Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang Bagian 2
dapat diketahui kalau pemuda tampan berjubah putih itu memiliki ilmu silat
tinggi. Namu baru n, beberapa saat berlatih, tiba-tiba saja pemuda tampan itu
menghentikan gerakannya. Setelah sesaat lamanya terdiam, mendadak tubuhnya
melayang ke atas pohon rindang. Dan bersembunyi di antara dedaunan pohon.
Tidak berapa lama kemudian, tampaklah sesosok tubuh berlari melewati lapangan
berumput. Pada bahu kanannya tampak sesosok tubuh ramping meronta-ronta Rupanya
suara langkah berlari itulah yang membuat pemuda tampan berjubah putih itu
bersembunyi. "Hm.... Kelakuan orang itu sangat mencurigakan. Mungkin ia penjahat pemetik
bunga. Aku akan mencoba menyelidikinya...," gumam pemuda tampan itu, perlahan.
Pada saat itu dilihatnya sosok lelaki gagah yang mencurigakan berlari di
bawahnya. Setelah sosok yang dicurigai menjauh, ia melayang turun dari atas pohon.
Kemudian membuntutinya dari jarak yang agak jauh. Gerakannya yang ringan dan
tidak menimbulkan suara, membuat sosok yang dibuntutinya tidak sadar kalau
sedang diikuti sosok lain.
Tapi, dugaan pemuda tampan itu meleset. Setelah beberapa saat dibuntuti, sosok
lelaki gagah beru a s
si ekitar lima puluh tahun yang berlari di depannya berhenti. Kemudian menoleh ke
belakang. Sepasang matanya tampak berkilat ketika yang dilihatnya hanyalah
pepohonan. Padahal ia yakin ada suara langkah kaki yang membuntuti.
Untuk beberapa saat lamanya, sosok le ki
la gagah itu tetap berdiri tegak mengawasi
sekelilingnya. Meski tidak terlihat sesosok tubuh pun, lelaki setengah baya itu
masih belum yakin. Sambil melangkah maju beberapa tindak, ia menajamkan indera
pendengarannya.
"Hm.... Siapa pun yang bersembunyi di sekitar tempat ini, tunjukkanlah jika kau
benar-benar bukan seorang pengecut...," akhirnya lelaki setengah baya itu
berseru memancing keluar orang yang membuntutinya.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang saat itu bersembunyi di atas sebatang
pohon, melayang turun, ia tidak sudi disebut seorang pengecut. Terbukti ia
langsung menunjukkan diri di hadapan lelaki gagah itu.
"Hm... Mengapa kau membuntutiku dengan sembunyi-sembunyi, Bocah" Apa
maksudmu...?" tegur sosok lelaki gagah itu sambil menatap tajam sosok pemuda
tampan berjubah putih. Dari sikapnya, kelihatan kalau lelaki setengah baya itu
memandang remeh pemuda tampan berjubah putih.
"Maaf jika kau merasa terganggu dengan perbuatanku, Orang Tua. Terus terang saja
aku curiga dengan sikapmu. Dapatkah kau memberi keterangan tentang gadis yang
ada dalam pondonganmu itu...?" tanya pemuda itu seraya membalas tatapan lawan
bicaranya dengan sorot yang tidak kalah tajam. Seke
e tika, wajah orang tua itu m njadi
kelam. Jelas, ia merasa jengkel dengan pemuda tampan yang menurutnya terlalu usil itu.
"He he he...! Gadis ini kuculik dari kotaraja. Kedua orangtuanya kubunuh dan
tempat kediamannya kubakar habis. Nah, apakah kau sudah puas dengan jawabanku,
Bocah...?" sahut lelaki setengah baya itu tanpa berusaha menyembunyikan
perbuatannya. Tentu saja jawaban itu membuat lawan bicaranya menatap dengan kening berkerut.
"Kau bicara sungguh-sungguh, Orang Tua" Sadarkah kau, pengakuanmu itu bisa
mencelakakan dirimu...?" ujar pemuda tampan berjubah putih, berusaha meneliti
wajah orang tua itu. Ia belu
pe m rcaya sepenuhnya keterangan orang tua itu.
"Hm.... Percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Yang jelas, kalau kau ingin
menolong gadis ini, cepatlah bertindak. Kalau tidak, aku akan pergi, dan jangan
coba-coba mengikutiku lagi...!" jawab lelaki setengah baya itu mengancam.
Sehingga, keraguan pemuda itu pun lenyap seketika.
"Kalau begitu, serahkan gadis dalam pondonganmu. Dan kau boleh pergi tanpa
kuganggu...!" sergah pemuda tampan itu dengan sorot mata yang kian tajam.
"Ha ha ha...!"
Lelaki tua itu tertawa terbahak-bahak. Jelas, ia merasa geli mendengar ucapan
bernada ancaman dari pemuda tampan berjubah putih itu.
Namun, pemuda itu tidak tersinggung. Wajahnya tetap tenang. Sedikit pun tidak
terlihat nada jengkel dalam ucapannya. Dan ketika mendengar lelaki tua itu
tertawa keras, ia malah maju beberapa tindak
"Tertawalah sepuasmu, O ang T
r ua. Tapi.... Jaga baik-baik gadis dalam
pondonganmu itu. Aku khawatir jantungmu akan copot apabila gadis itu sudah
berpindah tangan nanti...," tenang sekali ucapan itu, membuat tawa lelaki gagah
itu terhenti. "Hm.... Gertakanmu boleh juga, Bocah. Tapi, rebutlah gadis cantik ini dari
tangan Iblis Pulau Kar
Ak ang. u hadiahkan tubuh molek ini untukmu, kalau memang kau sanggup
mengambilnya dari tanganku...," ujar lelaki tua yang mengaku berjuluk Iblis
Pulau Karang itu.
"Kalau begitu, bersiaplah...!"
Begitu ucapannya selesai, sosok pemuda tampan itu lang
m sung elesat ke depan
melancarkan totokan yang menimbulkan suara berdecit tajam. Bahkan sambaran angin
dingin meng i se iring rangannya. "Eh..."!"
Iblis Pulau Karang terkejut ketika merasakan sambaran angin dingin yang sangat
kuat datang mengiringi serangan lawan. Meskipun demikian, ia masih belum yakin
sepenuhnya. Setelah
e m miringkan tubuh, tangan kanannya bergerak mengibas,
menyambut datangnya sebuah totokan yang mengancam urat lehernya.
Plakkk! "Hei..."!"
Kali ini baru terbuka mata Iblis Pulau Karang. Tangkisan yang semula dimaksudkan
untuk mematahkan leng n lawa
a n, malah membuat tubuhnya terdorong, dan
hampir te ntung ia be rjatuh. U rtindak cepat memperbaiki kuda-kudanya. Wajahnya tampak
merah menahan geram.
"Hm... Pantas kau berani bersikap sombong, Bocah! Rupanya kau memiliki
kepandaian mengagumkan. Tapi, jangan berbesar hati dulu. Bersiaplah
menyelamatkan dirimu da
se ri ranganku...," ujar Iblis Pulau Karang seraya menurunkan gadis dalam
pondongannya, dan meletakkan di bawah sebatang pohon besar. Tubuh gadis itu
tidak mampu bergerak, karena telah ditotok.
"Haaat...!"
Dengan sikap licik, Iblis Pulau Karang langsung menerjang lawannya. Sepasang
tangannya bergerak cepat berputaran menimbulkan sambaran angin tajam berbau
amis. Lelaki tua itu sudah menggunakan pukulan-pukulan mautnya yang mengandung racun
mematikan. Pemuda ta pan m berjubah putih itu terkejut, dan semakin yakin kalau lelaki tua berjuluk Iblis
Pulau Karang itu benar-benar seorang yang kejam. Buktinya, lelaki tua itu
langsung menggunakan ilmu pukulan yang me
u m matikan. Hal it
enandakan Iblis Pulau
Karang seor ng mudah ang tokoh ya sekali bertindak kejam, meski lawannya belum tentu
bersalah. "Kurang ajar! Sekarang aku benar-benar yakin dengan pengakuannya tadi. Orang
kejam seperti lelaki tua ini memang harus diberi pelajaran...!" geram pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Mamp s kau...!"
u bentak Iblis Pulau Karang sambil melontarkan pukulan beruntun, yang menebarkan
hawa panas berbau amis menyengat hidung.
Whusss! Whuttt!
"He aah...!"
a Pemuda tampan berjubah putih itu membentak perlahan, memutar tubuhnya dan
melompat mundur sejauh satu tombak. Kakinya bergerak berputar dengan tumit
mengarah pelipis lawan.
Zebbb! Iblis Pulau Karang memiringkan tubuhnya ke kanan dengan kuda-kuda rendah.
Kemudian, memutar tubuh sambil menyapu kaki kanan lawan yang menjadi tumpuan
tubuhnya. !" "Haiiit...
Dibarengi sebuah seruan nyaring, tubuh pemuda tampan itu melayang ke udara.
Dari atas, sepasang tangannya bergerak susul-menyusul dengan tamparan yang
menerbitkan angin tajam.
Lelaki tu i a tu terpaksa melempar tubuhnya bergulingan, ia tahu kehebatan serangan pemuda
tampan itu. Kemudian kembali melenting bangkit dan menerjang dengan jurus-jurus
yang lebih hebat. Pertempuran berlangsung dalam tempo yang lebih cepat dari
sebelumnya. u Jur s demi jurus berlalu cepat. Tanpa disadari, kedua tokoh itu telah bertarung
lebih dari enam ul
p uh jurus. Sejauh itu, belum tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai
pe nang. me "Yeaaat...!"
Iblis Pulau Karang memekik dengan penuh penasaran. Saat itu juga, tubuhnya
melompat ke belakang. Dengan kuda-kuda direndahkan, lelaki tua itu mendorong
sepasang telapak tangannya melakukan pukulan jarak jauh yang mengandung racun
ganas. Whusss...! ..!" "Hiaaah. Pemuda tampan berjubah putih itu melenting ke udara menghindari pukulan maut
yang sangat dahsyat dari lawannya. Akibatnya....
Blarrr...! Sebatang pohon besar berderak ribut ketika pukulan Iblis Pulau Karang
menghantamnya. Asap tipis mengepul seiring dengan robohnya pohon besar itu. Yang
membuat pemuda tampan itu terkejut adalah akibat lain yang ditimbulkan pukulan
Iblis Pulau Karang.
"Hebat...! Pohon itu langsung hangus dan mati sampai ke akar-akarnya! Benarbenar sebuah ilmu pukulan yang berbahaya dan keji...!" gumam pemuda tampan itu,
semakin bertambah sadar akan kesaktian pukulan beracun lawan.
Iblis Pulau Karang menatap lawannya dengan wajah berubah. Sejenak keningnya
berkerut melihat perbuatan lawan, yang berdiri tegak dengan sepasang mata
mencorong tajam. Sesaat Iblis Pulau Karang merasakan jantungnya berdebar, me p
sorot mata nata tajam menggetarkan jantung itu.
"Ahhh..."!"
Terdengar lelaki tua itu memekik keheranan, ketika melihat lapisan kabut
bersinar putih keperakan menyelimuti sekujur tubuh lawannya. Saat itu juga, ia
teringat seorang tokoh muda yang telah menggegerkan rimba persilatan dengan
ilmu-ilmu mukjizatnya.
Tapi, sebelum mulutnya sempat mengucapkan kata-kata, sosok pemuda tampan itu
telah melayang dengan serangan yang menerbitkan hawa dingin menusuk tulang.
"Yeaaa...!"
Dengan k gug aga up karena hatinya masih dilanda rasa terkejut Iblis Pulau Karang melompat jauh
ke belakang. Sehingga, serangan pertama lawannya luput. Tapi, gempuran pemuda
itu masih terus berkelanjutan. Cakar-cakarnya yang sekeras baja tampak bergerak
susul-menyusul dengan kecepatan laksana sambaran kilat di angkasa.
Sadar kalau ia tidak mungkin terus-menerus menghindar, Iblis Pulau Karang
bertindak nekat. Ketika sepasang cakar naga lawan datang mengancam, lelaki tua
itu mengangkat tangannya memapaki pukulan lawan.
Plak! Plak! "Aaah..."!"
Tokoh sesat itu terkejut bukan kepalang ketika tangki
ya sann membuat kuda- kudanya tergempur, dan tubuhnya terpental sejauh satu setengah tombak. Bahkan
masih terhuyung beberapa langkah jauhnya.
"Gila...!" lelaki tua itu mengumpat ketika merasakan dari telapak tangan lawan
mengalir hawa dingin yang menjalar ke dalam dadanya. Cepat ia mengerahkan hawa
murni untuk mengusir hawa dingin yang berasal dari tangan lawan.
Melihat Iblis Pulau Karang menghentikan gerakan, pemuda tampan itu tidak
berusaha mengejar, ia berdiri tegak menatap tajam ke arah lawannya.
"Mengapa berhenti, Iblis Pulau Karang..." Apakah kau sudah menyerah kalah...,"
ejak pemuda tampan berjubah putih itu dengan nada datar.
"Hm.... Pantas kau tidak terkejut mendengar julukanku. Rupanya kaulah pemuda
yang belakangan ini membuat kaum sesat kalang-kabut. Sayang, kau demikian
pengecut tidak mau memperkenalkan nama...," kilah Iblis Pulau Karang. Terlihat
kalau lelaki tua itu agak gentar ketika me
enali ilm ng u-ilmu yang digunakan lawannya.
"Aku memang tidak pernah mengandalkan nama besar untuk membuat lawan gentar.
Iblis Pulau Karang. Selain itu, kau pun tidak menanyakan siapa aku, bukan" Kalau
hal itu kau tanyakan, mungkin aku akan menjawab seadanya. Sayang semua sudah
terlambat. Aku k akan tida membiarkan orang sepertimu kembali menebar bencana. Untuk
itu, paling tidak aku harus melenyapkan kepandaianmu yang digunakan untuk
berbuat jahat itu...," sahut pemuda tampan itu. Dalam hal bersilat lidah pun,
ternyata ia tidak kalah oleh lawannya.
"Kau memang benar-benar sombong, Pendekar Naga Putih! Ta
kira aku pi, jangan kan g
Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
a entar setelah mengetahui siapa kau! Gadis itu baru dapat kau miliki setelah
nyawaku terpisah dari badan...!" ujar Iblis
u K Pula arang, kembali bersiap dengan jurusjurus barunya. "H alau m.... K begitu, aku memang harus melenyapkanmu untuk selamalamanya...," sahut pemuda tampan yang tidak lain dari Panji, atau dikenal
berjuluk Pendekar Naga Putih dalam rimba persilatan. Saat itu langkah kakinya
digeser, ketika lawan bergerak ke kanan. Keduanya kembali bersiap melanjutkan
pertarungan. *** "Haaat..!"
Iblis Pulau Karang menerjang maju, menggunakan gada berduri di tangan kanannya.
Kilatan-kilatan pada duri-dur
yang runcing, me
inya nunjukkan kalau senjata itu
mengandun n ganas. Me g racu skipun demikian. Panji tidak gentar. Pemuda itu melayang
ke udara menyambut serangan lawan.
Whuuut...! Gada berduri Iblis Pulau Karang meluncur deras deng
g an erakan mendatar.
Sayang, Panji te h
la bertindak cepat merendahkan tubuhnya. Sehingga, serangan itu lewat satu
setengah je kal ng di atas kepalanya. Pendekar Naga Putih membalas dengan sambaran cakar naga yang
menerbitkan angin dingin.
Whuuut! Sambaran cakar Panji yang pertama berhasil dihindari lawan, dengan menarik
mundur tubuhnya. Tapi, kecepatan gerak Pendekar Naga Putih tidak terduga. Tahutahu saja, cakar ka
nan pemuda itu datang mengancam dada lawan. Dan....
Breeet...! "Aaakh...!"
Iblis Pulau Karang memekik kesakitan. Tubu
hnya terlempar deras ke belakang.
Darah sega ng me r langsu ngalir dari luka di dadanya yang cukup dalam.
"Tamatlah riwayatmu, Manusia Jahat...!" seru Panji seraya melontarkan hantaman
telapak tangannya ke tubuh lawa
be n yang masih rgulingan. Blarrr...! Hebat sekali akibat yang ditimbulkan hantaman telapak t
P angan endekar Naga
Putih. ah Iblis Pulau Untungl Karang telah melenting lebih dulu. Meskipun demikian,
tubuhnya sempat te uyung kar
rh ena angin pukulan lawan.
"Heaaa...!"
Tanpa menunggu serangan lawan berikutnya, Iblis Pulau Karang melesat ke arah
sosok gadis cantik yang menjadi tawanannya.
"Keparat licik
k ! Jangan au ganggu gadis itu...!" bentak Panji segera bergerak
menyusul sambil melontarkan sebuah pukulan jarak jauh ke tubuh lawan.
laggg! B "Huakkkh...!"
Tubuh Iblis Pulau Karang tersentak bagai ditolak tenaga raksasa yang tak tampak.
Darah segar termuntah keluar. Dan tubuh lelaki tua itu terpental ke semak-semak.
Meskipun demikian, tokoh sesat itu sempat mendorongkan tangannya ke arah gadis
cantik yang masih tergolek pingsan.
yang masih kh Panji awatir lawannya belum tewas, segera melompat ke semaksemak. "Kurang ajar! Ke mana perginya manusia sesat itu...?" geram Panji ketika
tidak menemukan sosok lawannya di dalam semak-semak.
Karena tidak ingin ke
angan lawannya,
hil Pendekar Naga Putih berusaha mencaricari di sekitar te p
m at itu. Namun, hasilnya tetap nihil. Kecuali tetesan darah di atas rerumputan,
yang menunjukkan Iblis Pulau Karang melarikan diri dengan luka dalam yang parah.
Setelah gagal menemukan lawannya, Panji kembali untuk melihat gadis cantik yang
diduganya masih tergelet
akibat to ak pingsan tokan Iblis Pulau Karang. Pemuda tampan itu
tidak tahu kalau Iblis Pulau Karang telah melontarkan pukulan yang mengandung
racun jahat ke arah gadis cantik itu.
"Ahhh..."!"
Panji terpekik ketika melihat sosok gadis cantik itu berubah kehitaman. Jelas,
nyawa gadis itu sudah tidak mungkin dapat diselamatkan lagi. Pemuda tampan itu
tertunduk lesu dengan wajah berduka, ia menyesal karena terlambat mengetahui
kalau gadis itu ter ena
k pukulan beracun.
Pendekar Naga Putih yang sedang menyesali keterlambatannya itu, bangkit berdiri
saat mendengar derap kaki kuda. Dari suaranya yang bergemuruh, Panji dapat
menduga kalau jumlahnya cukup banyak.
"Hm.... Terpaksa aku harus meninggalkan tempat ini. Kalau tidak, mereka pasti
akan menuduhku sebagai pembunuh gadis malang itu. Dan untuk menyangkal tuduhan
itu, aku tidak mempunyai saksi mata...," gumam Panji segera bergegas
meninggalkan tempat itu.
Dugaan Pendekar Naga Putih tidak meleset jauh. Sesaat setelah tubuhnya melesat,
datang serombongan orang berkuda berseragam dan bersenjata lengkap. Berada
paling depan adalah seorang lelaki brewok berpangkat senapati. Begitu tiba, ia
langsung memerintahkan pasukannya menyebar, menyelidiki daerah sekitar situ. Ia
sendiri menghampiri mayat putri Widyamarta yang tergeletak dengan kulit tubuh
menghitam. Tidak berapa lama kemudian, pasu
dip kan yang erintahkan memeriksa sekitar
tempat itu kembali tanpa hasil. Seorang lelaki kurus berpangkat perwira
memberikan laporan.
"Kami tidak menemukan sesosok manusia pun di sekitar tempat ini, Tuanku. Tapi,
kami menemukan bekas-bekas pertempuran," ujar lelaki kurus itu kepada atasannya.
"Hm.... Meskipun kalian tidak menemukan pe kunya, tapi ak la
u bisa menebak siapa
manusia u...," g keji it umam lelaki brewok yang tidak lain dari Senapati Bagaswara.
Senyuman tipisnya membayangkan kelicikan hatinya.
"Siapa pembunuh keji itu, Tuan Panglima...?" tanya perwira lain yang bertubuh
gemuk dan berkumis lebat. Kelihatannya ia merasa heran mendengar ucapan
atasannya. "Siapa lagi kalau bukan keparat Baureksa, yang beberapa waktu lalu kita buang ke
Pulau Karang...," ucap Senapati Bagaswara dengan suara tegas. Jawaban itu
membuat kedua orang perwira serta beberapa prajurit terkejut.
"Tapi..."
"Penyebab kematian putri Senapati Widyamarta adalah Racun Ular Karang.
Sedangkan jenis racun itu hanya terdapat di Pulau Karang. Selain itu, beberapa
orang penyelidik yang bertugas mengawasi Ki Baureksa dari daratan, ke e
dapatan t was. Keadaannya sama persis dengan mayat gadis cantik yang malang ini. Sayang,
kediaman Senapati Widyamarta telah musnah dimakan api.
lau Ka tidak, pasti mayatnya sama persis
dengan mayat putrinya ini. Sebaiknya kita sege
ke ra mbali, dan melaporkan kejadian ini
ep k ada Gusti Prabu...," sergah Senapati Bagaswara.
Tak seorang pun membantah, ketika Senapati Bagaswara mengajak pasukannya kembali
ke kota-raja. Sebentar saja, tempat itu kembali sepi. Mayat putri tunggal
Senapati Widyamarta ditinggalkan begitu saja, tidak seorang pun yang berani
menyentuhnya. 6 Matahari memancar terik, saat rombongan orang berkuda bergerak mendekati sebuah
bangunan perguruan. Penjaga pintu gerbang bergegas turun melaporkan kedatangan
rombongan berkuda itu. Sedang penjaga lainnya, bersiap menyambut kedatangan
rombongan itu dengan ditemani murid-murid lainnya.
"Buka pi kuhancurkan de ntu ini, atau ngan paksa...!" seorang anggota rombongan
yang berpakaian perwira, berseru dengan suara lantang dan galak. Jelas,
kedatangan romb
e ongan b rkuda itu tidak bermaksud baik.
Lelaki brewok yang masih berada di atas punggung kuda, menggeram perlahan.
Sepasang matanya berkilat, me hat
li pintu gerbang tetap tertutup rapat.
"Hancurk p an intu gerbang itu, Langgita...!" perintah lelaki brewok itu. Jelas, ia tidak
sabar melihat orang-orang di dalam bangunan perguruan tidak mengindahkan ancaman
pembantunya tadi.
"Baik, Tu P an anglima...," sahut Ki Langgita, segera bergerak mundur mengatur kedudukan.
Kemudian, dengan satu arikan n
t apas panjang, Ki Langgita merapatkan kedua
tangan ke sisi pi
gang. ng Dan.... "Haaat...!"
Dibarengi sebuah bentakan menggelegar, lelaki kurus yang bernama Langgita itu
mendorongkan kedua tangannya dengan telapak terbuka.
Whusss...! Serangkum angin keras menderu menuju pintu gerbang yang terbuat dari kayu bulat
tersusun rapi. Akibatnya....
Krakkk...! Seiring dengan suara berderak keras, pintu gerbang yang tertutup rapat itu
langsung terbuka. Pada bagian yang terkena pukulan tampak patah. Demikian juga
kayu tebal palang pintu gerbang. Tentu saja kejadian itu membuat murid-murid
perguruan be undur, me rlompatan m njauhi pintu gerbang.
Pasukan berkuda yang dipimpin Senapati Bagaswara, langsung menyerbu masuk.
Mereka berlompatan turun dengan senjata di tangan. Meskipun demikian, tak
seorang pun yang bergerak menerjang murid-murid Perguruan Angin Puyuh. Senapati
Bagaswara belum memberikan perintah untuk melakukan penyerangan.
"Hm.... Kiranya Senapati Bagaswara sendiri yang memimpin pasukannya untuk
membuat kekacauan di tempat kediamanku ini...," tegur seorang lelaki berusia
enam puluh tahun.
Lelaki itu bertubuh sedang. Dan sepasang matanya yang menyimpan rasa penasaran,
menatap tajam lelaki brewok yang bergerak masuk dengan menunggang kuda hitam
itu. "Kau terkejut, Baramanta...?" ejek Senapati Bagaswara.
Setelah berkata demikian, Senapati Kerajaan Parangkara itu melompat turun dari
atas punggung kuda. Dan tanpa mempedulikan murid-murid Perguruan Angin Puyuh,
lelaki brewok itu melangkah menghampiri Ki Baramanta, Ketua Perguruan Angin
Puyuh. "Tentu saja aku sedikit terkejut, Tuan Panglima. Apalagi kau membawa pasukan
yang lengkap, serta menunjukkan sikap tidak bersahabat. Wajar saja aku terkejut
dengan kedatanganmu yang tiba-tiba ini...," sahut Ki Baramanta, berusaha
bersikap hormat meskipun kelihatannya sangat dipaksakan.
"Ha ha ha...! Jangan berpura-pura pikun, Baramanta. Orang-orang suruhanmu telah
binasa di tanganku. Untuk apa lagi kau berdusta" Orang-orangmu berusaha
membebaskan keparat Baureksa dari tanganku. Sayang, mereka gagal...," timpal
Senapati Bagaswara, menyampaikan maksud kedatangannya ke Perguruan Angin Puyuh.
"Bagus kalau kau tela
e h m ngetahuinya, Bagaswara! Aku memang mengirimkan
murid-muridku untuk me be
m baskan Senapati Baureksa, yang menurutku terkena fitnah
keji! Aku pun tahu, siapa manusia keji yang melemparkan fitnah itu kepadanya.
Manusia busuk itu adalah kau, Bagaswara. Jika beberapa waktu lalu murid-muridku
menemui kegagalan, sekarang akulah yang akan melenyapkanmu dari muka bumi
ini...!" Begitu ucapannya selesai, Ki Baramanta langsung memerintahkan murid-muridnya
menyerbu. Sedangkan ia sendiri sudah melayang ke arah Senapati Bagaswara,
melancarkan serangan mautnya.
Beeet! Beeet! Beeet!
Tiga tamparan maut yang menerbitkan angin tajam, dielakkan Senapati Bagaswara
dengan menarik mundur tubuhnya. Lalu, dilepaskannya serangkaian serangan
balasan, yang tidak kalah cepat dan kuat. Sebentar saja, kedua tokoh sakti itu
terlibat dalam pertarungan sengit.
Sedangkan pasukan Senapati Bagaswara yang berjumlah lima puluh orang, bertempur
Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melawan murid-murid Ki Baramanta. Pertempuran kecil pun pecah. Suara denting
senjata ditingkahi jerit kematian, membuat suasana semakin ribut. Darah pun
mulai mengalir membasahi halaman Perguruan Angin Puyuh.
Sementara Ki Guwara dan Ki Langgita yang merupakan perwira Kerajaan Parangkara,
mengamuk hebat dengan senjata di tangan. Gempuran kedua orang perwira
berkepandaian tinggi itu membuat murid-murid Ki Baramanta kalang-kabut. Tak
seorang pun dari mereka yang mampu menahan amukan dua orang perwira gagah itu.
Murid-murid terbaik Ki Baramanta telah tewa
tangan Se s di napati Bagaswara, sewaktu hendak
membebas a kan Ki B ureksa. Jadi, tidak aneh kalau amukan kedua orang perwira itu membuat
murid-murid Perguruan Angin Puyuh terdesak hebat. Satu persatu mereka gugur
dengan tubuh bersimbah darah.
Pada saat i mur d-murid Ki Baramanta tidak berdaya menghadapi amukan pasukan Senapati Ba
ra, tiba-tiba gaswa muncul sesosok bayangan putih yang langsung membagibagi tamparan dan tendangannya. Hal itu membuat pihak pasukan Senapati Bagaswara
terkejut bukan main. Dalam waktu singkat, bel
angg asan ota pasukan terjungkal pingsan
terkena am ok ukan sos bayangan putih itu.
"Mundur...!"
Ki Langgita memerintahkan pasukannya bergerak mundur. Sedangkan ia sendiri
melompat maju bersam
a a Ki Guw ra, menghalau amukan sosok bayangan putih yang
menggiriskan itu.
"Haaat...!"
Dengan sebuah teriakan nyaring, Ki Langgita melayang disertai kelebatan
pedangnya yang menimbulkan deruan angin tajam.
"Yeaaat...!!"
Ki Guwara pun tidak ketinggalan. Lelaki gemuk berkumis lebat itu ikut membantu
rekannya. i Pedang d tangannya yang sudah berlumuran darah, bergerak menyilang disertai
desingan tajam.
"Hm...."
Sosok bayangan putih itu menggeram perlahan, ia sama sekali tidak berusaha
menghindari sergapan dua batang senjata itu. Malah kakinya melangkah ke depan
sambil me gkan ked nyilan ua lengannya ke kiri dan kanan. Akibatnya....
Plak! Plak! "Aaakh..."!"
"Ughhh..."!"
Bukan main terkejutnya Ki Guwara dan Ki Langgita ketika merasakan tubuh mereka
bagai direndam dalam air es. Kedua perwira itu terpelanting muntah darah.
Tangkisan lawan demikian kuat, membuat dada bagian dalam mereka terguncang.
Jelas, kekuatan tenaga dalam sosok bayangan putih itu berada jauh di atas
kekuatan mereka berdua.
Untuk beberapa saat lamanya, kedu
e a p rwira itu tidak mampu bangkit. Mereka
berusaha keras mengusir hawa dingin yang meresap ke dalam tubuh. Untuk itu, Ki
Guwara dan Ki Langgita memerlukan banyak waktu. Hawa dingin yang meresap ke
dalam tubuh mereka terlalu kuat. Bahkan kedua perwira itu hampir putus asa keti
e ka m nyadari hawa murni mereka tidak mampu mengusir hawa dingin yang menyerang dada.
Me orang pimpinanny
lihat kedua a menggigil kedinginan, para prajurit bergerak
mundur dengan wajah pucat. Kelihatan sekali kalau mereka gentar menghadapi sosok
berjubah putih yang baru muncul itu. Mereka menyadari, sosok berjubah putih itu
adalah seorang tokoh sakti yang berkepandaian tinggi.
Kejadian yang tidak terduga itu, sempat terlihat oleh Senapati Bagaswara.
Langsung saja tubuhnya melesat meninggalkan Ki Baramanta. Dan melayang turun
dalam jarak satu setengah tombak, di hadapan sosok berjubah putih yang berdiri
tegak. "Pendekar Naga Putih..."!" Ki Baramanta yang juga melihat sosok berjubah putih
itu, berseru gembira.
Tidak sulit bagi Ketua Perguruan Angin Puyuh itu untuk e
m ngenali sosok berjubah
putih yang telah membuat kedua orang lawannya menggigil kedinginan. Sekali
pandang saja, Ki Baramanta tahu kalau kedua orang perwira bawahan Senapati
Bagaswara itu terkena pukulan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Itulah sebabnya,
mengapa Ki Baramanta langsung dapat menebak, siapa sosok pemuda tampan berjub
put ah ih yang telah menyelamatkan murid-muridnya.
"Maaf, aku telah lancang mencampuri urusan ini, Ki. Secara kebetulan aku lewat
di dekat tempat ini, dan mendengar suara orang bertempur. Melihat murid-muridmu
terdesak, terp aksa aku memberanikan diri turun ke arena...," papar pemuda tampan berjubah
putih itu setelah memberi hormat kepada Ki Baramanta.
"Ah! Jangan merendahkan diri seperti itu, Pendekar Naga Putih. Justru aku sangat
e b rterima kasih atas bantuanmu. Kalau tidak, mungkin murid-muridku sudah tewas
semua di tangan pasukan Senapati Bagaswara yang gagah itu...," ujar Ki
Baramanta, menggunakan pembicaraan itu untuk mengejek Senapati Bagaswara.
Senapata Bagaswara e
m nggeram marah mendengar ucapan itu. Namun, ia sangat
terkejut mendengar kalau pemuda tampan itu adalah Pendekar Naga Putih. Senapati
Kerajaan Parangkara itu menyadari kalau posisinya sekarang sangat tidak
menguntungkan. *** "Pendekar Naga Putih! Sadarlah kau bahwa dengan membantu Perguruan Angin Puyuh,
sama artinya kau melibatkan diri dengan para pemberontak. Berarti, kau pun musuh
Kerajaan Parangkara!
"Belum terlambat bagimu untuk mundur. Kuperintahkan kepadamu. Tinggalkan tempat
ini, sebelum aku menuduhmu bersekongkol dengan para pembero tak n
...," dengan
cerdiknya, Senapati Bagaswara menggertak Pendekar Naga Putih dengan
mengatasnamakan kerajaan.
"Jangan dengarkan ocehan manusia keji itu. Pendekar Naga Putih. Ia sendirilah
yang ingin berkhianat pada kerajaan! Khawatir melihat Senapati Baureksa banyak
mempunyai rekan di kalang
pe an rimba rsilatan, maka ia berusaha menyingkirkan
panglima yang jujur itu dengan melemparkan fitnah keji. Kemudian melemparkan
tuduhan bahwa Perguruan Angin Puyuh hendak bersekongkol untuk memberontak.
Sebaiknya, orang seperti Senapati Bagaswara ini kita lenyapkan saja,
ne agar geri menjadi aman...," Ki
Baramanta melempar balik tuduhan yang dilontarkan Senapati Bagaswara.
Panji menatap wajah Senapati Bagaswara dengan tatapan tajam. Seolah-olah pemuda
sakti itu hendak membaca isi kepala lelaki bre ok
w bertubuh tinggi besar itu.
"Hm.... Rasa-rasanya aku lebih percaya pada ucapan Ki Baramanta, Tuan Panglima.
aaf, aku t M idak bisa menuruti perintahmu untuk meninggalkan tempat ini...,"
ujar Panji setelah terdiam beberapa saat.
Pendekar Naga Putih cenderung lebih mempercayai keterangan Ki Baramanta.
Selain tokoh itu dari golongan putih, ia pun telah lama mendengar kabar tentang
kegagahan serta kejujuran Ketua Perguruan Angin Puyuh itu.
Senapati Bagaswara menggeram gusar. Sejenak ia terdiam memper tung hi
kan untung rugi tindakan selanjutnya, ia pun telah lama mendengar sepak terjang
Pendekar Naga Putih yang menurut kabar belum terkalahkan itu.
"Mengapa kau ragu-ragu bertindak, Bagaswara" Bunuh saja mereka, habis
perkara...."
Wajah Se ti Bagaswara be
napa rubah cerah ketika mendengar suara bisikan yang
dikirimkan dari jauh itu. Tak seorang pun mengetahui, termasuk Pendekar Naga
Putih. Suara itu hanya ditujukan untuk dirinya sendiri. Panglima bertubuh tinggi be r
itu sa sangat mengenal si pengirim suara. Buktinya, sikapnya berubah tenang.
"Kalau begitu, aku terpaksa akan menangkapmu, Pendekar Naga Putih...!"
Setelah berkata demikian, Senapati Bagaswara kembali memerintahkan para
prajuritnya untuk maju menggempur murid-murid Perguruan Angin Puyuh.
Ki Guwara dan Ki Langgita yang telah berhasil mengusir hawa dingin dalam tubuh
mereka, segera memimpin para prajurit untuk maju menggempur.
"Serbuuu...!"
Dibarengi sebuah te
k ria an nyaring, pasukan Senapati Bagaswara bergerak maju
menggempur murid-murid Perguruan Angin Puyuh. Pertempuran pun kembali pecah.
Pendekar Naga Putih dan Ki Baramanta heran melihat perubahan sikap Senapati
Bagaswara. Lelaki bertubuh tinggi besar itu kembali menunjukkan kegarangannya.
"Aneh...!" Apa yang menyebabkan keberanian panglima itu bangkit kembali"
Padahal, tadi ia merasa gentar" Hm... Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya...,"
gumam Panji yang sejak tadi memperhatikan raut wajah panglima bertubuh raksasa
itu. Ki Baramanta sendiri tidak kalah herannya dengan Panji. Lelaki tua yang masih
tampak gagah itu menatap wajah Pendekar Naga Putih. Seolah-olah ingin meminta
pendapat pendekar muda itu.
"Hm.... Hadapilah panglima itu, Ki Baramanta. Aku akan berjaga-jaga, kalau-kalau
ada tokoh yang bersembunyi dan siap turun tangan membantu Senapati
Bagaswara...,"
bisik Panji yang menduga perubahan sikap senapati itu pasti ada sebabnya.
"Baik Pendek
, ar Naga Putih...," sahut Ki Baramanta, segera bergerak maju menyambut kedatangan
Senapati wara ya Bagas ng kini menggenggam sebatang golok besar
bergerigi. "H an me m.... Kali ini aku ak
ngirimmu ke neraka, Baramanta! Biar mayatmu saja
yang kubawa ke kotaraja...!" geram Senapati Bagaswara sambil menggerakkan golok
bergeriginya ke kiri dan kanan. Langkahnya bersilangan dengan bentuk kuda-kuda
yang kokoh dan kuat.
"Majulah, Panglima Culas! Aku tidak gentar menghadapi gergaji pemotong kayu
itu...," tant
i B ang K aramanta sambil menyilangkan pedangnya yang bersinar kuning di depan dada.
"Mari ki buk ta tikan...! Haaat..!"
Disertai teriakan keras, tubuh Senapati Bagaswara bergerak ke depan sambil
memutar golok bergeriginya.
Wuttt...! Golok bergerigi yang mengerikan itu, berdesing tajam me
ng l nyambar bata eher Ki Baramanta. Le u me laki tua yang masih gagah it
nggeser tubuhnya ke samping dengan
posisi agak doyong ke belakang. Kemudian, pedangnya bergerak menusuk dengan
kecepatan kilat.
Singgg! "Hahhh!"
Senapati Bagaswara membentak keras. Berbarengan dengan itu, tubuhnya melompat ke
samping sam il m
b elepaskan tendangan kilat mengarah pelipis lawan.
Memang hebat ser nga
a n yang dilakukan senapati bertubuh raksasa itu. Jarang ada tokoh yang mampu me
kukannya, ke la cuali mereka yang memiliki kepandaian tinggi.
Plakkk! Sadar untuk mengelak sangat sulit, Ki Baramanta terpaksa memapaki tendangan itu
dengan kibasan lengan
tny kiri. Akiba a, tubuh mereka sama-sama terdorong ke
belakang. Ki Baramanta terdorong lebih jauh dari lawan, sehingga membuatnya
sadar kalau kekuatan senapati itu masih berada di atasnya. Kelebihan yang
dimilikinya hanya ilmu meringankan tubuh. Dan ia harus memanfaatkan kelebihannya
yang hanya sedikit itu untuk mengh d
a api lawan. "Yeaaat...!"
"Haaat...!"
Kedua tokoh sakti itu saling menyerang hebat. Jurus-jurus yang kali in a
i digun kan, adalah jurus-jurus andalan yang sangat jarang dikeluarkan. Tidak aneh jika
pertarungan itu berlangsung seru dan mendebarkan.
Sementara itu. Pendekar Naga Putih yang semula menanti kemunc
h y ulan toko ang mungkin bersembunyi melindungi Senapati Bagaswara, terpaksa terjun ke arena.
Karena pada saat itu mur d-m
Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
i urid Ki Baramanta kalang-kabut menghadapi amukan Ki Guwara
dan Ki Langgita.
Terjunnya Pendekar Naga Putih ke arena pertempuran, membuat perubahan yang
mengejutkan. Dalam waktu singkat, pasukan Senapati Bagaswara kembali terpukul
mundur. Kali ini Panji bertindak lebih berani pada Ki Guwara dan Ki Langgita.
"Haiiit...!"
Dengan saruan keras, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur ke depan. Sepasang
telapak tangannya mendorong dengan kekuatan yang telah diperhitungkan. Dan....
Desss! Desss! "Aaargh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Guwara dan Ki Langgita terjungkal. Darah segar
termuntah dari mulut keduanya. Mereka terbanting pingsan, tanpa mampu bangkit
lagi. Melihat Pendekar Naga Putih kembali terjun ke arena, para prajurit Kerajaan ar
P angkara bergerak mundur. Mereka tidak ingin mengalami nasib seperti kedua
orang pimpinan mereka. Sehingga pertempuran pun terhenti dengan sendirinya.
7 Pertempuran antara Ki Baramanta melawan Senapati Bagaswara masih terus
berlanjut. Bahkan, pertarungan kelihatan semakin seru, meskipun kini keduanya
hanya menggunakan tangan kosong. Ki Baramanta yang melihat lawan menyimpan
senjata, segera menyelipkan pedangnya di sisi pinggang. Sehingga pertarungan
berlanjut tanpa senjata.
"Heaaat...!"
Dalam hal ilmu silat tangan kosong, Senapati Bagaswara jauh lebih unggul dari
lawannya, ia yang mendapat julukan Sepasang Tangan Maut, mencecar lawannya
dengan tamparan-tamparan yang menimbulkan desiran angin tajam.
Meskipun Ki Barama
me nta ngeluarkan jurus andalan yang bernama 'Pukulan
Angin Puyu tetap h', saja ia harus mengakui keunggulan lawan. Apalagi tenaga dalam
lawan dua t t ingkat di a asnya. Sehingga kelebihannya dalam hal ilmu meringankan tubuh tidak
sanggup membantunya untuk menghalau serbuan sepasang tangan Senapati Bagaswara.
Bahkan dalam jurus-jurus selanjutnya, Ki Baramanta tidak mampu lagi mengimbangi
serangan lawan.
"Haaat...!"
Ketika pertar e ungan m nginjak jurus kelima puluh, Senapati Bagaswara membentak nyaring.
Tubuhnya bergerak cepat melancarkan dorongan telapak tangan kanan ke tubuh lawan
yang terbuka. Akibatnya....
Bukkk! "Huagkhhh...!"
Tanpa terelakkan lagi, darah segar termuntah dari mulut Ki Baramanta. Tubuh
lelaki tua itu terjungkal dan hampir terbanting ke tanah. Untunglah Pendekar
Naga Putih bertindak cepat Mendengar jerit kesakitan Ki Baramanta, pemuda
perkasa itu langsung menoleh dan be elebat me
rk nyambut tubuh lelaki tua itu. Sehingga, Ki Baramanta tidak
sampai terbanting ke tanah.
"Cepat telan pil penawar luka ini, Ki...," ujar Panji begitu mengetahui lelaki
tua itu mendapat luka
yang cukup parah.
dalam Ki Baramanta yang percaya sepenuhnya akan
kepandaian Pendekar Naga
sung Putih, lang saja menelan pil berwarna putih seperti salju
itu. Senapati Bagaswara agaknya tidak ingin memberi peluang. Selagi Pendekar Naga
Putih menyerahkan pil penawar luka kepada Ki Baramanta, lelaki bertubuh raksasa
itu melayang, melontarkan pukulan dengan kedua tangannya berganti-ganti.
"Hiaaat..!"
Mendengar teriakan itu, Panji langsung menoleh ke arah Senapati Bagaswara.
Hatinya geram bukan main melihat tubuh lelaki raksasa itu tengah melayang dengan
serangan maut. "Manusia licik...!" geram Panji.
Dan tanpa bangkit lagi, Pendekar Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'nya. Kemudian, sebelah tangannya memapaki serangan Senapati Bagaswara.
Bresssh! "Aaakh..."!"
Senapati Bagaswara menjerit ngeri merasakan hembusan angin dingin menyambut
serangannya. Tanpa ampun lagi, tubuh raksasa itu terpental balik akibat benturan
dorongan telapak tangan Pendekar Naga Putih.
"Haiiit..!"
Tiba-tiba terdengar seruan melengking tinggi yang menggetarkan jantung.
Kemudian, disusul berkelebatnya sesosok bayangan hitam, menyambut tubuh Senapati
Bagaswara yang saat itu tengah melayang di udara.
Tappp! Sekali mengulurkan tangan, tubuh Senapati Bagaswara dapat diselamatkan sosok
bayangan hitam itu. Kalau tidak, mungkin lelaki raksasa itu sudah remuk
tulangnya, terbentur sebatang pohon besar di belakangnya. Untung sosok bayangan
hitam itu bergerak cepat, menyelamatkan nyawa Senapati Bagaswara.
Dengan gerakan yang sangat ringan, pertanda kesempurnaan ilmu meringankan
tubuhnya, sosok bayangan hitam itu berputar indah dan melayang turun.
"Biang Iblis Tangan Api..."!" desis Ki Baramanta terkejut, melihat sosok
bayangan hitam bertubuh tinggi kurus itu. "Jadi, dialah yang telah membangkitkan
keberanian Ki Bagaswara" Entah mengapa manusia paling jahat itu keluar dari
pertapaannya...?"
Panji yang mendengar Ki Baramanta menyebut sosok tinggi kurus berpakaian serba
hitam itu Biang Iblis Tangan Api, menjadi terkejut. Seperti yang diketahui Ki
Baramanta, tokoh sesat yang sangat jahat itu telah lama mengasingkan diri di
pertapaannya, yang tidak diketahui orang lain. Wajar jika Ketua Perguruan Angin
Puyuh terkejut melihat kemunculan datuk sesat yang sakti itu.
"Pasti ada suatu sebab yang membuat tokoh sesat itu keluar dari sarangnya" Atau,
mungkin Ki Bagaswara mengundang datuk sesat itu de
ji muluk ngan janji-jan ...," timpal
Panji, tanpa melepaskan pandangan matanya dari sosok tinggi kurus yang sangat
ditakuti dalam kalangan rimba persilatan.
"Tidak. Bukan itu yang menyebabkan datuk sesat itu keluar dari pertapaannya.
Memang benar ada kemungkinan Senapati Bagaswara mengundangnya. Karena senapati
itu memang murid Biang Iblis Tangan Api. Jadi, tidak aneh kalau sang Guru
memenuhi permintaan muridnya, membantu tercapainya keinginan Senapati Bagaswara.
Tidak bisa diragukan lagi, Senapati Bagaswara hendak memberontak," ujar Ki
Baramanta, yang tahu banyak hubungan Senapati Bagaswara dengan Biang Iblis
Tangan Api. Sementara itu, sosok yang mere
a ka bicar kan sudah meletakkan tubuh muridnya di
bawah pohon rindang. Senapati Bagaswara bersemadi, setelah Biang Iblis Tangan
Api melakukan totokan di beberapa bagian tubuh muridnya. Panji menatap kagum,
melihat cara yang digunakan tokoh sesat itu dalam melakukan pengobatan luka
dalam yang diderita muridnya. Pemuda itu pun tahu. Biang Iblis Tangan Api meru n
seorang ahli paka pengobatan yang pandai.
Selesai mengurus muridnya, Biang Iblis Tangan Api bergerak menghampiri Pendekar
Naga Putih. Sorot matanya tertuju lurus ke mata pendekar muda itu. Kemudian,
jangkahnya berhenti dalam jarak dua tombak.
"Aku terpaksa turu tangan ke
n tika melihatmu mencampuri urusan ini, Pendekar
Naga Putih. u t Ka erlalu usil dan selalu mau tahu urusan orang lain. Aku ingin
memberikan sedikit pelajaran kepadamu...," ucap Biang Iblis Tangan Api. Dan
begitu ucapannya selesai, telapak tangan kananny
ke a langsung didorong
depan. Whuuut...! Panji yang juga melangkah maju mendekati datuk sesat itu, segera sadar akan
bahaya yang datang mengancam. Cepat, semangatnya dikempos dan mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Kemudian, telapak tangan kanannya didorong
menyambut datangnya serangan lawan.
Bl ...! arrr Terdengar ledakan keras yang menggetarkan tempat itu, ketika dua gelombang
tenaga sakti yang berlainan jenis saling berbenturan di udara.
"Hebat..!" puji Biang Iblis Tangan Api tulus, ketika benturan itu membuat tubu
ya hn terdorong sejauh enam langkah ke belakang.
Panji pun tidak kalah terkejut ketika merasakan kuda-kudanya tergempur hingga
sejauh enam langkah. Sadarlah pemuda itu kalau lawan yang dihadapi memiliki
tenaga dalam yang amat kuat. Hal itu membuatnya lebih ber ati-hati
h menghadapi serangan
selanjutnya. u m "Ka emang patut dipuji, Pendekar Naga Putih. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang terkenal itu benar-benar hebat. Sekarang, aku ingin melihat ilmu-ilmu lain
yang kau miliki. Bersiaplah...," ujar Biang Iblis Tangan Api, segera
mempersiapkan serangannya.
Tubuh lelaki tinggi kurus berusia tujuh puluh tahun itu, membentuk kuda-kuda
yang sangat aneh. Kedua kakinya ditekuk rendah, membentuk kedudukan m n
enungga g kuda. Tubuhnya condong ke depan seperti ingin jatuh. Sedangkan sepasang
tangannya mengembang ke kiri dan kanan dengan telapa
e k m mbuka. "H umam Panji pe m...," g rlahan ketika merasakan angin panas berhembus ke
arahnya. Cepat-cepat pemuda itu menyilangkan kedua tangannya ke depan dada, mengerahkan
'Ten Sakti Ge aga rhana Bulan'. Sebentar saja, tubuhnya telah diselimuti
lapisan kabut bersinar putih keperakan. Menilik lebarnya lingkaran kabut putih
keperakan itu, dapat diketahui kalau Pendekar Naga Putih telah mengerahkan
tenaga sepenuhnya.
"Sambut seranganku, Pendekar Naga Putih...!" seru Biang Iblis Tangan Api yang
segera melesat, sebelum gema suaranya lenyap.
Whuuut! Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ketika tamparan Biang Iblis Tangan Api
datang mengancam kepala. Kemudian, memutar langkah ketika serangan lawan
berlanjut. "Hiaaah...!"
Seiring dengan bentakan keras, Pendekar Naga Putih melontarkan serangan balasan
dengan kecepatan laksana sambaran kilat di angkasa. Jari-jari tangannya yang
membentuk cakar naga, bergerak menyamba
enyusul. Seme r susul-m ntara Biang Iblis
Tangan Api terpaksa menarik mundur tubuhnya, sehingga serangan pemuda tampan
berbaju putih itu luput dari sasaran.
"Yeaaah...!"
Begitu tubuhnya terhindar dari serangan lawan, Biang Iblis Tangan Api
melancarkan serangan
asan bal yang tidak kalah cepat dan kuat. Telapak tangannya
menyambar-nyambar ganas, menerbitkan hawa panas yang membuat daun-daun pohon
terdekat layu. Bahkan beberapa batang pohon yang terkena pukulan nyasar tokoh
sakti u, b it ertumbangan hangus seperti terbakar. Jelas, datuk sesat itu telah menggunakan
jurus andalan dalam menghadapi Pendekar Naga Putih.
Pertempuran berlangsung semakin seru dan mendebarkan, karena Panji telah
menggunakan ilmu silat andalannya. Pemuda itu sadar kalau lawannya kali ini
sangat berbahaya. Untunglah tubuhnya diselimuti lapisan kabut berhawa dingin
menusuk tulang.
Kalau tidak, mungkin tubuh pemuda itu telah hangus oleh hawa panas yang keluar
dari setiap serangan lawan.
*** Ki Baramanta yang telah menyelesaikan semadinya, bergerak bangkit menjauhi arena
pertempuran. Hawa panas yang terbit dari sambaran angin pukulan Biang Iblis
Tangan Api, membuat tubuhnya berpeluh. Ditambah lagi hawa dingin yang berasal
dari pukulan maupun tubuh Pendekar Naga Putih. Meskipun ia berada dalam jarak
hampir empat tombak, tetap saja Ki Baramanta merasa seperti orang terserang
demam. Sebentar panas sebentar dingin.
Semua murid-murid Perguruan Angin Puyuh yang berada di dekat ketuanya,
menyaksikan pertarunga
al itu n dari jauh. H dilakukan untuk menghindari kejadian yang
tidak diinginkan.
Bukan hanya pihak Perguruan Angin Puyuh saja yang bergerak menjauhi arena
pertarungan. Pihak kerajaan pun berada cukup jauh dari arena perkelahian maut
itu. Di antara mereka terlihat Senapati Bagaswara, yang berhasil mengatasi luka
dalam di tubuhnya berk
bantuan at gurunya. Sedangkan dua orang perwira bawahannya tampak
masih agak t. Daya puca tahan mereka tidak sekuat Senapati Bagaswara, sehingga
membuat luka p kul
u an Pendekar Naga Putih lebih parah.
Kedua pihak yang masih bertarung sengit bergerak semakin cepat. Agaknya mereka
ingin segera mengakhiri pertarungan.
"Haaat...!"
Panji sekuat tenaga menerjang lawan dengan jurus-jurus pamungkasnya. Tubuh
Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda itu bergerak cepat laksana seekor naga sakti murka. Sepasang tangannya
yang menerbitkan hawa dingin menusuk, membuat Biang Iblis Tangan Api kewalahan
menghadapinya. Plak! Plak! "Aih..."!"
Datuk sesat bertubuh tinggi kurus itu memekik kaget ketika, memapaki serangan
lawan. Kali ini, Biang Iblis Tangan Api harus mengakui kehebatan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' lawannya. Tangkisan itu membuat tubuhnya terhuyung dan hampir
terpelanting. Untung datuk sesat itu masih sempat memperbaiki kuda-kudanya, sehingga tidak
sampai terjatuh.
Pendekar Naga Putih sepertinya ingin segera menyelesaikan pertarungan. Dua buah
serangan yang berhasil dipunahkan lawan, langsung disusul dengan serangan
berikutnya yang lebih cepat dan kuat.
"Ahhh..."!"
Biang Iblis Tangan Api tak bisa menahan kekagetannya. Wajah kakek itu berubah
pucat ketika melihat tubuh lawan bergerak ke udara, dan meluncur turun dengan
kecepatan yang luar biasa! Biang Iblis Tangan Api tidak sanggup lagi melihat
sosok lawan yang terlindungi bulatan sinar putih keperakan, berpendar
e m nyilaukan mata.
"Aaa...!"
Terdengar teriakan panjang ketika sepasang cakar Pendekar Naga Putih merobekrobek tubuh lawan. Darah segar memercik seiring terpentalnya sosok Biang Iblis
Tangan Api dengan luka-luka yang sangat parah. Bahkan di beberapa bagian
tubuhnya membiru.
Hal itu akibat hawa dingin yang meresap ke dalam tubuhnya.
"Haiiit...!"
Pendekar Naga Putih tidak mau kepalang tanggung. Tubuhnya melesat mengejar sosok
lawan yang terpental. Kemudian, langsung menyarangkan sebuah tendangan maut yang
membuat nyawa datuk sesat itu melayang ke akhirat!
Desss! "Hugkhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kakek tinggi kurus itu terbanting ke tanah dengan tu
lang dada remuk. Kemenangan di pihak Pendekar Naga Putih, membuat murid-murid
Perguruan Angin Puyuh bersorak gembira. Mereka tidak memperhatikan Senapati aga
B swara membawa pergi pasukannya dari tempat itu secara diam-diam. Jelas, Senapati
Kerajaan Parangkara itu sangat terkejut melihat gurunya tewas di tangan Pendekar
Naga Putih. "Ah! Keparat itu meloloskan diri, Pendekar Naga Putih...," ucap Ki
Baramanta penuh sesal ketika terlambat menyadari kepergian Senapati Ba
ara dan pas gasw ukannya. "Hm.... Aku akan mencoba mengejarnya, Ki...," ujar Panji. Kemudian, pemuda
digdaya itu segera berkelebat, lenyap dari pandangan Ki Baramanta dan muridmuridnya. *** Sosok tegap mengenakan caping bambu, melangkah ringan memasuki gerbang Kota raja
Parangkara. Melihat bentuk tubuh serta caranya melangkah, lelaki tegap bercaping
itu pasti seorang ahli silat berkepandaian tinggi. Apalagi dilihat dari sorot
matanya yang mencorong tajam, jelas sosok tegap itu bukan orang sembarangan.
Tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarnya, sosok tegap itu terus melangkah
semakin jauh memasuki kotaraja yang ramai. Sesekali, sepasang matanya melirik
tajam ke arah bangunan-bangunan besar yang berdere sepanjan
t g jalan. Menilik dari gerakgeriknya, pasti ada sesuatu yang dicari di kotaraja itu.
Ketika berpapasan dengan serombongan prajurit peronda, sosok tegap itu
membenamkan caping bambunya semakin dalam. Sehingga wajahnya semakin terlindung,
tidak dapat dikenali orang. Hal itu menandakan kalau sosok tegap itu tidak ingin
dikenali orang-orang di sekitarnya.
Tidak berapa lama kemudian, sosok tegap itu tiba di dekat sebuah bangunan besar
yang megah. Langkahnya terhenti sejenak, mengawasi bangunan itu dengan sorot
mata tajam menyelidik. Kemudian, langkahnya kembali dil
ut anj kan, ketika melihat dua orang
penjaga gerbang memperhatikan gerak-geriknya.
"Hm.... Rupanya kau semakin jaya, Bagaswara...," gumam sosok tegap itu sambil
melangkah perlahan.
Sesaat kemudian, kembali langkah sosok tegap itu be h
r enti, dan memperhatikan
sekelilingnya yang agak sepi. Lalu, tubuhnya melayang naik melewati pagar tembok
setinggi satu tombak lebih. Sebentar saja, sosok tegap itu telah tiba di halaman
dalam bangunan. Tubuhnya merunduk, bersembunyi di balik sebatang pohon besar.
Sungguh luar biasa! Sosok tegap itu memasuki bangunan kediaman Senapati
Bagaswara pada siang hari. Perbuatannya itu sama saja dengan mencari mati!
Sosok tegap itu agaknya sangat hafal keadaan bangunan.
mudah Buktinya, ia saja menyelinap kian kemari tanpa ada seorang penjaga pun yang memergoki. Akhirnya,
tibalah ia di bagian belakang bangunan yang merupakan sebuah taman. Banyaknya
pepohonan di taman itu membuat bayangan tubuhnya tidak mudah terlihat.
"Hm... Sudah kuduga, pada saat-saat seperti ini bangsat itu pasti tengah
beristirahat di taman kesayangannya...," desis sosok tegap itu, ketika melihat
seorang lelaki brewok tengah duduk di bangku taman. Cepat ia bergerak mendekat,
ketika melihat suasana di sekitar taman sepi.
"Siapa itu..." Tunjukkan dirimu, kalau benar-benar jantan...!" be le
ntak laki brewok bertubuh tinggi besan itu seraya bergerak bangkit dari duduknya.
Pendengarannya yang tajam menangkap gerak langkah orang mend
l ekat. Padaha suara langkah itu tidak mudah terdengar sembarang orang. Tapi, bagi lelaki
brewok itu bukan hal yang luar biasa. Sosok tinggi besar berwajah brewok itu,
adalah Senapati Bagaswara
e yang b rkepandaian tinggi.
Sadar kalau kedatangannya telah diketahui, sosok tegap itu pun menampakkan diri.
Ia berdiri tegak dalam jarak satu tombajk dari Senapati Bagaswara, yang tidak
bisa mengenalinya. Wajah sosok tegap itu tersembunyi oleh caping bambu lebar.
"Siapa kau..." Apa maksudmu menyelinap masuk ke taman ini...?" Senapati
Bagaswara kembali membentak. Sepasang matanya menatap tajam sosok di hadapannya.
k t Soso egap itu mengangkat kepalanya sedikit Sepasang matanya menyambar tajam wajah
Senapati Bagaswara. Sehingga, panglima berkepandaian tinggi itu sempat tergetar
hatinya. "Hm.... Rupanya kau sudah melupakan aku, Bagaswara...," tegur sosok tegap itu
dengan suara parau yang me
g ng etarkan. "Kau..."!"
Senapati Bagaswara mendesis parau. Pemilik suara itu hampir dikenalinya. Hatinya
semakin terkejut ketika sosok tegap itu e
m lepaskan caping yang menyembunyikan
wajahnya. "Ya. Aku, Bagaswara. Berteriaklah, agar para prajuritmu berdatangan. Bukankah
itu yang hendak kau lakukan...?" desis sosok tegap itu seraya menatap wajah di
depannya dengan sorot mata tajam. Sedangkan Senapati Bagaswara hanya bisa
berdiri mematung untuk beberapa saat lamanya.
8 "Ha ha ha...!" tiba-tiba Senapati Bagaswara tertawa terbahak-bahak.
Sosok lelaki tegap berusia sekitar lima puluh tahun itu heran. Merasa curiga
atas perubahan sikap lawan, lelaki gagah itu bergerak mundur. Pandangan matanya
diedarkan ke sekeliling taman.
"Manusia keparat ini sangat licik. Mengapa sikapnya tiba-tiba berubah" Mungkin
segalanya telah dipersiapkan, karena tahu aku akan datang menuntut balas...,"
gumam sosok tegap itu dengan wajah agak tegang.
Semula, niatnya hanya ingin mengejek Senapati Bagaswara dengan memaki sebagai
pengecut, dan memancing dengan kata-kata hinaan. Agar senapati itu me a
ras malu dan menghadapinya secara jantan. Tapi, melihat sikap lelaki tinggi besar itu yang
tiba-tiba berubah, ia menjadi curiga. Bisa jadi, senapati itu mempersiapkan
perangkap untuknya.
"Baureksa.... Baureksa.... Kau benar-benar nekat menyelinap ke taman ini pada
waktu siang. Kemarin kau boleh tertawa puas, berhasil membunuh Senapati
Widyamarta sekeluarga. Tapi, hal itu tidak akan terjadi pada diriku...," ujar
Senapati Bagaswara, lalu bertepuk tangan sebanyak tiga kali.
"Keparat licik...!" desis sosok lelaki gagah yang ternyata Ki Baureksa.
Hatinya geram bukan main ketika tiba-tiba saja tempat itu sudah terkepung banyak
pasukan. Bahkan di antaranya, terdapat beberapa orang perwira dan senapati lain.
Ki Baureksa sangat terkejut dibuatnya.
"Nah! Sekarang kau percaya dengan keteranganku, Senapati Gantika. Dugaanku
tepat, bukan" Sudah kukatakan, pembunuh itu akan beraksi kembali. Dan kini kau
menyaksikannya sendiri...," ujar Senapati Bagaswara kepada seorang lelaki gagah,
yang muncul bersama para prajurit dan perwira lainnya.
"Benar-benar sulit dipercaya...," gumam lelaki tinggi kurus yang dipanggil
Senapati Gantika, seraya menatap wajah Ki Baureksa dengan tatapan penuh sesal.
"Hm.... Tunggu apa lagi..." Ayo kita ringkus pembunuh keji itu...!" ujar Ki
Langgita, perwira yang menjad bawahan S
i enapati Bagaswara. Setelah berkata demikian, ia langsung
bergerak maju menerjang Ki Baureksa yang masih belum hilang rasa terkejutnya.
"Haaat..!"
Dengan pedang di tangan, lelaki tinggi kurus itu bergerak maju, membabatkan
senjatanya ke tubuh lawan. Pada saat yang hampir bersamaan, seorang perwira lain
yang bertubuh gemuk dan berkumis lebat ikut maju menggempur. Sebentar saja,
ketiga orang itu telah terlibat sebuah perkelahian sengit.
"Serbuuu...!"
Senapati Gantika yang melihat kedua orang perwira itu terdesak, segera
memerintah par kan a prajurit untuk maju menggempur. Tanpa diperintah dua kali, para prajurit
segera me u lur k maju dengan senjata di tangan. Beberapa di antaranya ada yang membawa
jala, siap meringkus Ki Baureksa.
"Haaat...!!"
Ki Baureksa yang sadar kalau dirinya tidak mungkin dapat lolos dari epung k
an, segera berseru keras sambil memutar kedua tanagannya dengan kecepatan tinggi.
Sebentar saja, hawa beracun menyebar ke sekitar taman.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kemaban susul-menyusul ketika sepasang tangan Ki Baureksa
berganti-ganti melontarkan pukulan maut. Di antara yang tewas, terdapat tiga
orang perwira. Sehingga, Senapati Gantika menjadi marah, dan ikut menerjang
maju. "Lemparkan jala...!" sambil membabatkan pedangnya ke tubuh Ki Baureksa, Senapati
Gantika me intahkan para praj
mer urit melemparkan jala ke arah lawan.
Ki Baurek bu sa kan tidak tahu kehebatan pasukan jala itu. Ia pernah menjabat
sebagai Senapati Kerajaan Parangkara, maklum akan bahaya yang mengancam jiwanya.
Cepat-cepat tubuhnya bergerak menghindari sambaran senjata Senapati Gantika yang
sewaktu ia masih menjabat sebagai senapati, adal
kawan a ah krabnya. Kini ia harus
bertarung deng n sahabatnya itu. T
a entu saja Ki Baureksa jadi serba salah. Sayang, ia
tidak diberi kesempatan membela diri dengan mengungkapkan apa yang tersimpan di
dalam hatinya saat itu.
"Hiaaah...!"
Karena tidak ingin mati penasaran, Ki Baureksa membalas serangan Senapati
Gantika n dengan lo taran pukulan beracunnya. Sayang, sebelum serangan itu sempat
dilancarkan, sebuah jala meringkus tubuhnya dari atas!
Desss...! Seorang perwira yang melihat Ki Baureksa terkena jaring, langsung melepaskan
sebuah tendangan telak pada pinggul Ki Baureksa. Orang tua itu tidak bisa
mengelak iagi. Akibatnya, tubuhnya terdorong oleh kerasnya pukulan lawan. Meskipun tidak
mendatangkan luka yang berarti, namun cukup membuat tokoh itu marah.
"Hihhh...!"
Belum lagi Ki Baureksa sempat berbuat sesuatu untuk melepaskan diri dari belitan
jala harus yang amat kuat itu, sebuah ha
n ke ntama ras datang menghajar punggungnya.
Karena se u rangan it datang dari Senapati Bagaswara, maka akibatnya pun cukup parah!
Tubuh Ki Baureksa jatuh berguling-guling memuntahkan darah segar. Pada saat itu,
dua batang pedang datang mengancam tubuhnya.
"Haiiit...!"
Pada saat kritis itu, mendadak sesoso bayan
k gan putih meluncur turun dari atas
pohon. Begitu tiba, tangannya langsung mengibaskan kedua pedang yang siap
memisahkan nyawa Ki Baureksa dari tubuhnya.
Plak! Plak! Kedua perwira yang tidak lain dari Ki Guwara dan Ki Langgita, terpekik
kesakitan. Tangkisan sosok bayangan putih itu sangat ku ,
at sehingga keduanya terbanting keras.
Kejadian yang tidak disangka-sangka itu membuat yang lain terkejut.
Belasan prajurit datang
menyerbu sosok bayangan putih
dengan ujung tombaknya. Tanpa menoleh ke arah penyerangnya, sosok
bayangan putih itu me gibaskan
n lengannya. Serangkum angin dingin
berhembus keras, membuat belasan
prajurit itu terpelanting dan pingsan
seketika. Sebelum yang lain bergerak,
sosok bayangan putih itu telah
membebaskan Ki Baureksa dari jala
yang menyelimuti tubuhnya.
Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat! Siapa kau yang
berani a m ti membela seorang
pembunuh pejabat kerajaan..."!"
bentak Senapati Gantika yang
memiliki pengaruh di atas Senapati
Bagaswara. Sebab, kelihatannya ia
lebih berkuasa memberi perintah
kepada para prajurit yang berada di
tempat itu. Sosok bayangan putih itu
ternyata seorang pemuda tampan
mengenakan jubah panjang berwarna
putih. Ia berdiri tegak menghadap
Senapati Gantika dengan tubuh terbungkus lapisan kabut putih keperakan.
"Kau... Pendekar Naga Putih..."!" seru Senapati Gantika serta beberapa pe lain.
rwira Mereka memang pernah mendengar ciri-ciri khusus Pendekar Na
utih. Ke ga P lihatan mereka sangat terkejut, melihat kemuculan pendekar muda itu di kotaraja. Bahkan
menyelamatkan Ki Baureksa yang dianggap pemberontak, dan kini dituduh sebagai
pembunuh keluarga Senapati Widyamarta.
"Benar. Aku adalah Pendekar Naga Putih. Kedatanganku kemari untuk meluruskan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di kotaraja. Itu sebabnya, mengapa aku
menyelamatkan Ki Baureksa dari kematian...," ujar pemuda tampan berjubah putih
yang tak lain Panji.
"Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih...?" tanya Senapati Gantika.
Lelaki gagah itu tidak senang dengan ucapan Pendekar Naga Putih. Ia sudah
melihat sendiri ilmu silat beracun yang dimiliki Ki Baureksa. Keadaan mayatmayat para prajurit yang tewas akibat pukulan Ki Baureksa, sama persis seperti
yang terjadi pada keluarga Se
Wi napati dyamarta. Itu sebabnya, mengapa Senapati Gantika percaya bahwa Ki Baureksalah
yang telah membasmi Senapati Widyamarta sekeluarga.
"Untuk apa mendengar ocehan pemuda sombong itu" Bunuh saja dia...!" seru
Senapati Bagasw
k sa ara, tida bar mendengar pembicaran itu. Dan begitu ucapannya
selesai, tubuh lelaki raksasa itu melesat ke depan disertai sambaran sepasang
tangannya. "Hm...!" Panji menggeram perlahan, seraya menggeser langkahnya. Serangan lawan
pun lewat am di s pingnya. Dan, ia membalas dengan sodokan jari-jari tangan lurus ke iga lawan.
"Haiiit...!"
Pada saat kritis, mendadak sesosok baya
putih ngan meluncur turun dari pohon.
Begitu tiba, tangannya langsung mengibas kedua pedang yang siap memisahkan nyawa
Ki Baureksa dari tubuhnya!
Plak! Plak! Ki Guwara dan Ki Langgita terpekik kesakitan, dan keduanya terpental
jauh! Bettt! Senapati Bagaswara sadar akan kesaktian lawannya. Cepat ia melompat jauh ke
belakang untuk menghindari sera gan bala
n san pemuda itu. Kemudian, golok besar
bergeriginya dihunus, siap melanjutkan pertarungan.
"Ayo serbu...! Apa lagi yang kalian tunggu..."!" bentak Senapati Bagaswara
kepada para prajurit.
Mendengar perintah itu, para prajurit segera bergerak maju. Sehingga, Pendekar
Naga Putih dan Ki Baureksa kembali terkurung pasukan.
"Tahan! Hentikan pertempuran! Siapa yang berani membantah, akan kutangkap
sebagai pemberontak!" tiba-tiba Senapati Gantika berseru keras, membuat para
prajurit ragu, termasuk Senapati Bagaswara.
"Apa maksudmu, Senapati Gantika" Bukank
u ah s dah jelas, kalau Ki Baureksa
merupakan seorang pemberontak dan pembunuh! Dan pemuda yang berjuluk Pendekar
Naga Putih itu membantunya. Jadi, dia pun harus ditahan atau dilenyapkan, agar
tidak membahayakan kehidupan orang banyak," bantah Senapati Bagaswara. Dia
kelihatan tegang, ketika melihat Senapati Gantika mulai terpengaruh ucapan
Pendekar Naga Putih.
Untuk itu, ia berusaha menekan Ki Baureksa.
"Hm.... Aku ingin mendengar alasan Pendekar Naga Putih. Jika ia mempunyai bukti,
mungkin aku bisa mempertimbangkannya...," sahut Senapati Gantika yang diam-diam
mulai mencurigai sikap gelisah Senapati Bagaswara.
Senapati Gantika memang belum lama kembali dari tugasnya, menghalau para
pemberontak di perbatasan utara. Itu sebabnya, mengapa ia tidak mengetahui
secara jelas peristiwa-peristiwa yang terjadi di kotaraja.
"Sebelum datang ke tempat ini, aku sudah menyelidiki peristiwa pembasmian
keluarga Senapati Widyamarta. Dari cerita-cerita yang kudengar, baru aku tahu
kalau putri tunggal Senapati Widyamarta diculik pembunuh itu, dan aku
memergokinya. Sayang, aku tidak menyadari bahwa pembunuh itu memiliki pukulan
beracun yang sangat ganas.
Sehingga, aku tidak sempat menyelamatka
u n p tri Senapati Widyamarta. Meskipun
demikian, aku berhasil melukai pembunuh itu. Dia bukan Ki Baureksa. Melainkan
seorang tokoh sesat yang berjuluk Tangan Racun Hitam," papar Panji seraya
mengerling ke arah Senapati Bagaswara yang tampak semakin gelisah.
"Tapi.... Kau tidak mempunyai bukti serta saksi, Pendekar Naga Putih. Hal itu
tidak bisa kubenarkan...," bantah Senapati Gantika tegas.
Bukannya tidak mempercayai penjelasan Pendekar Nag
i a Put h, tapi Senapati
Gantika harus mengikuti peraturan sebagai orang pemerintahan. Itu sebabnya, ia
meminta bukti-bukti atas penjelasan Pendekar Naga Putih.
"Aku sudah menyiapkan bukti-buktinya. Tuan Panglima. Seperti yang kukatakan
tadi, tokoh sesat yang berjuluk Tangan Racun Hitam itu mengalami luka yang
parah. Untuk meny u emb hkan luka dalamnya diperlukan waktu yang cukup lama, serta tempat yang
tenang untuk beristirahat. Dan, bangunan megah ini merupakan tempat yang sangat
cocok!" jawab Panji, kembali mengerling ke arah Senapati Bagaswara yang kini
terlihat agak cat pu . Ia semakin tegang mendengar ucapan terakhir pemuda itu.
"Lanjutkan, Pendekar Naga Putih...," perintah Senapati Gantika, mulai tertarik
mendengar keterangan pemuda tampan berjubah putih itu.
"Sebelum ke taman ini, aku telah memeriksa seluruh kamar di dalam bangunan ini.
Dan, aku menemukan Tangan Racun Hitam di suatu kamar yang cukup tersembunyi.
Sebentar...."
Tiba-tiba Pendekar Naga Putih melesat ke bagian atas bangunan. Dan beberapa saat
kemudian, kembali meluncur turun dengan membawa sesosok tubuh yang tampak lemah.
"Keparat! Rupanya kau masih belum puas juga menghancurkan aku, Bagaswara!
Setelah kau fitnah aku sebagai pemberontak, sekarang kau fitnah aku sebagai
pembunuh keluarga Senapati Widyamarta. Sedangkan senapati itu tidak mempunyai
permusuhan denganku. Bahkan ia salah seorang pejabat yang mencurigaimu! Rupanya
setelah mendengar aku berhasil selamat dari Pulau Karang, kau kembali
melemparkan fitnah untuk melenyapkan penghalang cita-cita kotormu itu! Kau be
ar p nar-ben antas mampus...!" geram Ki Baureksa. Lelaki setengah baya ini marah bukan main
mendengar penjelasan Pendekar Naga Putih.
"Baureksa, tahan...!" seru Senapati Gantika, membuat langkah orang tua itu
tertahan. Biar bagaimanapun dendamnya kepada Senapati Bagaswara, tapi sebagai seorang
prajurit, ia harus mengikuti peraturan yang berlaku. Ki Baureksa tidak
melanjutkan niatnya un
me tuk nerjang Senapati Bagaswara yang telah pucat wajahnya. Kali ini, senapati itu
tidak mungkin dapat membela diri. Semua bukti-bukti telah jelas.
"Tangkap manusia busuk itu...!" perintah Senapati Gantika kepada para
prajuritnya dan bergerak mengepung Senapati Bagaswara.
"Tangkap kumlah mayatku , dan hu ...!" desis Senapati Bagaswara.
Rupanya, Senapati Bagaswara memilih mati daripada ditangkap sebagai seorang
pemberontak. Golok bergerigi di tangannya bergerak membeset leher. Tidak seorang
pun yang sempat mencegah pe
le rbuatan laki bertubuh raksasa itu Senapati Bagaswara tewas
bunuh diri! Robohnya tubuh Senapati Bagaswara, diikuti dengan robohnya dua orang perwira
yang menjadi bawahannya. Mereka adalah Ki Guwara dan Ki Langgita. Rupanya kedua
orang pembantu Senapati Bagaswara itu memilih mati daripada dihukum gantung di
hada n or pa ang banyak! Senapati Gantika hanya bisa menghela napas panjang penuh sesal. Rupanya musuh
tidak hanya datang dari luar. Tapi, di dalam kerajaan pun masih saja ada orangorang yang hendak memberontak.
"Terima kasih atas bantuanmu, Pendekar Naga Putih. Kalau kau tidak keburu
muncul, mungkin Ki Baureksa sudah tewas, dan aku akan menyesalinya sepanjang
hidupku. Sebagai tanda terima kasihku, aku mengundangmu menghadap Gusti
Prabu...,"
ujar Senapati Gantika yang merasa sangat berhutang budi atas bantuan Pendekar
Naga Putih. "Maaf, Tuan Panglima. Bukan aku menolak dangan ini. T
un api, aku harus menemui kawanku di sebuah desa yang letaknya tidak begitu jauh dari kotaraja.
Mungkin saat ini ia sedang mencari-cariku. Sebelumnya, aku hanya berniat
menghirup agi. udara p Biarlah aku mohon diri saja. Maaf, jika penolakanku membuat Tuan Panglima
kecewa. Tapi, lain kali aku berjanji akan berkunjung ke sini...," ujar Panji. Tanpa
menunggu jawaban lagi, Pendekar Naga Putih segera melesat meni
a ngg lkan tempat itu.
"Benar-benar seorang pendekar berbudi yang menolong tanpa pamrih. Aku semakin
bertambah kagum pada pemuda sakti itu...,"
Se gumam napati Gantika tanpa melepaskan
pandang matanya ke arah kepergian Pendekar Naga Putih.
"Ya. Aku tidak dapat melupakan kebaikannya. Tanpa pertolongan Pendekar Naga
Putih, saat ini aku sudah menjadi mayat...," balas Ki Baureksa dengan perasaan
haru. Beberapa saat kemudian, kedua orang senapati gag
be ah itu ranjak pergi. Senapati
Gantika berjanji akan menjelaska s
n emua peristiwa kepada sang Prabu, dan mengusulkan
agar Ki Baureksa dikembalikan pada jabatannya semula.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Naga Beracun 19 Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Kitab Mudjidjad 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama