Ceritasilat Novel Online

Ratu Penggoda Siluman Ayu 1

Pedang Siluman Darah 2 Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu Bagian 1


RATU PENGGODA SILUMAN MUKA AYU Oleh Sandro S. Cetakan pertama, 1990
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Gambar Sampul oleh
oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seliiruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman
Darah dalam episode:
Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu
128 hal; 12 x 18 cm
1 Seorang lelaki tua tampak tengah
duduk bersila, di hadapannya duduk
seorang pemuda. Mereka tampaknya
tengah membicarakan sesuatu hal.
Sesekali nafas lelaki tua itu
memburu, sepertinya dalam hati orang tua itu ada ganjelan yang memendam.
Pemuda yang duduk di hadapannya tampak hanya menundukkan muka, tak banyak
bicara. Sesaat setelah lama terdiam,
lelaki tua itu pun tampak memulai
berkata: "Lima puluh tahun yang lalu, di kaki gunung Slamet ada sepasang
pendekar suami istri. Keduanya
merupakan pendekar-pendekar kelas
wahid, yang disegani kawan maupun
lawan." "Hai! Untuk apa Ki Perwana
menceritakan kejadian lima puluh tahun yang silam" Bukankah aku diundang ke mari
untuk membicarakan sesuatu masalah?" tanya pemuda yang duduk di hadapan Ki
Perwana, yang tersenyum
demi mendengar pertanyaan pemuda itu.
"Benar, Jaka! Sengaja aku menceritakan kejadian lima puluh tahun
yang silam, yang memang ada kaitan nya dengan apa yang akan kita bicarakan."
Mengerut kening Jaka, demi
mendengar ucapan Ki Perwana. "Untuk apa?"
Tersenyum Ki Perwana kembali,
mendengar pertanyaan Jaka yang hanya terbengong-bengong melihat Ki Perwana
tersenyum. Hingga karena tak mengerti akan apa yang disenyumi Ki Perwana, Jaka
kembali bertanya.
"Kenapa paman tersenyum" Adakah aku telah membuat sebuah pertanyaan
yang sangat lucu?"
"Tidak begitu, Jaka. Sebenarnya pertanyaanmu bagus. Aku tersenyum
bukan karena pertanyaanmu. Namun aku tersenyum melihat kau begitu terkejut
mendengar cerita ku. Perlu kau ingat, Jaka!"
"Tentang apa itu, Paman?"
"Sebenarnya cerita ku ada kaitan nya dengan apa yang nantinya akan aku minta
tolong padamu," tandas Ki Perwana hingga membuat Jaka hanya
manggut-manggut, tanpa banyak berkata-kata lagi.
Demi melihat Jaka atau Pendekar
Pedang Siluman terdiam, Ki Perwana pun segera meneruskan ceritanya.
Di sebuah desa yang berada di
kaki gunung Slamet, lima puluh tahun yang lalu. Tersebut lah
sepasang pendekar suami-istri. Mereka merupakan pendekar-pendekar kelas wahid. Disegani
baik lawan, maupun kawan. Kedua suami istri itu mempunyai ilmu kedig-dayaan yang
tinggi. Sang suami bernama Ki Jagalaya, sedang yang istri bernama
Dewi Kalandasan.
Sudah menjadi kebiasaan semua
pendekar-pendekar persilatan. Kedua
suami istri itu pun, suka mengadakan petualangan-petualangan guna menambah
pengalaman. Kedua pendekar suami-istri itu
adalah murid-murid seorang tokoh
persilatan, yang namanya telah kondang di masa itu. Guru mereka adalah, Ki
Tapak Waringin.
Karena keduanya sukar untuk
dipisahkan, maka Ki Tapak Waringin pun menjodohkan keduanya, menjadi sepasang
suami istri. Setelah kedua pendekar
itu menyatu, makin bertambah pula
kekuatannya. Dengan senjata yang
mereka miliki, yaitu Tri Sula Sakti
lengkaplah apa yang dimiliki oleh
kedua pendekar itu.
Kecantikan Dewi Kalandasan yang
tiada cacat cela nya, telah mengundang Tumenggung Tambak Yasa tergila-gila.
Dengan mengutus prajurit-prajuritnya, Tumenggung Tambak Yasa bermaksud
meminta Dewi Kalandasan dari tangan
Jagalaya untuk dijadikan istrinya.
Hal membuat Jagalaya seakan
diinjak-injak martabat dan harga
dirinya. Maka dengan berani, Jagalaya menentang tindakan Tumenggung seraya
berkata pada prajurit-prajurit utusan Tumenggung
"Sampaikan pada Tumenggung mu!
Jangan karena dia menjadi Tumenggung, lalu hendak semena-mena! Istriku
adalah harga diriku, yang harus aku
pertahankan walau dengan nyawaku!"
Mendengar ucapan Jagalaya yang
dirasa menentang Tumenggung nya. Salah satu prajurit yang menjadi pimpinan,
marah dan berkata:
"Jagalaya! Tumenggung telah memberikan kehormatan padamu. Tapi rupanya kau malah
menghina dan menentang.
Jangan salahkan kalau nantinya berakibat tak baik bagimu!" Habis berkata begitu, pimpinan prajurit pun segera
mengajak anak buahnya pergi meninggalkan Jagalaya yang hanya terbengong-bengong
tak mengerti apa yang menjadikan Tumenggung hendak berbuat
gila. Tercenung Jagalaya setelah kepergian lima prajurit Ketemenggungan.
Hatinya bimbang, dan bertanya-tanya:
"Mengapa Tumenggung Tambak Yasa hendak mengambil istriku" Apakah sudah
sedemikian buruknya watak dan kepribadian Tumenggung" Kalau memang benar apa
yang akan dikatakan pimpinan prajurit itu, celakalah aku ini. Tapi masalah harga
diri, apapun resikonya, aku
harus dapat menghalangi niat buruk
Tumenggung gila itu!"
Ketika Jagalaya tengah dilanda
kebimbangan, Dewi Kalandasan istrinya datang menghampiri sembari bertanya.
"Ada apakah, Kakang" Tampaknya
Kakang tengah memikirkan sesuatu.
Kalau boleh dinda mengetahui, gerangan apakah yang tengah menjadi buah
pikiran Kakang?"
Tersentak Jagalaya seketika, yang
tak menyangka kalau istrinya telah
hadir di situ dan mengajukan pertanyaan secara tiba-tiba. Maka dengan masih terkejut, Jagalaya segera
menceritakan akan apa yang tengah
dipikirkannya. "Demikianlah, Di Ajeng! Aku
bingung. Apakah mungkin seorang istri diberikan pada orang lain?"
Dewi Kalandasan sesaat tercenung
diam, demi mendengar
ucapan sang suami. Ditatapnya wajah Jagalaya yang tampak murung. Sesaat kemudian, Dewi
Kalandasan tampak tersenyum.
"Kakang, bolehkah aku berpendapat?" "Apakah itu, Di Ajeng?" tanya Jagalaya.
"Kakang Mas Jagalaya, kalau
menurut dinda, maka lebih baik Kakang mengabulkan permintaan Kanjeng
Tumenggung..."
"Gila! Apa kau tidak berpikir
bagaimana nanti orang-orang persilatan akan membicarakan dan menjelekkan
namaku! Di mana harga diriku"!" Tersentak Jagalaya mendengar penuturan
dan saran istrinya. Hingga membuat
Jagalaya marah. Merasa saran istrinya, adalah suatu saran yang makin
menjerumuskan. Dewi Kalandasan bukannya takut
mendengar bentakan suaminya, bahkan
dengan tersenyum bagaikan tak bersalah ia kembali berkata.
"Kakang jangan marah dulu.
Dengarkan pendapatku, hingga aku
selesai. Kalau nanti dirasa oleh
Kakang kurang baik, Kakang boleh
menolaknya"
Semarah apapun Jagalaya saat itu,
dirayu dengan senyuman maut Dewi
Kalandasan seketika hilang lah
marahnya dan berubah menjadi senyum
yang mengulas di bibir.
"Maafkan Kakang, Di Ajeng! Kakang marah karena terlalu cintanya pada Di Ajeng.
Kakang takut Di Ajeng pergi
meninggalkan Kakang. Apalah jadinya
kalau Di Ajeng meninggalkan Kakang,
yang sangat mencintai dan mengasihi Di Ajeng. Sekarang katakanlah, apa yang
menjadi saran Di Ajeng."
Makin melebar senyum di bibir
Dewi Kalandasan, mendengar ucapan sang suami. Dengan melendotkan badan pada
tubuh suaminya, Dewi Kalandasan
kembali berkata:
"Kakang mas! Kalau Kakang mas
menghendaki perubahan status, maka
hendaklah Kakang mas mau mengabulkan permintaan Tumenggung."
Terbelalak mata Jagalaya, demi
mendengar ucapan istrinya. Hampir saja ia bangkit dari duduknya, kalau saja sang
istri tidak segera mencegah.
"Tenang dulu, Kakang. Bukankah
dinda belum selesai bicara?"
"Tapi apa yang menjadi saran Di Ajeng itu, bagi Kakang merupakan
tindakan gila! Bagaimana mungkin!
Kalau Di Ajeng Kakang serahkan pada
Tumenggung, apalah akibat yang akan
Kakang terima. Bagaimana pula tanggapan dari tokoh-tokoh persilatan,
juga tanggapan dari guru" Semua akan akan menyalahkan Kakang yang tak mampu
mempertahankan kewajibannya. Semua
akan menganggap Kakang terlalu
mengalah pada penguasa. Tidak, Di
Ajeng!" Kemarahan Jagalaya bukannya menjadikan Dewi Kalandasan takut, maupun mengalah. Bahkan dengan tersenyum-senyum,
Dewi Kalandasan kembali
berkata: "Kakang, aku tahu perasaan
Kakang. Seperti juga perasaanku pada Kakang. Aku merasa takut kehilangan
Kakang. Namun, saran ku itu hanya
bersifat sementara. Apabila kita telah dapat mengambil hati Tumenggung, maka
kita akan mudah untuk mempengaruhinya.
Aku bermaksud agar Kakang nantinya
dapat menguasai Ketemenggungan. Bukankah itu akan menjadikan kehormatan
bagi kita, Kakang?"
Terdiam Jagalaya mendengar katakata istrinya. Pikirannya seketika
terbang melayang, bertanya-tanya dan menimbang-nimbang. Setelah sesaat
terdiam, Jagalaya tampak tersenyum.
"Hm... Kau pintar Di Ajeng. Tapi apakah hal itu akan mudah kita
laksanakan" Tidakkah kau berpikir apa akibatnya" Aku takut nanti kita
sendiri yang susah."
"Menurut Kakang?"
Ditariknya nafas panjang-panjang
oleh Jagalaya, sebelum dia kembali
berkata menerangkan.
"Di Ajeng, memang kita nanti
mampu menguasai Ketemenggungan. Namun, apakah massa tidak akan menilai kita"
Apakah semudah itu kita menutup
telinga" Susah Di Ajeng."
Dewi Kalandasan tersenyum kembali, bukan memikir mendengar ucapan suaminya. Sepertinya ucapan sang
suami, hanyalah kata-kata kiasan yang tak ada arti sama sekali. Sepertinya ia
telah memprogram apa yang bakalan terjadi. Maka dengan masih bergayut di pundak
sang suami, Dewi Kalandasan
kembali berkata:
"Kakang, bagiku hal itu mudah."
"Mudah..." Bagaimana kau bisa
bilang mudah, Di Ajeng?" tanya
Jagalaya mengernyitkan dahi, tak
memahami kata-kata yang diucapkan oleh
istrinya. Makin melebar senyum Dewi
Kalandasan, mendengar suaminya berkata. Lalu dengan melepaskan rangkulannya dari pundak Jagalaya dan
melangkah meninggalkannya, Dewi Kalandasan pun berkata menerangkan maksudnya.
"Kakang mas... kalau Tumenggung telah kita kuasai hatinya, segala
sesuatunya akan mudah untuk kita
lakukan. Pertama, kita akan memanfaatkan dirinya sebagai perisai kita.
Kedua, kita akan memanfaatkan dirinya sebagai boneka kita. Sedang perjalanannya, adalah diri kita. Bukankah hal itu akan lebih baik" Orang tak akan
mengetahui kalau sebenarnya kitalah
yang menjalankan Pemerintahan, karena Tumenggung masih duduk di kursinya.
Kita juga dapat menjaga nama baik
kita, karena ada Tumenggung yang
sebenarnya telah kita kuasai.
Bagaimana, Kakang mas?"
Diangguk-anggukkan kepala seperti
mengerti dan memahami kata-kata
istrinya. Hati Jagalaya bangga, mendengar ucapan istrinya yang terasa
bagaikan penyebar semangat.
"Cek, cek, cek! Sungguh tidak
kusangka, kalau Di Ajeng mempunyai


Pedang Siluman Darah 2 Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikiran yang pintar. Kalau memang itu yang Di Ajeng kehendaki, maka demi
rasa sayang kanda menyetujui nya."
"Terima kasih, Kanda! Nah...
nanti kalau Tumenggung datang ke mari, bilang saja kalau aku mau dengannya.
Aku mohon, hanya kita berdua saja yang mengetahuinya."
Tertawa tergelak-gelak kedua
suami istri itu, setelah keduanya
mencapai kesepakatan. Lalu dengan
bergelak tawa, keduanya pun segera
masuk ke dalam kamar.
2 Keesokan harinya tampak sepuluh
prajurit Ketemenggungan, menuju ke
arah kediaman Jagalaya. Jagalaya yang telah mengerti akan apa yang bakal
dilakukan oleh kesepuluh prajurit itu, dengan segera menemui mereka sebelum
tiba. "Selamat datang prajurit-prajurit Ketemenggungan! Apa kabar dengan
Kanjeng Tumenggung Tambak Yasa?"
Kesepuluh prajurit itu seketika
saling pandang, mendengar sapaan ramah dari Jagalaya yang lain dengan hari
kemarin. "Apakah ini suatu taktik mu saja, Jagalaya" kau bermaksud menjebak
kami?" tanya ketua prajurit masih penuh selidik.
Jagalaya tersenyum demi mendengar
ucapan ketua prajurit. Lalu dengan
menjura hormat, Jagalaya berkata.
"Bagiku, tak ada jebak-jebakan. Aku seorang persilatan, yang menjunjung
tinggi sifat kesatriaan. Kalau kalian memandangku dari kejadian kemarin,
sungguh kalian salah. Aku sengaja
menghadang kalian bukan untuk bertempur, namun untuk meneruskan masalah
kemarin." "Hem... apa kata-katamu dapat aku pegang, Jagalaya?"
Jagalaya seketika tertawa
bergelak-gelak, mendengar pertanyaan ketua prajurit yang dirasakannya
sangat khawatir. Dengan masih tertawa bergelak-gelak, Jagalaya kembali berkata.
"Apakah pantas seorang prajurit yang gagah berani sepertimu meragukan itikad
baik seseorang?"
"Ah! Rupanya kau pintar
berdiplomasi, Jagalaya! Baiklah,
memang sepantasnya aku harus mempercayai kata-katamu. Nah, apa yang
hendak kau lakukan dengan menghadang kami?"
Untuk yang kesekian kalinya
Jagalaya tertawa.
"Perlu kalian ketahui, aku
menghadang kalian di sini, semata-mata ingin memberitahukan pada kalian
tentang kabar yang gembira."
"Kabar gembira" Jangan bercanda, Jagalaya! Ingat, kami tidak segan-segan
memenggal kepalamu jika kau
dusta!" bentak kepala prajurit, menganggap Jagalaya hanya ingin mempermainkannya
saja. "Kalau kau ternyata berdusta,
maka tak akan ada ampun lagi bagimu!"
"Baik! Kalau memang aku berdusta pada kalian, aku rela untuk kalian
penggal kepalaku. Nah, dengarlah! Aku ingin memberikan istriku pada Tumenggung.
Sampaikan pada Tumenggung salam dariku."
Terbelalak kesepuluh prajurit
Ketemenggungan demi mendengar hal yang tak terduga-duga oleh mereka. Maka
dengan seketika, kesepuluh prajurit
itu pun tertawa bergelak-gelak.
"Bagus-bagus! Itu memang jalan
yang baik! Baiklah, aku akan segera
menyampaikan pada Kanjeng Tumenggung.
Persiapkan olehmu penyambutan."
"Akan aku persiapkan semuanya,"
kata Jagalaya dengan menjura hormat, yang disambut dengan senyum oleh
kesepuluh prajurit Ketemenggungan.
Dengan segera, kesepuluh prajurit
Ketemenggungan menghela kais kuda
mereka. Di wajah-wajah mereka nampak kebahagiaan. Mereka memacu kuda dengan
cepatnya, ingin segera menyampaikan
berita gembira pada Kanjeng
Tumenggung. Sepeninggal kesepuluh prajurit
Ketemenggungan, tampak Jagalaya tercenung seperti tengah berpikir
sesuatu. Matanya menyipit sempit,
keningnya berkerut, hatinya gundah dan bertanya-tanya. "Apakah semua dapat
berjalan lancar" Apakah istriku tidak mendustai ku?"
Segera Jagalaya berkelebat
meninggalkan tempat itu, kembali
menuju rumah kediamannya.
Di ruang tengah tampak istrinya
telah duduk dengan anggun menyambut
kedatangannya dengan senyum dan
bertanya. "Bagaimana Kakang?"
"Sudah aku lakukan. Tapi aku
ragu..." "Ragu" Ragu tentang apa, Kakang?"
tanya Dewi Kalandasan sembari menghampiri suaminya yang berdiri di
ambang pintu. Mata Jagalaya tampak memandang
tajam pada istrinya. Jagalaya tak
berkata barang sepatah pun, sepertinya ia enggan untuk mengatakannya. Hal itu
membuat Dewi Kalandasan makin
mendalamkan kerutan keningnya. Lalu
dengan bibir terurai senyum, Dewi
Kalandasan pun berucap: "Kakang ragu dengan niatku?"
"Ya!" jawab Jagalaya pendek.
"Mengapa Kakang mesti berpikir begitu?"
"Entahlah, Di Ajeng. Aku mendapat firasat, bahwa kita tak akan dapat
menyatu kembali."
Makin tersentak kaget Dewi
Kalandasan, mendengar kata-kata yang diucapkan suaminya. Hingga saking
kagetnya sampai mulut sang Dewi
melongo bengong. Mata sang Dewi terus memandang pada Jagalaya dengan
berlinang. Sepertinya ia tak mengharapkan ucapan itu keluar dari mulut
sang suami. Dengan linangan air mata, Dewi Kalandasan memekik. "Tidak!
Kakang jangan menakuti aku!"
"Aku tidak menakuti mu, Di
Ajeng!" "Kalau begitu Kakang tidak
percaya padaku?" tanya Dewi Kalandasan, sepertinya memelas membuat
Jagalaya mau tak mau akhirnya luluh
juga hatinya. Dan dengan perlahan
setengah berbisik ia berkata.
"Aku percaya padamu, Di Ajeng.
Namun kodrat tak mungkin kita tentang, karena itu merupakan suratan Yang
Kuasa." Dengan penuh perasaan risau, Dewi
Kalandasan segera memeluk erat tubuh suaminya. Ditumpahkannya isak tangis di
dada Jagalaya, yang turut sedih
menerima kenyataan itu.
"Apakah kita tidak dapat mencari jalan?"
"Maksudmu Di Ajeng?"
"Apakah kita tidak lebih baik
membatalkan rencana kita?"
"Yang Di Ajeng maksudkan, kita
lebih baik menghadapi Tumenggung dan prajuritnya?" tanya Jagalaya, yang di
angguki oleh istrinya.
"Bagaimana, Kakang" Dari pada aku harus berpisah denganmu, lebih baik
kita menentang walau kematian
hasilnya."
Tercenung Jagalaya mendengar
ucapan istrinya. Hatinya bimbang akan tujuan hidupnya. Apakah ia mampu
menghadapi tantangan dan menentang Kodrat" Rasanya tak mungkin bila manusia
harus menentang kodrat.
"Kenapa Yang Maha Kuasa
memberikan kodrat" Apakah aku pernah berbuat lancang menentang-Nya" Oh
Gusti Allah, apakah gerangan yang
hendak Kau limpahkan pada kami?" tanya hati Jagalaya.
Hatinya terasa sakit dan pahit
bila mengenang wangsit yang telah ia terima semalam.
"Kenapa Kakang hanya terdiam?"
Tersentak Jagalaya dari lamunannya, manakala sang istri bertanya kembali meminta kepastian. Bagaikan
orang yang tak mempunyai semangat
hidup, Jagalaya hanya mampu menggeleng. Makin menambah keras tangis
Dewi Kalandasan, melihat gelengan
lemah sang suami. Dipeluknya tubuh
Jagalaya dengan erat-erat, seakan ia tak mau berpisah lagi.
* * * Dari kejauhan tampak rombongan
Tumenggung Tambak Yasa tengah berjalan menuju ke tempat Jagalaya. Langkah
kaki kuda mereka diperlambat, dengan tujuan supaya tuan rumah segera keluar
menjemput. Namun sampai sekian lama
dan hampir tiba di lapangan rumah
Jagalaya tak seorang pun tampak
keluar. "Wangkur! Mana Jagalaya" Mengapa dia dan calon istriku tak pernah
muncul-muncul, padahal kita telah
tiba." "Ampun, tuan ku! Mungkin keduanya tengah mempersiapkan diri," jawab Wangkur,
yang segera turun dari
kudanya dan berjalan menuju ke rumah Jagalaya.
"Jagalaya! Jagalaya buka pintu!
Mengapa kau mengurung diri dalam
rumah?" Tak ada jawaban dari dalam rumah, membuat Wangkur mengernyitkan alis
matanya. "Ke mana dia?" tanya hati Wangkur.
"Bukankah kemarin telah menemui diriku, dengan maksud memberikan
istrinya pada Tumenggung" Mengapa dia sekarang tak ada?"
Saking penasaran dan marah,
karena merasa dipermainkan, dengan
sekuat tenaga, Wangkur segera mendobrak pintu rumah itu. Dan betapa
terkejutnya Wangkur, kala secepat
kilat sebuah tombak melayang ke
arahnya. Belum sempat ia sadar, tombak itu telah berkelebat dengan cepat,
menghantam dan menembus tubuhnya.
Seketika Wangkur mengejang dengan
tubuh bermandikan darah, ambruk ke
tanah tanpa nyawa lagi.
Melihat ketua prajuritnya mati,
marahlah Tumenggung Tambak Yasa, yang segera melompat dari kudanya dan
menghambur ke dalam rumah dengan caci maki dan umpatan kemarahan.
"Jagalaya keparat! Keluar kau!
Jangan beraninya hanya main kucingkucingan. Ayo, keluar!"
Namun jawaban dari caci maki itu,
hanyalah desingan anak panah yang
beratus-ratus jumlahnya menyerbu ke
arahnya. Dengan kembali mencaci maki,
Tumenggung Tambak Yasa segera
mengelakkan serangan gelap itu. "Iblis laknat! Rupanya kau sengaja menje-bakku.
Jangan salahkan kalau nanti aku memenggal kepalamu!"
Sesaat tampak diam hening tak ada
jawaban. Tumenggung Tambak Yasa dengan disertai prajuritnya, berjalan perlahan
menyusuri ruangan depan rumah
itu. Untuk kedua kalinya Tumenggung
Tambak Yasa tersentak dan segera
mengibaskan pedangnya, ratusan anak
panah kembali berkelebat menuju ke
arahnya. Walaupun Tumenggung Tambak
Yasa dapat berhasil mengelakkan
serangan itu. Namun tak urung anak
buahnya yang terkena. Seketika memekik lah
prajurit-prajurit itu ambruk
dengan nyawa yang hilang.
Terbelalak mata Tumenggung Tambak
Yasa, melihat kejadian di depan
matanya. Hatinya mulai bimbang. Namun karena didorong oleh rasa penasaran
dan marah, Tumenggung Tambak Yasa pun nekad melangkah terus menuju ke dalam.
Mata Tumenggung Tambak Yasa yang
tajam, segera dapat menangkap berkelebatnya seseorang. Dengan menggeram marah, Tumenggung Tambak Yasa segera
berkelebat menyerang orang yang berada di hadapannya.
"Brak...!"
Tersentak Tumenggung Tambak Yasa,
kala mengetahui bahwa yang diserangnya tadi hanyalah sebuah kaca. Belum juga
habis kekagetan Tumenggung, tiba-tiba terdengar suara tawa seorang wanita di
belakangnya. Terkesiap darah Tumenggung Tambak
Yasa, manakala melihat keadaan wanita yang berdiri di hadapannya. Darah
kelelakiannya seketika menggelegargelegar, menyaksikan pemandangan yang dapat meleletkan lidah.
Wanita di hadapannya tersenyum
manis, dengan tubuh tanpa sehelai
benang pun. Matanya yang lentik
menatap tajam ke arah Tumenggung,
sepertinya mengundang Tumenggung
Tambak Yasa untuk menghampiri. Memang benar! Tumenggung Tambak Yasa segera
menghampiri wanita yang kini tengah
berdiri di hadapannya dengan mengurai senyum.
Kecantikan wanita itu, membuat
Tumenggung Tambak Yasa lupa pada
keadaan. Yang ada di pikiran
Tumenggung, hanyalah nafsu untuk dapat mencicipi tubuh mulus dan putih bersih
itu. "Ayo, Kanjeng Tumenggung! Kenapa kau diam saja" Bukankah kau ingin
menikmati tubuhku" Mumpung suamiku
tengah tak ada," kata wanita itu yang menjadikan Tumenggung Tambak Yasa
makin menggelegar darahnya.
Hati Tumenggung Tambak Yasa


Pedang Siluman Darah 2 Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bimbang, untuk menentukan apa yang
harus dilakukan. Ia tahu kalau wanita di hadapannya adalah seorang tokoh
persilatan, istri dari Jagalaya yang tak boleh dianggap enteng. Namun ia
juga mengetahui kalau wanita itu
menginginkannya, untuk menemani
membuang rasa sepi.
Karena tak tahan melihat tubuh
Dewi Kalandasan yang mulus dan menor, Tumenggung Tambak Yasa seketika lupa akan
tujuan semula. Ia tak ingat bahwa dirinya tengah dalam ancaman bahaya,
yang sewaktu-waktu akan datang kala ia lengah. Maka dengan menggigit bibir
menahan nafsu, Tumenggung Tambak Yasa melompat menubruk tubuh Dewi Kalandasan
yang masih tersenyum berdiri
tanpa sehelai benang pun.
Tak terpikirkan oleh Tumenggung
Tambak Yasa, kalau Dewi Kalandasan
bermaksud mempermainkannya. Ketika
tubuh Tumenggung Tambak Yasa hampir
menyentuh tubuh Dewi Kalandasan, sang Dewi dengan enteng berkelit ke
samping. Tak ayal lagi tubuh
Tumenggung menubruk tempat kosong, dan langsung nyungsep mencium tanah.
Gusar hati Tumenggung Tambak
Yasa, merasa dipermainkan. Dewi
Kalandasan, masih tersenyum dan makin menantang. Dibukanya kaki kiri ke samping
di antara duduknya. Hal itu
membuat Tumenggung Tambak Yasa bagaikan terserang demam berdarah. Tubuhnya
menggigil gemetaran, matanya melotot tak berkedip memandang ke selangkangan Dewi
Kalandasan yang tersenyum sembari berkata: "Ayolah, Kanjeng Tumenggung!
Jangan terlalu lama. Aku takut kalau-kalau suamiku pulang." Nada ucapan sang
Dewi yang manja, membuat Tumenggung Tambak Yasa yang tadinya marah
berubah menjadi senang dan nafsu.
Untuk kedua kalinya, Dewi
Kalandasan segera mengelakkan diri
dari pelukan Tumenggung Tambak Yasa.
Dan untuk kedua kalinya, Tumenggung
Tambak Yasa harus menubruk angin
langsung mencium tanah.
"Bedebah! Rupanya kau hendak
mempermainkan aku, sundel!"
"Mengapa kau begitu marah,
Tumenggung" Bukankah untuk mendapatkan sesuatu yang enak kita harus bersusahsusah dulu" Ayolah, jangan putus asa!"
Ditantang seperti itu membuat
darahnya makin menggelora. Muka yang tadinya membara marah, berubah menjadi
senyum penuh harapan dan keramahan.
"Kali ini aku harus berhasil!"
memberiak hati Tumenggung Tambak Yasa.
Dengan tanpa diduga oleh Dewi Kalandasan sebelumnya, Tumenggung Tambak
Yasa telah menyalurkan ajian
penyirepnya. "Harus kena!"
Bersamaan dengan ucapan itu,
Tumenggung Tambak Yasa telah menghantarkan ajian Penyirep Sukma ke arah
Dewi Kalandasan. Sang Dewi yang tak
menyangka bakal diserang dengan ajian itu, tersentak dan berusaha menghina-dar.
Namun luncuran ajian itu lebih
cepat. Hingga sang Dewi pun tak mampu lagi untuk mengelakkannya. Tubuh sang Dewi
seketika lemas dan tertidur tanpa sadar.
Tertawa Tumenggung Tambak Yasa,
merasa usahanya berhasil. Dengan tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, dibopongnya
tubuh Dewi Kalandasan yang tanpa
sehelai benang itu ke dalam kamar.
"Ha...ha... ha..! Akhirnya aku
dapat merasakan kenikmatan dari
tubuhnya."
Hanya itu yang terdengar dari
mulut Tumenggung Tambak Yasa, lalu
keadaan di situ pun seketika sepi.
Hanya desah-desah panjang saja yang
masih menggelitik gendang telinga.
3 Tersentak Dewi Kalandasan kala
menemukan dirinya tergeletak dengan
tubuh terasa ngilu semua. Setelah ia kembali sadar ingatannya, seketika ia pun
menjerit dan menangis.
Kini ia telah menyadari bahwa
dirinya telah menjadi pemuas nafsu
Tumenggung Tambak Yasa, yang telah
memperkosanya kala ia tengah tak
sadarkan diri. Kala Dewi Kalandasan tengah
menangis sesenggukan mengingat petaka yang telah menimpa dirinya, tampak
seorang lelaki telah berdiri di ambang pintu.
Kedatangan lelaki itu yang tanpa
sepengetahuan dirinya, membuat Dewi
Kalandasan makin mengguguk tangisnya dan memeluk kaki lelaki yang tak lain dari
pada suaminya sendiri Jagalaya.
"Apa yang aku takutkan ternyata
benar adanya, Di Ajeng."
Mendengar ucapan Jagalaya yang
tampak sinis, menjadikan makin
histeris Dewi Kalandasan.
"Ampunilah aku, Kang Mas!"
"Tak bisa aku mengampunimu, Di
Ajeng! Yang mampu mengampuni dirimu, hanyalah hati nurani mu sendiri dan yang
Maha Esa!"
"Kang Mas!"
Bagaikan tak mendengar ratapan
Dewi Kalandasan, Jagalaya tersenyum
sinis yang terasa menyakitkan hati
Dewi Kalandasan.
"Sudah kasep, Di Ajeng. Memang
kodrat kita harus begini."
"Tidak...! Tak maukah Kang Mas
mengampuni saya?"
Jagalaya hanya menggeleng lemah,
bagaikan sebuah robot yang bisu. Lalu dengan tanpa menghiraukan ratap tangis
Dewi Kalandasan, Jagalaya segera
berlalu. Dewi Kalandasan segera berlari,
memburu dan memeluk kaki Jagalaya
sembari terus terisak menangis. Mungkin karena kecewa, Dewi Kalandasan pun
dengan lantang setengah berteriak
mengucapkan sumpah:
"Kalau Kang Mas tak sudi mengampuni diri saya lagi, aku bersumpah!
Akan aku buat semua lelaki dan
khususnya keturunan Kang Mas untuk
bertekuk lutut padaku! Akan aku bunuh
mereka setelah menerima kepuasan
dariku!" Bersamaan dengan habisnya ucapan
Dewi Kalandasan, seketika itu pula
awan bergulung-gulung, menggumpal
menjadi satu. Petir bersahut-sahutan, tak ubahnya sebuah keputusan dari
sumpah tersebut. Jagalaya yang tak
memikirkan sampai di situ, tersentak kaget. Dari mulutnya terdengar desah,
pertanda menyayangkan ucapan istrinya.
"Ah! Kenapa kau berkata begitu, Di Ajeng" Apakah kau tak mengerti
akibatnya?"
"Aku mengerti, Kang Mas. Namun
apalah artinya hidupku ini, yang telah hancur oleh keteledoran diri sendiri.
Maafkan aku, Kang Mas. Untuk
memulainya, maka aku akan mengorbankan tubuhku ini."
Setelah berkata begitu, Dewi
Kalandasan segera pergi meninggalkan Jagalaya yang hanya terbengong-bengong
memandang kepergiannya.
Perasaannya kini diliputi oleh
kesal, yang tak mungkin untuk diganti.
Dengan hati yang penuh rasa bersalah, Jagalaya segera berlalu pergi
meninggalkan rumahnya entah ke mana.
* * * * "Tambak Yasa, keluar kau!"
Terdengar seruan seorang wanita,
yang berdiri di depan pintu rumah
kediaman Tumenggung Tambak Yasa. Dari dalam rumah seorang prajurit nampak
dengan wajah beringas menghampirinya.
Lalu dengan mata berapi-api, si
prajurit segera bertanya dengan
membentak "Heh, wanita! Apakah kau telah
gila! Hingga kau berteriak-teriak
seenak udel mu?"
Ditanya begitu rupa, bukan menjadikan wanita itu mengkerut nyalinya.
Bahkan dengan mata melotot si wanita balik membentak prajurit itu.
"Kau prajurit Tumenggung Tambak Yasa" Cepat katakan pada tuanmu, aku Dewi
Kalandasan menunggunya!
Cepat...!"
"Dewi Kalandasan. Rupanya kau
ketagihan dengan Tumenggung. Ah,
sayang Kanjeng Tumenggung sedang tidur bersama istrinya. Kalau mau aku pun
dapat melebihi Tumenggung."
Tersenyum Dewi Kalandasan mendengar ucapan prajurit Ketemenggungan, lalu dengan mengurai senyum si Dewi
pun perlahan menghampiri prajurit itu.
Dirangkulnya leher prajurit itu, yang seketika badannya terasa panas dingin.
Nafas prajurit itu tampak memburu
bagaikan kuda binal, sembari tangannya yang jahil beroperasi ke setiap
pelosok tubuh Dewi Kalandasan yang
tampak terdiam.
Ketika tangan sang prajurit
hendak makin merajalela, Dewi
Kalandasan tersenyum sembari membisikkan sesuatu pada prajurit yang
seketika itu mengangguk sambil
meleletkan lidahnya.
Tak berapa lama keduanya pun
segera masuk ke dalam rumah Tumenggung paling belakang, yang biasanya dipakai
untuk gudang. Setelah pintu gudang tertutup.
Tak lama kemudian terdengar pekikan
kematian, hingga membuat Tumenggung
dan istrinya yang tengah beristirahat tersentak bangun.
"Ada apakah di gudang?"
Tumenggung Tambak Yasa segera
pergi meninggalkan istrinya yang hanya ter bengong sesaat, lalu mengikuti
langkah suaminya menuju ke gudang.
Kala pintu gudang terbuka, saat
itu pula Tumenggung Tambak Yasa
membelalakkan matanya. Tubuh prajurit jaganya telah tergeletak tanpa nyawa.
Lebih tersentak kaget lagi Tumenggung Tambak Yasa, kala Dewi Kalandasan
tiba-tiba muncul.
"Selamat jumpa lagi, Tumenggung!
Apa kabarmu?"
"Kau...!" tergagap Tumenggung Tambak Yasa berkata, setelah tahu
siapa wanita yang menyapanya.
"Ya, aku. Apakah kau masih ingat kenangan manis kemarin" Apakah kau
ingin mengulangi lagi, Kanjeng
Tumenggung?"
Melotot Tumenggung Tambak Yasa,
yang merasa terbuka kedoknya di muka sang istri. Maka bagaikan orang tak
mengenal, Tumenggung Tambak Yasa
membentak marah.
"Wanita sinting! Apa perlumu
datang-datang ke mari?"
Tertawa Dewi Kalandasan mendengar
ucapan Tumenggung Tambak Yasa, yang
sepertinya tak mengenalinya.
"Tumenggung edan! Kau adalah
seorang lelaki pengecut! Setelah kau dapatkan pelayanan dariku, kini kau
hendak lari dari tanggung jawab. Aku ke mari untuk meminta tanggung
jawabmu." Membeliak mata istri Tumenggung
Tambak Yasa, mendengar ucapan wanita yang berdiri di hadapannya. Sesaat
matanya memandang pada si wanita, lalu beralih memandang pada suaminya yang
tertunduk takut-takut.
"Apa yang telah diperbuat suamiku padamu, Di Ajeng?" tanyanya.
Dengan terisak-isak Dewi Kalandasan pun menceritakan, apa yang telah terjadi pada dirinya dengan Kanjeng
Tumenggung Tambak Yasa.
Seketika istri Tumenggung melototkan mata, mana kala mendengar
penuturan Dewi Kalandasan. Mata istri Tumenggung tak henti-hentinya memandang bergantian, pada suaminya yang
hanya mampu menunduk dan pada Dewi
Kalandasan yang masih menangis.
"Di Ajeng... kalau memang suamiku telah melakukannya padamu, maka aku
pun tak akan menghalangi kalian untuk menjadi suami istri. Kang Mas Tumenggung,
kuharap kau mau bertanggung
jawab." Terbelalak mata Tumenggung Tambak
Yasa mendengar ucapan istrinya.
Hatinya begitu marah pada Dewi
Kalandasan yang telah membuat istrinya terpukul. Maka dengan membentak,
Tumenggung Tambak Yasa segera
menghardik. "Kuntilanak! Apa perlumu
menceritakan nista di sini!"
"Hem... kalau aku kuntilanak,
bukankah kau itu gendrewo?"
Tersenyum sinis Dewi Kalandasan,
membuat Tumenggung Tambak Yasa
menggeretak marah. Giginya yang beradu terdengar berkeriut-keriut, dengan
mata melotot. "Kuntilanak busuk! Kau telah
lancang padaku. Apakah kau tak
mengetahui siapa aku?"
"Aku tahu siapa kau sebenarnya.
Kau tak ubah nya lelaki buaya yang
suka usilan dengan rumah tangga orang!
Kalau kau tak mau bertanggung jawab, jangan salahkan bila akan menyesal
nantinya."


Pedang Siluman Darah 2 Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ucapan Dewi Kalandasan sepertinya
tak adi artinya bagi Tumenggung Tambak Yasa yang merasa telah mampu menjatuhkan
Dewi Kalandasan. Maka dengan tersenyum sinis, Tumenggung Tambak
Yasa berkata: "Apa yang hendak kau lakukan,
kuntilanak?"
Sebelum Dewi Kalandasan berkata
menyahuti, seketika istri Tumenggung Tambak Yasa telah mendahului berkata:
"Sudahlah, Kakang. Kalau memang kau merasa telah melakukannya, kenapa lari dari
tanggung jawab" Seperti halnya
aku. Di Ajeng ini pun tak mau
dipermainkan."
"Tapi itu tidak benar, Di Ajeng!
Dia hanya mengarang cerita, agar kita hancur!" Tumenggung Tambak Yasa berusaha
mengelak, yang membuat Dewi Kalandasan seketika itu marah.
"Pengecut! Kenapa dulu kau
merayu-rayu aku" Kenapa kau memaksa
pada suamiku, agar dia mau memberikan diriku padamu. Sekarang setelah kau
dapatkan kehormatanku, kau hendak lari dari tanggung jawab! Lelaki macam apa
kau!" Dengan penuh kemarahan Dewi
Kalandasan menyerang Tumenggung Tambak Yasa, yang terperanjat dan menghindar.
Melihat suaminya diserang tibatiba, istri Tumenggung Tambak Yasa
seketika itu pula memekik, karena
takut. Hal itu mengundang para
prajurit, yang segera datang menghampiri. Tak ayal lagi. Para prajurit
segera mengeroyok Dewi Kalandasan yang mengamuk.
Perkelahian itu pun tak dapat
dihindarkan lagi.
Dengan membabi buta, Dewi
Kalandasan terus merangsek Tumenggung Tambak Yasa yang tampak makin
terdesak. Sementara kelima prajuritnya, tak mampu harus berbuat apa
melihat Tumenggung nya terdesak begitu hebat. Baru ketika terdengar seruan
dari Tumenggung Tambak Yasa, para
prajurit itu segera membantu.
"Prajurit geblek! Kenapa kalian bengong saja! Ayo bantu aku!"
"Hem... benar apa yang aku
katakan! Kau tak ubahnya seorang
lelaki pengecut, yang hanya bisa
merusak rumah tangga orang lain. Hari ini juga, kau harus mampus di.
tanganku! Hiat...!"
Dewi Kalandasan berkelebat cepat
dan makin cepat, menyerang dan
merangsek Tumenggung Tambak Yasa yang makin kelabakan tak dapat berbuat apa-apa.
Sia-sia prajurit-prajurit itu
hendak membantu. Sebelum mereka mampu menyentuh kulit Dewi Kalandasan, Dewi
Kalandasan telah mendahului menghantam mereka dengan pukulan jarak jauhnya.
Pekik kematian seketika menggema
susul-menyusul, diikuti dengan ambruknya kelima prajurit Ketemenggungan.
Terbeliak mata Tumenggung Tambak
Yasa kaget melihat kejadian itu. Kini Tumenggung Tambak Yasa baru menyadari,
bahwa nama sepasang pendekar bukan
nama kosong belaka. Wajahnya seketika pucat pasi, sepertinya tak ada
harapan. Sebelum Tumenggung Tambak Yasa
tersadar dari kepanikan nya, tiba-tiba Dewi Kalandasan telah mengebutkan
tangannya. Seketika angin keluar dari kebutan tangan Dewi Kalandasan menderu,
disertai hawa dingin yang amat sangat.
Melotot kaget Tumenggung Tambak
Yasa sembari melompat mundur mencoba mengelakkan serangan itu dan balik
menyerang. Tapi sungguh fatal
akibatnya. Serangan Tumenggung Tambak Yasa, malah berbalik menyerang
tuannya. "Ah...!" Lengkingan panjang keluar dari mulut Tumenggung Tambak
Yasa, yang akhirnya ambruk dengan
tubuh membiru beku.
Setelah mendapatkan Tumenggung
telah mati di tangannya, dengan
tertawa gembira, Dewi Kalandasan
segera berlalu pergi meninggalkan
kediaman Tumenggung.
Istri Tumenggung Tambak Yasa tak
dapat berbuat apa-apa, kecuali
menangis dan menangis. Menangisi kematian suaminya yang mati akibat
perbuatannya sendiri.
Langit kelam bergayut di kediaman
Tumenggung Tambak Yasa, yang kembali sunyi-senyap bagaikan di pekuburan.
Mayat bergelimpangan di sana-sini,
menjadikan sebuah pemandangan yang
mengerikan, mendirikan bulu kuduk
bagi yang melihatnya. Angin sepoisepoi di sore hari, mengiringi
kepergian istri Tumenggung yang berjalan sembari menangis. Melangkah
terus sang waktu, yang tak diam atau beristirahat...!
4 Sesaat Ki Perwana menarik
nafasnya, Jaka Ndableg kembali
bertanya: "Lalu bagaimana tindakan kerajaan pada masa itu, Paman?"
"Sebentar kita istirahat dulu.
Ayo, diminum kopinya!"
"Terima kasih, Paman."
Jaka pun segera mengangkat
cangkir kopi yang ada di hadapannya, yang terbuat dari tanah liat.
Diminumnya kopi hangat habis tak
tersisa, membuat Ki Perwana tersenyum senang dan berkomentar.
"Memang kopi dapat membuat mata kita tak mengantuk."
"Benar katamu, Paman. Tadi aku
begitu ngantuk, Eh... setelah aku
minum kopi, rasa kantuk ku seketika lenyap."
Kedua orang itu tertawa bergelakgelak. Mata keduanya tampak berlinang-linang, menahan air mata yang hendak jatuh
menetes. "Ayo, Paman. Ceritakan lagi,
sebab hari hampir menjelang subuh. Aku takut kita
tak ada waktu lagi.
Bukankah aku harus segera pergi untuk mencari Kala Peningasan?"
"Hai! Ada apakah kau dengan Kala Peningasan, Jaka?" tanya Ki Perwana kaget,
mendengar ucapan Jaka tentang Kala Peningasan. "Bukankah ia seorang tokoh silat
golongan lurus?"
"Semua orang persilatan telah
tertipu, Paman."
"Maksudmu...?" Ki Perwana tersentak, mendengar penuturan Jaka yang
tidak diduga-duga nya. Sesaat Jaka
terdiam menundukkan muka memandang
pada tikar duduknya, sebelum akhirnya ia pun menceritakan tentang Kala
Peningasan. "Dia dengan berkedok sebagai
tokoh persilatan golongan lurus, telah mencuri beberapa Kitab dan pusaka-pusaka
sakti. Pusaka milik perguruan Teratai Putih telah dicurinya. Begitu juga dengan
Kitab Lembayung Mas milik perguruan Jalak Mas, telah digondol
nya." Ter angguk-angguk Ki Perwana
mendengar penuturan Jaka yang menyadarkan dirinya tentang siapa
sebenarnya Kala Peningasan yang dari dulu dikenalnya sebagai seorang tokoh
golongan lurus. Namun begitu, Ki
Perwana tak mau langsung menggaris
bawahi. Maka sebelum memutuskan untuk menentukan dugaannya, Ki Perwana pun
segera bertanya.
"Dari mana kau mengetahuinya?"
"Dari laporan perguruan-perguruan yang telah dicuri Kitab
atau pusakanya, yang kini meminta padaku
untuk mencarikan nya."
"Kalau begitu, sungguh berat
tugasmu." "Maksud, Paman?"
Ki Perwana sesaat tersenyum
sembari menggelengkan kepala, sebelum kembali berkata. "Sungguh berat tugasmu,
Jaka. Pertama kau harus mampu mendapatkan kembali Kitab dan pusaka-pusaka yang
telah dicuri oleh Kala
Peningasan. Kedua, kau akan aku minta tolong untuk menghentikan sepak
terjang Nyi Dewi Kalandasan."
"Apa...! Dewi Kalandasan masih
hidup?" Kaget Jaka seketika itu, manakala
dirinya diminta tolong untuk menghentikan sepak terjang Dewi Kalandasan.
Bukannya ia takut atau repot, namun ia
menyangka kalau Dewi Kalandasan hanya hidup kala lima puluh tahun yang silam
bukan sampai sekarang.
"Apakah Paman tidak tengah
bercanda?"
"Tidak, Jaka. Ini memang benarbenar tugas yang harus kau emban,
sebagai seorang pendekar golongan
lurus sejati."
"Maksud Paman?" Kembali Jaka bertanya.
"Sebagai seorang pendekar yang
kondang sepertimu, maka tindakan Dewi Kalandasan merupakan musuh yang harus
dibasmi. Sebab bila dibiarkan ber-larut-larut, akan membuat petaka di
dunia ini."
Terdiam Jaka mendengar penuturan
Ki Perwana, yang dirasakan memang
benar adanya. Lalu dengan rasa ingin tahu, Jaka segera bertanya.
"Apa yang telah diperbuat oleh
Dewi Kalandasan" Hingga akan membuat petaka di dunia, Paman?"
Ki Perwana tak segera menjawab.
Ditariknya nafas sesaat untuk membuang rasa kantuk, sebelum kembali ia
berkata: "Sejak sumpah yang ia ikrar kan, maka setelah membunuh Tumenggung
Tambak Yasa, ia menjadi buronan
kerajaan."
Setelah kembali terdiam sesaat
memandang pada Jaka yang tampaknya tak ngantuk sedikit pun Ki Perwana kembali
menceritakan lanjutan kejadian lima
puluh tahun yang silam.
Dengan matinya Tumenggung Tambak
Yasa, membuat murka sang Raja kerajaan Trenggiling Wesi. Segera sang raja
memerintahkan pasukan kerajaan untuk mencari dan menangkap pelaku
pembunuhan Tumenggung Tambak Yasa,
yang diketahui adalah seorang wanita.
Saat itu juga disebar pengumuman
di seantero kerajaan. Sarang siapa
yang mampu menangkap Dewi Kalandasan hidup, atau mati. Akan mendapatkan
hadiah dari raja berupa kedudukan dan jabatan yang sangat memuaskan! Raja
Trenggiling Wesi.
Semua tokoh persilatan yang
membaca pengumuman itu, segera berlomba memburu Dewi Kalandasan. Namun sejauh itu, mereka selalu menemui
kegagalan. * * * Pada suatu pagi di padepokan
Gunung Tengger, tampak seorang guru
yang tengah dihadapi oleh muridnya.
Guru itu bernama Ki Paksi Atom atau
Pendekar Seruling Emas dengan muridnya yang bernama Eka Bilawa.
"Heh. Bukankah itu kakek dan
ayahku?" tanya Jaka seketika, demi mendengar nama orang-orang tersebut.
"Benar! Kedua murid dan guru itu
adalah kakek dan ayahmu."
"Teruskanlah cerita paman."
Sesaat Ki Perwana tersenyum
sesaat, sebelum kembali meneruskan
ceritanya yang telah dipotong oleh
pertanyaan Jaka.
Kedua murid dan guru yang tak
lain dari Ki paksi Anom dan Eka
Bilawa, tengah membicarakan tentang
desas-desus yang saat itu melanda
kerajaan. Ki Paksi Anom selaku tokoh
persilatan golongan lurus, merasa ikut bertanggung jawab dengan kejadian yang
telah menimpa kerajaan. Maka Ki Paksi Anom pun memanggil muridnya, untuk
membahas masalah yang tengah dihadapi kerajaan dan bagaimana untuk
menanggulangi nya.
"Eka Bilawa, Kerajaan kini tengah dilanda oleh sebuah kejadian yang
sangat berat. Tumenggung Tambak Yasa mati terbunuh oleh seorang wanita,
yang tak lain dari Dewi Kalandasan."
"Dewi Kalandasan istrinya
Jagalaya, Guru?"
"Benar! Dia telah membunuh
Tumenggung Tambak Yasa, yang telah
membuat keluarganya berantakan. Rupanya Dewi Kalandasan sangat terpukul
oleh tindakan suaminya, setelah
dirinya ternoda oleh Tumenggung Tambak Yasa. Bahkan Dewi Kalandasan pernah
bersumpah, akan membunuh semua lelaki
setelah lelaki itu mendapat kepuasan dari tubuhnya."
Terkesiap darah Eka Bilawa
mendengar penuturan gurunya.
"Sungguh tindakan biadab yang
harus dicegah secepatnya, Guru?"
"Benar Bilawa! Kita sebagai orang persilatan, dituntut untuk dapat
mencegah meluas nya Sumpah Dewi Kalandasan. Maka dari itu aku
memanggilmu untuk membicarakan masalah ini. Aku harap kau mau mengerti,
Bilawa?" "Hamba mengerti, Guru!" kata Eka Bilawa. Hari itu juga, Eka Bilawa
segera pergi meninggalkan padepokan
Gunung Tengger untuk mencari Dewi
Kalandasan yang telah membuat geger
kerajaan. Setelah beberapa waktu lamanya
berjalan dalam usahanya mencari Dewi Kalandasan, akhirnya Eka Bilawa
menemukan persembunyian si Dewi.
"Dewi Kalandasan, keluar kau!"


Pedang Siluman Darah 2 Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar seruan seorang pemuda
di luar gubuknya. Dewi Kalandasan yang saat itu tengah memadu nafsunya dengan
pemuda mangsanya, tersentak dan
melompat ke luar.
"Brengsek! Siapa kau" Lancang
benar berbicara lantang padaku!"
Berkelebat Dewi Kalandasan menuju ke halaman gubuknya, di mana Eka Bilawa tengah
berdiri menunggu kemunculannya.
Demi melihat seorang pemuda tampan,
seketika Dewi Kalandasan tercenung.
Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba
hati si Dewi terajut benang-benang
aneh. Dewi Kalandasan pun hanya mampu mematung sembari memandang Eka Bilawa,
dengan senyum yang mampu membuat
jantung setiap lelaki akan bergetar.
Dengan bibir tersenyum manis, Dewi
Kalandasan pun menghampiri Eka Bilawa yang masih berdiri termangu di
tempatnya menyaksikan kecantikan Dewi Kalandasan.
"Siapa kau pemuda tampan?" tanya Dewi Kalandasan merajuk membuat Eka
Bilawa kelabakan bingung. Hatinya
sebagai seorang pemuda, seketika
menggejolak mengajak dirinya untuk
menyambut rasa suka yang dilontarkan sang Dewi. Namun kala mengingat
gurunya, Eka Bilawa segera sadar akan tugasnya. Dengan membuang rasa yang
ada di hatinya, Eka Bilawa pun segera berkata:
"Aku Eka Bilawa, yang akan
menangkapmu untuk mempertanggungjawabkan atas semua tindakanmu."
"Ah... sungguhkah kau bermaksud menyerahkan diriku pada raja?"
"Mengapa tidak! Kau telah membuat keonaran di kerajaan dengan membunuh
Tumenggung Tambak Yasa, sepantasnyalah kau harus dihukum!" kata Eka Bilawa,
setelah mendengar ucapan Dewi Kalandasan yang sepertinya mengundang rasa iba. Namun sebagai seorang tokoh
persilatan, dan merupakan murid
terkasih Paksi Anom ia harus mampu
mempertimbangkan
kebenaran walaupun
perasaannya berkata lain.
Mendengar ucapan Eka Bilawa,
seketika Dewi Kalandasan meneteskan
air mata. Dan dengan penuh rasa iba, Dewi Kalandasan mencoba mempengaruhi.
"Eka Bilawa. Bukankah kau seorang pendekar yang berbudi luhur" Mengapa kau tak
mampu mempertimbangkan dan
membedakan kebenaran dan keadilan" Aku membunuh Tumenggung Tambak Yasa,
karena dia telah membuat rumah tangga ku
hancur. Salahkah bila aku
menuntut?"
"Kau tidak salah. Tapi menuntut itu ada cara dan aturannya, tidak
sembarangan membunuh sepertimu!"
Hati Dewi Kalandasan yang telah
ter panah asmara, saat memandang Eka Bilawa seketika memekik. "Oh... betapa
semua lelaki di dunia ini sama! Semua egois! Semua tak mengerti perasaanku!"
Dengan linangan air mata, Dewi
Kalandasan pur kembali berkata.
"Eka Bilawa, apakah kau
bersungguh-sungguh?"
"Ya!" jawab Eka Bilawa pendek.
Matanya memandang tajam pada Dewi
Kalandasan, yang saat itu kembali
menitikkan air mata. Lalu dengan
menangis terisak Dewi Kalandasan pun kembali berucap membuat Eka Bilawa
tersentak. "Baiklah! Aku akan menyerah tanpa syarat. Asalkan kau mau menerima
cintaku, yang telah lama membeku.
Terus terang Bilawa, aku mencintaimu, aku tertarik sejak melihatmu."
Trenyuh hati Bilawa mendengar
ucapan Dewi Kalandasan, yang polos dan dengan sepenuh hati. Namun
kewajibannya menuntut agar ia tidak
memperdulikan ucapan Dewi Kalandasan.
Setelah sesaat terdiam, Eka Bilawa
akhirnya berkata perlahan. "Maaf Dewi Kalandasan. Aku tak mampu mengabulkan
permohonan mu. Aku harus menjalankan tugasku. Kau masih mempunyai suami
yang sah. Janganlah kau memburu nafsu setan, yang akhirnya membuatmu
celaka." Membeliak mata Dewi Kalandasan
mendengar ucapan Eka Bilawa, yang
dirasa telah kembali menghancurkan
harapannya. Maka dengan histeris dan amarah. Dewi Kalandasan pun berkata:
"Diam! Aku tak perlu khotbah mu! Kalau kau tak mau menerima diriku, maka
jangan salahkan kalau aku menolak
untuk menuruti kemauanmu. Jangan harap kau mampu menangkapku. Walaupun kau murid
Paksi Anom, namun aku tak mau
menuruti ucapanmu."
"Kau menantangku, Dewi?"
Eka Bilawa mendesah panjang,
manakala mendengar Dewi Kalandasan
menantangnya. Sebenarnya hatinya ragu untuk menerima tantangan
itu, disebabkan ia juga merasa iba. Apalagi dalam hati Eka Bilawa ada tersirap
perasaan yang sukar dimengerti, yang menggebu-gebu manakala beradu pandang
dengan Dewi Kalandasan.
"Kuharap kau tidak dalam keadaan sadar, Dewi."
"Apa maksud mu?"
"Aku mengharapkan di antara kita tak terjadi bentrokan."
Diam seketika Dewi Kalandasan
mendengar ucapan Eka Bilawa yang telah memetik hatinya. Namun kalau dia harus
mengalah begitu saja tanpa menerima
balasan permintaannya, sia-sialah. Di samping ia akan mendekam dalam penjara
kerajaan, ia juga tak akan mendapatkan balasan cintanya dari Eka Bilawa.
Setelah berpikir untuk beberapa
saat, Dewi Kalandasan pun kembali
berkata: "Memang aku pun enggan untuk bentrok denganmu, namun aku tak mau
pengorbanan ku sia-sia. Aku akan
menyerah pada kerajaan, asalkan kau
mau menerima cintaku "
Bimbang juga hati Eka Bilawa
mendengar ucapan Dewi Kalandasan yang begitu mengharukan dan polos. Tapi
kalau mengingat tugas, Eka Bilawa mau tak mau harus berpikir kembali. Maka
setelah diam berpikir untuk beberapa saat lamanya, Eka Bilawa akhirnya
kembali berkata: "Baiklah! Aku akan menerima cinta mu, asalkan kau mau
menghentikan perbuatanmu sekaligus
menyerahkan dirimu pada kerajaan."
"Kau tak berdusta, Bilawa?"
Dengan lemah Eka Bilawa menggeleng, yang menjadikan Dewi Kalandasan seketika itu senang hatinya.
Dengan tanpa malu-malu lagi, dipeluknya tubuh Eka Bilawa yang masih
terdiam mematung.
Hari itu juga Dewi Kalandasan
menyerah pada kerajaan untuk
mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang telah ia lakukan. Hari itu juga, Dewi Kalandasan harus mendekam
dalam penjara kerajaan.
5 Setelah lima tahun mendekam dalam
tahanan, Dewi Kalandasan segera pergi mencari Eka Bilawa untuk menagih
janji. Lama dia mencari Eka Bilawa
yang belum diketahui di mana
tempatnya. Akhirnya setelah setahun ia mencari-cari, Eka Bilawa dapat
diketemukan. Dengan penuh harapan,
Dewi Kalandasan pun mengutarakan
maksud hatinya. Tapi jawaban Eka
Bilawa sangat mengagetkan Dewi
Kalandasan sekaligus makin menambah
dendam pada semua lelaki.
"Aku telah mengalah untuk
menyerah pada kerajaan. Maka hari ini juga, aku menagih janjimu."
"Ah...!"
"Kenapa, Bilawa?" tanya Dewi Kalandasan.
"Aku tak dapat, Dewi. Maafkan
aku!" Mengeluh Eka Bilawa, sepertinya penuh sesal. Mendengar ucapan Eka
Bilawa, seketika meledaklah amarah
Dewi Kalandasan.
"Kau tak ubahnya lelaki lain! Kau penipu, Bilawa!" Air mata Dewi
Kalandasan yang tengah dilanda marah, tampak berlinang-linang menggayut di
kelopak matanya. Melihat hal itu Eka Bilawa seketika iba hatinya.
"Dewi, maafkan aku. Bukannya aku bermaksud mengingkari apa yang pernah aku
ucapkan padamu, namun aku kini
telah mempunyai istri hingga tak
mungkin bagiku menerima cinta mu. Juga aku pikir, kau masih mempunyai suami."
"Alasan! Kau hanya membuat alasan saja! Aku benci! Aku benci padamu!
Sekarang mari kita buktikan siapa di antara kita yang berhak untuk hidup di
dunia ini lebih lama!"
"Dewi...! Apakah kau sadar
berkata begitu?"
"Aku sadar, Bilawa! Aku sadar
bahwa aku tak ada artinya bagimu dan bagi dunia. Untuk itu, aku lebih baik mati
atau terus hidup dengan sumpahku untuk membunuh semua lelaki yang telah mendapat
kepuasan dariku!" Ucapan Dewi Kalandasan yang disertai. emosi,
menjadikan dirinya bagai seekor
harimau betina. Matanya yang redup dan indah, seketika liar memerah.
Melihat hal itu, Eka Bilawa
merasa terpukul juga. Hingga seketika itu juga, Eka Bilawa hanya mampu
menundukkan muka. Dalam hatinya
membatin penuh iba: "Ah... Betapa dia selalu dalam penderitaan. Namun
haruskah aku menuruti kemauannya"
Haruskah aku menentang keputusan guru"
Sebenarnya aku iba dan kasihan
melihatnya. Tapi bila aku menuruti
nya, apakah tidak menyalahi hukum"
Bagaimana nanti orang-orang persilatan menuduhku" Sungguh suatu keputusan
yang perlu memakan pikiran."
"Kenapa kau terdiam, Bilawa! Ayo!
Kita tentukan siapa di antara kita
yang berhak menghirup udara bebas
lebih lama lagi!"
Belum juga Eka Bilawa mampu
berkata, tiba-tiba Dewi Kalandasan
telah menyerangnya dengan cepat.
Tersentak Eka Bilawa, hampir saja
tubuhnya terhantam pukulan maut Dewi Kalandasan. Dengan melompat, Eka
Bilawa segera berteriak.
"Tunggu! Apakah tak ada jalan
lain bagi kita?"
"Jalan lain hanya bila kau mau menerimaku, Bilawa!" Dewi Kalandasan terus
merangsek Eka Bilawa, yang terus berusaha menghindar tanpa membalas
menyerang sekali pun. Hal itu membuat Dewi Kalandasan makin marah. "Kenapa kau
hanya menghindar, Bilawa! Kalau
kau memang laki-laki, seranglah aku!"
Eka Bilawa segera duduk bersujud
dengan mata terpejam, siap untuk
menerima kematian.
Eka Bilawa telah siap untuk
segala-galanya, demi kepuasan Dewi
Kalandasan. Namun apa yang ditunggu-tunggu
tak kunjung tiba. Dewi Kalandasan yang hendak menghantamkan tangan segera
mengurungkan niatnya. Dengan menangis tersedu-sedu, Dewi Kalandasan akhirnya
duduk berlutut di hadapan Eka Bilawa seraya berucap lirih di antara isak
tangisnya. "Aku tak mampu! Aku tak mampu
untuk membunuhmu. Aku... aku sangat
mencintaimu. Hu.... hu...!"
Perlahan-lahan Eka Bilawa membuka
matanya, memandang pada Dewi
Kalandasan yang kini menangis terisak-isak. Hatinya yang penuh kasih, seketika
menggugah nya untuk turut menitikkan air mata. Eka Bilawa
akhirnya hanya dapat menangis, melihat
kepedihan Dewi Kalandasan.
"Kenapa kau mengurungkan niatmu, Dewi" Lakukanlah bila hal itu akan
membuatmu tenang!"
Makin seru tangis Dewi Kalandasan
mendengar ucapan Eka Bilawa yang
pasrah dan siap untuk menerima segalanya. Maka dengan menangis tersedusedu, Dewi Kalandasan segera berlalu pergi meninggalkannya.
Sesaat setelah dirinya sadar,
dengan segera Eka Bilawa berlari
mengejar Dewi Kalandasan. "Dewi tunggu!"
"Jangan hiraukan aku! Aku benci kamu! Aku benci!" Dewi Kalandasan terus berlari.
Manakala tampak jurang menganga di hadapan sang Dewi, dengan segera Eka Bilawa
mempercepat larinya.
Maka dalam sekejap, Eka Bilawa telah berhasil menghadang langkah sang Dewi.
"Berhenti, Dewi!"
"Jangan halangi aku! Minggir! "
pekik Dewi Kalandasan, disertai dengan serangan. Tersentak Eka Bilawa melihat
kenekatan Dewi Kalandasan. Dengan
segera Eka Bilawa mengelit. Hal itu
mengakibatkan fatal bagi Dewi
Kalandasan yang tengah dilanda emosi.
Tubuhnya yang melaju, terus melayang ke bawah jurang.
"Dewi...!" Eka Bilawa memekik dan berusaha menolong. Namun terlambat
sebab tubuh Dewi Kalandasan telah
deras meluncur ke bawah, dengan
lengkingan yang menyayat.
Eka Bilawa hanya terpaku, memandang ke bawah jurang di mana tubuh
Dewi Kalandasan terjatuh. Dengan wajah lesu, Eka Bilawa segera balik kembali ke
tempatnya. "Sungguh tragis
kematiannya," gumam Eka Bilawa dalam hati.
* * * * Kala tubuh Dewi Kalandasan
meluncur jatuh dari atas, sebuah
bayangan dengan cepatnya meluncur dan menyambar tubuh Dewi yang telah


Pedang Siluman Darah 2 Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pingsan karena panik.
"Tapp..." Bagaikan menangkap sehelai daun, orang itu menyambar
tubuh Dewi Kalandasan, sebelum sampai ke dasar jurang. Dengan lari bagaikan
angin, orang itu segera membawa tubuh Dewi Kalandasan pergi menuju ke sebuah
tempat. "Kasihan gadis ini. Sepertinya ia telah mengalami tekanan batin yang
berat. Kalau saja dia tidak mempunyai dasar yang kuat, niscaya dia telah
gila." Setelah bergumam sesaat sembari merebahkan tubuh Dewi Kalandasan,
wanita tua itu segera kembali berlari ke luar.
Tak lama kemudian orang tua itu
telah kembali. Di tangannya membawa
daun dan akar-akar pohon untuk obat.
Ditatapnya tubuh Dewi Kalandasan sesaat, sebelum ia berlalu menuju ke
sebuah ruangan.
Diracik nya jamu-jamuan yang
terbuat dari akar dan daun-daunan.
Lalu setelah selesai orang tua itu pun segera kembali menuju di mana Dewi
Kalandasan terbaring pingsan. Sedikit demi sedikit, diminumkan jamu yang
telah diramu nya ke mulut Dewi Kalandasan. Setelah beberapa saat jamu itu
diminumkan, tampak perubahan di tubuh Dewi Kalandasan. Tubuh Dewi Kalandasan
tampak memerah bagaikan menyala.
Keringat seketika keluar dari poripori tubuh Dewi Kalandasan, banyak
bagaikan mandi.
Dibukanya pakaian Dewi Kalandasan
satu persatu, sampai benar-benar tubuh Dewi Kalandasan tak tertutup sehelai
benang pun. Kepala wanita tua itu
menggeleng lemah, memandang tubuh Dewi Kalandasan yang putih bersih bagaikan tak
bernoda sedikit pun. Dibaluri nya tubuh Dewi Kalandasan dengan ramuan
obat yang diracik nya, sampai ke
seluruh badan. Tubuh Dewi Kalandasan yang
telanjang, makin nampak bersinar
terang. Lambat laun, perubahan pada
tubuh Dewi Kalandasan berlangsung.
Si Nenek tersenyum sembari
mengangguk-anggukan kepalanya, dan
bergumam lirih. "Bagus! Bagus.
Ternyata tak sia-sia aku menolongnya."
Dengan penuh kesabaran si nenek
menunggui Dewi Kalandasan yang tengah pingsan, yang akhirnya tampak perlahanlahan membuka kedua matanya.
Makin melebar senyum si nenek,
menyaksikan Dewi Kalandasan telah
siuman. Matanya yang menyipit, memandang tak berkedip. Dewi Kalandasan
heran melihat tubuhnya tak berpakaian sebenang pun.
Kala dilihatnya seorang wanita
tua ada di sisinya, dengan segera Dewi Kalandasan bertanya: "Di mana aku" Dan
siapakah engkau?"
Terkekeh si nenek mendengar pertanyaannya, menampakkan gigi-giginya yang kuning dan tajam. Kemudian
terdengar suaranya yang serak dan
parau. "Kau berada di rumahku. Kau telah kutolong kala kau terjatuh ke dalam
jurang. Kalau kau ingin tahu namaku, biasanya
orang menyebutku "Ratu
Siluman Muka Ayu" karena aku mampu mengubah wajahku yang keriput ini
menjadi cantik bak bidadari." Terkekeh wanita tua itu, dibarengi dengan
perubahan paras mukanya yang seketika itu mengejutkan Dewi Kalandasan. Muka yang
tadinya penuh keriputan, seketika
berubah menjadi cantik bak bidadari
setelah si nenek membacakan mantra.
"Bagaimana Dewi Kalandasan"
Apakah kau percaya?"
"Hai! Rupanya kau telah mengenal namaku. Dari mana kau tahu namaku?"
Ditanya seperti itu si nenek
terkekeh-kekeh. Dengan terlebih dulu mengubah wajahnya kembali ke bentuk
semula, si nenek kembali berkata:
"Jangan kaget, Dewi. Aku memang dapat mengenalmu, bila kau mengerutkan
matamu." "Bagaimana si nenek mengenaliku hanya dari mataku" Ah! Jangan-jangan dia
malaikat," kata Dewi Kalandasan dalam hati.
"Kau rupanya bimbang, Dewi"
Jangan bimbang! Sebab akan menjadikan dirimu terombang ambing oleh
kehidupan. Kalau kau menentukan sikap, maka lakukanlah sikapmu."
"Nenek sangat tajam penglihatan batinnya. Apakah nenek adalah seorang malaikat
yang menyamar?"
Terkekeh-kekeh kembali Dewi Muka
Ayu mendengar pertanyaan Dewi
Kalandasan. Lalu dengan menggelenggelengkan kepala, si nenek Iblis Siluman Muka Ayu berkata: "Aku bukannya malaikat. Aku orang biasa sepertimu, yang
punya kekurangan serta kelebihan.
Kalau kau ingin dapat seperti aku,
maka kelak kau pun akan mendapatkannya. Dengan syarat, kau harus
menjadi muridku. Kau mau?"
Sesaat Dewi Kalandasan tercenung
diam, memikirkan keputusan apa yang
harus ia utarakan pada si nenek.
Mengingat dendamnya pada Braja Denta karena cintanya ditolak, Dewi Kalandasan
pun segera memutuskan untuk
menerima tawaran Siluman Muka Ayu.
"Baiklah, Nenek. Aku menerima
tawaranmu. Aku siap untuk menjadi
muridmu." "Bagus, bagus! Mulai sekarang,
kau harus memanggilku dengan sebutan guru!"
"Baiklah, Guru. Saat ini juga,
aku siap untuk menjadi muridmu."
Terkekeh si nenek, mana kala
mendengar ucapan Dewi Kalandasan.
Saking senangnya, si nenek tampak
melompat-lompat bagaikan anak kecil
kegirangan. Sejak saat itu pula, Dewi Kalandasan pun menjadi murid tunggal
Siluman Muka Ayu.
6 "Lain bagaimana dengan ayahku
setelah itu?" tanya Jaka setelah melihat Ki Perwana
terdiam meng- hentikan ceritanya, untuk menarik
nafas. "Kau belum ngantuk, Jaka?"
"Belum, Paman. Ceritakanlah selu-ruhnya, biar aku mengerti dan tahu apa
yang menjadikan paman begitu tertarik dalam masalah ini. Hingga paman
mengundangku untuk datang ke mari."
"Wah, wah, wah. Sebenarnya paman sendiri telah ngantuk. Namun karena melihatmu
masih belum apa-apa paman hilang kantuknya. Kau memang benar-benar seorang tokoh
persilatan yang
mumpuni. Tak heran kalau kau mampu
mengatasi segala kesusahan, apalagi
masalah ngantuk, bukan begitu, Jaka" "
"Ah, paman terlalu meninggikan.
Saya rasa semua orang sama," kata Jaka mengelak tuduhan yang dilontarkan Ki
Perwana yang kembali tersenyum dan
mengangkat cangkir kopinya untuk
diminum. Setelah berguru pada Siluman Muka
Ayu, bertambahlah ilmu yang dimiliki oleh Dewi Kalandasan. Dendamnya pada Eka
Bilawa yang mendorongnya untuk
mampu menyerap segala ilmu yang
diajarkan oleh Siluman Muka Ayu.
Hingga dalam waktu yang singkat, Dewi Kalandasan telah menguasai ilmu-ilmu
Siluman Muka Ayu.
Di antara ilmu-ilmu silumannya,
ada sejenis ilmu yang akan membuatnya tampak ayu dan awet muda. Ilmu itu,
bernama ajian Ronggeng. Sedangkan ilmu yang ganas, yang ia kuasai dari
Siluman Muka Ayu adalah sebuah ajian yang sungguh dahsyat bernama Ajian
Lebur Raga. Yang bila dihantamkan pada
musuhnya, seketika musuhnya akan
menjadi tepung.
Setelah mendapatkan seluruh ilmu
dari Siluman Muka Ayu, Dewi Kalandasan pun bermaksud mengadakan perhitungan pada
semua lelaki, khususnya pada Eka Bilawa yang dicintainya sekaligus
dibencinya. Saat itu juga kembali dunia
persilatan dibuat geger, dengan ulah seorang wanita cantik yang membunuh
setiap lelaki yang telah menerima kepuasan darinya.
Petualangannya begitu menggemparkan, sampai mengundang perhatian Ki
Paksi, yang segera mengundang
muridnya. "Ada gerangan apa lagi, hingga
guru memanggilku?"
"Ketahuilah, Bilawa. Dunia persilatan kini tengah kembali digegerkan oleh
tingkah seorang wanita cantik,
yang sepak terjang nya sungguh kelewat telengas dan biadab."
"Maksud Guru?"
Eka Bilawa yang memang belum
mendengar dan mengetahuinya, kembali bertanya pada gurunya. Paksi Anom
sesaat mengangguk-anggukkan kepala,
sebelum kembali berkata menerangkan.
"Wanita itu setiap beraksi selalu meninggalkan selembar daun lontar,
yang bertuliskan " Hadiah untuk Eka Bilawa."
"Ah! Siapa kira-kira wanita itu, guru?"
"Menurut pengamatan mata batin
ku, wanita itu orang yang dulu pernah berbuat yang sama. Wanita itu tak lain
dari Dewi Kalandasan yang masih hidup kala jatuh ke dalam jurang," kata Paksi
Anom menjelaskan, membuat Eka
Bilawa makin tersentak kaget hingga
mendesah. "Ah... Apa itu mungkin, guru"
Sedangkan Dewi Kalandasan jatuh ke
dalam jurang yang terjal dan dalam?"
"Mungkin...! Di dunia ini
segalanya dapat mungkin terjadi."
"Kalau begitu Dewi Kalandasan ada yang menolongnya?"
"Benar katamu, anakku. Dewi
Kalandasan memang ada yang menolong
manakala terjatuh dalam jurang, hingga tubuhnya selamat."
Tercenung Eka Bilawa mendengar
pertuturan gurunya. Ia tak menyangka kalau Dewi Kalandasan masih hidup, dan kini
mendendam padanya karena ia telah menolak cintanya. "Kalau begitu, sungguh suatu
petaka besar bagi dunia.
Lambat atau cepat, Dewi Kalandasan
akan menemuiku. Maka sebelum banyak
korban, aku harus mencari dan mencegah tindakannya."
Ter masygul Eka Bilawa dalam
hati, manakala mengingat apa yang
bakal terjadi di dunia persilatan bila
ia tak segera mencegah tindakan
telengas Dewi Kalandasan.
"Tak adakah orang persilatan yang berusaha menghalangi niat Dewi
Kalandasan, guru?"
"Sudah, namun semuanya menemui
kegagalan. Perlu kau tahu, biasanya
orang-orang itu, tak mampu menghadapi rayuan Dewi Kalandasan."
"Maksud guru?" Masih Eka Bilawa tak memahami apa yang dikatakan
gurunya, yang seketika itu memandang padanya sembari tersenyum.
Setelah sesaat menarik nafas
panjang-panjang, Paksi Anom segera
kembali berkata menerangkan: "Dalam menjalankan
aksi nya wanita yang bernama Dewi Kalandasan selalu merayu setiap laki-laki dengan kecantikan
wajahnya dan kemulusan tubuhnya. Bila laki-laki itu telah terjebak rayuan nya,
maka jadilah laki-laki itu
terbuai oleh bisikan setan. Dan
setelah lelaki itu mendapat kepuasan darinya, lelaki
itu pun dengan telengas dan biadab dibunuh.
Mengerti lah Eka Bilawa setelah
gurunya menerangkan. Maka dengan
didahului desahan, Eka Bilawa
bertanya. "Lalu apa yang harus hamba kerjakan, guru?"
"Sebagai seorang pembela kebenaran serta keadilan, kau harus dapat
mencegah tindakannya agar tidak meluas
dan memakan korban lebih banyak lagi.
Hati-hatilah! Sebab dia kini bukan
Dewi Kalandasan yang dulu kau kenal.
Dia sekarang Dewi Kalandasan yang
memiliki ilmu-ilmu Siluman. Di antara ilmu silumannya, ia memiliki ilmu yang
sangat ganas dan berbahaya. Ilmu itu bernama Ajian Lebur Raga. Barang siapa
terkena ajian itu, niscaya tubuhnya
akan menjadi tepung."
Terkesiap Eka Bilawa mendengar
penuturan gurunya, tentang ilmu yang dimiliki oleh Dewi Kalandasan.
Keraguan di hatinya seketika timbul, dan menjadikan sebuah pertanyaan.
"Mampukah aku mengalahkannya" Kalau aku tak mampu, maka akulah yang bakal
menjadi korbannya."
Paksi Anom yang memang cermat,
segera mengetahui apa yang tengah
tersirat di hati muridnya. Maka dengan mengurai senyum di bibir, Paksi Anom
segera menegur: "Bilawa, kau rupanya bimbang. Jangan kau takut dan bimbang
menghadapinya, sebab ilmu yang ia
miliki tak lebih tinggi dari ilmumu.
Karena kau menggunakannya pada
kebenaran. Maka Yang Maha Kuasa akan selalu melindungimu. Percayalah, bahwa ilmu
yang kau miliki akan mampu
mengatasi ilmunya. Kalau ia memiliki ajian Lebur Raga, kau pun memiliki
Ajian Tapak Yaksa bukan?"
"Terima kasih atas nasehat yang


Pedang Siluman Darah 2 Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

guru berikan, kini hati hamba telah
tenang dan penuh kepercayaan. Kapankah hamba diperkenankan untuk menghentikan
sepak terjang Dewi Kalandasan, guru?"
Hatinya kini tenang dan yakin
akan kemampuan yang ia miliki, walau ia pun harus menyadari bahwa
keberuntungan yang dilimpahkan Tuhan jugalah yang bakal mampu memberikan
kemenangan. "Sebelum kau menghadangnya. Aku sarankan kau terlebih dahulu meng-hubungi
suaminya, Jagalaya di kaki
gunung Semeru. Berangkatlah ke sana."
Setelah habis ucapan gurunya, Eka
Bilawa menjura hormat meminta ijin dan doa restu untuk menemui Ki Jagalaya
sekaligus untuk mencegah tindakan Dewi Kalandasan. "Guru, hamba mohon doa restu.
Hari ini juga murid akan pergi menemui Ki Jagalaya sekaligus
menghentikan sepak terjang Dewi
Kalandasan yang terlalu telengas."
"Pergilah, anakku. Aku doakan
semoga kau berhasil," kata Ki Paksi Anom, seraya membelai rambut Eka
Bilawa yang masih menjura hormat dan menyembah.
Dengan diikuti gurunya sampai ke
pelataran rumah, Eka Bilawa segera
berlalu pergi meninggalkan kediaman
gurunya untuk menemui Ki jagalaya di kaki gunung Semeru.
* * * * Di kaki gunung Semeru tampak
sebuah pondok kecil, yang tenang dan sunyi. Sepertinya pondok itu tak ada
penghuninya, sepi menyendiri. Namun
bila kita menengok ke dalam pondok,
kita akan melihat seorang lelaki
tengah khusuk bermeditasi.
Kala lelaki itu tengah khusuk
melakukan semedinya, tiba-tiba
seberkas sinar tampak masuk ke pondok melalui jeruji jendela yang terbuat
dari bambu belahan.
Belum juga lelaki itu hilang dari
kekagetannya, cahaya itu telah berubah menjadi sesosok tubuh manusia yang
telah berdiri di hadapannya sembari
menjura hormat, dan menyapa ramah.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" jawab lelaki yang tengah semedi, yang tak henti-hentinya memandang
kaget pada sosok pemuda yang berdiri di hadapannya yang datangnya secara tibatiba. "Siapakah Ki sanak adanya?"
"Maafkan kelancanganku mengganggu meditasi mu, namaku Eka Bilawa. Aku
sengaja datang ke mari, karena diutus oleh guruku."
"Siapakah guru Ki sanak adanya"
Dan ada keperluan apa yang Ki Sanak
tuju hingga bertandang ke mari?"
"Guruku bernama Paksi Anom. Aku
datang ke mari untuk meminta
pendapatmu tentang sepak terjang
istrimu Dewi Kalandasan. Bagaimana
menurutmu, Ki Jagalaya?"
Seketika terkesiap Jagalaya demi
mendengar nama orang yang disebut,
sebelum akhirnya ia bertanya kembali.
"Maksud Ki sanak?"
"Istrimu kini telah membuat
keonaran di dunia persilatan. Dengan mengandalkan tubuhnya, istrimu telah
menjerat dan membunuh banyak lelaki.
Apakah kau akan membiarkannya?"
Jagalaya seketika tersentak
manakala mendengarkan penuturan Eka
Bilawa tak menyangka kalau tindakan istrinya telah sedemikian jauhnya.
melampaui nilai-nilai kemanusiaan.
Maka setelah terdiam sesaat, Jagalaya pun dengan terlebih dahulu menarik
nafas berkata pasrah: "Ki sanak Eka Bilawa. Kalau memang hal itu perlu
adanya tindakan, Aku serahkan padamu sepenuhnya. Aku yakin, Ki sanak
mengerti apa yang harus Ki sanak
lakukan." "Baiklah, kalau itu keputusanmu.
Berarti aku telah mendapatkan mandat darimu. Terima kasih terlebih dulu aku
ucapkan, dan aku pun mohon diri untuk segera menemui istrimu yang tengah
berkelana mencari mangsa."
Maka kedua orang itu pun segera
saling bersalaman, sebelum akhirnya
Eka Bilawa segera pergi meninggalkan padepokan Jagalaya. Dengan diiringi
Jagalaya hingga ke lereng gunung
Kelud, Eka Bilawa segera berlalu pergi untuk menjalankan tugasnya menghadang
sepak terjang Dewi Kalandasan.
Kala Eka Bilawa tengah berjalan
menyusuri jalan setapak di tengah
hutan, ia bertemu dengan seorang
lelaki tua yang menghadang langkahnya.
Merasa tak mengenal lelaki itu, Eka
Bilawa segera bertanya. "Ki sanak.
Apakah gerangan hingga Ki sanak
menghadang langkahku?"
Di tanya seperti itu, lelaki itu
bukannya menjawab, malah dengan mata menyipit, dipandanginya
tubuh Eka Bilawa bagaikan menyelidik. Hal itu
membuat Eka Bilawa makin tak mengerti, hingga untuk kedua kalinya bertanya:
"Ki sanak! Adakah sesuatu yang menjadi perhatian pada diriku?"
Belum juga ada jawaban dari
lelaki tua renta berbadan bongkok.
Malah dengan mulut menyeringai, lelaki tua berbadan bongkok itu berkata
ngawur bagaikan orang gila. Hingga
membuat Eka Bilawa terpaksa
mengerutkan kening, tak mengerti akan apa yang diucapkan oleh lelaki tua
bongkok itu. "Sungguh beruntung orang yang
berjalan pada jalan kebenaran. Karena dirinya selalu tenang dan damai. Namun
bila berjalan dalam kekhilafan,
niscaya dirinya tak pernah bahagia.
Iblis dan setan selalu menggoda."
"Hai, sepertinya kau tengah
bersyair, Ki sanak! Apa maksud syair mu itu?"
Terkekeh lelaki tua bongkok itu,
sepertinya tertawa pada diri sendiri.
Lalu dengan masih memandang pada Eka Bilawa, lelaki tua berbadan bongkok
itu menerangkan maksudnya.
"Pendekar Eka Bilawa, ketahuilah, bahwa di utara sana kau akan menemui
tantangan. Berhati-hatilah, karena
petaka akan datang secara tiba-tiba
bila kau lengah dan menyepelekan hal-hal yang kau anggap sepele. Jangan kau
terpengaruh dengan rayuan mautnya."
Bersamaan dengan habisnya ucapan
lelaki tua bongkok itu, lenyap pula
tubuh lelaki tua bongkok di
hadapannya. Seketika Eka Bilawa
tersentak, mendapatkan lelaki tua itu tak ada lagi di hadapannya. Belum
habis keterkejutan Eka Bilawa, tibatiba terdengar suara lelaki tua
bongkok itu berkata kembali padanya.
"Eka Bilawa, kau tak perlu
terkejut, sebab aku adalah manusia
semacammu. Bila kau hendak melangkah mencari Dewi Kalandasan, maka pergunakanlah penangkal ilmu silumannya
dengan bambu kuning yang ada di
hadapanmu."
"Siapa kau sebenarnya, Ki sanak?"
Terkekeh suara lelaki tua bongkok
itu, sebelum akhirnya kembali terdengar berkata menjawab: "Aku adalah orang yang selalu dekat denganmu."
Terkesiap Eka Bilawa kala mendengar ucapan orang tua berbadan
bongkok, yang seketika mengingatkannya pada seseorang yang selalu dekat
dengannya. Setelah merasa pasti,
dengan segera Eka Bilawa bersujud
Pedang Langit Dan Golok Naga 24 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Aneh Naga Langit 18

Cari Blog Ini