Pendekar Romantis 06 Kitab Panca Longok Bagian 2
yang menguntitnya dengan maksud jahat, maka Pandu harus mengusir dulu orang itu.
"Kayaknya aman-aman saja kok," pikir Pendekar Romantis itu. "Tapi benarkah gua
ini yang dimaksud Ken Warok" Ah, iya...! Pasti gua ini yang dulunya sering
dipakai bertapa Ki Mangut Pedas. Buktinya ada bekas jalan setapak menuju mulut
gua, walau agaknya jalan setapak itu sudah La-ma tidak dilalui orang. Hmmm...!
Sebaiknya kuperiksa saja gua ini, dan kucari kitab itu di dalamnya. Janganjangan malah di dalam sudah ada Ken Warok dengan orang yang menculiknya itu"
Kalau begitu aku harus hati-hati. Siapa tahu dapat serangan mendadak dari dalam
gua, bisa bo-nyok wajahku nanti."
Dengan hati-hati Pandu Puber menyu-suri lorong gua tersebut. Sebelum masuk
terlalu dalam, Pandu temukan tulisan pada sebongkah batu besar dekat pintu
masuk, ditulis dengan menggunakan getah pohon berwarna coklat. Tulisan itu
berbunyi: "Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk."
Dalam hati si tampan bertato bunga mawar itu membatin, "Kayaknya tulisan ini
dibuat sudah cukup lama. Mungkin mendiang Ki Mangut Pedas yang menulisnya semasa
ia suka bertapa di sini. Dan..., berarti aku
boleh masuk dong, soalnya aku kan punya kepentingan" O, ya... tapi menurut Ken
Warok, gua ini penuh dengan jebakan maut"
Hmm... kini aku harus lebih waspada terhadap keadaan sekelilingku."
Dengan pelan dan sangat hati-hati Pandu Puber melangkah lebih ke dalam la-gi.
Suasana di dalam gua itu cukup remang-remang karena mendapat sisa bias sinar
matahari dari mulut gua. Bahkan Pandu Puber masih bisa membaca tulisan yang ada
di dinding gua sebelah kiri yang berbunyi:
"Dilarang Kencing Di Sini."
Pandu sempat tersenyum, lalu memandang ke arah anak panah yang menuju ke bawah.
"Astaga..."!" Pandu melompat mundur dengan kaget. Ternyata di bawah tulisan itu
ada seekor ular sebesar betis yang sedang melingkar dengan menyembunyikan
kepalanya di balik badan. Pandu Puber sempat berdebar-debar karena kaget dan
berkata membatin, "Lagian siapa yang berani ngencingin ular itu" Minta dicaplok
'tombak keramatnya' apa"!"
Rupanya lorong gua tidak lurus. Lorong itu membelok ke kiri. Tepat di sudut
tikungan terdapat tulisan lagi yang berbunyi:
"Hati-hati Jalan Licin." serta tanda panah menunjukkan ke arah kiri.
"O, ternyata makin ke dalam kok semakin terang?" pikir Pandu Puber. "Ada cahaya
samar-samar dari mana ya" Lorong ini ternyata nggak gelap. Malah lebih gelap di
dekat ular tadi."
Semakin ke dalam semakin terang su-asananya. Tapi sinar terang yang ada di situ
menampakkan cahaya hijau muda. Pandu Puber penasaran sekali, ingin mengetahui
sumber penerangan itu, sehingga langkahnya semakin dipercepat, ketajaman geraknya ditingkatkan lagi, takut tahu-tahu ada rombongan tombak menghujam dari arah
samping atau atas. Tapi ternyata memang nggak ada apa-apa. Dan lorong itu terasa
semakin lebar, semakin berudara sejuk.
"Oh, ternyata cahaya terang ini datangnya dari dinding gua?" batin Pandu Puber.
"Gila! Rupanya bebatuan yang menjadi dinding gua ini mengandung energi cahaya,
semakin gelap semakin terang, Wah, dicongkel sedikit buat batu cincin bagus
nih?" Memang dinding itu mengandung fosfor. Keadaan gelap itulah yang membuat unsur
fosfor memancarkan sinar lebih terang lagi. Pendekar Romantis memandangi dinding
itu dengan penuh perasaan heran dan terkagum-kagum. Sambil tetap melangkah
pelan, matanya memandang ke sana-sini dengan mulut terbengong karena terpesona.
Bahkan sepasang mata wajah tampan itu
sempat membaca tulisan yang dipahatkan pada dinding tersebut. Tulisan itu
berbunyi: "Harap Tenang" . Di samping tulisan itu ada pahatan huruf lain
berbunyi: "Dilarang Mengeluarkan Anggota Badan" .
Pandu berpikir, "Apa maksudnya tulisan-tulisan ini" Siapa penulis sebenarnya?"
Namun tiba-tiba langkah Pandu Puber terhenti sejenak karena beberapa langkah
dari tulisan itu, ternyata lorong menjadi dingin. Dingin sekali seperti berada
di dalam lorong gunung es. Tubuh Pandu Puber menjadi menggigil, kedua tangan
memeluk tubuh sendiri. Hawa dingin yang dirasakan itu seperti mau membekukan
darah. Giginya gemeretuk karena bergetar.
"Edan! Dinginnya bukan main" Pantas di sana ada tulisan: 'Dilarang Mengeluarkan
Anggota Badan', artinya nggak boleh telanjang. Memangnya siapa sih yang mau
telanjang dalam udara sedingin in! kalau bukan orang gila?"
Langkah Pandu diteruskan, semakin jauh dari tulisan tadi semakin menggigil
tubuhnya. Bahkan ia sempat batuk satu kali karena agak mengalami sesak napas.
Mungkin paru-parunya mau membeku.
"Uhuk...!"
Weerrr...! "Lho, lorong ini bergetar"!" Pandu mendelik tegang. Lorong memang bergetar.
Batuan di langit-langit lorong gemeretak, menerbangkan serbuk tanah, seakan mau
runtuh. Pandu jadi ketakutan dan bermaksud keluar dari lorong itu. Tetapi
getaran dinding dan atap segera berhenti. Suasana menjadi tenang dan hening
kembali. "Ooo... rupanya dinding lorong ini peka oleh suara" Ada suara keras sedikit akan
menimbulkan getaran yang mungkin bi-sa sampai meruntuhkan atap lorong ini.
Pantas di sana tadi ada tulisan: 'Harap Tenang', maksudnya kalau berisik bisa
bikin dinding lorong menjadi runtuh dan jalanan ini tertutup reruntuhannya.
Hmmm... ya, ya... ternyata semua tulisan tadi ada maknanya."
Kini lorong itu membelok ke kanan.
Dindingnya masih memancarkan cahaya fosfor hijau muda bening. Tapi suhu udaranya
sudah tidak sedingin di lorong yang tadi.
Semakin melangkah ke dalam Pandu semakin rasakan udara menjadi hangat, namun
bukan berarti gerah. Masih ada sisa kesejukan yang nyaman di badan. Dan di
dinding lorong yang ukurannya lebih besar lagi dari yang tadi itu terdapat
tulisan juga yang berbunyi: "Bayarlah Dengan Uang Pas.".
"Apa lagi maksud kalimat ini?" pikir Pandu. "Ah, nggak usah dipikirkan sekarang,
nanti juga akan ketemu sendiri jawabannya."
Langkah diteruskan, kira-kira mencapai sepuluh langkah lebih, barulah kaki Pandu berhenti. Matanya memandang ke
arah depan. Di sana ada ruangan luas bercahaya hijau muda bening. Ruangan itu
bagaikan melebar ke kanan-kiri lorong, tapi dalam jajaran lurus lorong itu ada
juga lorong kecil yang entah menuju ke mana, cahaya dinding di sana juga masih
hijau muda. Sesuatu yang membuat mata Pendekar Romantis tidak berkedip adalah keadaan di
dalam ruangan lebar berlangit-langit agak tinggi itu. Di ruangan tersebut ada
kolam berair bening memancarkan cahaya merah sirup. Segar sekali kelihatannya.
Kolam itu bertepian batu-batu tak beraturan, tapi tersusun rapi, seakan ada yang
me-nyusunnya. Tepatnya, kolam itu ada di sebelah kanan Pandu. Sedangkan di
sebelah kiri Pandu, ada sesuatu yang kian membuat mata Pandu kian lebar.
Sebuah batu berbentuk lingkaran
dengan tinggi sebatas lutut mempunyai permukaan yang datar. Batu itu terletak di
sudut. Batu itu juga memancarkan cahaya fosfor hijau bening. Yang membuat mata
Pandu terpukau bukan karena keindahan batu itu, namun adanya sesosok tubuh yang
duduk bersila di atas batu tersebut.
Orang yang duduk diatas batu itu
mempunyai rambut panjang sepinggang kurang, diriap tanpa ikatan apa-apa. Rambut
itu tampaknya lembut dan halus, hitam
mengkilat namun bukan berminyak. Pemilik rambut itu adalah seorang perempuan
ber-paras aduhai cantiknya. Bentuk wajahnya oval, sesuai dengan hidungnya yang
man-cung. Bibirnya sedikit agak tebal, tapi merangsang. Seakan bibir itu
mengundang minat Untuk melumatnya.
Perempuan itu mengenakan pakaian
model jubah panjang warna orange. Terbuat dari kain tipis transparan dengan
model bagian dalam bertali-tali. Masing-masing tali berkain sehingga jubah itu mempunyai bagian depan yang tertutup. Memang tidak
begitu rapat sih, tapi setidaknya tidak terbuka ngablak. Karena tipisnya kain
orange tersebut, maka apa yang ada di balik jubah itu terlihat membayang.
Perempuan itu hanya memakai jubah tersebut tanpa pelapis apa-apa lagi. Tak heran
kalau bagian dalamnya tampak mirip perawan dalam kelambu.
Pandu mendekat pelan-pelan setelah menarik napas untuk meredakan emosi gemasnya. Semakin dekat semakin terlihat jelas bahwa perempuan itu mempunyai kulit
kuning, tangannya berbulu lembut samar-samar, menantang minat untuk mengelusnya
penuh gairah. Kukunya panjang, tapi indah, walaupun tajam. Pada saat itu
perempuan yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu sedang memejamkan mata.
"Ooo... dia lagi semadi," kata Pandu dalam hatinya. "Tapi alangkah cantiknya dia" Tubuhnya yang mulus itu tidak
kurus, tidak gemuk, tapi sekal. Padat dan hangat kelihatannya. Wow, alangkah
asyik-nya tenggelam dalam pelukan perempuan seperti dia?"
Tiba-tiba perempuan itu membuka matanya. Byak...!
"Macan, Mack!" gumam Pandu dalam hati lagi, karena mata itu begitu indah dan
penuh daya tarik untuk bercumbu. Mata itu termasuk lebar juga sih, tapi tidak
sebesar jengkol. Bentuknya indah, punya bulu mata lentik. Dan caranya memandang
sungguh mendebarkan hati setiap lelaki, karena mata itu sedikit sayu. Seolaholah dia adalah type wanita yang merindukan kehangatan seorang lelaki.
Pendekar Romantis sempat grogi sebentar ketika dipandangi oleh perempuan
tersebut. Namun setelah menelan napas dua kali, ia mampu mengatasi dirinya
walaupun debar-debar dalam dadanya masih bergemu-ruh, penuh harapan untuk
mendekat. Harapan itu pun terbukti; perempuan tersebut sunggingkan senyum tipis,
seakan suatu kekuatan magnit yang menyedot tubuh Pandu hingga melangkah
mendekatinya. Dalam jarak tiga langkah di depan perempuan tersebut, Pandu
hentikan langkah. Matanya masih belum mau berkedip karena keelokan di balik kain
tipis itu terlihat lebih
jelas lagi. "Apa maksudmu datang kemari mengganggu bertapaku, Anak Muda?" sapa si perempuan
berbibir sensual dengan suara serak-serak basah kuyup, seakan rintihan malam
yang merangsang gairah lelaki.
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud mengganggu bertapamu. Aku tidak tahu kalau kau
sedang bertapa, Nyonya."
"Jangan panggil aku Nyonya, aku tidak tahu artinya. Panggil saja namaku: Dewi
Selimut Malam."
Rupanya dia perempuan yang murah
senyum. Habis ngomong begitu saja langsung tersenyum. Dan senyumnya itu memang
indah. Pantas buat pajangan di dalam kaca buffet.
"Namamu indah sekali," kata Pandu ketika Dewi Selimut Malam turun dari tempat
duduknya. "Barangkali namamu juga indah, Anak muda. Siapakah namamu sebenarnya, Nak?"
"Namaku Pandu Puber, Tante."
"Oh, nama yang bagus sekali untuk pribadiku. Kau memang masih tampak puber,
sesuai dengan ketampanan wajahmu dan, ooh... kau punya tato di dadamu. Alangkah
indahnya tato itu. Boleh aku memegang-nya?"
"Apa yang ingin kau pegang?"
"Tatomu itu."
"Silakan pegang, asal yang lainnya
jangan disentuh."
"Maksudmu?"
"Mataku jangan disentuh, nanti ke-colok." Pandu sengaja menggoda dalam canda,
ternyata perempuan cantik yang mengaku Dewi Selimut Malam itu bisa diajak
bercanda. Tawanya pelan, serak, seperti orang malas-malasan baru bangun tidur.
Tangan berjari lentik dengan kuku panjang segera meraba dada Pandu Puber.
Mata sayunya menatapi tato bunga mawar di dada Pendekar Romantis. Saat itu, terciumlah aroma harum cendana bercampur bunga melati dari tubuh Dewi Selimut
Malam. Aroma harum yang lembut itu mulai membangkitkan daya khayal kemesraan
Pandu Puber. Pemuda itu gelisah, namun ditutup-tutupi dengan ucapan yang lirih.
"Apakah kau menyukai tatoku ini?"
"Sangat suka" jawabnya mirip orang merengek. "Setahuku hanya satu orang yang
punya tato bunga mawar seperti ini," kata Dewi Selimut Malam lagi.
"Apakah ada orang selain aku yang bertato seperti ini?" tanya Pandu.
"Ada. Aku pernah menemuinya dalam semadiku. Tapi dia mengaku anak dewa yang
bergelar Pendekar Romantis."
Pandu Puber agak kaget, lalu berkata, "Akulah Pendekar Romantis."
"O, ya?" dengan mata sayu ia menatap Pandu, tapi tangannya masih merabaraba dada bertato itu. "Jika benar kau Pendekar Romantis, berarti kau bisa lebih
romantis lagi dari saat ini, bukan?"
Pandu sedikit menyimpan kecurigaan melihat senyum menantang sang wanita.
"Jangan-jangan dia calon istriku; Dian Ayu Dayen" Hmmm... coba ku kecup
keningnya, kalau memang dia adalah Dian Ayu Dayen, maka dia akan berubah jika ku
kecup keningnya."
Tanpa permisi sedikit pun, tahutahu Pandu nyelonongkan mulutnya dan kening itu pun dikecupnya, cuup...! Setelah
itu kepalanya buru-buru ditarik mundur dan tegak kembali.
Perempuan itu terperangah girang, mengusap-usap keningnya dengan mata memandang
sayu pada Pandu.
"Kau curang. Aku belum siap. Ulan-gi!"
Pandu hanya tersenyum menawan. Tapi hatinya membatin, "Sialan! Dia tetap begini,
berarti dia bukan Dian Ayu Dayen.
Tapi... oh, mata dan suaranya sungguh menggugah semangatku untuk bertarung dalam
kelembutan. Wah, bagaimana ini kalau sampai aku yang celeng sendiri terhadapnya" Jangan sampai, ah! Sebagai seorang pendekar, aku tak boleh mudah jatuh
cinta. Tapi kalau kepepet gimana" Yaah...
jatuh sedikit nggak apa-apalah!"
Dewi Selimut Malam tertawa lirih,
"Jatuh banyak juga nggak apa-apa," katanya, dan Pandu terperanjat. Ia segera
sadar bahwa perempuan cantik punya dada menantang itu ternyata bisa mendengar
suara batin seseorang. Itu berarti Dewi Selimut Malam punya ilmu cukup tinggi.
Pandu Puber akhirnya putuskan diri untuk tidak bicara sembarangan walau di dalam
ha-ti. "Santailah, jangan tegang-tegang!"
kata Dewi Selimut Malam. "Anggap saja gua ini adalah tempat tinggalmu sendiri."
"Berapa lama kau bertapa di sini?"
Pandu memandangi keadaan sekeliling, yang kosong tanpa perabot apa pun itu. Dewi
Selimut Malam menjawab dengan mata ikut memandangi sekeliling juga.
"Aku melakukan semadi di sini baru empat puluh tahun."
"Ah, yang benar"!"
"Swear! Aku nggak bohong."
"Kok kamu masih semuda ini" Kok masih secantik ini?"
"Aku bertapa sejak berusia dua puluh delapan tahun. Berarti sekarang usia-ku
sebenarnya sudah enam puluh delapan tahun. Berkat sering cuci muka dan mandi
pakai air kolam itu, kecantikanku tak mengalami perubahan."
"Ooo...." Pandu manggut-manggut sambil pandangi air kolam warna sirup merah
segar itu. "Perputaran waktu di dalam gua ini dengan di luar gua berbeda sekali. Di luar
gua waktu berputar dengan cepat, sedangkan di dalam gua ini waktu nyaris tidak
berputar. Jadi siapa yang ada di dalam gua ini akan awet muda, kalau waktu masuk
ke sini dia memang berusia muda.
Kalau sudah tua ya tetap saja tua. Tapi kalau mau rajin cuci muka dengan air
kolam itu, maka ketuaannya akan luntur dan menjadi cantik jelita. Makanya air
kolam itu dinamakan: 'Keringat Bidadari'. Pengawet kecantikan."
Pandu segera terbayang calon istrinya yang berstatus seorang bidadari tulen dari kayangan. Hati Pandu pun
membatin, "Kalau begitu gua ini pasti ada hubungannya dengan Dian Ayu Dayen.
Apakah... apakah Dewi Selimut Malam mengenal nama itu, ya?"
Tiba-tiba Dewi Selimut Malam berka-ta, "Tidak, aku tidak mengenalnya. Siapa itu
Dian Ayu Dayen?"
Pandu nyengir bingung, tapi akhirnya menjawab juga, "Dia adalah Bidadari
Penguasa Kecantikan."
"O, kalau begitu dialah yang bergelar: Ratu Ayu Sejagat. Beliau memang Penguasa
Kecantikan"
"Mungkin saja itu memang gelarnya.
Tapi aku mengenal nama pribadinya: Dian Ayu Dayen."
"Apakah kau kenal dekat dengannya?"
"Bagaimana dengan dirimu" Apakah kenal dekat dengannya?" Pandu balas bertanya
sebelum menjawab, karena ia ingin tahu siapa sebenarnya Dewi Selimut Malam itu.
"Aku adalah abdinya, tugasku menjaga Kolam Keringat Bidadari itu."
Pandu memandang dengan dahi berkerut dan mulai mundur sedikit menjauh, karena ia
jadi tak enak hati jika mau macam-macam sama perempuan itu, sebab perempuan itu
adalah pembantunya Dian Ayu Dayen. Kelak jika Pandu sudah menikah dengan
bidadari itu, maka Dewi Selimut Malam akan menjadi abdinya juga. Malu dong kalau
harus bikin skandal dengan calon pelayannya sendiri"
Pendekar Romantis 06 Kitab Panca Longok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menyesal sekali aku ketemu dia.
Ternyata dia pelayan calon istriku. Mendingan ketemu perempuan lain saja, jadi
aku kalau mau ini itu nggak malu," pikir Pandu, dan ternyata pikiran itu pun
ter-baca oleh Dewi Selimut Malam.
"Kalau memang mau ini-itu, aku nggak akan lapor sama atasanku kok. Itu kan
rahasia pribadi kita sendiri," senyumnya makin menggoda.
Pandu cengar-cengir malu sendiri.
Pandu segera alihkan bicara dengan bertanya,
"Apakah kau juga warga kayangan?"
"Tidak," jawab Dewi Selimut Malam sambil dekati Pandu. "Dulu, ketika aku berusia
dua puluhan aku seorang pelacur.
Pada suatu hari aku kena penyakit yang tak bisa disembuhkan karena belum ada obatnya, namanya penyakit 'DIA'."
"Apa itu penyakit 'DIA'?" tanya Pandu merasa aneh.
"'DIA' adalah singakatan dari
'Dalam Incaran Akherat'."
"Aneh juga namanya."
"Memang dalam waktu dekat kalau aku nggak segera berobat, penyakit 'DIA' dapat
merenggut nyawaku dan memindahkan nyawaku ke akherat. Maka aku segera cari obat
ke sana-sini, sampai akhirnya kute-mukan gua ini dalam keadaan hampir putus asa.
Lalu aku bertapa di sini untuk memo-hon kesembuhan kepada sang Dewata. Tapi aku
segera ditemui oleh Gusti Ratu Ayu Sejagat."
"Lalu apa yang dilakukannya terhadap penyakitmu itu?"
"Tentu saja aku diobati tanpa operasi. Aku bisa sembuh asal aku mau menjadi
pelayannya yang bertugas menjaga Kolam Keringat Bidadari. Pada mulanya aku tak
sanggup, karena secara jujur kukatakan kepada beliau, bahwa aku wanita normal
yang masih butuh santapan batin, masih butuh cinta dan kehangatan lelaki, jadi
aku butuh waktu untuk pergi berpetualang
dalam cinta. Tetapi beliau bilang, bahwa aku akan mendapat kepuasan batin
sendiri walau tetap berada di dalam gua ini dengan cara, setiap lelaki yang
masuk gua ini boleh menjadi pelayan cintaku sepuas hatiku. Tapi tak boleh
menahannya apabila lelaki itu ingin pergi."
"Sudah ada berapa lelaki yang masuk gua ini?"
"Baru kau. Selama empat puluh tahun bertapa, baru kau orang yang masuk gua ini."
"Gawat!"
"Nggak apa-apa kok. Aku nggak terlalu buas," bisiknya malu-malu dengan suara
serak menggelitik gairah.
"Tapi kenapa kau melakukan bertapa padahal penyakitmu sudah sembuh?"
"Gusti Ratu Ayu Sejagat menyuruhku bertapa selama empat puluh tahun untuk
mendapatkan ilmu kesaktian yang hebat.
Setelah empat puluh tahun, masa bertapaku akan berhenti sendiri dengan alasan
apa saja. Ternyata alasan yang ada adalah ke-datanganmu kemari."
Pandu Puber manggut-manggut walau hatinya berdebar-debar antara indah dan
pasrah. Sementara itu benaknya masih ber-kecamuk di luar kesadarannya. "Pantas
di sana tadi ada tulisan: 'Bayarlah Dengan Uang Pas', mungkin karena dia bekas
pelacur jadi harapan masa lalunya masih terbawa sampai sekarang."
Kecamuk benak Pandu didengar Dewi Selimut Malam, dan perempuan cantik itu
tertawa kecil seraya berkata, "Ya, memang aku yang menulis kata-kata di dinding
lorong sana. Itu kulakukan sebelum ada pe-rintah bertapa selama empat puluh
tahun." "Aku tak memasalahkan hal itu," ka-ta Pandu mengalihkan anggapan si perempuan
cantik itu. "Yang kupikirkan adalah kesalahanku. Ternyata aku salah masuk gua.
Yang kucari adalah gua tempat bertapa seorang tokoh tua bernama Ki Mangut
Pedas." "O, gua itu ada di sebelah sana.
Memang masih satu jurusan dengan gua ini, tapi Ki Mangut Pedas tidak pernah
masuk kemari. Dia hanya diam di sebelah sela-tan, lewat lorong tembus yang kecil
itu. Dia memang bekas tetanggaku di sini. Tapi dia bukan ketua RT-nya. Akulah ketua
pertapa di sekitar sini."
"Jadi..., kau juga mengerti kalau Ki Mangut Pedas sembunyikan Kitab Panca Longok
di guanya sana?"
"Tentu saja aku mengerti. Tapi kitab itu sudah diambil oleh cucunya yang bernama
Ken Warok."
"Hahh..."!" Pandu terkejut. Ia mulai bingung.
"Baru beberapa waktu yang lalu kitab itu diambil, karena dipaksa oleh seorang utusan dari Ratu Cadar Jenazah."
"Celaka! Jadi, sekarang kitab itu di mana?"
"Ya, di sana! Di tangannya Ratu Cadar Jenazah!"
"Kalau begitu aku harus menyusul ke sana dan merampas kitab yang akan membuatnya
menjadi tokoh paling sesat itu!"
"Kau tak akan bisa keluar dari gua ini, Pandu!"
"Kenapa?"
"Pintu gua kututup dengan kekuatan batinku. Tak akan ada yang bisa membu-kanya
kecuali aku sendiri."
"Kalau begitu, bukalah sekarang ju-ga. Aku akan pergi sekarang juga."
"Untuk membuka pintu gua harus memakai kunci. Dan kunci itu ada di antara kedua
kakiku. Ambillah dengan kemesraan-mu, Pandu."
"Wah, kacau nih!"
ENAM SEPERTI apa yang dikatakan Dewi Selimut Malam, perputaran waktu di dalam gua dan
di luar gua sangat berbeda. Pandu Puber sangat terkejut ketika keluar dari gua
dan turun ke kaki bukit berpapasan dengan Belati Binal. Hal yang membuat
Pandu terkejut adalah keadaan gadis pelacak yang penuh luka sekujur tubuhnya.
Lu-ka parah diderita Belati Binal, mengakibatkan gadis itu hanya mampu duduk
terku-lai di tanah bersandar batang pohon. Lu-ka-luka seperti bekas pukulan
tenaga dalam dan goresan senjata tajam sudah mulai membusuk.
Ketika Pandu Puber tiba di situ,
Belati Binal dalam keadaan nyaris kehabisan napas. Matanya bengkak sebelah, yang
satu bisa dibuka tapi kecil sekali. Hati Pandu Puber menjadi iba, sehingga ia
bu-ru-buru menolongnya.
"Apa yang terjadi, Belati Binar?"
Gadis itu tak bisa menjawab. Bibirnya pecah dan luka memborok. Tak ada
kecantikan lagi di wajah Belati Binal. Ia tak sanggup menggerakkan bibirnya
untuk bicara, tapi matanya yang sebelah memandang kecil seakan penuh permohonan
bantuan. Satu-satunya kalimat yang bisa didengar Pandu dengan cara mendekatkan
telinga ke mulut gadis itu adalah pernya-taan kepasrahannya.
"Sempurnakanlah kematianku."
"Tidak. Kau tidak boleh mati sebelum menjelaskan padaku apa yang terjadi padamu
dan siapa lawan yang membuatmu sampai begini!" tegas Pandu Puber.
Pendekar Romantis segera pergunakan jurus 'Hawa Bening'nya, salah satu jurus
yang hanya dimiliki keturunan campuran antara darah dewa dan darah jin itu berguna untuk penyembuhan. Kekuatan jurus itu sangat tinggi, sehingga bisa
dikatakan sebagai jurus penyembuhan yang cukup sakti.
Dengan satu sentakan tangan kanannya, jari tengah Pandu mengeras lurus dan dari
ujung jari itu melesat sinar putih bening seperti kaca. Sinar itu menghantam
pertengahan dada Belati Binal. Clapp...!
Dess...! Lebih dari lima helaan napas sinar bening mirip kaca itu dibiarkan
menghantam tubuh Belati Binal.
Beberapa saat kemudian, tampak kulit tubuh yang terluka itu bergerak-gerak. Dari
berubah warnanya sampai gerakannya membentuk kesatuan seperti semula.
Sedikit demi sedikit luka yang ada menu-tup kembali. Belati Binal sendiri mulai
rasakan hawa sejuk yang menjarah sekujur tubuhnya, menyirnakan rasa sakit yang
ta-di nyaris tak mampu dikuasai sedikit pun.
Wuuut...! Tiba-tiba sekelebat
bayangan melintas di sisi lain. Ekor mata Pandu melihat kelebatan bayangan itu
dan hatinya menjadi curiga. "Jangan-jangan dia orang yang membuat gadis pelacak
ini terluka separah tadi"! Kejar, ah!"
Zlappp...! Pandu Puber mengejar
bayangan yang berkelebat itu. Jurus
'Angin Jantan' dipergunakan untuk mengungguli kecepatan gerak orang yang dike-jarnya. Dalam beberapa waktu, Pandu
sudah mencapai jalanan yang akan dilalui orang tersebut. Dengan sikap
menghadang, berdiri tegak merenggang kokoh, Pandu Puber berhasil membuat
bayangan yang berkelebat itu berhenti dan terkejut memandangnya.
Orang yang dihadang Pandu adalah
seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, rambutnya panjang
sepundak warna abu-abu, sama seperti kumisnya yang menempel di bawah hidung
besar dari wajah berkesan bengis. Lelaki itu memakai pakaian surjan bergarisgaris. Bagian kan-cingnya tidak ditutupnya sehingga tampak dada dan perutnya
yang berkulit hitam.
Orang berbadan agak kurus itu mengenakan celana hitam yang dilapisi kain batik
warna putih dengan sabuk besarnya warna hitam pula. Di depan perutnya terselip
sebilah keris bergagang kuning dari gad-ing.
Orang yang memakai blangkon berias rantai emas itu menatap Pandu Puber penuh
sikap permusuhan. Pandu Puber sendiri menampakkan sikap sedikit keras, karena
dalam hatinya timbul keyakinan kuat bahwa orang itulah yang membuat Belati Binal
babak belur nyaris jadi bubur itu. Pandu sengaja membiarkan orang itu menyapa
lebih dulu. "Siapa kau, Anak Muda"!"
"Pandu Puber namaku!"
"Ooo... ya, ya," orang itu mengangguk-angguk dengan sikap sombong. "Rupanya
kaulah yang bergelar Pendekar Romantis itu!"
"Benar! Apakah kau juga punya gelar yang sama, Pak Tua?" tanya Pandu dengan nada
serius, tanpa cengar-cengir.
"Aku tidak butuh gelar pendekar.
Itu gelar yang layak disandang orang ber-jiwa kerdil saja," sindirnya dengan
sinis. "Kalau kau ingin mengenalku; akulah yang berjuluk si Dalang Setan dari
Perguruan Tanduk Singa!"
"O, jadi kau gurunya si Dupa Dulang itu"!"
"Benar!" jawabnya tegas, seakan cukup bangga dengan dirinya yang dikenal sebagai
guru itu. "Kau mencari Kitab Panca Longok?"
"Tak salah lagi! Tapi yang utama aku mencari orang yang telah membuat Dupa
Dulang muridku itu terluka racun dan mati tepat di depanku!"
Pandu kerutkan dahi. "Apakah kau menyangka aku pelakunya?"
"Tidak. Pelakunya adalah murid si Cemara Langit. Dan aku sudah membalaskan sakit
hatiku atas kematian Dupa Dulang itu. Gadis liar itu sengaja kubuat mati
perlahan-lahan supaya bisa rasakan pemba-lasanku. Sekarang yang kucari adalah
se- buah gua tempat penyimpanan Kitab Panca Longok. Menurut pengakuan Dupa Dulang
sebelum hembuskan napas terakhir, ia mendengar percakapan Ken Warok dengan
dirimu, Pendekar Romantis. Dan pada waktu ia bertarung dengan Belati Binal, kau
diam-diam menghilang, melarikan diri dari pertarungan itu. Pasti kau lebih dulu
sampai di gua tersebut dan mengambil kitab itu, bukan"!"
"Bukan!" jawab Pandu cepat seenaknya saja. "Kitab itu tidak ada padaku!"
"Aku harus memaksa membuktikannya dengan pertarungan kita di sini, sekarang
juga!" "Kalau kau menghendaki, aku hanya sekadar melayani kehendakmu saja, Dalang
Setan!" "Heaaat...!" Dalang Setan mengawali serangannya dengan ganas, sepertinya tak mau
membuang-buang waktu sedikit pun. Ia melayang bagaikan singa terbang dan siap
menerkam mangsanya. Tapi kecepatan gerakannya itu masih bisa diimbangi oleh
Pandu Puber dengan gerakan lompat ke atas dan memutar tubuh dengan cepat.
Wuut...! Prokk...!
Rupanya kaki Pendekar Romantis bergerak menendang pada saat tubuh berputar
tegak. Gerakan kaki yang menendang kuat itu mengenai kedua tangan lawan. Kedua
tangan itu menghantam wajahnya sendiri.
Tapi karena tendangan tersebut bertenaga dalam tinggi, maka tak aneh lagi jika
tubuh Dalang Setan terpelanting ke samping dan jatuh terbanting seenaknya.
Bruss...! "Orang ini perlu kuhajar saja, tak harus dimusnahkan. Aku hanya ingin membalas
perlakuannya yang keji terhadap Belati Binal," pikir Pandu dalam melangkah ke
samping menunggu si Dalang Setan bangkit lagi.
Apa yang dilakukan oleh Dalang Setan sungguh aneh bagi Pandu Puber. Orang itu
segera bangkit dari jatuhnya, tapi tidak langsung berdiri melainkan duduk
bersila. Matanya terpejam sebentar, kedua tangannya bergerak kerahkan tenaga
dari atas ke bawah dengan menggenggam, lalu seperti memasukkan sesuatu ke dalam
dadanya melalui tangan yang menggenggam itu. Lalu, mata Dalang Setan terbuka,
byaak...! Mata itu menjadi putih semua, tanpa manik mata yang berwarna hitam
itu. Setelah matanya menjadi putih polos tanpa tato sedikit pun, tubuh yang duduk
bersila itu tiba-tiba melesat terbang menerjang Pandu Puber. Kecepatan
terbangnya begitu tinggi sehingga Pandu yang terperanjat tak sempat menghindar,
dan dadanya terkena hantaman kedua tangan Dalang Setan yang mengandalkan telapak
tangannya itu. Buhkk. buhk...!
"Aahg...!"Pandu Puber terpental ke
belakang lebih dari lima langkah dan jatuh terkapar dengan keras. Bruss...!
Semak-semak menjadi tempat jatuhnya Pandu Puber. Pemuda itu menyeringai menahan
ra-sa sakit di dadanya.
"Ayo, majulah kalau kau masih sanggup menandingi Raden Gatotkaca ini, Bocah
ingusan!" suara Dalang Setan berubah agak besar, mirip suara satria Pringgandani
yang dikenal di dunia pewayangan bernama Raden Gatotkaca itu.
Pandu Puber bangkit dengan heran
dan menahan napas. Untuk sejenak ia, pandangi lawannya yang berdiri dengan
posisi seperti sosok wayang berperan Raden Gatotkaca. Napas yang mengandung hawa
murni disalurkan pelan-pelan memenuhi bagian dadanya. Dada yang terasa panas dan
remuk itu berangsur-angsur menjadi sehat kembali.
Tapi Pendekar Romantis terpaksa menahan tawa setelah ia melihat apa yang
dilakukan oleh lawannya. "Rupanya dia memanggil roh tokoh pewayangan yang
bernama Raden Gatotkaca"! Aneh juga jurusnya itu.
Dia seperti sosok Raden Gatotkaca yang berotot kawat, bertulang besi itu. Pantas
kalau kedua pukulan tangannya seperti ba-ja menghantam dadaku. Pantas juga kalau
dia mampu terbang dari posisi duduknya tadi. Gila! Agaknya lawanku kali ini
adalah lawan yang punya kekuatan aneh."
Terdengar suara gagah berseru dari jarak delapan langkah di depan Pandu,
"Bocah ingusan! Sebaiknya serahkan kitab itu padaku supaya umurmu panjang, Nak!"
"Sudah kukatakan aku tidak membawa kitab itu, kalau kau mau ambillah di...."
"Keparat, kau berani menentang keinginan Raden Gatotkaca, hah"! Terima-lah aji
'Teja Birawa' ini, heaah...!"
Wuttt...! Slapp...!
Sinar merah besar keluar dari telapak tangan Dalang Setan. Begitu cepatnya
gerakan sinar merah itu, sehingga Pandu Puber hampir saja menjadi sasaran empuk
kalau tak segera melompat ke udara lebih tinggi dari sinar tersebut. Wuuttt...!
Blegarr...! Dua pohon besar hancur seketika dihantam sinar merah itu, menjadi serpihan
kecil-kecil. Bumi pun bergetar saat sinar merah tadi menghantam pohon dan
timbulkan ledakan dahsyat.
"Edan! Mungkin yang ia gunakan adalah jurus sakti milik tokoh Raden Gatotkaca
yang sebenarnya"!" pikir Pandu Puber. Pikiran itu baru saja akan dilan-jutkan,
namun tiba-tiba tubuh Dalang Setan telah melesat terbang menerjangnya.
Wuusss...! "'Candradimuka'...!" teriaknya menggema, dan dari kedua tangannya keluar dua
larik sinar merah sebesar bumbung
bambu. Woosss...!
Pendekar Romantis terpaksa bersalto mundur dua kali, lalu segera melepaskan
jurus 'Sepasang Sayap Cinta' yang keluar dari dua jarinya. Sepasang sinar merah
kecil melesat dari kedua jari kanan-kiri yang disentakkan ke depan seperti
melemparkan pisau. Clap, clap...! Blegarr, blaarrr...!
Kiamat terjadi di alam sekeliling mereka. Ledakan itu mengguncang pohon dan
bebatuan, membuat tanaman besar-besar tumbang yang kecil hancur atau mengering
bagaikan dilanda lahar. Ledakan maha dahsyat itu membuat langit menjadi berkabut
dan berlapis mendung tebal. Kilatan cahaya petir bagaikan ikut bersorak-sorai
dengan berlompatan dari mega ke mega.
Tubuh Dalang Setan, sang Gatotkaca jelmaan itu, terlempar di udara dalam keadaan
berguling-guling. Tubuh itu akhirnya menghantam batang pohon yang mir-ing mau
rubuh. Durrr...! Pohon itu pun akhirnya benar-benar rubuh karena dihantam tubuh
Dalang Setan. Pandu Puber terkapar sejak tadi.
Pendekar Romantis 06 Kitab Panca Longok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini sedang berusaha bangkit dan menjadi kaget melihat alam sekeliling rusak
berat. Gundukan tanah yang membukit menjadi retak dan hutan sekitarnya bagaikan
baru saja dibabat habis oleh angin badai. Sambil mengerahkan hawa murninya Pandu
Puber bangkit berdiri memandangi alam sekitarnya, sampai tiba ke suatu arah di mana
tubuh Dalang Setan mengerang kesakitan sambil berusaha bangkit sempoyongan.
Wuutt...! Ada yang datang dari belakang Pandu Puber. Dengan gerakan penuh waspada Pandu
Puber berpaling.
"Oh, kau...?" ucapnya lirih sambil hembuskan napas lega.
"Apa yang terjadi" Kudengar suara ledakan dahsyat mengguncang bumi!"
"Cuma main-main kok," jawab Pandu Puber mempertenang diri.
Orang yang datang itu tak lain adalah si gadis pelacak; Belati Binal. Masih saja
seperti waktu itu, Belati Binal tampil tanpa seulas senyum. Bahkan keadaan-nya
yang telah sembuh total bagaikan tak pernah terluka sedikit pun itu memandang
ganas kepada tokoh sesat si Dalang Setan.
Mulutnya menjadi lancip karena menahan benci.
"Setan itulah yang menghajarku dan membuatku menderita selama satu minggu
terkapar di sana!"
"Satu minggu"!" Pandu Puber berkerut dahi dengan heran. Ingin rasanya ia
tanyakan hal itu lebih jelas lagi, tapi Dalang Setan sudah lebih dulu serukan
ka-ta kepadanya,
"Ingat, Pandu Puber...! Ingat!" Dalang Setan sempoyongan. Sekujur tubuhnya menjadi hangus. Kulit tubuh terkelupas
mengerikan. Tentunya bukan hanya perih, namun juga sakit luar biasa. Ia seperti
mengalami luka bakar. Rupanya jurus
'Candradimuka' milik sang Gatotkaca itu memantul balik menyerangnya ketika berbenturan dengan jurus Pendekar Romantis yang bernama 'Sepasang Sayap Cinta'
tadi. Dalam keadaan parah itu ia berseru kembali, "Kalau kau benar-benar pendekar
sakti, kutantang kau untuk bertarung denganku di atas Jurang Karang Keranda,
sepuluh hari lagi! Kalau kau tak datang, kau kuanggap banci dan tak layak
menyandang gelar pendekar lagi!"
"Setan! Jangan pergi dulu! Kau punya perhitungan denganku!" teriak Belati Binal,
lalu segera melompat mengejar Dalang Setan yang kabur babak belur.
Melihat gadis pelacak mengejar karena dendam, Pandu Puber segera melesat dengan
gerakan super cepatnya dan tahu-tahu berdiri menghadang langkah Belati Binal.
"Tahan emosimu, Manis! Biarkan dia kabur. Dia hanya bisa tinggalkan sesumbar
tanpa bukti benar!"
Belati Binal hempaskan napas. Kesal sekali hatinya dihadang Pandu begitu. Ta-pi
akhirnya ia mau menurut saran Pandu setelah Pendekar Romantis itu berkata
dengan nada lembutnya,
"Kau baru saja sehat. Kau butuh istirahat. Soal balas dendam bisa dilakukan
kemudian hari, itu pun kalau dipandang perlu."
"Kau ditantangnya!"
"Biar saja. Cuekin aja tantangan preman wayang itu!"
"Tidak bisa! Kau harus hadapi tantangan itu sepuluh hari lagi. Kalau kau tak
datang, dia dan murid-muridnya akan sebarkan kabar tentang sikapmu yang dianggap
tak berani menghadapinya itu!"
"Kita pikirkan nanti saja."
Senyum Pandu yang mekar dengan indah itulah yang membuat api dendam di da-da
berbukit mirip mangkok bakso itu menjadi reda. Bahkan ia mengikuti langkah Pandu
yang menuju ke bawah pohon. Pohon itu adalah salah satu dari pohon yang selamat
dari amukan badai tadi.
"Belati Binal, ada sesuatu yang ta-di sempat membuatku heran. Kau bilang telah
terkapar selama tujuh hari dalam keadaan luka seperti itu, apakah kau tak salah
ngomong?" "Mungkin malah lebih dari tujuh ha-ri!" kata Belati Binal, langkahnya ikut
berhenti di bawah pohon itu. "Sejak aku bertarung dengan Dupa Dulang, kau lalu
menghilang. Aku mencari ke mana-mana tak ketemu, sampai akhirnya aku bermaksud
pu- lang. Tapi karena sesuatu hal, akhirnya niat pulangku tertahan."
"Sesuatu hal yang bagaimana maksudmu?"
"Aku harus menolong seorang sahabatku yang terluka karena serangan lawannya. Ia
kubawa ke dalam sebuah gua, tapi akhirnya kami berdua sama-sama tersesat.
Sehari semalam aku dan dia tak bisa keluar dari gua itu, sebab pintu gua tibatiba bagaikan hilang tak kami temukan."
"Aneh..."!" gumam Pandu sambil terngiang kata-kata Dewi Selimut Malam yang
mengatakan semua pintu gua ditutupnya dengan kekuatan batin. Pantas jika
seseorang yang masuk ke dalam gua yang ada di bukit itu menjadi bingung mencari
pintu dan jalan keluarnya.
"Tapi akhirnya setelah kami terku-rung di dalam gua selama sehari semalam, pintu
gua kami temukan kembali. Saat itu sahabatku sudah sembuh betul, lalu kami
berpisah arah. Dan aku bertemu dengan Dalang Setan. ia menuntut balas atas
kematian Dupa Dulang karena racun pisauku.
Aku sempat kecolongan jurus, dan akhirnya babak belur. Ia sengaja tidak mau
membunuhku dengan cepat. Ia ingin aku menderita sampai menemui ajal. Kuhitung
hari de-mi hari, ternyata tujuh hari kemudian kau baru muncul. Aku tak tahu, ke
mana saja kau sebenarnya?"
"Aku... aku juga masuk ke dalam gua dan... tak bisa keluar. Karena maksudku
sebenarnya mencari Kitab Panca Longok yang disimpan dalam gua bekas tempat semadinya Ki Mangut Pedas. Tapi... tapi aku tidak lama. Aku tak sampai seharian di
dalam gua itu kok! Cuma sebentar, lalu keluar lagi."
"Hemm!" Belati Binal mencibir. "Sebentar bagaimana" Ternyata kau jumpa aku lagi
setelah tujuh hari aku terkapar luka parah di tempat tadi! Mungkin dua hari lagi
aku tewas karena tak bisa sembuhkan luka racun dari pukulan si Dalang Setan
itu!" "Benar-benar aneh," gumam Pandu Puber sambil merenung. Lalu, semua kata-kata
Dewi Selimut Malam yang berhubungan dengan misteri gua tersebut terngiang
kembali di telinga Pandu. Ternyata perputaran waktu benar-benar mengalami perbedaan yang menyolok antara di dalam gua dan di luar gua.
Pendekar berpotongan rambut punkrock itu membatin kata di hatinya, "Padahal cuma sebentar lho, kok bisa terpaut
sampai satu minggu, ya" Aku bicara dengan Dewi Selimut Malam juga hanya
sebentar. Lalu... lalu aku mau pergi, tapi pintu gua ditutup, dan dia minta upah jika
pintu gua harus dibuka kembali. Dan... dan aku memberinya upah juga nggak sampai
se- minggu. Ah, kayaknya mustahil sekali deh.
Masa' aku bercumbu dengannya sampai seminggu lamanya" Kayaknya sih cuma
sebentar, hanya satu angkatan saja. Toh dia sudah merasa bahagia sekali mendapat
kemesraanku, dia sudah merasakan kepuasan yang menentramkan batinnya walau hanya
sebentar. Tapi... mungkinkah waktu yang sebentar itu ternyata waktu seminggu
bagi kemesraanku dengan Dewi Selimut Malam?"
Bayangan kemesraan muncul dalam benak Pandu Puber. Bayangan saat ia dicumbu
habis oleh Dewi Selimut Malam yang ternyata lebih buas serta lebih galak dari
singa beranak itu sempat membuat hati Pandu berdesir-desir. Pandu Puber
mengakui, kalau saja bukan dia pasangan perempuan itu, mungkin akan mati
kehabisan tenaga cinta.
"Dewi Selimut Malam benar-benar se-panas singkong baru diangkat dari penggorengan. Ah, mudah-mudahan dia tidak mem-bocorkan skandalku dengannya di depan
Di-an Ayu Dayen. Tapi repotnya kalau dia sampai ketagihan seperti Dardanila dan
Janda Keramat itu bagaimana, ya?"
Agaknya Pandu Puber mulai sadar
bahwa siapa pun orangnya jika sudah pernah bercinta dalam kemesraan, yang amat
dalam bersamanya, pasti akan mencari-cari dan menuntut adegan ulang. Tapi Pandu
tetap belum tahu bahwa di dalam darah kemesraannya itu tertanam racun 'Pemikat Surga' sebagai keistimewaan dirinya yang
berdarah blaster; dewa dengan jin itu.
Racun tersebut bikin perempuan yang pernah berskandal dengannya menjadi tergilagila cumbuan, mudah dibangkitkan gairah-nya hanya dengan membayangkan wajah sang
anak dewa itu. Racun yang selalu menuntut kehangatan dari Pandu itu jika tidak
di-turuti akan membuat perempuan itu menjadi kurus, tekanan batin, akhirnya
mati. Andai saja gadis pelacak itu sampai bercumbu dengan Pandu, maka gadis itu akan
menjadi gadis gila kencan, dan tak akan tertarik dengan lelaki lain kecuali
Pandu Puber. Untung saja Belati Binal tak terlibat urusan cinta dan kehangatan
dengan Pendekar Romantis, sehingga ia bebas dari pengaruh gila kencannya racun
'Pemikat Surga'.
Pandu sendiri sebenarnya ingin me-nikmati kehangatan bibir Belati Binal,
terutama kehangatan gumpalan dada yang mirip mangkok bakso itu. Tetapi karena
sikap Belati Binal selalu berwajah cemberut atau bersungut-sungut, tak pernah
tersenyum sedikit pun, maka hasrat Pandu hanya sebatas mengagumi kecantikan si
wajah mungil itu.
"Kau tak perlu bicarakan soal se-nyumanku," kata Belati Binal ketika Pandu
membicarakan 'anti senyum' yang ada di
wajah Belati Binal, "... yang perlu kita bicarakan adalah kitab itu. Kau pasti
sudah memperoleh Kitab Panca Longok dari dalam gua tersebut, bukan?"
"Kau sama saja dengan si Dalang Setan tadi; menuduhku mendapatkan kitab
tersebut. Padahal aku masuk ke dalam gua dalam keadaan tersesat. Bukan gua itu
sebenarnya yang harus dimasuki."
"Memang di bukit ini banyak gua."
"Benar. Dan menurut seseorang yang kutemui di dalam gua itu, ternyata Kitab
Panca Longok telah diambil oleh Ken Warok dan diserahkan kepada utusannya Ratu
Cadar Jenazah!"
"Sial!" geram Belati Binal, wajahnya makin bebas senyum. "Sudah kuduga Ken Warok
memang bekerja sama dengan Ratu Cadar Jenazah!"
"Nggak gitu kok. Ternyata menurut sang pertapa yang kutemui di gua itu, Ken
Warok terancam bahaya. Karena merasa nyawanya terancam, mau tak mau ia serahkan
kitab itu kepada sang utusan Ratu Cadar Jenazah. Kabarnya, sekarang kitab itu
sudah ada di tangan sang Ratu!".
"Kalau begitu aku akan merebutnya!"
"Jangan. Itu berbahaya bagi keselamatan jiwamu. Kusarankan sebaiknya minta-lah
pendapat gurumu dulu. Nyai Cemara Langit punya cara sendiri untuk mengga-galkan
rencana Ratu Cadar Jenazah mempelajari juru 'Lima Setan Bingung' yang ada di dalam kitab itu."
Belati Binal diam termenung memikirkan saran Pandu. Lalu ia bertanya dengan suara pelan, "Kau mau ke mana jika
aku menghadap Guru?"
"Apakah kau ingin kudampingi terus?"
"Aku hanya bertanya!" jawab Belati Binal sambil bersungut-sungut malu
TUJUH TENGKORAK Tobat adalah orang yang ditugaskan mendapatkan Kitab Panca Longok. Tak
heran jika dia pun menjadi incaran berbagai pihak. Salah satu orang yang
mengincar kitab itu adalah Dalang Setan.
Tujuannya bukan untuk mempelajari isi kitab tersebut, melainkan untuk
menaklukkan hati si Ratu Cadar Jenazah.
"Kalau aku bisa dapatkan kitab tersebut, maka Cadar Jenazah akan tunduk
kepadaku. Setidaknya, dia akan berpikir bahwa aku adalah orang yang berbahaya
ji-ka sampai kupelajari isi kitab tersebut.
Dan jika ia inginkan kitab itu, maka te-busannya adalah perkawinan indah
bersama-ku."
Begitulah jalan pikiran si tua-tua
keladi yang makin tua makin seperti keladi itu. Sebab cinta yang tumbuh di hati
Dalang Setan ternyata sudah cukup lama, sejak berusia tiga puluh lima tahun,
yaitu setelah ia menjadi duda tanpa anak akibat ditinggal mati istrinya dan ogah
nyusul ke alam kematian.
Dalang Setan pun segera melamar Ra-tu Cadar Jenazah, tapi lamarannya selalu
ditolak dengan cara halus. Bahkan ketika Dalang Setan kerahkan murid-muridnya
untuk menyerang pihak Ratu Cadar Jenazah, ternyata kekuatannya kalah. Padahal
semula ia ingin persunting sang Ratu dengan cara paksa.
Sekarang karena ada kasus Kitab
Panca Longok, tentunya Dalang Setan tak mau sia-siakan kesempatan itu. Ketika
Du-pa Dulang belum 'wassalam' alias mati, Dupa Dulang pernah kasih saran sama
sang Guru dalam acara santai bersama setelah ujian selesai.
"Mengapa Guru harus memburu Ratu Cadar Jenazah" Toh masih banyak wanita lain
yang nilai kecantikannya sama dengan Ratu Cadar Jenazah, bahkan yang lebih
cantik pun ada. Guru tinggal pilih yang mana, nanti kami sebagai murid setia
Guru yang akan melamarkannya."
"Dupa Dulang, kau tidak tahu arti cinta yang sejati. Bagiku, biarpun seribu
bidadari berdiri di depanku tanpa busana,
aku tetap akan memilih Ratu Cadar Jenazah. Kenapa begitu" Karena yang memilih
adalah hatiku, dan di dalam hatiku ter-pendam telaga cinta yang murni, bersih,
dan bening. Telaga cinta itu khusus untuk dia, Dupa Dulang."
"Saya khawatir Guru kena pikat olehnya."
"Tidak mungkin. Malahan ilmu pi-katku nggak mempan untuk dirinya. Dan la-gi,
kenapa kau bisa bilang begitu, Dupa Dulang?"
"Karena tadi Guru bilang, biar ada sepuluh bidadari tanpa busana berdiri di
depan, maka Guru tetap akan memilih sang Ratu."
"Itu kan hanya ibaratnya saja, Goblok! Kalau memang benar-benar ada sepuluh
bidadari tanpa busana berdiri di depan mata, yaaah... seret satu per satu dong!
Cari tempat sepi."
"Untuk apa dibawa ke tempat sepi, Guru?"
"Suruh nyabutin ubanku!" Jawab sang Guru agak jengkel dengan pertanyaan yang
dianggap mana bego itu.
Kobaran api cinta sang Dalang membuat ia mengatur siasat. Beberapa murid pilihan
dikumpulkan. Mereka diberi penga-rahan dan diberi tugas masing-masing.
"Dupa Dulang bertugas mencari cucunya Ki Mangut Pedas. Pasti dia tahu di
mana kitab itu disembunyikan. Kalau kau gagal, maka Jamak Jidat menggantikannya.
Dan tentunya Ratu Cadar Jenazah tak tinggal diam. Dia pasti mengirimkan
utusannya untuk merebut kitab itu. Maka seandainya terjadi demikian, bayangbayangi terus siapa orang yang diutusnya itu. Jika kitab itu ada di tangannya,
rebut dan habi-si di jalan. Jamak Jidat orang yang harus membayang-bayangi siapa
utusan dari Ratu Cadar Jenazah itu. Paham?"
"Paham, Guru!"
"Kalau Jamak Jidat gagal, maka Legawa harus menghadang si pembawa kitab itu di
tebing perlintasan menuju Bukit Guiana."
"Kalau saya gagal bagaimana, Guru?"
tanya Legawa yang bersuara kecil cempreng itu.
"Kalau kau gagal, maka Dewa Dungdung menghadang perjalanan kitab itu di pantai
yang menuju ke Bukit Gulana, dekat perbatasan wilayah itu. Ngerti?"
Dewa Dungdung yang bertubuh kurus ceking itu mengangguk dengan mulut bengong
bagaikan tak paham atas penjelasan tersebut. Dewa Dungdung memang bertampang
bloon, tapi kesaktiannya terletak pada benda kecil yang dapat ditabuh sewaktuwaktu dan getaran suaranya bisa memecahkan gendang telinga lawan dalam sekali
tabuh. Karena itulah maka ia dijuluki sebagai Dewa Dungdung.
Itulah sebabnya perjalanan Kitab
Panca Longok tidak bisa semulus dugaan pihak sang Ratu. Perjalanan yang
seharusnya cukup dua hari menjadi berhari-hari.
Masalahnya, Tengkorak Tobat yang telah berhasil memaksa Ken Warok untuk dapatkan
Kitab Panca Longok itu selalu menghadapi hambatan yang tidak kecil. Selain harus
menyingkirkan Jamak Jidat bersama dua anak buahnya, juga harus menyingkirkan
Legawa bersama tiga anak buahnya.
Tengkorak Tobat jadi bahan buruan orang-orang itu. Ia seperti maling yang
dikepung ke sana-sini, sampai-sampai ma-syarakat sebuah desa percaya dengan
teriakan Jamak Jidat, sehingga penduduk de-sa itu ikut-ikutan mengejar Tengkorak
Tobat yang disangka maling benaran itu.
Dengan susah payah, akhirnya satu-persatu dapat ditumbangkan oleh Tengkorak
Tobat yang bersenjata kapak berantai. Gagang kapaknya jika ditarik ke bawah
dapat keluarkan rantai panjang dan bisa digunakan untuk disabetkan ke lawan.
Tentu saja lawan yang kena sabetan itu akan terpeng-gal lehernya atau terpotong
anggota tubuhnya. Bahkan ada anak buah Jamak Jidat yang terpotong hidungnya
gara-gara terlambat menarik kepala saat kapak itu me-mangkas permukaan wajahnya.
"Jamak Jidat, kuberi kesempatan padamu untuk mundur. Kalau masih nekat, aku tak akan pandang bulu lagi. Walaupun
kau murid si Dalang Setan, akan kutebas pula lehermu dengan kapak terbangku
ini!" Jamak Jidat semakin berang mendengar tantangan itu. Dua anak buahnya sudah
tumbang, mau tak mau ia harus menuntut balas kematian dua anak buahnya itu. Maka
Pendekar Romantis 06 Kitab Panca Longok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa banyak kompromi lagi, Jamak Jidat menyerang Tengkorak Tobat dengan Jurus
golok yang dinamakan 'Janda Golok Pitu'. Namun karena memang ilmu Tengkorak
Tobat lebih tinggi dari orang-orang utusan si Dalang Setan, maka mau tak mau
Jamak Jidat pun tumbang dipangkas kapak tepat pada bagian lehernya. Tak heran
jika Jamak Jidat pulang tanpa membawa kepalanya. Lebih tak mengherankan lagi
jika ia tak bisa pulang sambil membawa kepalanya, seperti yang dialami saat itu.
Tengkorak Tobat semula riskan mau membunuh anak buah Dalang Setan, sebab sebelum
ia menjadi orangnya Ratu Cadar Jenazah, ia pernah bersatu bahu-membahu bersama
Dalang Setan dalam menyerang Ke-raton Kahuripan di Pulau Sanga. Praktis
sebenarnya antara Tengkorak Tobat dengan Dalang Setan pernah menjalin
persahabatan yang baik.
Namun agaknya persahabatan itu tak bisa dipertahankan lagi. Tengkorak Tobat tak
memberi kesempatan orang-orangnya Dalang Setan untuk bertobat. Semua mati dipangkas kapak terbangnya, sedangkan
Kitab Panca Longok masih tetap ada di selipan pinggang di bagian belakang.
Pada waktu itu hampir mencapai perbatasan Bukit Guiana, di daerah pantai, mau
tak mau dia harus berhadapan dengan Dewa Dungdung dengan empat anak buahnya.
Pertarungan di pantai itulah yang dilihat Pandu Puber secara sembunyi-sembunyi.
Dari tempat persembunyiannya, Pendekar Romantis sempat terkagum-kagum melihat
kehebatan senjata kapak terbang itu. Tengkorak Tobat mampu tumbangkan keempat
anak buah Dewa Dungdung dalam beberapa jurus saja. Tetapi Dewa Dungdung sendiri
cukup ulet dan alot. Berulang kali serangan Tengkorak Tobat mampu dihindari Dewa
Dungdung. Akhirnya Dewa Dungdung pergunakan senjata bende andalannya. Ketika bende itu
ditabuh satu kali, suaranya menggema ke mana-mana.
Tuungngng...! "Aaahg...!" Tengkorak Tobat menge-jang dalam keadaan jatuh berlutut. Ia
memejamkan mata kuat-kuat karena menahan rasa sakit yang luar biasa hebatnya.
Tapi anehnya Dewa Dungdung sendiri tidak merasakan sakit sedikit pun, demikian
pula Pandu Puber yang ada di persembunyiannya.
Rupanya gema suara bende tersebut hanya
menyerang lawan yang dituju oleh mata si Dewa Dungdung. Orang yang bukan lawan
De-wa Dungdung biar mendengar suara bende dari jarak sejengkal tidak akan merasa
kesakitan, cuma bikin budek aja.
Hampir saja Tengkorak Tobat mati
dengan kepala pecah karena getaran gelombang suara bertenaga dalam tinggi dari
bende tersebut. Untung ia segera atasi kekuatan itu dengan tenaga dalamnya yang
dikerahkan hingga tubuh gemetaran. Wajah yang memerah, urat yang menegang
bertonjolan keluar dari kulit leher membuat suara bende tak mampu memecahkan
kepalanya. "Heaaat...!" Tengkorak Tobat sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat
lurus ke atas. Pada saat itulah kapak berantai disabetkan ke arah Dewa Dungdung.
Rupanya dengan sentakan khusus, rantai itu bisa menjadi panjang mendadak,
sehingga jarak yang disangka tak akan sampai ke tubuh Dewa Dungdung, ternyata
dengan mudah bisa dijangkau oleh kapak tersebut. Wuungngng...!
Kelebatan kapak begitu cepat, bagaikan angin berhembus menjelang hujan turun. Dan mata kapak yang sebesar
belahan piring itu dengan girangnya menyambar leher Dewa Dungdung. Crass...!
Kepala Dewa Dungdung tidak langsung jatuh. Bahkan dalam keadaan tidak bergerak
dan masih berdiri, Dewa Dungdung masih sempat tersenyum sinis. Tapi tiba-tiba mata Pandu Puber melihat ada darah
mengalir dari sekeliling leher Dewa Dungdung. Kejap berikutnya senyum Dewa
Dungdung hilang karena sewaktu ia ingin bergerak, ternyata kepalanya
menggelinding jatuh ke tanah. Pluk...!
Kalau sudah begitu tentunya sang
nyawa malas berdiam di raga tanpa kepala.
Dengan lain perkataan, matilah Dewa Dungdung tanpa senyum seulas
"Jahanam kau, Tengkorak bangsat!!"
teriak sebuah suara yang muncul dari balik gundukan batu. Orang itu ternyata
adalah Legawa, yang sewaktu bertarung dengan Tengkorak Tobat di lereng
perlintasan sempat melarikan diri mencari siasat membokong itu. Tapi siasat itu
agaknya terlambat. Ketika seharusnya ia lepaskan serangan dari belakang
tengkorak Tobat, rekan seperguruannya sudah telanjur dipenggal oleh si Tengkorak
Tobat. Emosinya meluap, sehingga ia berteriak keras-keras saat melepaskan serangan
berupa sinar merah membara dari telapak tangan kanannya.
Clapp...! Wuuut...!
Tubuh Legawa melompat cepat, bagai mengikuti gerakan sinar merahnya. Ternyata
sinar merah itu dihantam oleh sinar hijau yang bergerak lebih cepat. Sinar hijau
itu datang dari balik gugusan batu
karang. Ternyata di sana ada orang yang me-mihak Tengkorak Tobat. Sinar hijau mampu
menghantam sinar merah dengan tepat sebelum sinar merah mencapai punggung
Tengkorak Tobat. Blegarr...!
Tapi kedua orang yang sedang bermusuhan itu akhirnya sama-sama terjungkal dalam
keadaan terpental jauh. Ledakan itu sempat menimbulkan angin panas yang
menghembus sesuai arah angin di pantai itu.
Gugusan batu karang yang ada di perairan pantai sebelah timur menjadi hangus
mendadak karena angin panas tadi.
"Mundurlah, Tengkorak Tobat. Biar kubereskan orang itu!"
"Ranting Kumis!" seru Tengkorak Tobat dengan suara berat seraya bangkit berdiri.
"Dia masih bagianku. Biar kuse-lesaikan sendiri. Bawalah kitab ini pulang
secepatnya!"
Tengkorak Tobat segera keluarkan
kitab itu, lalu dilemparkan ke arah Ranting Kumis. Tabb...! Orang berkumis kaku
seperti ranting itu menangkap kitab tersebut.
"Cepat serahkan pada Ratu!" sentak Tengkorak Tobat. Sementara itu, Legawa segera
maju menyerang lagi dengan kilatan cahaya dari kedua tangannya secara berun-tun.
Clap, clap, clap, clap...!
Tengkorak Tobat menangkis serbuan
sinar kuning itu dengan putaran kapak berantai yang kecepatan putarnya menyamai
baling-baling pesawat Boing. Putaran kapak itu keluarkan sinar menyebar warna
hijau pula dan terjadilah ledakan berun-tun menyerupai petasan memberondong,
mirip petasan di pesta perkawinan.
Pendekar Romantis segera bergerak menghadang si Ranting Kumis yang membawa Kitab
Panca Longok. "Maaf mengganggu perjalananmu sebentar, Sobat!" kata Pandu Puber dengan
santainya. Si Ranting Kumis memandang dengan sikap bermusuhan.
"Kau murid barunya Dalang Setan"!"
"Bukan," jawab Pandu, "Tapi barang-kali aku adalah musuh barumu jika kau tak mau
serahkan kitab itu!"
"Keparat kau! Barangkali kau belum tahu siapa aku, hah"!"
"Sudah. Kudengar Tengkorak Tobat memanggilmu dengan nama si Ranting Kumis.
Pantas sekali nama itu bila ditinjau dari kumis kakumu yang mirip ranting itu.
Tapi tujuanku menahan langkahmu bukan untuk bicara tentang kumis. Aku hanya
mau...," ucapan itu terhenti karena jeritan yang memilukan.
"Aaa...!"
Rupanya Legawa terkena tebasan kapak. Dadanya terbelah oleh sabetan kapak
Tengkorak Tobat. Tentu saja ia langsung
terjengkang ke belakang dan tak lebih da-ri tiga helaan napas sang nyawa pun
lolos meninggalkan raganya menuju ke akherat tanpa membawa peta segala.
"Siapa lagi itu"!" teriak Tengkorak Tobat melihat Pandu menghadang Ranting
Kumis. Ia bergegas melesat menghampiri Ranting Kumis. Wajah kurus bermata bundar
cekung itu menatap Pandu dengan bengis.
"Bocah pongah ini menghendaki kitab kita, Tengkorak Tobat!"
"Minggirlah, biar kubantai sekalian yang kayak gini!"
"Heeat...!" Ranting Kumis melompat meninggalkan tempat sambil menendang ke
samping dan tepat kenai wajah Pandu. Setelah itu ia melesat terus, berlari menyelamatkan Kitab Panca Longok menuju ke Bukit Gulana.
Pandu Puber menggerutu, karena tendangan di luar dugaan itu telah membuatnya
jatuh terjungkal ke samping. Ia sempat melihat kitab itu dibawa lari oleh
Ranting Kumis, namun sebelum ia bergerak mengejarnya, kapak berantai itu telah
menghantam punggungnya lebih dulu.
Wuusss...! Untung Pandu Puber mampu bergerak bersalto ke belakang dengan menggunakan
tumpuan kedua tangannya sehingga tebasan kapak itu dapat dihindari. Tetapi
Tengkorak Tobat menjadi lebih beringas lagi karena tak menyangka tebasan kampaknya gagal mencapai sasaran. Ia segera menyerang
dengan sebuah tendangan kaki, namun tangan Pandu berkelebat menangkis, dan
kakinya ganti menendang sambil badan berputar ke belakang. Kaki itu masuk ke
dada Tengkorak Tobat yang kurus kerempeng itu.
Brakk...! Tulang dada terasa patah semua.
Orang berbaju hitam dengan lengan bajunya yang putih itu ternyata termasuk orang
yang kuat. Biar tubuhnya tinggal tulang-belulang tapi ia mampu bertahan
menghadapi serangan sekeras itu. Dalam waktu sekejap ia mampu bangkit dari
jatuhnya. Walau wajahnya menyeringai menahan rasa sakit di bagian dada, tapi ia
masih mampu melompat ke arah Pandu dengan menghantamkam kapaknya.
Wuung...! Pandu Puber melompat ke samping,
kapak pun menghantam tempat kosong. Karena gerakannya dari atas ke bawah, maka
kapak itu pun menancap di pasir pantai.
Tapi dengan sekali sentak, kapak berantai itu mampu melesat mundur dan ditangkap
dengan satu tangan oleh Tengkorak Tobat.
Rupanya orang berambut kucai yang mengenakan ikat kepala merah dengan usia
sekitar empat puluh tahun itu termasuk orang yang tak mau memberi kesempatan pada lawan seriusnya untuk bertobat dalam arti melarikan diri. Pandu Puber yang
se- benarnya ingin mengejar Ranting Kumis ja-di terhalang lagi oleh serangan
Tengkorak Tobat. Orang itu menyerang dengan kapak di tangan dan hampir saja
berhasil mero-bek dada Pandu Puber ketika kapaknya ta-hu-tahu berkelebat
menyamping. Wuusss...!
Bahgg...! Pandu terjungkal ke belakang. Ternyata kibasan kapak menyemburkan
gelombang tenaga dalam cukup tinggi yang menyentak sangat kuat itu. Gazrukk...!
Pandu terkapar di pasir pantai. Tengkorak Tobat tak berikan kesempatan Pandu
untuk bangkit, maka kapak itu diayunkan bersama rantainya membelah ke tubuh yang
terkapar itu. Clapp...! Dalam keadaan terbaring Pandu Puber terpaksa lepaskan jurus
'Cakram Biru' yang berupa sinar biru berbentuk cakram keluar dari pergelangan
tangan. Clapp...!
Sinar biru itu melesat ke langit
tepat menyambut datangnya mata kapak yang putih mengkilap itu. Maka seketika itu
juga terdengarlah ledakan membahana akibat benturan sinar biru dengan mata kapak
itu. Glegarrr...!
Pantai dan air laut berguncang. Tubuh Pandu Puber berguling-gulling hindari
semburan sinar biru keruh dari ledakan tersebut. Sementara itu, Tengkorak Tobat
diam tertegun bengong. Shock begitu melihat kapaknya hancur menjadi serpihanserpihan tak berarti lagi. Sementara rantainya masih utuh terkait di sisa gagang
kapak yang hangus.
Pandu Puber segera bangkit, karena pada waktu itu ia mendengar teriakan
Tengkorak Tobat yang mirip orang kesuru-pan. Emosi kemarahannya meluap sontak
tanpa takaran lagi.
"Bangsat...!! Heeaaahh...!"
Kedua tangan Tengkorak Tobat bersinar, sinar itu berwarna merah membara.
Dari matanya pun keluar sinar merah membara, dari mulutnya keluar semburan api
yang menyambar wajah Pandu Puber.
Zlap, zlapp, zlapp...!
Pandu Puber gunakan gerak jurus
'Angin Jantan', yang membuatnya mampu berpindah tempat dengan cepat. Hal itu
cukup membingungkan Tengkorak Tobat, sehingga serangan buasnya dengan pasukan
sinar merahnya itu hanya menghantam benda-benda tak berarti; batu, pohon,
karang, dan kepala si Dewa Dungdung yang tergeletak di pasir itu.
"Aku di sini, Tengkorak Tobat!"
Suara itu datang dari belakang.
Tengkorak Tobat cepat balikkan badan. Ta-pi tepat ia berbalik badan, sinar putih
perak melesat dari telapak tangan Pandu yang saling merapat di dada. Clapp...!
Sinar putih perak itu menghantam telak dada Tengkorak Tobat. Blarrr...!
Akhirnya lenyap sudah tubuh itu. Ke mana perginya"
Menjadi abon. Serpihan tubuh itu
nyaris tak bisa dikenali sebagai serpihan tubuh manusia. Jurus 'Inti Dewa' yang
berbahaya terpaksa digunakan Pandu karena lawannya tak mau memberi kesempatan
untuk berunding. Mau tak mau riwayat Tengkorak Tobat berakhir sampai di situ.
Satu-satunya sisa peninggalan masa hidupnya hanyalah rantai kapak yang masih
terkait di gagang yang hangus tanpa mata kapak itu.
Pendekar Romantis berdiri tegak
dengan kedua kaki merenggang kokoh. Dadanya yang bertato membusung dan segera
mengendur bersama hembusan napas kele-gaannya. Dalam hati sang Pendekar
Romantis, berkata, "Aku harus mengejar si Ranting Kumis sebelum kitab itu sampai
di tangan Ratu Cadar Jenazah!"
Namun ketika ia mau bergerak, mendadak ada suara yang memanggilnya dari balik
semak-semak, tak jauh dari tempatnya bersembunyi tadi.
"Pandu...!"
Pemuda tampan itu segera berpaling.
"Oh, kau..."! Bagaimana kau bisa sampai di Sini, Ken Warok?"
Ternyata orang itu adalah Ken Warok yang segera menghampiri Pandu Puber.
"Aku mengikuti Tengkorak Tobat secara diam-diam. Sebenarnya aku ingin membunuhnya sendiri pada saat dia dalam
keadaan lemah atau lengah. Aku ingin membalas kematian kakekku. Tapi ternyata
kea-daannya selalu unggul melawan orang-orangnya Dalang Setan. Aku tak pernah
punya kesempatan untuk menyerang kelema-hannya. Tapi, syukurlah kalau sekarang
ia sudah menjadi dendeng karena jurus mautmu yang kulihat dari semak-semak itu,
Pandu?" "Ya, tapi aku harus mengejar Ranting Kumis. Dia membawa lari kitab itu!"
"Tak perlu," ujar Ken Warok sambil tersenyum. "Kitab itu palsu."
"Hah..."! Palsu"!"
"Aku sempat lupa benaran waktu cerita padamu tentang kitab dan kakekku, bahwa
Kakek mempunyai Kitab Panca Longok yang palsu untuk mengatasi hal-hal seperti
saat ini. Dan ketika aku terancam oleh Tengkorak Tobat, kuserahkan kitab yang
palsu kepadanya. Kitab Panca Longok yang asli ada padaku!" Lalu pemuda pendek,
kecil, kurus itu keluarkan kitab dari dalam bajunya. Ia memperlihatkan kitab itu
dengan bangga. Pandu Puber pun tertawa melihat kecerdikan Ken Warok yang
penampilannya sering menjengkelkan karena sifat sok tahunya itu. "Akan kau
apakan kitab itu, Ken Warok"!"
"Terserah kau sajalah! Aku tak mau
pusing lagi dengan kitab itu!"
Ken Warok melemparkan kitab tersebut, dan Pandu menangkapnya. Kemudian mereka
melangkah bersama sambil Ken Warok bertanya,
"Bagaimana dengan gadis bernama Belati Binal itu?"
"Ia mengharap kehadiranku saat kami berpisah di persimpangan jalan. Aku dimintanya datang ke perguruannya."
"Aslinya yang diharapkan datang itu aku, tapi karena dia nggak enak sama ka-mu,
maka dia berpura-pura menyuruhmu datang. Dalam hal ini aku sebenarnya harus tahu
diri. Mau tak mau aku harus ikut denganmu ke perguruannya."
Pandu mencibir, "Sok tahu lu!" dan Ken Warok hanya cengar-cengir sambil garukgaruk kepalanya yang berambut cepak, seperti mahasiswa habis diplonco.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Golok Bulan Sabit 14 Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Siasat Yang Biadab 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama