Ceritasilat Novel Online

Ratu Maksiat Telaga Warna 2

Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna Bagian 2


makin besar, ngidamnya bukanlah ngidam yang
wajar. Ningrum mengidam sesuatu yang mungkin
dirasa aneh. Bayi dalam kandungannya meminta
senjata laki-laki. Sungguh keterlaluan dan menyedihkan bagi laki-laki yang mendengarnya.
"Aku juga heran, Nek. Mengapa sejak perutku membesar aku ingin sekali selalu bersama
laki-laki?" keluh Ningrum seakan menyesali keadaan dirinya. "Aku hamil, manalah
mungkin aku akan bertualang, Nek?"
"Jangan khawatir. Akulah yang akan mencarikan mangsa."
Si nenek kedipkan mata dengan bibir tersenyum, yang lalu di sahuti oleh Ningrum dengan
tersenyum pula. Setelah begitu, keduanya kembali melangkah menuju ke gubug. Dan kembali tepian pulau di Tengah Telaga pun sunyi-senyap.
* * * Malam itu nampak di rumah kediaman
seorang pendekar yang namanya sudah cukup
kondang berkelebat sesosok bayangan. Bayangan
itu milik seorang yang berpakaian serba hitam
dengan tali kepala yang sengaja diikat dengan
warna putih. Di tengah tali pengikat kepala, nampak sebuah gambar seekor
kelabang berwarna
merah. Bayangan tersebut sesaat berhenti, menyembunyikan dirinya di balik pepohonan yang
rimbun. Perlahan dengan langkah ringan bayangan tersebut melayang ke udara dan hinggap di
atas sebuah wuwungan rumah tersebut.
"Tampaknya Pramana belum tidur. Hem,
akan aku gunakan ajian penyirepku," bisik hati wanita pemilik tubuh tersebut,
lalu dengan segera wanita itu pun mengheningkan cipta, dan...!
"Aji Sirep Sukma Tirep. Hiat...!"
"Oauh...!" terdengar suara seseorang men-guap, sesaat lalu tak terdengar katakata lagi. Per-lahan tubuh terbungkus pakaian serba hitam
itu membuka satu persatu genting yang ada di
bawah pijakan kakinya. Dan dengan tubuh ringan
wanita itu melayang ke bawah. Matanya memandang sekeliling sesaat, lalu bergegas wanita itu melompat ke sebuah ruangan di
mana biasanya Pramana menyimpan pedang pusakanya, yaitu
pedang Sukma Layung.
Wanita itu tertegun di kamar tempat penyimpanan pusaka-pusaka milik Pramana. Di
kamar tersebut banyak terdapat lemari, namun di
lemari yang manakah senjata pusaka tersebut
disimpan" Mata wanita yang hanya nampak dalam lobang kain hitam penutup mukanya jalang
mengawasi satu persatu almari tersebut.
"Mungkin ini," gumamnya.. Segera ia pun menghampiri lemari yang berada paling
ujung. Perlahan lemari itu dibongkarnya. Namun tidak
urung bunyi congkelan itu pun menggema. Beruntung semua yang ada di rumah itu telah terlelap tidur akibat aji sirep yang dilontarkannya, kalau tidak. Sungguh sebuah
petaka bagi dirinya.
Kembali wanita bercadar hitam itu mencongkel pintu lemari tersebut. Dan dengan segenap susah payah, akhirnya wanita itu pun berhasil juga membongkar lemari tersebut. Sejenak dipandanginya segala macam senjata yang ada. Matanya seketika menghunjam pada sebuah pedang
yang memancarkan sinar kuning.
"Ini dia!" pekiknya dalam hati. Tanpa banyak memilih lagi, diambilnya pedang
tersebut. "Aku harus segera pergi dari sini."
Dengan hasil sebuah pedang pusaka Sukma Layung, segera maling tersebut mencelat lewat pintu belakang dan pergi
meninggalkan rumah
tersebut. * * * Betapa alang kepalang kagetnya Pramana,
manakala melihat pintu lemari pedang pusakanya
telah terbongkar. Tanpa banyak tanya, segera
Pramana menghambur dan mencari-cari gerangan
apa yang telah hilang.
"Maling bangsat! Rupanya Pedang Pusaka
Sukma Layung yang digondolnya! Awas kalau aku
tahu, jangan harap akan dapat aku maafkan!"
memaki dan mengumpat Pramana penuh amarah.
"Ada apa, Kang mas?" tanya sang istri, yang terjaga dari tidurnya demi mendengar
suaminya mencak-mencak. "Mengapa sepagi ini engkau marah-marah, Kakang?"
"Kau lihat sendiri."
Melotot mata istri Pramana melihat apa
yang telah terjadi di rumahnya. Rupanya maling
semalam telah masuk dan membobol lemari tempat menyimpan barang-barang pusaka.
"Sudah pasti, malingnya tak lain orangorang persilatan juga, Kakang?"
"Memang, Dinda. Malingnya memang
orang-orang persilatan. Tapi siapa?" Pramana berkata seakan hendak menangis.
Bagaimana tidak, senjata tersebut adalah warisan kakek gurunya yang harus dijaga baik-baik. Kembali Pramana teringat akan pesan gurunya, manakala
kakek gurunya hendak menyerahkan pedang tersebut padanya. "Pramana, pedang ini jangan sampai berada di tokoh sesat, sebab tidak mungkin kalau pedang pusaka ini akan mereka gunakan untuk kebaikan. Dan bila pedang pusaka ini untuk berbuat jahat, niscaya dia akan meminta korban,
yaitu korban dari keluarga yang memegangnya.
Ingat pesanku baik-baik! Bila pedang ini hilang
dan digunakan untuk kejahatan, maka salah seorang keluargamu akan menjadi korbannya."
"Oh, bencana apa lagi yang akan menimpa
keluargaku?" keluh Pramana, menjadikan sang istri seketika tersentak kaget. Ia
yakin bahwa ucapan suaminya bukanlah ucapan sembarangan, namun ucapan seorang yang benar-benar
mendalami arti sesungguhnya benda pusaka.
"Sudahlah, Kang mas. Janganlah kakang
terlalu memikirkannya. Bukankah lebih baik kakang mencarinya?" istrinya berkata mencoba
menghibur. "Kalau kakang hanya merenung dan menyesali, manalah benda tersebut
akan pulang dengan sendirinya?"
Pramana tak dapat berkata, ia diam memaku berdiri. Omongan istrinya dirasa benar
adanya. Ya, kalau dia hanya merenung dan memikir saja, manalah pedang tersebut akan kembali. Dia harus mencarinya, mencari siapa adanya
yang telah mencuri pedang miliknya.
"Baiklah, Dinda. Kakang akan mencoba
mencarinya. Kakang minta do'a darimu."
"Dinda selalu berharap kang mas dalam
kebaikan."
Setelah mencium istrinya, dengan diiringi
istrinya sampai di pintu rumah Pramana pun meninggalkan rumah untuk mencari orang yang belum diketahui siapa adanya. Namun tekadnya
membulat, bisa atau tidak ia harus menemukan
pedang tersebut walau nyawanya sebagai taruhannya. *** 5 Setiap hal yang nantinya buruk, tentunya
awal mulanya akan baik dan menyenangkan
hingga orang yang tak sadar akan terlarut di dalamnya. Semua itu hanyalah perbuatan setan belaka, yang ingin menjerat manusia agar turut ber-samanya....
Begitu juga halnya yang dialami oleh Kamto, seorang warga desa Kemanyar yang telah berguru pada Ratu Telaga Warna. Kamto berguru
pada Ratu tersebut, semata-mata mendengar berita bahwa Ratu itu mampu memberikan sebuah
ajian yang sangat hebat dengan cara yang menggiurkan. Sebagai seorang pemuda normal, jelas
Kamto pun ingin membuktikan kebenaran apa
yang dijadikan dengang dengung kabar burung.
Maka dengan bekal semangat untuk dapat menjadi orang sakti mandra guna, Kamto pun berangkat menuju tempat yang telah diketahui
olehnya melalui tanya sana tanya sini.
"Betapa aku akan menjadi orang sakti dengan cara yang nikmat. Sungguh sebuah kesempatan yang tak akan ada lagi," gumam Kamto sembari terus melangkahkan kakinya
menuju ke- tempat yang telah dijadikan tujuannya, yaitu Telaga Warna. Sebenarnya Kamto mendengar kabar tersebut, manakala ia tengah melamun seorang diri
memikirkan keadaan kampungnya yang kini makin rawan oleh perampokan dan begal. Hampir
setiap malam kampungnya di jarah oleh rampok
dan begal. Sebagai warga yang baik, ingin sekali Kamto dapat menunjukkan darma
baktinya pada desa. Namun ternyata garong-garong tersebut bukanlah orang sembarangan, mereka hampir seluruhnya menguasai ilmu silat. Bila hanya ilmu silat saja yang dia miliki, jelas sia-sia. Terbukti Ki Kamsin, ia memiliki ilmu
beladiri, namun ternyata ia tak mampu menghadapi kesepuluh garong
yang menjarah rumahnya. Dan sudah tentu diketahui hasilnya. Tubuh Ki Kamsin bagaikan sebuah daging cincang, rapat dengan bacokan-bacokan golok dan tusukan-tusukan keris.
Bukan hanya Ki Kamsin saja yang mempunyai ilmu beladiri namun akhirnya mati di tangan para garong. Bapaknya juga,
mati digorok oleh
para garong. Juga pamannya, Suroso mati oleh
kekejaman para garong tersebut.
"Garong-garong biadab! Tunggulah nanti
pembalasanku!" pekik Kamto penuh kebencian, sambil terus melangkah Kamto terus
menghayal bagaimana jika ia telah memperoleh ajian yang
mampu menahan segala bacokan atau hantaman
lawan. Bila ingat semuanya, seketika Kamto
menggeretak penuh amarah. Dikepalkannya tangan, meninju tangan sebelahnya.
Perjalanan dari rumahnya ke Telaga Warna
bukanlah jarak yang pendek. Namun karena didasari oleh semangat yang tinggi, menjadikan
Kamto bagaikan tak mengenal rasa capai sedikit
pun. Tak hiraukan semak berduri yang menghalanginya, ia terus saja mantapkan langkah. Ketika sore telah tiba, Kamto pun
sampailah pada tempat yang dituju. Namun seketika hatinya bimbang, bagaimana mungkin dirinya akan mampu
menyeberangi telaga yang begitu luas" Salahsalah dirinya tak jadi berhasil malah akan mati.
Kamto bermaksud membalikkan tubuhnya hendak kembali, manakala terdengar seruan seorang
wanita yang diseru dari jarak yang jauh, tempatnya di tengah telaga warna.
"Anak muda, kenapa engkau urungkan
niatmu" Apakah engkau akan menyia-nyiakan
segala apa yang menjadi tujuanmu"!"
"Heh, benar juga apa yang diserukan oleh
wanita tua itu," gumam Kamto. "Tapi, aku tak mampu untuk mengarungi telaga yang
begini luas." "Kenapa engkau terdiam, Anak muda! Cepatlah kemari! Turunkan tubuhmu ke
air, pasti kau akan mampu menuju ke sini!" kembali wanita tua itu berteriak, menjadikan
Kamto terbengong.
Bagaimana mungkin nenek itu berkata seenaknya. Ia mencebur" Ya kalau dangkal, tapi kalau
dalam" Apakah tidak namanya dia sengaja bunuh
diri" "Bagaimana aku dapat menuju ke situ, Nek?"
"Gampang! Terjunkan dirimu, air itu tak
akan mau menenggelamkan tubuhmu!"
"Ah...!" Kamto memekik, nampak masih ra-gu. "Kau jangan bercanda, Nek!"
"Hi, hi, hi...!" nenek itu cekikikan. "Percaya-lah pada Ratu yang hendak
menjadikan dirimu
pendampingnya. Dengan ilmu yang dimiliki oleh
sang Ratu, kau tak akan tenggelam. Nah, boleh
kau coba sekarang."
Dengan setengah takut-takut Kamto segera
menurunkan dirinya untuk mencebur. Dalam benaknya hanya ada satu pilihan, ia harus mampu
sampai dan dapat mengeloni tubuh Ratu Telaga
Warna yang menurut kabar cantik jelita. Dan
sungguh-sungguh membuat Kamto seketika
membelalakkan mata. Bagaimana tidak! Air telaga
itu dirasakannya sangat keras menopang tubuhnya, sehingga tubuh Kamto pun seperti berjalan biasa. Kamto malah kini berlari, sepertinya ia merasakan sebuah pengalaman
yang baru kali ini
ia alami. "Aneh. Mengapa air ini tak ubahnya seperti
tanah?" bertanya-tanya Kamto pada diri sendiri.
Dicobanya menyauk dengan tangan, dan ternyata
memang benar-benar air adanya. "Heh, apakah aku tidak sedang bermimpi?"
"Jangan kaget, Anak muda. Itu semua karena Sri Ratu menghendaki dirimu. Jika Sri Ratu
tidak menghendakimu, niscaya sudah dari semula kau akan tenggelam!" nenek tua itu kembali berseru.
Kamto yang tengah tercengang makin tercengang saja demi mendengar ucapan si nenek
yang mengatakan bahwa Sri Ratu memang meng

Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendaki dirinya. Jadi kalau begitu ia tak akan
mengalami kesusahan lagi untuk mendapatkan
segala apa yang diimpikannya. Kamto tak menyangka bahwa suara gaib itu memang benar
adanya. Tengah Kamto masih terbengong dalam
ketidak mengertiannya, kembali terdengar si nenek berkata: "Cepatlah datang, sungguh engkau lelaki
yang menjadi pilihan Sri Ratu. Dan engkaulah
yang menjadi pemuda paling beruntung."
Kini makin terlintas saja khayalankhayalan indah di benak Kamto. Khayalan bagimana ia akan menggulati tubuh Sri Ratu yang
cantik jelita. Tubuh Sri Ratu yang sudah pasti
mulus dan elok. Ah, sungguh dirinya memang beruntung. Sudah akan mendapatkan kenikmatan,
ia juga akan mendapatkan ilmu yang sangat tinggi. Tak berapa lama kemudian Kamto pun telah mendarat di pulau, dimana berada di tengahtengah tegalan tersebut. Kehadirannya di sambut
hangat oleh si nenek yang langsung membawanya
menuju ke dalam bangunan yang cukup besar.
Seketika mata Kamto melotot bagaikan mau keluar saja layaknya, manakala keduanya masuk
lebih dalam dan menemui sang ratu. Bagaimana
mata Kamto sebagai seorang anak muda tidak
melotot" Bagaimana darah lelakinya tidak mendidih saat itu juga" Dihadapan Kamto kini terpapar sesosok tubuh indah menggiurkan
tanpa menge- nakan sehelai benangpun, tersenyum ke arahnya.
"Tuan Putri, inilah pemuda tersebut," si nenek berkata setelah terlebih dahulu
menjura hormat. "Semoga Tuan Putri berkenan menerimanya." "Aku menerimanya, dan tinggalkan kami
berdua, Nek."
"Daulat, Tuan Putri, hamba mohon pamit
undur." Si nenek untuk kedua kalinya menghormat, lalu setelah begitu ia pun
meninggalkan wanita cantik tersebut bersama Kamto yang masih
terpaku ditempatnya dengan tubuh bagaikan diserang demam yang hebat.
Kamto makin menggigil tatkala tubuh wanita cantik jelita itu bangun dari tempat tidurnya, melangkah menuju ke arahnya
dengan bibir masih menggerai senyum. Tubuh wanita itu benarbenar sempurna, tanpa cacat cela sedikit pun.
Tubuh tanpa tertutup sehelai kain pun kini melangkah ringan, berlenggak lenggok mendekati
Kamto. Namun seketika mata Kamto mengarah
pada perutnya. Perut itu melenting bagaikan
orang bunting. Kamto ingin bertanya, namun seketika hatinya menolak. Dia takut kalau-kalau
nantinya Sri Ratu akan marah besar padanya.
Tak disadari oleh Kamto, Sri Ratu Telaga Warna
tiba-tiba menggelantungkan tangannya di leher
Kamto. "Siapa namamu, pemuda ganteng?"
"Nama hamba, Sukamto."
"Kau ingin menjadi seorang yang sakti
mandra guna, Kamto?"
Kamto tak segera menjawabnya. Kini ia benar-benar telah terlelap dalam pelukan mesra
yang dilakukan oleh Sri Ratu. Kamto kini benarbenar terhanyut dalam khayal-khayal yang indah.
Khayalan seorang pemuda yang baru pertama kalinya melakukan apa yang seharusnya dilakukan
oleh seorang suami istri. Tangan Sri Ratu Telaga Warna bergerak, dan dengan
perlahan satu persatu pakaian Kamto pun melesat jatuh ke bawah.
* * * "Bagaimana, Kamto" Apakah kau ingin
menjadi seorang yang sakti mandra guna?" kembali Sri Ratu berkata, kali ini
sangat lembut sua-ranya. Tubuh Sri Ratu menggelinjang-gelinjang
penuh kenikmatan, bergesek dengan tubuh Kamto yang juga telah telanjang bulat. Bagai disengat aliran listrik jutaan volt,
tubuh Kamto seketika turut tersedot oleh irama permainan yang. dilakukan oleh
Sri Ratu Telaga Warna. "Kenapa engkau terdiam, Kamto" Tidakah engkau menghendaki ilmu yang sangat tinggi?"
"Sa-saya, menginginkannya, Sri Ratu,"
Kamto berkata terbata-bata. Matanya terus
menghunjam liar, menyelusuri tubuh Sri Ratu
yang berdiri telanjang di depan matanya. Tubuh
yang sepertinya hendak memberikan segala apa
saja pada Kamto. Ya, ilmu yang akan menjadikan
dirinya sakti, juga kenikmatan yang tanpa batas
akan dapat Kamto renggut.
"Menginginkan apa, sayang?" Sri Ratu berkata manja. Tubuhnya bergerak liar, kekanan dan
kekiri, sepertinya tubuh Sri Ratu menari, sehing-ga Kamto yang tergesek pun
seketika merasakan
kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan yang baru sekali ini dirasakan oleh Kamto.
Mata Sri Ratu yang tajam, seketika beradu
pandang dengan mata Kamto. Kamto merasakan
sebuah letupan-letupan timbul di dalam sanubarinya. Letupan itu menggejolak, menjadikan nafas Kamto seketika menggerek bagaikan berat. Sri Ratu tersenyum, dan masih dalam
gerakan-gerakan yang liar, yang mampu menjadikan Kamto memejamkan dan memelekkan mata merasa
nikmat. "Kamto, kalau kau ingin mendapatkan apa
yang engkau mau, maka kau harus mau menuruti segala apa yang menjadi aturankau di sini. Bagaimana, apakah kau akan
sanggup?" tanya Sri Ratu masih terus berbuat begitu, menggoyangkan
tubuhnya melenggak lenggok bergesek dengan
tubuh Kamto. Perlahan dibimbingnya tubuh Kamto, melangkah menuju ke tempat di mana tadi dirinya berbaring. Kamto tetap saja diam, menuruti apa yang dihendaki oleh Sri
Ratu. "Apa yang harus hamba lakukan, Tuan Putri?" tanya Kamto dengan napas memburu. "Demi Sri Ratu, hamba akan menjalankan
segalanya asalkan hamba diberi bekal ilmu yang mampu
untuk hamba pergunakan."
"Benar, Kamto?" tanya Sri Ratu manja.
"Adakah hamba dirasa berdusta?" Kamto
balik bertanya. Kini tangannya yang kokoh dan
kekar telah mendekap erat tubuh Sri Ratu yang
menggelinjang-gelinjang di bawah dekapan Kamto. Sri Ratu tersenyum, lalu katanya: "Aku
percaya, Kamto. Nah, dengarlah. Sejak saat ini,
kau dalam kuasaku. Kau harus menuruti apa kataku. Seminggu kau harus di sini dulu, agar ilmu yang engkau inginkan dapat
segera engkau dapatkan."
"Seminggu, Sri Ratu?" tanya Kamto setengah heran.
"Ya, kenapa?" Sri Ratu balik bertanya.
"Apakah engkau keberatan bila harus di tempat ini seminggu. Apakah engkau tak
suka untuk memberikan kepuasan padaku selama seminggu?" "Bu-bukan itu. Hamba akan mau dan dengan senang hati akan memberikan segala
kenik- matan yang Sri Ratu kehendaki sampai kapanpun. Jadi, jelasnya hamba tidak menolak untuk
tinggal di sini selama seminggu."
"Lalu, mengapa engkau seperti keheranan,
Kamto?" "Hamba tadinya mengira kalau hamba
akan diberikan waktu yang lamanya 40 hari, seperti orang-orang lain melakukan tapa Brata."
Sri Ratu Telaga Warna tersenyum, mendengar ucapan Kamto.
"Padaku, tidak! Kau cukup melayani saja
apa yang aku inginkan hanya dalam waktu seminggu. Setelah itu, kau akan mendapatkan apa
yang engkau cita-citakan," Sri Ratu berkata: "Ah,
sudahlah, yang penting kita nikmati dulu segalanya dalam seminggu. Setelah itu, kau harus
mampu menarik pemuda-pemuda kampungmu
dan pemuda kampung lain ke mari. Kau sanggup,
Kamto?" "Sanggup, Sri Ratu," Kamto menjawab.
"Apapun akan hamba lakukan demi Sri Ratu,
asalkan hamba selalu dapat menjadi pendampingmu. Hamba sungguh mencintai Sri Ratu."
Tersentak Ratu Telaga Warna mendengar
ucapan Kamto. Bagaimanapun juga ia tidak menyangka kalau Kamto akan berkata terus terang
begitu. Namun demi membahagiakan Kamto, Ratu Telaga Warna pun mengangguk dan berkata:
"Baiklah, aku akan mengangkatmu sebagai pen-dampingku, tapi kau harus
menjalankan tugasmu
terlebih dahulu. Dan setelah anak dalam kandunganku ini lahir, Kau mau?"
Kamto tak berkata menjawab pertanyaan
yang diajukan oleh Ratu Telaga Warna. Ia hanya
mengeratkan dekapannya, lalu mendenguskan
napasnya dengan tajam, seakan mengisyaratkan
pada Ratu Telaga Warna untuk segera memulai.
Sri Ratu nampak masih tersenyum, lalu dengan
penuh semangat membalas dekapan Kamto dengan diikuti oleh tarian pantatnya. Tak ayal lagi, Kamto seketika menggigit
bibirnya menahan gejolak nafsu yang menggebu-gebu.
"Sri Ratu, Oah...!"
"Kau sudah bersedia, Kamto?"
"Apapun hamba telah bersedia, Sri Ratu."
"Baiklah, Kamto. Ingat! Kalau kau bermaksud membantah, maka kau akan tahu sendiri apa
akibatnya!" Ratu Telaga Warna akhirnya terdiam membisu, seperti juga Kamto.
Kedua mahluk yang dinamakan manusia itu akhirnya saling memacu dalam segalanya. Kamto melototkan mata,
lalu mengerang bagaikan disetrom oleh ribuan
watt arus. Tubuh Kamto sejenak terdiam, lalu
terkulai di sisi tubuh Sri Ratu yang tak mau
membiarkan Kamto terkulai begitu saja. Rupanya
Sri Ratu belum mendapatkan kepuasan. Maka
dengan segera ditubruknya tubuh Kamto yang
terkangkang, dan dengan liar Ratu Telaga Warna
segera menggoyangkan tubuhnya. Sungguh adegan yang mendirikan bulu kuduk. Walau pun
adegan tersebut bukan adegan horor, tapi cara
Ratu Telaga Warna mencari kepuasan mampu
menjadikan pemuda Kamto terintih-rintih menahan segala siksa.
*** 6 Tujuh hari sudah Kamto menghilang, sehingga orang-orang desanya menyangka bahwa
Kamto telah menjadi korban Ratu Telaga Warna.
Tapi ternyata dugaan semua pemuda di kampungnya seketika meleset, manakala sore itu
Kamto nampak berjalan dengan lesu pulang ke
desanya. "Kamto...! Hai itu Kamto datang!" seru seorang rekannya pada temannya yang lain, yang segera mengalihkan pandangannya ke arah di mana
Kamto muncul. "Benar! Itu Kamto. Ayo kita sambut!"
Dengan penuh rasa bangga seluruh pemuda yang sore itu tengah nongkrong segera berhamburan menghampiri Kamto yang tersenyum
menyambut kedatangan rekan-rekannya.
"Wah, Kam. Sudah kami kira engkau menjadi korban," seorang temannya langsung membuka kata.
"Ya, kami kira engkau telah mati, sebab
kau lama benar menghilang. Bagaimana, apakah
engkau telah mendapatkan ilmu yang engkau inginkan tersebut?"
"Kalian nanti malam boleh menyaksikannya. Kamto sekarang bukanlah Kamto yang dulu.
Kamto sekarang adalah Kamto yang mempunyai
ilmu yang tinggi. Hua, ha, ha...!" Kamto berkata menyombong, menjadikan semua
rekannya seketika kerutkan kening. "Kalian akan tahu kehebatan ilmuku. Nanti
malam, para garong itu akan
menerimanya. Hua, ha, ha...!"
"Kau tidak berdusta, Kam?" tanya temannya penuh keheranan.
"Hem, Jupri. Apakah kau tak yakin?" Kam-to balik bertanya, menjadikan Jupri
terdiam. "Kau ikutlah denganku, biar nanti malam engkau dapat melihatnya. Dan
kalian semua pun dapat ikut
denganku."
"Baik! Kami akan mengikutimu!" serentak semuanya menjawab.
Dengan tenang diiringi oleh puluhan pemuda kampungnya Kamto melangkah menuju ke
rumahnya. Rumah yang sudah seminggu ditinggalkannya. Pemuda-pemuda desa itu pun mengikuti, bahkan kini bertambah banyak pemuda itu.
Mereka ingin mendengarkan apa yang telah dialami Kamto selama seminggu.
"Kalian tahu, heh. Bagaimana mulusnya
seorang gadis cantik" Jauh lebih mulus milik Sri Ratu." Semua tercengang
mendengar penuturan Kamto. Dalam benak semua pemuda itu terpampang bayangan
indah yang menjadikan diri mereka seketika terhanyut. Tak terasa lidah mereka
melelet, menahan kelu yang terjadi akibat rangsangan cerita Kamto.
"Kalian akan memiliki ilmu yang seperti
aku miliki, hanya dengan cara kalian mau melakukan persetubuhan dengan sang Ratu selama
seminggu."
"Ah...!" mereka memekik tertahan.


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" Kamto menanya.
"Enak benar" Sudah mendapatkan kepuasan dari seorang cewek cakep, kita mendapatkan
ilmu yang tinggi," gumam seorang pemuda yang nampak meleletkan lidahnya terus
menerus, sampai-sampai air liurnya meleleh.
"Ya! Kalian boleh membuktikan sendiri, bagaimana nanti ilmu yang aku miliki!" Kamto masih mencerca cerita, sehingga makin
menjadikan semua pemuda desanya seketika makin terjerumus masuk ke dalam khayal. "Kalian akan aku
antar bila ada yang hendak mendapatkan dua
keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama, kalian dapat merasakan nikmat surga dunia. Keuntungan kedua, kalian akan sendirinya mampu
memiliki ilmu yang sungguh hebat."
"Aku mau!"
"Aku mau!"
"Aku ikut, Kam!"
"Aku juga!"
Riuh seketika rumah Kamto oleh pekikan
pemuda-pemuda itu yang telah tertarik oleh cerita Kamto. Dan memang nampaknya
semua pemuda tersebut menuruti apa yang saat itu telah menggelegar di hati mereka. Dalam benak mereka
hanya ada bayangan-bayangan keindahan.
"Baiklah, kalian akan aku antar satu persatu ke sana. Maka itu kalian harus aku urut,"
Kamto berkata: "Warna...!"
"Saya Kam!" Warna menyahut.
"Surip...!"
"Ya...!"
"Gempol...!"
"Saya...!"
"Enteng...!"
"Saya, Kam!"
... Dan lain-lainnya pun dengan segera menyambut setiap seruan yang dilakukan oleh Kamto. Lengkap sudah seratus pemuda yang telah
mendaftarkan. Kini tugasnya telah selesai, tugas yang dibebankan oleh Ratu
Telaga Warna untuk
mencari pemuda sebanyak-banyaknya. Kamto
sunggingkan senyum, sebetulnya senyum itu adalah senyum sinis, namun karena mereka dalam
luapan khayalan yang indah menjadikan mereka
seketika lupa pada keadaan.
* * * Malam pun kini mendendang, tiba dengan
segala kepekatan yang menyelimuti desa tersebut.
Keadaan seketika sunyi bagaikan mati, hanya di
rumah Kamto saja yang tampak masih ramai. Tak
seorang pemuda pun yang berkeinginan pulang,
sebab mereka ingin menyaksikan bagaimana ilmu
yang dimiliki oleh Kamto, dan bagaimana pula
Kamto akan membekuk semua garong yang sering
menjarah kampungnya. Semuanya tampak tak
seorang pun tidur, mereka asyik main gaple cepecepe. Setiap bantingan kartu, seketika meledaklah tawa ria semuanya.
"Wah, sudah malam para garong itu belum
nongol juga, Kam?"
"Mungkin mereka takut kali melihat kedatangan Kamto." timpal yang lainnya seraya membanting gaple. "Atau barang kali
mereka tak berani karena melihat kita berkumpul."
"Ah, aku rasa tidak. Aku merasa garonggarong itu memang benar-benar takut melihat kedatangan Kamto."
Tengah mereka bercakap-cakap dengan
main gaple, seketika terdengar dari kejauhan seseorang menabuh kentongan. Sementara yang
lainnya berteriak-teriak.
"Tolong...! Garong datang...!"
"Tong, tong, tong!
Mata keseratus teman Kamto seketika
membelalak kaget. Ada rasa ngeri terlintas di wajah mereka, apa lagi di lihatnya
Kamto masih tenang-tenang saja.
"Kam, bagaimana ini?"
"Tenang sajalah, Juf. Nanti mereka akan
tahu siapa aku," jawab Kamto masih tenang, sementara keseratus pemuda itu nampak
sudah blingsatan ketakutan. "Apakah kalian tak mau percaya padaku" Biarkan saja
garong-garong itu
menjarah rumah orang, toh nanti mereka datang
ke mari, bukan?"
"Tapi kasihan Mang Kimpul, Kam" Diakan
sudah tua," yang bicara Jufri. Mendengar nama Mang Kimpul disebut-sebut,
seketika Kamto segera bangkit, lalu dengan lagak seorang pimpinan ia pun
mengajak keseratus temannya berangkat.
"Ayo kita ke sana!"
Dengan langkah pasti bagaikan tak mengenal rasa takut Kamto berjalan paling depan,
mendahului keseratus rekannya yang nampak
menyurut di belakangnya ketakutan. Wajah Kamto bagaikan tiada reaksi, beda dengan wajah rekan-rekannya yang tegang dan diselimuti oleh rasa ketakutan yang teramat sangat. Langkah Kamto begitu tegap, matanya tajam memandang ke
muka, seakan ingin menghujamkan pandangan
matanya pada para garong yang selalu saja menjarah kampungnya.
* * * "Jangan tuan, jangan!" memekik seorang gadis terseret paksa oleh seorang garong
yang memiliki tubuh kekar. "Lepaskan!"
"Hua, ha, ha...! Kau harus ikut denganku,
manis! Kau harus mau melayani diriku," garong itu menyeringai, menjadikan sang
gadis makin tampak ketakutan. Namun sang garong tak mau
ambil peduli, ia kini dengan paksa menggendong
tubuh gadis tersebut yang meronta-ronta minta
dilepaskan. "Diamlah!"
"Tidak! Aku tidak mau menjadi istrimu!"
gadis itu kini nampak nekad, memberontak dan
meludahi muka orang yang membopong tubuhnya. "Cuh...! Tak sudi aku menjadi istri garong!"
"Bangsat! Aku bunuh kau!" maki marah
garong itu, seraya tangannya mengelap ludah
yang gelepotan di mukanya. Tanpa mengenal kasihan, dilemparkan tubuh si gadis ke rerumputan. Dan bagaikan seekor serigala kelaparan, sang garong segera menubruk tubuh
gadis itu yang ki-ni tersentak dan segera beringsut mencoba menghindar. Namun rupanya tubrukan sang garong
lebih cepat, sehingga si gadis tak mampu lagi
mengelakannya. Tubuh si gadis akhirnya tertindih oleh tubuh besar si garong.
Kedua tubuh tersebut saling berusaha merangsek. Si garong berusaha membuka pakaian
yang dikenakan si gadis, sementara si gadis berusaha menendang dan mencakar sang
garong den- gan harapan dapat terlepas dari dekapannya.
Namun rupanya dekapan sang garong lebih kuat
dibandingkan dengan berontakan sang gadis, sehingga kini si gadis pun akhirnya terdiam. Manakala lelaki tersebut hendak melampiaskan nafsunya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
menghantam tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh
si garong pun seketika berguling-guling menahan
rasa sakit. "Bangsat! Siapa kunyuk yang hendak berlagu dengan gerombolan garong Munik Wangi,
hah!" bentaknya marah.
Pemuda yang tak lain Kamto nampak tersenyum menyeringai, lalu dengan sinis berkata:
"Minggatlah kalian dari desa ini! Dan jangan sekali-kali berusaha menginjakkan
kaki di sini selama masih ada aku!"
"Cuih...! Pantang bagiku untuk menyerah!"
"Hem, begitukah?" Kamto berkata sinis. Se-nyumnya mengembang.
"Sudah, Kam. Jangan diberi hati, beri saja
rempela!" pekik teman-temannya.
"Hai, garong tengik! Katakan pada ketua
kalian, bahwa kami akan menjerat lehernya bila
berani lagi pada warga desa ini, mengerti! Kau lihat, keempat rekanmu telah
menjadi bangkai,
mati oleh Kamto!" Pak Lurah turut berkata.
"Bohong!"
"Hem, kau memang ingin digorok rupanya!"
Pak Lurah yang melihat Kamto ada di situ timbul
keberaniannya. "Lihat dengan matamu, noh di so no!" Sang garong segera mengikuti
arah yang ditunjuk oleh Pak Lurah. Dan manakala ia sudah
pasti bahwa rekan-rekannya telah mati, maka
tanpa banyak kata lagi ia pun melesat dengan diikuti ancaman yang ditujukan pada warga desa
tersebut, kususnya Kamto yang dirasa telah
mampu membuat rekan-rekannya tak berdaya.
"Kalian tunggulah pembalasan ketua kami!" "Katakan pada ketuamu, bahwa aku Kamto masih menunggu kedatangannya secepat
mungkin!" Kamto tak kalah berseru.
"Ayo Kamto, kita adakan syukuran atas keberhasilanmu mendapatkan ilmu yang tinggi tersebut," Pak Lurah mengajak, lalu dengan diikuti warga desa lainnya yang seketika
mengelu-elukan nama Kamto mereka pun meninggalkan batas desa. Dengan penuh kegembiraan semuanya segera
menuju ke rumah kepala desa.
*** 7 Ancaman garong tersebut rupanya bukan
main-main, terbukti esok malamnya datang serombongan garong yang langsung dipimpin oleh
ketuanya. Mereka datang bukan untuk menggarong, melainkan untuk membalas dendam atas
kematian empat orang anak buahnya.
"Mana yang namanya Kamto. Keluarlah kunyuk kecil!"
Kamto yang mendengar seruan ketua garong, dengan gagah berani berkelebat diikuti seluruh warga desa menemui pimpinan
garong dan anak buahnya yang jumlahnya banyak tersebut.
"Aku yang bernama Kamto. Siapa kau
adanya, hah!"
"Hua, ha, ha...! Ternyata orang yang berlagak itu hanyalah seekor tikus kecil bau busuk!"
Ketua garong itu menggeretak penuh kebencian.
Matanya menghujam pandang pada Kamto yang
tampak masih tersenyum tenang. "Hanya dengan tikus bau ini kalian tak berani"
Bodoh!" "Hai, monyet jelek! Kalau kau masih saja
berani menyuruh anak buahmu menjarah ke mari, jangan harap kami akan membiarkannya. Kami akan menggantung anak buahmu satu persatu!" Kepala desa tampil dengan segala keberanian.
"Setan bangkotan! Selama engkau masih
menjadi kepala desa, tak akan aku biarkan kau
tenang! Kau licik! Kau manusia yang tidak tahu
malu!" ketua garong itu membentak bengis. "Kau telah menjadikan hidupku
terlunta. Cincang tua
bangka licik itu!"
Kamto tersentak bingung harus bagaimana
ia berbuat. Ia merasa bahwa ucapan ketua garong
itu benar adanya. Namun sebagai seorang warga,
ia harus membelanya. Tak ayal lagi, pertarungan
pun seketika meledak.
"Turunlah kau, Monyet!" bentak Kamto pa-da ketua garong yang masih bertengger di
atas kudanya. "Apakah kau takut menghadapi diriku?"
Betapa gusarnya hati ketua garong tersebut, demi mendengar ejekan yang dilontarkan
oleh Kamto. Napasnya seketika mendengus penuh
marah, lalu sekali genjot ia pun melesat turun da-ri kudanya dan menghadapi
Kamto. "Tikus busuk! Apakah kau sudah punya
taring, sehingga berani berkoar di hadapanku.
Hah!" "Janganlah kau terlalu berkoar! Kalau kau memang lelaki, maka hadapilah
aku! Aku bukan membela kepala desaku, namun aku hanya ingin
membasmi kejahatan yang telah sekian tahun
menteror warga desaku!"
"Dungu! Kau ternyata dungu! Kepala desamu, tak lain hanyalah seorang bajingan yang
bertampang baik. Dia adalah lebih jahat dari diri-ku! Dia telah menghancurkan
kehidupanku. Dia
rebut istriku dengan rayuan-rayuan gombalnya.
Nah, apakah engkau masih saja akan membelanya"!"
"Sekali lagi aku katakan, aku bukan hendak membela dia. Kalau kau memang ada masalah dengan dirinya, mengapa engkau mesti membawa bencana bagi rakyat yang tidak berdosa"
Aku tak akan ikut campur, asalkan engkau tidak
membawa bencana bagi warga di sini!"
Pimpinan garong itu mendengus marah,
rupanya ia sudah tak dapat lagi menenangkan
hatinya. Ucapan Kamto dirasakannya adalah sebuah tantangan, tantangan yang menyuruhnya
untuk membuktikan siapa adanya Munik Wangi.
Seorang pimpinan garong yang namanya telah
disegani oleh orang-orang persilatan. Maka dengan didahului dengusan marah, Munik Wangi


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelebat menyerang Kamto.
Pertarungan pun seketika menjalar cepat.
Pertarungan antara warga desa yang menghendaki keamanan dan ketentraman dirinya dengan para garong yang tidak ingin mata pencahariannya
terputus. Dalam beberapa gebrak saja, para warga
yang tak memiliki ilmu tersebut dengan mudah
dapat dijatuhkan. Jeritan-jeritan akibat tebasan golok di tangan para garong itu
menggema, dis-elingi dengan bergedebugnya tubuh korban.
"Lurah bejad! Kau harus mati, Hiat...!" ma-ki sang garong yang menghadapi Kepala
Desa. "Jangan harap semudah itu kau berbuat
padaku!" "Hem, aku akan membuktikan dan membuat matamu melotot siapa adanya aku. Tentunya kau masih mendengar suaraku, bukan!"
"Kau... kau Rastini"!" terbata Kepala Desa menyebut nama seorang garong yang
mukanya tertutup dengan kain, yang dengan gencar menyerangnya. "Rupanya kau masih belum pikun! Nah,
kini bersiaplah kau menerima kematianmu yang
busuk! Kau harus mati di tanganku, sebab kau
dulu pernah membuatku merana oleh rayuan bejadmu! Kau rebut diriku dari tangan kakang Munik Wangi, tapi setelah kau nodai diriku, kau telantarkan diriku begitu saja."
"Aku tidak bermaksud menelantarkan dirimu. Kaulah yang lari meninggalkan diriku!"
Rastini cibirkan mulut, demi mendengar
ucapan Kepala Desa, yang sangat bertentangan
dengan hal yang pernah terjadi sebenarnya.
"Manusia pengecut! Dulu engkau menyianyiakan diriku, tapi kini setelah maut diambang
pintu, kau berusaha merayuku lagi. Huh, tak
akan aku berikan ampun padamu. Nah, bersiaplah kau untuk mati, Hiat...!"
Secepat kilat tubuh Rastini berkelebat. Golok di tangannya seketika berselewangan bagaikan mempunyai mata. Golok tersebut dilihat oleh
Kepala Desa bagaikan sebuah maut yang siap merajah dirinya. Dan memang benar, golok itu akhirnya bergerak cepat, menghujam ke kepala Kepala Desa. "Aaah...!" Kepala Desa memekik sesaat, lalu ambruk dengan nyawa terputus dari
raga. Kepa-lanya pecah menjadi dua, terbelah menyemburkan darah yang seketika membanjir berbaur dengan otaknya yang meleleh putih.
"Kakang...! Aku telah membunuhnya!" Rastini memekik histeris, menjadikan
semuanya se- ketika terhenti diam. Mata mereka seketika melihat ke tempat di mana tubuh Lurah desanya tergeletak tanpa nyawa dengan darah berbaur otak
keluar dari belahan kepala yang menganga terpancong golok. "Kini dendamku sudah terlunasi, kita pergi kakang! Kita pergi,
hi, hi, hi...!"
Tanpa memeperdulikan warga desa yang
masih terbengong-bengong dalam keterkejutannya, para garong itu pun segera minggat meninggalkan desa itu. Tinggallah semua warga yang
menghampiri tubuh kepala desanya yang sudah
menjadi mayat. "Hem, semua adalah ulahnya sendiri," gumam Kamto dalam hati. Ia telah mendengar
sen- diri siapa adanya kepala desanya. Kini tugasnya
telah selesai, dia hanya memerlukan pemudapemuda desa untuk menjadi pengikutnya sebagai
pemuas nafsu Sang Ratu Telaga Warna.
* * * Pagi masih begitu cerah, mentari pun masih samar-samar menampakan dirinya untuk
kembali mengedarkan dirinya ke orbitnya. Dari
perbatasan desa, nampak serombongan anak
muda berjalan meninggalkan desanya menuju ke
arah Barat. Paling depan berjalan seorang pemuda yang tidak lain Kamto adanya.
"Kita akan berkemah di pinggir Telaga,"
Kamto berkata. "Kenapa tidak sekalian kita menuju ke
tempat tersebut?" tanya salah seorang dari temannya.
"Bukankah aku tidak mengijinkan kalian
semua datang bareng, tapi kalau Sri Ratu tidak
berkenan, bagaimana?"
"Iya, ya...!"
"Bagaimana?" kembali Kamto bertanya.
"Akur, deh!" jawab mereka serempak.
Semua pemuda itu akhirnya dengan membisu kembali berjalan, menuju ke tempat di mana
Kamto mendapatkan ilmu yang tinggi. Tak berapa lama antaranya, mereka pun akhirnya sampailah di tempat yang dituju. Tempat yang indah
dan asri, di mana terpampang luas sebuah telaga
yang airnya beraneka warna.
"Kalian di sini dulu, dirikan kemah!"
"Kau mau kemana, Kam?" tanya Jufri.
"Aku hendak menemui Sri Ratu," jawab
Kamto singkat. "Nah, aku harap kalian bersabar di sini."
Dengan segera Kamto pun berkelebat menuju ke Telaga Warna, lalu dengan tanpa merasa
takut akan tenggelam Kamto pun turun ke permukaan air. Seketika mata keseratus temannya
membelalak kaget. Mereka baru tahu, kalau Kamto mampu berjalan di atas air.
"Wah! Apakah aku tak salah lihat?" tanya Jufri terheran-heran.
"Atau barangkali aku bermimpi?"
"Iya-ya. Mengapa Kamto mampu melakukan itu semua" Sungguh Ratu itu sakti bukan
alang kepalang," gumam yang lainnya.
Mata mereka terus memandang ke arah
Kamto yang berjalan dengan santainya, seperti
Kamto berjalan di atas tanah saja. Malah semuanya makin membelalak kaget, tatkala Kamto dilihat oleh mereka berlari. Makin percaya saja mereka pada kehebatan ilmu Sri Ratu. Bayangan
mereka kini tertuju pada bayangan segala keindahan yang bakal didapat oleh mereka dari Sri
Ratu. Kepuasan batin, juga ilmu yang sungguhsungguh luar biasa.
* * * "Kau telah datang, Kamto?" terdengar sua-ra seorang wanita menyambut kedatangan
Kamto. "Benar, Sri Ratu. Hamba telah membawa
apa yang dipesankan oleh Sri Ratu."
"Hi, hi, hi...! Kau ternyata benar-benar setia padaku, sayang" Kaulah seorang
calon suami yang baik, yang mengerti akan apa yang menjadi
keinginan istrinya." Sri Ratu Telaga Warna seketika manja, bergayut di pundak
Kamto yang me- nyambutnya dengan penuh bara nafsu.
"Demi engkau, apa pun akan aku penuhi,"
bisiknya di telinga Sri Ratu mesra, menjadikan Sri Ratu kembali tersenyum.
"Seandainya kau minta nyawaku pun, aku akan memberikannya untukmu, asal kau
benar-benar setia dan cinta padaku." "Aku tidak memerlukan itu, Kamto. Aku hanya minta pengertianmu untuk selalu
memberikan padaku kebebasan dalam melaksanakan
niat yang telah terpendam di hati."
"Aku juga mengerti apa yang sebenarnya
terkandung dalam tubuh sang bayi. Aku rela tubuhmu di jamah oleh lelaki lain, asalkan hati dan cintamu hanya untukku."
"Ooh... sungguh kau seorang lelaki yang
penuh pengertian," lenguh Sri Ratu. "Mana pemuda-pemuda itu, Kamto?"
"Bukankah aku belum mendapat jatah darimu, sayang?"
Tanpa meghiraukan Sri Ratu yang melenguh-lenguh penuh rasa dahaga, Kamto terus
mencerca sekujur tubuh Sri Ratu dengan ciumanciuman yang mampu membuat mabuk bagi Sri
Ratu. Sri Ratu menggelinjang, dan tak lama kemudian satu persatu pakaian yang dikenakan
oleh mereka pun lepas menggelorot ke bawah tubuh keduanya. Kini tubuh keduanya tak tertutup
sehelai benang pun, polos. Keduanya kembali
bergulat, saling serang dan terjang dengan segenap nafsu membara di dalam benak mereka. Tak
lama kemudian, Kamto pun meregang, lalu menggelo-sot rebah terlentang di samping Sri Ratu,
yang dengan buas tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Bagaikan orang kelaparan saja Sri Ratu Telaga Warna kembali mencerca
tubuh Kamto dan menggulatinya dengan disertai eranganerangan yang menyayat.
Satu persatu dari keseratus anak muda itu
berdatangan menuju ke pulau di tengah Telaga.
Pulau yang bagi mereka yang tidak tahu adalah
pulau Surga. Ya, memang di situlah pulau Surga,
dimana mereka akan mendapatkan kepuasan batin yang tak pernah mereka temukan di alam
yang bebas. Jufri kini yang melesat menuju ke tempat
di mana pulau itu berada. Mulanya Jufri takut,
tatkala Kamto mengajaknya turun dan melangkah
di atas air. Namun setelah dirasakannya mampu,
secepat kilat Jufri pun tertawa bergelak-gelak ke-girangan.
"Hai...! Lihat Kam, aku ternyata dapat berjalan sepertimu."
Kamto hanya tersenyum-senyum.
"Itu karena Sri Ratu berkenan menerima
kehadiranmu, Juf."
"Oh, betapa bahagianya aku, ternyata Sri
Ratu mau menerima kedatanganku. Benarkah
apa yang engkau katakan, Kam?" Jufri yang hatinya berbunga-bunga bertanya ingin
memasti- kan. "Kalau aku tidak benar, niscaya tubuhmu telah amblas ke dalam air ini dan
dimakan oleh hiu-hiu dan buaya-buaya Iblis yang ada di dalamnya." Bergidik juga Jufri mendengar Kamto berkata bahwa di dasar telaga warna
tersebut ada binatang-binatang buas yang setiap kali mampu
mencincang tubuhnya. "Hiiii...!"
"Kenapa, Juf?" Kamto bertanya. "Kau takut?" Jufri tak dapat berkata, ia hanya
mengang-gukan kepala saja.
"Jangan takut, semua hiu dan buaya di sini akan tunduk dengan perintah Sri Ratu," Kamto kembali berkata, mencoba
menenangkan Jufri.
"Ayo Jufri, kita sebentar lagi nyampai."
Digeretnya tangan Jufri, berlari dengan cepatnya, menjadikan Jufri hanya mampu memejamkan mata rapat-rapat. Ia takut kalau-kalau
tubuhnya amblas ke dasar telaga. Sungguh tak
dapat di bayangkan bagaimana jadinya tubuhnya
bila harus menjadi santapan lezat ikan-ikan dan
buaya-buaya liar tersebut.
Kamto tak hiraukan Jufri yang masih ketakutan, ia terus menggeret tangan Jufri berlari melintasi jalan air dengan
kencangnya, sehingga keduanya bagaikan terbang. Jufri sendiri kini makin
merapatkan pejaman matanya, tak berani membuka barang sekejap pun untuk
menyaksikan apa
yang tengah terjadi dengan dirinya.
"Juf, bukalah matamu, kita telah sampai."
Perlahan Jufri membuka matanya, dan betapa tersentaknya dia demi melihat apa yang dilihatnya. Di hadapannya kini
terpampang sebuah
rumah yang besar, mirip seperti istana. Hal itu
menjadikan Jufri kembali terbengong-bengong,
tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Belum juga Jufri hilang dari keterbengongannya, tiba-tiba ketujuh puluh lima temannya
datang dan menghampirinya. Namun sungguh
menjadikan Jufri tak mengerti, sebab ketujuh puluh lima temannya ternyata kini tak mengenal dirinya lagi. "Kenapa mereka" Sepertinya mereka sombong padaku. Apakah karena mereka telah memiliki ilmu tersebut?" hati Jufri bertanya-tanya penuh keheranan.
"Ayo Jufri, Sri Ratu telah menunggumu."
Jufri tersentak dari terbengongnya, manakala terdengar suara Kamto berkata mengejutkan
dirinya. Dengan masih menyimpan rasa bingung
Jufri pun akhirnya menuruti ajakan Kamto. Matanya masih terus memandang pada ketujuh puluh lima temannya yang tampak diam tak hiraukan dirinya. "Hem, apa yang sebenarnya mereka
lakukan?" gumam hatinya masih bertanya-tanya.
Kamto telah menarik tangannya, mengajak
Jufri untuk terus menuruti langkahnya. Jufri seketika makin tersentak, lidahnya melelet tatkala melihat apa yang tengah ada di
hadapannya. Seorang wanita cantik jelita, memandang ke arahnya
dengan pandangan seakan meminta. Tubuh wanita itu polos, tiada sehelai benang pun yang menu-tupinya.
"Ini Sri Ratu," Kamto berkata.
"Kemari sayang... bukankah engkau menghendaki ilmu dariku?" suara Sri Ratu begitu men-dayu, mampu menggetarkan hati
Jufri. Sorot mata Sri Ratu seketika menyentakkannya untuk
mau menuruti apa saja yang hendak diminta oleh
Sri Ratu darinya. Kamto segera meninggalkannya. Perlahan Sri Ratu bangkit, menghampiri
Jufri yang nampak masih terdiam tanpa reaksi.
Dan manakala tangan Sri Ratu membuka pakaiannya, Jufri pun hanya diam dan diam. Ma

Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya terus memandang ke arah bawah tubuh Sri
Ratu yang tak tertutup sehelai benangpun.
Tak berapa lama kemudian, kedua manusia itu pun akhirnya terlibat pergumulan. Baru
kemudian terdengar erangan menyayat yang keluar dari mulut Jufri. Dan manakala Jufri menggelosot ke samping, sungguh telah berubah keadaan fisiknya. Kini Jufri bukanlah seorang lelaki lagi, sebab miliknya telah
hilang terbetot entah kemana. Namun anehnya, dari pangkal itu tak
keluar darah setetespun. Sri Ratu hanya tersenyum, senyum kecut melihat Jufri terkapar dengan merintih-rintih.
Sri Ratu tercenung, bangkit duduk dari tidurnya. Entah perasaan apa, tiba-tiba ia menyesal telah melakukan segala desakan yang menggebu-gebu dari dalam rahimnya. Dari luar si nenek
masuk, hanya tersenyum pada Ningrum yang
hanya mendesah berat.
"Nek, sampai kapankah aku harus menanggung semua ini?"
"Sampai bayi itu lahir, Anakku," jawab si nenek kalem. Si nenek sejenak
memperhatikan tubuh Jufri, dan si nenek pun seketika tersenyum penuh kemenangan. Dendamnya
pada lelaki telah
dapat terbalas.
Apa yang sebenarnya dikandung oleh Ningrum atau Ratu Maksiat Telaga Warna, sehingga
mengidam milik semua pria. Lalu kemana hilangnya barang antik Jufri dan rekan-rekannya" Apa
sebenarnya yang ada di rahim Ningrum" Untuk
mejawabnya, silahkan kalian ikuti serial Jaka
Ndableg Pendekar Pedang Siluman Darah selanjutnya, dalam judul "Bocah Kembaran Setan."
*** 8 Jaka yang saat itu sedang berjalan-jalan,
seketika nalurinya mengajak dirinya untuk mengawasi perut yang nampaknya memang ingin diisi. "Wah, rupanya cacing-cacing ini tidak mau
diajak kompromi," keluh Jaka. "Baiklah, aku sekaligus hendak istirahat dulu."
Segera Jaka pun berkelebat menuju ke sebuah kedai, di mana tampak tak begitu jauh dari
tempatnya berjalan. Kedai itu bukan kedai biasa, besar dan penuh pelayan yang
cantik. Rupanya
kedai itu tidak hanya dijadikan tempat makan belaka, namun dijadikan pula tempat yang lainnya.
Jaka perlahan memasuki kedai tersebut,
seketika matanya melihat beberapa wanita penghibur sedang bercanda ria dengan laki-laki hidung belang. Hem, jelas ini bukan kedai biasa,
tapi kedai maksiat! Heran, mengapa baru sekarang aku menemukan kedai ini?" Jaka terus melangkah berat, memasuki ruangan
kedai. Serta merta seorang gadis cantik berkelebat dan langsung menubruk dirinya.
"Oh, inikah dewa yang baru turun dari
kayangan?" gadis itu merajuk. "Sungguh tampan wajahmu, sayang?"
Jaka tak hiraukan belaian-belaian tangan
gadis tersebut, dia tetap saja melangkah mencari tempat duduk. Matanya seketika
memandang pa-da seorang pemuda yang benar-benar ia kenal
benar. "Tegalaras...!"
Orang yang merasa disebut namanya seketika menengok, dan nampak Tegalaras tersentak
demi melihat Jaka pun ada di tempat maksiat ini.
"Jaka...! Oh, tak aku sangka kalau aku akhirnya dapat menemukan dirimu di sini!" pekik Tegalaras yang dengan segera
bangkit dari du-duknya, menghambur ke arah Jaka. "Kapan kau tiba di daerah ini,
Jaka?" "Aku datang secara tak sengaja, Tega.
Kau...?" Jaka balik menanya.
Tegalaras tak segera menjawab, ditariknya
lengan Jaka keluar dari kedai. Jaka yang tadinya perutnya sudah keroncongan,
akhirnya menuruti
juga apa yang menjadi ajakan Tegalaras.
Sesampai di luar, Tegalaras segera mengajak Jaka untuk beristirahat di bawah sebuah pohon beringin yang cukup rindang. Kemudian Tegalaras pun menceritakan maksud kedatangannya ke tempat tersebut, yang tak lain untuk
membuktikan desas-desus adanya Ratu Maksiat
Telaga Warna, yang mencari korbannya semua
pemuda. "Kau tahu Jaka, bahwa kedai ini baru berdiri sejak Ratu Maksiat Telaga Warna berkuasa."
"Hem, begitu?" Jaka bertanya. "Lalu, apakah selama ini belum ada yang tahu di
mana ke- beradaan Ratu Maksiat tersebut?"
"Itulah, Jaka. Aku sendiri datang ke mari
atas seruan ayahku untuk mencarikan Pedangnya, yang katanya hilang dicuri oleh seseorang.
Dan menurut pendapatku, orang tersebut tentunya ada sangkut pautnya dengan Ratu Maksiat
ini." "Kau yakin, Tega?"
"Ya!" jawab Tegalaras pendek dan pasti.
"Darimana kau dapat keyakinan tersebut?"
Jaka kembali bertanya.
"Aku mendengar dari seseorang yang menyebutkan dirinya Ki Gedong Wulung."
"Ki Gedong Wulung!' Jaka memekik kaget,
menjadikan Tegalaras kembali bertanya.
"Kenapa Jaka, sepertinya kau telah mengenal adanya siapa Ki Gedong Wulung?"
"Ya! Dia adalah tokoh tua yang sakti. Kalau begitu, jelas benar adanya. Kini
kita tinggal bagaimana caranya mendapatkan keberadaan Ratu
Maksiat tersebut!" Jaka berkata. "Mari kita mencoba mengoreknya dari pemilik
kedai itu."
Dengan segera kedua pendekar itu pun
berkelebat kembali masuk ke dalam kedai. Keduanya dengan tenang duduk di sebuah kursi, lalu
menyantap makanan yang dihidangkan. Sementara dari arah lain dua gadis cantik datang menghampiri mereka, menggelayutkan tubuh mereka
pada pundak Jaka dan Tegalaras.
Jaka dan Tegalaras yang memang bermaksud mencari informasi adanya Ratu Maksiat Telaga Warna, kini dengan pura-pura melayani kedua
gadis tersebut. Dibiarkan kedua gadis itu menjarahkan bibir-bibir mereka keseluruh tubuh dan
muka. "Siapakah namanu, manis?" Jaka merayu.
"Kau ingin tahu?" tanya gadis itu manja.
"Tentu! Untuk apa aku bergaul dengan
orang yang tidak aku ketahui namanya?"
"Boleh!"
"Siapa...?"
"Namaku...?" gadis itu balik menanya. "Ya,
namamu," jawab Jaka meyakinkan. "Namaku, Ayu Sari."
"Wow, nama yang indah. Ayu berarti cantik, persis orang yang memilikinya. Sedangkan sa-ri, berarti inti. Jadi Ayu
Sari, bermakna Kecantikan yang lestari, pusat dari segala kecantikan."
Jaka ngegombal dengan seenaknya, menjadikan Ayu Sari merona merah pipinya. Makin
bertambahlah keanggunan gadis itu, manakala
pipinya merona merah.
"Kau sendiri, siapa namamu Dewa?" Ayu
Sari makin manja.
"Aku bukan Dewa, aku manusia biasa."
"Kau tampan, melebihi tampannya manusia." Jaka tak mampu berkata-kata mendengar penuturan Ayu Sari yang polos
tentang dirinya.
Jaka hanya dapat menunduk, sembunyikan senyumnya yang dalam.
"Kenapa?" Ayu Sari kembali menanya.
"Siapakah namamu, Dewa?"
Jaka tercenung memikirkan siapa kira-kira
nama untuk dirinya agar tidak dikenal pada setiap orang yang datang. Setelah berpikir sesaat, Jaka pun akhirnya berkata
menjawabnya. "Namaku yang telah engkau sebut."
"Kau bohong," Ayu Sari kembali merajuk.
"Aku tidak berbohong, Ayu."
"Benar?" Ayu Sari masih belum mau percaya, Jaka segera menganggukinya. "Aku cinta padamu, Dewa."
"Ah...."
"Kenapa, Dewa?" Ayu Sari kerutkan keningnya demi mendengar desahan Jaka. "Apakah kau tidak suka padaku?"
"Bukan itu, aku suka padamu. Tapi aku
ingin menanya padamu, tahukah engkau di mana
adanya Ratu Telaga Warna?"
Mendengar pertanyaan Jaka, seketika Ayu
Sari terdiam. Matanya yang lentik memandang
pada Jaka, sehingga Jaka mau tak mau harus
menerima pandangan tersebut. Tangan Ayu Sari
perlahan menjalar, lalu dengan lembut mengusap
dada Jaka yang bidang. Tangan itu begitu lembut, menyelusup dengan mesra
kesegenap dada Jaka.
"Kau ingin kesana, Dewa?" tanya Ayu Sari, nadanya seakan gelisah. Ya, Ayu Sari
merasa gelisah, kasihan bila Jaka yang tampan itu harus
menjadi korban Ratu Maksiat Telaga Warna.
"Ya!" jawab Jaka singkat.
"Jangan, Dewa."
"Kenapa...?" Jaka menanya tak mengerti.
"Kau tahu mengapa di sini banyak wanita-wanita seperti diriku?" tanya Ayu Sari
kembali, yang di-jawab oleh Jaka dengan gelengan kepala. "Itu semua karena kaum
lelakinya jadi korban."
"Korban...!" Jaka dan Tegalaras memekik kaget. "Korban bagaimana, Ayu?" Jaka
kembali menanya.
"Setiap orang lelaki yang menuju ke Telaga
Warna, ia akan tak pernah kembali. Kalau pun
kembali, keadaannya sungguh mengerikan. Barang miliknya buntung, menjadikan lelaki tersebut harus mengalami goncangan jiwa yang berat
hingga akhirnya gila."
"Oh, Gusti Allah. Bencana apa yang akan
melanda dunia!" Jaka mengeluh, tak sadar ia ber-ucap menyebut nama Tuhan.
"Katakanlah di ma-na tempatnya, Ayu"!"
Ayu memandang pada temannya sesaat, lalu setelah temannya mengangguk, Ayu Sari pun
akhirnya dengan nada berbisik menunjukkan
tempat di mana Sri Ratu Maksiat berada.
"Dia sesuai dengan julukannya, berada di
Telaga Warna."
Jaka saling pandang dengan Tegalaras sesaat, lalu kembali memandang pada Ayu Sari dan
katanya kemudian: "Ayu, aku harus ke sana.
Maafkan aku tak bisa lama-lama menemanimu.
Kalau memang umur kita panjang, kita akan bertemu lagi. Ayo Tegalaras, kita segera ke sana!"
Setelah membayar makanan yang mereka
makan, serta memberikan uang tip pada kedua
gadis tersebut, segera kedua pendekar itu melesat pergi meninggalkan kedai.
*** 9 Ratu Maksiat Telaga Warna nampak terbaring dengan lesu di atas pembaringannya. Kehamilannya yang telah sampai masanya di rasakan telah melilit-lilit. Mungkin bayi yang akan dikandung akan keluar. Di situ nampak pula nenek
Racun Iblis, juga keseratus lelaki yang telah menjadi abdinya.
"Nek, mengapa perutku terasa sakit?" keluh Ningrum atau Ratu Maksiat Telaga
Warna sembari meringis-ringis.
"Tenanglah, Nak. Mungkin sebentar lagi
anakmu akan lahir," si nenek mencoba menghibur. "Benar Sri Ratu, mungkin bayi
Sri Ratu akan lahir," keseratus abdinya yang telah menjadi orang-orang tak
berarti itu turut menghibur. "Walau kami laki-laki, namun kami sering mendengar
bahwa kelahiran bayi pertama memang terasa sakit." Ratu Maksiat Telaga Warna masih terus merintih-rintih kesakitan, perutnya
dirasa melilit bukan alang kepalang, sepertinya perut tersebut
hendak meledak-ledak saja.
Tengah sang Ratu dalam keadaan meringis-ringis kesakitan, tiba-tiba terdengar suara seseorang kakek dari luar
berseru memanggil nama
si nenek. "Nenek Iblis Racun! Keluar, kau!"
"Bangsat! Siapa yang telah lancang mengumbar mulut seenaknya di sini!" si nenek menggeretak penuh marah. "Ayo, kalian
semua ikut aku, biar Ratu kalian ditunggui oleh Kamto."
Dengan bergegas mereka pun berlari keluar, menemui asal suara yang ternyata milik seorang kakek tua renta berjanggut
panjang putih. Si nenek cibirkan mulutnya, manakala melihat siapa
adanya orang yang datang.
"Mau apa kau datang kemari, Ki?"
Ki Gedong Wulung tampak tenang, lalu
menjawab berkata.
"Aku ingin menghentikan sepak terjangmu,
Iblis!" "Hi, hi, hi...! Apa pedulimu, kakek peot!"
"Karena kau telah mengambil korban
kaumku, maka aku pun tak akan membiarkan
hal ini berlarut-larut. Kau harus mengakhiri sepak terjangmu yang sudah kelewatan!" Ki Gedong Wulung nampak mendengus. Tasbih
di tangannya berputar-putar.
Bersamaan dengan ketegangan yang memuncak antara dua tokoh tua beda aliran tersebut, serombongan orang persilatan yang dari aliran lurus tiba. Mereka terdiri dari tokoh-tokoh
persilatan yang sudah tak sabar menerima beritaberita tentang hilangnya para lelaki muda yang


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya hilang di pulau Telaga Warna.
"Suruh keluar Ratu kalian. Biar kami mencincangnya!" orang-orang tersebut tak mampu re-dakan amarah, dan berseru-seru
dengan dilandasi kemarahan. "Tenang saudara-saudara. Kalian jangan
terburu emosi. Kalian tak tahu sebenarnya siapa
yang berada di balik ini semua." Ki Gedong Wulung mencoba menyabarkan para tokoh
persilatan yang nampaknya sudah tak dapat lagi menahan
amarah. "Kenapa kami harus tenang, Ki" Bukankah
kalau dibiarkan berlarut akan mengakibatkan
tindakan Ratu Maksiat itu menjadi-jadi?" salah seorang dari pendekar tersebut
memprotes. "Aku tahu. Tapi janganlah kalian sebagai
seorang pendekar menuduh pada hal yang belum
kalian ketahui benar. Anak Pramana sebenarnya
tak salah, ia sebenarnya telah sadar. Tapi karena nenek Iblis Racun inilah ia
jadi seorang wanita
liar. Kandungannya yang tadinya tidak apa-apa,
kini meminta korban banyak pria. Kalian tahu,
bayi apa yang kini terkandung oleh Ningrum si
Penguasa Bukit Karang Bolong?"
Semua yang ada di situ terdiam, tak ada
yang berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Ki Gedong Wulung. Demi melihat hal
tersebut, segera Ki Gedong Wulung kembali meneruskan ucapannya sekaligus menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh dirinya sendiri.
"Bayi yang ada dalam rahim Ningrum, kini
telah dipengaruhi oleh nenek Iblis ini. Bayi itu sungguh sangat disayangkan,
harus mau menuruti apa kata si nenek Iblis. Dendamnya pada Eka Bilawa ternyata
telah menjadikan dia dendam pa-da lelaki. Dan tubuh anak Pramana yang cantik
itulah yang dijadikan simbol dari kejahatannya."
"Bohong!" si nenek membentak marah.
"Siapa yang bohong!" tanya. Ki Gedong Wulung. "Sebagai prang tua, pantang bagiku
untuk mendusta. Kecuali kau!"
"Bedebah! Jangan kira kalian akan mampu
berbuat sesuka kalian di sini, Tua bangka!" nenek Iblis Racun nampak menggeretak
marah. Dan tanpa di duga sebelumnya, tangannya telah mengisyaratkan pada keseratus anak buahnya untuk
menyerang. Dan bagaikan sebuah robot saja keseratus lelaki malang itu pun segera berkelebat
menyerang para tokoh persilatan.
Pertarungan pun terjadi, kini pekikanpekikan pun menggema mewarnai suasana pulau
Telaga Warna. Si nenek Iblis Racun segera berkelebat menyerang membabi buta pada Ki Gedong
Wulung. Tangannya yang tampak berkuku panjang dan beracun mencerca pada Ki Gedong Wulung bagaikan tak menghendaki lelaki tua renta
tersebut dapat membalasnya.
"Mengapa mereka tak dimangsa binatang
peliharaanku?" tanya si nenek dalam hati bimbang. "Apakah mungkin binatangbinatang tersebut telah dibunuh oleh mereka?"
Belum juga si nenek mampu menjawabnya,
tiba-tiba Ki Gedong Wulung telah berkelebat menyerang balik dengan tasbih saktinya. Mau tak
mau si nenek harus dengan cepat menghindari
serangan tersebut kalau dirinya tak ingin hancur seperti batu yang terkena
serangan tersebut. Melihat dirinya tak mampu mencerca si Kakek dengan mengandalkan racunnya, segera si nenek cabut pedang yang sedari tadi tergantung di pundaknya. Seketika semua pendekar yang berada di
situ memekik manakala tahu pedang apa yang
kini berada di tangan si nenek.
"Pedang Sukma Layung!"
"Pencuri Busuk!" maki Ki Gedong Wulung marah bercampur geram. Serangannya kini
makin ditingkatkan. Walaupun si nenek menggunakan pedang pusaka yang sudah terkenal, namun
karena ia tak memiliki dasar-dasarnya, sehingga
pedang tersebut bagaikan tak ada arti sama sekali di tangannya. Malah Tasbih
maut yang berada di
tangan Ki Gedong Wulung dapat dengan segera
mencercanya. Tengah tubuh si nenek terdesak,
tiba-tiba dari dalam rumahnya terdengar jeritan
yang menyayat. "Aaah...!"
"Tidak...! Tidak...!" suara Ningrum memekik. Tanpa hiraukan mereka yang sedang
ber- tempur, segera mereka yang bertempur hentikan
pertempuran. Serentak mereka pun berkelebat
menuju ke arah suara Ningrum menjerit.
"Bayi Kembaran Setan...!"
Memekik semua yang ada di situ, manakala melihat sesosok bayi yang berwajah sangat menakutkan dengan taring panjang tengah menggerogoti tubuh Kamto yang sudah acak-acakan. Tetapi anehnya sang bayi tidak jahat pada ibunya.
Bahkan matanya seketika menyala-nyala, manakala melihat orang-orang datang.
"Oaaar...!" bayi itu memekik, lalu bagaikan terbang melesat kearah mereka yang
ada di situ. Tanpa ayal lagi, semua seketika dibikin repot. Mereka berusaha menghindar, tapi
tak ayal ge-rakan bayi tersebut begitu cepatnya, menjadikan mereka tak kuasa
untuk mengelakannya.
Satu persatu dari orang-orang hamba Ratu
Maksiat Telaga Warna meninggal dengan darah
terhisap oleh sang bayi. Dan setelah melihat keseratus orang itu mati, sang bayi kini mencerca pa-da para tokoh persilatan.
Gerakannya begitu liar dan ganas, hampir menyerupai gerakan tokoh silat kelas
tinggi. Kembali korban berjatuhan, salah seorang
tokoh persilatan berusaha menghadangnya dengan pedang. Tapi sungguh tak disangka, kalau
pedangnya bahkan seketika patah menjadi dua
tatkala menghantam tubuh sang bayi.
Tanpa banyak kesulitan BAYI KEMBARAN
SETAN tersebut memuaskan nafsunya dengan
membunuh satu persatu dari tokoh-tokoh persilatan yang bagaikan tak berarti apa-apa.
Kini mata sang Bayi Kembaran Setan yang
bagaikan menyala memandang pada nenek Iblis
Racun dan Ki Gedong Wulung.
"Itulah akibat ulahmu, Nenek busuk!"
menggeretak marah Ki Gedong Wulung.
"Enak saja kau menuduhku!" balas membentak si nenek. Namun hanya sesaat mereka tokoh tua itu bersitegang, sebab Bayi Kembaran Setan telah berkelebat menyerang mereka.
"Anak Setan!" maki si nenek menghindar.
"Anak Iblis!" si kakek pun tak kalah kaget.
"Kita bekerja sama untuk menghadapinya,
Ki." "Ya! Tanpa kerja sama, kita sendiri yang akan menjadi korbannya."
Akhirnya kedua tokoh tua yang beda haluan itu pun saling bahu membahu untuk menghadapi Bayi Kembaran Setan yang tak mengenal
kompromi. Serangan bayi itu begitu ganas, hampir saja kedua tokoh tua tersebut kalang kabut.
Ternyata segala ilmu yang dimiliki oleh kedua tokoh tua tersebut bagaikan tiada arti. Maka dalam sekejap saja, sang Bayi
Kembaran Setan telah mampu membuat keduanya terkapar bermandikan darah.
"Hoaar...!" bayi itu menggelegar, sepertinya penuh kemenangan, lalu dengan cepat
melesat pergi entah ke mana.
Tak lama setelah kepergian bayi tersebut,
Jaka dan Tegalaras tiba di tempat tersebut. Mata mereka seketika menyipit,
manakala ia melihat
tubuh berlumuran darah tergeletak tanpa nyawa.
Mata Jaka yang tajam seketika melihat desah napas seorang yang sudah ia kenal benar.
"Ki Gedong Wulung!" Jaka segera menghampiri tubuh tersebut, lalu dengan segera mengangkat tubuh itu. "Ki, apa yang telah terjadi?"
"Bayi Kembaran Setan telah lahir. Semua
telah menjadi korbannya." Ki Gedong Wulung terbata menceritakan apa yang
terjadi, yang telah
menimpa dirinya, juga diri semua orang yang
tampak tergeletak.
"Hem, kalau begitu bayi yang diramalkan
tersebut telah lahir. Aku harus segera mengejarnya." Jaka tiba-tiba berkelebat ke arah Timur, di mana bayi tersebut minggat.
"Tegalaras, kau te-mui saja adikmu, biar aku yang mengejar bayi Iblis tersebut...!"
Tegalaras melangkah pelan, meninggalkan
mayat-mayat yang tercecer di sana-sini, masuk ke dalam rumah. Matanya seketika
melihat tubuh adiknya terkulai pingsan. Dengan penuh haru,
dibopongnya tubuh Ningrum. Dan setelah mengambil Pedang milik ayahnya Tegalaraspun segera
membawa tubuh Ningrum berlalu dari tempat itu.
Ikuti kisah Jaka Ndableg Pendekar Pedang
Siluman Darah selanjutnya, dalam judul: "Ni-san Untuk Jaka Ndableg!"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pedang Inti Es 2 Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Racun Kecantikan 1

Cari Blog Ini