Ceritasilat Novel Online

Penguasa Bukit Karang Bolong 1

Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong Bagian 1


PENGUASA BUKIT KARANG BOLONG Oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Penguasa Bukit Karang Bolong
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Tiga lelaki berpakaian kelabu yang bergelar
Tiga Serangkai Hantu dari Kelangit nampak berkelebat dengan cepat, mengurung seorang wanita
berpakaian hijau pupus yang mukanya tertutup
benang kain transparan hitam.
Entah apa sebabnya mereka bentrok, yang
pasti tiba-tiba saja ketiga lelaki yang lebih terkenal dengan sebutan Tiga
Serangkai Hantu dari Kelangit itu diserang oleh orang bercadar hitam. Jelas hal itu tidak menjadikan
ketiganya mau begitu saja mengakui keunggulan orang tersebut. Mereka juga merasa
tidak salah dan tidak ada sangkut paut apa-apa dengan orang bercadar hitam
tersebut. "Kenapa engkau tak ada angin tak ada hu-jan tiba-tiba menyerang
kami!?" bentak Hantu Kelangit kumis putih. Wajahnya beringas, sepertinya merasa
kesal pada orang yang menyerang mereka.
"Hi, hi, hi...!" orang itu cekikikan. Suaranya jelas suara wanita. Hal itu
menjadikan ketiga
Hantu Kelangit kerutkan kening. Mata ketiganya
memandang tajam, sepertinya ingin menembus
cadar hitam tersebut tembus ke wajah wanita
yang menyerang mereka. "Hi, hi, hi....! Bukankah kalian musuh-musuh Setan
Berambut Putih?"
tanyanya seperti ingin membuat Ketiga Hantu Dari Kelangit tersebut harus bertanya-tanya.
"Hai! Apa hubunganmu dengan Setan Berambut Putih?" tanya mereka hampir bareng,
yang dijawab dengan cekikikan wanita bercadar
tersebut. "Apakah mungkin kau kekasihnya?"
"Cuih! Lelaki macam dia mudah aku dapatkan. Mungkin kalau aku mau, aku dapat
membawakannya untuk kalian segudang."
"Sombong," Hantu Kumis Hitam menggeretak mendengar ucapan wanita itu. "Kau terlalu sombong. Apakah wajahmu cakep?"
"Kalau cakep kalian mau apa?"
"Mau menidurimu," jawab Hantu berkumis hitam kalem.
Melotot wanita bercadar hitam itu, yang jelas nampak dari urat-uratnya yang menegang.
Tangannya mengepal, sepertinya ada sesuatu
yang membuat dia berbuat begitu. Napasnya
mengencang, hampir menyerupai dengusan. Ya,
wanita itu mendengus, merasa ketiga Hantu dari
Kelangit menyepelekan dirinya. Maka dengan
menggeretak penuh marah, wanita itu membentak. "Pantas! Kalian memang manusia-manusia yang aku cari. Hem, tak aku sangka
kalau akhirnya aku menemukan kalian semua. Sudah tiga
tahun lamanya aku mencari kalian untuk sebuah
keperluan, ternyata kalian aku jumpai di sini!"
Tersentak ketiganya kaget, demi mendengar ucapan yang nadanya mengancam mereka.
Ketiga Hantu dari Kelangit terlolong bengong, tak mengerti maksud ucapan wanita
bercadar hitam.
Namun belum juga ketiganya dapat menguasai diri, tiba-tiba wanita tersebut telah berkelebat kembali menyerang mereka. Mereka yang kaget segera
lompat mundur, lalu dengan segera balik menyerang. "Siapa kau adanya, wanita?" tanya Hantu tak berkumis, yang merupakan Hantu
paling bon-tot di antara ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Siapa adanya aku, tak penting bagi kalian
yang berjiwa binatang. Yang utama, kalian harus
mati di tanganku untuk menebus dosa-dosa yang
pernah kalian lakukan pada muridku!" wanita bercadar itu nampak sunggingkan
senyum yang tertutup oleh kain hitam. Ucapannya begitu mengandung ancaman, menjadikan Ketiga Hantu dari
Kelangit kembali membeliakkan matanya.
"Kalian sudah siap untuk aku kirim ke akherat sebagai penebus dosa-dosa kalian?"
"Omonganmu enak benar, wanita?" renguk Hantu berkumis putih jengkel. Ia merasa
sudah keterlaluan omongan wanita di hadapannya tersebut. Hantu berkumis putih, menyangka kalaulah wanita itu hanya ingin mencari gara-gara saja tak lebih dari itu.
"Hi, hi, hi...! Kalianlah yang ingin enaknya sendiri. Kalian telah memperkosa
seorang gadis, lalu dengan seenaknya tinggalkan gadis itu yang
meratapi kemalangan nasibnya. Hampir saja gadis itu bunuh diri, kalau saja tidak segera aku tolong. Kini aku ingin menolong
sekaligus menuntaskan hutang piutang di antara gadis tersebut yang kini aku angkat menjadi
murid dengan diri
kalian dan juga laki-laki hidung belang lainnya,"
wanita itu masih cekikikkan, tertawa bagaikan
melihat kelucuan pada wajah Ketiga hantu Dari
Kelangit yang mukanya seketika itu merah padam. Mereka memang merasa bahwa merekalah
yang telah memperkosa gadis Ningrum anak Pramanayuda. Namun yang tidak enak bagi mereka,
adalah wanita yang kini mengaku-aku sebagai
guru si gadis. Bukankah di dunia persilatan tak
ada istilah guru harus ikut campur dengan sang
murid" Begitulah dugaan Ketiga Hantu Dari Kelangit. "Kenapa kau tidak bunuh sekalian gadis itu. Bukankah kita sealiran?"
Hantu kumis hitam mencoba merayu. Ia bermaksud agar wanita yang
mengaku-aku guru Ningrum mau melemah hatinya. Sebab mereka telah tahu sendiri betapa il-mu yang dimiliki oleh wanita
bercadar hitam tersebut sungguh tinggi. Manakala pertama kali mereka diserang, mereka merasakan betapa ilmu serangannya sungguh dahsyat. Hampir saja ketiga
hantu tersebut dibuat kalang kabut, kalau saja si wanita tak segera hentikan
serangan. "Ya. Kenapa kau tidak bunuh saja sekalian
gadis tak tahu diuntung itu," tambah Hantu tak berkumis menimpali kakak
seperguruannya. "Kalau kau langsung membunuhnya, niscaya kami
akan memberikan hadiah padamu."
"Bedebah! Kalian kira semudah itu membunuh anak manusia, heh?"
Ketiga Hantu Dari Kelangit ganda tawa demi mendengar pertanyaan dari wanita tersebut,
menjadikan wanita bercadar itu menggeretak kerakan rahangnya. Tangannya makin mengepal keras, seakan ingin menghancurkan sesuatu yang
ada dalam kepalannya. Mata yang tertutup oleh
kain cadar hitam, memandang penuh kebencian
yang dalam pada ketiganya yang masih tertawa
bergelak-gelak.
"Dasar kalian buaya. Mengapa kalian mau
begitu saja diutus oleh Rengkana" Kenapa" Apa
kalian dibayar untuk itu?" suara wanita itu begitu dalam, sedalam dendamnya pada
orang yang kini
berada di hadapannya. Ya, orang-orang yang telah memperkosa dirinya. Siapakah
sebenarnya wanita
dalam cadar hitam tersebut" Wanita itu tidak lain Ningrum adanya. "Kalian harus
mati untuk segala perbuatan yang telah kalian lakukan. Setelah kalian, maka
Rengkana akan menyusul kalian ke
alam akherat sana. Bersiaplah!"
Wanita bercadar hitam itu tak hiraukan lagi ucapan ketiganya, serta merta ia berkelebat
dan tiba-tiba telah menyerang Serangkai Hantu
Dari Kelangit yang terus berusaha mengerti apa
tujuan sebenarnya wanita itu. Maka dengan berkelit mengelakkan serangan wanita tersebut, Hantu Kumis Hitam berkata: "Wanita, mengapa tiba-tiba kau menyerangku"!"
"Kau yang melakukan terlebih dahulu, maka sepantasnyalah kalau kau yang terdahulu aku
serang," jawab Ningrum sengit. Tangannya yang halus dan kecil itu bergerak cepat
bagaikan seekor ular hidup, mematuk ke sana ke mari tiada
henti, menjadikan Hantu Kumis Hitam keteter dibuatnya. Melihat hal tersebut, secepat kilat kedua Hantu lainnya segera berusaha
membantu. Na- mun sungguh tak disangka-sangka oleh keduanya, Ningrum serentak berbalik tinggalkan Hantu
Kumis Hitam dan langsung mencerca keduanya
dengan jurus-jurus yang mematikan.
Kedua orang dari Hantu Dari Kelangit tersentak kaget melihat serangan Ningrum yang begitu ganas dan cepat. Keduanya untuk menghindar harus berjumpalitan ke sana ke mari. Kini gi-liran Hantu Kumis Hitam yang
melihat kedua saudaranya diserang membantu, dan berusaha
mendahului menyerang Ningrum. Tapi sungguh
Ningrum sekarang berbeda dengan Ningrum ketika dengan gampangnya mereka memperkosa.
Ningrum sekarang adalah Ningrum yang telah dididik oleh seorang tokoh sakti dari Gunung Muria, yang bernama Nenek Sakti Ratu Kelabang.
Seorang tokoh sakti beraliran sesat yang sangat
bengis dan kejam. Ia tak pernah mau tahu kawan
atau lawan. Bila di hatinya ada sedikit ganjelan, baik itu dilakukan oleh kawan
atau pun lawan,
maka kematianlah yang akan mereka alami. Ilmu
Kelabang Racun Hitam sungguh belum ada tandingannya. Ilmu itu begitu sadis, dan ganas. Tak mungkin orang yang terkena
dapat bertahan se-hari, bila si Nenek tak segera memberikan obat
pemunahnya. Ketiga Hantu Dari Kelangit yang belum tahu siapa adanya orang yang menyerang nampak
masih berusaha menghindar dengan sekali-kali
berusaha menyerang. Sungguh pun demikian, ketiganya nampak belum dapat menerka siapa
adanya wanita yang menyerangnya tersebut.
Pertarungan tiga orang Hantu dengan seorang wanita itu masih terus berlanjut. Ketiganya seakan tak mau ada yang kalah
maupun yang menang. Tapi bila dilihat dengan seksama, jelas
nampak ilmu ketiga Hantu Dari Kelangit berada
di bawah setingkat ilmunya dibandingkan dengan
ilmu yang dimiliki oleh si penyerang. Namun begi-tu, karena dikeroyok tiga
menjadikan si penyerang agak susah juga mengakhiri pertarungan.
"Hem, kalau saja guru berpesan aku boleh
menggunakan ajian Racun Kelabang Hitam untuk
menghukum mereka, sudah pasti mereka akan
dengan mudah aku jatuhkan," dengus Ningrum
dalam hati. Ia masih ingat akan petuah gurunya,
agar jangan sekali-kali menggunakan ajian Racun
Kelabang Hitam pada Tiga Serangkai Hantu Dari
Kelangit. Ucapan sang guru masih mengiang di
telinganya, manakala Ningrum hendak melakukan balas dendam pada orang-orang yang telah
memperkosanya. Orang-orang yang telah mengkoyak-koyak kehidupannya, mengkoyak-koyak
segala kebahagiaannya.
"Ingat, Ningrum. Kau tidak boleh menggunakan ajian tersebut untuk menghukum mereka,
sebab mereka merupakan satu ikatan saudara
dengan diriku. Guru mereka, tak lain adalah adik seperguruanku. Bukannya aku
takut menghadapi
guru mereka, namun apalah nantinya aku dikecam?" suara dengungan ucapan gurunya menggema di sela-sela relung-relung sanubarinya. Namun suara lainpun tiba-tiba ikut muncul dan
memberikan dorongan padanya.
"Ningrum, suamimu dibunuh oleh mereka,
juga kehormatanmu di renggut dengan paksa oleh
mereka. Apakah kau akan tinggal diam dan menuruti kata-kata gurumu" Biarkanlah gurumu
dengan mereka masih ada ikatan saudara, namun
kau" Kau tak punya ikatan saudara dengan mereka, melainkan ikatan hutang piutang dendam...
dendam, Ningrum. Dendam yang bisa atau tak bisa harus kau lunasi. Apakah batinmu tak tersiksa bila melihat mereka masih
keliyaran hidup?"
Manakala Ningrum terdiam, berpikir mana
yang harus ia kerjakan, ketiga Hantu Dari Kelangit pun nampak terdiam sembari memandang ke
arahnya. Mata ketiganya nampak mengerut, tak
mengerti apa sebenarnya yang kini berkecamuk di
pikiran Ningrum. Namun demikian, mereka terus
siap siaga, takut-takut kalau Ningrum kembali
menyerang. Ningrum yang saat itu hatinya tengah berkecamuk perang, saling dorong mendorong antara
perasaan yang satu dengan yang lainnya nampak
menggigit bibirnya. Ia tak mengerti, mengapa gurunya Nenek Sakti Ratu Kelabang harus menolong dirinya kalau dirinya tak boleh membalas segala dendam kesumat yang tumbuh"
Betapapun, Ningrum merasa tuntutan jiwanya menghendaki
ketiga Hantu Kelangit tersebut harus mati di tangannya. Namun gurunya
menghendaki lain. Gurunya menghendaki agar dirinya tak sampai menurunkan tangan jahatnya. Dalam kebimbangan


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu Ningrum mengerang, menggeretak penuh
emosi. Dan akhir dari kontra batin tersebut Ningrum akhirnya tertawa bagaikan orang gila, menjadikan ketiga Hantu Kelangit makin dalamkan
kerutan keningnya.
"Hua, ha, ha...! Aku!... aku Penguasa Bukit Karang Bolong, mengapa harus menurut
pada ucapan orang lain" Aku akan mampu menguasai
seluruh dunia persilatan. Aku tak perduli dengan ucapan nenek peot itu. Aku
harus dapat membunuh ketiga orang yang sekarang berada di hadapanku. Hiat...!"
Tersentak ketiga Hantu Dari Kelangit, manakala dengan tiba-tiba Ningrum menghantamkan pukulan jarak jauhnya. Beruntung ketiganya
waspada dari semula, kalau tidak. Niscaya tubuh
mereka akan serupa dengan keadaan gunung kecil yang terletak tak jauh dari mereka. Gunung
kecil itu mengepulkan asap, hancur berguguran
menjadi batu-batu kecil, beterbangan laksana helaian daun terhempas angin topan. Mata ketiga
Hantu Dari Kelangit membeliak, serta merta ketiganya kembali berteriak kaget melihat ilmu apa
yang telah dilakukan oleh Ningrum.
"Demi Iblis! Mengapa kau mampu menggunakan Ajian Bagar Gede" Dari mana kau mencuri ajian tersebut, wanita?" tanya Hantu Kumis Putih kaget. Ia tak percaya pada
apa yang dilihatnya. Hatinya seketika teringat pada seorang yang memiliki ilmu
serupa dengan gurunya, Darga Buana. "Hem, apakah wanita ini benar-benar bibi
guru?" batinnya tak percaya. "Kalau memang bibi guru, mengapa suaranya dan
gerakannya lemah
gemulai laksana gadis" Hem, tadi ia menyebut dirinya Penguasa Bukit Karang Bolong. Siapakah
dia" Aku baru kali ini mendengar nama Penguasa
Bukit Karang Bolong. Bukankah Penguasa Bukit
Karang Bolong adalah Dewi Lanjut Ayu, seorang
Dewi dari aliran sepertiku yang hidup sekitar lima puluh tahun yang silam" Hem,
apa mungkin gadis ini telah dititisi olehnya" Sungguh bahaya dunia persilatan
bila Dewi Lanjut Ayu muncul kembali. Khususnya para lelaki. Hem...."
"Kenapa kalian kaget. Kalian tahu ilmu
yang aku gunakan, mengapa kalian tidak segera
bersujud dan menyembah padaku. Apakah kalian
benar-benar ingin mendapatkan azab, manusiamanusia dungu seperti binatang!?" Ningrum
kembali membentak. Suaranya kini lain, bukan
suara yang pertama kali keluar dari mulut Ningrum. Suara itu begitu parau, menyerupai suara
seorang nenek-nenek yang telah benar-benar lanjut usia. "Siapa kau sebenarnya, wanita?" Hantu
Kumis Putih kembali menanya. "Kenapa kau
memperoleh ajian yang dimiliki oleh bibi guru
kami?" "Hua, ha, ha...! Kalian bodoh! Jelas aku memiliki ilmu tersebut. Sebelum
bibi gurumu dan
gurumu memiliki ajian Bagar Gege, aku telah
menguasainya. Aku Dewi Lanjut Ayu Penguasa
Bukit Karang Bolong. Akulah yang akan menguasai dunia persilatan. Kalian harus mengikuti apa yang aku katakan bila kalian
ingin hidup. Tapi bi-la tidak. Maka kalian akan aku kirim ke akherat.
Hua, ha, ha...!"
"Sombong! Aku tak percaya kalau kau memang Dewi Lanjut Ayu. Dewi Lanjut Ayu telah
tiada, mana mungkin hidup kembali," Hantu Kumis Hitam turut menyangkal,
menjadikan Dewi
Lanjut Ayu bergelak tawa makin melebar.
"Kalau kalian tak percaya, lihatlah!" Habis berucap demikian, Dewi Lanjut Ayu
segera kepal-kan tangannya ke angkasa. Tiba-tiba petir membahana bersahut-sahutan, padahal hari itu sangat cerah. Ketiga Hantu Dari Kelangit makin tersentak. Mereka tahu jenis ilmu apa yang tengah
dilakukan oleh Dewi Lanjut Ayu, yang oleh guru
mereka disebut ajian Penarik Dewa Petir. Jadi dalam keadaan apapun, bila ajian
tersebut dilakukan maka Dewa Petir akan menyahuti. Belum juga ketiganya hilang dari rasa kejutnya, tiba-tiba Dewi Lanjut Ayu berseru. "Dewa
Petir, tunjukkan kehebatanmu!"
"Jleger! Jleger! Jleger!"
Tiga kali berturut-turut petir membahana,
dan tiga kali itu pula tanah di hadapan tiga Hantu Dari Kelangit menganga lebar,
cukup untuk men-gubur tubuh mereka. Mata ketiga Hantu Dari Kelangit terbeliak kaget, melompat mundur dengan
mata memandang pada Dewi Lanjut Ayu.
"Mau pamer ilmu rupanya kau, orang sombong!" Hantu tak berkumis membentak marah,
merasa diremehkan begitu rupa oleh gadis yang
mengaku-aku sebagai Dewi Lanjut Ayu. Namun
sang Dewi sepertinya tak perduli, malah kini ia
nampak tersenyum di balik cadarnya.
"Terserah apa yang kalian katakan. Yang
jelas Dewa Petir menghendaki nyawa kalian."
"Huh, jangan kira kau mudah melakukannya!" geretak marah Hantu berkumis Putih.
"Oh... begitu" Baik, akan aku buktikan
bahwa aku tak susah untuk melakukannya. Ibarat aku hanya membalikkan telapak tanganku,
maka dengan mudah nyawamu dan nyawa dua
saudaramu itu akan aku ambil. Bersiaplah,
hiat...!" Kembali Ningrum berkelebat menyerang, kali ini sepertinya tak mau
lama-lama lagi, terbukti serangannya begitu ganas dan cepat. Tak
henti-hentinya ia menggeretak, lalu menjerit bagaikan orang histeris. Tangannya yang lentik, me-liuk-liuk bagaikan ular yang
hidup, menjadikan
ketiga orang musuhnya harus hati-hati menghadapinya. Ketiga Hantu Dari Kelangit berusaha mengimbangi, namun bagaimanapun juga gerakan
mereka tak ada artinya untuk mengimbangi serangan Ningrum yang bagaikan kesetanan. Maka
dalam waktu yang relatif singkat, Ningrum yang
sudah kerasukan Dewi Lanjut Ayu makin menang
angin saja. Dengan jurus-jurus anehnya Ningrum
terus mendesak ketiga musuh-musuhnya, yang
makin terdesak saja tanpa dapat membalas sekali
pun. Namun ketiga Hantu Dari Kelangit bukanlah
orang-orang sembarangan yang hanya begitu saja
sudah kalah. Mereka adalah didikan datuk silat
yang sudah malang melintang di dunia persilatan, sehingga ilmu yang mereka
miliki pun bukanlah
ilmu kelas kroco. Ditambah lagi dengan keberanian mereka, jelas tampak bahwa mereka benarbenar sudah menuruni segala apa yang telah
guru mereka ajari.
Meski dalam keadaan terdesak bagaimana
pun, ketiga Hantu Dari Kelangit tak mau putus
asa. Dan manakala ada kesempatan, tiba-tiba
Hantu Kumis Putih berkelebat sembari keluarkan
pekikkan menyayat yang mampu memecahkan
konsentrasi Ningrum. Belum juga Ningrum dapat
kuasai diri, tiba-tiba sebuah tangan yang bergerak cepat berkelebat menyabet cadar yang dikenakannya. Tersentak Ningrum seketika, namun
lebih kaget lagi ketiga musuhnya. Mata mereka
melotot, manakala tahu siapa yang tengah dihadapi. "Ningrum! Kau...!" Ketiganya serentak berseru menyebut orang yang kini
tersenyum sinis
pada mereka, yang ternyata Ningrum adanya.
"Ya, aku. Akulah Ningrum yang dulu kalian
perkosa atas suruhan Rengkana. Kalian harus
mati, harus!"
Melihat siapa adanya gadis tersebut, serentak ketiga Hantu Dari Kelangit tertawa bergelakgelak mendengar omongan Ningrum. Dan dengan
angkuhnya ketiga Hantu Kelangit tersebut berkata mengejek: "Hua, ha, ha...! Rupanya kau ingin mengulangi apa yang pernah kau
rasakan dari kami, manis?"
"Cuh! Memang aku ingin merasakan membunuh diri kalian satu persatu dengan cara yang
patut untuk orang-orang macam kalian yang tak
lebihnya buaya-buaya busuk!"
Tak banyak kata lagi, segera Ningrum yang
kini benar-benar dalam kuasaan Dewi Lanjut Ayu
atau Penguasa Karang Bolong segera kembali buka serangan. Kali ini dia tidak mau kecolongan
untuk yang kedua kalinya. Serangannya kini begitu cepat, cepat laksana gerakan siluman belaka.
Tangannya, kini mencerca pada titik-titik kematian lawan. Siapakah Ningrum yang mengaku-aku
Penguasa Bukit Karang Bolong" Lalu siapakah
sebenarnya Ketiga Hantu Dari Kelangit" Untuk
mengetahuinya, marilah kita tinjau kembali kejadiannya pada bab selanjutnya.
2 Lima belas tahun yang lalu di desa Ketanggungan... Desa Ketanggungan waktu itu nampak begitu tentram dan damai. Penduduknya ramah tamah, suka gotong royong, saling tolong menolong.
Di desa Ketanggungan itulah Ningrum dilahirkan,
dibesarkan oleh seorang tokoh masyarakat yang
sudah terkenal yaitu Pramanayuda. Pramanayuda
merupakan seorang tokoh persilatan dari aliran
lurus dengan perguruannya bernama Perguruan
Manik Astajingga. Di bawah pimpinan Pramanayuda, perguruan Manik Astajingga sangat pesat
perkembangannya. Kemajuan Perguruan Manik
Astajingga rupanya mengundang pro dan kontra.
Kaum persilatan aliran lurus khususnya bersahabat. Sebaliknya dari kaum persilatan aliran sesat, membenci dan berusaha untuk menjatuhkan
Pramanayuda. Pramanayuda mempunyai dua
orang putra. Yang pertama bernama Tegalaras,
seorang laki-laki. Sementara yang kedua bernama
Ningrum Biyanti, adalah seorang wanita. Tegalaras sejak kecil diambil oleh adiknya yang bergelar Panggawa Iblis. Sebenarnya
Pramanayuda kurang
begitu sreg hatinya bila sang anak dididik oleh adik seperguruannya yang ugalugalan. Namun dikarenakan rasa persaudaraan yang telah dibinanya sejak mereka masih satu perguruan, dengan berat hati akhirnya Pramanayuda pun memberikan anaknya yang lelaki tersebut. Sementara
anak putrinya, dididik oleh Pramanayuda sendiri.
Sejak saat itu Pramanayuda dan keluarganya tak lagi mengetahui di mana anaknya Tegalaras berada. Hubungan sebagai anak dan bapak
pun terputus. Selang tak begitu lama kemudian, Pramanayuda mendengar bahwa adik seperguruannya
dibunuh oleh seorang tokoh sesat yang merupakan musuh bebuyutan adik seperguruannya.
Pramanayuda berusaha mencari keberadaan
anaknya, namun ia tak menemukan jejak secuil
pun untuk dapat menemukan sang anak.
"Bagaimana kakang, apakah kakang dapat
sebuah petunjuk di mana adanya anak kita?"
tanya istrinya Arum Daru, manakala kedua suami
istri tersebut tengah berbincang-bincang setelah perjalanan Pramanayuda mencari
anaknya. Pramanayuda sejenak tarik napas, memandang wajah istrinya yang nampak lusuh oleh
duka akibat dipisahkan dengan sang anak. Setelah lama berbuat begitu Pramanayuda seketika
tundukkan wajah, lalu dengan berat berkata
menceritakan hal sebenarnya yang ia alami.
"Aku gagal, Dinda"
"Gagal...?"
"Ya... aku tak menemukan jejaknya," jawab Pramanayuda lemah, sepertinya tak
bersemangat barang setitik pun. "Entah siapa musuh adikku, dan yang mana" Sebab adikku
banyak sekali musuhnya."
Sang istri seketika keraskan isak tangisnya, sedih bila harus berpisah untuk selamalamanya dengan sang anak. Melihat hal tersebut,
hati Pramanayuda seperti diiris-iris, pedih sekali.
Bagaimana pun, memang ia juga merasakan betapa sedihnya bila harus berpisah dengan sang
anak yang kelak akan menggantikannya. Namun
untuk menghibur hatinya, Pramanayuda segera
berkata. "Dinda, tak usahlah dinda terus-menerus
bersedih hati. Bukankah kita masih diberi seorang anak?"
"Tapi Ningrum wanita, Kanda?".
"Apa bedanya" Wanita ataupun pria sama
saja, asalkan kita mampu mendidiknya, kelak
pun ia akan mampu membalas jasa pada orang
tuanya." Untuk sementara waktu istrinya dapat terhibur oleh kata-katanya. Meski hati mereka masih tak tenang dengan segala hasil yang mereka
capai, namun setidak-tidaknya masih ada tersisa
harapan bahwa keturunan mereka tetap ada.
Namun begitu Pramanayuda tidak hanya mengalah pada nasib, ia terus berusaha untuk dapat
menemukan siapa adanya orang yang telah membunuh adik seperguruannya sekaligus membawa
anaknya. Seperti esok harinya kemudian, Pramanayuda kembali dengan menunggang kudanya


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memacu menyusuri bukit dan menuruni lembah
dalam usahanya mencari jejak sang anak dan
musuh adik seperguruannya.
Pagi masih begitu dingin, alam pun masih
terselubung oleh kabut tebal yang menyelimuti
wilayah yang dilintasi Pramana. Dengan mata sekali-kali memandang ke sekelilingnya Pramanayuda terus memacu kudanya. Tak hiraukan
dingin menggigit tulang sumsum, tak hiraukan
ilalang menyeret bulu-bulu kakinya hingga terasa gatal. Tujuannya hanya satu,
mencari dan menemukan sang anak untuk dibawa pulang ke rumah. Tengah Pramanayuda memacu kudanya,
tiba-tiba berkelebat puluhan anak panah menyerangnya dari arah samping dan belakang. Serta
merta Pramanayuda lemparkan tubuh, mencelat
ke angkasa sembari babatkan pedangnya menangkis serta memutuskan anak-anak panah
yang jumlahnya puluhan itu.
"Bangsat-bangsat rendah, keluar kalian!
Jangan kalian hanya beraninya sembunyisembunyi. Kalau kalian memang jantan, hadapilah aku Pramanayuda!" teriaknya lantang, yang
menggema manakala menerpa bebatuan gunung.
"Keluar kalian! Tunjukkan padaku hidung kalian!"
"Kami di sini, Pramana!" terdengar suara jawaban yang disertai dengan kelebatan
anak panah-anak panah yang jumlahnya melebihi semula, mengarah ke arah Pramanayuda. Segera Pramanayuda kembali berkelit, ditangkapnya anak
panah-anak panah yang mengarah telak ke arahnya, lalu dengan tenaga penuh dilemparkan anak
panah tersebut ke arah datangnya. Terdengar desingan anak panah yang dilemparkan Pramanayuda diikuti oleh pekikkan tiga orang dari balik semak-semak rimbun.
"Kalian keluarlah, jangan seperti tikus tanah!" bentak Pramanayuda, dengan berdiri lompat dari kudanya. Tampak dari balik
semak- semak bermunculan wajah-wajah beringas, berjalan menuju ke arahnya. Mata mereka memandang
tajam ke arah Pramana, sepertinya ingin menombak mata Pramanayuda. "Hem, rupanya orangorang macam kalian. Mana ketua kalian, begalbegal kere?"
"Sombong kau. Pramana!" geretak Wedal, seorang pimpinan gerombolan Walang Kerek
setelah ketuanya Beruk Kula-Kula.
"Aku tidak sombong! Aku hanya ingin
mengetahui di mana ketua kalian berada, juga
mengapa kalian tiba-tiba menyerangku?" Prama-na berusaha sabar menghadapi orangorang se- macam itu. Ia tahu, bahwa orang-orang semcam
Gerombolan Walang Kerek sangat banyak berguna bagi pencarian anaknya. "Apakah kalian semuanya diperintahkan oleh ketua kalian untuk
menghadangku?"
"Ya! Memang ketua kami menyuruh begitu!" "Hem, apa maksudnya?" tanya Pramana seraya kerutkan kening.
"Itu urusan ketua. Yang jelas ketua menghendaki kau harus lenyap dari muka bumi ini?"
"Oh... begitu" Mengapa tidak ketua kalian
saja yang melakukannya" Mengapa ketua kalian
malah bersembunyi" Kalau memang ia bermaksud untuk melenyapkan diriku, aku minta ketua
kalian sajalah yang menemui diriku. Percuma kalau hanya kalian saja," Pramanayuda berkata dengan tenang, sepertinya
menghiraukan kata-kata pimpinan Gerombolan Walang Kerek.
Mendengar ucapan Pramana, seketika
pimpinan gerombolan Walang Kerek melototkan
mata. Ia merasa ucapan Pramanayuda adalah
ejekan yang sangat keterlaluan. Betapapun, mereka tak ingin diremehkan oleh orang lain, sebab mereka merasa adalah sebuah
gerombolan yang
sudah kondang namanya di dunia persilatan. Kalau orang lain yang berkata begitu, niscaya sudah menjadi apa orang yang
berkata. Tapi kini yang
berkata adalah Pramanayuda, seorang pendekar
yang sudah memiliki segala pengalaman segudang di dunia persilatan. Orang yang sangat disegani dan ditakuti, apalagi bila harus bersatu
dengan dua orang saudara seperguruannya, jelas
ketiganya sukar untuk ditaklukkan. Namun kini
salah seorang dari ketiganya telah tiada, mati dibunuh oleh seorang tokoh silat lainnya yang telah mendendam dengannya. Tapi
untuk menghadapi
seorang dari Tiga Pendekar Kumala, jelas harus
memerlukan kehebatan ilmu yang paling tidak
sebanding. Kalau tidak, maka sia-sialah segala
apa yang akan mereka lakukan. Jangankan untuk mengalahkannya, untuk menghindari kematian saja susah.
"Pramana, janganlah kau sombong. Tak
perlu ketua kami yang maju menghadapi dirimu,
tapi kami pun akan mampu untuk menyingkirkan
dirimu dari muka bumi ini!" geretak pimpinan gerombolan Walang Kerek.
"Hem, apakah kalian sudah pasti?" Prama-na berkata tenang.
"Akan kami buktikan, Pramana!"
"Oh, sungguh kalian memang pemberani.
Baiklah, aku layani apa yang menjadi tuntutan
kalian. Nah, lakukan oleh kalian bila mampu untuk menyingkirkan diriku," sorot mata Pramana kini seperti liar, bahkan sorot
mata itu seperti sorot mata penuh misteri. Terkadang redup, lalu
menyala berapi-api. Nampaknya pendekar aneh
itu sudah begitu marahnya, hingga ia begitu
memperlihatkan keadaan dirinya yang sebenarnya. Bagaimana tidak marah" Ia tengah mencari
putranya sekaligus musuh adiknya, kini harus
berurusan dengan orang-orang yang dirasa telah
menghadang dirinya. Pramanayuda mendesis, bagaikan ular sanca yang ingin melalap seekor katak. Melihat keadaan Pramana, seketika kesemua orang yang berada di situ menarik napas berat, sepertinya mereka merasa ada sorot aneh keluar dari mata Pramana. Mereka segera bersiap
cabut golok yang sedari tadi menggelantung di
pinggang, siap untuk menyerang Pramana.
Pramana nampak tersenyum sinis, lalu
dengan suara lantang setengah marah berkata;
"Kenapa kalian terdiam, lakukanlah apa yang menjadi tugas kalian!"
"Sombong! Jangan menyesal, Pramana!"
"Selama hidupku, aku tak pernah menyesal!" "Hem, begitu" Baik, bersiaplah, Pramana!"
geretak pimpinan gerombolan marah. Sebenarnya
dalam hati Wedal terbersit rasa takut juga menghadapi Pramana. Namun bila ia harus mengalah,
sungguh petaka bagi dirinya. Ketua mereka yang
bergelar Datuk Si Raja Karang bukanlah orang
yang memiliki welas asih. Maka bila mereka gagal, mereka yang akan menjadi
korban keganasan
sang Datuk. Beruk Kula-Kula atau Datuk Raja
Karang, merupakan tokoh sesat yang memang
menaruh permusuhan dengan Tiga Pendekar Gunung Langsat yang terdiri dari Pramana, Lugana,
dan adik seperguruannya yang kini telah mati dibunuh entah oleh siapa. Mereka pernah menjatuhkan Datuk Kula-Kula atau Raja Karang, manakala mereka diperintah oleh guru mereka. Hal
itu rupanya menjadi dendam yang berkepanjangan bagi sang Datuk Kula-Kula, sehingga ia sempat menyumpah serapah pada ketiganya bahwa
nanti dirinya akan membuat perhitungan dengan
ketiga saudara seperguruan. Datuk Raja Karang
juga sempat mengancam, bahwa dia akan menumpas keluarga ketiganya dengan keturunan
mereka sendiri. Apakah tidak mungkin yang
membunuh dan menculik adik serta anaknya tak
lain si Datuk"
Bila ingat akan semuanya, seketika Pramana merasakan pasti bahwa sang Datuklah
yang lelah melakukan semuanya. Maka kemarahannya makin meledak-ledak laksana larva gunung Agung. Tanpa banyak kata lagi, segera Pramana memekik menyerang kedua puluh orang
anak buah Datuk Raja Karang.
"Kalian harus mati! Kalian harus menebus
kejahatan ketua kalian!" pekik Pramana penuh amarah. Bagaikan banteng kelaton
Pramana terus mencerca dengan Pedang Sukma Layungnya. Hawa pedang yang seperti mengandung racun, seketika menyebar ke segenap penjuru. Tanpa ampun
lagi, mereka yang masih berilmu rendah langsung
jatuh terkulai lemah pingsan. Sebaliknya yang berilmu tinggi, nampaknya harus
berusaha sekuat
tenaga menolak hawa pedang tersebut.
"Ilmu Iblis!" memekik Wedal kaget. Ia segera, lemparkan tubuh ke belakang,
diikuti oleh anak buahnya yang masih sadar dan kuat menangkis hawa aneh tersebut. Muka mereka melotot tak percaya, memandang tajam pada pedang
yang tergenggam di tangan Pramanayuda.
"Kenapa kalian pucat seperti seekor babi
yang hendak digorok! Mana keberanian kalian sebagai Gerombolan Walang Kerek!?" desis Pramana
dengan senyum sinis melekat di bibirnya. "Sudah aku katakan, bahwa kalian tak
akan mampu menghadapi diriku. Sekarang kalian minggatlah
dan beritahukan pada ketua kalian si Datuk Raja
Karang bahwa aku ingin menemuinya! Lakukanlah segera, atau dengan terpaksa aku akan menyate tubuh-tubuh kalian!"
"Sombong kau, Pramana! Jangan harap
aku akan mengakui kehebatanmu! Mari kita lanjutkan!" Wedal membentak marah. Ia kini harus benar-benar nekad. Mati sudah
pasti harus dihadapi, walau ia harus berusaha menghindari kematian itu. Namun bila ia mengalah pada Pramana, jelas kematian didapat olehnya dari tangan
ketuanya si Datuk Raja Karang. Kematian semacam itu sungguh tidak terhormat, lebih baik mati di tangan musuh yang sudah
kondang namanya.
Maka dengan perhitungan demikian, Wedal dengan nekad segera menyerang Pramana, dibantu
oleh sisa-sisa anak buahnya.
Diserang begitu rupa tidak menjadikan
Pramana gugup, malah dengan mulut menyeringai seperti hendak menunjukkan kekuatan Pramana berkelebat mengelakkan serangan-serangan
musuhnya. Pedang pusaka di tangannya bergerak
cepat, sepertinya mempunyai mata sendiri. Hawa
pedang yang mampu membuat orang pingsan terus mengalir, menyelimuti lingkungan pertarungan tersebut. "Kalian tak akan mampu bertahan lebih
dari sepuluh jurus!"
"Hem, kau masih sombong, Pramana!"
"Hua, ha, ha...! Kau tak percaya. Baiklah,
aku akan membuktikan pada kalian bahwa hawa
pedang ini mampu membuat kalian sesak napasnya, yang akhirnya kalian akan pingsan!"
Setelah berkata begitu Pramana makin
mempercepat kelebatan pedangnya. Asap bergulung-gulung, menyelimuti daerah itu makin lama
makin tebal menghitam pekat. Semua penyerangnya seketika tersentak, melototkan matanya. Dada mereka seperti sesak, terbatuk-batuk oleh ter-paan asap tersebut. Namun
mereka sepertinya
yang tak mau mengalah, mereka terus berusaha
bertahan dan semampu mereka membuang hawa
asap tersebut. Namun rupanya mereka harus
mengakui bahwa hawa yang keluar dari pedang
lebih kuat daripada ilmu yang mereka keluarkan.
Satu persatu, akhirnya mereka berjatuhan pingsan. Tinggallah kini Wedal yang masih mampu
bertahan, namun begitu Wedal nampak pucat pasi. Ia sadar bahwa dirinya tak mampu lagi untuk
menghadapi serangan Pramana. Namun Wedal
masih berusaha tersenyum, senyum puas karena
akan mati di tangan seorang pendekar. Jurusjurus Pramana makin keras, akhirnya yang tampak hanya gulungan asap tebal.
"Hiaat... Bersiaplah, Wedal!"
"Aku sudah siap, Pramana!" balas Wedal tak mau kalah.
Kedua orang itu seketika mencelat, terbang
berbarengan di udara. Namun nampaknya Pramana tak menginginkan kematian untuk Wedal.
Maka dengan secara cepat pedang pusaka Sukma
Layung disarungkan ke tempatnya, sementara
tangannya yang telah diisi dengan tenaga dalam
bergerak lurus memapaki serangan golok Wedal.
"Hiaaaat...!"
"Hiat...!"
West...! Angin tebasan golok Wedal berdesah, menyerang dengan ganas. Namun Pramana sepertinya tahu kelebatan golok tersebut, dan dengan
segera elakkan tubuh disusul oleh hantaman tangannya ke iga sebelah kiri lawan.
"Bug... bug... bug...!"
"Kretak!"
Terdengar suara tulang iga patah, diikuti
oleh jeritan yang melolong dari mulut Wedal menyayat: "Aaaah...!"
Wedal terkulai jatuh di atas tanah, dengan


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iga yang remuk menjadikan dirinya menyeringai
menahan sakit. Matanya tajam memandang pada
Pramana yang tersenyum, berdiri menghadapinya
dengan pedang Sukma Layung yang sudah berada
di sarungnya. Mata Wedal membeliak, seakan tak
yakin bahwa suara retakan tulangnya bukan karena tebasan pedang pusaka tersebut.
"Kau....!"
"Kenapa, Wedal?" tanya Pramana tenang.
"Aku sengaja tak menggunakan pedangku agar
kau dapat hidup lebih lama. Sekarang katakan
pada ketuamu, aku Pramana ingin bertemu. Aku
tunggu ketuamu di lereng Gunung Kencana!"
"Tunggu! Jangan kau pergi dulu!" Pramana yang hendak berkelebat pergi segera
hentikan langkah, lalu ditengoknya kembali Wedal yang
memanggilnya. "Ada apa, Wedal?"
"Pramana, lebih baik kau bunuh saja diriku. Aku meminta tolong padamu, bunuh saja
aku!" "Itu tak mungkin aku lakukan!"
"Kau tega melihat aku dibunuh oleh ketuaku?" Pramana tersenyum, sepertinya ucapan
Wedal bagaikan anak kecil saja. Mana mungkin ia
harus mau mengurusi orang lain" Mau dibunuh
oleh gurunya, kek. Yang pasti, guru Wedal yang
juga ketuanya harus menemuinya di lereng Gunung Kencana. Setelah tersenyum begitu, segera
Pramana kembali tinggalkan Wedal yang hanya
mampu terlolong bengong.
Hati Wedal begitu marah, kecewa dan dendam pada Pramana yang tidak mau melakukan
apa yang ia inginkan. Bagaimana pun ia sangat
mengharapkan Pramana yang membunuh, bukan
gurunya. Tapi rupanya nasib harus berbuat begitu. Selang beberapa lama setelah Pramana
berlalu, sebuah bayangan berkelebat menuju ke
arah Wedal tergeletak. Wedal yang mengetahui
siapa adanya yang datang seketika membelalakkan mata kaget, dan dari mulutnya keluar desisan kaget mengucap nama orang tersebut.
"Guru...!"
"Kau telah gagal, Wedal!" suara gurunya nampak penuh kebencian. Ya itulah sifat
Datuk Raja Karang. Sifat yang angkuh dan tidak mengenal siapa kawan ataupun lawan. Bila memang
seorang yang menjadi kawannya tak berguna lagi,
maka seharusnya orang tersebut disingkirkan dari muka bumi. Wedal hanya terpaku diam, tak dapat mulutnya untuk mengutarakan apa yang harus dikatakan. "Kau gagal. Wedal!" kini suara gurunya makin keras, merasa ucapannya tak
digubris oleh Wedal. "Jawab, Wedal!"
"Ampun, ketua. Memang aku... aku gagal.
Tapi...." "Tak apa tapi-tapian, Wedal! Kau ingat apa
yang telah aku katakan padamu" Barang siapa
yang tidak ada guna lagi bagi diriku, maka aku
akan menyingkirkannya."
Menggigil tubuh Wedal seketika mendengar
ucapan gurunya yang dirasakan sebuah keputusan akhir. Ya, keputusan yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Namun Wedal tak ingat,
bahwa di atas sana masih ada yang lebih kuasa
dibandingkan dengan gurunya yaitu Allah S.W.T.
yang telah menciptakannya.
"Sekarang katakanlah, di mana Pramana
menunggu diriku"!"
"Ampun guru, Pramana menunggu kedatangan guru di lereng Gunung Kencana," jawab Wedal dengan masih diselimuti rasa
takut yang teramat sangat.
Sang guru angguk-anggukkan kepalanya,
lalu tiba-tiba dengan suara menyeramkan sang
guru berkelebat dengan golok di tangannya siap
tebaskan ke leher Wedal. Hampir saja golok tersebut membabat putus leher Wedal,
manakala tiba- tiba sebuah bayangan berkelebat menyelamatkannya. "Bedebah! Siapa yang telah lancang di hadapanku!" maki Datuk Raja Karang marah. Sege-ra ia kejar orang yang membopong
tubuh murid- nya, namun usahanya sia-sia karena orang tersebut jauh tinggi ilmunya hingga dengan cepat
orang tersebut lenyap dari pandangannya.
"Monyet busuk! Siapa gerangan orang itu?"
Datuk Raja Karang memaki-maki sendiri,
lalu setelah puas menyumpah serapahi orang itu
segera ia pun berkelebat pergi untuk menemui
Pramana yang telah menantinya di lereng Gunung
Kencana. Angin gunung bertiup sunyi, menerpa lembut daun-daun kering yang beterbangan dan
hinggap pada tempat-tempat yang telah di atur
oleh Yang Maha Kuasa. Lembah itu kembali sepi,
tiada suara ataupun jeritan manusia. Namun tak
lama kemudian, serombongan burung-burung
pemakan bangkai beterbangan, berputar-putar di
situ dan kemudian menukik. Rupanya rombongan
burung Nazar tersebut menemukan makanan
yang sungguh menyenangkan.
3 Angin sore telah mengalunkan hawa yang
aneh, yaitu hawa sebuah penentuan. Di lereng
Gunung Kencana, nampak dua sosok tubuh saling berhadapan dengan hening seperti menjajagi
apa yang ada di hati mereka masing-masing. Matahari telah menggelincir, empat puluh derajat ke arah Barat. Sinarnya kini tak
segarang manakala
siang, namun redup. Bayang-bayang kedua orang
tersebut panjang, melebihi keadaan sebenarnya.
Mata mereka saling pandang, layaknya dua mata
burung elang yang tajam saling menghujam. Napas mereka mendesah berat, seirama dengan deru
angin yang menggayut berat.
"Kau menungguku, Pramana?" tanya Datuk Raja Karang.
"Ya, aku memang mencarimu," jawab Pramana tenang.
"Apakah kau ingin mengulang seperti lima
tahun yang lalu?"
"Bukan! Bukan itu yang aku inginkan, tetapi lebih dari itu semua. Kini aku tak perduli lagi dengan segala tindakanmu,
asal kau jangan
mengganggu sanak kadangku."
Mata Datuk Raja Karang seketika menyipit,
sepertinya belum mengerti apa yang sebenarnya
tujuan Pramana. Setahunya ia tak pernah membuat kerusuhan lagi pada keluarga Pramana,
ataupun sanak kadangnya. Kini Pramana mencari
dirinya untuk mencari gara-gara. Sebenarnya
memang hal itu yang dicari, sebab ia pun ingin
sekali-kali kembali menjajagi ilmu yang dimiliki Pramana setelah lima tahun
berlalu. Tapi untuk
menyatakan terus terang, sungguh ia belum berani. Sebab di samping akan diketahui oleh khalayak persilatan yang sudah tentu akan mencercanya, juga saudara seperguruan Pramana lainnya akan berusaha membantu. Bukankah hal itu
masih menyangkut masalah perguruan" Maka
demi mendengar pertanyaan Pramana, timbullah
hatinya untuk mengakui segala tindakan orang
lain. Dimaksudkan agar supaya Pramanayuda
mampu marah. "Apa yang sebenarnya engkau mau, Pramana?" "Aku ingin kau kembalikan anakku yang
kau culik dari adik seperguruanku."
"Huah, itu tidak mungkin, sebab anakmu
sudah aku korbankan untuk para Roh-roh penguasa Bukit Setan! Kalau kau tak mau, maka kau
akan menghadapi aku!"
"Bangsat! Rupanya kau masih keras kepala
seperti dulu, Datuk!"
"He,, he, he...! Aku memang seperti dulu,
seperti ketika kalian kalahkan. Karena kekalahan itulah hingga aku sampai kini
menaruh dendam.
Dendam untuk mampu membalas segalanya padamu dan pada adik seperguruanmu lainnya."
Kalau saja Pramana mau meneliti dari
omongannya, jelas bahwa Datuk Raja Karang bukanlah orangnya yang telah menculik dan membunuh anak dan adik seperguruannya. Tapi Pramana yang sudah dilanda oleh kobaran amarah
tak menganalisa dan memperdulikannya. Tuduhannya pada Datuk Raja Karang begitu yakin, sepertinya Datuk Raja Karanglah yang benar-benar
telah membunuh adik seperguruannya sekaligus
menculik anaknya Tegalaras.
"Sudah aku duga, bahwa kaulah biangnya!
Maka itu, kini aku tidak akan segan-segan lagi
menurunkan tangan jahatku padamu, Datuk!
Bersiaplah!"
Melihat kemarahan Pramanayuda. Datuk
Raja Karang masih berusaha tenang. Ia tahu siapa adanya Pramanayuda, seorang tokoh persilatan berilmu tinggi yang disegani oleh musuhmusuhnya. Di samping itu ia harus memikirkan
Pedang Sukma Layung yang berada di tangan
Pramana. Pedang tersebut bukanlah pedang sembarangan, namun sebuah pedang yang mampu
merontokkan sendi-sendi tubuh sekaligus mampu
membunuh orang tanpa mengalami kematian luka-luka. Sebab dengan asapnya saja, orang akan
dibuat pingsan dan akhirnya mati.
"Sudah siapkah kau, Datuk?" kembali
Pramana bertanya.
"Aku memang sudah siap, Pramana. Tapi
perlu kau ingat" Bahwa aku siap menghadapi dirimu bukan karena aku telah melakukan segala
yang engkau lontarkan. Aku menghadapimu karena aku merasa ingin mengulang kejadian lima
tahun silam. Lima tahun silam kau dan kedua
adik seperguruanmu telah menjatuhkan aku di
hadapan orang banyak. Kini akulah yang akan
menjatuhkan nama besarmu, walau aku menjatuhkanmu bukan di kalayak ramai tapi bagiku
sudah cukup puas!"
"Jadi kau masih mungkir"!"
"Aku tidak mungkir. Aku memang tak
mengetahui siapa adanya anakmu, juga siapa
yang menculiknya," jawab Datuk Raja Karang, menjadikan Pramana tersentak kaget.
Pikiran Pramana seketika melayang, tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.
"Kalau memang Datuk Raja Karang bukan
orangnya, lalu siapa lagi yang telah berbuat begi-tu?" keluh hati Pramana
bimbang. "Apakah masih ada orang lain yang menaruh dendam padaku"
Atau barangkali musuh adikku yang memang ugal-ugalan?"
"Kenapa terdiam, Pramana?"
Pertanyaan Datuk Raja Karang begitu
menghentakkan Pramana yang tengah tercenung.
Matanya seketika membelalak, memandang lekat
ke arah Datuk Raja Karang yang masih tersenyum. "Jadi kau bukan penculiknya?" tanya Pramana kemudian setelah tersadar dari
lamunan- nya. "Kalau begitu aku rasa aku tak ada gunanya menemui dirimu!"
"Ada, Pramana!" Datuk Raja Karang mencerca, mengingatkan kembali pada Pramana.
"Bukankah kita memang ada kepentingan sendi-ri" Kepentingan yang berhubungan
dengan apa yang pernah kita lakukan, di mana kau dan saudara-saudara seperguruanmu menjatuhkan aku."
"Kau rupanya tak jemu-jemu, Datuk!"
"Memang aku tak pernah jemu bila belum
mengalahkan kalian!"
"Sekarang apa yang kau mau?" tanya Pramana kembali sewot.
"Bertarung untuk menentukan siapa yang
paling sakti di antara kita!" Datuk Raja Karang sunggingkan senyum sinis,
mengarah pada Pramana yang masih menghela napas berusaha sabar. Pramana tahu siapa sebenarnya Datuk Raja
Karang, seorang tokoh sesat yang tak bisa diajak kompromi. Selalu ingin menang,
ingin diaku oleh
kalayak bahwa dirinyalah yang paling berkuasa.
"Bertarung...?" ulang Pramana, sepertinya ingin meyakinkan pada diri sendiri
kebenaran ucapan sang Datuk.
"Ya, bertarung! Kau takut, Pramana?" ejek sang Datuk.
"Tak akan pernah ada rasa takut untukku." "Bagus! Itu yang aku harapkan! Aku minta kau mau sejenak melupakan masalah
anakmu, atau mungkin kau akan tenang tanpa berpikir kalut memikirkan anakmu karena kau akan aku kirim ke alam sana! He, he, he...!"
"Sombong! Kau manusia sombong!"
"Apa pun yang kau katakan, bagiku tak
menjadi masalah! Yang penting, aku mampu
mengirim nyawamu ke akherat, hiaaat....!"


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa diduga-duga sebelumnya oleh Pramana, Datuk Raja Karang berkelebat menyerang.
Hal itu menjadikan Pramana tersentak kaget dan
dengan segera berkelebat miringkan tubuh mengelak. Namun karena didera hati yang tak tenang
menjadikan Pramana lamban dalam mengelak,
akibatnya...! "Bug...!"
Sebuah hantaman telak mendarat di bahu
kirinya, menjadikan Pramana seketika terhuyung
ke belakang dengan mulut menyeringai menahan
sakit. Kini ia sadar, bahwa ucapan sang Datuk
bukanlah main-main. Segera Pramana tarik napasnya panjang, lalu mendesis kencang laksana
seekor ular sanca marah. Habis berbuat begitu,
serta merta Pramana melompat dan menyerang
sang Datuk yang masih senyum-senyum penuh
kemenangan. Sang Datuk melompat mundur, kaget melihat gerakan Pramana yang begitu cepat dan ganas. Ia tidak mengira kalau Pramana pun telah
meningkatkan ilmu silatnya. Terbukti sang Datuk
tak mampu lagi menghindar dari sergapan Pramana, dan....! "Hiat....!"
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali berturut-turut, tendangan kaki
dan pukulan tangan Pramana telah mendarat di
wajah sang Datuk yang seketika itu melayang bagaikan terbang terdorong oleh hantaman tersebut.
Mata sang Datuk membeliak tak percaya, menyaksikan kemajuan Pramana yang begitu pesat.
Betapa mungkin, dalam lima tahun Pramana
yang dulu ilmunya berada setingkat dengannya
kini melebihi ilmunya. Namun sebagai orang yang
berwatak keras. Sang Datuk tak mau begitu saja
mau menyadari. "Hebat! Kau ternyata lebih hebat, Pramana.
Tapi aku tak mau begitu kalah olehmu. Aku ingin
kau lebih banyak memberikan pelajaran padaku,"
sambung sang Datuk dengan sinis.
Pramana berusaha tenang, meski ucapan
sang Datuk dirasakannya sangat menyinggung
perasaan. Mata Pramana yang tajam, tak hentihentinya menantang pandangan tatapan mata
sang Datuk. Napasnya sangat tenang, berbeda
dengan napas Datuk Raja Karang yang mendengus penuh kemarahan.
"Aku rasa, aku tak lebih darimu, Datuk.
Maka itu aku minta tak usahlah kita teruskan segalanya. Kita bukan anak-anak lagi, Datuk."
"Tidak bisa!"
Tercengang Pramana mendengar ucapan
Datuk Raja Karang, walau Pramana sudah menduga sebelumnya. Ia tahu bahwa sang Datuk pasti tak akan mau mengalah begitu saja, apalagi
padanya yang telah pernah menjatuhkan. Kini hati Pramana dihadapkan pada dua pilihan, mengikuti apa yang dimaui si Datuk atau mencari
anaknya. "Bagaimana, apakah kau mau menyerahkan nyawamu untukku?"
Ejekan Datuk Raja Karang sudah keterlaluan, sudah menjurus pada hal merendahkan
martabat Pramana sebagai seorang pendekar.
Pramana seketika mendengus marah, sepertinya
jiwa seorang pendekarnya kembali menggentak-gentak hatinya untuk mau menerima tantangan sang Datuk.
"Baik, aku layani apa maumu!"
Habis berkata begitu, Pramana seketika
kembali berkelebat. Kali ini bukan tangan kosong,
tapi pedang pusaka Sukma Layung ikut menentukan. Terkesima Datuk Raja Karang melihat pedang tersebut, sehingga matanya yang sudah tua
memandang membeliak.
"Pedang Sukma Layung!" pekiknya tertahan. Kini hanya ada dua keputusan, mati ditebas pedang Sukma Layung atau mati oleh asap
pedang. Menilai begitu, Datuk Raja Karang bagaikan orang kesurupan. Ia nekad memapaki serangan yang dilancarkan Pramana dengan pedangnya. Pertarungan dua musuh bebuyutan itu
kembali berjalan, seperti hendak mengenangkan
kembali mereka pada kejadian lima tahun silam.
Bedanya kalau lima tahun yang silam Pramana
bersama saudara-saudara seperguruannya, tapi
kini Pramana menghadapi sendiri. Namun sungguh berbeda Pramana sekarang dengan yang dulu. Pramana sekarang sungguh tinggi ilmunya,
apalagi dengan pedang Sukma Layung di tangannya yang begitu dahsyat. Orang menghadapi
Pramana harus berpikir seribu kali, kecuali orang nekad seperti Datuk Raja
Karang. Karena hatinya didera rasa was-was pada
pedang Sukma Layung, menjadikan gerakan Datuk Karang begitu lamban. Ya, hatinya tak tenang, penuh rasa takut kalau-kalau jalan napasnya tak tahan menghadapi asap tebal yang bergulung-gulung keluar dari pedang tersebut. Asap itu memang makin lama makin tebal,
menyelimuti keadaan mereka seketika hilang. Bau asap tersebut mampu menyumbat pernapasan, menjadikan
sang Datuk harus mampu menahan napasnya.
Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya
sang Datuk lebih banyak terdesak daripada mendesaknya. Pedang Sukma Layung terus mencerca
mencari titik mati bagi lawannya. Sebenarnya
Pramana mudah untuk mengakhiri pertarungan
tersebut, namun ia sengaja mengulur serangan.
Kalau saja pedang tersebut digerakkan makin cepat, niscaya dalam sekejap saja sang Datuk sudah tak akan mampu lagi menahan napas. Tapi
Pramana yang tak ingin membunuh berusaha
menjatuhkan lawannya dengan tanpa korban.
"Menyerahlah, Datuk!"
"Tidak! Aku belum kalah olehmu! Aku akan
mengadu jiwa dengan dirimu, Pramana!"
Pramana hanya mampu menghela napas
panjang, terasa berat dirasakannya. Ia sebenarnya tak ingin pedangnya terlumur darah, tapi
keadaan menghendaki lain. Kalau ia harus mengalah pada Datuk Raja Karang apalah nantinya
yang akan terjadi pada keluarganya dan dunia
persilatan. Dengan mendengus sewot Pramana
kembali membentak:
"Datuk tak tahu diri! Kalau memang itu
yang engkau mau, baiklah! Jangan salahkan aku
mengasah pedang pusaka ini pada darahmu!"
"He, he, he.-.! Ucapanmu sombong, Pramana!" "Dasar manusia tak mau diuntung! Apakah kau kira aku tak mampu
melakukannya!"
"Lakukanlah, Pramana! Lakukan kalau
engkau mampu!" ejek sang Datuk dengan gelak tawa terkekeh, menjadikan Pramana
yang tadinya masih memendam rasa kasihan kini berubah
menjadi rasa benci. Pedang Sukma Layung di
tangannya tiba-tiba mengeluarkan sinar merah,
seakan sinar itu hendak menghancurkan serta
meremukkan apa saja. Pantulannya begitu menyilaukan, menjadikan mata sang Datuk seketika
menyipit. Pandangan sang Datuk terganggu, tak
mampu untuk melihat jelas apa yang ada di hadapannya. Namun, Pramana rupanya masih
menghendaki penyelesaian secara damai, sehingga dengan nada melemah ia kembali berkata:
"Masihkah kau berkeras hati, Datuk?"
"Sudah aku katakan, aku tak akan menyerah dan tak akan membiarkan kau hidup!" gerutu sang Datuk marah. Hatinya panas,
sepanas dendamnya yang membara. "Kalau kau tak membunuhku, maka akulah yang akan membunuhmu,
Pramana!" Pramana masih terdiam, memandang pada
sang Datuk yang nampak menutup kedua matanya dengan tangan. Hatinya seketika menggelegar marah, kesal, dan segala macam perasaan tak
enak berkecamuk menjadi satu. Napasnya yang
tadinya tenang, berganti dengan napas liar memburu. Tangannya bergetar hebat, hawa pedang
Sukma Layung menyebabkan dirinya bagaikan
diguncang. Pedang itu rupanya meminta darah,
entah darah siapa. Apakah darah sang Datuk,
atau mungkin darahnya sendiri bila ia tak mampu memberikannya.
"Hiat...!" tiba-tiba Pramana memekik, tebaskan pedangnya ke tubuh sang Datuk.
Sang Datuk yang tersentak berusaha menghindar, namun gerakan pedang Sukma Layung ternyata lebih cepat dari dugaannya. Tak ayal lagi...!
"Aaah...!"
Muncrat seketika darah Datuk Raja karang, kepalanya terbelah jadi dua. Memang apa
yang dikatakan Pramana benar, bahwa pedang
pusakanya akan diasah oleh darah. Terbukti sudah! Tubuh sang Datuk terlantah, menyosot ke
tanah tanpa nyawa.
Dua mata dari balik semak menyaksikan
hal itu, yang tanpa diketahui oleh Pramana. Pramana yang telah melihat musuhnya mati, dengan
segera berkelebat pergi meninggalkan tubuh mati
tersebut. Bersamaan dengan hilangnya tubuh
Pramana, pemilik mata itu seketika berkelebat
menghampiri. Sesaat dipandangnya tubuh sang
Datuk, hatinya menggumam. "Pramana! Tunggulah pembalasanku, pembalasan kami!" Lalu tubuh pemuda itu berkelebat, menghilang
tinggal- kan mayat, Datuk Raja Karang yang masih tergeletak menjadi dua.
4 Sejak kematian Datuk Raja Karang, maka
Bukit Karang Bolong makin sepi bagaikan tak
bertuan. Keangkeran Bukit Karang Bolong dikaitkan dengan berita-berita adanya hantu yang
menghuni Bukit tersebut. Mungkinkah hantu itu
roh Datuk Raja Karang" Entahlah! Yang pasti di
Bukit Karang Bolong ada seorang wanita muda
dan cantik yang muncul tiba-tiba. Sebenarnya
wanita muda dan cantik itu adalah istri Datuk
Raja Karang. Dibanding dengan usianya, jauh sekali
keadaan wajah serta fisik wanita tersebut. Wajahnya masih cantik jelita, juga fisiknya masih
begitu kuat, tak ada kulit keriput atau guratanguratan usia di mukanya. Dia bernama Nyi Mas
Ayu Salidri, anak seorang pembesar istana yang
dipersunting oleh sang Datuk. Sebenarnya dulu
penyuntingan Nyi Mas Ayu Salidri tidak direstui
oleh ayahandanya, mengingat Datuk Raja Karang
bukanlah orang-orang lingkungan istana dan hanyalah tokoh persilatan. Namun karena keduanya
sudah saling menyinta, maka dengan penuh keberanian keduanya melarikan diri dari lingkungan istana dan menetap di Bukit
Karang. Disebabkan
penghuninya yaitu Nyi Mas Ayu Salidri telah tidak perawan, maka Bukit Karang itu
dikenal dengan nama Bukit Karang Bolong.
Karena rasa cintanya yang begitu dalam
terhadap Datuk Raja Karang, menjadikan Nyi Mas
Ayu Salidri mendendam pada Pramana dan keluarganya. Namun untuk menghadapi sendiri, jelas ia tak mempunyai keberanian. Sebab di samping Pramana orang sakti mandraguna, juga memiliki pedang Pusaka Sukma Layung.
"Bagaimana aku harus menghadapi Pramana" Dia begitu sakti, ditambah dengan Pedang
Sukma Layungnya yang sangat berbahaya. Jarang sekali orang mampu menghadapi pedang
tersebut. Suamiku juga tak mampu, apalagi dengan diriku," renung Nyi Mas Ayu Salidri sendiri.
Tengah ia merenung, mencari bagaimana
jalan untuk dapat membalas dendam, tiba-tiba telinganya mendengar suara suaminya yang sudah
tiada seperti berkata: "Nyi Mas, kalau kau ingin membalas dendam padanya aku
rasa itu tak perlu. Ambilah nanti anak darinya yang gadis. Menitislah kau padanya, niscaya kau akan mendapatkan ketenangan diri. Berbuatlah sesuka hatimu, sebab dengan penitisanmu dengannya akan
menjadikan sebuah kekuatan yang Maha Dahsyat! Kesaktianmu dan kesaktiannya akan bergabung menjadi satu. Gantikan kedudukanku sebagai seorang penguasa Bukit Karang Bolong. Ingat
Nyi, kau harus mampu menunjukkan pada dunia
bahwa Penguasa Bukit Karang Bolong masih ada
dan masih harus diperhitungkan."
"Kenapa aku tidak boleh mendendam pada
keluarga Pramana, Kakang?"
"Nyi Mas, aku sekarang dalam ketenangan.
Bila kau mendendam, maka berarti kau tidak
sayang padaku. Sudahlah, kau turuti saja apa


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menjadi saranku. Kacaukan dunia persilatan. Bukankah dengan kau menitis di tubuh anak
gadis Pramana secara tak langsung kau sudah
membalas dendam?" tanya suara Datuk Raja Karang, yang diangguki oleh sang istri.
"Dengan anaknya berbuat sadis, maka Pramana akan
mencoba menghentikannya. Bukankah dengan
begitu kau mampu menghadapi Pramana?"
"Benar juga ucapanmu, Kakang." jawab Nyi Mas Ayu Salidri.
"Nah, kau lakukan segalanya nanti apabila
telah terjadi sebuah petaka bagi anak gadis Pramana itu."
"Petaka apa yang datang menimpanya, Kakang?" tanya Nyi Mas Ayu ingin tahu.
Maka dengan suara berat Datuk Raja Karang pun menceritakan apa yang bakal terjadi di
dunia persilatan, sampai-sampai mengenai akan
datangnya seorang pendekar yang nantinya akan
membantu istrinya menyusul ke alamnya sana.
Sementara Datuk Raja Karang bercerita, Nyi Mas
Ayu Salidri mendengarkannya dengan seksama
tanpa berkeinginan menanya atau memutus cerita tersebut. "Kalau begitu percuma usaha kita, Kakang?" "Tidak, Nyi Mas. Memang untuk kita kembali bersatu harus menjalani halhal yang pernah aku lakukan."
Tercenung diam Nyi Mas Ayu Salidri mendengar jawaban suaminya. Hatinya seketika gundah, sebab ia tidak ingin mati terlebih dahulu sebelum dirinya mampu menguasai
jagad. Kalau harus menuruti segala nasib, percuma ia harus
menitis pada anak gadis Pramana.
"Tidak! Aku tidak ingin mati lebih dini! Aku harus mampu menjadikan diriku
seorang Ratu yang disegani. Hi, hi, hi...! Maafkan aku, Kakang.
Aku terpaksa menyeleweng dari apa yang kau
rencanakan, karena aku ingin menjadi seorang
Ratu. Ya, Ratu...." membatin Nyi Mas Ayu Salidri.
Suasana kembali hening, sunyi senyap bagaikan di pekuburan. Bukit Karang Bolong nampak diselimuti dengan misteri. Bukit itu seakan
tegak, menantang kehidupan manusia untuk
mengadakan sebuah bencana yang harus ditanggulangi. Apakah yang bakal terjadi di Bukit Karang Bolong nantinya"
* * * Pramanayuda yang sudah hampir putus
asa mencari keberadaan anaknya nampak tercenung dalam duduknya. Ia masih memikirkan kematian Datuk Raja Karang. Sebenarnya hal itu tidak ia inginkan, namun sungguh di luar dugaan.
"Mengapa hal itu terjadi" Mengapa aku harus membunuh?" keluh Pramanayuda, seakan
menyesali apa yang telah ia perbuat dengan segala tindakannya. "Sebenarnya aku tak ingin membunuh, tapi rupanya sang Datuk
memaksa-ku. Oh, aku telah berdosa. Tanganku kini telah terlumur oleh darah."
Melihat suaminya tercenung, sang istri
yang baru saja keluar dari dapur dengan membawa secangkir kopi dan singkong rebus sepiring
terhenyak. Dia berdiri mematung, memandang
pada suaminya yang seperti orang tak punya gairah. Perlahan ia menghampiri, dan sampai ia menaruh piring pun sang suami masih tampak tak
acuh adanya. "Kakang, kenapa dengan dirimu?"
Pramanayuda tersentak seketika demi
mendengar pertanyaan istrinya. Ia mencoba tersenyum, walau senyum itu dipaksakan agar gundah gulana dalam hatinya tidak diketahui oleh
sang istri. "Apakah kakang memikirkan sesuatu?"
kembali istrinya bertanya.
"Ah, ti-tidak," jawab Pramana terbata.
"Mengapa Kakang melamun bengong?"
Pramana terdiam tanpa dapat menjawab
pertanyaan sang istrinya. Matanya memandang
lekat-lekat pada wajah istrinya, yang tersenyum
sembari ulurkan tangan menggapai tangan suaminya. Terbayang semua kenangan lama, di mana
kenangan indah bergayut saat-saat keduanya
masih remaja. Walau keduanya anak orang-orang
tak berada, namun karena rasa cinta yang tulus
menjadikan keduanya hidup rukun dan tentram.
Mereka bina satu keluarga bahagia, senang lahir
maupun batin. Tapi kebahagiaan mereka yang
sudah berjalan hampir dua puluh tahun, kini terenggut dengan hilangnya putra pertamanya yang
bernama Tegalaras. Bocah tanggung itu kini raib
bagaikan ditelan bumi, tak tentu di mana rimbanya. "Aku telah melumuri tanganku dengan darah. Ya, aku telah membunuh
sesebrang musuhku. Padahal aku sudah berjanji tidak akan membunuh lagi apabila aku telah mempunyai seorang
anak wanita. Oh, petaka apa yang akan kita alami, Dinda?"
"Ah, mengapa kakang terlalu hanyut dalam
kecemasan?" istrinya mencoba menghibur. "Tak perlulah kakang memikirkan hal itu.
Kalau pun akan datang petaka bagi kita, maka sepantasnyalah kita serahkan semuanya pada yang Kuasa.
Bukankah begitu, Kakang?"
"Ya, memang seharusnya begitu. Tapi aku
sangat mengkhawatirkan akibatnya pada putri kita, Ningrum."
Terhenyak dalam diam istri Pramana mendengar ucapan sang suami. Sepertinya ucapan
sang suami sebuah desau ketakutan yang teramat sangat. Namun untuk menghiburnya sungguh sukar, karena sepertinya sang suami memendam sebuah rahasia yang menyangkut keadaan dirinya dan keluarga khususnya anak gadisnya Ningrum. Memang sepengetahuan istri
Pramana, sejak Pramana mempunyai anak wanita
ia tidak lagi mengadakan pertarungan seperti
layaknya kala ia masih muda atau manakala
memiliki anak Tegalaras. Sejak lahirnya Ningrum
kegiatan Pramana untuk berkelana pun terkunci,
dan ia lebih banyak mengurung diri di dalam rumah atau memomong anak-anaknya. Bahkan tugasnya sebagai seorang pimpinan di perguruan ia
limpahkan pada murid utamanya Kala Jangka.
Hanya akhir-akhir ini saja, yang menjadikan
Pramana sibuk, yaitu mencari keberadaan anaknya Tegalaras. "Kakang, sepertinya kakang memendam
sebuah rahasia?" tanya istrinya kembali, setelah terhanyut dalam pikirannya
manakala mendengar
penuturan sang suami.
"Ah, aku rasa aku tidak memendam apaapa, Dinda."
"Ya, sudahlah. Kalau memang kakang tidak
memiliki sebuah rahasia, aku minta kakang tak
perlu mencemaskan segalanya. Serahkanlah apa
yang bakal terjadi pada Yang Kuasa, sebab hanya
Dialah yang tahu rahasia alam ini. Kalau ia memang menghendaki demikian, aku rasa ada makna tersendiri."
Ucapan istrinya begitu dingin, menyirami
hati Pramana yang saat itu tengah dalam keadaan
gersang dan panas. Gersang oleh ketakutan yang
bakal menimpa keluarganya, juga panas oleh api
kemarahan pada diri sendiri yang tak mampu
mencari jejak keberadaan anaknya, padahal ia telah terkenal sebagai seorang pendekar yang
mumpuni. "Ah! Tak ada artinya gelar pendekar, kalau
aku tak mampu menemukan anakku," sering kata-kata itu melintas dalam benak Pramana, namun kadang juga ia sadar. Sehebat-hebatnya
manusia, ia akan mengalah pada nasibnya. Nasib
yang telah digariskan oleh Yang Wenang. Maka
bila ia sadar, ia akan menggumam kembali.
"Mungkin semua kehendak Yang Mencipta
alam. Aku hanyalah sebagai manusia yang mampu merencanakan tapi tak mampu menentukannya." Hari telah makin larut, meninggalkan bekas-bekas waktu yang sedikit demi
sedikit akan segera berubah. Begitu halnya dengan manusia,
ia yang biasanya terjaga harus mengalah pada
waktu. Kantuk pun datang, menghanyutkan segala pikiran dan halusinasi serta angan-angan.
* * * Waktu terus berputar bagaikan balingbaling kehidupan yang cepat. Lima tahun sudah
masa kebimbangan terlewati oleh Pramana dari
keluarganya. Ningrum kini telah menginjak dewasa, menjadi seorang gadis cantik. Kecantikannya
tiada tara, menjadikan banyak sekali pemuda
yang berlomba-lomba untuk mendapatkan apa
yang ada pada diri Ningrum
Pada suatu hari, datanglah serombongan
lelaki dan wanita yang ingin melamar Ningrum.
Orang-orang tersebut, sepertinya dari kalangan
orang berada. Ditilik dari pakaian yang mereka
kenakan, jelas tergambai kemewahan dan kebesaran sebagaimana layaknya orang-orang yang memiliki banyak harta.
Rombongan itu memang dari kalangan
orang berada, tepatnya dari seorang tuan tanah
kaya! Di wajah-wajah orang tersebut, sepertinya
membersit rasa ketidakpuasan. Wajah mereka kelam tenggelam oleh bayang-bayang sebuah kehidupan. Mungkin mereka menerima tugas untuk
meminang Ningrum anak seorang pendekar yang
mumpuni dengan secara paksa, atau mungkin
mereka tidak menyukai juragannya melamar Ningrum" Entahlah. Yang pasti, mereka melangkah
dengan langkah berat, berwajah gelap penuh rasa
tak percaya diri. Rombongan itu terus melangkah
dengan bisu, tiada kata atau canda ria yang
menggaung di hati mereka. Apalagi manakala mereka makin dekat ke rumah Pramana, sepertinya
ketakutan dan rasa tak percaya diri makin menggayuti berat. "Apakah kita akan membawa hasil?" seorang lelaki tua yang berjalan paling muka bernama Ki Rawe-rawe bertanya pada semuanya yang
tak seorang pun mampu menjawabnya. "Bagaimana kalau pinangan kita ditolak?"
"Entahlah, Ki. Kalau memang ditolak, sudah sepantasnya, bukan?"
"Yang engkau maksudkan, Gakel?" Ki
Rawe-rawe kerutkan kening demi mendengar
ucapan temannya yang bernama Gakel, seorang
lelaki tua sebayanya yang memiliki badan pendek
"Kita semestinya malu pada Tuan Pramana. Bagaimana pun, juragan kita sudah begitu
lanjut, tak sepantasnya harus menyanding putri
Ningrum. Ah, memang juragan kita keterlaluan."
"Huss... kau jangan ngomong begitu."
"Memangnya kenapa, Ki?"
"Apa kau tidak tahu kalau di sini banyak
penjilat?" Ki Rawe-rawe memperingatkan pada temannya. Namun dia sendiri tidak
menyadari kalau ucapannya juga mengandung bahaya bila didengar oleh orang-orang yang dikatakannya penjilat. Kedua orang tua itu kembali diam, melangkah dengan ketidakyakinan di hati mereka.
Mata mereka redup, sepertinya memiliki sakwa
sangka yang tak enak. Dan manakala jarak mereka telah hampir dekat dengan rumah Pramana,
langkah mereka merandek bagaikan tiada tenaga
lagi untuk meneruskan.
"Siapa yang akan mendahului?" tanya Ki Rawe-rawe pada semuanya yang seketika
saling pandang. Dari sorot mereka jelas sudah tampak
bahwa mereka sangat jeri pada Pramana, seorang
yang disegani oleh kawan maupun lawan. Seorang pendekar yang tidak sombong.
Melihat semuanya saling terdiam saling
pandang, Ki Rawe-rawe kerutkan kening kembali
seraya bertanya: "Heh, mengapa kalian terdiam"
Apakah kalian telah lupa pada apa yang kalian
katakan pada Juragan kalian?"
"Kami tak berani, Ki?"
"Ah, kalian ternyata orang-orang yang di
depan dan di belakang lain. Di hadapan juragan,
kalian mengatakan ya. Tapi di belakangnya, ternyata kalian tak lebih seekor tikus!" Ki Rawe-rawe begitu sewot. Memang
sebenarnya ia sendiri enggan untuk melakukan pinangan tersebut. Ia memikir apa mungkin seorang gadis cantik dan muda harus bersanding dengan seorang tua. Tak
masuk di akal ulah juragannya, sungguh tidak
masuk di akal! Melihat kemarahan Ki Rawe-rawe, seketika
semuanya tak ada yang berani membuka mulut.
Mereka menyadari bahwa diri mereka memang
kurang berani untuk melakukan semua perintah
juragannya yang sangat keterlaluan.


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana, apakah tak ada seorang pun
yang berani?" Ki Rawe-rawe kembali berseru.
"Ayo, mengapa kalian pada diam kayak cacing-cacing kepanasan?"
"Ki, apa tidak sebaiknya kita pulang lagi?"
seseorang mengusulkan. "Kita bilang saja bahwa usaha kita gagal karena pihak si
gadis menolak."
"Sontoloyo! Kau tak lebihnya seorang banci! Minggat dari sini!" bentak Ki Rawe-rawe penuh amarah. Bagaimana mungkin ia
akan menuruti kemauan orang tersebut, yang dirasakannya
sungguh suatu tindakan kafir yang hendak mengadu domba. Orang tersebut seketika diam, tak
berani mengulang kata lagi.
"Kalau kalian tidak berani, mengapa kalian
harus mengatakannya, ya, ya, ya...! Dasar manusia-manusia tak tahu diri!"
Mereka terus terdiam tak hiraukan caci
maki Ki Rawe-rawe. Mereka memang menyadari,
bahwa merekalah yang serba salah. Di hadapan
juragannya, mereka mengatakan ya berani untuk
meminang. Tetapi kini, tak tahunya mereka melempem. Keributan tersebut rupanya didengar oleh
Pramana yang segera datang menghampiri. Wajah
Pramana mengerut, melihat serombongan orang
dengan membawa lengkap apa yang dibutuhkan
dalam tunangan mandek pada berdiri di halaman
rumahnya. "Ki Sanak sekalian, ada gerangan apa
hingga ki sanak ribut-ribut?" tanya Pramana setelah mengetahui hal yang pasti.
"Kalaulah Ki sanak sekalian ingin bertandang ke gubugku, mengapa Ki sanak tak langsung saja?"
Semuanya seketika menundukkan wajah,
seakan tak berani untuk menentang pandang
dengan seorang yang mereka kenal sebagai pendekar yang disegani. Melihat hal tersebut Pramana sunggingkan senyum, lalu dengan suara ramah kembali berkata: "Kenapa" Apakah kalian merasa takut padaku" Ah, sungguh aku
tak mengerti kalau kalian memang takut padaku. Ketahuilah oleh kalian, aku tak akan pernah menyakiti seorang ataupun seekor pun binatang bila tidak mendahului. Begitu juga halnya
dengan kalian, aku tak akan mengusik kalian bila kalian tidak
terlebih dahulu mengusik diriku dan keluargaku."
Ucapan Pramana bagaikan sebuah air sejuk yang menyirami kerongkongan mereka saat
dahaga. Mata mereka yang redup, seketika kembali bersinar. Ada setitik api menyinari hati mereka, menjadikan mereka makin
tahu siapa adanya
Pramana. Lama kelamaan, rasa tahu itu menjadikan rasa hormat dan segan di hati mereka.
"Maafkan segala kelakuan kami, Tuan
Pramana," menjura hormat Ki Rawe-rawe mewaki-li segenap rekan-rekannya. "Kami
diutus oleh juragan kami untuk..."
Belum juga Ki Rawe-rawe habis katanya,
Pramana telah mendahului berkata: "Ah, apakah pantas kita bicara di pekarangan?"
Ki Rawe-rawe tersentak kaget, tak menyangka kalau ia akan mendapatkan sindiran
yang halus. Maka dengan suara tergagap karena
merasa tersindir, Ki Rawe-rawe kembali berujar:
"Ah, maafkan atas kebodohan ku."
"Tidak apa-apa, Ki. Mari silakan masuk ke
rumahku. Rumahku terbuka lebar untuk siapa
saja yang memang bermaksud baik. Tapi bila
mempunyai tujuan buruk, maka Aki dapat melihat sendiri di sana." Dengan berkata Pramana tunjukkan jari telunjuknya ke
tempat sebuah halaman di mana terdapat ratusan muridnya tengah
berlatih ilmu silat. Seketika orang-orang yang melihatnya terbelalak, ada rasa
ngeri dan takut melihat hal tersebut.
Memang, mereka yang akan berbuat jahat
niscaya harus berhadapan dengan murid-murid
Pramana yang banyak. Mereka mungkin telah dilatih segala kemampuan berkelahi dan ilmu-ilmu
oleh Pramana selaku guru dan sekaligus pimpinannya di Perguruan Manik Astajingga.
Melihat tamu-tamunya merandek, Pramana
kembali ulaskan senyum dan berkata: "Tak perlulah kalian takut, sebab aku yakin
kalian bermak- sud baik-baik. Bukan begitu, Ki?"
"E... be-benar," jawab Ki Rawe-rawe gagap, ia terkejut oleh pertanyaan Pramana
yang datangnya secara tiba-tiba. "Memang kami bermaksud baik-baik."
Para tetamu itu kembali melangkah, memasuki halaman rumah Pramana dan terus ke
balai-balai. Mereka disambut oleh istri Pramana
serta anaknya Ningrum yang ramah tersenyum
menyambut kedatangan mereka.
Setelah duduk-duduk dalam ramah tamah
sesaat, maka dengan terlebih dahulu mengulum
ludah untuk membasahi tenggorokannya yang
kering Ki Rawe-rawe berkata menerangkan maksud kedatangannya dengan para temannya. Mulanya Pramana dan keluarganya hanya mendengar, namun setelah mengetahui siapa adanya
orang yang menyuruh mereka maka dengan halus
Pramana berkata: "Maaf, Ki. Bukannya kami ke-beratan. Tapi, segala keputusan
yang paling berhak adalah anak kami Ningrum."
"Hamba mengerti, Tuan," jawab Ki Rawe
pasrah. "Nah, bagaimana, Ningrum" Apakah kau
menerimanya?"
"Ampun, Ayahanda, Ningrum sangat menyesal tak dapat menerima pinangan Ki Rengkana. Ningrum telah memiliki calon, Ayahanda."
"Nah Ki, itulah keputusan anakku," Pramana kembali berkata, yang segera
diangguki oleh Ki Rawe-rawe dan segenap para kadangnya.
"Kalau begitu kami mohon pamit undur."
"Ah, mengapa mesti bergegas, Ki" Sabarlah
dulu, bukankah kami belum mengobati kedatangan kalian?" Pramana mencoba mencegah, namun Ki Rawe dengan halus menolaknya. Maka
akhirnya dengan pasrah Pramana dan keluarganya pun mengijinkan mereka kembali.
Dengan diiringi tatapan mata keluarga
Pramana, mereka melangkah dengan berat meninggalkan rumah Pramana. Kini mereka dalam
bimbang, ragu untuk kembali pulang. Betapa
mungkin mereka akan menghadapi kemarahan
tuannya. Senja telah datang, menepiskan siang yang
telah menjalani masa tugasnya. Mereka terus melangkah menuju ke tempat asal, di mana mereka
tadi datang. Sang mentari seperti tak memperdulikan mereka, lenyap di balik bumi sebelah Barat.
5 Kegagalan para suruhannya untuk meminang Ningrum memang sudah ada dalam pikirannya. Sebenarnya bukan itu maksud Rengkana
sebenarnya. Maksud yang sebenarnya adalah
mencari jalan untuk membalas kematian kakaknya si Datuk Raja Karang. Namun untuk terus terang melakukan balasan ia tak berani karena keberadaannya sebagai adik Datuk Raja Karang
akan jelas kentara dan diketahui oleh kalayak
ramai Dengan kegagalan para utusannya untuk
meminang Ningrum, maka jalan untuk mengadakan pembalasan terbuka sudah. Kini tinggal mencari siapa-siapa orangnya yang mampu melakukan segala apa yang telah direncanakan. Bagi
Rengkana, tak berani pada ayah si gadis tak menjadi soal, yang penting ia akan membuat petaka
bagi keluarga Pramana.
"Aku akan membuat Pramana malu!" dengusnya berapi Hari itu juga, dicarinya kenalannya yang
dianggap mampu melakukan segala apa yang telah terencana. Rengkana dengan menunggang
kuda bergegas menuju ke arah Wetan, di mana
para sahabatnya yang bergelar Tiga Serangkai
Hantu berada. Tempat yang dituju oleh Renggana
tak lain desa Kelangitan di mana Tiga Serangkai Hantu tersebut berada.
Desa Kelangitan letaknya tak begitu jauh
dari keberadaannya sekarang. Bila ditempuh dengan menunggang kuda, maka akan memerlukan
waktu tiga jam. Sedang bila ditempuh dengan jalan kaki, memerlukan waktu setengah hari perjalanan. Kuda yang ditunggangi Rengkana terus
melaju, menaiki gunung dan kadang harus menyeberangi sungai. Menerobos hutan serta semak-semak, lalu menjarah persawahan yang masih kering kerontang akibat kemarau yang panjang. Digebasnya kuda tersebut dengan kencang,
sepertinya Rengkana tak sabar untuk menemui
ketiga teman-temannya.
Ketika ia hampir mendekati tempat di mana Tiga Serangkai Hantu berada, segera Rengkana lambatkan lari kudanya. Matanya memandang
lurus-lurus, sepertinya ia ingin menyaksikan apa yang berada di hadapannya. Di
depannya kini terhampar hutan bakau, yang sarat dan sempit
karena saking penuhnya. Perlahan kuda tunggangannya melangkah, ada perasaan aneh yang
seketika bergayut di hatinya. Perasaan aneh itu, makin lama makin besar
Lencana Pembunuh Naga 13 Dewi Sri Tanjung 8 Perjalanan Yang Berbahaya Pedang Langit Dan Golok Naga 14

Cari Blog Ini