Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Mawar Kematian Bagian 2
"Ampun, Emak! Mereka hendak mencincang Jaka...!" seru Jaka bagaikan anak kecil.
Hal itu menjadikan nafsu penyerangnya yang sedari tadi memang telah kesal dengan
ulah Jaka, Mereka terus mencerca Jaka, bagaikan tak memberi kesempatan sedikit
pun bagi Jaka untuk mengatur napas. Golok di tangan mereka silih berganti,
menyerang. Hal itu menjadikan Jaka menggerutu kesal, yang dengan konyolnya
menyemburkan ludah ke muka penyerangnya.
"Cuh...!"
Mata orang yang terkena semburan ludah Jaka, seketika gelap. Maka serangan
mereka pun makin tak menentu. Bahkan teman sendiri diserang begitu saja.
"Edan si Jumro! Kenapa kau menyerang aku, hah!" maki orang yang diserang Jumro.
"Aduh... Aduh, mataku...!" Jumro menjerit-jerit.
"Hua, ha, ha...! Nah, siapa lagi yang ingin susu indomilk?"
"Sinting! Kau harus mampus, anak muda!"
dengus Gober. "Apa..." Kau minta mampus" Baiklah! Kalau memang itu kehendak kalian, akan aku
bantu kau ke akherat, hiaat...!"
Jaka bergerak cepat, tak segan-segan lagi menghantamkan tangannya yang berisi
te-naga dalam. Tangannya bagaikan burung pela-tuk, mematuk jidat orang-orang
itu. Seketika menjeritlah orang-orang yang terkena. Dalam sekali gebrakan saja,
sepuluh orang telah terhantam. Di jidat mereka tergambar angka dadu, yang
menjadikan Jaka makin ganda tawanya seperti melihat hal lucu.
Di pihak lain, Loro Ireng yang tengah dikeroyok oleh kepala desa dan para pamong
Praja nampak masih tenang. Sudah lima orang yang meregang nyawa, terhantam
tangan Loro Ireng yang disaluri ajian Tangan Dewa.
"Terimalah Dewa Brahma!" bentak Loro Ireng.
Bersamaan dengan itu, tangan Loro Ireng seketika menyala bagaikan tertutup api.
Itulah kehebatan tangan Dewa. Setiap kali Loro Ireng merapalkan segala Dewa,
maka tangannya akan seketika berubah menjadi tangan Dewa.
Dewa Brahma adalah Dewa Api, sehingga tangan Loro Ireng pun menjadi api.
Tersentak mundur kepala lurah melihat hal itu. Nyalinya seketika menciut. Namun
sebagai kepala desa, ia dituntut untuk membasmi kerusuhan di desanya. Mau tak
mau, kepala de-sa itu pun membuang segala kengerian di hatinya. Maka dengan
Ajian Tirta Buananya, Kepala Desa segera berkelebat memapaki serangan Loro
Ireng. "Tirta Buana.... Hiaatt...!"
"Hiaatt...!"
"Duar!"
Ledakan terdengar seketika, manakala dua ajian bertemu menjadi satu saling
serang. Kepala desa terpental lima tombak dengan tubuh terjengkang, mulutnya
mengeluarkan darah segar.
Sementara Loro Ireng pun tak luput. Tubuhnya terjengkang tiga tombak, matanya
melotot tak percaya.
Dengan mendengus marah, Loro Ireng yang sudah mampu menjaga keseimbangannya
kembali hendak menyerang Kepala Desa. Membeliak mata Kepala Desa, manakala Loro
Ireng berkelebat dengan ajian Dewa Wisnu. Tangan Loro Ireng seketika berubah
banyak dengan api yang menyala-nyala.
"Gusti Allah! Mungkin hanya di sini umurku!" batin kepala desa, manakala Loro
Ireng semakin dekat ke arahnya. Namun ketika Loro Ireng hendak menghabisi nyawa
Kepala De-sa, secepat kilat sebuah bayangan berkelebat memapakinya.
"Aaah...!" Orang yang memapakinya seketika melengking. Tubuh orang itu hangus,
terbakar oleh api yang menyala-nyala. Kepala De-sa tersentak membuka matanya,
memekik manakala tahu siapa orang yang telah berusaha meno-longnya.
"Rekso Panuluh! Rekso Panuluh!"
Rekso Panuluh yang telah mati, tak mendengar jeritan Kepala Desa yang
mengguncang-guncang tubuhnya. Rekso Panuluh adalah salah seorang tangan kanan
Kepala Desa yang sangat setia pada pimpinannya. Pengorbanan Rekso Panuluh begitu besar dengan cara mengorbankan nyawanya untuk keselamatan Kepala
Desanya. "Sundel Bolong! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" menggeretak Kepala Desa marah.
La-lu dengan menggeram terlebih dahulu, kepala desa segera menyerang Loro Ireng
yang tersenyum.
"Akan aku kirim kau ke neraka, Kepala Desa dungu!" bentak Loro Ireng. "Terimalah
ajian ku. Dewa Petir...!"
Dikiblatkan tangannya yang telah dilan-dasi dengan Ajian Dewa Petir. Seketika
petir membahana, mengejutkan semua orang yang ada di situ termasuk Jaka. Jaka
yang tengah mempermainkan anak buah Loro Ireng tersentak manakala didengarnya
petir membahana.
"Hem, rupanya di sini ada yang memiliki ajian Petir seperti milikku!" batin
Jaka. Dengan segera Jaka menengok sesaat ke asal suara petir itu. Matanya seketika
membeliak, mana kala dilihatnya seorang gadis mengumbar ajiannya yang
mengeluarkan petir menyerang orang tua yang tampak lemah. "Aku harus meno-long
orang tua itu!" pekik Jaka dalam hati.
Maka dengan sekali loncat, tubuhnya telah melesat menghadang serangan Loro
Ireng. "Petir Sewu...!" seru Jaka.
Hampir saja Kepala Desa itu terhantam ajian Dewa Petir yang dilontarkan oleh
Loro Ireng, kalau saja Jaka tidak segera memapaki serangan Loro Ireng dengan
Petir Sewunya. "Duar...!"
"Aah...!" pekik Loro Ireng dengan tubuh terjengkang ke belakang. Pakaian yang
dikenakan seketika hancur terbakar oleh petir yang dilontarkan Jaka.
"Anak muda! Kali ini aku mengalah.
Tunggulah nanti!"
Dengan perasaan malu karena tubuhnya tak tertutup sehelai benang pun, Loro Ireng
segera pergi diikuti oleh sisa-sisa anak buahnya.
* * * Sepeninggalan Loro Ireng beserta kambrat-kambratnya, Jaka segera menghampiri
Kepala Desa yang masih pucat. Dibantunya Kepala Desa itu bangun.
"Siapa mereka, bapak?" tanya Jaka.
"Mereka adalah gerombolan Alas Renges, nak," jawab Ki Lurah dengan napas ngosngosan. "Kau hebat, anak muda. Kau mampu men-galahkan ajian Dewa Petir miliknya.
Siapa namamu?"
"Nama saya Jaka, pak."
"Jaka, tanpa kedatanganmu mungkin entah jadi apa desa ini. Untuk itulah, aku
selaku pimpinan desa mengucapkan terima kasih."
"Itu sudah kewajibanku, bapak. Tak per-lulah bapak memikirkannya," jawab Jaka
dengan senyum, menjadikan seluruh warga yang ada di situ memdecak kagum. Gadisgadis yang melihatnya seketika melekatkan pandangan matanya pada wajah Jaka yang
tampan. "Wah, sudah tampan berilmu tinggi pu-la," gumam Kemuning pada temannya.
"Kau naksir, Kemuning?"
"Ah, mana dia mau yang tampan dan sakti denganku yang jelek" Bisa-bisa
diketawai!"
jawab Kemuning sambil tersenyum.
Sementara Jaka dengan Kepala Desa terus
melangkah menuju ke rumah Kepala Desa. Sambil berjalan, mereka saling bercerita
tentang keadaan diri mereka masing-masing. Tak terasa, dalam beberapa menit saja
keduanya telah sampai.
"Inilah rumahku, Jaka. Ayo mampir!"
"Ah, terima kasih. Gampang lain waktu saja. Aku mohon pamit!"
"Kau mau ke mana, Jaka?"
"Aku akan melihat pertempuran itu!"
Habis berkata begitu, secepat kilat Ja-ka telah berkelebat. Hal itu menjadikan
Ki Lurah melototkan mata tak percaya sembari menggumam. "Apakah dia itu Dewa"
Kalau orang, mana mungkin dapat berlari seperti angin?"
Orang-orang yang mengantar Ki Lurah
hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala, demi melihat kelebatan Jaka yang
bagaikan angin.
* * * Pagi yang telah datang, manakala mentari menyibak daun-daun yang berada di hutan
dengan sinarnya. Burung-burung terdengar ber-nyanyi dengan riangnya, seakan
mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.
"Ooh, hari telah pagi. Pantas kalau aku silau, tak tahunya sinar matahari
menerpa wa-jahku," gumam Jaka yang baru saja terbangun dari tidurnya. "Semalam
aku bertempur dengan gerombolan Alas Renges. Hem, aku akan mencari mereka!"
Dengan sekali loncat, Jaka telah turun dari batang cabang pohon yang
dijadikannya tempat tidur. Setelah melemaskan tubuh, Jaka segera berkelebat
untuk mencari air. Tak berapa lama kemudian, Jaka dapat menemukan sebuah kolam air.
Setelah celingukan ke sana ke mari dan dirasakan tak ada orang lain, dengan
segera Jaka langsung menceburkan diri ke sendang itu.
"Ah, dingin benar air sendang ini!"
Walau air sendang itu memang dingin, namun terasa sejuk kala Jaka terus
menyibak-kan badannya. Hingga saking asyiknya Jaka mandi, sampai-sampai ia tidak
menyadari bahwa musuh akan selalu datang tak mengenal waktu.
Begitu juga saat itu, Jaka tak menyadari kalau sepasang mata lentik tengah
mengawasi dirinya. Mata itu milik seorang wanita, yang merasa kagum atas
ketampanan Jaka.
"Sungguh tampan pemuda itu," gumam wanita itu dalam hati. "Aku... Oh, kenapa kau
begitu tertariknya untuk dapat mengenalnya?"
Perlahan-lahan gadis itu melangkah mendekati tempat di mana Jaka menaruh
pakaiannya. Dengan perlahan-lahan hingga tak menimbulkan suara sedikitpun, gadis
itu segera mengambil baju Jaka.
Ketika Jaka telah selesai mandi dan
hendak mengambil pakaiannya, seketika mata Jaka melotot kaget. Bajunya telah
hilang, yang ada hanya celananya saja. Dengan menya-bet celana dan bergegas
mencari tempat ber-sembunyi, Jaka segera pergi untuk mengenakan celananya.
"Ke mana bajuku" Apakah aku lupa menaruh?" gumam Jaka dalam hati, bingung. "Ah,
tidak. Aku tidak lupa, aku belum linglung.
Atau barangkali terhanyut oleh air" Coba aku cari lagi!"
Jaka dengan segera kembali berkelebat menuju ke sendang, di mana ia tadi mandi.
Matanya memandang pada air sendang yang tampak bening.
"Hem, tak ada. Masa baru sekejap saja bajuku tenggelam" Tak mungkin...!" gumam
hati Jaka penuh ketidakmengertian.
Tengah Jaka kebingungan menari bajunya, terdengar seorang gadis mendehem dan
bertanya kepadanya. "Ehm.... sedang apakah dirimu, Ja-ka?"
Jaka segera memalingkan mukanya, memandang pada gadis itu dengan terkejut.
Betapa tidak, bertemu saja baru sekarang, mengapa gadis itu mengenalnya"
"Apakah sedemikian tenarnya, sehingga namaku begitu melekat di hati gadis-gadis"
Ah, kayak bintang film saja," gumam Jaka dalam hati.
"Heh, dari mana nona tahu namaku?"
tanya Jaka dengan kebingungannya. Namun gadis itu bukannya menjawab, bahkan
dengan tersenyum dia mengerlingkan matanya genit.
"Sompret...! Ditanya, eh malah main ma-ta. Apa sih maunya?" kembali Jaka
bergumam dalam hati, demi dilihatnya gadis itu main mata dengannya.
"Nona, apakah nona tahu bajuku?"
"Kalau aku tahu, mau kau beri aku apa?"
balik bertanya si gadis, yang menjadikan Jaka jantungnya deg-degan melihat
senyum yang sengaja ditujukan ke arahnya.
"Jadi benar namamu, Jaka?"
"Ya, ada apa?"
"Ah, tak apa-apa. Terus terang saja, kau tampan!"
"Aah...." Terbelalak mata Jaka mendengar pengakuan gadis itu yang polos. "Apa
kau tak bercanda, nona?"
"Tidak! Aku tidak bercanda. Bukankah aku tadi mengatakan terus terang saja?"
jawab si gadis makin melebarkan senyumnya.
Hati Jaka seketika bagai bedug ditabuh, bergemuruh dengan segala perasaan
bangga. Tak terasa, Jaka pun menatap mata si gadis lekat-lekat. Hingga untuk
beberapa lama Jaka hanya diam mematung, sementara matanya tak luput dari tatapan
si gadis. "Kenapa kau bengong, Jaka?"
"Ah, ti... tidak!" jawab Jaka terbata.
Lalu setelah dapat menenangkan pikirannya, Jaka kembali meneruskan. "Nona, kau
telah ta-hu siapa namaku. Sekarang aku ingin bertanya, tahukah kau siapa yang
telah mengambil bajuku?"
Mendengar pertanyaan Jaka, gadis itu tampak merengut. Hal itu membuat Jaka
seketika mengernyitkan kening tak mengerti, lalu dengan tergagap kembali
bertanya. "Ada apakah, nona" Apakah aku telah me-nyinggung perasaanmu?"
"Kau terlalu, Jaka," jawab si gadis, yang makin menjadikan Jaka mendalamkan
lipa-tan kerut di keningnya.
"Hai... Kau bilang aku terlalu. Maksudmu terlalu bagaimana, Nona?"
Gadis itu tak segera menjawab, bahkan kini ia pergi meninggalkan Jaka yang hanya
mematung tak mengerti. Pikiran Jaka yang sedang kacau, makin bertambah linglung
bingung. "Edan! Beginilah kalau menjadi orang ganteng," gumam Jaka menyanjung dirinya
sen- diri. "Huh, kalau begini caranya, aku termasuk orang-orang penghancur hati
wanita!" Tengah Jaka terbengong-bengong tak mengerti, didengarnya isak tangis. Jaka
tersentak dan segera memasang telinganya, dan Jaka lebih tersentak lagi manakala
ia tahu siapa yang tengah menangis itu.
"Heh, inikah yang dinamakan dunia cinta?" tanya Jaka dalam hati. "Sungguh
perilaku edan kalau begitu. Kenapa gadis ini menangis hanya karena aku tak tahu
apa-apa" Huh...
pusing-pusing."
Perlahan Jaka menghampiri gadis itu
hingga tak terdengar langkahnya. Ketika tangan Jaka hendak memegang pundak si
gadis, Ja-ka segera mengurungkannya. "Nona, kenapa nona menangis?" Gadis itu
segera menengokkan wajahnya. Dipandangnya wajah Jaka lekat-lekat.
Perlahan gadis itu bangkit dari duduknya, la-lu menghampiri Jaka yang berdiri
bengong mematung.
"Apakah kau tak tahu perasaan, Jaka?"
tanya si gadis, menjadikan Jaka membelalakkan mata dan bertanya tak mengerti:
"Heh, benarkah aku ini tak punya perasaan?" gumamnya seperti pada diri sendiri.
"Aku rasa, aku mempunyai perasaan kaya-kaya seperti manusia."
"Kenapa kau tak mau memperhatikan aku?"
sendah si gadis menjadikan Jaka makin menjadi-jadi kagetnya. Bagaimana mungkin,
ia mungkin baru mengenalnya harus memperhatikan"
Apakah itu bukan suatu hal yang sangat musta-hil?"
"Nona ini bagaimana" Bertemu saja kita baru di sini, mana mungkin aku dapat
memper- hatikan mu?" tanya Jaka.
Gadis itu terdiam, matanya tetap melekat pada titik mata Jaka sepertinya hendak
menembus ruang-ruang hati Jaka. Jaka mendesah berat, dirasakan olehnya bahwa
gadis itu memang sengaja menaruh benang cinta untuknya.
"Jaka, apakah kau tak tahu?"
"Maksudmu, Nona?" tanya Jaka tak mengerti.
Gadis itu tak meneruskan kata-katanya.
Untuk kedua kalinya gadis itu menatap lekat pada Jaka, sehingga keduanya kembali
diam. Tak dikira sebelumnya oleh Jaka, tangan gadis itu seketika bergayut di
pundaknya. Mu-lanya Jaka hendak menolak, namun ketika melihat mata si gadis yang
sendu, Jaka tak meng-gubrisnya. Dibiarkan tangan si gadis terus bergayut di
pundaknya. "Ah, bagaimana aku harus berbuat?" keluh Jaka dalam hati.
Untuk kedua kalinya Jaka tersentak kaget, manakala untuk kedua kalinya pula
gadis itu dengan berani menciumnya. Bukan alang ke-palang bingungnya Jaka saat
itu. "Nona, kenapa kau begitu berani" Bukankah kita belum saling kenal?"
"Aku tak perduli, Jaka," jawab si gadis dengan tenang, sepertinya tak pernah
bersalah. "Bukankah aku telah mengenal namamu?"
"Ah..;." keluh Jaka tertahan. "Bukankah aku belum mengenalmu" Apakah kau tak
takut kalau aku orang jahat, nona?"
Ditanya seperti itu oleh Jaka, si gadis malah tersenyum. Tangannya yang bergayut
di pundak Jaka, makin menutup yang akhirnya memeluk leher Jaka.
"Kalau kau ingin tahu namamu, aku bernama Dewi Ayu Angelir," jawab si gadis.
Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Mawar Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, bukankah kita tak ada halangan sekarang?"
"Ada, nona!" jawab Jaka seketika, menjadikan si gadis yang bernama Angelir
membelalakkan mata. "Apa itu, Jaka?"
"Kita terbatas dengan susila, bukan?"
"Ah, Jaka...." keluh si gadis manja dan kembali menggayutkan kedua tangannya di
pundak Jaka. "Nona, apakah kau tahu bajuku?" kembali Jaka bertanya.
"Kenapa kau tak mau memanggil namaku saja, Jaka?"
"Baiklah, No... Eh, Angelir. Tahukah kau siapa yang mengambil bajuku?"
"Tahu...." jawab si gadis dengan manja.
"Kalau aku tahu dan mau menunjukkan siapa pencurinya, apa yang bakal kau
hadiahkan padaku?"
"Kau minta apa?"
"Aku... Hem, aku minta ini."
Terjengah Jaka tak mampu menolak ketika bibir si gadis menjarah bibirnya. Jaka
berusaha melepaskannya, namun si gadis tak mau perduli. Hingga akhirnya, Jaka
pun terhanyut dalam suasana romantis itu.
Namun ketika gadis itu mengajaknya makin tak karuan, dengan segera Jaka
menyadar-kan dirinya sendiri. Jaka dengan segala perasaannya segera meninggalkan
gadis itu sendirian, tanpa menghiraukan bajunya yang hilang entah ke mana.
"Huh.... Ada-ada saja kehidupan di dunia," gumam Jaka sembari terus berjalan
dalam usahanya mencari markas gerombolan Alas
Renges, yang telah membuat kerusuhan. Tak terasa langkahnya telah begitu jauh,
meninggalkan tempat di mana Angelir hampir saja menje-rumuskannya.
Siang itu di wilayah pendukuan Goa Se-lerong nampak ramai. Tampak orang-orang
berlalu-lalang dengan tujuan masing-masing. Kebanyakan mereka orang-orang yang
melancong untuk berdagang, atau sekedar mencari hibu-ran.
Biasanya mereka datang untuk sekedar mencari wanita-wanita penghibur, atau main
koprok yang telah mendarah daging di daerah itu. Saking susahnya permainan
Koprok dibu-barkan, sampai-sampai pihak kerajaan tak mau ambil perduli lagi.
Jaka terus berjalan, manakala tampak olehnya segerombolan orang-orang tengah
menyaksikan sesuatu. Karena tertarik, Jaka pun segera mendatangi tempat itu.
"Ada gerangan apakah, Ki Sanak?" tanya Jaka pada salah seorang penonton.
"Ada orang berkelahi," jawab yang ditanya.
"Berkelahi...?" kembali Jaka bertanya, sepertinya ingin meyakinkan jawaban orang
itu. "Benar, Anak muda," jawab orang itu kembali.
"Mengapa tak ada yang memisahkannya"
Dan siapa yang berkelahi?"
Orang yang ditanya hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jaka. Lalu dengan acuh
sambil kembali menonton, orang itu berkata.
"Bagaimana untuk memisah" Wong mereka itu diadu."
"Diadu...?"
"Ya, mereka diadu!" jawab lelaki itu kembali. "Mereka merupakan orang-orang yang
kalah main Koprok. Mereka diadu oleh Ki Coper, dengan maksud siapa yang menang
dia tak usah mengembalikan hutang-hutangnya pada Ki Coper."
"Hem, begitu?"
"Ya, kebanyakan mereka tak mengerti akan tujuan Ki Coper. Mereka bermain tak
pernah menang. Harta benda ditaruhkannya."
Jaka tercenung demi mendengar keluhan orang tersebut, dalam hatinya bergumam
penuh tanda tanya. Matanya memandang tak berkedip pada dua orang yang tengah
berlaga. "Apa yang sebenarnya terjadi di pedukuan ini?"
Perkelahian antara dua orang laki-laki itu terus berjalan, saling baku hantam.
Walau muka keduanya telah babak belur, namun sepertinya kedua orang itu tak
bakal ada yang kalah. Keduanya tetap bertahan, dengan harapan dapat impas
hutang-hutangnya bila menang.
"Ki Sanak, kalau boleh aku tanya, di mana biasanya orang-orang main dadu
Koprok?" tanya Jaka pada orang di sampingnya.
"Mau apa...?" orang itu balik bertanya.
"Aku ingin main!"
"Mau main?" tanya orang itu dengan kaget. "Jangan, Anak muda, percuma!"
"Kenapa...?" Jaka bertanya mendesak, menjadikan orang itu terdiam menarik
nafasnya. Sepertinya orang itu sangat iba mendengar penuturan Jaka.
"Mereka curang, kau pasti akan kalah,"
jawab lelaki itu, nadanya seperti khawatir.
"Kuharap janganlah sekali-kali kau terjerat
oleh Ki Coper."
"Terima kasih atas perhatianmu, Ki Sanak," kata Jaka.
Sejenak Jaka kembali memandang pada mereka yang tengah berkelahi. Tampak darah
telah membasahi sekujur tubuh orang-orang itu.
Jaka yang merasa kasihan, serta merta berteriak:
"Hentikan...!"
Tersentak semua yang ada di situ manakala mendengar seruan itu. Mereka seketika
memandang pada Jaka, seakan tak percaya bahwa orang yang membentaknya adalah
anak muda usia.
Belum juga mereka tersadar dari kekage-tannya, Jaka dengan segera berkelebat dan
ta-hu-tahu telah berdiri di antara kedua orang yang berkelahi.
"Kalian bukan binatang, kenapa kalian mau diadu?" tanya Jaka pada keduanya, yang
seketika menghentikan perkelahian seraya memandang padanya. "Berapa hutanghutang kalian, sehingga kalian mau saja diperbudak?"
"Apa maksudmu, Anak muda?" tanya salah seorang yang tadi berkelahi.
"Aku tak ingin kalian baku hantam hanya karena masalah yang gila," jawab Jaka.
"Kalau kalian mau berkelahi, kenapa tidak mengeroyok biangnya sekalian?"
"Maksudmu, Anak muda?" orang satu-nya ikut bertanya.
"Kalau kalian ingin benar-benar bebas dari buaya, mengapa kalian tidak membasmi
buayanya saja" Mengapa justru kalian yang ba-ku hantam sendiri?"
"Kau maksud kami menentang Ki Coper?"
tanya orang pertama yang berbadan tinggi dengan rambut awut-awutan dan jenggot
tumbuh lebat. "Ya...." jawab Jaka pendek.
Tengah mereka terdiam mendengar penuturan Jaka, tiba-tiba terdengar seruan yang
nadanya membentak ditujukan pada Jaka.
"Anak muda, lancang kau mengajari orang-orang sini! Apa kau belum tahu siapa Ki
Coper, hah!"
Mendengar seruan orang itu serta merta Jaka tertawa bergelak-gelak, menjadikan
semua yang ada di situ terperanjat dan berusaha menahan getaran tawa Jaka.
"Hai orang yang bicara! Kalau kau benar manusia, aku harap sudilah datang ke
mari. Hanya monyet sajalah yang beraninya berkoar.
Apa engkau tak ingin kue talam?"
"Setan alas! Lancang mulutmu!" bentak orang tersebut, yang dibarengi dengan
berke-lebatnya sesosok tubuh langsing menuju ke tengah-tengah arena di mana Jaka
berdiri. Seketika semua orang yang ada di situ tersentak, manakala tahu siapa gerangan
orang yang datang. Saking kagetnya mereka demi melihat orang tersebut, sehingga
dari mulut semuanya terdengar pekikan menyebut nama orang itu.
"Balong Sakti...!"
"Siapa kau, Anak muda?" bentak Balong Sakti. "Belumkah kau tahu siapa Ki Coper
adanya, sehingga kau berani lancang hendak mengadu domba?"
"Aku bukan hendak mengadu domba, aku hanya memberikan saran pada mereka. Kalau
mereka mau, ya syukur. Tapi kalau tidak, itu
hak mereka."
Mendengar ucapan Jaka, Balong Sakti
yang belum tahu siapa adanya Jaka tersenyum mencibirkan mulut.
"Lagakmu seperti jagoan, Anak muda!"
"Itu hakmu untuk menilaiku apa," jawab Jaka tenang. "Yang penting aku tak pernah
merasakan menjadi seorang jagoan. Lagi pula, jagoan hanyalah ada pada orangorang yang gi-la sebutan."
"Jangan banyak khotbah! Sebutkan namamu sebelum aku kirim kau ke neraka!" kata
Balong Sakti gusar.
"Hem, mampukah kau mengirim ku ke sa-na?" tanya Jaka dengan seenaknya, membuat
Balong Sakti seketika melototkan mata marah.
Apalagi manakala Jaka kembali berkata, Balong Sakti tak dapat membendung
amarahnya. "Sebenarnya aku juga ingin piknik ke sana, tapi Tuhan belum
mengijinkan ku. Apakah kau juga, Bangkong?"
"Setan...! Namaku bukan Bangkong, Monyet!" bentak Balong.
"Oh, jadi namamu bukan Bangkong melain-kan Monyet?" tanya Jaka dengan tenangnya,
bagaikan orang pilon yang baru masuk ke kota.
"Pantas, kalau kau monyet. Lihat saja, mo-nyongmu memang seperti monyet. Lancip
dan ce-riwis!"
"Setan!" geram Balong, yang disertai dengan kelebatan tubuhnya menyerang Jaka.
Ja-ka yang diserang secara tiba-tiba tampak tersenyum, dan ganda tertawa
manakala melihat jurus-jurus Balong.
"Wua, kenapa kau tidak menjadi raja monyet saja, Balong?"
Balong yang sudah tak dapat menahan
amarah, tak mengeluarkan kata-kata lagi. Tubuhnya terus berkelebat dengan cepat
menyerang Jaka. Tapi rupanya segala serangan Balong tak berarti apa-apa untuk
Jaka. Dengan segera, Jaka menangkap kaki Balong manakala kaki itu berkelebat
menyerangnya. Tanpa dapat dielakkan oleh Balong yang meronta-ronta, Jaka yang timbul ide
konyolnya segera menarik celana panjang yang dikenakan Balong. Ketika Balong
meronta lagi, maka sudah pasti celananya yang menutupi auratnya lepas terbesot
tangan Jaka. Demi melihat keadaan Balong yang telanjang, seketika orang-orang yang tadinya
ter-cekam tertawa bergelak-gelak. Tinggallah Balong yang mengumpat-umpat sendiri
penuh kemarahan.
"Awas kau anak muda! Tunggu kakakku nanti!"
Dengan tanpa memperdulikan tubuhnya
yang tak tertutup celana, Balong segera berlari ngacir. Hal itu menjadikan semua
orang yang berpapasan dengannya terpekik, khususnya kaum wanita yang seketika
menjerit sembari menutupi matanya. Sementara orang-orang yang tadi berkerumum
dan mengkhawatirkan Jaka, ki-ni segera mengangguk-anggukan kepala kagum.
Semua orang yang melihatnya seketika mengikuti ke mana Jaka pergi, hingga ketika
Jaka ke kedai mereka pun ikut ke kedai.
"Apakah kalian tahu di mana kediaman Ki Coper?"
"Kami tahu, Tuan Pendekar," jawab semuanya bareng.
"Terima kasih. Apakah ada yang mau mengantarkan aku ke sana?" kembali Jaka bertanya. Kali ini semuanya terdiam tak ada
yang berani menjawab. "Bagaimana" Adakah yang mau?"
Selang beberapa lama setelah semuanya diam, terdengar seruan seseorang dari luar
kedai. "Anak muda yang tidak memakai baju, keluar kau!"
"Siapa dia...?" tanya Jaka pada semuanya, manakala tampak orang-orang di
sekitar-nya terdiam tak ada yang berani berkata.
"Dialah Ki Coper, kakak Ki Balong yang telah tuan kalahkan tadi," jawab
seseorang tiba-tiba, yang menjadikan Jaka tersentak seraya memandang ke orang
tersebut. "Siapakah Ki Sanak?" tanya Jaka.
"Aku adik Ki Balong," jawab pemuda itu sembari melemparkan topi yang
dikenakannya ke arah Jaka.
Dengan segera Jaka berkelebat mengelak-kannya. Tubuh Jaka seketika melompat ke
atas dan menjebol atap kedai itu, lalu berdiri menghadapi ketiga kakak beradik
itu. "Hem, rupanya kalian kecoa-kecoa busuk-nya!"
"Anak muda, karena kau telah berani lancang di daerah ku, maka kau akan tahu
sendiri akibatnya!"
Tersenyum Jaka mendengar ucapan Ki Coper.
"Hem, begitukah" Aku jadi ingin tahu, apa yang bakal kalian lakukan padaku yang
bodoh ini."
"Hati-hati, Anak muda!" bentak Ki Coper.
"Sedari tadi aku sudah hati-hati. Kenapa kau memikirkan aku" Bukankah lebih baik
kalian memikirkan diri kalian yang sebentar lagi akan menjadi cacing tanah?"
ejek Jaka, menjadikan ketiga kakak beradik itu mendengus marah.
Tanpa dapat dicegah, ketika kakak beradik itu spontan mengeroyok Jaka. Jaka yang
sudah tahu siapa mereka, nampak tak mau main-main. Namun walaupun begitu, Jaka
yang memang dasarnya Ndableg terus bertingkah konyol. Ketika Lumajang menebaskan
golok ke arahnya, serta merta Jaka berteriak.
"Ampun, Mas....
Jangan galak-galak,
dong! Itu kan rempeyek, kenapa kau gunakan untuk bertarung" Bukankah lebih baik
dimakan saja" Eh, kalau kau tak bisa makannya, sini aku beritahu!"
Habis berkata begitu, tiba-tiba Jaka telah berkelebat dengan cepat. Tanpa dapat
dilihat, Jaka telah merampas golok yang dipegang Lumajang. Hampir saja Lumajang
benar-benar makan golok, kalau saja Balong tidak segera membantu menyerang.
"Eh, rupanya ada kodok Bangkong yang datang. Wah, kebetulan aku sudah lama tidak
makan daging Bangkon!" Jaka mengibaskan tangannya yang memegang golok,
menjadikan Balong tersentak. Gerakan Jaka begitu cepat, sukar untuk diikuti
dengan mata. Melihat adinya dalam keadaan bahaya, secepat kilat Ki Cupir bergerak menangkis
tangan Jaka. Balong selamat, namun kini dirinya sendiri yang terancam oleh
sabetan golok Jaka.
Hampir saja golok di tangan Jaka menebas leher Ki Cuper, ketika dengan nekad Lumajang menghantamkan pukulannya. Hal
itu menjadikan fatal bagi dirinya sendiri, sebab Jaka yang memang tak
menghendaki tubuh musuhnya terkena golok di tangannya segera memapaki pukulan
Lumajang dengan pukulan Getih Sakti.
"Crootttt...!"
Tanpa dapat dihindari, Getih Sakti
menghantam telak pada tubuh Lumajang. Seketika itu tubuh Lumajang meleleh
bagaikan ter-panggang. Semua orang yang menonton menggi-dikkan tengkuknya, demi
melihat hal itu.
Melihat adiknya mati, bukannya kedua orang kakak beradik itu menyadari. Bahkan
dengan nekad, keduanya segera menyerang Jaka.
Kali ini mereka menyerang tidak tanggung-tanggung. Mereka menyerang dengan
segala ajian yang mereka miliki.
Jaka tersentak manakala sebuah ajian yang dilancarkan oleh Ki Cuper menghantam
ke arahnya. Jaka berusaha menghindar, namun masih juga pahanya tersamber.
Seketika daging yang ada di pahanya panas membara bagaikan terbakar, menjadikan
rasa nyeri yang teramat sangat.
"Hem, kau telah mulai. Aku pun akan me-mulainya, bersiaplah! menggeretak Jaka
marah. "Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Tersentak kedua musuhnya, kala tahu
siapa yang tengah mereka hadapi. Ternyata mereka tengah menghadapi seorang
pendekar pilih tanding, yang saat ini tengah menggemparkan dunia persilatan.
Saking kagetnya kedua kakak beradik
itu, dari mulut mereka seketika terdengar seruan, menjadikan semua yang ada di
situ turut tersentak kaget.
"Pendekar Pedang Siluman...!"
Tanpa disuruh, kedua orang kakak beradik itu langsung jatuhkan diri minta ampun.
"Ampuni nyawa kami, Tuan Pendekar.
Sungguh kami telah lancang!"
"Kalian benar ingin menginsafi tindakan kalian?"
"Benar, Tuan Pendekar!" jawab Ki Cuper dengan gemetaran.
"Baiklah! Ingat oleh kalian, aku akan datang bila kalian ternyata ingkar!" kata
Ja-ka seperti mengancam. "Dan aku minta, bubarkan apa yang selama ini kalian
lakukan!" "Baik, Tuan Pendekar," jawab Ki Cuper.
Jaka yang segera tempelkan Pedang Pusaka Siluman Darah ke paha yang luka,
seketika luka itu hilang dengan sendirinya. Bersamaan dengan hilangnya luka di
paha Jaka, Pedang Siluman Darah hilang dari tangan Jaka.
Dengan tanpa berkata lagi, Jaka segera berkelebat pergi untuk meneruskan
perjalanan-nya mencari gerombolan Alas Renges. Semua ma-ta yang ada di situ,
memandang kagum atas ke-pergiannya.
* * * Ketika Jaka tengah berlari, seketika seorang lelaki berbadan besar menghadang
langkahnya. Jaka tersentak dan melompat mundur.
Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Mawar Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada apa Ki Sanak menghadangku?" tanya Jaka.
"Hua, ha, ha... Kaukah yang bernama Ja-ka atau Pendekar Pedang Siluman Darah?"
"Benar adanya. Siapakah Ki Sanak adanya?"
"Hua, ha, ha... Aku Woro Gendo!" jawab Woro Gendo disertai dengan tawanya yang
besar. "Tak aku sangka kalau kita akan bertemu di sini. Lama aku mencarimu,
Pendekar!"
"Hem, ada keperluan apa Ki Sanak menca-riku?" tanya Jaka seraya mengernyitkan
alis matanya tak mengerti.
"Pendekar... sengaja aku mencarimu, karena aku ingin menjajal sampai di mana
ilmu yang kau miliki!"
"Ooh, sungguh salah alamat bila begitu," jawab Jaka.
"Jangan kau mungkir, Pendekar. Ayo, ki-ta mulai, cabut senjata yang kau miliki
itu!" "Hem, maaf aku tak ada waktu!"
Dengan segera Jaka bermaksud meninggalkan Woro Gendo, namun dengan cepat Woro
Gendo segera menghadangnya.
"Sombong kau, Anak muda!" bentaknya marah.
"Aku tidak sombong, Woro Gendo. Tapi aku tak merasa kalau aku seorang pendekar,
jadi kalau kau menantangku itu suatu kesala-han. Nah, aku hendak pergi...."
Belum juga Jaka Ndableg berlalu, tiba-tiba Woro Gendo telah berkelebat menyerang
dengan gadanya. Pekikannya begitu mendengung-kan gendang telinga.
Tersentak Jaka dan melompat mundur, manakala dirasakan sabetan Gada di tangan
Woro Gendo. Angin yang keluar dari gada, bagaikan angin puting beliung.
"Ayo, keluarkan Pedang Pusaka mu itu!"
"Baiklah, Woro Gendo. Kalau itu yang
engkau inginkan, aku pun tak akan mengecewa-kan mu. Nah, aku hanya dengan tangan
kosong!" Makin marahlah Woro Gendo yang merasa diremehkan oleh anak muda di depannya.
Dengan menggeram marah, Woro Gendo segera kembali berkelebat menyerang.
"Jangan lengah, Anak muda!"
Dengan membabi buta, Woro Gendo terus mencerca Jaka. Namun begitu Jaka bagaikan
main-main menghindar sembari tertawa-tawa.
"Wah, kaku benar jurus-jurusmu, Woro.
Apakah kau tak pernah berlatih?"
"Sombong! Ini makan!" bentak Woro Gendo sembari menyodokkan gadanya ke muka
Jaka. Secepat kilat Jaka berkelit, dan...!
"Rupanya kaulah yang suka makan roti, Woro. Ini untukmu!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan Jaka, Jaka telah merebut gada di tangan Woro
Gendo dan menyodorkannya ke mulut Woro. Seketika melengkinglah Woro Gendo
kesakitan, giginya rontok dan dari mulutnya meleleh darah.
"Aku mengaku kalah, Anak muda. Namun kelak aku akan mencarimu!" Habis berkata
begitu, tanpa memperdulikan Jaka yang hanya geleng-geleng kepala Woro Gendo
cabut pergi. * * * "Loro Ireng, keluar kau!"
Loro Ireng yang tengah duduk-duduk di hadapan anak buahnya tersentak manakala
mendengar seseorang dengan lantang berseru.
"Siapa yang tengah hari bolong begini berteriak-teriak?" tanya Loro Ireng,
sepertinya pada diri sendiri. "Gober, coba kau lihat siapa dia!"
"Daulat, Ketua."
Dengan menggeram marah, Gober segera berkelebat pergi menuju ke luar. Tersentak
Gober, manakala tahu siapa adanya orang yang telah berseru itu. "Kau...!"
"Ya, aku. Mana pimpinanmu?" bentak pemuda yang tak lain Jaka adanya.
Demi mendengar namanya disebut, seketika Loro Ireng berkelebat ke luar menemui.
"Siapakah, Gober?" tanya Loro Ireng.
"Aku, Loro Ireng...."
Tersentak Loro Ireng, ketika melihat siapa adanya orang yang telah berani menyatroni markasnya. Orang itulah yang telah membuat hatinya tak tenteram, didera
oleh rasa yang aneh.
"Kau...!" tergagap Loro Ireng berkata.
"Ya aku, Loro Ireng. Aku datang untuk membubarkan kalian."
Loro Ireng tidak menyahut, tapi dari kedua matanya seketika menetes air mata.
Melihat hal itu, Jaka yang melihatnya seketika trenyuh. Maka dengan nada lemah
Jaka berkata: "Kenapa kau menangis, Loro Ireng?"
"Ampunilah aku, Tuan Pendekar. Aku berjanji tak akan melakukan semua lagi," kata
Loro Ireng, matanya tak berkedip menatap Ja-ka.
"Benar apa yang kau katakan, Loro?"
"Be... benar, Tuan Pendekar," jawab Lo-ro Ireng.
"Baiklah, kalau itu benar. Tapi kalau nanti aku melihat kau melakukannya, maka
kau pun tak akan segan-segan menurunkan tangan!"
kata Jaka. "Kaukah pimpinannya, Loro?"
"Bukan...."
"Lalu siapa?"
"Orang itu kini telah menyusup di salah satu kerajaan!"
"Maksudmu kerajaan mana, Loro?"
"Entahlah. Yang pasti dua kerajaan musuh kerajaan ayahnya."
Mendengar jawaban Loro Ireng, seketika Jaka berkelebat meninggalkan mereka
dengan meninggalkan ucapan yang berupa ancaman.
"Loro Ireng, ingat olehmu. Kalau engkau melakukan lagi, aku akan menurunkan
tangan pada kalian!"
Loro Ireng tersentak, lalu dengan lesu ia pun segera kembali masuk ke markasnya.
Melihat pimpinannya terdiam, semua anak buahnya pun tak ada yang berkata-kata.
Mereka segera mengikuti langkah Ireng, masuk ke dalam gubuk.
*** 6 Malam kembali menjelajah, sepertinya menyelimuti kebisuan. Bulan bergayut di
atas cakrawala dengan tenangnya, ketika terdengar pekikan lima kali berturutturut. Randu Alasan yang malam itu tak mampu memejamkan mata, seketika berlari menuju
ke arah suara itu. Seketika mata Randu Alasan melotot, manakala dilihatnya lima
orang pasu-kannya telah mati dengan kening berlubang tertutup bunga Mawar Merah.
"Bunga Mawar!" pekik Randu Alasan.
"Hem, untuk yang kesekian kalinya Bunga Mawar ini mencari korban. Aku tak habis
pikir, siapa gerangan tokoh di bank kejadian semua ini?"
"Ada apa, Randu?" tanya Wulung Seta yang berlari-lari menuju ke arah Randu
bersama Angelir. Demi melihat Angelir bersama Rajanya, seketika Randu makin tak
mengerti. Tu-duhannya yang selama ini menuju Angelir, buyar seketika. Dengan
menyembah, Randu men-ceritakan apa yang terjadi.
"Korban lagi, Paduka." Wulung Seta terdiam masgul. Didekatinya kelima prajurit
yang telah mati. Kembali diambilnya bunga Mawar yang menutupi luka di kening
kelima prajurit itu.
"Hem, setiap korbannya selalu ditinggal Bunga Mawar," gumam Wulung Seta.
"Siapakah kira-kira tokohnya, Randu?"
"Ini jelas tindakan orang-orang Amurwa Sakti, Tuan ku!"
"Kau yakin, Angelir?" tanya Wulung Se-ta, demi mendengar penuturan Angelir yang
mengejutkannya. "Mana mungkin Amurwa Sakti berbuat begini?"
"Itu bisa saja, Kanda. Bukankah kanda pernah bercerita tentang Amurwa Sakti yang
marah-marah karena baraknya dirusak oleh orang-orangnya paduka" Mungkin hal itu
semata untuk menutup segala maksud buruknya!"
"Ah...!" tersentak Wulung Seta mendengar analisa yang diucapkan oleh Angelir.
"Mungkin juga!"
Kembali Wulung Seta mengamati kelima prajuritnya yang telah mati. Tak terasa,
ma- tanya berkaca-kaca. Hatinya gundah, demi men-gingat semuanya. "Apakah benar
adikku bertindak semuanya?"
"Randu Alasan, juga seluruh perbatasan.
Tangkap siapa pun orangnya yang hendak masuk!" perintahnya pada Randu Alasan.
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka akan hamba laksanakan, walau nyawa sebagai
taruhannya!"
Setelah menyembah terlebih dahulu, Randu Alasan segera berkelebat pergi
meninggalkan rajanya dengan hati gundah. Se-ribu satu pertanyaan, menggema di
hatinya. "Apakah mungkin tuan ku Amurwa Sakti berbuat sekeji itu" Tapi aku pun tak dapat
memastikan kalau Angelir yang melakukannya.
Kenapa tiba-tiba Angelir bersama Wulung Seta"
Ah, aku tak habis pikir. Kalau benar Angelir yang melakukannya, jelas ia akan
aku ketahui. Huh, apakah ada orang lain" Kalau orang lain yang bertindak, sudah pasti
pasukanku telah mengetahuinya."
Saking bingungnya Randu Alasan, menjadikannya berjalan bagai tak ada tujuan.
Langkah kakinya begitu ringan, tak ada gairah untuk menyeret.
Tengah Randu Alasan berjalan, seketika prajurit-prajuritnya berlarian ke
arahnya. "Ada apa, Prajurit?"
"Ampun, Tuan ku. Ada seorang pemuda masuk ke perbatasan," jawab para prajurit.
"Kenapa tidak kalian tangkap?"
"Pemuda itu ingin menemui paduka."
"Hem, baiklah. Aku akan menuju ke sa-na."
Setelah berkata begitu, dengan diikuti
oleh kelima prajuritnya Randu Alasan segera berkelebat menuju arah yang ditunjuk
oleh pa-ra prajuritnya.
Tampak oleh Randu Alasan seorang pemuda tampan dengan bertelanjang dada
tersenyum padanya. Pemuda itu seketika menjura hormat, menjadikan Randu Alasan
mengernyitkan kening.
Pemuda itu sungguh mengerti tata krama, walau seperti pemuda gelandangan.
"Ada gerangan apakah engkau mencari aku, Anak muda?" tanya Randu Alasan setelah
mengangguk, menerima sembah pemuda itu.
"Hamba ingin mencari seorang wanita yang menjadi pimpinan Gerombongan Alas
Renges," jawab pemuda itu dengan masih menjura hormat.
"Siapa namamu, Anak muda?" tanya Randu Alasan kembali. "Lalu apakah kau yakin
bahwa orang yang kau maksud ada di sini?"
"Nama hamba yang rendah ini, Jaka.
Orang biasa memanggil hamba Jaka Ndableg!"
Tersentak Randu Alasan demi mendengar nama pemuda itu. Saking kagetnya, sampaisampai Randu Alasan memelototkan matanya sembari memekik tertahan.
"Aha...! Rupanya kaulah pendekar yang tengah menjadi buah bibir orang-orang
persilatan. Selamat datang saya ucapkan. Sungguh saya yang tua renta ini, tak
juga tahu tata krama. Maafkan saya, Tuan Pendekar!"
"Ah, tuan terlalu meninggikan diri saya, yang nyatanya tidak ada artinya sama
sekali. Terima kasih atas penghormatan tuan.
Apakah tuan yang bernama Randu Alasan?" tanya Jaka.
"Benar adanya apa yang kau katakan,
Anak muda," jawab Randu Alasan. "Memang hamba yang bodoh inilah Randu Alasan."
"Tuan Patih Randu Alasan, boleh hamba memeriksa di sini?"
"Oh, dengan senang hati. Mari...." ajak Randu Alasan.
Keduanya segera berjalan beriringan memasuki perkampungan tenda-tenda yang
digunakan untuk kamp prajurit. Mata Jaka yang tajam setajam mata burung elang,
memandang liar setiap pelosok. Namun sejauh mereka berjalan hingga dua kali
sudah perkampungan prajurit itu mereka kelilingi, Jaka belum juga mendapatkan
orang yang dicarinya.
"Bagaimana saudara Pendekar?" tanya Randu Alasan.
"Tak ada. Hem, apakah orang-orang itu berdusta?" gumam Jaka, menjadikan Randu
Alasan seketika mengernyitkan alis matanya sembari tertawa.
"Yang saudara pendekar maksudkan, mereka siapa?"
"Mereka anak buah Mawar Merah!"
"Apa...!" terbelalak mata Randu Alasan, demi mendengar penuturan Jaka. "Jadi...
Jadi pemimpinan gerombolan Alas Renges orang yang selalu membunuh korbannya
dengan bunga Mawar?"
"Ya, dialah yang menjadi otak gerombolan Alas Renges."
"Hem, jadi di sini telah menyusup musuh dalam selimut," gumam Randu Alasan,
menjadikan Jaka seketika menyipitkan matanya.
"Maksudmu, Paman Patih?"
"Sudah beberapa kali jatuh korban di sini. Prajurit-prajurit itu pun mati dengan
bunga Mawar Merah."
"Jadi benar orang itu menyusup ke mari, Paman Randu Alasan?" tanya Jaka, yang
diang-guki oleh Randu Alasan. "Kalau begitu, aku akan kembali pada markas mereka
untuk mena-nyakan ciri-ciri pimpinan mereka."
Tanpa menunggu jawaban dari Randu Alasan, Jaka segera berkelebat pergi. Randu
Alasan yang melihatnya tersentak kaget. Betapa tidak, Jaka berkelebat bagaikan
angin, tahu-tahu telah menghilang ditelan malam.
* * * "Rupanya kau berdusta, Loro Ireng!"
bentak Jaka dengan penuh marah, merasa Loro Ireng telah membohonginya. "Aku
telah ke sa-na, namun aku tak menemukan pimpinanmu!"
"Sungguh aku tidak berdusta, pimpinan kami memang ada di sana," jawab Loro Ireng
dengan rasa takut. Loro Ireng yang telah tahu kehebatan ilmu Jaka, telah
mengakui kekala-hannya. Ia bahkan berjanji akan kembali ke gurunya, sekaligus
meninggalkan dunianya. Dunia gelap yang telah menjadikannya seorang gadis
berwatak beringas.
"Hem, kau bisa menunjukkan padaku ciri-cirinya?"
Loro Ireng pun segera menggambarkan ci-ri-ciri pimpinannya, yang tak lain
daripada Angelir. Jaka sesaat mengangguk-angguk, lalu tanyanya kemudian.
"Di mana lagi biasanya dia menyusup?"
"Kalau tidak di kerajaan Pesisir Putih, mungkin di Kerajaan Segara Wetan."
"Pesisir Putih telah aku cari, namun
tak ada. Baiklah aku akan ke Segara Wetan.
Aku sarankan kalian segeralah bubar!"
"Baik, Tuan Pendekar," serempak mereka menjawab.
Setelah melihat semua anggota gerombolan Alas Renges bubar dan pergi ke masingmasing, Jaka dengan segera berkelebat pergi menuju ke Segara Wetan.
"Petaka kalau terus didiamkan," batin Jaka. "Kenapa mesti seorang wanita berbuat
begitu?" Dengan mempercepat larinya, Jaka terus menerobos malam menuju Kerajaan Segara
Wetan untuk mencari orang yang telah menjadi biang dari kejadian semuanya.
"Kalau di Wetan Segara aku tak menemu-kannya, ke mana lagi aku mencarinya" Aku
rasa wanita itu berilmu cukup tinggi. Kalau wanita biasa, mana mungkin Loro
Ireng yang aku ketahui memiliki ilmu tinggi mau menjadi anak buahnya?"
Prabu Amurwa Sakti menghantamkan tin-junya ke meja. Kekesalannya pada Wulung
Seta telah memuncak. Tuduhan Wulung Seta yang men-ganggap dirinya melindungi
orang yang membunuh prajurit-prajurit Pesisir Putih telah membuatnya marah.
"Sabar, Tuan ku. Bukankah Prabu Wulung Seta adalah kakak tuan sendiri?" Patih
Nara Soma mencoba menasehati.
"Memang dia kakakku, Paman Patih. Namun tindakannya terlalu membuat aku marah.
Mana mungkin aku melindungi musuh" Coba paman Patih pikir," kata Amurwa Sakti.
"Apakah tidak sebaiknya tuan ku menemui Prabu Wulung Seta dan Ibunda Ratu untuk
mem- bicarakannya" Hamba rasa, ada orang yang sengaja mengadu domba."
"Memang itu yang aku pikirkan, Paman Patih. Tapi kakanda sepertinya tak percaya.
Aku jadi tak mengerti dengan tindakan kanda Wulung Seta."
Tengah keduanya bercakap-cakap, terdengar seseorang berseru memberi salam.
Seketika raja dan patih itu menghentikan ucapannya dan memandang ke arah asal
suara itu. "Sampurasun...!"
"Rampes...! Siapakah gerangan?" tanya Amurwa Sakti. "Paman Patih, coba kau lihat
siapa yang di luar."
"Daulat, Tuan ku."
Patih Nara Soma segera bergegas pergi setelah terlebih dahulu menyembah. Nara
Soma begitu terkejutnya, manakala dilihatnya seorang pemuda yang datang.
"Siapakah Ki Sanak ini" Dan ada keperluan apakah?"
"Hamba bernama Jaka. Atau Jaka Ndableg," jawab Jaka, yang menjadikan Nara Soma
seketika memekik kaget demi mendengar nama pemuda yang ada di hadapannya.
"Jadi, tuan ku Pendekar Muda yang tengah harum namanya?"
"Ah, tuan patih terlalu meninggikan apa yang sebenarnya tak ada. Hamba hanyalah
orang biasa," jawab Jaka merendah, menjadikan Nara Soma masgul.
"Ada keperluan apakah tuan pendekar datang ke mari?"
"Hamba ingin bertemu dengan Paduka Amurwa Sakti," jawab Jaka.
"Suruh dia masuk, Paman Patih!" Amurwa
Sakti telah mendahului berseru.
Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Mawar Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tuan pendekar diperkenankan masuk,"
kata Nara Soma.
Setelah keduanya masuk kembali, Amurwa Sakti segera mempersilahkan Jaka duduk.
Dengan terlebih dahulu menyembah, Jaka segera duduk di hadapan Amurwa Sakti.
"Ada gerangan apakah tuan pendekar datang ke mari?" tanya Amurwa Sakti.
"Ampun, Tuan ku. Hamba sengaja berkun-jung ke mari, karena hamba tengah mencari
orang yang telah membuat kerusuhan dengan ca-ra memanfaatkan situasi perang
ini." "Maksud, Tuan Pendekar?" tanya Amurwa Sakti belum memahami ucapan Jaka.
Sesaat Jaka menarik napas panjang.
"Ampun, Tuan ku. Kalau orang itu tidak segera diketahui, niscaya akan merepotkan
tuan ku Amurwa Sakti dan tuan ku Wulung Seta.
Orang itu adalah anak dari raja Kurda Rumajang, yang sengaja menyusup ke salah
satu kerajaan. Tujuannya adalah mengadu domba tuan ku berdua."
Terbelalak mata Amurwa Sakti mendengar penuturan Jaka yang begitu mendalam. Mata
Amurwa Sakti seketika memandang Jaka, lalu dengan suara berat bertanya:
"Apakah tuan pendekar tahu ciri-cirinya?"
"Menurut gambaran anak buahnya, dia seorang wanita."
"Wanita...!"
"Benar, Tuan ku."
"Siapakah kira-kira" Di sini tak ada seorang wanita yang baru. Heh, bukankah
sejak kakanda Prabu bertemu dengan Angelir hal itu
terjadi?" gumam Amurwa Sakti. "Apakah hal itu ada hubungannya dengan kekacauan
di barak prajurit?"
"Maksud, Tuan ku?"
"Paman patih Nara Soma, masih ingatkah kau dengan kekacauan sebulan yang lalu?"
tanya Amurwa Sakti pada patihnya.
"Benar, Tuan ku. Kala itu segerombolan lelaki yang kami kira orang-orang Pesisir
Putih menyerbu barak-barak prajurit."
"Hem, tepat!" seru Jaka tiba-tiba, menjadikan kedua raja dan patih tersentak.
"Memang mereka bercerita, bahwa mereka telah melakukan pengrusakan barak."
"Maksud tuan pendekar?" kembali Amurwa Sakti bertanya.
"Jadi yang merusak barak dan membuat kekacauan bukan orang-orang Pesisir Putih?"
Nara Soma melanjurkan bertanya.
"Benar apa yang tuan berdua katakan.
Baiklah Tuan ku Amurwa Sakti dan Paman Patih Nara Soma, hamba mohon bantuannya
untuk terus mengawasi wilayah tuan dengan seksama. Hamba pamit undur."
Setelah terlebih dahulu menyembah, dengan segera Jaka pergi meninggalkan kedua
raja dan patih yang hanya terdiam saling pandang.
Malam itu bulan tak nampak, mendung
bergayut menghitam. Jaka yang tengah berjalan nampak memandang sesaat ke atas.
Ia bergumam manakala dilihatnya mendung menebal.
"Huh, kenapa aku bodoh benar" Kenapa orang yang aku cari-cari tak juga aku temukan?" Jaka terus melangkah dengan pikiran tak menentu. "Apakah aku harus menyerbu ke
Kurda Rumajang?" tanya Jaka dalam hati. "Baiklah, aku akan menuju ke Kerajaan Kurda
Rumajang."
Dengan segera, Jaka mempercepat larinya menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang.
Dengan menggunakan Ajian Angin Puyuh, Jaka melesat laksana angin.
Tengah Jaka berlari menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang, seketika ia dikejutkan
oleh suara pekikan orang yang berkelahi. Tanpa berpikir panjang, Jaka segera
memburu ke arah suara itu.
Terbelalak mata Jaka, manakala tahu
siapa yang tengah bertempur. Salah seorang dari keduanya tak lain Hulubalang
Kerajaan Pesisir Putih yang bernama Surya Lembayung, sementara seorang lagi
adalah seorang wanita cantik.
"Hem, apakah gadis ini yang dimaksud Loro Ireng?" tanya Jaka dalam hati. "Kalau
dilihat dari wajahnya, orang inilah orang yang dimaksud Loro Ireng."
Jaka dengan segera melompat ke atas sebuah pohon, dan memperhatikan dengan
seksama jalannya pertarungan itu.
"Ini sebuah kesempatan untuk memberita-hukan pada kedua raja itu siapa
sebenarnya dalang dari semuanya," kembali Jaka bergumam.
"Akan aku panggil mereka dengan ilmu penyusup suaraku!"
Jaka kemudian duduk bersila dengan mata terpejam rapat. Disalurkan nafasnya
lewat tenggorokan. "Prabu Wulung Seta...! Prabu Amurwa Sakti...! Aku memanggil
kalian. Datanglah ke perbatasan Kerajaan Kurda Rumajang, kalian pasti akan tahu
siapa sebenarnya tokoh dari segala teror, yang bermaksud mengadu
domba kalian. Cepat, datanglah!"
Di tempat lain, kedua raja muda itu
tersentak demi mendengar suara orang memang-gilnya. Maka dengan mengajak patihpatih mereka, kedua raja itu segera menuruti panggilan orang itu.
Tak lama kemudian, kedua raja dan patih-patihnya telah sampai ke tempat itu.
Wulung Seta terperanjat, ketika tahu siapa yang tengah bertarung dengan
hulubalangnya. "Kau, Angelir!"
Angelir yang mendengar suara Wulung Se-ta seketika tersentak mundur. Maka ketika
dilihatnya banyak orang yang datang, tanpa banyak pikir lagi Angelir segera
berkelebat pergi.
Mereka yang ada di situ seketika hendak mengejarnya, manakala Jaka mencegah.
"Tak usah dikejar!"
Seketika semua terbelalak, manakala melihat sesosok tubuh pemuda telah berdiri
di hadapan mereka. Demi melihat pemuda yang mereka kenal, seketika mereka
memekik: "Jaka Ndableg!"
"Ah, rupanya tuan pendekar yang telah memanggil kami," bergumam Amurwa Sakti.
"Terima kasih atas pertolongan tuan. Apalah jadinya kami ini, kalau tuan tidak
segera mem-beritahukan hal ini pada kami."
"Ah, Paduka terlalu berlebihan menilai hamba. Sudah kewajiban hamba untuk
memberan-tas kemungkaran dan kejahilan. Selamat tinggal tuan-tuan sekalian!"
Bersama dengan habisnya suara Jaka, seketika semua terbelalak. Mereka kaget demi
mendapatkan Jaka tak ada lagi di antara mereka. "Sungguh pendekar aneh. Walau ilmunya tinggi, ia tak sombong. Maafkan aku,
Dinda," kata Wulung Seta. "Kalau tak ada Pendekar Pedang Siluman, apalah jadinya kita."
"Sama-sama, Kanda," balas Amurwa Sakti.
Kedua raja kakak beradik itu saling peluk.
Dengan beriringan, mereka melangkah kembali ke tempat masing-masing untuk
merencanakan penyerangan esok hari.
Perang kembali meletus, kali ini makin seru. Dengan perginya Angelir atau si
Mawar Merah, semangat prajurit-prajurit dua kerajaan makin tinggi. Hal itu dapat
dilihat dari cara perang mereka.
Tengah mereka berperang, terdengar seruan seseorang yang seketika menghentikan
peperangan. "Lihat ini, Raja kalian telah mati!"
Orang itu yang ternyata Wulung Seta, menenteng kepala Raja Amuk Mungkur. Di
sampingnya berjalan Amurwa Sakti, yang juga menenteng kepala patih Amuk Mungkur
yaitu Rekso Giri.
Dari atas bukit yang agak jauh, seorang gadis memandang kematian Amuk Mungkur
dengan berlinang air mata. Dialah Angelir, anak Prabu Amuk Mungkur. Hati Angelir
seketika membahana, dengan dendam meletus-letus.
"Wulung Seta dan kau Amurwa Sakti.
Tunggulah pembalasanku!"
Dengan masih berderai air mata, Angelir atau Dewi Mawar Merah berlari
meninggalkan bukit. Nah, bagaimanakah nasib Angelir" Bagaimana pula dendamnya
dapat terlaksana" Lalu apa yang akan dilakukan Jaka selanjutnya" Silahkan ikuti kisah selanjutnya dengan judul:
" Pembalasan Dewi Mawar Merah."
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Memanah Burung Rajawali 10 Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah Eng Djiauw Ong 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama