Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Bagian 1
1 MALAM begitu larut. Sebuah bayangan berkelebat cepat dari satu atap ke atap
rumah lainnya. Udara terasa dingin meng-igit sampai ke tulang. Rintik air hujan
merinai, membuat kebanyakan orang lebih betah berada di dalam rumah. Masih
terlihat para prajurit Kerajaan Gantar Angin berkeliaran di setiap sudut kota.
Bayangan itu terus berkelebat cepat, dan baru berhenti setelah sampai pada dahan
pohon dekat benteng bangunan istana.
Sepasang bola matanya tajam mengamati keadaan
dalam sekitar benteng tinggi dan kokoh itu. Dan perhatiannya langsung tertuju
pada sebuah jendela besar yang terbuka lebar. Cahaya lampu pelita menerangi
hampir seluruh ruangan di balik jendela itu. Tampak seorang pemuda tampan
berbaju sutra halus putih bersih, berdiri di depan jendela. Begitu tampannya
sehingga wajahnya seperti seorang wanita.
Pemuda tampan itu berbalik, dan pada saat itu pula bayangan di atas pohon
berkelebat menembus jendela.
Pemuda itu terkejut, hampir berteriak. Tapi pemuda itu keburu diringkusnya.
"Jangan berteriak!" dingin suaranya.
Pemuda tampan berbaju putih dengan sulaman benang emas itu diam. Dia tidak lagi
berontak. Orang yang meringkusnya pun melepaskan dengan mendorongnya ke depan.
Pemuda itu berbalik. Matanya berkilat merayapi seorang laki-laki muda tampan
mengenakan baju kulit harimau.
"Kau pasti Pendekar Pulau Neraka..." tebak pemuda itu.
"Benar! Aku Bayu Hanggara, Pendekar Pulau Neraka.
Kuharap kau tidak membuat kesulitan, Raden."
Pemuda tampan itu ternyata Raden Sangga Alam tersenyum mengangguk. Sebentar dia
menarik napas panjang, kemudian melangkah mendekati jendela. Raden Sangga Alam menutup jendela
kamar itu, kemudian duduk di tepi pembaringan.
"Silahkan duduk," katanya mempersilahkan Bayu untuk mengambil tempat.
Bayu melirik sebuah kursi, dan menariknya dekat
jendela. Segera dihenyakkan bokongnya, duduk di bawah jendela besar itu.
Kepalanya sedikit dimiringkan, mencoba mendengarkan suara-suara mencurigakan
yang mungkin bisa membahayakan. Pendekar Pulau Neraka itu sadar kalau telah
memasuki kandang macan. Sedikit saja melakukan kesalahan, bisa berakibat fatal.
"Aku sering mendengar namamu, Kisanak," kata Raden Sangga Alam. Lembut suaranya.
"Hm..." Bayu hanya menggumam kecil.
"Terlalu berbahaya jika kau berada di sini. Ayahanda Prabu telah memerintahkan
untuk memperketat penjagaan di sekitar istana, baik siang maupun malam. Lebihlebih Kanda Bantar Gading. Dia benar-benar menghendaki kepalamu," kata Raden
Sangga Alam tidak bermaksud untuk menggertak.
"Hebat...!" desis Bayu tersenyum sinis.
"Apa yang kau inginkan sehingga datang menemuiku, Kisanak"!" tanya Raden Sangga
Alam. Suaranya masih terdengar lembut.
"Aku datang untuk menemui Panglima Nampi."
Raden Sangga Alam tersedak sesaat. Wajahnya berubah mendung. Bayu memperhatikan
perubahan wajah itu.
Keningnya sedikit berkerut. Sudah bisa diduga kalau telah terjadi sesuatu pada
Panglima Nampi. Bayu tahu betul kalau Raden Sangga Alam sangat dekat dengan
orang tua berjubah putih itu. Makanya dia datang ke sini untuk menemui Panglima
Nampi, melalui Raden Sangga Alam.
"Boleh aku tahu, ada urusan apa kau berkeinginan menemui beliau?" tanya Raden
Sangga Alam. "Urusan pribadi," sahut Bayu tegas.
"Kau ingin membunuhnya?"
"Tergantung dia sendiri."
"Ketahuilah, Kisanak. Keadaan Kerajaan Gantar Angin tengah dilanda kekacauan.
Ayahanda Prabu menginginkan pekerjaan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa
Larangan agar cepat selesai. Tapi selalu saja ada yang merintangi, terutama para
pemberontak yang tidak menyukai tempat suci itu dirubah kegunaannya. Bahkan
mereka juga hendak menggulingkan tahta kerajaan..." kata Raden Sangga Alam.
"Maaf! Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan suasana di sini," selak Bayu
cepat. "Senang atau tidak, kau telah tersangkut. Ayahanda Prabu dan Kakang Bantar
Gading sudah mencapmu
sebagai ancaman besar melebihi kaum pemberontak. Dan sekarang kau datang hendak
mencari Panglima Nampi....
Tanpa disadari, kau telah melibatkan dirimu sendiri dalam arus yang terjadi di
sini, Kisanak," lembut namun tegas kata-kata Raden Sangga Alam.
Bayu jadi tertegun mendengar kata-kata itu. Sungguh tidak disadari akan sejauh
itu jadinya. Pendekar Pulau Neraka itu tersentak ketika mendengar suara pintu
diketuk. Tanpa berpikir banyak lagi, bergegas dia melompat ke palang atap. Raden
Sangga Alam tersenyum dan beranjak turun dari pembaringan, lalu melangkah
menghampiri pintu dan membukanya.
Ternyata Raden Bantar Gading telah berdiri di ambang pintu dan membukanya
bersama dua orang berpakaian aneh dan memegang senjata aneh pula yang berdiri di
belakangnya. "Ada apa, Kanda?" tanya Raden Sangga Alam.
"Dua orang pengawal pribadiku melihat seseorang
masuk ke dalam kamarmu," kata Raden Bantar Gading.
"Tidak ada siapa-siapa di sini," sahut Raden Sangga Alam.
Raden Bantar Gading menjulurkan kepalanya. Diamatinya keadaan sekeliling kamar
itu. Dua orang jago undangan yang kini menjadi pengawal pribadi Raden Bantar
Gading, ikut mengedarkan pandangannya ke
seluruh sudut ruangan itu. Sejenak mereka saling berpandangan, kemudian samasama mengangkat bahunya.
"Dinda Sangga Alam, benar tidak ada yang masuk ke sini?" Raden Bantar Gading
ingin meyakinkan.
"Sejak tadi aku ada di sini. Seperti kau lihat, tidak ada seorang pun masuk ke
kamar ini, Kanda," sahut Raden Sangga Alam tenang.
Raden Bantar Gading memandang dua orang pengawal pribadinya sebentar, kemudian
mengegoskan kepalanya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka meninggalkan kamar itu. Raden Sangga Alam
segera menutup pintu dan
menguncinya. Sedangkan Bayu langsung meluruk turun begitu pintu kamar tertutup
lagi. Sebentar mereka saling berpandangan.
Bayu mendekati jendela, dan mengintip ke luar. Tampak beberapa prajurit berjagajaga di sekitar jendela kamar itu.
Bergegas dia menghampiri pintu, dan mengintip dari lubang di atasnya. Empat
orang prajurit juga berjaga-jaga di sana. Bayu menyadari kalau kamar itu sudah
dijaga ketat. Itu berarti kehadirannya sudah diketahui.
"Sudah kukatakan, kehadiranmu di sini akan memper-buruk keadaan," kata Raden
Sangga Alam. "Raden, di mana kamar Panglima Nampi?" tanya Bayu tidak perduli dengan keadaan
dirinya yang sulit untuk keluar dari kamar itu.
"Semua panglima tidak tinggal di istana. Mereka punya rumah tersendiri di luar
lingkungan istana," jawab Raden Sangga Alam tenang.
"Kalau begitu, di mana rumahnya?"
"Percuma saja kau ke sana, Kisanak. Panglima Nampi tidak ada lagi di rumahnya."
Bayu mengerutkan dahinya. Tatapan matanya tajam
menusuk langsung ke bola mata Raden Sangga Alam.
