Ceritasilat Novel Online

Lingkaran Rantai Setan 2

Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan Bagian 2


dengan orang yang sudah menewaskan empat
orang dalam waktu singkat.
"Kita membutuhkan keterangannya. Biarkan
dia hidup untuk beberapa saat saja," kata orang yang baru datang.
"Hmmrn.., baiklah."
Orang yang baru masuk tadi segera
mengangkat tubuh wanita muda yang tergeletak
pingsan, kemudian cepat sekali melompat
keluar, diikuti yang seorang lagi. Kesunyian
kembali menyelimuti seluruh rumah itu. Orang
bertopeng yang melompat belakangan, sempat
menyambar pelita dan melemparkannya ke
dalam rumah. Suara letupan kecil terdengar,
kemudian api kontan berkobar besar melahap isi
rumah itu. Lidah api terus menjilat dinding yang terbuat dari belahan papan.
"Kebakaran. .! Kebakaran. .!"
Tidak berapa lama kemudian terdengar
teriakan-teriakan ribut, kemudian terdengar
kentongan bambu dipukul bertalu-talu. Sebentar
saja di sekitar rumah itu sudah banyak orang.
Tanpa ada yang memerintah, mereka berusaha
memadamkan api yang semakin mengganas
dengan menggunakan peralatan apa saja.
Beberapa orang bersenjata golok di pinggang,
menerobos masuk ke dalam. Mereka keluar lagi
sambil membawa tubuh-tubuh tak bernyawa
lagi. *** Jauh di suatu tempat di luar perbatasan Desa
Kiting sebelah Timur, tampak dua orang
berpakaian serba gelap tengah berdiri tegak
memandangi gadis muda yang tergolek pingsan.
Kedua orang bertopeng muka babi itu saling
berpandangan. "Sebaiknya kau kembali. Jangan sampai ada
yang mencurigakan," usul salah seorang.
"Kalau ada yang menanyakanmu?"
"Bilang saja aku sedang berlatih di bukit.
Katakan, kalau itu kebiasaanku! Selalu berlatih di tengah malam buta."
"Baiklah, aku pergi dulu. Tapi jangan terlalu lama di sini. Tempatnya tidak
aman, sewaktu-waktu mereka bisa datang."
"Jangan khawatir. Justru kaulah yang harus dicemaskan."
"Sudahlah! Aku pergi dulu."
"Cepat! Sebelum ada yang menyadari."
"Baik."
Salah satu dari orang bertopeng muka babi
itu segera melesat pergi. Begitu cepatnya
melesat, sehingga dalam sekejap saja bayangan
tubuhnya telah lenyap dari pandangan. Sementara orang bertopeng yang satu lagi,
duduk bersila di samping tubuh gadis yang
belum juga sadarkan diri. Jari-jari tangan orang bertopeng itu bergerak lincah
di beberapa bagian tubuh gadis itu, kemudian ditunggunya dengan
sabar sambil berdiam diri.
Tidak lama berselang, gadis itu mulai siuman.
Dia merintih lirih. Kepalanya bergerak menggeleng kanan dan ke kiri. Pelahan-lahan
sekali dibuka kelopak matanya. Gadis itu kontan menjerit begitu melihat wajah
persis seekor babi berada
di dekatnya. Dia berusaha menggelinjang, tapi seluruh tubuhnya sukar
digerakkan. "Jangan takut! Aku tidak akan melukaimu
kalau kau bersedia menjawab terus terang
beberapa pertanyaanku," tegas orang bertopeng muka babi itu.
"Siapa kau?" agak bergetar suara gadis yang ternyata adalah Parti, putri sulung
Dalaga. "Sebut saja aku sesuka hatimu. Aku tidak
punya nama," sahut orang bertopeng itu.
"Kau.... Kau yang membunuh keluargaku!
Kau kejam...! Pembunuh...!" Parti berusaha melepaskan totokan orang itu, tapi
sungguh kuat totokan itu.
Parti memang pernah belajar ilmu olah
kanuragan dari ayahnya. Meskipun tidak begitu
tinggi, tapi pengerahan hawa murni dan tenaga
dalam terus dilatihnya setiap hari.
"Makilah sepuasmu, Manis. Toh sebentar lagi kau akan menyusul yang lain ke
neraka," ujar orang bertopeng itu kalem.
Parti terdiam membisu. Bola matanya
menatap tajam, lurus ke bola mata yang cukup
tersembunyi di balik topeng bermuka babi itu.
Pelahan-lahan rasa takutnya mulai hilang.
Timbul kebencian dan dendam karena mengenali orang bertopeng inilah yang membunuh ayahnya. Bahkan malam tadi baru
menewaskan semua adik dan ibunya.
"Apa yang kau ingin ketahui dariku?" tanya Parfi mencoba mengalah.
Disadari kalau kondisinya saat ini tidak memungkinkan untuk
berdebat dan berkeras kepala.
"Katakan, di mana Jruda berada?" tanya orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu," sahut Parfi.
"Jangan coba-coba berdusta! Aku tahu kau
ponakan Jruda. Di mana dia sekarang"!" bentak orang itu mulai gusar.
"Aku tidak tahu!" sahut Parti.
"Rupanya kau keras kepala juga, Manis.
Baiklah. Mungkin bisa mengaku dengan caraku
ini." "Heh.. ! Apa yang kau lakukan"!"
Bret! "Au...!" Parti terpekik kaget
Kasar sekali orang bertopeng itu merenggut
baju bagian dada Parti, sehingga koyak. Dada
yang membusung indah itu terbuka lebar tanpa
penutup lagi. Wajah gadis itu jadi pucat pasi. Dia berusaha melepaskan totokan
di tubuhnya. Tapi,
tetap saja tidak berhasil meskipun sudah
mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya.
Dengan tenaga dalam pun tidak kunjung
berhasil juga. "Jangan.. !" pekik Parti.
"Katakan, di mana pamanmu berada?" dingin nada suara orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu.. . Aku mohon, lepaskan
aku...," Parti mulai merintih memohon belas kasihan.
Bret! "Auwh...!" kembali Parfi memekik tertahan.
Tubuh gadis itu semakin lebar terbuka. Air
mata mulai berlinang membasahi pipinya yang
ranum. Hampir seluruh tubuh Parti terbuka,
sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya
yang indah terbungkus kulit putih mulus tanpa
cacat. Hanya bagian pinggul ke bawah saja yang
masih tertutup. Tapi sepasang paha yang gempal
sudah mencuat keluar.
"Aku tidak main-main, Manis. Tubuhmu
menggairahkan sekali.
Katakan, di mana pamanmu sekarang berada!"
"Tidak. ., jangan lakukan itu.. ," rintih Parti, semakin deras air matanya
mengalir. Jari-jari tangan orang bertopeng itu mulai
bermain-main di tubuh yang berkulit putih
mulus itu. Sementara Parti merintih memohon
belas kasihan. Tapi rintihannya malah membuat
orang bertopeng itu semakin liar. Direnggutnya
kain yang menutupi bagian pinggul ke bawah.
Kembali Parti memekik dan menangis, merintih
memohon agar orang itu melepaskannya.
"Ah...," orang itu mendesah.
Tampak bola mata yang terlindung di balik
topeng itu berkilat menjilati tubuh yang terbuka tanpa penutup lagi. Tangannya
semakin liar merayapi lekuk-lekuk tubuh yang menggiurkan
itu. Parti memejamkan matanya ketika jari
tangan orang itu menyentuh bagian paling
berharga pada tubuhnya.
"Jangan lakukan itu... Aku mohon jangan,"
rintih Parti. "Terlambat Manis," desah orang itu.
Keputusasaan sudah menghinggapi hati
gadis yang sudah tidak berdaya lagi itu.
Tubuhnya tertotok, sukar untuk digerakkan.
Sedangkan orang bertopeng itu semakin liar saja menggerayanginya. Air mata
semakin deras mengalir. Dan Parti tidak sanggup lagi
membuka matanya, seakan-akan sudah pasrah
dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Akh...!" tiba-tiba saja orang bertopeng itu memekik keras tertahan.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu
tubuh orang bertopeng itu terpental, langsung
menghantam sebatang pohon hingga tumbang.
Parti membuka matanya, dan langsung mendelik begitu melihat seorang pemuda
berbaju kulit harimau tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya. Pemuda itu memungut
kain yang teronggok di tanah, lalu menutupi tubuh gadis
itu. Dibukanya totokan jalan darah di tubuh
Parti, sehingga gadis itu bisa bergerak kembali.
Bergegas Parfi bangkit, dan cepat melilitkan kain itu ke tubuhnya.
Sementara itu orang bertopeng muka babi
segera melompat bangkit berdiri. Dia menggeram keras. Sepasang bola matanya
memerah menatap tajam pemuda berbaju kulit
harimau itu. "Iblis keparat. !" geram orang bertopeng itu.
"Kurasa kaulah iblis itu," dingin nada suara pemuda berbaju kulit harimau.
"Phuih! Mampus kau! Hiyaaat. !"
Pemuda berbaju kulit harimau yang memang
adalah Pendekar Pulau Neraka itu menggeser
kakinya sedikit ke samping begitu orang
bertopeng itu melompat menerjang. Dan saat
pukulan orang bertopeng muka babi luput,
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangannya
ke depan, langsung menghantam perut lawannya dengan keras.
"Hugh!"
orang itu mengeluh pendek. Tubuhnya sedikit membungkuk.
Selagi tubuhnya terbungkuk, Pendekar Pulau
Neraka melayangkan satu pukulan ke wajahnya.
Orang bertopeng muka babi itu memekik
tertahan. Kepalanya terdongak ke atas. Topengnya pun terlepas, mental ke udara.
"Keparat kau, Bayu!" geram orang itu.
Dan selagi Pendekar Pulau Neraka agak
terpana, orang itu melesat cepat melarikan diri.
Memang, tidak sempat lagi untuk dikejar, karena bayangan orang itu lenyap
seketika. Bayu memungut topeng muka babi yang tergeletak di
tanah. Sebentar dipandangi benda yang selama
ini menjadi momok menakutkan seluruh
penduduk Desa Kiting. Bayu membalikkan
tubuhnya, menghadap Parti yang berdiri saja
dengan tubuh yany sudah terbungkus selembar
kain. "Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu seraya melangkah mendekati gadis itu.
"Tidak. Tidak apa-apa, terima kasih," sahut Parti.
"Aku Bayu," Pendekar

Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pulau Neraka memperkenalkan diri.
"Parti," gadis itu juga memperkenalkan diri.
"Sebaiknya kau cepat pulang. Di mana
rumahmu" Mari kuantar kau pulang," kata Bayu lagi.
"Aku dari Desa Kiting. Rasanya tidak jauh
dari sini."
"Aku tahu desa itu."
Parti mengayunkan kakinya pelahan-lahan.
Dan Pendekar Pulau Neraka juga berjalan di
samping gadis itu. Tangannya menenteng
topeng berbentuk wajah babi berwarna biru tua,
hampir kehitaman. Mereka berjalan tanpa
berkata-kata lagi. Terlebih lagi Parti. Gadis itu masih dihinggapi berbagai
macam perasaan setelah terlepas dari cengkeraman orang
bertopeng muka babi. Sedangkan Bayu sendiri
belum ingin banyak tanya. Bisa dipahami
kebisuan gadis di sebelahnya.
*** Bayu melemparkan topeng berbentuk muka
babi ke depan Jruda. Laki-laki berbaju putih
yang sudah kumal itu terkejut. Dipungutnya
topeng itu, lalu dipandanginya beberapa saat
Kemudian diangkat kepalanya, langsung menatap Pendekar Pulau Neraka yang berdiri
saja di depannya.
"Dari mana kau dapatkan ini, Bayu?" tanya Jruda.
"Yang punya," sahut Bayu kalem.
"Kau bertemu si topeng keparat itu.. "!" Jruda terhenyak setengah tidak percaya.
"Ya, Tapi dia sempat kabur. Hanya benda ini yang tertinggal," sahut Baya
"Bayu, kau lihat wajahnya?" tanya Jruda lagi.
Bayu hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Malam itu memang gelap sekali.
Apalagi orang bertopeng itu sangat cepat
gerakannya. Sukar untuk melihat wajah orang
itu yang sesungguhnya.
Jruda juga terdiam. Entah apa yang ada
dalam pikirannya saat ini. Kembali dipandangi
topeng berbentuk muka babi di tangannya.
Manusia bertopeng inilah yang membuat petaka
bagi seluruh penduduk Desa Kiting. Terutama
pada keluarga dan sanak saudaranya. Entah
sudah berapa nyawa melayang. Jruda mengangkat kepalanya menatap Pendekar Pulau
Neraka. Sejak pertemuan pertama kali, mereka
memang selalu berhubungan. Terlebih lagi saat
ini, Bayu memang diminta Eyang Paladi untuk
menangkap manusia bertopeng yang telah
menjadikan Desa Kiting bagai neraka. Sedangkan Jruda sendiri sudah menceritakan
semuanya. "Bayu! Kau diminta Eyang Paladi untuk
mencari manusia bertopeng muka babi ini.
Tentunya Eyang Paladi memerintahkanmu
untuk menangkapku...," kata Jruda pelan
suaranya. 'Tidak. Sedikit pun Eyang Paladi tidak
menyebut-nyebut namamu," sahut Bayu.
"Lucu...!"
"Kenapa?"
"Justru Eyang Paladi yang mencurigaiku.
Bahkan juga mengusirku dari Desa kiting.
Memang tidak secara kasar, tapi sudah
membuatku sakit."
"Kulihat Eyang Paladi adalah orang yang
bijaksana. Aku yakin dia punya maksud
tersendiri, sehingga memintamu meninggalkan
desa itu untuk sementara," Bayu mencoba
menengahi. "Aku kenal Eyang Paladi sejak aku masih
kecil dulu. Puluhan tahun aku mengenalnya.
Sedangkan kau baru beberapa hari saja. Aku
tahu persis siapa dia, Bayu. .," ada sedikit tekanan pada nada suara Jruda.
Bayu mengerutkan keningnya. Dirasakan
tekanan suara Jruda tadi bernada kecewa. Ada
sesuatu yang tertahan di dalam hatinya. Dan
Pendekar Pulau Neraka bisa merasakannya,
walaupun belum tahu maknanya. Yang jelas,
Bayu merasakan peristiwa yang terjadi di Desa
Kiting ini bagai lingkaran rantai setan. Saling berkait, dan tidak mudah
dipisah-pisahkan.
Sukar dicari penyelesaiannya.
Saat Pendekar Pulau Neraka disibukkan oleh
pikirannya, Jruda mengeluarkan sebuah rantai
berwarna merah menyala. Rantai itu saling
bertaut, sehingga membentuk lingkaran yang
menyatu. Cincin-cincin rantai itu berjumlah
sepuluh buah. Jruda meletakkan rantai itu di
tanah, tepat di depan Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat itu selalu meninggalkan benda ini pada korban-korbannya," kata Jruda.
Bayu hanya melirik sedikit pada benda yang
pernah dilihatnya dari Eyang Paladi. Laki-laki
tua pemimpin Padepokan Mega Kiting juga
menyimpannya. Bahkan sudah menceritakan hal
itu dengan jelas kepada Pendekar Pulau Neraka.
"Berhari-hari aku mencoba memecahkan arti
rantai itu," sambung Jruda lagi.
"Sudah diperoleh pemecahannya?" tanya Bayu ingin tahu.
"Belum," sahut Jruda.
"O..."
'Tapi aku sedikit memahami maksudnya."
"Apa?"
"Jumlah rantai yang sepuluh. Itu pertanda
jumlah keluargaku. Sampai sekarang ini sudah
tujuh orang yang tewas. Dan yang telah
kudengar, dua orang sudah meninggalkan Desa
Kiting. Aku sendiri tidak tahu kapan dan ke
mana perginya. Yang kuketahui, mereka pergi
waktu malam," jelas Jruda.
"Sepuluh.... Tujuh tewas, dua pergi.. ,"
gumam Bayu pelan. "Itu berarti tinggal kau sendiri yang masih ada di sekitar
desa ini, "sambung Bayu.
"Benar," sahut Jruda.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya
"Semua korban adalah sanak saudaraku,
Bayu. Memang ada beberapa penduduk dan
murid Padepokan Mega Kiting yang menjadi
korban. Tapi itu bukan tujuannya karena
beberapa penduduk dan murid Padepokan
Mega Kiting memergoki dan berusaha menangkapnya. Yang sebenarnya diincar orang
bertopeng muka babi itu hanyalah keluarga dan
sanak saudaraku. Hhh. .! Aku sendiri masih
belum mengerti, untuk apa dia membantai habis
semua saudaraku.. ?" ada sedikit keluhan pada nada suara Jruda.
Bayu terdiam. Keluhan Jruda membuat
benaknya bekerja keras. Memang satu hal yang
tidak mungkin, jika seseorang membunuh tanpa
alasan yang jelas. Bayu jadi teringat gadis yang ditolongnya dari cengkeraman
napsu iblis orang
misterius itu. Tidak banyak yang diceritakan
gadis itu, dan nampaknya Parti tidak tahu
banyak tentang peristiwa yang sedang terjadi di Desa Kiting. Tapi gadis itu
sempat mengatakan
kalau semua keluarganya tewas. Sedangkan
masih ada satu yang hidup, tapi entah di mana.
"Jruda, apakah ada keluargamu yang
bernama Parti?" tanya Bayu.
"Oh! Di mana kau bertemu dengannya?"
Jruda tersentak kaget.
"Semalam, di hutan di kaki bukit ini. Dia
nyaris diperkosa. Ibu dan adik-adiknya tewas
semalam.' "Biadab keparat.. !" desis Jruda menggeram.
"Dia sudah tenang di rumahnya. Ada Eyang
Paladi yang menjaga," lanjut Bayu.
"Aku harus menemuinya. Hanya dia yang
masih bisa selamat. Keluargaku tidak boleh
musnah. Harus ada yang hidup!" tegas kata-kata Jruda.
"Bagaimana kau akan menemuinya" Kau
sendiri mengatakan kalau tidak akan kembali
lagi ke desa itu sebelum orang bertopeng muka
babi itu lenyap."
"Bayu! Bisakah kau membawa Parti ke sini"
Aku mohon, Bayu. Bukannya takut tapi aku
masih menghormati Eyang Paladi. Aku tidak
ingin kembali sebelum manusia keparat itu
lenyap dari muka bumi."
'Tidak terlalu sulit."
"Terima kasih, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum saja.
*** 6 Malam telah demikian larut. Sengaja Bayu
berada di rumah Parti. Gadis itu tampak lelap
tertidur di pembaringan. Bayu keluar dari kamar itu, dan langsung menuju ke
belakang. Bagaikan
seekor burung, Pendekar Pulau Neraka itu
melesat naik ke atas atap. Dan pada saat itu,
terlihat dua bayangan berkelebat masuk ke
dalam rumah. "Aaa...!" tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam rumah.
"Hup!" Bayu langsung melompat turun.
Tepat ketika kakinya menjejak tanah, sebuah
bayangan gelap berkelebat menerjangnya. Pendekar Pulau Neraka itu membanting tubuh
ke tanah, lalu dengan cepat melompat masuk
menerjang jendela. Tampak di dalam kamar,
Parti tengah berusaha memberontak dari seretan
seseorang yang berbaju gelap dan seluruh kepala tertutup kain hitam.
"Hiaaat. .!"
Bayu kontan melompat, dan menghantamkan
tendangan ke punggung orang itu. Orang
berbaju gelap itu terjungkal keras menabrak
dinding hingga jebol. Cekalannya pada tangan
Parti terlepas. Bayu bergegas membangunkan
gadis yang telah menangis sesenggukan.
"Kau diam di sini, jangan ke mana-mana,"
kata Bayu memperingatkan.
Parti hanya mengangguk saja.
"Hup!"
Bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka itu
melesat keluar. Tapi belum juga kakinya
menjejak tanah, sudah disambut oleh dua orang
berpakaian gelap. Jelas terlihat yang seorang
mengenakan topeng berbentuk wajah babi.
Sedangkan seorang lagi hanya mengenakan
selubung kain berwarna biru gelap. Bayu
melentingkan tubuhnya ke atas, melewati dua
kepala itu. Dengan manis kakinya mendarat di
tanah. Langsung diputar tubuhnya sambil
dilayangkan satu tendangan berputar menyamping. Dug! Bug! Dua tubuh hitam berwajah tidak jelas,
terpental tersapu tendangan yang keras bertenaga dalam tinggi. Pekikan-pekikan
tertahan terdengar. Dua orang itu jatuh
bergelimpangan di tanah. Bayu kembali

Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat dan segera mengirimkan beberapa
pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi.
Bahkan bisa dikatakan mencapai taraf kesempurnaan. Tapi dua orang bertopeng itu
masih mampu berkelit cepat.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah, hingga terbongkar membentuk lubang yang cukup dalam dan
besar. Pendekar Pulau Neraka segera berbalik.
Dimiringkan tubuhnya sedikit agak membungkuk, lalu dengan cepat
tangan kanannya dikebutkan.
"Hiyaaa.. !"
Wut! Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Cahaya keperakan yang berasal dari senjata
Cakra Maut itu segera melesat cepat bagai kilat menyambar tubuh orang yang
mengenakan selubung kain. "Awas.. !" terdengar seruan peringatan.
"Hap...!"
Orang berselubung kain itu cepat membanting diri ke tanah, tapi ujung Cakra
Maut masih sempat merobek bahu kanannya.
Terdengar pekikan tertahan, dan orang itu
bergelimpangan, kemudian cepat-cepat bangkit
berdiri. Sedangkan yang seorang lagi melompat
cepat, menyambar tubuh temannya. Seperti kilat, mereka melesat kabur demikian
cepat. Bayu tidak sempat lagi mengejar. Dihentakkan tangan
kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan kanannya.
Bayu bergegas masuk ke dalam rumah,
langsung menuju kamar Parti. Gadis itu masih
menangis, duduk di tepi pembaringan. Pendekar
berbaju kulit harimau itu menghampiri dan
duduk di samping gadis itu. Direngkuhnya bahu
Parti dan dibiarkan gadis itu menangis dalam
pelukannya. "Mereka sudah pergi. Kau tidak apa-apa,
Parti?" lembut suara Bayu.
Parti masih sulit menjawab, tapi kepalanya
mengangguk. Diangkat wajahnya dan ditatapnya pemuda yang masih merengkuhnya
dalam pelukan. Pelahan gadis itu melepaskan
pelukan Bayu, dan menyusut air mata dengan
ujung bajunya. "Mereka pasti datang lagi, Kakang," ujar Parti di sela isak tangisnya.
"Bukan malam ini," sahut Bayu.
"Kakang...," terputus suara gadis itu.
"Apa yang ingin kau katakan" Katakanlah,"
pinta Bayu tetap lembut suaranya.
"Jangan tinggalkan aku, Kakang. Aku takut
sendirian."
"Kau tidak sendirian, karena masih ada
pamanmu. Dia menunggumu, Parti," jelas Bayu.
"Paman Jruda.. ?" tebak Parti langsung.
"Benar."
"Paman Jruda masih hidup?" 'Tentu saja."
"Oh..., di mana sekarang?"
Kesedihan Parti langsung hilang seketika itu
juga. Seberkas cahaya harapan muncul dalam
sinar matanya, kala mendengar pamannya masih
hidup. Semula disangka kalau tinggal dirinya
yang tersisa. Semua sanak saudaranya sudah
tewas terbantai dua orang bertopeng muka babi.
Parti benar-benar gembira saat ini.
"Berkemaslah. Sekarang juga kau akan
kubawa ke sana," kata Bayu seraya bangkit
berdiri. "Baik, sebentar."
Gadis itu bergegas membereskan beberapa
potong pakaian, kemudian membungkusnya
dengan selembar kain yang sudah lusuh,
sehingga bisa dijinjing. Tidak seberapa berat.
Hanya buntalan baju saja yang dapat dibawa,
ditambah sedikit bekal peninggalan orang
tuanya. Bayu melangkah keluar, diikuti gadis
itu. "Maaf, aku harus menggendongmu," kata Bayu setelah berada di depan pintu rumah
ini. "Eh!" Parti terkejut.
Tapi belum sempat gadis itu berkata sesuatu,
Pendekar Pulau Neraka sudah menyambar
tubuhnya, langsung melesat cepat menembus
kegelapan malam. Sekejap saja bayangan tubuh
mereka lenyap tanpa bekas.
*** Suara ketukan pintu terdengar berulangulang. Eyang Paladi menunggu di depan pintu
yang tertutup rapat. Kembali tangannya
mengetuk pintu. Tidak lama kemudian terdengar ayunan kaki terseret mendekati pintu, maka pintu itu pun terbuka. Dari
dalam muncul seraut wajah cantik berambut panjang terkepang
me-nyampir ke bahu. Gadis itu membuka pintu
lebar-lebar. "Kenapa kakakmu, Rawuni?" tanya Eyang Paladi begitu melihat luka di bahu
Pramana. "Oh..., eh," Rawuni tergagap.
"Jatuh dari kuda, Eyang," buru-buru Pramana menjawab.
"Hm...," gumam Eyang Paladi tidak jelas.
Laki-laki tua berjubah putih itu melangkah
masuk, seraya memandang jendela yang terbuka
lebar. Kemudian ditatapnya wajah kedua
cucunya. Tampak Rawuni hanya menundukkan
kepala saja. Sedangkan Pramana terus memegangi bahunya yang masih mengucurkan
darah. Eyang Paladi menghampiri Pramana, dan
melihat luka di bahu pemuda itu. Dua kali
diberikan totokan, maka darah berhenti mengalir seketika.
"Sejak tadi aku di luar rumah, tapi tidak
melihat kau berkuda. Malam-malam begini mau
apa berkuda?" nada suara Eyang Paladi
terdengar curiga.
Pramana hanya diam saja. Tatapannya tertuju
pada adiknya yang juga diam agak tertunduk.
Rawuni bergegas melangkah menghampiri
jendela untuk menutup jendela itu. Tapi Eyang
Paladi lebih dulu mencegahnya. Laki-laki tua itu melangkah menghampiri jendela
yang masih terbuka. Sebentar dia memandang keluar.
Sedangkan kakak beradik itu saling berpandangan dengan bibir terkunci rapat.
"Apa yang terjadi padamu, Pramana?" tanya Eyang Paladi seraya membalikkan
tubuhnya. Pramana diam saja, tidak menjawab sedikit
pun. "Aku tahu kau tidak mungkin jatuh dari
kuda, dari dulu kau pandai berkuda. Kenapa
bahumu?" desak Eyang Paladi lagi.
'Tidak apa-apa, Eyang," sahut Pramana
berusaha tenang.
"Kau bertarung?" desak Eyang Paladi.
'Tidak," sahut Pramana lagi.
'Puluhan tahun aku berkecimpung di dalam
dunia persilatan, jadi aku tahu betul macammacam luka. Tidak ada gunanya berbohong
padaku, Pramana. Kau bertarung?" desak Eyang Paladi tetap tidak percaya jawaban
cucunya. "Hanya latihan denganku tadi, Eyang,"
celetuk Rawuni cepat-cepat.
"Hm...," Eyang Paladi menatap tajam pada Rawuni
Sedangkan Rawuni buru-buru menunduk
Rasanya tidak sanggup balas menatap laki-laki
tua itu. Dari sikap kedua cucunya, Eyang Paladi sudah bisa meraba kalau mereka
menyimpan sesuatu. Dan luka di bahu Pramana sudah jelas
akibat tergores senjata tajam. Meskipun tidak
begitu dalam, tapi cukup membuatnya beristirahat selama dua hari.
"Kalian menyembunyikan sesuatu dariku.. !"
desis Eyang Paladi dingin.
" Pramana dan Rawuni hanya diam saja.
Mereka saling berpandangan beberapa saat.
Sementara Eyang Paladi menatap tajam ke arah
mereka secara bergantian. Dia begitu yakin kalau kedua cucunya menyembunyikan
sesuatu. Entah apa yang disembunyikan. Yang jelas, di bahu
yang terluka itu sudah menunjukkan kalau
kedua cucunya mempunyai persoalan.
"Baiklah. Jika tidak berterus terang, kalian akan kukirim kembali pada pamanmu,"
tegas Eyang Paladi. "Aku paling tidak suka pada
orang yang menyimpan rahasia di depanku."
Setelah berkata demikian, Eyang Paladi
langsung melangkah keluar. Laki-laki tua itu
menutup kembali pintu kamar ini. Sedangkan
Rawuni dan Pramana hanya saling tatap saja
tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Eyang kelihatan marah sekali, kakang," ujar Rawuni pelarian. Hampir tidak
terdengar suaranya. "Kau akan mengatakan padanya, Rawuni?"
agak kurang senang nada suara Pramana.
"Sebaiknya memang berterus terang saja,
Kakang," kata Rawuni tetap pelan.
'Tidak!" sentak Pramana tegas.
'Tapi.. , Eyang Paladi pasti mengirim utusan
ke Paman Darwala. Masalahnya, suatu saat pasti
Eyang Paladi akan tahu juga."
'Tidak akan terjadi, Rawuni. Tidak ada
utusan yang akan sampai ke sana. Percayalah
padaku! Tidak ada yang dapat mengetahui
semua ini, termasuk Eyang Paladi."
"Kakang...," agak bergetar suara Rawuni.
"Jangan gentar, Rawuni. Semua yang kita
lakukan karena hak leluhur kita yang terinjakinjak. Ingat, Rawuni! Kita berdua sudah
bersumpah di depan pusara Ayah. Apa pun
yang terjadi, harus.. ."
"Kakang...," potong Rawuni cepat.
Pramana langsung diam. Pada saat itu,
terdengar suara halus di atas atap kamar ini.
Kedua kakak beradik itu terdiam karena
mendengar suara langkah kaki yang begitu halus
berjalan di atap. Dengan tatapan mata, mereka
mengikuti suara langkah itu. Pramana menatap
Rawuni ketika tidak lagi mendengar suara itu.
Tepat berhenti di tengah-tengah atap kamar ini.
Pramana memberi isyarat
dengan jari telunjuknya. Rawuni mengangguk mengerti.
Seketika itu juga, dia melesat keluar melalui
jendela kamar yang masih terbuka lebar.
Pramana cepat melompat begitu Rawuni sudah
berada di luar. Mereka langsung melesat ke atas atap.


Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa kau...!" bentak Rawuni keras, begitu kakinya menjejak atap.
Seseorang yang tubuhnya merapat di atap,
terkejut setengah mati. Dia langsung menggelinjang, melompat bangkit. Tapi belum
juga kakinya menjejak atap, Pramana sudah
menerjang dari arah samping. Orang itu tidak
sempat lagi untuk mengelak. Dihentakkan kedua
tangannya ke samping, dan membentur,,
tendangan Pramana yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Dug! "Akh...!" orang itu terpekik tertahan Seketika itu juga tubuhnya terpental jatuh
ke bawah. Rawuni dan Pramana bergegas meluruk turun
mengejar. Tapi orang itu lebih cepat lagi melesat kabur. Kedua anak muda cucu
Eyang Paladi itu
berusaha melompat mengejar. Tapi belum juga
bertindak, tiba-tiba.. .
"Awas.. !" seru Rawuni keras.
Orang itu berbalik cepat. Seketika dari tangan
yang terkebut meluncur beberapa benda kecil
memancarkan cahaya kemerahan. Benda-benda
kecil bulat itu meluruk deras ke arah dua orang itu. Rawuni dan Pramana dibuat
jumpalitan menghindari terjangan benda-benda bulat berwarna merah itu. Pada saat mereka tengah
kewalahan, orang yang mengenakan baju warna
merah muda itu melesat cepat melompati pagar
kayu yang tinggi dan kokoh, langsung lenyap
ditelan gelap. "Phuih!" Pramana menyemburkan ludahnya kesal.
Rawuni menghampiri kakaknya, menatap
pemuda itu dalam-dalam. Pramana membalas
tatapan adiknya.
"Sudah ada yang tahu, Kakang," kata Rawuni pelan.
"Huh!" Pramana hanya mendengus saja,
kemudian berbalik. Dia melompat masuk ke
dalam kanun nya melalui jendela.
Rawuni masih berdiri beberapa saat memandang ke arah kepergian orang yang
menghilang tanpa diketahui jejaknya. Gadis itu
kemudian melompat masuk melalui jendela
kamar kakaknya. Sesaat kemudian , suasana jadi
sunyi sepi, tak terdengar suara sedikit pun.
Tampak dari balik pagar kayu yang bagian
ujung atasnya runcing, menyembul sebuah
kepala. Seraut wajah yang masih muda dengan
bibir menyunggingkan senyuman tipis, menatap
langsung ke arah jendela kamar yang terlihat
terang terbuka.
*** Pramana memacu kudanya cepat. Kuda
hitam tinggi tegap itu beriari bagai dikejar setan.
Debu mengepul membumbung tinggi ke udara,
tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu berkecepatan tinggi. Pandangan pemuda itu
tidak lepas ke arah seekor kuda yang juga
dipacu cepat di depannya.
"Hoi.. , tunggu.. !" seru Pramana keras.
Tampak penunggang kuda di depan itu
menoleh. Segera ditarik tali kekang kudanya,
hingga berhenti seketika Pramana menghampiri,
dan menghadang di depan. Kuda hitamnya
mendengus-dengus kelelahan.
"Oh, Den Pramana. Ada apa Raden
menghalangi jalanku?" tegur laki-laki muda salah seorang murid utama Eyang
Paladi di Padepokan Mega Kiting.
"Kau akan ke Gunung Damalaya?" tanya
Pramana langsung.
"Benar, Raden. Eyang Paladi yang memerintahkan," sahut orang itu.
"Untuk apa?" 'Tidak tahu, Raden. Eyang Paladi hanya menitipkan surat Katanya,
harus disampaikan segera dan ditunggu jawabannya."
"Coba kulihat suratnya."
"Oh! Maaf, Raden. . "
"Berikan surat itu!" bentak Pramana.
Murid Padepokan Mega Kiting itu jadi
kebingungan, sebab dia sudah dipesan untuk
tidak memberikan surat ini pada orang lain,
kecuali pada Paman Darwala, ketua padepokan
di Gunung Damalaya. Melihat utusan itu seperti
tidak bersedia memberikan surat Eyang Paladi,
Pramana semakin gusar.
"Aku bisa main kasar, tahu!" ancam Pramana.
"Maaf, Raden. Aku tidak bisa memberikan
surat ini pada siapa pun."
"Setan.. !" geram Pramana: Seketika itu juga Pramana mencabut pedangnya. Bagai
kilat, dikibaskan pedang itu ke arah leher urusan
murid Padepokan Mega Kiting. Tapi yang
dihadapi adalah murid utama pilihan Eyang
Paladi. Dengan manis sekali ditarik kepalanya ke belakang, sehingga tebasan
pedang Pramana luput dari sasaran. Namun pemuda itu sudah
kembali mengibaskan pedangnya, kali ini
menebas leher kuda utusan itu hingga bunting
seketika. "Hup!"
Utusan itu melompat
begitu kudanya menggelepar rubuh dengan kepala buntung.
Pramana juga bergegas melompat, kembali
menyerang mempergunakan jurus-jurus pedang
yang sangat dahsyat.
Utusan itu tampak ragu-ragu menghadapinya. Dia hanya berlompatan dan
berkelit menghindari setiap serangan yang
datang. Tapi menghadapi kenyataan bahwa
serangan itu tidak main-main, utusan itu jadi
geram juga. "Raden, hentikan. .!" seru utusan itu mencoba menyadarkan Pramana.
"Kau tinggal pilih, surat itu atau nyawamu!"
dengus Pramana.
"Uts!"
Utusan itu merundukkan kepalanya ketika
pedang Pramana berkelebat menyambar ke arah
kepalanya. Tapi belum juga dapat mengangkat
kepalanya kembali, mendadak saja saru tendangan keras menghantam dadanya. Murid
utama Padepokan Mega Kiting itu mengeluh
pendek. Tubuhnya terjejer ke belakang beberapa
langkah. Maka Pramana tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Selagi utusan itu limbung,
dengan cepat dihunjamkan pedangnya ke dada.
Dan .. . "Aaakh...!" utusan itu menjerit melengking tinggi.
"Hih!"
Pramana mencabut pedangnya yang terbenam di dada murid Padepokan Mega Kiting
itu. Lalu dengan keras dilontarkan satu pukulan bertenaga
dalam tinggi ke dada yang mengucurkan darah segar.
Bruk! Tak pelak lagi, utusan itu ambruk ke tanah
keras sekali. Sebentar dia menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi.
Pramana memasukkan
pedangnya kembali ke dalam sarungnya di
pinggang. Seketika digeledah tubuh orang itu,
lalu ditemukanlah gulungan daun lontar terikat
pita biru muda. Cepat-cepat Pramana melompat
ke punggung kudanya lalu digebahnya kuatkuat. Kuda hitam itu meringkik keras sambil
mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Seketika itu juga binatang itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari
busurnya. Kuda hitam itu
beriari cepat membawa Pramana di punggungnya, meninggalkan mayat seekor kuda
dan seorang murid utama Padepokan Mega
Kiting. *** "Kakang, dipanggil Eyang Paladi!" ujar Rawuni seraya menyembulkan kepalanya dari
pintu kamar kakaknya.
Pramana yang tengah membaca surat pada
daun lontar, menoleh memandang adiknya.
Buru-buru dlli pat surat itu dan disimpannya di balik lipatan baju. Pemuda itu
melompat turun dari pembaringan, dan melangkah menghampiri
Rawuni. Dibukanya pintu lebar-lebar. Lalu
keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Rawuni
mengikutinya. Gadis itu sempat menutup
kembali pintu kamar kakaknya.
"Ada apa Eyang memanggilku?" tanya
Pramana terus saja melangkah di samping
adiknya. "Tidak tahu. Eyang menunggu di bangsal
latihan," sahut Rawuni.
Pramana tidak bertanya lagi. Mereka segera
menuju bangsal latihan yang ada di samping
bangunan utama Padepokan Mega Kiting.
Mereka melihat Eyang Paladi duduk bersila
beralaskan permadani tebal yang lembut
berwarna biru muda. Eyang Paladi memberi
isyarat pada kedua cucunya untuk duduk.
Mereka mengambil tempat di depan laki-laki tua
itu, duduk bersila di lantai.
'Pramana, kau tahu kenapa dipanggil ke
sini?" tanya Eyang Paladi langsung pada pokok persoalannya.
Pramana hanya menggelengkan kepalanya
saja."Seorang murid utamaku tewas terbunuh di perbatasan. Padahal dia kuberi
tugas penting, dan tidak ada seorang pun yang tahu," kata Eyang Paladi disertai tatapan mata
tajam menusuk langsung kepada Pramana. Sedangkan
yang ditatap hanya menunduk saja. Demikian
pula dengan Rawuni.
"Aku pernah mengatakan sesuatu pada
kalian, dan ini ada hubungannya dengan tugas
muridku," lanjut Eyang Paladi.
"Eyang mencurigai kami.. ?" Pramana mengangkat kepalanya.
"Aku tidak berkata begitu, Pramana. Kau
tahu, apa yang kutugaskan pada muridku?"
Pramana menggelengkan kepalanya.
"Rawuni?"
"Tidak," sahut Rawuni seraya menggeleng.
"Ada sesuatu yang hilang darinya, dan itu
sangat penting bagiku. Hmmm..., sudahlah. Itu
urusanku," kata Eyang Paladi.
Pramana dan Rawuni saling berpandangan.
"Pergilah, kembali ke kamarmu," kata Eyang Paladi.


Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pramana dan Rawuni bangkit berdiri, dan
sama-sama menjura sedikit memberi hormat.
Mereka lalu berbalik dan berjalan keluar. Setelah kedua orang itu meninggalkan
bangsal latihan
ini, dari pintu lain muncul seorang pemuda
tampan berbaju kulit harimau. Eyang Paladi
memberi isyarat agar duduk. Pemuda itu duduk
bersila di depan laki-laki tua itu.
"Aku belum bisa menemukan jawaban
kecurigaanmu, Bayu. Mereka cucu-cucuku yang
baik, penurut, dan tidak pemah membantah
perintah orang tua. Sukar bagiku untuk
mempercayai kalau mereka adalah manusia-manusia bertopeng muka babi itu," kata Eyang Paladi pelan.
"Aku belum menuduh mereka, Eyang. Hanya
curiga saja," ujar Bayu.
"Kau punya bukti?"
"Sedikit. Aku lihat Pramana membunuh salah seorang muridmu di perbatasan. Itu
sebabnya aku ke sini." "
"Kau tidak salah, Bayu?"
"Semalam Jruda mendengar mereka merencanakan sesuatu di dalam kamarnya.
Mereka mengetahui, tapi untungnya Jruda bisa
menghindar."
"Jruda..."!" Eyang Paladi nampak terkejut.
"Benar. Bahkan kini Parti bersamanya. Maaf, kalau selama ini tidak pernah
kuceritakan tentang mereka," ucap Bayu.
'Tidak mengapa, Bayu. Aku sengaja menyuruhnya pergi dari desa ini agar tidak ikut tewas. Aku juga menyesal tidak
terlalu memperhatikan keselamatan Parti."
"Mereka menghargai maksud baikmu, Eyang.
Percayalah, mereka mencoba mencari manusia
bertopeng muka babi itu tanpa ada prasangka
buruk terhadapmu. Mereka tahu betul kalau kau
tidak tahu apa-apa, bahkan berniat baik," Bayu meyakinkan.
"Bayu, bisa kau antar aku untuk bertemu
mereka?" pinta Eyang Paladi.
"Sayang sekali, Eyang. Mereka saat ini tidak ingin ditemui siapa pun. Demi
keselamatan mereka sendiri."
"Aku mengerti."
Mereka kembali berbincang-bincang sampai
hari menjelang senja. Banyak yang dibicarakan,
terutama tentang dua orang bertopeng yang
sampai saat ini masih berkeliaran. Eyang Paladi sendiri bermaksud mengetahui
tentang kedua cucunya itu. Dan diam-diam diutus seorang
muridnya lagi ke Gunung Damalaya untuk
menemui Paman Darwala. Dia ingin tahu,
apakah benar Pramana dan Rawuni sudah
berpamitan untuk tinggal di sini.
*** 7 Kegemparan kembali melanda seluruh Desa
Kiting. Malam yang seharusnya hening sunyi,
mendadak hiruk pikuk. Hampir semua penduduk desa itu keluar dari rumahnya.
Tampak dua orang berbaju biru gelap berlompatan dari satu atap ke atap rumah
lainnya. Mereka membawa obor untuk membakar rumah-rumah penduduk. Maka Desa
Kiting seketika jadi lautan api. Di mana-mana
api berkobar melahap rumah-rumah yang
sebagian besar terbuat dari belahan papan dan
beratapkan daun rumbia.
Eyang Paladi tampak sibuk memerintahkan
seluruh muridnya untuk memadamkan api.
Delapan murid utama Padepokan Mega Kiting,
berusaha menghadang dua orang berbaju biru
gelap yang masih berlompatan membakar
rumah lainnya. Dua orang itu bagai kemasukan
setan. Tangan kiri memegang obor, dan tangan
kanan menggenggam pedang.
Delapan orang murid utama Eyang Paladi itu
berusaha mendesak kedua orang bertopeng.
Tapi, kemampuan mereka berada di bawah dua
orang itu. Dalam sebentar saja, tiga orang telah tergeletak tewas berlumuran
darah. Eyang Paladi tampak gusar melihat tiga muridnya
tewas dalam waktu sebentar saja.
"Mundur...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Lima orang murid Padepokan Mega Kiting
berlompatan mundur. Tapi salah seorang
berhasil terbabat lehernya hingga buntung. Tak
ada jeritan. Tubuh tanpa kepala itu langsung
ambruk dan tewas seketika. Tampak seorang
pemuda berbaju kulit harimau melompat
menghadang dua orang berbaju biru gelap. Yang
seorang memakai topeng bermuka
babi, sedangkan seorang lagi hanya mengenakan
selubung kain pada kepalanya.
"Bayu.. ," desah Eyang Paladi melihat kemunculan Pendekar Pulau Neraka.
Laki-laki tua berjubah putih itu langsung
melompat, dan mendarat ringan di samping kiri
Bayu Hanggara. Sementara dua orang yang
menjadi momok menakutkan selama ini, saling
berpandangan sejenak, kemudian sama-sama
mengangguk.. "'Seribu Pisau Terbang'.. !" tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak keras
"Heh.. !" Eyang Paladi tersentak kaget Tapi belum lagi rasa keterkejutan lakilaki tua itu hilang, tiba-tiba kedua orang yang dijuluki si Topeng Muka Babi itu
mengibaskan tangannya
cepat. Maka seketika itu juga pisau kecil
beterbangan bagai hujan. Pendekar Pulau
Neraka berlompatan menghindari serbuan
pisau-pisau terbang itu. Demikian juga Eyang
Paladi. Beberapa pisau yang nyasar, menancap
pada orang-orang yang tidak bisa menghindari
lagi. Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut.
"Keparat..!" geram Bayu melihat tidak kurang dari sepuluh penduduk dan beberapa
murid Eyang Paladi terjungkal tewas tersambar pisau
yang nyasar. "Akh...!"
Tiba-tiba saja terdengar pekikan tertahan.
Bayu menoleh sedikit, dan menjadi terkejut
ketika melihat Eyang Paladi terhuyung-huyung
dengan sebilah pisau tertanam pada dadanya.
Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa
bertindak, tiba-tiba saja...
"Hiyaaat. .!"
Seorang yang memakai kain selubung pada
kepalanya melompat cepat sambil menusukkan
pedangnya ke arah dada Eyang Paladi. Dan
seorang lagi melontarkan pisau-pisau kecil yang tipis pada Pendekar Pulau
Neraka. Saat itu Bayu tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi untuk
menolong Eyang Paladi. Dia sendiri sibuk
menghindari serbuan pisau-pisau terbang itu
yang seperti tidak ada habisnya.
"Aaa...!" Eyang Paladi menjerit melengking tinggi.
"Eyang. .!" seru Bayu terperanjat
Tampak orang berselubung kain pada kepala
menghentakkan pedangnya yang tertanam
dalam pada dada laki-laki tua itu. Darah
langsung muncrat keluar dari dada yang bolong.
Belum lagi Eyang Paladi bisa menutup lukanya,
satu tendangan keras menggeledek menghantam
kepalanya. Kembali Eyang Paladi menjerit
keras. Tubuhnya limbung, lalu ambruk ke tanah.
Kepalanya retak, dan darah mengalir deras.
Bayu kontan melompat memburu, tapi orang
berselubung kain hitam itu sudah lebih cepat
melompat menghindar. Maka seketika itu juga
dua orang yang dijuluki si Muka Topeng Babi itu melesat kabur bagai kilat, dan
dalam sekejap saja sudah hilang dari pandangan mata.
"Eyang. .," desis Bayu sambil berlutut di samping tubuh laki-laki tua yang
terbujur berlumuran darah.
"Eyang. .,"
Bayu mengguncang-guncang
tubuh Eyang Paladi.
Tapi laki-laki tua itu tetap diam. Tidak ada
lagi nyawa di tubuhnya. Bayu mengangkat
kepalanya, lalu bangkit berdiri setelah merebahkan tubuh tua itu. Tiga orang murid
Padepokan Mega Kiting bergegas maju dan
menggotong tubuh gurunya.
"Bawa ke padepokan," perintah Bayu. Tanpa membantah sedikit pun, mayat Eyang
Paladi dibawa ke Padepokan Mega Kiting. Sementara
penduduk dan beberapa murid padepokan
lainnya masih sibuk memadamkan api. Bayu
berdiri tegak meman dang sekitarnya. Beberapa
wanita tampak menangis. Ada yang menangisi
anaknya, atau suaminya yang tewas. Ada juga
yang menangisi rumahnya yang habis erbakar.
Bayu mendesah panjang. Kakinya terayun
melangkah menuju Padepokan Mega Kiting.
*** Sementara itu jauh di perbatasan Utara Desa
Kiting, tampaklah dua orang berpakaian gelap
tengah berdiri tegak memandangi kobaran api
yang masih membesar melahap rumah-rumah
penduduk. Seluruh kepala dan wajahnya
terselubung kain dan topeng. Salah seorang
membuka topengnya, tampak di baliknya
tersembunyi seraut wajah cantik. Sedangkan
yang seorang lagi, membuka selubung kain di
kepalanya. Seraut wajah tampan terlihat begitu
selubungnya terbuka.
"Seharusnya kau tidak membunuh Eyang
Paladi, Kakang," terdengar desahan pelan
bernada menyesal.
"Terpaksa! Aku tidak ingin rahasia kita
terbongkar, Rawuni. Eyang Paladi mengenali
jurus 'Seribu Pisau Terbang'."
"Hhh...!"
Mereka memang Pramana dan Rawuni, dua
orang cucu Eyang Paladi. Kini keduanya terdiam
dengan mata langsung mengarah ke desa yang
masih membara oleh kobaran api yang melahap
beberapa rumah. Kembali terdengar tarikan
napas panjang dari bibir mungil Rawuni.
Pramana memperhatikan adiknya lekat-lekat.
"Apa yang kau pikirkan, Rawuni?" tegur Pramana. "Tidak ada," sahut Rawuni seraya
mendesah panjang.
"Rawuni..., janganlah kau turuti kata hati.
Kita sama-sama sudah berjanji di depan pusara
Ayah untuk membalas kematiannya," tegas
Pramana. "Aku tidak menyesal karena memang sudah
tekad kita, Kakang," sahut Rawuni. "
'Tinggal dua orang lagi, Rawuni. Setelah itu,
selesai sudah semuanya,"
Pramana mengingatkan. "Aku sangsi, Kakang.. ," pelan suara Rawuni.
"Hey. .!" Pramana tersentak kaget. Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah
adiknya. "Pendekar Pulau Neraka itu, Kakang.. ."
"Jangan hiraukan manusia keparat itu,
Rawuni. Kalau perlu, bunuh sekalian!"
"Kepandaiannya sangat
tinggi,

Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakang. Rasanya sulit untuk menandinginya. Aku yakin,
dia bukan orang sembarangan. Apakah dia
orang bayaran yang disewa Eyang Paladi" Aku
seperti pernah mendengar julukannya itu," kata Rawuni setengah bergumam.
"Sudahlah! Hanya satu orang saja, dan bisa kita kelabui. Ayo, kita kembali ke
padepokan, sebelum ada yang mencurigai kita," ajak
Pramana. 'Tidak perlu ke sana, Kakang," cegah Rawuni.
"Kenapa?" tanya Pramana tidak mengerti.
"Aku merasakan kalau Pendekar Pulau
Neraka sudah mengetahui tentang diri kita."
"Hm...," gumam Pramana tidak jelas.
"Kau ingat panggilan Eyang Paladi siang
tadi?" 'Tentu! Kenapa?"
"Aku punya firasat lain, Kakang. Sepertinya panggilan
Eyang Paladi sengaja untuk memancing kita. Aku bisa melihat ada bayangan
dari pintu lain. Seperti seseorang yang sengaja bersembunyi sambil mendengarkan.
Sikap Eyang juga terasa aneh," kata Rawuni mengemukakan kecurigaannya.
Pramana terdiam membisu. Memang diakui
kalau Rawuni lebih cerdas dan lebih tajam
penglihatannya. Dan lagi firasatnya tidak pernah meleset.
"Kau tahu, Kakang. Waktu kau membunuh
utusan itu, aku juga melihat ada seseorang di
balik sebuah pohon tengah mengawasimu. Aku
memang tidak memberitahumu, karena kukira
hanya orang biasa saja. Tapi aku jadi mulai
curiga dengan panggilan dan pertanyaanpertanyaan Eyang Paladi pada kita," kata
Rawuni lagi. "Kau mengikuti aku, Rawuni?"
"Untuk berjaga-jaga, Kakang."
Kembali Pramana terdiam membisu. Keningnya berkerut dalam, pertanda sedang
berpikir keras. Dua kali ditariknya napas
panjang dan berat. Kemudian pandangannya
kembali beralih ke arah Desa Kiting. Api masih
terlihat berkobar, meskipun tidak sebesar tadi
"Kakang, sebaiknya kita tidak kembali ke
desa itu. Biarkan suasana jadi tenang sambil
mengamari kalau-kalau Jruda dan Parti muncul.
Aku tidak ingin mengorbankan penduduk lagi.
Sudah cukup rasanya membuat mereka sengsara. Biar mereka ingat, kesengsaraan sangat pedih!" kata Rawuni.
"Baiklah. Kita tunggu selama beberapa hari sampai keadaan kembali tenang,"
akhirnya Pramana mengalah juga.
*** Suasana mendung menyelimuti seluruh
wajah Desa Kiting. Tidak ada lagi orang yang
bisa dijadikan panutan. Satu-satunya orang yang dihormati dan selalu menjadi
pedoman telah tewas terbunuh. Padepokan Mega Kiting dalam
keadaan kosong, tidak memiliki pemimpin lagi.
Sudah dua hari Bayu terpaksa tinggal di
Padepokan Mega Kiting. Keyakinannya semakin
bertambah, bahwa yang selama ini membuat
kerusuhan adalah dua orang cucu Eyang Paladi
sendiri. Hanya saja Bayu belum bisa mengetahui, mengapa Pramana dan Rawuni
melakukan hal itu..." Bayu hanya menunggu kedatangan Paman
Darwala. Hanya orang itu yang mungkin bisa
menjelaskan semuanya.
Siang ini langit terselimut awan tebal
menghitam, seakan-akan alam turut berduka
atas kematian Eyang Paladi dan beberapa orang
lainnya hanya dalam waktu semalam saja. Bayu
berdiri di beranda depan pada bangunan utama
Padepokan Mega Kiting. Di sampingnya berdiri
Jruda dan Parti. Pendekar Pulau Neraka itu
memang sengaja membawa mereka ke padepokan ini, demi keselamatan. Di samping
itu mereka memang hendak ke sini begitu
mendengar kematian Eyang Paladi.
"Kau yakin Paman Darwala akan datang hari
ini Bayu?" tanya Jruda ingin memastikan.
"Keterangan dari utusan memang begitu,"
sahut Bayu kalem.
"Hhh... Aku tidak habis mengerti, mengapa
Pramana dan Rawuni melakukan itu?" gumam
Jruda. "Semasih hidup, Eyang Paladi pernah cerita padaku. Padepokan ini dibangun oleh
dua orang pendekar. Tapi yang seorang tewas secara
misterius dengan meninggalkan dua orang anak.
Yang seorang laki-laki, dan seorang lagi
perempuan. Usia mereka baru sekitar sepuluh
dan tujuh tahun.. ," kata Bayu pelan.
"Mereka adalah ayahku dan ayahnya
Pramana," sambut Jruda. "Tapi, apa hubungannya...?"
"Mungkin," desah Bayu.
"Pramana dan Rawuni dibawa pamannya
setelah kematian ayahnya. Memang, sampai saat
ini tidak diketahui siapa yang menewaskannya.
Hanya sebuah rantai. .," mendadak Jruda
menghentikan ceritanya.
"Kenapa, Jruda?" tanya Bayu.
"Ya...! Rantai merah. .! Kini aku ingat! Di lehernya terikat rantai berwarna
merah. Dan itu...," kembali Jruda terdiam memutuskan kata-katanya.
"Ada apa dengan rantai merah itu, Jruda?"
tanya Bayu ingin tahu.
"Aku tidak tahu, Bayu. Waktu itu aku masih kecil, jadi belum tahu apa-apa.
Memang akulah yang menemukan mayatnya pertama kali,
kemudian baru ayahku. Leher mayat itu terbelit
rantai berwarna merah darah. Rantai merah itu
diambil Ayah dan disimpannya. Sampai Ayah
meninggal, rantai itu tetap terkubur membelit
pinggangnya. Dan itu memang sudah amanatnya. Hhh. .! Sekarang rantai itu muncul
lagi. Terpotong-potong
menjadi sepuluh lingkaran yang sama ditemukan pada setiap
korban. Lingkaran Rantai Setan.. ," Jruda
mendesis pada akhir kata-katanya.
"Lingkaran Rantai Setan..." Apa maksudmu?"
tanya Bayu. "Sukar dijelaskan, Bayu. Itu hanya sebuah
kata-kata kiasan dari seseorang yang memiliki
dendam pada ayah-ayah kami. Aku dan
Pramana. Mereka mengabadikannya dengan
membuat sebuah rantai berwarna merah darah.
Mereka ingin keturunannya selalu ingat, bahwa
dendam itu bukan suatu penyelesaian akhir dari
suatu masalah. Rantai itu disimpan ayahku. Tapi ditemukan membelit leher ayah
Pramana," Jruda mencoba untuk menjelaskan lebih rinci.
"Ada orang lain lagi yang melihatnya waktu itu?" tanya Bayu.
"Eyang Paladi dan Paman Darwala," sahut Jruda.
'Tepat. .!" sentak Bayu tiba-tiba.
"Apa maksudmu, Bayu?" tanya Jruda tidak mengerti.
Bayu tidak menjawab. Diambilnya rantai
yang tergantung pada tiang beranda padepokan
ini. Benda itulah yang selalu dijadikan lambang oleh Padepokan Mega Kiting. Tapi
sampai sekarang tidak ada yang menyadari artinya, baik murid-murid padepokan itu
sendiri. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu maknanya.
Bayu menimang-nimang rantai merah itu, lalu
meletakkan kembali pada tempatnya semula.
Sementara itu Parti hanya diam saja mendengarkan tanpa berkata sedikit pun. Gadis
itu masih belum bisa memahami semua
pembicaraan tersebut. Dia memang masih terlalu
muda dan tidak tahu permasalahannya.
"Ada berapa rantai yang dibuat ayahmu?"
tanya Bayu setelah cukup lama berdiam diri.
"Hanya satu yang asli. Itu pun telah terkubur bersama Ayah," sahut Jruda.
"Dan kau pernah bertemu Pramana setelah
dibawa pamannya?" tanya Bayu lagi.
"Hanya sekali, tapi tidak secara langsung.
Pramana tidak mengenaliku sama sekali. Hanya
tahu namaku saja."
"Pantas... Dia tidak mengenalimu ketika kau gantung," gumam Bayu.
"Sejak terjadi peristiwa ini, dan munculnya Pramana, sudah kuduga kalau dialah
biang keladinya. Itu sebabnya aku ingin membunuhnya, tapi gagal. Kepandaiannya jauh
lebih tinggi dariku."
"Persoalannya sudah jelas, sekarang tinggal menunggu Paman Darwala saja. Mudahmudahan dia bersedia membantu menyadarkan
keponakannya," kata Bayu.
"Hanya kematian yang bisa menyadarkannya, Bayu."
"Hilangkan rasa dendam di hatimu, Jruda."
"Mereka telah membunuh banyak orang!
Hanya hukuman mati yang pantas untuk
mereka, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat
bahu saja. 8 Empat ekor kuda berpacu cepat keluar dari
Padepokan Mega Kiting, menuju ke sebelah
Utara Desa Kiting. Paling depan sekali terlihat seorang laki-laki berusia hampir
mencapai tujuh puluh tahun. Dialah Paman Darwala. Di
belakangnya tiga orang laki-laki juga berkuda.
Tampak di antara mereka adalah Pendekar
Pulau Neraka, Jruda, dan seorang murid utama
Padepokan Mega Kiting.
Mereka berhenti setelah tiba di luar
perbatasan desa sebelah Utara. Masing-masing
penunggang melompat turun dari punggung
kudanya. Paman Darwala memandangi sekitarnya. Bayu dan Jruda menghampiri.
'Bagaimana Paman bisa memastikan mereka
ada di sini?" tanya Jruda.
"Ayah mereka dimakamkan di sini. Aku
yakin mereka ada di sekitar tempat ini," jawab Paman Darwala.
Jruda tidak bertanya lagi. Dia juga mengedarkan pandangannya berkeliling. Tempat ini sunyi sekali, tidak ada seorang pun
yang teriihat kecuali mereka berempat. Jruda


Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melirik Bayu yang tengah melangkah mendekati
sebuah makam yang kelihatan tidak terawat.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu memandangi, kemudian berbalik menghampiri
yang lainnya. "Aku hampir tidak percaya kalau mereka
yang melakukan semua kekejaman ini. Meskipun mereka muridku dan sekaligus
keponakanku, tapi perbuatan mereka tidak bisa
diampuni. Aku tidak pernah mengajarkan pada
mereka untuk berbuat seperti ini," tegas Paman Darwala menyesali tindakan
Pramana dan Rawuni. Jruda hanya diam saja. Demikian pula Bayu
dan seorang murid Padepokan Mega Kiting
yang ikut serta.
"Aku menyesal telah menceritakan semua
peristiwa yang menimpa ayah mereka. Tapi
sungguh, dalam hatiku tidak bermaksud
menyulut api dendam. Apalagi dendam terhadap keluargamu, Jruda. Antara keluarga
kita terjalin persaudaraan yang kuat. Aku sendiri tidak percaya kalau ayahmu
yang membunuh adikku," sambung Paman Darwala.
"Semua sudah terjadi, Paman," ujar Jruda.
"Ya! Semua karena kesalahanku yang tidak
mampu mendidik mereka dengan baik," Paman
Darwala menyesali.
"Bukan kesalahan Paman,
tapi karena kutukan. Dan itu baru terjadi sekarang."
"Jruda, aku mohon padamu. Sebaiknya
serahkan mereka padaku. Biar aku sendiri yang
akan memberi hukuman padanya. Mereka
adalah keponakanku, sekaligus murid-muridku.
Aku mohon padamu, Jruda?" ujar Paman
Darwala penuh harap.
Jruda menarik napas berat. Memang sukar
untuk memenuhi permintaan Paman Darwala.
Tapi begitu mendapat lirikan dari Pendekar
Pulau Neraka, Jruda mengangguk.
'Terima kasih, Jruda. Kebaikan hatimu tidak
akan kulupakan," ucap Paman Darwala.
"Ah! Sudahlah, Paman. Sebaiknya kita segera menemukan mereka. Aku tidak ingin
lagi melihat darah orang-orang tidak berdosa
menyirami bumi," kata Jruda.
Tidak ada lagi yang bicara. Semua melangkah
menyibak hutan yang tidak seberapa lebat.
Mereka tidak tahu kalau sepasang mata sejak
tadi selalu mengamati dari tempat yang cukup
tersembunyi. Dan pemilik sepasang mata itu
melesat cepat begitu empat orang itu semakin
masuk ke dalam hutan.
*** Rawuni terkejut melihat kakaknya datang
tergesa-gesa dengan napas memburu. Keringat
membasahi seluruh wajah dan leher Pramana.
Pemuda itu langsung menarik tangan adiknya,
dan membawanya keluar dari gua.
"Ada apa, Kakang?" tanya Rawuni tidak mengerti.
'Tinggalkan tempat ini cepat" ajak Pramana menyuruh adiknya naik ke kuda.
Dengan keadaan masih kebingungan, Rawuni naik juga ke punggung kudanya.
Pramana bergegas melompat ke kuda hitamnya
yang tinggi dan kekar. Kedua orang itu
menggebah kudanya masing-masing. Rawuni
masih bertanya-tanya, mensejajarkan langkah
kaki kudanya di samping Pramana.
"Ada apa, kakang" Kenapa buru-buru?" tanya Rawuni masih penasaran akan sikap
kakaknya. "Mereka mengetahui tempat ini," kata
Pramana sambil terus memacu cepat kudanya.
"Mereka siapa?"
"Jruda dan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan
Paman Darwala juga bersama mereka," sahut
Pramana. Mendengar penjelasan kakaknya, Rawuni
segera menghentikan lari kudanya. Pramana
bergegas menarik tali kekang kudanya. Kuda
hitam itu meringkik, dan kontan berhenti
seketika. Pramana memutar tubuh kudanya,
menghadap gadis itu.
"Aku tidak suka jadi buronan seperti ini!"
dengus Rawuni agak keras suaranya.
"Mereka akan membunuh kita, Rawuni," kata Pramana.
"Aku tidak ingin jadi pengecut! Semua yang kulakukan,
harus kupertanggungjawabkan.
Kalau kau ingin pergi, pergilah!" tegas kata-kata Rawuni.
"Rawuni...!" sentak Pramana terkejut
"Beberapa hari ini aku selalu memikirkan
semua perbuatan kita, Kakang. Terus terang, aku masih ragu akan kebenaran dari
semua perbuatan kita.. ," pelan nada suara Rawuni, namun mengandung ketegasan.
"Kau ini bicara apa, Rawuni" Sudahlah, ayo kita pergi!" ajak Pramana.
"Tidak! Aku akan menunggu mereka di sini!"
sentak Rawuni tegas.
"Kau gila, Rawuni. Ada Paman Darwala
bersama mereka!"
"Sungguh tidak kusangka kalau kakakku
seorang pengecut. Menyesal aku mengikutimu,
Kakang. Seharusnya aku tahu kalau semua yang
kita lakukan bukan karena membalas kematian
ayah. Tapi karena napsu setanmu yang ingin
membunuh Jruda. Kau sakit hati karena gadis
yang kau sukai lebih memilih Jruda untuk jadi
suaminya. Kau pengecut Kakang! Melampiaskan
sakit hatimu dengan dalih membalas kematian
Ayah!" "Cukup, Rawuni!" bentak Pramana memerah wajahnya.
"Akuilah, Kakang. Aku lebih senang kalau
kau mengakui semuanya. Kau ingin membalaskan sakit hatimu, bukan?" desak
Rawuni yang mulai menyadari kalau semua perbuatannya hanya karena
bujukan kakaknya yang ingin membalas sakit
hati. Rawuni baru menyadari semuanya setelah
mendengar Pramana mengigau dalam tidurnya
semalam. Sungguh mati, gadis itu tidak
menyangka ada maksud tertentu dari semua
rencana gila ini. Dan Rawuni sangat menyesal,
karena Pramana justru malah mengotori nama
ayah mereka sendiri. Menodai persaudaraan
yang telah dibangun sekian puluh tahun
lamanya. "Aku memang sakit hati terhadap Jruda. Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya dan
semua keturunannya!" ujar Pramana mengakui dengan tegas.
"Tapi, kenapa kau membunuh semuanya"
Bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa ikut jadi korban. Kenapa, Kakang. .?"
Rawuni meminta penjelasan.
"Semua itu termasuk bagian dari rencanaku, Rawuni. Padepokan Mega Kiting harus
kita kuasai. Aku tidak ingin padepokan itu nantinya
jatuh ke tangan mereka!"
'Tapi, bukankah itu sudah keputusan Ayah"!
Memang Jruda yang akan mewarisi padepokan
itu. Dan kita sendiri sudah diwarisi padepokan
milik Paman Darwala. Kenapa kau ingin
menguasai Padepokan Mega Kiting, Kakang"
Padepokan itu kecil, tidak ada artinya sama
sekali." "Bukan itu yang kuinginkan, Rawuni. Tapi
daerah nya. Kau mengerti maksudku?"
"Oh...,"
Rawuni mendesah sambil menggeleng kan kepala beberapa kali.
Gadis itu tidak menyangka kalau pikiran
kakaknya sepicik itu. Memang, Desa Kiting
memiliki aliran sungai yang mengandung biji
emas. Rupanya Pramana meng inginkan semua
itu untuk memperkaya diri. Yang pasti bukan
hanya karena itu. Rawuni juga bisa mengetahui
adanya tujuan tertentu. Jelas, Pramana ingin
menjadikan Desa Kiting menjadi wilayah
kekuasaannya, seperti yang pernah dilakukan
ayah mereka ketika masih hidup.
"Dengar, Rawuni. Aku akan membangun
desa itu menjadi lebih besar, dan akan berkuasa di sana. Ingin kutunjukkan pada
Ayah, kalau aku dapat melebihinya. Itu sebabnya aku ingin
menguasai padepokannya terlebih dahulu, dan
melenyapkan semua orang yang bisa menjadi
duri dalam diriku. Kau mengerti, Rawuni"
Meskipun aku tahu kalau Ayah terbunuh oleh
orang yang tidak dikenal, tapi aku tidak ingin
ada orang lain menguasai padepokan itu.
Terutama Desa Kiting!" tegas kata-kata Pramana.
"Sungguh tidak kuduga kalau kau punya
pikiran picik seperti itu, Kakang. Kalau tahu
sejak dulu, tidak bakalan aku ikut. Membantai
mereka yang tidak berdosa, membuat neraka
pada mereka. Aku menyesal, Kakang. Benarbenar menyesal. .!" keluh Rawuni setelah
mengetahui semua yang ada di balik rencana
kakaknya ini. "Tidak ada kata penyesalan,
Rawuni. Bagaimanapun juga kau telah ikut dalam
permainan ini, dan tidak bisa menghindar begitu saja," kata Pramana tenang
diiringi senyuman lebar.
"Kau menjebakku, Kakang!" desis Rawuni tidak senang.
"Sudahlah, Rawuni. Tidak ada gunanya
berdebat. Sebaiknya kita jalan lagi. Untuk
sementara kita tinggalkan tempat ini," bujuk Pramana.
'Tidak! Aku akan kembali pada Paman
Darwala, dan memohon ampun padanya!" keras pendirian Rawuni.
"Rawuni...!"
"Dia benar, Pramana...," tiba-tiba terdengar suara.
Pramana dan Rawuni tersentak kaget. Kedua
orang itu cepat melompat turun dari punggung
kudanya masing-masing. Tatapan mereka tajam
menusuk langsung ke arah datangnya suara tadi.
Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau
tahu-tahu sudah berdiri tegak di atas sebongkah batu cadas yang hitam berkilat
*** "Pendekar Pulau Neraka...," desis Pramana mengenali pemuda berbaju kulit harimau
itu. Belum lagi hilang sepenuhnya rasa terkejut
kakak beradik itu, dari balik batu muncul Paman Darwala, Jruda, dan seorang
murid Padepokan
Mega Kiting Bayu melompat turun dari atas
batu. Mereka melangkah lebih mendekat lalu
berhenti setelah jaraknya sekitar dua batang
tombak lagi di depan Pramana dan Rawuni.
"Rawuni, menjauhlah dari kakakmu!" perintah Paman Darwala tegas.
"Kau tetap di sini, Rawuni!" sentak Pramana sambil mencekal tangan adiknya.
"Tidak!" sentak Rawuni mengibaskan cekalan kakaknya.
Rawuni segera berlari menjauh begitu
terlepas dari cekalan kakaknya.
"Rawuni...!" bentak Pramana gusar.
Kegusaran Pramana bertambah melihat
Paman Darwala menyongsong menyambut
gadis itu. Dan seketika itu juga, Pramana
mengecutkan tangannya. Secercah cahaya berkelebat cepat keluar dari tangannya. Tampak
dua buah pisau kecil tipis meluncur ke arah
Rawuni.

Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rawuni, awas.. !" seru Paman Darwala terkejut.
Tapi Rawuni tidak sempat lagi untuk
menghindar. Namun Pendekar Pulau Neraka
sudah menghentakkan tangan kanannya. Seketika itu juga Cakra Maut melesat dari
pergeiangan Pendekar Pulau Neraka. Cakra
Maut menghantam dua pisau yang hampir saja
menembus punggung Rawuni. Pada saat yang
sama, gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah
dan bergulingan beberapa kali.
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke
atas, maka Cakra Maut kembali melesat balik,
lalu menempel kembali pada pergeiangan
tangan kanannya. Pramana menggeram gusar
melihat Pendekar Pulau Neraka menggagalkan
maksudnya. "Kau terlalu banyak ikut campur, pendekar
setan! Mampus kau! Hiyaaat. .!"
Pramana tidak bisa lagi menahan gejolak
hatinya yang tengah disulut api dendam
membara. Bisikan iblis sudah merasuki hati
pemuda itu. Dia melompat cepat bagai kilat
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun
manis sekali Bayu mengelakkan serangan itu.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kirinya menyodok ke arah perut.
"Hughk...!" Pramana mengeluh pendek.
Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang
sambil memegangi perutnya. Kalau saja sodokan
itu disertai pengerahan tenaga dalam, pasti
semua isi pertunya sudah ambrol keluar. Tapi
sodokan tenaga luar itu mampu membuat bola
mata Pramana berputar, dan perutnya terasa
mual. Hanya sebentar Pramana mengatur napas
untuk mengusir rasa mual pada perutnya,
kemudian sudah kembali menyerang Pendekar
Pulau Neraka dengan jurus-jurus pendek yang
cepat dan dahsyat.
Bayu bisa merasakan kalau setiap pukulan
dan tendangan Pramana mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Memang sudah bisa diukur sampai di mana
ketinggian tenaga dalam Pramana Hingga ketika
satu pukulan keras menggeledek meng arah ke
dadanya, dengan cepat Bayu menyodokkan
tangan kanan, menyambut pukulan itu.
Trak! "Akh!" Pramana memekik tertahan.
Pemuda itu kontan melompat mundur tiga
tindak. Bibirnya meringis merasakan sakit di
seluruh tangan kirinya yang beradu dengan
tangan kanan pendekar muda itu. Pramana
menyadari kalau tenaga dalamnya masih di
bawah Pendekar Pulau Neraka. Cepat pemuda
itu mencabut pedangnya yang tergantung di
pinggang. Sret! "Hm...," Bayu menggumam melihat pedang sudah terhunus dalam genggaman Pramana.
PendekarPulau Neraka menggeser kakinya ke
samping bebe-rapa tindak.
Sementara itu semua orang yang ada di situ
memperhatikan dengan perasaan tegang. Mereka tidak berkedip memandangi dua orang
yang saling berhadapan, siap melakukan
pertarungan tingkat tinggi.
"Hiyaaa.. !"
"Hait. !"
Pramana melompat cepat bagai kilat sambil
membabatkan pedangnya beberapa kali ke arah
bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.
Dan Bayu yang sudah siap sejak tadi,
mengerahkan jurus 'Kelelawar Maut'! Jurus Bayu
itu didapat dari seorang pendekar yang bergelar Pendekar Kelelawar dari Selatan.
Jurus andalan ini jarang digunakan. Bayu bertarung dengan
kedua tangan sering mengembang. Gerak
tubuhnya begitu lentur, meliuk-liuk menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang
Pramana yang dahsyat dan mengandung tenaga
dalam tinggi. *** Pertarungan antara Pramana melawan Pendekar Pulau Neraka berjalan sengit. Tapi
baru saja lima jurus terlewati, sudah kelihatan kalau Pramana tidak mampu lagi
menahan gempuran Bayu Hanggara. Beberapa kali
tubuhnya harus rela menerima pukulan pendekar muda itu. Pramana sudah jatuh
bangun, tapi masih tetap tidak undur barang
sedikit pun. Dia tahu kalau setiap pukulan yang diterimanya tidak mengandung
tenaga dalam, tapi cukup nyeri juga. Dan ini membuat
Pramana merasa terhina.
"Phuih!" Pramana menyemburkan ludahnya.
Cepat sekali Pramana menyerang kembali
dengan jurus-jurus andalannya. Namun baru
beberapa gebrakan saja, tanpa diduga sama
sekali satu pukulan telak Pendekar Pulau Neraka membuat pemuda itu terjungkal ke
belakang, menghantam sebongkah batu besar hingga
hancur berantakan.
"Keparat! Hiyaaat.. !" Pramana mengumpat, langsung melompat bangkit dan
menyerang. Wut! Wut! Dua kali tebasan pedang Pramana berhasil
dihindari Pendekar Pulau Neraka. Kegigihan
Pramana membuat hati Bayu kagum, tapi juga
gusar karena sifat keras kepalanya. Sudah
diberikan keringanan untuk mundur, malah
semakin liar saja. Menyerang membabi buta
tanpa menghiraukan lagi norma-norma ilmu
olah kanuragan yang benar.
"Hih! Hyaaa.. !"
Bayu melentingkan tubuhnya ke atas, ketika
satu tebasan pedang Pramana mengincar
kakinya. Pendekar Pulau Neraka itu melewati
kepala Pramana, dan kakinya langsung mendupak kepala pemuda itu.
"Akh...!" Pramana memekik keras tertahan.
Dupakan kaki Pendekar Pulau Neraka tepat
menghantam kepalanya. Pramana jadi limbung.
Dan pada saat tu, satu pukulan telak bertenaga
dalam penuh, dilepaskan Bayu. Pukulan itu
tidak terbendung lagi, langsung menghantam
dada Pramana. "Aaakh...!" lagi-lagi Pramana menjerit keras.
"Kakang...!" teriak Rawuni seketika.
Tubuh Pramana terbanting keras ke tanah.
Pemuda itu menggelepar merasakan sakit yang
amat sangat di bagian dada. Mulut dan
hidungnya mengucurkan darah. Pelipisnya pun
sobek cukup lebar. Pramana berusaha bangkit
berdiri, tapi tubuhnya limbung. Dengan menahan sakit pada ronga dada dan kepalanya,
Pramana berlari cepat sambil mengangkat
pedangnya tinggi-tinggi ke atas kepala.
"Hiyaaat. !"
"Hup! Hiyaaa.. !"
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke
depan, maka seketika itu juga dari pergelangan
tangan kanannya meluncur Cakra Maut. Senjata
andalan Pendekar Pulau Neraka itu tepat
menghunjam dada Pramana, hingga tembus ke
punggung. Cakra Maut terus melesat dan
berputar balik begitu Bayu mengangkat tangannya ke atas. Cakra Maut berwarna
keperakan itu kembali menempel di pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara itu Pramana semakin limbung.
Darah mengucur deras dari luka-luka di
tubuhnya, terutama pada bagian dada dan
punggungnya yang berlubang. Hanya sebentar
Pramana mampu bangkit berdiri, kemudian
ambruk menggelepar di tanah.
"Kakang...!" seru Rawuni keras.
Gadis itu akan memburu, tapi tangannya
keburu ditangkap Paman Darwala. Rawuni
berbalik dan menangis dalam pelukan pamannya. Semua yang menyaksikan kejadian
itu hanya diam membisu. Semua mata terpaku
pada Pramana, biang keladi keonaran di Desa
Kiting. Itu semua karena rasa sakit hatinya pada Jruda.
Paman Darwala membawa Rawuni meninggalkan tempat itu. Gadis itu masih
menangis, melangkah dalam pelukan pamannya.
Sementara Jruda dibantu salah seorang murid
Padepokan Mega Kiting mengangkat tubuh
Pramana yang sudah membujur mayat. Mereka
menaruhnya di atas kuda hitam, milik Pramana
sendiri. Murid Padepokan Mega Kiting menuntun kuda itu dengan tangan kanannya,
sedangkan tangan kiri menuntun kuda milik
Rawuni. Jruda memandangi Pendekar Pulau
Neraka, yang kemudian datang menghampirinya.
"Aku tidak tahu, harus mengucapkan apa
kepadamu, Bayu," kata Jruda pelahan.
"Hhh...!" Bayu hanya menarik napas panjang saja.
"Kuharap kau bersedia singgah dulu di
padepokan. Meskipun kita semua sudah
mendengar pengakuan Pramana, tapi Paman
Darwala pasti meminta Rawuni untuk mengatakan semuanya. Aku tidak tahu, hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap
Rawuni," kata Jruda lagi.
"Kalau bisa, jangan terlalu berat. Biarkan dia menikmati kehidupan ini. Aku
yakin, dia gadis
yang baik," ujar Bayu memberi saran.
"Ini permintaanmu, Bayu?"
"Katakanlah begitu."
"Akan kusampaikan pada Paman Darwala
nanti. Aku juga tidak menginginkan jika Rawuni
dijatuhi hukuman yang berat. Malah dia akan
kuajak membangun kembali Padepokan Mega
Kiting, dan akan kuselidiki kematian ayahnya.
Kalau pun memang terbukti ayahku yang


Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukannya, biar aku yang menanggung
semuanya," kata Jruda mantap.
Bayu tersenyum dan menepuk bahu Jruda,
kemudian berbalik dan melangkah pergi. Jruda
memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka
itu. Segera dibalikkan tubuhnya, dan kembali
menuju Desa Kiting. Sementara Paman Darwala
dan yang lainnya sudah menunggu di atas kuda.
Jruda langsung melompat naik ke punggung
kudanya. "Apa yang dikatakannya padamu, Jruda?"
tanya Paman Darwala.
"Dia menginginkan aku dan Rawuni membangun kembali Padepokan Mega Kiting,
dan berharap dari padepokan itu muncul
pendekar pembela kebenaran," sahut Jruda.
"Sungguh mulia hatinya. Bagaimana denganmu, Rawuni?" Paman Darwala memandang pada keponakannya.
"Aku harus menjalani hukuman lebih dahulu, Paman," sahut Rawuni lirih.
"Hukumanmu tetap ada."
"Aku rasa, aku tidak sanggup lagi ke Desa
Kiting, Paman. Kalau boleh, biarkan aku
mengembara untuk menebus segala dosadosaku dengan memberantas ketidakadilan,"
pinta Rawuni. Paman Darwala tersenyum terharu. Ditepuknya pundak gadis itu, lalu dihentakkan
tali kekang kuda nya. Mereka semua bergerak
menuju kembali ke Desa Kiting. Tapi di
persimpangan jalan, mereka berpisah Paman
Darwala dan Rawuni langsung menuju ke
tempat asal mereka sambil membawa mayat
Pramana. Sedangkan Jruda dan murid Padepokan Mega Kiting kembali ke padepokan.
"Kasihan kau, Rawuni. Terjebak dalam
Lingkaran Rantai Setan.. ," desah Jruda dalam hati.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Senopati Pamungkas 23 Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Rahasia Mo-kau Kaucu 5

Cari Blog Ini