Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman Bagian 1
--------------------------------------------------------------------------------------------------SATU -------------------------------------------------------------------------------------------------SEPASANG mata kecil seperti biji pete muda, mengintip dari balik celah dedaunan.
Suara gemuruh air terjun terdengar samar-samar karena jaraknya agak jauh. Tapi
dari tempat pengintaiannya bisa terlihat jelas. Sepasang mata tua itu menatap ke
arah tiga orang penghuni puncak Gunung Ismaya.
Tiga orang itu adalah seorang pemuda dengan pakaian ungu muda berbintik-bintik
putih seperti tetesan embun.
Rambutnya punk-rock, depan pendek belakang agak
panjang. Pemuda itu berusia sekitar tujuh belas tahun.
Memakai anting cepit warna putih metalik, berukuran kecil, di telinga kiri.
Sabutnya hitam, celananya yang ungu juga itu bertiras tepiannya. Di dada pemuda
itu ada tato gambar bunga mawar merah sedang mekar, tangkainya biru.
Tato itulah yang menjadi lambang dan cirinya sebagai Pendekar Romantis yang
bernama Pandu Puber. Gelar
pendekarnya baru saja diperoleh setelah menyelesaikan skripsi pertarungan dengan
Pendekar Samurai Cabul.
Beberapa tokoh dunia persilatan sempat nonton pertarungan itu, sehingga mereka tahu bahwa orang tertinggi ilmunya untuk saat itu
telah ditumbangkan oleh seorang pemuda tampan yang bernama Pandu Puber. Otomatis
gelar kependekaran sekarang berpindah ke tangan Pandu Puber. Dan nama Pendekar
Romantis pun mulai menyebar dari mulut ke mulut, dari kuping ke kuping, dari
hidung ke hidung, pokoknya dari mana saja berita itu tersiar tanpa selebaran
segala. Tapi ada pula pamflet-pamflet tertempel di setiap pohon, tabu, dinding cadas,
dinding kedai dan di mana-mana.
Pamflet itu berbunyi; "Pendekar Samurai Cabul telah ditumbangkan. Sekarang orang
tertinggi ilmunya dan layak menjadi pendekar adalah Pandu Puber, bergelar
Pendekar Romantis. Yang tua-tua sih nggak perlu gelar lagi, kan?"
Entah siapa yang bikin pamflet tulisan seperti itu, yang jelas bukan pekerjaan
Pandu Puber sendiri.
"Anak siapa Pandu Puber itu?"
"Anaknya Kang Yuda Lelana itu lho!"
"Yuda Lelana yang mana?"
"Yang jadi suaminya Mbakyu Murti Kumala! Masa'
nggak tahu sih?"
"Murti Kumala itu yang mana?"
"Yang anaknya raja jin Kala Bopak itu lho! Ah, masa'
nggak ngerti juga" Itu tuh.....yang jadi penguasa Pulau Iblis."
Kira-kira begitulah percakapan dari mulut ke telinga dan kembali lagi ke mulut.
Banyak yang mendengar, men-jadikan suasana penasaran, karena banyak yang ingin
melihat seperti apa sih Pendekar Romantis yang bernama Pandu Puber itu" Pihak
yang paling banyak menyimpan rasa penasaran adalah pihak wanita.
"Yang benar aja..... masa' ketampanan Shoguwara si
Pendekar Samurai Cabul juga dikalahkan oleh ketampanan Pandu Puber?"
"Walaaah... mbok ya berani disamber kucing beranak
seribu deh, aku ini lihat sendiri tampangnya. Benar-benar ganteng dan gagah.
Kalau berjalan dadanya maju!"
"Lha kalau dadanya maju lalu pantatnya ada di mana?"
"Ketinggalan di pasar!" jawab yang ngotot dengan kesal.
"Aku nggak bohong kok. Pendekar Romantis itu gantengnya melebihi Arjuna!"
"Hidungnya bagaimana?"
"Hidungnya mancung, matanya kebiru-biruan, kulitnya bersih, rambutnya antik,
pokoknya kayak orang bule deh!"
"Bule itu apa sih?"
"Bule itu Buaiannya Lembut! Pokoknya kalau kamu lihat dari dekat dan dekat
sekali, langsung kamu akan muter kayak gangsing celeng!"
"Karena kagumnya sampai begitu?"
"Karena ditampar dia!"
"Apa dia galak, kok suka nampar?"
"Dia kalau nampar pakai bibir. Bukan pakai tangan. Ih, mesra sekali deh kalau
hidup berdampingan sama dia.
Nggak tidur tujuh malam juga betah!"
"Ah, jangan-jangan sama bekas pacarku yang mati
tergencet kuda lebih ganteng bekas pacarku itu?"
"Mana bisa"! Nggak mungkinlah, Jreng! Itu sama saja ada monyet bisa ngomong!
Yang namanya Pendekar
Romantis, baru dilihat dadanya saja sudah bikin jantungmu mpot-mpotan. Dadanya
punya tato kembang mawar lho!"
"Masa' sih?"
"Iya. Kalau bekas pacarmu kan tatonya gambar
kembang api!"
"Ih, aku jadi geregetan, pingin lihat dia deh. Yuk, lihat yuk...!"
"Harus ke puncak gunung dulu."
"Lho, kenapa ke sana" Apa dia penghuni hutan di
gunung itu?"
"Iya. Dia tinggal bersama papi dan maminya."
"Kalau begitu dia orang hutan dong!"
"Nggak gitu sih. Tapi.....iya juga ya" Habis tinggalnya di hutan sih, maka pantas
dibilang orang hutan, ya" Eh, tapi bukan sejenis pamanmu."
"Apa maksudmu sejenis pamanku?"
"Maksudku, bukan sejenis kingkong!"
Wah, ramai deh pokoknya. Hampir tiap mulut wanita
baik yang tua maupun yang muda pada berceloteh tentang Pandu Puber dan
ketampanannya. Malahan ada yang
sudah tunangan sengaja mencekcokkan diri dengan
kekasihnya supaya pisahan. Maksudnya kalau sudah
pisahan dia bebas dekatin Pandu Puber. Tapi sayang sang kekasih tak mau
memsihkan diri karena butuh tumpangan hidup di masa depannya.
Nah, dari beberapa orang yang penasaran, ada salah
seorang yang nekat mendaki Gunung Ismaya. Tapi bukan perempuan. Yang nekat itu
soerang lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun. Jadi sudah termasuk tua juga.
Cuma karena punya ilmu peringan tubuh seperti kerupuk mekar di penggorengan,
maka dia bisa mencapai puncak Gunung Ismaya. Orang itu berpakaian kuning dalam
bentuk pakaian jubah, rambutnya kribo tapu beruban tak rata, kumisnya sedikit, hanya di
ujung-ujung saja dan tipis.
Alisnya abu-abu berbentuk lengkung turun. Orang itu di rimba persilatan dikenal
dengan nama Loan Besi. Menurut kamus bahasa kuno, Loan itu artinya otot, besi
artinya.... ya besi. Jadi Loan Besi sama dengan Otot Besi. Alias robot!
Tapi.....yah, itu hanya nama julukan saja kok. Biar kelihatan serem, gitu! Maklum,
orang zaman dulu kalau bikin nama kan sengaja diserem-seremkan. Apalagi hidup di
rimba persilatan kalau namanya tidak diserem-seremkan sering disepelein musuh.
Loan Besi kala itu melihat sendiri Pandu Puber berhadapan dengan kedua orang tuanya Yuda Lelana dan
Murti Kumala. O, ya Yuda Lelana itu dewa lho. Swear! Dewa asli yang namanya
Batara Kama. Karena dia dituduh
melakukan pelecehan cinta, sering mengganggu para
bidadari, maka dia diusir dari kayangan. Bisa menjadi dewa lagi kalau sudah
kawin dengan putri raja jin dan berhasil punya keturunan. Itu janji para sesepuh
kayangan yang punya nama Sepeda : Serikat Pengawas Dewa, (Soal siapa Yuda Lelana
dan siapa Murti Kumala, baca serial Pendekar Romantis yang ceritanya: "Geger Di
Kayangan" seru deh!) Pada waktu Loan Besi mengintip Pandu Puber,
keadaaan wajah Pandu Puber sedang suntuk, murung,
kendor, pokoknya dirundung duka. Apa sebab"
Sebab sang Ayah sudah mendapat 'panggilan' dari
Kepala Dinas Kedewaan di kayangan, bahwa masa
hukumannya sudah berakhir. Sikap dan tingkah laku Yuda Lelana alias Batara Kama
selama menjalani hukuman
dinilai baik-baik saja, tidak pernah melakukan usaha meloloskan diri dari
penjara bumi tempat pembungannya itu, bersikap baik, berhati sabar, tidak pernah
tersangkut masalah hutang kepada siapa saja, dan tidak pernah
mabuk-mabukkan atau menghisap rokok terlarang. Jadi, masa hukuman di bumi
dipersingkat, akhirnya diputuskan untuk kembali ke kayangan.
Pertimbangan para dewa itupun berdasarkan pula
karena Yuda Lelana atau Batara Kama sudah berhasil
memperistri anak jin, sudah berhasil mempunyai
keturunan, dan keturunannya sudah berhasil meraih gelar
'pendekar' dengan cara berbuat baik, bersikap menolong dan mengalahkan
kejahatan. Amal baik seorang anak
ternyata berpengaruh juga kepada peringan hukuman sang orang tua. Mungkin kalau
anaknya brengsek, suka
ngompas sana-sini. Yuda Lelana belum tentu mendapat
'grasi' atau pengurangan hukuman.
Karena selama ini, Murti Kumala, sebagai istri Batara Kama, menunjukkan sikap
yang baik, setianya tinggi, tidak pernah culas, tidak penah ngutang sana-sini,
tidak perdah serong kiri serong kanan, tulus cintanya, murni kasih sayangnya,
maka pihak para dewa pun memberi bonus
istimewa buat Murti Kumala. Bonus itu adalah izin
mengikuti suami hidup di kayangan bersama-sama para dewa-dewi. Jadi, Murti
Kumala juga berhak ikut naik ke kayangan, demi menjaga agar sang suami di
kayangan jangan colak-colek bidadari lagi. Dengan lain perkataan, Murti Kumala di
kayangan menjadi Satprinya Batara Kama.
Satpri itu artinya Satpam Pribadi.
"Apakah Ibu tidak bisa tinggal bersamaku di bumi,
Ayah?" tanya Pandu Puber yang amat sayang kepada
ibunya. "Anakku," kata Yuda Lelana dalam masa perpisahan itu.
"Ibumu bisa-bisa saja tinggal di bumi, tapi dia akan kehilangan kesempatan untuk
hidup di kayangan bersama para dewa-dewi. Kelak kalau kau akhirnya menikah
dengan bidadari yang bernama Dian Ayu Dayen itu, kalian sendiri akan naik ke
kayangan dan hidup di sana. Lalu ibumu sama siapa" Kalian tidak bisa membawa Ibu
naik ke kayangan sana, sebab tiket kalian hanya dua. Nah,
sekarang ini, mumpung Ayah punya tiket dua, maka Ibu akan Ayah ajak naik ke
kayangan. Biarlah Ibu dan Ayah berangkat duluan, kau ikut kloter berikutnya
saja!" "Jika memang begitu kehendak Sang Hyang Guru Dewa,
silakan Ayah dan Ibu berangkat duluan. Nanti saya
menyusul belakangan saja," ucap Pandu Puber dengan
nada suara sedih. Wajahnya kian murung, seperti mau menangis.
Sang Ibu berkata, "Anakku, Pandu...... memang berat
bagi Ibu untuk meninggalkan kamu, Nak. Tapi kepergian Ibu ini bukan kepergian
yang tanpa arti. Kita masih tetap akan bertemu dan hidup bersama di kayangan
nanti. Selain itu, ayahmu ini perlu seorang pendamping dan penjaga kenakalannya. Kalau
Ibu tidak ikut ke kayangan, ayahmu jadi playboy lagi di sana, nanti dia diusir
lagi dan disuruh kawin sama anak jin lagi. Padahal jin-jin zaman sekarang sudah
malas beranak. Jadi tabahkan hatimu, Nak. Tataplah jauh ke depan.....masa depan
menunggumu, tanah impian ada di sana, trasnsmigrasilah kau ke dunia seberang...."
"Kok pakai transmigrasi segala?" bisik ayahnya.
"Maksudnya, pindah dari kehidupan sekarang ke masa
kehidupan mendatang. Kalau biasanya Pandu hidup
didampingi orang tua, sekarang harus berani hidup sendiri.
Kalau biasanya ada kesulitan apa-apa mengadu kepada orang tua, sekarang harus
mengaasi kesulitan itu sendiri.
Niscaya...... menurut para orang tua, kalau kau berani
mandiri berarti kau menuju alam kedewasaan. Transmigrasilah dari masa remaja ke masa dewasa, asal jangan ke masa bodoh!"
Kabut putih mulai merayapi bumi. Seakan keluar dari tiap celah tanah yang
dipijak Yuda Lelana dan Kumala Murti, eh....kebalik. nggak apa-apalah. Pokoknya,
ada kabut yang merayap sampai menyelusuri kaki Yuda Lelana dan Murti Kumala.
Kabut itu makin lama makin menebal.
Loan Besi memandang penuh keheranan. Hatinya
membatin, "Itu kabut beneran atau dry-ice, kok semburannya agak aneh?"
Ternyata kabut yang kian menebal itu mengangkat
telapak kaki Yuda Lelana dan Murti Kumala. Kedua orang itu makin lama semakin
naik, tapi gerakannya sangat pelan. Sang Ayah segera berkata
"Pandu, jangan sedih dan jangan loyo! Kau bukan
wayang golek, makanya jangan loyo! Tegak berdiri dan hadapi kenyataan dengan
tegar!" Pandu Puber bagaikan tergugah semangatnya, tercambuk jiwanya. Ia segera menegakkan sikap berdirinya.
Dadanya sedikit terbusung, napasnya tertarik panjang-panjang, tapi tak sampai
putus. "Jangan cengeng anakku! Ada masa pertemuan, ada
masa perpisahan pula. Dapat suguhan atau tidak, seorang tamu harus tetap pulang.
Dan Ayah inilah tamu yang sudah dapat banyak suguhan dari bumi. Satu suguhan
terpaksa Ayah bawa pulang sebagai oleh-oleh masyarakat kayangan.
Suguhan itu adalah ibumu!"
"Anakku," kata sang ibu. "Benar apa kata ayahmu itu.
jaga dirimu baik-baik. Jangan menjadi cengeng karena perpisahan ini. Kelak kita
akan punya masa-masa reuni sendiri! Selamat tinggal, Pandu anakku.....jangan
menangis..... jangan, Nak....!"
"Siapa yang menangis?" bisik ayah Pandu Puber.
"Matanya sudah merah tuh."
"Itu karena dia begadang semalaman. Ngobrol denganku." Kabut tebal mulai mengangkat mereka berdua. Posisi
berdiri mereka sebatas perut Pandu Puber. Sang Pendekar Romantis masih tetap
tegakkan badan, tabahkan hati, pandangi kepergian kedua orang tuanya dengan
tegas dan tegar. Tak ada tangis, tak ada air mata.
Sang Ayah kembali berkata, "Ingat, Pandu... kau akan
menyusul kami ke kayangan jika menikah dengan seorang bidadari. Karena itu, jaga
dirimu, jangan sampai kau nikah dengan perempuan biasa. Kalau hanya sekadar
'cuci mata' saja tak apa. Tapi jangan sampai menikah. Dan ingat pula, siapapun yang manjadi
pelayanmu atau gurumu nanti,
maka dia punya free-pass untuk naik ke kayangan, hidup di sana bersama para
dewa-dewi. Karena itu, hati-hatilah memilih pelayan atau guru, jangan sembarang
orang kau jadikan pelaan atau gurumu! Supaya kalak kau tidak
menjadi malu jika gurumu bikin masalah di kayangan. Ingat itu, Pandu...!"
"Aku akan ingat, Ayah...!" kata Pandu tegas sampai
mendongak, karena ayah dan ibunya sudah semakin tinggi, sebatas lehernya. Kabut
tebal itu membentuk mega yang menopang kaki kedua orang tua Pandu Puber.
"Satu lagi pesan Ibu, Nak..."
"Apa pesan itu, Bu!"
"Jangan lupa....sekali lagi jangan lupa....jemuran diangkat sebelum hujan turun, ya?"
"Baik, Ibu. Selamat jalan Ayah dan Ibu, selamat berpisah, sampai bertemu lagi...!"
melambai-lambaikan
tangan. Kedua orang tuanya membalas dengan tubuh
makin naik lagi. Sang Ibu menangis, tapi sang Ayah berkata pelan.
"Jangan menangis! Nanti dia pingsan! Tersenyumlah...
ayo, tersenyum...!"
Sang Ibu memaksakan diri untuk tersenyum walau kaku.
Air matanya dibendung di tepian kelopak mata. Pandu Puber sendiri hampir saja
menitikkan air mata karena kedukaannya. Tapi ia masih mampu menahan tangis itu
di dalam hati, sehingga hatinya menjadi kembung karena penuh air yang
menggenang. Ayahnya berseru ketika mereka lebih tinggi lagi, "Jangan lupa, Ayah menjemur
nasi kerak di atas genteng, nanti diangkat ya..."!"
"Baik, Ayah....! Ibu, nanti kalau sudah sampai sana
sering-sering kirim surat, ya"!" seru Pandu menghibur diri.
Asap tebal membentuk gumpalan mega itu tiba-tiba
Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memancarkan sinar putih terang menyilaukan. Sinar putih itu membungkus tubuh
Yuda Lelana dan istrinya. Pandu Puber tak bisa melihat sosok kedua orang tuanya
lagi karena silaunya. Dan tiba-tiba, dari langit mundul sinar biru membias ke
arah sinar putih terang itu. Sinar itu bagaikan menyembur membentuk jalur
tersendiri yang membuat
gumpalan asap bercahaya itu tersedot masuk ke jalur sinar biru bening tersebut.
Sang matahari redupkan cahayanya, seakan takut
melihat sinar biru bening yang merupakan cahaya
kekuatan sinar pandangan mata para dewa di kayangan.
Rupanya para dewa pun membukakan pintu masuk
menuju kayangan dan menyambut kepulangan Yuda
Lelana alias Batara Kama dengan upacara adat sesuai tradisi para dewa. Taburan
bunga warna-warni yang harum semerbak memenuhi alam kedewaan menyambut
kedatangan Batara Kama dan istri. Tarian adat disiapkan pula, pawai para
bidadari yang lengkap dengan drumband-nya juga memeriahkan kedatangan Batara
Kama. Di mana-mana terpasang spanduk bertuliskan "Welcome Batara
Kama and Bojonya."
Pandu Puber tidak bisa melihat kemeriahan sambutan
para dewa itu. Tapi mata hatinya bagaikan bisa merasakan kebahagiaan dan sukacita yang terjadi di lingkungan para dewa. Senyum pemuda tampan itu mekar dalam
lambaian tangan yang belum juga usai, sampai sinar biru itu lenyap dan matahari
mulai bersinar terang lagi Pandu Puber masih melambaikan tangan. Duka di hati
berganti suka-cita yang tak terlukiskan.
Tapi tidak demikian sang pengintai Loan Besi menangis terisak-isak karena
terharu melihat perpisahan anak dengan kedua orang tuanya itu. Loan Besi tak
bisa menahan isak tangisnya, sehingga terdengar sampai di telinga Pendekar Romantis.
Tentu saja sang pendekar jadi heran dan berkerut dahi. Hatinya membatin, "Aku
seperti mendengar suara desis ular naga" Hmm... rupanya ada
ular naga di sekitar sini?"
Pandu Puber segera mencari dengan mata melirik
tegang dan langkahnya tak terdengar. Ia menuju ke
sumber suara. Akhirnya ia temukan sesosok tubuh tua berjubah kuning sedang
berlutut dan tersengguk-sengguk karena tangis. Pendekar Romantis kian heran
melihat orang itu menangis. Maka disapanya dengan pelan dan penuh hati-hati,
seperti mendekati seekor singa sedang bertelur.
"Mengapa kau menangis, Ki?" tanya Pandu Puber
setelah dalam jarak dekat.
Loan Besi kian tersengguk-sengguk waktu melihat wajah bocah yang ditinggal pergi
kedua orang tuanya itu. Alisnya yang turun bagaikan kain melengkung ke bawah
membuat wajah itu tak punya gairah untuk dipandang. Tapi Pandu Puber paksakan
diri untuk memandang dan menyapa
kembali. "Mengapa kau menangis, Ki" Apakah kau terharu
karena melihat kepergian ayah dan ibuku?"
"Oooh...!" Loan Besi yang tua hanya bisa bilang 'oh'
sambil menggeleng.
"Atau... karena kau kasihan melihat ayah dan ibuku
pergi?" "Ak...aku...aku....oooh..." kembali Loan Besi gelengkan
kepala dan tak bisa memberikan jawaban apa-apa. Ia ter-tunduk lagi dan kian
terisak-isak. "Mungkin.....mungkin karena kau merasa kasihan
kepadaku yang kini menjadi anak yatim piatu, Ki?"
Loan Besi gelengkan kepala lagi.
"Habis kenapa kau menangis di sini?"
"Kakiku.... disengat kalajengking!" jawabnya parau,
membuat Pendekar Romantis terbelalak sambil menahan geli. Dan dilihatnya kaki
itu bengkak. Jempol kaki Pak Tua itu membiru serta lebih besar dari jempol kaki
yang satunya. "Yang mana jempol aslinya sih" Ini kaki kok jempol
semua bagini sih?" pikir Pandu Puber. Lalu ia berkata,
"Luruskan kakimu, biar kusembuhkan racun sengatan
kalajengking itu!"
"Ba...baik...!" Loan Besi bergerak pelan-pelan. Kedua
tangannya bertumpu di tanah, satu lututnya juga menapak di tanah, dalam keadaan
nungging bagitu kaki kanannya diluruskan. Kaki itulah yang tersengat
kalajengking. Plok...! Pandu Puber menepuk pantat Loan Besi.
"Nggak usah pakai nungging begitu. Duduk saja dan
luruskan kakimu!"
"O, iya. Maaf, aku....aku grogi...!"
Loan Besi duduk, kedua kakinya diluruskan. Pandu
Puber menangkap jempol yang bengkak itu dan meremasnya kuat-kuat hingga darah
muncrat dari luka sengat.
"Wuaaadooow...!" teriak Loan Besi kesakitan. "Edan
kamu ini! Edan...!"
"Aku mencoba mengobatimu, Ki. Jangan diedanedankan!" "Jempol bengkak sakitnya nggak ketulungan malah
diremas seenaknya saja! Memangnya buah duku"!"
"Racun itu harus dikeluarkan supaya tidak membusukkan darah dagingmu!"
"Iya, tapi jangan asal remas begitu saja dong!" sentak Loan Besi.
"Biar darahnya keluar, dan racunnya terbawa keluar
juga!" "Sudah, sudah...! Tak usah kau jamah! Aku bisa obati
lukaku sendiri dengan hawa saktiku!"
"Lho, punya hawa sakti segala toh?"
"Kau pikir aku gelandangan kecil"! Eh, biar tua-tua begini aku adalah Ketua
Perguruan Pengembara Sakti!"
"O, maaf! Maafkan aku, Ki!" Pandu menampakkan
hormatnya. "Anak buahku lebih dari seribu orang!"
"Wah, wah, wah... hebat sekali" Lalu, kenapa kau
sendirian" Mana anak buahmu, Ki?"
"Ya pada pergi mengembara semua!"
"Ooo....boleh kutahu namamu?"
"Namaku Loan Besi!"
"O, namaku Pandu Puber, Ki Loan Besi."
"Apa...."! Ki Loan Besi" Memangnya aku timbangan"!"
tokoh tua itu marah dan tak suka dipanggil Ki Loan Besi.
Tapi kemarahan itu hanya ditertawakan Pandu Puber.
"Apakah kau tadi melihat perpisahanku dengan ayah
dan ibuku, Ki?"
"Ti...tidak. Eh, anu...iya, memang tidak!" jawab Loan
Besi. "Aku tersesat di hutan ini. Lalu tersengat kalajengking dan tak bisa
teruskan perjalanan untuk sesaat. Tapi...tak apa. Aku bisa sembuhkan sendiri luka
ini. Kau tak perlu ikut campur, sebab..."
"Sampai ketemu lagi, Ki Loan Besi!" kata memotong.
Zlaapp...! Pandu Puber pergi dengan begitu cepatnya
karena pergunakan jurus 'Angin Jantan'. Loan Besi yang masih bicara hanya bisa
terbengong melompong penuh
kagum melihat kecepatan gerak anak muda tampan itu.
*** --------------------------------------------------------------------------------------------------DUA --------------------------------------------------------------------------------------------------ANGIN aneh menerpa alam sekitar Pulau Iblis. Seperti diceritakan di depan tadi,
Pulau Iblis merupakan wilayah kekuasaan raja jin yang bernama Kala Bopak, ayah,
yang berarti mertuanya Batara Kama sekaligus kakeknya
Pendekar Romantis. Orangnya tinggi, besar, wajahnya menyeramkan karena serba
besar sampai pada giginya
pun besar-besar. Kepalanya gundul berkuncir segepok melengkung ke belakang.
Untung ditutup dengan mahkota sehingga tak kelihatan gundul total.
Sekalipun dia adalah raja jin, tapi sejak menikah dengan mendiang ibunya Murti
Kumala, ia mengurangi sifat-sifat jahatnya, sejak punya cucu, ia malah menjadi
jin yang baik hati. Suka menasehati orang, walau kadang dirinya sendiri kurang
sehat. Gemar menolong orang walau ia sendiri sering mengharapkan balasannya.
Rajin menabung supaya tua beruntung, katanya.
Kala Bopak bukan jin sembarang jin. Jin belel pun
bukan. Jin murahan juga bukan. Kesaktiannya sudah tentu sangat tinggi. Kalau tak
tinggi, tak akan menjadi raja jin.
Mungkin hanya menjadi raja singa.
Ia mempunyai anak buah atau perajurit jin juga. Tapi jin yang sudah menjelma
menjadi manusia. Walau demikian, ciri-ciri jin masih ada pada mereka; tubuh
tinggi, besar, sangar dan punya kekuatan besar juga. Peristiwa
hancurnya sebuah gunung berapi beberapa tahun silam melibatkan beberapa nama
anak buah Kala Bopak, yaitu sebagai jin yang menjadi korban bencana alam
meletusnya gunung tersebut. Bukan sebagai jin yang menghancurkan gunung. Nama
Kala Bopak sendiri cukup dikenal di
kalangan para tokoh tingkat tinggi.
Pulau Iblis sendiri awalnya milik Ratu Geladak Hitam. Ia diserang Kala Bopak dan
kalah, lalu hidup mengembara di lautan dengan kapalnya, dan terdampar di pantai
utara, lalu hidup sebagai kelompok masyarakat sendiri yang kini berdamai dengan
Nyai Sirih Dewi sebagai pemilik Bukit Bara, karena di sana terdapat tambang
emas, (Baca deh serial Pendekar Romantis dalam cerita: "Geger Di
Kayangan" asyik diikuti kok)
Setelah Pulau Iblis dikuasai Raja Kala Bopak, dibangun-lah Istana yang maha
megah. Dulu istana itu pernah dibuat hancur karena pertarungan Kala Bopak dengan
Yuda Lelana, sebelum akhirnya diangkat sebagai menantunya dengan amat terpaksa. Di
dalam istana itu, tentu saja dihuni oleh para jin, dari pelayannya sampai
kokinya, jin semua. Tapi ada dua orang yang statusnya bukan jin
melainkan manusia. Mereka adalah Ki Panut Palipuh dan muridnya yang bernama
Mirah Duri. Gadis ini dulu pernah diselamatkan Pandu Puber saat ditawan Adipati
Sihombreng, yaitu ketika Pandu Puber masih berusia anak-anak. Ki Panut Palipuh
bisa mendarat di Pulau Iblis karena mendapat suaka perlindungan dari Kala Bopak
atas kejaran dendam Adipati Sihombreng. Biar mereka beda status, tapi Ki Panut
Palipuh adalah sahabat baik Kala Bopak. Jadi sang guru itu ditampung dengan suka
rela oleh Kala Bopak, bahkan ia dan muridnya sekarang dijadikan pejabat istana
Pulau Iblis, (Kalau nggak percaya, coba baca serial Pendekar Romantis dalam
kisah: "Hancurnya
Samurai Cabul" nggak jorok kok.)
Angin aneh yang bertiup di Pulau Iblis itu membuat Raja Kala Bopak menjadi
gelisah. Indera keenamnya mengatakan, ada sesuatu yang terjadi dan akan
dihadapi. Indera ketujuhnya menggiring alam pikirannya kepada wajah putri
tunggalnya yang semata wayang itu; Murti Kumala.
"Ada apa dengan anakku, ya?" pikirnya saat duduk di singgasana. Ia melamun
sambil terbengong sampai tak sadar ada lalat masuk ke mulutnya dan keluar lagi
dengan bangga karena pernah masuk mulut jin dengan selamat.
Kegelisahan hatinya itu menelorkan ide untuk segera pergi ke Gunung Ismaya.
Biasanya ia menengok anak,
menantu dan cucunya sendirian, tapi kali ini ia ingin mengajak Mirah Duri untuk
pergi ke puncak Gunung
Ismaya. Entah kenapa tiba-tiba hati kecil jin besar itu berkeinginan begitu.
Apakah mungkin selama ini ia sering memandangi wajah Mirah Duri yang cantik dan
berandai-andai tak beres dalam hatinya" Atau karena ada getaran gaib yang
menyuruhnya membawa serta si gadis cantik yang pernah kasih sun sama Pandu Puber
itu" Tak jelas alasan hati Kala Bopak, pokoknya dia ingin didampingi oleh murid
Ki Panut Palipuh itu.
"Kali ini, tugasmu sebagai public relation dan mandor pelayan kau limpahkan dulu
kepada pegawai lainnya," kata Kala Bopak kepada Mirah Duri. "Kau ikut aku ke
Gunung Ismaya."
"Baik, Paduka!" jawab Mirah Duri menghormat. Karena biar wajah Kala Bopak
seperti semprong kapal bertenaga kayu bakar, tapi ia adalah raja yang patut
dihormati. Hidup-matinya Mirah Duri terletak di ujung lidah Kala Bopak.
Bukan berarti Kala Bopak berlidah kapak, tapi karena satu kali keluarkan
perintah dapat memenggal kepala Mirah Duri.
"Aku ingin kau mengenakan pakaian serba putih," kata Kala Bopak.
"Kenapa begitu, Paduka?"
"Entahlah. Aku sendiri tak tahu kenapa aku berkeinginan seperti itu" Pokoknya pakai saja pakaian serba putih, akupun mau ganti
jubah putih."
"Saya tidak punya pakaian putih, Paduka."
"Seprai saja deh! Seprai kasur kau lilitkan di tubuhmu kan jadi pakaian serba
putih. Kalau tak ada seprai, perban juga boleh."
"Perban itu apa, Paduka?"
"Perban itu Perawan Bantingan!" jawab Kala Bopak
dengan jengkel karena ditanyai terus. Mirah Duri tersenyum-senyum geli. Kala
Bopak berkata lagi.
"Apa saja yang serba putih, pakailah! Jangan banyak tanya!"
Kepergian Kala Bopak dengan Mirah Duri atas seizin Ki Panut Palipuh. Sekalipun
Kala Bopak seorang raja, tapi ia menghargai nilai persahabatannya dengan Ki
Panut Palipuh. Maka iapun berkata,
"Panut Palipuh, aku mau ajak muridmu menengok
cucuku Pandu Puber. Apakah kau keberatan?"
"Tidak! Asal kau jangan macam-macam sama muridku.
Dia masih perawan!"
"Itu tidak mungkin tejadi kalau tak kepepet sekali, Panut Palipuh. Aku masih
menghargai nilai persahabatan kita.
Hanya karena merusak satu perawan bisa-bisa nilai persahabatan yang kita rintis
selama ini menjadi hancur. Itu tidak baik! Jangan sekali-kali begitu, ya"!"
"Lho, aku tadi mengingatkan kamu. Kok sekarang kamu ganti mengingatkan aku"
Kalau mau pergi yang pergilah sana. Kebetulan belakangan ini Mirah Duri sering
bicara tentang Pandu Puber padaku. Rupanya ia menyimpan
kangen pada Pandu Puber cucumu itu, Kala Bopak!"
"Kangen bagaimana" Mirah Duri dan Pandu Puber usianya jauh berbeda lho! Jangan kangen yang nggak-nggak dia!"
"Usia memang jauh berbeda, tapi Mirah Duri tetap awet muda dan cantik, kan?"
"Iya. Itu juga karena kuberi ilmu awet muda padanya.
Kalau tidak, ia sudah jadi perempuan tua! Cuma, aku nggak suka kalau Mirah Duri
naksir cucuku."
"Alasannya apa" Toh mereka berlainan jenis?"
"Oke deh. Naksir saja boleh, tapi jangan sampai kawin.
Sebab cucuku itu calon dewa. Dia harus kawin dengan bidadari supaya bisa hidup
di kayangan. Apalagi cucuku sekarang adalah seorang pendekar, dia tidak
kuizinkan jatuh cinta kepada sembarang wanita!" Kala Bopak mem-banggakan
cucunya. "Itu urusan pribadi mereka masing-masing, Kala Bopak.
Kau tak boleh ikut campur. Sekadar memberi saran
kepada cucumu sih boleh-boleh saja tapi tidak boleh memvonis konsep hidupnya!"
"Hmmm... begitu, ya" Oke, deh... itu masalah nanti. Kita bisa bicarakan setelah aku
pulang dari Gunung Ismaya!"
"Berangkatlah dan jaga diri baik-baik, tak lupa jaga juga muridku itu!"
Mirah Duri tak bisa mengenakan pakaian serba putih
yang dikehendaki Kala Bopak, karena semua seprai putih sedang dicuci dan belum
kering. Hanya Kala Bopak yang menukar pakaiannya. Jubah hitam diganti jubah
putih. Semua pakaian dan assesoris diganti serba putih. Karena kulitnya hitam, maka
Kala Bopak jadi seperti pinsil alis dibungkus kapas.
"Kita terbang, Mirah Duri!"
"Jangan, Paduka. Saya takut kalau dibawa terbang. Kita jalan kaki saja."
"Aku ini rajaj jin, masa' jalan kaki" Gengsi, tahu"!"
"Tapi saya tak bisa terbang, Paduka."
"Naik di punggungku, pegangan kuncirku!"
Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ogah, ah!"
"Kenapa?"
"Nanti kalau ada orang melihat, disangkanya saya
sedang naik onta!"
"Eh, ini rajamu, ya" Jangan kau samakan dengan onta!"
hardik Kala Bopak.
Akhirnya diputuskan untuk menggunakan jalur gaib.
Maksudnya jalur gaib adalah perjalanan melintasi alam gaib agar mudah sampai
tujuan. Apa bisa"
Bisa dong! Kala Bopak kan raja jin, kalau nggak bisa melintasi jalur gaib sama
juga bohong, kan" Tapi bagaimana dengan Mirah Duri, yang sampai sekarang masih
sering bersikap manja dan kekanak-kanakan itu" Diakan bukan keluarga jin, tidak
punya kekuatan menembus jalur gaib"
O, itu soal mudah selama ia berada di sebelah Kala
Bopak. Raja jin yang bermata lebar dan berkulit wajah hitam tebal seperti terpal
itu menebarkan jubah putihnya, menyelubungi Mirah Duri. Wuuusss...! Saat itu asap
menebar. Mirah Duri terbatuk-batuk dalam selimut jubah putih lebar itu.
"Saya sesak napas, Paduka!" katanya.
"Diam lu! Kita sedang memasuki jalur gaib nih! Jangan banyak omong nanti ada
orang dengan suara tanpa rupa dia bisa pingsan terkencing-kencing!"
"Tapi jubah ini baunya tujuh rupa, Paduka!"
"Memang sudah bertahun-tahun tidak dicuci. Tak usah mengeluh, terima saja apa
adanya, Mirah Duri."
"Kepala saya pusing, Paduka."
"Cerewet lu! Tahan sebentar, itu cuma bau keringatku saja!"
"Tapi..."
Buhhg...! Blaaamm...!
"Apa itu"!"
Kala Bopak dan Mirah Duri keluar dari jalur gaib. Nah, luh...! Kenapa bisa keluar
dari jalur gaib"
Suatu kekuatan gaib menghantam mereka dan membuat mereka terpental jatuh di alam nyata. Tubuh besar Kala Bopak yang jatuh ke
alam nyata itu membentur
dinding bukit cadas dan menggetarkan bukit itu, menimbulkan suara gema
menggelegar. Untung saja Mirah Duri tidak kejatuhan badan Kala Bopak. Kalau saja
sampai kejatuhan tubuh hitam besar berperut buncit itu, maka tubuh sekal dan
sexy milik Mirah Duri itu kontan akan menjadi kempes dan gepeng seperti sele
pisang yang dijual di stasiun-stasiun itu. Terpental jauh dari tubuh Kala Bopak
adalah suatu keberuntungan besar bagi Mirah Duri.
"Biarlah punggungku terasa remuk, tapi aku masih bisa bernapas. Dari pada harus
ketiban tubuh Kala Bopak, aku akan kebingungan mencari di mana letak napasku,"
pikir Mirah Duri sambil menggeliat pelan-pelan berusaha untuk bangkit dari
jatuhnya. Mirah Duri pejamkan mata sejenak, menahan napasnya beberapa saat, lalu
disalurkanlah hawa murni di daerah punggung, sehingga rasa sakit di punggungnya itu mulai
berkurang. Raja Kala Bopak mengumpat dengan sebaris makimakian yang tak jelas karena suaranya menggelegar menggetarkan pepohonan dan
bebatuan sekelilingnya. Yang jelas, Mirah Duri segera kerutkan dahi melihat
sesosok tubuh asing yang berdiri dalam jarak delapan langkah dari Kala Bopak.
"Monyet gabuk! Rupanya kau yang mengganggu perjalananku, Ratu Peri Sore!"
Mirah Duri terperangah. "Rupanya perempuan cantik
itulah yang bernama Ratu Peri Sore"! Ya, ampuuun..."
Alangkah cantiknya dia! Tak pantas menggunakan julukan Ratu Peri. Tapi, apa yang
pernah diceritakan Guru memang benar. Ratu penguasa para peri yang munculnya
tiap sore sampai menjelang fajar itu ternyata memang benar-benar memiliki rupa
tercantik di dunia."
Memang dulu Ki Panut Palipuh pernah bercerita kepada murid-muridnya, bahwa
kecantikan yang tertinggi di dunia adalah kecantikan milik Ratu Peri Sore.
Perempuan itu adalah benar-benar seorang ratu di kalangan para peri.
Sore hari dia sudah muncul lebih dulu, lalu membagi tugas kepada para
pengikutnya untuk lakukan kegiatan malam.
Ratu Peri Sore konon jarang muncul siang hari kalau tidak ada masalah amat
penting. Konon Ratu Peri Sore ber-semayam di Hutan Kulit Setan. Letak hutan itu,
kabar-kabarnya, ada di bukit tepi laut, yang bernama Bukit Tengkuk Hantu,
tepatnya sisi lerng timur bukit itu.
Ratu Peri Sore selain cantik juga berpakaian sexy sekali.
Jubah tipis warna biru transparan. Jubah itu mempunyai belahan dada lebar, dan
tak punya pelapis apa-apa lagi di balik jubah tipis transparan itu, jadi
'perabotnya' dapat terlihat samar-samar dan mempunyai daya goda luar biasa
besarnya. Rambutnya teriap panjang sepunggung, bagian atas dijepit mahkota
kecil. Jubah berlengan panjang itu terbuka lepas bagian depannya, sedangkan
tubuh dari pusar ke bawah dibungkus celana longgar sekali mirip kain dari bahan
sangat transparan, sehingga 'perabotnya'pun juga tampak samar-samar. Celana
mirip kain itu berwarna merah jambu, punya kancing tali memanjang dari tengah
pusar ke bawah. Satu kali sentak tali itu akan lepas dan plos....kain merah jambu
itu akan terbuka bebas. Sang ratu juga memakai perhiasan lengkap, tapi tidak
dalam ukuran berlebihan.
Mirah Duri tak berani mendekat, karena ia tahu
perempuan itu sangat berbahaya dan ilmunya tinggi. Mirah Duri hanya
memperhatikan dari suatu tempat yang tersembunyi. Jantungnya berdebar takut,
namun penasaran ingin melihat apa yang dilakukan raja jin dalam berhadapan
dengan Ratu Peri Sore itu.
"Maaf, aku mengganggu perjalananmu, Kala Bopak. Kau harus menyelesaikan urusan
masa lalu denganku yang
waktu itu tertangguhkan!" kata Ratu Peri Sore dengan suaranya yang merdu dan
tenang bagaikan air sendang bening.
"Masih belum kapok juga kau, hah"! Kau tetap ingin
menguasai negeri alam gaib dan menundukkan rakyat jin dalam penguasaanku"!"
"Perkaranya sudah berubah, Kala Bopak!"
"Berubah bagaimana" Dasar Peri plin-plan!"
"Aku harus menebus kekalahanku waktu lalu. Kau
hampir saja membuat aku tak bisa menjelma dengan raga berjasad kasar! Orang bisa
menyentuhku dan aku bisa menyentuhmu! Sekarang ganti kau yang akan kubuat mati,
tak bisa berjasad kasar lagi seperti saat ini!"
"Monyong jeber! Hati-hati bicara di depanku, Peri Sore!"
"Mengapa harus hati-hati" Kau pikir aku takut melawanmu lagi" Hmm...!" Ratu Peri
Sore sunggingkan senyum
sinis, berjalan menyamping tiga tindak. Raja jin diam saja, pandangi wanita
super cantik itu dengan mata ganas. Ratu Peri Sore kembali perdengarkan suaranya
yang pantas untuk suara penyanyi kroncong itu.
"Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Kala Bopak!
Kutahu kau sekarang punya cucu yang bergelar Pendekar Romantis. Kutahu cucumu
itu tampan, gagah dan perkasa.
Dia akan kulebur dalam hatiku dan kujadikan suamiku sepanjang kebosananku belum
tiba!" "Keparat kauuuu....!" gerak Kala Bopak memanjang,
membuat pohon-pohon bergetar kembali, daun-daun
rontok sebagian. "Jangan kau sentuh cucuku itu kalau kau ingin murkaku tak
membantai habis rakyatmu, Peri Sore!"
"Satu bukti atas kemenanganku nanti adalah
menguasai ketampanan dan keperkasaan cucumu; si
Pandu Puber itu!"
"Babi salto, monyet nungging, kadal batuk...! Kuremukkan seluruh jasad yang ada
padamu, Peri Sore!
Heeeeaaaahhh...!"
Ya ampuuun...! Suara teriakannya benar-benar
menyamai seratus petir meledak bersamaan. Gemuruh
menggelegar itu adalah gelombang hentakan suara Kala Bopak yang membuat alam
disapu badai. Pohon-pohon
tumbang tak beraturan. Batu-batu besar pecah terbelah.
Bukit cadas itu pun longsor sebagian. Tanah meretak di sana-sini karena
guncangan bumi. Awan hitam bagai keluar dari pori-pori langit. Menggumpal
menutupi sinar matahari.
Mirah Duri menutup telinganya kuat-kuat sambil
memejamkan mata dan menyeringai kesakitan. Jika tidak begitu, gendang telinganya
pasti pecah karena suara teriakan raja jin itu. Tapi sepasang mata yang terpejam
kuat itu segera terbuka sedikit untuk melihat apa yang dilakukan Kala Bopak.
Ternyata raja jin itu menyerang Ratu Peri Sore dengan lompatan mengerikan. Mirip
seekor kuda nil terbang dan hendak menghantam tubuh mulus yang begitu sexy itu.
Tapi rupanya Ratu Peri Sore sudah siap dengan
serangan tersebut. Ia melompat bagaikan terbang,
membentangkan kedua tangannya, meluruskan kedua
kakinya. Jubahnya berkibar mirip sayap seekor garuda betina. Tubuhnya akan diadu
dengan tubuh besarnya Kala Bopak. Mirah Duri sudah ngeri saja melihat kedua
tubuh tak seimbang itu saling meluncur.
Tiba-tiba dari mulut Ratu Peri Sore tersembur cahaya merah bagaikan bunga api
menebar ke arah tubuh hitam Kala Bopak. Zrrraab...! Joorrss!
Tangan Kala Bopak menyentak ke depan dan dari
telapak tangan itu keluar cahaya kuning menyilaukan seperti emas. Cahaya kuning
itulah yang digunakan
menangkis semburan bunga api merah ganas dari mulut Ratu Peri Sore.
Jraaabbb...! Aaaauubbb...! Blegaarrr...!
"Huaaah...!" Kala Bopak terpental sambil memekik liar.
Bayangkan saja, tubuh sebesar itu terpental tinggi dan melayang-layang, lalu
jatuh meniban sebatang pohon yang miring karena tadi mau tumbang tak jadi.
Blaammm...! Kraakkk...! Brraakk...!
Guncangnya hebat terasa jelas. Bumi bagai ingin
tenggelam atau terjungkir balik tak karuan. Ledakan tadi yang membuat alam porak
poranda. Ditambah lagi getaran jatuhnya tubuh Kala Bopak seakan kian membuat
tanah di sekelilingnya melesak ke dalam. Bukir cadas itu longsor hampir separuh
bagian. Salah satu sisi puncaknya
menyembur ke atas. Braaasss...! Udara menjadi kotor
karena badai menerbangkan serpihan tanah cadas.
Mirah Duri sendiri yang jaraknya cukup jauh bisa terpental ke belakang, masuk ke
semak-semak dan terkapar di sana. Begitupun tubuh langsing sekal milik Ratu Peri
Sore. Tubuh itu melayang-layang akibat daya ledak super dahysat tadi. Hanya
bedanya, Ratu Peri Sore bisa cepat kuasai diri dan mengatur keseimbangan
tubuhnya, sehingga ia tidak terhempas seperti Kala Bopak. Ratu Peri Sore hinggap di salah
satu dahan pohon yang belum
tumbang tapi sedang meliuk-liuk akibat sisa badai yang menghempas tadi.
"Hik, hik, hi, hi, hi, hi....!" Tawa sang Ratu Peri Sore mengikik mirip
kuntilanak. Dasar ratunya kuntilanak juga, jadi tawanya ya nggak beda jauh
dengan kuntilanak.
Malahan dia bisa disebut kuntilibu, bukan kuntilanak lagi.
Sebab ia juga termasuk ibunya para kuntilanak.
Kala Bopak menggeram-geram sambil berusaha bangkit, mengguncangkan tanah
sekitarnya. Ia tampak terluka
akibat adu kekuatan tenaga dalam tadi. Hidungnya
keluarkan darah. Darah jin adalah hitam. Mirip aspal panas. Darah itu berasap
tipis. Pakaian putihnya ternoda darah hitam. Pakaian itu bolong karena hangus
terkena tetesan darah yang ternyata memang panas. Tapi agaknya Kala Bopak tak
mau menyerah begitu saja. Ratu Peri Sore dihampirinya.
"Turun kau kalau memang ingin mengadu kesaktian
denganku!" bentak raja jin.
"Hiak, hiak, hii... hik, hik, hik, hik...!" tawa sang Ratu Peri Sore berkepanjangan
menyakitkan telinga. Ia turun dari ketinggian dengan satu lompatan cepat menuju
ke arah Kala Bopak berdiri. Lompatan itu berputar tegak, cepat dan kuat,
sehingga tubuhnya bagaikan tonggak melayang
berdiri. Wuuurrrsss...! Putaran tubuhnya menyebarkan angin panas. Beberapa
pohon langsung menjadi layu, bahkan ada yang mengering dan kulit pohon
mengelupas secara serempak. Mirah Duri segera menenggelamkan diri ke dalam
rimbunan semak yang ada di belakang tiga pohon berjajar rapat. Kalau tidak begitu ia akan
terserang hawa panas yang menyebar itu.
Bahkan ilalang di depannya langsung menjadi keriting dihempas gelombang panas
yang hebat. Kala Bopak
segera lepaskan jurus 'Pelebur Nyawa' andalannya.
Sepasang sinar merah masing-masing sekepalan tangan bayi, keluar melesat cepat
dari mata besar Kala Bopak.
Zlaarrtb...! Jurus itu seharusnya membuat tubuh elok Ratu Peri Sore menjadi bubur,
mengental dan tentu saja tanpa nyawa.
Tetapi sayang sekali jurus itu tidak bisa mendekati tubuh Ratu Peri Sore yang
berputar di udara. Bahkan kedua sinar merah bagai kepalan tangan bayi itu
terpental beda arah dan menghantam sisa bukit cadas. Blaamm...!
Satunya lagi kenai sebuah pohon besar yang kira-kira berjarak dua puluh tombak
dari tempat mereka bertempur.
Bluum...! Craaat...!
Cairan hijau kental bercampur coklat tampak muncrat ke atas pohon yang terkena
sinar merah tersebut. Cairan itulah yang dinamakan 'bubur pohon' yang berubah
seketika itu juga. Sedangkan bukit cadas yang besar dan tingginya seukuran
istana di Pulau Iblis, ternyata memercik-kan warna coklat, karena bukit itu
berubah menjadi
genangan lumpur yang menyerupai bubur.
Tubuh sang Ratu Peri Sore masih di udara dalam keadaan memutar begitu cepat,
menyebarkan hawa panas.
Dan tiba-tiba gerakan tubuhnya turun ke bumi, lalu
tampaklah sosok kecantikan diam dengan kaki merentang rendah. Seakan dipamerkan
di depan mata Kala Bopak
apa yang selama ini diincar oleh kaum lelaki. Dan tiba-tiba ketika mata Kala
Bopak terpana sebentar menatap
pameran 'perabot' olah raganya sang Ratu, tangan kanan perempuan itu menyentak
ke depan. Lalu bintik-bintik emas lembut bagaikan tepung mengkilap itu keluar
dari telapak tangan, menerjang dada lebar Kala Bopak.
Jraass...! Suaranya seperti bara api tersiram air.
"Huaahg...!" Kala Bopak tersentak dengan mata
mendelik. Tubuhnya segera berasap. Ia jatuh berlutut dengan tubuh gemetar dan
suara menggeram seperti
orang kesurupan. Matanya terbeliak-beliak, kulit wajahnya mengendur dan
terguncang-guncang. Keadaan itu dilihat jelas oleh Mirah Duri dari tempat
persembunyiannya.
Ratu Peri Sore perdengarkan suaranya dengan sikap
kalem dan senyum sinis simbol kemenangan.
"Kau tak akan bisa terlepas dari jurus 'Keringat
Matahari', Kala Bopak. Ragamu akan lenyap, tak akan bisa berwujud diri lagi.
Selamanya kau akan menjadi mahluk tanpa jasad. Selamat tinggal, Kala Bopak. Kau
tak akan bisa menyentuhku lagi, dan siapapun tak akan bisa kau sentuh! Tiba
giliranku untuk menguasai cucumu yang
perkasa dan menawan hatiku itu! hi, hi, hi, hi...!"
Ratu Peri Sore sentakkan kaki dan tubuhnya melesat ke atas, naik terus sambil
serukan tawa mengikik. Lalu ia berlari melalui pucuk-pucuk dedaunan. Suara
tawanya makin lama semakin jauh dan lenyap bagai kehabisan
baterai. Mirah Duri buru-buru menemui Kala Bopak dan
berusaha untuk mengguncang pundak Kala Bopak. Sebab ketika itu sang raja jin
tundukkan kepala dengan napas tak tampak terhela, tubuh tak lagi gemetar, asap
lenyap, tapi badannya yang hitam telah berubah menjadi kuning emas.
Tampak samar-samar dalam pandangan. Kenyataannya
tubuh itu ternyata tak bisa disentuh oleh tangan muris Ki Panut Palipuh.
"Paduka..."! Oh, kau tak bisa disentuh, Paduka"!" seru Mirah Duri dengan tegang
dan sedih. Kala Bopak perlahan-lahan angkat wajahnya dalam
posisi masih berlutut. Matanya menjadi sayu memandangi Mirah Duri. Sayu dan
menyedihkan, mirip orang sedang cacingan.
"Mirah Duri..." ucapnya lirih sekali, menghiba hati.
"Rupanya inilah firasat yang membuatku ingin
Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajakmu dan mengenakan pakaian serba putih.
Aku....tak bisa mewujudkan raga lagi. Aku kalah dengan Ratu Peri Sore yang dulu
pernah kukalahkan sebelum ia mempunyai jurus 'Keringat Matahari' itu."
"Paduka, jangan putus asa! Ayo, bangkit! Bangkit dan kejar dia, Paduka!"
"Percuma, Mirah Duri. Aku tak bisa menyentuh siapasiapa lagi. Jasadku telah dileburkan ke alam gaib. Satu-satunya cara untuk bisa
disentuh dan menyentuh adalah menggunakan aji silumanku."
"Ya, ya....gunakan saja! Mari saya bantu, Paduka. Ayo, gunakan aji siluman itu!
Hmmm....saya....saya harus bagaimana ini, Paduka?"
"Diam di depanku, jangan mondar-mandir kayak
setrikaan begitu!" geram suara bernada sedih itu. Mirah Duri pun akhirnya
berlutut di depan raja jin yang jasadnya semakin tampak membayang.
"Mirah Duri, sampaikan salamku kepada gurumu.
Ceritakan semuanya ini kepada Ki Panut Palipuh. Cari dulu cucuku, ingatkan bahwa
ia perlu hati-hati dan jangan terbujuk rayuan Ratu Peri Sore! Ia tak boleh kawin
dengan Ratu Peri Sore..."
"Ya, ya... saya akan ingatkan. Aku...eh, saya.... Saya
akan cari Pandu Puber dan ... dan.... apa tadi?"
"Ceritakan..."
"Ya, ceritakan! Saya akan ceritakan. Oh, Paduka saya sedih sekalu! Boleh saya
menangis?"
"Prajuritku tak boleh menangis!" kata Kala Bopak
dengan tegas tapi berkesan lembut, sekalipun masih
bersuara besar.
"Ba... baiklah, saya batalkan saja acara menangis saya.
Lalu, bagaimana?"
"Ingatkan pula pada Pandu, bahwa aku telah menjelma menjadi Pedang Siluman dan
bermukim di kaki kanannya.
Dengan cara itulah aku bisa menyentuh tubuh siapa saja dan bisa disentuh oleh
cucuku. Katakan kepada Pandu, jika ia ingin menggunakan diriku dalam wujud
Pedang Siluman, suruh dia menepak pahanya satu kali, aku akan keluar dalam wujud
pedang bercahaya ungu dan ia harus siap menangkapku, lalu menggunakan dengan
jurus pedang apapun."
"Baik, saya akan sampaikan begitu kepadanya,
Paduka." "Jelaskan pula, Pedang Siluman tak boleh digunakan
untuk memotong kukunya. Pedang Siluman bisa memotong benda apa saja, termasuk baja. Dan jika mengenai tubuh lawan, maka lawan
akan mati dengan tersenyum
atau tertawa. Tawa dan senyum itu adalah milikku. Tak akan ada darah di tubuh
lawan, karena luka itu hanya akan keluarkan asap saja. Asap ungu yang indah
dipandang mata orang yang tidak buta. Selebihnya, kehebatan itu akan ditemui
sendiri oleh Pandu manakala ia pergunakan Pedang Siluman."
"Ya, saya.... Saya paham. Semuanya akan saya tuturkan kepada Pandu...."
"Nah, kiranya cukup sampai di sini perjumpaan kita.
Sampai bertemu di lain kesempatan. Sayonara!"
Zzzz... Tubuh Kala Bopak keluarkan suara desis yang
membuat Mirah Duri mundur ketakutan, disangka mau
berubah menjadi naga. Tiba-tiba tubuh Kala Bopak
berubah menjadi bias cahaya ungu memancar ke atas.
Zlap! Cahaya besar itu menciut, sluub...! Dan di tanah telah tergeletak sebilah
pedang bercahaya ungu, gagangnya dari emas, ujung gagangnya ada hiasan gambar
jantung hati. Zuueeess...! Pedang itu melesat sendiri terbang ke
angkasa, lalu menghilang dari pandangan mata Mirah Duri.
Gadis itu masih tertegun bengong dengan kepala
terdongak dan mata tak berkedip.
"Selamat jalan, Paduka. Semoga kau tidak tersesat
masuk ke paha wanita!" ucap batin Mirah Duri dengan serius.
*** --------------------------------------------------------------------------------------------------TIGA --------------------------------------------------------------------------------------------------TOKOH tua berjubah kuning berjalan dengan mata liar mirip maling. Ia kehilangan
jejak Pandu Puber. Padahal ia ingin bicara baik-baik dengan anak dewa itu.
Rupanya tokoh tua berjubah kuning yang marah dipanggil Ki Loan Besi itu ingin
memanfaatkan keadaan Pandu Puber yang tanpa guru. Apa yang didengarnya dari
pesan Yuda Lelana sebelum diangkat ke kayangan mengilhami hasratnya
untuk menjadi guru sang Pendekar Romantis itu.
"Kalau aku bisa menjadi gurunya, maka aku bisa hidup di kayangan bersama para
dewa. Wow... alangkah keren-nya hidup di kayangan bersama para dewa. Setidaknya
namaku tercatat sebagai manusia terhormat di mata para dewa. Rasa-rasanya tak
ada ruginya kalau semua ilmuku kuturunkan kepada bocah itu, toh imbalannya
sangat menguntungkan!"
Begitu pikiran sang kakek berambut kribo warna putih abu-abu. Sayangnya ia sudah
dua hari mondar-mandir di sekitar lereng Gunung Ismaya tidak bisa menemukan
Pandu Puber. Loan Besi tak mau mencari ke puncak
gunung, sebab arah kepergian Pandu Puber ke bawah,
menuju kaki gunung itu.
Memang benar sih, Pandu tidak menuju puncak, sebab
ia bermaksud ingin pergi ke kotaraja menengok Lila sambil mau pinjam perahu
untuk menyeberang ke Pulau Iblis. Ia ingin kasih kabar kepada kakeknya, Kala
Bopak, tentang keberangkatan ayah dan ibunya ke kayangan. Pandu Puber belum tahu
bahwa sang kakek sudah dikalahkan oleh Ratu Peri Sore.
Hanya saja, ketika ia bermalam di sebuah gubuk tengah sawah milik petani, pada
saat ia tertidur bayang-bayang wajah Kala Bopak, kakeknya itu, muncul di dalam
mimpinya. Sang kakek seolah-olah berpakaian serba ungu dan bercahaya. Dalam
mimpi itu, Kala Bopak seakan bicara kepada Pandu.
"Hai, Cu.......apa kabar" Kakek sekarang sudah nggak
bisa ketemu kamu dalam wujud nyata. Soalnya kakek
sudah tak berjasad lagi."
"Kenapa bisa begitu, kek?"
"Tentunya ada sebabnya. Kalau diceritakan terlalu
panjang, bisa-bisa kau tidur dua hari-dua malam baru bangun. Yang jelas,
sekarang kau hidup bersama kakek.
Aku ada di kaki kananmu."
"Maksudnya bagaimana, Kek?"
"Carilah sendiri. Namanya saja mimpi, masa' harus jelas sekali sih?"
Setelah bicara begitu, Pandu Puber terbangun dalam
sentakan kecil. Oh, ternyata ia berada di tengah sawah dan di tengah malam.
Pandu Puber merenungkan mimpinya.
Sayang ia tak punya buku primbon tafsir mimpi, karena kala itu buku tersebut
belum diterbitkan, akibatnya Pandu Puber jengkel tak bisa mengartikan mimpinya.
Maka persoalan mimpi itu pun ditinggal tidur kembali. Hatinya sempat berkata sendiri.
"Siapa tahu nanti ketemu kakek lagi. Akan kudesak agar memberitahu apa maksud
kata-katanya itu. Percuma
punya Kaek kalau hanya bikin pusing cucunya saja!"
Pandu Puber tak berhasil temui kakeknya lagi dalam
tidur babak keduanya. Tapi ia tetap cuek, tak mau
perdulikan mimpi yang dianggapnya bunga kerinduan
kepada sang kakek itu. Tidurnya yang seri kedua itu membuat Pandu begitu nyenyak
sampai bangun kesiangan.
Ketika ia bangun, astaga.... Sudah dikerumuni masyarakat desa yang ingin bercocok
tanam menggarap sawah. Ada yang lelaki, ada yang perempuan, ada yang tua dan ada
pula yang muda. Pandu Puber merasa malu dijadikan
tontonan. Ia hanya cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala, lalu melangkah
meninggalkan gubuk tengah sawah sambil berjalan terbungkuk-bungkuk melintasi
depan mereka. "Mas Pendekar....!" Seru seorang gadis desa berkebaya merah tua. "Ini saya bawakan
lontong sayur buat sarapan!"
"Wah, tak usah repot-repot, Yu. Saya cuma numpang
tidur di gubuk ini kok. Nggak keleleran kurang makan."
"Saya tahu. Tapi saya senang kalau bisa kasih sesuatu yang berharga untuk situ.
Makanlah. Ini lontong sayur buatan Ibu saya sendiri lho."
"Tidak, ah! Terima kasih. Hmmm... kalau bisa dibungkus saja deh!"
Akhirnya Pandu Puber pergi sambil membawa sebungkus lontong sayur. Mereka menertawakan. Ada yang berkata, "Pura-pura tidak
mau, eeh... nggak tahunya malah minta dibungkuskan. Tapi dasar pendekar ganteng,
pantes-pantes saja membawa bungkusan lontong sayur. Tetap
saja kelihatan ganteng."
"Jadi, anak muda itu toh yang disebut-sebut Pendekar Romantis yang tinggal di
puncak gunung kita itu?"
"Lha iyalah...! Memangnya yang mana lagi yang ganteng kalau bukan dia!"
"Wah, kalau tahu begitu tadi kubawakan jeruk purut
buat pencuci mulutnya sehabis makan lontong sayur," ujar gadis berkebaya biru
tapi berbadan gemuk. Senyumnya melambangkan senyum terpikat yang penuh
kekaguman. "Pencuci mulut kok jeruk purut" Jeruk sunkis dong!"
"Jeruk sunkis itu yang kayak apa?"
"Itu lho....yang....yang....ya pokoknya yang sunkis. Wong aku ya cuma ikut-ikutan
orang ngomong sunkis gitu kok!"
Percakapan mereka tidak didengar lagi oleh Pandu
Puber. Pendekar Romantis itu telah jauh dari persawahan, jauh dari pedesaan,
menuju ke arah kotaraja. Tetapi perjalanannya terhenti karena melihat seorang
gadis berpakaian kuning dan rambutnya dikepang dua sedang
melintasi tepian hutan. Pandu Puber hafal betul wajah cantik itu adalah milik
Mirah Duri. "Hiaaat...!" teriak Pandu Puber membuat Mirah Duri
terperanjat kaget dan segera balik badan, pasang kuda-kuda siap serang. Begitu
yang dilihatnya adalah pemuda ganteng mirip orang bule beranting satu, Mirah
Duri segera kendurkan ketegangannya. Lepaskan kuda-kudanya, dan terlontar
gerutuan kecelenya.
"Kampret Ganjen! Pakai teriak-teriak segala! Jangan bikin aku jantungan, nanti
kalau aku mati mendadak kau rugi lho!"
Pandu Puber tertawa, dan tawa itu menghadirkan sejuta keindahan yang menawan
hati. Tapi Mirah Duri hanya bisa mendesah dalam hatinya. "Ah, sayang dia cucu
dari mendiang raja jin, aku tak berani mendekatinya karena sudah diwanti-wanti tak
boleh terlibat urusan skandal cinta dengannya. Kalau aku nekat, roh Raja Kala
Bopak bisa menyedot nyawaku lewat ubun-ubun!"
"Manis sekali kau hari ini, Yu Mirah," kata Pandu Puber dengan suaranya yang
lembut, serius sekali. Bagaikan ungkapan dari lubuk hati. Padahal hanya sekadar
ungkapan dari ujung lidahnya yang gemar memuji wanita.
Yang dipuji makin berdebar-debar, cuping hidungnya pun megar.
Tak jauh dari tempat Pandu berdiri ada semak belukar mawar putih. Disambarnya
setangkai bunga sebesar
jempol jarinya itu. Didekatinya Mirah Duri yang diam dengan deg-degan menahan
debar-debar keindahan. Lalu, Pandu Puber menyematkan setangkai bunga putih itu
di atas telinga kanan Mirah Duri.
"Seorang ratu kecantikan dari manapun hari ini
tumbang oleh kecantikanmu, Yu Mirah. Pria mana yang tak langsung semutan kakinya
jika melihatmu bersemat
setangkai bunga di rambutmu. Wow...! Menawan sekali.
Kalau saja tak takut pakaian kotor, aku rela pingsan di depanmu, Yu Mirah."
"Ben...benar...benarkah apa katamu itu, Pan.... Pan...
Pandu?" Mirah Duri jadi grogi. Ia jadi salting juga ketika Pandu Puber anggukkan
kepala dengan senyum kian
mendekat. "Jang.... Jang.... Oh, jangan.... Jangan, Pandu."
"Aku hanya ingin meyakinkan apakah wajahmu mulus
tanpa tahi lalat atau ada tahi lalatnya. Tak mau ngapa-ngapain kok."
"Ooh... syukurlah. Kukira kau ingin menciumku. Aku
sudah takut saja. Soalnya aku sudah...."
Cuup...! Tiba-tiba pipi Mirah Duri dicium olah Pandu
Puber. Kontan darah Mirah Duri bagaikan muncrat. Uratnya bagaikan putus. Tubuh
lemas. Tulangnya seperti dari tepung terigu. Mirah Duri tertegun mematung di
tempat dengan pandangan mata hampa. Matanya itu tak berkedip walau ditertawakan
oleh Pandu. "Apakah.... Apakah aku habis disambar petir?" ucapnya lirih dan datar.
Pandu Puber kian tertawa kalem. "Apakah ada petir
yang tampan?"
"Nggak tahu.... Badanku.... Badanku jadi lemas sekali.
Ooh.... Ooh...!"
"Yu Mirah....! Yuu...! Hei, kenapa kau ini" Yu Mirah..."!"
Pandu menjadi tegang dan kebingungan. Wajah Mirah Duri pucat, badannya pun
terkulai dan hampir saja jatuh kalau tak segera ditangkap oleh tangan Pandu. Dan
ternyata Mirah Duri pingsan dengan sungguh-sungguh. Bukan
sekadar pura-pura.
"Edan gadis ini! Dicium saja pingsan, apalagi di...
gitukan" Maksudnya dipeluk dan digigit bibirnya! Wah, kok wajahnya makin membiru
begini" Lho..."!"
Pandu Puber terkejut melihat punggung Mirah Duri
berdarah sedikir. Ternyata ada logam segitiga warna putih metalik yang besarnya
seukuran tutup botol. Segitiga itu menancap di punggung separo bagian. Pandu
Puber segera mencabutnya. Seeet...!
"Astaga..."! Rupanya dia pingsan karena ada yang
melemparnya dengan senjata rahasia"! Kenapa aku tak sempat melihat gerakan benda
ini saat meluncur ke
punggung Yu Mirah, ya" Wah, berarti pemilik senjata ini pasti orang berilmu
tinggi"! Wah... di mana ia bersembunyi?"
Pandu Puber mencari dengan pandangan mata sejenak.
Pertimbangannya mengatakan, ia lebih penting sembuhkan luka berbahaya Mirah Duri
lebih dulu dari pada mencari pemilik senjata rahasia beracun gawat itu. Maka,
iapun segera membaringkan Mirah Duri ke tempat teduh.
Saat ia membawa tubuh Mirah Duri di tempat teduh
itulah, dari arah kiri, muncul sesosok tubuh tua renta.
Seorang nenek berambut putih awut-awutan dengan jubah hitam dan tongkat abu-abu
keluar dari balik gugusan batu.
Caranya dengan menghantam gugusan batu itu dari
seberang sana. Praakk...! Batu terbelah dan tampaklah sosoknya yang keriput dan
kurus kering itu.
"Letakkan gadis itu atau kulepaskan satu lagi senjata
'Segitiga Maut'-ku untukmu, Anak Muda"!" ancam sang nenek kempot dengan suaranya
masih terdengar lantang dan cempreng. Mata cekungnya menatap Pandu dengan
serius. Tajam, bagai penuh nafsu untuk membunuh.
"Siapa kau dan mengapa menyerang Yu Mirah"!"
"Mirah punya urusan pribadi denganku! Muridku pernah dibunuhnya, dan aku
membalaskan kematian muridku!
Jadi kumohon, letakkan gadis itu dan jangan kau tolong.
Biarkan dia mati menebus nyawa muridku!"
"Tapi.....tapi aku belum tahu siapa kau, Nenek Licik"!"
"Namaku cukup kondang, jika kau dengar nama Dukun
Lelang, itulah aku!" jawab sang nenek sambil melangkah mendekati dan berhenti
dalam jarak lima tindak di depan Pandu Puber yang masih menopang tubuh Mirah
Duri. "Aku baru tahu namamu, Dukung Lelang. Hmm... aneh
juga namamu," Pandu Puber tersenyum tipis, walau
hatinya was-was karena wajah Mirah Duri kini memucat.
Warna biru di bibirnya kian jelas.
"Apa yang akan kau lakukan jika aku tidak meletakkan gadis ini?"
"Akan kukirim satu lagi 'Segitiga Maut'-ku, seperti janjiku tadi!"
Pandu Puber agak bimbang. "Kalau kuturuti kemauan
Dukun Lelang, bisa mati Yu Mirah dalam beberapa waktu lagi. Racun itu rupanya
Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ganas juga" Tapi kalau nekat kubawa ke tempat teduh dan kuobati, hmmm... dia pasti
akan menyerangku dan aku tak bisa mengelak karena
membawa Yu Mirah. Ah, tapi nekat sajalah! Kalau perlu kugunakan jurus 'Jempol
Syahdu' untuk melawannya!"
Tepat ketika Pandu Puber melompat menuju ke tempat
teduh dengan membopong tubuh Mirah Duri, nenek peot itu melepaskan senjata
rahasinya bagaimana menebarkan uang recehan. Slaast! Tak kentara gerakan logam
putih mengkilat itu melesat ke arah Pandu.
Tapi rupanya ada sepasang mata tajam yang entah
kebetulan atau memang disengaja melihat gerakan benda logam mengkilat itu. Orang
tersebut cepat-cepat ulurkan tangan ke depan, dan dari jari tengahnya keluarkan
sinar merah semacam garis lurus sinar laser. Claapp...! Sinar itu tepat mengenai
benda yang melesat tersebut.
Duaarr...! Cahaya merah besar menyebar terang, lalu redup
bersama hilangnya suara ledakan tersebut. Bumi bergetar biasa, tak menumbangkan
pohon. Tapi mata si Dukun
Lelang cepat berpaling ke arahnya datangnya sinar merah.
Pandupun segera memandang ke arah yang sama.
Ternyata Loan Besi ada di sana, berjalan santai
mendekati mereka dengan menggenggam tongkat putih
lengkung sebagai tongkat gembala. Arah yang dituju
adalah si Dukun Lelang. Ia menoleh sebentar ke arah Pandu mirip koboy menyapa
sahabatnya, "Urusi gadis itu, yang tua biar kurus sendiri, Nak!"
"Kebetulan deh," pikir Pandu Puber, lalu segera
merebahkan tubuh Mirah Duri di rerumputan yang teduh olah dedaunan pohon
rindang. Jari tengah tangan kanan Pandu mengeras tegak, jari yang lain terlipat. Sinar
putih bening melesat dari ujung jari itu, tepat kenai ulu hati Mirah Duri. Jurus
'Hawa Bening' warisan dari ayahnya memang ampuh untuk sembuhkan
luka apapun. Sinar bening seperti kaca itu hanya sekejap
'menembak' ulu hati Mirah Duri, dan si gadis pun segera siuman dalam waktu dua
helaan napas. Sementara itu, Loan Besi dan Dukun Lelang saling
berhadapan dalam jarak lima langkah. Mata si Dukun
Lelang memandang tajm penuh kebencian, sedangkan
yang dipandang hanya cengar-cengir sok kalem.
"Dugaanku tak akan salah, semasa mudanya kau pasti
gadis yang cantik, Dukun Lelang. Benar kan?"
"Dari mana kau tahu?"
"Bibirmu biar keriputan dan sedikit masuk ke dalam, tapi masih memancarkan daya
pesona tersendiri bagi mata tuaku yang rada rabun ini."
"Yang kutanyakan, dari mana kau tahu namaku Dukun
Lelang?" "Ooo... itu" He, he, he, he... Aku tadi mendengar muridku menyebutmu Dukun Lelang.
Muridku itu tak pernah
bohong, jadi aku percaya bahwa namamu Dukun Lelang.
Apa mau diganti Timbul Jaya?"
"Hmm...! Kau pikir aku kendaraaan angkutan umum
sejenis kapal?" Dukun Lelang melangkah hampir
mengelilingi lg. Ia bertanya, "Siapa kau?"
"Namaku Loan Besi. Pandu Puber itu muridku!"
"O, jadi kau gurunya" Dan tidak terima kalau muridmu menerima ganjaran atas
kelancangannya mau sembuhkan gadis itu?"
"Benar! Aku tidak bisa diam saja. Sebagai gurunya,
matipun kujalani demi membela muridku!" jawab Loan Besi agak keras, memancing
perhatian Pandu Puber. Sang
pemuda tampan segera memandang Loan Besi dengan
heran dan rada-rada kaget.
"Sialan! Ngaku-ngaku guruku segala" Mau apa
sebenarnya Ki Loan Besi itu?" gerutu Pandu Puber merasa tak suka dengan katakata Loan Besi. Tapi rasa tak
sukanya ditekan dalam hati, tak mau dilontarkan berbentuk protes di depan Dukun
Lelang. Bagaimanapun
Pandu merasa, tanpa kejelian Loan Besi dirinya akan menderita racun seperti yang
dialami Mirah Duri.
"Oh... kenapa aku ini?" gumam Mirah Duri ketika sadari dirinya berbaring di
rerumputan, sedangkan Pandu berdiri satu lutut di sampingnya.
"Pandu, kau... kau telah... telah menodaiku" Oh, jadi....
jadi kau telah menodaiku di sini" O, Panduuu.... Kenapa saat aku pingsan
melakukan" Kau banci, licik, tidak tahu...."
Mulut Mirah Duri langsung dibekap oleh tangan Pandu Puber.
"Jangan berprasangka buruk! Aku tidak menodaimu, Yu!
Kau kena senjata beracun dan aku baru saja sembuhkan dirimu! Enak saja ngatain
orang menodai...." Pandu Puber bersungut-sungut jengkel. Rasa jengkelnya segera
terhibur ketika perhatiannya terpusat kembali kepada Loan Besi dan Dukun Lelang.
Suara dua tokoh tua itulah yang membuat Mirah Duri segera menyadari bahwa mereka
tidak hanya berdua. Ia cepat bangkit dan perhatikan ke arah dua tokoh tua itu.
"Siapa mereka, Pandu?"
"Yang nenek peot itu adalah orang yang menyerangmu
dari belakang dan membuatmu tak sadarkan diri saat
kucium, Yu. Sedangkan yang lelaki tua itu, entahlah aku tak tahu, dia mengaku
Ketua Partai Pengembara dan...."
"Loan Besi kalau tak salah," sahut Mirah Duri segera mengenali tokoh itu.
"Ya sudah kalau kau sudah mengenalnya, tak perlu
kujelaskan lagi."
"Tokoh tua berjubah kuning berambut kribo abu-abu, tak ada lain kecuali Loan
Besi!" "Memang benar sih, cuma....dia mengaku sebagai
guruku di depan Dukun Lelang. Aku tak suka caranya
begitu!" "Dukun Lelang" Satu manteranya berapa duit?"
"Mana aku tahu" Kau pikir aku makelar mantera"
Nenek itu yang mengaku sebagai Dukun Lelang, Yu. Aku tak tahu dari mana
asalnya." "Aku juga baru melihatnya kali ini," gumam Mirah Duri sambil mencoba bangkit,
ternyata bisa berdiri tegak.
Badannya tidak lemas lagi, tapi justru merasa segar, seperti tak pernah luka,
atau seperti habis bangun tidur.
"Aneh," katanya lagi seperti bicara sendiri. "Guru tak pernah ceritakan ada
tokoh tua wanita yang bernama
Dukun Lelang. Sepertinya dia tokoh baru lahir dai gua pertapaannya setelah
bertahun-tahun mendekam di dalam gua!"
"Dia bilang, kau pernah membunuh muridnya, makanya
dia ingin balas dendam padamu?"
"Muridnya"! Hmm.... Siapa muridnya yang kubunuh?"
Mirah Duri heran sekali dan bingung mengingat-ingat lawan yang pernah dibunuhnya
tapi punya guru bernama Dukun Lelang.
Pada saat mereka berbisik-bisik itulah, Loan Besi dan Dukun Lelang mulai saling
menantang. Dukun Lelang
bicara lebih dulu,
"Kusarankan kalau memang anak muda yang kau bilang
bernama Pandu Puber itu muridmu, segeralah kau bawa pergi. Jangan ikut campur
urusanku dengan gadis itu, supaya dia panjang umur dan kau sendiri panjang
usia!" "O, kau mengancam muridku" Nanti dulu, Sayang....
Sebelum kau berhadapan dengan muridku, hadapi dulu
gurunya!" Loan Besi tepuk dada.
Dukun Lelang juga menggenggam tongkat. Tongkatnya
segera disentakkan ke tanah dengan pelan, tapi
gerakannya cepat. Dug...! Dan tiba-tiba Loan Besi terpental bagai ada yang
melemparkan ke atas dengan kekuatan
tinggi. Wuuttt!
"Lho, lhooo..."!" Loan Besi bingung. Ia segera menguasai diri tapi seperti ada
hawa angin yang memutar balikkan tubuhnya. Wuuussst....! Weess...! Dan akhirnya ia
bagaikan dibanting dari atas dengan sentakan kuat. Buuurk...!
"Uuhhg...!" Loan Besi menyeringai kesakitan. Rusuknya membentur sebongkah batu.
Napasnya jadi sesak. Kalau hanya membentur biasa sih tak akan membuatnya
menyeringai kesakitan. Tapi benturan itu agaknya disertai hentakan tenaga dalam
yang rasa-rasanya datang dari atas langit. Rusuk itu seperti mengalami patah di
dua tempat. "Celeng Ganjen!" makinya. "Kubalas kau, Dukun Lelang!
Hiaah...!" Loan Besi berkelebat menyambar tubuh lawan dengan tongkat siap
disabetkan. Tapi tongkat itu dihadang tongkatnya Dukun Lelang. Posisi tubuh
Dukun Lelang miring ke kiri sambil hindari terjangan kaki Loan Besi.
Trak, blaamm...!
Rupanya tongkat mereka saling diisi tenaga dalam
cukup tinggi. Benturan tongkat dengan tongkat hasilkan ledakan kilat yang
menyentakkan gelombang besar. Tubuh Loan Besi terpelanting saat ingin mendarat
akibat hembusan gelombang sentak yang kuat tadi.
Nenek yang tubuhnya ceking dari Loan Besi justru tegak berdiri bagai tak
terguncangkan sedikitpun oleh gelombang ledak. Ia dapat berdiri dengan tenang
dan memperhatikan Loan Besi terpelanting hampir jatuh.
"Keparat!" geram Loan Besi sambil tegak dan kokoh
kembali. "Satu jurus lagi kau memaksaku menyerang, kau
celaka!" ancam Dukun Lelang.
Loan Besi tak takut. Ia bahkan melemparkan tongkatnya seperti melemparkan
tombak. Tongkat itu menyala merah seluruhnya bagaikan besi terbakar.
Wuuttt...! Dukun Lelang menghantam dengan tongkatnya dari
samping. Traakk...! Blaamm! Ledakan mengagetkan terjadi kembali. Tapi tongkat yang
menyala merah itu berputar dengan cepat bagaikan baling-baling, bergerak menuju
Loan Besi. Tentu saja Loan Besi kaget dan kebingungan menangkap kembali
tongkatnya. Akhirnya ia sentakkan kaki, melenting di udara. Tapi gerakannya
terlambat. Kakinya sudah lebih dulu disambar tongkatnya sendiri pada saat melompat ke atas.
Dess...! "Waoow...!" pekikan si jubah kuning sangat keras. Ia
jatuh di samping tongkatnya yang telah kembali ke wujud semula. Ia mengerang
kesakitan dan memegangi betis
kirinya. Ternyata dalam waktu singkat betis itu membengkak biru, makin lama
semakin besar dan terasa sakit sekali bagi Loan Besi.
"Itu hanya hajaran ringan saja," kata Dukun Lelang.
"Agaknya kau perlu diberi pelajaran sedikit berat lagi asat tak sampai mati.
Nih, terimalah jurus 'Naga Tongkat Seribu'." Ucap Dukun Lelang, kemudian
lemparkan tongkatnya dengan satu hentakan suara, "Haah...!"
Wuutt...! Tongkat yang melayang di udara menuju ke
tubuh Loan Besi itu memancarkan cahaya pendar-pendar warna hijau muda. Melihat
keadaan itu, Pandu Puber
menjadi cemas akan keselamatan Loan Besi. Maka serta merta Pandu lepaskan jurus
'Sepasang Sayap Cinta'. Dua jari di masing-masing tempat cepat mengeras,
menempel di pelipis sekilas, lalu disentakkan ke depan. Clap, clap!
Dua larik sinar keluar dari ujung jari dan menghantam tongkat bercahaya hijau
pendar-pendar itu. taakk...!
Blaammm....! Tongkat menjadi hancur, serpihannya tak tahu
menyebar ke mana saja. Pandu Puber segera melangkah maju dengan gagah, sementara
Dukun Lelang diam
memandang dengan mata sangar. Orang biasa dipandang begitu akan jatuh lumpuh
karena ketakutan. Tapi Pandu tidak, ia justru makin mendekati nenek kurus itu
dengan tenang tapi penuh kepastian.
"Sekarang kau berhadapan denganku, Nini Dukun
Lelang!" kata Pandu Puber. "Aku yang mewakili Yu Mirah.
Jika kau ingin balas dendam dengan Yu Mirah, hadapilah aku. Itu sama saja kau
berhadapan dengan Yu Mirah!"
Gadis yang ditunjuk-tunjuk Pandu Puber masih diam di bawah pohon. Karena tadi
sebelum Pandu maju dekati
nenek kempot itu, ia sudah berbisik agar Mirah Duri jangan ke mana-mana. Ia akan
hadapi nenek kurus itu.
"Apakah kau sudah cukup ilmu sehingga berani
mewakili gadis itu untuk melawanku?" tanya Dukun Lelang dengan sombongkan diri.
"Kurasa.....aku yakin akan unggul melawanmu!"
"Kau tak sayang pada ketampananmu jika sampai jurus-ku menghancurkan wajah
tampanmu itu"!"
"Aku hanya menyesal jika Yu Mirah kau lukai lagi!"
"Hmmm...!" senyum itu sinis sekali. "Apakah dia
kekasihmu?"
"Memang bukan, tapi..."
"Kau mencintainya?"
"Mengapa kau tanyakan hal itu?"
"Jawablah!"
Pandu Puber melirik ke arah Mirah Duri. Dari tempat Mirah Duri percakapan itu
terdengar samar-samar. Kadang timbul kadang tenggelam. Setelah melirik Mirah
Duri sebentar Pandu menjawab dengan suara pelan.
"Dia hanya sahabat, lebih dari itu, dia sudah kuanggap saudaraku sendiri!"
"Aku tak yakin dengan jawabanmu. Buktikan dengan
mengadu telapak tangan kita. Kalau kau jujur, kau dapat membuatku tumbang.
Sebaliknya, kalau kau tak jujur, dadamu akan jebol oleh jurus 'Tapak Gaib'-ku
ini." Pandu Puber ingin ucapkan sesuatu, tapi tiba-tiba
Dukun Lelang menerjang dengan cepat. Telapak tangannya siap dihantamkan. Maka
Pandupun segera melompat maju dan mengadu telapak tangan kirinya dengan telapak
tangan si Dukun Lelang. Wuuttt...! Plak, blegaarr...! Cahaya hijau membias lepas dan
lebar. Dentuman menggema
mengguncang alam sekitar mereka.
Dukun Lelang terlempar jauh, sekitar sepuluh tombak lebih. Ia jatuh di depan
semak-semak, terpelanting mirip kardus TV dibuang begitu saja. Sedangkan
Pendekar Romantis tetap diam di tempatnya, hanya bergerak
setengah langkah ke belakang pada saat mendarat dari lompatannya.
Mirah Duri tersenyum lega melihat kekuatan Pandu
Puber lebih tinggi dari si Dukun Lelang. Sementara itu, Loan Besi memandangi
pertarungan itu dengan wajah
masih menyeringai dan mengerang lirih, karena mata
kakinya semakin besar lagi dan mulai membiru matang.
Dengan cepat Dukun Lelang bangkit ketika Pandu
Puber menghampirinya. Tiba-tiba Dukun Lelang bergerak mundur seperti orang
terbang, dan hinggap di atas barisan ilalang semak. Tubuhnya memancarkan cahaya
hijau muda yang bening tapi menyilaukan. Cahaya itu segera lenyap.
Pandu Puber dan yang lainnya terbelalak bengong.
Nenek kurus peot berubah menjadi gadis cantik
berpakaian serba putih, halus dan lembut. Rambutnya disanggul sebagaian.
Hidungnya mancung. Di dadanya ada bunga mawar hidup bersama tangkainya yang
menyelinap di belahan dada putih mulus itu. Ia tersenyum, dan tampak lesung
pipitnya kian menambah cantik paras ayunya.
Pandu Puber berdebar dan bergumam, "Dian Ayu
Dayen...."
Terdengar suara lembut bagai membisik tepat di
samping telinga Pandu.
"Aku hanya sekadar mengingatkan dirimu, Pandu!
Maafkan aku. Kejarlah aku, cabut bunga mawarku ini, dan kau akan kubenamkan
dalam pelukanku selama-lamanya."
Dian Ayu Dayen, sang bidadari penguasa kecantikan itu ternyata hanya tampakkan
diri sebentar. Lalu berubah menjadi asap setelah tangannya menyentak ke langit,
melesat sinar merah yang kemudian membias lebar di
Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angkasa membentuk bunga mawar merah yang indah.
Pandu Puber terpesona dan hanya bisa memandang
bengong ke angkasa. Saat itulah Bidadari Dian Ayu Dayen lenyap bagai ditelan
asap yang terbang di hembus angin siang.
*** --------------------------------------------------------------------------------------------------EMPAT --------------------------------------------------------------------------------------------------AGAK sulit juga menjelaskan kepada Mirah Duri yang
menanyakan siapa gadis cantik jelmaan si Dukun Lelang itu" Mulanya Mirah Duri
menyangka gadis cantik itu adalah Ratu Peri Sore. Tetapi hati kecilnya sendiri
sempat bimbang, karena sang hati kecil itu mengakui bahwa
sekalipun Ratu Peri Sore wanita paling cantik menurut pandangan Mirah Duri,
namun kenyataannya masih kalah cantik dibandingkan wanita jelmaan nenek kempot
tadi. "Dia penghuni alam lain," hanya itu jawaban Pandu
Puber ketika ditanya.
"Sejenis setan atau peri, begitu?" desak Mirah Duri.
"Entahlah, sebaiknya jangan bicara soal wanita itu. Aku bingung."
Tentu saja bingung, sebab di depan gadis seperti Mirah Duri, Pendekar Romantis
sangat kikuk mengatakan bahwa Dian Ayu Dayen adalah bidadari yang bakal menjadi
istrinya. Hanya kepada bidadari itulah Pendekar Romantis diizinkan kawin oleh
ayahnya. Perkawinannya dengan Dian Ayu Dayen itulah yang akan membawa mereka ke
kayangan (Mau jelas lagi" Baca serial Pendekar Romantis ini dalam kisah
"Hancurnya Samurai Cabul" nggak rugi deh)
"Rupanya dia membayang-bayangiku selalu," pikir
Pendekar Romantis dalam renungannya. "Dia pernah
bilang, 'Carilah aku di antara kecantikan-kecantikan yang menyebar di
sekelilingmu. Aku ada di antara mereka'.
Rupanya dengan cara seperti itulah aku diuji untuk mem-bedakan mana yang calon
istri mana yang calon korban cinta. Ah, unik sekali percintaan warga kayangan
itu. Tapi secara jujur kuakui, dia memang cantik dan sangat menggairahkan
semangatku. Tapi alangkah sukarnya memperoleh dirinya" Oke deh, kalau memang dia jodohku, tetap harus kukejar
bagaiamanapun caranya. Masa' iya
Pendekar Romantis tak mampu menaklukkan bidadari
secantik dia" Hmmm.... Awas nanti kalau berhasil kutangkap, habislah kau punya bibir, Non!"
Tiba-tiba terdengar suara sapaan orang dalam merintih,
"Hoi, hoi....tolong dong kakiku ini! Uuh...! Sakitnya bukan main nih!"
Loan Besi ternyata semakin tak bisa jalan. Bagaimana mau jalan kalau salah satu
kakinya membengkak seperti kaki gajah. Jangankan disentuh, tertiup angin saja
sakitnya sampai ke ubun-ubun. Anehnya luka seperti itu tidak berhasil
disembuhkan dengan hawa murni Loan Besi sendiri.
Pendekar Romantis mendekati Loan Besi, lalu menggunakan jurus 'Hawa Bening' untuk sembuhkan luka itu.
dalam waktu sekejap saja kaki yang membengkak sebesar kaki gajah itu mulai
mengempis. Warna biru busuknya pudar sedikit demi sedikit.
"Lain kali jangan mengaku-aku sebagai guruku. Kau
akan kena celaka sendiri jika masih mengaku sebagai guruku. Bukan aku yang
mencelakakan kamu, tapi orang lain yang akan membuat celaka Ki Loan Besi!"
"Pandu Puber, betapapun tingginya ilmumu, kau masih membutuhkan seorang
pembimbing. Ilmumu akan menjadi sempurna lagi jika ditambah dengan kesaktianku.
Sebab ilmu kesaktianku ini tak ada duanya. Ampuh sekali!"
Mirah Duri tertawa kecil. "Kalau memang ampuh kenapa tak bisa kalahkan Dukun
Lelang?" "Ada beberapa jurus yang kulupa. Tapi sekarang sudah ingat lagi. Andai sekarang
Dukun Lelang itu muncul lagi dalam wujud apapun, pasti akan kuhajar habis sampai
meratap-ratap minta ampun padaku."
Pendekar Romantis tersenyum tipis. "Sudahlah Ki Loan Besi.... Sebaiknya pergilah
mencari murid lainnya. Jangan memaksaku untuk menjadi muridmu. Aku masih belum
membutuhkan guru untuk saat ini. Mungkin kelak, pada suatu hari, bila aku
membutuhkan guru kau akan ku-panggil."
"Kalau kau tak membutuhkan guru, baiklah. Tapi kau
membutuhkan pelayan, Pendekar Romantis. Ambillah aku sebagai pelayanmu. Tak ada
ruginya, kok. Nggak dibayar juga nggak apa-apa, asal diberi makan enak setiap
hari serta dapat fasilitas rumah pribadi dan perabotnya
lengkap." Merasa sulit menolak desakan Loan Besi, akhirnya
Pandu Puber berkata,
"Begini saja, tangkaplah hidup-hidup Dukun Lelang tadi, maka kau akan kujadikan
pelayanku, Ki Loan Besi!"
"Benar nih...."!" Loan Besi bersemangat.
"Ya, benar! Sudah sana pergi, cari Dukun Lelang dan tangkap dia lalu hadapkan
padaku!" "Baik, aku pamit, calon murid!" dan Loan Besi pun
melesat meninggalkan tempat dengan penuh semangat.
Pandu Puber tertawa mirip orang menggumam. Hatinya
membatin, "Biar sampai jebol udelmu nggak bakalan kau bisa menangkap bidadari
secantik Dian Ayu Dayen. Kau pikir ilmunya cetek?"
Pendekar Romantis kembalikan perhatiannya kepada
Mirah Duri. Senyumnya mekar sepanjang tatapan wajahnya. Mirah Duri buang muka
karena tak mau dibuat shock oleh daya pesona yang menggundahkan hati itu. Buruburu gadis itu mengalihkan suasana dengan menceritakan
pertarungan antara Kala Bopak dan Ratu Peri Sore.
Duka di hati Pandu Puber membias di permukaan wajah tampannya. Terbayang wajah
sang kakek semasa gemar
bercanda dengannya. Duka itu nyaris membuat Pendekar Romantis kehilangan
romantisnya. Bayangan mimpinya di gubuk tengah sawah muncul kembali. Baru
sekarang sang Pendekar Romantis mengetahui apa arti mimpinya kala itu.
"Pedang Siluman...."! O, ya....dulu seingatku kakek
pernah sebut-sebut nama Pedang Siluman," kata Pandu Puber sambil mengingat-ingat
masa lalunya. "Tepuk pahamu satu kali, dan pedang itu akan muncul dari kakimu itu!" tutur
Mirah Duri mengajari cara mengambil pedang tersebut.
"Apa benar begitu?" pikir Pandu agak sangsi. Tapi
kemudian ia buktikan kata-kata Mirah Duri itu dengan menapak paha kirinya satu
kali. Plak....!
Pedang Angin Berbisik 2 Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Liang Pemasung Sukma 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama