Ceritasilat Novel Online

Setan Mata Satu 1

Pendekar Pulau Neraka 56 Setan Mata Satu Bagian 1


Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking terdengar begitu keras memecah kesunyiaan malam yang
harusnya sunyi dan tenang.
Begitu kerasnya sehingga semua penduduk Desa Kalipasir yang sedang terlelap
dalam tidurnya jadi terbangun. Sebentar saja, orang-orang satu persatu mulai
keluar dari rumahnya, dengan obor di tangan. Dan kini desa itu pun Jadi terang
benderang. Begitu tiba di jalan utama desa itu, mereka dikejutkan oleh munculnya seorang
laki-laki dalam keadaan terhuyung-huyung. Dia tengah berlari sambil mendekap
dadanya. Tampak darah mengucur deras dari sela-sela jari tangannya yang mendekap dada.
Dan begitu sampai, tubuhnya langsung menggelimpang di depan orang-orang yang
baru keluar dari rumah sambil membawa obor.
"Kasdi..."!"
Penduduk Desa Kalipasir itu semakin terkejut, begitu mengenali siapa yang jatuh
tersungkur dengan luka menganga di dadanya ini. Merela semua tahu, Kasdi adalah
murid Eyang Jambak, Ketua Padepokan Tongkat Putih yang terletak tidak jauh dari
desa Kalipasir. Dan ketika melihat sebuah bintang perak tertanam di kening
Kasdi, seketika itu
juga merela mundur menjauhi tubuh yang sudah terbujur kaku dengan darah terus
mengucur dari dadanya yang terluka cukup besar.
"Pendekar Pulau Neraka..."
Terdengar gumaman-gumaman kecil yang agak tertahan, begitu terlihat sebuah benda
berwarna perak berbentuk bintang yang menancap di kening Kasdi. Entah kenapa,
mereka begitu takut. Sehingga, tidak seorang pun yang berani mendekati tubuh
anak muda yang malang itu. Dan mereka hanya memandangi saja dengan raut wajah
pucat Bahkan tidak sedikit yang kembali masuk ke dalam rumahnya, lalu mengunci
pintu rapat-rapat
"Ayo, kita kembali saja...!" ajak salah seorang, tiba-tiba.
Dan seketika itu juga, mereka bergegas kembali ke rumah masing-masing, seperti
tidak ingin menghiraukan Kasdi yang sudah tidak bernyawa lagi. Sebentar saja
jalan desa yang tadi ramai, kini jadi sunyi senyap tanpa seorang pun terlihat di
sana. Tinggal tubuh Kasdi saja yang terbujur kaku dan semakin dingin di tengahtengah jalan utama yang agak lembab berembun itu.
Namun belum juga para penduduk desa masuk kembali ke dalam rumah masing-masing,
dari ujung jalan terlihat seorang laki-laki tua berjalan tergesa-gesa. Jubah
putihnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin malam yang cukup dingin ini.
Sementara di belakangnya sekitar dua puluh orang anak muda mengikuti dari
belakang. Mereka semuanya tampak menyandang golok di pinggang. Laki-laki tua itu
berjalan sambil mengayun-ayunkan tongkat kayu yang bagian atasnya berbentuk
bulan berwarna putih. Dan begitu mereka sampai di dekat tubuh Kasdi yang sudah
terbujur kaku, mereka langsung berhenti.
"Angkat dia...! Bawa ke padepokan," perintah laki laki tua berjubah putih itu.
Suaranya terdengar cukup berat
Tanpa diperintah dua kali, empat orang anak muda yang mengikuti bergegas
mendekati Kasdi. Segera digotong dan dibawanya mayat itu pergi dari tempat ini.
Sedangkan yang lainnya tetap diam, seperti menunggu perintah selanjutnya.
Sementara Itu, dari lubang-lubang di balik jendela rumah-rumah yang ada di
sekitar jalan ini, terlihat beberapa bola mata mengintip memperhatikan. Tapi,
tidak ada seorang pun yang berani menampakkan diri. Mereka tahu, orang tua
berjubah putih yang baru datang itu adalah Eyang Jambak.
Sementara, Eyang Jambak sendiri mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Tampak begitu tajam sorot matanya Sementara bibirnya
yang hampir tertutup kumis putih, tampak terkatup rapat Sedangkan sepasang
rahangnya yang keras bertonjolan, tampak bagai sedang menahan amarah yang sangat
dalam hatinya. Wajahnya juga terlihat memerah. Sehingga, tidak ada seorang pun
dari anak-anak muda yang mengikutinya berani memandang wajahnya.
"Kalian menyebar! Cari Pendekar Pulau Neraka keparat itu...!" perintah Eyang
Jambak lagi. "Ingat..! Jangan ada seorang pun yang mengganggu ketentraman
penduduk!"
Tanpa ada yang menjawab, murid-murid Padepokan
Tongkat Putih itu bergerak cepat, menyebar ke segala arah.
Sementara, Eyang Jambak sendiri masih tetap berdiri tegak di tengah-tengah jalan
tanah yang membelah desa Kalipasir ini.
Pandangannya terus beredar ke sekeliling, dan langsung tertuju pada seorang
laki-laki berusia separo baya. Laki-laki berbaju agak lusuh itu, tiba-tiba saja
muncul di depan pintu sebuah rumah yang berhalaman tidak begitu besar.
Sebentar Eyang Jambak memandangi. Kemudian
melangkah menghampiri. Sementara, orang yang baru keluar dari rumahnya itu
berjalan menyeberangi halaman depan rumahnya. Dan mereka bertemu tepat di pintu
pagar yang terbuat dari potongan bambu. Beberapa saat mereka terdiam, hanya
saling berpandangan.
*** "Maaf... Bukan maksudku mengganggu ketentraman desamu ini, Gataka," ucap Eyang
Jambak agak datar nada suaranya.
"Kami merasa tidak terganggu, Eyang," sahut Gataka ramah. "Justru kami senang
melihat kedatanganmu di sini."
sahut laki-laki separo baya yang dipanggil Gataka.
"Kau tahu, ke mana perginya Pendekar Pulau Neraka?"
tanya Eyang Jambak langsung.
Gataka hanya menggelengkan kepalanya.
"Hmmm...," Eyang Jambak jadi menggumam kecil.
"Tidak ada seorang pun yang melihat kejadiannya, Eyang.
Dan lagi, semua penduduk di sini juga sudah tidur," jelas Gataka, seperti tidak
ingin ikut terlibat dalam persoalan ini.
"Pembunuh muridku itu harus ditangkap dan dihukum setimpal dengan perbuatannya.
Sudah lima orang muridku yang mati di tangannya. Bahkan sudah tiga orang
penduduk desa mati dibunuhnya. Aku tidak ingin ada korban lebih banyak lagi.
Maka kuharap, kau dan semua penduduk desa ini membantuku menangkap pembunuh
itu," ujar Eyang Jambak.
"Kabarnya, Pendekar Pulau Neraka sangat tangguh dan sukar ditandingi, Eyang...,"
kata Gataka, agak ragu-ragu suaranya.
"Setangguh apapun dia, perbuatannya tidak bisa didiamkan begitu saja. Yang
jelas, dia harus mendapat ganjaran setimpal, Hh...! Mana pantas dia menyandang
gelar pendekar," terdengar agak tinggi nada suara Eyang Jambak
"Aku dan semua penduduk desa ini akan membantumu, Eyang. Tapi..., mungkin
bantuan itu tidak ada artinya bagimu," sergah Gataka, bernada merendahkan diri.
"Justru bantuan penduduk di sini sangat aku perlukan, Gataka," selak Eyang
Jambak cepat. "Tanpa bantuan penduduk desamu, rasanya sulit untuk membekuk
pendekar murtad itu."
"Lalu, apa yang harus kulakukan untuk membantumu...?"
tanya Gataka. "Amati siapa saja yang masuk ke desa ini. Kalau sikapnya mencurigakan cepat
laporkan padaku di padepokan." kata Eyang Jambak meminta.
"Baik, Eyang," sahut Gataka mantap.
Saat itu, murid-murid Eyang Jambak kembali tanpa membawa hasil yang diinginkan.
Mereka lalu berkumpul di belakang gurunya Ini. Sementara, beberapa orang
penduduk sudah mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Tapi mereka hanya
berdiri saja di depan pintu, tanpa ada seorang pun yang mendekati. Eyang Jambak
kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling beberapa saat, kemudian kembali
menatap Gataka.
"Kuharap semua ini bisa cepat berhasil, Gataka. Aku tunggu bantuanmu," kata
Eyang Jambak. "Kuusahakan, Eyang," sahut Gataka.
Tanpa bicara lagi, Eyang Jambak berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan
Gataka seorang diri. Dan murid-muridnya yang berjumlah sekitar tiga puluh orang
mengikuti dari belakang tanpa ada seorang pun yang bersuara.
Sementara itu, Gataka terus memandangi sampai mereka lenyap dari pandangan,
setelah berbelok ke kanan untuk kembali ke padepokan. Kini Gataka pun bergegas
kembali ke rumahnya. Dan orang-orang yang tadi sempat keluar, bergegas masuk
kembali ke dalam rumah masing-masing.
Kini malam pun sunyi tanpa terdengar ada orang yang berbicara lagi. Hanya desir
angin dan gerit binatang malam saja yang terdengar mengisi kesunyian malam.
*** Peristiwa yang terjadi di Desa Kalipasir, membuat Eyang Jambak jadi bertambah
sibuk. Kini ketua Padepokan Tongkat Putih itu harus melayani tamu-tamu dari
rimba persilatan yang datang ke padepokannya. Mereka sudah mendengar tentang
pembantaian orang-orang tak bersalah yang konon dilakukan oleh Pendekar Pulau
Neraka yang kini sangat jauh berubah.
Dan sebenarnya tidak sedikit yang menyangsikan kalau semua pembunuhan berantai
itu adalah perbuatan Pendekar Pulau Neraka. Terutama, mereka yang sudah mengenal
betul akan watak pendekar muda itu. Kesangsian memang tergambar pada wajah
orang-orang persilatan yang datang ke padepokan Eyang Jambak. Mereka sengaja
memang ingin mencari bukti kebenarannya. Tapi setelah melihat senjata yang
selalu ada pada setiap korban, kesangsian itu semakin dalam menyelimuti mereka
semua. Dan kekacauan ini tentu saja membuat tokoh-tokoh golongan hitam jadi senang.
Mereka yakin, dengan hasil itu orang-orang persilatan golongan putih akan
menjadi pecah. Bahkan bukan tidak mungkin akan saling bunuh hanya untuk membuktikan, apakah
Pendekar Pulau Neraka sekarang benar-benar menjadi pembunuh kejam.
Sementara itu jauh di luar Desa Kalipasir, Pendekar Pulau Neraka tengah duduk
mencangkung di atas batu di pinggir sungai. Pemuda berwajah tampan yang selalu
memakai baju kulit harimau itu begitu asyik mempermainkan permukaan air sungai
dengan kakinya. Sementara seekor monyet kecil berbulu hitam, seperti tidak
mempedulikan keadaan sekitarnya. Dia begitu nikmat menyantap setandan pisang.
"Sudah makanmu, Tiren...?" tanya Bayu sambil melirik sedikit pada monyet
kecilnya. "Nguk...!"
Tiren menyeringai, memperlihatkan baris-baris giginya yang kecil dan rapih.
Kembali binatang itu menikmati makanannya tanpa peduli pada Bayu yang sudah
mulai tidak sabar menunggu.
"Sudah sore, Tiren. Kita harus sampai di desa Kalipasir untuk bermalam," ujar
Bayu lagi. "Nguk!"
Tiren mendongakkan kepalanya ke atas, mena-lap matahari yang saat itu memang
sudah tergelincir ke barat Dan sinarnya pun tidak lagi terasa terik seperti
tadi. Sementara, Pendekar Pulau Neraka sudah mengeluarkan kakinya dari dalam
sungai. Dia melompat turun dari atas batu yang didudukinya, kemudian melangkah
menghampiri monyet kecilnya.
Sedangkan Tiren jadi mencerecet ribut, "perti tidak suka makannya diganggu. Tapi
binatang itu akhirnya melompat juga, dan langsung naik ke pundak Pendekar Pulau
Neraka yang tangannya sudah terulur.
Bayu mengayunkan kakinya pelahan ke arah selatan.
Disepaknya sebatang ranting yang menghalangi jalan, dan langsung ditangkap
dengan mudah sekali. Lalu, diayun-ayunkannya ranting itu seirama ayunan langkah
kakinya. Tapi baru saja berjiran beberapa langkah, Tiren tiba-tiba saja jadi
ribut. Binatang itu mencerecet tidak henti-hentinya sambil berjingkrakan di
pundak pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Diam, Tiren," pinta Bayu agak membentak suaranya.
"Nguk! Craaakh...!"
Tiren bukannya diam, tapi semakin ribut Dan ini membuat Bayu terpaksa harus
menghentikan ayunan kakinya Namun
belum juga bisa membuka mulut untuk mendiamkan monyet kecilnya, tiba-tiba
saja.... Slap! "Heh..."! Hup!"
Bayu jadi tersentak, ketika tiba-tiba saja dari arah depan melesat bagai kilat
sebatang anak panah yang langsung menuju ke arahnya. Tapi hanya memiringkan
tubuh sedikit sambil menarik ke kirinya anak panah itu jadi meleset arah
sasarannya. Tepat di saat anak panah itu berada di depan dadanya, tangan
Pendekar Pulau Neraka mengibas. Dan...
Tap! "Hih...!"
Begitu anak panah berada dalam genggaman tangannya, secepat kilat Bayu
mengibaskannya kembali ke depan sambil menegakkan tubuhnya. Maka seketika anak
panah itu kembali meluncur dengan kecepatan tidak kalah dari datangnya tadi.
Begitu cepat lesatannya ke arah gerumbul semak yang tidak jauh dari Pendekar
Pulau Neraka Dan begitu menembus semak....
Slak! "Aaa...!"
Seketika terdengar jeritan panjang yang melengking, disusul munculnya seseorang
dari dalam semak belukar dengan sebatang anak panah menembus leher. Orang itu
terhuyung sebentar, lalu ambruk terguling keluar dari dalam semak.
Sementara, Bayu sudah menurunkan Tiren dari pundaknya.
Monyet kecil itu berlari mendekati pohon, lalu naik ke atas sambil mencerecet
ribut Ke-mudian binatang itu nangkring di atas dahan yang rukup besar. Sedangkan
Bayu terlihat berdiri tegak, memandangi tubuh laki-laki yang sudah tidak
bernyawa lagi dengan leher tertembus anak panah, tampak pada pinggangnya tergantung
sekantung anak panah. Sementara sebuah busur menggeletak tidak jauh dari
sampingnya. Pelahan Bayu melangkah menghampiri. Namun belum juga sampai, kembali terlihat
anak panah meluncur deras ke arahnya. Bahkan kali ini bukan hanya satu, tapi
puluhan anak-anak panah Itu meluruk dari segala arah mengancam Bayu yang
terkesiap. Maka seketika tubuhnya melenting ke atas sambil berputaran.
"Hiyaaa...!"
Diiringi teriakan menggelegar, cepat sekali Bayu mengibaskan tangan kanannya
untuk menangkis serbuan anak panah yang datang bagaikan hujan. Puluhan anak
panah itu kontan rontok, terkena kibasan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka yang
begitu cepat Dan sebentar saja, tidak satu pun anak panah yang terlihat lagi
menghujaninya. Bayu kembali menjejakkan kaki di tanah dengan ringan sekali.
Sampai-sampai tidak terdengar suara sedikit pun juga saat mendarat.
Sementara keadaan kembali sunyi. Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling,
sambil menajamkan pendengaran.
Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, kemudian terdengar gumaman-nya yang
begitu pelahan seperti lebah. Malah kedua tangannya sudah mengepal erat Sekarang
dia tahu dirinya sudah terkepung tidak kurang dari tiga puluh orang yang
bersembunyi di balik pohon dan gerum-bul semak di sekitarnya.
*** "Siapa kalian" Keluar...!" teriak Bayu dengan suara keras dan lantang.
Begitu kerasnya suara Pendekar Pulau Neraka, sehingga daun-daun di sekitarnya
jadi berguguran. Dan memang, Bayu mengeluarkannya dengan pengerahan tenaga dalam
sempurna. Tapi teriakan Pendekar Pulau Neraka tidak mendapat sambutan sama
sekali. Bayu sendiri hanya bisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kendati
tahu kalau sudah terkepung, tapi Bayu tidak mau berbuat gegabah untuk menyerang
lebih dahulu. Dua langkah Bayu mengayunkan kakinya ke depan. Sorot matanya terlihat begitu
tajam, menatap ke depan. Dan begitu langkahnya berhenti, tiba-tiba saja kaki
kanannya dihentakkan ke depan. Seketika sebatang ranting kering yang berada
tepat di ujung kakinya melesat begitu cepat bagai kilat Dan...
Srak! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan yang melengking menyayat, begitu ranting yang tersepak
kaki Pendekar Pulau Neraka menembus semak belukar di depannya. Tak lama muncul
seorang laki-laki dengan leher tertembus ranting kering dari dalam belukar.
Tubuh yang cukup besar itu jatuh terguling ke tanah. Hanya sesaat saja dia mampu
menggeliat, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.
Dua orang sudah menggeletak di depan Pendekar Pulau Neraka dalam keadaan tidak
bernyawa. Sementara, Bayu sendiri sudah memutar tubuhnya sedikit ke kiri. Dan
kembali kakinya bergerak cepat, menyepak sepotong ranting kering yang berada di


Pendekar Pulau Neraka 56 Setan Mata Satu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujung jari kakinya. Kembali ranting itu melesat begitu cepat bagai anak panah,
dan langsung menembus semak belukar yang ada di sebelah kirinya.
Kembali jerit kematian pun kembali menyayat panjang.
Satu orang lagi muncul dengan leher terpanggang sepotong ranting. Bayu hanya
memandangi saja dengan sinar mata begitu tajam pada sosok tubuh yang
bergelimpangan di depannya dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Darah tampak sudah
membanjiri tanah di dalam hutan ini.
"Kalian akan mati kalau tidak keluar...!" teriak Bayu dengan suara keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Suara Pendekar Pulau Neraka menggema ke-sekitar hutan ini Begitu sempurna tenaga
dalam yang dikerahkan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat tanah di
sekitarnya jadi bergetar bagai diguncang gempa. Dan saat itu juga, terlihat
seorang laki-laki tua berjubah putih keluar dari balik sebuah pohon yang cukup
besar. Sebatang tongkat berwarna putih tergenggam di tangan kanannya seakan jadi
penyangga tubuhnya yang sudah agak membungkuk.
"Sudah cukup permainan iblismu, Kisanak...," terasa begitu dingin suara orang
tua berjubah putih ini.
"Hm... Siapa kau Orang Tua?" tanya Bayu, tidak kalah dingin
"Aku Eyang Jambak, ketua Padepokan Tongkat Putih,"
sahut orang tua berjubah putih itu, memperkenalkan diri.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja pelarian.
"Sudah terlalu banyak korban yang kau ambil dari Desa Kalipasir, Pendekar Pulau
Neraka. Dan hari ini, kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan iblismu
itu," cegat Eyang Jambak.
"Perbuatan apa...?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Jangan berpura-pura tidak tahu!" bentak Eyang Jambak kasar.
Bayu jadi tersentak juga mendengar bentakan begitu kasar dari orang tua bernama
Eyang Jambak Ini. Tapi keningnya jadi berkerut, memandangi wajah yang kelihatan
menegang penuh kebencian itu. Sesaat saja, Bayu langsung bisa menyadari kalau
dirinya sekarang berada dalam bahaya. Dan dia tidak tahu, apa yang menjadi
sebabnya sehingga orang tua itu begitu membencinya. Bahkan sinar mata laki-laki
itu jelas ingin membunuhnya.
"Kau kelihatannya ingin membunuhku, Eyang. Kenapa...?"
Bayu meminta penjelasan.
"Rasanya tidak perlu lagi aku menjawab pertanyaan bodohmu itu, Anak Muda.
Sekarang, beruaplah menerima hukuman atas kekejamanmu selama ini!" sahut Eyang
Jambak dingin. Dan begitu kata-katanya kering, Eyang Jambak langsung saja mengecutkan tongkat
putihnya ke depan. Maka seketika itu juga dari ujung tongkatnya meluncur puluhan
benda kecil seperti jarum berwarna putih keperakan, yang langsung meluruk deras
ke arah Pendekar Pulau Neraka.
"Hup...!"
*** 2 Tidak ada pilihan lain lagi bagi Bayu, kecuali cepat melenting ke atas. Tubuhnya
langsung berputaran beberapa kali cepat sekali, menghindari serbuan jarum-jarum
kecil keperakan yang keluar dari ujung tongkat Eyang Jambak. Dan begitu kakinya
kembali menjejak tanah, Eyang Jambak sudah melesat cepat bagai kilat disertai
kebutan tongkatnya yang tepat mengarah ke bagian kepala Pendekar Pulau Neraka
"Haiiit..!"
Cepat-cepat Bayu merundukkan kepala, sehingga sabetan tongkat ketua Padepokan
Tongkat Putih itu hanya lewat sedikit saja di atas kepalanya Namun saat itu
juga. Bayu merasakan adanya sambaran hawa panas menyengat di atas kepala, yang
rupanya keluar dari sambaran tongkat Eyang Jambak. Cepat Bayu melompat ke
belakang sambil memutar tubuhnya dua kali di atas tanah. Lalu, manis sekali
Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Dan pada saat itu, juga Eyang
Jambak sudah kembali melancarkan serangan dahsyat Seakan, dia tidak ingin
memberikan kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk balas menyerang.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Eyang Jambak mengebutkan tongkatnya beberapa
kali. Ketepatannya begitu tinggi, mengarah ke bagian-bagian tubuh yang
mematikan. Dan ini membuat Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus berjumpalitan menghindari
serangan yang begitu cepat dan beruntun tanpa henti. Sementara, hawa panas di
sekitar tubuhnya semakin terasa begitu menyengat, membuat jalan pernapasannya
jadi terganggu. Bayu tepat menyadari kalau tidak bisa terus-menerus bertahan
seperti ini. Hawa panas yang keluar dari tongkat putih orang tua itu jelas bisa
menguras habis udara untuk mengisi paru-parunya.
"Hup!"
Cepat Bayu melentingkan ke atas dan berputaran beberapa kali, tepat di saat
tongkat Eyang Jambak mengibas ke arah kakinya. Lalu, manis sekali Pendekar Pulau
Neraka menjejakkan kakinya di atas dahan sebuah pohon, tepat di atas kepala
Eyang Jambak. Tapi, tampaknya orang tua itu tidak mau kehilangan lawannya. Cepat
dia melompat ke depan, dan...
"Yeaaah...!"
Bet! Prak! "Heh..."!"
Bayu jadi tersentak kaget, begitu pohon yang dipijaknya seketika bergetar
tersabet tongkat Eyang Jambak. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, pohon itu
jadi goyang. Lalu...
"Hup...!"
Cepat-cepat Bayu melenting ketika pohon itu roboh.
Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejak tanah
kembali. Agak terbeliak juga kedua bola mata Pendekar Pulau Neraka melihat
bagian bawah pohon itu hancur, akibat terkena pukulan dahsyat tongkat putih
Eyang Jambak tadi Dan matanya semakin terbeliak lebar, begitu melihat pohon yang
sudah ambruk itu pelahan-lahan hancur jadi debu. Sehingga, bentuk pohon itu
tidak lagi terlihat. Yang ada hanya tumpukan debu di atas tanah.
"Gila...! Ilmu apa yang dipakainya...?" desis Bayu dalam hati.
Memang dahsyat tongkat Eyang Jambak. Pohon yang begitu besar dan kuat, bisa
hancur jadi debu Bayu jadi berpikir kalau saja tongkat itu menyentuh tubuhnya.
Sulit dibayangkan, apa yang akan terjadi. Mungkin nasibnya sama dengan pohon
itu. Sementara Bayu tengah berpikir, Eyang Jambak sudah kembali melancarkan
serangan dahsyatnya.
Tubuh orang tua itu meluncur begitu cepat bagai kilat, hingga sulit diikuti mata
biasa. Hanya bayangan putih saja yang terlihat berkelebat begitu cepat meluruk
deras ke arah Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat Bayu melenting ke atas, sehingga teringan Eyang Jambak tidak sampai
menyambar tubuhnya. Dan bayangan putih dari jubah yang digunakan orang tua itu
berkelebat, lewat di bawah Pendekar Pulau Neraka.
Dan pada saat itu juga, Bayu memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah.
Lalu dengan kecepatan luar biasa Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan
kanannya ke arah Eyang Jambak yang baru saja berbalik, setelah serangannya
gagal. Maka saat itu juga, Cakra Maut yang
selalu berada di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat begitu
cepat bagai kilat.
"Wusss...!
"Hiyaaa...!"
Bet! Eyang Jambak langsung mengecutkan tongkatnya, hingga melintang di depan dada,
tepat di saat Cakra Maut hampir menghantam dadanya. Sehingga, senjata maut
Pendekar Pulau Neraka langsung menghantam tepat bagian tengah tongkat putih
orang tua itu. Tring! "Heh..."!"
Bayu jadl terbeliak, melihat senjata andalannya terpental balik begitu membentur
batang tongkat lawannya.
Maka cepat tangan kanannya diangkat ke atas kepala, sehingga Cakra Maut berwarna
putih keperakan kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
"Hh!"
Bayu menghembuskan napas berat, sambil menyilangkan tangan kanan di depan dada.
Sorot matanya terlihat begitu tajam memperhatikan gerak kaki Eyang Jambak yang
menggeser ke kanan. Sedangkan orang tua itu sendiri mempermainkan tongkatnya di
depan dada, lalu diputar cepat sekali, sampai seperti lenyap dari pandangan. Dan
yang terlihat kini hanya lingkaran putih yang hampir menutupi seluruh tubuh
orang tua itu. "Hm.... Ilmu apa lagi yang akan digunakannya...?" gumam Bayu bertanya-tanya
sendiri dalam hati.
Sedikitpun Bayu tidak mengedipkan mata, terus
memperhatikan setiap gerak Eyang Jambak. Putaran
tongkatnya yang semakin cepat, juga menjadi perhatian Pendekar Pulau Neraka. Dan
tanpa disadari, kini jarak mereka sudah begitu dekat. Dan tepat ketika jarak
mereka tinggal sekitar lima langkah lagi...
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Eyang Jambak berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga, tongkatnya di-kebutkan ke depan, tepat mengarah ke bagian
perut Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat hentakan longkat putih itu, sehingga
tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindar. Namun...
"Hih!"
Cepat Bayu menarik tangannya melintang ke bawah, untuk melindungi perutnya dari
sambaran longkat putih lawannya.
Sehingga tongkat itu tepat menghantam bagian luar pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka ini. Dan...
Trang! Seketika api memercik, begitu tongkat Ki Jambak beradu keras dengan Cakra Maut
Pendekar Pulau Neraka. Lalu saat itu juga, mereka sama-sama melompat ke belakang
sejauh beberapa langkah. Dan hampir bersamaan pula, mereka kembali menjejakkan
kakinya mantap di tanah. Bayu langsung menempatkan tangan kanannya kuat-kuat di
depan ujung jari kakinya.
Sorot mata orang tua itu terlihat begitu tajam menatap lurus ke bola mata
Pendekar Pulau Neraka yang kini berada sekitar satu batang tombak di depannya.
Dan Bayu sendiri membalas pandangan mata itu dengan sorotan yang tidak kalah
tajam, beberapa saat mereka saling berpandangan tajam, seakan-akan tengah
mengukur sampai sejauh apa tingkat kepandaian masing-masing.
*** Di saat dua orang yang berdiri berhadapan dar saling menatap tajam itu tengah
mengukur tingkat kepandaian masing-masing, dari balik semak belukar dan
pepohonan di sekeliling tempat ini bermunculan orang-orang bersenjatakan golok
di pinggang. Bahkan busur anak panah yang juga dibawa mereka telah terentang di
tangan. Di balik ikat pinggang mereka juga bukan hanya golok yang ada, tapi juga
sebatang tongkat putih. Mereka langsung mengepung tempat ini dengan panah
terpasang di busurnya, siap mengancam Pendekar Pulau Neraka.
Kemunculan murid-murid Eyang Jambak ini membuat Bayu jadi mendengus berat.
Pandangannya segera beredar ke sekeliling beberapa saat, memperhatikan
sekitarnya yang sudah terkepung rapat dalam waktu sebentar saja. Tidak ada celah
sedikit pun untuk dapat meloloskan diri. Sementara, Eyang Jambak sendiri sudah
menggeser kakinya ke belakang, menjauhi Pendekar Pulau Neraka Tapi, tatapan
matanya tidak lepas dari pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Muda. Tidak ada gunanya melawan. Bukan hanya
murid-muridku saja yang mengepung tempat ini. Kalau tak percaya lihat saja
sekelilingmu...," ujar Eyang Jambak merasa menang.
Saat itu juga Bayu jadi terkejut, begitu melihat di sekelilingnya yang sudah
terkepung oleh tokoh-tokoh persilatan beraliran putih. Dia tahu, mereka yang
baru bermunculan itu tidak bisa dianggap sembarangan. Bayu benar-benar merasakan
kalau keadaannya sekarang sama sekali tidak menguntungkan. Tapi, pantang baginya
untuk menyerah begitu saja.
"Kenapa kalian seperti menginginkan kematianku"! Apa perbuatanku yang merugikan
kalian semua..."!" tanya Bayu keras dan lantang.
"Sebaiknya, tanyakan saja nanti di neraka, Anak Muda,"
sahut Eyang Jambak ketus.
Bayu langsung menatap tajam pada orang tua berbaju putih itu. Memang, Eyang
Jambak memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Dan menghadapi orang tua ini
saja, Bayu merasa cukup berat. Apa lagi, harus menghadapi tokoh-tokoh persilatan
yang begitu banyak, jumlahnya, ditambah murid-murid Eyang Jambak sendiri. Bayu
benar-benar harus berpikir keras untuk dapat keluar dari kepungan ini.
Tapi dia juga ingin tahu, mengapa mereka sampai memperlakukannya seperti ini..."
Padahal, Bayu sama sekali tidak merasa melakukan sesuatu yang merugikan mereka
semua. Apalagi dia tidak kenal mereka satu persatu. Tapi, tampaknya orang-orang
yang mengepungnya ini benar-benar menginginkan kematiannya. Bayu juga menyadari,
keingintahuannya tidak akan bisa terjawab sekarang ini. Dan satu-satunya jalan,
dia harus bisa lolos dari kepungan. Otak Pendekar Pulau Neraka seketika
berputar, mencari cara yang tepat untuk bisa lolos dari mau yang begitu sempit
kemungkinannya.
"Apapun yang terjadi, aku harus keluar dari tempat ini...,"
bisik Bayu dalam hati.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian
matanya bertemu pada Tiren yang kelihatannya begitu ketakutan melihat majikannya
terkurung rapat dalam bahaya maut ini. Entah kenapa, Bayu jadi tersenyum melihat
monyet kecil yang selalu bersamanya.
"Tiren, kacaukan mereka dari sebelah kanan," bisik Bayu menggunakan suara perut
yang disertai pengerahan tenaga dalam.
"Nguk!"
Tiren langsung bisa mendengar bisikan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa diminta dua
kali, monyet kecil itu langsung saja melompat ke ranting kecil tidak jauh dari
tempatnya nangkring
tadi Dan ringan sekali tubuhnya berayun pada ranting, laki meluruk deras ke arah
kanan para pengepung.
"Nguk! Craaak...!"
Sambil menjerit nyaring, monyet kecil itu langsung saja menerkam kepala seorang
pengepung yang sama sekali tidak menyadari akan serangan itu. Murid Eyang Jambak
itu jadi menjerit, ketika gigi-gigi Tiren yang bertaring sangat tajam mengoyak
kulit lehernya. Darah langsung menghambur keluar dari leher yang terkoyak cukup
lebar. "Bagus, Tiren...!" seru Bayu masih menggunakan suara perut. Tiren langsung
berpindah ke orang satunya lagi. Dan kembali gigi-giginya yang bertaring sangat
tajam itu menghunjam ke leher.
"Craaak...!"
Jeritan pun kembali terdengar begitu menyayat. Serangan Tiren yang cukup cepat
dan tidak terduga, membuat keadaan di barisan kanan jadi kacau.
Mereka yang cepat tersadar, berusaha menghentikan amukan monyet kecil itu. Tapi,
Tiren memang seekor monyet yang sudah terlatih Dia berlompatan dari satu kepala
ke kepala lainnya, sambil berteriak-teriak ribut. Dan kekacauan itu semakin
meluas. Sehingga, perhatian hampir semua mang tertumpah pada amukan monyet kecil
itu. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Bayu begitu saja.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu langsung saja melompat ke arah kanan.
Dan tangan kanannya seketika mengibas cepat ke depan. Maka Cakra Maut yang
selalu menempel pada pergelang-nn tangan kanannya langsung melesat begitu cepat
bagai kilat. Wusss! Crasss! "Aaa...!"
Satu orang langsung roboh seketika, tersambar Cakra Maut pada lehernya.
Sementara, Bayu sudah melepaskan beberapa pukulan beruntun yang disertai
pengerahan tenaga dalam sempurna. Jeritan-jeritan menyayat seketika menggema
memenuhi hutan ini, di susul oleh tubuh-tubuh berlumuran darah yang berjatuhan
saling susul. "Hiya! Yeaaah...!"
Sementara Bayu terus beriompatan sambil melontarkan pukulan-pukulan dahsyatnya.
Dan begitu mendaratkan satu pukulan terakhirnya, Pendekar Pulau Neraka langsung
melesat cepat ke atasi pohon yang cukup tinggi.
"Hup! Yeaaah...!"
Dan hanya dengan menotokkan sedikit saja ujung jari kakinya, Bayu kembali
melenting cepat ke pohon satunya.
Dan, Pendekar Pulau Neraka terus melesat meninggalkan orang-orang yang
mengepungnya. Sementara, Tiren sendiri langsung melompat naik ke atas pohon,


Pendekar Pulau Neraka 56 Setan Mata Satu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu melihat Bayu sudah tidak terlihat lagi di tempat ini. Begitu cepat dan
ringan gerakannya sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap tertelan
lebatnya pepohonan di dalam hutan.
"Keparat..!"
Eyang Jambak jadi geram setengah mati, melihat Pendekar Pulau Neraka berhasil
lolos dari kepungan yang sangat rapat.
Bahkan tidak kurang dari lima belas orang muridnya tidak bernyawa lagi Sedangkan
puluhan orang menderita luka parah.
Dalam beberapa gebrakan saja, Bayu berhasil lolos dari kepungan. Bahkan bisa
menewaskan lima belas orang, dan melukai puluhan orang pengepungnya.
*** Eyang Jambak hanya dapat menyimpan kekecilannya di dalam hati. Sementara Bayu
sudah berada di tempat yang cukup aman dari orang-orang yang menginginkan
nyawanya. Larinya baru berhenti setelah dirasakan cukup aman, dan tidak ada seorang pun
yang mengejarnya. Bibirnya tersenyum melihat Tiren berayun-ayun pada sulur pohon
menghampirinya.
Monyet kecil itu mencerecet ribut sambil melompat ke pundak Pendekar Pulau
Neraka. Tampak mulut dan seluruh giginya yang bertaring sangat tajam berlumuran
darah. Bayu menepuk kepala monyet itu sambil tersenyum. Kemudian, kakinya
melangkah menghampiri sebuah telaga kecil di tengah hutan ini. Dibersihkannya
darah dari mulut monyet kecil itu dengan air telaga yang jernih ini. Juga,
senjata cakranya yang berlumuran darah.
"Kau sudah bersih lagi sekarang, Tiren," ujar Bayu seraya tersenyum.
"Nguk!"
Tiren kelihatan senang melihat dirinya tidak lagi berlumuran darah. Monyet kecil
naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
Dan Bayu hanya tersenyum saja saat merasakan pelukan hangat monyet kecil ini
pada lehernya. Lalu kembali kakinya terayun menembus hutan yang sangat lebat
ini. Dia tidak tahu lagi, arah mana yang harus dituju. Sementara, matahari sudah
menenggelamkan diri di ufuk barat. Kegelapan menyelimuti seluruh hutan ini,
membuat langkah kaki Pendekar Pulau Neraka jadi agak terhambat. Tapi, dia terus
saja berjalan tanpa tentu arah tujuan.
Belum juga jauh Bayu berjalan menembus kegelapan dalam hutan ini, ayunan langkah
kakinya mendadak saja terhenti.
Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut, melihat secercah cahaya api
menyembul keluar dari balik belukar di depannya.
Dan seketika, bau harum daging panggang tercium keras di lubang hidungnya,
membuat perutnya seketika berbunyi minta diisi. Bayu baru menyadari, sejak siang
tadi perutnya memang belum terisi makanan sedikit pun.
"Mudah-mudahan saja bukan orang yang mau
membunuhku," gumam Bayu dalam hati.
Setelah memantapkan harinya, Pendekar Pulau -Neraka kembali meneruskan langkah
kakinya mendekati api yang terlihat tidak jauh lagi di depannya. Sebentar
langkahnya berhenti di dekat gerumbul belukar, kemudian pelahan tangannya mulai
menyibakkan belukar itu. Tapi baru saja akan melangkah. tiba-tiba saja....
Bet! "Upths...!"
Hampir saja ujung sebuah pedang membabat leher, kalau Bayu tidak cepat menarik
kepalanya ke belakang. Dan Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat melompat sambil
memutar tubuhnya dua kali ke belakang. Lalu pada saat kakinya menjejak tanah, di
depannya sudah berdiri seorang gadis cantik.
Baju merah muda yang dikenakannya cukup ketat,
sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang begitu indah dipandang mata. Sebuah
pedang bercahaya keperakan tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung pedang itu
tepat terarah ke dada Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa kau" Dan mau apa mengintipku...?" tegur gadis itu.
"Sabar Nisanak. Aku tidak bermaksud jahat padamu. Aku hanya ingin menumpang
bermalam di sini," ujar Bayu menyabarkan
"Aku tanya siapa kau...?" bentak gadis itu tanpa menghiraukan ucapan pemuda
berbaju kulit harimau ini.
"Namaku Bayu," sahut Bayu kalem. "Maaf kalau kehadiranku mengganggu istirahatmu.
Sama sekal tidak ada maksud buruk di hatiku. Aku hanya ingin bermalam dekat api
yang kau buat"
"Hm...," gadis itu menggumam sedikit dengan kening berkerut
Bola mata indah gadis itu memperhatikan Pendekar Pulau Neraka dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki. Kelopak matanya terlihat agak menyipit Sedangkan Bayu
hanya diam saja, tidak merasa jengah sedikit pun dipandangi dengan sinar mata
memancarkan kecurigaan.
"Kau pengembara?" tanya gadis itu.
"Benar," sahut Bayu singkat.
"Apa julukanmu?" tanya gadis itu lagi.
"Julukan..." Ah! Aku tidak punya julukan sama sekali,"
sahut Bayu berdusta.
"Aku tidak percaya! Seorang pengembara pasti memiliki julukan. Dan aku bisa
memutuskan kau boleh menumpang atau tidak, dari julukanmu!" tandas gadis itu.
Bayu jadi terdiam mendengar kata-kata bernada tegas dan tidak bisa dibantah
lagi. Memang, di dalam rimba persilatan seorang pengembara seperti dirinya pasti
memiliki julukan.
Dan biasanya, julukan seorang pengembara memiliki arti yang sangat mendalam.
Bahkan bisa menunjukkan watak pemilik julukan itu.
"Apakah itu perlu bagimu, Nisanak?" tanya Bayu masih mencoba berkilah.
Pendekar Pulau Neraka sadar, sekarang ini julukan yang disandangnya sedang
dirusak orang lain. Dan dia sendiri tidak tahu, apa sebabnya. Baru tadi Bayu
mendapat kesulitan. Dan untung saja nyawanya selamat. Makanya, Bayu berhati-hati
untuk memperkenalkan julukannya pada orang lain yang belum dikenalnya.
"Sebutkan saja julukanmu, Kisanak!" agak membentak suara gadis itu.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi orang-orang selalu memanggilku Pendekar Pulau
Neraka," sahut Bayu terpaksa juga memberitahu.
Gadis cantik itu terdiam, memandangi pemuda yang berada sekitar lima langkah di
depannya. Seakan, dia sedang menilai diri Pendekar Pulau Neraka. Dan pelahan
pedangnya ditarik, lalu dimasukkan ke dalam warangka yang tergantung di
pinggang. Bayu langsung menarik napas panjang, begitu melihat gadis itu
menyimpan kembali pedangnya.
Tanpa berkata apapun juga, gadis cantik berbaju merah muda agak ketat itu
memutar tubuhnya. Dan kakinya langsung melangkah menyeruak belukar yang tadi
sempat diterjangnya. Sedangkan Bayu masih terdiam beberapa saat, kemudian
melangkah juga menembus belukar Ku.
Bayu melihat gadis itu sudah duduk bersila di depan api unggun yang menyala
cukup besar. Dan tidak jauh di sebelah kirinya, terdapat tiga ekor ayam panggang
yang cukup gemuk.
Sementara, Bayu hanya berdiri dekat, di sebelah kanan gadis itu. Kakinya baru
melangkah, setelah gadis itu merentangkan tangannya sedikit Bayu mengambil
tempat tidak jauh dari panggangan ayam. Bau harum daging ayam panggang itu
membuat air liurnya menitik keluar.
"Ambil saja kalau mau. Aku sudah habis satu tadi," kata gadis itu menawarkan.
Tanpa ditawarkan dua kali, Bayu segera mengambil satu.
Kemudian, mulai dinikmatinya ayam panggang ini. Bagitu nikmat Terlebih perutnya
memang sudah terasa lapar sejak tadi. Dan sebentar saja, satu ekor sudah
dihabiskannya. "Kalau kurang, ambil saja lagi," gadis itu kembali menawarkan.
"Terima kasih, sudah cukup...," tolak Bayu halus.
Bayu membersihkan tangannya dengan daun-daun kering.
Lalu dipindahkannya Tiren yang sudah tidur di sampingnya.
Kemudian, tubuh monyet kecil itu ditutupinya dengan daun-daun kering yang banyak
berserakan di sekitarnya. Bayu sedikit melirik gadis cantik disebelahnya yang
masih tetap duduk bersila seperti sedang bersemadi Tapi kedua matanya terbuka
lebar, menatap api unggun di depannya. Sepertinya, ada yang sedang diperhatikan
di dalam api itu.
"Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nisanak...?" tanya Bayu dengan nada suara
dibuat begitu ramah.
"Lestari," sahut gadis itu singkat, memperkenalkan namanya.
"Kau juga pengembara?" tanya Bayu lagi.
"Bukan."
"Lalu, kenapa berada di dalam hutan ini seorang diri?"
Lestari tidak menjawab. Matanya hanya melirik sedikit saja pada pemuda yang
duduk di sebelahnya. Dan Bayu jadi terdiam, tidak mengharapkan jawaban atas
pertanyaannya tadi. Dia tahu gadis Itu tidak ingin memberitahu keberadaannya
dalam hutan yang sunyi dan lebat ini.
Melihat gadis itu tetap duduk diam seperti sedang bersemadi, Bayu tidak mau
mengganggunya. Tubuhnya lantas direbahkan di samping Tiren yang sudah sejak tadi
terlelap tidur. Matanya mencoba untuk dipejamkan, tapi tidak juga terlelap
tidur. Meskipun sikap gadis ini begitu baik, tapi pada saat sekarang ini, dia
tidak mau mudah percaya begitu saja pada orang yang baru dikenalnya.
*** 3 Pagi-pagi sekali, sebelum matahari menampak kan diri, Bayu sudah bangun dan
langsung berdiri. Tampak Lestari masih tidur tubuh meringkuk seperti udang.
Pendekar Pulau Neraka mengulurkan tangannya pada Tiren yang juga sudah bangun.
Monyet kecil itu langsung nangkring di pundaknya.
Saat Bayu mematikan api, Lestari menggelinjang bangun dari tidurnya. Dia
langsung bangkit berdiri, memandangi Bayu yang sudah mematikan api. Sementara,
cahaya matahari mulai membias di ufuk timur. Begitu lembut cahayanya, saat
menyentuh kulit Pelahan Bayu berdiri sambil mengambil sepotong kayu yang cukup
kuat. "Kita berpisah sekarang, Lestari. Terima kasih tumpangannya," ujar Bayu lembut.
'Tunggu...!" sentak Lestari, mencegah.
Bayu yang akan melangkah pergi, terpaksa jagi
mengurungkan niatnya Dipandangi wajah cantik gadis itu dengan kelopak mata agak
menyipit. "Kau harus ikut denganku, Bayu," kata Lestari.
"Untuk apa.." Kalau aku ikut denganmu, hanya akan membuat susah saja, Lestari,"
Bayu mencoba menolak halus ajakan gadis ini.
"Justru kalau tidak ikut denganku, kau akan jadi susah sendiri," balas Lestari
tegas. "Heh..."! Apa maksudmu, Lestari...?" tanya Bayu agak terkejut.
"Aku tahu siapa kau, Bayu. Kau Pendekar Pulau Neraka yang sedang dicari-cari
orang sekarang Ini. Kau dituduh pembunuh brutal yang sudah mengambil korban di
mana-mana," kata Lestari kalem.
"Kau..., kau tahu...?" kali ini Bayu tidak bisa lagi menyembunyikan
keterkejutannya.
"Sejak kau sebutkan namamu semalam, aku sudah tahu siapa dirimu, Bayu."
"Lalu, apa kau juga ingin membunuhku?"
Lestari hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan
mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Tangannya terulur pelahan ke arah Tiren. Sedang Bayu hanya diam saja
memperhatikan. Lestari mengambil monyet kecil itu dari pundak Bayu, lalu
langsung menggendongnya dengan sebelah tangan. Dan ini membuat Tiren jadi manja,
menyeruakkan tubuhnya ke dada yang membusung indah itu.
Lestari jadi tersenyum, melihat kenakalan monyet kecil ini.
Sementara Bayu hanya memperhatikan saja dengan berbagai macam pertanyaan
berkecamuk dalam kepalanya.
"Semua orang bisa termakan fitnah dan pasti Ingin memburumu, Bayu. Tapi aku sama
sekali tidak percaya kalau kau yang melakukan semua kekejaman itu," kata Lestari
sambil mengangkat kepalanya menatap wajah Pendekar Pulau Neraka.
"Kenapa kau masih mempercayaiku, Lestari" Sedangkan semua orang sekarang sedang
memburuku seperti binatang."
Lestari tidak menyahut. Hanya bahunya diangkat sedikit.
Kemudian kakinya terayun melangkah sambil membelai-belai kepala Tiren yang masih
berada dalam gendongannya.
Sedangkan Bayu masih saja diam, memandangi gadis itu yang semakin jauh
meninggalkannya. Kemudian bergegas Pendekar Pulau Neraka menyusul. Dan sebentar
saja, dia sudah berada di samping gadis cantik ini.
"Kau tentu punya alasan sampai masih percaya padaku, Lestari...," kata Bayu
meminta penjelasan.
"Memang," sahut Lestari singkat.
"Apa alasanmu?" desak Bayu.
"Hanya orang picik yang mau percaya begitu saja, kalau kau yang melakukan semua
kekejaman itu. Dan...," Lestari tidak melanjutkan.
"Teruskan, Lestari," pinta Bayu.
"Hanya aku yang tahu, siapa pelakunya," sambung Lestari ringan.
"Kau tahu...?"
Lestari mengangguk saja.
"Siapa?"
"Setan Mata Satu."
"Setan Mata Satu. Apa aku pernah mendengar nama itu...?"
"Mungkin saja, Bayu. Tapi yang penting sekarang, kau harus bisa membersihkan
namamu lagi Carilah si Setan Mata Satu. Karena, dialah yang sebenarnya pelaku
pembunuhan keji itu dengan menggunakan senjata seperti milikmu."
"Kenapa dia sampai berbuat seperti itu, Lestari?"
"Sebenarnya, dia memang selalu menggunakan senjata Bintang Perak, seperti yang
kau miliki. Sedangkan semua orang sudah tahu, senjatamu adalah Cakra Maut yang
juga mirip Bintang Perak. Jadi, jangan salahkan mereka kalau kau sampai dituduh
melakukan semua pembunuhan keji itu," jelas Lestari.
"Bagaimana kau bisa tahu semua itu, Lestari?" tanya Bayu meminta penjelasan
lagi. Kembali Lestari tidak menjawab. Bibirnya hanya tersenyum saja tanpa menghentikan
ayunan langkahnya. Sedangkan Bayu terus mengikuti, menjajarkan ayunan langkahnya
di sebelah kiri gadis ini. Beberapa kali Bayu menatap wajah cantik gadis itu
dari samping. Tapi, tampaknya Lestari tidak
pernah mau mempedulikan. Dia terus berjalan dengan pandangan lurus ke depan.
*** Tepat di saat matahari berada di atas kepala,
Pendekar Pulau Neraka dan Lestari baru keluar dar dalam hutan yang sangat lebat
ini. Bayu menghentikan langkahnya, begitu melihat sebuah perkampungan tidak jauh
di depannya. Lestari juga berhenti melangkah. Pandangannya tertuju pada perkampungan yang
sudah terlihat, tidak jauh lagi di depan.
Saat itu, mereka sama-sama berpaling dan langsung saling berpandangan beberapa
saat. Lestari cepat-cepat mengarahkan pandangannya pada perkampungan di
depannya. Dan Bayu pun memandang ke arah yang sama.
Untuk beberapa saat, mereka terdiam memandangi
perkampungan yang kelihatan sunyi, seperti tidak ada penduduknya
Sementara Tiren kini sudah kembali berada di pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Kau tahu desa apa itu, Bayu?" tanya Lestari tanpa sedikit pun berpaling pada
pemuda di sebelahnya.
Sebentar Bayu memandang ke arah perkampungan di depannya, kemudian berpaling.
Langsung ditatapnya wajah cantik Lestari di sampingnya. Namun gadis itu tetap
mengarahkan pandangannya ke depan, seakan tidak tahu kalau Bayu memandanginya.
"Tidak," sahut Bayu sambil memalingkan wajah ke depan lagi.
"Desa itu sekarang tidak lagi berpenghuni," jelas Lestari.
"Kenapa?" tanya Bayu seperti orang bodoh.
"Dihancurkan."
"Dihancurkan..."!"
Agak berkerut kening Pendekar Pulau Neraka mendengar desa di depannya kini tidak
lagi dihuni. Kembali ditatapnya wajah cantik di sebelahnya, lapi yang dipandangi
tetap saja mengarahkan pandangannya ke depan. Bayu merasakan ada sesuatu yang
terjadi di dalam hati gadis ini. Dugaannya pasti ada satu kenangan yang tidak
bisa terlupakan gadis Ini pada desa Ku.
"Siapa yang melakukannya, Lestari?" tanya Bayu jadi ingin tahu.
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Lestari pelan.
Jelas sekali kalau suara gadis itu ditahan. Malah ada sedikit tekanan yang
begitu sendu. Bayu semakin bertambah yakin kalau Lestari memiliki kenangan
tersendiri di desa itu. Entah sadar atau tidak, terlihat kedua bola matanya yang
bulat dan bening Itu mulai berkaca-kaca. Tapi, rupanya Lestari cepat menyadari.
Maka cepat-cepat wajahnya berpaling ke arah lain.
Sehingga pemuda itu tidak dapat lagi leluasa memandanginya.
Tapi Bayu tahu kalau ada kedukaan dalam hari gadis ini.
"Kau yakin aku yang melakukan semua itu, Lestari"
Sedangkan aku tidak tahu, apa nama desa Itu. Malah belum pernah datang ke sana
Jadi bagaimana mungkin kau bisa mengatakan aku yang menghancurkan desa itu"!"


Pendekar Pulau Neraka 56 Setan Mata Satu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agak ditekan nada suara Bayu.
"Itulah yang tidak kumengerti, Bayu. Semua orang begitu percaya kalau kau
sekarang sudah berubah menjadi iblis pembunuh. Tapi hanya aku yang tahu, siapa
pelaku sebenarnya," kata Lestari pelan.
"Setan Mata Satu..?" tebak Bayu, menduga.
"Benar. Hanya dia yang bertanggung jawab. Bayu. Setan Mata Satu-Iah pelaku
sebenarnya."
"Dari mana kau tahu, Lestari?" tanya Bayu, menyelidik
"Aku pernah melihatnya ketika...," Lestari tidak melanjutkan.
"Ketika apa, Lestari?" desak Bayu.
"Waktu dia..., dia membunuh kedua orangtua-ku," sahut Lestari tidak dapat lagi
menyembunyikan kedukaannya.
"Kau berasal dari desa itu, Lestari?" tebak Bayu langsung.
Lestari hanya mengangguk kepala saja, dan tidak dapat lagi menyembunyikan air
matanya yang seketika jatuh menitik membasahi pipinya yang putih kemerahan.
Sementara, Bayu tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Pemuda itu memang pating tidak
bisa menghadapi wanita yang menangis ditelan kedukaan. Pendekar Pulau Neraka
hanya bisa diam, dengan pikiran tidak menentu
Entah apa yang ada dalam benak Pendekar Pulau Neraka sekarang. Dia tahu, keadaan
dirinya tidak lagi bisa aman di mana pun dia berada. Kini hanya Lestari saja
yang percaya kalau bukan dia yang melakukan semua pembunuhan keji Ku.
Tapi semua orang... Bahkan tokoh-tokoh persilatan pun sudah menuduhnya. Malah
kemarin, hampir saja nyawanya melayang dikepung rapat dalam hutan. Kalau saja
tidak ada Tiren yang membantu membuka jalan, entah bagaimana nasibnya sekarang.
Bayu sadar, semua kesulitan yang harus dihadapinya sekarang tidak mudah terhapus
begitu saja. Tidak mudah membersihkan nama yang sudah terlanjur cacat seperti
ini. "Semula aku sudah bertekad untuk membalas kematian orangtuaku padamu, Bayu. Tapi
setelah bertemu
denganmu...," kembali Lestari tidak bisa melanjutkan.
"Kau melihat Setan Mata Satu mirip denganku...?" tanya Bayu.
"Bukan kau yang melakukannya, Bayu Aku masih ingat betul, bagaimana orangnya,"
sahut Lestari. "Yaaah..., inilah sulitnya kalau punya senjata yang mudah ditiru orang lain."
desah Bayu bernada mengeluh.
"Aku rasa, kau masih bisa membersihkan namamu. Bayu.
Dengan menemukan Setan Mata Satu, orang tidak akan lagi menuduhmu," kata Lestari
memberikan harapan.
"Tapi itu sulit, Lestari. Mereka semua sudah menuduhku begitu," terdengar agak
mengeluh nada suara Bayu.
"Aku akan membantumu, Bayu. Tapi kau juga harus membantuku," kata Lestari tegas.
"Tentu saja. Kita akan saling membantu nanti," sambut Bayu seraya tersenyum.
"Kau ingin lihat senjata si Setan Mata Satu itu. Bayu?"
Lestari menawarkan.
"Kau punya?" tanya Bayu.
"Banyak, di sana," sahut Lestari menunjuk ke arah desa di depannya.
"Baiknya kita ke sana, Lestari. Barangkah saja ada sesuatu yang bisa dijadikan
petunjuk," ajak Bayu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka bergegas melangkah ke desa kelahiran
Lestari yang sudah ditinggalkan penghuninya. Mereka berjalan tanpa ada yang
berbicara lagi.
Sementara, sesekali Bayu melirik gadis yang berjalan di sampingnya Bisa
dirasakannya kepedihan yang dirasakan Lestari saat ini. Duka yang begitu
mendalam dan sulit dilupakan begitu saja.
*** Bayu memandangi Bintang Perak di atas telapak tangan kanannya. Memang, sama
persis seperti yang pernah dimilikinya. Cakra Maut yang tidak pernah lepas dari
pergelangan tangan kanannya.
Begitu geram Pendekar Pulau Neraka melihat enjata yang begitu sama persis dan
kini menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Tanpa sadar, Bayu meremas benda
berbentuk bintang keperakan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sehingga, senjata bintang itu hancur jadi debu dalam genggaman tangannya.
Sementara, Lestari hanya memperhatikan saja. Dia tahu, hati Pendekar Pulau
Neraka tengah berselimut api kemarahan yang tidak bisa ditakar lagi.
"Ayo kita pergi," ajak Bayu dengan kaki langsung terayun melangkah.
Lestari tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Diikutinya ayunan langkah kaki
Pendekar Pulau Neraka meninggalkan desa ini. Agak kewalahan juga gadis itu
mensejajarkan langkahnya di samping Bayu yang berjalan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatannya.
Dan Ini membuat Lestari sesekali harus bertari kecil untuk mengimbanginya.
"Bayu...l" seru Lestari tiba-tiba memanggil.
Bayu langsung menghentikan langkahnya. Dan tepat saat itu juga, tampak puluhan
orang sudah berdiri menghadang di depan. Lestari juga ikut berhenti melangkah.
Memang gadis itu yang melihat lebih dulu. Entah, berapa jumlah orang yang
menghadang di depan jalan itu. Bahkan mereka semua membawa senjata dari berbagai
macam bentuk dan ukuran.
"Siapa mereka?" tanya Bayu sambil melirik sedikit pada gadis di sebelahnya.
"Aku tidak tahu," sahut Lestari
"Bukan penduduk desa ini?"
"Tidak ada lagi seorang pun yang hidup di sini."
"Hmmm..."
Sebentar mereka terdiam.
"Tidak ada yang kau kenal di antara mereka?" tanya Bayu lagi.
Lestari hanya menggelengkan kepala saja. Bayu sendiri tidak tahu, siapa mereka
yang menghadang di depan itu. Tapi dari sikapnya, sudah bisa ditebak kalau
mereka sama sekali tidak menunjukkan persahabatan. Bahkan dari senjata yang
dibawa, jelas sekali kalau mereka menginginkan kema-tian Pendekar Pulau Neraka.
"Seberapa jauh kau menguasai ilmu silat?" tanya Bayu pelan
"Cukup untuk menghancurkan dua puluh orang begundal,"
sahut Lestari tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun oleh pertanyaan Pendekar
Pulau Neraka. "Kita harus menembus mereka, Lestari"
"Apa tidak ada jalan lain lagi?" tanya Lestari, merasa tidak mungkin menghadapi
orang begitu banyak.
"Tidak," sahut Bayu seraya menggeleng.
Lestari hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Memang sulit menembus penghadang
itu, walaupun diketahui Pendekar Pulau Neraka bukanlah orang sembarangan. Tapi
walau bagaimanapun juga, tetap saja Pendekar Pulau Neraka manusia yang memiliki
kelemahan dan keterbatasan. Lestari menyadari kalau tidak mungkin menghadapi
penghadang itu hanya berdua saja.
Sementara, orang-orang yang menghadang itu sudah mulai bergerak mendekati. Dari
raut wajah mereka yang tegang, sorot mata yang tajam penuh kebencian, rasanya
mereka tidak akan mungkin bisa diajak damai lagi. Dan Bayu bisa merasakan kalau
mereka tentu tidak akan puas sebelum melihat darahnya menyembur keluar.
Kini jarak mereka pun semakin dekat saja. sementara, Bayu sendiri belum punya
satu cara untuk bisa menembus hadangan itu. Lestari sendiri tidak tahu, apa yang
harus dilakukannya. Pelahan gadis itu melangkah mundur.
Sementara, Bayu sendiri masih tetap berdiri tegak di tempatnya
"Seraaang...!"
"Bunuh manusia iblis itu...!"
Bersama terdengarnya teriakan yang begitu keras, seketika itu juga mereka
berlarian bagai banteng liar menyerbu Pendekar Pulau Neraka.
Mereka berteriak-teriak,
sambil mengayun-ayunkan
senjata di atas kepala.
Sementara, Bayu tetap
berdiri tegak memandangi
orang-orang yang meluruk
deras ke arahnya tanpa
berkedip sedikit pun lima.
Dan begitu jarak mereka
benar-benar sudah dekat...
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Bayu
menyebutkan tangan
kanannya ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk. Maka saat itu juga Cakra Maut
yang berada di pergelangan tangan kanannya melesat cepat bagai kilat, dan
langsung menyambar salah seorang yang berada paling depan.
"Aaaa...!"
Jeritan yang panjang dan menyayat mulai terdengar bersama ambruknya orang itu.
Sementara, Bayu cepat
menghentakkan tangan kanannya, sehingga Cakra Maut yang sudah mengambil satu
kurban, kembali melesat balik ke arahnya. Lalu...
"Yeaaah...!"
Kembali Bayu menghentakkan tangan kanannya, sebelum Cakra Maut menempel lagi di
pergelangannya. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka kembali melesat cepat bagai
kilat. Maka jeritan pantang pun kembali terdengar, disusul ambruknya satu orang lagi.
*** 4 Diiringi teriakan menggelegar, beberapa kali Bayu menghentakkan tangan kanannya
sambil berlompatan, mencoba menahan arus gempuran para penghadangnya. Dan korban
pun terus berjatuhan mengiringi jeritan-jeritan panjang melengking yang begitu
menyayat. Dalam waktu yang tidak berapa lama saja, sudah lebih dari sepuluh
orang bergelimpangan beriumuran darah. Tapi, mereka seakan tidak mengenal
gentar. Meskipun dengan gerak agall terhambat, mereka terus maju mendekati
Pendekar Pulau Neraka.
Walaupun mereka terus merangsek tanpa mengenal rasa takut, tapi Bayu tidak
gentar sedikit pun. Cakra Maut-nya terus dilontarkan sambil melangkah mundur
menjauh. Sementara, tidak jaun di belakangnya Lestari sudah siap dengan pedang
di tangan kanan. Gadis ini jadi kagum juga melihat ketangkasan Bayu dalam
melemparkan Cakra Mautnya, menghadang arus serangan orang-orang ituL
"Aku harus bertindak sebelum dia kehabisan! tenaga,"
gumam Lestari, bicara pada diri sendiri.
Tapi gadis ini agak kebingungan juga, karena tidak mungkin menerjang maju
menyerang orang-orang itu. Dan ketika matanya menangkap sebuah Bintang Perak
yang tergeletak tidak jauh darinya, bibirnya langsung menyunggingkan senyum.
Memang cukup banyak Bintang Perak di sekitarnya. Maka tanpa berpikir panjang
lagi, Lestari langsung memunguti Bintang-bintang Perak itu. Dan begitu terkumpul
cukup banyak, tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung melompat ke samping.
Lalu... "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Lestari melemparkan Bintang-bintang Perak
itu ke arah orang-orang yang terus merangsek maju mendekati Pendekar Pulau
Neraka. Lemparan Lestari rupanya membawa pengaruh besar juga. Bintang-bintang
perak itu menghambur bagai hujan yang ditumpahkan dari langit, sehingga jeritanjeritan panjang semakin sering terdengar. Dan tubuh-tubuh berlumuran darah pun
semakin banyak yang ambruk bergelimpangan.
"Hiya! Yeaaah...!"
Lestari terus melontarkan Bintang-bintang Perak itu, seperti tidak pernah
kehabisan. Dan memang begitu banyak Bintang Perak bergeletakan di sekitarnya.
Padahal, justru tindakannya membuat nqma Pendekar Pulau Neraka itu menjadi
semakin rusak. Tindakan Lestari rupanya membawa hasil juga. orang-orang itu merasa tidak ada
gunanya terus mendesak.
Sementara, jumlah mereka semakin berkurang saja. Hingga akhirnya, mereka berhenl
bergerak dan malah melangkah mundur menjauhi Sementara Bayu sudah berhenti
melemparkan Cakra Maut-nya. Senjata andalannya itu kini sudah kembali menempel
di pergelangan tangannya. Dan Lestari juga sudah tidak lagi melemparkan Bintangbintang Perak, setelah orang-orang yang menyerang sudah cukup jauh jaraknya. Gadis itu
bergegas menghampiri Bayu yang masih berdiri tegak di tengah jalan
"Ayo kita pergi," ajak Lestari.
"Ke mana" Mereka masih menunggu, Lestari," sahut Bayu bertanya.
"Ke sana," Lestari menunjuk ke arah hutan.
"Kembali lagi ke hutan sana...?" kerang Bayu jadi berkerut.
"Tidak ada jalan lain lagi, Bayu. Hanya itu jalan satu-satunya untuk selamat. "'
Bayu jadi terdiam. Memang tidak salah jalan pikiran Lestari.
Hanya lewat hutan tempat mereka datang itulah jalan satu-satunya untuk bisa
selamat Sementara, jalan yang akan dilalui kini masih juga dihadang begitu
banyak orang yang ingin membunuh Pendekar Pulau Neraka.
Tapi di dalam hutan itu, mereka juga akan bertemu orang-orang yang ingin
melenyapkan Pendekar Pulau Neraka. Dan itu yang menjadi pemikiran Bayu, walaupun
disadari tidak ada lagi tempat aman baginya. Semua orang kini sedang memburunya
bagai binatang. Ke mana pun pergi, pasti akan berhadapan dengan mereka yang
menghendaki kematiannya.
"Huh! Ini semua gara-gara si Setan Mata Satu keparat itu...!" dengus Bayu kesal
dalam hati. Kekesalan hati Bayu memang tidak bisa lagi ditakar.
Baginya, hanya ada satu cara untuk membersihkan namanya kembali. Setan Mata
Satu-lah ynng harus bertanggung jawab!
Dan Bayu tidak ingn terus-menerus menjadi buruan bagai binatang berbahaya yang
harus dimusnahkan. Maka terpaksa dia harus mengikuti Lestari meninggalkan desa
ini, kembali ke dalam hutan. Hanya gadis itu saja yang percaya kalau dirinya
bukan pembunuh brutal dan keji, yang selama ini sudah meminta korban begitu
banyak. *** Malam yang begitu indah, sama sekali tidak dapat dinikmati Bayu. Bulan tampak
bersinar penuh, memancarkan cahaya kuning keemasan yang lembut menyapu kulit.
Langit tampak cerah bertaburkan bintang-bintang gemerlapan, menambah indahnya
suasana malam ini. Tapi, keindahan malam sama sekali tidak bisa menghibur hati
Bayu yang terus-menerus diliputi kegundahan. Kemarahan memang begitu menguasai
hati Pendekar Pulau Neraka. Malah sejak siang tadi, makanan yang disediakan
Lestari sedikit pun tidak disentuhnya.
"Apa yang kau pikirkan.Bayu?" tegur Lestari sambil menambahkan ranting ke dalam
api yang dibuatnya.
Bayu tidak menjawab. Kepalanya berpaling saja sedikit, menatap gadis itu.
Kemudian pandangannya kembali tertuju ke kaki bukit Tampak di bawah sana kerlip
lampu rumah-rumah penduduk Desa Kalipasir terlihat jelas.
"Aku bisa merasakan kesulitanmu sekarang iri Bayu. Tapi bila hanya berdiam diri
dan terus berpikir, tidak akan menyelesaikan masalah begitu saja Kau harus
bertindak lebih cepat lagi dalam mencari si Setan Mata Satu. Hanya dia yang bisa
meluruskan dan membersihkan namamu," kata Lestari lagi mencoba menasehati
"Kau tahu, di mana si Setan Mata Satu sekarang berada?"
tanya Bayu tanpa berpaling sedik pun.
"Sulit untuk bisa menemukannya, Bayu. Diajtidak punya tempat tinggal tetap, dan
akan pergi sesuka harinya Bahkan terus akan menyebarkan malapetaka di mana dia
berada. Semakin banyak membunuh orang dengan senjata Bintang Peraknya, semakin sulit
bagimu untuk bergerak lagi, Bayu.
Semua orang tentu tidak akan menduga lagi tapi langsung memburumu untuk kemudian
dibunuh. Apa kau akan
merelakan nyawamu begitu saja, Bayu..?"
"Tidak akan ada seorang pun yang bisa menyentuh tubuhku," desis Bayu agak dingin
nada suaranya. "Kalau begitu, secepainya kau harus bisa menemukan si Setan Mata Satu itu,"
desak Lestari. "Itu yang sedang menjadi beban pikiranku, Lestari Sedangkan sampai sekarang, aku
tidak tahu keberadaan Setan Mata Situ," kata Bayu seraya berbalik.
Pendekar Pulau neraka melangkah menghampiri gadis cantik ini, kemudian
menghempaskan tubuhnya di sebelah kanannya. Lestari menggeser duduknya sedikit,
menjauhi Pendekar Pulau Neraka Lalu kembali ditambahkannya sepotong ranting kayu
dalam api. Sementara, Bayu sudah merebahkan tubuhnya di atas tumpukan daun-daun
kering. Tidak jauh di sebelahnya, Tiren sudah melingkar terlalap dalam buaian mimpi.
Begitu lelap tidur monyet kecil ini, sehingga Bayu tidak mau mengusiknya.
Matanya hanya melirik sedikit pada Lestari yang masih tetap duduk bersila dekat
api unggun yang menyala cukup besar.
"Kau tidak tidur, Lestari?" tanya Bayu.


Pendekar Pulau Neraka 56 Setan Mata Satu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lestari hanya berpaling sedikit dan tersenyum menjawab pertanyaan Pendekar Pulau
Neraka. Gadis itu masih saja duduk bersila, seperti sedang bersemadi. Dan
kembali pandangannya terarah ke api unggun, seakan-akan ada yang menarik dalam
kobaran api itu. Sedangkan Bayu sudah mulai memejamkan matanya. Tapi baru saja
kelopak mata nya terpejam, tiba-tiba saja...
"Suiit..!"
"Heh..."!"
Bayu jadi tedonjak kaget, begitu tiba-tiba terdengar siulan nyaring melengking
tinggi. Bahkan sampai membuat telinganya seketika jadi terasa sakit dan
berdenging. Bagitu terkejutnya, sampai! sampai Pendekar Pulau Neraka bangkit
berdiri! Sementara Lestari tetap duduk bersila tidak bergeming sedikit pun.
Seakan, suara siulan itu tidak mengganggu sama sekali. Dan ini membuat Bayu yang
sempat melirik pada gadis ini jadi berkerut keningnya.
"Kau tidak dengar siulan itu, Lestari?" tanya Bayu dengan kerung masih berkerut
memandangi gadis itu.
"Dengar," sahut Lestari singkat
"Kenapa diam saja?" tanya Bayu lagi.
"Untuk apa..?" Lestari malah balik bertanya! sambil mengangkat wajahnya sedikit,
menatap Pendekar Pulau Neraka.
"Untuk apa..." Kau tahu, Lestari. Keadaan kita sekarang dalam bahaya. Mungkin
kau tidak. Tapi aku...."
Bayu jadi agak mangkel juga mendengar kata-kata Lestari yang sepertinya tidak
peduli terhadap keadaan yang sedang dihadapi sekarang ini.
"Siulan itu tidak ada arti apa-apa, Bayu. Tenang saja...,"
kata Lestari kalem.
Bayu jadi terdiam. Dia teringat ketika masa-masa baru keluar dari Pulau Neraka,
setelah gurunya meninggal dunia.
Setiap kali muncul untuk membalas dendam pada pembunuh-pembunuh urangtuanya,
memang selalu didahului siulan melengking yang menyakitkan telinga. Dan
sekarang, Bayu mendengar siulan yang sama. Dan suara itu kini jadi membuat
hatinya gundah.
Sedangkan Lestari tetap saja duduk bersila bersemedi tenang, seakan tidak
mempedulikan kegelisahan hati Pendekar Pulau Neraka. Bahkan kini kelopak matanya
terpejam rapat, membuat bulu matanya yang lentik semakin terlihat indah.
Namun kecantikan dan keindahan gadis itu sama sekali tidak membuat Bayu
berpaling dari persoalan yang dedang dihadapinya sekarang ini. Dia masih berdiri
tegak dengan kepala sebentar bergerak ke kanan, dan sebentar kemudian ke kiri. Dicobanya
untuk mencari arah sumber siulan yang didengarnya tadi "Hh! Mungkin benar kata
Lestari...," gumam Bayu bicara sendiri dalam hati.
Baru saja Bayu hendak tidur lagi, tiba-tiba saja...
Seketika hati Bayu jadi terkesiap begitu mendengar hembusan angin begitu keras
datang dari arah belakangnya.
Dan begitu kepalanya berpaling, terlihat kilatan cahaya putih keperakan meluncur
deras ke arahnya. Seketika, darah Pendekar Pulau Nera ka jadi berdesir cepat.
Dan... "Hih!"
Tring! Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindar. Cepat
tangan kanannya ditarik ke depan dada. Sehingga, kilatan cahaya putih keperakan
itu membentur tepat pada bagian pergelangan tangan kanannya yang terdapat
senjata Cakra Maut persegi enam.
Kilatan cahaya putih keperakan itu kontan terpental balik dengan cepat. Dan pada
saat yang bersamaan, Bayu juga jadi terdorong ke belakang dua langkah. Agak
terkejut juga harinya merasakan hempasan tenaga yang begitu kuat dari kilatan
cahaya putih keperakan tadi. Bahkan pergelangan tangannya jadi terasa bergetar
dan sedikit nyeri.
"Hup...!"
Pendekar Pulau Neraka langsung melompat, mengerahkan Ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan Begitu cepatnya, hingga dalam
waktu sekejapan mata saja tubuhnya sudah berada dekat dengan sebuah pohon yang
sangat besar. "Hm..."
Kening Bayu jadi berkerut, begitu melihat sebuah benda berbentuk bintang persegi
enam yang berwarna putih keperakan menancap begitu dalam pada batang pohon di
depannya. Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa berpikir lebih jauh lagi,
kembali dikejutkan oleh terdengarnya hembusan angin keras dari arah belakang.
Maka cepat tubuhnya diputar berbalik. Dan...
"Hup! Yeaaah...!"
Terpaksa Bayu harus berjumpalitan di udara, menghindari serbuan Bintang-bintang
Perak yang datang begitu deras menghujaninya. Entah, berapa puluh senjata
bintang itu menghambur menghujani Pendekar Pulau Neraka.
Dan Bayu terus berjumpalitan menghindarinya, sambil sesekali mengebutkan tangan
kanannya, mencoba menghalau Bintang-bintang Perak yang terus menghujaninya.
Cakra Maut yang biasanya berada di pergelangan tangan kanannya, kini berada
dalam genggamannya.
Hampir-hampir Pendekar Pulau Neraka tidak pernah menjejakkan kakinya di tanah.
Bintang-bintang Perak itu terus menghujaninya bagai tidak akan pernah berakhir.
Pepohonan di sekitarnya sudah penuh tertembus Bintang-bintang Perak.
Sementara Bayu masih terus berjumpalitan di udara untuk menghindari serangan
gelap yang tidak ketal huan arahnya.
Dan di saat Pendekar Pulau Neraka mulai tampak
kewalahan, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah muda, diikuti kilatan
cahaya putih keperakan yang menghalau Bintang-bintang Perak itu. bibirnya jadi
tersenyum melihat Lestari cepat membantunya, membuat ruang gerak Bayu jadi lebih
leluasa lagi. Dan begitu mendapat kesempatan, cepat sekali melenting tinggi. Dan
seketika kedua tangannya dikebutkan cepat luar biasa sambil berteriak keras
menggelegar. "Hiyaaa...!"
Bet! Wuk...! Entah bagaimana caranya, Bayu berhasil menangkap beberapa Bintang Perak itu, dan
langsung dilemparkan ke segala arah. Bintang-bintang Perak itu berbalik arah,
menembus semak dan kegelapan malam yang sedikit berkabut ini. Tepat di saat ih
juga, serbuan Bintang-bintang Perak itu berhenti seketika. Lalu manis sekali
Bayu kembali menjejak kan kakinya di tanah, tepat di sebelah kiri Lestai yang
sudah melintangkan pedangnya di depan dada
"Tidak ada apa-apa katamu, he..."!" dengus Bayu agak mendongkol hatinya.
Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada lestari di sampingnya dengan sinar
mata cukup tajam. Sedangkan Lestari seperti tidak tahu akan lirikan tajam
Pendekar Pulau Neraka. Pandangannya beredar ke sekeliling dengan bola mata
terbuka lebar, seperti ingin menembus kegelapan malam yang begitu pekat. Tapi,
tidak seorang pun terlihat disekitarnya.
"Maaf, Bayu. Aku tidak tahu kalau..."
Belum juga habis kata-kata yang diucapkan lestari, tiba-tiba saja terdengar tawa
yang begitu keras menggelegar mengejutkan. Suaranya meng-nema bagai datang dari
segala arah. Rasanya sulit ditentukan, dari mana datangnya suara tawa yang keras
menggelegar itu.
"Kau kenali suara itu, Lestari?" tanya Bayu.
"Setan Mata Satu," sahut Lestari pelan.
Bayu sempat melirik gadis itu sedikit, ketika suara Lestari agak bergetar saat
menyebut si Setan Mata Satu tadi. Jelas sekali kalau ada getaran dalam hari
Lestari, yang menunjukkan dendam mendalam di hatinya.
Belum lagi suara tawa itu menghilang dari pendengaran, terlihat sebuah bayangan
putih berkelebat begitu cepat bagai kilat ke arah Pendekar Pulau Neraka. Begitu
cepatnya, sampai seluruh darah di dalam tubuh bayu jadi berdesir dan jantung
seakan jadi berhenti berdetak.
"Hap...!"
Cepat Bayu memiringkan rubuhnya ke kanan, sambil menarik kakinya sedikit ke
kanan juga. Sehingga, bayangan putih itu lewat sedikit saja di samping tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga Bayu cepat berbalik, tepat di saat
bayangan putih itu juga berputar berbalik, dan langsung meluruk deras ke
arahnya. "Hup! Yeaaah...!"
Kati ini Bayu tidak lagi sungkan-sungkan menghadapinya.
Sambil berteriak keras menggelegar! Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas
seraya! melepaskan satu pukulan keras disertai pengarahan! tenaga dalam
sempurna, tepat di saat bayangan putih itu lewat di bawah tubuhnya yang sedikit
berputar ke bawah. Tapi...
"Uphs..."!"
Bayu jadi terkejut juga, melihat bayangan putih itu berkelebat begitu cepat ke
lain arah. Sehingga pukulannya tidak sampai mengenai sasaran Cepat tubuhnya
meluruk turun dan menjejakkan kakinya! kembali di tanah dengan gerakan indah dan
ringani sekali. Dan pada saat itu juga, tangan kanannya dikibaskan ke depan
dengan tubuh sedikit miringi ke kiri agak membungkuk
Wusss...! Seketika Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka melesat cepat bagai kilat mengejar bayangan putih yang saat itu baru saja
berputar berbalik arah. Terjangan Cakra Maut itu membuat bayangan putih itu jadi
cepat melesat ke atas.
"Hup!"
Saat itu juga, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas. Sehingga senjatanya
langsung berputar balik ke arahnya.
Dan begitu hendak menempel di pergelangan tangan kanannya lagi, Pendekar Pulau
Neraka langsung
menghentakkan ke depan, tepat mengarah ke bayangan putih itu lagi Cakra Maut
kembali melesat begitu cepat disertai desir angin yang menggiris hati siapa saja
yang mendengarnya.
"Shaaa...!"
Melihat Cakra Maut kali ini juga tidak bisa tepat mengenai sasaran, Pendekar
Pulau Neraka langsung saja melompat sambil melepaskan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Bagitu cepat dan hampir bersamaan
serangannya, sehingga bayangan putih itu tidak dapat lagi berkelit. Dan...
Dugkh! "Akh...!"
"Hup...!"
Bayu cepat-cepat melenting dan berputar ke belakang, begitu merasakan pukulannya
menghantam bayangan putih itu. Indah sekali gerakannya. Lalu begitu kedua
kakinya kembali menjejak tanah dengan ringan, langsung tangan kanannya diangkat
ke atas. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka Dan tepat pada saat itu, terlihat seseorang berpakaian serba putih
yang ketat terhuyung-huyung ke belakang, sambil memegangi dadanya dengan tangan
kiri. Laki-laki berpakaian serba putih itu masih berusia muda.
Mata kirinya tampak tertutup kulit hitam yang diikatkan ke belakang kepalanya.
Di belakang punggung, menyembul
sebuah gagang pedang yang bagian ujungnya berbentuk tengkorak manusia sebesar
kepalan tangan. Walaupun usianya masih cukup muda, tapi goresan-goresan bekas
luka di wajah membuatnya kelihatan lebih tua daripada usianya.
Dan sebelah matanya yang tertutup membuat dirinya kelihatan lebih menyeramkan.
Dari sinar mata kanannya, terlihat cahaya kekejaman dan nafsu membunuh yang
begitu memuncak
"Kau yang bernama Setan Mata Satu?" tanya Bayu agak dingin suaranya.
"Benar," sahut laki-laki bermata satu itu.
"Tindakanmu benar-benar memalukan, Kisanak Apa kau tidak menyadari, kalau
tindakanmu merugikan namaku...?"
terdengar sengit nada suara Bayu.
"He he he he...! Justru itu yang kuharapkan. Pendekar Pulau Neraka," sahut Setan
Mata Satu sambil terkekeh.
"Beleguk! Kau tahu apa akibatnya, heh..."!" Bayu jadi geram setengah mari
mendengar jawaban yang begitu ringan.
Seakan-akan si Setan Mata Satu itu tidak merasa bersalah apa-apa atas
Petualangan Manusia Harimau 9 Si Dungu Karya Chung Sin Si Kumbang Merah 14

Cari Blog Ini