Ceritasilat Novel Online

Tumbal Perkawinan 3

Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan Bagian 3


sekali tidak mengerti apa yang kau katakan itu! Bukankah putriku tengah pergi ke
Bukit Harimau Putih bersama putramu yang tergila-gila ingin mempersunting
putriku" Mengapa, kau langsung menuduhku yang bukan-bukan" Aku tidak bisa terima
penghinaan ini...!" ujar Setan Gunung Buntar yang menjadi marah ketika mendengar
tuduhan Pendekar Macan Sakti. Meskipun ia sadar lelaki gagah itu memiliki
kepandaian tinggi, tapi ia sama sekali tidak gentar.
"Bedebah! Kau memang perlu diajar adat...!" wanita cantik yang tak lain adalah
Nyi Sekar Galung tak bisa lagi memendam kemarahannya, ia langsung saja melesat
dengan tamparan mautnya.
"Hei, tunggu...!" Setan Gunung Buntar berusaha untuk mencegah pertarungan.
Lelaki brewok itu menggeser tubuhnya dengan lompatan ke samping. Sehingga,
serangan Nyi Sekar Galung mengenai angin kosong.
Namun, wanita cantik itu sama sekali tidak mau memberikan kesempatan kepada
lawannya. Serangannya kembali terlontar. Bahkan kali ini jauh lebih hebat dan berbahaya
dari serangan semula.
Whuttt! Plak! Plak! Dua buah tamparan keras yang dikirimkan Nyi Sekar Galung dipapaki oleh Setan
Gunung Buntar. Keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Jelas dalam pertemuan
tenaga pertama itu mereka masih terlihat berimbang.
"Pendekar Macan Sakti! Rupanya kaulah yang hendak main gila denganku! Putriku
belum lagi kembali, kau sudah menuduh yang bukan-bukan! Jelas kau hendak
memutarbalikkan kenyataan. Kau sengaja melemparkan fitnah, agar perbuatanmu yang
mungkin telah mencelakakan putriku tidak diketahui orang. Hm..., kau benar-benar
seorang pendekar sombong yang berhati keji...!" umpat Setan Gunung Buntar yang
jelas-jelas marah dengan tuduhan itu.
Usai berkata demikian, lelaki brewok itu menghunus sebilah golok besar yang
tergantung di pinggangnya. Kemudian, memutarnya sedemikian rupa, sehingga
menimbulkan deruan angin tajam.
"Hm.., kau mundurlah, Istriku. Biar aku sendiri yang akan memberi pelajaran
kepadanya...!" ujar Pendekar Macan Sakti yang memang tidak menyukai orang-orang
golongan sesat.
Pendekar Macan Sakti menganggap golongan sesat tak ubahnya gundukan sampah yang
mengotori bumi. Itulah sebabnya, mengapa lelaki gagah itu tidak merestui
hubungan putranya dengan putri Setan Gunung Buntar. Selain bisa membuat nama
besarnya cacat, ia pun mempunyai cita-cita untuk menjodohkan putranya dengan
gadis dari kalangan pendekar.
Memang tak mengherankan kalau Pendekar Macan Sakti sangat berang ketika Sasmita
meninggalkan rumah, setelah ia mengusir putri tokoh sesat itu. Maka, ia langsung
saja mendatangi Setan Gunung Buntar yang mungkin saja telah bersepakat dengan
putrinya untuk menculik dan,mengajak pergi Sasmita. Dan, keterangan seorang
tokoh sesat seperti Setan Gunung Buntar, jelas tidak bisa dipercaya lagi. Untuk
itu ia harus memaksanya dengan kekerasan.
Nyi Sekar Galung yang sebenarnya merasa penasaran dengan lelaki brewok itu,
terpaksa melangkah mundur. Wanita cantik itu tidak ingin membantah ucapan
suaminya. Karena ia sadar akan kekerasan hati lelaki yang dicintainya itu.
Sekali mengatakan tidak sulit sekali untuk merubahnya. Maka, Nyi Sekar Galung
pun melangkah mundur, dan menyerahkan persoalan itu kepada suaminya.
"Hm..., kau pasti menyembunyikan mereka karena ingin mendapatkan mantu seorang
pemuda gagah seperti putraku itu. Aku akan memaksamu untuk menyerahkan kembali
putraku itu...!" ujar Pendekar Macan Sakti yang segera bersiap untuk menggempur
Setan Gunung Buntar.
"Hmhhh...!" Setan Gunung Buntar menggeram marah.
Golok besar di tangan kanan tokoh sesat itu kembali berputar, dan menyilang di
depan dada. Sadar kalau yang dihadapinya adalah seorang tokoh tingkat atas,
Setan Gunung Buntar mengeluarkan ilmu andalannya untuk menghadapi lawan.
"Sambut seranganku...!" Pendekar Macan Sakti mengingatkan lawannya seraya
menerjang maju dengan menggunakan tangan kosong. Meskipun demikian, sambaran
angin pukulannya sangat berbahaya, dan tidak kalah berbahayanya dengan senjata
tajam. Sehingga, Setan Gunung Buntar yang menyadari hal itu segera memutar golok
besarnya untuk menyambut serangan lawan.
"Yeaaah...!"
Dibarengi sebuah pekikan parau, tubuh lelaki brewok itu bergerak menyambut
serangan lawan. Golok besar mengaung bagaikan ratusan lebah yang marah.
Bettt...! Tebasan sisi telapak tangan Pendekar Macan Sakti yang menimbulkan angin
berciutan, dielakkan lawannya dengan membungkukkan tubuh sambil memutar langkah,
dan langsung membalas tebasan senjatanya.
Plakkk! Rupanya Pendekar Macan Sakti tidak ingin berlama-lama. Maka, ketika tebasan
golok besar lawannya datang, lelaki gagah itu langsung memapak dengan telapak
tangannya. Akibatnya, tubuh Setan Gunung Buntar terdorong mundur dan hampir
terpelanting. Kalau saja tokoh itu tidak segera melemparkan tubuhnya ke
belakang, dan berjumpalitan ke udara.
"Gila..."!" umpat Setan Gunung Buntar yang merasakan lengan kanannya ngilu.
Namun, lelaki gemuk berwajah brewok itu tidak sempat berpikir lebih lama. Karena
saat itu lawannya telah kembali menyerbu dengan serangan-serangan yang lebih
berbahaya. Pertarungan pun kembali berlanjut dengan sengit Setan Gunung Buntar benar-benar
harus menguras seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Namun,
meskipun golok besarnya mengaung dan berkelebatan kian kemari dengan kecepatan
menggetarkan, tetap saja lawannya sanggup menekan dengan jurus-jurus berbahaya.
Sehingga, Setan Gunung Buntar semakin kelabakan dibuatnya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa kedua tokoh itu telah bertarung
selama empat puluh jurus lebih. Dan selama itu, Setan Gunung Buntar harus matimatian menyelamatkan dirinya dari incaran sepasang tangan Pendekar Macan Sakti
yang telah menggunakan ilmu andalannya untuk melawan tokoh sesat itu.
"Yeaaah...!"
Setan Gunung Buntar yang semakin merasakan beratnya tekanan lawan, mengibaskan
golok besarnya secara ngawur. Sebab, permainan ilmu silat lawan benar-benar
hebat dan sukar untuk diduga ke mana arah sasarannya. Jadi, tidaklah aneh kalau
tokoh berwajah brewok itu berkali-kali menerima hajaran lawannya.
Desss...! "Hugkh...!"
Tubuh lelaki brewok itu terpental ke belakang, ketika sebuah tendangan keras
telak menghajar perutnya yang gendut. Dan darah segar pun mengalir dari
mulutnya. Meskipun demikian, tokoh sesat itu cepat bergerak bangkit, dan kembali
melakukan perlawanan mati-matian.
Namun, Pendekar Macan Sakti benar-benar ingin segera menghabisi lawannya.
Terbukti ia sama sekali tidak mau memberikan kesempatan kepada Setan Gunung
Buntar untuk dapat menarik napas lega. Serangan-serangannya kembali datang
bertubi-tubi menghujani tokoh sesat itu.
"Heaaah...!"
Setan Gunung Buntar melompat pendek ke belakang seraya mengibaskan goloknya
untuk melindungi tubuh dari cengkeraman maut lawan. Tapi, serangan itu dengan
mudah dipatahkan oleh Pendekar Macan Sakti melalui sebuah tendangan kilat, dan
tepat mengenai siku lawannya. Belum lagi rasa sakit yang menyengat sikunya
sempat lenyap, tahu-tahu sebuah sambaran cakar kiri lawan telah merobek
tubuhnya. Brettt! "Aaakh...!"
Sambaran cakar yang cepat dan kuat itu membuat Setan Gunung Buntar meraung
keras. Untuk kesekian kalinya, tubuh tokoh sesat itu kembali terlempar sejauh
satu tombak lebih. Darah segar mengalir dari luka memanjang akibat cakaran
lawan. Dan, selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Macan Sakti langsung
melompat dengan sebuah tendangan geledek!
Desss!" "Aaa...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Setan Gunung Buntar terpental keras. Tubuh gemuk itu
terus menghantam sebatang pohon besar, sebelum jatuh ke atas tanah. Setelah
berkelojotan sesaat, tokoh sesat itu pun tewas!
Karena isi perutnya hancur akibat tendangan maut lawannya.
Dengan langkah perlahan dan penuh kewaspadaan, Pendekar Macan Sakti mendekati
tubuh lawannya.
Lelaki setengah baya itu menarik napas lega ketika melihat lawannya telah
menghembuskan napas yang terakhir.
"Kakang, kita harus segera menemukan Sasmita. Mungkin manusia jahat itu telah
menyembunyikannya di sekitar tempat ini...," ujar Nyi Sekar Galung mengajak
suaminya untuk segera mencari putra mereka, setelah memastikan Setan Gunung
Buntar tewas. Pendekar Macan Sakti hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian, pasangan suami
istri itu bergegas mencari putra mereka di sekitar tempat tinggal Setan Gunung
Buntar. Tapi, bukan main kecewanya hati mereka karena tidak menemukan Sasmita.
Setelah mencari dan menjelajahi sekitar tempat itu, Sasmita masih belum
ditemukan, keduanya pun menjadi bingung dan geram. Terutama Nyi Sekar Galung
yang memang sangat mencintai putra tunggalnya itu.
"Hm..., mungkin Setan Gunung Buntar telah menyuruh putrinya membawa pergi
Sasmita dari tempat ini. Tapi, kita harus mencarinya sampai dapat...," gumam
Pendekar Macan Sakti sambil mengajak istrinya untuk mencari Sasmita dan Sari
Asih. Kedua pendekar sakti itu bergegas meninggalkan Gunung Buntar untuk mencari
jejak putra mereka.
Tidak berapa lama setelah kepergian Pendekar Macan Sakti dan istrinya, tampak
sesosok tubuh ramping berlari-lari mendatangi tempat tinggal Setan Gunung
Buntar. Sepasang mata sosok tubuh ramping yang ternyata adalah Sari Asih itu
tampak liar ketika menyaksikan adanya bekas-bekas pertarungan yang hebat. Tentu
saja hal itu membuat hatinya gelisah.
"Ayah...!" Sari Asih berseru memanggil ayahnya sambil melangkah menuju pondok.
Hari dara cantik itu kian tegang, ketika tidak menemukan sosok ayahnya di dalam
pondok. Cepat ia melesat keluar dan mencari-cari ayahnya.
Tiba di luar pondok. Sari Asih mengamati bekas-bekas pertarungan itu. Sepasang
matanya tampak terbelalak ketika melihat sesosok tubuh gemuk tergeletak di dekat
pohon. Yang berada di samping kanan pondok sejarak enam tombak.
"Ayaaah...!" tanpa ragu-ragu lagi, Sari Asih yang mengenal sosok ayahnya,
langsung menghambur dengan air mata bercucuran.
"Ayah..., oh Ayah.... Apa yang sudah terjadi denganmu.,." Siapa yang telah
membunuhmu demikian kejam, Ayah...?" Sari Asih menangis pilu di atas tubuh
ayahnya. Air mata gadis itu meluncur deras membasahi wajahnya yang pucat. Beberapa kali
Sari Asih meng-guncang tubuh Setan Gunung Buntar, seolah-olah tidak yakin bahwa
ayahnya telah tewas. Tangisnya kembali meledak ketika kesadarannya mengatakan
bahwa ayahnya memang benar-benar telah tewas.
"Keparat keji...! Semua ini pastilah perbuatan orang-orang Perguruan Gunung
Lawa. Setelah tidak berhasil membunuhku, mereka mencari ayahku sebagai
pelampiasan dendam mereka. Hm..., akan kucari pembunuh-pembunuh biadab itu! Akan
kuhirup darah mereka satu persatu...!" geram Sari Asih dengan wajah penuh
dendam. Sepasang matanya yang indah itu tampak berkilat menakutkan. Jelas ia
tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya untuk membalas dendam atas kematian
ayahnya. Dengan wajah yang dibasahi air mata, dara cantik berwajah pucat itu menguburkan
jenazah ayahnya.
Kemudian, ia bergerak meninggalkan tempat itu, setelah mengucapkan janji di
depan makam ayahnya.
Angin senja bersilir lembut mengiringi langkah kaki Sari Asih, yang meninggalkan
kaki gunung Buntar dengan hati dipenuhi dendam membara. Luka hati akibat
perjodohannya tidak disetujui orangtua kekasihnya, kini semakin parah.
Hanya api dendam yang membuat Sari Asih bertahan untuk hidup. Dan, hanya satu
tujuannya dalam menempuh kehidupan dunia yang dirasanya sangat kejam ini. Yaitu,
membalas kematian ayahnya!
32 "Nisanak..! Harap berhenti sebentar...!"
Terdengar seruan perlahan, namun cukup membuat langkah Sari Asih terhenti. Dara
cantik manis yang tengah dirundung duka itu menoleh ke arah asal suara.
Keningnya tampak berkerut ketika melihat seorang kakek berusia tujuh puluh
tahun, menghampirinya dengan langkah tertatih-tatih.
"Kakek memanggilku...?" tanya Sari Asih menegasi. Karena ia memang tidak
mengenal kakek yang memanggilnya itu.
"Betul, Cucuku...," sahut kakek itu tanpa menghentikan langkahnya yang dibantu
sebatang tongkat.
Sari Asih melangkah menghampiri karena merasa kasihan melihat kakek itu.
"Betulkah kau yang bernama Sari Asih, putri dari Setan Gunung Buntar ...?" tanya
kakek itu lagi seperti hendak meyakinkan hatinya bahwa ia tidak salah mengenali
orang. "Betul, Kek. Dari mana kau mengetahui namaku serta julukan ayahku...?" tanya
Sari Asih yang masih belum hilang rasa herannya. "Apakah Kakek hendak menjumpai
ayahku...?"
"Tidak, Cucuku. Justru aku ingin berjumpa denganmu, Hhh..., cukup lama aku
mencari-carimu.
Beruntung sekali kita bisa berjumpa secara kebetulan di tempat ini. Aku adalah
sahabat Sasmita, putra tunggal Pendekar Macan Sakti. Tuan Muda Sasmita
menyuruhku untuk menjumpaimu, dan menemuinya di sebuah tempat yang cukup
tersembunyi. Ah..., kasihan sekali Tuan Muda Sasmita. Entah siapa yang telah
melukainya...," desah kakek itu setelah menerangkan siapa dia sebenarnya, dan
untuk apa ia mencari Sari Asih.
"Kakang Sasmita..."! Di mana dia, Kek" Siapa yang telah melukainya" Parahkah
luka-lukanya...?"
tanya Sari Asih tanpa sadar memegang kedua bahu kakek itu.
Dara cantik itu baru menyadari perbuatannya ketika melihat wajah kakek itu
meringis kesakitan. Cepat-cepat Sari Asih meminta maaf dan melepaskan cekalan
tangannya. "Sabarlah, Cucuku. Aku tidak tahu pasti apakah lukanya parah atau tidak. Kalau
kau ingin menemuinya, berjalanlah terus. Apabila kau telah menemukan gerombolan
pohon bambu kuning, berbeloklah ke kanan. Di sana ada sebuah pondok tua. Nah, di
dalam pondok itulah aku menyembunyikannya. Karena menurutnya, ia tengah dicaricari oleh musuh yang berkepandaian tinggi...," jelas kakek itu sambil menghela
napas panjang berulang-ulang. Tampak kakek itu sangat lelah sekali. Sehingga, ia
langsung saja duduk di hamparan rumput tebal di bawah pohon rindang.
"Kalau begitu, cepat antarkan aku, Kek...," ajak Sari Asih yang tentu saja
merasa cemas mendengar kekasihnya berada di tempat jauh dari kediaman
orangtuanya, dan pula tengah menderita luka. Gadis itu langsung saja menduga
kalau Sasmita pasti lari dari rumah untuk mencarinya. Entah apa yang dialami
kekasihnya itu sampai terluka parah.
"Maafkan Kakek, Cucuku. Kakek rasanya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan.
Ikutilah petunjukku.
Tuan Muda Sasmita memerlukan bantuanmu. Biarlah Kakek akan menyusul, setelah
beristirahat nanti. Cepatlah kau pergi. Kakek khawatir orang-orang jahat yang
melukainya akan datang ke tempat itu...," ujar kakek itu menolak ajakan Sari
Asih karena lelah.
Sari Asih yang melihat kakek itu memang tengah kelelahan, segera saja
mengucapkan terima kasih, dan melesat mengikuti petunjuk yang diberikan kakek
itu kepadanya. "Hhh..., orang-orang muda sekarang seperti hantu saja. Mereka dapat menghilang
demikian cepat..,"
desah kakek itu yang melihat sosok Sari Asih tinggal bayang-bayang samar di
kejauhan. Kemudian ia tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarnya. Sebentar
saja, kakek itu telah tertidur dengan tubuh bersandar pada sebatang pohon.
Sari Asih terus berlari mengikuti petunjuk kakek bertongkat itu. Harinya cemas
bukan main mengingat keadaan kekasihnya yang tengah terluka. Memang tidak
terlalu sulit untuk menemukan tempat yang dimaksud kakek itu. Keterangannya yang
jelas, membuat Sari Asih segera dapat menemukan pondok tua yang dimaksud.
Tanpa memeriksa keadaan di sekitarnya, Sari Asih langsung melompat ke dalam
pondok. Dan, apa yang dikatakan kakek bertongkat butut itu memang benar. Di atas
pembaringan tampak Sasmita tengah menggeletak lemah.
"Kakang Sasmita...!" panggil Sari Asih yang segera saja memeluk tubuh pemuda
itu. Dara cantik itu sama sekali tidak peduli meskipun tubuh bagian atas pemuda itu
telah basah oleh keringat. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika melihat
betapa kulit wajah dan tubuh pemuda itu tampak kemerahan seperti udang rebus.


Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan bersimbah air mata, Sari Asih memeluk dan menciumi wajah Sasmita yang
tampak tengah tak sadarkan diri itu.
"Kakang.... Ini aku, Sari Asih...!", kembali Sari Asih memanggil ketika
mendengar keluhan dari mulut pemuda itu.
Beberapa saat kemudian, sepasang mata Sasmita membuka perlahan. Warna merah saga
pada sepasang mata kekasihnya itu, membuat Sari Asih merasa semakin cemas.
"Kau..., Asih...!?" ucap Sasmita dengan suara bergetar.
Belum sempat Sari Asih mengangguk, pemuda itu langsung saja merangkul tubuh
kekasihnya. Bahkan, dengan bernafsu, Sasmita menghujani gadis itu dengan ciumanciuman yang panas bagaikan hendak membakar tubuh Sari Asih. Berkali-kali bibir
pemuda itu menyebut-nyebut nama Sari Asih dengan napas memburu.
Sebagai seorang putri tokoh sesat, Sari Asih sadar kalau kekasihnya telah
menderita keracunan hebat.
"Kakang.... Kau..., kenapa...?" tanya Sari Asih yang tidak menolak perbuatan
pemuda itu, karena ia merasa terharu melihat keadaan kekasihnya. Bahkan, Sari
Asih tidak juga menolak ketika Sasmita berbuat semakin jauh. Hal itu karena ia
sadar bahwa hanya itulah jalan satu-satunya untuk melenyapkan pengaruh racun
yang mengeram di tubuh kekasihnya. Sehingga, Sari Asih pun pasrah, bahkan
membalas cumbuan Sasmita dengan sepenuh cintanya. Sebentar saja, kedua insan itu
telah terbuai dalam gelombang asmara yang menggebu-gebu.
*** "Iiieee...!"
Suara lengkingan halus yang semakin lama kian meninggi itu membuat langkah dua
sosok tubuh terhenti. Keduanya saling bertukar pandang sejenak. Kemudian,
mengedarkan pandang ke sekeliling tempat itu yang ditumbuhi pepohonan besar.
"Suara apa itu, Kakang...?" tanya wanita cantik berusia tiga puluh delapan tahun
itu kepada pria tinggi gagah di sebelah kanannya. Jelas tergambar keheranan
besar pada wajah wanita cantik itu.
"Hm..., entahlah. Tapi, sepertinya suara itu sengaja diperdengarkan untuk
kita...," sahut lelaki gagah berusia setengah baya itu seraya memutar pandang
mencari asal suara, yang masih saja terdengar berkepanjangan.
Belum lagi wanita cantik itu sempat bertanya lagi, lelaki gagah yang sepertinya
telah menemukan sumber suara, langsung saja bergerak ke Selatan.
"Ikuti aku...," ajaknya tanpa menunggu jawaban.
Wanita cantik itu pun segera melesat mengikuti langkah lelaki gagah itu.
Keduanya bergerak cepat dengan menggunakan ilmu larinya untuk mencari sumber
suara lengkingan panjang itu.
"Kakang, lihat..!" wanita cantik itu tiba-tiba berseru sambil menudingkan jari
telunjuknya ke satu arah, di mana ada sesosok bayangan putih berkelebat menjauhi
mereka. Tanpa banyak bicara iagi, lelaki gagah itu pun segera melesat mengejar dengan
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Namun, meskipun mereka telah mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu lari cepatnya, sosok bayangan putih itu tetap saja tidak bisa
didekati. Bahkan mereka kehilangan jejak, setelah cukup jauh melakukan
pengejaran. "Gila! Kepandaian orang itu tinggi sekali. Entah ke mana lenyapnya dia...?"
desis lelaki gagah itu dengan wajah membayangkan rasa penasaran. Keningnya
tampak berkerut ketika pandang matanya menangkap sebuah pondok tua beberapa
tombak di sebelah kanannya.
Cepat keduanya mendekati pondok, karena mengira bahwa sosok bayangan putih itu
pasti bersembunyi di dalam. Lelaki gagah dan wanita cantik itu meringankan
langkahnya ketika telah dekat dengan pondok.
"Kau tunggulah di sini...," ucap lelaki gagah itu kepada wanita cantik di
sebelahnya. Dan sebelum wanita itu menjawab, lelaki gagah itu telah berkelebat
menerjang pintu pondok.
"Hah..."! Anak keparat..!" maki lelaki gagah itu.
Sebentar kemudian, tubuhnya kembali melesat ke luar. Rupanya yang ia temukan
adalah dua sosok tubuh setengah telanjang yang terbaring di atas pembaringan.
"Ada apa, Kakang...?" tanya wanita cantik itu dengan wajah heran ketika melihat
wajah lelaki gagah itu tampak merah padam. Jelas ia tengah dilanda kemurkaan
hebat. "Sasmita, keluar kau...!"
Tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, lelaki tinggi, gagah itu
berteriak dengan suara mengguntur! Jangankan orang lain, wanita cantik di
sebelahnya pun sampai terlonjak kaget, dan hampir jatuh.
Karena teriakan itu dikerahkan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam yang
sangat tinggi. Wanita cantik yang tidak lain adalah Nyi Sekar Galung itu baru mengerti ketika
melihat dua sosok tubuh muncul dari dalam pondok. Wajah keduanya tampak pucat
bagaikan tak dialiri darah. Jelas kalau keduanya merasa gentar melihat kemarahan
lelaki gagah yang tak lain adalah Pendekar Macan Sakti.
"Bedebah! Perbuatan kalian benar-benar tidak bisa diampuni!" geram Pendekar
Macan Sakti menggereng bagaikan singa luka. Sepasang matanya menyorot tajam,
siap menjatuhkan hukuman kepada kedua orang muda yang tak lain dari Sasmita dan
Sari Asih. "Ayah..., aku...."
"Hm..., apa yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri sudah cukup! Kalian
tidak perlu lagi membela diri! Tidak ada gunanya...!" bentak Pendekar Macan
Sakti tidak memberi kesempatan kepada Sasmita untuk membela diri.
Dan begitu ucapannya selesai, tubuh lelaki gagah itu langsung melayang ke arah
putranya yang dianggap telah menyeleweng dari kebenaran itu.
Plak! "Ughhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Sasmita langsung terpelanting akibat tamparan yang keras
pada wajahnya. Darah segar langsung saja mengucur dari bibir pemuda itu.
"Kematian adalah hukuman yang paling baik bagimu...!" geram Pendekar Macan Sakti
seraya menerjang dengan lebih ganas.
Plakkkk! "Aaah...!"
Sari Asih yang tidak sudi melihat kekasihnya tewas, segera menyambut serangan
maut Pendekar Macan Sakti. Akibatnya, tubuh dara cantik itu terpelanting dan
terbanting jatuh dengan kerasnya.
Nyi Sekar Galung sendiri terpaku dengan wajah pucat, ia pun sadar apa yang telah
dilakukan putranya itu. Mereka hanya berdua saja di dalam pondok itu, membuat
Nyi Sekar Galung dapat menduga apa yang telah diperbuat kedua orang muda itu.
Itulah sebabnya, mengapa ia tidak berusaha untuk mencegah suaminya yang memang
berpendirian keras itu.
"Hmhhh...," Pendekar Macan Sakti menggereng murka ketika melihat Sari Asih
berani memapaki serangannya. Pandangan laki-laki setengah baya Itu kini beralih
kepada Sari Asih. "Kau rupanya ingin segera menyusul ayahmu, Gadis Binal...!"
Sambil berkata demikian, Pendekar Macan Sakti langsung melesat menampar kepala
Sari Asih. Dari sambaran angin yang bercuitan tajam, dapat ditebak kalau kepala
dara cantik itu pasti akan hancur.
"Hatt...!"
Plarrr...! Pada saat nyawa Sari Asih hampir putus, tiba-tiba melesat sesosok bayangan
bersinar putih keperakan, yang langsung memapaki tamparan Pendekar Macan Sakti.
Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terpental balik.
Meskipun begitu, Pendekar Macan Sakti segera dapat menguasai keseimbangan
tubuhnya. Dengan sebuah putaran manis, tubuh lelaki gagah itu meluncur turun.
"Pendekar Naga Putih..."!" Sari Asih yang langsung mengenali sosok penolongnya,
berseru dengan wajah penuh harap. Jelas dara cantik manis itu melihat adanya
harapan untuk selamat ketika mengetahui siapa orang yang menolongnya dari
kematian itu. "Kurang ajar...!"
Nyi Sekar Galung rupanya merasa jengkel melihat serangan suaminya yang hendak
melenyapkan Sari Asih ada yang menggagalkan. Cepat tubuh wanita cantik itu
melesat dengan sepasang tangan berputaran menerjang Pendekar Naga Putih.
Tapi, yang menyambut serangan itu justru bukan Pendekar Naga Putih. Sebab, saat
itu ada sesosok bayangan hijau yang bergerak menyambut serangan Nyi Sekar
Galung. Dan....
Plak! Plak...! Terdengar benturan keras mengiringi tubuh Nyi Sekar Galung yang terpental balik.
Jelas tenaga dalam wanita cantik itu masih berada di bawah sosok bayangan hijau
yang tak lain adalah Kenanga.
"Perempuan setan..!" maki Nyi Sekar Galung yang telah bersiap untuk menerjang
kembali. Namun, niat itu diurungkannya ketika mendengar seruan suaminya.
"Sabarlah, Istriku...," ujar Pendekar Macan Sakti yang tengah menatap wajah
pemuda tampan di depannya lekat-lekat.
Hati laki-laki setengah baya itu sempat terkejut ketika mendengar disebutnya
nama Pendekar Naga Putih. Dan, ia pun sudah pula merasakan adanya hawa dingin
yang menyusup ke lengannya saat berbenturan dengan pemuda tampan berjubah putih
itu. Karena yang dihadapinya kali ini adalah seorang pendekar besar yang banyak
mengundang kekaguman orang, maka Pendekar Macan Sakti menekan kemarahannya.
"Maaf, kalau aku telah mencampuri urusan ini, Paman. Tapi, harap Paman bersabar,
dan mau memecahkannya dengan kepala dingin. Apa pun persoalannya, rasanya tidak
ada salahnya kalau kita mendengar pembelaan diri mereka...," ujar Panji seraya
membungkuk hormat kepada lelaki gagah itu yang tentu saja sudah pernah didengar
nama besarnya. "Hm..., tahukah kau, Pendekar Naga Putih" Mereka berdua telah melakukan dosa
besar, dan mencoreng mukaku," bantah Pendekar Macan Sakti sambil melemparkan
pandang ke arah Sasmita dan Sari Asih yang tengah saling rangkul itu.
"Cobalah beri mereka kesempatan untuk menjelaskannya, Paman. Kalau memang
setelah itu Paman anggap mereka tidak bisa diampuni, itu terserah Paman...,"
Panji masih mencoba untuk menyabarkan Pendekar Macan Sakti dan memberikan
kesempatan kepada kedua insan muda itu untuk membela diri.
"Baiklah. Aku terima saranmu, Pendekar Naga Putih. Nah! Sekarang, siapa di
antara kalian berdua yang akan menjelaskan perbuatan kalian...?" Pendekar Macan
Sakti akhirnya mengalah, dan memberikan peluang kepada Sari Asih dan Sasmita
untuk membela diri.
Sari Asih maju ke muka lebih dulu. Setelah memandang penuh rasa terima kasih
kepada Pendekar Naga Putih, dara cantik itu menjelaskan persoalan dirinya, mulai
dari bertemu dengan seorang kakek, sampai berjumpa Sasmita di pondok dalam
keadaan keracunan.
"Hanya itulah yang dapat kujelaskan. Selebihnya, mungkin Kakang Sasmita dapat
menjelaskan apa yang menyebabkan ia menderita keracunan...," Sari Asih
mengakhiri keterangannya. Karena menganggap itulah yang ia ketahui.
"Ayah...," ucap Sasmita perlahan. "Setelah kepergian Asih, keesokan harinya aku
pergi meninggalkan rumah dengan maksud untuk mencarinya. Tapi, di perjalanan aku
berjumpa dengan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa, yang dipimpin langsung oleh
ketuanya. Selain mengeroyok, mereka juga menggunakan racun untuk menawanku.
Setelah itu, aku tidak tahu apa-apa lagi, sampai kemudian mendapatkan Asih yang
tengah memelukku di dalam pondok. Rupanya mereka telah melolohkan racun terkutuk
ke dalam tubuhku, dan memancing Asih untuk menemuiku. Dan, apa yang terjadi di
antara kami berdua, memang merupakan jalan satu-satunya untuk melenyapkan
pengaruh racun jahat itu. Kalau tidak, aku akan tetap dipengaruhi racun itu
sampai kapan pun, kecuali dengan jalan yang telah kami lakukan. Untuk itu, harap
Ayah dan Ibu bisa mengerti kesulitan kami...."
"Hm...," Pendekar Macan Sakti menggeram setelah mendengar penjelasan putranya
dan Sari Asih. Kini timbul penyesalan dalam diri Pendekar Macan Sakti yang telah berbuat
gegabah membunuh Setan Gunung Buntar. Padahal, tokoh sesat itu sama sekali tidak
bersalah. Dan, hampir saja ia berbuat kesalahan yang lebih parah dengan membunuh
putranya, dan juga putri Setan Gunung Buntar. Diam-diam Pendekar Macan Sakti
sangat berterima kasih sekali kepada Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, entah
bagaimana ia dapat memaafkan dirinya dengan kesalahan-kesalahan yang demikian
berat itu. "Kalau begitu, sebaiknya kita meminta pertanggungjawaban dari orang-orang
Perguruan Gunung Lawa...," usul Panji setelah mendengar semua penjelasan itu.
Yang lainnya langsung mengangguk setuju. Sebab, mereka pun memang mempunyai
pikiran yang sama dengan Panji.
8 "Iieee...!"
Baru saja Panji dan yang lainnya hendak bergerak meninggalkan tempat itu, tibatiba terdengar lengkingan tinggi menusuk telinga, yang membuat Pendekar Macan
Saka dan istrinya terkejut.
"Bedebah! Baru aku mengerti sekarang! Lengkingan itu rupanya sengaja membawa
kami ke tempat ini, agar aku dan istriku menemukan Sasmita dan Sari Asih di
tempat ini...!" geram Pendekar Macan Sakti.
Lelaki setengah baya ini baru menyadari bahwa dirinya dipancing datang ke pondok
itu agar bisa melihat putranya dan Sari Asih yang juga terjebak.
"Hm..., suara lengkingan itu pastilah berasal dari Dewa Gunung Lawa...," gumam
Panji yang rupanya mengenali pemilik lengkingan tinggi yang menyakitkan itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji pun mengerahkan tenaga saktinya untuk
mengeluarkan suara lengkingan halus guna menindih suara itu.
Tidak berapa lama kemudian, suara lengkingan itu pun lenyap. Berbarengan dengan
lenyapnya lengkingan tinggi itu, muncullah belasan sosok tubuh berpakaian serba
hitam yang langsung mengurung orang-orang yang berada di tempat itu.
"Sepasang Algojo Gunung Lawa..."!" desis Pendekar Macan Sakti melihat dua orang
berkepala botak yang memimpin belasan orang itu.
"He he he...! Selamat bertemu, Pendekar Macan Sakti. Sebenarnya kami tidak ingin
mengusikmu. Tapi, perbuatan putramu dan dara cantik itulah yang membuat kami
terpaksa harus melenyapkanmu dari permukaan bumi ini...," ujar salah seorang
dari kedua lelaki tinggi besar berkepala botak itu.
Tangan lelaki itu memegang kapak bergagang panjang yang tampak terangkat
perlahan. Begitu pula yang dilakukan orang kedua yang memiliki ciri-ciri serupa
dengan kawannya. Mereka itulah yang terkenal dengan julukan Sepasang Algojo
Gunung Lawa. Pendekar Macan Sakti dan istrinya sadar akan kesaktian lawan. Cepat keduanya
melangkah maju guna menghadapi Sepasang Algojo Gunung Lawa, yang memang selalu
bersama-sama dalam menghadapi setiap pertempuran.
Kesaktian dan kekejaman lawannya yang memang sudah sangat terkenal itu, membuat
Nyi Sekar Galung telah menghunus pedang. Sedangkan Pendekar Macan Sakti telah
mengeluarkan senjata andalannya berupa sarung tangan berwarna emas. Sepasang
suami istri itu telah siap menghadapi gempuran tawan.
"Heaaat..!"
Sepasang Algojo Gunung Lawa langsung membuka serangan dengan teriakan parau.
Tubuh keduanya yang sama tinggi besar itu melayang disertai ayunan senjatanya
yang menimbulkan deruan angin tajam.
"Hait..!"
Pendekar Macan Sakti dan istrinya langsung saja bergerak menyambut serangan
lawan. Sebentar saja keempat tokoh sakti itu telah terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit.
Panji dan Kenanga sendiri saat itu telah dikeroyok oleh belasan orang berseragam
hitam yang dipimpin oleh Ganjalu yang berjuluk si Tongkat Iblis. Pasangan
pendekar muda itu tentu saja tidak gentar. Dengan gerakan yang sukar ditangkap
mata biasa, keduanya melesat kian kemari sambil melemparkan tamparan dan
tendangan yang cepat dan kuat.
Sebentar saja, empat orang pengeroyoknya roboh dan tewas, akibat terjangan
sepasang pendekar muda itu. Jelas kali ini Panji tidak lagi memberi hati kepada
orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Sebab, mereka ternyata sangat licik dan
jahat! Di bagian lain, Sari Asih tampak sibuk menghadapi serbuan delapan orang
lawannya. Dara cantik itu telah menghunus senjatanya. Karena, selain harus
menghadapi keroyokan, ia pun masih harus melindungi kekasihnya dari incaran
senjata lawan. Sebab, Sasmita yang masih lemah itu, belum bisa mempertahankan
dirinya dari keroyokan lawan.
Panji yang sempat melirik ke arah Sasmita dan Sari Asih, segera meminta Kenanga
untuk membantu kedua orang muda itu. Tanpa membantah lagi, Kenanga langsung saja
menerjunkan diri ke arena pertarungan itu, dan langsung menerjang orang-orang yang mengeroyok Sari Asih dan
Sasmita. "Terima kasih. Kalian berdua telah berkali-kali menolongku...," ucap Sari Asih
yang merasa terharu dengan kebaikan Kenanga dari Panji. Karena telah berkalikali nyawanya diselamatkan oleh pasangan pendekar besar itu.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, Adik Manis...,"
sahut Kenanga yang kembali merobohkan dua orang pengeroyoknya.
Sebentar saja, keadaan menjadi berbalik. Kini orang-orang Perguruan Gunung Lawa
itu harus mati-matian menyelamatkan diri dari incaran Pedang Sinar Rembulan di
tangan dara jelita itu.


Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iiieee...!"
Saat Kenanga hendak membabat dua orang pengeroyoknya, tiba-tiba terdengar
lengkingan tinggi yang membuat dada dara itu berdebar keras. Belum lagi ia
sempat menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu sesosok bayangan telah melontarkan
sebuah tamparan ke kepalanya.
Bukkk!" "Aaah...!"
Kenanga memekik kesakitan. Untunglah pada saat yang amat gawat itu ia masih
sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga, yang menjadi sasaran tamparan lawan
adalah bahunya. Meskipun demikian, Kenanga merasakan lengan kanannya lumpuh.
Jelas tamparan itu mengandung kekuatan yang hebat.
"Kau..."!"
Sari Asih yang melihat seorang kakek-kakek memegang sebatang tongkat bambu
butut, langsung menjadi terkejut la mengenali kakek itu sebagai orang yang
menghadangnya di perjalanan, dan memberitahukan keadaan serta tempat di mana
kekasihnya berada. Sadarlah dara cantik itu bahwa ia memang sengaja dijebak, dan
diadu domba oleh orang-orang Perguruan Gunung Lawa.
"Keparat! Kakek jahat! Kubunuh kau...!" teriak Sari Asih yang tanpa berpikir
panjang lagi, langsung saja menusukkan pedangnya ke tubuh kakek itu.
Dukkk! "Aaahk...!"
Sari Asih memekik kesakitan. Pedangnya memang tepat mengenai sasaran. Tapi,
jangankan untuk membunuh kakek itu, melukainya pun ternyata tidak sanggup. Tentu
saja Sari Asih menjadi tekejut melihat kehebatan kekebalan tubuh lawannya, ia
tidak menyadari sama sekali ketika lengan kiri kakek itu telah terulur, siap
mencengkeram hancur batok kepalanya.
Plak! Namun, saat itu juga terdengar benturan keras memekakkan telinga. Sesosok
bayangan bersinar putih keperakan telah menyambut dan menggagalkan niat kakek
itu untuk membunuh Sari Asih. Bahkan, tubuh kakek itu sampai terdorong mundur
sejauh empat langkah!
"He he he...! Pendekar Naga Putih...!" ujar kakek itu terkekeh ketika melihat
sosok pemuda tampan berjubah putih telah berdiri di depannya, dalam jarak satu
tombak. "Hm..., Dewa Gunung Lawa! Sebagai orang tua, seharusnya kau lebih banyak
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan bukannya malah semakin mengumbar hawa
nafsumu!" ucap Panji seraya membalas tatapan orang tua yang berjuluk Dewa Gunung
Lawa itu dengan sorot mata yang tidak kalah tajam. Untuk beberapa saat lamanya,
kedua tokoh sakti itu saling bertatapan dengan tajamnya.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Dewa Gunung Lawa berteriak keras. Tongkat bambu di tangannya
dilemparkan ke udara, yang langsung meliuk dan berputar, tak ubahnya sebuah
benda bernyawa. Jelas kalau Dewa Gunung Lawa mempergunakan ilmu sihirnya untuk
menghadapi Pendekar Naga Putih.
"Hm...," Panji hanya bergumam perlahan ketika melihat tongkat bambu itu meluncur
turun menyerang dirinya.
Bettt! Cepat Panji memiringkan tubuhnya, menghindari sambaran tongkat bambu butut yang
menimbulkan angin bercultan tajam itu. Pendekar Naga Putih terus melompat ke
kanan, ketika ujung tongkat itu menusuk dengan kecepatan kilat.
Whuttt... Kraaakkk! Sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa langsung berderak patah
ketika sodokan ujung tongkat yang dihindari Panji menghantamnya. Diam-diam Panji
terkejut melihat kehebatan yang tersembunyi di dalam tongkat bambu butut itu.
Dan, ketika tongkat itu berputar membabat tubuhnya, Pendekar Naga Putih mencoba
untuk menyambut datangnya badan tongkat.
Duggg! Bukan main terkejutnya hari Panji ketika merasakan lengannya kesemutan akibat
berbenturan dengan tongkat bambu butut itu. Sadarlah Panji kalau tongkat bambu
butut itu telah dipengaruhi kekuatan sihir yang dahsyat. Bahkan, ujung tongkat
itu sempat menyemburkan asap berwarna merah ketika membentur tubuh Panji.
Pendekar Naga Putih cepat-cepat melompat jauh ke belakang sambil mendorongkan
sepasang telapak tangannya, guna mengusir asap berwarna merah yang berbau harum
itu. "Hm...," untuk kesekian kalinya Panji kembali bergumam.
Lengan kakek itu sudah terulur, siap mencengkeram hancur batok kepala Sari Asih.
Namun... Plak! Saat itu juga terdengar benturan keras yang memekakkan telinga. Sesosok bayangan
putih keperakan telah menyambut dan menggagalkan niat Dewa Gunung Lawa untuk
membunuh Sari Asih.
Kali ini Pendekar Naga Putih terlihat menyilangkan sepasang lengannya di depan
dada. Kemudian membuka ke depan seperti orang membopong sebuah benda. Sesaat
kemudian, kedua tangannya diputar, dan disatukan di atas kepala, sambil
membentak nyaring!
"Naga Langit...!" bentakan yang keras itu disusul dengan berpendarnya seberkas
sinar kuning keemasan di atas kepala Pendekar Naga Putih, Sinar kuning keemasan
itu tidak lain dari Pedang Pusaka Naga Langit yang dikeluarkan dari dalam
tubuhnya guna menghadapi tongkat butut Dewa Gunung Lawa.
"Hebat..!" Dewa Gunung Lawa sendiri berseru memuji Pendekar Naga Putih, yang
dikiranya juga memiliki ilmu sihir. Maka, kakek itu segera memejamkan kedua
matanya guna memperkuat kekuatan sihir pada tongkatnya.
Sebentar kemudian, Pedang Naga Langit itu telah bergerak menyambut datangnya
tongkat bambu butut Dewa Gunung Lawa. Pertarungan tidak masuk akal itu tidak
berlangsung lama. Sebab, Pedang Naga Langit yang memang memiliki kekuatan tanpa
bantuan dari Panji, langsung membabat tongkat bambu butut itu hingga menjadi
enam bagian. Tentu saja potongan-potongan tongkat itu langsung runtuh ke tanah.
"Aaah...!?" Dewa Gunung Lawa terkejut ketika merasakan tubuhnya bagaikan
terpukul sebuah kekuatan dahsyat. Cepat-cepat tokoh sakti itu menyilangkan kedua
tangan di depan dada seraya memejamkan mata.
Kemudian, sepasang lengannya dikibaskan ke kiri dan kanan sambil membentak
keras. Jelas maksudnya hendak menghilangkan pengaruh aneh yang menyergap
tubuhnya, tepat pada saat bambu bututnya terpotong oleh pedang lawan.
"Hm..., sekarang hadapilah jurus-jurusku, Pendekar Naga Putih...," geram Dewa
Gunung Lawa yang segera menggerakkan kedau tangannya yang siap menggempur Panji.
Jelas ia telah merasa tidak ada gunanya menggunakan ilmu sihir.
Panji yang sudah menarik pulang Pedang Naga Langit, segera mengeluarkan 'Ilmu
Silat Naga Sakti'
yang merupakan ilmu pamungkasnya. Berbarengan dengan itu, ia pun menambahkan
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Sehingga, hembusan angin dingin semakin
kuat, membuat orang-orang di sekitarnya bergegas menjauhkan diri dari arena
pertarungan maut itu.
"Haaat..!"
"Yeaaah...!"
Dibarengi pekikan mengguntur, kedua tokoh sakti itu saling terjang dengan
hebatnya! Debu dan dedaunan kering beterbangan bagaikan dilanda badai topan yang
hebat. Sebentar saja suasana di sekitar arena pertarungan itu menjadi gelap oleh
debu dan dedaunan yang bertebaran kian kemari.
Dukkk! Dukkk! Plak!
Terdengar benturan keras berkali-kali membuat tubuh keduanya tampak berpencar,
kemudian menyatu kembali dan saling terjang dengan dahsyatnya.
Hebat luar biasa pertarungan yang terjadi di tempat itu. Sehingga, dalam jarak
tiga tombak masih terasa getaran jejakan kaki kedua tokoh itu yang berdebumdebum menimpa bumi.
Beberapa batang pohon yang berada di sekitar satu tombak dari tempat kedua tokoh
sakti itu bertarung, terangkat dari atas tanah, dan roboh bersama akar-akarnya!
Dapat dibayangkan, betapa mengerikannya pertarungan kedua orang tokoh sakti itu.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Tanpa terasa pertarungan telah berjalan
selama seratus dua puluh jurus. Meskipun demikian, belum ada tanda-tanda bahwa
salah seorang di antara mereka ada yang kalah.
Keduanya masih sama kuat dan sama cepat.
"Yeaaat..!"
Dewa Gunung Lawa yang merasa penasaran terhadap lawan yang pantas menjadi
cucunya itu, suatu saat mengeluarkan bentakan nyaring. Berbarengan dengan itu,
sepasang tangannya berputar menciptakan deruan angin topan yang hebat. Kemudian
mendorongnya ke depan ke arah Pendekar Naga Putih.
Whusss...! Blarrr...!
Mengerikan sekali akibat terpaan angin pukulan Dewa Gunung Lawa. Sebuah batu
besar yang berada di belakang Panji, langsung hancur berantakan dengan suara
ledakan keras. Terdengar jerit-jerit kematian yang menyayat, dibarengi
terlemparnya enam sosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam. Jelas mereka
adalah orang-orang Perguruan Gunung Lawa yang secara tak sadar telah menjadi
sasaran pukulan maut ketuanya sendiri.
Panji yang berputaran di udara guna menghindari pukulan maut lawannya, langsung
meluruk dengan kecepatan kilat 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan
jurus mautnya itu, langsung dipegunakan saat itu juga. Seketika terciptalah
gelombang lingkaran sinar putih keperakan yang menyilaukan mata.
Sedangkan sepasang tangan pemuda itu terkadang menyembul dari sisi lingkaran
yang diciptakannya.
"Hiaaa...!"
Bret! Bret! Desss...!
"Aaaiii..!"
Dewa Gunung Lawa memekik keras ketika cakar naga serta hantaman telapak tangan
pemuda itu mendarat telak di tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh Dewa Gunung Lawa
terlempar deras disertai semburan darah segar membasahi tanah.
Bukkk! Sebatang pohon besar yang menahan luncuran tubuh Dewa Gunung Lawa berderak
patah, seiring dengan melayangnya nyawa kakek itu meninggalkan raganya yang
telah remuk akibat hantaman telapak tangan, serta cakar naga Panji.
"Hhh...," Panji menghela napas panjang melihat tubuh Dewa Gunung Lawa yang telah
tewas di tangannya.
Pendekar Macan Sakti dan yang lainnya berlarian mendatangi Pendekar Naga Putih.
Jelas mereka pun telah menyelesaikan lawan-lawannya pada saat Panji tengah
bertempur dengari Dewa Gunung Lawa.
"Hm..., akhirnya tokoh sakti yang sombong itu harus menyerah di tangan seorang
pendekar muda yang sama sekali tidak pernah diimpikannya...," gumam Pendekar
Macan Sakti. Panji yang berada di sebelah kanan Pendekar Macan Sakti menoleh dengan kening
berkerut ketika melihat lengan kanan laki-laki setengah baya itu nampak terluka.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Bidadari jelitamu itulah yang telah
mengobatiku. Kalau tidak, mungkin aku pun telah melayat ke akhirat. Karena luka
ini ternyata mengandung racun," jelas Pendekar Macan Sakti tersenyum melihat
kekhawatiran di mata pemuda itu.
"Syukurlah kalau begitu, Paman...," ucap Panji merasa lega mendengar keterangan
Pendekar Macan Saktt.
"Hm..., pada kesempatan ini, biarlah aku berterus terang untuk mengakui
dosaku...," tiba-tiba saja lelaki tinggi gagah itu menundukkan kepalanya dengan
wajah penuh sesal.
Sepasang mata Pendekar Macan Sakti melirik sekejap ke arah Sari Asih. Sehingga,
dara cantik manis itu menjadi berdebar tegang. Jelas ia menduga bahwa pendekar
gagah itu telah menyadari kesalahannya untuk memisahkan dia dengan Sasmita.
"Asih...," Pendekar Macan Sakti mengangkat wajahnya menatap dara cantik manis
itu. "Akulah yang telah membunuh orangtuamu, karena aku menyangka ayahmu telah
melarikan putraku. Sayang penyesalan ini datangnya terlambat. Aku benar-benar
menyesal telah bertindak ceroboh dan terburu-buru...," aku Pendekar Macan Sakti
yang membuat wajah Sari Asih dan Sasmita pucat pasi.
"Ayah, kau...!" Sasmita terpekik kaget mendengar penjelasan ayahnya. Pemuda itu
menatap wajah orangtuanya dengan mata membelalak lebar.
Sari Asih sendiri melangkah mundur dengan tubuh gemetar. Cepat ia mengangkat
pedang yang masih tergenggam di tangan kanannya. Jelas dara cantik itu telah
siap untuk membalas kematian orangtuanya.
"Lakukanlah, Asih. Aku tidak akan melawan. Aku siap menebus kesalahanku itu...,"
desah Pendekar Macan Sakti dengan wajah penuh sesal.
"Asih, tahan...!" Panji yang melihat Sari Asih sudah bersiap untuk menerjang
Pendekar Macan Sakti, segera saja berkelebat menangkap pergelangan tangan dara
cantik itu. "Aku harus menebus kematian orangtuaku, Pendekar Naga Putih! Dan, aku telah
bersumpah di depan makam ayah...," bantah Sari Asih dengan wajah bersimbah air
mata. Jelas kalau dara cantik itu pun tengah dilanda keraguan. Sepasang matanya
yang bening dan basah oleh air mata, menatap wajah Pendekar Macan Sakti dan
Sasmita berganti-ganti. Jelas Sari Asih tidak bisa menjatuhkan pilihannya untuk
melakukan hal itu.
"Asih..., semua itu sudah lewat. Jadi, janganlan kau buat masalah baru dengan
membunuh Pendekar Macan Sakti yang jelas-jelas telah menyesali perbuatannya. Aku
mulai dapat menduga apa sebenarnya yang telah terjadi di antara kedua keluarga
kalian. Bukankah kau mencintai Sasmita...?" tanya Panji menuntut jawaban tegas.
"Ya..., aku sangat mencintainya, dan tidak mungkin dapat hidup tanpa Kakang
Sasmita...," jawab Sari Asih setelah terdiam sesaat.
"Hm..., apakah kalian akan hidup berdampingan apabila kau membunuh Pendekar
Macan Sakti, yang menjadi ayah dari kekasihmu itu" Rasanya, ayahmu pun akan
tenang di alam sana apabila kalian dapat menyatu dalam tali perkawinan.
Anggaplah kematian ayahmu sebagai tumbal perkawinan buat kalian berdua.... Nah,
bukankah hal itu jauh lebih baik...," nasihat Panji kepada Sari Asih yang mulai
terbuka matanya. Dara itu menatap wajah Pendekar Macan Sakti dan istrinya,
seolah-olah meminta jawaban mereka atas ucapan Panji.
"Kami setuju, Asih. Pendekar Naga Putih benar-benar telah membuat aku merasa
malu. Pemuda itu ternyata jauh lebih bijaksana ketimbang aku yang tua ini.
Yah..., aku akan merestui hubungan kalian," tegas dan mantap kata-kata Pendekar
Macan Sakti yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Nyi Sekar Galung. Jelas
kalau wanita cantik itu pun setuju bermantukan Sari Asih.
Sasmita dan Sari Asih saling berpandangan. Ketika melihat Sasmita menganggukkan
kepala, Sari Asih langsung berlari ke dalam pelukan pemuda gagah itu. Ia
menangis bahagia di dada bidang Sasmita.
"Nah, karena persoalan ini sudah selesai, aku mohon pamit," pinta Panji kepada
Pendekar Macan Sakti dan yang lainnya. Kemudian, pemuda itu mengajak Kenanga
untuk melanjutkan petualangan.
"Pendekar Naga Putih! Kuharap kau dapat hadir pada pesta pernikahan kami...!"
seru Sasmita dengan suara lantang.
"Datanglah pada tanggal dua bulan depan ke Bukit Harimau Putih...!" Pendekar
Macan Sakti menyambung ucapan, Sasmita.
"Kami pasti akan hadir untuk memberi selamat kepada mereka berdua, Paman...!"
sahut Panji, yang kembali membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap bersama
kekasihnya di balik pepohonan lebat.
"Seorang pemuda yang hebat. Sifatnya pun penuh ketenangan dan kesabaran...,"
gumam Pendekar Macan Sakti sebelum mereka semua meninggalkan tempat itu,
diiringi hembusan angin senja yang membuat hati mereka menjadi damai.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. TIGA IBUS GUNUNG TANDUR
24. MACAN TUTUL L. DARU
2. DEDEMIT BUKIT IBLIS
25. MALAIKAT GERBANG NERAKA
3. ALGOJO GUNUNG SUTRA
26. RAHASIA PEDANG N. LANGIT
4. PARTAI RIMBA HITAM
27. SENGKETA JAGO J. PEDANG
5. JARI MAUT P. NYAWA
28. LABA-LABA HITAM
6. PENGHUNI R. GERANTANG
29. TERSESAT DI L. KEMATIAN
7. RAJA IBUS DARI UTARA
30. DENDAM PENDEKAR CACAT


Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

8. PENJAGAL ALAM AKHERAT
31. TERDAMPAR DIPULAU ASING
9. MENCARI JEJAK PEMBUNUH
32. KUMBANG MERAH
10 BUNGA ABADI DI GUNUNG K
33. BIDADARI IBLIS
11. MEMBURU HARTA KARUN
34. MUSTIKA NAGA HIJAU
12. KELABANG HITAM 35. PENDEKAR GILA 13. PENGGEMBALA MAYAT
36. MISTERI DESA SILUMAN
14. PUSAKA BERNODA DARAH
37. KETURUNAN D. PERSILATAN
15. PENDEKAR MURTAD
38. TEWASNYA R. RACUN MERAH
16. KECAPI PERAK D. SELATAN
39. PUTRA HARIMAU
17. SERIGALA SILUMAN
40. SEPASANG M. L MAUT
18. DEWI BAJU MERAH
41. HANTU LAUT PAJANG
19. ASMARA DI UJUNG PEDANG
42. TERJEBAK DI PERUT BUMI
20. BENCANA DARI ALAM KUBUR
43. DARAH PERAWAN SUCI
21. HILANGNYA P. KERAJAAN
44. PENGEMBAN DOSA TURUNAN
22. TRAGEDI G. LANGKENG
45. BADAI RIMBA PERSILATAN
23. DEWA TANGAN API
46. PETUALANGAN DI ALAM ROH
47. BANGKITNYA MALAIKAT PETIR
48. MISTERI SELENDANG BIRU
49. TUMBAL PERKAWINAN
Istana Yang Suram 17 Oeyse Karya Thio Tjin Boen Si Rase Hitam 6

Cari Blog Ini