Pendekar Romantis 06 Kitab Panca Longok Bagian 1
KITAB PANCA LONGOK Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
SATU PEMUDA ganteng model indo yang
punya tato di dada gambar bunga mawar tidak ada duanya kecuali si Pendekar
Romantis, Pandu Puber. Keturunan dewa yang kawin dengan anak jin ini memang
mempunyai ketampanan yang bisa bikin para gadis maupun janda pada 'celeng'.
Semua orang bilang; Pandu itu tampan. Cuma orang hutan yang nggak bilang begitu.
Sebagian orang mengakui bahwa Pandu itu hebat, ilmunya tinggi.
Nggak aneh lagi kalau Pandu Puber sekarang sedang jadi sorotan massa. Ia adalah
idola para wanita. Banyak yang tergila-gila padanya, banyak pula yang gila
beneran. Malah ada yang mengusulkan agar Pandu Puber dijadikan 'cover boy'
untuk sebuah kitab pusaka yang terbit se-bulan sekali. Tapi Pandu menolak usul
pa-ra gadis itu, alasannya karena ia tak ingin wajahnya dijadikan poster dan
dipa-jang di sembarang dinding, termasuk dinding kamar mandi segala.
"Dia memang tampan, dia memang menawan, dia memang menggairahkan, dia memang
sangat dirindukan, cuma kalau mau cari dia susahnya bukan main," ujar seorang
gadis kepada temannya yang waktu itu sedang mencuci di sungai. Kata gadis itu
lagi, "Mencari pemuda yang bergelar Pendekar Romantis itu tidak semudah mencari jarum di depan mata lho. Kakak iparku
sa-ja pernah putus asa dan hampir bunuh di-ri."
"Gara-gara gagal mencari Pendekar Romantis"!"
"Gara-gara hutangnya banyak!"
"Apa hubungannya dengan Pendekar Romantis" Ngaco aja omonganmu, ah!"
"Maksudnya, kakak iparku kan sudah janda, hutangnya banyak, dia cari Pendekar
Romantis mau minta bantuan bayarin hutang, tapi sampai rambutnya beruban kakak
iparku nggak pernah bisa nemuin pendekar itu."
"Sampai rambutnya beruban"! Wah, kebangetan itu sih."
"Iya. Suer deh! Sampai rambutnya putih semua. Rata!"
"Memangnya kakak iparmu usianya berapa tahun sih?"
"Yaah... baru enam puluh tahun kok!"
"Itu sih janda ketinggalan kereta!
Bukan pacar ketinggalan kereta!" gadis yang berkulit kuning ini bersungutsungut, dongkol mendengar omongan temannya. Temannya hanya cekikikan saja. Tapi
temannya itu berkata lagi sambil menggi-las cucian di atas sebidang batu datar.
"Aku heran, cowok ganteng kayak dia kok nggak kawin-kawin, ya" Apa dia menunggu lamaranku tiba?"
"Lamaran dengkul mu, Sri!" cetus si kulit kuning rada keki. "Anaknya Ki Lurah
Pekojan aja nggak naksir kamu, apa lagi seorang pendekar setampan Pandu Puber,
mana mau dilamar sama kamu?"
Sambil tertawa ngikik, Sri berkata,
"Eh, biar badanku gemuk dan mukaku lebar begini, tapi 'servisnya' dong!" seraya
pinggulnya digoyangkan dengan genit. Ganjen banget deh si gemuk itu. Tapi
temannya tertawa geli, tidak menganggap si gemuk bernama Sri itu menyombongkan
diri. Sri hentikan kerjanya dan berkata dengan bibir lari ke sana-sini, "Pokoknya,
kalau pada akhirnya aku nanti kawin sama Mas Pandu, aku mau nanggap wayang tujuh
hari tujuh malam."
"Uuh...! Jangan mimpi di pinggir kali, Sri. Nanti dicaplok buaya ganjen baru
tahu rasa lu!"
"Lho, benar kok!" Sri serius.
"Soalnya aku naksir berat sama Mas Pandu.
Sudah orangnya ganteng, ilmunya tinggi, eeh... anunya besar lagi!"
"Anunya... apaan tuh?"
"Semangat juangnya besar!"
"Ooo...," si kulit kuning tertawa cekikikan dengan menghapus bayangan jo-roknya.
Sri yang termasuk cerewet itu berkata lagi sambil memeras cucian,
"Kayak apa ya anakku nanti kalau
bapaknya seganteng Mas Pandu" Pasti imut-imut kayak anak semut! Hi, hi, hi...."
"Ngomong-ngomong kok kamu naksir berat sama Pendekar Romantis, apa kamu sudah
pernah bertemu dengannya, Sri?"
"Belum sih," jawab Sri pelan, agak minder.
"Uuh... belum pernah ketemu aja kok sudah mengkhayal yang bukan-bukan. Masih
mendingan aku dong."
"Hah..."! Jadi, kau pernah ketemu Mas Pandu"!"
"Belum juga sih."
"Huuh... kirain sudah!"
"Tapi aku pernah melihat bayangannya di dalam mimpi!"
"Bayangannya Mas Pandu, maksudmu"!"
"Bayangannya nenekku sendiri sih...," balas si kulit kuning sambil cengengesan
dan membuat Sri gendut bersungut-sungut mirip keong siput.
Omong-omong mereka terhenti karena mata mereka sempat melihat seorang pemuda
menuruni tanggul sungai di sebelah sana.
Masih dalam deretan tempat mereka nyuci, tapi agak jauh di depan. Sri sempat
berbisik kepada si kulit kuning.
"Tun, tuh cowok mojok di batu-batuan sana mau ngapain, ya" Mau mandi apa mau
buang air?"
"Nggak tahu tuh. Coba aja lu tengok sendiri."
"Gila lu! Entar dikiranya aku cewek mata lontong, gemar ngintip cowok mandi.
Nggak mau ah."
"Lagian kenapa mesti kita ributin"
Dia mau mandi kek, mau buang air kek, mau buang muka kek, mau buang duit kek...
terserah dialah!" kata si kulit kuning yang rupanya bernama Jaitun itu.
"Eh, tapi dia kok malah dekatin ki-ta, Tun?"
Sri gendut sedikit tegang karena
heran. Pemuda yang berjalan mendekati tempat mereka mencuci pakaian itu
mempunyai rambut panjang belakang, tapi bagian depannya pendek. Pemuda itu juga
memakai anting-anting sebelah warna putih anti karat. Perawakannya tinggi,
gagah, tegap, kekar tapi tidak berotot seperti binara-gawan. Ia memakai baju
ungu berlengan sedikit sekali, nyaris tanpa lengan. Bajunya itu warna terang,
mempunyai bintik-bintik putih bening seperti tetesan embun. Celananya juga ungu
berbintik-bintik warna embun, tapi tepiannya bertiras, mirip celana jeans
tanggung yang berumbai-rumbai. Pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun itu
mengenakan gelang kulit warna hitam berbintik-bintik paku metal.
Gelang kulit di kedua tangannya itu yang membuat penampilannya semakin tampak
gagah. Perkasa tapi bukan perkosa. Pemuda itulah sebenarnya yang lagi
dibicarakan sama kedua gadis tersebut.
Dia adalah Pendekar Romantis, Pandu Puber. Tapi Jaitun dan Sri nggak tahu kalau
cowok itu Pandu Puber. Mereka nggak tahu kalau Pandu Puber itu punya tato bunga
mawar merah di dadanya.
Senyum kedua gadis desa itu saling bermekaran antara malu dan kikuk karena si
pemuda tampan sudah ada di dekat mereka. Sebentar-sebentar mata kedua gadis itu
melirik, sebentar-sebentar berlagak cuek. Mereka tak berani menyapa lebih du-lu.
Malah Sri menampakkan kesibukannya dengan serius. Pakaian yang tadi sudah
dicuci, sekarang dicuci lagi, sampai akhirnya ada yang robek karena terlalu lama
digilas. "Maaf, boleh saya mengganggu Mbakyu-mbakyu berdua ini?" sapa Pandu Puber membuka
percakapan. Sri berkata pada Jaitun, "Mau mengganggu kok pakai bilang-bilang, ya Tun?"
"Yah, namanya lelaki, Sri...," Jaitun berlagak mengeluh. "Lelaki di mana saja
sama, kerjanya mengganggu wanita."
Pandu Puber sunggingkan senyum ge-li. Senyuman itu pas dilirik oleh Jaitun dan
Sri. Hati mereka berdebar karena mengakui bahwa senyuman itu sangat menawan
hati. Tapi mereka masih berpura-pura cuek.
Pandu Puber berkata, "Maksudku bukan mengganggu tidak sopan, cuma ingin numpang nanya."
Sri berkata lagi kepada Jaitun,
"Memang katamu itu benar, Tun. Lelaki di mana-mana sama saja, senangnya numpang
wanita." "Husy...!" hardik Jaitun, melirik Pandu dengan malu. Lalu sambil memeras cucian
ia berkata dengan senyum sipu-sipu, "Maaf, temanku ini memang kalau ngomong suka
slebor, Kang. Maklumi saja, habis lahirnya barengan gunung meletus sih."
Sri bersungut-sungut menggerutu tak jelas. Pandu semakin menahan rasa geli-geli
dongkol. Lalu ia duduk di atas batu setinggi pinggulnya, di sana ia bertanya
dengan ucapan diperlamban, "Aku cuma mau numpang tanya rumahnya Ken Warok. Apa
kalian tahu?"
"Ken Warok"!" Jaitun kerutkan dahi, Sri juga begitu, tapi mata Sri memandang
Jaitun. Lalu terdengar suara Jaitun meng-gumamkan nama itu sekali lagi. Sri
segera berkata sambil pandangi Pendekar Romantis,
"Kalau Ken Warok nggak ada, Kang.
Tapi kalau Ken Arok ada! Mungkin sampean salah ucap. Bukan Ken Warok, tapi Ken
Arok." Jaitun menyahut, "Sri, kalau Ken Arok kan sudah pindah ke Tumapel, kan rumahnya kena gusur."
Sri berkata lagi kepada Pandu,
"Iya, Kang. Kalau yang kau cari adalah Ken Arok, orangnya sudah pindah ke
Tumapel. Cuma bengkel dokarnya masih ada di seberang kedai. Kadang-kadang dia
suka ke bengkelnya."
Jaitun menyahut juga, "Kalau sampean mau, nanti saya antarkan ke bengkelnya deh.
Kebetulan rumah saya bersebelahan dengan bengkelnya Ken Arok."
"Aku juga bisa nganterin kok, nggak cuma kamu, Tun!" Sri nggak mau kalah.
Dengan kalem, lembut dan bersahabat, Pendekar Romantis kembali perdengarkan suaranya. "Yang kucari Ken Warok,
bukan Ken Arok."
"Ooo..., habis di sini ada lima orang yang pakai nama Ken sih, Kang," ka-ta Sri.
"Ken Arok, Ken Borok, Ken Ngorok, Ken Gorok, dan Ken Tobijo."
"Itu nama istrinya lurah kami, Kang," sambung Jaitun. "Tapi kalau yang namanya
Ken Warok nggak ada. Sebaiknya cari Ken Arok saja, Kang. Lebih gampang!"
"Ya lain urusan dong, Yu!" kata Pandu dengan tawa tanpa suara.
"Memangnya ada apa sih kok cari orang yang nggak ada di data kami?" tanya Sri
cerewet. "Ada pesanan yang harus kusampaikan dari kakeknya Ken Warok."
"Pesanan apa" Nasi rantangan atau pesanan baju?" tanya Sri lagi.
"Maksudnya, ada amanat yang harus kusampaikan padanya. Amanat itu diti-tipkan
padaku sebelum kakeknya Ken Warok meninggal akibat pedang lawannya."
"Ooo... wah, kasihan ya kakeknya Ken Warok itu" Jadi sekarang sudah meninggal,
ya Kang?" "Sudah. Dan sudah kumakamkan sendiri, karena waktu itu yang ada di situ cu-ma
aku." "Ooo... Iha kamu nggak ikut dima-kamkan juga, Kang?" canda Sri mulai berani.
Canda itu menghadirkan tawa bagi dua gadis desa yang memperlambat kerja nyucinya. Pandu Puber tidak tersinggung, malah menampakkan senyum keramahannya.
Setelah itu ia bergegas pergi dan meninggalkan kata,
"Ya, sudah. Kalau gitu aku harus cari ke desa lain."
"Kok buru-buru sih, Kang" Nggak minum-minum dulu?" Sri memperlihatkan kegenitannya. "Minum apa" Minum air sungai?" ujar Jaitun sambil mengulum senyum, bukan
mengulum cucian.
"Aku harus segera mencari Ken Warok. Kalau nggak gitu, nanti rohnya Ki Mangut
Pedas bisa menuntutku dikira aku nggak mau sampaikan amanatnya untuk sang
cucu." "E, eh... siapa nama kakeknya Ken Warok tadi?" sergah Jaitun dengan tegang.
"Ki Mangut Pedas."
"Lhaaa... itu nama kakekku, Kang!
Iya, betul! Itu nama kakekku!" Jaitun ja-di tegang sekali. Cuciannya
ditinggalkan dan ia naik ke darat. "Betulkah namanya Ki Mangut Pedas" Orangnya
jangkung, kurus, suka pakai jubah abu-abu, punya gelang akar bahar berukir ular
di tangan kanannya?"
"Benar! Benar sekali!" Pandu berse-mangat.
"Kalau begitu kau telah bertemu dengan kakekku, Kang! Ya, ampuuun... kakek sudah
mati...." Jaitun duduk di batu dengan lemas, wajahnya sedih, hampir me-nangis.
Pandu Puber buru-buru buang muka karena ia tak berani melihat gadis menan-gis.
Ia selalu ingat ibunya dan bisa jatuh pingsan atau lemas tanpa daya.
Sri dekatin Jaitun, "Kalau benar itu nama kakekmu, kenapa kamu nggak tahu yang
namanya Ken Warok?"
"Ki Mangut Pedas adalah kakak dari kakekku. Jadi dia kan termasuk kakekku Juga"
Sedangkan... o, ya. Aku baru ingat.
Yang namanya Ken Warok itu sebenarnya adalah kakak sepupuku. Nama aslinya Kendayun. Di antara keluarga kami dia di-panggil Dayun. Tapi aku ingat, dia memproklamirkan diri di depan umum dengan nama Ken Warok. Soalnya dia gemar nonton
pertunjukan reok kepala singa."
"Lalu, rumah Ken Warok itu di ma-na?" tanya Pandu.
"Di belakang rumahku, Kang! Kalau begitu, yuk kuantar ke rumahnya!"
Sri agak iri karena Jaitun pulang bareng pemuda tampan. Sri hanya bilang pada
Jaitun dengan suara agak keras, "Bi-arin kamu pulang sama dia! Aku mau di si-ni
dulu nyelesain cucian sambil menunggu siapa tahu Mas Pandu Puber lewat sini!"
Tentu saja si tampan bermata kebi-ru-biruan itu hentikan langkah dan berpaling
ke belakang memandang Sri yang masih merendam di air. Maksudnya, Pandu kaget
mendengar namanya disebut oleh Sri dan ia ingin mengatakan bahwa dialah yang
bernama Pandu Puber. Tetapi Jaitun segera menarik lengan Pandu dengan sopan
sambil berkata,
"Sudahlah, jangan hiraukan ocehan Sri gendut itu. Dia memang lagi tergila-gila
sama Pandu Puber. Padahal menurutku sih, Pandu Puber pemuda yang nggak layak
untuk digila-gilain. Apalagi dibangga-banggakan, huuh... nggak pantes. Sekadar
diakui kehebatan ilmunya dan keramahannya sih boleh saja, tapi kalau sampai
dibangga-banggakan rasanya kok nggak pada tempatnya."
"Memangnya kenapa?" tanya Pandu semakin berlagak bego.
"Soalnya...," Jaitun tersenyum ma-lu. "Soalnya... Pandu Puber nggak sehebat
kamu, Kang."
"Maksudnya nggak sehebat bagaimana?" desak Pandu kian memancing perasaan si
gadis manis berkulit kuning itu.
"Yaah... pokoknya nggak hebatlah.
Bisa dilihat dari wajahnya, perawakannya, kegagahannya, semuanya nggak kayak
kamu. Pasti masih lebih hebat kamu, Kang."
"Masa' sih...?" Pandu senyum-senyum saja sambil tetap melangkah bersebelahan.
"Iya. Nggak lebih tampan dari kamu.
Pandu Puber itu kan, yaaah... namanya ju-ga anak masih puber, tentu saja masih
im-ut-imut. Tua sedikit juga peot."
Pandu tertawa geli tapi tidak dilepas semuanya. Jaitun bagaikan lupa dengan
kematian kakeknya. Ia tersenyum-senyum seraya sesekali menunduk. Menjinjing bakul menenteng ember karet. Dalam tunduk-nya itu ia melirik Pandu sebentar dan
bertanya, "Ngomong-ngomong... namamu siapa sih, Kang?"
"Namaku...?" Pandu tersenyum lebar, tampak ragu-ragu.
Tiba-tiba dari arah depan mereka
muncul seorang anak lelaki remaja berusia sekitar lima belas tahun. Anak itu
mema- kai rompi dan celana abu-abu, ikat kepalanya merah, badannya agak kurus,
wajahnya polos. Anak itu terkejut dan hentikan langkah melihat Pandu berjalan
bersama Jaitun.
"Sumo..."! Sumo Banjir..."!" Pandu menyapa lebih dulu. Wajahnya berseri-seri.
Tapi wajah Sumo Banjir lebih ceria lagi.
"Kaaang..."! Kang Pandu..."! Ooh...
aku kangen kamu, Kang! Aku kangen kamu, Kang Pandu...!"
Sumo Banjir memeluk Pandu Puber
dengan kegirangan.
Tubuh anak itu diguncang-guncang
oleh Pandu seperti pohon ceremai yang ingin dirontokkan buahnya. Pandu Puber
sempat terbayang masa pertemuannya dengan Sumo Banjir dalam peristiwa patung
pembawa bencana itu, (Kalau mau tahu patungnya kayak apa, cari aja di serial
Pendekar Romantis dalam kisah : "Patung Iblis Banci"- bukan dari Taman Lawang
kok. Bener!). "Bagaimana kabarmu, Sumo?"
"Aku sekarang kerja di tempat Ki Lasoka, ikut bikin keramik, Kang."
Pendekar Romantis 06 Kitab Panca Longok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Syukurlah kalau kau punya kesibukan. Nggak kepingin jadi pendekar lagi?"
"Ya kepingin, Kang. Tapi... gimana lagi, habis Kang Pandu nggak mau jadi guruku
sih." Kemudian Sumo Banjir memandang
Jaitun karena punggungnya dicolek-colek gadis itu. Jaitun bertanya,
"Kok kamu kenal dia, Mo" Memangnya dia itu siapa?"
"Dia kan Pandu Puber, si Pendekar Romantis itu!"
"Hahh..."!" mata Jaitun membelalak lebar, hampir saja copot dan menyambar wajah
Sumo Banjir. Bibirnya gemetar, wajahnya pucat, napasnya sesak, kepala nyutnyutan, pandangan mata makin suram, akhirnya... brruukk!
Jaitun pingsan. Hebat ya"
DUA NAMANYA memang seram. Ken Warok.
Yang namanya warok itu biasanya bertubuh besar, tinggi, tampang angker, kumis
sebesar lontong sate, badan kekar berotot, galaknya kayak setan lagi beranak.
Tapi warok yang ini ternyata benar-benar men-gejutkan Pandu Puber.
Ken Warok bertubuh kecil, pendek, kurus, rambutnya potongan cepak, mirip hansip
sedang masa pendidikan. Usianya sekitar dua puluh enam tahun. Mengenakan pakaian
serba hitam, komprang. Bajunya tak dikancingkan sehingga tampak tulang iganya
yang bertonjolan mirip tangga berjalan. Hampir-hampir Pandu Puber tidak mempercayai kalau orang yang mirip sebatang korek api itu bernama Ken Warok.
"Aku ingin bertemu dengan Ken Warok, bukan kamu Kang."
"Lha ya, aku ini Ken Warok!"
"Masa' sih..."!" Pandu sampai bilang begitu, karena penampilan dan potongan
orang itu tidak pantas menyandang na-ma Ken Warok. Setelah orang itu menjelaskan
seperti apa yang dijelaskan Jaitun, barulah Pandu Puber percaya bahwa orang itu
adalah cucunya Ki Mangut Pedas.
Berita tentang kematian Ki Mangut Pedas bukan saja membuat Ken Warok sedih,
namun menjadi berang dan sorot matanya yang kecil itu penuh cahaya dendam
membara. "Siapa yang membunuhnya?"
"Aku tidak tahu. Ketika aku tiba di lembah itu, kakekmu sudah terkapar tak
berdaya. Aku ingin sembuhkan lukanya, ta-pi dia menolak. Karena dia bilang
memang hari itu sudah jatahnya untuk mati. Aku tak berani memaksa. Cuma dia
sebutkan sa-tu nama orang yang habis bertarung dengannya."
"Lha iya, yang kutanyakan tadi adalah nama orang yang habis bertarung dengannya
itu!" ujar Ken Warok dengan jengkel. "Siapa namanya?"
"Tengkorak Tobat."
"Setan!" geram Ken Warok.
"Mungkin saja setan, namanya saja Tengkorak Tobat. Barangkali setan yang
menyamar sebagai seorang pendeta."
"Bukan itu maksudku!" kata Ken Warok semakin tampak gusar. "Aku tahu Tengkorak
Tobat. Aku kenal dia, karena namanya memang sudah dikenal! Aku harus temui dia
sekarang juga!"
Ken Warok bergegas pergi, tapi Pendekar Romantis segera berkata, "Apakah kau
berani menghadapi dia?"
Ken Warok berhenti, berbalik badan pelan-pelan. Wajahnya tampak sayu, lalu
berkata dengan nada lemah, "Kalau sendirian ya nggak berani."
"Kok kamu mau ngamuk menemuinya?"
"Kan sama kamu?"
"Aku nggak ada urusannya dengan Tengkorak Tobat. Mau apa aku mencak-mencak sama
dia?" "Yaaah... kirain kamu mau ikut menemui dia?" ujarnya makin lemah. Pandu Puber
tertawa pelan. "Kau ini aneh. Kalau merasa nggak berani ya jangan galak begitu dong! Salahsalah nyawamu dicabutnya sambil ber-siul!"
"Tengkorak Tobat adalah orang kepercayaan Ratu Cadar Jenazah."
"Kayaknya memang begitu, sebab amanat yang harus kusampaikan padamu ada hubungannya dengan nama Ratu Cadar Jenazah."
Ken Warok dekati Pandu Puber dan
berkata pelan, "Apa amanat dari kakekku itu?"
"Kau harus bersembunyi dari jang-kauan Ratu Cadar Jenazah."
"Kenapa begitu?"
"Entahlah. Kakekmu tak mau jelaskan. Ia terburu-buru mau mati. Setelah ngomong
begitu, dia menghembuskan napas terakhir. Buuuss...! Begitu!"
Ken Warok diam termenung, melangkah sedikit jauhi Pandu Puber. Sementara itu,
Pandu Puber sedang jadi pusat perhatian perempuan-perempuan yang ada di rumahnya
Ken Warok, termasuk Jaitun sendiri yang masih shock sehingga hanya terbengong
me-lompong memandangi pendekar tampan yang tak disangka-sangka justru berjalan
ber-duaan dengannya. Sedangkan Pandu Puber berlagak cuek walau hatinya agak tak
enak karena jadi bahan intipan para wanita, baik yang sudah bersuami maupun yang
belum. Mereka bicara di depan rumah Ken
Warok yang penuh dengan pohon bambu, sebab dulunya kakeknya Ken Warok pengusaha
anyaman bambu. Ken Warok sendiri sekarang mewarisi profesi sang kakek menjadi
pen-ganyam bambu, tukang bikin pagar.
Pandu Puber mendekati Ken Warok karena terlalu lama ditinggalkan sendirian di tengah pelataran. Mirip tiang
bendera. Saat itu Ken Warok memang baru akan temui Pandu untuk mengatakan sesuatu, tapi
Pandu lebih dulu perdengarkan suaranya yang kalem itu.
"Apakah kau punya urusan pribadi dengan Ratu Cadar Jenazah?"
"Tidak. Tapi..., rasa-rasanya ada sesuatu yang harus kulakukan. Ki Mangut Pedas,
kakekku, dulu adalah seorang jagoan, pengawal istana kerajaan Balekam-bang.
Kakek pernah berguru di puncak Gunung Sahari. Dan menurut cerita beliau, Ratu
Cadar Jenazah adalah rekan seperguruannya, tapi kakek lebih senior."
"Kalau begitu," kata Pandu menyim-pulkan, "Pasti ada hubungannya dengan
perguruan kakekmu dulu."
"Kayaknya sih begitu," kata Ken Warok. "Pasti soal Kitab Panca Longok."
Pandu Puber cepat memandang Ken Warok dengan dahi berkerut. Yang dipandang juga
sedang menatapnya dalam renungan.
Tanpa diminta, Ken Warok segera jelaskan persoalan itu.
"Kitab Panca Longok hanya diberikan kepada kakekku, karena kabarnya dulu kakek
adalah murid teladan yang selalu tampil sebagai ranking pertama setiap kenai-kan
kelas." "Apa yang ada di dalam Kitab Panca
Longok itu?"
"Jurus maut yang bernama 'Lima Setan Bingung'. Tapi sampai sekarang kakek tak
mau pelajari Jurus 'Lima Setan Bingung', sebab jurus itu katanya sih jurus
sesat. Bisa berubah wujudnya menjadi li-ma. Kabarnya, setiap orang yang berhasil
pelajari jurus 'Lima Setan Bingung' tak dapat mengendalikan nafsu maksiatnya.
Ha-wanya kepingin membunuh, memperkosa, me-rampok, memfitnah dan mengadu domba.
Makanya kakek tidak mau mempelajari jurus tersebut. Tetapi Kitab Panca Longok
tetap disimpannya, dan tak pernah diajarkan atau diberikan kepada siapa pun.
Sebab kakek takut kedamaian di bumi terancam karena seseorang yang berhasil
pelajari Kitab Panca Longok."
Pandu Puber manggut-manggut. Dalam pengertian batinnya, Ki Mangut Pedas adalah
orang baik. Tokoh berilmu lumayan ta-pi beraliran putih. Tidak menyukai keributan. Padahal kalau ia mau, ia bisa menjadi orang sakti dan menjadi super
jagoan dengan bermodalkan jurus dari Kitab Panca Longok itu. Niat Ki Mangut
Pedas perlu didukung, menurut Pandu Puber. Jika si pemilik kitab maut itu saja
bisa menahan diri untuk tidak pelajari jurus berbahaya itu, tentunya sebagai
seorang pendekar kebenaran Pandu Puber pun perlu memperta-hankan agar kitab itu
jangan jatuh ke
tangan orang sesat. Setidaknya jangan sampai dipelajari oleh seseorang yang
punya niat jadi orang sesat.
"Kata kakek," ujar Ken Warok lagi,
"Orang yang pelajari isi Kitab Panca Longok itu selalu punya gairah untuk
bercumbu dengan lawan jenisnya, siapa saja. Karena kekuatan jurus 'Lima Setan
Bingung' akan hadir melalui percumbuan. Satu kali bercumbu, satu kali kekuatan gaib
meresap dalam diri orang tersebut."
"Apakah kakekmu beristri banyak?"
"Malah nggak punya istri, sejak nenekku meninggal akibat rindu ditinggal kakek
berguru. Sejak itu kakek tak pernah mau punya istri lagi."
"Kenapa?"
"Memang dia lemah syahwat sih."
"Ooo... pantas!" Pandu Puber cengar-cengir saja.
"Ada kemungkinan kakek khawatir kalau nyawaku akan terancam oleh Ratu Cadar
Jenazah." "Apakah kau murid tunggalnya kakekmu?"
"Kakek tak pernah punya murid. Tapi dia pernah ajarkan sebagian ilmunya padaku.
Sebagian kecil saja. Kata kakek, kalau semua ilmunya diajarkan kepada cucucucunya, bisa-bisa para cucu menjadi orang sesat, sebab ilmu yang dimiliki kakek
adalah ilmu yang perlu disaring dulu
penggunaannya. Makanya aku cuma diberi sedikit dari sejumlah ilmunya yang juga
sedikit itu."
"Dan kau tahu di mana kitab itu disimpan kakekmu?"
Ken Warok diam sebentar, kemudian menjawab dengan agak gugup. "Aku nggak tahu di
mana kitab itu disimpannya."
"Jangan bohong! Kau pasti tahu,"
kata Pandu sambil tersenyum. "Kau pasti punya niat mau pelajari sendiri kitab
itu, kan?"
"Ah... siapa bilang?" Ken Warok bersungut-sungut.
"Iya aja. Ngaku deh, ngaku...," go-da Pandu Puber, mendesak secara halus.
"Ah nggak kok!" Ken Warok ngotot.
Walau usianya lebih tua dari Pandu, tapi sikapnya kadang seperti berusia lebih
mu-da dari Pandu. Si Pendekar Romantis tetap sabar menghadapi kebohongan itu.
"Kata kakekmu, hanya kau yang tahu tempat ia menyimpan Kitab Panca Longok itu?"
"Aaah... kakek bohong! Hobinya memang ngebohongin anak muda. Ternyata sampai mau
masuk liang kubur aja masih bisa berbohong padamu."
"Bukan begitu," kata Pandu kalem sambil mengusap-usap punggung Ken Warok.
"Soalnya kakekmu bilang padaku supaya aku menyarankan padamu selain bersembunyi
da- ri incaran Ratu Cadar Jenazah, aku juga disuruh membimbingmu untuk pelajari ilmu
'Lima Setan Bingung' itu. Kau harus secepatnya pelajari isi kitab tersebut
sebelum orang lain merampas dan mempelaja-rinya."
"O, gitu ya?" Ken Warok tampak berseri. "Tapi, kau sendiri bagaimana" Apakah kau
menyanggupi permintaannya?"
"Ya, kusanggupi untuk membimbingmu kalau memang kau mau pelajari ilmu itu."
Senyum si pemuda kurus itu kian
mengembang. Ia tahu siapa Pandu Puber. Ia pernah dengar cerita tentang kehebatan
Pendekar Romantis, sebab itulah ia bangga dan gembira sekali jika Pandu Puber
mau membimbingnya dalam mempelajari ilmu dalam Kitab Panca Longok itu. Bisa
bertemu muka dengan Pendekar Romantis saja sudah merupakan kebanggaan tersendiri
bagi Ken Warok, apalagi bisa dibimbing oleh sang pendekar, rasa girangnya
melebihi dilamar bidadari.
"Kalau begitu, sebaiknya sekarang kita ambil saja kitab itu, Pandu."
"Lho, katanya kamu nggak tahu tempat penyimpanan kitab itu?"
Ken Warok cengar-cengir dan garuk-garuk kepala. "Sebenarnya sih... tahu.
Cuma, yaah... seperti apa katamu tadi, aku memang ingin pelajari isi kitab itu
biar menjadi orang sakti."
Pandu Puber geleng-geleng kepala
sambil tersenyum. Hatinya membatin, "Dasar penyu got! Akal bulusmu nggak akan
bisa mengalahkan akal bulusku deh. Sebaiknya kubiarkan dulu dia mengambil kitab
itu, setelah kitab ada di tangannya baru akan kubujuk agar ia mau hancurkan
kitab itu demi menjaga kedamaian di bumi.
Rasa-rasanya memang lebih baik kitab itu dihancurkan daripada dipelajari
olehnya, nanti dia jadi orang terjahat di dunia!"
Ternyata Kitab Panca Longok tidak disembunyikan di dalam rumah. Mungkin takut
kalau dibaca para cucunya, Ki Mangut Pedas sembunyikan kitab itu jauh dari
rumah. Pandu Puber diajak pergi ke sebuah bukit oleh Ken Warok.
"Kakek pernah ceritakan tempat penyimpanan itu, dan aku pernah ke sana ta-pi
nggak ngapa-ngapain. Soalnya kakek masih hidup sih," katanya sambil melangkah
menuju kaki bukit.
"Jadi kitab itu disembunyikan di puncak bukit?"
"Ya, sebab di puncak bukit itulah terdapat gua tempat kakekku dulu bertapa.
Namanya gua Panas Dingin."
Pandu tertawa pendek. "Gua kok namanya panas-dingin" Gua penyakitan itu sih!"
"Kata kakek, kalau kita berada di dalam gua itu udaranya bisa jadi panas
dan bisa jadi dingin, tergantung kata batin kita. Kalau kita membatin; 'wah, kok
gua ini panas, ya"', maka udara di dalam gua akan semakin panas. Kalau batin
kita bilang 'dingin', ya dingin."
"Kau pernah masuk ke dalamnya?"
"Nggak berani. Kakek melarangku masuk ke gua itu. Tapi kalau melihat dari luar
saja, memang pernah."
"Kenapa kakekmu melarangmu masuk?"
"Katanya, gua itu penuh jebakan yang mematikan."
Pandu Puber berpikir, "Kalau begitu, dia tak boleh ikut masuk, nanti langkahnya
dapat membawa kematian baginya.
Biasanya gua seperti itu memang dipasangi jebakan cukup banyak dan maut datang
tidak diduga-duga. Berarti aku nanti harus pertajam kewaspadaan serta pertajam
ra-sa." Perjalanan menuju bukit memakan
waktu tak terlalu lama. Sedikit melelah-kan, tapi perjalanan tidak banyak
melalui semak belukar. Ketika mereka tiba di kaki bukit, Ken Warok minta
istirahat sebentar, karena ia perlu kumpulkan tenaga untuk mendaki. Mereka
beristirahat di tempat yang teduh, di bawah pohon besar yang bercabang dan
berdaun mirip payung raksa-sa.
"Setelah aku bisa kuasai isi kitab itu, aku akan balas dendam pada Ratu Cadar Jenazah," kata Ken Warok. "Akan kuo-brak-abrik istananya, kuratakan dengan
tanah, bahkan kalau perlu kutenggelamkan ke dasar bumi."
Mendengar sesumbar itu, Pendekar
Romantis hanya tersenyum saja. Tenang sekali sikapnya. Ia menggigit-gigit sebatang rumput yang belakangan ini menjadi acara kesukaannya jika sedang santai.
"Di mana istana Ratu Cadar Jenazah itu?"
"Di sana... di dekat pantai. Arah timur dari sini. Di sana ada bukit yang
terlihat jelas dari lautan, namanya Bukit Gulana. Di bukit itulah Ratu Cadar
Jenazah membangun istananya yang dikelilingi dengan benteng batu kokoh. Di sana
ia punya murid dan tidak melarang muridnya lakukan pembajakan atau perampokan
asal ada komisinya buat sang ratu."
"Jahat sekali dia, ya?"
"Huuh... bukan saja jahat, tapi ju-ga galak, angkuh, semena-mena dan pokoknya
memuakkan deh. Wajahnya sih cantik, bodinya juga oke punya, karena dia punya
ilmu pengawet kecantikan dan kemudaan.
Tapi tingkah lakunya kayak setan kurang sesajen. Makanya dia nggak laku kawin,
karena nggak ada lelaki yang betah beri-strikan dia. Biasanya nyawa lelaki itu
yang nggak betah dekat dengannya, lalu pergi ke akhirat."
"Dibunuh olehnya, begitu?"
"Iya! Kata kakek sih, Ratu Cadar Jenazah punya cita-cita ingin kuasai rimba
persilatan. Dia ingin diakui oleh dunia persilatan sebagai ratu rimba
persilatan. Jadi maunya semua tokoh rimba persilatan tunduk kepadanya dan patuh
kepadanya pula. Padahal kesaktiannya nggak seberapa."
"Ya, mungkin demi menunjang cita-citanya itulah maka ia ingin pelajari Kitab
Panca Longok tersebut."
Baru mau bicara, tiba-tiba tubuh
Ken Warok yang duduk itu ditendang kaki Pandu Puber.
Brruss...! Ken Warok terjengkang.
Hampir saja ia marah karena perbuatan Pandu. Tapi niat marahnya lenyap seketika
setelah melihat sebilah pisau menancap di pohon yang tadi dibuat sandaran
tubuhnya. Wuuttt...! Jrrubb...!
"Hahh..."!" Ken Warok terbelalak tegang. Matanya yang menjadi lebar bagai habis
operasi kelopak itu pandangi pisau tersebut.
Pisau itu kecil, ukurannya sejengkal, gagangnya dari besi dengan hiasan rumbairumbai benang merah. Mata pisaunya putih mengkilap dan runcing. Kalau nyolok
mata sakit. Apalagi nyolok jantung, pasti bocor.
Pandu Puber dan Ken Warok sama-sama
terperanjat lagi ketika melihat kulit pohon tersebut bergerak-gerak mengelupas
dalam keadaan mengering. Pasti disebabkan karena pisau itu beracun ganas. Ken
Pendekar Romantis 06 Kitab Panca Longok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Warok jadi merinding membayangkan nyawanya yang nyaris melayang tadi. Hatinya
membatin, "Kalau kulit pohon aja bisa jadi keriting begitu, apalagi kulitku. Pasti keriput
seperti jeruk purut."
Baru saja Pandu Puber mau cabut pisau itu, tiba-tiba Ken Warok berseru,
"Awaaass...!"
Pandu tidak menoleh ke belakang.
Tapi tangannya segera berkelebat ke belakang sendiri dan, jaab...! Sebilah pisau
yang dilemparkan ke arahnya tertangkap oleh tangan Pandu, terselip di sela jemarinya. Ken Warok menghempaskan napas lega melihat Pandu selamat, tapi hatinya
ter-bungkus perasaan takjub melihat kecepatan tangan Pandu menangkap pisau itu.
"Padahal dia nggak nengok segala lho, kok bisa langsung tangkap itu pisau, ya"
Jangan-jangan tengkuknya punya mata"
Coba lihat, ah...!" Ken Warok sengaja bergeser ke belakang Pandu dan
memperlihatkan tengkuk Pandu.
"Siapa pemilik pisau ini" Pasti ada yang ingin membunuh kita, Ken! Entah kau
atau aku yang ingin dibunuhnya."
"Semoga saja bukan aku," kata Ken Warok gemetar. Kedua lelaki muda itu sama-sama memandang ke arah semak-semak, tempat datangnya dua pisau terbang
tersebut. TIGA SETELAH Pendekar Romantis melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah semak-semak itu, sang semak-semak buyar
seketika. Sesosok tubuh melayang bersalto dari balik semak.
Wukk, wukk...! Jlegg! Kini ia berdiri di depan Pandu Puber dan Ken Warok.
Kemunculan itu membuat dua pemuda beda kwalitas tampang itu sama-sama terbengong
sesaat. Terkesima memandangi wajah ayu di depan mata mereka.
Wajah ayu itu milik seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun, matanya
bundar indah, bibirnya mungil, hidungnya kecil bangir, karena wajah itu memang
wajah mungil yang cantik sekali, enak dipandang mata. Beda dengan wajahnya Ken
Warok; enak dicolok matanya
Gadis cantik bertubuh seksi dengan bagian dadanya melenuk mirip mangkok bakso
itu, mengenakan pakaian serba biru.
Biru muda yang cerah. Kontras dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Gadis
itu mengenakan ikat pinggang yang punya
pisau cukup banyak. Hampir seluruh pinggangnya dilingkari dengan pisau, ada yang
besar ada yang sedang, ada yang kecil.
Andai tak cantik, ia mirip pedagang keliling door to door. Tetapi dengan rambut
disanggul kecil di bagian tengah, sisanya dibiarkan meriap sepanjang punggung.
Meski wajahnya tanpa senyum tapi
kecantikannya justru tampak menggemaskan bagi Pandu Puber. Sejak tadi yang
dipandangi bagian bibir si gadis dan permukaan mangkok baksonya itu. Maklum,
pendekar yang satu ini memang punya mata nakal dan otak sedikit seronok,
sehingga hobinya mengincar tempat-tempat yang mestinya tak boleh dipegang
sembarang orang. Jika sudah memandang ke arah sana, Pandu sering lupa daratan
dan lupa lautan. Malah kadang-kadang ia sering lupa berkedip.
"Biar kuhadapi dia. Lama-lama bisa kurang ajar kalau didiamkan terus," ujar Ken
Warok dengan lagak sok berani.
"Hmmm..., giliran tahu musuhnya cewek mau main seruduk aja!" gumam hati Pandu.
Ia biarkan Ken Warok mendekati gadis cantik itu.
"Nona cantik, apa maksudmu melempar pisau kepadaku, hah"! Apakah begitu cara-mu
kalau naksir seseorang"!"
Gadis itu masih diam saja. Matanya memandang makin tajam. Kedua tangannya
dicantolkan pada ikat pinggang, kedua kakinya sedikit merenggang, kelihatan tegar dan siap tarung. Mata itu sengaja
dituju-kan tajam-tajam ke arah Ken Warok. Makin lama makin membuat hati Ken
Warok ciut sendiri dan mulai salah tingkah antara ngeri dan berani, antara takut
dan ingin ikut. Sesekali ia melihat Pandu Puber, dan hatinya menjadi tenang saat
ia tahu Pandu masih di situ. Pandu sendiri sengaja diam, memberi kesempatan pada
Ken Warok sambil pelajari sikap si gadis cantik itu.
Ken Warok yang salah tingkah itu
akhirnya berkata lagi, "Nona cantik, apakah kau tuli sehingga tak bisa mendengar
pertanyaanku tadi?"
Gadis itu tetap diam, merapatkan
kedua bibirnya yang menggemaskan Pandu sejak tadi. Matanya sesekali melirik ke
arah Pendekar Romantis. Hanya sekilas-sekilas saja tapi membuat sang pendekar
tampan berdebar-debar indah.
Ken Warok berkata lagi kepada gadis itu, "Apa maksudmu datang kemari dengan
lempar-lempar pisau, hah" Kayak anak kecil aja! Apa nggak punya mainan lain"!
Lain kali nggak boleh begitu, ya?" Ken Warok berlagak seperti guru yang ngomelin
muridnya karena nggak kerjakan 'PR'. Tapi gadis itu justru berkata dengan nada
ketus yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan Ken Warok tadi.
"Siapa di antara kalian berdua yang bernama Ken Warok"!"
Ken Warok bertanya pada Pendekar
Romantis, "Siapa nih enaknya" Kau atau aku yang bernama Ken Warok?"
Senyum di bibir sang pendekar ganteng tipis saja, namun sempat bikin mata si
gadis cepat-cepat di lemparkan ke wajah Ken Warok. Lalu terdengar suara Pandu
berkata kepada Ken Warok,
"Jujur sajalah. Nggak perlu pura-pura, nanti dia malah lebih galak lagi."
"Makin galak makin cantik lho. Sum-pah kempot deh!"
"Jawab pertanyaanku!" bentak gadis itu. Ken Warok tersentak hampir lompat di
tempat. Ia jadi makin malu, kemudian nyengir sambil garuk-garuk kepala. Pandu
tertawa pula sambil tetap gigit-gigit rumput.
"Akulah orang yang kau cari. Aku yang bernama Ken Warok!"
"Bohong!" sentak gadis itu lagi.
"Pasti dia, yang pakai anting-anting satu itu!" sambil menuding Pandu. Tentu
saja Pandu makin geli dalam tawanya yang tanpa suara itu. Ken Warok memandang
Pandu dengan bingung, lalu memandang gadis itu la-gi dengan dahi berkerut dan
sedikit ngotot,
"Hei, Nona... yang namanya Ken Warok itu ya aku ini!" katanya sambil menepuk dada. "Mana pantas wajah sepertimu jadi kunci rahasia Kitab Panca Longok"! KI Mangut
Pedas nggak akan sudi punya murid bego kayak kamu!"
"Yeee... nggak percaya nih anak"!"
gumam Ken Warok dengan meringis kecut.
Gadis itu melangkah dekati Pandu
Puber dan berhenti dalam jarak empat langkah di depan si ganteng berbaju ungu
itu. Lalu suaranya yang ketus terdengar bernada sok tegas,
"Mengakulah, pasti kau si murid Mangut Pedas itu, kan"!"
"Bukan aku yang bernama Ken Warok, melainkan dia!"
"Bohong besar kau! Kiramu aku ini anak kecil yang mudah ditipu?"
Ken Warok menyahut kata, "Nona...
hei, aku inilah yang bernama Ken Warok dan tahu seluk-beluk tentang kitab
tersebut!"
"Diam kau!" bentak gadis itu. Berani sekali ia menuding Ken Warok dengan mata
mendelik lincah dan bikin betah begitu. Agaknya dia benar-benar tidak pedu-li
lagi dengan keberadaan Ken Warok di situ. Langsung saja ia bergerak lebih dekat
pada Pandu Puber dan dalam jarak satu langkah ia berkata tegas,
"Bicaralah! Jangan hanya bengong saja kayak monyet ompong! Katakan di mana
kitab itu, hah"!"
Dengan tenang dan iringan senyum
menawan, Pandu Puber justru balik bertanya, "Siapa kau sebenarnya, Nona" Mengapa
kau sekeras itu menganggapku sebagai Ken Warok?"
"Jangan berlagak pilon!" bentaknya dengan wajah semakin ketus. "Katakan sa-ja,
di mana kitab itu disimpan oleh kakekmu! Kau pasti tahu, Ken Warok!"
Ken Warok geleng-geleng kepala antara jengkel dan geli. Ia dekati gadis itu dari
belakang dan ia colek punggungnya, tapi niat tersebut terpaksa gagal karena
tiba-tiba kaki gadis itu menendang ke belakang tanpa memandang yang ditendang.
Wuut...! Buhgg...!
"Heggh...." Ken Warok mendelik, tubuhnya mental sejauh empat langkah ke belakang
dan jatuh terkapar dalam keadaan seperti dibanting. Bhaggh...!
Ken Warok diam seketika. Matanya
berkedip-kedip memandang langit. Mulutnya hanya bisa terbuka, tapi suaranya tak
mampu keluar karena napasnya bagaikan tersumbat di tenggorokan dan hidung. Pandu
Puber kian tersenyum geli melihat Ken Warok terkapar begitu. Si gadis sendiri
tidak memandang Ken Warok sedikit pun.
Seakan begitu cueknya dengan hasil ten-dangannya tadi. Yang dipandangi adalah
Pandu dan pandangan itu tak mau bergeser
sedikit pun. Tajam, tapi juga menyimpan tendensi tertentu.
Akhirnya pendekar tampan kembali
pandangi wajah di depannya yang amat dekat sekali itu. Hanya satu ayunan maju
saja bibir bisa langsung nyosor bibir si gadis. Tapi Pandu punya perhitungan,
jika saat itu ia langsung menyosorkan diri ke bibir si gadis, maka tangan si
gadis dapat bergerak menghantamnya dengan cepat.
Karena Pandu tahu, gadis itu punya kecepatan gerak cukup tinggi. Terlihat saat
ia menendang Ken Warok, gerakan kakinya nyaris tak terlihat menendang ke dada
Ken Warok. "Baru sekarang aku melihat kecantikan yang sempurna. Ck, ck, ck...!" Pandu
berdecak sambil geleng-geleng kepala. Gadis itu merasa tersanjung, tapi berlagak
tak suka sanjungan itu. Ia mencibir sinis, membuang pandangan ke arah lain.
Sementara itu Ken Warok bergegas bangkit perlahan-lahan sambil menyeringai,
merasakan sisa sakit yang masih tertinggal di dada.
Pandu sengaja pandangi gadis itu
dengan sorot pandangan mata yang lembut, tutur katanya pun terdengar pelan dan
penuh kelembutan, "Kurasa kau orangnya Ratu Cadar Jenazah, Kuakui sang Ratu
cukup pandai memilih utusan secantik kau, Nona.
Pria mana yang tak akan luluh hatinya melihat kecantikanmu" Sekalipun sebenarnya hatiku sudah kutahan untuk tidak
menyerah padamu, nyatanya aku tak bisa menahan ke-kerasan hatiku demi melihat
kecantikanmu dari jarak sedekat ini."
"Aku bukan orangnya Ratu Cadar Jenazah!" ketus gadis itu.
"Ah, kau sembunyikan identitasmu, Nona. Tak perlu berbohong, nanti nilai
kecantikanmu berkurang."
"Aku nggak bohong! Aku memang bukan orangnya Ratu Cadar Jenazah. Aku utusan dari
Lembah Nirwana. Namaku.... Belati Binal."
Pandu tertawa seperti orang menggumam. Ia melangkah tinggalkan gadis itu, namun
hanya tiga langkah segera berhenti dan berbalik lagi, memandang penuh pesona,
membuat sang gadis menjadi gundah.
"Akhirnya kau mengaku juga siapa dirimu," kata Pandu pelan bagaikan menge-jek.
Belati Binal kian mengetuskan mulutnya pertanda dongkol terhadap pancingan Pandu
tadi. Ia bergegas maju dengan menampakkan kegalakannya yang dipaksakan, lalu
menghardik dengan suara geram,
"Jangan mempermainkan diriku, Ken Warok!"
Pandu sempat berpikir, "Jangan-jangan dia bidadari Dian Ayu Dayen, calon istriku
itu" Ah, benarkah dia jelmaan Di-an Ayu Dayen" Aku kok jadi curiga?"
Dian Ayu Dayen adalah bidadari penguasa kecantikan yang selalu membayang-bayangi
Pandu Puber. Anak Dewa Batara Ka-ma itu memang ditugaskan oleh sang Ayah untuk
menundukkan Dian Ayu Dayen dan men-gawininya. Karena jika Pandu Puber menga-wini
Pandu, sang bidadari penguasa kecantikan itu, maka ia akan hidup di kayangan di
antara para dewa dan berhak menggunakan namanya sebagai Dewa Indo. Tapi jika
Pandu kawin dengan perempuan lain, maka ia tak akan bisa naik ke kayangan dan ia
akan menjadi manusia biasa, tanpa gelar kebangsaan sebagai Dewa Indo.
Dalam perjalanannya mencari sang
calon istri, Pandu Puber selalu dibayang-bayangi Dian Ayu Dayen yang dapat
menjel-ma sebagai perempuan dengan seribu macam kecantikan. Dian Ayu Dayen
mempunyai se-tangkai bunga mawar yang terselip di ce-lah gumpalan dadanya. Tugas
Pandu Puber adalah mencabut bunga mawar itu sebagai tanda ditundukkannya
kekuatan sang bidadari tersebut. Namun Pandu selalu saja tak berhasil menjebak
penyamaran Dian Ayu Dayen, (Cerita soal bidadari itu nongol-nya di serial
Pendekar Romantis dalam kisah: "Hancurnya Samurai Cabul" - intip deh sana!).
Karena itu tak heran jika Pandu Puber mempunyai kecurigaan bahwa Belati Binal
adalah jelmaan Dian Ayu Dayen. Pandu
ingat kata-kata Dian Ayu Dayen kala men-janjikan sebentuk keindahan yang kirakira bunyinya begini:
"Kecantikanku ada di antara wajah-wajah di sekelilingmu. Kecup keningku dan aku
akan berubah menjadi wujud asliku.
Jika kau dapat cabut bunga mawar yang tumbuh di dadaku ini, maka kau akan kurenggut dalam pelukanku selama-lamanya."
Kira-kira begitu bunyi janji sang bidadari yang cantiknya "wow' sekali itu,
(Coba aja baca serial Pendekar Romantis epi-sode: "Skandal Hantu Putih" - nggak
dosa) Pandu sadar dari renungannya setelah ia melihat tubuh Ken Warok berkelebat
di depan hidungnya.
Wuuut...! Orang kurus itu jatuh
terbanting lagi. Bruhgg...! Wajahnya menyeringai sambil memandang Pandu yang
terbengong kaget.
"Kenapa lagi kau" Ayan"!"
"Ayan gundulmu! Aku dibanting dia lagi hanya karena ngajak senyum!"
Geli juga hati Pandu melihat geru-tuan Ken Warok. Ia pandangi si Belati Binal,
ternyata gadis itu tak punya senyum sedikit pun. Alangkah kakunya itu bibir"
Tak bisakah, untuk nyengir sedikit saja"
Pikir Pandu. "Kalau temanmu itu masih kurang ajar lagi padaku, kubanting nyawanya biar keluar
dari raga!" ancam Belati Binal.
"Kau tak akan berani" ujar Pandu kalem, sengaja berkesan meremehkan.
"Siapa bilang nggak berani hah"
Siapa bilang"!" Belati Binal sewot dan segera hampiri Ken Warok. Tapi langkahnya
terhenti setelah Ken Warok lari ke belakang Pandu, punggung Pandu ditaboknya.
"Jangan ngomong gitu, Goblok! Dia bisa benar-benar membunuhku!"
Pandu hanya tertawa geli. Tawanya surut karena si gadis buka mulut,
"Ken Warok, aku tak punya waktu la-gi untuk bertenggang rasa padamu. Kuhitung
sampai tiga kali kalau kau tak mau tunjukkan di mana kitab itu disimpan oleh
kakekmu, aku terpaksa mengirimu ke nera-ka!"
"Hei, sudah kubilang, namaku bukan Ken Warok!" kata Pandu agak ngotot.
"Hmmm...! Aku tak mungkin salah.
Saudara sepupumu tadi memberitahukan bahwa kau pergi ke arah sini bersama tamu
istimewamu!"
"Siapa yang kasih unjuk aku kemari"
Jaitun"! Kurang ajar dia. Dibilangin jangan ngomong sama siapa-siapa kok malah
ngomong sama kuntilanak ini tuh anak"
Awas nanti kalau aku pulang!" Ken Warok mencak-mencak.
"Kalau tak kupaksa dengan pukulan
'Racun Kejujuran', tak mungkin ia mau mengaku!" ucapnya sinis. Lalu katanya lagi sambil menatap Pandu dalam-dalam,
"Apakah kau mau kupukul dengan 'Racun Kejujuran'-ku ini?"
"Silakan!" tantang Pandu Puber Baru saja mulut Pandu berhenti berkata begitu,
tiba-tiba pukulan 'Racun Kejujuran' yang berupa seberkas sinar hijau mirip anak
panah kecil itu melesat dari ujung jari tengah Belati Binal.
Clapp...! Wuut...! Duarrr...!
Rupanya Pendekar Romantis sudah
siap juga dengan jurus penangkisnya. Jurus 'Salam Sayang' dipergunakan oleh
Pandu sebagai penangkisnya, yaitu dua kali sentakan tangan bergelombang tenaga
dalam tinggi menghantam ke arah Belati Binal.
Gelombang tenaga dalam dari tangan kiri menghantam sinar hijau dan meledak
seketika, gelombang tenaga dalam dari tangan kanan kenai bagian bawah pundak
kanannya Belati Binal. Sentakan gelombang itu membuat tubuh Belati Binal
terhempas mundur tiga tindak. Limbung sesaat, hampir saja jatuh kalau tak segera
berpegangan batang pohon.
Belati Binal tarik napas. "Sakit juga dada kananku, Setan! Rupanya dia punya
ilmu yang boleh diperhitungkan. Gerakan begitu saja dapat menghancurkan pukulan
'Racun Kejujuran'ku. Apakah aku harus gunakan jurus yang lebih tinggi lagi"
Nanti kalau dia mati bagaimana?" pikir-nya.
"Racun apa lagi yang kau punya" Kalau belum puas dan belum percaya bahwa aku
bukan Ken Warok, keluarkanlah jurus racunmu lagi," kata Pendekar Romantis dengan
agak jengkel. "Ayo, keluarkan lagi racunmu, aku siap mati di tangan gadis secantik kau, Belati
Binal. Aku bangga mati di pelukan-mu!"
Belati Binal diam. Matanya memandang tajam sekali. Ken Warok cemas, takut kalau Pandu terluka, maka ia segera
lepaskan pukulan jarak jauh berupa gelombang dingin.
Pendekar Romantis 06 Kitab Panca Longok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wusss...! Clapp...! Sinar kuning berbentuk bundar seperti kelereng lebih dulu menghantam dada Ken Warok, menerobos pukulan hawa
dingin tersebut. Dess...! Ken Warok jatuh terku-lai, tulangnya bagaikan dipresto
seperti bandeng. Lunak semua. Napasnya masih ada dan terengah-engah dalam posisi
bersandar di kaki pohon.
"Pandu... Pandu... kenapa aku jadi begini"!"
"Bangkit, Tolol!"
"Tak... tak bisa. Tulangku... oh, tulangku di mana, Pandu"!"
Pandu Puber segera pandangi Belati
Binal dengan serius. Kelembutan sorot pandangnya berubah tajam bagaikan mata
tombak. Suaranya pun terdengar lebih ber-wibawa dari yang tadi.
"Kau keterlaluan, Belati Binal! Kau telah bikin sahabat baruku jadi menderita
begitu! Kau harus merasakan penderitaan yang sama!"
Keseriusan Pandu Puber membuat hati Belati Binal berfirasat lain. "Tunggu dulu," katanya sambil mendekat. "Kudengar orang itu memanggilmu Pandu. Apakah...
apakah..."
"Aku yang bernama Pandu Puber, bukan Ken Warok!"
"Ooh..."!" Belati Binal tercengang, wajahnya menggambarkan rasa sesal dan
sedikit gentar. Ia pandangi dada Pandu yang bertato bunga mawar itu, lalu
hatinya membatin,
"Astaga..., kenapa baru sekarang kuingat cerita orang-orang itu tentang ciriciri Pendekar Romantis yang bernama Pandu Puber ini"! Ya, ampun... kalau begitu
aku tadi benar-benar tolol! Pantas serangannya sederhana tapi membahayakan.
Pantas wajahnya begitu menawan hatiku.
Pantas... ah, pokoknya apa saja pantas deh! Aduh, bagaimana sikapku berikutnya,
ya" Aku jadi salting nih!"
Saat mereka beradu pandang dan saling bungkam, tiba-tiba sekelebat bayangan
terlihat melintas di sekitar situ.
Wuuttt...! Mereka sama-sama kaget, dan lebih kaget lagi melihat Ken Warok hilang
dari tempatnya.
"Celaka!" geram Pandu Puber.
"Seseorang telah menyambar temanmu itu! Kulihat ia bergerak ke lereng bukit!"
kata Belati Binal.
Pandu Puber berseru memanggil, "Ken Warok...! Keeen...! Waroook...! Jawab seruanku!" Tak ada suara apa pun kecuali suara Belati Binal yang tampak resah dan tegang,
"Bayangan itu bergerak cepat. Pasti dia sudah membawa temanmu ke tempat yang
jauh!" "Aku harus mengejarnya!"
"Aku ikut...!" seru Belati Binal sambil berkelebat cepat, hampir menyamai
gerakan Pandu yang pergunakan jurus
'Angin Jantan' itu.
EMPAT MEREKA kehilangan jejak. Gadis yang mengaku utusan dari Lembah Nirwana itu
sengaja hentikan langkahnya. Tangannya menyambar lengan Pandu membuat si
Pendekar Romantis jadi hentikan langkah pula.
"Kita salah arah. Aku yakin orang
itu tidak lari ke arah sini!"
"Dari mana kau tahu?"
"Bau keringat Ken Warok tidak kute-mukan di daerah ini."
"Bau keringat..."!" Pendekar Romantis heran dan sedikit geli.
"Penciumanku mudah mengenali bau keringat tiap orang, dan aku bisa hafal bau
keringat satu persatu dari orang yang pernah kutemui."
"Hebat!" gumam Pandu kagum. "Ilmu apa yang kau gunakan itu?"
"Ini bukan ilmu, tapi suatu kelebi-han yang sudah ada padaku sejak lahir.
Bahkan aku masih ingat bau keringat dukun beranak yang menolong kelahiranku
dulu!" "Ck, ck, ck, ck...," Pandu geleng-geleng kepala. "Benar-benar kau seorang gadis
pelacak yang cantik!"
"Kau pikir aku anjing" Pakai isti-lah pelacak segala! Kalau anjing pelacak
memang ada, tapi kalau gadis pelacak...."
"Kaulah orangnya!" sahut Pandu dengan senyum tipis menawan. Tapi Belati Binal
tak membalas senyuman sedikit pun.
Mesem sedikit pun tidak, sampai-sampai Pandu penasaran ingin melihat seperti apa
si mungil yang cantik jelita itu jika tersenyum"
Belati Binal berdiri di bawah pohon, tangan kirinya bersandar di batang pohon itu, tangan kanannya bertolak
ping- gang, matanya memandang sekeliling. Waktu itu Pandu Puber sedikit memunggungi
Belati Binal untuk menyapu sekeliling dengan penglihatannya yang jeli. Kejap
kemudian Pandu Puber berpaling memandang Belati Binal, tepat waktu gadis itu
pandangi Pandu secara curi-curi. Gadis itu pun sempat menggeragap dan salah
tingkah dalam membuang pandangan, namun ia berusaha agar tetap kelihatan serius
dan seakan berpikir tentang Ken Warok yang hilang itu.
"Kurasa orangnya Ratu Cadar Jenazah yang bawa lari Ken Warok," ujar si gadis
yang bajunya berbelahan dada agak lebar, sehingga sisi atas belahan dada itu
terlihat mengintip nakal dan menggemaskan Pandu Puber.
"Bagaimana kau bisa yakin kalau Ken Warok dibawa lari oleh orangnya Ratu Cadar
Jenazah?" "Karena tak ada pihak lain yang inginkan kitab itu kecuali pihakku dan pihak
Ratu Cadar Jenazah."
Gumam lirih Pandu terdengar di sela anggukan kepala. Sesaat kemudian ia mencabut
sehelai rumput berbatang kecil, sebelum digigit-gigit ia berkata kepada Belati
Binal, "Apakah kau tahu persis tentang Ra-tu Cadar Jenazah?"
"Sangat tahu, karena dia adalah
adik tiri guruku; Nyai Cemara Langit."
"Ooo...," Pandu manggut-manggut la-gi. "Apakah dulunya Nyai Cemara Langit satu
perguruan juga dengan Ratu Cadar Jenazah dan Ki Mangut Pedas?"
"Tidak. Tapi guruku tahu bahwa Ratu Cadar Jenazah mengincar Kitab Panca Longok
milik Ki Mangut Pedas. Hal itu sudah diketahui lama oleh Guru, karena sebelum
peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu, Ratu Cadar Jenazah pernah
terlepas bicara dengan Guru soal kitab yang diin-carnya itu. Begitu mendengar Ki
Mangut Pedas wafat, Guru segera menugaskan diriku untuk selamatkan kitab itu
agar jangan sampai jatuh di tangan Ratu Cadar Jenazah."
Dahi si tampan beranting-anting sa-tu itu mulai berkerut. Jaraknya dengan Belati
Binal diperdekat lagi. Suaranya cukup pelan, tapi jelas didengar telinga si
cantik yang tak budek itu.
"Dari mana gurumu dapat kabar tentang kematian Ki Mangut Pedas" Karena akulah
orang yang menguburkan jenazah Ki Mangut Pedas! Beliau ditemukan terkapar
sendirian dalam keadaan sekarat. Masa'
gurumu bisa tahu kalau Ki Mangut Pedas tewas" Padahal aku belum bicara kepada
siapa pun sebelum aku tiba di desanya Ken Warok."
Gadis tanpa senyum itu bicara bernada ketus, tapi sebenarnya serius, "Se-habis Tengkorak Tobat yang bertarung
dengan Ki Mangut Pedas berhasil melukai lawannya, ia lari dalam keadaan luka
beracun. Ia bertemu dengan Guru yang saat itu sedang pulang dari lawatannya ke
Pulau Kelambu. Tengkorak Tobat sujud di depan Guru dan mohon pertolongan atas
luka ra-cunnya, karena menurut perkiraan Tengkorak Tobat, racun itu akan
merenggut nyawanya sebelum ia sampai di Bukit Gulana.
Tengkorak Tobat berjanji akan damaikan pertikaian lama antara Guru dengan adik
tirinya itu. Guru pun obati Tengkorak Tobat, lalu ia ceritakan sendiri bagaimana
pertarungannya dengan Ki Mangut Pedas yang berhasil dilukai dengan golok beracunnya. Golok beracun itu tidak akan bisa disembuhkan oleh obat apa pun, karena
ob-atnya hanya dimiliki oleh Tengkorak Tobat sendiri."
Entah yang keberapa kali Pandu Puber manggut-manggut, antusias sekali dengan
cerita yang dituturkan si gadis mungil menggemaskan itu. Lalu, Pandu pun
bertanya lagi dengan mata melirik kembali ke arah belahan dada si gadis yang
syuuur itu, "Persoalan apa yang terjadi antara pihak gurumu dengan pihaknya Ratu Cadar
Jenazah" Apakah aku boleh mengetahuinya?"
Belati Binal menengok Pandu sebentar, lalu wajah dan matanya menghadap ke arah lain seperti semula. Agaknya dalam
pertimbangan benak si gadis, tak ada je-leknya jika ia ceritakan masalah yang
mengakibatkan bentrokan antara pihaknya dengan pihak Ratu Cadar Jenazah.
"Sebetulnya masalah pribadi, tapi akhirnya menjadi masalah antar golongan."
Belati Binal menarik napas sebentar, posisi duduknya berubah dengan menyandarkan
punggung ke batang pohon dan kedua tangannya bersidekap di dada. Matanya masih
memandang arah lain, raut wajahnya tanpa senyum sedikit pun, berkesan cemberut
terus. "Ratu Cadar Jenazah membunuh ayah tirinya, karena sang ayah tiri tidak mau
turunkan sebuah ilmu andalan yang amat diidam-idamkan Ratu Cadar Jenazah.
Padahal ayah tirinya itu adalah ayah kandung-nya Nyai Cemara Langit. Tentu saja
Guru marah besar dan menantang Ratu Cadar Jenazah. Hampir saja Ratu Cadar
Jenazah tewas di tangan Guru. Untung ia diselamatkan oleh Tengkorak Tobat dan
dibawa lari. Sejak itulah Tengkorak Tobat menjadi orang kepercayaan Ratu Cadar
Jenazah. Tapi agaknya sang Ratu masih memendam dendam yang suatu saat. akan dilampiaskan
kepada Guru. Satu-satunya ilmu yang dita-kuti oleh Guru adalah ilmu dari Kitab
Panca Longok. Maka ketika Guru mendengar
Ki Mangut Pedas tewas di tangan Tengkorak Tobat, Guru menjadi khawatir kalau
Kitab Panca Longok berhasil dikuasai oleh Ratu Cadar Jenazah. Maka aku diutus
untuk temui Ken Warok, mendesaknya untuk bisa dapatkan kitab tersebut sebelum
sang Ratu mendahuluinya."
"Lalu, apakah Nyai Cemara Langit yakin bahwa permasalahannya dengan Ratu Cadar
Jenazah bisa didamaikan oleh si Tengkorak Tobat?"
"Guru hanya menolong orang yang sedang terdesak dan terancam bahaya, tanpa
mengharapkan apa-apa dari si Tengkorak Tobat. Pada dasarnya, Guru mengikuti saja
apa maunya si Ratu Cadar Jenazah. Berda-mai mau, meneruskan pertarungan juga
mau!" "Sikap yang baik itu," puji Pandu dalam gumam kecil. "Menurut rencana gurumu,
apa yang akan dilakukan jika Kitab Panca Longok ada di tangannya" Dipelajari
sendiri atau dihancurkan, atau malah di-gadaikan ke orang lain?"
Gadis pelacak itu diam saja. Entah apa yang dipikirkan. Tapi wajahnya tidak
kelihatan seperti sedang memikir sesuatu.
Ia mirip orang sedang melamun. Sebentar kemudian mirip orang mencium bau nasi
hangus. Hidungnya mengendus-endus. Matanya melirik Pandu sebentar, lalu
memandang lurus ke depan bagaikan sedang menerawang. Pendekar Romantis memendam keheranan. Mengapa gadis cantik itu kini diam saja"
Apakah karena pertanyaan Pandu me-nyinggung perasaannya atau merupakan
pertanyaan yang sangat pribadi" Menurut Pandu sendiri, pertanyaannya tidak
terlalu pribadi. Cuma, mungkin gadis pelacak itu mempertimbangkan : apakah perlu
memberi jawaban jujur atau jawaban palsu" Pandu Puber mencoba untuk bersabar
menunggu, tapi lama-lama nggak sabar juga. Mau tak mau Pandu menanyakan hal itu.
"Kenapa diam saja?"
"Aku mencium bau keringat orang lain; bukan bau keringat kita berdua."
Jawaban pelan itu mengerutkan dahi Pandu kian tajam.
"Maksudmu bagaimana?"
"Ada orang sedang mencuri percakapan kita."
Pandu mulai melirik ke sana-sini
sambil berbisik, "Di mana orang itu?"
"Di arah belakangku!" jawab Belati Binal yang tiba-tiba berbalik arah secara
cepat dan melepaskan pukulan bersinar merah dari telapak tangan kanannya yang
disentakkan ke depan.
Wuuutt...! Blaarr...!
Semburan sinar merah terang berpendar menyebar dari semak-semak yang dihantamnya, bersamaan dengan itu meledaklah
tempat tersebut bagai dipasangi granat.
Dari ledakan tersebut melesat sesosok tubuh berkelebat dan berjungkir balik di
udara dua kali.
Wuuk... wuukk...!
Sepasang kaki mendarat di depan
Pandu Puber dan Belati Binal. Sepasang, kaki itu sedikit merenggang, bercelana
putih dengan bajunya yang putih pula, ta-pi dirangkapi baju jubah lengan panjang
warna abu-abu. Orang itu adalah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan, rambutnya tidak terlalu panjang tapi diikat memakai kain hitam. Di
pinggangnya yang bersabuk hitam terselip sebilah golok bergagang hitam pula.
Lelaki berwajah sangar dengan badan besar dan agak tinggi itu memancarkan sinar
matanya ke arah Belati Binal, karena gadis itulah yang menyapa kemunculannya
lebih dulu. Sedangkan Pandu Puber masih tampak kalem, berdiri dalam jarak satu
langkah di samping kanan si gadis pelacak itu.
"Dupa Dulang, apa maksudmu cari perkara di depanku, hah"!"
Orang berkumis lebat itu menjawab,
"Aku tak bermaksud cari perkara denganmu, Belati Binal. Tapi kau sendiri yang
cari masalah dengan cara menyerangku secara tiba-tiba!"
"Kalau kau tak mencuri dengar percakapanku, aku tak akan menyerangmu, Dupa Dulang!"
Dupa Dulang diam tak membalas ucapan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Pandu
untuk bertanya kepada Belati Binal dalam suara berbisik,
"Siapa orang itu?"
"Namanya Dupa Dulang, orang Perguruan Tanduk Singa. Gurunya yang bernama Dalang
Setan adalah orang yang sedang berusaha menundukkan hati Ratu Cadar Jenazah.
Tentunya dia ada di pihak Ratu Cadar Jenazah untuk mengambil perhatian perempuan
tersebut."
"O, jadi Ratu Cadar Jenazah dapat bantuan dari Dalang Setan?"
"Benar. Apakah kau ciut nyali?"
Pandu Puber tidak menjawab selain tersenyum kalem, masih menggigit-gigit rumput.
Ia sempat berbisik,
"Apakah kau merasa sanggup hadapi dia?"
"Kenapa tidak"! Mundurlah, biar ku-selesaikan urusan ini dengannya!"
Pendekar Romantis bukan pendekar
yang gila bertarung. Ia selalu memberi kesempatan kepada pihak lain untuk
lakukan pertarungan semasa pihak lain itu merasa sanggup selesaikan urusannya.
Jika memang sudah tidak sanggup, Pandu Puber biasanya tampil tanpa diminta oleh
yang bersangkutan. Itulah sebabnya Pandu Puber
mundur agak jauh dari gadis pelacak itu, dan menunggu bagaimana hasil kerja si
gadis pelacak tersebut.
"Dupa Dulang, sebenarnya apa maksudmu mencuri percakapanku tadi" Jawab saja
dengan jujur!"
Dupa Dulang tarik napas dengan mata masih tampak sangar dan sesekali melirik ke
arah Pandu Puber. Tak lama kemudian terdengar suaranya yang besar itu.
"Aku hanya sekadar lewat saja. Tak bermaksud membayangimu, Belati Binal."
"Kalau memang kau hanya sekadar lewat dan kebetulan saja telah mojok di balik
semak tadi, sekarang kuizinkan kau meneruskan perjalananmu!"
"Lalu bagaimana dengan Kitab Panca Longok itu?"
Pandu dan Belati Binal sempat saling pandang sejenak. Belati Binal akhirnya
berkata, "Aku tak akan lanjutkan perjalanan sebelum temukan seorang anak muda yang
bernama Ken Warok!"
"Untuk apa kau mencari Ken Warok?"
"Tanyakan pada guruku sendiri; Si Dalang Setan. Yang jelas salah satu tugas
perjalananku adalah mencari tahu di mana Kitab Panca Longok berada."
"Apakah gurumu juga inginkan kitab itu?"
"Ya. Sebagai mas kawin untuk melamar Ratu Cadar Jenazah."
"Kalau begitu, akulah penghalangmu dan kau adalah penghalangku, Dupa Dulang!"
kata Belati Binal dengan tegas sekali.
Pandu sendiri memujinya dalam hati, menilai Belati Binal gadis yang tak punya
rasa takut kepada lawan seperti apa pun.
Kalah-menang ia akan lakukan dulu pertarungan tersebut. Jadi tak pernah memikirkan hasil akhir dari pertarungannya nanti.
"Aku punya gagasan baru," pikir Pendekar Romantis. "Mumpung Belati Binal sedang
berhadapan dengan Dupa Dulang, sebaiknya aku segera menuju ke puncak bukit itu.
Aku harus mencari sebuah gua yang ciri-cirinya seperti diceritakan Ken Warok
dalam perjalanan tadi. Aku harus sambar dulu kitab itu sebelum disambar orang
yang membawa lari Ken Warok! Sebaiknya hal ini kulakukan secara diam-diam supaya
kedua orang itu tidak mengejarku dengan curiga."
Pendekar Romantis 06 Kitab Panca Longok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum sempat bergegas pergi, tahu-tahu Pandu Puber terpental ke arah belakang
sekitar empat tindak dari tempatnya berdiri. Gara-garanya, Dupa Dulang dan
Belati Binal sama-sama menguji ilmu mereka. Sebuah pukulan bersinar merah dari
tangan Belati Binal dilepaskan. Sinar merah memanjang lurus itu dihantam dengan
sinar merah pula dari tangan Dupa Dulang.
Clap, clap...! Blegar...!
Gelombang daya ledak benturan dua sinar merah itu membuat kepalanya pun sa-masama terpental.
Kejap berikutnya, kedua orang itu sudah sama-sama bangkit pula. Pandu Puber
malah terlambat bangkit karena saat jatuh tadi kepalanya sempat terbentur batu
dan merasa pusing sedikit. Saat si tampan itu bangkit, ternyata Belati Binal
sudah lepaskan serangan lagi kepada Dupa Dulang.
Sebuah sentakan kaki ke tanah membuat tubuh gadis cantik yang tak mau tersenyum
sejak tadi itu melesat ke udara dan bersalto dua kali. Pada putaran salto nya
yang kedua, ia melemparkan sebilah pisau yang saat dicabutnya tak ketahuan
gerakannya. Wuuutt...! Trang...! Pisau itu mental ke sisi kiri pupa Dulang, menancap di salah satu
pohon. Jraab...! Sementara itu Pandu Puber clingak-clinguk cari kesempatan untuk
lari ke arah puncak.
Rupanya Dupa Dulang pun cukup tangkas dalam mencabut golok dan mengibaskan-nya.
Pisau itu bisa dibuang di samping oleh kibasan golok Dupa Dulang. Namun pa-da
saat itu, ketika Belati Binal daratkan kakinya ke tanah, ia sudah menggenggam
sebilah pisau agak panjang, seukuran dari
siku ke pergelangan tangan. Kedua tangannya berkelebat ke sana-sini dengan
lincah, membuat Dupa Dulang sempat bingung menghadang jurus 'Pisau Kilat'-nya si
Belati Binal. Akibatnya, lelaki berwajah sangar itu melompat mundur sekitar
seten-gah tombak untuk pandangi kelemahan gerak lawannya.
Selagi sibuk-sibuknya Belati Binal hadapi Dupa Dulang itulah Pandu Puber melesat
pergi dengan pergunakan jurus
'Angin Jantan' yang kecepatannya menyamai kecepatan badai mengamuk, bahkan
terka-dang bisa melebihi kecepatan kilatan cahaya petir.
Trang, trang, breet...!
Belati Binal menangkis sabetan golok lawannya dua kali. Gerakan pisau di
tangannya bagaikan besi panjang yang me-lapisi setiap tubuhnya. Malahan ketika
golok datang dari atas dan pisau menangkis hanya sekelebat, tahu-tahu pisau itu
bergerak menyabet dari bawah ke atas dan robeklah bagian perut buncit si Dupa
Dulang. "Aaahg...!" Dupa Dulang mendelik, lalu menyeringai menahan rasa sakit. Pada
waktu itu tubuh Belati Binal sempat me-lenting di udara satu kali kemudian
bersalto dua kali lagi.
Wuk, wuk...! Jleeg...!
"Kuperingatkan padamu, Dupa Dulang," kata Belati Binal menghardik lawannya, "... jika kau masih ingin punya
niat merebut kitab itu dari tangan Ken Warok, maka keselamatan nyawamu tak akan
kujamin. Tapi jika kau pulang dan tidak ikut campur dalam masalah ini, maka
kese-lamatanmu dalam perjalanan akan kujamin!"
"Persetan dengan kata-katamu! Teri-malah jurus 'Golok Singasana' ini!
Heaaat." Dupa Dulang berkelebat menerjang gadis cantik itu. Namun tiba di
pertengahan jarak ia jatuh sendiri dari ketinggian gerakan layangnya itu.
Brrukk...! Kulit tubuh Dupa Dulang menjadi
berbintik-bintik hitam seperti berjamur.
Dupa Dulang sendiri tak bisa sembunyikan lagi kecemasannya. Ia pandangi luka di
bagian perutnya yang memanjang dari bawah ke atas. Ternyata luka itu cepat
menjadi kehitam-hitaman.
"Celaka! Aku kena racun di ujung pisau itu. Wah, gawat nih kalau begini!
Oh, badanku jadi menggigil seperti orang kedinginan. Kulitku..., ya ampun,
kulitku malah jadi seperti kulit kodok"! Hemm..., sebaiknya aku pulang ke
perguruan dulu, selain melaporkan hal ini juga meminta obat pada Guru untuk
melawan kekuatan racun yang sudah telanjur mengalir bersama darahku ini!"
Wuuuts...! Ia melesat seperti seekor rusa melesat masuk ke persembunyiannya manakala didatangi manusia.
"Hei, jangan lari kau! Tanggung nih...!" seru Belati Binal, tapi seruan itu
tidak dihiraukan oleh Dupa Dulang.
Lelaki itu tetap berlari dengan secepat-cepatnya. Kalau bisa sih maunya terbang
saja, tapi mengingat biaya penerbangan mahal dan tak terjangkau olehnya, maka
Dupa Dulang harus kerahkan tenaga untuk berlari sambil menahan sakit dalam
tubuhnya. Sayang sekali Pandu terburu-buru
pergi. Coba kalau tidak, ia akan dapat melihat jurus lincahnya si Belati Binal.
Melihat di situ tak ada Pandu, maka Belati Binal pun pergunakan indera
penciuman-nya untuk segera berlari ke arah bau keringat Pandu Puber.
Tapi apakah Belati Binal dapat menemukan Pandu dan Pandu sendiri apakah bisa
menemukan gua tempat penyimpanan kitab pusaka tersebut.
LIMA SEBUAH gua berpintu lebar ditemukan Pandu saat hampir mencapai puncak bukit.
Ada tiga pohon berjajar merapat di depan pintu gua itu, sehingga keberadaannya
tak mudah dilihat orang dari luar. Pandu Puber clingak-clinguk dulu sebelum masuk ke gua tersebut. Siapa tahu ada orang
Kisah Pendekar Bongkok 12 Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno Hamukti Palapa 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama