Ceritasilat Novel Online

Nyi Roro Sekar Mayang 2

Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang Bagian 2


tanya Dewi Anggi berusaha meyakinkan pendengarannya. Atau juga sekadar
mengalihkan hatinya yang agak kecewa.
"Betul, Ni Dewi...," sahut Bayu dengan perasaan berat.
Gadis itu terdiam. Pendekar Pulau Neraka tak menjawab pertanyaannya yang
terakhir. Gadis itu pun agaknya enggan untuk terus mendesak.
Putri Ki Sapu Jagad itu terdiam beberapa saat. Ketika Tiren menjerit-jerit
kecil, dia seperti tersentak kaget dan buru-buru mengucapkan selamat malam,
terus beranjak pergi dari kamar Bayu.
Bayu menghela napas pendek dan menatap si Gadis sampai hilang di balik kamarnya
sendiri. Ruangan yang diperuntukkan bagi para tamu, memang tidak begitu jauh
dari kamar-kamar penghuni pondok ini. Kamar Pendekar Pulau Neraka berada di
tengah. Sedang kamar Dewi Anggi berada di pojok, bersebelahan dengan kamar Ki
Sapu Jagad yang dikelilingi pagar kayu jari setinggi satu tombak.
Bayu tersenyum kecil seraya menggeleng lemah. Sebelum menutup pintu kamar, dia
terkesiap. Sepasang mata memperhatikannya dengan seksama sambil berdiri dan
bersandar pada pintu. Namun ketika dia melihatnya, sosok itu buru-buru masuk ke
kamar dan menutup pintu. Bayu tidak sempat melihat wajah orang itu dalam
keremangan malam karena obor yang menyala pun agak jauh dari situ. Namun jelas
dia mengetahui siapa sebenarnya orang itu.
"Ni Ayu Sulastri, kenapa dia...?" gumam Bayu, bertanya-tanya dalam hati.
Sesaat pemuda berpakaian dari kulit harimau itu berpikir.
Namun buru-buru menutup pintu dan merebahkan diri di tempat tidur. Rasa letih
dan penat membuatnya cepat terlelap, melupakan segala yang dipikirkannya!
*** 5 Waktu berjalan dengan cepat dan tidak terasa setahun telah berlalu sejak
kejadian itu. Semenjak kematian Ki Sanca Ireng di Hutan Alas Layang, tak
terdengar lagi berita Iblis Tengkorak Hitam Putih. Banyak orang merasakan dapat
hidup tenteram.
Tidak terdengar lagi penculikan-penculikan yang terjadi seperti ketika kedua
iblis itu masih merajalela. Juga tentang kepala-kepala tengkorak manusia yang
berserakan dalam keadaan berlubang.
Namun agaknya hal itu tidak bertahan lama, sebab belakangan ini peristiwa yang
lebih hebat kembali muncul.
Beberapa tokoh persilatan dinyatakan hilang dan tidak seorang pun yang
mengetahui ke mana mereka pergi. Semua raib bagai ditelan bumi!
Hal itu pun sampai di telinga Ki Sapu Jagad beserta rekan-rekannya. Mereka
mengadakan pertemuan kembali. Seperti dulu, mereka membahas tentang hilangnya
banyak tokoh persilatan secara gelap. Termasuk di dalamnya Ki Anggora dan Ki
Pending Layung!
"Siapa kira-kira yang melakukan perbuatan ini...?" tanya Ki Anggora dengan wajah
penasaran. "Melakukan" Apakah tidak mungkin mereka mempunyai tujuan lain" Maksudku mereka
bukan diculik atau dibunuh secara gelap, melainkan pergi dengan maksud dan
tujuan tertentu...," sahut salah seorang dari mereka mengemukakan pendapatnya.
Ki Sapu Jagad tersenyum kecil seraya memandang orang itu," Ki Kompyang, hal ini
bukan suatu kebetulan. Dalam waktu singkat lebih dari sepuluh tokoh persilatan
hilang. Bahkan kejadiannya hampir bersamaan" Apa yang mereka lakukan"
Bahkan beberapa orang di antara mereka ada yang tidak saling mengenal. Memang
benar, di antara mereka banyak yang berasal dari golongan hitam. Namun rasanya
tak mungkin mereka berkumpul untuk membicarakan tujuan yang mencelakakan
kita...," sahutnya.
"Apa tak mungkin kalau hal ini dilakukan oleh Nyai Roro Sekar Mayang...?" ungkap
Ki Pending Layung, meyakinkan pendapatnya.
Mendengar pendapat Ki Pending Layung, semua yang ada di ruang itu terdiam.
Beberapa orang wajahnya tampak tegang.
Bagaimanapun nama itu sempat membuat mereka kecut.
Beberapa waktu lalu sepak terjang Nyai Roro Sekar Mayang bersama suaminya sempat
membuat beberapa pendekar binasa dalam keadaan yang amat mengenaskan.
"Bisa jadi...," sahut Ki Sapu Jagad setengah bergumam.
"Kalau saja dia memperdalam ilmunya, maka bisa diperkirakan bahwa kepandaiannya
saat ini tentu amat tinggi...," timpal Ki Anggora.
Suasana di ruangan itu berubah hening. Mereka tenggelam dalam pikiran masingmasing, seakan membayangkan bagaimana kehebatan wanita itu saat ini. Kalau benar
Nyai Roro Sekar Mayang yang melakukan penculikan terhadap para
tokoh persilatan belakangan ini, tentu kepandaiannya telah berlipat ganda.
Dahulu saja tak ada yang mampu membekuknya, apalagi untuk mengalahkannya. Lalu
apa yang mereka lakukan saat ini.
"Kira-kira apa rencananya jika benar bahwa hal itu ulah Nyai Roro Sekar
Mayang...?" tanya Ki Pending Layung yang membuka pembicaraan kembali.
"Yang kukhawatirkan dia menggunakan segala cara, membujuk rayu para tokoh yang
diculiknya untuk membantu membalaskan dendamnya...," sahut salah seorang di
antara mereka. "Ya, yang jelas dia memang bermaksud membalas dendam.
Sekarang kita mesti waspada dan lebih berhati-hati!" Ki Sapu Jagad menimpali.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Ki...?" kali ini yang bertanya Ki Lodaya,
salah seorang tokoh tua yang hadir dalam pertemuan itu.
"Hm.... Aku juga tengah berpikir. Ke mana kita akan mencarinya" Dan yang lebah
membuat pusing, apakah semua ini benar tindakannya" Kalaupun benar, kurasa kita
tak mampu berbuat apa-apa selain menunggu kedatangannya...," lanjut Ki Sapu
Jagad. "Kita harus bertindak, Ki! Bagaimanapun harus kita cari wanita itu sampai
ketemu!" sahut Ki Lodaya, merasa kurang puas dengan jawaban orang tua itu.
"Apakah Ki Lodaya punya petunjuk di mana kita harus mencari wanita itu?" tanya
Ki Sapu Jagad dengan nada sedikit sinis.
"Pokoknya kita harus mencarinya ke mana saja! Kita tidak bisa hanya berdiam diri
dan menunggu dia datang untuk
membinasakan kita satu persatu...!" dengus Ki Lodaya dengan wajah berang.
"Ki Lodaya, sabarlah! Kedatangan kita ke sini untuk mencari jalan bagaimana cara
mengatasi si Pengacau itu...," sela Ki Pending Layung menengahi.
"Apa"! Apa yang bisa kita lakukan di sini" Cuma bicara dan bicara! Lalu apa
penyelesaiannya"! Cuma menunggu...!"
Ki Lodaya benar-benar tidak puas dengan jawaban yang didengarnya. Nada suaranya
semakin keras. Bahkan kemudian lelaki berjubah kuning itu langsung keluar dari
ruangan dengan membawa kemarahan hatinya. Ki Sapu Jagad serta mereka yang hadir
berusaha menahan, tapi Ki Lodaya sama sekali tak menghiraukannya. Laki-laki
berperawakan besar itu terus berlalu. Mereka hanya bisa menahan napas pendek!
"Sejak kematian saudaranya, dia memang sangat mendendam terhadap wanita itu...,"
desah Ki Sapu Jagad pelan.
"Hm..., tapi itu bisa membahayakan dirinya sendiri...," sahut Ki Pending Layung,
"Apalagi kalau dia mencari wanita itu seorang diri...."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki...?" tanya Ki Anggora pada Ki Sapu
Jagad. "Sebaiknya beberapa orang di antara kita mengikuti dan menjaganya. Jangan sampai
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!" sahut Ki Sapu Jagad.
"Biar kami yang menjaga dan mengikutinya!" ujar dua orang di antara mereka yang
hadir. 'Terima kasih atas kesediaan kalian, Ki Jaka Umbara dan Ki Kebo Ungu...."
"Ki Sapu Jagad, kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, kami mohon diri...!" kata
Ki Anggora seraya mengajak serta kedua muridnya untuk meninggalkan tempat
pertemuan. Melihat itu, yang lainnya segera menyusul satu persatu. Ki Sapu Jagad tidak
berusaha menahan mereka, sebab tidak ada yang bisa dibicarakan dan lakukan lagi
dalam persoalan ini, selain menunggu perkembangan selanjutnya.
*** Dengan membawa amarah dan kekesalannya, Ki Lodaya buru-buru meninggalkan
padepokan itu dan memacu kudanya kencang-kencang. Dia memang telah bertekad
dalam hati untuk mencari dan membinasakan Nyai Roro Sekar Mayang dengan
tangannya sendiri. Ingin membuktikan pada yang lain bahwa dia mampu melakukan
hal itu tanpa bantuan mereka.
Ki Lodaya sendiri memang pemarah dan tidak bisa membiarkan persoalan berlarutlarut tanpa penyelesaian yang memuaskan harinya. Setahun lamanya dia menunggu
keputusan mereka, namun selama itu tidak ada niat untuk mengejar Nyai Roro Sekar
Mayang guna menuntut balas atas kematian saudaranya. Itu sudah cukup untuk
membuat kemarahan dan dendam kesumatnya kian memuncak
"Hieee...!"
Pada sebuah pinggiran hutan yang dilalui, mendadak kuda tunggangannya meringkik
keras seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Ki Lodaya terkesiap
dan melompat cepat dari punggung kuda seraya memaki geram.
"Setan! Kenapa pula kuda ini"! Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja
bertingkah aneh!"
Ki Lodaya mencari-cari, kalau mungkin ada seekor ular yang menghadang di depan,
atau seekor harimau sehingga membuat
kudanya bertingkah aneh. Namun belum lagi dia menemukan sesuatu, mendadak muncul
beberapa sosok tubuh melayang ringan dari cabang-cabang pohon di sekitarnya. Ki
Lodaya mundur beberapa langkah dengan wajah kaget memperhatikan mereka satu
persatu. "Keparat! Setan-setan mana yang berani menghadang perjalananku"! Apa kalian
sudah bosan hidup, heh"!"
bentaknya garang sebelum orang-orang itu mendahului.
Srang! Ki Lodaya mencabut golok besar yang tersandang di punggungnya dan bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
"Ayo, majulah kalian semua! Biar kucincang-cincang tubuh kalian dan menjadi
santapan anjing hutan!" bentaknya semakin geram.
Namun demikian, tidak ada seorang pun dari mereka yang mengepungnya itu
melakukan apa-apa. Mereka diam saja sambil memperhatikan Ki Lodaya dengan
pandangan mata tidak berkedip. Bahkan tidak seorang pun yang membuat gerakan
untuk menyerangnya.
"Keparat! Apa mau kalian sebenarnya" Mau membegalku"
Ayo, cepat maju, biar kukirim kalian semua ke neraka...!"
bentak Ki Lodaya kembali dengan nada garang.
Dan seperti tadi, tidak ada seorang pun dari mereka yang membuat gerakan. Hal
itu semakin membuat Ki Lodaya naik darah. Dia mendahului sebelum mereka
menyerangnya bersama-sama.
"Bagus! Kalian pasrah dan menyerahkan jiwa begitu saja untuk menerima hukuman.
Mungkin kalian sebangsa perampok atau kawanan penjahat, sehingga aku tidak perlu
merasa berdosa membunuh kalian...."
Dengan satu lompatan ringan dia membabat salah seorang yang berada paling dekat
darinya. Sring! Trang! "Uhhh...!"
Namun ketika senjata di tangan Ki Lodaya hampir menyambar perutnya, orang itu
cepat sekali mencabut pedang dan menangkis. Ki Lodaya tersentak kaget ketika
senjata mereka beradu. Terasa ada tenaga kuat yang membuatnya bergetar hebat
dengan jantung berdegup kencang.
Ki Lodaya cepat melompat ke belakang untuk mengatur jarak agar terhindar dari
serangan lawan berikutnya. Namun dia dibuat bingung sendiri sebab lawan sama
sekali tidak melanjutkan serangan.
Mereka kembali terdiam seperti tadi dengan tangan tetap menggenggam senjata.
"Iblis jahanam! Apa sebenarnya yang kalian inginkan dariku"! Bicaralah jangan
sampai aku kesalahan tangan membunuh kalian tanpa sebab!" bentak Ki Lodaya
dengan suara menggelegar menumpahkan amarah dan kekesalannya.
Kali ini sikap mereka masih seperti semula, sama sekali tidak berbuat apa-apa.
Ki Lodaya semakin naik pitam dibuatnya.
Dengan cepat tubuhnya melompat melakukan serangan. Tidak seperti tadi, dia
melompat dan sekaligus menghantam ke arah tiga orang lawan yang paling dekat
dengannya. "Huh, kutu-kutu busuk mau bertingkah di hadapanku! Apa kalian kira aku takut
dengan semua ini"! Mampuslah kalian, yeaaa...!"
Tring! "Hiiih!"
Bet! Wuk! Apa yang terpikir dalam benak lelaki berbadan besar itu memang terbukti. Orangorang itu agaknya menunggu diserang baru membalas menyerang. Ketika golok di
tangannya melayang menyambar leher salah seorang lawan, orang itu cepat
menangkis dengan pedangnya. Begitu pula saat telapak tangan kirinya menghantam
dengan pukulan jarak jauh, lawan menundukkan kepala dan berkelit ke samping.
Tendangan maut Ki Lodaya yang berisi tenaga dalam kuat pun mampu dihindari oleh
lawannya yang lain. Namun agaknya Ki Lodaya tidak melihat keadaan karena terus
mengamuk lawan-lawannya yang lain. Tidak kurang dari tujuh orang yang
mengepungnya tampak mulai melakukan serangan balasan. Dan ternyata mereka
bukanlah sebangsa perampok rendah yang memiliki ilmu silat tanggung.
Trang! Bret! "Uhhh...!"
Ki Lodaya terkejut. Dua pedang dan sebilah golok serta sebuah senjata pengait
yang tajam bagai arit yang bergagang panjang, menyambar ke arahnya secara
bersamaan. Dia berusaha berkelit dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Namun saat goloknya kena ditangkis salah seorang lawan, bahu kirinya disambar
senjata lawan lainnya. Ki Lodaya mengeluh tertahan dan melompat ke belakang.
Sementara tiga orang lainnya telah menunggu kesempatan itu dan segera bersamaan
bergerak menyerangnya. Ki Lodaya tersentak kaget.
Tidak ada jalan lain baginya selain memapaki serangan lawan dengan mengibaskan
senjata. Trang! "Aaakh...!"
Golok besar di tangan Ki Lodaya terpental.
Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, karena perutnya pun tersodok pukulan
lawan. Dua orang lawan yang lain siap menerkam dan menghabisi dengan senjata
masing-masing. Namun tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Cukup! Hentikan serangan kalian...!"
Sungguh aneh! Pada saat itu juga para pengeroyoknya menghentikan serangan secara
bersamaan. Tidak seorang pun berani bertindak. Mereka berdiri tegak dan
mengelilingi Ki Lodaya masih dengan senjata-senjata terhunus.
Dengan perasaan heran Ki Lodaya mengawasi ke sekeliling.
Tiba-tiba matanya terpicing sebelah saat melihat sesosok tubuh ramping memakai
jubah putih berukuran besar. Sehingga saat angin bertiup jubah dan rambutnya
yang telah sebagian besar memutih, berkibar-kibar seperti bendera. Ternyata
sesosok wanita berusia sekitar lima puluh tahun dengan tubuh kurus dan wajah
pucat bagai mayat. Kelopak matanya cekung dengan sepasang alis saling bertaut.
Sinar matanya tajam menyeramkan seakan mengandung daya sihir yang mampu
meluluhkan siapa pun yang beradu pandang dengannya.
Meskipun demikian, Ki Lodaya agaknya tidak mungkin melupakan wajah wanita itu.
"Nyai Roro Sekar Mayang..."!" serunya kaget. Untuk sesaat terasa jantungnya
berdegup kencang dan semangatnya hendak terbang. Ki Lodaya berusaha menguatkan
hari dan menyadarkan diri bahwa kepergiannya sengaja untuk mencari wanita ini,
serta membalaskan dendam saudaranya yang terbunuh.
Namun sungguh aneh! Penampilan wanita itu sekarang sungguh berbeda dengan
setahun lalu. Bahkan usianya kelihatan lebih tua dari umur yang sebenarnya. Dan
terlebih lagi, tatapan matanya itu...!
"Bagus! Akhirnya kau muncul juga di sini, Keparat! Jadi tak perlu lama-lama lagi
aku mencarimu!" bentak Ki Lodaya geram.
"Siapa kau, dan ada perlu apa mencariku" Apakah kau salah seorang dari mereka
yang dulu mengeroyokku...?" tanya wanita berjubah putih itu dengan nada dingin.
"Bajingan keparat! Aku Lodaya. Aku bersumpah akan membunuhmu setelah kau bunuh
saudaraku setahun lalu!"
Nyai Roro Sekar Mayang terdiam sesaat, kemudian terlihat dia menyunggingkan
senyum kecil. Jelas sekali terlihat bahwa dia sama sekali tidak menghiraukan
kata-kata Ki Lodaya.
Bahkan tampaknya wanita itu menganggap sepi dendam serta amarah Ki Lodaya.
"Hm, jadi namamu Lodaya..." Kulihat kepan-daianmu tidak rendah. Kau bisa menjadi
pembantu andalanku seperti mereka ini...," kata Nyai Roro Sekar Mayang tenang.
Ki Lodaya terkesiap dan menoleh sesaat pada para lawannya tadi, lalu kembali
menatap wanita itu dengan tajam.
"Wanita iblis! Jangan bicara seenaknya...! Kedatanganku ke sini untuk
membunuhmu!" bentaknya garang.
"Membunuhku..." Hi hi hi...! Tidak sadarkah kau dengan keadaanmu saat ini" Kau


Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah terkepung. Hanya dengan satu isyarat, mereka akan merencahmu seperti
kawanan serigala kelaparan. Hhh.... tanpa kehadiran mereka pun kau bisa berbuat
apa terhadapku...?"
Sombong sekali kedengarannya ucapan wanita itu, seperti juga sikapnya saat ini.
Namun, mana mungkin Ki Lodaya bisa menerima keadaan itu. Apalagi dengan dendam
kesumat yang berkecamuk dalam dadanya. Maka sambil menggeretakkan rahang, lakilaki itu melompat menyerangnya.
"Iblis keparat, kau boleh mampus sekarang...! Yeaaa...!"
Nyai Roro Sekar Mayang tersenyum dingin dan sama sekali tidak bersiap hendak
menangkis serangan lawan. Namun ketika serangan Ki Lodaya nyaris mengenai
tubuhnya, seketika dia mengebutkan tangan sambil membentak keras. "Jatuh...!"
Buk "Aaakh...!"
Ki Lodaya menjerit keras. Tubuhnya seperti menabrak dinding baja yang kuat luar
biasa. Dadanya terasa sesak untuk bernapas, dan kedua tangannya terasa linu.
Kepalanya dirasakan berputar-putar ketika dia mencoba bangkit dan bermaksud
menyerang wanita itu kembali.
Nyai Roro Sekar Mayang tertawa nyaring sambil mengangkat tangan kanannya.
Kemudian terdengar suaranya yang mengandung daya sihir kuat. Tiba-tiba kepala Ki
Lodaya terangkat dan mau tidak mau matanya bertatapan dengan wanita itu.
"Lodaya.... Lodaya...! Hari ini kau menjadi budakku, dan tidak ada satu pun dari
dirimu yang mampu melawanku. Kau adalah budakku dan akan selalu patuh pada
perintahku...!"
Ki Lodaya tersentak kaget dan merasakan sekujur tubuhnya lemas tidak berdaya.
Dia berusaha melawan pengaruh itu, tapi makin lama matanya menatap pandangan si
Wanita, maka perasaan lemas terus menyusup ke setiap jalan darahnya.
Pikirannya mengawang dan samar-samar bersama rasa pusing yang berangsur-angsur
hilang, maka wajahnya yang tadi
garang mulai berubah. Pandangan matanya kosong, seperti mayat yang bangkit dari
kubur. "Hi hi hi...! Lodaya, mulai sekarang kau menjadi budakku!
Budak Nyai Roro Sekar Mayang. Ucapkan sumpah setiamu sampai mati!"
"Aku budakmu...! Aku bersumpah akan membelamu dengan taruhan nyawaku...!" sahut
Ki Lodaya masih menatap wajah Nyai Roro Sekar Mayang.
"Hi hi hi...! Bagus, Lodaya! Bagus...! Hi hi hi...! Kini orang-orang itu boleh
merasakan pembalasanku sebentar lagi. Dan terutama si Pendekar Pulau Neraka! Dia
akan menebus nyawanya! Kematiannya merupakan peristiwa yang amat menyakitkan dan
akan dibawanya terus ke akherat dengan dendamnya yang tidak terbalaskan! Hi hi
hi...!" Nyai Roro Sekar Mayang tertawa nyaring penuh
kegembiraan. Namun saat menyebut nama Pendekar Pulau Neraka yang amat
dibencinya, terlihat perubahan pada raut wajahnya. Rasa kebencian dan dendam
kesumatnya bercampur menjadi satu. Lalu ketika merasa yakin bahwa dengan apa
yang dimilikinya sekarang dia mampu membinas-kan dan menuntut balas kematian
suaminya, wanita itu kembali tertawa keras.
"Ayo, kita pergi dari sini, dan mulai bekerja...!" teriaknya kembali pada orangorang yang berada di tempat itu.
Tanpa banyak bicara mereka mengikuti langkah Nyai Roro Sekar Mayang meninggalkan
tempat itu. Melihat cara mereka berlari yang demikian cepat, jelas bahwa ratarata orang itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Paling tidak setingkat
dengan Ki Lodaya, ataupun di atasnya.
*** 6 Ketiga orang itu memacu kuda yang ditunggangi perlahan-lahan. Mereka agaknya
tidak ingin buru-buru tiba di tujuan.
Seorang di antaranya laki-laki berusia lanjut sekitar lima puluh tahun,
menyandang pedang di punggungnya. Dua lainnya muda-mudi berparas tampan dan
cantik. Keduanya pun bersenjata pedang di punggungnya.
"Guru, apakah benar apa yang mereka katakan tadi, bahwa semua ini perbuatan Nyai
Roro Sekar Mayang...?" tanya si Gadis sambil menoleh ke lelaki tua di
sampingnya. Terbayang olehnya setahun yang lalu dia hampir saja menjadi korban Nyai Roro
Sekar Mayang. Padahal saat itu gurunya tengah teriuka, dan banyak di antara para
pendekar lainnya yang tewas. Sedangkan sisanya berada dalam jarak jangkau yang
jauh dari wanita itu. Kalau saja saat itu tidak muncul seorang pemuda tampan
berbaju kulit harimau, niscaya dirinya telah tewas. Atau paling tidak akan
teriuka parah. Pemuda itu" Ke mana dia sekarang dan apa yang sedang dilakukannya" Tiba-tiba
saja wajah gadis itu nelangsa dan hatinya merasa terenyuh. Ada perasaan haru
yang dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Benarkah dirinya menyukai pemuda
itu" Tapi apakah itu bisa dibenarkan" Pemuda itu sama sekali tidak menaruh
perhatian padanya. Bahkan boleh dikatakan, selama pertemuan sedikit sekali
mereka dapat bicara. "Ayu Sulastri...!"
Gadis itu tergagap dan memandang lelaki tua dan pemuda di sebelahnya. Wajahnya
tampak kemerahan menahan perasaan malu karena ketahuan bahwa dia merenung
seorang diri. "Apa yang kau pikirkan...?" lanjut si Pemuda.
"Eh, tidak! Tidak ada, Kakang Braja...!" sahut Ayu Sulastri
"Lalu kenapa kau melamun...?" tanya pemuda yang ternyata Braja.
"Tidak apa-apa. Aku hanya teringat ayah dan ibu. Sudah lama sekali aku tidak
mengunjungi mereka...," jawab Ayu Sulastri tanpa menoleh ke wajah Braja.
"Kau ingin pulang mengunjungi orangtua-mu...?" tanya si Orang Tua yang tak lain
Ki Anggora. "Kurasa begitu, Guru...."
"Ya. Kalau begitu, kuizinkan kau pulang menemui mereka."
"Apakah kau bersungguh-sungguh ingin pulang...?" tanya Braja meyakinkan.
Ayu Sulastri mengangguk.
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin mengantarmu...," Braja menawarkan diri.
"Maaf, Kakang Braja. Aku ingin berjalan sendirian saja...,"
Ayu Sulastri menolak secara halus.
"Apakah kau tidak suka kutemani...?" pertanyaan Braja yang terakhir ini
menunjukkan perasaan kecewa bercampur curiga.
"Bukan begitu, Kakang. Aku suka sekali kau kawani, tapi untuk saat ini aku ingin
melakukan perjalanan seorang diri.
Mudah-mudahan kau bisa mengerti...," ujar Ayu Sulastri sehalus mungkin agar si
Pemuda tidak merasa kecewa.
Gadis cantik itu menoleh ke arah Ki Anggora, lalu menghampiri serta memberi
salam hormat. "Guru, terima kasih atas izinmu. Aku akan berangkat sekarang juga. Restuilah
dengan doamu, hingga perjalananku selamat sampai tujuan...!"
Ki Anggora tersenyum kecil seraya mengangguk. "Pergilah, Ayu! Restuku selalu
menyertai-mu....
Ayu Sulastri menarik tali kekang kudanya. Setelah mengangguk kecil kepada Braja,
dia menghela kudanya perlahan-lahan memisahkan diri di persimpangan jalan. Braja
terpaku beberapa saat memandang gadis itu dengan perasaan tidak percaya. Apa
yang telah terjadi terhadapnya" Kenapa belakangan ini dia begitu dingin padaku"
Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam hatinya, dan tidak mendapat jawaban
yang memuaskan.
Selama mereka berguru, hubungan keduanya amat akrab.
Meskipun Ayu Sulastri tidak pernah menyatakan cintanya, Braja menganggap bahwa
dirinya tidak bertepuk sebelah tangaa Namun selama setahun belakangan ini
kelakuan gadis itu dirasakan semakin aneh. Tawa riangnya yang selalu terlihat
berganti dengan kemurungan. Selain itu dia menjadi pendiam.
"Maaf, Guru. Aku ingin bicara sebentar dengannya...," kata Braja seraya menyusul
gadis itu. Ki Anggora hanya bisa menggeleng kecil sambil tersenyum memperhatikan tingkah
kedua muridnya itu. Dia menghentikan kuda dan duduk dengan tenang memperhatikan
keduanya dari kejauhan.
Melihat dari wajah Braja yang tegang ketika berbicara dengan Ayu Sulastri, Ki
Anggora bisa menduga bahwa si Pemuda pasti kesal. Dan sedikit banyak dia bisa
mengerti, apa yang menyebabkan hal itu. Orang tua ini kembali menghela napas
pendek. "Kenapa, Ayu" Kenapa mendadak begini" Apa yang terjadi..."!"
"Bukankah sudah kukatakan berkali-kali, Kakang" Tidak ada apa-apa. Aku hanya
rindu pada mereka. Tidak bolehkah aku mengunjungi seorang diri...?" tukas Ayu
Sulastri masih dengan suara rendah.
"Tapi belakangan ini kau aneh. Tidak biasanya kau menolak tawaranku. Bahkan
biasanya jika hendak mengunjungi orangtuamu, kau selalu bicara padaku. Sekarang
kau menjadi pemurung, pendiam, tidak pernah tertawa.... Apa sebenarnya yang
terjadi padamu..."!" tanya Braja dengan rasa penasaran.
"Kakang Braja, tidak ada apa-apa. Percayalah, aku hanya ingin pulang sendiri!
Apakah itu salah...?" '
"Atau ada seseorang dalam hatimu...?" tanya Braja menyelidik dengan tatapan
curiga. "Apa maksudmu..."!" tanya si Gadis dengan perasaan jengah dan suara yang mulai
tinggi. "Sejak kedatangan pemuda itu tingkahmu mulai berubah.
Apakah benar firasatku bahwa kau menyukainya" Kau menyukainya secara diam-diam
dan tidak ingin kuketahui"!"
"Kakang, hentikan kata-katamu! Pemuda" Huh, pemuda siapa yang kau maksudkan"!"
"Siapa lagi kalau bukan Bayu" Kau menyukainya, bukan..."!"
nada bicara Braja menyiratkan kecemburuan harinya.
"Kakang Braja, jangan sembarangan kau bicara...!" bentak Ayu Sulastri merasa
tidak senang dengan tuduhan itu.
Ketika keduanya tengah berbicara, mendadak lima sosok tubuh melesat dan
mengurung mereka.
Braja dan Ayu Sulastri tentu saja tersentak kaget. Sring!
Sring! *** "Siapa kalian dan apa yang kalian inginkan..."!" bentak Braja dengan mata
membelalak garang.
Lima orang lelaki berpakaian hitam yang baru muncul, tak mempedulikan bentakan
Braja. Mendadak secara serentak mereka mencabut senjata masing-masing dan
menyerang kedua muda-mudi itu.
"Hiyaaa...!"
"Hei"!" kedua orang itu tersentak kaget Demikian pula dengan Ki Anggora. Lelaki
tua itu langsung melompat menghampiri saat kedua muridnya mencelat dari punggung
kuda masing-masing untuk menghindari serangan kelima lelaki berpakaian hitam.
Trang! "Hiiih!"
"Uhhh...!"
Braja dan Ayu Sulastri bukan main terkejutnya mendapat serangan yang mendadak
begitu. Dengan sebisa-bisanya mereka menghindarkan diri dari tebasan senjata
lawan. Kalau saja kelima orang yang mereka hadapi saat ini memiliki ilmu silat
rendah, mungkin tidak jadi masalah, sebab dengan mudah mereka akan mampu
mengatasi. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Gerakan kelima orang itu cepat bukan main,
dan tenaga dalamnya kuat sekali. Angin serangannya saja terasa menyambar kulit
tubuh mereka. Ketika senjata mereka saling berbenturan, Ayu Sulastri dan Braja
mengeluh tertahan menahan rasa sakit. Rasanya kulit tangan mereka terkelupas.
Kalau sedikit saja kurang sigap, bukan tidak mungkin senjata akan terlepas dari
genggamaa "Keparat busuk! Setan dari mana yang menyuruh kalian tiba-tiba saja menyerang
kami"!" bentak Ki Anggora seraya menyerang dua lawan yang tengah mendesak kedua
muridnya. Namun belum sempat serangan orang tua itu sampai, tiga orang lainnya telah
menghadang dan memapaki serangannya dengan kompak.
Trang! Wuuut! "Uhhh...!"
Ki Anggora memekik tertahan ketika pedangnya membentur pedang lawan. Sementara
pada saat yang bersamaan, dua buah golok menyambar ke arah pinggang dan
lehernya. Orang tua itu mencelat ke belakang untuk menghindar dari serangan
lawan selanjutnya. Namun lawan yang bersenjata pedang seperti tidak ingin
membiarkannya lolos begitu saja. Pedangnya berputar sedemikian cepat membentuk
pusaran yang menimbulkan desir angin kencang.
Ki Anggora terkejut melihat cara lawan memainkan pedang.
Rasanya dia kenal betul jurus-jurus yang dipergunakan lawan. "
Sehingga tak terasa orang tua itu memperhatikan wajah lawannya dengan seksama.
Ketika mengetahui siapa sesungguhnya yang dihadapi Ki Anggora tersentak kaget.
"Kakang Sadewa, apa yang kau lakukan"! Sudah gilakah kau, hendak membunuh adik
seperguruanmu sendiri"! Kakang Sadewa, sadarlah! Aku Anggora, adikmu
sendiri...!" teriak Ki Anggora dengan mata terbelalak keheranan. Dia tidak habis
pikir kenapa Ki Sadewa, kakak seperguruannya menyerang.
Namun sia-sia saja sebab orang yang dipanggilnya dengan nama Ki Sadewa itu
seperti tidak mengenalinya. Bahkan terus menyerangnya seperti berhadapan dengan
musuh besar. Cras! "Akh...!"
Ki Anggora terpekik kesakitan. Dia yakin sekali bahwa Ki Sadewa akan mengenali
setelah diingatkannya. Namun hal itu membuatnya lengah. Karena lawan sama sekali
tidak terusik dengan teriakannya itu. Ujung pedang lawan menyambar lengan
kirinya hingga putus. Tubuh Ki Anggora melompat ke belakang untuk menghindar
dari serangan selanjutnya. Namun dua lawan lainnya telah siap menerkam dengan
tebasan golok. Sehingga keadaan Ki Anggora memang terjepit sekali. Apalagi ketika dia mendengar
jeritan Braja. "Braja! Ayu Sulastri...! Lekas tinggalkan tempat ini!
Selamatkan diri kalian masing-masing! Ayo, pergilah kalian dari sini!" teriak Ki
Anggora memperingatkan kedua muridnya itu.
"Tidak, Guru! Kami tak akan pergi dari sini dan membiarkan kau seorang diri
menghadapi mereka...!" sahut Ayu Sulastri dengan suara lantang.
"Hidup atau mari, kami akan tetap bertarung dengan iblis-iblis keparat ini....
Aaakh...!" teriak Braja terpotong ketika satu tendangan lawan membuat tubuhnya
sempoyongan beberapa langkah.
Namun begitu dia masih berusaha mempertahankan kuda-kuda semantap mungkin.
Sementara pedangnya tetap dikibaskan untuk melindungi bagian dadanya saat lawan
menerjang dengan ayunan goloknya yang kencang bukan main.
Trang! Brettt! "Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya Braja menjadi kesakitan. Pedangnya terpental dihantam golok
lawan. Dan golok itu terus menyambar ke arah pinggangnya. Pemuda itu ingin
melompat mundur untuk menyetamatkan diri. Namun sungguh buruk
akibatnya, sebab senjata lawan menyambar pangkal pahanya. '
Nyaris kakinya putus ketika terasa bahwa golok lawan membentur tulang pahanya.
Darah mengucur deras dari lukanya. Langkahnya limbung serta ter-pincang-pincang
ketika berusaha menjatuhkan diri untuk menghindari serangan lawan berikutnya.
Hal yang sama agaknya dialami Ayu Sulastri. Gadis itu menjerit kesakitan ketika
satu tendangan keras menghantam punggungnya. Tubuhnya bergulingan ke depan
sambil menyemburkan darah segar. Napasnya terasa sesak, dan punggungnya sakit
sekali. Dia berusaha bangkit untuk mengayunkan pedang guna memapaki serangan
lawan yang telah mendekat Namun tenaganya seperti terkuras habis, dan lengannya
kaku untuk digerakkan.
Gadis itu mengeluh pendek. Habislah riwayatnya kali ini.
Tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya. Kalaupun dia mampu bertahan,
mungkin hanya dalam sekali tangkisan.
Selanjutnya dia tidak akan mampu berbuat banyak. Kecepatan lawan bergerak
sungguh luar biasa. Begitu pula dengan tenaga dalam yang dimiliki lawannya,
bukanlah tandingan gadis itu.
Trang! Siiing! Cras! Trang! "Aaakh...!"
Ayu Sulastri tersentak kaget dengan mata terpejam.
Pedangnya terlepas dari genggaman setelah berbenturan dengan senjata lawan.
Angin tajam menyambar ke lehernya, sementara dia sama sekali tak berdaya untuk
mengelak. Saat itulah samar-samar terdengar suara mendesing nyaring.
Sebuah benda melesat menahan senjata lawan yang telah
begitu dekat dengannya. Sesaat kemudian terdengar pekikan tertahan. Percikan
darah muncrat membasahi wajahnya. Gadis itu terbelalak. Lawan telah ambruk di
depannya dengan leher nyaris putus.


Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heh..."!"
*** Pada saat yang bersamaan terlihat cahaya putih keperakan menyambar senjatasenjata lawan yang tengah berhadapan dengan Braja dan Ki Anggora. Golok di
tangan lawan Braja patah menjadi dua. Demikian pula dengan senjata lawan yang
lain. Lalu terlihat sekelebat bayangan melesat cepat menyambar keempat orang
yang tengah mengeroyok guru dan murid itu.
Plak! Duk! "Aaa...!"
Ki Anggora dan Braja tertegun kaget. Gerakan yang dilakukan orang yang baru
muncul itu cepat sekali, dibarengi tenaga dalam dahsyat. Angin berdesir kencang
saat bayangannya berkelebat menyambar. Sesaat terdengar jeritan tertahan. Dua
orang lawan terjungkal beberapa langkah dengan mulut memuntahkan darah segar.
Keduanya menggelepar beberapa saat seperti ayam disembelih, lalu diam tidak
bergerak. Sementara dua lainnya masih memberikan perlawanan sengit
Ki Anggora mencoba berusaha memperhatikan, siapa dewa penolong mereka. Akhirnya
menarik napas lega ketika mengetahui siapa orang itu.
"Pendekar Pulau Neraka..." Ah, dia selalu muncul pada saat yang tepat...,"
gumamnya. Orang tua itu mendekati kedua muridnya dan memeriksa luka mereka.
"Guruj siapakah orang yang tiba-tiba muncul menolong kita...?" tanya Ayu
Sulastri. "Kau mungkin tak akan percaya. Dialah orangnya, penolong kita.setahun yang
lalu...." "Maksud Guru, Bayu Hanggara...?"
Wajah Ayu Sulastri tampak berseri-seri meski menahan rasa nyeri di punggungnya.
Ki Anggora mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Dia melihat jelas dari
pancaran wajahnya, sang Murid tidak mampu membohongi perasaan hatinya. Setidaktidaknya orang tua itu mengerti, apa yang menyebabkan kelakuan Ayu Sulastri
begitu murung setahun belakangan ini.
Namun sungguh berbeda dengan Braja. Pemuda itu mendengus pelan sambil membuang
wajah ketika mendengar nama Bayu. Hatinya kesal melihat perubahan wajah Ayu
Sulastri. Gadis itu seperti melupakan luka yang dideritanya, bahkan seakan tak
sadar pada apa yang menimpa mereka. Hal itu bukan kebiasaannya. Dulu bila Ki
Anggora dan Braja sedikit saja teriuka, dia sudah sibuk dan cemas. Tapi kali ini
benar-benar mengherankan. Matanya tiada berkedip menyaksikan pertarungan yang
tengah berlangsung di hadapan mereka.
"Hm, lukamu cukup parah, Braja...," gumam Ki Anggora lalu menotok jalan darah di
pangkal paha murid laki-lakinya itu.
"Tidak apa-apa, Guru. Hanya luka kecil saja. Sebaliknya yang menimpa Guru lebih
parah. Guru kehilangan sebelah lengah...,"
desis Braja dengan wajah duka.
"Hm, tidak mengapa. Lenganku yang sebelah lagi masih mampu kupergunakan...,"
kata-kata Ki Anggora terpotong ketika terdengar kembali jeritan kematian. Salah
seorang lawan terjungkal sambil menyemburkan darah segar. Orang tua itu
terkesiap. Demikian juga dengan kedua muridnya.
Ki Anggora tahu bahwa lawan terakhir Pendekar Pulau Neraka tak lain orang yang
amat dikenalnya. Ki Sadewa, kakak seperguruannya. Kepandaiannya memang hebat dan
ilmu pedangnyapun amat tinggi. Namun sayang, pedangnya telah patah dipapas
senjata Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka.
Melihat hal itu Ki Anggora khawatir kalau kakak seperguruannya akan tewas di
tangan Pendekar Pulau Neraka.
Siapa pun tahu pendekar muda berpakaian kulit harimau ini tidak pernah memberi
ampun pada lawan-lawannya. Sementara dia tidak tahu, apa yang menyebabkan Ki
Sadewa menjadi ganas begitu. Selama ini tidak pernah terjadi perselisihan di
antara mereka. Bahkan Ki Sadewa sangat sayang padanya.
Siiing! "Heh"!"
Ki Anggora terperanjat melihat Pendekar Pulau Neraka kembali melepaskan Cakra
Maut Dia tahu betul akan kehebatan senjata itu karena pernah membuktikan dengan
mata kepala sendiri ketika menewaskan Ki Sanca Ireng.
"Nak Bayu, harap kau memberi ampun padanya. Dia saudara seperguruanku. Pasti ada
yang tidak beres padanya...!" teriak Ki Anggora.
"Heaaah...!"
Ki Sadewa tersentak kaget melihat senjata maut lawan yang melesat bagai lidah
petir, menyambar ke arahnya. Angin tajam terasa hampir mengiris kulit tubuhnya
ketika dia berusaha
melompat menghindar sambil jungkir balik. Pendekar Pulau Neraka tak memberi
kesempatan sedikit pun pada lawan.
Tubuhnya berkelebat cepat menyambar lawan sambil menghantamkan tendangan keras.
Plak! Tuk! "Hukh...!"
Ki Sadewa melenguh tertahan ketika perge-langan tangan terasa remuk menangkis
kaki lawan. Namun lebih kaget lagi ketika tubuhnya kaku tidak dapat bergerak.
Seluruh persendian seakan lepas dan tenaganya lemas tidak berdaya. Ternyata
sambil melancarkan tendangan, Pendekar Pulau Neraka menotok tubuh Ki Sadewa.
Sehingga tubuh lelaki tua itu ambruk dalam keadaan lunglai.
"Kakang Sadewa...!" Ki Anggora menghampiri dengan wajah cemas lalu memeriksa
keadaan saudara seperguruannya itu.
Ketika mengetahui bahwa Ki Sadewa telah tertotok, dia menarik napas lega dan
memandang Pendekar Pulau Neraka sambil menjura hormat.
"Kuucapkan terima kasih atas kemurahan hatimu. Aku tidak tahu kenapa dia tibatiba menjadi ganas dan menyerangku tanpa ampun. Pasti ada yang tidak beres.
Sesuatu telah mempengaruhi pikirannya. Bahkan anehnya dia tak mengenalku lagi"
*** 7 Bayu memandang sekilas pada orang tua itu, juga pada kedua muridnya. Lalu
menghela napas pendek.
"Ki Anggora, saudara seperguruanmu tidak sadar pikirannya.
Dia tengah terpengaruh oleh semacam kekuatan sihir.
Sebaiknya kita segera mengamankannya...," katanya pendek.
"Eh, iya... iya. Tahukah kau yang menyebabkannya demikian parah begini...?"
"Hm, kurasa ini perbuatan Nyai Roro Sekar Mayang...."
"Nyai Roro Sekar Mayang" Ah, kalau begitu tidak salah dugaanku. Wanita iblis itu
kini muncul kembali. Tapi apakah Nak Bayu yakin bahwa semua ini
perbuatannya...?"
Pendekar Pulau Neraka menggeleng kecil sambil mengelus kepala Tiren yang
melompat ke pangkuannya, lalu menarik napas pendek.
"Hm..., aku belum yakin. Namun pernah kuketahui bahwa Ilmu Tengkorak yang mereka
pelajari, pada tingkat tertinggi mampu mempengaruhi jalan pikiran seseorang.
Orang itu akan menjadi abdi setianya. Bahkan harus mengorbankan nyawa untuk
membela orang yang mempengaruhinya. Aku khawatir kita tidak bisa menolong
saudara seperguruanmu ini sebelum orang yang mempengaruhinya mati...," jawab
Pendekar Pulau Neraka.
"Sungguh biadab! Wanita iblis itu agaknya tak akan pernah menyerah. Dengan
kepandaiannya sekarang, dia akan merajalela mengumbar angkara murka!" desis Ki
Anggora geram. Bayu terdiam sesaat. Demikian pula dengan kedua murid Ki Anggora yang berada di
dekatnya. Dia sempat beradu pandang dengan Ayu Sulastri. Gadis itu buru-buru
menundukkan kepala dengan wajah merah padam sebab ketahuan sejak tadi dia terus
memandangi Pendekar Pulau Neraka.
"Ni Ayu, parahkah luka yang kau derita...?" "Eh, aku... oh.
Tidak! Tidak apa-apa...," sahut Ayu Sulastri tergagap.
"Mari, kuperiksa! Mungkin aku bisa- sedikit membantu...,"
ujar Bayu karena melihat wajah gadis itu pucat dan menahan sakit yang hebat pada
punggungnya. Bayu memeriksa nadi di
pergelangan tangan Ayu
Sulastri. Gadis itu tampak
terdiam dengan mata
terpejam. Namun tiba-tiba
sekujur tubuhnya
merasakan panas dingin
tak karuan. Sementara ada
perasaan jengah dan malu
berkecamuk di hatinya.
"Hm, jalan darahmu tak
beraturan, Ni Ayu.
Duduklah di sini dan membelakangiku...!" kata Bayu sambil duduk bersila di
tanah. Gadis itu melakukan apa yang diperintahkan Pendekar Pulau Neraka.
"Tarik napas dalam-dalam...!"
Ayu Sulastri menarik napas dalam-dalam, lalu
menghembuskan perlahan-lahan. Bayu menempelkan kedua telapak tangan ke punggung
gadis itu. Seketika dirasakan nada hawa hangat menjalar ke punggungnya. Sesaat
dia meringis menahan rasa nyeri yang hebat seperti menusuk-nusuk punggungnya.
Namun dengan sekuat daya kemampuannya gadis itu berusaha menahan. Apalagi
membayangkan bahwa
dewa penolongnya tak lain orang yang selama ini ada dalam pikirannya.
"Hoeeekh...!"
Ayu Sulastri menyemburkan darah kental dari mulutnya.
Rasa nyeri yang ada di punggung seperti menjalar ke dadanya.
Wajah gadis itu semakin pucat, namun kini dirasakan seluruh persendiannya agak
ringan dibandingkan dengan tadi. Hawa hangat yang disalurkan Pendekar Pulau
Neraka seperti membungkus rasa sakit dan perlahan-lahan mengembalikan tenaganya
yang banyak terkuras.
"Ni Ayu, cobalah latihan pernapasan beberapa saat lamanya!
Mudah-mudahan luka dalammu cepat sembuh...," kata Bayu seraya menghentikan
penyaluran tenaga dalam ke tubuh gadis itu.
Ayu Sulastri mengangguk pelan, lalu melakukan apa yang diperintahkan pemuda itu.
Bayu menarik napas lega dan menoleh ke arah Braja.
"Em..., coba kulihat lukamu!" katanya bermaksud menolong.
"Terima kasih, Bayu. Aku baik-baik saja...," sahut Braja cepat menolak niat baik
Pendekar Pulau Neraka.
"Syukurlah kalau memang demikian...!" Bayu tidak hendak memaksakan keinginan.
Dia memalingkan perhatian pada Ki Anggora.
"Ki Anggora, kurasa tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini, maka aku mohon
pamit Uruslah saudara seperguruanmu ini sebaik-baiknya. Mudah-mudahan setelah
Nyai Roro Sekar Mayang tewas, dia bisa disembuhkan...!" lanjutnya.
"Terima kasih atas segala pertolongan Nak Bayu. Tapi akan ke manakah tujuanmu
sekarang...?"
"Aku bermaksud mencari wanita itu!"
"Nyai Roro Sekar Mayang...?"
Bayu mengangguk cepat. "Aku harus menghentikan sepak terjangnya sebelum jatuh
korban lagi Doakan, mudah-mudahan aku mampu menaklukkan wanita iblis itu...!"
"Maaf, Bayu. Aku tidak bermaksud menghalangi kepergianmu. Namun sebelumnya,
sudikah kau mendengarkan ceritaku barang sesaat. Setelah itu boleh memutuskan
langkah terbaik. Sebab tujuan kita sama, yaitu ingin melenyapkan biang bencana
yang dilakuan wanita iblis itu...."
"Hm, apakah yang akan Ki Anggora ceritakan padaku...?"
"Terima kasih, Nak Bayu...," sahut Ki Anggora lega. Dia pun menceritakan
pertemuan terakhir di padepokan Ki Sapu Jagad, serta mengenai sikap Ki Lodaya.
Wajah orang tua itu tampak khawatir.
"Saudara seperguruanku tentu berada di bawah pengaruhnya. Kini khawatir hal yang
sama terjadi pula dengan Ki Lodaya serta tokoh-tokoh persilatan lainnya. Aku tak
merendahkan kepandaian Ki Lodaya atau lainnya, tapi rata-rata mereka memiliki
kemampuan yang setingkat denganku. Dan saudara seperguruanku jelas memiliki
kepandaian yang satu tingkat di atasku. Jika beliau saja mampu ditaklukkan,
apalagi seperti kami ini. Lalu jika mereka dipengaruhi Nyai Roro Sekar Mayang
dengan ilmu iblisnya, kita akan repot sendiri menghadapi lawan yang merupakan
kawan-kawan kita sendiri...," jelas orang tua itu mengemukakan kekhawatirannya.
Bayu berpikir sesaat, lalu mengangguk pelan.
*** "Lalu apa yang akan kau lakukan, Ki Anggora...?" tanya Bayu.
"Hm, aku khawatir akan keselamatan para pendekar yang lain. Apa kau bersedia
jika aku mengajakmu menemui Ki Sapu Jagad..." Paling tidak memastikan bahwa Ki
Lodaya tidak menemui nasib yang sama seperti saudara seperguruanku ini...."
"Baiklah. Kita berangkat sekarang ke tempat kediaman Ki Sapu Jagad...."
Bayu menyetujui usul Ki Anggora. Dia memandang sekilas pada Ayu Sulastri. Gadis
itu terlihat sudah selesai melakukan latihan pernapasan dan hanya menundukkan
kepala tanpa berkata apa-apa.
"Ayu, apakah kau melupakan peradatan" Kau kembali lupa mengucapkan terima kasih
atas pertolongan Pendekar Pulau Neraka...," tegur Ki Anggora mengingatkan.
Mendengar teguran gurunya, wajah Ayu Sulastri bersemu merah. Dengan perasaan
rikuh dia terdiam beberapa saat lamanya seraya melirik ke arah Pendekar Pulau
Neraka. "Sudahlah. Sebenarnya aku tidak suka dengan segala macam peradatan seperti itu.
Lebih baik kita lekas ke tempat Ki Sapu Jagad, sebelum terjadi sesuatu yang
buruk terhadap mereka,"
tukas Bayu cepat.
Baru saja selesai ucapan Pendekar Pulau Neraka, mendadak berkelebat empat sosok
tubuh mengepung mereka. Bayu cepat bersiaga, melihat mereka mencabut pedang
masing-masing. Ki Anggora sempat terkejut ketika mengenali keempatnya.
"Astaga! Mereka adalah Empat Raja Pedang Utara...!"
desisnya dengan mata terbelalak kaget
"Ki Anggora, aku tak tahu harus berbuat apa, tapi mereka agaknya tidak main-main
terhadap kita!" bisik Bayu dengan mata tetap mengawasi keempat sosok bersenjata
pedang di hadapannya.
"Entahlah, kenapa mereka bisa jadi begini. Hati-hati Nak Bayu! Mereka memiliki
kepandaian tinggi, bahkan lebih hebat dari saudara seperguruanku sendiri.
Terutama ilmu pedang mereka...!" Ki Anggora memperingatkan sambil menggeleng
lesu. "Serang...!"
"Hiyaaa...!"
Diiringi dengan bentakan keras, Empat Raja Pedang Utara bersama-sama melompat
menyerang mereka.
"Yeaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka melpmpat menghindari serangan salah seorang di antara
Empat Raja Pedang Utara. Pedang lawan berkelebat-kelebat menyambar bagaikan
membungkus tubuhnya.
Apa yang dikatakan Ki Anggora ternyata benar, ilmu pedang mereka hebat luar
biasa. Sempat terlihat oleh Bayu, Braja dan Ayu Sulastri jatuh bangun
menghindari tebasan senjata lawan.
Keduanya tampak tak mampu memberikan serangan balasan.
Bayu menggeram. Dia tidak bisa membiarkan keadaan ini terus berlarut-larut. Maka
sambil membentak nyaring dia mengibaskan tangan kanannya.
"Hiiih!"
Siiing!" Selarik cahaya putih keperakan melesat bagai kilatan petir menyambar keempat
lawannya sekaligus.
Wuuut! Trasss! "Heh..."!"
Dua orang lawan melompat menghindari terjangan Cakra Maut yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka. Namun dua lainnya terpaksa harus menangkis karena tidak
sempat berkelit dari serangan mendadak yang bukan main cepatnya. Akibatnya
pedang mereka putus sampai sebatas gagangnya.
"Yeaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka melompat menerkam lawannya yang tadi mampu menghindari
sambaran Cakra Maut. Orang itu terkejut melihat gerakannya yang begitu cepat.
Namun mereka sempat menguasai diri, bahkan bermaksud menghantam Bayu dengan
pedang. "Hiiih!"
Melihat serangan balasan, Pendekar Pulau Neraka menghentakkan kuat-kuat
tangannya dengan gerakan mendorong. Dari kedua telapak tangannya mendesir angin
kencang laksana badai topan, menghantam ke arah lawan.
Dengan perasaan kaget, lawan berusaha menghindar sambil membalas dengan pukulan
jarak jauh. Bayu agaknya telah memperhitungkan hal itu, hingga pukulan lawan
mengenai tempat kosong. Sebab, tubuh pemuda berpakaian kulit harimau itu telah


Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melesat ke arah lawan dengan berputar bagai kitiran.
Bresss! "Aaakh...!"
Satu hantaman keras membuat lawan terjungkal dan memekik kesakitan. Dari
mulutnya menyembur darah segar.
Bayu agaknya merasa yakin betul dengan hantamannya tadi,
sebab belum lagi tubuh lawan terjerembab, dia kembali melompat menyerang lawan
Braja. Sengaja dilakukan untuk membantu pemuda itu. Karena dalam keadaan payah
Braja tak mampu berbuat banyak, hingga menjadi bulan-bulanan lawannya.
"Hiyaaa...!"
Plak! Wuuut! Dalam keadaan tanpa senjata, lawan tampak kewalahan mendapat serangan mendadak
begitu rupa. Dia berusaha menahan dan bermaksud balas menyerang. Namun Bayu
sedikit pun tidak memberi kesempatan padanya untuk balas menyerang. Pukulanpukulan serta tendangannya yang dikerahkan dengan tenaga dalam kuat membuat
lawan harus jatuh bangun mempertahankan selembar nyawanya.
'Yeaaa...!" Siiing! Begkh! "Aaa...!"
Pendekar Pulau Neraka membentak nyaring. Tubuhnya melesat menyambar lawan sambil
melepaskan Cakra Maut.
Melihat senjata lawan yang telah diketahui kehebatannya, orang itu tampak
terkejut sekali. Dengan geragapan dia menghindarkan diri. Pada saat itulah satu
tendangan yang dilancarkan Bayu menghantam dadanya. Seketika terdengar pekikan
kesakitan. Tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat tinggi dan menyambar Cakra Maut
dan langsung menyerang lawan yang tengah dihadapi Ayu Sulastri.
"Hiyaaa...!"
Suiiing! "Hei"!"
Dua orang menggelepar tidak berdaya dan tewas sesaat kemudian di tangan Pendekar
Pulau Neraka. Namun mendadak terdengar siulan nyaring, dan dua lawan yang
tersisa serentak kabur dari tempat itu dengan sekuat tenaga.
Bayu menggeram sinis. Dia bermaksud melemparkan Cakra Maut untuk mengejar
keduanya. Hal itu mudah saja baginya.
Namun segera diurungkan niatnya dan hanya memandang keduanya dengan perasaan
kesal. "Ki Anggora, sebaiknya kita buru-buru saja ke tempat Ki Sapu Jagad. Perasaanku
tak enak. Dua kali mereka mencegat kalian dan berusaha menewaskan kita semua.
Entah berapa orang lagi yang akan datang menghadang...," ajak Bayu seraya
menoleh ke arah Ki Anggara.
'Ya, aku pun bermaksud begitu. Tapi Nak Bayu, kami tak mempunyai persediaan kuda
lagi bagimu...."
"Biar Kang Bayu bersamaku saja kalau tidak keberatan...,"
sahut Ayu Sulastri menawarkan diri.
Wajah Braja tampak kurang senang mendengar kata-kata gadis itu. Namun dia tidak
bisa berbuat apa-apa.
"Terima kasih, Ni Ayu...," sahut Bayu lalu melompat ke belakang punggung Ayu
Sulastri. Ki Anggora memacu kudanya mengikuti Braja yang telah lebih dulu meninggalkan
tempat itu. Baru kemudian Ayu Sulastri menyusul belakangan!
*** Kedua orang itu dengan cepat memacu kudanya menuju padepokan Ki Sapu Jagad.
Begitu pintu gerbang dibuka, mereka langsung melesat cepat dan melompat dengan
sigap dari punggung kuda masing-masing. Ki Sapu Jagad yang telah
diberi tahu oleh beberapa orang muridnya yang berjaga di menara atas, tergopohgopoh menyambut keduanya.
"Ki Jaka Umbara! Ki Kebo Ungu..., apa yang terjadi" Kenapa kalian seperti
dikejar setan...?" tanya orang tua itu dengan wajah bingung.
"Celaka, Ki! Ketiwasan...! Ternyata benar dugaan kita. Nyai Roro Sekar Mayang
berada di belakang semua peristiwa ini...!"
kata Ki Jaka Umbara dengan napas memburu.
"Hm..., coba tenangkan dulu hari kalian! Ceritakan, apa yang kalian temukan...!"
ujar Ki Sapu Jagad seraya menyilakan keduanya duduk di beranda depan.
Ki Jaka Umbara dan Ki Kebo Ungu menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri
beberapa saat lamanya.
"Nah, coba ceritakan padaku apa yang telah kalian lihat"!"
pinta Ki Sapu Jagad setelah melihat warga agak tenang.
"Kami bertemu dengan Nyai Roro Sekar Mayang...," ujar Ki Jaka Umbara.
"Lalu...?"
"Ki Lodaya kena dipenganihinya, Ki!" sahut Ki Kebo Ungu.
"Apakah karian diam saja dan meninggalkannya...?"
"Bukan begitu. Wanita iblis itu memiliki ilmu sihir hebat.
Mula-mula Ki Lodaya melawan anak buahnya, namun akhirnya dia dibuat tak
berkutik. Ketika wanita itu muncul, Ki Lodaya mencoba menyerangnya. Namun dengan
sekali bentak, tubuh Ki Lodaya terpental. Lalu wanita itu menggunakan ilmu sihir
untuk mempengaruhinya. Sehingga Ki Lodaya tidak berdaya melawannya. Bagai
kehilangan akal Ki Lodaya menuruti perintah Nyai Roro Sekar Mayang...," lanjut
Ki Kebo Ungu menjelaskan.
"Kurang ajar!" Ki Sapu Jagad menggeram sambil mengepalkan kedua tangan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki" Jumlah pengikut Nyai Roro Sekar
Mayang sudah banyak. Dan kalau dia mampu mempengaruhi Ki Lodaya, tentu mampu
pula mempengaruhi mereka yang memiliki kemampuan setingkat dengan Ki Lodaya.
Lalu yang paling membuat kita serba salah dan repot, jika harus melawan kawan
sendiri...," lanjut Ki Jaka Umbara dengan wajah cemas.
Ki Sapu Jagad terdiam beberapa saat lamanya seperti merenungi kejadian yang
menimpa sahabatnya itu.
"Sungguh malang nasib, Ki Lodaya. Ternyata nasib yang menimpanya lebih buruk
dari dugaanku semula. Dia kini menjadi boneka wanita iblis itu...," keluh Ki
Sapu Jagad dengan perasaan tertekan.
"Ki, kita harus melakukan sesuatu untuk menolongnya!" kata Ki Kebo Ungu
bersemangat "Benar. Aku akan menyiapkan murid-muridku untuk melakukan penyerangan terhadap
wanita iblis itu!" sahut Ki Sapu Jagad geram.
"Apa kita tidak perlu memberitahu sahabat-sahabat yang lain?" tanya Ki Jaka
Umbara. 'Ya. Aku akan mengirim tiga orang muridku untuk memberitahu mereka yang lain!"
Ki Sapu Jagad cepat berdiri dan melangkah ke depan untuk mengumpulkan muridmurid terbaiknya.
Tiga orang muridnya langsung menghadap. Mereka bicara sebentar kemudian terlihat
ketiganya melompat cepat ke punggung kuda masing-masing dan melesat keluar
ketika pintu gerbang terbuka lebar. Namun....
"Heaaa...!"
Prak! Cras! "Aaa...!"
"Hah..."!"
Ki Sapu Jagad terkejut. Juga dengan yang lainnya. Ketiga muridnya memekik
nyaring dan terjungkal dari pungung kuda.
Mereka tewas seketika dalam keadaan yang menyedihkan. Dua orang kepalanya remuk
dan seorang lagi lehernya nyaris putus disambar senjata tajam Bersamaan dengan
itu berlompatan beberapa sosok tubuh ke atas pagar.
"Hi hi hi...! Pesta akan dimulai sebentar lagi! Tempat ini akan menjadi banjir
darah! Hi hi hi...! Orang-orang sok jago akan menemui pembalasan setimpal atas
apa yang pernah kalian lakukan selama ini...!" terdengar suara tawa nyaring
memekakkan telinga.
Beberapa murid Ki Sapu Jagad tergeletak dan menggelepar kesakitan. Dari lubang
telinga mereka mengucur cairan merah kental. Sementara yang lain tampak duduk
bersila berusaha menahan suara tawa yang mengandung tenaga dalam kuat itu.
Ki Sapu Jagad terbelalak kaget. Seorang wanita kurus berjubah besar berwarna
putih, telah berdiri di atas tembok kayu jati yang melindungi, rumahnya.
Rambutnya yang panjang dan sebagian telah memutih, berkibar-kibar ditiup angin.
Bola matanya cekung dan menyorot tajam. Wajahnya pucat bagai mayat yang bangkit
dari kubur. Namun begitu, Ki Sapu Jagad masih mampu mengenalinya.
"Nyai Roro Sekar Mayang...!"
*** 8 "Hi hi hi...! Tua Bangka Busuk, agaknya kau tidak bisa melupakanku, heh"! Bagus!
Bagus! Dan sampai ke liang kubur pun akan kubuat kau tidak bisa melupakanku...!"
teriak wanita itu dengan tawanya yang tetap memekakkan telinga.
"Nyai Roro Sekar Mayang, bagus kau datang mengantarkan nyawamu sendiri! Aku tak
perlu repot-repot lagi mencarimu!"
bentak Ki Sapu Jagad tidak kalah lantang.
"Hi hi hi...! Nyawamu sudah di kerongkongan masih juga bisa berkoar. Lebih baik
kau bergabung denganku secara baik-baik. Siapa tahu aku bisa mengampuni jiwa
busukmu itu!" ejek Nyai Roro Sekar Mayang sinis.
"Chuih! Iblis! Jangan harap aku sudi menjadi pengikutmu!
Sebaiknya kaulah yang musti sadar dan kembali ke jalan yang benar. Masih ada
waktu sebelum ajal menjemputmu!"
"Tua bangka keparat! Omonganmu semakin . ngaco saja.
Sebaiknya kau memang harus cepat-cepat masuk ke liang kubur...!" bentak Nyai
Roro Sekar Mayang semakin geram.
Dia memberi isyarat pada anak buahnya. Bersamaan dengan itu melesat cepat dua
puluh orang yang datang bersamanya, menyerang Ki Sapu Jagad beserta seluruh
muridnya. "Yeaaa...!"
"Hi hi hi...! Ayo, cincang mereka dan jangan sisakan seorang pun! Hi hi hi...!
Berpesta poralah kalian sesuka hati...!"
"Heh...?"
Ki Sapu Jagad tersentak kaget. Banyak di antara anak buah Nyai Roro Sekar Mayang
yang dikenalnya. Bahkan di antara mereka ada Ki Lodaya. Ki Sapu Jagad tampak
berusaha menyadarkan mereka, namun sia-sia saja. Orang-orang itu
sama sekali tidak menghiraukan dan tetap menganggapnya sebagai musuh yang harus
dilenyapkan. "Ki Lodaya, sadarlah! Aku sahabatmu sendiri! Kenapa kau sekarang"! Apa yang
telah diperbuat wanita iblis itu terhadapmu"!"?
'Yeaaa...!"
"Haits! Heaaa...!"
Ujung pedang Ki Lodaya yang menyambar ke leher Ki Sapu Jagad sebagai jawaban
dari kata-kata orang tua itu. Ki Sapu Jagad terkejut bukan main dan terpaksa
menghindar dengan melompat ke belakang. Dua orang lawan terus memburunya dari
belakang. Orang tua itu menggeram dan terpaksa mencabut pedang untuk memberikan
perlawanan. Namun tampak tidak mudah. Lawan-lawannya tidak bisa dianggap remeh
karena rata-rata mereka memiliki kepandaian tinggi.
Bahkan dia tampak mulai bingung ketika jerit kematian murid-muridnya terdengar
susul-menyusul.
"Iblis-iblis keparat! Akan kubunuh kalian! Yeaaa...!" Ki Sapu Jagad menggeram
dan melakukan serangan diiringi kemarahan yang meluap-luap.
Namun hal itu ternyata tidak mudah baginya. Tiga orang lawan yang menyerangnya
bukanlah orang sembarangan.
Agaknya Nyai Roro Sekar Mayang tahu betul keadaan dan menempatkan orang-orangnya
dengan lawan yang tepat. Ki Sapu Jagad tak mampu berkutik dibuatnya. Bahkan
kalau tidak hati-hati, nyawanya sendiri akan melayang disambar senjata lawan.
'Yeaaa...!"
Trang! Bret! "Aaakh!"
Dua buah golok menyambar ke arahnya. Ki Sapu Jagad mengibaskan senjata untuk
menangkis. Kaki kanannya berputar menendang lawan yang berada paling dekat.
Setelah itu tubuhnya dengan cepat melompat ke samping untuk menghindar. Namun
tiba-tiba angin tajam menyambar pangkal lehernya. Ki Sapu Jagad menunduk dan
bermaksud membalas sambil memutar tubuh. Pada saat itu sebilah pedang lawan
menyambar perutnya. Seketika mulutnya menjerit tertahan sambil mendekap perutnya
yang robek dan bercucuran darah.
'Yeaaa...!"
Dua orang pengikut Nyai Roro Sekar Mayang dengan penuh nafsu terus menerjang Ki
Sapu Jagad yang tengah terhuyung-huyung ke belakang.
Trang! "Uhhh...!"
"Hiiih!"
Ki Sapu Jagad mengibaskan pedang berusaha menangkis sambil melompat ke samping.
Tubuhnya bergulingan menghindarkan diri dari hantaman pukulan jarak jauh yang
dilancarkan lawan.
Duk! "Aaakh...!"
Pada saat itu juga seorang lawan yang lain menghantam punggungnya dengan keras.
Ki Sapu Jagad menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke depan dengan mulut
menyemburkan darah segar.
"Hiyaaa...!"
Dua orang lawan yang lain melompat cepat, bermaksud menghabisi orang tua itu
secepatnya. Ki Sapu Jagad mengeluh pendek. Dia tidak mampu bergerak cepat. Sudah
jelas senjata lawan akan menghabisi hidupnya. Orang tua itu hanya bisa menutup
mata sambil berdoa dengan hati pasrah.
Siiing! Tras! Bret! "Aaa...!"
*** Mendadak pada saat itu mendesing sebuah benda yang mengeluarkan cahaya putih
keperakan menyambar senjata-senjata lawan hingga berpen-talan patah. Senjata
maut itu terus melesat menyambar tenggorokan mereka. Dua orang langsung menjerit
tertahan dan ambruk dengan leher nyaris putus.
"Ki Anggora, bantu yang lainnya! Biar kuhadapi wanita iblis itu...!" teriak
seorang pemuda berbaju kulit harimau dan terus melesat menangkap benda yang
mendesing bagaikan kilat itu.
"Hi hi hi...! Bagus! Bagus! Akhirnya semua berkumpul di tempat ini. Hari ini
Pendekar Pulau Neraka akan menemukan tempat kuburan yang sesuai bagi kalian.
Yeaaa...!"
Bersamaan dengan melesatnya tubuh Bayu alias Pendekar Pulau Neraka, sesosok
tubuh kurus berbaju putih memburu.
Wanita itu menghantamkan pukulan maut yang mengeluarkan sinar putih ke arah
Bayu. Bruakkkh! "Aits! Heaaa...!"
Bayu berkelit dengan gesit sambil jungkir balik.
Namun ketika kedua kakinya bani saja menjejak ke tanah, pukulan maut lawan
menghantamnya. Pemuda itu bergerak tidak kalah sigap dan melompat tinggi. Namun
Nyai Roro Sekar Mayang agaknya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun pada
lawan. Tubuhnya melesat cepat bagai angin kencang dan terus menghantamkan
kepalan tangan ke dada Pendekar Pulau Neraka.
Plak! Wuuut! "Hiiih!"
Bayu sedikit terkejut ketika tangannya berbenturan. Terasa ada hawa panas yang
menyengat mengaliri tenaga dalam lawan. Dia melompat ke samping seraya
mengegoskan kepala ketika ujung kaki kanan lawan menghantam ke arah dagu.
Melihat dua serangannya gagal, Nyai Roro Sekar Mayang menggeram dan langsung
menghantam dengan pukulan mautnya yang mengeluarkan cahaya putih.
"Jatuh...!"
Dia membentak nyaring ketika lawan masih mampu menghindar sambil bergulingan.
Bayu tersentak kaget. Sesaat dia kebingungan bagai kehilangan kesabaran. Pukulan
lawan tadi sempat membuat jantungnya berdegup kencang. Meski dia mampu
menghindarinya, namun masih terasa perih dan sakit seperti ditusuk-tusuk akibat
angin pukulan Nyai Roro Sekar Mayang.
"Yeaaa...!"
Pemuda itu membentak keras dan berusaha melawan dengan sekuat tenaga pengaruh
sihir Nyai Roro Sekar Mayang.
"Hi hi hi...! Pendekar Pulau Neraka, kau harus patuh padaku!
Kau harus patuh padaku! Tidak ada seorang pun yang mampu melawan pengaruh ilmu
sihirku. Kau harus patuh...!" kata Nyai Roro Sekar Mayang dengan suara
melengking tinggi yang mampu memecahkan gendang telinga.
Tubuh pemuda itu bergetar hebat. Teriakannya tadi hanya mampu mengusir pengaruh
sihir lawan dalam sekejap. Namun begitu teriakannya hilang, pengaruh sihir Nyai
Roro Sekar Mayang seperti mesibetot sukmanya.


Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak! Aku harus berusaha melawannya. Iblis betina ini tidak boleh
menguasaiku...!" desisnya geram.
"Yeaaa...!"
Siiing! Dengan sisa kesadarannya Pendekar Pulau Neraka mengerahkan tenaga dengan
kekuatan penuh sambil mengibaskan tangan kanan. Bersamaan. dengan itu Cakra
Maut-nya berdesing mengeluarkan cahaya putih keperakan.
Suaranya memekakkan telinga.
"Heh..."!"
Nyai Roro Sekar Mayang terkejut dan buru-buru melompat menghindar dari sambaran
senjata lawan. "Bedebah...!" makinya geram.
Bayu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tubuhnya langsung melompat melancarkan
serangan cepat.
"Hiyaaa...!"
Plak! "Hiiih!"
Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan cepat menangkis.
Ujung kaki pemuda itu menyambar ke arah dada.
Kali ini Bayu tidak mau memberi kesempatan lagi pada lawan untuk mengerahkan
ilmu sihirnya. Dia terus menyerang dengan ganas dan mengerahkan segenap kekuatan
yang dimilikinya.
Bet! Bet! Tap! Kepalan tangan dan kedua kakinya silih berganti menghantam lawan. Wanita itu
melompat mundur untuk mengatur napasnya yang mulai memburu. Bayu dengan cepat
melejit ke atas menyambar Cakra Mau yang melesat kembali.
Senjata andalannya itu lalu melesat lagi menyambar lawan.
Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan berusaha mengelak.
Namun tak urung pinggang kirinya tersambar Cakra Maut milik Pendekar Pulau
Neraka. Cras! "Aaa...!"
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung menyerang terus dengan
menghantamkan pukulan jarak jauh yang bertenaga kuat
Nyai Roro Sekar Mayang bergulingan menghindarinya.
Namun Pendekar Pulau Neraka terus memburu sambil menangkap senjata andalannya.
Dan ketika tubuhnya melompat menghindar dari hantaman pukulan jarak jauh yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Cakra Maut melesat menyambar wanita itu.
Cras! "Aaakh!"
Nyai Roro Sekar Mayang mengeluh tertahan. Kepalanya terkulai dan nyaris lepas
dari leher. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa saat sebelum ambruk dan tewas
berlumuran darah.
"Wanita iblis itu mati...!" teriak salah seorang murid Ki Sapu Jagad.
"Nyai Roro Sekar Mayang tewas...!" sahut lainnya.
"Hei...!"
Tiba-tiba semua terkejut mendengar suara teriakan. Sebab bersamaan dengan
tewasnya wanita itu, mereka yang tadi menyerang Ki Sapu Jagad beserta muridmuridnya dengan ganas, kini terdiam dengan pandangan mata bingung.
"Hei, apa yang telah kita lakukan di sini...?" tanya seseorang dari mereka
bingung. "Astaga! Apa yang kulakukan..."!"
"Ki Sapu Jagad" Oh, apa yang telah terjadi...?"
Ki Lodaya yang telah sadar dari pengaruh sihir Nyai Roro Sekar Mayang
terperanjat kaget ketika melihat sahabatnya terluka parah. Buru-buru dia
menghampiri Ki Sapu Jagad dan menolongnya. Demikian pula dengan yang lainnya.
Mereka segera menolong murid-murid Ki Sapu Jagad yang terluka parah.
"Aku tidak menyalahkanmu, Ki Lodaya. Sudahlah! Semuanya sudah berakhir. Nyai
Roro Sekar Mayang yang mempengaruhi kalian telah tewas di tangan Pendekar Pulau
Neraka...," ujar Ki Sapu Jagad ketika mendengar berkali-kali Ki Lodaya meminta
maaf atas apa yang telah dilakukannya terhadap sahabatnya itu.
"Pendekar Pulau Neraka" Mana dia" Kenapa aku tak melihatnya sejak tadi...?"
tanya Ki Lodaya seraya mencari-cari.
"Mungkin masih ada di halaman depan...," sahut Ki Sapu Jagad seraya memutar
pandang. Namun sia-sia saja. Orang yang mereka cari tidak terlihat di tempat
itu. Wajahnya tampak kecewa melihat pemuda itu tidak ditemuinya.
"Hm, mungkin dia telah meninggalkan tempat ini setelah tugasnya selesai...,"
ujar Ki Sapu Jagad dengan suara lirih seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Lain halnya yang dirasakan Ayu Sulastri, meski pada dasarnya apa yang mereka
rasakan hampir bersamaan. Gadis itu melangkah seraya mengedarkan pandang ke
sekelilingnya. Namun jejak pemuda itu sama sekali tidak ditemukannya.
"Kenapa" Kenapa kau pergi begitu saja tanpa pamit"
Tidakkah kau mengetahui apa yang kurasa di hati ini... " "
keluh batin Ayu Sulastri dengan wajah murung.
Dia tersentak kaget ketika merasa pundaknya ditepuk pelan dan melihat gurunya
tersenyum kecil.
"Apa yang sedang kau cari...?" tanya orang tua itu lembut.
"Eh, tidak! Tidak apa-apa, Guru...," sahut si Gadis sedikit tergagap.
Ki Anggora tersenyum lebar seraya menarik napas panjang.
"Pemuda itu memang tampan dan gagah. Untuk saat ini siapa gadis yang tidak
menyukainya" Tapi..., he aku tidak menyalahkanmu dan siapa pula yang bisa
menduga hatinya.
Mungkin kau bagai pungguk merindukan bulan. Kalau ada kata yang bisa menghiburmu
adalah, lupakan dia! Kalau benar kau tidak bertepuk sebelah tangan, dia akan
kembali padamu. Tapi
sebaiknya kita harus hidup di alam nyata, bukan mengharap mimpi yang jauh dari
kenyataan...."
"Guru, apakah suatu mimpi jika kita menyukai seseorang...?"
tanya si Gadis pelan.
"Tergantung...."
"Maksud, Guru...?"
"Apakah kita yakin bahwa orang itu menyukai kita pula" Jika benar, mungkin bukan
mimpi. Tapi kalau hanya kita yang menyukainya sedang dia sama sekali tidak
mengetahui, itu lebih dekat ke mimpi...," sahut Ki Anggora bijak.
Ayu Sulastri mengeluh pelan seraya menghela napas berat, lalu membalikkan tubuh.
Ki Anggora kembali tersenyum seraya menepuk-nepuk pundak gadis itu dan
mengajaknya melangkah perlahan-lahan.
"Mudah-mudahan kau akan menemukan orang yang menyukaimu dengan sepenuh hati.
Wanita lebih baik menerima laki-laki yang mencintainya sepenuh hati."
"Terima kasih, Guru. Aku akan selalu mengingat hal itu...,"
sahut Ayu Sulastri lirih.
Keduanya melangkah pelan. Ayu Sulastri mengerti apa yang dikatakan gurunya.
Namun untuk menerimanya mungkin masih sulit Paling tidak perlu waktu yang cukup
lama, untuk memadamkan bara di hatinya yang saat ini menyala-nyala.
SELESAI Jejak Di Balik Kabut 11 Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui Budak Nafsu Terkutuk 1

Cari Blog Ini