Ceritasilat Novel Online

Sepasang Bangau Putih 1

Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih Bagian 1


1 Debu berkepul membumbung ringgi ke angkasa, ketika kaki-kaki dua ekor kuda yang
dipacu dengan kecepatan ringgi, melintasi jalan tanah berdebu di kaki lereng
Gunung Jambik. Dua anak muda yang sudah kotor berdebu seluruh tubuhnya itu,
semakin cepat menggebah kuda mereka yang sudah terengah kecapaian. Sementara
matahari sudah condong ke sebelah barat. Cahayanya ridak lagi terasa terik dan
menyengat. "Berhenti dulu, Kakang...!"
Tiba-tiba salah satunya yang ternyata seorang gadis berusia muda berteriak keras
sambil menarik tali kekang kuda. Kuda yang ditungganginya meringkik nyaring,
sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Hampir saja gadis itu
terpelanting, kalau dia tidak cepat mengendalikan kudanya. Dan seorang lagi yang
ternyata pemuda berwajah tampan, langsung menghentikan lari kudanya.
"Ada apa, Untari" Kenapa mendadak kau berhenti?" tanya pemuda itu sambil
mendekatkan kudanya ke kuda yang ditunggangi gadis ini.
"Kita berhenti dulu di sini, Kakang Perbawa," sahut gadis cantik bernama Untari
itu. Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, Untari melompat turun dari punggung
kudanya. Dari gerakannya saja, sudah bisa dipastikan kalau gadis itu memiliki
kepandaian yang tidak bisa dikatakan rendah. Dia berdiri tegak di samping
kudanya. Sedangkan pemuda yang bernama Perbawa masih
tetap berada di punggung kudanya. Dia hanya memandangi saja gadis cantik yang
mengenakan baju putih ketat itu, sama seperti yang dikenakannya. Dan keduanya
juga sama-sama menyandang sebilah pedang di punggung masing-masing.
"Padepokan Tangan Baja sudah tidak jauh lagi.
Kalau kita terus, belum gelap sudah sampai di sana, Kakang. Apa kau lupa, kita
harus sampai di sana dalam suasana gelap?" kata Untari mengingatkan.
"Hup!"
Tanpa banyak bicara lagi, Perbawa melompat turun dari punggung kudanya. Begitu
indah dan ringan gerakannya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua
telapak kakinya menjejak tanah.
Dia membiarkan saja kudanya melangkah ke tepi jalan yang ditumbuhi rerumputan.
Sedangkan kuda milik Untari, sudah sejak tadi mengisi perutnya di pinggiran
jalan tanah berdebu itu.
"Ini yang ke berapa, Untari?" tanya Perbawa seraya menghenyakkan tubuhnya, duduk
bersandar di bawah pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
"Tiga," sahut Untari juga ikut duduk di sebelah Perbawa.
"Berapa lagi yang harus kita datangi?" tanya Perbawa lagi.
"Kalau dengan yang ini, semuanya tujuh lagi."
Perbawa hanya diam saja. Keningnya tampak berkerut, dengan tatapan mata tertuju
lurus ke depan.
Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
Sedangkan Untari sudah kembali berdiri dan menghampiri kudanya. Dia membereskan
pelana kuda tunggangannya itu, kemudian melompat naik.
Perbawa hanya memperhatikan dari sudut ekor matanya.
"Mau ke mana kau, Untari?" tanya Perbawa tanpa beranjak dari duduknya.
"Aku mau melihat ke ujung jalan itu dulu," sahut Untari. "Hiyaaa...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Perbawa, Untari langsung menggebah kudanya dengan
cepat Sementara Perbawa kembali menyandarkan punggungnya ke batang pohon. Dan
kelopak matanya langsung terpejam.
Sementara itu Untari sudah sampai ke ujung jalan yang bercabang. Dihentikan lari
kudanya di ujung jalan itu. Matanya yang bulat dan indah, langsung beredar
memperhatikan jalan bercabang di kanan dan kirinya. Keadaan sepi sekali. Sejauh
mata memandang, tidak seorang pun terlihat di sepanjang jalan.
Saat itu matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya. Hanya rona merah
yang tampak membias di kaki langit barat Untari memutar kudanya kembali ke jalan
semula. Namun belum juga dia menggebah kudanya lagi, tiba-tiba....
Srak! "Heh..."!"
"Heaaaa...!"
Belum sempat Untari bisa menghilangkan keterkejutannya, tiba-tiba saja sudah
muncul sesosok bayangan merah berkelebat cepat sekali. Sosok itu keluar dari
balik gerumbul semak yang ada tepat di samping kiri jalan. Bayangan merah itu
langsung meluruk deras menyerang Untari. Tapi....
"Haiiittt..!"
Cring! Wut! Cras! "Aaaa...!"
Cepat sekali Untari mencabut pedang, yang langsung dikebutkan ke atas kepala,
sambil mem-bungkukkan tubuh hingga hampir merapat dengan punggung kudanya. Dan
kibasan pedangnya menyambar bayangan merah itu. Seketika terdengar suara jeritan
panjang melengking tinggi.
"Hup!"
Bruk! Tepat ketika Untari melompat turun dari punggung kuda, sesosok tubuh mengenakan
baju merah terjatuh dengan keras sekali di samping kanan kuda.
Sementara Untari menjejakkan kaki dengan ringan sekali di pinggir jalan. Tatapan
tajam matanya langsung memandangi sosok tubuh yang tergeletak di jalan tanah
berdebu. Darah tampak mengucur deras dari dadanya yang robek cukup lebar.
Ketika Untari masih memandangi sosok tubuh lelaki yang sudah tak bemyawa terkena
sabetan pedangnya itu, tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari arah belakang.
Cepat dia memutar tubuhnya berbalik. Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan
merah berkelebat begitu cepat menerjang ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!"
*** Untari cepat melompat ke belakang, sambil mengebutkan pedang ke arah bayangan
merah yang menerjangnya dengan kecepatan tinggi bagai kilat itu.
Namun tampaknya orang ini lebih gesit dari yang pertama. Dia bisa menghindari
sabetan pedang dengan melenting kembali ke belakang. Dan tepat
secara bersamaan mereka menjejakkan kaki di tanah. Kini di depan Untari berdiri
seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahunan. Tubuhnya yang tegap terbalut
pakaian merah menyala, sama persis seperti yang dikenakan penyerang pertama.
Sebuah pedang tergantung di pinggangnya.
"Siapa kau" Kenapa menyerangku?" tanya Untari.
Laki-laki berbaju merah itu tidak menjawab sedikit pun. Dia malah menatap wajah
Untari dengan sinar mata yang begitu tajam menysuk. Perlahan dia meng-geser
kakinya ke kanan sambil menyentuh gagang pedang yang tergantung di pinggang
dengan siku tangan kiri.
Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara siulan melengking tinggi, dengan nada yang
terdengar aneh dan menyakitkan telinga. Untari tersentak kaget mendengar siulan
itu. Namun belum sempat dia bisa menghilangkan keterkejutannya, mendadak dari
segala arah di sekelilingnya sudah berlompatan sosok-sosok tubuh berbaju merah
menyala. Sebentar saja gadis itu sudah terkepung tidak kurang dari lima belas
orang lelaki berpakaian serba merah, yang semuanya sudah menghunus pedang.
"Seraaang...! Bunuh gadis itu...!"
Tiba-tiba orang yang muncul menyerang tadi berteriak dengan suaranya yang keras
dan menggelegar.
Seketika orang-orang berbaju serba merah menyala itu langsung berlompatan
menyerang Untari sambil berteriak-teriak keras menggetarkan jantung. Dalam
sekejap Untari sudah terkepung kelebatan kilatan-kilatan pedang yang mengincar
bagian-bagian tubuh yang mematikan.
"Hep! Yeaaah...!"
Untari tidak punya pilihan lain lagi. Dengan cepat
ia melenting sambil berputar. Dan secepat itu juga tangannya mencabut pedang dan
menangkis sebuah pedang yang berkelebat begitu cepat mengarah ke dadanya.
"Hih!"
Tring! Secepat kilat Untari menarik tubuh hingga doyong ke belakang untuk menghindari
sabetan pedang yang datang dari arah samping. Dan secepat itu pula dilepaskannya
satu tendangan ke depan yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan gadis berbaju putih itu, sehingga lawan
yang berada di depannya tidak sempat bergerak menghindar ataupun menangkisnya.
Diegkh! "Akh...!"
Orang itu memekik keras, begitu dadanya terkena tendangan menggeledek yang
bertenaga dalam tinggi dari Untari. Seketika tubuhnya terpental ukup jauh ke
belakang. Sementara Untari sendiri sudah harus menempatkan pedangnya ke belakang
punggung, ketika satu serangan pedang lawan yang lain membabat ke arah
punggungnya. Trang! Kembali pedang Untari berhasil menangkis serangan pedang lawannya. Pada saat itu
juga, satu pukulan yang dilepaskannya berhasil menghantam tubuh lawan yang
berada tepat di sebelah kirinya.
Jeritan panjang pun terdengar menyayat Satu orang lawannya terjungkal mencium
tanah. Untari kembali berlompatan sambil membabatkan pedangnya, menghantam
setiap lawan yang datang menyerang secara cepat dan beruntun.
Namun mendadak terdengar jeritan-jeritan
kematian yang panjang dan melengking tinggi.
Disusul dengan berpentalannya lawan-lawan Untari ke atas disertai dengan
semburat darah segar yang membasahi tanah sekitar pertarungan.
Melihat keadaan itu Untari terkejut dan keheranan.
Tapi dia tidak sempat lagi untuk bertanya walau di dalam hati.
Pandangan matanya yang tajam, langsung da-pat melihat seorang pemuda berbaju
putih tengah melesat cepat sekali menghajar orang-orang berbaju serba merah
dengan pedangnya yang berkelebatan bagai kilat. Tak satu pun lawan-lawannya yang
mampu membendung serangan kilat itu. Untari tahu siapa pemuda yang tiba-tiba
datang membantunya.
"Kakang Perbawa...," desis Untari dengan perasaan lega.
"Hiyaaat..!"
Bet! Cras! "Aaaa...!"
Jeritan-jeritan kematian pun semakin sering terdengar saling sambut Dan tubuhtubuh bersimbah darah terus berjatuhan tanpa ampun lagi.
Kedatangan Perbawa membuat semangat Untari kembali berkobar menyala. Dengan
ganas sekali dia mengayunkan pedang, membabat setiap lawan yang berada dalam
jangkauannya. Sementara Perbawa sendiri dengan gerakan-gerakan yang begitu cepat
juga tidak terbendung lagi.
Hingga dalam waktu tidak berapa lama, sekitar lima belas orang berpakaian serba
merah tidak ada lagi yang bisa berdiri. Mereka semua terbujur kaku tanpa nyawa
dengan darah berhamburan membasahi jalan tanah berdebu. Untari dan Perbawa
segera menyarungkan pedang yang bemoda darah ke dalam
warangka seraya menghela napas lega melihat lawan-lawannya yang bergelimpangan.
"Ayo, Untari. Tinggalkan tempat ini," ajak Perbawa sambil melangkah menghampiri
kudanya. Untari juga segera mendekati kudanya yang berada tidak jauh dari tempat
pertarungan. Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, mereka berlompatan
naik ke punggung kuda masing-masing.
Dan tanpa bicara sedikit pun, keduanya langsung menggebah kuda perlahan
meninggalkan tempat pertarungan itu. Meninggalkan mayat-mayat yang
bergelimpangan saling tumpang tindih, dengan darah membanjiri sekitarnya.
*** "Untung kau tadi cepat datang, Kakang," ujar Untari setelah mereka cukup jauh
meninggalkan tempat pertarungan tadi.
"Tanpa aku, kau juga bisa menghabiskan mereka, Untari," sahut Perbawa kalem.
"Mereka memang tidak ada apa-apanya, Kakang,"
ujar Untari bangga mendapat sanjungan Perbawa.
Pemuda itu hanya tersenyum dikulum. Dia tahu kalau Untari senang mendapat
sanjungan. Dan mereka tidak bicara lagi, terus mengendalikan kudanya periahanlahan menyusuri jalan tanah berdebu.
"Kau tahu siapa mereka, Untari?" tanya Perbawa setelah beberapa saat terdiam.
Untari menggelengkan kepalanya.
"Tapi kenapa kau sampai bentrok dengan mereka?" tanya Perbawa lagi.
"Aku tidak tahu, Kakang. Tiba-tiba saja mereka
muncul dan langsung menyerang," sahut Untari menjelaskan.
"Mustahil kalau mereka menyerang tanpa ada maksud apa-apa," desis Perbawa tidak
percaya. "Kau tidak percaya padaku, Kakang...?" dengus Untari.
"Aku percaya. Tapi apa mungkin ada orang yang menyerang tanpa sebab..." Mereka
menyerangmu pasti karena ada sebabnya. Apalagi tanpa bicara sedikit pun. Kau
sama sekali tak mengenal mereka, Untari?"
"Tidak," sahut Untari tegas.
"Juga tidak mengenali pakaiannya?" selidik Perbawa lagi.
Untari terdiam mendengar pertanyaan yang bemada menyelidik itu. Keningnya
terlihat berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun tidak lama kemudian,
kepalanya menggeleng perlahan. Dia sama sekali tidak mengenal orang-orang yang
menyerangnya tadi. Bahkan tidak sempat mengenali pakaian yang mereka kenakan,
walaupun jelas mereka mengenakan pakaian yang sama, baik corak maupun wamanya.
Bahkan semua menggunakan pedang yang sama persis bentuk dan ukuran-nya.
Namun Untari benar-benar tidak tahu siapa mereka itu semua.
"Aku sama sekali tidak tahu, Kakang," terdengar pelan suara Untari.
"Ya, sudahlah...," desah Perbawa disertai hem-busan napas panjang.
Untari jadi terdiam lagi. Keningnya masih tetap berkerut, dengan pandangan mata
tertuju lurus ke depan. Agaknya dia masih tetap berusaha mengingat siapa orangorang yang menyerangnya tadi. Namun
semakin keras dia berusaha mencari tahu, semakin sulit untuk mengetahuinya.
Untari benar-benar tidak mengenali orang-orang yang berbaju merah tadi.
Sedangkan Perbawa juga tidak bicara lagi.
Mereka terus menjalankan kuda perlahan-lahan.
Sementara malam sudah turun menyelimuti kaki lereng Gunung Jambik. Kegelapan
sudah menyelimuti sekitarnya. Angin yang beraup pun mulai terasa dingin
menyengat kulit. Namun kedua anak muda itu terus menjalankan kuda mereka
perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu itu.
Lama juga keduanya terdiam tanpa berbicara, hingga tiba di suatu tempat tanah
lapang dan berumput. Tampak di seberang mereka berdiri sebuah bangunan yang
dikelilingi pagar kayu tinggi, seperti sebuah benteng pertahanan.
Rupanya bangunan di lereng Gunung Jambik inilah yang mereka tuju. Sebuah
bangunan padepokan milik Ki Ampal. Seorang tokoh sakti yang dulu pernah malang
melintang di rimba persilatan. Tokoh ini dikenal dengan julukan si Tangan Baja.
Itu sebabnya padepokan yang didirikannya pun diberi nama Padepokan Tangan Baja.
Sesuai dengan nama julukan yang disandangnya. Bahkan sampai sekarang, masih
banyak orang yang memanggilnya dengan nama si Tangan Baja, daripada Ki Ampal.
Namun ketika usianya tua, Ki Ampal mendirikan sebuah padepokan di kaki lereng
Gunung Jambik ini.
Lebih dari lima puluh orang menjadi muridnya.
Sementara Untari dan Perbawa masih tetap berada di punggung kuda masing-masing,
memandangi padepokan yang masih berada cukup jauh dari mereka. Namun bangunan
padepokan itu sudah terlihat jelas, tanpa satu pohon pun yang menghalanginya. Untuk mencapai ke sana, mereka harus melewati tanah lapang yang
tentu saja akan terlihat dari bangunan padepokan itu.
"Kau lihat, Untari. Ketat sekali penjagaannya," ujar Perbawa tanpa memalingkan
sedikit pun pandangannya dari banguan padepokan yang mirip benteng pertahanan
itu. "Aku tahu," sahut Untari juga tidak memalingkan perhatiannya dari bangunan itu.
"Kau tetap akan ke sana?" tanya Perbawa lagi, seakan ingin memastikan.
"Ya," sahut Untari mantap.
"Kau tahu berapa jumlah murid si Tangan Baja?"
tanya Perbawa lagi, bernada menyelidik.
"Sekitar lima puluh orang. Itu juga kalau mereka semua ada di sana."
"Lima puluh orang..." gumam Perbawa pelan.
"Sedangkan kita hanya berdua. Apa mungkin kita bisa menghadapi mereka, Untari?"
"Aku heran, kenapa kau jadi ragu-ragu begitu, Kakang" Apa yang membuatmu jadi
ragu...?" tanya Untari keheranan, sambil menatap wajah tampan Pemuda di
sebelahnya. "Bukannya aku ragu, Untari. Aku hanya ingin lahu, apakah kau sudah
menyelidikinya lebih dahulu seperti padepokan-padepokan lainnya?" ujar Perbawa
bernada bertanya.
"Tidak ada satu padepokan pun yang terlewat dari penyelidikanku, Kakang. Aku


Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tahu seberapa kekuatan mereka. Dan semua, hanya guru-gurunya yang perlu
diberi perhatian lebih. Sedangkan murid-muridnya.... Hm, aku sendiri juga
sanggup menghabisi mereka semua dalam waktu singkat," jelas Untari dengan bibir
agak mencibir merendahkan.
Perbawa hanya melirik sedikit memperhatikan wajah cantik gadis itu. Namun di
balik kecantikan wajahnya itu, terlihat guratan-guratan kekerasan yang tidak
dapat disembunyikan. Bahkan sorot matanya terlihat berapi-api, bagai menyimpan
sesuatu yang begitu dahsyat.
"Kita ambil jalan memutar, Kakang," kata Untari mengajak.
"Lewat mana?" tanya Purbawa.
Untari tidak sempat lagi menjawab. Dia sudah memutar kuda dan menggebahnya
dengan cepat. Perbawa bergegas mengikuti gadis itu dari belakang.
Keduanya meninggalkan tanah lapang itu dan kembali melintasi jalan yang mereka
lalui tadi ketika datang.
*** 2 Sementara itu di dalam bangunan Padepokan Tangan Baja, Ki Ampal sedang menerima
seorang tamu, sahabat kentalnya. Seorang lelaki berusia sebaya dengan dirinya.
Hanya sebelah mata orang itu tertutup kulit hitam yang diikatkan ke belakang
kepala. Dan terlihat sebuah golok berukuran besar berwarna hitam tersandang di
punggungnya. Dia bernama Ki Denggis, yang lebih dikenal dengan julukan Golok
Setan Penyambar Nyawa.
Walaupun dalam usia yang sudah mencapai tujuh puluh tahun, Ki Denggis masih
kelihatan kekar dan berotot. Lain dengan Ki Ampal yang kini selalu mengenakan
baju jubah panjang wama hijau muda.
Tubuhnya sudah kelihatan kurus dan mengendur.
Hanya sinar matanya yang masih terlihat bersorot tajam, penuh dengan gairah
kehidupan yang menyala-nyala.
"Maaf, dengan penyambutan murid-muridku tadi padamu," ucap Ki Ampal dengan sikap
penuh hormat "Penyambutan yang wajar, Ampal. Aku bisa me-maklumi. Murid-muridmu memang tak
ada yang kenal denganku. Selama kau mendirikan padepokan di sini, baru kali ini
aku datang, kan..." Sudah barang tentu mereka tak ada yang mengenalku," sambut
Ki Denggis maklum.
"Terima kasih, Kakang," ucap Ki Ampal.
"Sebenarnya aku datang ke sini untuk mem-beritahukan sesuatu yang sangat penting
padamu, Ampal," ujar Ki Denggis langsung pada persoalannya.
"Hm, berita apa itu...?"
"Berita yang mungkin akan membuatmu terkejut,"
sahut Ki Denggis datar.
Ki Ampal tampak mengerutkan kening. Dia
memandangi tamunya dengan tatapan mata yang cukup dalam.
"Dalam beberapa hari ini, sudah dua padepokan sahabat kita yang hancur. Bahkan
tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup...," ujar Ki Denggis meng-awali
ceritanya. "Padepokan apa itu?" tanya Ki Ampal.
"Padepokan Cakar Naga dan Padepokan Tongkat Hitam," sahut Ki Denggis.
"Ah...!"
Ki Ampal menghembuskan napas panjang, mendengar dua padepokan yang sudah
dikenalnya dengan baik kini hancur tak bersisa lagi. Dia tahu siapa ketua kedua
padepokan itu. Mereka memang sahabat-sahabat kentalnya.
"Siapa yang menghancurkannya?" tanya Ki Ampal setelah beberapa saat terdiam.
"Sepasang Bangau Putih," sahut Ki Denggis.
"Sepasang Bangau Putih...?"
Kening Ki Ampal kembali berkerut dengan kelopak mata sedikit menyipit. Seakan
dia sedang berpikir, mengingat-ingat nama yang baru saja disebutkan sahabatnya
itu. Tidak lama kemudian, kepalanya terlihat bergerak menggeleng beberapa kali
dengan perlahan.
"Rasanya aku tak pernah mendengar nama itu...,"
desah Ki Ampal perlahan.
"Kau memang tidak pernah mendengarnya, Ampal.
Aku sendiri baru mendengar setelah kedua padepokan itu mereka hancurkan. Tapi
dari apa yang sudah aku ketahui, mereka hanya dua orang anak muda yang
berkepandaian tinggi," sambung Ki Denggis.
"Hm.... Lalu apa hubungannya denganku?" tanya Ki Ampal lagi.
"Dengar, Ampal. Kau masih ingat berapa orang dari kelompok kita yang mendirikan
padepokan sepertimu...?"
"Sepuluh, termasuk aku."
"Dan berapa orang yang tetap sendiri seperti aku?"
"Lima, termasuk kau."
"Empat orang sudah tewas di tangan mereka. Dan dua padepokan sahabat kita sudah
hancur. Aku yakin, tak lama lagi mereka akan datang ke sini lebih dulu, atau
mungkin ke padepokan-padepokan yang lainnya," terdengar agak ditekan nada suara
Ki Denggis. "Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...."
"Mereka yang tewas dalam beberapa hari ini, semua sahabat-sahabat kita,
merupakan satu kelompok tangguh yang pernah jaya dan tidak ada tandingannya. Dan
sekarang, ada dua orang yang menamakan dirinya Sepasang Bangau Putih sudah
mengalahkan sebagian dari kita. Aku yakin, mereka akan menghancurkan kita satu
persatu," hati-hati sekali Ki Denggis mengutarakan isi hatinya.
"Aku mengerti jalan pikiranmu, Kakang. Tapi siapa mereka...?" ujar Ki Ampal
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Siapa mereka, itu tidak penting. Yang penting, sekarang kita semua harus
waspada! Aku yakin, cepat atau lambat mereka akan datang ke sini. Dan kau harus
siap menghadapinya!" sahut Ki Denggis.
"Kau yakin, Kakang?"
"Aku sudah peringatkan ke Padepokan Cakar Naga. Tapi tidak ditangggapi. Dan
kenyataannya, baru aku tinggal saju hari, sudah kudengar mereka
hancur." "Dari mana kau tahu semua ini?" tanya Ki Ampal menyelidik.
"Aku sudah menduga setelah empat orang sahabat kita yang tidak mendirikan
padepokan tewas di tangan orang yang sama. Ditambah lagi dengan hancurnya
Padepokan Tongkat Hitam. Lalu disusul dengan hancurnya Padepokan Cakar Naga tiga
hari yang lalu. Aku yakin, sekarang mereka menuju ke sini.
Karena jarak dari Padepokan Cakar Naga dengan padepokanmu ini tidak terlalu
jauh. Kalau mereka langsung menuju ke sini, aku yakin malam ini mereka sudah
sampai," jelas Ki Denggis gamblang.
Ki Ampal masih saja diam dengan kening berkerut
"Kau siapkan saja murid-muridmu, Ampal! Malam ini juga aku akan pergi
memberitahu yang lain. Aku harus bergerak cepat mendahului mereka," kata Ki
Denggis lagi. Orang tua bersenjata golok itu langsung saja bangkit berdiri. Ki Ampal ikut
berdiri. Setelah memberikan pesan sekali lagi, Ki Denggis segera melangkah
keluar dari bangunan utama Padepokan Tangan Baja. Dia diantarkan Ki Ampal sampai
ke depan pintu gerbang yang dijaga hanya oleh dua orang muridnya.
"Dengar, Ampal. Hati-hatilah mulai sekarang! Aku yakin mereka sudah sampai malam
ini," pesan Ki Denggis lagi.
"Ya, terima kasih," ucap Ki Ampal pelan.
Memang hanya itu yang bisa diucapkan Ki Ampal.
Sementara Ki Denggis sudah menggebah kudanya dengan cepat sekali, menembus malam
yang cukup pekat. Dan memang saat itu di langit tidak terlihat sedikit pun
cahaya bintang maupun rembulan. Awan
hitam yang tebal menyelimuti seluruh angkasa di atas Gunung Jambik.
Ki Ampal baru kembali ke bangunan utama
padepokannya, setelah kuda yang ditunggangi Ki Denggis tidak terlihat,
menghilang di seberang tanah lapang berumput yang menghampar di depan padepokan.
Ki Ampal segera masuk ke rumah besarnya itu.
Namun, baru saja beberapa langkah dia melewati pintu, ayunan kakinya langsung
berhenti. Dan bergegas dia melangkah keluar lagi. Namun pada saat itu juga....
Wusss! "Heh"! Hup..."!"
*** Kalau saja Ki Ampal tidak cepat menarik tubuhnya ke kanan, tentu sepotong
ranting yang meluncur bagai kilat ke arahnya, pasti menembus jantungnya.
Ranting itu menancap cukup dalam ke daun pintu yang ada di belakang Ki Ampal.
Tampak asap tipis mengepul dari ranting kering yang menancap pada daun pintu
itu. Ki Ampal segera melompat keluar dari beranda depan rumahnya. Dia langsung
menyadari kalau orang yang melemparkan ranting itu memiliki tenaga dalam yang
sempurna. Beberapa kali Ki Ampal berputaran di udara, sebelum kedua telapak kakinya
menjejak tanah, sekitar satu batang tombak dari rumah "besar yang menjadi tempat
tinggalnya. Dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Beberapa muridnya yang
melihat jadi keheranan. Dan perlahan mereka bergerak mendekati.
"Panggil yang lain semua di sini! Cepaaat..!"
perintah Ki Ampal dengan suaranya yang keras menggelegar.
Salah seorang muridnya bergegas berbalik meninggalkan halaman depan padepokan,
menuju ke belakang melalui bagian samping bangunan utama.
Sedangkan yang lainnya sudah berkumpul di belakang Ki Ampal. Mereka semua tidak
ada yang mengenakan baju, karena sedang berlatih di halaman depan padepokan.
Beberapa saat Ki Ampal menanti Mendadak hatinya terkejut, begitu melihat murid
yang tadi ke belakang berlari-lari mendatanginya dengan wajah pucat.
"Heh..."! Gopar, ada apa..."!" bentak Ki Ampal langsung bertanya.
"Aduh.... Celaka, Ki. Celaka...!" lapor Gopar dengan napas tersengal memburu.
"Ada apa..." Kenapa dengan mereka?" tanya Ki Ampal dengan dada bergemuruh.
"Mereka.... Mereka sudah mati semua, Ki," lanjut Gopar, gemetaran.
"Apa..."!"
Ki Ampal terlonjak kaget bagai disengat ribuan kala berbisa, mendengar laporan
dari muridnya. Seketika lelaki tua itu langsung mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia jadi
ingat dengan kata-kata sahabatnya yang belum lama pergi.
"Oh, begitu cepat mereka datang...?" desah Ki Ampal dengan nada suara yang
terdengar agak bergetar.
Belum juga Ki Ampal bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara tawa
keras yang menggelegar dari atas atap bangunan besar Padepokan Tangan Baja. Ki
Ampal langsung mendonggakkan kepala ke
atas atap. Saat itu juga terlihat sepasang anak muda berdiri tegak di atap
bangunan padepokan. Dua orang yang mengenakan baju ketat serba putih, dengan
pedang tersampir di punggung masing-masing.
Mereka ternyata Untari dan Perbawa.
"Siapa kalian" Apa yang kalian inginkan di padepokanku ini...?" bentak Ki Ampal
dengan suaranya yang keras menggelegar.
"Aku inginkah nyawamu, Ki Ampal. Juga seluruh nyawa murid-muridmu," sahut
Perbawa lantang.
"Setan...! Aku tak kenal dengan kalian. Ada urusan apa kalian menginginkan
kematianku...?" geram Ki Ampal membentak.
"Ingat-ingatlah dengan masa lalumu, Ki Ampal! Apa saia yang sudah kau perbuat di
masa lalumu..."
Orang-orang sepertimu tidak akan bisa sadar, dan menjadi ancaman dunia. Aku
tahu, untuk apa kau dan semua sahabatmu mendirikan padepokan. Kami, Sepasang
Bangau Putih akan menghentikan maksud buruk kalian semua untuk menghancurkan
dunia," kata Perbawa masih dengan suaranya yang lantang.
"Phuih! Sudah lama aku tinggalkan dunia persilatan. Aku tak ada urusan lagi
dengan semua urusan dunia!" dengus Ki Ampal menolak tuduhan pemuda itu.
"Apa pun yang ada dalam pikiranmu, tidak akan menyurutkan pengadilan dunia ini,
Ki Ampal. Bersiaplah kau untuk menerima hukuman kematianmu...!" bentak Perbawa.
Setelah berkata begitu, Perbawa langsung melompat turun dari atap dengan gerakan
yang begitu indah dan ringan sekali. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki pemuda ini.
Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat
kakinya menjejak tanah, tepat sekitar lima langkah di depan Ki Ampal.
Untari cepat mengikuti pemuda itu, meluruk turun dari atap dengan gerakan yang
indah dan ringan sekali. Tampaknya kepandaian yang dimiliki gadis ini seimbang
dengan Perbawa. Dan dia menjejakkan kaki tepat di sebelah kiri pemuda
pasangannya. Tanpa sungkan-sungkan lagi, mereka segera mencabut pedang dan langsung
disilangkan di depan dada. Sementara Ki Ampal menarik kakinya ke belakang
beberapa langkah. Murid-muridnya yang tinggal sekitar dua puluh orang, segera
berlompatan mengepung sepasang muda-mudi berpakaian serba putih itu.
"Aku tidak akan melayani orang-orang yang tak kukenal. Katakan, siapa kalian
sebenarnya...?"
terdengar dingin sekali nada suara Ki Ampal.
"Sudah kukatakan, kau tidak perlu tahu siapa kami berdua, Ki Ampal. Kau hanya
perlu tahu, kami adalah Sepasang Bangau Putih yang akan menghakimi semua
perbuatanmu!" sahut Perbawa tegas.
"Keparat...! Siapa yang menyuruhmu menghakimi-ku, heh..."!" bentak Ki Ampal
geram. "Kami berdua," sahut Untari yang sejak tadi diam saja.
"Phuih! Kalian hanya mau bunuh diri saja datang ke sini," dengus Ki Ampal seraya
menyemburkan ludah dengan sengit.
Kedua anak muda yang menamakan dirinya
Sepasang Bangau Putih itu hanya diam, memandangi orang tua itu dengan sinar mata
tajam dan memerah.
Dan tiba-tiba saja Untari menggerakkan pedangnya lurus ke depan, hingga ujungnya
tertuju langsung ke dada si Tangan Baja.
"Lihat pedangku, Tangan Baja! Yeaaah...!"
Sambil membentak keras menggelegar, tiba-tiba Untari melompat dengan cepat.
Secepat itu pula dia mengebutkan pedangnya mengarah ke leher si Tangan Baja.
Begitu cepat serangan yang dibuka gadis itu, hingga membuat kedua bola mata Ki
Ampal terbeliak lebar.
"Upths!"
Namun hanya dengan sedikit saja Ki Ampal mengegoskan kepala, tebasan pedang
gadis si Bangau Putih lewat sedikit di depan tenggorokannya. Cepat dia menarik
kakinya dua langkah ke belakang. Dan langsung mengegoskan tubuhnya ke kanan,
begitu Untari menyodokkan pedangnya lagi dengan cepat. Di saat pedang gadis itu
lewat di samping tubuhnya, dengan cepat sekali Ki Ampal menggerakkan tangan
hendak menyambar pergelangan tangan lawan.
"Haiiittt...!"
Namun tanpa diduga sama sekali, secepat kilat Untari memutar pedangnya ke atas.
Kemudian langsung dikebutkan ke leher si Tangan Baja.
Gerakan Untari yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat Ki Ampal tersentak
kaget. Cepat dia menarik tubuhnya ke belakang. Namun gerakannya sedikit
terlambat, hingga....
"Akh..."!"
Ki Ampal terpekik kaget, begitu merasakan ujung pedang Untari merobek bahunya.
Darah seketika mengalir keluar dari bahu yang sobek tersambar ujung pedang. Ki
Ampal cepat-cepat melompat ke belakang dengan memutar tubuh dua kali, hingga
antara dia dan gadis lawannya ada jarak sekitar satu batang tombak.
*** "Hebat kau, Nak...," desis Ki Ampal sambil meringis menahan perih pada luka di
bahunya. Untari hanya tersenyum sinis. Sementara Perbawa memperhatikan murid-murid si
Tangan Baja yang sudah mengepung, tinggal menunggu perintah untuk menyerang.
Sedangkan Ki Ampal sendiri langsung memberikan beberapa totokan di sekitar luka
pada bahunya. Seketika itu juga darah berhenti mengalir.
Sebentar lelaki tua itu memperhatikan murid-muridnya yang sudah siap dengan
senjata terhunus mengepung tempat pertarungan.
Ki Ampal menyadari kalau murid-muridnya tidak akan mampu menghadapi kedua anak
muda yang berjuluk Sepasang Bangau Putih ini. Namun hatinya juga tidak ingin
menyerah begitu saja. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa mempertahankan
padepokannya. Baginya lebih baik mati bersama murid-muridnya daripada harus
menyerah tanpa berlawanan sama sekali.
"Serang mereka...!" teriak Ki Ampal memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, murid-murid Padepokan Tangan Baja yang hanya berjumlah
sekitar dua puluh orang meluruk deras menyerang Sepasang Bangau Putih.
Namun belum juga mereka bisa melakukan serangan, Perbawa dan Untari sudah


Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat dengan kecepatan bagai kilat, menyambut murid-murid si Tangan Baja.
Pedang mereka seketika berkelebatan begitu cepat bagai kilat, hingga bentuk
pedangnya lenyap dari pandangan mata. Kini yang terlihat hanya
kilatan cahaya putih keperakan, berkelebatan begitu cepat menyambar lawanlawannya. "Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Bettt! Cras! Bret! "Aaaa...!"
Seketika itu juga, jeritan-jeritan panjang melengking terdengar menyayat,
bersamaan dengan ambruknya tubuh-tubuh bersimbah darah. Pedang Sepasang Bangau
Putih memang tidak dapat lagi dibendung. Setiap kali kedua pedang itu
berkelebat, korban langsung berjatuhan berlumuran darah.
Hingga dalam waktu tidak berapa lama, sudah tidak ada lagi murid-murid Ki Ampal
yang masih bisa berdiri. Mereka semua menggeletak diam tidak bernyawa lagi,
dengan tubuh berlumuran darah.
Sepasang Bangau Putih langsung menghampiri Ki Ampal yang sudah pucat dan tegang,
melihat murid-muridnya tidak ada lagi yang bergerak daiam waktu singkat sekali.
"Sekarang tinggal giliranmu, Ki Ampal. Bersi-aplah kau menerima kematianmu...!"
dingin sekali nada suara Untari. "Phuih...!"
Ki Ampal hanya menyemburkan ludah, menutupi kegentaran yang sudah sejak tadi
melanda hatinya.
Dia tahu kalau anak muda yang ada di depannya ini mempunyai kepandaian yang jauh
lebih tinggi darinya. Sementara jarak mereka sudah semakin dekat.
"Hadapi kami, Ki Ampal! Gunakan jurus Pukulan Tangan Baja yang kau banggakan!"
tantang Untari dengan suara terdengar sinis.
"Phuih!"
Lagi-lagi Ki Ampal hanya menyemburkan ludah dengan sengit. Tidak tahu lagi apa
yang harus dikatakan pada kedua anak muda di hadapannya.
Bahkan juga tidak tahu apa yang harus diperbuat-nya. Hatinya benar-benar sudah
gentar melihat ke-tangguhan Sepasang Bangau Putih ini.
"Terimalah kematianmu, hai,, Tangan Baja!
Yeaaah...!"
Sambil membentak keras menggelegar, Perbawa langsung melesat dengan kecepatan
bagai kilat, disertai kibasan pedangnya yang dahsyat. Dan pada saat yang
bersamaan, Untari pun melesat menyerang dengan tebasan pedang mengarah ke dada
laki-laki tua ini. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Sepasang Bangau
Putih, membuat Ki Ampal tidak sempat berbuat sesuatu. Dia hanya bisa terbeliak
melihat sepasang pedang berkelebat begitu cepat di depannya.
Brettt! Cras! "Aaaa...!"
Jeritan panjang yang melengking seketika terdengar menyayat. Tampak Ki Ampal
masih tetap berdiri dengan leher bergores merah dan dada ter-belah terkena
sambaran pedang Sepasang Bangau Putih tadi. Sementara sepasang anak muda itu
sudah berlompatan ke belakang menjauhinya.
Beberapa saat Ki Ampal masih tetap berdiri.
Namun tidak lama kemudian, tubuhnya terlihat limbung, lalu ambruk ke tanah
dengan kepala menggelinding terpisah dari leher. Seketika darah menyemburat
keluar dengan deras sekali dari batang lehernya yang buntung.
"Ayo Kakang, kita pergi dari sini! Masih banyak
yang harus kita datangi," ajak Untari.
"Tidak kau bakar padepokan ini seperti yang lainnya?" tanya Perbawa seraya
melirik sedikit pada Untari.
"Untari hanya tersenyum dengan menggelengkan kepala perlahan. Kemudian diayunkan
kakinya melangkah sambil memasukkan pedang ke dalam warangkanya yang tersampir
di punggung. Perbawa mengikuti ayunan langkah gadis itu. Pedangnya sudah sejak
tadi tersimpan di dalam warangka. Dia mensejajarkan ayunan langkah kakinya di
samping kanan Untari. Mereka terus melangkah keluar dari padepokan itu tanpa
bicara lagi sedikit pun.
"Suiiittt..!"
Tiba-tiba saja Perbawa bersiul nyaring. Sesaat kemudian terlihat dua ekor kuda
berlari cepat menghampiri. Mereka langsung berlompatan naik ke punggung kuda
masing-masing. Kemudian mereka menggebahnya dengan cepat, membuat debu-debu
berkepul, membumbung tinggi ke angkasa. Sebentar saja Sepasang Bangau Putih itu
sudah lenyap tertelan kegelapan malam.
*** 3 Sepak terjang pasangan anak muda yang dikenal dengan julukan Sepasang Bangau
Putih cepat ter-sebar ke seluruh rimba persilatan. Tidak ada seorang pun yang
bisa mengerti maksud dan alasan sepak terjang mereka. Dalam beberapa hari saja,
sudah enam padepokan yang dihancurkan. Dan tidak seorang pun dari penghuni
padepokan-padepokan itu yang dibiarkan hidup.
Kabar tentang sepak terjang Sepasang Bangau Putih pun akhirnya sampai di telinga
Pendekar Pulau Neraka yang saat itu berada di sebuah kedai di Dewa Watukan.
Orang-orang di dalam kedai membicarakan perbuatan pasangan anak muda yang
digdaya dan tidak kenal ampun itu. Perhatian pemuda berbaju kulit harimau itu
terpusat pada pembicaraan dua orang yang duduk tidak jauh di belakangnya. Dari
suara mereka, Bayu bisa mengetahui kalau yang satu orang lelaki tua, dan lawan
bicaranya seorang perempuan yang juga sudah tua.
"Kau yakin kalau mereka juga akan datang ke sini menemuiku, Kakang Denggis?"
tanya wanita tua yang mengenakan baju longgar warna merah.
Sebuah tongkat kayu yang tidak beraturan bentuk-nya menggeletak di atas meja,
tepat di depannya.
Sebelah ujungnya tergenggam di tangan kanannya yang sudah keriput, hingga
seperti tulang terbalut kulit. Bayu yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan
tahu kalau wanita tua itu bernama Nyai Kantil. Dia tahu ketika Ki Denggis
menyebutkan nama
itu dalam pembicaraan.
"Semua sudah aku peringatkan. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka masih saja
bisa dihancurkan,"
ujar Ki Denggis dengan suaranya yang pelan, hingga hampir tidak terdengar.
"Kau tahu apa maksudnya menghancurkan padepokan milik sahabat kita, Kakang?"
tanya Nyai Kantil ingin tahu.
"Entahlah...," sahut Ki Denggis mendesah pendek.
"Kau tahu siapa mereka sebenarnya?" tanya Nyai Kantil lagi.
"Itu yang membuat aku tak mengerti sampai sekarang ini, Nyai. Tidak seorang pun
yang tahu siapa mereka, dan dari mana asalnya. Mereka tiba-tiba saja muncul dan
membuat keresahan di antara kita semua."
"Hm..., dari semua yang sudah mereka lakukan, aku yakin kalau mereka menyimpan
dendam pada kita, Kakang," gumam Nyai Kantil perlahan, seakan dia bicara pada
dirinya sendiri.
"Sejak semula aku sudah menduga begitu. Tapi apa mungkin kita bisa tahu siapa
mereka, atau siapa yang memerintahkan begitu..." Sayang, aku belum pernah
bertemu dengan keduanya, jadi tidak tahu jurus-jurus yang mereka gunakan.
Sehingga sampai begitu jauh tak seorang pun dari teman-teman kita yang sanggup
menghadapinya."
"Kau merasa sanggup menghadapinya, Kakang?"
tanya Nyai Kantil bemada menyelidik.
"Entahlah.... Ampal sendiri tak sanggup menghadapi mereka. Aku jadi ragu-...,"
ujar Ki Denggis pelan.
"Kalau kita hadapi mereka sendiri-sendiri, jelas tidak mungkin, Kakang. Masih
ada tiga orang lagi di
antara kita. Aku rasa sebaiknya kita kumpulkan saja mereka untuk menghadapi
Sepasang Bangau Putih.
Aku yakin, kalau kita bersatu, mereka tak akan mampu menghadapi kita, Kakang,"
ujar Nyai Kantil mantap.
"Itu yang aku harapkan, sebelum banyak korban yang jatuh. Tapi sekarang, aku
merasa tidak ada gunanya lagi, Nyai. Coba saja kau pikirkan. Berapa orang lagi
sahabat kita yang tersisa...?" ujar Ki Denggis seperti putus asa.
Nyai Kantil hanya terdiam mendapat pertanyaan seperti itu. Memang rasanya tidak
mungkin mereka semua bisa menghadapi Sepasang Bangau Putih, yang diduga sedang
mengincar keselamatan nyawa mereka semua. Dugaan itu bisa dipastikan dari
kejadian yang menimpa sahabat-sahabat mereka.
Pendekar Pulau Neraka terus mendengarkan pembicaraan kedua orang tua itu sambil
menikmati makanannya. Sesekali dia mengelus kepala monyet kecil yang selalu
mengikuti ke mana saja dia pergi.
Monyet kecil itu seperti tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Dia terus
saja mengisi perutnya dengan pisang-pisang yang masak dan ranum.
"Ayo kita pergi, Nyai!" ajak Ki Denggis.
Nyai Kantil tidak menjawab. Dia bangkit berdiri mengikuti Ki Denggis. Setelah
membayar pada pemilik kedai, mereka segera keluar tanpa bicara lagi.
Namun di ambang pintu, Bayu masih sempat mendengar Ki Denggis bicara.
"Mungkin mereka sudah sampai di padepokanmu, Nyai...."
Bayu yang mendengar semua pembicaraan itu jadi tertarik. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, dia segera beranjak bangkit dari duduknya. Setelah
membayar semua makanannya pada pemilik kedai, Pendekar Pulau Neraka itu segera
beranjak pergi. Dia masih sempat melihat dua orang tua itu menunggang kuda,
sebelum hilang di tikungan jalan.
"Mereka menuju ke Bukit Angsa. Aku tahu ke mana tujuan mereka," gumam Bayu dalam
hari. Setelah yakin akan tujuan yang ditempuh dua orang tua itu, Bayu segera mengambil
arah memotong, jalan agar lebih cepat. Dia melangkah dengan mempergunakan
sedikit ilmu meringankan tubuh, hingga tanpa terasa Pendekar Pulau Neraka sudah
jauh meninggalkan Desa Watukan.
*** "Kakang Bayu...!" "Heh..."!"
Bayu tersentak kaget, ketika terdengar suara nyaring memanggil namanya. Dia
langsung berhenti.
Dan saat itu juga Tiren yang berada di pundaknya melompat turun, membuat
Pendekar Pulau Neraka semakin tersentak kaget Dan belum juga rasa
keterkejutannya lenyap, tahu-tahu sudah muncul seorang gadis dari balik semaksemak belukar. Gadis cantik bertubuh ramping dan indah itu melangkah
menghampirinya. Tiren langsung melompat pada gadis itu dengan memperdengarkan
suaranya yang mencerecet ribut. Sementara Bayu ternganga dengan mata tak
berkedip, seperti tak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Kenapa kau bengong begitu, Kakang" Kau tak menduga aku bakal muncul di sini,
kan...?" tegur gadis itu lembut, dengan senyuman yang manis sekali menghiasi
bibirnya. "Wulan...," desis Bayu masih belum percaya
dengan apa yang terjadi saat ini.
Bayu menghampiri gadis cantik itu. Mereka memang sudah saling mengenal sejak
lama. Bahkan Wulan berhutang nyawa pada Pendekar Pulau Neraka. Dia sempat
diselamatkan ketika menghadapi gerombolan begal di Bukit Setan. Hampir saja
Wulan mati tercincang dan terhina kalau saja Bayu tidak cepat datang
menolongnya. Dan sekarang, tiba-tiba saja gadis itu muncul di depannya. Entah apa perlunya
Wulan berada di kaki Bukit Angsa. Sedangkan Bayu sendiri sedang mengejar dua
orang tua yang ditemuinya di kedai di Desa Watukan.
"Wulan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bayu, sambil memandangi gadis yang
mengenakan baju putih ketat, dengan sebilah pedang tersandang di punggungnya.
Wulan tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil mengelus-elus kepala Tiren yang
berada dalam gendongannya. Monyet kecil itu kelihatan manja, merapatkan wajahnya
ke dada Wulan. "Aku sedang tidak ada waktu, Wulan...," kata Bayu dengan suara terputus.
"Aku tahu...," ujar Wulan ringan, dengan senyuman terus terkembang menghiasi
bibirnya. "Kau sedang mengejar dua orang, kan...?"
"Heh..."! Dari mana kau tahu...?"
Bayu tersentak kaget. Dia memandangi gadis itu, sementara yang dipandangi
kelihatan tenang dengan senyuman lebar masih mengembang meng-hiasi bibirnya.
Bayu jadi penasaran. Kakinya me-langkah beberapa tindak mendekati. Dengan lembut
disentuhnya pundak gadis itu. Wulan mengangkat wajahnya sedikit, kemudian
melirik tangan Bayu yang
kekar di pundaknya. Bayu cepat-cepat melepaskan tangannya dari pundak gadis itu.
"Bagaimana kau tahu aku sedang mengejar orang, Wulan?" tanya Bayu penasaran.
"Sejak dari Desa Watukan," sahut Wulan ringan.
"Kau mengikutiku...?" tanya Bayu lagi dengan nada suara jelas terdengar tidak
senang karena diikuti.
"Tidak," sahut Wulan tetap ringan suaranya.
"Lalu, untuk apa kau...?" pertanyaan Bayu terputus.
"Aku juga sedang membuntuti mereka, Kakang,"
sahut Wulan kalem, memotong ucapan Pendekar Pulau Neraka.
"Mengikuti mereka...?"
Lagi-lagi Bayu terkesiap. Dia jadi terlongong bengong mendengar jawaban yang
diberikan Wulan barusan. Hatinya benar-benar tidak mengerti dengan semua ini.
Wulan berada di kaki Bukit Angsa ini ternyata dengan tujuan yang sama. Apa
sebenarnya yang diinginkan Wulan pada kedua orang tua itu di Bukit Angsa ini..."
Pertanyaan itu terus menggayuti kepala Bayu.
Bayu terus memperhatikan gadis itu. Keningnya tampak berkerut melihat Wulan yang
sedikit gefisah, seperti sedang menunggu seseorang. Meskipun Wulan sudah
berusaha menutupi, tapi Bayu bisa melihat kegelisahannya.
"Ada yang kau tunggu, Wulan?" tegur Bayu langsung.
"Ah...."
Wulan hanya mendesah menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Sikapnya
langsung berubah.
Dan senyumnya kembali mengembang. Namun kali ini Bayu bisa merasa kalau senyuman
itu sangat dipaksakan. Dan tampak begitu hambar.
"Siapa yang kau tunggu?" tanya Bayu lagi.
"Ah, bukan siapa-siapa. Hanya...," Wulan tidak melanjutkan ucapannya.
"Kekasihmu?" tukas Bayu.
"Bukan."
"Lalu...?"
"Saudara seperguruanku," sahut Wulan pelan.
"Laki-laki?" cecar Bayu.
Wulan hanya mengangguk perlahan.
"Kalau begitu, aku pergi dulu," ujar Bayu. Bayu langsung mengambil Tiren dari
pelukan gadis itu, dan menaruhnya di pundak kanan. Sementara Wulan hanya diam
memandangi. Entah apa yang ada di dalam hatinya. Sedangkan Bayu hanya menatap
sebentar, kemudian memutar tubuhnya berbalik.
Tanpa bicara apa pun, Pendekar Pulau Neraka melangkah meninggalkannya. Sengaja
Bayu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna, sehingga dengan
cepat dia sudah jauh meninggalkan Wulan seorang diri.
Wulan masih berdiri mematung memandang ke arah perginya Pendekar Pulau Neraka.
Padahal bayangan tubuh Bayu saja sudah tidak terlihat lagi, lenyap tertelan
lebatnya pepohonan di sekitar lereng Bukit Angsa. Wulan terus memandang kosong
ke depan, dengan pikiran yang tidak menentu. Dan tiba-tiba saja....
Plakkk! "Oh..."!"
*** "Kakang...! Bikin kaget saja!" dengus Wulan, begitu
melihat seorang pemuda mengenakan baju dengan wama sama seperti yang dipakainya.
"Siapa itu tadi?" tanya pemuda tampan itu.
"Kakang Bayu," sahut Wulan.
"Kekasihmu?"
"Bukan," sahut Wulan singkat. "Eh, bagaimana kau bisa tahu...?"
"Aku perhatikan sejak tadi. Kau seperti ada sesuatu dengannya. Aku lihat
pandangan matamu padanya tadi," kata pemuda tampan berbaju putih dengan sebuah
pedang tersandang di ptlnggungnya.
Bentuk gagang pedang itu sama persis dengan yang ada di punggung Wulan.
Berbentuk kepala seekor angsa berwarna putih keperakan.
"Lama sekali pergimu, Kakang. Ke mana saja kau tadi?" tanya Wulan mengalihkan
pembicaraan. "Aku mampir dulu ke rumah pamanku," sahut pemuda itu.
"Ada pamanmu di Desa Watukan?" tanya Wulan lagi, "Kau tak pernah menceritakannya
padaku, Kakang Perbawa. Kenapa...?"
Pemuda yang ternyata Perbawa hanya tersenyum mendengar pertanyaan Wulan.
"Aku dengar tadi dia memanggilmu Wulan. Siapa namamu sebenarnya, Untari?" tanya


Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perbawa, kembali mempersoalkan hubungan Wulan yang dikenalnya bernama Untari
dengan Pendekar Pulau Neraka.
Wulan tampak hanya tersenyum mendengar
pertanyaan Perbawa. Dan tanpa menjawab sedikit pun, gadis itu langsung
mengayunkan kaki menuju arah yang dituju Pendekar Pulau Neraka tadi.
Perbawa segera mengikutinya dari belakang.
"Siapa dia, Untari?" kejar Perbawa masih
penasaran, belum tahu siapa pemuda yang tadi bicara dengan Wulan.
"Temanku," sahut Wulan yang menggunakan nama Untari pada pemuda ini.
"Kenal di mana?" Perbawa terns saja mengejar ingin tahu.
"Dia pernah menyelamatkan nyawaku, ketika aku berurusan dengan gerombolan begal
di Bukit Setan."
"Lalu...?"
"Ya, waktu itu aku menggunakan nama Wulan,"
sambung Untari.
"Dan namamu yang sebenarnya siapa?" tanya Perbawa semakin menyelidik ingin tahu.
"Semua sama," sahut Untari ringan.
"Semua sama..." Apa maksudmu, Untari?"
Perbawa terus minta penjelasan.
"Ya, sama.... Aku selalu menggunakan nama lain setiap kali berada di tempat yang
berbeda," jelas Untari.
"Aku benar-benar tak mengerti denganmu, Untari...," desah Perbawa dengan kepala
menggeleng periahan beberapa kali.
Sedangkan Untari hanya tersenyum. Dia terus mengayunkan kaki tanpa peduli dengan
kebingungan Perbawa terhadap dirinya yang aneh dan misterius.
"Kau tinggalkan di mana kuda kita, Untari?" tanya Perbawa, melihat Untari enak
saja berjalan kaki, seperti tidak ingat kalau mereka memiliki kuda tunggangan
masing-masing. "Aku tinggalkan di dekat danau," sahut Untari ringan.
Perbawa terdiam. Dia tahu kalau arah yang mereka tempuh sekarang ini menuju ke
danau. Tempat yang sempat mereka singgahi sebentar di
Desa Watukan. Mereka memang tidak perlu khawatir pada kuda-kuda yang sudah jinak
itu. Dan kuda-kuda mereka juga mengerti jika pemiliknya memanggil dengan siulan.
Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi.
Sementara itu di dalam benak Perbawa terus bergelut dengan pikiran yang entah
berpusat pada persoalan apa. Untari sendiri tidak bicara sedikit pun.
"Kau membohongi guru, Untari," tukas Perbawa dengan suara datar.
"Tidak ada yang aku bohongi, Kakang. Ki Sarpakenaka juga sudah tahu," sahut
Untari ringan. "Tahu..." Tapi kenapa ..?" Perbawa tidak melanjutkan pertanyaannya.
"Ketika itu Ki Sarpakenaka mencari orang yang bisa diandalkan untuk
mendampingimu, Kakang. Dan aku berjanji akan mendampingimu untuk membalaskan
dendamnya pada mereka. Ki Sarpakenaka membekali dengan jurus-jurus Bangau Putih
seperti yang diajarkan padamu. Jurus-jurus yang ringan dan mudah dipelajari,
tapi sangat dahsyat. Aku bisa dengan mudah mempelajari dan menguasainya, karena
aku sudah punya dasar jurus-jurus pedang.
Jadi Ki Sarpakenaka tinggal memoies dan memper-halus saja dengan jurus-jurqs
Bangau Putih. Dia tidak peduli siapa aku sebenarnya. Tapi antara aku dan Ki
Sarpakenaka memang punya satu ikatan," jelas Untari panjang lebar.
"Ikatan apa?" tanya Perbawa.
"Selamanya aku harus bersamamu menggunakan jurus Bangau Putih. Karena jurus itu
tidak bisa dipisahkan, harus digunakan secara berpasangan. Itu sebabnya kenapa
Ki Sarpakenaka menjuluki kita Sepasang Bangau Putih," jelas Untari lagi.
Sekarang Perbawa hanya diam membisu. Dia tidak bisa lagi membantah penjelasan
gadis itu. Memang diakuinya kalau jurus Bangau Putih tidak bisa digunakan
seorang diri saja. Kalaupun digunakan, tidak ada artinya sama sekali. Dan semua
unsur kekuatannya akan lenyap begitu saja. Dia juga tahu kalau gurunya yang
bernama Ki Sarpakenaka sebenarnya memiliki teman seorang wanita. Bukan hanya
teman, tapi istri dan sahabat yang paling setia. Sayang, istrinya tewas di
tangan orang-orang yang kini sedang dikejarnya.
"Aku benar-benar tidak menyangka kau seorang gadis yang penuh keanehan seperti
itu," ujar Perbawa pelan, setelah cukup lama berdiam diri membisu.
Suaranya hampir tidak terdengar, seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Seharusnya kau sudah tahu sejak pertama kali kita bertemu, Kakang," kata Untari
ringan. "Aku ingin mendengarkan kalau kau bersedia menceritakan riwayat hidupmu," kata
Perbawa bernada memohon.
"Satu saat nanti, Kakang," sambut Untari tanpa senyum sedikit pun.
Sementara mereka berjalan sudah cukup jauh.
Dan sebuah danau yang cukup luas tampak mem-iientang di depan. Dua ekor kuda
yang masih ber-i lelana tampak sedang merumput di tepi danau itu lengan nikmat
sekali. Sepasang Bangau Putih ini rnenghampiri kuda mereka. Tanpa banyak bicara
lagi, keduanya langsung melompat naik ke pung-;ung kuda masing-masing. Dan
langsung mengge-bah dengan kencang. Sehingga kuda-kuda itu melesat dengan cepat
sekali bagai anak panah dilepas-kan dari busumya.
Arah yang mereka tuju jelas sekali ke puncak Bukit
Angsa. Mereka terus menggebah kuda masing-masing tanpa bicara lagi sedikit pun.
Kedua kuda itu berpacu dengan kecepatan tinggi, membuat debu-debu berkepul
membumbung tinggi di ang-kasa.
*** 4 Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di atas sebongkah batu besar memandangi
sebuah bangunan padepokan yang menyerupai benteng pertahanan, tidak jauh di depannya.
Entah sudah berapa lama pemuda tampan berambut panjang itu berdiri di sana. Dia
tadi sempat melihat dua orang tua yang ditemuinya di kedai di Desa Watukan,
memasuki bangunan yang tinggi dan kokoh itu.
Tidak lama kemudian, berdatangan orang-orang dari arah yang berlainan. Mereka
semua langsung masuk ke bangunan seperti benteng itu. Bayu tahu kalau bangunan
besar dikelilingi pagar kayu gelondongan besar-besar dan tinggi itu merupakan
Padepokan Teratai Emas. Sebuah perguruan yang dipimpin seorang perempuan tua
berkepandaian tinggi. Perempuan tua yang dulunya satu kelompok dengan Ki
Denggis. Cukup lama Pendekar Pulau Neraka menunggu.
Namun tidak ada seorang pun yang keluar dari dalam bangunan padepokan seperti
benteng pertahanan itu.
Dia melihat penjagaan di sekitar bangunan demikian ketat sekali. Sepertinya
mereka akan menghadapi serangan dahsyat dari luar. Terlihat orang-orang
bersenjata panah berada di bagian ujung atas pagar benteng itu. Sedangkan di
depan pintu, hanya terlihat dua orang berusia muda tengah berjaga-jaga.
Keduanya tampak memegang sebatang tombak berukuran panjang. Sebilah pedang
tergantung di pinggang mereka.
Pada saat itu, rjba-tiba terlihat sesosok bayangan putih berkelebat begitu cepat
ke arah dua orang penjaga pintu gerbang. Begitu cepatnya bayangan putih itu
bergerak, sehingga kedua penjaga pintu tidak sempat menyadarinya.
"Akh...!"
"Aaaa...!"
"Heh..."!"
Bayu tersentak kaget, mendengar dua orang penjaga pintu menjerit Tubuh mereka
langsung ambruk ke tanah dengan darah berhamburan deras dari dada yang robek
seperti tertebas sebuah pedang sangat tajam. Pendekar Pulau Neraka tadi sempat
melihat satu kilatan cahaya putih berkelebat begitu cepat menyertai bayangan
putih saat menyambar kedua orang penjaga pintu gerbang.
Jeritan penjaga pintu rupanya mengejutkan orang-orang yang ada di atas pagar
benteng padepokan.
Mereka langsung saja memasang anak panah pada busumya. Namun bayangan putih itu
sudah tidak terlihat sedikit pun. Dia langsung lenyap seketika, begitu masuk ke
dalam hutan di puncak Bukit Angsa ini.
Belum ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu, kembali terlihat sebuah
bayangan putih berkelebat begitu cepat ke depan pintu gerbang Padepokan Teratai
Emas. Dan tahu-tanu, sekitar dua batang tombak di depan pintu gerbang padepokan
sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, dengan sebuah pedang tersampir di
punggungnya. "Heh..."!"
Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget setengah mati, begitu melihat gagang
pedang yang ada di punggung pemuda itu. Gagang pedangnya sama
persis dengan yang dimiliki Wulan. Tidak ada per-bedaan sedikit pun. Namun belum
sempat pemuda berpakaian kulit harimau itu bisa berpikir lebih jauh, orang-orang
yang ada di atas pagar benteng bangunan padepokan sudah bertindak dengan
melepas-kan anak panah.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali pemuda itu melompat ke belakang sambil memutar tubuh menghindari
anak-anak panah yang menghujaninya. Beberapa kali dia berputaran di udara,
kemudian dengan manis sekali kedua kakinya menjejak tanah, jauh dari jangkauan
panah itu. Dia berdiri tegak sambil berkacak ping-gang memandang ke atas pagar
benteng padepokan.
Sementara Pendekar Pulau Neraka yang berada di tempat cukup jauh dan
tersembunyi, terus memperhatikan dengan mata tidak berkedip.
"Hm, siapa dia" Apa yang akan dilakukannya di padepokan ini...?" gumam Bayu
bertanya pada dirinya sendiri.
Baru saja bibir Bayu terkatup mendadak dia kembali dikejutkan,dengan tepukan
halus di pundaknya.
"Eh..."!"
Bayu sampai terlompat dan berbalik. Kedua bola matanya terbelalak kaget melihat
seorang gadis cantik berbaju putih tahu-tahu sudah ada di dekatnya.
"Wulan...," desis Bayu hampir tidak terdengar suaranya.
Gadis cantik yang ternyata Wulan itu hanya tersenyum melihat Bayu terlongong
bengong seperti melihat hantu. Tanpa bicara lagi, dia langsung mengambil Tiren
dari pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Apa yang kau lihat di sini, Kakang?" tegur Wulan
dengan suaranya yang halus dan lembut menyentuh hati.
"Ah...," Bayu hanya mendesah menjawab pertanyaan gadis itu.
Dia kembali memutar tubuhnya, memperhatikan pemuda berbaju putih yang masih
berdiri tegak berkacak pinggang agak jauh dari bangunan Padepokan Teratai Emas.
Sedangkan di atas pagar benteng, terlihat ratusan orang siap dengan anak panah
terpasang pada busumya. Tampak jelas sekali kalau pemuda itu kebingungan untuk
menembus benteng padepokan. Tidak mungkin dia bisa menembusnya. Mendekatinya
saja sudah harus berpikir seribu kali.
Sementara Wulan sudah ada di samping kanan Pendekar Pulau Neraka. Entah kenapa
dia tersenyum melihat keadaan di Padepokan Teratai Emas itu.
Senyumnya semakin lebar melihat seorang pemuda berbaju putih yang berdiri
berkacak pinggang dengan jarak cukup jauh dari jangkauan anak panah.
"Dia temanmu, Wulan...?" tanya Bayu tanpa berpaling ke arah gadis di sebelahnya.
Wulan tidak menjawab, seakan tidak mendengar pertanyaan itu. Merasa pertanyaan
tidak terjawab sedikit pun, Bayu memalingkan wajahnya sedikit.
Tatapan matanya langsung menangkap wajah cantik gadis di sebelahnya. Namun wajah
itu kelihatan datar saja, tanpa ada perubahan sedikit pun.
"Aku lihat pedang yang dimilikinya sama persis dengan pedangmu. Dia itu temanmu,
Wulan...?"
Bayu mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab tadi.
"Ya," sahut Wulan singkat, dengan suaranya yang terdengar pelan sekali.
"Mau apa dia di sana?" tanya Bayu lagi, semakin ingin tahu.
Kening Pendekar Pulau Neraka terlihat berkerut, Jelas sekali kalau di dalam
benaknya muncul berbagai macam pertanyaan dan dugaan yang tidak bisa dijawabnya
sendiri. Dia terus memandangi wajah cantik gadis di sebelahnya.
"Ada urusan dengan orang-orang di dalam sana,"
jawab Wulan singkat
"Maksudmu dengan Ki Denggis dan Nyai Kantil?"
duga Bayu. Wulan tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum dengan pandangan tetap
tertuju ke arah bangunan padepokan seperti benteng pertahanan itu.
Tampaknya sikap gadis itu membenarkan dugaan Pendekar Pulau Neraka.
*** "Wulan..., kaliankah yang dinamakan Sepasang Bangau Putih...?" kali ini nada
suara Bayu terdengar agak ditahan dan hati-hati sekali.
Wulan langsung berpaling dan menatap Bayu dengan sinar mata yang sulit sekali
untuk diartikan.
Bayu sendiri membalasnya dengan sinar mata yang tajam dan penuh dengan tuntutan
penjelasan dari gadis itu. Beberapa saat mereka terdiam dan hanya saling
berpandangan dengan sinar mata yang sukar untuk diartikan.
"Bagaimana menurutmu dengan tindakanku dan Kakang Perbawa?" tanya Wulan akhimya,
sambil mengarahkan pandangan lagi ke depan.
Seluruh aliran darah Bayu berdesir lebih cepat mendengar pertanyaan Wulan. Sejak
semula hatinya memang sudah menduga, tapi tidak menyangka kalau Wulan akan melontarkan
pertanyaan yahg begitu sulit untuk dijawab dengan cepat. Sehingga, untuk
beberapa saat lamanya Bayu hanya bisa diam memandangi gadis itu. Mulutnya terasa
bagai terkunci. Dan kerongkongannya tersekat, sulit untuk mengeluarkan katakata. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Dalam beberapa hari ini dirinya memang sudah mendengar tentang sepak terjang
Sepasang Bangau Putih. Namun tidak menyangka kalau salah satu dari pasangan itu
ternyata seorang gadis yang pernah diselamatkan nyawanya. Dan sekarang, gadis
itu sama sekali tidak merasa memiliki beban dalam tindakannya selama ini. Seakan
dia melakukan semua itu karena memang sudah menjadi kewajiban-nya.
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka tahu, mereka yang menjadi buruan Sepasang Bangau
Putih ternyata orang-orang persilatan dan pemilik padepokan yang dikenal baik
dan berada pada jalan benar. Sulit bagi Bayu untuk bisa langsung memberikan
pendapat terhadap semua yang sudah dilakukan Wulan bersama temannya selama
beberapa hari ini.
"Kenapa kau lakukan semua itu, Wulan" Kau tahu siapa mereka yang kau kejar
selama ini...?" tanya Pendekar Pulau Neraka, seakan menyesali perbuatan Wulan.
"Panjang ceritanya, Kakang," sahut Wulan singkat, dengan nada suara agak
mendesah. "Lalu, apa yang kau cari dari mereka?"
Wulan tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian
menghembuskannya dengan kuat.
Sementara itu terlihat pemuda berbaju putih yang berdiri di depan bangunan
padepokan sudah memutar tubuhnya berbalik. Dan dia terus melangkah masuk ke
dalam lebatnya pepohonan di puncak Bukit Angsa. Dan orang-orang di atas pagar
benteng padepokan tampak menurunkan busur panah, saat melihat pemuda berbaju
putih itu sudah tidak ada lagi.
Wulan sendiri segera berbalik dan melangkah hendak meninggalkan Pendekar Pulau
Neraka. Namun baru saja dia berjalan beberapa langkah, Bayu mencekal pergelangan
tangannya. Gadis itu terpaksa berhenti. Wajahnya berpaling sedikit dan langsung
menatap Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang cukup tajam.
"Sebaiknya kau jangan ikut campur dalam persoalan ini, Kakang. Aku tak mau
namamu rusak karena membela diriku," ujar Wulan dengan suara datar.
"Tidak, sebelum kau ceritakan semuanya dengan jujur padaku," pinta Bayu tegas.
"Aku tidak bisa, Kakang. Masih ada yang lebih berhak daripada aku," tolak Wulan
halus. "Siapa?" desak Bayu.
"Kakang Perbawa," sahut Wulan terus terang.
"Ajak aku menemuinya," pinta Bayu.
"Aku minta jangan sekarang, Kakang. Nanti saja kalau semuanya sudah selesai.
Tinggal sedikit lagi...,"
jawab Wulan, meminta pengertian Pendekar Pulau Neraka.
"Wulan...! Kau sadar apa yang selama ini sudah kau lakukan?"
"Aku tahu. Tidak ada seorang pun yang menekan-ku. Aku sadar semua yang aku
lakukan." "Kau tahu siapa mereka yang menjadi buruan-mu?"
Wulan hanya menganggukkan kepalanya perlahan.
"Kau tahu apa akibatnya...?"
"Semua sudah kuperhitungkan baik dan buruknya, Kakang. Percayalah, kalau
semuanya sudah selesai, nama Sepasang Bangau Putih akan menghilang sendiri
begitu saja. Kalaupun masih ada, akan harum namanya," kata Wulan masih meminta
pengertian Pendekar Pulau Neraka.
"Wulan...."
"Sudahlah, Kakang! Nanti aku temui kau lagi kalau semuanya sudah selesai," cepat


Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wulan memotong.
Gadis itu menyerahkan Tiren kembali pada Pendekar Pulau Neraka. Setelah
memberikan senyuman yang manis, Wulan langsung melesat pergi dengan kecepatan
luar biasa. Hingga dalam sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap bagai
tertelan angin. Bayu tampak terpana melihatnya.
"Hebat..! Dari mana dia mendapatkan kepandaian yang begitu tinggi...?" desis
Bayu, bertanya-tanya sendiri di dalam hatinya.
Bayu tahu kalau kepandaian yang dimiliki Wulan masih bisa ditakar. Dan dia tahu
kalau tingkat kepandaian yang dimiliki gadis itu tidak akan sanggup melesat
begitu cepat seperti bayangan. Kecepatan gerak yang dilakukannya membuat Bayu
untuk beberapa saat tercengang keheranan.
"Tentu ada sesuatu yang sudah terjadi pada dirinya. Hm..., aku harus tahu. Wulan
tidak boleh ter-perangkap dalam peristiwa yang bisa membuat dirinya hancur. Dia
masih muda, masa depannya masih terlalu panjang. Aku harus bisa mencegah sebelum
dia terlanjur jauh dalam kesesatan," ujar
Bayu dalam hati.
*** Sementara itu Wulan yang juga bernama Untari sudah kembali bersama Perbawa.
Kedua anak muda yang selama ini menjadi bahan pembicaraan di kalangan orangorang persilatan itu masih belum beranjak jauh dari bangunan Padepokan Teratai
Emas. Entah berapa lama mereka berdiri
memandangi bangunan yang masih tetap terjaga dengan ketat itu.
Sementara matahari sudah mulai condong ke sebelah barat. Sinarnya juga sudah
mulai terasa tidak terik lagi. Cahayanya yang keemasan kini terasa lembut
menyapu kulit. "Mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk menyambut kita...," ujar Untari
setengah bergumam, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Ya, kurasa mereka sudah bergabung di sini,"
sanibut Perbawa.
"Aku rasa itu malah bagus, Kakang. Tidak perlu lagi kita bersusah payah mencari
mereka. Tinggal kita hancurkan saja mereka semua di sini," kata Untari lagi.
"Justru itu yang sulit, Untari. Kau lihat sendiri, kekuatan mereka berlipat
ganda. Untuk mendekati-nya saja sudah sulit,"
"Harus ada cara yang tepat untuk menembus ke dalam. Masih ada waktu untuk
memikirkannya, Kakang. Tapi kita harus tetap memperhatikan, jangan sampai ada
yang keluar atau masuk ke sana," kata Untari lagi.
"Kau punya cara?" tanya Perbawa.
Untari tidak langsung menjawab. Dia hanya diam sambil terus memandangi bangunan
padepokan yang seperti benteng pertahanan dari dijaga sangat ketat itu. Entah
apa yang ada dalam pikiran gadis ini sekarang. Sedangkan Perbawa sendiri tampak
tidak menginginkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Dia seakan sudah tahu kalau
Untari juga belum punya cara yang tepat untuk menerobos masuk ke Padepokan
Teratai Emas. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka kembali terdiam membisu. Sibuk dengan
pikirannya masing-masing. Terdengar Perbawa menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya dengan kuat. Untari melirik sedikit pada pemuda yang ada di
sebelah kirinya ini.
"Ada apa, Kakang?" tanya Untari menegur.
"Tidak ada apa-apa," sahut Perbawa agak mendesah.
Untari kembali diam.
"Untari, kau sudah temui temanmu itu?" tanya Perbawa tiba-tiba, mengalihkan
pembicaraan. "Kakang Bayu, maksudmu...?" Untari menegaskan.
"Ya."
"Sudah. Kenapa...?"
"Apa dia bisa membantu kita menghadapi mereka?" tanya Perbawa seperti tidak
dipikirkan lagi.
Entah kenapa, Untari malah tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dia memutar
tubuhnya berbalik, dan melangkah mendekati sebuah pohon besar, dengan akarakarnya bersembularf di permukaan tanah.
Gadis itu duduk di atas sebatang akar yang cukup besar. Sementara Perbawa hanya
memperhati-kannya. Dia kemudian duduk di atas rerumputan,
membelakangi Padepokan Teratai Emas yang masih kelihatan lengang, tapi terjaga
ketat. "Dia seorang pendekar, Kakang. Dia tidak akan bisa begitu saja dipengaruhi. Dia
akan membantu kalau memang dipandang perlu. Kalau memang dia merasa perlu
membantu kita, tanpa diminta pun pasti akan turun tangan sendiri," kata Untari
menjelaskan. "Dia tahu permasalahannya?" tanya Perbawa lagi.
"Belum," sahut Untari singkat.
"Kau tidak katakan?"
"Sedikit."
"Lalu, apa tanggapannya?"
"Dia malah memintaku agar meninggalkan semua ini. Katanya kita berada di pihak
yang salah."
"Kau pasti tidak mengatakan alasannya kenapa kita memburu mereka," agak ketus
nada suara Perbawa.
Untari hanya menggelengkan kepalanya perlahan.
"Seharusnya kau katakan saja padanya, Untari.
Aku yakin, kalau dia sudah tahu yang sebenarnya, dia akan berpihak pada kita.
Kau tahu, Untari.... Dengan sikapnya yang seperti itu, dia bisa saja berpihak
pada mereka. Dan kalau itu terjadi...," Perbawa tidak melanjutkan.
"Kau sepertinya takut pada Pendekar Pulau Neraka, Kakang. Kenapa...?" tukas
Untari. "Aku bukannya takut, tapi Ki Sarpakenaka sendiri sudah berpesan, bahwa kita
harus menghindari bentrokan dengan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan kalau perlu,
kita harus bisa merebut hatinya agar dia berpihak pada kita, Untari. Apa kau
sudah lupa pada pesannya...?" ujar Perbawa mengingatkan.
Untari tampak terdiam saja. Jelas dia tidak bisa melupakan kata-kata terakhir Ki
Sarpakenaka yang
sudah menurunkan ilmu Bangau Putih padanya.
Memang Ki Sarpakenaka pernah menyebut nama Pendekar Pulau Neraka. Mereka diminta
menghindarinya, kalau tidak bisa menarik pendekar itu untuk berpihak padanya.
Namun Untari tidak tahu, kenapa guru mereka berpesan seperti itu.
"Kau masih ingat pesannya, Untari...?" tanya Perbawa membangunkan lamunan gadis
itu. "Ya...," sahut Untari pelan, dengan suara agak mendesah. "Tapi aku tidak
mengerti, kenapa Ki Sarpakenaka sepertinya takut pada Pendekar Pulau Neraka...?"
"Ki Sarpakenaka bukannya takut."
"Lalu, kenapa...?"
Belum juga Perbawa bisa menjawab pertanyaan Untari, tiba-tiba terdengar suara
yang langsung menjawab pertanyaan gadis itu. Keduanya tersentak kaget, dan
langsung berlompatan berdiri. Seketika kedua bola mata Sepasang Bangau Putih
terbeliak. Di depan mereka tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit
harimau, dengan seekor monyet kecil di pundak kanannya.
"Bayu...," desis Untari agak bergetar suaranya.
"Pendekar Pulau Neraka...."
Pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau itu memang Pendekar Pulau Neraka.
Dengan bibir menyunggingkan senyuman, dia melangkah menghampiri Sepasang Bangau
Putih. Saat itu monyet kecil yang ada di pundaknya langsung melompat turun, dan
berlari sambil mencerecet ribut menghampiri Untari. Gadis itu segera mengambil
Tiren dan langsung menggendongnya di dada.
"Seharusnya kau katakan padaku, kalau kau mendapat ilmu-ilmu Bangau Putih dari
Ki Sarpakenaka, "
kata Bayu dengan suara ringan, sambil menatap Untari.
Untari hanya terdiam. Perbawa juga ikut
memandangi gadis itu.
"Kau kenal dengan guruku...?" tanya Perbawa ingin tahu.
"Aku memang tidak kenal. Tapi Ki Sarpakenaka sudah tentu kenal denganku. Dan dia
juga pasti tahu siapa guruku. Karena antara dia dan guruku masih bersaudara,"
sahut Bayu menjeleskan.
Baik Untari maupun Perbawa jadi teriongong bengong. Mereka tak menyangka, kalau
Ki Sarpakenaka dan guru Pendekar Pulau Neraka ternyata bersaudara. Dan sudah barang
tentu mereka juga bisa dikatakan bersaudara. Namun dari pandangan matanya,
Perbawa tampak tidak percaya dengan semua yang baru dikatakan Bayu.
"Aku tahu nama Ki Sarpakenaka dari guruku.
Sebenarnya aku juga dipesan untuk menemuinya.
Tapi sampai sekarang aku tidak pernah bertemu dengannya. Karena dari dia aku
bisa tahu siapa-siapa saja musuh guruku yang belum bisa kutemukan," ujar Bayu lagi menjelaskan.
"Kalau memang antara gurumu dengan Ki Sarpakenaka bersaudara, itu berarti kita
memiliki musuh yang sama, Pendekar Pulau Neraka," tukas Perbawa.
"Ah, jangan panggil aku begitu! Panggil saja aku seperti yang Wulan lakukan
padaku!" pinta Bayu merendah.
"Wulan...?"
Perbawa kembali menatap pada Untari. "Aku memang bernama Wulan, Kakang Perbawa.
Tapi aku juga bernama Untari," kata Wulan seraya menoleh ke
arah Perbawa. "Eh, mana yang benar ini...?" sentak Perbawa.
"Keduanya benar. Terserah kalian saja mau memanggilku apa," sahut Untari tetap
kalem. Kali ini Perbawa dan Bayu saling berpandangan.
Mereka mengenal gadis ini dengan nama yang berlainan. Sudah barang tentu sulit
untuk bisa me-nyamakan panggilan lagi. Sedangkan Wulan tidak peduli dengan
namanya sendiri.
"Bagaimana...?" tanya Bayu meminta pendapat Perbawa.
"Terserah kau saja, Kakang," sahut Perbawa langsung membiasakan diri menuakan
Pendekar Pulau Neraka.
"Ya, kita panggil saja dia...," Bayu tidak melanjutkan.
"Wulan Untari...."
"Cocok!" sambut Bayu sambil tersenyum. "Eh, kenapa bergabung begitu...?" sentak
Wulan. "Kau punya dua nama, Wulan. Jadi apa salahnya kalau digabungkan...?" ujar Bayu
kalem. "Benar, Wulan. Lagi pula, kedua namamu tidak hilang," sambung Perbawa yang
langsung memanggil gadis itu dengan nama Wulan.
"Terserah kalian sajalah...!" dengus Wulan tidak peduli.
Dan kedua pemuda itu tersenyum. Wulan sendiri tampaknya tak lagi mempedulikan
hal itu. Baru pada kedua pemuda ini dia memberikan nama yang berlainan. Padahal
di tempat-rempat lain, entah sudah berapa nama yang digunakan untuk dirinya.
Dan memang tidak ada seorang pun yang tahu nama gadis ini sebenarnya. Karena
kemunculannya juga sudah menggunakan nama begitu banyak, hingga
pernah dikenal dengan julukan Gadis Seribu Nama.
Namun sekarang nama julukan itu sudah tidak terdengar lagi di kalangan rimba
persilatan. Gadis Seribu Nama seakan menghilang begitu saja. Dan kini yang
muncul Sepasang Bangau Putih, julukan yang sudah membuat geger rimba persilatan.
"Aku rasa tidak perlu lagi mempersoalkan nama Wulan sekarang. Aku ingin tahu,
kenapa kalian sampai mengejar mereka...?" tanya Bayu setelah beberapa saat
Setan Bongkok 2 Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Peristiwa Bulu Merak 6

Cari Blog Ini