Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian Bagian 2
Tiga kali berturut-turut tangan pemuda itu
mengeluarkan larikan sinar pelangi, menghantam bebatuan gunung Kerinci yang seketika itu
pula runtuh menjadi puing-puing. Melihat hasil
yang telah dicapainya, pemuda berkulit kuning
itu sesaat terpaku diam. Dari jarak yang agak
jauh dua orang memandang ke arahnya dengan
pandangan mata kagum. Salah seorang dari mereka adalah seorang kakek tua renta berpakaian
serba putih dan berjanggut serta rambut putih
semua, dialah Daeng Dato Kumbuh. Seorang lagi
adalah seorang wanita setengah baya yang wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia adalah
orang Cina, ia tak lain putri Nancin Cu ibu dari
pemuda itu. Walau usianya telah tua, namun kecantikan wajah Nancin Cu jelas masih tergambar
di wajahnya. Matanya yang lentik, memandang
penuh rasa bangga pada sang anak.
Melihat kedua orang tua itu datang menghampiri, pemuda yang tadi latihan segera hampiri
mereka. Dengan penuh hormat sang pemuda sujud di kaki dua orang tua itu, dan berkata: "Ibu dan kakek, terimalah sembah
ananda." "Dengan do'a kakek ucapkan sejahtera untukmu," jawab Daeng Dato Kumbuh. Dibelainya
rambut pemuda itu dengan kasih. "Daeng Surih, kau kini telah dewasa. Ilmumu
kakek rasa cukup,
maka kakek tak segan-segan memberi nama pada
mu Daeng yang berarti orang besar atau pimpinan kaum. Apa yang hendak engkau lakukan setelah semuanya kau miliki, Cucuku?"
"Ah, Kek. Surih belum memikirkan untuk
berbuat apa. Surih masih ingin berbakti pada kakek dan bunda, bolehkan, Kek?"
"Boleh, kenapa tidak. Kau adalah cucuku,
jadi kau adalah warga Daeng," jawab sang kakek setelah sesaat memandang pada
Nancin Cu yang tersenyum mengangguk. "Tapi, kakek rasa apakah kau tidak ingin menambah pengalamanmu?"
Daeng Surih terdiam, memandang lekatlekat pada wajah ibunya yang masih tersenyum.
Dalam hati Daeng Surih terbersit beberapa macam pertanyaan manakala memandang pada
ibunya. Wajah ibunya memang mirip dengan wajahnya. Tapi yang belum Daeng Surih mengerti,
siapakah ayahnya" Ya, pertanyaan-pertanyaan
itulah yang selalu menggaung dalam lubuk hatinya. Sejak kecil ia tak mengetahui siapa adanya sang ayah. Ia dididik dan
dibesarkan oleh ibunya
bersama Daeng Dato Kumbuh yang sudah dianggap kakeknya sendiri. Perlahan-lahan Daeng Surih bangkit dari jongkoknya. Dihampiri sang ibu
yang tersenyum. Niatnya untuk bertanya pada
sang ibu siapa adanya ayahnya dan di mana sekarang, telah membulat.
"Maaf, Bunda. Bolehkah Surih bertanya?"
"Oh, tanya apa, Anakku?"
Daeng Surih kembali terdiam tak menjawab. Kembali ia memandang wajah sang ibu, sesaat kemudian. "Ibu, kalau boleh Surih tahu, siapa ayah Surih sebenarnya" Surih
selalu bertanya
pada diri Surih sendiri, tentang siapa sebenarnya ayah Surih. Dapatkah ibu
menjawabnya?"
Mendengar pertanyaan sang anak, seketika
air mata Nancin Cu berlinang. Ia kembali teringat pada kekasihnya Amangkurat
yang entah hidup
atau mati. Bayangan wajah Amangkurat, sebenarnya tertempel lekat pada wajah anaknya. Maka itu, kalau ia melihat wajah sang anak kembali
Nancin Cu diingatkan pada Amangkurat. Amangkurat yang tampan dan telah mampu merebut hatinya hingga ia nekad datang ke Nusantara untuk
menemuinya sampai terlunta-lunta. Namun kebahagiaan mereka seketika lenyap, manakala Datuk Raja Beracun yang berambisi untuk menjadi
suaminya telah menghancurkan kebahagiaan itu.
Kini sudah dua puluh satu tahun lamanya
Amangkurat tak muncul, jadi jelasnya Amangkurat telah tiada. Namun Nancin Cu tak berani untuk mempercayai kata hatinya, ia masih menyangka kalau Amangkurat mungkin masih hidup hanya saja tak tahu di mana sekarang.
"Kenapa ibu menangis?"
Tersentak Nancin Cu seketika, mana kala
tiba-tiba suara Daeng Surih memecahkan lamunannya. Dengan tangan mengusap air mata yang
meleleh Nancin Cu akhirnya menjawab:
"Anakku, kalau kau ingin tahu siapa
ayahmu, ibu akan memberitahukannya. Tapi bila
kau tanyakan di mana ayahmu, sungguh ibu tak
tahu di mana ayahmu sekarang. Entah hidup
atau mati."
"Kenapa bisa begitu, Bu?" Daeng Surih seketika tersentak mendengar ucapan ibunya
yang dirasa kurang dapat diterima. Ibunya selalu berusaha menutup-nutupi apa yang sekiranya ingin
Daeng Surih ketahui.
"Surih anakku, ayahmu adalah seorang raja. Dia bernama Amangkurat, yaitu raja kerajaan
Mataram. Dulu ayahmu datang ke pulau ini untuk mengajak ibu ke pulau Jawa. Waktu itu ibu
dalam sekapan Datuk Raja Beracun, yang ingin
memaksa ibu untuk menjadi istrinya. Karena ibu
menolak, rupanya Datuk Raja Beracun marah.
Maka sejak saat itu ibu disekap...." Nancin Cu dengan suara bergetar
menceritakan segala apa
yang pernah dialaminya selama di pulau Andalas
itu. Dari pertama datang dari Cina, sampai akhirnya ia harus berpisah dengan Amangkurat yang
entah mati atau hidup di tangan Datuk Raja Beracun. "Begitulah, Anakku. Ibu sendiri tak tahu hidup atau matikah ayahmu mana
kala bertarung melawan Datuk Raja Beracun, sebab ibu tiba-tiba
jatuh pingsan dan tahu-tahu telah berada di rumah kakekmu ini."
"Siapa sebenarnya Datuk Raja Beracun itu,
Kek?" Ditanya seperti itu oleh Daeng Surih, Daeng Dato Kumbuh tersenyum.
Ditariknya napas sesaat, lalu dihembuskannya perlahan sepertinya ingin membuang segala kepedihan cerita
manusia di sekelilingnya. Dengan tangan memegang pundak Daeng Surih, serta tangan kiri memegang sebuah seruling, Daeng Dato Kumbuh
akhirnya berkata: "Datuk Raja Berbisa adalah tokoh silat aliran sesat yang
ilmunya sangat tinggi.
Ayahmu yang terkenal dengan sebutan Panca Leluhur Sakti dapat dikalahkan, apalagi dengan
aku. Karena aku merasa tak akan mampu menghadapinya, aku pun akhirnya lebih baik menyelamatkan ibumu dari kekejaman Datuk Raja Beracun. Kakek sempat menyaksikan tubuh ayahmu jatuh ke bawah jurang akibat kelicikan Datuk
Raja Beracun. Sebenarnya ayahmu tak akan kalah oleh Datuk Iblis itu kalau saja ayahmu waspada. Datuk itu sangat licik dan kejam. Ia berilmu tinggi karena bersekutu
dengan siluman harimau
dengan imbalan setiap hari Minggu Manis harus
menyediakan darah gadis untuk iblis tersebut.
Kalau kau ingin menuntut balas atas kematian
ayahmu, lebih baik kau carilah seorang pendekar
yang kini namanya tengah membumbung tinggi.
Pendekar itu seusia denganmu. Ilmunya sangat
tinggi, dengan senjatanya yang sangat aneh karena dapat mengeluarkan darah. Karena kehebatan
senjata tersebut, pendekar muda itu bergelar
Pendekar Pedang Siluman Darah. Hanya pendekar itulah yang mampu membinasakan Datuk Raja Berbisa."
"Kenapa begitu, Kek?" tanya Daeng Surih tak mengerti.
Daeng Dato Kumbuh kembali tersenyum,
lalu kemudian. "Ya, karena Datuk Raja Beracun adalah
anggota siluman, maka hanya orang-orang siluman sajalah yang mampu mengalahkannya. Itu
pun hanya pilihan saja seperti Pendekar Pedang
Siluman Darah. Kenapa kakek mengatakannya
demikian, sebab menurut hemat kakek hanya
pendekar itulah yang ilmu kadigjayaannya berada
di atas Datuk Raja Beracun atau paling tidak setingkat." "Di mana aku harus menemui pendekar
itu, Kek?" tanya Daeng Surih penuh perhatian.
Sang kakek atau Daeng Dato Kumbuh anggukanggukkan kepalanya sesaat. Dibimbingnya
Daeng Surih berjalan, diiringi oleh Nancin Cu
yang melangkah di belakang ayah angkatnya dan
anaknya. Sambil berjalan menuju ke gubug tempat mereka berteduh Daeng Dato Kumbuh kembali berkata. "Pendekar muda itu tak tentu rimbanya,
sebab dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Dia selalu berkelana semau kakinya berjalan. Kadang dia ada di pulau
Jawa, kadang pula dia ada di Kalimantan, bisa
juga ada di sini. Namun asal mulanya pendekar
muda itu, tak lain dari pada kerajaan ayahmu
Mataram." Daeng Surih masih terdiam dalam rangkulan Daeng Dato Kumbuh. Pemuda itu sepertinya
sangat akrab dan manja pada Daeng Dato Kumbuh yang sudah dianggapnya sebagai kakek. Ketiganya terus melangkah berjalan menuju ke gubuk. "Aku jadi tertarik ingin mencari pendekar muda itu. Aku ingin sekali
menimba ilmu padanya," gumam Daeng Surih setelah sekian lama terdiam seperti
gumaman itu ditujukan pada diri
sendiri. Sang kakek tersenyum.
"Itu bagus. Di samping nantinya kau akan
bertambah pengalaman, kau juga dapat mengenal
tokoh persilatan yang tergolong dalam tokohtokoh kelas wahid." Daeng Dato Kumbuh yang
merasa cucu angkatnya mempunyai watak pendekar bangga. Maka dengan panjang lebar Daeng
Dato Kumbuh pun menceritakan segala yang ada
di dunia pendekar. Bagaimana menjadi pendekar
yang baik, bagaimana pula seharusnya yang dilakukan oleh seorang pendekar. Daeng Surih yang
memang antusias dengan hal-hal seperti itu
memperhatikannya dengan seksama tanpa berkehendak memotong atau bertanya terlebih dahulu. Baru setelah Daeng Dato Kumbuh menghentikan ceritanya Daeng Surih bertanya.
"Kek, apakah mungkin aku bisa jadi pendekar?" "Tentu. Kalau kau mau belajar dan belajar
pada orang yang lebih tinggi ilmunya dan pengalamannya darimu, kau akan dapat menjadi pendekar," jawab sang kakek bangga. "Maka itulah, gunakan ilmu yang kau miliki pada
tempatnya. Jadilah pendekar yang mampu menggunakan ilmu dengan baik. Seorang pendekar akan rela dirinya untuk korban daripada rakyat yang tak dapat apa-apa. Seorang pendekar juga akan merasa
bahagia bila rakyat kecil bahagia. Jadi jelasnya, seorang pendekar mementingkan
rakyat di atas kepentingan diri sendiri. Kalau kau bisa melakukan semuanya, maka kau pun dapat dikatakan
seorang pendekar, Cucuku!"
Meledak-ledak seketika darah muda Daeng
Surih, mendengar penuturan Daeng Dato Kumbuh, kakeknya. Matanya seketika berkaca-kaca,
sepertinya dari sorot mata itu hendak mengatakan niatnya untuk melakukan semua itu. Daeng
Dato Kumbuh yang jeli telah mengerti apa yang
sebenarnya tersirat dari sorot mata cucunya. Ia
bangga mempunyai cucu sekaligus murid yang
cerdas seperti Daeng Surih. Daeng Dato Kumbuh
telah menduga sejak Surih masih bayi. Maka itu
Daeng Kumbuh tak segan-segan memberi sebutan pada Surih, Daeng.
"Bagaimana, Ibu" Apakah ibu mengijinkan
Surih mengelana?"
"Oh, dengan senang hati dan do'a-do'a untuk keselamatanmu, Anakku," jawab Nancin Cu.
"Kalau kau akan menuju ke Mataram, ibu hanya akan memberikan padamu bekal sebuah
suling yang menjadi milik ayahmu. Suling itu janganlah
kau tiup semaumu, sebab suling itu sangat berbahaya." Mengerut kening Daeng Surih mendengar
penuturan ibunya. Daeng Surih yakin kalau seruling yang dimaksud ibunya bukan seruling
sembarangan, sehingga bila ditiup tidak pada
tempatnya akan mengundang bahaya. Tapi bahaya apakah" Hal itu yang mengundang pertanyaan Daeng Surih yang memang ingin tahu.
"Ibu, kalau boleh Surih tahu, bahaya apakah yang diakibatkan oleh suling itu bila ditiup
bukan pada tempatnya?"
Nancin Cu tak segera menjawab pertanyaan anaknya. Ditatapnya lekat wajah sang
Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak, lalu beralih memandang pada Daeng Dato
Kumbuh yang tangannya masih menggenggam seruling berwarna kuning emas. Memang seruling
itu dibuat dengan emas, menjadikan seruling itu
dapat dijadikan senjata pusaka. Setelah sejenak
menarik napas dan memandang pada Daeng Dato
Kumbuh seolah-olah ingin meminta pendapat,
yang diangguki oleh Daeng Dato Kumbuh Nancin
Cu pun akhirnya menjawab.
"Sesuai dengan namanya Suling Kematian,
maka suling itu pun akan mengundang kematian
bila ditiup pada saat menghadapi orang-orang
yang tidak berkenan dengan hatimu. Sebaliknya
orang yang berkenan di hatimu, orang itu akan
senang dan terhibur mendengarkan tiupan serulingmu. Hanya ada dua orang yang mampu memecahkan rahasia Suling Kematian, yaitu ayahmu Amangkurat dan seorang lagi Ki Bagong guru
Pendekar Pedang Siluman Darah. Nah, apabila
kau menemukan dua orang yang mampu memecahkan Seruling Kematianmu, maka mereka tak
lain dari ayahmu dan murid Ki Bagong atau Pendekar Pedang Siluman Darah tersebut. Kau bisa
mencari pendekar muda itu hanya dengan cara
meniup Suling Kematian. Bila pendekar muda itu
menangkal sulingmu dengan sebilah pedang, maka dialah orangnya."
"Ananda akan selalu ingat itu, Bunda," jawab Daeng Surih.
Ketiga orang itu akhirnya terdiam kembali
dengan pikiran masing-masing. Daeng Surih kini
dengan pikirannya bagaimana untuk dapat mengalahkan Datuk Raja Berbisa tanpa meminta bantuan Pendekar Pedang Siluman Darah. Hatinya
seketika terpaut dengan Suling Kematian yang dikatakan ibunya. Sebagai seorang pemuda, jelas
Daeng Surih ingin mengetahui khasiat Suling
Kematian tersebut.
"Mungkinkah Datuk Raja Beracun akan
mampu aku kalahkan dengan Suling Kematian
itu?" tanya hati Daeng Surih. "Ah, lebih baik be-sok aku akan mencobanya. Bila
memang aku gagal, maka aku baru akan mencari Pendekar Pedang Siluman Darah."
Ketiganya terus melangkah dalam diam,
mengajak kaki-kaki mereka menuju ke sebuah
gubug yang tak jauh dari mereka. Senja telah datang, ketika nampak matahari makin lama makin
menyurut jauh tergelincir di arah Barat. Matahari itu sepertinya tenggelam dalam
alunan waktu yang terus melangkah.
6 Esok paginya Daeng Surih nampak berjalan menuruni lereng gunung Kerinci menuju ke
arah Utara, diiringi oleh pandangan mata Daeng
Dato Kumbuh dan Nancin Cu. Kedua orang tua
itu nampak berkaca-kaca hendak menangis. Bagaimana tidak, dua puluh tahun mereka saling
menjalin keluarga, kini harus berpisah salah seorang yaitu anak atau cucu mereka.
Langkah Daeng Surih seperti ringan, melompat-lompat di antara bebatuan. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang diajarkan
oleh kakek angkatnya Daeng Dato Kumbuh, maka
lari Daeng Surih pun bagaikan seekor rusa melesat menjadikan bayang-bayang belaka. Tubuh itu
melompat, melayang dengan ringannya dan hinggap di atas sebuah batu yang agak tinggi.
Sesaat Daeng Surih terhenti, memandang
pada tempat tinggalnya. Tak terasa matanya berkaca-kaca seperti hendak menangis. Ya, Daeng
Surih memang hendak menangis bila ingat kembali bagaimana ibu dan kakeknya telah merawatnya sejak ia masih bayi hingga sebesar sekarang.
Betapa pengorbanan dua orang itu sangat tinggi
tak ternilai harganya.
Tengah Daeng Surih terdiam memaku
sambil memandang ke arah gunung Kerinci, tibatiba sebuah bayangan berkelebat dengan cepatnya berlari. Habis bayangan seorang berlari melintas di hadapannya, nampak sebuah bayangan
lain pun melintas pula di hadapannya. Terkejut
Daeng Surih tak habis pikir. "Hem, tengah apakah kedua orang itu?" gumam Daeng
Surih masih terpaku pada tempatnya. Setelah sejenak terdiam,
tiba-tiba rasa ingin tahunya mengajak Daeng Surih untuk menguntit kedua orang yang tengah
berlari saling kejar itu. Maka dengan segera
Daeng Surih pun berkelebat mengikuti arah kedua bayangan itu lari.
Bayangan yang berkelebat itu ternyata dua
orang manusia yang saling kejar. Kedua lelaki itu, tak hiraukan Daeng Surih yang
kini mengiku-tinya. Keduanya terus saling kejar mengejar bagaikan tak kenal rasa capai. Baru setelah berada
di sebuah lapangan yang cukup luas, kedua
orang itu hentikan langkah larinya.
"Jangan lari, Mujolo! Mari kita teruskan di
sini," lelaki pengejar itu membentak pada orang yang tadi dikejarnya yang
bernama Mujolo.
"Aku tak akan lari, Sande. Mari kita teruskan pertarungan kita untuk membuktikan
siapa di antara kita yang patut menjadi wakil dari perguruan," Mujolo
menggeretakkan gigi-giginya.
"Kau seharusnya menyadari bahwa ilmumu
masih rendah, tak pantas untuk mewakili perguruan." "Sombong kau, Mujolo. Ilmumu pun aku rasa belum ada apa-apanya. Sudahlah,
kita tak perlu saling mencemooh ilmu kita masing-masing,
mari kita buktikan siapa di antara kita yang berhak mewakili Perguruan Samosir," balas Sande tak mau kalah. "Ayolah, mari kita
buktikan. Hiat...!" Tanpa menunggu jawaban dari Mujolo,
Sande secepat kilat berkelebat menyerang. Melihat hal itu, Mujolo yang tak mau begitu saja dijatuhkan oleh adik seperguruannya
dengan segera memapaki serangan Sande. Tanpa ampun lagi,
kedua kakak beradik seperguruan itu saling hantam. Tubuh kedua kakak beradik itu mental ke
belakang. Namun dengan cepat keduanya kembali
bangkit, lalu dengan didahului dengan pekikan
kedua orang kakak beradik itu kembali saling
menyerang. Jurus-jurus mereka sama, sehingga
keduanya pun dalam setiap gerakannya selalu serupa. Daeng Surih yang mengintai pertarungan
kedua kakak beradik itu hanya terbengong.
Daeng Surih walau belum mengerti siapa adanya
kedua orang yang bertarung, telah dapat mengetahui siapa adanya mereka.
"Orang-orang tolol," makinya dalam hati.
"Mengapa seperguruan harus saling baku hantam?" Lama Daeng Surih mengintai pertarungan kedua kakak beradik seperguruan
itu. Manakala salah seorang melompat ke belakang, serta merta
Daeng Surih yang tak ingin melihat dua saudara
seperguruan itu saling serang melompat dari persembunyiannya seraya membentak.
"Kalian orang-orang dungu! Untuk apa kalian bertempur dengan saudara sendiri?" Habis ucapan itu, kedua kakak beradik
seperguruan yang tengah tercengang seketika mental beberapa
tombak ke belakang terdorong oleh angin pukulan
Daeng Surih yang dahsyat. Mata kedua adik kakak seperguruan itu melotot tak percaya. Mata
keduanya memandang lekat pada Daeng Surih
yang telah berdiri menengahi mereka.
"Siapakah engkau, Anak muda?" tanya Mujolo terheran-heran. Ia merasa bahwa anak muda
di hadapannya bukan anak muda sembarangan.
Terbukti angin hentakkannya saja mampu membuat orang tergetar bagaikan dihantam angin puting beliung. Tak kalah kaget Sande, ia juga merasakan hawa lain manakala pemuda yang berdiri
di hadapannya membentak.
"Siapakah adanya Ki Sanak ini"' tanya
Sande, yang dijawab dengan senyum oleh si pemuda. "Apa keperluan Ki Sanak menyerang kami?" "Hai, kalian orang-orang persilatan yang telah berumur, mengapa kalian
masih seperti anak
kecil berebut kue" Apakah tidak ada cara lain untuk menentukan siapa yang akan mewakili perguruan kalian" Coba kalian terus saja berantem
memperebutkan sesuatu yang kosong, apakah itu
tidak akan menjadikan diri kalian tertekan nantinya" Salah seorang umpama ada yang kalah, jelas yang kalah itu akan mendendam pada yang
menang. Baikkah saudara seperguruan saling
dendam mendendam?"
Kedua orang kakak beradik yang tadi bertarung seketika terdiam mendengar ucapan
Daeng Surih yang dirasa mengena di hati. Keduanya perlahan bangkit, menghampiri Daeng Surih
yang masih berdiri tegak di tempatnya dengan
tangan menimang-nimang Suling Kematiannya.
"Ah, sungguh Ki Sanak sangat peka dan
mempunyai pandangan yang luas. Kalau boleh
kami tahu, siapa nama Ki Sanak dan apa julukannya?" tanya Mujolo seraya menjura hormat.
"Namaku yang bodoh ini, Mujolo."
"Namaku Sande. Kami berasal dari perguruan Dadak Wugu Samosir. Kami bertarung untuk menjadi wakil dari kerajaan dalam pertemuan
pada tokoh persilatan pulau Andalas."
Mendengar ucapan Sande, seketika Daeng
Surih mengernyitkan keningnya. Ingatannya kini
kembali pada Datuk Raja Beracun yang hendak
dicarinya. "Kalau aku mengikuti mereka, niscaya aku akan dapat menemui Datuk
Raja Beracun"
gumam Daeng Surih dalam hati, lalu katanya
kemudian: "Ah, ternyata hanya masalah itu. Sebenarnya ada apakah sehingga tokoh persilatan dari
pulau Andalas mengadakan pertemuan?"
"Apakah Ki Sanak belum mengerti?" balik
menanya Mujolo.
"Belum. Aku baru saja turun gunung," jawab Daeng Surih pendek.
"Oh, apakah Ki Sanak tidak membaca pengumuman yang disebar oleh pimpinan sekarang
yaitu Daeng Loreng?"
Untuk kedua kalinya Daeng Surih gelengkan kepala mendengar pertanyaan Sande. Ia memang belum tahu apa-apa di dunia persilatan,
karena memang ia baru turun gunung. Namanama tokoh persilatan pun ia belum hapal, siapasiapa adanya. Yang dihapal dalam ingatannya
hanya beberapa nama, seperti Pendekar Pedang
Siluman Darah, Datuk Raja Beracun musuhnya
dan Amangkurat ayahnya.
"Apakah hendak mereka lakukan hingga
memanggil semua tokoh-tokoh persilatan?" Daeng Surih yang belum tahu menahu,
sepertinya Daeng Surih ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang bakal dilakukan oleh para tokoh
persilatan tersebut hingga melakukan pertemuan.
"Para tokoh persilatan akan mengadakan
pemilihan ketua yang baru. Sudah menjadi kebiasaan bila dua tahun sekali ketua persilatan pulau Andalas memilih ketua untuk
mengatur para tokoh persilatan," jawab Mujolo menerangkan, menjadikan Daeng
Surih terangguk-angguk kepalanya
mengerti. Masalah pemilihan ketua tokoh persilatan di tanah Andalas memang sudah sering kali ia
dengar manakala kakeknya Daeng Dato Kumbuh
berangkat menghadirinya. Namun sudah dua tahun berselang Daeng Dato Kumbuh tak menghadiri pengangkatan ketua tokoh silat Andalas. Kakeknya Daeng Dato Kumbuh memilih menyendiri
di gunung Kerinci daripada harus bersangkut
paut dengan dunia persilatan yang banyak macam ragamnya. "Aku rasa, kali ini Datuk Raja Be-racunlah yang akan terpilih
menjadi ketuanya."
"Jadi... jadi Datuk Raja Beracun juga hadir"!" tersentak kaget Daeng Surih demi mendengar nama Datuk Raja Beracun. Hal
itu menjadi- kan kedua orang di sampingnya seketika kernyitkan kening tak mengerti. Saking kesalnya dan
marah bila mengingat Datuk Raja Beracun yang
telah mencelakakan ayahnya Daeng Surih tanpa
sadar menggumam.
"Hem, kebetulan sekali." Makin terbelalak kedua orang yang diajak bicara
mendengar gumaman Daeng Surih. Mereka tak tahu apa arti
dari kata kebetulan sekali yang dilontarkan Daeng Surih. Belum juga keduanya
mengerti maksud
ucapan Daeng Surih, Daeng Surih telah kembali
meneruskan berkata. "Kebetulan kalau memang
Datuk Raja Beracun ada di situ. Aku memang
tengah bermaksud mencarinya, namun aku belum tahu dimana ia tinggal. Dengan adanya pertemuan ini, aku akan dengan mudah menemukannya. Aku akan ikut kalian, bagaimana?"
"Oh, dengan senang hati," jawab keduanya.
"Bagaimana kalau Ki Sanak, em...." Mujolo menghentikan ucapannya manakala ia
bingung harus
Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyebut apa. "Siapa nama Ki Sanak" Sungguh
tak enak bila berkata-kata belum mengerti nama
orang yang diajak bicara."
"Oh, namaku yang bodoh ini Daeng Surih."
"Daeng...!" terkesima dua orang itu mendengar sebutan Daeng yang berarti ketua.
"Oh, rupanya aku ini tengah berhadapan dengan cucu
Daeng Dato Kumbuh. Maafkan kelancangan kami," Setelah berkata begitu, Mujolo dan Sande segera bungkukkan badan menjura
hormat. Kini keduanya benar-benar menyadari siapa adanya
pemuda yang berada di hadapannya. Pantas kalau ilmunya tinggi, tak tahunya cucu angkat
Daeng Dato Kumbuh yang sudah terkenal.
Melihat dua orang itu menjura hormat, seketika Daeng Surih berkata. "Ki Sanak Mujolo dan Sande, janganlah kalian
meninggikan keadaanku.
Mungkin kalau kakekku memang orang yang
tinggi di dunia persilatan, tapi aku tak lebihnya orang yang bodoh dan masih
belum tahu apa-apa.
Sudahlah, kalian tak perlu terlalu menyanjungku.
Mari kita berangkat ke tempat pertemuan pendekar. Kalian tahu tempatnya?"
"Kami tahu. Mari kami antar," serempak
keduanya menjawab.
Dengan diiringi dua orang dari perguruan
Dadak Wugu Samosir yang bernama Sande dan
Mujolo, Daeng Surih segera hari itu juga berangkat menuju ke tempat yang akan dijadikan pertemuan tokoh-tokoh persilatan. Sebenarnya
Daeng Surih bukan bermaksud mengikuti pertemuan tersebut. Niat di hatinya hanya satu, mencari Datuk Raja Beracun dan sebisanya menuntut
balas. * * * Lelaki tua berjenggot lebat dengan muka
yang nampak beringas berdiri menengadahkan
muka ke langit. Wajahnya nampak mendung, sepertinya ada sesuatu yang terpendam pada wajah
mendung tersebut. Napas lelaki itu sesekali mendesah, lalu kepalanya menggeleng lemah bagai
ada yang dirasakannya.
"Hem, ada pertanda apa tiba-tiba hatiku
tak tenang untuk berangkat menuju ke Lembah
Jagat Andalas?" keluh lelaki tua bermuka tebal dengan jenggot dan kumis lebat
itu. "Apakah ini pertanda buruk?"
Lelaki tua bermuka tebal dan ditumbuhi
cambang bawuk serta kumis tebal itu, kembali
untuk kesekian kalinya mendesah panjang. Napasnya bagaikan memburu, liar seperti mencium
sesuatu. Manakala matanya nampak merah bagaikan memendam bara, tiba-tiba ujudnya berubah menjadi harimau.
"Auuum...!"
Tiga kali berturut-turut harimau itu mengaum, sepertinya harimau jejadian itu memanggil
kaumnya. Memang benar, tak lama kemudian tiba-tiba muncul seekor harimau lagi yang besar
dan menyeramkan. Rupanya harimau yang datang tak lain dari pada gurunya, Siluman Harimau. Dan harimau jejadian itu tak lain Datuk Raja Beracun adanya.
"Ada apa kau memanggilku, Muridku?"
tanya harimau yang besar, setelah sejenak memandang dengan sinar matanya yang menyala
pada harimau jejadian Datuk Raja Beracun, muridnya. "Apa kau mengalami kesusahan?"
"Ampun, Guru. Mengapa tiba-tiba hati
hamba gelisah" Apakah Guru mengetahui sebabnya?" Harimau Iblis itu sejenak kembali diam.
Matanya memandang tak berkedip pada Datuk
Raja Beracun. Setelah menghela napas panjang,
Siluman Harimau itu berkata menerangkan apa
yang menjadi sebab hati muridnya gelisah.
"Kau harus berhati-hati menghadapi anak
Amangkurat. Sulingnya sangat berbahaya, hanya
dua orang yang mampu menangkis serangan suara Suling Kematian milik Amangkurat. Orang tersebut adalah Amangkurat sendiri dan murid Ki
Bayong dari Empat Pendekar Sakti yang bernama
Jaka atau Pendekar Pedang Siluman. Tapi kau
jangan kuatir, sebab kau tak akan dapat mati bila belum menemukan Sendi ilmumu.
Manusia macam apapun, tak akan sanggup menghadapi dirimu," berkata Siluman Harimau sombong, menjadikan hati Datuk Raja Beracun seketika bangga
dan berganti keangkuhan karena merasa dirinya
tak akan mudah terkalahkan. "Nah, jangan kau sekali-kali mengikuti irama suling
anak itu. Bila anak itu hendak meniupkan Suling Kematian,
kau harus segera mencegahnya sedapat mungkin." "Tapi menurut guru, aku tak akan mati."
"Memang benar. Namun bila kau mendengar suling itu, maka ilmu yang kau miliki akan
lenyap. Kau akan berubah menjadi bentuk seperti
sekarang untuk selama-lamanya. Dan bila kau
ingin memulihkan kesaktianmu lagi, kau harus
meminum darah tujuh gadis."
Tercenung harimau jejadian mendengar
ucapan gurunya. Hatinya gundah, tak yakin pada
apa yang dikatakan gurunya tentang dirinya yang
tak bisa mati. "Apakah aku akan dapat mengalahkan anak Amangkurat dengan Suling
Kematian- nya?" keluh hati Datuk Raja Berbisa. "Kalau dia meniup sulingnya, bagaimana yang
akan aku lakukan" Ah, sungguh sebuah petaka bila aku kalah dengannya. Hem, rupanya anak itu bermaksud menuntut balas atas kematian ayahnya dua
puluh tahun yang lalu. Ah, tidak! Aku tak akan
pernah mati. Aku tak akan terkalahkan oleh siapapun. Heh... Bukankah aku memiliki aji Sirep
Wedara Bayu" Kenapa mesti aku takutkan suara
seruling itu?"
"Baiklah, Guru. Aku akan menjalankan
apa yang engkau katakan. Tapi, bagaimana dengan aji Sirep Wedara Bayu, Guru?"
"Ah, benar. Sungguh aku telah lalai. Ya,
dengan ajian Sirep Wedara Bayu kau akan mampu menyirep suara suling tersebut." Siluman Harimau nampak gembira manakala
mendengar mu- ridnya mengingatkan padanya tentang aji Sirep
Wedara Bayu. Aji sirep itu akan mampu membendung segala apa yang akan membuat diri muridnya celaka termasuk suara Suling Kematian.
"Nah, gunakan ajian tersebut untuk menangkalnya. Dan sebelum ia sempat mengingat
dirinya, secepatnya kau hantam tubuhnya dengan ajian
Serat Kentala. Ingat itu, Muridku. Walaupun kau
tak dapat mati, namun dengan cara begitu dia
akan kapok."
"Baiklah, Guru. Hamba berangkat."
Habis menyembah pada sang guru dengan
cara menganggukan kepalanya, Datuk Raja Beracun yang telah menjadi harimau segera berkelebat pergi meninggalkan gurunya. Harimau Iblis
itu akhirnya kembali menghilang, lenyap dari
pandangan mata bersamaan dengan lenyapnya
harimau jejadian Datuk Raja Beracun.
* * * Tiga orang yang tengah berjalan untuk menuju ke tempat dimana akan diadakan pertemuan
antar pendekar pulau Andalas seketika hentikan
langkah manakala melihat seekor harimau berlari
kencang menuju ke arahnya.
"Hai, harimau apakah itu" Besarnya hampir sebesar anak kerbau?" gumam Daeng Surih
kaget demi melihat harimau tersebut. "Apakah kalian ada yang tahu harimau macam
apa?" "Dia bukan harimau biasa. Dialah harimau
loreng jelmaan Datuk Raja Beracun."
Terbelalak mata Daeng Surih mendengar
keterangan Mujolo, yang mengatakan bahwa harimau besar tersebut adalah jelmaan Datuk Raja
Beracun musuhnya.
"Jadi harimau itu jelmaan Datuk keparat
tersebut?"
Kedua orang temannya hanya mengangguk
mengiyakan. Sesaat Daeng Surih hentikan langkah memandang tajam pada harimau yang makin
lama makin mendekat. Manakala harimau itu benar-benar telah dekat, dengan menggunakan tenaga dalamnya yang kuat Daeng Surih membentak. "Berhenti!"
Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa tersentak kaget dan hentikan larinya. Sejurus harimau itu memandang pada Daeng Surih, seketika
hatinya membatin. "Hem, ternyata anak muda ini yang dikatakan guru, terbukti
sulingnya adalah
suling emas. Itukah Suling Kematian" Sebelum,
anak muda ini menyerangku, aku akan mendahuluinya." Harimau itu sesaat mengaum, lalu tiba-tiba
tanpa diduga sebelumnya oleh Daeng Surih dan
kedua temannya, harimau jejadian itu telah menyerang Daeng Surih. Tersentak ketiganya seraya
melompat mundur, menjadikan harimau jejadian
itu kembali dengan liar menyerang.
"Datuk keparat! Kau harus menerima hukuman atas segala apa yang telah kau perbuat
pada ayahku. Hiat...!" Dengan memaki marah
Daeng Surih hantamkan pukulan tenaga dalamnya ke arah harimau jejadian tersebut. Harimau
jejadian itu tersentak, manakala melihat pukulan
yang dilontarkan oleh sang pemuda hingga saking
kagetnya harimau jejadian itu menggumam. "Pukulan Tangan Maut Dewa Badai! Apa
hubungan- mu dengan Daeng Dato Kumbuh, Anak muda?"
"Aku adalah cucunya, cucu angkatnya!"
jawab Daeng Surih tenang.
"Aum... Bagus! Kau akan aku kirim ke akherat menemui ayahmu." Harimau jejadian itu
menggeram dan dengan cepat menyerang Daeng
Surih. Segera Daeng Surih kembali hantamkan
pukulan Tangan Maut Dewa Badainya.
"Hiat...!!"
"Duar!"
Tubuh Harimau jejadian itu terhantam pukulan Tangan Maut Dewa Badai, namun betapa
terkejutnya Daeng Surih menerima kenyataan
yang ada di depan matanya. Harimau jejadian itu
ternyata tak mempan, bahkan kini dengan beringas menyerang ke arahnya. Serta merta Daeng
Surih elakan serangan, tapi akibatnya sungguh
fatal. Dua orang temannyalah yang terhantam
pukulan yang dilancarkan harimau jejadian tersebut. Seketika tubuh kedua temannya mengejang biru, lalu mati dengan mengerikan. Dari tubuhnya mengeluarkan benjolan-benjolan yang
makin lama makin membesar, benjolan itu akhirnya pecah dengan mengeluarkan binatang yang
sangat menjijikkan.
Belum juga hilang kekagetan Daeng Surih,
Datuk Raja Beracun yang memiliki seribu macam
racun maut kembali menyerangnya. Desingan sinar putih menyilaukan, menerpa ke arah Daeng
Surih. Daeng Surih tersentak, segera cabut Suling Kematiannya dan hantamkan
suling tersebut.
"Wuut..."
"Dest..."
Jarum-jarum maut yang membentuk larikan sinar putih itu, runtuh terhantam Suling
Kematian di tangan Daeng Surih. Dan manakala
Datuk Raja Beracun tengah tersentak kaget, segera Daeng Surih tiupkan sulingnya. Suara suling
itu begitu mendayu, namun anginnya seakan
hendak mencekik leher. Memang, Datuk Raja
Berbisa seketika lehernya terasa ada yang mencekik manakala mendengar suara Suling Kematian.
Irama Suling Kematian begitu mendayu, melantunkan lagu kematian yang mampu mengajak
orang yang mendengarnya terbawa.
Datuk Raja Beracun hampir saja mati terbawa arus, manakala ia teringat akan ajian sirepnya. Dengan segera sang Datuk rapalkan ajian
tersebut. Seketika suara Suling Kematian berhenti sendiri, hal itu menjadikan Daeng Surih tersentak kaget. Dan manakala Daeng
Surih dalam keadaan tak mengerti, tiba-tiba Datuk Raja Beracun
hantamkan pukulannya. Daeng Surih tersentak,
kibaskan Suling Kematiannya. Namun tak urung,
pecahan pukulan itu menghantam tu-buhnya
yang seketika melayang bagaikan terbang terdorong pukulan itu. Datuk Raja Beracun yang merasa musuhnya telah mati dengan segera bergegas meninggalkan tempat itu.
Bulan Purnama nampak terang, menghiasi
malam itu. Sesosok tubuh milik Daeng Surih yang
terhantam pukulan Datuk Raja Beracun berdiri
tertatih-tatih. Kini ia menyadari bahwa ucapan
orang tuanya ternyata benar. Mau tak mau, ia harus mencari Pendekar Pedang Siluman Darah.
Tapi apakah mungkin Pendekar Pedang Siluman
Darah mau membantunya" Ikutilah terus cerita
ini sampai akhir... Daeng Surih terus melangkah
Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menembus malam pergi menuju balik ke arah Selatan. Kini cita-citanya hanya satu, mencari Pendekar Pedang Siluman Darah untuk meminta
bantuannya. 7 JAKA Ndableg yang mendapat undangan
dari para pendekar di wilayah pulau Andalas, saat itu juga bergegas menuju ke
pulau Andalas sekaligus ingin menemui temannya Daeng Loreng selaku pimpinan tokoh persilatan. Dengan menggunakan perahu hasil rakitannya sendiri, Jaka
Ndableg segera berlayar menuju ke pulau Andalas. Pagi begitu cerahnya, angin bertiup sepoisepoi menjadikan suasana di laut terasa sejuk.
Jaka Ndableg yang masih mengarungi lautan
dengan perahu rakitannya sendiri terus bernyanyi-nyanyi sambil bersiul.
Manakala perahu rakitannya telah sampai
di tengah lautan, tiba-tiba tampak oleh Jaka sebuah perahu besar menuju ke arahnya. Perahu
itu sepertinya sengaja menuju ke arah Jaka. Makin lama perahu besar itu makin mendekat, menjadikan Jaka Ndableg terkesiap darahnya.
"Edan! Rupanya mereka sengaja hendak
membunuhku di lautan," maki Jaka dalam hati.
"Hem, apa mau mereka dengan tingkah laku seperti itu?"
Belum juga Jaka habis berpikir, perahu besar itu telah makin mendekatnya. Perlahan-lahan,
perahu besar itu makin lama makin mendekati!
Dan ketika perahu besar itu menghantam perahu
yang ditumpangi Jaka, serta merta Jaka berkelebat menghindar.
Melihat Jaka telah hilang dari perahu kecilnya, seketika meledaklah tawa seluruh orangorang yang berada di dalam perahu besar itu.
Orang-orang berwajah menyeramkan dengan pakaian tak terurus, serta wajah berkumis dan
janggut lebat itu terus menggelak tawa.
"Ternyata kita mampu membunuh Pendekar Pedang Siluman Darah yang kesohor, hua,
ha, ha..." ucap Ranceng, selaku ketuanya dengan wajah berseri. "Kita kelak akan
mendapatkan hadiah dari sang Datuk. Hua, ha, ha...!"
Melihat pimpinannya bergelak tawa, maka
sepontan anak buahnya yang berjumlah empat
puluh orang pun turut bergelak dengan diselingi
ucapan-ucapan mereka yang sombong.
"Benar, Ketua. Ternyata ilmu pendekar
muda itu tak mampu menghadapi kita. Terbukti...." Belum habis ucapan anggota Bajak Laut, tiba-tiba keempat puluh Bajak
Laut itu tersentak
manakala terdengar seruan seseorang meneruskan ucapan mereka.
"Terbukti kalian semua akan mendapatkan
hadiah dariku!"
"Kau...." terbata ketua Bajak Laut, manakala melihat siapa adanya yang telah
berkata. Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg pendekar
kita tersenyum renyah, melangkah perlahan
menghampiri keempat puluh anggota Bajak Laut
yang seketika pucat pasi mukanya. "Kenapa kalian seperti ketakutan, Anjinganjing Laut!" bentak Jaka masih terus melangkah mendekati mereka. "Bedebah! Jangan kira kami takut menghadapimu, Anak muda!"
"Hai, kaukah ketuanya. Pantas! Memang
aku tak menyuruhmu untuk takut padaku, sebab
aku bukanlah hantu." Jaka terus melangkah
mendekat dengan senyum menyungging di bibirnya. "Kalian telah mendahului, maka aku akan memberikan balas jasa pada kalian
yang telah membantu aku hingga aku berada di perahumu."
"Jangan banyak bacot! Serang...!"
Mendengar seruan pimpinannya, dengan
segera keempat puluh Bajak Laut itu berkelebat
mengurung Jaka yang masih nampak tersenyumsenyum. Matanya yang tajam, memandang batu
persatu pada musuhnya, menjadikan keempat
puluh Bajak Laut itu agak jeri juga melihat sorot mata Jaka. Namun kejerian
keempat puluh Bajak
Laut itu seketika dikagetkan dengan seruan pimpinannya. "Kenapa kalian bengong. Serang...!"
Serta merta keempat puluh orang anggotanya berkelebat dengan senjata siap di tangan
membabat ke arah Jaka. Diserang begitu rupa,
bagi Jaka yang sudah seringkali merasakannya
hanya tersenyum sembari elakan serangan mereka. Tubuhnya yang berisi melompat-lompat laksana burung elang, terbang menghindari serangan. "Inilah jurus Elang Mencaplok Anjing Laut, hiat...!" Setelah berkata begitu
Jaka yang telah berada melayang di udara menukik dengan tangan
siap menggempur salah seorang anak buah Bajak
Laut. Memekik saat itu juga orang yang terpatok
tangan Jaka. Kepalanya bagaikan terhantam martil godam yang beratnya berkati-kati. Orang tersebut muter-muter kesakitan
dengan tangan memegangi kepala yang berdenyut.
"Tobat...!"
"Lihat! Siapa lagi yang ingin belajar silat
denganku. Nah, kau rupanya. Ini jurus Bangau
Tong-tong Mengepak Sayap.".
Tangan Jaka terpampang lebar, lalu dengan keadaan seperti itu tangannya mengepret
orang-orang yang terbengong-bengong. Tanpa
ampun lagi, mulut orang yang terkena kepretan
tangan Jaka mengsol dengan gigi rontok. Berguling-gulinglah kedua orang tersebut, tangannya
mendekap mulutnya yang terasa sakit.
Melihat anak buahnya dikerjai Jaka, tanpa
ampun lagi ketua Bajak Laut itu marah bukan
kepalang. Dengan mendengus laksana seekor
banteng menghadapi matador, pimpinan Bajak
Laut tersebut menyerang Jaka.
"Eh, kau rupanya lebih suka menjadi banteng. Baik, aku matadornya. Hoi, hoi, hoi..." Jaka bagaikan mengibaskan kain
merah tangannya
menggeber-geber. Maka makin mangkellah pimpinan Bajak Laut yang merasa dirinya dipermainkan. Tak ayal, dengan kembali mendengus pimpinan Bajak Laut itu benar-benar seperti banteng
ketaton menyerang dengan membabi buta.
Layaknya seperti matador, Jaka yang memang ndablegnya tidak ketulungan peragakan
tangannya seperti mengibas kain. Manakala pimpinan Bajak Laut itu menyerang, segera Jaka
berkelit ke samping menghindar. Hingga tanpa
ampun lagi, tubuh pimpinan Bajak Laut seketika
nyungsep mencium geladak.
"Hua, ha, ha... Lucu, lucu. Lihat, pimpinan
kalian tak ubahnya seekor banteng letoi. Baru saja sekali pertunjukan, eh dia telah kamsoh mencium geladak." Jaka dengan ndablengnya terus mengolok-olok. Namun rupanya
pimpinan Bajak Laut masih terasa sakit, sehingga lama ia tak
bangun-bangun. Melihat hal itu, segera Jaka yang
ndableg hampiri tubuh pimpinan Bajak laut,
dan...! "Untuk obat sakit puyeng, ini yang paling manjur!"
"Duuut... Duut... Duut!"
Tiga kali Jaka memonyongkan pantatnya
ke arah muka pimpinan Bajak laut, dan tiga kali
itu juga Jaka kentuti pimpinan Bajak Laut. Tanpa
ampun lagi, pimpinan Bajak Laut itu menggeram
marah. "Setan! Kuremukan tulang-tulangmu!"
"Hua, ha, ha... Jangankan meremukkan tulang-tulangku. Makan peyek kacang saja kau tak
mampu." Jaka meledek, yang makin menjadikan
amarah pimpinan Bajak laut meluap-luap. Namun dasar Jaka Ndableg, kemarahan pimpinan
Bajak Laut digunakannya sebagai bahan ejekan
yang bermutu. "Kalian semua, lihatlah. Nanti kalian akan menyaksikan tontonan
yang sangat menarik. Pimpinan kalian akan main akrobat."
"Setan! Aku akan mengadu nyawa dengan
mu, Bangsat!"
"Huah, siapakah di antara kalian yang merasa bangsat. Eh, bukankah bangsat itu binatang
terhormat. Kau tahu sendiri, bagaimana bangsat
itu bila mati. Bukankah dicium olehmu sendiri?"
"Bedebah! Jangan lengah. Hiat...!"
Dengan penuh amarah yang meluap-luap
pimpinan Bajak Laut itu makin mengganas saja
menyerang. Jaka melihat hal itu cukup tenang.
Dikibaskan tangannya, menjadikan angin menderu memapaki hantaman pukulan yang dilontarkan pimpinan Bajak Laut. Tubuh pimpinan
Bajak Laut itu terhuyung ke belakang, terkena
hantaman angin kibasan dari tangan Jaka. Sebenarnya hal itu sudah menjadi gambaran bagi
pimpinan Bajak Laut bahwa pemuda itu bukan
tandingannya. Merasa ia tak akan mampu menghadapi sendiri, segera pimpinan Bajak Laut itu
berseru mengomandokan pada anak buahnya.
"Serang bangsat itu...!"
Tanpa banyak kata lagi ketiga puluh tujuh
anak buahnya serempak berkelebat mengurung
Jaka kembali. Seketika golok dan senjata lainnya
berkelebat-kelebat menghunjam ke arah Jaka.
Melihat hal itu Jaka seketika lemparkan tubuh ke
udara sembari berseru. "Wadaow... Kenapa kalian kayak jagal babi buntung saja?"
Habis berkata begitu, serta merta Jaka menukik ke bawah. Tangannya yang kokoh siap
menghantam dengan dua jari telunjuk dan tangan
mengembang. Itulah jurus Gunting. Maka....
"Aaah...!" melengkinglah jeritan orang yang terkena jepitan dua jari tangan
Jaka. Kupingnya
yang terkena seketika tanggal dan mengucurkan
darah. "Hua, ha, ha... Siapa yang suka sate kuping" Aku akan membuat sate kuping
hari ini. Ini baru dapat satu, aku rasa empat puluh cukup
untuk dijadikan satu kodi."
Bergidig sebenarnya ketiga puluh anak Bajak Laut itu mendengar ucapan Jaka. Mereka tahu bahwa pendekar muda itu bukanlah mainmain dalam ucapannya. Mudah saja pendekar
muda itu melaksanakan niatnya. Maka tanpa dapat menahan rasa takut, seketika ketiga puluh
enam orang tersebut tertegun berdiri. Dari balik
celana mereka seketika merembes air kuning
yang baunya minta ampun, sampai-sampai Jaka
membersit sambil menutup hidungnya.
"Waladalah, kenapa kalian kencing siangsiang begini di celana" Jangan takut, aku hanya
ingin kuping kalian saja."
Lutut ketiga puluh enam Bajak Laut itu
seketika bagaikan tak bertulang, ambruk mengejuprak di atas geladak dengan keringat dingin mengucur dari kening mereka dan muka pucat pasi.
"Ampunilah nyawa kami, Pendekar. Sungguh kami sebenarnya tak bermaksud mencelakai
tuan." Mereka terduduk lesu, dengan mata yang menyorot redup, setitik harapan
masih tergambar di mata mereka.
Jaka yang suka menggoda cibirkan bibir.
Tangannya terangkat seperti hendak melakukan
hantaman, menjadikan mereka seketika menekuk muka pasrah pada apa yang bakal terjadi. Di
hati mereka hanya dapat mengeluh, mengeluh
akan nasib mereka yang harus menghadapi seorang pendekar yang sudah malang melintang namanya. "Kalian benar-benar ingin hidup?"
Mendengar ucapan Jaka, seketika ketiga
puluh enam Bajak Laut itu dongakan kepala memandang takut-takut pada Jaka yang hanya tersenyum. Sesaat setelah memandang Jaka, kepala
mereka serentak mengangguk.
"Kalian aku ampuni, tapi dengan syarat."
"Apa syaratnya, Tuan Pendekar?" serempak mereka menyahuti dengan muka kini agak
tenang. Sorot mata mereka pun, kini bertambah
harapan hidupnya. "Apapun akan kami lakukan
asalkan kami dibebaskan hidup."
"Aku tak menginginkan kalian menjadi abdiku. Aku hanya minta kalian menjawab dengan
jujur, siapa yang telah memerintah kalian untuk
membunuh diriku?"
Semuanya terdiam, seakan ada rasa takut
menyelimuti mereka mendengar pertanyaan Jaka.
Hal itu menjadikan Jaka seketika kerutkan kening, tak mengerti mengapa mereka seperti ketakutan untuk menjawabnya. Mata Jaka yang jeli seketika memandang sekelilingnya. Dan...!
"Jangan lari!" bentak Jaka manakala melihat sesosok tubuh berkelebat. Segera
Jaka mem- buru, namun lelaki bertopeng itu telah mendahului terjun ke laut. Jaka yang sudah menyangka
kalau orang itu yang ditakuti mereka seketika
hantamkan ajian Petir Sewunya. Tak berapa lama, terdengar lengkingan dari lautan. Jaka segera terjunkan diri ke laut, lalu
diangkatnya tubuh
tanpa nyawa itu ke atas.
"Nah, kini orang yang kalian takuti telah
mati. Sekarang katakan padaku siapa yang menyuruh kalian, cepat! Atau terpaksa aku turun
Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan tangan jahatku seperti orang ini?" tanya Jaka seraya menunjuk pada mayat
yang tergeletak.
Perlahan tangan Jaka membuka cadar yang dikenakan oleh orang tersebut. "Siapa dia?"
"Dia... dia anak buah Datuk... Datuk Raja
Berbisa," jawab mereka serempak, menjadikan
Jaka tersenyum senang. Jawaban mereka secara
tidak langsung telah membuka siapa sebenarnya
yang menyuruh mereka.
"Aku sudah menduga, kalau Datuk Raja
Berbisa akan membuat langkahku terhadang.
Hem, begitulah kalau orang yang merasa bersalah
dan penuh dosa, sepertinya melihatku bagaikan
melihat Malaikat Elmaut," gumam Jaka seperti berkata pada diri sendiri.
"Sekarang antarkan aku ke daratan pulau Andalas."
"Daulat, Tuan Pendekar!" serempak mereka menjawab.
Dengan tanpa banyak menentang lagi semuanya segera menuruti apa kata Jaka, perahu
itu pun kembali melaju menuju ka pulau Andalas
yang nampak masih agak jauh. Angin laut masih
menerpa dengan sejuknya, menambah lajunya
perahu tersebut.
"Hem, Datuk Raja Berbisa, ternyata kau telah mengetahui kehadiranku," gumam Jaka dalam hati. "Apakah sahabatku Daeng Loreng belum
mengerti siapa adanya Datuk Raja Berbisa" Oh,
sungguh-sungguh petaka bagi dunia persilatan
pulau Andalas bila benar-benar Datuk Iblis itu
menjadi pimpinan."
"Awak kapal! Percepat sedikit laju perahunya...!" Jaka berseru memerintah. "Cepat...! Jangan sampai kita terlambat sampai
di tujuan!"
"Daulat, Tuan Pendekar!"
Dengan cepat ketiga puluh enam Bajak
Laut tersebut bekerja. Semuanya kelihatan sibuk,
ada yang menggulung, menarik dan membuka
layar. Layar pun seketika mengembang melebar,
menjadikan laju perahu makin kencang. Angin
menerpa-nerpa, sepertinya turut membantu jalannya perahu itu. Jaka yang berdiri di depan
nampak menambatkan matanya pada pulau Andalas yang nampak remang-remang hanya berwarna hijau daun. Gunung Kerinci tampak menjulang jauh. 8 Tiupan seruling itu mendayu-dayu, sepertinya dilantunkan dengan kesedihan hati. Apabila
orang mendengarnya, maka orang itu akan terjerat dan terseret untuk mengikuti alunan suling.
Seorang pemuda duduk di atas sebuah dahan
pohon, matanya memandang jauh ke depan. Mulut-nya meniup seruling yang terbuat dari emas,
itu-lah Seruling Kematian. Pemuda itu, tak lain
Daeng Surih adanya. Sengaja ia bertengger di situ, dan sehari-hari meniup seruling. Dibawahnya
tempat Daeng Surih duduk, bergelimpangan
mayat-mayat. Mereka biasanya orang yang terjerat oleh alunan Suling Kematian. Memang bila didengar-dengar, irama suling itu begitu mendayu.
Tapi bila lama-kelamaan, maka irama suling itu
bukanlah irama hiburan melainkan irama kematian yang mampu menutup segala jalan darah
dan pernapasan di tubuh si pendengarnya.
Entah karena apa, Daeng Surih terus menerus meniup seruling mautnya. Hati Daeng Surih seketika terhibur, manakala meniup suling
tersebut. Bila suling tersebut ditiup, maka bayangan ayahnya Amangkurat
sepertinya muncul dan
menemani. Ya, memang Amangkurat saat itu
muncul menemani anaknya.
Seperti saat itu, Amangkurat yang digegerkan telah mati muncul dan duduk di samping
anaknya yang tengah meniup seruling. Wajah
Amangkurat nampak pucat, sepertinya tak berdarah setetes pun. Tersentak Daeng Surih manakala
melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahutahu telah duduk di sisinya.
"Siapakah Ki Sanak ini" Dan dari manakah
hingga tiba-tiba datang tanpa dapat aku lihat?"
Mendengar pertanyaan Daeng Surih, lelaki
berwajah pucat pasi itu hanya tersenyum. Hal itu
menjadikan Daeng Surih kerutkan kening tak
mengerti. Namun belum juga Daeng Surih hilang
kagetnya, lelaki berwajah pucat berkata: "Teruskan tiupan sulingmu, Nak?"
"Ah, aku tak akan meniup kalau engkau
tak memberi tahu padaku siapa adanya dirimu,"
jawab Daeng Surih sembari genggam Suling Kematiannya. Matanya terus mengawasi wajah pucat di sisinya, yang seperti mirip-mirip dengan
wajahnya. Lelaki berwajah pucat itu kembali tersenyum. Tangannya tanpa sepengetahuan Daeng
Surih telah melekat di kepala, dan membelai
rambut Daeng Surih dengan lembut sepertinya
penuh kasih sayang.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Dengarlah olehmu baik-baik," lelaki berwajah pucat itu akhirnya berkata lagi. "Aku
adalah pemilik Suling Kematian yang kau pegang."
Tersentak Daeng Surih hampir terjatuh dari duduknya, manakala ia mengetahui siapa
adanya lelaki berwajah pucat. Tak terasa mulutnya seketika itu membersitkan suara, menyebut
nama lelaki tersebut. "Ayah! Kaukah ayah?"
Lelaki berwajah pucat itu tersenyum, diambilnya kepala Daeng dan direbahkan ke pangku-annya dengan penuh kasih. Lalu dengan suara agak berat karena menahan tangis, lelaki berwajah pucat itu kembali berkata:
"Ketahuilah anakku, aku mengambil korban adalah semua musuh-musuhku. Jadi semua
korban tiupan seruling kematian yang kau tiup
semua adalah musuh ayah. Ah, tapi rupanya Datuk Iblis itu sangat tinggi ilmunya."
"Jadi ayah secara tak langsung yang telah
menyerang Datuk Raja Beracun, manakala aku
bertempur dengannya?"
"Benar, Anakku. Namun aku tak dapat
mengalahkannya, sebab dia adalah warga siluman yang paling tinggi ilmunya. Walau ayah kini
menjadi warga siluman, namun ayah belum dapat
mengalahkannya. Hanya ada seseorang yang
mampu menandingi ilmunya. Orang itu kini hendak menuju ke mari. Dia adalah pendekar muda
seusiamu bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah. Tunggulah, sebentar lagi dia akan muncul di
sini. Ayah akan mencobanya, siapa tahu pirasat
ayah salah."
Memang benar apa yang dikatakan oleh
Amangkurat, sebab tak lama kemudian serombongan orang berjalan menuju ke situ. Paling depan berjalan seorang anak muda berambut gondrong lurus, dengan wajah tampan bagaikan wajah Dewa. Mata pemuda itu tajam, mengawasi sekeliling tempat itu.
"Tiup serulingmu, Anakku?" perintah
Amangkurat pada Daeng Surih. "Jangan kau ragu, sebab pendekar itu tak akan dapat terbunuh
olehmu dan Seruling Kematianmu. Dia adalah
murid tunggal Empat Pendekar Sakti, juga murid
angkat Siluman Darah, siluman yang paling tinggi
ilmunya di jagad raya ini."
Mendengar perintah ayahnya, segera Daeng
Surih meniup Suling Kematiannya. Perlahanlahan suara suling itu menggema, mengalun dan
sayup-sayup didengar oleh mereka yang tengah
berjalan menuju ke situ. Jaka Ndableg yang berjalan paling muka, seketika tersentak kaget. Sementara ketiga puluh enam orang pengikutnya
bagaikan gila saat itu juga menari-nari dan menyanyi. Jaka yang melihat hal itu makin bertambah kaget, seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Langkah orang-orang yang mengikutinya terus maju, makin lama makin mendekat
ke arah sebuah pohon. Jaka yang melihatnya seketika membelalakkan mata kaget, manakala satu
persatu dari orang-orang itu mencekik lehernya
masing-masing dengan tangannya sendiri.
"Gusti Allah, kenapa dengan mereka semua?" Jaka terbelalak kaget, manakala satu persatu dari mereka bergelimpangan ke
tanah den- gan lidah menjulur ke luar, mati. "Hem, siapakah yang telah berbuat begitu?"
Perlahan Jaka melangkah, makin lama
langkahnya makin mendekat. Tiba-tiba dirasa
oleh Jaka Sebuah dorongan aneh, menyentakan
dirinya untuk terus mengikuti alunan suara suling tersebut. Langkahnya terseret, karena Jaka
berusaha menahan tarikan sesuatu kekuatan
yang mendera tubuhnya.
"Gusti Allah, apakah yang harus aku perbuat" Sungguh sebuah kejadian yang aneh. Heh,
aku merasa tenaga dalamku tak ada gunanya,"
keluh Jaka dalam hati. "Apakah ini yang dinamakan Suling Kematian yang terkenal
itu" Oh, mungkinkah aku akan mati oleh suling itu?"
Jaka terus menyeret kakinya, melangkah
berat menuju ke arah di mana Daeng Surih dan
ayahnya Amangkurat yang tak tampak oleh mata
berada. "Terus tiup serulingmu, Nak. Dia memang
kini tengah menerima tenaga Suling Kematian.
Tapi kau tak perlu khawatir, sebab dia bukanlah
manusia sembarangan. Biarkan Ratu Siluman
Darah muncul."
"Ratu Siluman Darah, Ayah" Jadi Ratu Siluman Darah tahu bahwa muridnya dalam keadaan bahaya?" tanya Daeng Surih tak mengerti bercampur kaget. "Sungguh luar
biasa." "Tentunya kau belum mengetahui senjata
pendekar muda itu?"
"Benar, Ayah. Memang aku belum melihat
macam apa senjatanya yang digegerkan orang
sangat aneh."
"Maka itu, tiuplah sulingmu terus. Nanti
bila dia telah kehilangan sabarnya, dia akan memanggil senjatanya."
Terbelalak melotot mata Daeng Surih mendengar penuturan ayahnya yang dirasa aneh. Bagaimana mungkin senjata harus dipanggil-panggil
seperti manusia" Memang pemuda tersebut tidak
membawa senjata sebatang tangkai pun. Itukah
memang keanehannya"
"Kalau begitu, senjata pendekar muda itu
bernyawa, Ayah?"
"Benar, Anakku. Senjata itu memang bernyawa," jawab sang ayah dengan mata terus
memperhatikan Jaka Ndableg yang masih terseret-seret berusaha mempertahankan tarikan tenaganya. Hampir saja tenaga Amangkurat terbetot oleh tenaga Jaka, namun karena dibantu oleh
tiupan suling menjadikan tenaga Amangkurat bagaikan seratus kali lipat dari tenaga sebenarnya.
"Setan alas! Kenapa Suling Kematian itu
ada lagi" Padahal menurut guru, suling itu berada pada masa Amangkurat. Hem, siapakah sebenarnya orang yang sekarang memilikinya" Kalau
aku sampai mati, Oh, Gusti Allah, apa yang bakal
melanda dunia persilatan bila Suling Kematian
berada di tangan tokoh sesat?" keluh Jaka seperti putus asa. "Oh, aku... aku
terasa sakit dadanya.
Ouh, Ratu... aku..."
Tengah Jaka dalam keadaan sekarat, tibatiba Pedang Siluman Darah muncul melayang di
depannya. Dengan segera Jaka menangkapnya,
dan babatkan pedang tersebut ke muka. Seketika
tenaga yang menariknya hilang.
Tersentak Amangkurat dan Daeng Surih
melihat pedang yang melayang sendiri dan menghampiri pendekar muda itu. Namun lebih tersentak mereka, manakala dirasa semuanya tak ada
guna manakala pendekar muda itu tebaskan pedangnya. "Itukah senjatanya, Ayah?" tanya Daeng
Surih setelah dapat menenangkan diri dari rasa
kagetnya. "Benar, Anakku. Lihatlah itu... pedang itu
mengeluarkan darah dari ujungnya..."
Mendengar seruan ayahnya, segera Daeng
Surih mengikuti arah yang ditunjuk oleh ayahnya. Memang benar, nampak pedang di tangan
Jaka mengeluarkan darah meleleh membasahi
batang pedang. Pedang itu juga bersinar kuning
kemerah-merahan, menjadikan pantulan yang
menyilaukan. "Ah, sungguh aneh!" seru Daeng Surih bergumam kaget.
Tengah kedua ayah dan anak itu tersentak
kaget, tiba-tiba Jaka yang sudah marah merasa
dipermainkan berseru membentak dengan Pedang
Siluman Darah mengkiblat ke arah mereka.
"Kalian yang berada di atas pohon, turun
Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lah!" Tanpa banyak membangkang, kedua anak
bapak tersebut segera melompat turun dan langsung menjura pada Jaka yang terbengongbengong tak mengerti akan tingkah laku mereka.
Belum juga Jaka mengerti apa maksud mereka
sesungguhnya yang telah mengerjai dirinya, terdengar Amangkurat berkata mewakili anaknya.
"Ampunkanlah kami, Tuan Pendekar.
Sungguh kami tidak sengaja berbuat begitu. Kami
hanya ingin mencari kebenaran adanya tuan pendekar yang katanya hendak hadir di pulau Andalas ini." "Hem, kau adalah siluman. Kenapa kau
berteman dengan pemuda manusia?" tanya Jaka setelah mengetahui bahwa Amangkurat
memang kini bukan kaum manusia lagi melainkan kaum
siluman. "Apa kepentinganmu meniup Suling
Kematian, Anak Muda?"
"Nama hamba, Daeng Surih," jawab Daeng
Surih yang merasa pertanyaan Jaka ditujukan
padanya. "Hamba memang diutus oleh kakek
hamba Daeng Dato Kumbuh untuk meminta tolong pada tuan pendekar."
"Daeng Dato Kumbuh, heh bukankah kakekmu adalah adik seperguruan Daeng Loreng?"
tanya Jaka agak sedikit terkejut mendengar nama
Daeng Dato Kumbuh disebut. "Apa yang dikatakan olehnya" Ah, kenapa mesti aku" Bukankah
kau sendiri memiliki ilmu yang tinggi" Terbukti
kau mampu meniup Suling Kematian milik
Amangkurat."
Mendengar namanya disebut oleh Jaka,
seketika Amangkurat tundukan kepala makin dalam sembari berkata: "Hambalah Amangkurat.
Dan Daeng Surih ini adalah anak hamba."
"Ah, tak aku sangka kalau aka dapat bertemu dengan Amangkurat yang namanya sudah
kondang pada masa guruku. Bukankah engkau
Amangkurat Leluhur Sakti?" tanya Jaka setelah hilang kagetnya.
"Begitulah, Tuan Pendekar," jawab Amangkurat. "Apa yang aku dapat bantu"
Sedangkan aku sendiri kini tengah menghadapi masalah. Aku
sengaja datang dari Jawa untuk membereskan
masalahku, yaitu menangkap hidup atau mati
Datuk Raja Beracun yang telah membuat keonaran dengan menculik gadis-gadis."
Membelalak mata kedua anak dan bapak
mendengar keterangan yang dilontarkan Jaka.
Karena saking girangnya, kedua anak dan bapak
seketika tanpa sadar memekik.
"Itulah yang hendak kami mintai tolong!"
"Jadi kalian ada masalah dengan Datuk
Raja Beracun?"
"Benar, Tuan Pendekar. Ceritanya begini...." Amangkurat akhirnya perlahan-lahan
mengulur kembali kejadian-kejadian dua puluh
tahun yang silam. Kejadian yang menyebabkan
dirinya kini harus menjadi bangsa Siluman, kejadian yang menjadikan dirinya harus berpisah
dengan anak dan istrinya.
"Begitulah, Tuan Pendekar. Kami telah berusaha menghalau dan menghentikan sepak terjangnya, sampai-sampai aku meminta pertolongan pada Ratuku. Semua ternyata sia-sia, sebab
ilmu Datuk Raja Beracun jauh di atas ilmu Ratuku." "Baiklah. Aku akan mencoba menghentikan sepak terjangnya, tapi bukan karena
urusan perorangan. Aku bertindak hanya karena ketentraman manusia," jawab Jaka menyanggupi. "Ma-ri kita ke sana. Aku rasa, kini
mereka tengah menghadapi pemilihan ketua pendekar. Jangan
sampai kita terlambat."
"Mari, Tuan Pendekar."
Dengan segera ketiga orang itu berkelebat
meninggalkan tempat tersebut. Karena mereka
menggunakan ilmu lari, sehingga langkah mereka
seperti terbang. Maka dalam sekejap saja, tubuh
mereka telah menghilang dari pandangan.
* * * Suasana pemilihan ketua pendekar pulau
Andalas nampak riuh. Masing-masing mengajukan calon-calonnya. Ketika calon terkuat yang dianggapnya paling sakti dan mumpuni yaitu Datuk
Raja Beracun hendak dilantik jadi pimpinan Pendekar, tiba-tiba terdengar dari luar suara membentak yang dibarengi oleh kelebatnya sesosok
tubuh pemuda. "Hentikan!"
"Siapa kau!" bentak Raja Beracun marah, merasa penobatan dirinya menjadi
pimpinan pendekar terganggu. "Lancang benar kau, Anak mu-da!" Seketika semua
orang yang berada di situ tancapkan mata mereka memandang ke arah pemuda tampan
yang telah berdiri menghadapi Datuk Raja Beracun. Orang-orang yang telah tahu
siapa adanya pemuda itu, seperti Daeng Loreng
seketika menyerukan nama sang pemuda.
"Jaka Ndableg!"
"Saudara-saudara, kalian ternyata telah ditipu mentah-mentah oleh Datuk Iblis ini. Apakah
kalian akan mau menanggung dosa Datuk Iblis
yang telah bertumpuk?" tanya Jaka acuhkan semua yang ada di situ. Seketika semua yang hadir
terdiam hening, tak seorang pun yang berani
membuka mulut. "Datuk Iblis ini yang telah membuat resah dunia persilatan hendak
kalian angkat jadi ketua. Apakah kalian semua tak menyadari
bahaya apabila benar-benar ia menjadi ketua
pendekar?"
"Setan! Lancang mulutmu, Anak Muda!"
bentak Datuk Raja Beracun geram. "Jangan percaya dengan omongannya! Dia hanya
ingin me- ngacau rencana kita saja."
"Tidak! Dia tidak mengarang cerita! Memang dia berkata benar adanya. Datuk Raja Beracun tak layak menjadi ketua perserikatan Pendekar Pulau Andalas!"
Bareng dengan habisnya suara itu, sekonyong-konyong berkelebat sebuah bayangan yang
remang-remang. Bayangan itu adalah milik
Amangkurat, yang hanya dapat dilihat oleh orangorang yang berilmu tinggi saja.
"Aku bernama Amangkurat, aku telah menjadi korbannya."
"Amangkurat!" tersentak semua yang hadir, manakala mendengar seruan tanpa rupa
menge-nalkan dirinya.
"Bangsat" Kalian telah mengacau semuanya, hiat...!" Tiba-tiba dengan membentak marah Datuk Raja Beracun menyerang
Jaka dan Amangkurat yang berada di atas panggung. "Kalian harus lenyap dari muka bumi
ini!" Seketika Jaka dan Amangkurat melompat
elakan serangan Datuk Raja Beracun. Jaka yang
tak ingin Amangkurat terkena hantaman pukulan
beracun yang dilancarkan Datuk Raja Beracun
segera berseru memerintahkan pada Amangkurat
untuk minggir. "Amangkurat, menepilah. Lebih baik
anakmu yang membantuku. Hanya dengan Suling
Kematian, ilmunya akan lenyap. Biar aku yang
akan mengaco konsentrasinya. Cepat suruh
anakmu untuk menghadapinya, biar aku membantu." Amangkurat yang tahu siapa adanya Pendekar Pedang Siluman Darah dengan segera berkelebat meninggalkan panggung. Kini tinggal Jaka
yang terus memapaki setiap serangan Datuk Raja
Berbisa. Di pihak lain, semua yang hadir pun seketika saling serang. Para tokoh persilatan yang ta-hu siapa adanya Datuk Raja
Beracun seketika
menyerang anak buah Datuk Iblis itu. Pertarungan pun makin bertambah seru.
Jaka yang sudah tahu siapa adanya Datuk
Raja Beracun tak mau main-main lagi, semua
ajian yang ia miliki kecuali Jamus Kalimu Sada
dikeluarkannya untuk menghadapi serangan sang
Datuk. Jurus demi jurus terus terlalui, seirama
dengan ledakan-ledakan yang diakibatkan oleh
bertemunya dua ajian bila bertemu. Ketika keduanya terus berjalan melanjutkan pertarungan,
Daeng Surih yang telah diperintahkan oleh ayahnya seketika berkelebat dengan Suling Kematian
siap mengalun. Melihat hal itu, Datuk Raja Berbisa segera mengalihkan serangannya pada Daeng
Surih. Namun demikian, dengan segera Jaka berkelebat memapakinya sembari berseru.
"Jangan gentar, Daeng Surih! Cepat tiup
serulingmu, biar aku yang mengacaunya!"
"Bedebah! Jangan harap kalian akan
mampu menghadapiku."
Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun
seketika diam bagaikan patung! Asap seketika
mengepul dari tubuhnya. Dan...!
Jaka yang tengah menyerangnya seketika
tersentak mundur, manakala dilihatnya wujud
Datuk Raja Beracun seketika berubah. Datuk Raja Beracun kini bukan berujud manusia, tapi kini
telah menjadi seekor harimau besar. Tengah Jaka
dan Daeng Surih tersentak kaget, harimau jejadian itu seketika menyerang mereka. Beruntung
kedua anak muda itu waspada yang dengan segera berloncatan mengelakannya.
"Petir Sewu...!" Jaka tiba-tiba berteriak, la-lu hantamkan ajian Petir Sewu ke
tubuh harimau jejadian tersebut. Ledakan-ledakan petir seketika membahana, menjadikan semuanya
seketika tutup telinganya tak tahan mendengar ledakan yang
bagaikan seribu suara petir. Namun bagi Harimau
itu bukan menjadi masalah, ajian Petir Sewu bagaikan tak berarti sama sekali lewat begitu saja.
"Tiup serulingmu, Daeng!" Jaka memerintahkan. Daeng Surih segera meniup serulingnya.
Seketika Datuk Raja Berbisa menggelepar, bagaikan kepanasan. Namun demikian, tubuh itu bagaikan kebal. Walau Suling Kematian terus ditiup, tubuh Datuk Raja Berbisa
dengan ganas bangkit
sambil meraung panjang dan menyerang dua pemuda pendekar tersebut.
"Tapak Prahara, hiat...!" Jaka kembali berkelebat, tangannya berwarna merah
menyala ba- gaikan bara api. Dipapakinya serangan Datuk Raja Beracun. Dan....
"Hiat...!"
"Aum...!"
"Bum, bum, bum!"
Tiga kali bunyi gedebum menggema, manakala tangan Jaka Ndableg yang telah disaluri
ajian Tapak Bahana menghantam tubuh Harimau
jejadian. Jaka agak sedikit tenang, namun seketika matanya kembali membelalak manakala melihat apa yang terjadi. Harimau itu kini bukan satu, tapi bertambah banyak.
"Gusti Allah, mengapa demikian jadinya?"
keluh Jaka terjengah.
"Saudara pendekar, Awas...!"
Jaka tersentak, manakala puluhan harimau itu menyerangnya. Untung Daeng Surih
memperingatkannya, kalau tidak. Niscaya tubuhnya telah terkoyak-koyak.
Sambil melompat mengelakkan serangan
sepuluh harimau itu Jaka berseru: "Daeng Loreng, dapatkah kau membantuku?"
Daeng Loreng seketika menengok, lalu
dengan senyum Daeng Loreng berseru. "Dapat
Jaka, terimalah bulu harimau ini. Taburkan bulu
harimau itu ke tanah. Kau hadapi satunya yang
paling besar."
Jaka Ndableg segera lemparkan tubuh ke
luar arena, lalu dengan cepat diambilnya bulubulu harimau dari tangan Daeng Loreng. Ditebarkan bulu-bulu itu, seketika bulu-bulu tersebut
berubah menjadi harimau-harimau loreng. Tak
ayal lagi, harimau-harimau itu pun saling serang.
kini Jaka tinggal menghadapi yang satu, yang merupakan jelmaan Datuk Raja Berbisa.
"Ayo Datuk, kita lanjutkan permainan kita." "Aum...." Harimau jejadian itu mengaum, menunjukkan gigi-giginya yang
runcing dan tajam. "Aku lumatkan tubuhmu, Anak sombong."
"Hem, silahkan kalau memang kau mampu, Datuk!"
Dengan menggeram terlebih dahulu Datuk
Raja Berbisa berkelebat kembali menyerang Jaka
Ndableg. Jaka yang telah waspada segera elakan
serangan, namun tak ayal pundaknya tercakar
kuku-kuku harimau itu. Rupanya kuku-kuku harimau jejadian itu mengandung racun, menjadikan Jaka seketika merasakan pening. Segera Jaka diam heningkan cipta, lalu dari mulutnya
membersit suara memanggil gurunya Ratu Siluman Darah. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!" Setelah pedang Siluman Darah berada di
Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya, segera Jaka tempelkan pedang tersebut pada bahu kirinya yang luka. Sesaat, bahu
itu mengering sembuh, darah biru bercampur racun keluar terhisap Pedang Siluman Darah.
"Nah, Datuk, bersiaplah. Kini giliranku untuk menyerang!"
Mata Datuk Raja Berbisa seketika menyala,
melotot kaget demi melihat senjata di tangan Jaka. Senjata itu mengeluarkan darah, meleleh dari
ujungnya membasahi batang pedang. Belum
sempat sang Datuk hilang kagetnya, Jaka dengan
cepat berkelebat sembari babatkan pedang Siluman Darah. Sang Datuk mencoba berkelit, namun dengan cepat Pedang Siluman Darah memapakinya. Tak ayal lagi, seketika Datuk Raja Beracun mengaung panjang. Tubuhnya dari leher terpotong, hingga kepalanya menggelinding jatuh ke
bawah. Seketika kepala itu berubah kembali jadi
kepala manusia.
Melihat pimpinannya mati, serta merta
anak buah Datuk Raja Berbisa yang tengah bertempur melawan para pendekar menyerah kalah.
Amangkurat dan Daeng Surih segera melompat
hendak menghampiri Jaka, manakala keduanya
tersentak kaget. Jaka yang tadi masih berada di
tempat itu, tiba-tiba menghilang entah ke mana.
Tengah semua terbengong-bengong mencari Jaka, terdengar suara Jaka berseru. "Aku sudah berada di pantai, aku ucapkan
selamat ber- juang, Daeng Loreng, bila kau ingin tenang angkatlah Daeng Surih sebagai raja. Dia kelak akan
menjadi pelindung kalian yang bijaksana. Nah,
selamat berjuang Daeng Surih...."
Semua mata hanya terjengah tanpa dapat
melihat Jaka. Semuanya hanya mendesah panjang. Hari itu juga Daeng Surih diangkat menjadi
Raja kaum Persilatan Pulau Andalas...
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Peti Bertuah 1 Serigala Dari Kunlun Long Cu Ya Sim Karya Kwao La Yen Patung Dewi Kwan Im 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama