Ceritasilat Novel Online

Patung Iblis Banci 2

Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci Bagian 2


"Apa yang membuatmu tak tertarik untuk ikut memperebutkan pusaka Patung Iblis
Banci itu?"
"Pusaka itu tidak ada. Hanya omong kosong belaka. Itulah sebabnya kukatakan
bahwa pusaka. Itu hanya isapan jempol belaka!"
Pandu dan Dardanila saling memandang dalam kesangsian.
"Tidak ada"! Benarkah hanya isapan jempol semata?" gumam Pandu dengan nada
lirih. LIMA BULAN purnama kurang dua malam lagi.
Bukit Jengkal Demit sudah banyak
disatroni para tokoh rimba persilatan.
Tentu saja mereka datang secara sembunyi-sembunyi. Ada yang datang berdua, ada
yang datangnya bertiga. Tetapi yang banyak mereka datang secara pribadi.
Sendiri dan tersembunyi. Arah sasaran mereka adalah kuburan di bawah pohon beringin berdaun merah.
Pohon beringin berdaun merah hanya
ada satu di seluruh Bukit Jengkal Demit.
Di bawah pohon itulah jenazah Iblis Banci dimakamkan oleh murid tanggungnya yang
bernama Layang Petir. Keadaan si Layang Petir yang gemar mabuk kala itu membuat
rahasia tentang kuburan Iblis Banci bocor ke mana-mana. Akibatnya sekarang
kuburan itu menjadi bahan incaran para tokoh.
Mereka yakin bahwa Patung Iblis Banci akan keluar dari makam itu, sebab tandatandanya persis seperti apa yang
dikabarkan oleh Layang Petir, yaitu
tentang rembulan berwarna hitam. Jika dari awal kemunculan rembulan sudah ada
awan hitam melapisi cahayanya, maka sudah pasti pada saat bulan purnama nanti
sang rembulan tetap akan dilapisi awan hitam sebesar penampang rembulan itu
sendiri. Tak heran jika mereka punya praduga bahwa pada saat muncul bulan purnama nanti,
orang pacaran akan berkurang, karena suasana malam tidak seromantis biasanya.
Para tokoh yang menuju dan menunggu di sekitar makam Iblis Banci itu
berkelebat saling menyelusup semak atau pepohonan. Gerakan itu sempat dilihat
oleh Pandu Puber dan Dardanila, sehingga mereka saling berkasak-kusuk dari atas
pohon, tempat persembunyian mereka. Pohon yang digunakan mereka adalah pohon
jenis beringin cabang yang mempunyai dedaunan rimbun, banyak cabangnya dan
berakar gantung lebat. Keadaan itulah yang membuat Pandu serta Dardanila tidak terlihat oleh mereka yang tersebar di sekitar
tempat itu. "Kalau memang apa kata Pak Tua itu benar, bahwa Patung iblis Banci hanya isapan
jempol semata, mengapa para tokoh lainnya berkumpul di sini secara tak langsung"
Dan mengapa rembulan benar-benar menjadi tersaput awan hitam?" ujar Dardanila
yang tak mau jauh-jauh dari Pendekar Romantis.
"Keadaan alam ini mungkin hanya sesuatu yang bersifat kebetulan saja, lalu
dihubung-hubungkan dengan cerita lama tentang munculnya pusaka Patung Iblis
Banci. Mereka salah tafsir. Tapi bisa juga Pak Tua itu sendiri yang salah
tafsir." Percakapan dengan kakek berjubah biru yang minta dipanggil sebagai Pak Tua itu
terngiang kembali di telinga Pandu, terbayang pula sosok penampilan tua yang
berwibawa menjelaskan perkara Patung Iblis Banci yang sedang dijadikan bahan
incaran tersebut. Kala mereka berada di dalam gua itu, Pak Tua duduk bersila di
dekat api unggun dan menjelaskan dengan suara jelas di depan Pandu Puber dan
Dardanila. "Usiaku sudah mencapai sembilan puluh tahun lewat. Dulu semasa mudaku, aku
pernah melihat sosok tokoh sakti yang
dikenal dengan julukan Iblis Banci."
"Apakah ia memang benar-benar banci, Pak Tua?"
"Ya, memang ia banci. la lelaki yang gemar berdandan seperti perempuan, dan
punya perasaan perempuan juga. Ia cantik, tapi tubuhnya kekar. Ia suka terhadap
lelaki, dan benci wanita manja."
"Apakah kebanciannya itu merupakan kelainan jiwa sejak dari lahirnya, Pak Tua?"
tanya Pandu mulai ingin tahu secara detil.
Pak Tua diam sebentar, lalu menjawab dengan penuh wibawa yang ada pada
dirinya, "Kudengar, ia menjadi banci karena menuntut ilmu yang seharusnya untuk wanita,
tapi dipelajari olehnya, sehingga sifat-sifat wanita menular pada jiwanya."
"Apakah kau dulu pernah melawannya.
Pak Tua?"'
"Tidak. Aku tak berani melawannya,"
kata Pak Tua menjawab pertanyaan
Dardanila. "Siapa yang melawannya tak akan pernah punya sisa nyawa sedikit pun."
"Katanya dulu dia punya murid yang bernama Layang Petir" Apa benar itu, Pak
Tua?" "Soal itu aku kurang jelas," jawab Pak Tua setelah pandangi Pandu beberapa saat.
"Dari mana kau tahu kalau Iblis
Banci punya murid bernama Layang Petir?"
"Dari sebuah obrolan di kedai. Aku tak kenal siapa orang yang bicara pada saat
itu. Apakah itu penting menurutmu?"
"Tidak," Pak Tua ambil napas panjang-panjang. "Yang kutahu, dulu ada orang gila
yang mengaku mendengar suara dari alam kubur. Suara itu menurutnya adalah suara
si Iblis Banci yang bicara tentang penjelmaan dirinya kelak akan menjadi Patung
Sakti. Tapi itu hanya omongan orang gila yang memang otaknya nggak waras, masa'
harus kita percaya sih"
Bodoh kan itu namanya?"
Pandu dan wanita cantik di sebelahnya itu manggut-manggut. Mereka tampak
antusias sekali mendengar kata-kata Pak Tua yang dianggap tokoh angkatan masa
lalu yang bisa membeberkan siapa
sebenarnya Iblis Banci itu.
Pak Tua berkata lagi tanpa ekspresi apa pun, kecuali pandangan tajam berkesan
dingin membekukan tulang.
"Kuakui, dulu nama Iblis Banci memang menggetarkan jantung siapa saja. Termasuk
jantungku sendiri. Dia satu-satunya tokoh sakti yang tak pernah mau punya
pengikut. Ia bercita-cita menguasai seluruh rimba persilatan dari ujung bumi selatan
sampai utara."
"Apakah menurutmu ia berhasil, Pak Tua?" tanya Dardanila yang usia aslinya
tetap masih lebih muda dibanding Pak Tua.
"Menurutku, hampir berhasil. Tapi ia sudah keburu mati."
"Sosok penampilannya seperti apa sih orang yang bernama Iblis Banci itu" Aku kok
jadi penasaran ingin menemuinya
seandainya ia masih hidup."
"Kau bisa menemui rohnya," kata Pak Tua. "Jika kau sebut namanya sampai sembilan
puluh sembilan kali tanpa
bernapas, maka kau akan bisa melihat sosok dirinya dalam bentuk bayangan samarsamar. Dia dapat hadir menemuimu dan berdialog denganmu!"
"Yang benar saja, Pak Tua" Masa'
menyebut nama sembilan puluh sembilan kali tanpa bernapas, mana kuat?" ujar
Pandu Puber. "Itulah sebabnya tidak semua orang bisa lakukan, kecuali bagi mereka yang pandai
mengaturkan ilmu pernapasan
tinggi. Tak ada jeleknya kalau kau ingin mencobanya. Jika dalam pandanganmu kau
temukan sesosok bayangan orang berambut putih mengembang, wajahnya berpoles rias
wanita lengkap dengan gincunya sehingga tampak cantik, berpakaian perempuan
dengan jubah tanpa lengan warna merah, mengenakan dua anting di telinga kanankirinya, gelang, kalung, dan jarinya lentik berkuku runcing, tapi lengannya
kekar berotot walau kulitnya putih mulus,
nah... itulah sosok si Iblis Banci. Ia mirip wanita ganjen, tapi sebenarnya
lelaki yang perkasa dalam pertarungan.
Kalau saja ia masih hidup, pemuda
setampan dirimu pasti akan dikejarkejarnya dan dipaksa untuk bercumbu melayaninya!"
"Iih...!" Pandu Puber bergidik merinding membayangkan diajak bercumbu seorang
banci Dardanila sempat tertawa melihat Pandu bergidik merinding.
Dardanila berkata kepada Pandu,
"Kalau saja sekarang ia masih hidup dan mengejar-ngejarmu untuk diajak
bercumbu, mungkin aku akan korbankan nyawaku buat melawannya mati-matian."
"Ah, kecemburuanmu itu hanya luapan gairah belaka!" ujar Pandu yang membuat
Dardanila tersipu dan mencubit lengan Pandu Puber.
"Kusarankan lebih baik kalian
pikirkan hubungan kasih kalian itu.
Kulihat kalian amat mesra. Tak perlu memikirkan Patung Iblis Banci, nanti kalian
malah tak jadi kawin."
"Kawinnya sih sudah," jawab Dardanila sambil cekikikan, matanya masih saja
melirik jalang dan nakal. Tapi tokoh tua itu tidak tersenyum sedikit pun. Bahkan
berkata dengan serius lagi.
"Bulan purnama nanti akan terjadi pertarungan yang sia-sia. Kuburan itu
akan menjadi kubangan darah, dan darah itu adalah darah orang yang menjadi
korban kabar bohong! Barangkali tokoh-tokoh seangkatan denganku jika mengetahui
hal itu juga akan merasa prihatin atas kematian yang sia-sia nantinya.
Kusarankan kalian jangan ikut ambil bagian dalam pertarungan nanti."
Pandu berkerut dahi sedikit dan
bertanya, "Mengapa hanya kami yang kau sarankan begitu?"
"Bukan hanya kalian. Beberapa orang yang sempat kutemui sudah kuberi saran
begitu, tapi pada umumnya mereka tidak percaya dan nekat mau memperebutkan
Patung Iblis Banci. Aku hanya bisa lepas tangan, yang penting aku sudah jelaskan
kepada mereka tentang apa yang
kuketahui."
"Bagaimana kalau kami hanya hadir untuk menyaksikan perebutan patung itu?"
tanya Pandu sepertinya meminta saran kepada seniornya.
"Percuma! Kalian hanya akan membuang waktu. Lebih baik waktu yang ada kalian
gunakan untuk bermesraan dan saling mempererat hubungan batin yang indah."
"Aku setuju!" tukas Dardanila dengan cepat, karena diam-diam gairahnya sudah
mulai terbakar lagi dan membayangkan memeluk Pandu hingga bermandi peluh lagi.
"Saran Pak Tua patut kita jalankan,"
katanya kepada Pandu.
"Ah, otakmu hanya dipenuhi oleh bayangan-bayangan begituan melulu.
Bayangan seperti itu malah akan
memperlemah hidupmu, tahu"!"
Clapp...! Pendekar Romantis terkejut. Ada sinar melesat cepat dari mata Pak Tua. Sinar itu
berwarna putih kecil. Hampir tak kentara karena gerakannya cepat dan bentuknya
yang kecil. Pandu Puber hanya merasakan seperti terkena sesuatu yang menyilaukan
dalam sekejap. Bahkan ia menyangka dirinya salah duga, karena Pak Tua tetap diam
memandanginya dengan dingin, seakan tidak pernah melepaskan sinar apa pun dari
mata tuanya itu.
"Nikmatilah kemesraan kalian dan jangan datang ke pertarungan itu. Biarkan
mereka bertarung sendiri memperebutkan pepesan kosong!"
Kata-kata itu masih didengar oleh
Pendekar Romantis. Tapi makin lama apa yang diucapkan Pak Tua makin diterima
secara kabur. Pandu Puber merasa bingung pada dirinya sendiri.
"Kenapa perasaanku jadi begini"
Kenapa aku jadi gelisah dan berhasrat sekali untuk memeluk Dardanila" Oh,
jantung berdetak cepat, gairahku meletup-letup lagi. Hasratku untuk bercumbu
begitu menggebu. Ada apa ini" Uuh...
sial! Sulit sekali kupertahankan. Dan sentuhan tangan Dardanila di lenganku ini
terasa menghangati sekujur tubuh. Oh, seakan ia menyentuh kepekaanku dan
membuatku... membuatku...."
Pandu melirik Dardanila yang saat itu sedang bicara dengan Pak Tua. Debaran
jantungnya bertambah cepat, pertanda gairahnya sebagai seorang lelaki
mendobrak batin dan menuntut pelampiasan yang lebih nyata lagi. Bibir Dardanila
saat bicara dipandanginya. Bibir itu bagaikan lambaian tangan perawan dari atas
ranjang. Uh, menggemaskan sekali.
Sampai akhirnya tangan Pandu Puber
memberanikan diri meraba paha Dardanila.
Ia tak sadar bahwa cahaya putih yang melesat cepat dari mata Pak Tua itu adalah
cahaya pembangkit gairah bercinta yang tak bisa tertahankan lagi. Akhirnya ia
berbisik pelan di depan telinga
Dardanila. "Dardanila, aku ingin... ingin...
ingin mengulang yang tadi...."
Tentu saja ajakan itu disambut dengan sorak-sorak bergembira di hati Dardanila.
Tak menampik sedikit pun perempuan itu kala Pandu membawanya lebih masuk ke
dalam lorong gua dan melumat habis bibir Dardanila di balik susunan batu yang
meninggi itu. Pak Tua aneh itu hanya diam saja, tetap duduk di tempat sambil
sesekali mempermainkan api unggun dengan jari-jari tangannya.
Bagi Dardanila, sepertinya kesempatan itu adalah kesempatan yang amat
menggembirakan dalam hidupnya. Namun sebenarnya ia justru semakin terancam
bahaya karena dengan begitu maka racun
'Pemikat Surga' yang tersembur dari darah kemesraan Pandu Puber itu semakin kuat
menguasai dirinya. Semakin keruh darahnya dicemari racun yang akan membuatnya
tergila-gila pada Pandu, dan akan cepat mati kalau hasratnya tak terpenuhi.
Racun itu hanya akan menjadi tawar dan tidak berbahaya jika membaur dalam darah
bidadari. Setelah hasratnya terpenuhi dengan
selega-leganya, barulah Pandu Puber menyadari bahwa luapan gairahnya itu sengaja
dibakar oleh kekuatan sakti Pak Tua. Toh buktinya setelah mereka sama-sama
bermandi peluh, lalu ingin kembali bicara dengan Pak Tua, ternyata si kakek
misterius itu tidak ada di tempat.
Padahal di luar hujan masih deras bahkan disertai angin kencang.
"Setan dari mana Pak Tua itu tadi?"
pikir Pandu secara diam-diam, karena keganjilan rasanya tidak dibeberkan kepada
Dardanila. "Kurasa ia setan penggoda iman manusia yang gemar membangkitkan
gairah seseorang untuk berbuat hal
terkutuk! Sialan! Sinar dari matanya itu sekarang kurasakan sebagai sinar
beracun!" Tak heran jika esok paginya Pandu
nekat pergi ke makam Iblis Banci yang dapat dicarinya sendiri di Bukit Jengkal
Demit itu. Dardanila pada awalnya mencoba menahan Pandu agar tetap tinggal di
gua itu bersamanya, melanjutkan perjalanan cinta yang tak wajar itu, bahkan
sempat menawarkan untuk pulang ke Benteng
Geladak Hitam saja. Tetapi Pandu tetap ingin membuktikan kata-kata Pak Tua yang
misterius. Dia tetap ingin berangkat ke kuburan tersebut. Mau tak mau Dardanila
mendampinginya, sebab perempuan itu tak berani kehilangan Pandu yang dianggap
sebagai sang pemuas dahaga batinnya.
Dardanila tahu ciri-ciri makam Iblis Banci, sebab kala ia bicara dengan Pak Tua
tentang ciri-ciri makam itu, Pandu sedang sibuk melawan hasrat bercumbunya,
sehingga omongan mereka tidak bisa
didengar dan diresapi. Maka Dardanila yang memilihkan tempat untuk bersembunyi
di atas beringin cabang, karena dari sana dapat dilihat keadaan makam yang jadi
incaran para tokoh. Jarak makam dengan pohon itu memang agak jauh, tapi justru
aman dan tidak membahayakan keselamatan mereka.
Di atas pohon itu gairah Pandu juga
terbakar lagi. Ia menjadi pemuda yang mudah terpancing khayalan mesum. Tapi ia
segera sadar akan pengaruh kekuatan sinar dari mata Pak Tua yang membuatnya jadi
begitu. Maka secara diam-diam ia melawan kekuatan aneh itu dengan pengaturan
napas tingkat tinggi dan penyaluran hawa
murninya ke seluruh tubuh. Cara itu berhasil meredakan tuntutan batin yang
menghendaki pergumulan dengan Dardanila atau siapa saja. Sambil memperhatikan
suasana di sekitar makam iblis Banci, Pandu Puber mengobati dirinya sendiri
terus-terusan sehingga kekuatan sinar beracun itu lenyap dari dirinya.
Tiba-tiba Pandu Puber dan Dardanila tertarik dengan datangnya suara deru kaki
kuda dari arah barat. Ternyata ada tiga orang penunggang kuda yang sedang menuju
ke makam di bawah pohon beringin merah itu.
"Kau kenal mereka?" tanya Pandu pelan kepada Dardanila yang berdiri di
sampingnya di atas dahan yang sama.
"Kalau tak salah mereka adalah orang-orang Lembah Cingur!" jawab Dardanila yang
cukup matang di rimba persilatan.
Lebih matang dirinya daripada pendekar muda yang dianggap baru lahir itu.
"Apa keistimewaan orang-orang Lembah Cingur?"


Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, nggak ada istimewanya!" jawab
Dardanila berkesan meremehkan. "Mereka adalah kelompok pembunuh bayaran yang
banyak melayani sewaan dari para saudagar atau para bangsawan."
Menurut Dardanila, orang yang
berpakaian hitam dengan hiasan benang emas dan bertampang bengis, bercodet di
dekat mata kirinya, dengan tubuh kekar berbaju tanpa lengan itu adalah orang
yang menjadi ketua Lembah Cingur, namanya si Cambuk Berang.
Kedua anak buahnya ada di samping
kanan kiri. Menurut Dardanila, yang memakai pakaian hijau tua adalah Landung
Gemuk, karena memang badannya gemuk kumisnya melintang tebal, matanya lebar
sangar. Sedangkan yang mengenakan pakaian serba kuning kecoklatan itu adalah
yang bernama si Golok Badai. Orangnya kurus, ceking sekali, tapi kecepatan
bermain goloknya sangat tinggi.
"Mau apa mereka kemari" Apakah ada urusannya dengan Patung Iblis Banci?"
"Pasti. Kalau patung itu memang ada dan berhasil dikuasainya, maka Cambuk Berang
akan menjadi ketua pembunuh
bayaran yang punya harga tinggi dan mungkin akan ditakuti oleh setiap prang.
Patung itu ingin dikuasainya untuk
meningkatkan penghasilannya sebagai ketua pembunuh bayaran. Tapi...," Dardanila
diam sejenak, wajahnya memandang ke arah
lain. Lalu ia berkata lagi,
"Lihat, siapa yang muncul di sebelah sana itu"!" Pandu menatap seorang lelaki
berusia sekitar enam puluh tahun dengan rambut abu-abu pendek diikat kain merah.
Orang itu mengenakan jubah ungu dengan pakaian dalam warna coklat muda. Jalannya
tegak dan membawa tongkat berukir kepala tengkorak. Mata orang itu tertuju ke
arah rombongan dari Lembah Cingur. Ia berjalan sendirian tanpa pengawal atau
teman, tapi tampaknya yakin betul akan berhasil mendapatkan apa yang dicarinya.
"Siapa orang itu?" tanya Pandu Puber yang masih merasa asing dengan tokoh
berjubah ungu itu.
"Dia yang bernama si Malaikat Bisu, ketua Perguruan Musang Terbang."
"Ooo... dia orangnya"!" Pandu manggut-manggut. "Tapi kok arah langkahnya menuju
rombongan berkuda itu?"
"Malaikat Bisu adalah musuh bebuyutan dari si Cambuk Berang! Aku yakin mereka
pasti akan bertarung dalam waktu tak lama lagi. Lihat saja gelagatnya!"
"Sepertinya memang begitu sih.
Tapi..., siapa tokoh yang muncul dari atas pohon dan menghadang langkah kuda si
Cambuk Berang Itu?"
Seorang perempuan tua sedikit bungkuk memang baru saja melompat dari atas pohon.
Nenek bertongkat hitam dengan
pakaian jubah abu-abu
itu langsung menghadang langkah kuda tunggangan Cambuk Berang. Akibatnya kuda itu berhenti
dan sedikit kaget dengan kemunculan makhluk yang belum pernah dikenal oleh kuda
tersebut. Dardanila berkata, "Wah, seru... Nyai Perawan Busik muncul juga. Agaknya hari
ini adalah hari sialnya si Cambuk Berang.
Ia bertemu dengan dua musuh lamanya."
"Apakah Nyai Perawan Busik itu ada hubungannya dengan si Malaikat Bisu?"
tanya Pandu sangat ingin tahu.
"Tidak. Tapi keduanya sama-sama musuh bebuyutannya si Cambuk Berang! Bisa-bisa
Nyai Perawan Busik tarung sendiri dengan Malaikat Bisu untuk memperebutkan nyawa
Cambuk Berang!"
Keadaan mereka memang tampak
menegangkan. Dua anak buah Cambuk Berang sudah melompat turun dari kuda,
sedangkan Nyai Perawan Busik dan Malaikat Bisu sudah saling pandang ingin
berebut membunuh Cambuk Berang. Wajah si Cambuk Berang sendiri tampak menyimpan kecemasan. ENAM CAMBUK Berang terbengong tegang.
Kedua orangnya; Landung Gemuk dan Golok Badai tumbang dalam satu gebrakan yang
dilakukan oleh Nyai Perawan Busik. Tangan kanan Landung Gemuk terpotong total
dari batas sikunya karena sabetan tongkat nenek berkulit sisik itu. Sedangkan
Golok Badai memuntahkan darah segar cukup banyak dari mulutnya karena terkena
sodokan tongkat Nyai Perawan Busik pada bagian ulu hatinya. Golok Badai dan
Landung Gemuk sudah tidak bisa diharapkan lagi tenaganya. Cambuk Berang terpaksa
turun dari kuda dan menghadapi Nyai Perawan Busik.
"Kau benar-benar cari mampus, Nenek Peot!" gertak Cambuk Berang dengan
kemarahannya memerahkan wajah. Tapi nenek berkulit busik itu masih tenang saja,
tongkatnya digenggam dengan kedua tangan, seakan siap hadapi lawannya.
"Kau harus menebus mahal atas cidera yang diderita kedua anak buahku, Perawan
Busik!" "Akan kutebus kalau kau mampu
melakukannya!"
"Keparat! Heaah...." Cambuk Berang segera menerjang lawannya dengan lompatan
cepat. Sambil melompat ke arah Nyai Perawan Busik, tangan kirinya lepaskan
pukulan bersinar merah menyerupai
piringan kecil.
Claappp...! Tapi dari arah samping melesat pula tubuh Malaikat Bisu yang juga lepaskan
pukulan bersinar hijau panjang dan
menghantam sinar merahnya Cambuk Berang.
Wuuttt...! Clappp...!
Blarrr...! Gelombang ledakan menghentakkan tubuh mereka, tapi sebelum itu tongkat si
Malaikat Bisu berhasil
menghantam punggung Cambuk Berang dengan gerakan nyaris tak terlihat. Buhgg...! Akibatnya
tubuh si Cambuk Berang terjungkir balik tak tentu arah, karena pukulan tongkat
Malaikat Bisu mempunyai tenaga dalam cukup besar. Pukulan itu membekas hangus di
pakaiannya dan kepulkan asap putih tipis. Sementara tubuh itu sendiri masih
harus berputar balik akibat daya sentak ledakan kedua sinar yang saling beradu
tadi. Brukk...! Cambuk Berang jatuh
terkapar sambil menahan rasa sakit di punggung dan dada. Sementara itu, Nyai
Perawan Busik terpental pula akibat ledakan tadi, namun tak sempat membuatnya
jatuh terduduk seperti si Malaikat Bisu itu.
"Setan alas kau, Malaikat Bisu!
Mundurlah, biar kuhabisi nyawa si anak
monyet itu!" seru Nyai Perawan Busik.
Malaikat Bisu hanya gelengkan kepala dengan sorot pandangan mata yang tajam,
menantang sang Nyai. Akibatnya nenek itu menggeram jengkel dan melepaskan
pukulan pelumpuh yang bersinar kuning kecil seperti telur ayam kampung.
Clappp...! Dari pergelangan tangannya keluar sinar kuning itu. Tapi oleh
Malaikat Bisu sinar tersebut dihantam dengan kepala tongkat yang berbentuk
tengkorak manusia.
Duarr...! Agaknya Malaikat Bisu tak mau musuh lamanya dihabisi oleh orang lain, ia
berusaha untuk mempertahankan nyawa Cambuk Berang, karena nanti akan
dibunuhnya sendiri. Persoalan lama yang menyangkut kematian anaknya itu membuat
Malaikat Bisu merasa, seolah-olah nyawa si Cambuk Berang adalah harta karun
miliknya yang perlu diselamatkan dari tangan siapa pun. Sedangkan pihak Nyai
Perawan Busik merasa penyiksaan dirinya yang dilakukan Cambuk Berang sekian
tahun yang lalu merupakan perbuatan yang harus dibalas oleh tangannya sendiri.
"Benar juga dugaanmu," kata Pandu dari atas pohon. "Malaikat Bisu dan Nyai
Perawan Busik akhirnya bertarung sendiri memperebutkan nyawa musuh mereka.
Hmm...! Lucu juga kalau direnungkan."
"Malaikat Bisu bisa kalah kalau Nyai Perawan Busik keluarkan jurus mautnya yang
bernama 'Tangan Seribu Guntur'. Tapi kayaknya sang Nyai nggak sampai
pergunakan jurus itu karena bukan
berhadapan dengan musuh sejatinya," kata Dardanila.
Melihat sang Nyai dan Malaikat Bisu bertarung, Cambuk Berang segera mencabut
pecut panjangnya. Ia melecutkan cambuknya ke udara dalam satu gerakan mengibas
cukup cepat. Cambuk putih itu berkelebat memercikkan tiga sinar biru berkerilap
dari ujungnya. Taarrr...! Srappp...!
Tiga sinar biru itu kenai punggung
Nyai Perawan Susik. Yang dua lagi kenai kedua kaki Malaikat Bisu. Akibatnya
kedua tokoh tersebut jatuh dengan bagian yang terkena cambuk menjadi hangus
berasap. "Kunyuk!' sentak Nyai Perawan Busik penuh gerutu. Ia segera melompat ke balik
pohon agak jauh. Di sana ia pejamkan mata sebentar dan kerahkan tenaga saktinya
untuk obati luka panas di punggungnya.
Beberapa saat kemudian ia sudah kembali masuk ke arena pertarungan dalam keadaan
segar walau lukanya masih tampak membekas hitam.
Pada saat sang Nyai masuk ke
pertarungan lagi, Cambuk Berang sedang berusaha menyabetkan cambuk mautnya ke
leher Malaikat Bisu, sebab orang itu mengalami lumpuh sebentar akibat luka di
kedua kakinya itu. Wuuttt...! Cambuk dihantamkan dari atas ke bawah. Sekali
lecut kena tengkuk kepala, maka
terpotonglah leher Malaikat Bisu saat itu juga. Tapi sialnya, sebelum cambuk itu
tiba menghantam tengkuk kepala Malaikat Bisu, tiba-tiba seberkas sinar kuning
panjang melesat dari jari tengah Nyai Perawan Busik dan menghantam tepat di
pergelangan tangan Cambuk Berang.
Dess...! Tangan itu terpental ke
belakang sampai cambuknya terlepas dari genggaman. Tangan itu sendiri menjadi
memar membiru. Pada saat Cambuk Berang tersentak ke belakang dan cambuknya lepas, Malaikat Bisu
punya kesempatan melepaskan pukulan jarak jauhnya walau dalam keadaan duduk di
tanah. Clapp...! Sinar merah seperti bentuk bintang itu berkelebat menghantam
dada si Cambuk Berang.
Duarrr...! Ledakan yang terjadi cukup besar
walau tak sampai mengguncang bumi. Namun ternyata serangan sinar merah itu
sangat berbahaya bagi jiwa Cambuk Berang. Dada yang terkena sinar tersebut
menjadi jebol, seakan dirobek oleh cakar tangan raksasa yang ganas. Tak ada
ampun lagi bagi Cambuk Berang, ia pun terkapar
dengan suara serak seperti disembelih, berkelojotan beberapa saat, setelah itu
diam tak bergerak karena kehilangan nyawa.
Melihat keadaan ketuanya seperti itu, Golok Badai dan Landung Gemuk segera
larikan diri ketakutan. Tapi Golok Badai masih punya kesempatan menyambar cambuk
dan pemiliknya yang sudah jadi mayat itu.
Mereka membawa lari pulang jenazah Cambuk Berang yang bernasib amat malang.
Walau Golok Badai nyaris tak tahan menderita luka dalam, tapi ia kuat-kuatkan
agar bisa sampai ke Lembah Cingur memakamkan jenazah ketuanya.
Kini tinggal Nyai Perawan Busik
berhadapan dengan Malaikat Bisu. Nyai Perawan Busik merasa kecewa sekali karena
nyawa Cambuk Berang tidak mati
di tangannya. Maka ia pun berseru dengan nada protes.
"Setan kuncir kau, Malaikat Bisu!
Seharusnya akulah yang membunuh Cambuk Berang! Tanganmu memang lancang, layak
kalau kubuntungi seperti tangan anak buah si Cambuk Berang tadi! Hiaaat...!"
Nyai Perawan Busik melompat menyerang Malaikat Bisu yang baru saja berhasil
kuasai luka dan berdiri lagi. Tongkat sang Nyai tiba-tiba berkelebat ke samping
bagai sebilah pedang menebas lengan Malaikat Bisu. Namun tentu saja Malaikat
Bisu tak mau tinggal diam. Ia segera hantamkan tongkatnya pula, sehingga dua
tongkat berkekuatan tenaga dalam itu saling hantam di udara.
Trakk...! Blegerrr...! Tenaga dalam besar yang disalurkan
dalam tongkat mereka itu timbulkan
ledakan mengguncang bumi ketika diadukan di udara. Kedua tokoh itu sama-sama
terpental berlainan arah, dan beberapa pohon sempat dibuat guncang nyaris rubuh.
Sebagian dahan ada yang retak dan terbe-lah akibat hempasan gelombang ledakan
tersebut. Dardanila sendiri hampir saja terpelanting jatuh kalau tidak segera
ditangkap oleh Pandu Puber ke dalam pelukan yang justru menyenangkan hati Ratu
Geladak Hitam itu.
"Lain kali tak kuberi ampun kau, Malaikat Bisu!" geram Nyai Perawan Busik.
"Tunggu saatnya jika aku sudah berhasil dapatkan Patung Iblis Banci itu!"
"Tak akan!" jawab Malaikat Bisu pendek sekali. Sikapnya yang sering diam dan
kalau bicara hanya sepatah-sepatah itulah yang membuat orang-orang menjulukinya
sebagai Malaikat Bisu. Tapi
sebenarnya ia bukan orang gagu. Hanya malas bicara.
"Kusarankan, pulanglah saja, tak perlu ikut-ikutan mencari pusaka Patung
Iblis Banci! Nanti kau mati secara sia-sia. Kasihan para muridmu yang masih
membutuhkan periindungan darimu, Malaikat Bisu!"
"Biar!" hanya itu jawabnya.
"Kalau kau nekat mau rebut patung itu, berarti kau nekat mau melawanku, hah"!"
"Biarin!"
"Lama-lama kesabaranku yang sudah menua habis juga di depanmu jika kau masih
membandel begitu, Kebo gagu!"
gertak Nyai Perawan Busik dengan sikap mengancam.
"Habiskan!"
"Apanya yang dihabiskan!" bentak sang Nyai jengkel.
"Kesabaranmu!"
lalu Malaikat Bisu memberi kode dengan tangannya agar Nyai Perawan Busik maju menyerangnya.
Tantangan itu membuat Nyai Perawan Busik mulai putarkan tongkat di atas kepala.
Tiba-tiba muncul
tokoh berjubah kuning yang langsung berseru dengan seenaknya,
"Siapa pun berhak memperebutkan pusaka itu, Perawan Busik! Kau tak berhak
memulangkan siapa saja yang datang
kemari, termasuk aku sendiri!"
Tokoh yang muncul dari balik pohon itu berusia sekitar tujuh puluh tahunan.
Sebaya dengan usia Nyai Perawan Busik.
Dan bagi Pandu Puber dan Dardanila, tokoh berambut abu-abu kribo itu bukan tokoh
asing lagi. Mereka mengenal tokoh itu dengan nama Loan Besi. Dia adalah orang
yang mendengar percakapan antara Pandu dengan ayahnya; Yuda
Lelana yang sebenarnya adalah dewa itu, dan sejak mendengar percakapan tersebut Ki Loan Besi
selalu berusaha ingin menjadi
pelayan atau gurunya Pandu Puber. Sebab barang siapa yang menjadi pelayan atau
guru si anak blaster jin dengan dewa itu, maka orang tersebut punya hak untuk
hidup di kayangan, di antara para dewa-dewi, (Kisahnya ada dalam serial Pendekar
Romantis episode: "Pedang Siluman" -baca sendiri aja deh).
"Ngapain orang itu ikut-ikutan ada di sini"!" gumam Pandu yang didengar oleh
Dardanila. "Pasti akan ikut memperebutkan patung itu dong. Masa' mau ada reuni sama tokoh
seangkatannya itu sih" Nggak mungkin kan?"
"Memang payah tuh orang. Dasar timbangan!"
"Kok timbangan?"
"Iya. Namanya kan Loan Besi. Aku kalau memanggilnya Ki Loan Besi. Kiloan Besi
sama dengan timbangan kan?"
Dardanila tertawa tanpa suara, tapi mata mereka segera tertuju kembali kepada
para tokoh tua yang sedang bersitegang itu. Saat itu Nyai Perawan Busik hentikan
gerakan tongkatnya dan pandangi Loan Besi dengan rasa dongkol.
"Kau mau ikut campur urusanku dengan si Malaikat Bisu ini, hah"!"
"Yang jelas aku akan ikut campur memperebutkan Patung Iblis Banci, supaya anak
dewa itu tunduk kepadaku dan mau jadi muridku!"
Mendengar ucapan Loan Besi, Dardanila segera lemparkan pandangan kepada Pandu
Puber. Pendekar Romantis hanya geleng-gelengkan kepala, merasa prihatin dengan
sikap Loan Besi yang ngotot ingin menjadi gurunya.
"Anak dewa itu pasti yang dimaksud adalah kau, Pandu!"


Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, aku tahu! Tapi aku tak akan mau punya guru atau pelayan seperti dia
walaupun dia mempunyai pusaka Patung Iblis Banci!"
Nyai Perawan Busik perdengarkan
suara, "Kalian jangan mimpi di siang hari bolong, ya"! Patung itu tak akan ada
yang bisa menguasai kecuali diriku! Cukup lama kupersiapkan diri untuk menambah
ilmu dan kesaktianku, supaya jika saatnya patung itu muncul dari dalam makam,
tak seorang pun dapat singkirkan diriku!"
"Dapat!" kata Malaikat Bisu bagai memotong kata-kata lawannya.
"Dapat apa maksudmu"!" tanya Ki Loan Besi.
"Dapat singkirkan!"
"Siapa yang mau kau singkirkan?"
"Dia...!" tuding Malaikat Bisu kepada Nyai Perawan Busik.
Sang Nyai panas hati, merasa
disepelekan, maka dengan cepat ia
berseru, "Coba singkirkan aku kalau kau bisa! Heaaat...!"
Wuttt...! Nyai Perawan Busik terjang Malaikat Bisu dengan gerakan tongkat yang
berkelebat cepat ke sana-sini. Malaikat Bisu segera lompat mundur jauhi lawan,
tapi tongkatnya segera diarahkan ke tubuh Nyai Perawan Busik. Dari kepala
tongkat itu keluar kepingan logam kecil berbentuk runcing, masing-masing sebesar
ujung kelingking orang dewasa. Logam-logam runcing itu memantulkan kemilau
cahaya matahari.
Zrrangngng...! Tapi barisan logam berkilauan itu
segera dihantam hancur oleh sinar birunya Loan Besi yang keluar dari kedua
jarinya yang dikibaskan ke arah depan.
Crakk...! Blegarrr...! Sinar biru itu membuat hancur senjata rahasia Malaikat
Bisu, namun akibatnya timbul ledakan yang menggelegar dan mementalkan Nyai
Perawan Busik dan tubuh Malaikat Bisu sendiri.
Sinar biru dari Loan Besi cukup lumayan juga kekuatannya. Pandu baru melihat
Loan Besi keluarkan jurus tingkat tingginya, walau bagi Pandu hal itu masih
belum seberapa hebat dibandingkan jurus-jurus milik mendiang kakeknya.
"Kau memihak siapa sebenarnya, hah"!"
bentak Nyai Perawan Busik. Loan Besi hanya terkekeh-kekeh sendiri. Sikapnya
bagaikan menyepelekan kemarahan sang Nyai.
"Aku berdiri di pihakku sendiri! Kau pun terpaksa harus kusingkirkan jika ingin
menghalangi niatku, Perawan Busik!
Bagaimanapun juga Patung Iblis Banci harus ada di tanganku!"
Tiba-tiba ada suara keras berseru,
"Omong kosong!" Kemudian disusul munculnya tokoh baru dari atas pohon.
Agaknya tokoh berpakaian serba hitam itu sudah sejak tadi ada di atas pohon
dekat makam di bawah beringin merah itu.
"Siapa orang berjubah hitam itu, Dardanila?"
"Entah. Aku belum mengenalnya!"
Tapi mereka segera mendengar seruan Loan Besi menyapa orang berpakaian serba
hitam, sampai ikat kepalanya yang
berambut putih itu juga digunakan kain hitam berukuran lebar sekitar tiga jari.
Tokoh tua itu tidak bersenjata apa-apa, juga tidak memegang tongkat seperti
Malaikat Bisu. Tokoh baru muncul itu hanya mengenakan kalung semacam tasbih
dengan manik-manik sebesar biji salak, warnanya juga coklat kemerahan seperti
biji salak. Tubuhnya agak kurus, tapi mata tuanya masih memancarkan cahaya
kewibawaan yang cukup berkharisma.
Terdengar pula suara batuk sang tokoh sebagai tanda ketuaannya, yang berkumis
tipis dan berjenggot tipis pula sama-sama berwarna putih rata. Agaknya Loan Besi
tidak merasa heran melihat kemunculan tokoh serba hitam itu, demikian pula Nyai
Perawan Busik dan si Malaikat Bisu.
"Rupanya kau sejak tadi sudah ada di sini, Sapu Nyawa"! Kau pun mengincar pusaka
itu, bukan"!"
"Tak salah lagi, sudah seharian penuh aku menunggu di sekitar sini! Karena
wangsit dari dewa kuterima tiga malam yang lalu, bahwa pusaka Patung Iblis Banci
harus berada di tanganku!"
Nyai Perawan Busik melecehkan, "Dewa apa yang kasih pangsit sama kamu" Uuh...
ngibul! Mana ada dewa kasih pangsit dan...."
"Bukan pangsit! Tapi wangsit! Artinya wahyu yang harus kukerjakan tanpa keluh
kesah lagi!" sentak Sapu Nyawa sedikit dongkol atas salah dengarnya Nyai Perawan
Busik. "Tipu...!" seru Malaikat Bisu, pendek
sekali. Tapi ekspresi wajahnya sudah jelas-jelas menampakkan rasa tidak
percaya dan meremehkan si Sapu Nyawa.
Sementara para tokoh tua saling adu debat sendiri-sendiri, Pandu dan
Dardanila saling berkasak-kusuk. Mereka bicara dengan suara lirih, supaya tidak
didengar oleh beberapa pemburu patung itu yang diperkirakan bersembunyi rapatrapat di sekitar mereka.
"Aku pernah dengar nama Sapu Nyawa,"
kata Dardanila. "Kalau tak salah orang yang berjuluk Sapu Nyawa adalah tokoh
sesat yang sudah pensiun dan cenderung buka praktek jadi dukun ilmu hitam. Jika
patung itu jatuh ke tangannya, hancurlah seisi dunia ini, karena ia tak pernah
berpikir dua kali jika harus lakukan pembantaian terhadap siapa saja! Dia orang
yang egois dan ambisius!"
"Kalau begitu aku harus segera melerai mereka agar jangan sampai timbul
pertumpahan darah tanpa arti. Patungnya saja belum tentu ada, masa' harus
dipertaruhkan dengan nyawa?"
"Tidak!" cegah Dardanila. "Jangan ke sana! Sebaiknya tunggu saja di sini dan
lihat dulu perkembangannya. Jika benar makam itu mulai punya tanda-tanda mau
keluarkan keajaiban, maka kau harus lakukan apa yang menurutmu baik untuk
dilakukan. Tapi jika masih belum pasti
seperti saat ini, jangan dulu!"
Pikir punya pikir, benar juga sih
usul Dardanila itu. Pandu Puber harus menahan diri agar tak muncul dengan siasia. Namun, niatnya untuk tetap di atas pohon itu tak bisa ditahan lagi setelah
matanya menangkap gerakan bocah berusia lima belas tahun yang berlari menuju
tempat yang lebih tinggi dari lereng bukit itu.
"Sumo Banjir..."!" ucap Pandu membisik tegang. Matanya yang mulai melebar itu
diikuti pandangannya oleh Dardanila.
"Bocah itukah yang kau maksud bernama Sumo Banjir?"
"Ya. Dia tampak kebingungan, pasti ada yang mengejarnya! Aku harus
selamatkan bocah itu dulu!"
"Jangan turun dari pohon! Kau
harus...."
"Tidak bisa! Lihat anak itu terburu-buru dengan ketakutan, sebentar-sebentar
menengok ke belakang. Pasti dia dalam bahaya yang dapat merenggut nyawanya.
Harus segera kutolong! Kau tetap di sini saja, Dardanila, dan awasi semua orang
yang hadir di sekitar sini. Paham"!"
"Baik! Aku akan awasi semua gerak-gerikmu!" jawab Dardanila seakan punya
keputusan sendiri.
Pendekar Romantis sempat memberikan
ciuman di pipi Dardanila sebelum pergi.
Dardanila berbunga hatinya. Indah dan penuh gejolak hasrat untuk bercumbu lagi.
Tapi sayang Pandu Puber sudah melesat turun dari pohon dengan gunakan jurus
'Angin Jantan' yang membuat gerakannya sulit dilihat mata manusia biasa. Dalam
waktu beberapa kejap saja Dardanila melihat Pandu sudah sampai di ketinggian
lereng dan berhasil susul Sumo Banjir.
"Sumo...!"
"Kang Pandu..."! Oh, syukurlah aku bertemu denganmu. Raga Paksa masih
mengejar-ngejarku terus, Kang. Dia
membawa lima anak buahnya, bukan yang tempo hari itu! Aku kepergok mereka saat
mau pulang ke rumah. Lalu... aku lari dan arahku memang ke sini, supaya bisa
bertemu denganmu!"
"Berarti Raga Paksa dan gurunya punya tujuan sendiri-sendiri, sama-sama ingin
memiliki Patung iblis Banci. Tapi,
gurunya lebih dulu telah temukan makam Iblis Banci di bawah beringin merah itu!"
"Makam itu tidak ada di bawah pohon beringin merah, Kang!"
"Maksudmu?" Pandu Puber mulai ragu.
"Makam yang kutemukan bersama Bocang adanya di dekat puncak bukit sana, Kang!
Letaknya di bawah dinding tebing yang ditumbuhi pohon cemara liar, Kang!"
"Ah, yang benar, Mo"!"
"Berani sumpah serapah deh, Kang!
Makam yang keluarkan cahaya aneh dan suara tanpa wujud itu tidak ada di bawah
sana, melainkan ada di atas. Kalau tak percaya, ayo kutunjukkan padamu, Kang!"
Pandu ditarik tangannya, tapi ia
bertahan dalam kebimbangan.
"Tunggu dulu. Jika makam itu ada di atas sana, lalu makam yang ada di bawah
beringin merah itu makamnya siapa?"
"Aku nggak tahu, Kang. Aku nggak pernah membongkar makam itu kok. Jadi ya jangan
tanyakan padaku, Kang!"
Pendekar Romantis masih ragu-ragu
dengan ajakan Sumo Banjir. Jika benar makam di bawah beringin merah itu bukan
makam asli dari jenazah si Iblis Banci, berarti ada orang yang sengaja
memalsukan makam tersebut, sehingga orang banyak beranggapan makam itu adalah
makamnya si Iblis Banci. Apa tujuan memalsukan makam itu" Sekadar untuk bahan
tertawaan atau untuk maksud-maksud tertentu"
Pendekar Romantis terbungkam mulutnya karena sibuk merenungi pertanyaan
batinnya. Tak sadar ia telah mengikuti langkah Sumo Banjir menuju ke arah puncak
bukit. Langkah itu terhenti mendadak karena di dalam hati Pandu bertanya-tanya,
"Benarkah anak ini akan membawaku ke makam yang asli" Bagaimana kalau ternyata
dia ingin membawaku masuk ke dalam
jebakan sejumlah orang yang berkomplot ingin celakai diriku?"
TUJUH KUBURAN yang dimaksud Sumo Banjir itu memang ada. Jadi anak itu nggak bohong.
Cuma keadaan kuburan itu sudah nggak beres lagi. Sudah jebol bagian atasnya.
Sepertinya ada tenaga kuat yang mendobrak dari dalam kuburan menuju ke atas.
Tanahnya berhamburan ke mana-mana. Dan tanah itu bukan coklat seperti tanah
sekelilingnya, melainkan berwarna hitam hangus. Sepertinya habis terbakar.
Pendekar Romantis dan Sumo Banjir
terbengong di tempat. Mata mereka
memandangi makam yang telah rusak itu.
Sesaat kemudian Sumo Banjir berkata dengan nada penuh sesal,
"Sumpah, Kang!"
Pandu Puber melirik bocah itu.
"Sumpah bagaimana maksudmu?"
"Sumpah, waktu aku dan Bocang ada di sini, kuburan ini belum rusak. Nggak
seperti ini kok, Kang. Masih utuh, nggak berlubang begitu. Hanya kotor oleh
dedaunan kering saja. Sumpah kok, Kang.
Aku tidak bermaksud menipumu."
Punggung bocah itu ditepuk-tepuk oleh Pandu Puber yang menarik napas dalamdalam. "Aku nggak bilang kamu nipu aku. Aku tahu kamu sendiri kaget melihat makam itu
rusak. Pasti ada sesuatu yang terjadi di makam ini. Mungkin kemarin malam,
mungkin tadi pagi atau entah kapan. Bau hangus masih tercium di sini, berarti
makam ini jebol dalam waktu belum lama. Agaknya kita terlambat, Sumo Banjir."
Tempat yang sepi itu tiba-tiba
dipecahkan dengan suara gemerisik
dedaunan semak diinjak kaki orang. Pandu Puber segera palingkan wajah ke
belakang. Ternyata seraut wajah bengis berkumis tipis muncul dari semak ilalang.
"Raga Paksa, Kang!" sentak Sumo Banjir dengan nada kaget dan menjadi tegang.
Anak itu segera merapatkan diri kepada Pandu.
"Cari tempat berlindung!" bisik Pandu kepada Sumo Banjir, dan anak itu tiba-tiba
lari di balik bebatuan seberang makam. Pandu Puber masih berdiri tegak dan
tenang memandangi kehadiran Raga Paksa yang tampak sendirian itu, tapi Pandu
yakin orang tersebut tidak datang
sendirian. Karena menurut keterangan Sumo Banjir tadi, Raga Paksa membawa
sejumlah orang untuk mengejar-ngejar Sumo Banjir.
"Dugaanku benar," kata Raga Paksa setelah berhenti di depan Pandu dalam jarak
lima langkah. "Apa maksudmu, Raga Paksa"!" tegas Pandu dalam bertanya.
"Anak itu pasti hanya akan
menunjukkan makam Patung Iblis Banci kepadamu. Aku terpaksa menguntitnya agar
bisa mengetahui ke mana anak itu
membawamu. Ternyata di sini. Dan..., tentunya patung itu sudah ada di tanganmu,
bukan"!"
"Bukan!" jawab Pandu tenang dan singkat saja.
Raga Paksa melirik ke arah makam yang sudah jebol itu. Senyumnya membias sinis.
"Makam itu telah rusak, pasti kau telah membongkarnya dan mengambil Patung Iblis
Banci. Jangan berlagak polos, Bocah edan! Kali ini aku tidak mau main-main
denganmu. Serahkan saja patung itu atau aku terpaksa menyerahkan nyawamu pada
dedemit penunggu bukit ini" Pilih salah satu, coret yang tidak perlu!
Lingkarilah huruf 'B' jika benar dan huruf 'S' jika salah." Raga Paksa mau
bercanda untuk tunjukkan kemenangan dugaannya, tapi candanya nggak lucu jadi
nggak ditertawakan oleh Pandu Puber.
"Salah besar kalau kau mengira patung itu ada di tanganku!"
"Jadi maksudmu aku harus merebut dengan kekerasan" Baik!"
Pandu Puber gelengkan kepala. Tapi
lawannya segera bersuit satu kali. Suitan
itu membuat beberapa sosok tubuh
bermunculan dalam posisi mengepung Pandu Puber. Mereka adalah orang-orangnya
Raga Paksa yang sudah berada dalam dugaan Pandu Puber, karenanya Pendekar
Romantis tidak merasa heran melihat kemunculan mereka. Di depan Raga Paksa,
Pandu masih tampak tenang tanpa kaget sedikit pun.
Senyum tipis Pandu justru mekar
bernada geli. "Kau benar-benar manusia tukang ngotot, tukang paksa, dan tukang
kompas! Sudah dibilangin kalau aku nggak bawa patung itu kok masih nekat mau
paksa aku" Konyol juga lu!"
"Apa katamu-terserah deh! Yang jelas kalau aku punya firasat nggak pernah
meleset. Patung itu pasti sudah ada di tanganmu. Mungkin kau sembunyikan di
balik bajumu itu!"
"Kau bukan ahli nujum, Raga Paksa!
Firasatmu kujamin tak akan pernah benar seumur hidupmu. Sebaiknya temui saja
gurumu; si Malaikat Bisu di bawah sana.
Ia sedang terlibat urusan dengan Nyai Perawan Busik dan beberapa tokoh tua
lainnya, termasuk Sapu Nyawa."
"Biarkan saja dia punya urusan itu.
Urusanku berbeda lagi. Kalau patung itu sudah kudapatkan, maka Malaikat Bisu
tidak akan menjadi ketua lagi, tapi akulah yang menggantikannya dan ia harus
tunduk kepadaku!"
"O, jadi ceritanya kau murid yang murtad, begitu?"
"Persetan dengan anggapan dan
penilaianmu. Yang jelas, serahkan patung itu sekarang juga sebelum kesabaranku
habis!" bentak Raga Paksa dan Pandu Puber menjawab dengan tegas,
"Aku tidak punya patung! Kalau kau mau, ambillah di candi sana. Patungnya lebih
besar dari dirimu!"
"Setan! Dianggap aku main-main, ya?"
geram Raga Paksa, lalu memerintahkan anak buahnya, "Geledah dia! Telanjangi
pakai golok kalian! Serang...!!"
Tujuh anak buah Raga Paksa menyerang Pandu secara bersamaan dari berbagai arah.
Pandu Puber segera hentakkan
kakinya ke tanah tiga kali, dan ketujuh orang tersebut terlempar ke atas secara
susul menyusul. Tubuh mereka mental
tinggi bahkan ada yang mendarat di dahan pohon alias tersangkut di sana. Pandu
Puber gunakan jurus 'Sentak Bumi' yang hanya bisa dilawan jika orang itu berilmu
tinggi. Namun bagi orang yang ilmunya pas-pasan, maka tubuhnya akan terlempar
tak beraturan karena daya hentak
gelombang tenaga dalam yang disalurkan melalui tanah tempatnya berpijak.
"Ahh, uhuhg, eehg.... Auuh, wadow, alamak...." Macam-macam suara mereka yang
terhempas kembali ke bumi bagaikan
dibanting dengan tenaga besar. Malahan ada yang mengerang panjang karena tulang
lehernya terkilir dan tak bisa mendongak lagi kecuali hanya menunduk terus.
Srett...! Raga Paksa cabut goloknya.


Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tak bisa tinggal diam melihat anak buahnya saling terlempar bagaikan boneka
yang sedang dibuat mainan Pandu Puber.
Dengan suara geram ia berkata ganas,
"Kutebus kekalahan ini dengan
membelah dadamu, Bangsat! Heat!"
Wwuttt...! Raga Paksa melompat,
hendak menerjang Pandu Puber.
Dengan gerakan cepat dan bertubitubi, Pendekar Romantis sentakkan kedua tangannya dalam keadaan jari-jari
merapat lurus. Tangan itu bagaikan menyodok ke depan berkali-kali. Tapi
sebenarnya dari gerakan menyodok itulah keluar tenaga dalam besar yang
menghantam tubuh
lawannya lebih dari enam kali.
Deb, deb, deb, deb...!
"Uhg, uhg, hieehh...! Ohgg...!" Raga Paksa terdorong ke belakang, tak bisa maju
menembus kekuatan gelombang tenaga dalam yang terpancar lepas melalui ujungujung kedua tangan Pandu Puber. Tenaga dalam tanpa sinar yang akhirnya membuat
mental Raga Paksa sampai berjungkir balik itu dinamakan Pandu sebagai jurus
"Salam Sayang'. Saat itu Pandu membatin dalam hatinya,
"Kenapa tiba-tiba aku pergunakan gerakan seperti ini" Hmm..., pasti ini sisa
gerakan jurus Ayah. Kunamakan jurus
'Salam Sayang' saja deh. Habis gerakannya mirip orang mau salaman sih."
Jurus milik ayahnya yang tersisa pada diri Pandu itu ternyata bukan saja
membuat Raga Paksa terpental jungkir balik, tapi setiap tubuh yang terkena
sentakan gelombang tenaga dalam dari jurus 'Salam Sayang' itu membekas biru
kehitam-hitaman. Tak peduli yang mengenai dada atau yang cuma mengenai lengan,
semuanya membekas biru
legam. Dan dirasakan oleh Raga Paksa seperti sedang diremuk atau dipatah-patahkan tulang
dan ototnya. Untuk bangkit kembali terasa sulit, sehingga dua anak buahnya
terpaksa menolong.
"Kita cabut aja! Cabut.,.!" terdengar Raga Paksa berkata kepada anak buahnya,
lalu yang sedang menolongnya bangkit itu berseru kepada yang lain, "Hoi, kita
cabut!" Pandu Puber geleng-geleng kepala
sambil hembuskan napas lega. Ia biarkan rombongan Raga Paksa pergi dari tempat
itu. Sumo Banjir yang ada di balik
bebatuan segera keluar hampiri Pandu Puber. Tapi langkahnya terhenti dan ia
kembali bersembunyi, karena matanya melihat sekelebat orang yang muncul dari
sisi lain. Orang itu muncul dengan kalem sambil bertepuk tangan ogah-ogahan,
kesannya mengejek perlawanan Pandu
terhadap Raga Paksa tadi. Tentunya orang tersebut sempat memperhatikan jurus
'Salam Sayang'-nya Pandu yang baru
pertama kali digunakan di situ tadi.
Mata si pemuda bertato bunga mawar di dadanya itu mulai terkesiap curiga
memandang kemunculan orang tersebut. Ia biarkan orang itu datang mendekatinya
dan berhenti di depannya dalam jarak sekitar dua tombak.
"Apa maksudmu menemuiku di sini, Hantu Congkak?" tanya Pandu dengan kalem.
Ia tahu tokoh tua yang kurus, kempot, dan sedikit bungkuk itu adalah Hantu
Congkak, gurunya Awan Sari. Kali ini Hantu Congkak tampil tanpa tongkat. Jelas
bukan karena menuntut kematian Sikat Neraka, adik seperguruannya yang tewas di
tangan Pandu saat Pandu belum mendapat gelar pendekar.
Tapi tentunya kedatangan Hantu Congkak punya hubungan erat dengan Patung Iblis
Banci. "Aku tertarik dengan jurus mainanmu tadi, Fandu Fuber. Fantas kalau muridku si
Awan Sari kalah melawanmu," kata Hantu Congkak yang tak bisa menyebut huruf 'P',
diganti dengan huruf 'F'. Sambungnya lagi dengan sikap acuh tak acuh,
"Aku layak menuntut kematian adik
ferguruanku itu, juga membalaskan
kekalahan muridku. Tafi, kalau fatung itu kau serahkan fadaku, maka segala
dosamu kuhafuskan dan jika ferlu kau kuangkat sebagai muridku, Fandu Fuber."
"Mengapa kau menyangka aku yang memiliki fatung itu?" tanya Pandu Puber ikutikutan tak menggunakan huruf 'P'
dalam ucapannya.
"Karena aku yakin kau baru saja membongkar makam si Iblis Banci itu dan
mengambil fatungnya. Kalau tidak begitu, Raga Faksa tidak akan ngotot dan nekat
melawanmu. Aku sendiri hamfir terkecoh dengan menunggui makam yang ada di bawah
fohon beringin merah itu. Ternyata makam itu makam falsu. He, he, he, he...!
Sudah tua kok ya masih ada yang menifu.
Kebangetan sekali orang yang fasang makam falsu itu...," Hantu Congkak gelenggelengkan kepala, geli sendiri.
"Hantu Congkak, aku tidak mempunyai patung itu. Aku belum mengambil patung
tersebut dan bukan orang yang membongkar makam Itu. Jika kau ngotot seperti Raga
Paksa, maka aku akan pergunakan cara seperti tadi. Kumohon jangan membuat
perkara denganku, Hantu Congkak. Apalagi perkara kesalahpahaman, itu akan
membuat kita sama-sama menyesal nantinya."
Dengan serius Hantu Congkak berkata,
"Tutuf mulutmu. Jangan mengguruiku, Anak
kambing! Aku harus cepat-cepat bawa itu fatung, dan kalau tidak, kau akan mati
di tanganku! Faham"!"
"Yang tidak kupahami adalah
kebodohanmu, Hantu Congkak. Sudah
dibilangin nggak ada patung kok masih ngotot aja"!"
"Oke, kalau gitu kamu orang mau rasakan aku funya jurus baru yang bisa bikin
kamu funya kepala fecah mendadak!
Terimalah 'Sumber Geledek'-ku ini, Fandu!
Hiaaat...!"
Sebelum Hantu Congkak bergerak,
sekelebat bayangan menyambar tubuhnya dengan gerakan menyerupai
badai. Wuuttt...! Brukkk...! Hantu Congkak terpental dan jatuh tanpa posisi yang enak.
Caciannya terlontar di sela rasa sakitnya.
"Monyet kuraf!"
Pandu Puber terkesiap melihat sesosok tubuh tua berjubah biru lusuh dengan
pakaian dalam putih lusuh pula. Kakek berambut putih panjang sepunggung diikat
ke belakang dengan tali dari akar itu berdiri menatap Hantu Congkak dengan
tajam. Keduanya tampak sama tua, hanya bedanya kakek bersenjata seruling India
itu masih tampak tegap dan tegar
ketimbang si Hantu Congkak.
"Pak Tua...?" sapa Pandu Puber kepada si kakek yang pernah membuatnya jadi
bergairah sekali kepada Dardanila itu.
"Mengapa kau menyerang Hantu Congkak, Pak Tua" Apakah dia lawan masa lalumu?"
Pak Tua itu diam saja, seakan tidak menggubris pertanyaan Pandu Puber. Ia lebih
tertarik dengan reaksi Hantu
Congkak yang sedang berdiri sambil
memandanginya dengan tajam, seakan penuh dendam. Hantu Congkak menggeram dalam
kemarahan yang tertahan.
"Bangsat kau, Layang Fetir!
Kubinasakan ragamu sekalian jika kau mau membela si bocah babi itu, Layang
Fetir!" Pandu Puber terkejut, matanya sempat terbelalak menegang.
"O, rupanya Pak Tua itulah yang bernama Layang Petir itu"! Sial! Pantas dia tahu
banyak tentang Iblis Banci, karena ternyata dia adalah muridnya Iblis Banci yang
bernama Layang Petir itu"!"
Batin Pandu Puber berucap antara
kagum dan jengkel karena merasa terkecoh dengan pengakuan Pak Tua di dalam gua.
Pandu mempunyai pikiran lain setelah mengetahui bahwa Pak Tua itu adalah Layang
Petir. Menurut Pandu, keterangan Pak Tua mengenai Patung Iblis Banci hanya
sebagai isapan jempol belaka itu memang benar. Sebab Pak Tua pasti tahu persis
tentang ada atau tidaknya patung itu.
Namun untuk sementara, Pandu belum mau membicarakaan hal itu, ia masih tertarik
memperhatikan ketegangan dua tokoh tua itu.
"Kusarankan pergi dari sini dan jangan mengharapkan pusaka Patung Iblis Banci
lagi, Hantu Congkak!"
"Seferti katamu dulu, Layang Fetir...
siafa saja boleh memiliki fusaka Fatung Iblis Banci asal dia bisa menangkafnya
saat fatung itu keluar dari dalam makam gurumu. Tafi ternyata makam itu sudah
jebol, fasti sudah kau bongkar dan kau ambil sendiri fatung di dalamnya,
bukan"!"
"Terserah apa katamu, Hantu Congkak, yang jelas...."
"Uhhg...!" Hantu Congkak terbungkuk seketika, membuat ucapan Pak Tua itu
terhenti dan memandang dengan heran.
Hantu Congkak mendekap dadanya kirinya.
"Sandiwara apa lagi yang dimainkan Hantu Congkak itu?" pikir Pandu Puber tetap
tenang memperhatikan dengan tangan bersidekap di dada. Senyumnya membias tipis
menertawakan gaya Hantu Congkak yang dianggapnya berpura-pura itu.
Tapi ketika Hantu Congkak tampak
dongakkan wajah, matanya terbeliak, mulutnya ternganga tanpa suara, Pandu Puber
mulai menganggap hal itu sangat serius. Wajah pucat si Hantu Congkak bukan purapura. Gerakan jatuhnya yang terjengkang dengan tetap mendekap dada
kirinya membuat Pandu akhirnya mendekati dan bingung sendiri. Pak Tua pun
bingung, namun tidak seperti bingungnya Pandu.
Bingungnya Pak Tua dengan cara memandang ke sekeliling tempat itu dalam keadaan
tegang. "Pak Tua...! Hantu Congkak mati, Pak Tua...!" seru Pandu dalam ketegangan karena
rasa herannya. Pak Tua segera memeriksa keadaan
Hantu Congkak, ternyata memang sudah tidak bernapas lagi. Tapi di bagian dada
kirinya tampak lubang luka tusukan benda tajam yang mengucurkan darah.
"Jantungnya pecah!" gumam Pak Tua, lalu cepat-cepat berdiri. Matanya
memandang Pandu Puber yang masih tegang dan terheran-heran.
"Seseorang telah pergunakan patung itu untuk membunuh Hantu Congkak!"
ucapnya pelan tapi pasti.
"Bukankah kau bilang patung itu hanya isapan jempol belaka?"
"Aku berbohong padamu," kata Pak Tua dengan sedikit nada sesal terdengar di sela
ketegasannya. "Malam itu sebenarnya malam kemunculan Patung Iblis Banci.
Tidak tepat pada malam purnama seperti yang pernah kugembar-gemborkan kepada
mereka dalam keadaan aku sedang mabuk.
Jujur saja, memang akulah Layang Petir, murid Iblis Banci yang belum tuntas
selesaikan pelajaran darinya. Ketika Guru meninggal dia berpesan tentang patung
pusaka yang akan muncul dua malam sebelum purnama. Dalam patokan ingatanku
patung itu akan muncul pada malam purnama. Soal dua malam sebelumnya tidak
pernah kukabarkan kepada siapa pun, karena aku sendiri sempat lupa tentang 'dua malam'
tersebut. Aku baru ingat beberapa hari yang lalu, karenanya aku datang ke Bukit
Jengkai Demit ini."
"Untuk mencari Shoguwara?" Pak Tua gelengkan kepala. "Aku tak punya persoafan
dengan Shoguwara. Aku hanya membohongimu. Aku sengaja menahanmu di gua itu agar
kau tak muncul di makam ini pada malam itu."
"Mengapa harus kau lakukan itu, Pak Tua?"
"Tujuanku sebenarnya hanya ingin hancurkan pusaka tersebut, karena aku tahu
pusaka itu nantinya akan menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan di muka bumi.
Aku khawatir jika patung itu jatuh ke tanganmu. Jelas aku tak akan bisa
melawanmu karena aku tahu kau anak Dewa Batara Kama."
"Dari siapa kau tahu?"
"Teropong batinku menyelusuri sejarah masa lalumu. Tapi...," Pak Tua alias si
Layang Petir itu memandang makam yang jebol. Lalu ia berkata lagi dengan pelan,
"Tapi aku sendiri terlambat. Patung itu sudah ada yang mengambilnya pada saat
aku tiba di sini tadi malam. Aku tak tahu siapa yang mengambil patung itu. Aku
sedang mencarinya dan ingin menghancurkannya. Namun melihat Hantu Congkak mati
dengan cara begini, aku yakin dia dibunuh dari jarak jauh dengan cara menusukkan
benda tajam apa saja ke bagian jantung Patung Iblis Banci itu."
"Sejauh mana ia bisa lakukan hal itu?"
"Bisa sangat jauh, bisa juga berada di sekitar sini, di tempat yang
tersembunyi," jawab Pak Tua dengan wajah cemas memandangi keadaan sekitarnya.
"Lalu bagaimana dengan makam di bawah pohon beringin merah itu?" tanya Pendekar
Romantis. "Itu makam palsu. Sengaja kubuat demikian supaya orang terkecoh dan
menyangka makam itu makam guruku.
Kulakukan begitu karena aku sadar bahwa waktu itu aku telanjur mengumbar omongan
tentang wasiat guru kepada beberapa orang. Untuk mencegah hal-hal seperti ini,
maka kubuat makam palsu di bawah sana. Namun toh masih ada yang bisa membedakan
mana makam asli dan mana yang palsu. Buktinya seseorang telah
menduluiku mengambil Patung Iblis Banci yang keluar dari dalam makam itu tadi
malam!" "Kita cari bersama kalau memang tujuanmu mau hancurkan patung pembawa malapetaka
itu, Pak Tua! Aku pun
sependapat denganmu."
Pak Tua baru saja mau bicara, tibatiba tubuhnya tersentak mundur dua
langkah dengan dada tergores dan
berdarah. Pandu Puber terkejut sekali melihat hal itu. Pak Tua sendiri kaget dan
menjadi tegang. Namun ia masih mampu berdiri dan berkata dengan napas tertahan
berat. "Kali ini orang yang mengambil patung itu menyerangku, Pandu!"
"Celaka!" Pandu Puber bingung mengatasi hal itu. Ia hanya bisa menengok ke sanasini dengan tegang.
"Hati-hati, mungkin kau pun akan diserangnya dengan cara seperti yang kualami.
Kurasa, uuhhg...!" Pak Tua mendelik, ulu hatinya tiba-tiba berlubang dan
mengucurkan darah segar.
"Pak Tua..."!" seru Pandu segera menangkap tubuh yang limbung ke belakang dan
mau tumbang itu.
"Di... dia... membunuhku, Pandu...."
"Jangan takut, Pak Tua! Aku di pihakmu!" kata Pendekar Romantis, kemudian segera
membaringkan tubuh Pak Tua di tanah.
Jurus 'Hawa Bening' digunakan Pandu
Puber untuk mengobati luka Pak Tua. Jari tengah diacungkan menunjuk ke arah
perut Pak Tua. Dari ujung jari tengah itu keluar sinar bening seperti kaca.
Slapp...! Sinar bening itu menghantam perut Pak Tua dan tiada terputus
cahayanya untuk sementara waktu. Setelah sesaat tubuh itu menerima sinar putih
bening, maka sinar tersebut pun padam dan jari tengah Pandu dilemaskan kembali.
Hanya para dewa yang mempunyai sistem pengobatan seperti itu tanpa harus
mengalami operas atau menjahit
luka. Kehebatan jurus 'Hawa Bening' adalah dapat mengeringkan luka dengan cepat dan
menyembuhkan seseorang dalam waktu
singkat. Terbukti setelah sekitar lima helaan napas, luka di dada dan dl ulu
hati Pak Tua itu mengatup sendiri, bukan saja mengering melainkan pulih seperti
sediakala. Pak Tua sendiri tidak
merasakan sakit, dan napasnya longgar kembali. Merasa badannya sehat, Pak Tua
segera bangkit dan memandang Pandu Puber dengan heran bercampur kagum.
Di luar dugaan, Pak Tua segera
berlutut dan menundukkan kepala, sedikit membungkuk, sebagai tanda memberi
hormat kepada Pendekar Romantis. Mungkin juga sebagai ucapan terima kasih atas
nyawanya yang telah diselamatkan oleh Pandu Puber.
Tapi si pemuda tampan beranting satu itu
menjadi risi dan segera menyuruh Pak Tua untuk bangkit berdiri.
"Jangan bersikap seperti itu di depanku, Pak Tua. Aku jadi malu sendiri menerima
hormatmu."
"Hanya tangan dewa yang bisa
selamatkan nyawaku dalam keadaan seperti tadi, Nak Mas Pandu Puber!"
"Pak Tua, lupakan kejadian tadi.
Sekarang coba cari dengan teropong
batinmu di mana pemilik Patung Iblis Banci itu bersembunyi. Kita kejar dia dan
kita hancurkan patung pembawa bencana itu, Pak Tua."
"Sudah kucoba beberapa kali tapi selalu gagal menembus teropong batin orang
tersebut. Mungkin karena ia
memegang Patung Iblis Banci yang
mempunyai kekuatan sakti maha tinggi itu, sehingga sulit ditembus oleh teropong
batin siapa pun."


Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sumo Banjir keluar dari
persembunyiannya sejak tadi. Wajah
polosnya tampak masih diliputi perasaan takut. Ia mendekati Pandu Puber dan
berkata, "Kang, aku pulang saja, ya" Aku takut!"
"Hari sudah hampir sore. Apakah kau berani pulang sendiri?"
"Berani, Kang. Pokoknya asal jangan ketemu orang berpakaian hitam dengan rambut
dikuncir. Aku takut kalau lihat
orang itu, Kang."
"Mengapa takut?"
"Soalnya tadi malam aku lihat dia lari di kaki bukit ini dan bertarung dengan
lawannya. Tapi lawannya tahu-tahu mati sendiri. Padahal orang berkuncir itu
hanya memasukkan pisau kecil pada boneka yang dibawanya. Dia sakti sekali,
Kang." "Tunggu, tunggu...!" kata Pak Tua.
"Boneka kecil seperti apa"! Kau melihat sendiri boneka itu?".
"Ya, tapi tak jelas sekali karena cahaya rembulan tidak terlalu terang.
Boneka itu sepertinya dari karet, Pak Tua."
"Pantas! Itulah yang dinamakan Patung Iblis Genit, eh... Patung Iblis Banci,"
kata Pak Tua saking gugupnya. "Patung itu memang seperti karet, tapi menurut
penjelasan guruku; Iblis Banci sendiri, patung tersebut sebenarnya terbuat dari
gumpalan daging dan urat-urat tubuhnya yang mengkerut selama sekian tahun di
dalam liang kubur. Karenanya mudah
ditusuk dengan jarum, mudah digores dengan benda tajam apa pun. Digores pakai
kuku pun bisa!"
Pandu Puber termenung menyimak kata-kata tersebut, lalu ia mengingat kembali
kata-kata Sumo Banjir dan segera
menggumam, "Orang pakaian hitam" Rambutnya
dikuncir?"
Sumo Banjir berkata, "Dia mengenakan baju lengan panjang warna putih, Kang.
Tapi dirangkap baju seperti rompi atau jubah tanpa lengan warna hitam. Matanya
kecil dan...."
"Shoguwara!" sahut Pak Tua itu dengan tegas dan cepat.
Pendekar Romantis manggut-manggut, ia pun berpendapat begitu. Shoguwara adalah
orang berkuncir, berpakaian hitam dengan baju lengan panjang putih, matanya
kecil dan jidatnya lebar karena rambutnya dikebelakangkan semua.
"Siapa anak ini sebenarnya?" tanya Pak Tua kepada Pandu sambil menuding Sumo
Banjir. Pandu menceritakan siapa Sumo Banjir secara singkat. Lalu, Pak Tua
bertanya kepada Sumo Banjir,
"Bagaimana kau bisa lihat orang itu sedangkan kau dalam keadaan jauh
darinya?" "Tidak terlalu jauh, Pak Tua. Aku sembunyi di atas pohon, karena mencari tempat
untuk tidur. Aku melihat
pertarungan orang itu dengan musuhnya tepat di bawah pohon yang kugunakan untuk
tidur itu."
"Mengapa kau ingin tidur di atas pohon?"
"Habis, aku cari-cari Kang Pandu nggak ketemu. Aku kemalaman. Kalau aku
pulang, takut dicegat macan di jalan.
Lebih baik aku diam di suatu tempat yang aman. Esoknya baru pulang ke rumah,
tapi di jalanan kepergok rombongan Raga Paksa yang akhirnya membuatku dikejarkejarnya," tutur Sumo Banjir dengan lugu, tidak tampak dibuat-buat.
"Di mana kau melihat orang itu bertarung?" tanya Pandu ingin menyelidik pula.
Sumo Banjir menjawab dengan polos,
"Di sebelah utara sana, Kang. Kurasa mayat musuhnya orang itu masih tergeletak
di sana!" "Pak Tua, aku akan memeriksa mayat itu!"
"Aku ikut denganmu, siapa tahu aku bisa mengenali mayat itu!"
Tanpa rasa ragu sedikit pun, Sumo
Banjir akhirnya membawa kedua tokoh sakti itu ke arah kaki bukit sebelah utara.
Setibanya di sana, ternyata apa yang dikatakan Sumo Banjir memang benar. Ada dua
mayat yang terkapar berjauhan dari pohon yang dipakai bermalam Sumo Banjir.
Kedua mayat itu dikenali oleh Pak Tua sebagai tokoh berusia tanggung, sekitar
lima puluh tahunan. Kedua mayat itu dikenal dengan nama: Arwana Raja dan Pola
Kosa, utusan dari Pulau Madagasruk.
Melihat luka keduanya tepat di bagian jantung,
dapat diduga lawan mereka
menggunakan senjata tajam yang runcing
untuk menusuk jantungnya, karena tak terlihat ada tanda-tanda perlawanan pada
diri si korban.
"Pandu...," tiba-tiba Pak Tua berkata pelan, "Cepat berlindung. Aku merasakan
ada seseorang yang ingin melintasi daerah ini!"
Pandu Puber tidak sangsi dengan
ketajaman indera keenam Pak Tua, sebab kala ia dan Dardanila bersembunyi di gua
saja Pak Tua bisa mengetahuinya. Maka dengan membawa tubuh Sumo Banjir, Pandu
Puber melesat naik bagaikan terbang ke atas dan hinggap di salah satu dahan
pohon tinggi. Sumo Banjir sempat
gelagapan dan terengah-engah setelah diam di atas pohon. Jantungnya bagaikan
tertinggal di bawah sana. Sementara itu, Pak Tua pun segera menyusul Pandu
Puber, ia hinggap di dahan seberang Pandu.
Setelah sesaat mata mereka saling
memandang dengan awas, keduanya sama-sama menangkap gerakan hitam yang melintas
cepat di sebelah timur mereka. Gerakan itu amat cepat, jika Pandu dan Pak Tua
bukan orang berilmu tinggi, mereka tak dapat melihat gerakan secepat itu.
"Kutahan dia!" ucap Pak Tua yang segera melesat pergi bagaikan angin badai
menerobos dedaunan pohon. Wresss...!
Pandu Puber segera menyusul setelah berkata kepada Sumo Banjir,
"Kau tetaplah di sini. Jangan ke mana-mana. Nanti aku kembali menurun-kanmu.
Pegangan dahan yang kuat!" Dan bocah itu hanya mengangguk-angguk dengan patuh
walau wajahnya tampak menentang rencana itu karena rasa takutnya.
Zlappp...! Pandu Puber pun melesat
dengan cepat, bahkan tanpa timbulkan suara gemerisik walau ia menembus
dedaunan pohon. Sumo Banjir terbelalak dan berkedip-kedip kebingungan.
Orang yang dihadang Pak Tua itu
ternyata adalah Shoguwara, mantan
Pendekar Samurai Cabul dari tanah Sakura.
Shoguwafa sempat terperanjat
melihat Layang Petir masih hidup. Ini menandakan memang dialah yang tadi membunuh Layang
Petir menggunakan kekuatan Patung Iblis Banci.
"Kau masih Ingat aku, Shoguwara?"
"Layang Petir, wajahmu memang selalu kuingat karena kau pernah lukai aku sebelum
aku memegang samurai cabul dulu.
Tapi sekarang walaupun tanpa samurai cabul, aku tetap akan siksa dirimu dengan
patung pusaka ini!"
Wett...! Patung Iblis Banci
dikeluarkan dari balik jubah hitamnya.
Patung itu berukuran kecil, panjangnya satu jengkal lebih sedikit, berwarna
hitam, membentuk wajah dan potongan tubuh Iblis Banci. Pak Tua tahu persis, itu
adalah patung mantan gurunya. Namun karena ia sudah bukan lagi masuk dalam
aliran sesat, hanya masih suka nakal secara kecil-kecilan, maka timbullah
nafsunya untuk menghancurkan patung itu.
"Kau tak akan bisa ke mana-mana jika aku sudah memegang patung ini, Layang
Petir! Saatnya mati untukmu telah tiba!"
Sett...! Shoguwara mengambil pisau kecil
berujung runcing. Pisau yang biasanya digunakan untuk senjata rahasia itu
tergenggam di tangan kanannya, sedangkan patung itu digenggam tangan kiri. Pak
Tua diam saja. Ia tak mau bergerak dengan bodoh. Karena sedikit meleset
perhitungan gerakannya, ia akan mati seketika itu juga kalau pisau kecil itu
dihujamkan ke dada patung.
"Jika kau benar-benar Jantan,
hadapilah aku dengan tangan kosong, Shoguwara!" pancing Pak Tua.
Shoguwara yang rambutnya dikuncir
tinggi itu menyeringai. "Bodoh amat kalau aku tak memanfaatkan patung gurumu
ini! Susah payah kudapatkan saat ia melompat dari dalam makam, kenapa harus kusiasiakan! Terimalah kematianmu sekarang juga, Layang Petir! Heaaah...!"
Clappp...! Sinar merah melesat lebih dulu dari mata kiri Pak Tua. Sinar itu
menghantam tangan kiri Shoguwara.
Dess...! "Auuhh...!" Shoguwara terpekik.
Tangannya tersentak ke atas karena
menjadi hangus seketika. Patung itu terlempar terbang. Dan tiba-tiba ada sinar
putih perak yang menghantam patung itu dengan tepat.
Blegarrr...! Sinar putih perak itu tak lain adalah jurus 'Inti Dewa' yang melesat dari
telapak tangan Pandu Puber. Sinar itulah yang menghancurkan Patung Iblis Banci
hingga menjadi berkeping-keping dan ledakannya mengguncang bumi cukup kuat.
"Pak Tua, minggir! Biar kulayani dia!" teriak Pandu Puber yang segera melompat
menerjang Shoguwara.
Pandu Puber sempat nyaris tergores pisau kecil di tangan kanan Shoguwara.
Untung kakinya cepat ditarik tak jadi menendang. Tapi kejap berikutnya kaki kiri
Pandu berkelebat memutar dan tepat kenai wajah Shoguwara.
Plokk...! Tentu saja Shoguwara
terpental mundur beberapa langkah, tapi dikejar terus oleh Pandu Puber dengan
tendangan berputar hampir tujuh kali berturut-turut.
Plok, plok, plok, plok...!
Tendangan cepat yang tak bisa
ditangkis itu di-namakan jurus 'Tendangan Topan'. Kekuatan tenaga dalam yang
terpancar pada kaki membuat
wajah Shoguwara jadi babak belur, bengkak, dan membiru. Ia tak bisa berkutik lagi,
sehingga terpaksa harus melarikan diri sebelum kepalanya menjadi pecah oleh
tendangan mirip baling-baling.
"Patung itu hancur, Pak Tua!" kata Pandu setelah Shoguwara tak terlihat lagi.
Pak Tua hanya manggut-manggut dengan senyum kecil. Kemudian punggung Pandu
ditepuk-tepuknya.
"Terima kasih. Ternyata kau telah selamatkan sekian banyak manusia yang akan
menjadi korban jika patung itu ada di tangan Shoguwara. Kau memang layak
menyandang gelar pendekar, Pandu!"
"Berkat keberanianmu melepaskan serangan ke tangan pemegang patung tadi,
akhirnya aku dapat hancurkan benda
tersebut. Jadi keberhasilan ini bukan milikku saja, Pak Tua. Kau juga punya
andil dalam menghancurkan patung mantan gurumu itu!"
Pak Tua manggut-manggut dengan senyum tipisnya. "Kalau aku dulu sudah sesadar
ini, mungkin aku tak mau menjadi murid orang sesesat dia! Tapi, biarlah masa
lalu itu terkubur dalam. Yang penting aku sudah merasa lega, patung penyebar
bencana itu sudah hancur!"
"Lalu bagaimana dengan mereka yang menunggu di makam palsu itu?"
"Akan kubongkar makam itu biar mereka tahu bahwa makam itu palsu dan patung yang
mereka cari sudah kau hancurkan!"
Maka, bergegaslah mereka berdua
menuju kuburan di bawah beringin merah itu. Pak Tua menghentikan pertarungan
yang terjadi di sana. Ternyata jumlah tokoh tua yang ingin memperebutkan patung
itu lebih banyak lagi dari jumlah saat ditinggalkan Pandu. Sementara itu,
Dardanila segera turun menghampiri Pandu dan berbisik,
"Terlalu lama kau pergi dariku. Aku kasmaran lagi, Pandu... "
"Uuuh... kamu ini tahunya cuma kasmaran melulu! Ayo deh!"
"Kita ke gua yang tadi malam, Pandu?"
"Kita menjemput Sumo Banjir. Ia tertinggal di atas pohon!" jawab Pandu Puber
dengan sedikit gondok hati
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Si Rajawali Sakti 8 Beruang Salju Karya Sin Liong Suling Naga 7

Cari Blog Ini