"Paman Nampi tertangkap ketika berada di rumah salah seorang pemimpin
pemberontak. Tuduhannya sangat
berat, dan mungkin akan dihukum mati. Atau mungkin juga, hukuman itu sudah
dilaksanakan. Aku sendiri tidak tahu, bagaimana nasibnya sekarang," agak lirih
suara Raden Sangga Alam.
Lemas seluruh tubuh Bayu mendengar penjelasan itu.
Satu-satunya orang yang diharapkan, tidak jelas nasibnya.
Jalan yang dilalui kini semakin gelap saja. Pendekar Pulau Neraka itu melangkah
mendekati jendela. Tampak
beberapa prajurit masih berdiri berjaga-jaga tidak jauh dari jendela kamar ini.
Bayu meminta Raden Sangga Alam untuk membuka jendela itu.
Semua prajurit yang berada di luar jendela serentak membungkuk memberi hormat.
Raden Sangga Alam hanya menganggukkan kepala sedikit. Para prajurit itu berbalik
membelakangi. Pada kesempatan yang sedikit itu, Bayu segera melesat cepat bagai
kilat menembus jendela.
Dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu lenyap ditelan
kegelapan malam. Tak ada seorang prajurit pun yang mengetauhi. Raden Sangga Alam
kembali menutup jendela seraya menarik napas panjang.
*** Bayu Hanggara duduk merenung di atas sebongkah
batu sebesar kerbau. Pikirannya kusut tidak menentu. Dia tidak tahu lagi, apa
yang harus dilakukan. Menembus benteng Istana Gantar Angin" Terlalu besar
resikonya. Sedangkan dia tidak tahu, di mana Panglima Nampi sekarang berada. Dan lagi,
apakah dia sudah mati atau belum" Sedangkan satu-satunya harapan untuk
mengetahui asal-usul Mayang, hanya Panglima Nampi.
Begitu asyiknya melamun, sampai-sampai tidak
mengetahui ada seseorang mendekatinya. Bayu baru tahu setelah pundaknya disentuh
lembut. Pendekar Pulau Neraka itu menoleh. Seraut wajah cantik tersenyum manis
padanya. Bayu menggeser duduknya memberi tempat.
Wanita cantik berbaju merah muda itu duduk di sampingnya.
"Maaf, Mayang. Aku belum bisa mencari keterangan tentang dirimu lebih banyak
lagi," kata Bayu. Pelan suaranya.
"Tidak apa, Kakang. Aku tahu kau telah berbuat banyak padaku. Seharusnya aku
yang minta maaf, karena telah menyusahkanmu," sahut Mayang yang juga pelan
suaranya. "Aku telah mencoba menembus benteng istana."
"Kau bertemu dengan Panglima Nampi?"
"Tidak. Aku hanya bertemu Raden Sangga Alam. Dari dialah aku tahu kalau Panglima
Nampi ditangkap. Bahkan sampai saat ini tidak jelas nasibnya."
"Kakang, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Aku tidak tahu, Mayang. Orang satu-satunya yang kita harapkan, entah bagaimana
nasibnya sekarang. Rasanya kita menghadapi jalan buntu," keluh Bayu.
"Hanya ada satu cara, Kakang...!" sentak Mayang tiba-tiba.
Bayu menatap wanita di sebelahnya.
"Ratu Kunti Boga."
"Mustahil...! Tidak ada seorangpun yang tahu, di mana Ratu Kunti Boga disekap.
Lagi pula, kita tidak tahu apakah masih hidup atau sudah mati!" ujar Bayu seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya. Nada suaranya menyiratkan kepasrahan.
"Tapi banyak orang yang bilang, kalau Ratu Kunti Boga masih hidup, Kakang. Dari
para pemberontak yang sering datang ke sini, aku tahu kalau Ratu Kunti Boga
masih hidup. Dia kini berada di dalam tahanan bawah tanah.
Sedangkan yang lainnya sudah tidak ada lagi. Semuanya tewas di tangan algojo."
"Mayang, kau jangan terpengaruh oleh omongan
mereka. Bisa saja mereka bicara hanya untuk menyenang-kanmu. Atau, mungkin saja
mereka sengaja berkata begitu untuk memanfaatkanmu, karena mereka tahu siapa kau
sebenarnya!"
"Mereka bukan orang-orang jahat, Kakang. Mereka
berontak karena menuntut hak dan keadilan. Tujuan mereka hanya untuk
menggulingkan tahta, dan
mengembalikannya pada Ratu Kunti Boga!" bantah
Mayang sengit. "Kau terlalu curiga, Kakang. Aku yakin maksud mereka itu suci."
"Hm.... Jadi kau akan bergabung dengan mereka?"
tebak Bayu langsung.
"Terus terang, aku memang berpikir begitu, Kakang."
Mayang mengakui.
"Aku tidak bisa memaksa, apalagi menghalangimu. Kau bebas menentukan jalan
hidupmu sendiri," pelan suara Bayu.
"Kakang. Bukan maksudku untuk menjauhi dirimu.
Justru aku berharap kau bersedia membantu mereka.
Perjuangan mereka suci, Kakang. Cobalah kau lihat kenyataan yang terjadi di
depan kita," kata Mayang setengah membujuk.
"Aku seorang pendekar, Mayang. Aku bersedia membantu siapa saja, tapi tidak untuk terlibat dalam urusan kerajaan. Kau harus
mengerti, Mayang."
"Aku tahu, Kakang."
"Mayang, persoalanmu saja belum selesai. Sabarlah sampai asal-usulmu bisa
terungkap. Kau juga jangan terlalu dalam melibatkan diri dengan mereka. Carilah
keterangan siapa dirimu sebenarnya. Masalahnya, mereka pasti menganggap dirimu
putri Ratu Kunti Boga. Hal itu akan membahayakan dirimu sendiri. Itu kalau
memang benar kau putri Ratu Kunti Boga! Kalau ternyata bukan...!
Apa kau sudah siap menghadapi semuanya?"
"Aku tidak perduli siapa diriku, Kakang. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang
berguna dalam hidupku!" tegas kata-kata Mayang.
Bayu menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sulit untuk memaksa
wanita itu lagi. Tekadnya sudah bulat. Bayu merasa semua yang dilakukan hanya
sia-sia belaka. Yang jelas dia tidak ingin mengeluh. Baginya itu sudah suatu
resiko seorang pendekar kelana hanya saja, di dalam hatinya masih terbetik rasa
penasaran. Bayu belum puas kalau belum dapat menuntaskan semua
persoalan yang dihadapinya. Meskipun Mayang sendiri sudah tidak ambil perduli
lagi terhadap dirinya sendiri.
Yang jelas Bayu bertekad untuk tetap meneruskan
usahanya. *** Hari itu Bayu menemui Ki Marutadi di Hutan Danaraja sebelah timur. Hampir
seluruh Hutan Danaraja telah dikuasai para pemberontak. Semakin hari jumlah
mereka semakin bertambah banyak. Kedatangan Bayu tentu saja disambut gembira
oleh para pemimpin pemberontak, yang rata-rata bekas pembesar setia Ratu Kunti
Boga. Mereka semua sudah mendengar tentang Pendekar
Pulau Neraka dari cerita Ki Maruta. Dan memang nama pendekar itu sudah kondang.
Bahkan seluruh rakyat Gantar Angin sudah mendengarnya. Ini bisa saja terjadi,
karena Raden Bantar Gading yang dibantu jago-jago dari tanah seberang telah
mengumumkan agar seluruh rakyat melaporkan jika melihat Pendekar Pulau Neraka.
"Sudah kuduga kedatanganmu, Kisanak. Aku yakin kau pasti akan datang menemuiku,"
ucap Ki Maruta gembira menyambut kedatangan Bayu.
"Aku datang memang untuk menemuimu, Ki Maruta,"
sahut Bayu. "Kau ingin bergabung dengan kami?" tebak Ki Maruta berharap.
Bayu menggeleng-gelengkan kepala, namun bibirnya tersenyum penuh rasa
persahabatan. Ki Maruta mendesah panjang. Ada sedikit kekecewaan di dalam
hatinya. "Maaf, bukannya aku ingin membuatmu kecewa," kata Bayu, seperti mengetahui
perasaan lelaki tua itu.
"Tidak apa. Memang seharusnya aku tidak terlalu berharap banyak padamu," sahut
Ki Maruta pelan.
Bayu merasakan nada kekecewaan pada suara Ki
Maruta. "Lalu, apa maksudmu datang ke sini?" tanya Ki Maruta.
"Aku hanya mengharap kejujuranmu, Ki," sahut Bayu tegas.
"Kejujuranku?"
"Ya! Tentang diri Mayang yang sebenarnya. Aku yakin kau menyembunyikan sesuatu
tentang Mayang. Maukah kau berterus terang padaku, Ki?" desak Bayu berharap.
"Apalagi yang kau ketahui tentang Mayang" Aku sendiri merasa kalau Mayang benarbenar putri Gusti Ratu Kunti Boga. Wajahnya memang tidak mirip. Tapi sinar
matanya begitu mirip dengan Gusti Ratu Kunti Boga," jelas Ki Maruta, coba
meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetap tidak bisa dipercaya begitu saja
kata-kata Ki Maruta. Yang diinginkan adalah kepastian, bukan hanya sekedar
perasaan hati. "Hanya ada satu cara untuk mengetahui siapa Mayang sebenarnya, Kisanak. Bebaskan
Paman Nampi atau Gusti Ratu Kunti Boga! Hanya mereka yang tahu persis jati diri
Mayang," sambung Ki Maruta.
"Hal itu memang sudah kupikirkan. Hanya masalahnya, aku tidak tahu di mana
mereka berada sekarang. Hidup dan matinya pun aku tidak tahu," sahut Bayu
bernada mengeluh.
Ki Maruta menatap dalam-dalam pada pemuda itu.
Dirasakan ada nada lain pada suara Pendekar Pulau Neraka. Dia sering mendengar
Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepak terjang Pendekar Pulau Neraka. Dan kini, setelah berhadapan langsung,
laki-laki tua itu merasakan adanya perbedaan yang sangat mencolok.
"Kisanak, boleh aku tahu. Mengapa kau sangat berkeinginan mengetahui diri Mayang
sesungguhnya?" tanya Ki Maruta bernada curiga.
Bayu Hanggara tersentak mendengar pertanyaan itu.
ditatapnya dalam-dalam wajah laki-laki tua di depannya.
Sangat sulit untuk menjawabnya. Dia sendiri tidak tahu, mengapa begitu ingin
mengetahui asal-usul Mayang.
Belum pernah dialami suatu perasaan penasaran yang amat sangat menghantui
dirinya. Bayu sendiri tidak tahu, apa yang menarik pada diri wanita cantik itu.
Pertanyaan Ki Maruta seolah-olah menggugahnya dari alam mimpi yang sangat
panjang dan melelahkan. Apa yang dilakukannya selama ini tidak ada sangkut
pautnya dengan dirinya. Mungkin karena nasib wanita itu yang hampir sama
dengannya, sehingga Bayu selalu ingin mengungkap tabir yang menyelimuti diri
Mayang. Dan kini Bayu merasa adanya nada kecurigaan pada suara Ki Maruta.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bayu bangkit berdiri. Tak lama, dia melangkah
meninggalkan Ki Marutayang hanya bisa terpaku. Ada sedikti rasa penyesalan
terselip di hati laki-laki tua itu. Dia menyesal karena telah memberi pertanyaan
yang mungkin menyinggung perasaan
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Ah! mudah-mudahan saja dia tidak tersinggung," desah Ki Maruta dalam hati.
*** 2 Bayu menghentikan langkahnya. Matanya sedikit menyipit melihat seorang laki-laki
bertubuh tinggi tegap, dan berwajah kasar, berdiri tegak menghadang jalannya. Di
pinggangnya melilit cembuk hitam yang tangkainya berbentuk kepala ular.
"Kau yang bernama Pendekar Pulau Neraka?" besar dan keras suara orang itu
bertanya. "Benar. Dan kau siapa?" Bayu balas bertanya.
"Aku Braga, bekas orang bayaran Raden Bantar
Gading," orang bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar itu memperkenalkan diri.
"Hm....Lantas, apa maksudmu menghadang
perjalananku?" tanya Bayu setengah bergumam.
"Aku sering dengar namamu disebut-sebut hampir
setiap orang di Gantar Angin ini. Bahkan para prajurit dan jago-jago undangan
dari tanah seberang sedang
mencarimu," ungkap Braga.
"Aku tahu itu," sahut Bayu kalem.
"Karena itu aku sengaja menunggumu di sini."
"Untuk apa" Menangkapku?" mulai sinis kata-kata
Bayu. "Aku tahu, kau seorang pendekar yang sangat tangguh dan mampu mengatasi segala
persoalan seorang diri. Tapi aku datang justru ingin membantumu," kata Braga
serius. "Hm...." Bayu mengerutkan keningnya.
"Aku memang bukan orang baik-baik. Aku dilahirkan dari keluarga begal, rampok
dan pembunuh. Dan pekerjaanku pun adalah pembunuh bayaran. Tapi biar
bagaimanapun juga, aku masih punya hati dan perasaan. Aku bersedia melakukan apa
saja demi uang...!" kata Braga.
"Maaf, aku tidak punya uang untuk membayarmu," kata Bayu.
"Bukan uang yang kucari saat ini!"
"O....! Lantas?"
"Sulit kukatakan! Jauh-jauh aku datang ke Gantar Angin ini karena satu pekerjaan
mudah dengan bayaran tinggi.
Tapi seluruh anak buahku tewas. Bahkan adikku satu-satunya juga tewas di Desa
Muara Pening dekat
Pesanggrahan Goa Larangan," pelan suara Braga.
"Rasanya aku tidak kenal denganmu dan adikmu. Dan lagi aku belum pernah ke Desa
Muara Pening. Maaf....
Mungkin kau salah alamat, jika hal itu kau adukan padaku," uajr Bayu sopan.
"Kau ingin bertemu dengan Panglima Nampi, kan?"
Bayu menatap tajam laki-laki berwajah kasar di
depannya. Sama sekali tidak dimengerti apa yang
diinginkan Braga terhadapnya.
"Mungkin kau akan menganggapku berlebihan. Tapi, aku tahu di mana Panglima Nampi
berada sekarang,"
lanjut Braga. "Berapa kau dibayar untuk menjebakku?" tanya Bayu sinis.
"Jangan salah sangka, Kisanak. Aku ingin bergabung denganmu karena aku juga
punya tujuan. Tujuanku adalah membunuh Raden Bantar Gading yang telah menewaskan
adikku satu-satunya. Di ajuga yang menyebabkan semua anak buahku tewas! Sekarang
ini bukan bayaran yang kuinginkan!" tegas kata-kata Braga.
"Kau dendam?"
"Benar!"
"Mengapa Raden Bantar Gading tidak kau bunuh saja sendiri?"
"Jangan mengolok-olok, Kisanak. Saat ini Raden Bantar Gading selalu dikawal
jago-jago dari seberang. Ilmu mereka sangat tinggi. Tidak mungkin kuhadapi
seorang diri."
"Lalu, apa yang dapat kulakukan untukmu?"
"Bukan hanya aku, tapi kita!"
"Rasanya persoalan yang kita hadapi berbeda. Dan lagi, tak ada niatan dalam
hatiku untuk membunuh siapapun.
Aku sebenarnya hendak meninggalkan Gantar Angin ini.
Persoalanku di sini telah selesai. Sekarang aku tidak perduli lagi dengan
Panglima Nampi, atau siapa saja. Maaf, aku harus pergi sekarang," kata Bayu
tegas. "Tunggu dulu," cegah Braga.
Bayu mengurungkan langkahnya.
"Kau tidak mungkin dapat meninggalkan Gantar Angin begitu saja. Seluruh pelosok
sudah dijaga prajurit. Tidak ada seorangpun boleh meninggalkan negeri ini!"
jelas suara Braga memberitahu.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian melanjutkan
langkahnya. Braga berlari kecil mengejar. Pendekar Pulau Neraka membiarkan saja
laki-laki berwajah kasar itu mengikutinya, dan tetap melangkah tanpa menoleh
sedikitpun. "Kenapa kau mengikutiku?" tanya Bayu tanpa menoleh.
"Aku akan ikut bersamamu keluar dari neraka ini,"
jawab Braga. "Bukankah kau ingin membalas kematian adikmu?"
"Percuma! Tidak ada seorang pun yang percaya
kepadaku. Lebih baik aku pergi dari pada mati konyol.
Nanti setelah berada di luar Gantar Angin, mungkin aku bisa melakukan apa saja.
Aku berniat akan mengumpulkan kekuatan, baru menggempur kerajaan ini!"
Bayu hanya tersenyu seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dendam di hati Braga cukup membara. Tapi nyalinya kecil. Hanya
kepentingan dirinya sendiri yang lebih menonjol. Mungkin itu memang sudah
wataknya. Bahkan rasa sakit hati dan dendam bisa pupus bila keselamatan dirinya
terancam. Tidak ada sedikit pun watak ksatria di dalam hatinya.
Bayu terus saja melangkah, meskipun Braga
mengiktuinya. Dia tidak lagi perduli terhadap laki-laki berwajah kasar itu.
kakinya tetap terayun mantap. Bahkan dikerahkan ilmu meringankan tubuh.
Merskipun seperti berjalan biasa, tapi kecepatannya melebihi orang berlari.
Braga yang mengikuti juga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Tapi mendadak Pendekar Pulau Neraka menghentikan langkahnya. Pendengarannya yang
setajam elang, menangkap suara desiran halus dari arah samping kanan.
Begitu menoleh, sebatang anak panah meluncur deras ke arahnya. Bahkan sebatang
lagi mengarah pada Braga.
"Awas...!" seru Bayu keras.
*** Bayu hanya menggerakkan tangannya untuk
menangkap anak panah itu. sementara Braga memiringkan tubuh sedikit ke belakang,
sehingga anak panah yang mengancam nyawanya lewat di depan dada. Laki-laki
bertubuh tinggi tegap dengan wajah kasar itu langsung melompat menghampiri
Pendekar Pulau Neraka.
Pada saat itu, dari gerumbul semak belukar dan balik pepohonan, muncul sekitar
tiga puluh orang berseragam prajurit. Mereka berlompatan dengan senjata
terhunus. Bayu mengendarkan pandangannya ke sekeliling. Para prajurit Kerajaan Gantar
Angin kini telah mengepung rapat dari segala penjuru.
"Sudah kukatakan, tidak mudah keluar dari sini," kata Braga setengah berbisik.
"Kau takut?" nada suara Bayu terdengar mengejek.
"Huh! Tak seberapa. Dua kali lipatpun aku masih
mampu mengahadapinya!" dengus Braga pongah.
"Mereka pasti sudah sangat terlatih."
"Hampir tiga purnama aku di sini, jadi tahu betul kalau prajurit Gantar Angin
tidak ada yang memiliki kepandaian tinggi. Para panglimanya saja bisa dihitung
dengan jari yang memiliki kepandiaan tinggi."
"Tapi jangan menganggap remeh mereka. Setiap lawan harus dihadapi hati-hati.
Sikap memandang rendah lawan akan membuat kelengahan, dan berakibat fatal," kata
Bayu mengingatkan.
Braga diam saja. Dan percakapan itupun terhenti ketika seorang pemuda tampan
muncul. Bibirnya selalu
menyunggingkan senyum sinis. Pemuda itu menunggang kuda putih dan dikawal dua
orang berpakaian aneh dan bersenjata aneh pula. Mereka juga menunggang kuda yang
tinggi kekar. "Itu Raden Bantar Gading," kata Braga memberitahu.
"Ya, aku tahu," jawab Bayu tak berpaling sedikitpun.
Pandangannya tajam pada pemuda tampan di atas
punggung kuda putih.
"Percuma saja kalian melawan. Tempat ini sudah
terkepung," ujar Raden Bantar Gading, yang tetap berada di atas kuda putihnya.
"Untuk apa menyerah, kalau masih bisa melawan!"
lantang suara Bayu.
"Hhh! Memang tidak ada gunanya bicara denganmu,
monyet keparat!" geram Raden Bantar Gading. "Serang!
Bunuh mereka...!"
Tiga puluh orang prajurit serentak berlompatan sambil menghunus senjata masingmasing. Mereka berteriak disertai semangat bertarung yang berkobar-kobar. Braga
segera melepaskan cambuk yang membelit pinggangnya.
"Hiya...!"
Ctar! Suara cambuk hitam itu menggelegar memecah
angkasa. Dua orang prajurit langsung ambruk tersambar ujung cambuk itu. Braga
berlompatan sambil mengebutkan cambuknya. Sungguh dahsyat, sekali kebutan saja,
pasti ada prajurit yang terjungkal. Sementara Bayu pun sibuk melayani para
prajurit yang bertarung bagai kesetanan itu.
Banjir darah tak terhindarkan lagi.
Teriakan, jeritan dan pekik kematian saling susul ber-campur dengan gemuruhnya
pertempuran. Satu persatu para prajurit Gantar Angin bergelimpangan berlumuran
darah. Mereka memang bukanlah tandingan dua orang yang sudah banyak malang
melintang di dalam rimba persilatan. Dalam waktu tidak berapa lama saja, separuh
dari mereka telah banyak yang tewas.
"Ayo, maju semua! Biar kupercepat kematian kalian!"
seru Braga keras.
Ctar! Tar! Braga memainkan cambuknya dengan lincah, diimbangi gerakan kaki dan tubuh
yangmelentur ringan. Para prajurit yang mengeroyoknya mulai gentar. Mereka jadi
ragu-ragu. Akibatnya, malah membuat kemtian semakin cepat datangnya. Tanpa ampun lagi Braga
membantai para pengeroyoknya.
"Ha ha ha...!" Braga tertawa terbahak-bahak. Sepertinya begitu suka akan
pertempuran ini.
"Yeaaa...!"
Satu orang yang mengawal Raden Bantar Gading
melompat turun dari punggung kudanya. Lesatannya begitu ringan dan cepat,
langsung meluruk ke arah Braga.
Senjatanya yang berupa golok raksasa mengibas bagai kilat, menimbulkan suara
angin menderu. Braga yang tengah melayani para prajurit yang tersisa, terkejut
mendengar deru angin mengarah kepadanya.
"Uts!"
Buru-buru dirundukkan kepalanya. Sambaran golok
raksasa itu hanya menyambar angin kosong. Braga segera melesat mundur tiga
langkah. Agak gentar juga hatinya begitu melihat seorang laki-laki bertubuh
besar bagai raksasa, berdiri tegak di depannya. Tangannya menggenggam sebilah
golok besar dan panjang.
"He he he..." orang itu terkekeh.
"Ayo maju, monyet jelek!" tantang Braga.
Para prajurit yang tadi mengeroyok Braga, segera berlompatan menyingkir. Mereka
langsung membantu teman-temannya yang tengah mengeroyok Bayu. Sementara
Braga bersiap-siap menghadapi manusia raksasa itu.
Dikebut-kebutkan cambuknya di udara.
"Ha ha ha...!" manusia raksasa itu tertawa terbahak-bahak. Mungkin merasa lucu
melihat cambuk kecil sepanjang lengan yang berusaha menakut-nakutinya.
"Jangan gembira dulu, monyet jelek! Rasakan
cambukku! Hiyaaa...!"
*** Ctar! Ujung cambuk Braga meluruk deras ke arah dada
manusia raksasa itu. Hebat! Dia hanya diam saja tanpa bergeming sedikitpun. Tak
ampun lagi, ujung cambuk Braga menyengat dadanya, disertai suara ledakan keras.
"Heh...!"
Braga tercengang menyaksikan lawannya hanya tersenyum saja. Tak ada luka sedikitpun yang menggores dadanya. Padahal, jelas
sekali kalau ujung camuk itu menyengat dada manusia raksasa itu. Padahal ujung
cambuk itu penuh duri yang sangat tajam, dan dikebutkan dengan tenaga dalam
penuh. "Gila! Manusia apa dia..."!" dengus Braga.
"He he he..." orang itu hanya terkekeh saja.
Ctar! Tar...! Dua kali Braga mengayunkan cambuknya disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Tapi manusia raksasa itu hanya terkekeh saja.
Bahkan kakinya kini terayun melangkah maju. Sama sekali cambukan itu tidak
berarti. Sementara Braga mulai pucat wajahnya. Cambuk
kebanggaannya hanya seperti belaian halus bagi manusia raksasa itu. Braga
melangkah mundur sambil mengebutkan cambuknya beberapa kali.
"Grrr...!" manusia raksasa itu menggeram bagai
binatang buas dan liar.
Wut! Cepat sekali manusia raksasa itu mengebutkan golok besarnya ke arah leher Braga.
"Ikh"
Braga terperangah sesaat. Buru-buru dia merunduk, maka sambaran golok itu lesat
di atas kepalanya. Tapi belum sempat diangkat kepalanya, satu tendangan keras
telah membuat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Braga mengeluh pendek.
Punggungnya menghantam sebatang pohon besar hingga hancur. Laki-laki bekas
pembunuh bayaran itu bergegas bangkit.
Sementara itu, si Manusia Raksasa sudah melompat menerjang sambil mengayunkan
goloknya. Braga membanting tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa kali.
Golok raksasa itu menghantam tanah kosong dengan kerasnya.
Braga langsung melesat bangkit. Segera dia melompat sambil mengirimkan dua
pukulan geledek disertai satu tendangan bertenaga dalam tinggi. Manusia raksasa
itu hanya terdorong satu langkah. Dia menggeram dahsyat, dan berbalik. Braga
benar-benar terkesiap karena pukulan dan tendangan beruntunnya tidak berarti
bagi manusia raksasa itu.
"Edan! Ilmu apa yang dimilikinya..."!" dengus Braga keheranan.
Manusia raksasa itu kembali menggeram dahsyat.
Dikibaskan goloknya dengan cepat ke arah tubuh Braga.
Pembunuh bayaran itu melompat ke belakang, sehingga sambaran golok itu tidak
menemui sasaran. Dan belum sempat Braga berbuat sesuatu, kembali manusia raksasa
Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang bagai topan. Braga hanya bisa berkelit berlompatan tanpa mampu
membalas. Baik cambuk, pukulan dan tendangannya tidak berarti sama sekali terhadap manusia
raksasa itu. Braga benar-benar serba salah menghadapinya. Semua jurus-jurus
andalannya sudah dikerahkan, tapi hasilnya sia-sia.
Bahkan kini manusia raksasa itu malah semakin ganas saja. Serangan-serangannya
pun semakin gencar dan berbahaya. Braga sudah merasakan betapa dahsyat pukulan
manusia raksasa itu. Dan dia tidak ingin lagi coba-coba memapak. Tenaga dalamnya
kalah jauh. Bahkan tidak satupun pukulan mautnya yang berarti.
"Graaakh...!" manusia raksasa itu menggeram dahsyat.
Dan pada satu kesempatan, dikibaskan goloknya
dengan kecepatan penuh. Braga terperangah sesaat. Buru-buru dia berkelit
mengegoskan tubuhnya ke samping.
Sambaran golok besar itu berhasil dielakan. Tapi angin sambaran golok membuatnya
limbung. Dalam keadaan seperti itu, Braga tidak mungkin menghindari pukulan
tangan kiri lawannya.
Pukulan itu telak menghantam dadanya. Braga
mengeluh pendek. Dari mulutnya mengucur darah segar.
Saat tubuhnya terjajar ke belakang, satu hantaman golok besar membelah tubuhnya
menjadi dua bagian. Braga tidak mampu lagi bersuara. Tubuhnya langsung ambruk
terbelah dua. Mati.
"Ha... ha... ha...!" manusia raksasa itu tertawa terbahak-bahak.
Pada saat yang bersamaan, Bayu sudah menyelesaikan pertarungannya melawan
prajurit-prajurit Gantar Angin.
Betapa terkejutnya Bayu mendapatkan Braga telah tewas dengan tubuh terbelah dua.
Gerahamnya bergemeletuk menyaksikan manusia raksasa itu malah tertawa terbahakbahak dekat mayat Braga.
"Iblis...!" geram Bayu mendesis.
*** "Pendekar Pulau Neraka! Kau tinggal pilih. Menyerah, atau mengalami nasib yang
sama dengan Braga!" ancam Raden Bantar Gading.
"Phuih!" Bayu menyemburkan ludahnya.
Raden Bantar Gading menggerakkan ujung jari telunjuk-nya. Manusia raksasa itu
melompat ke hadapan Pendekar Pulau Neraka. Golok besarnya tersandang di pundak.
Bibirnya menyeringai liar mengejek. Bayu menggeser kakinya sedikit ke samping.
"Kau tidak punya waktu untuk berpikir, Pendekar Pulau Neraka!" lantang suara
Raden Bantar Gading.
"Majulah, manusia liar! Jauh-jauh kau datang hanya untuk mengantarkan nyawa!"
dengus Bayu dingin.
Manusia raksasa itu menoleh ke arah Raden Bantar Gading. Pemuda tampan di atas
kuda putih itu meng-gerakan tangannya di depan leher. Jelas sekali kalau artinya adalah penggal kepala! Manusia raksasa itu tersenyum, lalu melangkah
mendekati Pendekar Pulau
Neraka. Suara menggeram kecil terdengar menggetarkan.
Cepat sekali dia melompat sambil menghantamkan
goloknya ke tubuh Bayu. Tapi hanya dengan memiringkan tubuhnya sedikit, Bayu
berhasil mengelakkan tebasan golok itu. Dan tanpa diduga sama sekali, tangan
Pendekar Pulau Neraka itu menyodok ke perut.
"Ups...!"
Bayu terkejut, karena merasakan seperti menyodok segumpal karet dalam karung.
Tangannya kembali terpental. Buru-buru di amelompat mundur dua tindak.
Secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melenting tinggi ke udara, lalu meluruk
deras sambil melontarkan dua pukulan beruntun.
Des! Des! Kembali Bayu terkejut, karena manusia raksasa itu tidak bergeming sedikitpun.
Padahal pukulan bertenaga itu dalam sangat tinggi. Bahkan Bayu sendiri terpental
beberapa depa jauhnya. Pukulannya seperti berbalik dan menghantam dirinya
sendiri. Bayu kembali berdiri tegak.
Matanya memandang setengah tidak percaya. Sementara si Manusia Raksasa itu
menggeram pelan sambil
melangkah berat mendekati. Goloknya yang sangat besar diputar-putarnya. Suara
angin menderu-deru, membuat jantung serasa akan copot.
"Graghk...!"
Manusia raksasa itu menggeram keras, dan dengan
cepat dibabatkan senjatanya ke arah kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun dengan
cepat Bayu telah melenting ke udara sambil mengayunkan kakinya, disertai
pengerahan tenaga dalam yang hampir mencapai taraf kesempurana-an. Tendangan itu
telak mendarat di wajah si Manusia Raksasa.
"Aaarghk...!" manusia raksasa itu meraung keras.
Dia mundur dua langkah ke belakang. Dan begitu menjejakkan kaki di tanah, Bayu
langsung melepaskan satu pukulan dahsyat ke arah dada. Pukulannya tidak
terbendung lagi. Tubuh tinggi besar itu terjungkal keras menghantam tanah. Suara
berdebum terdengar saat tubuh raksasa itu ambruk. Getarannya bagaikan gempa bumi
saja. Sambil menggeram marah, manusia raksasa itu bangkit berdiri. Diangkat goloknya
ke atas kepala. Segera dia berlari cepat seraya mengayunkan senjatanya dengan
deras. Bayu melompat ke samping sambil melayangkan pukulan keras menghantam punggung.
Kembali manusia raksasa itu meraung dan tersungkur ke tanah, namun dengan cepat
bisa bangkit kembali.
Bayu geleng-geleng kepala melihat daya tahan lawannya yang begitu luar biasa.
Manusia raksasa itu kembali menerjang seraya mengayunkan goloknya yang sangat
besar. Kali ini dia memang mendapat lawan sangat tangguh. Gerakan Bayu ketika
berkelit, memang sangat cepat. Bahkan dibarengi dengan satu serangan mengandung
tenaga dalam hampir sempurna. Setiap pukulan dan tendangan Pendekar Pulau
Neraka, membuat manusia raksasa itu menggereng keras.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Bayu memiringkan tubuhnya dan sedikit membungkuk. Lalu
dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. Seleret cahaya keperakan melesat dari
pergelangan tangan yang dikibaskan. Rupanya Bayu melepaskan senjata andalannya,
berupa cakra pipih bergerigi enam, berwarna keperakan. Cakra Mautitu melesat
cepat bagai kilat, dan langsung membabat dada si Manusia Raksasa itu.
"Aaarghk...!" manusia raksasa itu meraung keras.
Bayu mengangkat tangannya ke atas. Cakra Maut itu pun kembali melesat dan
menempel di pergelangan
tangannya. Darah mulai membasahi dada manusia raksasa itu. Dia menggeram
dahsyat, lalu kembali menerjang sambil mengayunkan goloknya dari atas ke bawah.
"Hiyaaaa...!"
Bayu melompat mundur sambil mengebutkan tangan
kanannya. Kembali Cakra Maut melesat bagai kilat dari pergelangan tangannya.
Senjata cakra bergerigi enam itu menghentikan terjangan si Manusia Raksasa,
karena lehernya telah tertembus senjata Pendekar Pulau Neraka. Darah muncrat
keluar dari leher yang berlubang besar itu.
Begitu senjatanya menempel kembali di pergelangan tangan, Bayu melompat cepat
sambil berteriak nyaring.
Satu tendangan keras menggeledek membuat tubuh
raksasa itu jatuh berdebum ke tanah. Bayu menjejak dada lawan dengan lutut, lalu
menghajar kepalanya dengan kekuatan penuh.
Prak! "Aaarghk...!" manusia raksasa itu meraung keras.
Darah segar kembali mengalir keluar dari kepala yang hancur. Bayu langsung
melompat bangkit berdiri.
Pandangannya tajam pada tubuh besar yang menggelepar-gelepar di tanah. Pendekar
Pulau Neraka itu menarik napas panjang, lalu pandangannya beralih pada Raden
Bantar Gading. Sementara manusia raksasa itu sudah tidak bergerak-gerak lagi.
*** 3 Orang yang berada di samping Raden Bantar Gading langsung melompat turun dari
punggung kudanya. Manis sekali jejakannya di tanah, yang berjarak sekitar satu
batang tombak di depan Pendekar Pulau Neraka.
Senjatanya yang berbentuk tongkat berujung lima, menyilang di depan dada.
Tatapan matanya tajam
menusuk langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
Orang itu bertubuh sedang mengenakan baju ketat
merah menyala. Kulit wajahnya putih, cenderung pucat.
Sinar matanya menyiratkan kekejaman. Bayu menggeser kakinya du alangkah ke
samping. Bisa diukur kalau lawannya kali ini tentu lebih tangguh dari yang
pertama. "Sebaiknya kau pulang saja ke negerimu," kata Bayu dingin.
"Hm..." orang bersenjata tongkat berujung lima itu hanya menggumam tidak jelas.
Kepalanya menoleh ke belakang, ke arah Raden Bantar Gading yang hanya diam
menatap Pendekar Pulau Neraka.
Kemudian kepala Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu terangguk sedikit. Orang
berwajah dingin pucat pun kembali memalingkan mukanya menghadap pada Bayu.
Bibirnya yang tipis pucat tersenyum sedikit.
"Hop!"
Begitu tangannya mengebutkan senjata ke depan,
langsung terasa suatu aliran hawa panas menyengat kulit.
Bayu kembali menggeser kakinya selangkah ke samping.
Sikapnya tampak lebih berhati-hati menghadapi lawan kali ini. hawa panas yang
menyebar dari senjata tongkat berujung lima itu sangat terasa menyengat. Jelas
kalau dia memiliki kepandaian tinggi.
"Wufh! Yaaa...!"
Orang berwajah pucat itu cepat menyerang tanpa
banyak bicara lagi. Bayu mengegoskan tubuhnya ke samping menghindari tusukan
senjata tongkat berujung lima itu. Dengan cepat tangannya terayun ke samping,
begitu senjata lawan berada di samping perutnya. Namun tanpa diduga sama sekali,
orang itu memutar senjata ke atas.
"Uts!"
Bayu cepat merunduk, sehingga tebasan senjata itu lewat di atas kepalanya. Belum
lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa berbuat sesuatu, kaki lawan telah melayang
deras menghantam pinggangnya.
"Ugh!" Bayu mengeluh pendek.
Saat tubuhnya doyong ke samping, satu pukulan keras lawan mendarat di dadanya.
Pendekar Pulau Neraka itu terjajar ke belakang. Dadanya terasa sesak seketika.
Buru-buru digerakkan tangannya untuk mengusir rasa sesak yang melanda dadanya.
Bayu menggelengkan kepalanya beberapa kali, mencoba mengusir kunang-kunang yang
memenuhi pelupuk matanya.
"Phuih!" dengan perasaan geram, Pendekar Pulau
Neraka menyemburkan ludahnya.
Orang berwajah pucat kaku itu berteriak keras sambli melompat menerjang. Bayu
tetap berdiri tegak menanti.
Dan pada saat ujung tombak lawannya sudah sedemikian dekat di depan dada, dengan
cepat ditangkapnya. Sambil mengerahkan tenaga dalam, tombak yang tertangkap itu
diangkat dan dibantingnya ke belakang.
"Akh!" orang berwajah pucat itu memekik tertahan.
Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Sebelum
orang berwajah pucat itu sempat bangun, Bayu sudah mengibaskan tangan kanannya.
Seleret cahaya keperakan meluncur deras bagai kilat. Orang itu menggulingkan
tubuhnya beberapa kali. Senjata cakra keperakan itu pun meng-hantam tanah. Bayu
menarik tangan kanannya ke atas, maka senjatanya kembali melesat ke arahnya.
Begitu menempel di pergelangan tangan, kembali dikibaskannya dengan cepat.
"Hiya...!"
Orang berwajah pucat itu buru-buru melesat ke udara sambil mengibaskan
senjatanya ke bawah. Sunggu di luar dugaan. Ketika Bayu menjentikkan ujung
jarinya, Cakra Maut itu bergerak menyamping, sehingga tidak terjadi benturan
antara dua senjata. Dan Cakra Maut itu terus melesat ke udara, langsung
menyambar ke arah dada orang berwajah pucat itu.
Masih dalam keadaan tubuh di udara, orang itu
memiringkan tubuhnya ke samping. Tapi ujung Cakra Maut sempat menggores bahu
kanannya. Bayu mengangkat
tangan kananya ke atas, maka senjata cakra kembali menempel di pergelangan
tangan kanannya. Orang
berwajah pucat itu kembali turun ke bumi. Darah mengucur dari pundak yang
tergores cukup dalam oleh Cakra Maut.
"Yeaaah...!" Bayu berteriak lantang.
Baru saja orang berwajah pucat itu menjejakkan kakinya di tanah, Pendekar Pulau
Neraka sudah melompat sambil mengirimkan dua pukulan dahsyat beruntun. Orang itu
berusaha menghindar, tapi satu pukulan lain tidak mampu dihindari. Dadanya
terasa remuk akibat pukulan keras bertenaga dalam hampir sempurna. Tubuhnya
terdorong ke belakang sejauh dua batang tombak.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" pekik Bayu melengking.
Secepat tangannya bergerak ke depan, secepat itu pula secercah cahaya keperakan
melesat ke arah jago dari tanah seberang berwajah pucat itu. Dia tidak mungkin
lagi menghindar karena keadaan tubuhnya terluka dan
sempoyongan. Cakra Mautpun langsung menembus
dadanya hingga ke punggung.
"Aaaakh...!"
Di saat tubuh orang itu limbung, Bayu melompat cepat sambil melontarkan satu
pukulan keras ke arah dada. Tak pelak lagi, tubuh jago dari seberang itu
terjungkal keras menghantam batu sebesar kerbau. Dengan ujung jari kaki, Bayu
menyambar senjata lawan dan langsung menangkap-nya. Pendekar Pulau Neraka itu
melemparkan senjata yang berhasil dirampas seraya mengerahkan tenaga dalam,
sebelum jago dari seberang itu bergerak.
Wut! Senjata tombak berujung lima itu meluncur cepat, dan menembus dada pemiliknya
sendiri. Kembali jeritan menyayat terdengar mengantar kematian jago dari
seberang itu. sementara Cakra Mautmasih melayang di udara, Bayu mengangkat
tangan kanannya ke atas. Cakra Mautpun kembali menempel di pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka.
"Hm..." Bayu bergumam pelan.
Bola matanya tajam memandang ke sekeliling.
Gerahamnya bergemeletuk menahan geram mendapati
Raden Bantar Gading sudah tidak ada di tempatnya lagi.
Rupanya putra Raja Abiyasa itu melarikan diri saat mengetahui jagonya sudah
tidak mampu menandingi
Pendekar Pulau Neraka.
"Pengecut!" dengus Bayu geram.
*** Raden Bantar Gading memacu kudanya bagai dikejar
setan. Debu mengepul di udara diterjang kaki kuda putih itu. sedikitpun Raden
Bantar Gading tidak memperlambat lari kudanya. Bahkan digebah semakin cepat
begitu memasuki perbatasan kota. Beberapa orang yang melihat, hanya membungkuk
dengan kepala mengeleng-geleng.
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana, buru-buru membuka pintu ketika
melihat Raden Bantar Gading memacu cepat kudanya ke arah istana. Kuda putih itu
tidak mengendur larinya meskipun melewati pintu gerbang.
Dua prajurit pengawal hanya mengelus-elus dada saja.
"Hooop...!"
Raden Bantar Gading langsung melompat turun setelah kudanya berhenti di depan
tangga istana. Kakinya bergegas melangkah meniti anak tangga dari batu pualam.
Para prajurit yang berada di sekitar situ, hanya bisa memandang penuh tanda
tanya di dalam hati. Raden Bantar Gading langsung masuk ke dalam Israna Gantar
Angin. "Patih Luminta, di mana Ayahanda Prabu?" tanya Raden Bantar Gading, saat
berpapasan dengan seorang laki-laki setengah baya.
"Gusti Prabu sedang beristirahat, Raden," jawab Patih Luminta.
Raden Bantar Gading kembali melangkah cepat.
"Raden..." Patih Luminta bergegas mengejar.
"Aku harus bertemu Ayahanda sekarang juga!" bentak Raden Bantar Gading.
"Tapi, Raden. Gusti Prabu sudah berpesan agar jangan diganggu," kata Patih
Luminta. Raden Bantar Gading tidak perduli, tan terus saja melangkah menuju sebuah kamar
yang tertutup pintunya.
Kamar itu memang tempat beritirahat pribadi ayahnya.
Tidak ada seoerang pun boleh masuk tanpa seijinnya. Patih Luminta menghalangi
langkah Raden Bantar Gading
dengan membelakangi pintu.
"Maaf, Raden. Ini perintah Gusti Prabu," kata Patih Luminta.
"Jangan menghalangiku, Patih. Minggir!" bentak Raden Bantar Gading.
Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Raden...."
Raden Bantar Gading mencekal baju Patih Luminta dan mencampakkannya ke samping.
Patih Luminta ter-jerembab ke lantai. Sebentar Raden Bantar Gading menatap tajam
laki-laki setengah baya itu, kemudian mendorong pintu yang tertutup.
"Raden, jangan...!" seru Patih Luminta.
Tapi Raden Bantar Gading telah lebih cepat membuka pintu kamar itu dan langsung
menerobos masuk. Seketika matanya membeliak dan mulutnya menganga lebar.
Jantungnya serasa berhenti berdetak saat mendapati ayahnya tengah bergumul di
atas ranjang bersama seorang wanita.
Prabu Abiyasa teerkejut. Buru-buru disambar selimut untuk menutupi tubuhnya.
Demikian juga dengan wanita itu, disambarnya kain seadanya untuk menutupi
seluruh aurat yang terbuka lebar.
"Lancang! Keluar kau!" bentak Prabu Abiyasa.
Raden Bantar Gading tidak berkata apa-apa, tapi
langsung berbalik dan melangkah keluar dari kamar itu.
Patih Luminta bergegas menutup pintu kembali. Wajahnya nampak kebingungan
melihat Raden Bantar Gading yang berlari cepat meninggalkan kamar pribadi Prabu
Abiyasa. Patih Luminta bergegas mengejar putra mahkota itu.
Sementara Raden Bantar Gading terus berlari menuju kaputren. Patih Luminta yang
masih berusaha mengejra, menghentikan langkahnya. Tidak mungkin dia boleh masuk
ke dalam kaputren. Tempat itu terlarang bagi seorang laki-laki yang bukan
keluarga Prabu Abiyasa. Seorang dayang yang akan keluar dari kaputren, hampir
jatuh tertabrak Raden Bantar Gading. Dayang itu tertegun sejenak, lalu kembali
melangkah keluar. Dia berpapasan dengan Patih Luminta.
"Kenapa Raden Bantar Gading, Paman?" tanya dayang itu. "Tidak tahulah..." desah
Patih Luminta menyahut. "Apa Gusti Permaisuri ada di dalam?"
"Ada."
"Ya, Tuhan..." keluh Patih Luminta.
"Ada apa, Paman?"
Patih Luminta tidak menjawab. Bergegas dia berbalik, lalu melangkah pergi.
Sementara dayang itu hanya memandang dengan kening berkerut. Sebentar Patih
Luminta menoleh ke beblakang, lalu mengangkat bahunya dan kembali melangkah
pergi dari lorong pintu kaputren.
*** Raden Bantar Gading tertegun meihat ibunya tengah
duduk dikelilingi tujuh orang dayang di taman kaputren.
Pemuda itu ingin berbalik, tapi ibunya sudah keburu melihat dan memanggil. Raden
Bantar Gading melangkah menghampiri. Kemurungan di wajahnya sulit untuk
disembunyikan. Permaisuri Pramita Wardani memandangi wajah
anaknya yang kelihatan murung. Tangannya menggapai lembut dan menggamit jarijari tangan pemuda itu, lalu membawanya duduk di sampingnya. Raden Bantar Gading
tidak tahu harus berkata apa lagi. Semula dia ingin mengatakan adegan yang
disaksikan di kamar per-istirahatan pribadi ayahnya. Tapi, saat melihat
keanggunan dan senyum ibunya, hatinya langsung luluh. Rasanya tidak sanggup
untuk menghancurkan hati wanita yang lembut dan anggun ini.
"Ada apa, Anakku" Kau kelihatan murung sekali,"
lembut suara Permaisuri Pramita Wardani.
"Tidak apa-apa, Bunda. Nanda hanya ingin bertemu saja," jawab Raden Bantar
Gading pelan. Disembunyi-kannya suara hatinya dalam-dalam.
Hatinya mendadak menjerit, mendengar kelembutan
suara ibunya. Permaisuri Pramita Wardani tersenyum manis. Tangannya mengusapusap rambut anaknya. Dia mengerti kalau Raden Bantar Gading ingin mengatakan
sesuatu, tapi sangat berat untuk diucapkan. Sudah bisa ditebak penyebab
kemurungan putranya itu.
"Kau datang tergesa-gesa, dengan wajah murung.
Bunda tahu, ada yang ingin kau katakan..." kata Permaisuri Pramita Wardani, tetap
lembut suaranya.
"Tidak, Bunda," jawab Raden Bantar Gading tertahan suaranya.
"Katakanlah," desak ibunya.
"Bunda..." suara Raden Bantar Gading tercekat di tenggorokan. Sungguh mati, dia
tidak sangup menghancurkan perasaan wanita yang dikasihinya. Apalagi seorang
wanita yang telah mengandung dan melahirkan-nya.
Permaisuri Pramita Wardani begitu lembut, dan suci hatinya. Bagaimanapun kasar
dan keras hati seseorang, pasti tidak akan tega untuk menyakitinya. Raden Bantar
Gading menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian
bangkit berdiri dan melangkah cepat meninggalkan kaputren. Permaisuri Pramita
Wardani bergegas bangkit, tapi tidak mengejar. Hanya matanya saja yang memandang
kepergian puteranya.
Tarikan napasnya berat ketika punggung Raden Bantar Gading tidak terlihat lagi.
Pada saat yang sama. Raden Sangga Alam berlari-lari dengan tangan membawa seekor
burung kenari. Dia tertegun mendapatkan Permaisuri Pramita Wardani tengah
berdiri termenung memandang pintu luar kaputren.
"Bunda..." pelan suara Raden Sangga Alam.
"Oh...!" Permaisuri Pramita Wardani terkejut.
"Maaf. Nanda mengagetkan Bunda," kata Raden
Sangga Alam. "Oh, tidak. Mana" Kau dapat burung itu?"
"Ini, Bunda. Nanda dapatkan di tembok batas kaputren,"
Raden Sangga Alam menyerahkan burung kenari itu.
"Dayang! Masukkan burung ini ke dalam sangkar,"
perintah Permaisuri Pramita Wardani begitu menerima burung yang kecil namun
bersuara merdu itu.
Seorang dayang muda menerima burung itu, dan
membawanya ke dalam sangkar burung kosong berukuran besar. Burung kenari itu
langsung berkicau setelah berada di dalam sangkar. Tampaknya memang senang
berada di dalam sangkar. Dia berlompatan dari ranting yang satu ke ranting yang
lainnya sambil memperdengarkan kicauan merdu.
Permaisuri Pramita Wardani tersenyum melihat
keceriaan burung kecil itu. Sedangkan Raden Sangga Alam mengerutkan keningnya
sedikit. Bisa dirasakan kalau senyum wanita cantik dan anggun itu amat
dipaksakan. Jelas sekali, bibir yang tersenyum itu sedikit bergetar.
"Bunda..." pelan suara Raden Sangga Alam.
Permaisuri Pramita Wardani menoleh.
"Tadi Nanda lihat, Kakang Bantar Gading ada di sini..."
kata Raden Sangga Alam terputus.
"Dia hanya ingin melihat Bunda, Anakku," sahut
Permaisuri Pramita Wardani.
"Tapi, tampaknya tergesa-gesa...?"
"Hhh...!" Permaisuri Pramita Wardani menarik napas panjang dan kembali duduk di
kursi taman kaputren.
Raden Sangga Alam duduk di depan wanita cantik nan anggun itu. Dia tidak yakin
kalau Raden Bantar Gading hanya ingin bertemu saja. Sikapnya yang tergesa-gesa
membuatnya bertanya-tanya. Dipandanginya wajah
Permaisuri Pramita Wardani dalam-dalam.
"Mengapa memandangku seperti itu, Anakku?" tegur Permaisuri Pramita Wardani.
"Bunda begitu anggun di mata Nanda. Tak ada seorang pun yang boleh menyakiti
Bunda," ujar Raden Sangga Alam, agak tertekan suaranya.
Permaisuri Pramita Wardani memandangi dayangdayang yang duduk bersimpuh di sekitarnya. Tanpa diperintah, mereka segera
memberi hormat, lalu bangkit dan pergi meninggalkan tempat itu.
"Kandamu tidak mengatakan apa-apa terhadap Bunda, Anakku. Tapi Bunda yakin ada
sesuatu yang ingin
dikatakannya," kata Permaisuri Pramita Wardani pelan.
"Tentang Ayahanda?" tebak Raden Sangga Alam
langsung. "Ah, sudahlah! Dia sudah dewasa dan bisa mengurusi dirinya sendiri."
Raden Sangga Alam mengangkat bahunya. Dia memang tidak ingin mencampuri urusan
pribadi orang. Walapun dia tahu Raden Bantar Gading suka main perempuan,
ditambah lagi Ayahnya juga punya kegemaran yang sama, tapi jika melihat
Permaisuri Pramita Wardani, hatinya jadi terenyuh.
"Bunda seharusnya bertindak. Ayahanda itu sudah
banyak mempunyai selir. Kalau hal ini tetap berlanjut, wibawanya bisa jatuh.
Bukannya mustahil para pembesar kerajaan akan membelot jika Ayahanda Prabu tidak
memberikan contoh yang baik," jelas Raden Sangga Alam.
"Apa yang bisa Bunda lakukan, Anakku?" suara
Permaisuri Pramita Wardani terdengar pasrah.
"Bicara."
"Tidak ada gunanya. Kanda Prabu sangat berkuasa.
Tidak ada seorangpun yang bisa menentang segala kata dan perbuatannya. Kau ingin
Bunda bernasib sama dengan mendiang ibumu" Tidak, Anakku. Bunda tidak ingin
meninggalkanmu bersama serigala-serigala itu. Selama aku masih hidup, tidak ada
yang bisa mencelakakanmu,"
halus, tapi terdengar tegas kata-katanya.
"Maafkan Nanda, Bunda. Bukan maksud Nanda ingin
menggurui. Tapi Nanda tidak bisa terus menerus melihat Bunda begini. Nanda hanya
ingin melihat Bunda tersenyum bahagia," kata Raden Sangga Alam.
"Bunda sudah bahagia, Anakku. Bunda selalu tersenyum bila bersamamu. Hanya kau
yang bisa membuat Bunda bahagia, Anakku."
"Hhh....kalau saja Gusti Ratu Kunti Boga tidak
tergulingkan..." desah Raden Sangga Alam bergumam lirih.
"Untuk apa kau berkata demikian?" tegur Permaisuri Pramita Wardani.
"Bunda! Apakah keadaan ini bisa berubah jika Gusti Ratu Kunti Boga keluar dari
kamar tahanan bawah tanah?"
tanya Raden Sangga Alam.
"Entahlah..." desah Permaisuri Pramita Wardani.
"Kerajaan Gantar Angin bakal runtuh kalau keadaannya seperti ini terus."
"Sudahlah, Anakku. Kau tidak perlu memikirkan
kerajaan. Aku tak mau kehilanganmu. Penderitaanku sudah cukup, dan tidak ingin
menambahnya lagi. Kau mengerti maksud Bunda, Anakku?"
Raden Sangga Alam mengangguk pelan.
"Pergilah istirahat. Kau pasti lelah."
Raden Sangga Alam membungkuk memberi hormat, lalu melangkah pergi meninggalkan
kaputren. Sementara Permaisuri Pramita Wardani tetap duduk sendiri di taman
kaputren. Dayang-dayang kembali menghampirinya setelah Raden Sangga Alam lenyap
di balik dinding taman
kaputren. *** Raden Bantar Gading melampiaskan kemarahannya
pada para pekerja di Bukit Batu. Tidak kurang dari sepuluh orang pekerja, tewas
terbabat pedangnya. Bahkan para prajurit yang mencoba untuk meredakan amarahnya,
tidak luput dari amukan. Tiga orang prajurit luka parah. Raden Bantar Gading
benar-benar marah, kecewa dan sakit hati melihat ayahnya bergumul dengan
perempuan lain.
Dia tidak akan ambil peduli jika Ayahandanya bergumul bersama selir. Tapi yang
dilihatnya bukan selir, melainkan seorang perempuan yang juga pernah tidur
bersamanya. Kemarahannya semakin memuncak ketika mendengar
semua percakapan ibunya dengan Raden Sangga Alam.
Dia memang sengaja menyelinap kembali ke kaputren begitu melihat Raden Sangga
Alam datang ke taman itu.
Hatinya benar-benar terluka melihat kepasrahan ibunya terhadap tindakan suaminya
yang sering bermain cinta dengan wanita lain. Meskipun dia sendiri juga gemar
dengan wanita-wanita cantik, tapi sulit rasanya untuk menyakiti wanita agung dan
suci seperti ibunya.
"Raden...!"
Raden Bantar Gading menoleh. Pedangnya yang sudah terangkat tinggi dan siap
untuk dibabatkan ke leher salah seorang pekerja, berhenti di atas kepalanya.
Kedua bola matanya berbinar merah melihat Patih Luminta sudah berada tidak jauh
dari situ. "Hentikan, Raden. Tidak ada gunanya membantai
mereka. Hentikan, Raden," pinta Patih Luminta seraya melangkah pelan-pelan
mendekati. Raden Bantar Gading membalikkan tubuhnya.
Pedangnya menyilang di depan dada. Kedua bola matanya tetap merah menyala
menatap tajam Patih Luminta.
"Jangan coba-coba membujukku, Paman Patih!" dengus Raden Bantar Gading.
"Percayalah, Raden. Semua akan beres tanpa harus mengumbar nafsu amarah. Kita
bisa bicarakan hal ini baik-baik," kata Patih Luminta tetap membujuk.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Paman Patih!"
"Raden..."
"Pergi! Atau pedangku yang akan mengusirmu!" bentak Raden Bantar Gading.
Patih Luminta berusaha membujuk, dan semakin dekat dengan pemuda itu. Raden
Bantar Gading menunjuk dada laki-laki setengah baya dengan ujung pedangnya.
?"Selangkah lagi kau mendekat, pedang ini akan
mengoyak jantungmu!" ancam Raden Bantar Gading.
Patih Luminta berhenti melangkah. Dipandanginya
Sumpah Palapa 30 Gento Guyon 8 Topeng Kedua Pendekar Bodoh 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama