Ceritasilat Novel Online

Pertentangan Dua Datuk 1

Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk Bagian 1


Ebook by syauqy_arr
http://hanaoki.wordpress.com
1 Suara tawa dan senda gurau seorang bocah begitu merdu menggelitik gendang
telinga, ditingkahi gemercik suara air sungai mengalir. Seorang bocah laki laki -berusia sekitar lima tahun tengah bermain main di tepi sungai,
-berlarian, berkejaran dengan ayahnya. Sementara ibunya mengawasi disertai senyuman, sambil berteduh di bawah sebatang
pohon rindang. Kegembiraan mewarnai raut wajah mereka.
"Ibuuu...!" jerit anak itu ketika jari jari tangan ayahnya menggelitik seluruh
-pinggangnya. Sementara sang ibu hanya terkikik saja tanpa berusaha menolong. Bocah itu
menggeliat geliat, mencoba membebaskan diri dari gelitik tangan ayahnya.
-Setelah berhasil, dia langsung berlari menghampiri ibunya yang menyongsong
dengan kedua tangan
terbuka. Sedangkan ayahnya pura pura mengejar.
-Namun belum juga laki laki muda bertubuh tegap itu mencapai istri dan anaknya,
-mendadak saja sebatang anak panah melesat cepat bagaikan kilat ke arah wanita
muda yang bagian bahunya terbuka itu.
"Lasmi, awas...!" teriak laki laki itu memperingatkan.
-Bagaikan kilat, laki laki bertelanjang dada itu melesat dan berjumpalitan di
-udara beberapa kali. Tangannya mengibas cepat menangkap anak panah yang hampir
saja menghunjam punggung anak laki laki yang berada di dalam dekapan ibunya.
-Tap! Laki laki muda itu tangkas sekali menangkap anak panah yang melesat cepat bagai
-kilat. Dia langsung
mendorong istrinya ke belakang. Sebatang anak panah berwarna merah, kini
tergenggam erat di tangannya.
Kedua jnatanya tajam agak memerah menatap ke satu arah. Sambil menggeram,
dihentakkan tangan yang menggenggam anak panah itu.
"Hih!"
Wut..! Anak panah itu melesat cepat, bahkan melebihi lesatan menggunakan busur. Dan
seketika itu juga terdengar jeritan melengking tinggi dari sebuah semak tidak
jauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian, tampak sesosok tubuh keluar dari
dalam semak, lalu ambruk menggelepar di tanah. Tampak sebatang anak panah
memanggang lehernya. Orang itu tewas seketika.
"Cepat pulang...!" desis laki laki itu.-"Kakang...."
Belum juga bisa bergerak meninggalkan tempat itu, tiba tiba di sekitar mereka
-berlompatan empat orang.
Laki laki muda yang tidak mengenakan baju itu langsung menggeser kakinya,
-mendekati istrinya yang tengah memeluk erat putra mereka dalam gendongan.
Laki laki muda itu menatap tajam empat laki laki tua di depannya yang sorot
- -matanya memancarkan
kekejaman. Mereka semua merupakan tokoh rimba persilatan beraliran hitam. Laki
-laki itu terus menggeser kakinya ke belakang sambil membawa istri dan anaknya ke
tempat yang cukup terlindung dan aman. Kehadiran empat orang tua itu sudah
diduga sebelumnya, meskipun mereka tidak dikenal.
"Siapa kalian?" tanya laki laki muda itu dingin.
-"He he he...!" keempat orang tua itu tertawa
terkekeh kekeh sambil saling melirik.
-"Kami hanya menjalankan tugas, Sundrata," jelas salah seorang yang mengenakan
baju warna merah menyala.
"Heh"! Kalian mengenalku..."! Siapa kalian ini"!'?
laki laki muda yang panggil Sundrata itu terperanjat.
-"Kau tidak perlu tahu siapa kami, Sundrata. Bersiaplah untuk mati!" dengus orang
tua yang mengenakan baju hitam.
"Kakang...," agak bergetar suara Lasmi yang berlindung di balik punggung
suaminya. "Pergilah! Selamatkan anak kita," bisik Sundrata.
Lasmi memandangi keempat orang tua itu.
Diserahkannya golok bergagang gading pada suaminya.
Kemudian wanita muda berparas cantik itu melangkah mundur perlahan lahan.
-Terlihat jelas pada raut wajahnya kalau kecemasan begitu mendalam tak dapat
disembunyikan lagi. Dia tahu betul kalau dulu suaminya adalah seorang pendekar
yang sudah melanglang buana. Sedangkan dirinya sendiri, meskipun bukan seorang
wanita pendekar, tapi memiliki sedikit ilmu olah kanuragan. Namun melihat empat
laki laki tua itu, kecemasan benar benar menggaluti hatinya juga.-Sementara keempat laki laki tua itu sudah bergerak menyebar. Sedangkan Sundrata
-sudah mencabut golok bergagang gading yang berkilatan dijilat cahaya matahari,
sehingga menyilaukan mata. Sundrata memandangi keempat orang tua itu satu
persatu dengan sinar mata tajam menusuk.
"Hiyaaa...!"
Tiba tiba salah seorang yang mengenakan baju hijau
-tua, berteriak kencang sambil melompat menerjang.
Sundrata buru buru merundukkan tubuhnya ketika orang berbaju hijau itu
-mengibaskan tongkat yang digenggamnya. Maka, secepat kilat, dibabatkan goloknya
ke atas. Trang! Tubuh orang tua berbaju hijau itu melenting ke atas saat tongkatnya terbabat
golok lawan. Sedangkan Sundrata sendiri bergegas melompat ke samping. Tapi belum
juga berdiri sempurna, datang lagi satu serangan dari orang berbaju merah. Orang
itu menghantamkan gada besar berduri ke arah kepala.
"Yeaaah...!"
Wuk! "Uts...!"
Cepat Sundrata menarik tubuhnya ke belakang, maka gada berduri yang sangat besar
itu lewat di depan mukanya. Sunggijh dahsyat bukan main, sehingga angin tebasan
gada itu membuat tubuh Sundrata sedikit terhuyung.
Sementara Lasmi tidak jadi meninggalkan tempat itu.
Hatinya begitu cemas melihat suaminya dikeroyok empat orang tua. Didekapnya
bocah kecil yang kepalanya bersembunyi di dada ibunya erat erat. Sementara
-pertarungan terus berlangsung sengit. Serangan-serangan datang bertubi tubi,
-mengancam nyawa Sundrata. Tapi laki laki muda itu ternyata bukanlah orang
-sembarangan. Tingkat kepandaian yang dimiliki ternyata cukup tinggi. Beberapa
kali serangan lawan yang sangat berbahaya berhasil dielakkan dengan manis.
Bahkan tidak jarang serangan balasan yang
diberikan membuat lawan lawannya jadi kerepotan.
-*** "Auwh...!"
Lasmi memekik ketika melihat suaminya terkena satu pukulan keras di dadanya.
Tampak Sundrata terhuyung huyung ke belakang sambil mendekap dada.-Dari sudut bibimya mengalir darah kental.
Belum juga kebimbangan tubuhnya sempat dikuasai,
kembali datang satu totokan keras dari sebatang tongkat Sundrata mencoba
berkelit dengan memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi tanpa diduga sama sekali,
sebuah cambuk menggeletar menyengat
punggungnya. Ctar! "Akh...!" Sundrata memekik keras.
Cambuk hitam di tangan orang berbaju biru kembali menyengat tubuh Sundrata,
sehingga membuat laki laki muda itu tersuruk jatuh mencium tanah. Tampak di
-punggungnya tergores luka akibat cambukan. Darah merembes keluar dari kulit
punggung yang sobek cukup panjang.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja orang yang berbaju hitam melompat
sambil menghunjamkan pedangnya ke arah Sundrata yang tengah tergolek di tanah.
Buru buru Sundrata menggulirkan tubuhnya ke samping, dan pedang itu hanya
-menghunjam tanah.
"Hup!"
Cepat Sundrata melompat bangkit berdiri. Disilang
-kan goloknya di depan dada. Namun belum sem pat melakukan sesuatu, orang tua
-berbaju merah melompat menerjangnya. Gada besar berduri terayun deras ke arah
kepala. Cepat cepat Sundrata menarik tubuh dan kepalanya ke belakang, seraya
-mengibaskan goloknya ke arah pergelangan tangan lawan.
"Yeaaah...!"
Wuk! "Ikh...!"
Buru buru orang tua berbaju merah itu menarik pulang gadanya. Tapi dengan cepat
-sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, dan seketika itu juga, dikirimkan satu
tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Des! "Akh!" entah untuk ke berapa kali Sundrata terpekik.
Tendangan orang berbaju merah itu tepat menghantam punggungnya Sehingga membuat
Sundrata terhuyung huyung ke depan. Pada saat itu, orang berbaju hitam melompat maju
-sambil menusukkan pedangnya.
Crab! "Aaakh...!"
satu jeritan panjang melengking terdengar keluar dari mulut Sundrata.
"Yeaaah...!"
Orang tua berbaju hitam itu mencabut pedangnya keluar dari perut Sundrata, dan
seketika tu juga dilayangkan satu tendangan keras yang telak mendarat di dada.
Tak pelak lagi, dengan perut robek berlumuran darah, Sundrata terpental ke
belakang. Saat itu juga orang berbaju merah mengayunkan gadanya.
"Yeaaah...!"
Wukl Prak...! Gada berduri itu langsung menghantam kepala
Sundrata hingga hancur berantakan. Sebelum tubuh laki laki muda itu ambruk ke -tanah, cambuk di tangan orang tua berbaju biru kembali menggeletar menyengat
leher. Itu pun masih ditambah dengan hunjaman ujung tongkat orang tua berbaju
hijau yang menembus dada.
Tubuh Sundrata limbung, lalu ambruk ke tanah.
Kepala yang pecah, tergulir pisah dari lehemya. Lasmi yang menyaksikan semua
kejadian itu menjerit histeris.
Langsung dibalikkan tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya. Dia memang sudah
tak sanggup lagi menyaksikan kematian suaminya yang begitu tragis.
Jeritan Lasmi menghentak empat orang tua itu.
Mereka saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata kata lagi segera
-berlompatan mengejar. Sementara Lasmi terus berlari menembus semak belukar
berduri. Tak dipedulikan lagi duri duri tajam yang mengoyak kulit kakinya hingga
-berdarah. Dia terus berlari sekuat tenaga disertai linangan air mata.
"Akh...!" tiba tiba Lasmi terpekik ketika sepasang tangan merengkuh dan
-menariknya dengan kasar.
Sebelum Lasmi bisa melakukan sesuatu, sepasang tangan itu sudah mendekap
pinggang dan mulutnya, lalu menarik masuk ke dalam gerumbul semak belukar.
Lasmi berusaha memberontak melepaskan diri sambil memeluk erat putra laki
-lakinya. "Ssst.., diam!" terdengar suara berat dekat telinga wanita itu.
Pada saat itu terlihat empat orang tua berlarian
melintasi mereka. Empat orang tua itu tak menyadari kalau wanita yang diburu
sudah terlewati. Tapi belum jauh mereka lewat, keempat orang tua itu berhenti.
"Setan!" dengus orang tua berbaju merah.
"Ayo kita kejar terus, jangan sampai lolos!" ajak yang berbaju hijau.
"Tunggu dulu!" cegah yang berbaju hitam.
"Ada apa...?"
"Dia pasti tidak bisa lari jauh secepat ini, dan pasti bersembunyi," tegas orang
tua berbaju hitam.
"Jangan bodoh! Lasmi bukan perempuan sembarangan. Dia juga memiliki kepandaian!" bentak orang tua berbaju merah.
"Ayo, jangan buang buang waktu. Pasti dia belum jauh dari sini!" ajak yang -berbaju biru.
Keempat orang tua itu kembali berlari cepat. Begitu cepatnya, sehingga dalam
waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara di balik semak,
sepasang tangan kekar melepaskan dekapannya pada wanita itu. Cepat cepat Lasmi
-melepaskan diri dan bangkit berdiri, sedangkan anaknya masih dipeluk erat-erat.
Lasmi berbalik dan memandangi seorang laki laki muda berwajah tampan. Rambutnya
-panjang, dan tergelung sedikit ke atas. Sedangkan pakaiannya terbuat dari kulit
harimau. Tampan dan gagah sekali, sampai-sampai Lasmi terkesiap sesaat.
Dilangkahkan kakinya mundur keluar dari dalam semak belukar itu. Sedangkan
pemuda berbaju kulit harimau hanya berdiri saja memandangi.
"Sebaiknya Nisanak cepat tinggalkan tempat ini.
Mereka pasti akan kembali lagi," ujar pemuda itu ramah. Begitu lembut nada
suaranya. "Siapa kau?" tajiya Lasmi.
"Yang jelas aku bukan bagian dari mereka," sahut pemuda itu seraya tersenyum.
Lasmi memalingkan muka menatap ke arah
kepergian empat orang tua itu. Kemudian kembali dipandangnya pemuda yang baru
saja menyelamat-kannya dari kejaran empat manusia kejam itu. Siapa pun pemuda
ini, yang jelas memang tidak bermaksud jahat. Dan yang pasti, bukan dari keempat
laki laki tua itu tadi.-"Cepatlah pergi sebelum mereka kembali, Nisanak,"
ujar pemuda itu lagi.
"Baiklah, terima kasih," ucap Lasmi.
Wanita itu bergegas membalikkan tubuhnya dan cepat pergi ke arah lain. Sedangkan
pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi saja, kemudian duduk bersandar di
bawah pohon rindang sambil menekuk kaki kanan. Satu tangan ditumpangkan ke
lutut. Tapi, belum juga pemuda itu bisa memejamkan mata, empat orang tua tadi
kembali muncul. Mereka tampak terkejut melihat seorang laki laki muda duduk
-bersandar di bawah pohon, lalu seketika berhenti dan menghampiri.
"Anak muda, apakah kau melihat seorang
perempuan membawa anak kecil di sekitar sini?" tanya orang berbaju merah.
Suaranya terdengar kasar sekali.
"Sayang sekali, aku baru saja sampai dan akan beristirahat. Jadi tidak bertemu
seorang pun kecuali paman berempat," sahut pemuda itu kalem.
"Hm..., kau datang dari arah mana?" tanya orang tua
berbaju biru. "Sana!" sahut pemuda itu menunjuk ke arah pergi-nya Lasmi.
"Kau tidak bertemu seorang pun?" tanya orang berbaju biru itu lagi.
"Ya, tidak jauh dari sini. Di dekat sungai ada pengail."
Keempat laki laki tua itu saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata apa
- -apa lagi, mereka pergi ke arah yang berlawanan dengan yang ditempuh Lasmi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum tipis melirik keempat orang tua itu,
kemudian memejamkan matanya sambil bersandar ke pohon.
"Hhh..., baru juga mau tidur...," desah pemuda itu mengeluh.
Sementara itu Lasmi sudah tiba di tepi sungai yang tidak begitu besar, namun
airnya keruh sekali. Sehingga, aliran air itu merah kecoklatan. Di tepi sungai
duduk seorang pangail berbaju lusuh, mengenakan tudung tikar yang sudah koyak
menutupi sebagian wajahnya.
Pengail itu menoleh saat mendengar langkah kaki menuju ke arahnya.
"Kisanak, boleh aku bertanya?" agak bergetar dan tersendat suara Lasmi.
"Hm...," pengail itu hanya menggumam kecil saja.
"Di mana arahnya Desa Kaung?" tanya Lasmi.
"Untuk apa ke Desa Kaung, Lasmi?"
"Heh..."!" Lasmi terkejut
Buru buru wanita itu melangkah mundur, sedangkan-pengail itu membuang jorannya sambil bangkit berdiri.
Dibukanya tudung yang menutupi kepala". Seketika mata Lasmi membeliak lebar
begitu melihat wajah tua
yang rambutnya telah memutih. Kumis panjangnya menyatu dengan jenggot putih, dan
seluruhnya berwarna putih.
"Datuk...," desis Lasmi, bergetar suaranya.


Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bisa saja lolos dari mereka, Lasmi. Tapi tidak bisa lepas dariku. He he
he...," ujar laki laki tua itu seraya terkekeh.
-"Oh, tidak...," desis Lasmi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, dan terus
bergerak mundur.
Sementara laki laki tua itu melangkah maju mendekati. Cepat cepat Lasmi berbalik
- -dan berlari, tapi laki-laki tua itu lebih cepat lagi melompatinya dan tahu tahu
-sudah berdiri di depannya. Dia tertawa terkekeh memperiihatkan baris baris gigi
-yang kecil, masih teratur rapi.
"He he he.... Ke mana keperkasaan dan keangkuhan-mu, Lasmi" Kau seperti seekor
kelinci saja!"
Wajah Lasmi yang bersimbah keringat jadi memerah
pucat, dan terus bergerak mundur sambil mendekap putranya erat erat Sementara
-laki laki tua itu semakin dekat saja.
-"Kau harus ikut denganku, Lasmi. Hap...!"
"Akh...!" Lasmi terpekik tertahan.
Kalau saja wanita itu tidak memiringkan tubuhnya ke kanan, tentu laki laki tua
-itu sudah merengkuhnya.
Lepas dari terkaman laki laki tua itu, Lasmi langsung membalikkan tubuh dan
-berlari. Namun....
Bret! "Auw...!"
Tangan laki laki tua itu menjambret kain yang dikenakan Lasmi hingga koyak.
-Tampak kulit punggung
yang putih terbuka lebar, maka Lasmi buru buru menutupi. Tapi belum juga sempat
-berbuat sesuatu, laki laki tua itu sudah merengkuhnya ke dalam peluk-annya.
-"Lepaskan...!" pekik Lasmi sambil memberontak.
"Huh! Aku tidak perlu bocah ini!" dengus laki laki tua itu.
-"Jangan...!"
Tapi laki laki tua itu sudah merenggut anak laki laki di dalam dekapan ibunya. - -Dengan kasar disentakkan wanita itu hingga terhuyung, dan jatuh tersuruk ke
tanah. "Ibuuu...!" jerit anak laki laki itu.
-"Oh, tidak! Jangaaan...!" jerit Lasmi dengan air mata berlinangan.
Tapi laki laki tua itu malah tertawa terbahak bahak.
- -Dicengkerarnnya tengkuk anak kecil itu. Dan sambil mendengus, mendadak saja
dilemparkan anak itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.
"Tidaaak...!"
"Ibuuu...!"
"Ha ha ha...!"
Tubuh kecil yang hanya mengenakan celana tanpa baju itu melayang deras ke udara,
dan Lasmi hanya bisa meraung raung. Laki laki tua itu sudah mencekal tangannya,
- -dan memeluk pinggang ramping itu kuat-kuat Lasmi meraung raung sambil berusaha
-meronta melepaskan diri. Tapi pelukan orang tua itu demikian kuat. Sementara
tubuh kecil mulai melayang turun deras sekali.
"Ibuuu..., tolooong...!"
Tapi Lasmi hanya bisa menangis memandangi
putranya yang tidak lama lagi bakal terbanting ke tanah.
Lemas sudah seluruh tubuhnya menyaksikan semua ini.
Namun belum juga anak itu menyentuh tanah, mendadak saja sebuah bayangan
berkelebat menyambar.
Dan tahu tahu di depan Lasmi berdiri seorang pemuda tampan berbaju kulit
-harimau. Sebelum ada yang menyadari, pemuda itu sudah cepat bergerak lagi. Tahu tahu
-tubuhnya melesat bagai kilat menyambar orang tua itu. Tentu saja hal ini membuat
orang tua itu terkejut setengah mati. Tak ada jalan lain, kecuali cepat cepat
-didorongnya tubuh Lasmi.
"Ahk...!" Lasmi terpekik.
Dan tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju kulit harimau itu menangkap Lasmi.
Dan dengan manis sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, hinggap di batang pohon,
langsung saja pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan tinggi bersama Lasmi dan
anak tunggalnya.
"Hei...!" orang tua itu terkejut setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau akan seperti ini kejadiannya. Dan tanpa membuang
-buang waktu lagi, dia melesat mengejar. Namun begitu kakinya hinggap di cabang
pohon tinggi, orang tua itu tak jadi melompat lagi.
"Sial!" dengusnya.
Laki laki tua itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi bayangan pemuda -yang membawa Lasmi dan anaknya sudah tidak terlihat lagi. Daerah ini begitu
luas, meskipun pepohonan yang tumbuh tidak begitu lebar. Laki laki tua itu
-bersungut sungut, dan kembali meluruk turun. Gerakannya ringan sekali, pertanda
-tingkat ilmu olah kanuragan yang dimilikinya cukup tinggi.
"Monyet keparat...!"
*** 2 Lasmi merintih lirih sambil menggelengkan kepalanya dengan lemah. Perlahan lahan
-dibuka matanya, dan langsung beranjak bangun. Tatapannya lurus tertuju pada
seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Tampak seorang bocah
tergolek lelap di pangkuannya. Pemuda itu memandang Lasmi yang beranjak turun
dari pembaringan bambu. Hanya selembar tikar daun pandan yang menjadi alas
ranjang bambu itu.
"Dia tidur," jelas pemuda itu setelah Lasmi berada di depannya.
Lasmi mengambil anak kecil berusia sekitar lima tahun itu, dan memindahkan ke
pembaringan bambu yang tadi ditidurinya.
Sebentar dipandangi wajah anaknya, kemudian berbalik dan duduk di tepi
pembaringan ini. Pandangannya beredar ke sekeliling. Disadarinya kalau saat ini
berada di sebuah pondok kecil yang kelihatannya kumuh sekali.
"Cukup lama juga kau tidak sadar," jelas pemuda itu lagi.
"Di mana ini?" tanya Lasmi. "Di pondokku. Tidak bagus, tapi lumayan untuk
berteduh," sahut pemuda itu ringan. "Kau siapa?" tanya Lasmi lagi.
"Panggil saja Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri.
"Boleh aku tahu siapa namamu?"
"Lasmi, dan ini anakku. Namanya Wijaya." Wajah
Lasmi berubah mendung. Kepalanya tertunduk, teringat akan suaminya yang tewas
dikeroyok empat orang tua yang tidak dikenal sama sekali. Perlahan diangkat
kepalanya, langsung memandang pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Begitu
sendu dan redup sekali sinar mata wanita itu, namun demikian tidak menghilangkan
kecantikan wajahnya.
"Aku tidak kenal dirimu, dan kau juga tidak kenal diriku. Kenapa kau
menyelamatkanku?" tanya Lasmi pelan.
"Maaf jika kau merasa tidak senang," ucap pemuda berbaju kulit harimau yang
mengaku bernama Bayu, atau terkenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.
"Oh, tidak. Aku bahkan berterima kasih sekali padamu," buru buru Lasmi berkilah.-"Aku tadi hanya kebetulan saja lewat dan melihatmu dikejar kejar empat orang,"
-jelas Bayu. "Lalu, bagaimana kau menolongku dari...?" Lasmi me mutuskan kalimatnya.
-"Ketika mendengar teriakanmu, aku yakin kau perlu pertolongan. Uhtung tidak
terlambat," sahut Bayu cepat
"Terima kasih," pelan sekali suara Lasmi, hampir tidak terdengar.
Kembali kepala Lasmi tertunduk. Dirayapinya ujung baju yang dikenakannya.
Seketika wanita ini tersadar kalau kain yang dikenakannya tadi agak basah, dan
kain itu juga koyak di punggung.
"Gantilah bajumu!" ujar Bayu sambil memberikan sebuah bungkusan yang berisi
pakaian. "Dari mana kau dapatkan pakaian, itu?"
"Aku beli di Desa Kaung," sahut Bayu.
"Oh...! Jadi Desa Kaung tidak jauh lagi dari sini?"
tanya Lasmi dengan pandangan agak dalam.
"Benar. Hanya sebentar saja dari sini," jawab Bayu sambil memutar tubuh
membelakangi Lasmi.
Lasmi segera menukar pakaian sambil memandangi anaknya yang masih tertidur
lelap. Ditaruhnya kain yang baru dilepasnya di samping dipan bambu. Kemudian dia
beranjak bangkit dan melangkah menghampiri Bayu, lalu duduk di depan pemuda
berbaju kulit harimau itu.
Bayu menawarkan pisang. Lasmi menerima, dan
langsung dikupas. Sedikit pisang ranum itu digigitnya.
Wanita itu memandang ke luar melalui pintu pondok yang terbuka setengah.
Kegelapan di luar sana menandakan kalau hari sudah malam. Lasmi sadar, kalau
dirinya tadi pingsan cukup lama juga. Hanya sebuah pelita kecil dari minyak buah
jarak menerangi pondok ini. Cahayanya yang redup seakan akan tak mampu mengusir
-kegelapan. Terlebih lagi menghangati udara dingin yang menusuk menggigilkan.
"Siapa kau sebenarnya, Kakang..." Oh, maaf. Boleh aku memanggilmu begitu?" Lasmi
membuka suara lagi.
Bayu hanya tersenyum dan mengangguk kecil. "Aku hanya seorang pengembara," ujar
Bayu. "Pondok ini..." Bukankah pondok ini milikmu?"
"Benar. Aku membangunnya tadi siang. Kau dan anakmu perlu tempat untuk berteduh.
Maaf, aku tidak bisa membuat lebih baik lagi dari ini," kata Bayu merendah.
"Ah...," Lasmi mendesah.
"Kau pasti lelah. Istirahatlah," ujar Bayu seraya bangkit berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Lasmi ikut berdiri.
"Menjaga di luar."
Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya ke
luar. Sebentar Lasmi memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu
pandangannya beralih pada bocah kecil yang masih terlelap dalam buaian mimpi.
Lasmi mengayunkan kakinya mendekati pintu yang ditutup Bayu dari luar. Ketika
pintu itu dibuka, tampak Bayu tengah duduk di bawah pohon di depan pondok ini.
Lasmi melangkah keluar dari pondok untuk menghampiri pemuda itu, lalu duduk di
samping nya.-Sementara Bayu hanya melirik saja sedikit. Seonggok api unggun menyaia di depan
mereka, sedikit mengusir udara dingin.
Untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja.
Entah apa yang ada di dalam pikiran masing masing.
-Bayu menambahkan sepotong ranting ke dalam api.
Tampak percikan bunga api membumbung ke angkasa.
Pendekar Pulau Neraka itu berpaling memandang wanita di sebelahnya. Pada saat
itu Lasmi juga tengah memandang padanya. Sejenak mereka saling berpandangan, dan
sama sama menarik napas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
-"Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu, Kakang," kata Lasmi pelan.
"Tidak ada yang perlu kau katakan, sahut Bayu.
Lasmi menatap pemuda berbaju kulit harimau di sampingnya. Digeleng gelengkan
-kepalanya, kemudian napasnya ditarik panjang panjang dan dihembuskan kuat kuat.
- -"Ada yang kau pikirkan?" tanya Bayu.
"Yaaah...," desah Lasmi terasa berat
"Asal kau tidak memikirkan diriku saja," Bayu mencoba berseloroh.
Gurauan Bayu membuat wanita itu tersenyum.
Namun terasa hambar sekali, bahkan nampak dipaksakan. Untung saja Bayu tidak
melihatnya. Dan Lasmi semakin sukar menghilangkan ganjalan yang ada di dalam
dadanya. Dia ndak ingin pemuda yang telah berbaik hati padanya ini ikut terlibat
dalam persoalan yang dihadapi. Persoalan pelik yang mengundang pertaruhan nyawa.
"Justru kau yang menjadi pikiranku, Kakang," tegas Lasmi mendesah.
"Oh..."!" Bayu mengerutkan keningnya.
Pendekar Pulau Neraka itu berpaling, menatap dalam dalam wanita di sampingnya. -Semakin berkerut kening pemuda berbaju kulit harimau itu ketika melihat raut
wajah Lasmi begitu muram terselaput mendung tebal. Perlahan Bayu mengambil
tangan wanita itu, lalu menggenggamnya. Lasmi tertunduk. Dibiarkan saja pemuda
itu menggenggam tangannya. Terasa ada sedikit kehangatan dan kedamaian menyusup
ke dalam hati. Tapi saat itu terlintas bayangan wajah suaminya.
Maka dengan halus Lasmi melepaskan genggaman tangan pemuda tampan itu.
"Tampaknya ada yang menyusahkanmu, Nisanak.
Katakan. Mungkin aku bisa mengurangi beban yang kau pikul," pinta Bayu lembut.
Lasmi tersenyum getir, dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Terlintas
beberapa wajah di depan matatiya. Wajah wajah yang dikenal maupun yang tidak
-dikenalnya. Wajah wajah tua bengis yang tadi siang hampir membuatnya celaka, dan
-telah memisahkannya dari suaminya untuk selama lamanya. Lasmi mendesah panjang
-saat teriintas wajah seorang laki laki tua dengan rambut putih, kumis dan
-jenggot yang juga putih panjang. Perlahan lahan digeleng gelengkan kepalanya,
- -mencoba mengusir bayang bayang yang melintas di depan mata.
-"Kau terlalu lelah, Nisanak. IstirahatJah di dalam,"
kata Bayu lembut.
"Aku akan menemanimu di sini," ujar Lasmi seraya memberi senyum yang dipaksakan.
"Malam terlalu dingin, lagi pula pagi masih terlalu jauh. Kasihan anakmu jika
kau terlalu lelah besok pagi,"
Bayu mencoba mendesak.
Lasmi tidak bisa lagi memaksa kala diingatnya tentang anaknya. Ya..., saat ini
perhatiannya harus ter-tumpah penuh pada anak tunggalnya. Setelah menarik napas
panjang, wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam pondok.
Sementara Bayu hanya memandangi sampai wanita itu lenyap di dalam pondok kecil
yang dibangunnya siang tadi.
*** Pagi pagi sekali Lasmi sudah keluar dari dalam pondok sambil menggendong anaknya
-yang masih tampak mengantuk. Wanita itu tampak agak terkejut begitu melihat Bayu
berdiri tegak di dekat onggokan api unggun. Pendekar Pulau Neraka itu
membalikkan tubuh saat mendengar gerit pintu terbuka. Matanya agak
menyipit melihat Lasmi seakan akan hendak pergi diam-diam. Bayu menghampiri dan
- berdiri sekitar dua langkah lagi di depan pintu pondok, di tempat Lasmi yang
hanya bisa memandangi di ambang pintu.
"Mau ke mana pagi pagi begini?" tanya Bayu.-"Aku harus pergi. Maaf," sahut Lasmi pelan.
"Ke mana kau akan pergi?"
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah
memandangi bola mata jernih di depannya. Perlahan wajahnya tertunduk. Sementara
kepala kecil rebah di dadanya, dengan mata seakan enggan untuk terbuka.
Saat ini memang masih terlalu pagi. Bahkan suasana pun masih terselimut
kegelapan. Hanya sedikit rona merah menyemburat dari pucuk pucuk pepohonan di
-sebelah Timur.
"Maaf, mungkin aku terlalu ingin ikut campur urusanmu," ucap Bayu seraya
melangkah mundur beberapa tindak.
Sementara Lasmi masih tetap diam memandangi
Pendekar Pulau Neraka itu. Terasa sekali ada sesuatu ganjalan di hatinya, namun
terasa sukar diungkapkan.
Sementara Bayu sudah berada sekitar satu batang tombak di depannya. Perlahan
Lasmi melangkah ke luar dari pondok, lalu berhenti di depan Bayu sekitar lima
langkah jaraknya.
"Maafkan aku, Kakang. Bukannya aku tidak berterima kasih. Tapi aku tidak ingin
kau ikut terlibat.
Maaf...," ucap Lasmi perlahan.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. "Anggap saja kita tidak pernah bertemu,
Kakang," kata Lasmi lagi.
"Hm...," hanya gumaman saja yang terlontar dari
bibir Rendekar Pulau Neraka itu.
Sebentar Lasmi memandangi pemuda tampan di
depannya, kemudian memutar tubuhnya dan me
-langkah meninggalkan tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri tegak memandangi
kepergian wanita muda dan cantik yang membawa anak dalam
gendongannya. Bayu masih berdiri memandangi meskipun punggung
Lasmi telah samar samar terselimut kabut. Kemudian wanita itu tak tertihat lagi,
-lenyap di balik bayang-bayang kabut pepohonan. Bayu menarik napas panjang.
Tampaknya memang ada sesuatu pada diri wanita itu.
Sesuatu yang seakan tidak ingin diketahui siapa pun, tapi sangat mengganggu
ketenangannya. Semua itu dapat terbaca dari raut wajah maupun sorot matanya yang
sangat lelah. "Hm.... Kalau dia menuju ke Desa Kaung, pasti akan bertemu orang orang yang -mengejamya," gumam Bayu perlahan. "Rasanya mustahil kalau tidak ada apa apa pada
-dirinya."
Entah kenapa, Bayu jadi bertanya tanya tentang diri wanita yang mengaku bernama
-Lasmi itu. Dan entah kenapa pula, Pendekar Pulau Neraka itu jadi merasa cemas.
Dia sendiri tidak tahu, mengapa mendadak saja kecemasan menyelinap di dalam
hatinya" Slap! Tiba tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu melesat bagai kilat menuju arah
-kepergian Lasmi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah
lenyap ditelan kabut yang masih cukup tebal menyelimuti daerah ini. Kecemasan
Bayu semakin menjadi, kala teringat kalau di Desa Kaung dia telah melihat empat orang laki
-laki tua yang mengejar Lasmi.


Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan jelas sekali kalau wanita itu menuju Desa Kaung.
Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Namun setelah jauh berlari, mendadak saja larinya dihentikan.
Pendekar Pulau Neraka baru tersadar kalau Lasmi hanya berjalan biasa saja, dan
tidak mungkin dalam waktu sebentar sudah bisa berjalan sejauh ini. Tapi
sepanjang jalan yang dilalui, wanita itu tidak dijumpainya.
"Hm...," gumam Bayu pelan.
Rasanya memang tidak mungkin jika hanya seorang wanita biasa bisa secepat ini
menghilang. Apalagi menempuh perjalanan cepat dalam kegelapan kabut yang tebal.
Dan Bayu teringat kata kata empat orang tua yang mengejar Lasmi. Mereka
-sepertinya sudah mengetahui siapa Lasmi itu.
Mengingat itu semua, Bayu mengedarkan pan
-dangannya ke tanah berumput di sekitamya. Kedua matanya menyipit melihat ada
jejak kaki tertera halus.
Jejak yang diyakini masih baru, tapi jelas milik seseorang yang memiliki ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi. Apakah ini jejak jejak kaki Lasmi" Bayu
-jadi bertanya tanya dalam hati. Setelah berpikir beberapa saat, Pendekar Pulau
-Neraka itu kembali melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
*** Sementara itu suasana di Desa Kaung tampak tenang dan damai. Semua penduduk
terlihat sibuk dengan urusannya masing masing. Sepanjang jalan desa dipenuhi
- pejalan kaki maupun penunggang kuda. Di antara orang orang yang memadati jalan -tanah berdebu itu, terlihat seorang wanita mengenakan baju lusuh berdebu tengah
berjalan agak tertatih menggendong anaknya.
Sebagian wajahnya hampir tertutup kerudung kain berwarna biru gelap. Ayunan
kakinya cepat sambil memeluk anak laki laki yang berusia sekitar lima tahun
-erat erat, seakan akan takut kalau anak itu lepas dari pelukan. Tak ada seorang
- -pun yang memperhatikan, karena semua orang tengah disibukkan oleh pekerjaan
masing masing. -Wanita itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari kayu tebal. Pintu
yang tingginya sekitar dua tombak dan sangat besar itu tertutup rapat. Kepalanya
menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu menatap pintu yang ternyata sebuah gerbang
depan. Dibetulkan letak kerudung yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya.
Kemudian dibetulkan letak gendongan pada anak laki laki kecil yang kelihatan
-tenang menyembunyikan kepalanya di dada.
"Bu...."
"Mudah mudahan Kakek bersedia menerimamu, Nak," kata wanita itu perlahan.
-Perlahan sekali kakinya terayun mehdekati pintu besar yang terkunci rapat.
Tangan yang kecil dan halus mengetuk pintu itu. Kembali kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri, seakan akan takut ada yang
-melihatnya. Tak lama kemudian pintu kayu itu terbuka sedikit.
Suara gerit engsel yang berkarat membuat sedikit wajah yang terlihat di balik
kerudung tampak pucat. Sebuah kepala dari seorang laki laki muda yang cukup
-tampan menyembul ke luar.
"Mau apa?" tanya laki laki itu agak kasar.
-"Aku ingin bertemu Datuk Maringgih," sahut wanita itu.
"Ada keperluan apa, dan siapa kau ini?" tanya laki-laki itu lagi seraya merayapi
wanita yang berdiri di depan pintu.
Tapi belum juga ada jawaban, tiba tiba laki laki itu terbeliak melihat anak
- -laki laki kecil dalam pelukan wanita itu. Buru buru dibukanya pintu lebar lebar,
- - -lalu dirinya keluar. Kemudian ditutup pintunya lagi setelah menoleh sebentar ke
belakang. "Ada apa kau ke sini, Kak?" tanya laki laki itu setengah berbisik, seakan takut
-terdengar orang lain.
"Aku ingin menitipkan anakku, Parita," sahut wanita itu seraya melepaskan
kerudung yang menutupi wajahnya.
Tampak di balik kerudung itu tersembunyi seraut wajah cantik, milik seorang
wanita bernama Lasmi.
Sementara pemuda yang dipanggil Parita menarik tangan Lasmi dan mengajaknya ke
tepi tembok yang agak tersembunyi. Lasmi menurut saja sambil menoleh ke kanan
dan ke kiri. "Mana Kakang Sundrata?" tanya Parita masih dengan suara setengah berbisik.
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah
menundukkan kepala. Tangannya yang berjari lentik halus mengelus elus rambut -bocah kecil di dalam gendongan. Parita meraih tangan wanita itu dan
menggenggamnya erat erat. Lasmi mengangkat kepala, menatap pemuda itu langsung
-pada titik bola matanya.
"Datuk Maringgih sedang bersemadi. Kalau mau, kau bisa menunggu di pondokku,"
usul Parita pelan.
"Terima kasih, aku tidak ingin merepotkanmu," ujar Lasmi, agak tersendat
suaranya. "Sama sekali tidak, Kak. Bahkan aku senang bisa melihatmu kembali. Aku ingin
mendengar ceritamu.
Ayo...?" Lasmi ingin menolak, tapi Parita sudah lebih dulu menarik tangannya. Mereka
kemudian berjalan
bersisian menyusuri tembok pagar yang tinggi dan tebal. Lasmi kembali menutupi
wajahnya dengan kerudung. Hanya bagian mata dan sedikit hidung bagian atas yang
terlihat Sementara anaknya kelihatan tenang dalam gendongan.
Tiba di perempatan jalan, mereka berbelok ke kanan dan terus menyusuri jalan
kecil berdebu yang berlubang di beberapa bagian. Jalan ini agak sepi, tidak
seramai jalan utama desa yang selalu dipenuhi orang. Tak lama kemudian mereka
sampai di depan sebuah pondok kecil, namun kelihatan rapi dan bersih.
Lasmi memandangi pondok itu sesaat. Diayunkan kakinya perlahan mendekati pondok.
Sedangkan Parita sudah lebih dahulu sampai. Dibukanya pintu pondok, dan kemudian
menunggu Lasmi di ambang pintu.
"Ayo masuk, Kak," ajak Parita.
Lasmi membuka kembali kerudungnya. Bibirnya
tersenyum, lalu masuk ke dalam pondok. Sebentar dipandangi bagian dalam pondok
ini. Kemudian tubuhnya berbalik dan menatap Parita yang masih berdiri di ambang
pintu. "Pondok ini tidak pernah berubah," kata Lasmi dengan mata agak berkaca kaca.
-"Aku tidak ingin merubahnya, Kak," sahut Parita.
"Kenapa?"
"Di sini aku bisa melepas kerinduanku padamu."
Lasmi mendesah perlahan. Hatinya trenyuh mendengar kata kata pemuda itu. Kepalanya menunduk memandangi wajah anaknya. -Ternyata bocah itu sudah tertidur. Mungkin kelelahan berada di dalam
gendongan seharian penuh. Parita mengetahui. Maka diambilnya anak itu dan
dibawanya ke sebuah kamar.
Lasmi menghenyakkan tubuhnya di kursi. Tak lama berselang Parita muncul lagi.
"Kau masih tetap sendiri, Parita?" tanya Lasmi.
"Ya," sahut Parita sambil duduk di depan wanita itu.
"Kenapa tidak menikah saja?"
Parita tidak menjawab, tapi malah memandangi wajah cantik di depannya. Dan Lasmi
jadi menggigit bibir sendiri. Hatinya menyesal telah bertanya masalah pribadi.
Dia tahu, kenapa Parita tidak ingin menikah dan lebih senang hidup sendiri
sambil mengabdikan diri di Padepokan Bambu Kuning.
Bagi murid murid Padepokan Bambu Kuning yang sudah mencapai tingkat tinggi
-memang diijinkan untuk mempunyai tempat tinggal di luar padepokan, atau
mengembara mencari pengalaman sambil menambah ilmu. Semua murid padepokan memang
ditanamkan untuk menimba ilmu di mana saja, bukan hanya di dalam padepokan. Itulah
keistimewaan Padepokan Bambu Kuning yang tidak pernah membedakan ilmu apa pun.
Tidak pernah memandang, apakah itu ilmu aliran hitam atau putih. Bagi padepokan
itu, semua aliran ilmu kedigdayaan adalah sama. Yang penting tergantung dari
yang menggunakannya.
"Istirahatlah dulu, Kak. Aku akan kembali ke padepokan, karena harus menjaga
agar semadi Datuk Maringgih tidak terganggu," jelas Parita seraya bangkit
berdiri. "Kau akan mengatakan kedatanganku, Parita?" tanya Lasmi.
"Tidak, jika kau tidak ingin," sahut Parita.
"Kapan Datuk Maringgih selesai bersemadi?"
"Mungkin dua atau tiga hari lagi."
Lasmi tidak bertanya lagi, dan hanya memandangi saja pemuda itu. Sedangkan
Parita hanya bisa membalas. Melihat keletihan dan kelesuan pada wajah Lasmi,
pemuda itu merasa iba. Tak sedikit pun dihiraukan segala yang pernah terjadi di
masa lalu antara mereka berdua. Dan Parita memang tidak ingin mengingatnya lagi.
Tapi bagaimanapun juga, dia tidak bisa melupakan Lasmi.
"Parita...," pelan suara Lasmi.
"Ada apa?" Parita menghampiri dan menarik kursi, kemudian duduk di depan wanita
itu. "Kenapa kau tetap saja memanggilku kakak?" tanya Lasmi.
"Kau kakakku, Kak Lasmi. Sudah sepantasnya aku memanggilmu begitu. Bukankah kau
sendiri yang mengatakannya padaku?" Parita mengingatkan.
"Tapi..., ah. Maafkan aku, Parita," lirih sekali suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kak. Yang sudah terjadi biarlah, tak perlu
diingat lagi," ujar Parita lembut.
"Kau baik sekali, Parita. Tidak pantas rasanya aku menerima kebaikanmu seperti
ini," semakin pelan suara Lasmi, dan terdengar agak tersendat.
"Sudahlah, Kak. Yang penting sekarang ini, istirahat-lah. Kau pasti letih.
Lihat, bajumu kotor begini, dan..., bau," gurau Parita.
Lasmi tersenyum juga mendengar gurauan pemuda itu. Namun hanya senyuman tipis,
dan sebentar saja.
Kini wajahnya sudah kembali mendung. Memang, rasanya sejak kemarin dia belum
bertemu air. Badannya begitu kotor dan bau sekali, mirip gembel jalanan.
Parita akan bangkit berdiri, tapi Lasmi lebih cepat lagi menahan. Digenggamnya
tangan pemuda itu, dan ditatapnya dalam dalam. Parita membalas menggenggam -tangan itu, dan menepuk nepuk dengan lembut. Diberikannya sebuah senyuman, tapi
-sungguh sulit dimengerti apa arti senyumannya itu.
"Aku harus kembali dulu. Tidak enak meninggalkan tugas pada saat Datuk Maringgih
sedang bersemadi,"
pamit Parita seraya bangkit berdiri.
"Kau melatih sekarang, Parita?"
"Ya, coba coba saja," sahut Parita nyengir.
-Lasmi tersenyum, dan membiarkan saja Parita pergi meninggalkan pondok ini. Lasmi
mengantarnya sampai di ambang pintu, lalu bergegas menutup pintu setelah
Parita lenyap dari pandangan. Wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar.
Dipandanginya bocah laki laki yang tampak lelap dalam tidumya. Tersungging
-sebuah senyuman kecil, kemudian tubuhnya berbalik meninggalkan kamar itu.
*** 3 Baru saja Parita melewati pintu gerbang Padepokan Bambu Kuning ketika seorang
laki laki muda berusia belasan tahun menghampiri. Dia membungkukkan-badan memberi hormat dengan tangan terkepal di depan dada. Parita tahu, kalau
pemuda itu adalah murid padepokan ini.
"Ada apa?" tanya Parita.
"Guru Datuk Maringgih memanggil, katanya ingin bertemu di ruangan semadi," sahut
pemuda belasan tahun itu.
Parita mengerutkan keningnya, tapi bergegas juga melangkah menuju bilik semadi
yang berada di samping kanan balai latihan utama. Agak heran juga hatinya,
karena gurunya ingin bertemu di ruangan semadi.
Belum pernah hal ini terjadi, apalagi di saat Guru Besar Padepokan Bambu Kuning
itu tengah melakukan
semadi. Parita berhenti sebentar di depan pintu bilik semadi.
Hatinya masih bertanya tanya tentang panggilan mendadak ini. Panggilan yang
-terasa amat aneh dan sukar dimengerti. Tapi akhirnya Parita mengetuk juga pintu
yang tertutup itu.
"Masuk...," terdengar suara berat dari dalam.
Parita membuka pintu dan melangkah masuk.
Ruangan yang berukuran tidak terlalu besar ini terasa pengap karena dipenuhi
kepulan asap dari pedupaan.
Tampak di tengah tengah ruangan duduk bersila seorang laki laki berjubah putih
- -dengan ikat kepala
putih juga. Seluruh rambut, jenggot, dan kumisnya yang panjang berwarna putih.
Parita membungkuk sambil merapatkan kedua tangan terkepal di depan dada.
"Mendekatlah, duduk di dekatku," kata laki laki tua itu.
-Parita mendekat dan duduk bersila di depan laki laki tua berusia hampir seratus
-tahun. Tubuhnya masih kelihatan gagah dengan sinar mata tajam, mengandung daya
pancar kewibawaan yang sangat besar.
"Ada apa Datuk memanggilku?" tanya Parita dengan sikap penuh rasa hormat.
"Hm...," Datuk Maringgih hanya menggumam kecil sambil mengelus elus jenggotnya
-yang panjang sampai menutupi leher.
Sementara Parita hanya duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala, menekuri
lantai dingin bagai berada di puncak gunung yang tertinggi di dunia.
"Parita. Kuminta, bawalah Lasmi menemuiku di ruang pribadiku," kata Datuk
Maringgih. Parita terkejut bukan main, tapi tidak berani mengangkat kepalanya. Bahkan malah
semakin dalam tertunduk. Sungguh tidak disangka kalau Datuk Maringgih sudah
mengetahui kedatangan Lasmi. Di balik rasa keterkejutannya, Parita juga kagum
luar biasa. Dalam keadaan terkurung di dalam bilik semadi, ternyata laki laki tua ini bisa -mengetahui sekelilingnya.
Itu merupakan suatu kenyataan kalau Datuk Maringgih benar benar sudah sempurna
-dalam kemurnian jiwa dan raganya. Laki laki tua ini bagaikan manusia setengah
-dewa. "Kau terkejut, Parita?"
"Oh, Datuk...," Parita tak bisa berkata kata lagi.
-"Aku bisa memahami, kenapa Lasmi kau bawa ke pondokmu. Aku tidak menyalahkan,
tapi malah kagum terhadap tindakanmu. Pergilah, dan bawa Lasmi menemuiku," ujar
Datuk Maringgih lagi.
"Segera, Datuk," sahut Parita.
Bergegas Parita menjura memberi hormat, kemudian
keluar dari bilik semadi itu. Perlahan ditutup kembali pintunya. Tapi belum juga
melangkah, mendadak ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Parita kembali membuka
pintu bilik semadi. Seketika matanya terbeliak lebar melihat ruangan itu sudah
kosong, tak ada lagi Datuk Maringgih di dalam.
"Oh...," desah Parita kagum.
Bergegas laki laki muda itu menutup pintu bilik semadi, kemudian melangkah cepat
-meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya lebar dan bergegas sekali.
Tidak dihiraukan lagi beberapa murid padepokan ini menjura memberi hormat
padanya. *** Ragu ragu Lasmi menaiki undakan menuju ruangan pribadi Guru Besar Padepokan
-Bambu Kuning. Sementara Parita yang menggendong Wijaya mengikuti dari belakang. Lasmi berhenti
di depan pintu ruangan pribadi Datuk Maringgih. Kepalanya menoleh, memandang
Parita yang berada di belakang.
"Ayo, Datuk Maringgih ingin bertemu denganmu,"
desak Parita. "Aku takut..," pelan suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Masuklah...!"
terdengar suara dari dalam.
Lasmi memandang pemuda di belakangnya. Sedang-kan Parita hanya menggerakkan kepala, menyuruh wanita itu masuk. Dengan tangan
gemetaran, Lasmi mendorong pintu itu, dan mengayunkan kakinya masuk.
Sementara Parita masih mengikuti dari belakang. Lasmi tak mampu lagi mengangkat
kepalanya. Apalagi untuk memandang laki laki tua itu yang duduk di sebuah dipan
-kayu beralaskan permadani tebal berwarna hijau daun.
Lasmi duduk bersimpuh di lantai. Parita mengikuti, duduk bersila di sampingnya.
"Kau datang sendiri, Lasmi?" terdengar berat dan berwibawa sekali nada suara
Datuk Maringgih.
"Berdua dengan anakku," jawab Lasmi pelan tanpa mengangkat kepalanya.
"Ini Wijaya, anaknya, Datuk," celetuk Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki laki di pangkuan Parita,
-lalu kembali menatap Lasmi yang duduk dengan kepala tertunduk.
"Apa yang kau harapkan di sini?" tanya Datuk Maringgih lagi.
Lasmi tak bisa menjawab. Sukar rasanya menjawab pertanyaan itu. Dia sediri tidak


Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu, kenapa datang lagi ke tempat ini, setelah...
"Kau sudah bertekad untuk menjalani hidup bersama laki laki pilihanmu sendiri.
-Sedikit pun kau tidak suka mendengar nasihatku. Maka dengan berat hati kululuskan permintaanmu, karena aku tahu kau tidak bisa lepas dari laki laki yang
-kau cintai...," terasa berat sekali nada suara Datuk Maringgih.
"Ini anaknya Lasmi, Datuk," jelas Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki laki di pangkuan Parita.
-"Apa yang kau harapkan di sini, Lasmi" Kau kan sudah bertekad menjalani hidup
bersama laki laki pilihanmu sendiri..," tegur Datuk itu pelan.
-Sedangkan Lasmi hanya menunduk dan diam membisu.
"Aku bukannya tidak menyukai kehidupan seorang pendekar. Aku dulu juga seorang
pendekar, dan sekarang melahirkan pendekar pendekar muda. Tapi aku tahu betul,
-siapa itu Sundrata," sambung Datuk Maringgih.
'Tapi Kakang Sundrata sangat mencintaiku, Ayah,"
sergah Lasmi seraya mengangkat kepalanya.
"Aku tahu, dan juga telah mendengar kau hidup bahagia sampai anakmu lahir. Terus
terang, aku ikut bahagia saat mendengar kelahiran anak laki lakimu."
-"Tapi, kenapa Ayah tidak datang untuk melihat?"
"Itulah yang sukar kulakukan, Lasmi. Meskipun Sundrata seorang pendekar yang
berjalan di jalur lurus, tapi aku tahu siapa orang tuanya."
"Ayah...."
"Lasmi, aku memintamu datang ke sini bukan untuk berdebat!" potong Datuk
Maringgih cepat.
Lasmi langsung terdiam, dan kepalanya kembali tertunduk. Terdengar desahan napas
panjang dari Datuk Maringgih. Beberapa saat ruangan yang cukup besar itu sunyi,
tak ada yang mengeluarkan suara.
"Di mana suamimu?" tanya Datuk Maringgih setelah beberapa saat terdiam.
"Dia..., dia...," Lasmi tak sanggup meneruskan.
"Suamimu tewas, bukan?" serobot Datuk Maringgih.
"Ayah sudah tahu..."!" Lasmi terkejut
"Aku sudah menduga semua ini akan terjadi. Dan itu tak mungkin bisa dihindari
lagi. Bagaimanapun juga, aku akan terlibat. Bahkan seluruh penghuni Padepokan
Bambu Kuning. Mungkin juga seluruh penduduk Desa Kaung akan terlibat," agak
dalam nada suara Datuk Maringgih.
Lasmi kembali diam membisu.
"Jika kau suka menuruti nasihatku, tak mungkin akan terjadi. Yaaah.... Semuanya
sudah terjadi, tak perlu lagi disesali," sambung Datuk Maringgih pelan.
"Maafkan Lasmi, Ayah," ucap Lasmi lirih.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Apa yang sudah terjadi tidak akan terulang
lagi. Apa pun yang kau lakukan, tetap menjadi tanggung jawabku."
"Ayah...," Lasmi tak kuasa lagi membendung air matanya.
"Jangan menangis, Lasmi. Aku tidak suka melihatmu menangis."
Sekuat tenaga Lasmi mencoba menahan tangisnya.
Dia tahu kalau ayahnya tidak senang mendengar tangisannya. Bahkan ketika ibunya
meninggal pun, ayahnya melarang untuk menangis. Lasmi ingat betul, saat air
matanya baru bisa ditumpahkan di dalam kamar. Sekarang ini dia ingin menangis,
tapi tak mungkin dilakukan di depan ayahnya. Lasmi merasa begitu berdosa, telah
mengabaikan segala nasihat dan kata kata laki laki tua yang sangat dihormati - -ini. Bahkan melebihi rasa hormat yang ada pada dirinya sendiri.
Sekarang, setelah dihancurkan dan disakiti hatinya, laki laki tua ini masih mau
-menerima dengan tangan terbuka dan hati lapang. Sungguh mulia hati Datuk
Maringgih. Rasanya sukar bagi Lasmi untuk membalas kemuliaan yang dimiliki
ayahnya. Yaaah..., penyesalan memang tidak ada gunanya lagi. Apa pun yang telah
terjadi, hatinya harus tegar menghadapinya. Itu yang selalu dikatakan Datuk
Maringgih padanya.
"Pergilah ke kamarmu. Aku tidak pernah merubahnya sedikit pun," kata Datuk
Maringgih. Lasmi mengambil anaknya dari pangkuan Parita.
Rasanya sulit untuk mengucapkan sesuatu, bahkan berbuat sesuatu pun tak sanggup
lagi. Kini yang bisa dilakukan hanyalah menuruti kata kata ayahnya, tanpa mampu -membantah lagi.
"Lasmi, siapa nama anakmu?" tanya Datuk Maringgih sebelum Lasmi keluar dari
ruangan ini. "Wijaya," sahut Lasmi.
"Wijaya...," gumam Datuk Maringgih pelan.
Datuk Maringgih bangkit dari duduknya, lalu
melangkah menghampiri Lasmi. Sebentar ditatapnya anak laki laki di dalam
-gendongan wanita itu.
Tangannya terulur dan membelai kepala bocah itu.
Hampir Lasmi meledak tangisnya, tapi masih mampu menahannya. Sunguh tidak diduga
kalau ayahnya akan menerima Wijaya dengan penuh kasih.
Dan Lasmi semakin sukar menguasai perasaan
hatinya ketika laki tua itu mencium ubun ubun kepala anaknya. Dia hanya bisa
-menggigit gigit bibirnya sambil menahan perasaan yang bercampur aduk dalam dada.
-"Pergilah sebelum air matamu tumpah," kata Datuk
Maringgih, agak tertahan suaranya.
Sebentar Lasmi menatap ayahnya. Hampir tidak dipercaya kalau laki laki tua itu
-dapat berkata seperti tadi. Ini merupakan sesuatu yang belum pernah didengar.
Datuk Maringgih seakan mengijinkannya menangis, tapi tetap tidak ingin di
hadapannya. Bergegas Lasmi berjalan meninggalkan ruangan itu.
Sementara Datuk Maringgih memandangi sampai
anaknya lenyap di balik pintu. Laki laki tua berjubah putih itu menarik napas
-dalam dalam. Rupanya Lasmi sudah tidak kuasa membendung tangisnya yang
-langsung pecah begitu sampai di luar ruang pribadi.
Meskipun tertahan, tapi isak tangis wanita itu sempat juga terdengar. Datuk
Maringgih berpaling memandang Parita yang masih duduk bersila dengan kepala
tertunduk. Laki laki tua itu kembali duduk di tempatnya semula.
-"Mereka tahu Lasmi ada di sini, Parita?" tanya Datuk Maringgih setelah menarik
napas panjang. "Tidak, Datuk," sahut Parita tetap tertunduk.
"Cepat atau lambat, mereka pasti akan tahu juga,"
desah Datuk Maringgih dalam.
Perlahan lahan - Parita mengangkat kepalanya. Hatinya sedikit tertegun melihat wajah laki laki tua itu murung. Bahkan kedua -bola matanya kelihatan berkaca-kaca. Belum pernah Parita melihat gurunya seperti
ini. Biasanya Datuk Maringgih tegar dalam menghadapi apa pun. Bahkan ketika Lasmi
meninggalkannya bersama Sundrata, laki laki tua ini tidak menampakkan kesedihan.
-Apalagi kemurkaan. Raut wajahnya tetap datar. Tapi sekarang ini.... Belum pernah
Parita melihat raut wajah Datuk Maringgih begitu mendung.
"Parita, kuminta kau menjaga Lasmi. Jika terjadi sesuatu, aku berharap agar kau
bisa menjaga keselamatannya. Aku percayakan Lasmi dan anaknya padamu," pinta
Datuk Maringgih.
"Baik, Datuk," sahut Parita.
"Hm...."
*** Pagi yang cerah ini memang enak untuk berjalan-jalan menghirup udara segar.
Kesempatan seperti ini memang sangat jarang bisa dinikmati. Dan Lasmi tidak akan
menyia nyiakan kesempatan indah ini. Anaknya dituntun,
-berjalan jalan
-mengelilingi bangunan Padepokan Bambu Kuning.
Di sini, di dalam lingkungan pagar tembok ini, Lasmi dilahirkan dan dibesarkan.
Hanya sekali dalam satu pekan dia bisa keluar. Itu pun tidak bisa keluar dari
Desa Kaung. Lasmi benar benar menikmati udara segar di pagi hari ini sambil
-mengenang saat saat ketika masih tinggal di sini, di lingkungan yang terpisah
-dari dunia luar. Padahal Padepokan Bambu Kuning berdiri di tengah tengah sebuah
-desa yang besar dan ramai.
"Pagi yang indah, Lasmi...."
"Oh...!" Lasmi tersentak ketika sebuah suara lembut menyapanya.
Lasmi tersenyum saat Parita tahu tahu sudah berada dekat di sampingnya. Pemuda
-itu menghampiri dan mengangkat Wijaya, lalu mendukungnya di pundak.
Bocah kecil itu tampak kesenangan berada di pundak
Parita. Sedangkan Lasmi hanya tersenyum saja. Cantik sekali wajahnya pagi ini.
Begitu segar, bagai bunga yang tumbuh bermekaran di sekelilmg bangunan padepokan
ini. "Aku kira kau sudah melupakan padepokan ini, Lasmi," ujar Parita seraya
mengayunkan kakinya mengikuti langkah kaki wanita di sampingnya.
"Aku tidak akan pernah melupakannya, Parita. Eh...!
Kau tidak memanggilku kakak lagi, Parita?"
"Kau yang memintaku begitu, bukan" Aku tidak yakin kalau kau cepat lupa. Baru
semalam...."
"Tidak. Aku memang senang kau tidak memanggilku kakak lagi. Gatal rasanya di
telinga." "Aku akan membiasakannya meskipun terasa janggal di lidah."
"Ah! Kau tetap saja seperti dulu, Parita. Senang bergurau."
"Untuk menghilangkan ketegangan."
"Ketegangan..." Kau merasa tegang di sini, Parita?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Kuakui, ketegangan itu sering muncul sejak kau pergi."
Lasmi menatap pemuda di sampingnya, kemudian kembali memandang ke depan. Dia
tahu kalau sejak dulu Parita menyukainya Tapi Lasmi tidak pernah punya perasaan
lain pada pemuda ini, selain perasaan persaudaraan. Dan rupanya Parita cukup
rapi menyimpan ketidaksenangannya pada Sundrata.
"Aku lihat kau sudah pantas memiliki seorang gadis, Parita," kata Lasmi.
Parita malah tertawa. Mungkin perkataan Lasmi barusan dianggap lucu. Sedangkan
Lasmi hanya tersenyum saja. Disadari begitu bodoh. Meskipun Parita sudah pantas
memiliki kekasih, tapi tidak akan mungkin pemuda ini mencari gadis lain. Lasmi
ingat suatu malam, ketika hendak meninggalkan Padepokan Bambu Kuning ini bersama
Sundrata. Parita berterus terang kalau dirinya tidak akan mencari gadis lain,
dan tetap akan menunggu Lasmi dalam keadaan apa pun juga.
Waktu itu Lasmi menanggapinya dengan tawa saja.
Keterusterangan Parita dianggap sebagai gurauan yang sangat menggelitik waktu
itu. Tapi rupanya Parita memang bukan bergurau. Kata katanya itu dibuktikan -hingga sekarang.
"Lasmi...," terdengar serius nada suara Parita.
Lasmi menggumam kecil, lalu menoleh menatap
pemuda di sampingnya. Mereka terus berjalan perlahan lahan sambil menikmati -udara segar pagi ini.
"Apa kau benar benar tidak mengenal orang orang yang membunuh suamimu?" tanya
- -Parita, serius nada suaranya.
"Tidak," sahut Lasmi, agak berkerut keningnya.
"Kenapa kau tanyakan itu, Parita?"
"Tidak apa apa, aku hanya ingin tahu saja. Barangkali saja bisa bertemu mereka
-dan bisa membalas kematian suamimu," sahut Parita ringan.
"Untuk apa" Ayah pasti tidak akan merestui jika kau membalas
dendam, Parita. Dendam bukanlah penyelesaian terbaik. Bahkan sebaliknya akan melahirkan dendam baru yang berkepanjangan dan tidak akan pernah mendapatkan
Duri Bunga Ju 9 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Tiga Naga Sakti 18

Cari Blog Ini