Ceritasilat Novel Online

Memburu Bah Jenar 2

Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar Bagian 2


mu sendiri sungguh sangat memalukan membuat
najis yang terlalu besar. Bukankah kau telah
memperkosaku ketika kita bertemu di kali?"
Terbelalak mata Ki Barwi dan lainnya,
mendengar pendekar muda itu dituduh telah
memperkosa iblis Tengkorak. Namun mereka tak
berani berbuat apa-apa, hanya membiarkan Jaka
menghadapi Dewi Tengkorak.
"Sundel! Cuih! Jangankan diriku. Anjing
kurap pun mungkin akan menolakmu. Tengkorak
Cabul!" Mendengar cacian Jaka, marahlah Dewi Tengkorak. Merasa ajian Racun
Mayatnya tak mampu dibendung oleh Ki Barwi, ia menyangka
Jaka pun tak akan mampu menghadapinya. Maka
dengan tanpa ragu-ragu lagi. Dewi Tengkorak segera menyerang Jaka dengan ajian tersebut.
"Hiat...!"
Diserang begitu cepat dengan ajian Racun
Mayat tidak menjadikan Jaka keder. Dikibaskan
Pedang Siluman Darah membentuk sebuah lingkaran yang segera melindungi dirinya.
Ajian Racun Mayat dengan derasnya menyemprot dari tangan Dewi Tengkorak, menyerang pada Jaka. Namun seketika mata Dewi
Tengkorak terbelalak, manakala ia melihat serangannya dengan mudah ditangkis oleh pemuda itu.
Bahkan yang makin membuatnya terkejut, serangannya berbalik menyerang dirinya.
"Bedebah!" makinya sambil berusaha mengelakan serangan balik ajiannya dengan menjatuhkan diri ke tanah.
"Drootttt!"
Hampir saja kepalanya terhantam cairan
Racun Mayat miliknya sendiri kalau ia tak segera
memiringkan kepala ke kanan. Racun Mayat pun
melesat beberapa senti di samping kepalanya.
Kini tahulah Dewi Tengkorak siapa sebenarnya pemuda yang tengah dihadapinya. Matanya membeliak tajam memandang pada Jaka
yang tampak tersenyum. Dengan segera Dewi
Tengkorak bangkit dan tanpa diduga oleh Jaka,
Dewi Tengkorak berkelebat pergi melarikan diri.
Jaka bermaksud mengejarnya. Mana kala
ia teringat pada Ki Barwi iapun segera mengurungkan niatnya. Segera dihampirinya Ki Barwi
yang tengah terduduk sambil memegangi tangannya yang membusuk di telapaknya.
"Hem... Ini harus dipotong, Ki," berkata Ja-ka menyarankan.
"Potonglah, Jaka. Kalau memang hanya itu
yang bisa dilakukan," menjawab Ki Barwi pasrah.
Sesaat Jaka terdiam ragu sepertinya tak
tega untuk melakukannya. Manakala Jaka masih
terdiam, terdengar suara Ki Panganoman berkata:
"Kenapa kau ragu, Jaka" Kalau memang itu yang dapat menolong nyawa Ki Barwi,
maka lakukanlah dengan hati yang penuh."
"Benar, Jaka. Aku tak akan merasa kecewa
bila tanganku yang membusuk ini kau potong.
Lakukanlah," lanjut Ki Barwi menambahkan ucapan Ki Panganoman membuat Jaka makin
tak te- ga. "Lakukanlah, Jaka?"
Karena didorong terus oleh Ki Barwi dan Ki
Panganoman, maka Jaka pun akhirnya menyanggupi. Ditariknya Pedang Siluman yang telah diselipkan di balik pakaiannya. Sinar Pedang Siluman tampak menyala terang.
Dengan memejamkan matanya, Jaka segera menebaskan tangan Ki Barwi.
"Aaahhh...!" menjerit KI Barwi sesaat, manakala Pedang Siluman membabat putus
tangan- nya. Namun seketika matanya membelalak kala
melihat tangannya tak meneteskan darah sedikitpun dan telah sembuh dengan cepatnya.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" bergumam Ki Barwi. Ki Panganoman juga tak mengerti
dengan apa yang terjadi.
Belum juga kedua orang tua itu mendapat
jawabannya, Jaka telah berkelebat pergi meninggalkan mereka yang hanya terbengong-bengong.
"Ki Barwi dan Ki Panganoman, aku akan ke gunung Galunggung untuk mengejar Dewi Tengkorak". Kedua orang tua itu hanya dapat menggelengkan kepala, tanpa mampu mencegahnya! Lalu
dengan dibantu orang-orang lainnya, Ki Barwi segera bangkit dan berjalan menuju ke rumah Gantra untuk membicarakan bagaimana sebaiknya
yang hendak mereka lakukan.
6 Dengan napas terengah-engah Nyi Sarpa
Rukinten terus berlari menuju ke goa di mana
Bah Jenar berada. Segera Nyi Sarpa Rukinten
menemui Bah Jenar yang waktu itu tengah duduk
bersila. Bah Jenar terkejut melihat kedatangan
Nyi Sarpa Rukinten yang tampaknya tengah habis
berlari "Kenapa, Nyi" Sepertinya kau tengah
menghadapi sesuatu?"
"Benar, Bah. Aku tengah menghadapi kesulitan." "Kesulitan!" terjengah Bah Jenar kaget. Matanya membeliak, memandang pada wajah
Nyi Sarpa Rukinten yang nampak pucat pasai. "Kesulitan apa, Nyi?"
"Aku telah menghadapi seorang pendekar
muda yang berilmu tinggi. Kenalkah kau dengannya, Mbah?"
"Anak muda" Hem... Siapakah gerangan
anak muda yang kau maksud?"
"Mana aku tahu. Yang pasti pemuda itu
ada di pihak orang-orang golongan lurus. Ia telah
membantu Ki Barwi mana kala aku hendak
menghabisi nyawa orang tua itu," menjawab Nyi Sarpa Rukinten yang menjadikan Bah
Jenar mengernyitkan keningnya.
"Hem... apakah ia memakai senjata?"
"Ya! Anak muda itu memakai senjata yang
berbentuk pedang."
"Tidak salah lagi!" berseru Bah Jenar sepertinya kaget.
"Kenapa, Ki" Sepertinya kau mengenal pemuda itu."
"Benar! Aku akhir-akhir ini mendengar selentingan tentang seorang pemuda yang sakti
dengan senjatanya yang berbentuk pedang." Bergumam Bah Jenar, membuat Nyi Sarpa
Rukinten membeliakkan mata.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ki?"
"Kau hadapilah dia. Kau jajal ilmunya,"
menjawab Bah Jenar kalem. Terkejut Nyi Sarpa
Rukinten yang tak menyangka bahwa Bah Jenar
akan menyuruhnya untuk menghadapi pendekar
muda yang tinggi ilmunya. Maka dengan setengah
menolak Nyi Sarpa Rukinten berkata:
"Bah! Aku sudah menghadapinya dan nyatanya aku jauh ilmunya dibandingkan dengan
pemuda itu."
"Jangan kau pengecut, Nyi?"
"Aku tidak pengecut! Kalah yang pengecut,
Bah! Kenapa kau tidak menghadapinya sendiri?"
berkata Nyi Sarpa Rukinten agak kesal merasa dirinya akan dijadikan tameng oleh Bah Jenar.
"Diam! Kau harus nurut padaku karena
akulah yang berkuasa di sini. Apakah kau mau
menjadi mayat lagi?" mengancam Bah Jenar
membuat Nyi Sarpa Rukinten yang telah dipakai
jasadnya untuk bersemayam Dewi Tengkorak Hidup, tampak bergetar gemetar dengan wajah pucat. Ia tahu kata-kata Bah Jenar bukanlah gertak sambal belaka, seperti kata-kata anak kecil.
Bila Bah Jenar melakukan hal itu, maka ia pun
tak akan dapat bergentayangan seperti sekarang.
Namun bila ia menurut kata-kata Bah Jenar ia
pun akan hancur. Ibarat makan buah simalakama saja layaknya Nyi Sarpa Rukinten, di makan
tubuh binasa tidak dimakan pun tubuh tak dapat
seperti sekarang. Karena bingung. Nyi Sarpa Rukinten pun akhirnya hanya dapat menangis.
"Bagaimana, Nyi" Apa kau mau?" bertanya Bah Jenar
Dengan perasaan takut Nyi Sarpa Rukinten
pun akhirnya mengangguk membuat Bah Jenar
seketika tertawa bergelak-gelak menggema di sudut-sudut goa. "Nah, Nyi. Aku akan pergi. Bila nanti kau
memang tak mampu menghadapinya, maka kau
bisa menyusulku atau lebih baik mati saja daripada merepotkanku."
"Ke mana, Bah?" bertanya Nyi Sarpa Rukinten. Hatinya mangkel mendengar ucapan Bah
Jenar yang sepertinya tak membutuhkan dirinya
lagi. "Aku akan menemui temanku Tengku Loreng di Pulo Andalas."
Walaupun hati Nyi Sarpa Rukinten marah
pada Bah Jenar, namun untuk melakukan perlawanan ia tak mampu sebab Bah Jenarlah yang
tahu persis siapa dirinya.
Di samping itu, Bah Jenar tahu kelemahannya. Maka apa bila ia melawan berarti kematianlah baginya. Karena Bah Jenar sudah pasti
akan menutup jalan kehidupannya.
Mau tak mau, ia pun harus mau menuruti
kata-kata Bah Jenar yang bermaksud memperalatnya. Hati Nyi Sarpa Rukinten menangis pedih,
manakala mengingat betapa dirinya sekarang dalam kekuasaan orang lain.
"Mbah Jenar keparat! Mentang-mentang
sekarang aku tak cantik seperti dulu lagi hingga
dengan seenaknya dia berbuat dan menyuruhku.
Tidak! Aku tak mau binasa oleh pemuda pendekar itu. Aku lebih baik memberi tahukan saja pada pendekar muda itu, bahwa Bah Jenar sekarang tengah ke pulau Andalas untuk meminta tolong pada temannya. Tengku Loreng."
Dengan lesu Nyi Sarpa Rukinten terduduk
melamun, menanti kedatangan Jaka untuk memberi tahukan siapa adanya yang telah menyuruhnya menteror orang-orang persilatan.
*** Tengah Nyi Sarpa Rukinten duduk melamun, terdengar suara Jaka berseru memanggil
namanya. Hingga dengan seketika Nyi Sarpa Rukinten yang tak lain dari Dewi Tengkorak tersentak dari lamunannya. Dengan langkah lesu. Nyi
Sarpa Rukinten pun segera bergegas menemui
Jaka di luar goa.
"Rupanya di sini persembunyianmu. Iblis!
Di mana Bah Jenar kambratmu berada?" tanya
Jaka dengan sikap siap siaga memandang tajam
pada Dewi Tengkorak yang hanya menunduk lesu. "Tuan pendekar. Kalau kau mau mengampuni selembar nyawaku, maka aku berjanji tak
akan berbuat kejahatan lagi. Dan akupun akan
melepaskan tubuh gadis ini. Juga akan aku beri
tahukan di mana adanya Bah Jenar sekarang.
Sungguh, bukan maksudku untuk menteror
orang-orang kalau tidak disuruh oleh Bah Jenar,"
Dewi Tengkorak mengiba, sepertinya ia ingin
membuka siapa sebenarnya pelaku dari semua
tindakannya. "Kau tidak berdusta?"
"Tidak! Bahkan aku akan senang bila Bah
Jenar dapat segera menyusulku. Karena dengan
begitu ia tak akan dapat membuat aku menderita." "Menderita" Maksudmu, Dewi?" bertanya Jaka tak mengerti, seraya memandang
pada Dewi Tengkorak yang berdiri di hadapannya.
Sesaat Dewi Tengkorak terdiam. "Benar,
Tuan pendekar. Dulu ketika kami masih muda
kami sempat berikrar. Barang siapa yang mati lebih dahulu maka akan menjadi abdi bagi yang
masih hidup. Ketika itu aku menyanggupi, sebab
aku waktu itu tengah berurusan dengan Ki Barwi
yang telah menolak cintaku. Mulanya kami bertiga, aku, Bah Jenar dan Ki Barwi adalah merupakan tiga serangkai yang ke mana-mana selalu
bersama-sama. Pada suatu hari aku merasakan
ada getaran cinta di hatiku pada Ki Barwi yang
pendiam dan tenang. Rupanya Ki Barwi yang tahu
bahwa Bah Jenar mencintaiku tak mau menerima
cintaku membuat hatiku seketika mendendam
padanya. Akhirnya pecahlah kami. Bah Jenar
yang memang mencintaiku setengah mati, membantuku memusuhi Ki Barwi. Namun sejauh itu,
kami berdua tak pernah mampu mengalahkannya. Pada suatu ketika aku dan Bah Jenar memperoleh sebuah petunjuk berupa kitab pusaka.
Maka dengan mempelajari kitab itu, aku mampu
mengalahkan Ki Barwi. Namun ketika aku hendak menurunkan tangan jahat pada Ki Barwi,
seorang pendekar muda tiba-tiba datang menolongnya. Karena merasa tinggi ilmu yang kumiliki, hingga akupun menjadi orang


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sombong dan
memandang rendah pada semua orang. Tapi ternyata pendekar muda yang bernama Boyong
mampu mengalahkanku hingga tubuhku hancur.
Mungkin karena kutukan ilmu itu, aku tak dapat
mati sebelum sekutupun mati. Kalau aku boleh
tahu, siapakah sebenarnya engkau tuan pendekar?" "Aku adalah murid tunggal Empat Pendekar Sakti dari Chandra Bilawa yang di antaranya
Ki Bayong" menjawab Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah yang seketika itu
mengejutkan Dewi Tengkorak Hidup. Hingga saking terkejutnya. Dewi Tengkorak Hidup bergumam tak sadar. "Pantas, pantas!"
"Apa yang kau bilang pantas?"
"Ya... pantas saja kalau kau masih semuda
ini memiliki ilmu yang tinggi melebihi ilmu pendekar-pendekar kawakan, karena kau digembleng
oleh empat orang Pendekar Sakti sekaligus."
"Baiklah, Dewi. Nyawamu aku ampuni. Sekarang tunjukkan padaku di mana Bah Jenar berada" Kedua, kalau kau tak menginsafi segala
tindakanmu, maka aku tak akan segan-segan
menghukummu. Nah, katakan di mana Bah Jenar sekarang?"
"Bah Jenar telah pergi."
"Pergi" Pergi ke mana" Kau jangan membohongi aku. Dewi!" berkata Jaka tak percaya dengan nada marah, menyangka kalau
Dewi Tengkorak telah mendustainya.
"Benar, Tuan Pendekar. Bah Jenar pergi ke
pulau Andalas untuk meminta bantuan pada sahabatnya yang bernama Tengku Loreng."
"Apa"! Bah Jenar mau meminta bantuan
pada Tengku Loreng?"
Tersentak Jaka seketika itu, demi mendengar keterangan dari Dewi Tengkorak Maka dengan
tanpa bicara lagi, Jaka segera berkelebat meninggalkan Nyi Sarpa Rukinten yang terbengongbengong menyaksikan kepergiannya.
Setelah beberapa saat kepergian Jaka, Nyi
Sarpa Rukinten pun segera menyusulnya. Entah
ada perasaan apa di hati Nyi Sarpa Rukinten,
yang seketika telah tergetar. Wajah Jaka selalu
membayang dalam benaknya. Maka sebelum pergi, hatinya sempat berbisik
"Sungguh aku tak rela bila pemuda itu harus menjadi korban Bah Jenar. Apapun yang terjadi, aku harus mampu menghalangi niat Bah Jenar. Bila perlu aku rela berkorban untuknya."
Dengan segera Nyi Sarpa Rukinten berkelebat menuju ke arah mana Jaka pergi. Pagi telah
kembali datang, membiaskan sinar kemerahmerahan di ufuk Timur manakala ayam jantan
berkokok. Mampukah Jaka mengejar Bah Jenar...?""
* * * Bah Jenar tampak terus berlari walaupun
hari telah menjelang pagi. Malah tampak Bah Jenar makin mempercepat larinya, terus menuju ke
arah Barat di mana hamparan hutan lebat membentang luas. "Sungguh bahaya kalau sampai anak muda
itu dapat mengejarku. Sedang untuk menuju ke
Sunda Kelapa aku harus menempuh perjalanan
sekitar tiga hari. Hem... aku akan mencari kuda
dulu sebelum melanjutkan perjalananku."
Ketika Bah Jenar tengah terus berlari, tibatiba dia tersentak manakala seorang wanita berdiri menghadangnya dengan senyum yang cukup
membuat dada lelaki bergemuruh risuh.
Mata Bah Jenar seketika melotot, melihat
tubuh wanita cantik itu tanpa sehelai benangpun
polos berdiri dengan kaki melipat satu sama lain.
Melelet lidah Bah Jenar, bagaikan tak kuasa lagi
menahan gejolak birahi.
Wanita itu sepertinya memasang jerat dengan senyumnya, hingga membuat Bah Jenar melototkan mata manakala wanita itu makin mendekat ke arahnya. Dengan terbata-bata Bah Jenar
bertanya. "Si... siapakah Ni Sanak?"
"Hi, hi, hi. Kaukah yang bernama Bah Jenar?" "Be... benar. Siapakah Ni Sanak sebenarnya" Dan dari mana Ni Sanak
mengenal nama- ku?" "Hi, hi, hi." Kembali wanita itu tertawa cekikikan, tangannya melambai
mengundang Bah Jenar. "Maukah kau menjadi pendampingku,
Bah?" Kaget bercampur senang beraduk menjadi satu di hati Bah Jenar yang segera
menurut mendekat dengan senyum play boy tuanya.
"Siapakah, Ni Sanak sebenarnya?" kembali Bah Jenar mengulang pertanyaan itu.
Matanya terus mengawasi tubuh wanita itu yang tak tertutup sehelai benangpun.
"Kau mau tahu namaku?"
Bah Jenar mengangguk sembari menyambut tangan wanita itu yang putih mulus. Keduanya segera melangkah sembari bergandeng tangan. "Nanti juga kau akan tahu siapa aku sebenarnya. Yang penting sekarang kau
mau menjadi pendampingku," berkata wanita itu yang dengan segera menarik tangan Bah Jenar
pergi menghilang entah ke mana dalam seketika.
Bah Jenar tersentak, manakala dirinya telah berada pada sebuah ruangan yang mirip dengan ruangan itu, kala melihat banyak pasukan
bersenjata lengkap berdiri dengan siaga.
"Di manakah aku?" bertanya Bah Jenar.
Wanita yang tadi bersamanya kini tengah
duduk di sebuah singgasana megah. Terbuat dari
gading gajah hingga nampak indah.
Di bibir wanita itu tergurat senyuman, sementara matanya menyorot suatu kewibawaan.
Dari mulutnya yang tersungging senyuman, terbersit suaranya yang halus dan merdu berkata:
"Bah Jenar. Inilah kerajaanku. Kini kau
tengah berada di kerajaan Siluman Buaya Sungai
Condong. Aku memang sengaja mencarimu. Menurut wangsit yang aku terima, bahwa kaulah
yang akan mampu memberikan keturunan pada
kami. Bersediakah kau menjadi suamiku. Bah?"
Tersentak Bah Jenar seketika, manakala
dia mendengar ucapan Ratu Siluman Buaya Kali
Condong. Dirinya yang saat itu tengah terbengong-bengong tak mengerti, seketika membeliakan matanya kaget.
"Bagaimana, Bah Jenar?" kembali Ratu Siluman Buaya Biru bertanya, demi
dilihatnya Bah Jenar masih terdiam tak menjawab.
"Ba... baiklah! Aku menerimanya, tapi dengan syarat."
"Apa syaratmu. Bah?"
Sesaat Bah Jenar terdiam membisu, memandang pada Ratu Siluman Buaya Kali Condong. Lalu dengan menyembah terlebih dahulu.
Bah Jenar mengucapkan apa yang menjadi syaratnya. "Aku hanya meminta satu syarat, Sri Ratu."
"Apa" Katakanlah." mendesak Ratu Siluman Buaya Biru bertanya, tak sabar menunggu
ucapan yang bakalan dilontarkan oleh Bah Jenar.
Kembali Bah Jenar terdiam menunduk, tak
segera menjawabnya. Dihelanya napas panjangpanjang, lalu dengan suara berat Bah Jenar pun
kembali berkata.
"Ampun, Sri Ratu. Saat ini hamba lengah
dikejar-kejar oleh seorang pemuda."
"Heh! Bukankah kau memiliki ilmu segudang, Bah" Mengapa kau mesti takut dengan seorang pemuda?" bertanya Sri Ratu seraya mengerutkan kening manakala mendengar
ucapan Bah Jenar. Dalam hatinya bertanya-tanya. "Bagaima-na mungkin, Bah Jenar yang
terkenal dengan ilmu-ilmu silumannya takut menghadapi seorang
pemuda" Siapa sebenarnya pemuda itu" Apakah
ia juga siluman sepertiku?"
"Tidak demikian halnya, Sri Ratu. Pemuda
itu jauh lebih tinggi ilmunya bila dibandingkan
dengan ilmuku."
"Ah! Apakah kau tak sedang mengada-ada.
Bah?" "Pemuda itu bukan pemuda sembarangan.
Ia berilmu tinggi dan memiliki sebuah senjata
yang bernama Pedang Siluman. Senjata itu merupakan sebuah senjata pusaka yang aneh."
"Aneh" Apa keanehannya?" bertanya Ratu
Siluman Buaya Biru yang tampaknya masih tak
percaya. Matanya memandang tak berkedip pada
Bah Jenar yang menunduk tak berani membalas
memandang. Dengan terlebih dahulu menelan ludah manakala paha Ratu Siluman Buaya Biru terangkat dan ia melihatnya. Bah Jenarpun kembali
berkata: "Benar, Sri Ratu. Senjata itu akan muncul
bila berhadapan dengan seorang musuh."
"Cek, ck, ck! Luar biasa. Apakah kau telah
mencobanya. Bah?"
"Belum, Sri Ratu."
"Kenapa kau merasa yakin kalau kau tak
mampu menghadapinya?" bertanya Sri Ratu menjadikan Bah Jenar seperti tersindir. Dengan tersenyum malu Bah Jenar makin menundukan kepalanya. "Aku sudah tahu syarat apa yang hendak
kau pinta. Kau menghendaki aku melindungimu,
bukan?" kembali Sri Ratu bertanya. Dijawab dengan anggukan kepala oleh Bah
Jenar. "Baiklah, Bah. Aku akan melindungimu,
asal kau memang bersedia menjadi pendampingku." "Dengan senang hati, Sri Ratu." menjawab Bah Jenar dengan perasaan bahagia,
sebab ia akan mendapatkan dua-duanya. Pertama ia akan
mendapatkan perlindungan dari Ratu Siluman
Buaya Biru. Kedua ia akan mendapatkan tubuh
Ratu Siluman Buaya Biru yang denok montok
serta cantik wajahnya.
Demi mendengar jawaban Bah Jenar, dengan seketika Ratu Siluman Buaya Biru kembali
tersenyum. Lalu dengan tubuh yang tak tertutup
sehelai benangpun. Ratu Siluman Buaya Biru
berjalan mendekati Bah Jenar.
Diulurkannya tangan pada Bah Jenar yang
menyambutnya dengan suka cita sembari tersenyum. Lalu keduanya pun seketika melangkah
menuju ke sebuah kamar yang telah disediakan.
Manakala tirai kelambu telah ditutup keduanya pun segera bercumbu rayu layaknya seperti pengantin baru. Satu persatu pakaian yang
dikenakan Bah Jenar terlepas dari badan. Napas
Bah Jenar terdengar memburu, layaknya seperti
seekor kuda tengah berpacu kala matanya melirik
ke arah selangkangan Ratu Siluman Buaya Biru.
Matanya melotot tajam memandang tak
berkedip, sementara tangannya tak hentihentinya bergerak liar meraba-raba ke sekujur
tubuh Ratu Siluman Buaya yang mendesis-desis.
Tak berapa lama antaranya, keduanyapun
segera bergumul-gumul. Napas keduanya memburu liar, seirama dengan alunan birahi yang telah menggeluti perasaan mereka. Bah Jenar tak
menyadari apa yang tengah ia geluti waktu itu,
yang sebenarnya seekor buaya biru. Buaya itu
meregang kejang, manakala Bah Jenar tampak
menggelosor loyo tertidur di sisinya.
7 Jaka yang tengah mengejar Bah Jenar
tampak kebingungan, mana kala ia kehilangan jejak dalam hutan Singkakak yang merupakan perbatasan wilayah Kulon dengan Sunda Kelapa.
Bingung Jaka saat itu, untuk menentukan
ke mana langkah kakinya berpijak. Saking tak
mengerti harus ke mana, Jaka pun akhirnya
hanya mampu berjalan lesu menyusuri Kali Condong. "Aneh! Ke mana lenyapnya Bah Jenar" Padahal aku telah mengerahkan Ajian
Angin Puyuh tingkat akhir yang berarti aku telah berlari dengan kencangnya melebihi lari seekor kuda yang
kuat sekalipun atau melebihi terbangnya burung
camar. Hem, aku tak yakin kalau Bah Jenar
mampu menghilang. Jangan-jangan...."
Belum habis pikirannya mengira-ngira,
terdengar suara bunyi-bunyian gamelan menggema di gendang telinganya. Semakin ia mendengar,
semakin dekat saja rasanya bunyi-bunyian itu.
"Hem... tentu ada yang sengaja hendak
menggangguku. Aku rasa bangsa siluman penunggu hutan ini. Baik, akan aku lihat macam
apa bangsa siluman yang siang-siang begini
membisingkan telingaku."
Sejenak Jaka terdiam membisu dengan


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata terpejam rapat. Lalu dengan perlahan, kedua tangannya direntangkan lebar-lebar membentuk sebuah garis lurus. Dan dengan sekuat tenaga, Jaka kembali menyatukan kedua tangannya.
"Ajian Penyibak Alam Gaib. Hiattt..!"
"Wuss...!"
Angin seketika berhembus dengan kencang
menerpa segala apa yang berada di dekatnya. Sekilas ada semacam lendiran lebar sepanjang empat tombak, membentang di hadapannya. Ketika
jari telunjuk Jaka bergerak menotok lendir itu,
seketika terbentanglah di hadapannya sebuah kota. "Hem... rupanya di kota Siluman ini. Aku
ingin tahu ada apa gerangan di kota siluman ini."
Dengan menggunakan sukmanya Jaka berkelebat
menuju ke dalam kota Siluman yang tampak ramai. Janur mayang dan umbul-umbul terpajang
di sana-sini, menghias di setiap pelosok kota.
Seorang pemuda siluman tengah berjalan mana
kala menghampiri.
"Ki Sanak. Gerangan apakah yang tengah
berlangsung di kota ini" Hingga begitu banyak
yang datang mengunjunginya?"
Sesaat pemuda itu memandang padanya.
Mau tak mau Jaka pun akhirnya memandang pada dirinya sendiri dengan terbengongbengong. "Adakah keanehan pada diriku, Ki Sanak?"
"Kau bukan penduduk sini, Ki Sanak" Sepertinya kau warga manusia. Kebetulan sekali kalau begitu," berkata pemuda itu yang menjadikan Jaka terbelalak tak mengerti.
"Kebetulan sekali. Apa maksud ucapannya?" Belum juga hilang rasa kaget di hatinya, seketika pemuda di hadapannya
telah kembali berkata: "Kebetulan sekali. Ketahuilah olehmu, Ki Sanak. Bahwa negariku tengah
dilanda musibah
yang sangat menyedihkan."
"Musibah?" desis Jaka.
"Kenapa" Sepertinya kau terkejut, Ki Sanak?" "Bagaimana tidak. Kau bilang kerajaan tengah dilanda musibah. Tapi mengapa
aku mendengar suara gamelan?"
"Ah, sudahlah. Sekarang juga kau akan
aku ajak menghadap ratu kami yang mulia Ratu
Siluman Bumi. Ayo!" mengajak pemuda itu yang oleh Jaka walaupun dengan hati
bertanya-tanya.
Di bangsal istana, tampak tengah berkumpul para patih dan pembesar lainnya. Mereka sepertinya tengah menanti-nanti gerangan apa yang
bakal dititahkan oleh Sri Ratu.
Dari dalam istana, tampak seorang wanita
cantik berjalan diiringi oleh dayang-dayang menuju ke sebuah bangku yang berada di bangsal itu.
Matanya yang jeli memandang tajam. Semua yang hadir di situ, seketika menyembah tanpa ada seorangpun yang berani menatapnya.
Sri Ratu duduk dengan anggun di tahta berukir ular kobra di atasnya. Mahkota yang dikenakan oleh Sri Ratu pun berukir ular kobra dengan kepala menjuruk ke muka seperti garang.
"Paman Patih Sanca Siti Abang. Apakah telah kau dapatkan keterangan di mana pusaka
itu?" berkata Sri Ratu dengan suaranya yang
merdu. Walaupun begitu, tak seorang pun di antara punggawanya merdu. Walaupun begitu, tak
seorangpun di antara ponggawanya yang berani
menentangnya. Mata Sri Ratu memandang tajam
pada patihnya yang segera menyembah.
"Ampun, Sri Ratu. hamba telah mendapatkan keterangan, siapa yang telah berani mencuri pusaka kerajaan. Pencurinya tak lain adalah
seorang manusia yang kini bersekongkol dengan
kerajaan Siluman Buaya Biru. Orang itu menurut
ahli tenung bernama Bah Jenar."
"Hem... pantas kalau ia bisa mengambil
pusaka itu. Sebab pusaka Keris Naga Runting
hanya dapat dijamah oleh kaum kita dan bangsa
manusia saja. Sedang bangsa lain tak akan mampu memegangnya," berkata Sri Ratu seraya mengangguk-anggukan kepalanya. "Kalau begitu, ma-ka hanya manusia saja yang dapat
mengambilnya kembali. Kalau pusaka itu tidak segera direbut,
sungguh petaka bagi kita dan bagi bangsa manusia." Tengah mereka berpikir bagaimana caranya merebut pusaka itu dari tangan Siluman
Buaya Biru Kali Condong. Seorang pemuda datang menghadap. Dengan menyembah terlebih
dahulu, pemuda itu segera menyampaikan maksud kedatangannya.
"Ampun, Sri Ratu. Hamba ingin menyampaikan sesuatu."
"Tentang apa itu?" bertanya Sri Ratu.
"Hamba datang bersama seorang manusia
yang mungkin dialah orang yang dimaksud oleh
Sri Ratu." Seketika seluruh yang ada di situ membelalakkan matanya manakala
seorang pemuda tampan santai masuk ke dalam badan
menjura hormat dengan cengengesan.
"Ini orang yang hamba maksudkan, Sri Ratu," kembali pemuda itu berkata, demi melihat orang yang bersamanya telah masuk
ke dalam. Sri Ratu terdiam memandang dengan mata
tak berkedip pada pemuda yang baru datang.
"Hem... apakah pemuda setampan ini akan mampu menghadapi Bah Jenar" Sungguh aku tak tega
kalau akhirnya pemuda itu menjadi korban. Tampan nian! Sungguh dia akan menjadi rebutan para gadis manusia."
Saking takjubnya Sri Ratu memandang wajah Jaka, hingga tak disadari kalau ia tengah melamun. Pandangannya melekat pada wajah Jaka
yang berani menentang pandangan Sri Ratu.
Tercekat pemuda temannya manakala melihat Jaka dengan berani memandang pada Sri
Ratu. Hati pemuda di sampingnya gundah. Takut
kalau-kalau Sri Ratu akan murka, ketika ia melirik ke arah Sri Ratu, sungguh ia terkesima. Betapa tidak! Sri Ratu ternyata juga mengurai senyum
memandang dengan mata sayu pada pemuda di
sampingnya. Lama Sri Ratu terdiam saling pandang
dengan Jaka, sepertinya mereka berdua tengah
mendalami isi hati masing-masing. Lalu setelah
beberapa saat terdiam, Sri Ratu akhirnya berkata
dengan suara lembut:
"Anak muda tampan, siapakah namamu?"
"Hamba bernama Jaka, Sri Ratu," menjawab Jaka dengan masih menaruh hormat, menjadikan Sri Ratu makin melebarkan senyum. Sepertinya di balik senyum itu tersembunyi suatu harapan yang kini melekat di balik kedua matanya
yang indah dan sayu.
"Jaka, maukah kau membantu kami?"
"Membantu" Membantu apa" Aku sendiri
tak mampu apa-apa."
Kembali Sri Ratu tersenyum lebar demi melihat kekonyolan yang ada pada diri Jaka. Dengan
menahan geli melihat tingkah Jaka, Sri Ratu
kembali berkata:
"Pusaka kerajaan ini telah dicuri oleh
orang, yaitu kaum bangsamu atas perintah kerajaan Siluman Buaya Biru. Orang itu menurut ahli
nujumku bernama Bah Jenar."
"Untuk apa kerajaan Siluman Buaya Biru
mencuri pusaka kerajaan yang Sri Ratu pimpin
ini?" Kembali Sri Ratu memandang tajam pada Jaka sepertinya tengah menyelidik
siapa sebenarnya pemuda di hadapannya.
Setelah memandang untuk beberapa saat,
terdengar Sri Ratu kembali berkata: "Sepuluh tahun yang lalu kerajaan ini dengan
kerajaan Silu- man Buaya Biru bentrok gara-gara memperebutkan seorang manusia tampan yang memiliki
sebuah pusaka bernama Naga Runting. Namun
ternyata orang itu tidak menanggapi rasa cinta
kami. Bahkan dengan terus terang, orang itu
mengatakan bahwa maksudnya tak lain untuk
menyerahkan pusaka Naga Runting itu pada kerajaan kami. Merasa cintanya ditolak, penguasa
Siluman Buaya Biru menuduh kamilah yang
membuat gara-gara dan menghasut orang tersebut. Jelas saja kami tak mau tinggal diam. Maka
untuk kedua kalinya kami berperang, namun
dengan adanya pusaka Naga Runting berada di
tangan kami, maka kami dapat mengalahkan kerajaan Buaya Biru. Rupanya dendam mereka terus membara di hati dan mereka pun terus berusaha untuk mengambil pusaka Naga Runting. Beberapa kali mereka mencoba, namun selalu gagal
karena pusaka itu tak dapat dijamah oleh kaumnya. Dengan datangnya manusia di kerjaan Siluman Buaya Birulah, pusaka kerajaan ini dapat
diambil. Mungkin mereka tengah mempersiapkan
penyerangan kembali."
Jaka terangguk-angguk mendengarkan apa
yang diutarakan oleh Sri Ratu.
"Sri Ratu, tadi Sri Ratu mengatakan bahwa
pencurinya bernama Bah Jenar."
"Benar, Jaka. Ada apa?"
"Kebetulan. Aku sendiri tengah mencarinya." "Kebetulan apa, Jaka?" Sri Ratu kembali bertanya.
"Aku datang ke sini ternyata tak sia-sia,
karena aku datang ke sini tengah mencari orang
tersebut yang telah membuat keonaran di dunia
manusia. Baiklah Sri Ratu, hamba siap untuk
membantu."
Tersenyum senang semua yang hadir di situ, manakala mendengar ucapan Jaka yang sepertinya gong untuk bertindak. Maka dengan penuh harap, Sri Ratu pun berkata:
"Jaka, maukah kau untuk sementara tinggal di sini?"
Sesaat Jaka terdiam.
"Hamba mau, asalkan hamba diperkenankan dapat membawa jasad wadag hamba terlebih
dahulu yang tengah hamba tinggalkan. Karena
dengan jasad hamba, hamba akan dapat leluasa
bertindak"
"Baiklah, Jaka. Kau boleh mengambil terlebih dahulu jasad wadagmu yang kau tinggal di
alam dunia. Nah, bawalah ini. Dengan batu ini,
kau dapat keluar masuk ke mari tanpa terlebih
dahulu meninggalkan jasadmu," berkata Sri Ratu seraya menyerahkan sebutir batu
sebesar pala dengan ukiran ular cobra pada Jaka yang segera
menerimanya. "Ambilah jasadmu. Dengan batu
itu, kau akan bebas leluasa membuka tabir dunia
siluman. Hingga sewaktu-waktu kau dapat berkunjung ke mari."
Maka dengan diantar beberapa prajurit siluman, Jaka pun segera pergi untuk mengambil
jasadnya yang ia tinggalkan di alam kehidupan
manusia. * * * Tersentak Jaka seketika setelah rohnya
kembali ke jasadnya, tatkala melihat ada orang
lain yang duduk di sebelahnya. Saking kagetnya
Jaka mendapatkan orang itu, matanya seketika
terbelalak dan mulutnya berdesah.
"Ah... kaukah Nyi Sarpa Rukinten" Sudah
lamakah kau datang?"
Nyi Sarpa Rukinten dengan menyenderkan
kepalanya di bahu Jaka ia pun berkata: "Aku
sengaja menyusulmu, Jaka. Sungguh aku merasakan bahwa aku sebenarnya telah jatuh hati padamu. Rasa takutku kehilangan kamu menjadikan aku ingin selalu berada di sisimu."
"Ah! Sungguh aku bahagia mendengarnya.
Nyi. Tapi..." Jaka tak segera meneruskan ucapannya, menjadikan Nyi Sarpa
Rukinten seketika
memandangnya dengan penuh tanya.
"Tapi apa, Jaka" Apakah aku di matamu
kurang cantik?"
"Bukan itu maksudku. Nyi. Kau sangat
cantik. Bahkan bidadaripun akan kalah dengan
kecantikanmu. Kalau saja aku belum bertunangan, aku rasa aku sangat senang mendengar ucapanmu itu," berkata Jaka menerangkan.
"Tak apa, Jaka. Walaupun kau jadikan aku
isteri yang kesepuluh sekalipun," Nyi Sarpa Rukinten tampak makin merebahkan
kepalanya dari pundak beralih pada pangkuan Jaka yang hanya
dapat diam. Namun ketika tangan Nyi Sarpa Rukinten hendak merangkul lehernya, dengan segera Jaka mencegahnya.
"Jangan. Nyi!"
"Kenapa, Jaka" Apakah kau tak mencintaiku?" "Bukan itu maksudku. Ketahuilah olehmu, bahwa Bah Jenar sekarang berada di
sekitar sini."
Tersentak Nyi Sarpa Rukinten seketika itu,
demi mendengar ucapan Jaka. Matanya membeliak ketakutan, sepertinya mendengar ribuan sua

Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ra hantu saja. Dengan rasa tak begitu percaya,
Nyi Sarpa Rukinten bertanya: "Kau tak membohongiku, Jaka?"
"Tidak! Malah aku sebenarnya tengah menjalankan tugas untuk menghalangi maksud Bah
Jenar. Untuk itulah Nyi, aku harap kau segeralah
pergi dari sini dahulu agar jangan sampai Bah
Jenar mengetahuimu. Sungguh aku tak dapat
membayangkan kalau Bah Jenar akan mengetahui dirimu bersekongkol denganku. Bukankah itu
suatu petaka besar bagimu?"
"Benar, Jaka. Jadi haruskah aku selalu
menahan rindu padamu?" Kata-kata Nyi Sarpa
Rukinten yang polos menjadikan Jaka terheranheran bertanya-tanya dalam hati. "Apakah ini Nyi Sarpa Rukinten yang asli" Bukan
dalam pengaruh Dewi Tengkorak" Apakah Dewi Tengkorak telah pergi" Bukankah Dewi Tengkorak akan pergi
bila Bah Jenar telah mati?"
Jaka tersenyum-senyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Nyi
Sarpa Rukinten. Lalu dengan senyum di bibirnya,
Jaka pun berkata:
"Nyi... ku harap kau mampu menahan diri,
sebab di sini banyak bangsa siluman. Bah Jenar
pun sekarang tengah berada di alam siluman.
Eh... apakah kau tak mampu melihatnya. Nyi"
Bukankah kau dalam kuasa Dewi Tengkorak Hidup?" "Tidak. Aku tak dapat melihat alam siluman karena aku sekarang telah
terbebas dari pengaruh Dewi Tengkorak."
Terbelalak mata Jaka seketika mendengar
ucapan Nyi Sarpa Rukinten. Hatinya tak begitu
percaya. Bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan Bah Jenar masih hidup.
Jaka yang telah menyangka hal itu, tak
banyak bertanya lagi. Lalu dengan berbisik, Jaka
menyarankan agar Nyi Sarpa Rukinten segera
pergi dahulu kembali ke desanya.
"Tapi aku tak berani, Jaka. Aku saat ini
tengah diburu oleh pendekar-pendekar golongan
lurus persilatan." berkata Nyi Sarpa Rukinten mengiba menjadikan Jaka kasihan
melihatnya. Maka dengan terlebih dahulu garuk-garuk kepala,
Jaka pun akhirnya berkata:
"Baiklah, Nyi. Aku akan menemanimu pulang dan memberi tahukan pada tokoh-tokoh persilatan bahwa kau tak bersalah. Sebentar! Aku
akan memberitahukan terlebih dahulu pada Sri
Ratu Siluman Penguasa Tanah."
Terbelalak mata Nyi Sarpa Rukinten manakala tiba-tiba Jaka telah menghilang dari sisinya.
Bagaikan orang yang linglung. Nyi Sarpa Rukinten terbengong mencari-cari.
Tak berapa lama antaranya Jaka tiba-tiba
telah muncul kembali. Hal itu menjadikan Nyi
Sarpa Rukinten merambek, menyangka dipermainkan. "Kau nakal, Jaka. Biar aku di sini saja,"
berkata Nyi Sarpa Rukinten ngambek menjadikan
Jaka blingsatan tak mengerti. Mau tak mau Jaka
pun harus merayu-rayu terlebih dahulu. Dan ketika Nyi Sarpa Rukinten memeluknya, Jaka tampak hanya diam membiarkan bibirnya dicium
dengan mesra. Dengan tertawa-tawa keduanya
segera berkelebat pergi meninggalkan hutan itu.
8 Di goa tempat Bah Jenar dulu bersemayam, tampak segerombolan orang-orang yang
berjumlah hampir mencapai seratus orang. Di situ tampak juga beberapa tokoh-tokoh persilatan
dari golongan lurus yang memang mendendam
pada Bah Jenar, yang dianggapnya biang kerusuhan di desa dekat kaki Gunung Galunggung. Tokoh persilatan itu seperti, Ki Barwa, Ki Panganoman, dan beberapa tokoh persilatan wilayah kulon lainnya. "Hancurkan goa iblis ini! Buang segala apa
yang ada di dalamnya atau bakar!" berseru Ki Barwa, orang-orang yang telah
berada di situ dengan segera mengobrak-abrik isi goad an membakarnya. "Lihat! Apakah ada setannya" Tidak bukan" Tak ada pocong atau dedemit lainnya. Semua merupakan permainan Bah Jenar belaka!
Maka bila Bah Jenar telah pergi atau mati, setan
dedemitnya pun akan mati!." Seluruh warga dengan menumpahkan segala kejengkelan
dan kema- rahannya membakar serta memporak porandakan
goa itu. Asap dan api mengepul membumbung
tinggi manakala api melahap segala isi goa itu. sorak sorai kemenangan warga
desa berkumandang,
menggema mengisi lerung-lerung hutan dan bukit-bukit. Walaupun mereka telah mengetahui bahwa
Bah Jenar telah pergi meninggalkan goa itu, namun tokoh-tokoh persilatan tampak terus berjaga-jaga kalau-kalau ada hal-hal yang dapat membahayakan warga.
Akhirnya goa iblis itu habis termakan api,
hingga tinggal puing-puing bebatuan dan debudebu yang beterbangan ditiup angin.
Setelah melihat hasilnya dengan wajah
berseri-seri seluruh warga desa segera kembali
menuju ke kampung di balik hutan yang beberapa waktu lalu telah menjadi teror Bah Jenar.
* * * Jaka dan Nyi Sarpa Rukinten yang telah
datang di desa itu tampak terbengong-bengong
manakala melihat penduduk desa tak ada yang di
rumah. Yang ada hanyalah ibu-ibu dan anakanak kecil, yang segera bersembunyi manakala
melihat kedatangan Nyi Sarpa Rukinten.
"Lihatlah, Jaka bukankah mereka masih
menganggapku seperti pada waktu aku dalam
kuasaan Dewi Tengkorak?"
"Sabarlah mungkin mereka masih terbayang manakala kau dalam kuasa Dewi Tengkorak Sebenarnya Dewi Tengkorak pun tak salah."
"Kok, begitu?" bertanya Nyi Sarpa Rukinten tak mengerti.
"Ya! Ketika dia tengah masih menguasai dirimu, ia sempat berkata padaku bahwa dirinya
sebenarnya enggan melakukan kekejaman kalau
saja tidak dipengaruhi oleh Bah Jerat yang akan
membinasakannya bila ia menolak."
"Apa kau percaya dengan ucapan iblis, Jaka?" "Maksudmu?"
"Apakah kau yakin bahwa Dewi Tengkorak
akan menghentikan terornya" Ketahuilah, Jaka.
Bahwa Dewi Tengkorak tak akan menghentikan
terornya sebelum sempat mendapatkan kitab
yang akan memulihkan dirinya dari sekarang."
"Aku belum mengerti maksudmu."
Jaka tampak makin bingung, mendengarkan segala ucapan Nyi Sarpa Rukinten yang
membeberkan perihal Dewi Tengkorak.
Nyi Sarpa Rukinten tersenyum manja. Matanya memandang lekat-lekat pada Jaka yang segera membalas tersenyum.
"Sebelum ia membebaskan diriku, ia sempat berkata padaku bahwa ia sengaja mengalah
padamu agar usahanya untuk mendapatkan kitab
Loh Gawening Urip tidak engkau campuri. Kedua
ia sengaja mengalihkan perhatianmu untuk terus
memburu Bah Jenar yang nantinya akan menghalangi maksudnya. Karena bila Bah Jenar masih
hidup, maka ia akan menjadi penghalang selain
dirimu. Untuk itulah, ia pura-pura menyerah dan
mengalihkan perhatianmu pada Bah Jenar."
"Oh begitu?" bergumam Jaka sembari
mengangguk-anggukan kepalanya "Lalu, apakah
ia tak menceritakan ke mana ia sekarang pergi?"
Sesaat Nyi Sarpa Rukinten terdiam menjelikan matanya yang indah pada Jaka. "Dia hanya berkata akan ke gunung Tengger
untuk mencari kitab Loh Gawening Urip. Katanya kitab itu dapat
menjadikan orang yang mempelajarinya akan
menghidupkan orang yang telah mati."
"Jadi Bah Jenar waktu itu belum mempunyai kitab itu?"
"Belum. Bah Jenar hanya bermaksud menakut-nakuti saja agar tokoh-tokoh persilatan
akan merasa takut padanya."
"Kenapa begitu?" tanya Jaka makin tak
mengerti. "Ya. Sebab dengan kitab Loh Gawening
Urip di tangannya, maka Bah Jenar akan mampu
menjadikan orang yang telah mati hidup kembali.
Bahkan dirinya tak akan dapat mati," menjelaskan Nyi Sarpa Rukinten. Sementara Jaka
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seperti
mengerti. Keduanya terus melangkah seiring menuju
ke tempat di mana dulu menjadi kediaman Nyi
Sarpa Rukinten. Tengah keduanya berjalan, keduanya tersentak manakala terdengar suara
orang-orang yang berlari-lari menuju ke arah mereka. "Itu dia iblisnya!"
"Cincang...!"
"Gantung...!"
"Tapi, dia kan cantik" Apa tidak lebih baik
kita jadikan bini?"
"Ngaco! Apa kau mau menjadi santapan iblis?" berkata yang lain, menimpali ucapan lelaki yang merasa iba juga.
Jaka dan Nyi Sarpa Rukinten seketika terbelalak melihat orang-orang itu sepertinya penuh
amarah pada Nyi Sarpa Rukinten. Nyi Sarpa Rukinten hendak berlari pergi, tatkala dengan cepat Jaka mencegahnya.
"Jangan pergi!"
"Kenapa" Apakah kau akan membiarkan
tubuhku dibeset-beset oleh mereka yang tak
mengerti sebenarnya?" bertanya Nyi Sarpa Rukinten dengan nada cemas dan was-was.
Hingga tan- gannya seperti berontak dalam genggaman Jaka.
"Aku harap kau tak perlu khawatir. Biar
nanti aku yang akan memberi tahukan pada mereka." Akhirnya Nyi Sarpa Rukinten pun hanya menurut diam, membiarkan apa yang
bakal terjadi dengan dirinya. Sementara orang-orang itu semakin dekat memandang dengan penuh kebencian dan keberingasan.
"Iblis! Kenapa kau tak segera menyerah saja!" berkata seorang yang terlebih dahulu sampai.
"Ki Sanak, aku harap kau jangan terlalu
dipengaruhi oleh emosi. Apakah kau yakin bahwa
gadis yang bersamaku ini yang telah membuat teror?" tanya Jaka mencoba menengahi.
"Cuih! Rupanya kau juga pendekar mata
keranjang. Sudah tahu kalau dia telah membuat
keributan dan teror, mengapa pula kau lindungi?"
membentak orang tadi.
Jaka masih berusaha menahan sabar, walau dirinya telah dicaci maki. Dengan penuh kesabaran yang ada, Jaka pun kembali berkata: "Ki Sanak, aku harap kau jangan
menuduh sembarangan. Aku bukannya hendak melindungi hal
yang salah, tapi hendaknya kau dapat menahan
diri." Bagaikan tak mau mendengar ucapan Ja-ka, orang itu terus memandang tajam
pada Nyi Sarpa Rukinten. Matanya yang beringas sepertinya hendak menelan bulat-bulat Nyi Sarpa Rukinten. "Kau, jangan banyak alasan! Aku tahu, kalau kau sebenarnya mencintai
gadis itu hingga
kau yang kesohor sebagai seorang pendekar, sebenarnya kini rak ubahnya bagaikan kebo yang
tercongok hidungnya," orang itu berkata bagaikan sangat benci pada Jaka. Hingga
segalanya seketika itu ditumpukan pada Jaka.
Geram hati Jaka mendengar ucapan lelaki
itu. Namun demikian, ia tetap berusaha menahan
kemarahannya, ia tak menginginkan adanya pertumpahan darah akibat kesalahpahaman. Napasnya tampak memburu, kesal dan marah beraduk
menjadi satu. Manakala Jaka tengah memandang tajam
pada lelaki di hadapannya. Tiba-tiba dari arah
depannya muncul beberapa orang tokoh persilatan wilayah kulon yang diikuti oleh warga desa.
Tampak perubahan di wajah kelima orang
manakala melihat orang-orang warga desa yang
dipimpin oleh beberapa tokoh persilatan dari Kulon tiba menuju ke tempatnya.
"Hai! Ke mana saja kau. Jaka?" berseru Ki Barwa, demi melihat Jaka tengah
berdiri di hadapan lima orang asing yang belum ia kenal. "Siapakah kelima orang
ini, Jaka" Apakah mereka
teman-temanmu?"
Terbelalak mata Jaka mendengar pertanyaan Ki Barwa. Begitu juga kelima orang yang
tengah berdiri di hadapannya.
Tampak wajah kelima orang itu begitu tegang. Sesaat memandang pada Jaka, sesaat berikutnya memandang pada Ki Barwa dan tokohtokoh persilatan lainnya.


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan penuh curiga dan marah, Jaka segera membentak kelima orang itu. "Siapa kalian!"
Bukannya jawaban yang diperoleh oleh Jaka dari kelima orang itu. Malah sebaliknya kelima orang itu dengan segera
menyerang secara tiba-tiba. Beruntung Jaka waspada segera ia berkelit
menghindari serangan kelima orang musuhnya.
"Siapa kalian" Apakah kalian sengaja
membuat halangan untuk menghalangiku" Kenapa kalian tiba-tiba memusuhiku?" kembali Jaka bertanya dengan tak mengerti, ia
terus berusaha menghindari serangan-serangan yang dilakukan
kelima musuhnya.
Ki Barwa dan Ki Panganoman yang juga
tersentak manakala mengetahui kelima orang itu
menyerang Jaka bermaksud membantu, seketika
dengan segera Jaka mencegahnya.
"Tak usah Ki Sanak berdua repot-repot.
Aku yakin mereka memang menghendaki nyawaku." "Tapi orang-orang ini sungguh-sungguh tak punya rasa kemanusiaan, Jaka?"
berkata Ki Barwa tak puas.
"Memang mereka bukanlah bangsa manusia, Ki Barwa. Lihatlah! Sebentar lagi kalian semua akan mengetahui siapa sebenarnya mereka."
Habis berkata begitu dengan segera Jaka
melentingkan tubuhnya ke angkasa. Dengan tubuh yang masih melenting tinggi Jaka segera bersemedi sembari berdiri. Sesaat semuanya terbelalak melihat tingkah Jaka yang bagi mereka sungguh suatu kemustahilan. Bagaimana mungkin
orang yang tengah bersalto dapat melakukan meditasi dengan baik seperti yang dilakukan Jaka"
Belum juga hilang rasa heran mereka, tibatiba Jaka telah membuat semua mata terbelalak
bercampur rasa ngeri. Tatkala tangan Jaka membentuk sebuah sibakan, seketika kelima orang
musuhnya menjerit, melengking dengan kerasnya. Bukan itu saja, tiba-tiba raut wajah kelima
orang itu berubah menjadi muka-muka buaya.
"Ah...!" memekik Ki Barwa bersama semua yang ada di situ.
"Lihatlah! Kalau saja kalian tak teliti, maka kalian akan mendapat duri dalam
daging. Mereka adalah siluman-siluman Buaya Biru Kali Condong
yang tengah diperintah oleh kambratnya Bah Jenar untuk menghalangi aku agar aku tak segera
membantu seterusnya Siluman Penguasa Bumi."
Mendengar ucapan Jaka, maka dengan segera orang-orang yang ada di situ berkelebat
mengeroyok kelima siluman. Pertempuran masal
pun segera terjadi dengan serunya. Tampak kegigihan terus berada di pihak warga desa walau telah banyak jatuh korban tetap terus bersemangat.
Di hati mereka hanya ada satu tujuan, menang
untuk mencapai kedamaian atau mati tak tahu
lagi apa yang bakal terjadi meneror desanya
Dengan dikomando oleh Ki Barwa dan Ki
Panganoman, warga desa terus merangsek dengan penuh semangat. Repot juga kelima siluman
utusan Buaya Biru menghadapi ratusan masa
yang tampaknya tak pernah mau mengalah.
"Bahaya, Kakang Longgar, kalau kita terus
menerus menghadapi mereka. Apalagi kita berada
jauh dari wilayah kita," berkata salah seorang siluman pada temannya.
"Benar, adi Ginjling. Kalau kita terus menerus begini, maka tak ayal kitalah yang bakalan
kalah," menyahuti Longgar.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Terpaksa kita harus menarik diri," menjawab Longgar.
"Kabur maksud kakang?" bertanya Ginjling, diangguki oleh Longgar.
Warga desa yang tak mengerti bahasa siluman itu, tak menyadari bahwa musuh mereka
bermaksud melarikan diri. Maka manakala kelima
siluman buaya itu berteriak, mereka menyangka
kelima siluman itu hendak menyerang, dengan
segera warga desa mundur sesaat untuk bersiapsiap. Namun rupanya hal itulah yang tengah ditunggu-tunggu oleh kelima siluman itu, yang
dengan segera berkelebat lari meninggalkan tokoh
persilatan dan warga desa.
"Jangan lari!" membentak warga dan bermaksud mengejar mana kala Jaka dengan segera
mencegahnya. "Jangan dikejar!"
"Kenapa, Jaka?"
"Ingat Ki Barwa. Kalau kalian mengejar mereka, maka mereka akan menjebak kalian ke wilayah mereka. Apakah kalian akan sanggup
menghadapi ilmu-ilmu siluman mereka?"
Terdiam semuanya mendengar ucapan Jaka, yang dirasa memang benar adanya. Setelah
sesaat terdiam, terdengar kembali Ki Barwa bertanya. "Lalu, apakah kita akan membiarkan mereka kembali menteror desa ini?"
"Tidak, Ki. Aku akan menyusul mereka. Ketahuilah, bahwa kini di dunia siluman tengah terjadi sebuah permusuhan. Permusuhan itu bermula dari perebutan keris Naga Runting. Salah satu
pihak yang bermusuhan adalah kerajaan siluman
kelima siluman itu yang ditumpangi oleh Bah Jenar. Karena memang kebetulan, aku pun akhirnya terlibat pula di situ. Pertama aku hendak
memburu Bah Jenar yang telah membuat teror di
desa ini. Kedua aku merasa perlu membantu kerajaan Siluman Penguasa Bumi yang memang berada di pihak yang benar. Dialah yang berhak
atas keris pusaka Naga Runting yang telah dicuri
oleh Bah Jenar atas perintah Ratu Siluman
Buaya Biru. Aku datang ke mari untuk memberi
tahukan pada kalian bahwa Nyi Sarpa Rukinten
tak bersalah. Dan perlu kalian ketahui, bahwa Nyi Sarpa Rukinten kini telah
bebas dari pengaruh
Dewi Tengkorak. Aku titip Nyi Sarpa Rukinten
pada kalian. Jadikanlah ia sebagai warga kalian
yang baik."
Bersamaan dengan habis ucapannya. Seketika itu pula Jaka telah lenyap dari hadapan mereka yang terbengong-bengong bingung. Seperti
halnya Nyi Sarpa Rukinten yang terperangah
hampir jatuh manakala tangannya tiba-tiba lepas
dari genggaman Jaka.
9 Di tempat kerajaan Siluman Buaya Kali
Condong, saat itu tampak tengah terjadi persiapan pasukan besar-besaran. Mereka tengah
mempersiapkan perang.
Berdiri paling depan, Bah Jenar memimpin
pasukan siluman tersebut. Wajahnya yang ditumbuhi cambang brewok, makin tampak menyeramkan. Ditambah dengan sorot matanya yang
merah menyala menjadikan Bah Jenar bagaikan
seorang liar. "Wahai para ponggawa, apakah kalian telah
siap dengan pasukannya masing-masing!"
"Kami siap. Maha Raja Bah Jenar!"
"Bagus!"
Dengan diiringi oleh dua orang prajurit pilihan. Bah Jenar berjalan tegap memeriksa seluruh pasukannya.
Di atas pendopo, Sri Ratu memperhatikannya dengan bibir terurai senyum. Di pangkuannya seorang bayi tertidur. Itulah anak keturunan
Bah Jenar. "Cipluk, lihat ayahmu. Bukankah ayahmu
gagah?" berkata Sri Ratu pada bayinya, demi melihat Bah Jenar yang dengan
gagahnya bagai seorang komandan pasukan tengah meneliti pasukannya. Memang Bah Jenar saat itu tengah menjadi komandan pasukan Siluman Buaya Biru
yang hendak mengadakan penyerbuan ke Kerajaan Siluman Penguasa Bumi.
"Pasukan... siap berjalan!"
Mendengar komando, seketika semua pasukan Siluman Buaya Biru berjalan menuju ke
Kerajaan Siluman Penguasa Bumi. Langkah mereka begitu rapi. Di wajah mereka tergambar kebahagiaan walau mereka hendak menuju ke medan laga. Bah Jenar segera menghampiri isterinya
yaitu Sri Ratu Siluman Buaya Biru, setelah pasukannya berjalan. Digendongnya sang anak lalu
dicium. Matanya memandang pada Sri Ratu yang
tersenyum. Lalu dengan penuh nafsu dibimbingnya Sri Ratu menuju ke dalam.
Sementara itu pasukannya terus berjalan
dengan langkah pasti. Tangan mereka menggenggam senjata beraneka ragam. Golok, pedang, panah, dan senjata lainnya.
"Sungguh bodoh Sri Ratu," berbisik seorang prajurit pada temannya yang seketika membelalakkan mata kaget dan bertanya.
"Kenapa...?"
"Bayangkan. Padahal masih banyak kaum
kita yang gagah, kenapa mesti memilih bangsa
manusia" Sudah tua renta pula."
"Heh, kenapa kau terlalu memikirkannya?"
"Betapa tidak! Bukankah Bah Jenar sebentar lagi loyo" Kasihan Sri Ratu yang tampaknya
manis hot itu."
Seketika tertawalah temannya demi mendengar ucapan itu. Hingga karena saking kencangnya mereka tertawa menjadikan pimpinan
mereka mendengar dan berseru:
"Hai! Apa yang kalian tertawakan!"
Terdiam keduanya seketika. Ada perasaan
takut di wajah keduanya.
"Ampun, Tuan Patih, hamba hanya menghibur diri."
"Benar, Tuan Patih," lanjut yang diajak ngobrol.
"Sudah!" berkata sang Patih pendek, nadanya begitu sengit.
Kedua siluman itu diam tanpa berani berkata-kata kembali. Melangkahkan kakinya mengikuti pasukan yang lain.
* * * Tersentak seluruh rakyat Siluman Penguasa Bumi, manakala melihat dari kejauhan beriburibu pasukan Siluman Buaya Biru menuju ke kerajaannya. Dengan segera, warga siluman itu berserabutan sembari berteriak-teriak penuh ketakutan. "Musuh datang...!"
"Siluman-siluman Buaya Biru datang!"
"Laporkan pada Sri ratu!" memerintah salah satu siluman.
Dengan segera orang yang diperintah berlari menuju kerajaan. Napasnya ngos-ngosan ketika
sampai menjadikan Sri Ratu mengerutkan kening
melihatnya. "Ada gerangan apa, rakyatku" Nampaknya
kau ketakutan."
"Ampun, Sri Ratu. Hamba melihat...."
"Melihat apa?"
"Hamba melihat Siluman-siluman Buaya
Biru...." "Heh, kenapa dengan Buaya Biru?" mengerut alis mata Ratu Siluman Penguasa Bumi mendengar ucapan warganya. Matanya seketika menyorot tajam, memandang pada warganya yang
hanya menunduk. "Katakan, ada apa...?"
"Buaya Biru hendak menyerang."
"Apa...!" tersentak kaget Sri Ratu bersama
patihnya, demi mendengar laporan warganya. Karena saking kagetnya, semua seketika berdiri dari duduknya.
"Apakah kau tak berdusta?"
"Tidak, Sri Ratu. Mana berani hamba berdusta," menjawab warganya dengan masih menunduk, tak berani untuk menentang pandang
pada Sri Ratunya. Sri Ratu tampak terkesiap. Matanya sekali-kali memandang pada para patih, lalu berganti memandang ke atas di mana terbentang langit-langit yang terbuat dari batu pualam
murni. "Paman Patih, siapkan semua prajurit!" pe-rintahnya.
"Daulat, Sri Ratu."
Dengan terlebih dahulu menyembah, sang
patih segera berlalu meninggalkan bangsal. Bergegas sang patih menuju ke barak prajurit.
"Semua prajurit, kumpul..!"
Bagai semua terganggu tidurnya, semua
prajurit kerajaan Siluman Penguasa Bumi berbondong-bondong keluar dari barak-barak mereka. Lalu dengan keadaan siap, semuanya berkumpul di alun-alun kerajaan.
"Ada gerangan apa. Paman Patih?" bertanya hulubalang
"Kita hendak diserang."
"Diserang...!" berseru semua prajurit kaget.
"Ya, kita akan diserang musuh."
"Dari mana musuh itu. Paman Patih?"
tanya hulubalang
"Dari kerajaan Buaya Kali Condong."
Terbelalak semua prajurit mendengar penuturan patihnya. Mata mereka yang tadinya redup, seketika berubah membara bagai terbakar


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

api. Dari mulut mereka terdengar teriakan semangat. "Ganyang musuh! Ganyang Buaya Biru...!"
"Hancurkan...! Tumpas sampai ke Raturatunya!" "Ayo, perintahkan kami segera!"
Tersenyum sang patih gembira, melihat
prajurit-prajuritnya sangat besar rasa patriotnya pada kerajaan. Dianggukanggukkan kepalanya,
lalu ucapnya: "Kalian semua telah siap perang?"
"Kami siap...!"
"Kami siaga! Ganyang musuh! Ganyang
pencuri...!"
"Baiklah! Siapkan segala senjata, kita hadang mereka!"
Mendengar ucapan patihnya, serta merta
seluruh prajurit bersorak gembira. Lalu dengan
segera, mereka berkelebatan kembali ke barak
untuk mengambil senjata. Tak berapa lama kemudian, mereka telah kembali berkumpul dengan
senjata yang ada di tangan masing-masing.
"Pasukan... Maju...!" berseru sang patih memberi perintah.
Tanpa harus diperintah untuk kedua kalinya, semua prajurit segera berjalan keluar dari alun-alun. Langkah mereka
seperti mantap, dengan hati penuh rasa percaya diri. Bagi mereka perang merupakan jalan terbaik, daripada harus
mengalah pada Kerajaan Siluman Buaya Biru.
* * * Kedua pasukan dari dua kerajaan siluman
terus berjalan menuju ke perbatasan. Bila dilihat dari kejauhan, maka tampaklah
bagaikan seekor
ular raksasa yang berjalan. Hal itu disebabkan
karena saking banyak prajurit yang berjalan memanjang. Di tempat lain. Bah Jenar tampak tengah
duduk-duduk dengan Sri Ratu Siluman Buaya Biru. Mereka tampaknya tengah ngobrol membicarakan rencana mereka menyerbu Kerajaan Penguasa Bumi. "Apakah Kakang Jenar telah yakin kalau
kita akan menang?"
"Aku yakin, sebab keris Naga Runting kini
ada padaku. Bukankah mereka tanpa keris tersebut tak berarti apa-apa?"
"Memang benar apa yang Kangmas katakan. Tapi..." Sri Ratu tak meneruskan katakatanya. Hal itu menjadikan Bah Jenar mengerutkan alis matanya, dan bertanya dengan nada
kaget. "Tapi apa. Istriku?"
"Aku merasa kuatir, Kangmas."
"Kuatir" Kuwatir apa?"
"Firasatku mengatakan bahwa Kerajaan
Penguasa Bumi akan dapat mengalahkan kita."
Terbelalak mata Bah Jenar mendengar penuturan Sri Ratu. Matanya seketika memandang
tajam, seperti hendak menggali apa yang sebenarnya berada di dalam hati Sri Ratu. Lalu dengan terlebih dahulu mendesah. Bah Jenar berkata
lemah: "Ah, sudahlah. Jangan terlalu kau pikirkan. Yang pasti, aku harus mampu
menunduk- kan Kerajaan Penguasa Bumi. Bukan begitu, Isteriku?" Tersenyum Sri Ratu mendengar ucapan
Bah Jenar. Hatinya terhibur oleh kata-kata Bah
Jenar yang dirasakannya bagai angin sejuk, yang
menyeka segala gundah di hati. Dengan bibir dicobanya tersenyum, Sri Ratu kembali berkata:
"Itu yang kuharapkan, Kakang?"
"Harapanmu akan menjadi nyata, Istriku!"
berkata Bah Jenar pasti, menjadikan Sri Ratu
makin melebarkan senyum. Lalu dengan manja
dipeluknya Bah Jenar Kembali keduanya hendak
memadu kasih manakala terdengar anaknya menangis. "Uuuu... Uuuu...!"
Tangisan bayi itu, bukanlah tangisan bayi
manusia. Tangisan Bayi itu merupakan tangisan
bayi buaya. Bah Jenar segera mengurungkan
niatnya. Dihampiri anaknya, lalu digendong. Sementara isterinya tampak tersenyum, seraya bergayut di pundaknya
Diserahkannya si kecil pada sang isteri setelah terdiam. Bah Jenar segera berlalu ke tempat
senjata. Diambilnya sebilah tombak yang bernama Kyai Wulung dan sebilah keris yang memancarkan sinar merah membara. Itulah keris Naga
Runting. Dipandangi keris Naga Runting dengan tersenyum. Diselipkan keris itu pada belakang tubuhnya. Lalu dengan langkah mantap. Bah Jenar
bergegas menemui isterinya.
"Aku berangkat, Isteriku. Do'amu akan
menyertaiku"
"Berangkatlah, Kakang."
Dengan diiringi tatapan mata sang isteri
yaitu Sri Ratu Siluman Buaya Biru, Bah Jenar
segera memacu kudanya pergi menuju ke medan
laga. Tak dirasa oleh Sri Ratu, air matanya menetes di kedua pipinya.
"Ah! Kau akan kehilangan ayah. Anakku."
berkata Sri Ratu pada anaknya yang berada dalam gendongan., Ia sadar, bahwa wangsit yang
semalam ia terima akan benar terjadi pada suaminya. "Oh...! Rupanya Yang Widi tak berkenan dan menurunkan seorang penolong
untuk kerajaan Penguasa Bumi. Pemuda itu... pemuda itu
bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siuman Darah," bergumam Sri Ratu, kembali mengingat wangsit yang telah ia terima semalam.
Kembali dipandangnya Bah Jenar yang terus memacu kudanya, hingga hilang dari pandangan. Sri Ratu tersadar dari lamunannya manakala anaknya menangis karena tertetes air matanya. Dengan penuh kasih, diajaknya bayi itu
masuk menuju ke ruangan khusus.
Bayi kecil itu diteletangkan di atas baskom.
Dari mulut Sri Ratu terdengar desisan-desisan
panjang. Sepertinya Sri Ratu tengah merapalkan
sebuah mantra. Bersamaan dengan itu, asap dupa tampak
mengepul. Asap dupa makin besar dan besar manakala Sri Ratu makin mengeraskan desisannya.
Tampak sebuah bayangan. Bayangan itu perlahan-lahan makin nyata. Tampaklah kini seorang
nenek-nenek tua yang tersenyum ke arah Sri Ratu. "Ada apa. Cucuku. Hingga kau memanggil
diriku?" "Nek! Aku minta tolong padamu."
"Hem... Tentang apa?"
"Bisakah nenek mencegah pendekar muda
yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman agar ia tak dapat datang?"
Mengerut kening si nenek tua demi mendengar permintaan Sri Ratu. Matanya sesaat menyipit, hingga kerutan-kerutan di wajahnya makin
jelas menambah keseraman wajah tuanya.
"Hanya itu yang kau minta?"
"Ia. Nek."
"Baiklah, akan aku coba"
"Terimakasih, Nek."
Setelah menyanggupi apa yang menjadi
permintaan Sri Ratu Siluman Buaya Biru. si nenek seketika lenyap dari pandangan. Bersamaan
dengan hilangnya si nenek, terdengar suaranya
bergema. "Akan aku coba menghadangnya. Hi, hi,
hi..." Habis memanggil si nenek, Sri Ratu segera menghampiri anaknya kembali.
Diambilnya sang
anak lalu dengan perlahan diangkat bayi itu di
atas pedupaan. "Cipluk Sendang. Kalau kelak kau besar,
carilah olehmu seorang pendekar yang bernama
Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah." Suara Sri Ratu menggema mengisi ruangan itu. Bersama habisnya ucapan Sri
Ratu, asap du-pa makin membesar. Sementara Cipluk yang terpanggang bukannya menangis, malah anak orok
itu tertawa-tawa sepertinya mengerti apa yang dikatakan ibunya.
Bila pembaca ingin mengetahui apa yang
akan dilakukan Cipluk Sendang Setelah besar.
Saya persilahkan. Silahkan ikuti terus kisah Pendekar Pedang Siluman Darah dalam judul "Balas Dendam Anak Bah Jenar."
* * * Jaka Ndableg yang tengah berlari menuju
ke hutan di mana tempat bermarkasnya Siluman
Penguasa Bumi, seketika menghentikan langkahnya manakala tampak sebuah pusaran angin
menghadang. "Hai, apa lagi yang mereka maui?" bertanya
Jaka dalam hati demi melihat pusaran angin yang
menghadang langkahnya. Jaka telah tahu siapa
pelaku itu, maka dengan lantang ia berseru:
"Kampret busuk! Nenek centil, untuk apa
kau main gasing begitu" Apa kau tak malu dengan anak-anak kecil?"
Terbelalak nenek siluman Buaya Biru demi
mendengar Jaka telah mengetahui siapa dirinya.
Maka mau tak mau, si nenek segera menghentikan ajiannya. Melihat si nenek telah menghentikan ajiannya kembali Jaka Ndableg yang memang
Ndableg berseru:
"Duh si nenek! Apa kau tidak takut jatuh"
Sepantasnya dalam usiamu yang telah tua renta
melata-lata itu, kau tinggal menunggu sang malaikat saja. Eeh... malah main gasing. Apa kau tak sadar keadaan dirimu, Nek?"
"Anak sundel! Lancang kau berbicara, siapa kau sebenarnya?"
"Eh, Nek. Bukankah kau tadi mengatakan
aku anak sundel. Kenapa kau tanyakan lagi siapa
diriku" Wah, dasar nenek sudah pikun...."
Menggeretak marah si nenek mendengar
ucapan Jaka yang konyol. Maka ketika Jaka
Ndableg dengan acuh hendak berlalu, si nenek
segera berkelebat menghadangnya.
Melihat si nenek tiba-tiba telah menghadang langkahnya, dengan pura-pura kaget Jaka
berseru: "Wah! Rupanya si nenek jago juga main
lompat tali. Genit amat kau, Nek?"
"Edan! Dasar anak edan, Nek?"
"Heh, siapa yang edan, Nek" Kau edan,
Nek" Wah! Kau harus dipasung kalau begitu.
Memang pantas kalau kau dipasung. Pertama,
kau jadi tak genit lagi seperti anak balita atau Batas Liang Tanah alias harus
dimusiumkan."
"Diam!" membentak si nenek marah.
Namun Jaka yang dasarnya Ndableg tidak
mau memperdulikan bentakan si nenek yang disertai pelotan mata. Bahkan dengan cengar-cengir
bagaikan anak hilang, Jaka kembali berseru:
"La dalah. Galak amat, Nek. Apa itu mulut
enggak rombeng nantinya bila dipakai untuk
membentak-bentak terus?"
Tak dapat lagi si nenek menahan marah,
demi mendengar olok-olok Jaka yang telah kelewatan. Dengan didahului pekikkan, si nenek segera menyerang Jaka.
Diserang begitu rupa, bukannya Jaka gentar. Bahkan dengan lagak seperti tak tahu saja,
Jaka berkelit. Dari mulutnya yang memang suka
usilan kembali berseru!
"Tobat, Nek...! Jangan jitak saya...!"
Habis berteriak seperti itu, Jaka segera melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu pada cepat,
Jaka balikkan tubuh bersalto dan tahu-tahu telah
bergerak di belakang si nenek. Sebelum si nenek
tersadar, Jaka dengan jahil menjambak rambutnya. Diangkatnya tubuh si nenek ke atas, lalu
dengan cepat diikatkan rambut si nenek dengan
cabang pohon kelor hingga si nenek seketika memekik kesakitan. Tubuhnya bergerak-gerak berusaha melepaskan ikatan itu, namun ikatan Jaka
ternyata sangat kencang.
Setelah mengikatkan rambut si nenek pada
cabang pohon kelor, Jaka segera melompat turun.
Diambil selembar daun talas yang banyak uletnya, lalu dengan segera dibawanya ke atas. Melotot mata si nenek siluman Buaya Biru, melihat
apa yang dipegang Jaka. Takut dan geli beraduk
menjadi satu, hingga si nenek nampak gemetaran. Jaka yang suka usilan terus makin mendekatkan ulat-ulat kecil itu ke wajah si nenek yang makin ketakutan, sampai-sampai
si nenek siluman itu terkencing-kencing.
"Wah... kenapa ngompol, Nek?" berkata Ja-ka. "Nah, karena ompolmu baunya bukan
main aku jadi enggan untuk menemanimu main-main.
Aku mau pergi, ah... selamat tinggal. Nenek. Kencinglah di situ sesuka hatimu. Ha, ha, ha...!"
"Lepaskan aku. Anak muda," meminta si
nenek ketika Jaka hendak berlalu pergi.


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, ogah. Bau ompol!" menjawab Jaka
seenaknya dan kembali berlalu meninggalkan si
nenek yang masih terkatung-katung dengan rambut terikat di cabang pohon Kelor. Dengan mengambil pala yang diberikan deh Sri Ratu Penguasa Bumi, Jaka
segera menyibak alam siluman.
* * * Bergegas Jaka menuju ke Kerajaan Siluman Penguasa Bumi untuk menemui Sri Ratu.
Maka dengan menggunakan ajian Angin Puyuh,
Jaka berlari dengan cepatnya. Tak begitu lama ia
berlari, akhirnya Jaka sampai di Kerajaan Siluman Penguasa Bumi.
Mengerut alis mata Jaka manakala melihat
Kerajaan tampak sepi. Dicobanya mencari barang
seujud Siluman, namun tak ditemukannya. Tanpa membuang-buang Waktu, Jaka dengan segera
masuk ke dalam istana.
"Sampurasun...!"
Sepi, tak ada jawaban.
"Sampurasun...! Adakah Sri Ratu di dalam?" kembali Jaka berseru.
"Rampes...! Kaukah, Jaka?" terdengar sua-ra Sri Ratu menjawab.
"Ya, aku Jaka."
Tak berapa lama kemudian. Sri Ratu Siluman Penguasa Bumi keluar. Wajahnya yang pucat, seketika berseri-seri demi melihat Jaka. Bibirnya yang mungil, seketika terurai senyum.
"Kenapa sepi. Sri Ratu" Ke mana semuanya?" Ditanya begitu rupa oleh Jaka, Sri Ratu tak segera menjawab. Mukanya yang
tadi berseri, kini
tampak sayu. Dengan terlebih dahulu mendesah,
Sri Ratu akhirnya berkata:
"Kerajaan Siluman Buaya Biru telah menyerang. Kini semua prajurit tengah menghadang
di perbatasan."
"Ah, kalau begitu aku terlambat datang!"
"Belum, Jaka. Kau belum terlambat, sebab
para prajurit kini masih bertempur..." berkata Sri Ratu demi mendengar ucapan
Jaka yang nadanya
seperti menyesal. Ditatapnya lekat-lekat mata Jaka, yang saat itu juga memandang ke arahnya.
"Kalau begitu aku harus segera ke sana."
Jaka hendak segera berlalu, ketika Sri Ratu memanggilnya.
"Jaka..."
Jaka segera menghentikan langkahnya
kembali memandang pada Sri Ratu yang tersenyum menghampirinya. Tanpa diduga oleh Jaka
sebelumnya, Sri Ratu tiba-tiba memeluknya. Tergagap Jaka seketika, namun ia tak dapat berbuat
apa-apa kecuali diam. Dan ketika Sri Ratu mendekatkan bibirnya, Jaka hanya mampu menerimanya. Keduanya segera terdiam bisu, dengan
bibir mereka saling beradu. Ketika Sri Ratu hendak mengajaknya makin jauh, Jaka segera berkata: "Sri Ratu, bukannya aku menolak. Tapi
bukan saatnya kita bermesra-mesraan, sedang
para prajurit tengah menghadapi perang. Aku
hendak ke sana untuk membantu."
"Aku ikut, Jaka."
"Ikut...?" bertanya Jaka seperti pada diri sendiri, kaget mendengar permintaan
Sri Ratu. Ditatapnya kembali wajah Sri Ratu, yang tersenyum sembari menganggukkan kepala. Sepertinya memberi keyakinan. Akhirnya Jaka hanya
dapat mendesah sembari berkata:
"Baiklah..."
Dengan segera Jaka mengambil seekor kuda. Keduanya segera memacu kuda dengan cepat,
menuju ke daerah perbatasan di mana kedua pasukan perang dua kerajaan siluman tengah saling
bertempur. Pertempuran telah terjadi. Korban di antara kedua belah pihak telah banyak berjatuhan.
Pekik kematian menggema, bersamaan dengan
robohnya para prajurit yang meregang nyawa.
Seperti para prajuritnya yang tengah bertempur, kedua pimpinannya pun tak mau tinggal
diam. Bah Jenar selaku pimpinan Kerajaan Buaya
Biru, tengah berhadapan dengan Patih Sanca Siti
Abang. "Pencuri busuk! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kau harus mati.
Manusia durjana!" membentak Patih Sanca.
"Hua, ha. ha... Putih dungu! Jangan harap
kau mampu mengalahkan aku. Walau kau siluman, namun dengan keris Naga Runting di tanganku kau tak akan mampu menghadapiku. Menyerahlah!"
"Manusia laknat. Jangan harap aku mau
menyerah padamu. Ayo, kita buktikan siapa di
antara kita yang paling unggul!"
Secepat kilat, Patih Sanca berkelebat menyerang Bah Jenar. Diserang begitu cepatnya,
Bah Jenar tidak mau tinggal diam. Bah Jenar segera mengelak dan balik menyerang. Pertarungan
kedua pimpinan itu kembali berlangsung. Masingmasing dengan ilmu yang mereka miliki berusaha
menggempur lawan.
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat.
Dari jurus-jurus silat biasa, kini mereka menginjak ke jurus-jurus siluman. Segala ajian yang mereka miliki telah mereka keluarkan. Banyak sudah korban berjatuhan terkena ajian mereka.
Jaka dan Sri Ratu Siluman Penguasa Bumi
terus memacu kudanya dengan cepat, sepertinya
mereka ingin segera sampai di tempat yang dituju, berkali-kali keduanya menggebrak kais, membuat kuda-kuda yang ditumpangi seketika meringkik dan mempercepat larinya.
"Sebentar lagi kita sampai, Jaka."
"Hem... Itu bagus. Ayo, kita percepat. Hia,
hia, hia...!"
Kembali keduanya menghentakkan kais
kuda yang membuat kuda meringkik dan kembali
lari makin kencang. Hingga tak begitu lama kemudian, keduanya pun sampai ke tempat tujuan.
Perang masih begitu ramai. Pekik-pekik
kematian terus bersahut-sahutan silih berganti.
Darah telah banjir membasahi lapangan tempat
pertempuran. Namun sejauh itu, kedua pasukan
kerajaan siluman seperti tak ada yang bakal kalah. Bah Jenar yang kini berada di atas angin,
terus mendesak Patih Sanca dengan keris Naga
Runting. Tusukkan-tusukkannya, selalu mengarah pada tempat-tempat yang mematikan. Karena
terpepet terus, makin lama keseimbangan Patih
Sanca makin berkurang. Hingga seketika keris
Naga Runting hampir saja mengakhiri hidupnya.
Keris Naga Runting berkelebat dengan cepat, menusuk ke arah lambung Patih Sanca.
Hampir saja keris di tangan Bah Jenar
mengoyakkan perut Sanca manakala sebuah
bayangan berkelebat dengan cepat menghantamkan ilmu pukulannya ke arah keris tersebut.
Bergetar Bah Jenar menarik serangannya.
Dirasakan olehnya hawa pukulan yang dilontarkan seseorang telah mampu membuat tangannya
kesemutan. Belum hilang rasa kaget Bah Jenar,
terdengar suara seorang anak muda berkata menyapa. "Selamat berjumpa. Bah Jenar" Kenapa
kau lari dari tanggung jawabmu?"
"Kau...!" Terbelalak mata Bah Jenar, menatap tajam pada pemuda yang berdiri di
hadapan- nya. "Siapa, kau...!"
"Aku Jaka Ndableg, yang biasa disebut tokoh persilatan dengan sebutan Pendekar Pedang
Siluman Darah."
"Jadi, kau...."
Pucat pasai wajah Bah Jenar setelah tahu
siapa adanya pemuda di hadapannya yang masih
tersenyum. Namun setelah ingat bahwa keris Naga Runting di tangan, Bah Jenar tumbuh keberaniannya. Maka dengan didahului dengan hentakkan. Bah Jenar segera menyerang Jaka Ndableg.
"Wao! Rupanya kau tua-tua keladi, makin
tua makin jadi. Sayang kurang gesit. Bah! Apa
karena kau terlalu diperas tenaganya untuk meladeni Ratumu. Bah?"
Marahlah Bah Jenar bukan alang kepelang
diledek begitu rupa oleh Jaka Ndableg.
"Setan kecil! Rupanya kau mencari mampus!" "Hai! Apakah kau tak salah ngomong.
Bah..." Bukankah kau sendiri yang suka main setan-setanan dengan Ratu Siluman Buaya Biru"
Kapan kau menjadi iblis. Bah...?"
"Anak gila! Terimalah kematianmu.
Haatt...!" Bah Jenar yang sudah begitu marah, tak dapat mengontrol serangannya.
Namun dengan keris Naga Runting di tangannya. Bah Jenar
bagaikan tak pernah capai. Dicercanya Jaka yang
terus menghindar.
"Bahaya! Ternyata keris di tangannya yang
sangat berbahaya. Hem, keris itu mampu menyedot tenagaku." menggumam Jaka dalam hati.
"Rupanya kau takut juga, Anak muda.
Nah, bersiaplah untuk mati."
"Jangan bangga dulu seperti anak kecil dapat permen, Bah... lihat ini...!"
Jaka dengan segera melancarkan ajiannya.
"Aji Getih Sakti. Hiaat...!"
Tubuh Bah Jenar yang tak sempat mengelak, seketika terhantam ajian tersebut. Namun
betapa terbelalaknya mata Jaka manakala dilihatnya Bah Jenar tak mempan dihantam ajian
Getih Sakti. Bahkan dengan congkaknya. Bah Jenar yang merasa di atas angin berseru:
"Keluarkan semua yang kau miliki. Anak
muda. Aku dengan keris Naga Runting, tak akan
dapat kau kalahkan."
"Jangan sombong. Bah. Lihat ini....!"
Kembali Jaka Ndableg melancarkan Ajiannya Bledeg Sewu. Namun seperti yang pertama,
Bledeg Sewu tak berarti apa-apa. Dihantamnya
lagi Bah Jenar dengan Ajian Tapak Prahara.
Kembali tak apa-apa.
"Hem, rupanya keris itulah penyebabnya.
Baik, akan aku coba dengan menggunakan senjata juga," bergumam Jaka dalam hati. Lalu dengan segera, Jaka merapalkan ucapan
memanggil Ratu Siluman Darah. "Dening Ratu Siluman Darah, datanglah."
Tiba-tiba di tangan Jaka telah tergenggam
sebatang pedang yang mengeluarkan warna kuning kemerah-merahan. Dari ujung pedang, menetes darah merah membasahi batangnya.
Terbelalak Bah Jenar melihat hal itu. Matanya melotot tajam memandang pada pedang
yang tergenggam di tangan Jaka Ndableg. Tak sadar, mulutnya mendesis.
"Pendekar Pedang Siluman Darah!"
"Bersiaplah, Bah Jenar...!"
"Hem, jangan kau anggap akan mampu
mengalahkanku. Walaupun kau menggunakan
Pedang Siluman Darah. Hiat...!" Bah Jenar segera berkelebat menyerang dengan
keris Naga Runting
yang mengiblat ke arah Jaka.
Melihat Bah Jenar telah berkelebat menyerang. Segera Jaka pun memapakinya. Pedang Siluman Darah segera diluruskan mengiblat ke
muka. "Hiaaaaaatttttt!"
Trang! "Aaaaaaaahhhhhhh...!" memekik Bah Jenar manakala Pedang Siluman Darah membabat
tangannya hingga puntung. Keris Naga Runting mencelat dengan tangan yang putus. Belum juga Bah
Jenar terdiam dari pekikkan, tiba-tiba Pedang Siluman Darah di tangan Jaka kembali berkelebat
dan membelah tubuh Bah Jenar menjadi dua.
"Aaaaaaaa... aaaaaaaa!" kembali Bah Jenar memekik, kali ini untuk terakhir.
Tubuhnya telah terbelah menjadi dua. Namun sungguh aneh, tubuh yang terbelah itu tak ada setetes darahpun
yang mengalir. Bersorak-sorai para prajurit Siluman Penguasa Bumi menyambut kemenangan itu. Sri Ratu tersenyum melebar, lalu dengan segera menghampiri Jaka. Tanpa malu-malu, diciumnya Jaka
di hadapan para prajuritnya.
Di tempat lain. Ratu Siluman Buaya Biru
seketika meneteskan air mata. la telah tahu,
bahwa suaminya telah binasa di tangan Pendekar
Pedang Siluman Darah.
Karena dendamnya pada Pendekar Pedang
Siluman Darah begitu menggelegar di dadanya.
Sampai-sampai, Sri Ratu bersumpah.
"Aku bersumpah. Anakku kelak akan menuntut balas!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan Sri
Ratu Siluman Buaya Biru, petir seketika mengge

Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

legar-gelegar sepertinya merestui dan menyaksikan sumpah tersebut. Nah, untuk dapat mengetahui bagaimana akibat sumpah Ratu Siluman
Buaya Biru, silahkan ikuti lanjutan Pendekar Siluman Darah selanjutnya.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Thanks to Culan Ode atas bantuan melengkapi
halaman yang hilang.
Alap Alap Laut Kidul 7 Si Pemanah Gadis Karya Gilang Pendekar Pedang Sakti 8

Cari Blog Ini