Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah Bagian 2
simpang-siur" Aku datang justru untuk menemui adikku. Tapi.... Ah, jangan-jangan
ini ulah si Hastama.... Hhh! Kalau memang benar, aku harus menyadarkannya...!"
lanjut Eyang Watuagung dalam hati.
"Barangkali dia mengambil para begal dan
perampok, lalu membawanya ke sini untuk
menguasai seluruh kedipaten ini, Eyang," celetuk Waraketu.
"Tidak mungkin...! Meskipun aku pernah bentrok dan dia memusuhi muridku, tapi
aku dapat menilai kalau dia seorang ksatria yang keras pada
pendiriannya. Dia bukan jenis manusia yang ingin memiliki kekuasaan dan harta
benda duniawi. Dia seorang pendekar sejati, meskipun tindakannya sangat kejam
tanpa mengenal ampun," bantah Eyang Watuagung jujur.
"Lalu, siapa orang yang kini menguasai Istana Kadipaten, Eyang?" tanya salah
seorang yang duduk paling kanan.
"Perasaanku mengatakan ada seseorang yang
mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi, dan memakai nama Pendekar Pulau
Neraka untuk mengecilkan hati semua orang. Saat ini Pendekar Pulau Neraka memang
sukar dicari lawan tandingnya.
Secara jujur, aku sendiri menaruh hormat padanya,"
sahut Eyang Watuagung agak ditekan suaranya.
"Kalau memang bukan Pendekar Pulau Neraka, kita harus bertindak, Eyang!" kata
Waraketu. "Benar! Kita harus membebaskan kesengsaraan penduduk!" sambung yang lain.
"Benar!"
"Bekas para prajurit kadipaten pasti mampu menghadapi mereka!"
Eyang Watuagung hanya diam saja. Kepalanya agak tertunduk, dan keningnya sedikit
berkerut. Dia memang harus bertindak, tapi tidak secara brutal tanpa perencanaan
matang. Masalahnya, hal itu pasti akan membuat kerugian yang tidak kecil. Harus
ada cara lain yang lebih tepat untuk menghindari kemungkinan jatuh korban
terlalu banyak.
*** Eyang Watuagung memandangi bangunan megah
yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan kokoh.
Suasana kelihatan sepi, dan keadaannya kotor tidak terawat. Keadaan bangunan
kebanggaan seluruh rakyat Kadipaten Jati Anom ini sungguh mengenaskan sekali.
Bahkan Eyang Watuagung sempat menitikkan air mata melihat keadaan istana
kadipaten itu. Mendadak, Eyang Watuagung tersentak kaget
begitu melihat sebuah bayangan berkelebat cepat memasuki benteng istana itu
dengan melompati tembok
"Hup!"
Eyang Watuagung segera melesat ke atas tembok benteng. Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, kakinya mendarat manis di atas tembok benteng itu.
Matanya tajam beredar ke sekeliling. Hampir dia tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri. Di balik bayang-bayang sebuah pohon yang sangat besar,
terlihat seorang laki-laki yang selama ini selalu mengganggu pikirannya.
Tanpa buang-buang waktu lagi, Eyang Watuagung segera melentingkan tubuhnya ke
arah orang itu.
Gerakannya cepat dan ringan sekali, dan dengan manis mendarat tepat di depan
orang itu. "Hm..., rupanya kau belum mati, Pendekar Pulau Neraka!" gumam Eyang Watuagung
mendengus. "Heh...!" laki-laki muda yang memakai baju dari kulit harimau itu terkejut.
Laki-laki berwajah tampan dan keras itu
melangkah mundur dua tindak. Kedua bola matanya berputar merayapi orang tua
berjubah putih di depannya. Dia memang Pendekar Pulau Neraka atau den nama asli
Bayu Hanggara. Masih diingatnya siapa
laki-laki tua berjubah putih itu. Orang yang pernah mengalahkan dan hampir
membunuhnya di jurang, tidak jauh dari perbatasan Kadipaten Jati Anom (Baca
Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah Lambang Kematian).
"Tidak kusangka kau punya maksud buruk dengan Kadipaten Jati Anom ini, Pendekar
Pulau Neraka. Tapi selama aku masih hidup, kau tidak akan bisa menguasai tanah
kelahiranku ini!" kata Eyang Watuagung dingin.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Eyang Watuagung...," kata Bayu keheranan.
"Phuih! Jangan berlagak bodoh, bocah setan! Apa saja yang telah kau lakukan di
Istana Kadipaten ini heh?" geram Eyang Watuagung, tidak bisa menahan amarahnya.
"Aku..." Aku melakukan apa?" Bayu semakin
kelihatan kebingungan. Memang tuduhan itu baginya sulit dimengerti.
"Bocah setan...! Aku menghormatimu karena kau bersikap ksatria waktu itu. Tapi
rasa hormatku luntuh karena kelakuanmu yang membuatku muak!" desis Eyang
Watuagung. Setelah berkata demikian, Eyang Watuagung
segera membuka jurus. Bayu kembali menggeser kekinya ke belakang satu tindak.
Dia pernah melihat dan merasakan jurus laki-laki tua itu. Sangat dahsyat dan
hampir tidak terbendung. Memang dia sempat mengalami kekalahan pahit, tapi
ketika itu hanya dilayani setengah-setengah.
"Tunggu dulu, Eyang! Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan," sergah Bayu
berusaha menenang-kan laki-laki tua itu.
"Sudah cukup penjelasan yang kuberikan, Bocah!
kau benar-benar manusia busuk yang berkedok ksatria!"
"Eh, tung... Uts!"
Bayu tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena Eyang Watuagung telah menyerang
dengan jurus-jurus mautnya yang sangat dahsyat dan berbahaya.
Bayu terpaksa berlompatan dan berkelit menghindar setiap serangan yang
dilancarkan laki-laki tua berjubah putih itu. Masih belum dimengerti, kenapa
Eyang Watuagung langsung menyerang dengan jurus-jurus mautnya.
Bayu masih terus berkelit dan menghindar meskipun agak kewalahan juga
menghadapinya. Sampai sejauh itu, Pendekar Pulau Neraka belum mau membalas
serangan-serangan Eyang Watuagung. Dia tidak ingin bertarung dengan seseorang
karena belum jelas permasalahannya.
"Eyang, hentikan! Hup, yaaa...!" seru Bayu keras.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka melesat tinggi ke udara, tepat ketika Eyang
Watuagung mengibaskan kakinya ke arah kaki pemuda berbaju kulit harimau itu. Dua
kali Bayu berputar di udara, lalu hinggap di atas dahan pohon. Eyang Watuagung
berdiri tegak dengan tangan di pinggang. Kepalanya menengadah atas memandang
tajam ke arah Bayu.
"Turun kau, setan keparat!" bentak Eyang Watuagung menggeram.
"Eyang! Coba jelaskan, kenapa kau menyerangku dan menuduhku yang tidak-tidak?"
agak keras suara Bayu.
"Kau terlalu congkak, Pendekar Pulau Neraka. Kau menganggap dirimu tangguh dan
digdaya tanpa tanding. Kau lupa, bahwa di dunia ini masih banyak orang berilmu tinggi, yang
tingkat kepandaiannya jauh di atasmu!"
"Jangan berbelit-belit, Eyang."
"Turun kau, setani Biar kupecahkan kepalamu bentak Eyang Watuagung.
"Sial! Setan apa yang ada di dalam kepalamu.
Tanpa sebab apa-apa kau begitu bernafsu ingin membunuhku," dengus Bayu setengah
berteriak. "Keparat! Yaaah...!"
Eyang Watuagung mengibaskan kedua tangann
keatas. Beberapa buah pisau kecil meluncur dan menimbulkan cahaya keperakan yang
memijar. Bayu sempat terkesiap juga. Buru-buru dilentingkan tubuh nya dan
berputar beberapa kali di udara. Pisau-pisau itu lewat di antara putaran-putaran
tubuhnya, lalu dengan manis sekali dijejakkan kakinya di tanah.
Pada saat itu, Eyang Watuagung melompat
menerjang sambil mengirimkan tiga kali pukulan beruntun. Bayu meliuk-liukkan
tubuhnya menghindari pukulan-pukulan bertenaga dalam sangat tinggi itu, kemudian
melompat mundur. Tapi Eyang Watuagung tidak memberi kesempatan pada Pendekar
Pulau Neraka untuk mengambil jarak. Dia langsung menyerang kembali, bahkan
semakin ganas. "Uts! Edan...!" dengus Bayu ketika sebuah pukulan mengandung hawa panas hampir
menjebol dadanya.
Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri, maka pukulan keras mengandung hawa panas
menyengat itu lewat di depan dadanya. Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata
biasa, tangan kiri Pendekar Pulau Neraka menyodok perut lawan.
"Hugh!" Eyang Watuagung mengeluh tertahan.
Sodokan tangan kiri Bayu tepat menghajar
lambungnya. Dan pada saat tubuh Eyang Watuagung agak terbungkuk, satu pukulan
tanpa pengerahan tenaga dalam mendarat di wajahnya. Eyang
Watuagung terdongak. Bayu kembali menghantam dada laki-laki tua itu dengan satu
tendangan keras, juga tanpa pengerahan tenaga dalam. Akibatnya, Eyang Watuagung
terjajar beberapa langkah ke belakang
"Keparat!" geram Eyang Watuagung.
Laki-laki berjubah putih itu tahu betul kalau Pendekar Pulau Neraka tidak
mengerahkan tenaga dalam saat mendapat kesempatan tadi. Kalau saja Bayu
mengerahkannya, dapat dipastikan tulang-tulang tua Eyang Watuagung bakalan
remuk. Bahkan mungkin nyawanya melayang malam ini juga.
"Maaf, Eyang. Aku masih punya urusan yang lebih penting lagi," kata Bayu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung
melesat pergi. Gerakannya demikian cepat, sehingga dalam sekejap mata saja
bayangan tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam. Eyang Watuagung
mengeluh pendek. Meskipun tendangan dan pukulan Pendekar Pulau Neraka tidak
disertai pengerahan tenaga dalam, tapi cukup membuat tubuh terasa sakit, dan
tulang-tulang terasa nyeri.
Dari situ saja Eyang Watuagung mengerti kalau tingkat kepandaian Pendekar Pulau
Neraka sukar diukur. Pukulan dan tendangan kosong dengan tenaga luar saja, sudah
begitu keras dan dahsyat.
Apalagi disertai pengerahan tenaga dalam" Sulit dibayangkan, bagaimana akibatnya
jika hal itu sampai terjadi.
"Uh! Aku tidak mengerti, ilmu apa yang digunakannya" Aku pernah bertarung
dengannya, dan dia masuk ke dalam jurang. Aku kira sudah tewas...
Hhh...! Apa jadinya dunia persilatan jika seandainya orang setangguh dia sampai
masuk ke dalam golongan hitam...?" Eyang Watuagung mengeluh berbicara sendiri.
Dengan langkah lunglai, laki-laki tua berjubah putih itu berjalan meninggalkan
halaman istana kadipaten itu. Dilewatinya pintu gerbang yang hancur berantakan.
Tapi begitu kakinya sampai di ambang pintu gerbang, langkahnya terhenti.
Tubuhnya pun berbalik menghadap pada bangunan megah tak terawat itu.
"Uh! Sial...! Hampir aku lupa. Tapi...."
Eyang Watuagung berdiri tertegun memandang bangunan megah di depannya. Dia jadi
ragu-ragu untuk memeriksa bangunan itu malam ini. Munculnya Pendekar Pulau
Neraka di sini tadi membuatnya jadi berpikir lagi. Sedangkan suasana di sini
demikian sepi, tidak terlihat tanda-tanda kehidupan.
"Hhh! Sebaiknya besok siang saja aku kembali lagi ke sini," gumam Eyang
Watuagung. Laki-laki berjubah putih itu membalikkan tubuhnya kembali dan berjalan
meninggalkan pintu gerbang istana kadipaten itu. Ayunan langkahnya kembali
mantap dan ringan. Begitu ringannya, seolah-olah berjalan tidak menapak tanah.
*** 4 Pagi baru saja datang menjelang. Fajar menyingsing.
Matahari di ufuk Timur memancarkan cahaya merah Jingga. Seorang pemuda berwajah
tampan, tapi menyiratkan kekerasan berdiri tegak membelakang cahaya matahari.
Rambutnya yang panjang, meriap melambai-lambai dipermainkan angin. Udara masih
terasa dingin, meskipun kehangatan mulai menjalar mengusir titik-titik embun.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak berkedip memandang ke arah Kadipaten Jati
Anom. Tatapannya lurus ke sebuah bangunan megah dikelilingi tembok benteng yang
tinggi dan kokoh. Suasana bangunan istana itu masih kelihatan sepi senyap,
meskipun hampir semua rakyat Kadipaten Jati Anom sudah mulai keluar dan bekerja
kembali. Dari tempat yang cukup tinggi ini, Kadipaten Jati Anom memang bisa terlihat
jelas. Bahkan desa-desa di sekitarnya seperti hanya tinggal melangkah saja.
Pandangan pemuda berbaju kulit harimau itu beralih ketika telinganya yang tajam
bagai mata elang itu mendengar suara dari arah sebelah Selatan
Kadipaten Jati Anom. Kelopak matanya agak
menyipit, begitu melihat dua orang tengah bertarung sengit.
"Hm..., sepertinya aku kenal dengan orang yang satu itu...," gumam pemuda itu
pelan. Pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata adalah Pendekar Pulau Neraka langsung
melesat, berlari cepat ke arah desa itu. Dengan mengerahkan ilmu lari cepat, maka dalam
waktu sebentar saja, telah berada dekat pertarungan yang dilihatnya dari atas
bukit. "Intan...," desisnya begitu mengenali gadis yang tengah bertarung melawan
seorang laki-laki berkepala gundul.
Tidak jauh dari Intan, Indranata tengah bertarung melawan seorang laki-laki tua
mengenakan baju hitam, dan memegang tongkat berkeluk yang juga berwarna hitam
pekat. Bayu mengedarkan
pandangannya berkeliling. Agak terkesiap juga dia melihat di sekitarnya banyak
mayat bergelimpangan.
"Akh!"
Tiba-tiba terdengar jeritan keras tertahan. Bayu langsung menolehkan kepalanya.
Tampak Intan Delima terjajar sambil memegangi dadanya. Darah mengucur dari selasela jari tangannya. Orang berkepala gundul, dan yang bersenjatakan ruyung
raksasa itu langsung melompat sambil mengibaskan senjatanya ke arah leher Intan.
Pada saat itu posisi Intan Delima tidak menguntungkan sama sekali.
Intan memejamkan matanya, tidak mampu berkelit lagi. Dan pada saat ujung senjata
ruyung itu hampir mengoyak lehernya, sebuah bayangan berkelebat cepat menahan
laju senjata itu.
Trak! "He!" laki-laki gundul itu tersentak kaget.
Senjatanya hampir terlepas dari tangannya. Buru-buru dia melompat mundur. Di
depan Intan kini telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan keras
mengenakan baju kulit harimau. Intan membuka matanya, dan langsung terbeliak
lebar begitu melihat
depannya telah berdiri seseorang yang amat dikenal, dirindukan, sekaligus
dibencinya. "Kakang Bayu...," desis Intan agak bergetar suaranya.
"Menyingkirlah, Intan. Dia bukan lawanmu," kata Bayu.
Intan yang akan mundur, tiba-tiba mengurungkan niatnya. Bahkan tanpa berkatakata lagi, gadis itu melesat kembali menerjang orang berkepala gundul itu. Bayu
tersentak kaget, tapi tidak bisa berbuat banyak. Intan sudah kembali terlibat
pertarungan sengit dengan lawannya. Tapi baru saja pertarungan itu berjalan
beberapa jurus, kembali gadis itu terpental seraya memekik keras.
"Intan...!" sentak Bayu cemas.
Intan menggeletak dengan tubuh bersimbah darah.
Dia masih berusaha bangkit. Namun luka-luka di tubuhnya tidak mengijinkannya
bangkit kembali, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga. Gadis itu memang berhasil berdiri, tapi tidak
dapat tegak. Tubuhnya limbung seperti pohon kelapa ditiup angin topan.
"Hiyaaa...!" laki-laki berkepala gundul itu melompat menerjang Intan.
"Yaaa...!"
Bayu langsung melesat memapak serangan orang berkepala gundul itu. Tangan
kirinya mendorong ke depan. Sedangkan orang itu melentingkan tubuhnya berputar
di udara. Mereka sama-sama mendarat manis, dan saling berhadapan berjarak cukup
dekat. Orang berkepala gundul itu segera memberondong dengan sodokan senjata ruyungnya.
Bayu meng- egoskan tubuhnya ke kiri dan ke kanan menghindari serangan senjata orang gundul
itu. "Modar!" tiba-tiba Bayu berseru nyaring.
Seketika itu juga tangan kanannya mengibas ke depan dengan tubuh agak membungkuk
miring ke kiri. Secercah cahaya keperakan melesat cepat bagaikan kilat dari
pergelangan tangan kanannya.
Jarak yang begitu dekat membuat orang berkepala gundul itu terperangah, dan
tidak bisa menghindar lagi. Dikibaskan senjatanya di depan tubuhnya. Tapi
sungguh tidak diduga sama sekali, senjata Cakra Maut yang dilontarkan Pendekar
Pulau Neraka berbelok cepat, dan langsung menghunjam perut orang itu.
"Aaa...!" Orang berkepala gundul itu menjerit keras.
Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayu menyentakkan tangan kanannya ke atas
kepala. Cakra Maut yang tertanam di perut lawannya kembali melesat pulang. Dan
ketika tangan kanan Bayu mengibas ke depan, Cakra Maut kembali melesat cepat
bagaikan kilat ke arah orang berkepala gundul itu.
Orang berkepala gundul itu kembali menjerit keras.
Lehernya hampir putus terpenggal senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Bayu
langsung berbalik begitu senjatanya kembali menempel di pergelangan tangan
kanannya. Sementara laki-laki berkepala gundul itu menggeletak meregang nyawa.
Bayu menghampiri Intan yang kembali menggeletak tidak berdaya.
"Intan...," desis Bayu agak lirih.
Jari-jari tangan. Pendekar. Pulau Neraka itu bergerak cepat dan lembut di
sekitar luka pada tubuh gadis itu. Darah segera berhenti mengalir. Bayu mengangkat tubuh Intan dan membawanya ke bawah pohon rindang. Diletakkan tubuh gadis
itu di bawah pohon, terlindung dari sengatan matahari. Sebentar di-periksanya
luka-luka di tubuh Intan Delima.
Sebentar Intan memejamkan mata, lalu kembali membukanya. Dadanya bergemuruh
setiap kali memandang wajah pemuda di dekatnya. Ingin rasanya memeluk dan
menumpahkan rasa cintanya. Tapi, begitu teringat ayahnya yang tewas di tangan
pemuda ini, perasaan yang menggelora di hatinya langsung ditekan dalam-dalam.
Dua kutub yang saling berten-tangan bergelut di dalam dirinya. Intan diam saja
ketika Bayu berusaha mengobati luka-lukanya.
"Untung hanya luka luar. Tapi kau cukup banyak kehilangan darah," kata Bayu
setengah mendesah.
"Oh...," Intan hanya bergumam lirih.
Tatapan mata gadis itu beralih pada pertarungan Indranata dan kakek tua
bertongkat hitam. Kelihatannya Indranata pun juga kewalahan menghadapi lawannya.
Beberapa kali tongkat kakek tua berbaju hitam itu menghantam tubuhnya. Indranata
jatuh bangun berusaha menghindari serangan-serangan lawannya
Pada saat yang sama, Bayu Hanggara juga mengarahkan pandangannya ke sana.
"Yang mana temanmu?" tanya Bayu tanpa mengalihkan pandangannya.
"Indranata...," sahut Intan pelan. Hampir tidak terdengar suaranya.
"Yang tua, atau yang muda?"
"Muda," sahut Intan tetap pelan.
Bayu langsung melompat ke arah pertarungan itu.
Sementara Intan beringsut duduk bersandar pada
pohon. Matanya tidak berkedip memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu.
Bibirnya bergetar, seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu. Namun tidak ada satu
kata pun yang terucap.
*** Indranata lantas melompat mundur ketika
Pendekar Pulau Neraka terjun dalam pertempuran itu.
Laki-laki tua berbaju hitam bersenjata tongkat hitam pula, juga segera melompat
mundur. Matanya yang merah membara menatap tajam pada pemuda berbaju kulit
harimau yang telah mencampuri pertarungannya.
"Bocah setan!" geram laki-laki tua berbaju hitam itu.
Bayu menoleh pada Indranata yang berdiri di belakangnya agak ke samping.
"Bantu temanmu, dia terluka cukup parah," kata Bayu.
"Kau berani mencampuri urusanku! Sebagai
imbalannya kau harus mampus, Bocah!" geram laki-laki tua bertongkat hitam itu.
Baru saja Bayu mengalihkan pandangannya
kembali, laki-laki bertongkat hitam itu sudah menyerang ganas. Bayu melompat ke
samping, menghindar sodokan ujung tongkat yang runcing. Dan dengan, cepat
didupakkan kakinya ke arah pinggang.
Laki tua bertongkat hitam itu tidak menyangka, dan terlambat untuk berkelit.
"Uh!" dia mengeluh pendek seraya menyemburkan ludahnya.
Cepat sekali tubuhnya berbalik berputar sambil melayangkan tongkatnya ke arah
kaki. Pendekar Pulau Neraka melompat dan berputar satu kali di udara. Kembali
kakinya mendupak dari atas. Laki-laki tua bertongkat hitam itu terperanjat.
Buru-buru diangkat tongkatnya, mencoba memapak serangan kaki Pendekar Pulau
Neraka. Namun kembali Bayu menarik kakinya dengan memutar tubuhnya ke bawah.
Sangat di luar dugaan, dengan posisi kaki berada atas, Bayu ternyata masih bisa
melontarkan dua pukulan dengan kecepatan penuh. Orang bertongkat hitam itu
terpekik kaget. Buru-buru dia melompat mundur ke belakang dua tindak. Bayu
kembali memutar tubuhnya dengan cepat, dan mendarat manis tanah. Dia berdiri
tegak dengan tangan melipat di depan dada.
"Siapa kau, Bocah?" tanya laki-laki tua bertongkat Hitam itu.
"Untuk apa kau ingin tahu namaku" Kalau gentar, cepat pergi! Sebelum aku berubah
pikiran!" dingin kata-kata Bayu.
"Setan alas! Kau terlalu besar kepala, Bocah!"
geram laki-laki tua itu.
Sementara Indranata telah menghampiri Intan Delima yang sedang duduk di sebuah
batang pohon tumbang. Diperiksanya luka-luka di tubuh gadis itu.
keningnya berkerut, melihat luka-luka yang diderita Intan sudah tidak
membahayakan lagi. Hanya perlu sedikit perawatan untuk mengeringkan lukanya
saja. Kemudian dia memandang ke arah Bayu dan bekas lawannya yang berdiri saling
berhadapan. "Siapa dia, Intan?" tanya Indranata, tanpa mengalihkan pandangannya.
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Intan pelan.
"Hm..., apakah dia mampu menandingi Gagak
Ireng?" gumam Indranata seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Dia pasti mampu, Kakang."
"Kau kenal dia, Intan?"
"Ya...," pelan suara Intan. Gadis itu menggigit bibirnya sendiri. Untung saja
Indranata tidak sedang memandang ke arahnya, sehingga tak melihat perubahan
wajah gadis itu. Entah kenapa, Intan tidak bisa menghilangkan perasaan cintanya
pada Bayu Hanggara. Dia sudah berusaha, dan bahkan mencoba untuk menggantinya
dengan perasaan benci. Tapi tetap saja tidak mampu. Kebenciannya memang ada,
tapi cintanya ternyata lebih besar lagi.
Saat itu laki-laki tua bertongkat hitam yang bernama Gagak lreng sudah kembali
menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan kali ini lebih sengit lagi. Gagak
lreng langsung mengeluarkan jurus-jurus mautnya. Sementara, Bayu hanya sesekali
saja membalas serangan lawan, tapi mampu membuat Gagak lreng jumpalitan
menghindari. Jurus demi jurus dilalui dengan cepat. Dan kelihatannya Gagak lreng kewalahan
sekali menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali tendangan dan pukulan
keras bertenaga dalam tinggi mendarat di tubuhnya. Sedangkan Gagak lreng belum
berhasil menyarangkan satu pukulan pun terhadap lawannya. Hal ini tentu saja
membuat Gagak lreng semakin berang.
"Hup! Hiyaaa...!!!"
Gagak lreng memutar tongkatnya dengan cepat.
Dan seketika itu juga tubuhnya melesat bagai kilat ke udara. Dengan pengerahan
tenaga dalam penuh, Gagak lreng mengibaskan tongkatnya ke kepala Pendekar Pulau
Neraka. "Uts! Yaaah...!"
Bayu segera merundukkan kepalanya dengan
tubuh miring ke kiri. Dan pada saat itu juga, tangan kanannya mengibas ke atas
dengan cepat Cakra Maut melesat bagaikan kilat dari pergelangan tangannya.
Gagak lreng terperangah sesaat, cepat-cepat diputar tongkatnya.
Trak! "Hah...!"
Gagak Ireng terbelalak matanya begitu tongkatnya terpenggal jadi dua bagian. Dan
belum sempat hilang rasa terkejutnya, Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka langsung
meluruk deras ke arah perutnya.
"Aaa...!" Gagak Ireng menjerit keras.
Tubuh yang terbalut kain hitam itu langsung ter-jerembab jatuh. Keras sekali
tubuhnya menghunjam tanah. Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Cakra
Maut berwarna keperakan pun bergerak ke luar dari perut Gagak Ireng dan langsung
melesat cepat. Bayu Hanggara mengambil potongan tongkat Gagak Ireng, begitu
senjatanya kembali menempel di pergelangan tangannya.
"Modar! Yiaaa...!"
Sambil berteriak, Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan menghunjamkan potongan
tongkat itu ke tubuh pemiliknya. Gagak Ireng menjerit melengking. Darah segar
muncrat begitu dadanya tertembus tongkatnya sendiri. Bayu bangkit berdiri dan memandangi mayat lawannya.
Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu berbalik menghadap ke arah Intan dan
lndranata yang duduk di bawah pohon. Pada saat itu, dari setiap rumah penduduk,
bermunculan orang dengan wajah cerah ceria.
Mereka serentak berhamburan ke arah Pendekar Pulau Neraka. Di antara mereka,
tampak Ki Adong. Laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu langsung
membungkuk ke depan Bayu dan menyalaminya
dengan hangat. Bayu jadi terheran-heran menyaksikan semua itu.
Tidak sedikit orang yang merubung dan mengelu-elukannya. Yang pasti, dia seperti
seorang pahlawan yang baru saja pulang dari medan perang dan membawa kemenangan.
Bayu tidak bisa menolak ketika para penduduk itu menggiringnya ke sebuah rumah
besar dengan halaman luas. Dia berusaha mengangkat kepalanya, mencari Intan dan
lndranata. Tapi kerumunan orang itu menghalangi pandangannya. Terlebih lagi, dia terus
digiring menuju ke rumah besar berhalaman luas itu.
Pada saat itu, Intan sudah dapat berdiri kembali dibantu lndranata. Sesaat gadis
itu memandang ke arah kerumunan penduduk Desa Sirna Galih yang menggiring
Pendekar Pulau Neraka ke rumah kepala desa. Pelahan-lahan pandangan gadis itu
beralih pada wajah pemuda di sampingnya. Saat yang sama, lndranata juga tengah
mengarahkan pandangannya pada gadis itu.
"Ayo, kita pulang," ajak Intan pelan.
*** Bayu masih belum dapat mengerti terhadap sikap para penduduk Desa Sirna Galih
padanya. Dia dijamu dan dielu-elukan bagai seorang pahlawan perang yang pulang
dengan membawa kemenangan. Dia belum sempat bertanya, karena penduduk berdatangan silih berganti ke rumah Ki Adong hanya untuk berbicara dan mengenal
lebih dekat Rumah Kepala Desa Sirna Galih itu pun sesak oleh kerumunan penduduk.
Baru pada tengah malam, Bayu bisa beristirahat.
Dirasakannya kelelahan yang amat sangat pada seluruh tubuh. Baginya lebih baik
bertarung tiga hari penuh daripada harus melayani begitu banyak orang, dengan
tingkah dan tujuan yang bermacam-macam.
Masih bisa dimaklumi kalau mengerti permasalahan nya. Tapi ini..Sama sekali Bayu
tidak bisa memahami dan mengerti permasalahan yang dihadapi para penduduk itu.
Bayu duduk bersila di dipan bambu, beranda depan rumah Ki Adong. Saat itu malam
sudah demikian larut. Dan Desa Sirna Galih pun telah sepi.
Tak ada seorang penduduk pun yang ke luar dari rumahnya lagi. Bayu merayapi
suasana di sekitarnya.
Digeser duduknya ketika Ki Adong menghampiri. Laki-laki tua berusia sekitar
tujuh puluh tahun itu duduk di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Aku mengharapkan Tuan Pendekar bersedia
tinggal beberapa hari di sini, sampai keadaan benar-benar pulih," pinta Ki Adong
penuh harap. Bayu tidak menjawab, tapi hanya menarik napas saja.
"Sudah beberapa purnama ini mereka menguasai desa ini. Mereka adalah orang-orang
yang sangat kejam...," sambung Ki Adong.
"Siapa mereka sebenarnya?" tanya Bayu.
"Kaki tangan Pendekar Pulau Neraka," sahut Ki Adong.
"Heh! Bayu terkejut setengah mati. Seketika dirasakan jantungnya berhenti berdetak.
Jawaban Ki Adong sungguh di luar dugaan sama sekali. Bayu menatap dalam-dalam
pada laki-laki tua di sampingnya.
"Tuan kenal dengan Pendekar Pulau Neraka?"
tanya Ki Adong. Jengah juga dia mendapat tatapan begitu dalam.
Bayu menarik napas dalam-dalam. Bagaimana
mungkin tidak kenal dengan Pendekar Pulau Neraka"
Karena pendekar itu adalah dirinya sendiri! Hanya yang menjadi pertanyaan, Ki
Adong menyebut kalau dua orang yang berhasil dibunuhnya adalah kaki tangan
Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Ki Adong sendiri tidak mengenal pendekar itu
sebenarnya. "Kabarnya, Pendekar Pulau Neraka sudah
menguasai Istana Kadipaten Jari Anom. Bahkan kaki-tangannya menyebar ke desadesa di sekitar Kadipaten Jati Anom. Ya, termasuk Desa Sirna Galih ini," sambung
Ki Adong. Bayu tetap diam. Kepalanya serasa akan pecah.
Dia memang datang ke Istana Kadipaten Jati Anom semalam. Tujuannya ke sini lagi
memang karena dia mendengar ada seseorang yang memakai namanya untuk tujuan
pribadi. Atau mungkin juga untuk men-cemarkan namanya. Bisa juga karena untuk
membalas dendam.
Bayu jadi paham, mengapa Eyang Watuagung
begitu berang dan ingin membunuhnya kemarin malam. Benar-benar tidak disangka
kalau kehadiran-nya kembali di Kadipaten Jati Anom bakal berhadapan dengan satu
persoalan yang membingungkan. Dia hanya untuk membuktikan
kebenaran yang didengarnya. Tapi kenyataannya sungguh di luar dugaan.
"Ki Adong pernah melihat Pendekar Pulau
Neraka?" tanya Bayu memancing.
"Melihat sih belum. Tapi, dengar-dengar Pendekar Pulau Neraka-lah yang membunuh
Gusti Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji. Mungkin dia kembali ke sini
dengan membawa kaki-tangan untuk menguasai seluruh Kadipaten Jati Anom. Bahkan
belum lama ini, rombongan pengganti adipati diserang dan semuanya tewas
terbunuh. Sudah dua kali hal itu terjadi, tapi dari pihak kerajaan kelihatannya
tidak ada tanda-tanda mengambil tindakan."
"Kenapa?" tanya Bayu ingin tahu.
"Pernah dikirim satu pasukan prajurit, tapi mereka semua mundur. Prajuritprajurit itu tidak mampu menghadapi orang-orang Pendekar Pulau Neraka.
Mereka cukup tangguh, meskipun jumlahnya tidak banyak. Tuan Pendekar sendiri
sudah berhadapan dengan dua kaki-tangan Pendekar Pulau Neraka. Untungnya Tuan
begitu hebat! Tidak seperti murid-murid Eyang Watuagung itu. Kalau tidak ada
Tuan Pendekar pasti mereka sudah tewas. Selanjutnya aku tak tahu lagi, apa yang
akan terjadi pada desa ini," kata Ki Adong agak mengeluh.
Kembali Bayu terdiam. Dia jadi teringat dengan Intan Delima. Dia tahu kalau
Intan adalah cucu Eyang
Watuagung yang juga muridnya. Tapi pemuda itu....
Sudah pasti dia juga murid Eyang Watuagung.
"Sudah terlalu larut, sebaiknya Tuan beristirahat,"
Adong seraya bangkit berdiri.
"Terima kasih," ucap Bayu.
Ki Adong melangkah masuk ke dalam rumahnya, Sedangkan Bayu Hanggara tetap duduk
bersila di atas balai-balai beranda depan rumah laki-laki tua kepala desa itu.
Bayu menyadari nama baiknya bisa hancur kalo tidak cepat bertindak. Untuk
sementara, semua urusan pribadinya harus dapat di kesamping-kan dulu.
*** 5 Intan terbaring lemah di atas dipan kayu dalam bilik kamar tidurnya. Luka-luka
akibat pertarungan Desa Sirna Galih belum lagi pulih benar. Gadis menatap kosong
pada langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang jauh pada Pendekar Pulau
Neraka. Pemuda yang dicintainya dan dirindukan, sekaligus dibencinya. Ada kesempatan
untuk memenuhi keinginannya, tapi kesempatan itu lewat tanpa dapat dicegah lagi.
Kepala gadis itu berpaling ketika terdengar ketukan pintu. Di ambang pintu kamar
yang tidak tertutup, Indranata berdiri dengan tangan membawa semangkuk bubur.
Pemuda itu tersenyum dan melangkah masuk. Disodorkan mangkuk bubur kepada Intan.
Gadis itu segera beranjak bangkit, dan duduk bersandar.
"Terima kasih," ucap Intan seraya menerima mangkuk bubur itu.
"Sejak kemarin kau belum makan. Kubuatkan
bubur ini khusus untukmu," kata Indranata.
"Kau baik sekali, Kakang," lirih suara Intan.
"Makanlah, biar perutmu tidak terlalu kosong."
Intan tersenyum, dan mulai memakan bubur itu pelahan-lahan. Indranata
memperhatikannya disertai senyuman di bibir. Dia senang melihat Intan sudah mau
makan lagi. Sejak pertempurannya di Desa Sirna Galih, kelihatannya gadis itu
berubah. Lebih senang murung dan selalu menyendiri. Tidak mau makan,
tidak mau berlatih lagi. Bahkan bicara pun hanya se-perlunya.
"Kenapa tidak dihabiskan?"
Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah," sahut Intan sambil meletakkan mangkuk buburnya di meja dekat
pembaringan. "Bagaimana kesehatanmu" Sudah mendingan?"
tanya Indranata.
"Yah..., lumayan," sahut Intan, tetap pelan suaranya.
"Intan, boleh aku bicara padamu?" "Sejak tadi juga sudah."
"Maksudku...," Indranata jadi tersipu kelabakan.
"Aku tahu, kau pasti ingin menanyakan tentang pemuda yang menolong kita, kan?"
tebak Intan langsung.
Indranata mengangguk membenarkan.
Intan kembali memalingkan wajahnya. Pandangannya lurus menatap keadaan di luar,
dari jendela kamar yang terbuka lebar. Wajahnya kembali berubah murung. Bayangbayang Bayu Hanggara kembali bermain di pelupuk matanya.
"Kau kenal siapa dia, Intan?" tanya Indranata.
"Ya. Bahkan lebih dari sekedar kenal," sahut Intan pelan. "Namanya Bayu
Hanggara, dan biasa dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka."
"O...! Yang membuat kerusuhan itu rupanya. Tapi....
Kok aneh, malah membunuh dua orang temannya sendiri?"
"Tidak aneh, karena mereka bukan temannya."
Indranata menatap tidak mengerti pada gadis itu.
Sudah jelas kerusuhan yang terjadi di Kadipaten Jati Anom dan desa-desa di
sekitarnya akibat ulah
Pendekar Pulau Neraka. Tapi, kenapa Intan malah membantahnya"
Indranata semakin tidak mengerti. Dia tahu kalau ayah Intan mati terbunuh oleh
Pendekar Pulau Neraka. Itu cerita dari Eyang Watuagung. Dan sekarang, Intan
malah mengakui kalau dia lebih dari sekedar kenal terhadap Pendekar Pulau
Neraka. Indranata jadi bertanya-tanya dalam hati. Tapi dia tidak ingin menduga-duga
terlalu jauh lebih dahulu.
"Aku yakin, bukan dia yang melakukan semua itu.
Pasti ada orang lain yang menjual namanya untuk kepentingan pribadi," kata Intan
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin, Intan?" tanya Indranata.
"Aku tahu siapa Bayu. Dia seorang pendekar yang tangguh dan keras pada
pendiriannya, meskipun tindakannya bisa dikatakan kejam. Tapi semua yang
dilakukan bukan untuk kepentingan diri pribadi. Apa lagi untuk menggapai
kekuasaan dan kesenangan duniawi! Dia seorang pendekar sejati," jelas Intan
tegas penuh semangat.
"Sejauh itu kau mengenal pribadinya?"
"Ya! Bahkan lebih jauh lagi."
"Kau punya hubungan khusus dengan...?"
Indranata tidak melanjutkan.
Intan menoleh dan tersenyum pada pemuda itu.
"Terus terang, aku mencintainya: Walaupun dia yang membunuh ayahku, tapi aku
tetap mencintainya.
Aku tidak bisa menipu diriku sendiri. Aku memang dendam dan ingin membunuhnya,
tapi tidak sanggup melakukannya! Aku sangat mencintainya! Aku...,"
Intan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Bahunya berguncang-guncang, tapi tidak terdengar suara isak tangis.
Indranata menghampiri dan duduk di samping gadis itu. Dilingkarkan tangannya di
bahu, dan dipeluknya gadis itu. Intan merebahkan kepalanya di dada pemuda itu.
Pelan, namun terdengar juga isaknya. Setitik air bening menggulir jatuh ke pipi.
"Tumpahkan semua perasaanmu, Intan. Menangislah, kalau itu bisa membuatmu lebih
tenang Menangislah, Intan...," kata Indranata.
Intan tidak dapat lagi bertahan. Tangisnya meledak di dalam pelukan Indranata.
Air matanya membasahi dada pemuda itu. Indranata membiarkan Intan menumpahkan
semua perasaannya. Dia bisa memaklumi kemelut yang tengah melanda batin gadis ini. Indranata semakin
mengetatkan pelukannya.
Sebentar dia menarik napas panjang seraya me-nengadahkan kepalanya.
Indranata baru melepaskan pelukannya setelah Intan tidak menangis lagi. Namun
sesekali masih terdengar isaknya yang tertahan. Gadis itu duduk dengan kepala
tertunduk dalam. Bahunya masih terlihat guncang menahan isaknya. Indranata
memindah duduknya di depan gadis itu. Diambilnya kedua tangan Intan.
Digenggamnya jari-jari tangan yang lentik halus itu, kemudian pelahan-lahan
dibawanya mulutnya. Dengan lembut dikecup jari-jemari itu.
Intan mengangkat kepalanya pelahan-lahan.
Tatapan matanya langsung tertuju ke bola mata pemuda di depannya. Untuk beberapa
saat lamanya mereka saling berpandangan, tanpa kata-kata terucapkan. Begitu
banyak yang ingin diucapkan, tapi
sulit untuk diungkapkan, Pelahan-lahan kepala Intan Delima kembali tertunduk.
"Akan kubalaskan sakit hatimu, Intan," kata Indranata pelan, namun terdengar
mantap suaranya.
"Oh!" Intan tersentak kaget. Kata-kata Indranata yang begitu pelan, bagaikan
petir yang menggelegar menggetarkan hati.
Ditatapnya dalam-dalam bola mata Indranata.
Seolah-olah Intan ingin mencari kepastian akan kata kata yang hampir membuat
jantungnya berhenti ber detak. Gadis itu mengeluh lirih. Ditemukan secercah
kepastian dalam sorot mata pemuda itu.
"Percayalah! Aku akan membalaskan sakit hati mu. Meskipun aku tahu dia seorang
yang tangguh dan digdaya. Aku rela mati untukmu, Intan," kata lndranata lagi.
"Oh, Kakang...," desah Intan.
Gadis itu langsung menjatuhkan dirinya dalam pelukan Indranata, dan kembali
menangis. Tangisan hampa yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Belum
ada seorang pun yang berkata seperti itu padanya, hanya Indranatalah yang
pertama kali mengatakannya. Hatinya luluh dalam keharuan. Intan tidak tahu lagi,
apa yang harus dikatakannya.
Indranata rela mengorbankan nyawa demi dirinya, hati Intan tidak mungkin dapat
membiarkan dua orang yang begitu dekat dengannya bertarung menyabung nyawa.
Intan sadar kalau Indranata mencintainya dengan tulus dan murni. Tapi hatinya
belum bisa terbuka pada pemuda ini. Cintanya masih terpaku pada Bayu Hanggara,
pemuda tampan yang telah membunuh ayahnya. Intan tahu, kenapa Pendekar Pulau
Neraka membunuh Adipati
Rakondah, ayahnya. Tapi dalam hal ini, dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa
(Baca serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah: Lambang Kematian).
*** "Hup! Hiyaaa...!"
"Yaaa...!"
Glarrr! Batu cadas sebesar badan kerbau, hancur berkeping-keping begitu dua senjata
pedang berwarna hitam pekat menghantamnya. Di antara kepulan debu dan reruntuhan
batu, berdiri tegak dua orang manusia dengan pedang hitam melintang di depan
dada. Mereka adalah Intan dan Indranata yang baru saja menyelesaikan tahap
terakhir jurus-jurus 'Naga Kembar'.
Intan membalikkan tubuhnya dan melangkah
menuju pondok. Indranata mengikutinya dari belakang. Gadis itu duduk di tangga
beranda depan pondok. Sedangkan Indranata hanya berdiri di depannya. Pedang
hitam pekat bertangkai kepala naga sudah tersampir di punggung.
"Kau kelihatan murung, Intan. Ada apa?" tanya Indranata.
"Tidak apa-apa," sahut Intan pelan seraya menghembuskan napas kuat-kuat.
"Ada yang kau pikirkan"
Indranata mengambil tempat di samping gadis itu.
"Hhh...," Intan hanya menghembuskan napas saja.
Indranata memandang wajah gadis di sampingnya.
Sebentar dia bernapas panjang, lalu beranjak bangkit berdiri. Pemuda berkulit
sawo matang itu melangkah masuk ke dalam rumah. Sedangkan Intan Delima
masih duduk di beranda. Pandangannya kosong lurus ke depan.
Tidak lama Indranata berada di dalam pondok kini keluar lagi, Bajunya telah
berganti menjadi berwarna biru terang dengan bagian dada terbuka lebar.
Gagang pedang berbentuk kepala naga hitam
menyembul dari balik punggunya. Pemuda itu terus melangkah melewati Intan yang
tetap duduk memandang kosong ke depan.
"Kakang...!" seru Intan Delima begitu menyadari kalau Indranata bermaksud pergi.
Indranata menghentikan langkahnya, tanpa berbalik sedikit pun. Bahkan menoleh
pun tidak. Intan bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Gadis itu melewati
sedikit dan berdiri di depannya.
"Mau ke mana?" tanya Intan.
"Pergi," sahut Indranata singkat.
"Pergi ke mana?"
"Ini sudah lewat tiga purnama Eyang Watuagung pergi. Aku khawatir terjadi
sesuatu padanya," jelas Indranata.
"Kau akan mencari Eyang?"
"Ya! Aku tahu ke mana tujuan Eyang."
"Kakang! Kau lupa pesan Eyang" Meskipun tidak kembali, Eyang tidak mau kita
mencarinya. Aku juga khawatir, tapi aku tidak mau melanggar amanatnya.
Kau sendiri selalu mengatakan begitu, kan?" Intan mengingatkan.
"Aku pun selalu ingat amanatnya, Intan. Tapi aku tidak bisa menipu diriku
sendiri. Memang selalu kupatuhi segala kata dan amanatnya selama ini. Tapi kali
aku merasakan lain. Perasaan hatiku mengatakan bahwa Eyang Watuagung tengah
mengalami kesulitan yang besar. Belum pernah Eyang pergi dengan meninggalkan pesan yang
bernada ragu-ragu.
Biasanya Eyang selalu mengatakan kapan akan kembalinya lagi. Tapi ini lain,
Intan. Apa kau tidak merasakan adanya perbedaan?"
"Aku tahu."
"Sekarang terserah kau, Intan. Ikut, atau tetap mengurung diri di gunung ini
sendirian," Indranata memberikan pilihan.
"Kau membawa Pedang Naga Hitam Kembar, tidak mungkin dapat digunakan hanya
sebelah, Kakang,"
pelan suara Intan.
"Aku mampu menggunakannya seperti pedang
biasa, tanpa harus tergantung pada pasangannya."
"Percuma! Jangan membohongi dirimu sendiri. Aku telah lihat ketika kau berusaha
menguasai pedang itu sendirian, ternyata kau tidak mampu. Bahkan hampir mati
kalau aku tidak cepat datang membawa
pasangannya. Pedang Naga Hitam Kembar tidak dapat digunakan sendiri-sendiri,
Kakang." "Paling tidak, untuk lima puluh jurus aku masih mampu."
"Dan setelah itu kau akan mati karena tenagamu habis tersedot kekuatan pedang
itu!" "Aku tidak peduli, asalkan dapat membunuh orang yang kau cintai, sekaligus kau
benci. Apalagi dia pembunuh ayahmu!"
"Kakang...!" Intan tersentak kaget.
"Maafkan aku, Intan. Aku memang bertekat untuk menantang Pendekar Pulau Neraka.
Aku mencintaimu, Intan. Aku tidak ingin melihatmu tenggelam terus-menerus dalam
bayangan semu. Kau mengharapkan
sesuatu yang tidak mungkin didapat!" tegas kata-kata Indranata.
"Kakang..., kau...," suara Intan tersekat di tenggorokannya.
"Sejak aku melihatmu pertama kali, aku sudah menyukaimu, Intan. Dan aku tidak
peduli meskipun kau membenciku setengah mati. Aku tetap mencintaimu, walaupun
kau sudah mencintai pemuda lain. Aku akan menantangnya! Akan kubuktikan, siapa
yang lebih pantas mendapatkan cintamu!" tetap tegas kata-kata Indranata.
Kini Intan tahu, Indranata akan pergi bukan untuk mencari Eyang Watuagung. Tapi
untuk menantang bertarung Pendekar Pulau Neraka. Hal inilah yang selalu
dicemaskan Intan. Ada sedikit penyesalan di dalam hatinya, karena telah
menceritakan semuanya pada pemuda ini. Sama sekali tidak disadari kalau
keterbukaannya telah menimbulkan api cemburu di dada Indranata.
"Aku minta padamu, Kakang. Jangan pergi! Aku mohon...,'' rajuk Intan memelas.
"Maafkan aku, Intan. Aku memang tidak pantas mendapatkan cintamu. Tapi aku tidak
rela Pendekar Pulau Neraka menghancurkan hidupmu."
"Lupakan saja tentang dia, Kakang," pinta Intan berharap.
"Tentu! Aku pasti akan melupakannya setelah dia menjadi santapan cacing-cacing
tanah!" "Oh..., Kakang," lirih suara Intan.
"Sudahlah, Intan. Tidak ada gunanya kau mem-bujukku. Aku harus pergi sekarang
juga, dengan atau tanpa kau."
Intan tidak bisa lagi membujuk. Tapi dia juga tidak bisa membiarkan dua orang
yang sebenarnya sama-sama disukainya, bertarung hanya karena mempere-butkan
cintanya. Meskipun Intan tahu, Bayu Hanggara pasti tidak akan melayani keinginan
Indranata. Bayu pasti akan menyerahkan Intan dengan sukarela. Dia tahu watakwatak seorang pendekar kelana yang tidak suka terikat dengan seorang gadis mana
pun juga. Intan Delima menggeser kakinya ke samping
ketika Indranata mengayunkan kakinya. Gadis itu bergegas mengikuti dan
mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu. Sementara Indranata terus
melangkah mantap. Intan tetap berusaha membujuk walau disadari tidak akan
berhasil. Merasa setiap bujukannya tidak mengena, pada akhirnya Intan Delima terdiam.
Kakinya tetap terayun melangkah di samping Indranata. Sedangkan pikirannya kacau
tidak menentu. Terlebih lagi hatinya. Indranata telah mengungkapkan langsung
rasa cintanya. Intan sendiri tidak tahu, apakah menunggu kata-kata itu atau tidak. Namun dia
tidak bisa menipu dirinya sendiri. Dalam hati, dia memang menyukai Indranata.
Pemuda yang selalu lembut dan penuh perhatian padanya.
"Kakang...."
"Sudahlah, Intan. Aku tidak mau lagi mendengar bujukanmu. Aku sudah bertekad
harus menantang Pendekar Pulau Neraka!" potong Indranata cepat.
"Bukan itu yang ingin kukatakan," kata Intan pelan.
Nada suaranya terdengar agak tertahan.
"Hm, apa?"
"Kau benar-benar mencintaiku, Kakang?" tanya Intan seraya menggigit bibirnya.
Indranata menghentikan langkahnya. Ditatapnya Intan Delima dalam-dalam.
Pertanyaan Intan membuatnya jadi berpikir. Benaknya menduga kalau gadis itu
tengah menggunakan cara lain untuk mem-batalkan niatnya menantang Pendekar Pulau
Neraka. "Intan! Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Tapi tolong, jangan paksa aku untuk
merubah tujuan,"
kata Indranata serius.
"Aku..., aku...."
"Ah, sudahlah! Ayo kita jalan lagi."
Intan tidak bisa membantah. Kembali dilangkah-kan kakinya dengan kepala
tertunduk. Memang sulit untuk mengatakannya. Tapi dia tidak ingin melukai hati
pemuda itu. Dia tahu kalau Indranata sungguh-sungguh dan tulus mencintainya.
Kesungguhan dan ketulusan itulah yang membuat Intan tersiksa. Intan hanya bisa
menjerit dalam hati, menyesali semua keadaan yang telah terjadi pada dirinya.
Kalau saja hal itu tidak pernah terjadi, tidak akan segundah ini hatinya.
"Tidak! Dia tidak boleh tahu! Dia juga tidak boleh mati di tangan Pendekar Pulau
Neraka. Aku harus berbuat sesuatu. Ya...! Berbuat sesuatu...!" tekad Intan dalam
hati. *** Sementara itu di Desa Sirna Galih, Pendekar Pulau Neraka sudah bersiap-siap
meninggalkan rumah kepala desa. Selama berada di desa ini, keadaannya sangat
tenang dan tentram. Para penduduk pun sudah melakukan kesibukannya masingmasing. Tidak ada lagi kekacauan dan segala macam tindak kekerasan! Desa Sirna Galih
benar-benar pulih seperti sediakala.
"Jadi berangkat sekarang, Tuan?" tegur Ki Adong.
"Ya," sahut Bayu.
"Sebenarnya seluruh penduduk desa ini mengharapkan agar Tuan bersedia tetap
tinggal di sini,"
kata Ki Adong lagi.
"Terima kasih, tapi maaf aku tidak bisa memenuhi.
Masih banyak yang harus kuselesaikan," sahut Bayu tanpa bermaksud menyinggung
perasaan laki-laki tua itu.
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, kecuali hanya ucapan terima kasih,"
kata Ki Adong. Bayu tersenyum dan menepuk pundak laki-laki tua itu. Kakinya terayun melangkah
keluar dari rumah kepala desa itu. Dia agak terkejut saat kakinya sampai di
luar. Para penduduk Desa Sirna Galih telah berkumpul di depan rumah kepala desa.
Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayu mengayunkan langkahnya, dan beberapa penduduk menghampiri seraya
menyalaminya. Pendekar Pulau Neraka itu tidak dapat menahan keharuan. Baru kali
ini dia diterima dan disambut begitu baik dan hangat oleh seluruh warga desa
yang didatanginya.
Seorang laki-laki muda menghampirinya, sambil menuntun seekor kuda coklat yang
tinggi dan tegap.
Bayu memandanginya sebentar. Pemuda desa itu menyerahkan tali kekang kudanya.
"Untuk apa?" tanya Bayu.
"Tuan pasti membutuhkan," kata pemuda desa itu.
"Maaf, tidak ada lagi yang dapat kuberikan."
Bayu menepuk-nepuk pundak pemuda desa itu.
Kepalanya tergeleng-geleng dengan mata agak berkaca-kaca. Terharu sekali. Hatinya jadi berat untuk meninggalkan desa ini. Tapi
dia harus pergi dan mencari pembunuh keluarganya.
"Bukannya aku menolak. Aku tidak bisa menunggang kuda," kata Bayu pelan.
"Tuan bisa belajar," desak pemuda itu.
"Kuda ini sangat bagus. Kau pasti lebih memerlukan daripadaku. Sayang, kalau
kuda sebagus ini mati tertembus panah atau tombak."
"Tuan...."
"Baiklah, aku terima kuda ini. Tapi biar kutitipkan padamu. Kau bisa merawatnya,
kan?" "Oh, Terima kasih, Tuan. Aku janji, pasti akan merawatnya dengan baik," pemuda
desa itu gembira.
Wajahnya berseri-seri.
Bayu tersenyum dan menepuk pundak pemuda
desa itu beberapa kali, kemudian kembali mengayunkan kakinya melangkah pergi.
Begitu banyak yang diberikan penduduk padanya, tapi tidak dapat diterima
semuanya. Tidak mungkin menerima dan membawa semua yang diberikan mereka.
Pendekar Pulau Neraka itu mempercepat langkahnya dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Langkah kakinya begitu ringan, seolah-olah berjalan tanpa menapak tanah.
Dalam waktu tidak terlalu lama, dia sudah sampai di perbatasan desa.
Bayu menolehkan kepalanya ke belakang. Para penduduk Desa Sirna Galih masih
berkumpul di depan rumah kepala desa.
"Hup!"
Bayu melompat dan langsung berlari cepat bagai kan angin. Ilmu lari cepat yang
diimbangi dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh, membuat
Pendekar Pulau Neraka itu bagaikan terbang saja.
Hanya bayangannya saja yang berkelebat cepat menerobos semak dan pepohonan.
Pendekar Pulau Neraka itu terus berlari cepat menuju sebuah hutan lebat dengan
pohon-pohon besar menjulang tinggi menentang langit. Dan ketika baru saja
mencapai tepian hutan itu, mendadak sebuah ranting kecil meluncur deras ke
arahnya. Bayu langsung melentingkan tubuhnya ke udara, lalu bersalto dua kali
sebelum mendarat manis di tanah.
Entah bagaimana caranya, ranting yang tadi melunak deras ke arahnya sudah berada
dalam genggaman tangan. Bayu memegangi ranting itu sesaat, kemudian tatapannya
tajam beredar ke sekelilingnya. Tidak terlihat seorang pun di tepian hutan ini.
Tapi telinganya yang tajam bisa menangkap sumber suara dari sebelah kiri.
"Hup!"
Bayu mengibas tangan, melontarkan ranting yang ditangkapnya. Ranting itu meluruk
deras disertai hempasan tenaga dalam hampir mencapai taraf kesempurnaan, dan
menembus gerumbul semak.
Maka.... Srak! "Aaa...!"
Satu jeritan melengking terdengar menyayat. Tidak lama kemudian muncul sesosok
tubuh yang langsung ambruk bergulingan dengan leher tertembus ranting.
Pada saat yang hampir bersamaan, dua buah
bayangan berkelebat keluar dari balik pepohonan.
"Hm...," Bayu menggumam pelan tidak jelas.
"Hebat...!" kata salah seorang yang memakai baju biru tua dengan rantai baja
tergenggam di tangannya.
"Siapa kalian" Kenapa menghadang jalanku?"
tanya Bayu dingin.
"He he he...! Rupanya tikus kecil ini bisa juga main gertak...!" seorang tua
bertubuh kurus memakai baju panjang longgar berwarna putih, tertawa mengejek.
Sebilah pedang panjang tergantung di pinggang.
"Hm... aku tidak kenal siapa kalian. Maaf, aku tidak punya waktu untuk melayani
orang gendeng!"
dengus Bayu ketus.
"Bangsat! Kau terlalu memandang rendah, Bocah!"
bentak laki-laki berbaju biru tua.
"Jika kalian tidak ingin disamakan dengan anjing buduk, menyingkirlah!"
"Bocah setan! Buka matamu lebar-lebar...! Kau tahu, siapa kami, heh!"
"Siapa pun kalian, aku tidak peduli! Aku tidak punya urusan dengan tikus-tikus
comberan macam kalian!"
"Beledek gembel!" laki-laki tua bertubuh kurus itu terlonjak dengan wajah merahpadam menahan marah.
"Kau akan berlutut minta ampun kalau tahu siapa kami!" bentak orang yang berbaju
biru. "Aku si Rantai Iblis Pencabut Nyawa!"
"Dan aku, si Pedang Kilat!" sambung laki-laki tua kurus itu.
"Hebat...," Bayu tersenyum sinis. "Anak kecil boleh pingsan mendengar nama bau
kencur itu. Tapi aku...."
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tetap tersenyum sinis.
"Kau benar-benar bocah setan!"
"Kau sudah bosan hidup rupanya, heh!"
"Hidup matiku bukan urusan kalian! Tapi.... Yah..
kalau kalian ingin mati sekarang, silakan. Aku bisa membantu kalian untuk lebih
cepat pergi ke neraka!"
Kata-kata Bayu memang lembut, tapi membuat telinga kedua orang itu panas
membara. Kemaraha-nnya tidak bisa dibendung lagi. Kedua orang itu berlompatan ke
samping sambil menghunus senjata masing-masing. Si Rantai Iblis Pencabut Nyawa
memutar-mutar rantai baja putihnya. Sedangkan si Pedang Kilat mengibas-ngibaskan
pedangnya di depan dada.
"Hhh...! Lucu sekali. Tidak ada panas, tidak ada hujan, kalian marah-marah
mencegat perjalananku.
Dan sekarang akan menyerangku. Ada apa sebenarnya ini...?" Bayu seperti bicara
pada dirinya sendiri.
"Jangan banyak omong! Kau harus mampus
Pendekar Pulau Neraka!" bentak si Pedang Kilat.
"He! Kau tahu namaku?" agak terkejut juga Bayu.
"Ya! Karena itu kau harus mampus! Kau adalah penghalang kami untuk menguasai
seluruh Kadipaten Jati Anom!" sahut si Rantai Iblis Pencabut Nyawa.
"Aku"Ha ha ha...!"
Bayu merasakan tenggorokannya jadi tergelitik. Dia tertawa terbahak-bahak
mendengar jawaban itu.
Sedangkan si Rantai Iblis Pencabut Nyawa dan si Pedang Kilat, hanya saling
pandang. "Menggelikan sekali. Aku tidak kenal kalian berdua, tapi kalian menuduhku
sebagai penghalang.
Dunia ini benar-benar sudah edan! Kenapa begitu banyak orang gila hidup di dunia
ini...?" Bayu kembali seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Tutup mulutmu, bangsat!" bentak si Rantai Iblis Pencabut Nyawa keras
menggelegar. Belum lagi hilang suara bentakan itu, si Rantai Iblis Pencabut Nyawa langsung
melesat sambil mengebut-kan rantainya ke arah Pendekar Pulau Neraka. Pada saat
yang sama, si Pedang Kilat juga melompat menyerang. Bayu masih berdiri menanti,
dan... "Yaaa...!"
*** 6 Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat ke udara. Itu dilakukan di
saat kedua orang itu sudah dekat dengan dirinya. Dua kakinya dengan cepat
merentang ke samping. Sedangkan kedua pe-nyerangnya itu terkejut. Buru-buru
mereka menarik mundur tubuhnya ke belakang. Namun Bayu dengan cepat meluruk ke
arah si Rantai Iblis Pencabut Nyawa. Dua pukulan beruntun dilepaskan dengan
cepat, di sertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi.
Si Rantai Iblis Pencabut Nyawa gelagapan
seketika, dan semampunya mencoba menghindar dengan menjatuhkan tubuh ke tanah.
Tapi belum juga tubuhnya sempat menyentuh tanah, dengan kecepatan luar biasa,
kaki Pendekar Pulau Neraka sudah bergerak mendupaknya.
"Akh...!" si Rantai Iblis Pencabut Nyawa menjerit keras.
Tak ampun lagi, tubuhnya jatuh keras bergulingan di tanah berumput kering.
Tendangan bertenaga dalam hampir sempurna itu membuat tulang iga laki-laki
berbaju biru tua itu seperti remuk. Sementara Bayu berdiri tegak dengan tangan
terlipat di depan dada. Tatapan matanya tajam pada si Pedang Kilat.
Laki-laki tua itu sepertinya ragu-ragu untuk melakukan penyerangan.
"Sudah kukatakan, tikus-tikus macam kalian tidak pantas berhadapan denganku!"
kata Bayu sinis.
"Phuih! Kau terlalu besar kepala, Bocah!" dengus si Pedang Kilat.
"Kepalaku memang besar, dan yang pasti lebih keras dari kepalamu!"
Terkurung Di Perut Gunung 2 Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan Kutuk Sang Angkara 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama