Utara dan Selatan.
"Sangkila telah membunuh ketiga orang murid-muridku, Sakya Wulung. Untuk itu,
aku ingin membuat perhitungan dengannya...," ujar Raja Golok Perak.
Sementara, Ki Sangkila sangat terkejut melihat kemunculan orang-orang itu.
Kakinya melangkah ke belakang, ingin melarikan diri.
"Hendak ke mana kau, Sangkila..." Tiga orang nyawa pembantuku, harus kau tebus
dengan nyawamu...!" bentak Ki Sakya Wulung yang segera melompat menutup jalan
lari Ki Sangkila.
Demikian pula Raja Golok Perak. Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu
menghunus senjatanya mengepung Ki Sangkila. Jelas, kepala desa sesat itu tidak
mempunyai jalan untuk meloloskan diri.
"Hm.... Kalian memang harus dilenyapkan...!" geram Ki Sangkila dengan wajah
bengis. Bukan kedua orang tokoh itu yang ditakutinya, tapi keberadaan Pendekar Naga
Putih-lah yang membuat Ki Sangkila tidak akan menang. Kalau hanya Ki Sakya
Wulung dan Raja Golok Perak, lelaki tua itu sama sekali tidak gentar. Maka, ia
segera bersiap untuk menghadapi kedua orang lawannya itu.
Sementara itu, Panji, Kenanga, Jalangsa, dan tiga orang lainnya segera
menceburkan diri ke dalam kancah pertempuran. Kehadiran mereka, terutama Panji
dan Kenanga, membuat pasukan Ki Sakya Wulung yang semula sudah putus asa, jadi
bersemangat lagi. Apalagi setelah Panji dapat menjatuhkan dua orang pengikut Ki
Sangkila. Sebentar saja, keadaan pun berubah total. Kini, pihak Ki Sakya Wulung
yang menguasai medan pertempuran.
Baldawa yang memang sudah kepayahan, mendapat bantuan dari Jalangsa.
Keduanya bergerak menggempur lawan, yang hampir membuat Baldawa menyerahkan
nyawanya. Kemunculan Jalangsa membuat keadaan berubah. Kini mereka berdualah
yang mendesak lawan, dan dapat menewaskannya setelah bertarung sengit selama
kurang lebih dua puluh lima jurus.
Melihat pihak Ki Sakya Wulung telah berada di atas angin, Panji segera mendekati
Kenanga dan berbisik perlahan,
"Aku hendak melihat pertempuran Ki Sakya Wulung. Kau tetaplah di sini. Jangan
sembarang membunuh. Kalau bisa, buat mereka pingsan. Siapa tahu, kita masih bisa
membawa mereka ke jalan yang benar."
Setelah melihat kekasihnya mengangguk, Pendekar Naga Putih segera melesat ke
arah pertarungan Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak, yang sedang berusaha
melumpuhkan Ki Sangkila.
Panji berdiri agak jauh dari arena pertempuran. Pemuda itu menatap tajam penuh
perhatian. Wajahnya rampak agak cerah ketika melihat kedua orang kawannya dapat
menguasai perkelahian itu. Meskipun memerlukan waktu yang cukup lama, tapi Panji
tahu kalau Ki Sangkila akan segera dapat ditundukkan.
"Yeaaat..!"
"Heaaat...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keenam puluh, Ki Sakya Wulung dan Raja
Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Golok Perak berteriak nyaring secara bersamaan. Keduanya melesat dengan serangan
yang hebat dan mematikan! Senjata di tangan Raja Golok Perak berputaran
menimbulkan suara menderu tajam. Sedangkan pedang di tangan Ki Sakya Wulung
membentuk gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sepertinya, kali ini Ki
Sangkila tidak mungkin dapat selamat dari ancaman serangan kedua orang tua sakti
itu. "Haiiit...!"
Ki Sangkila yang sadar akan kedahsyatan serangan kedua orang lawannya, mengambil
kepuusan nekat. Disertai pekikan nyaring, lelaki tua itu melipat kedua tangannya
di depan dada. Kemudian mendorong ke depan disertai bentakan keras.
Brettt! Srattt!
Kening Pendekar Naga Putih berkerut, melihat Ki Sangkila duduk menyembah ke arah
matahari. "Aku harus segera mencegahnya. Kalau tidak belum tentu aku sanggup menghadapi Dewi Matahari yang
disembahnya...," gumam Panji terkejut, melihat bintik-bintik cahaya merah mulai
turun dari langit, hendak berkumpul di dekat Ki Sangkila.
Bresssh...! Hebat sekali benturan yang terjadi. Pedang dan golok lawan membeset tubuh Ki
Sangkila, yang mengimbanginya dengan sebuah hantaman telapak tangan ke tubuh
kedua orang lawannya itu. Akibatnya, tubuh Ki Sangkila terhuyung ke belakang
dengan ceceran darah berjatuhan membasahi tanah. Sedangkan Ki Sakya Wulung dan
Raja Golok Perak terpental ke belakang dan jatuh terbanting di atas tanah
berbatu. Wajah keduanya tampak pucat Pada dada mereka terdapat tanda hitam
bergambar telapak tangan.
Panji yang melihat kejadian itu segera berlari memburu. Pemuda itu bergerak
cepat menotok jalan darah di tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak.
Kemudian, menjejalkan dua butir obat pulung yang berwarna merah dan putih.
Setelah itu, tubuhnya berbalik dan matanya langsung menatap ke arah Ki Sangkila
yang telah ambruk di atas tanah.
Kening Pendekar Naga Putih berkerut ketika melihat Ki Sangkila duduk dengan
sikap menyembah sambil menatap ke arah matahari.
"Aku harus segera mencegahnya. Kalau tidak, belum tentu aku sanggup menghadapi
Dewi Matahari yang disembahnya itu...," gumam Panji yang segera melesat ke arah
Ki Sangkila. Pendekar Naga Putih agak terkejut ketika melihat bintik-bintik cahaya merah yang
mulai turun dari langit hendak berkumpul di dekat Ki Sangkila.
"Yeaaah...!"
Panji membentak seraya mengayunkan sisi telapak tangannya membacok leher
belakang lawan. Dan....
Kraaak... "Akh...!"
Ki Sangkila mengeluh pendek saat sisi telapak tangan Pendekar Naga Putih
menghantam tengkuknya. Tubuh orang tua itu langsung ambruk dengan kepala
terkulai. Batang lehernya patah akibat hantaman Panji yang mematikan.
Pendekar Naga Putih terpaksa melakukannya, karena kalau tidak demikian, bukan
mustahil orang-orang desa dan juga berikut desanya, akan hancur akibat amukan
Dewi Matahari. Ia sendiri tidak bisa memastikan, apakah sanggup mencegah amukan
makhluk ajaib yang tercipta dari alam pikiran Ki Sangkila.
Bersamaan dengan tewasnya Ki Sangkila, bintik-bintik cahaya yang mulai berkumpul
itu kembali melayang naik ke langit. Seperti tersedot oleh pancaran sinar
matahari yang terik.
Panji menghela napas lega, melihat segalanya telah berakhir. Pemuda itu
melangkah menghampiri tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak yang berhasil
diselamatkan. Wajah kedua tokoh itu sudah mulai kemerahan, meskipun belum sadar
dari pingsannya.
Saat itu pertempuran telah usai pula. Atas petunjuk Panji, Baldawa segera
memerintahkan orang-orangnya untuk mengurus mayat-mayat yang berserakan di
tempat itu. Sedangkan tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak dibawa ke rumah
terdekat Panji dan Kenanga memutuskan untuk tinggal di desa itu, sampai Ki Sakya
Wulung dan Raja Golok Perak sembuh seperti sediakala.
SELESAI Panji Sakti 11 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Pedang Dan Kitab Suci 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama