Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih Bagian 2
Shoguwara, bekas Pendekar Samurai Cabul yang dapatkan Patung Iblis Banci. Lalu,
sekarang apa maunya Awan Sari menghadang Pandu Puber"
"Kau harus menebus kematian guruku!" katanya dengan ketus, masih seketus dulu
juga. Memang tampangnya cantik-cantik judes sih. Biar sudah lama nggak ketemu
masih saja berkesan judes.
"Mengapa kau menuntut kematian gurumu padaku, Awan Sari" Kau salah tuntut,
Sayang!" ujar Pandu tetap kalem. "Yang membunuh gurumu bukan aku, melainkan
Shoguwara!"
"Omong kosong!" bentaknya. Galak juga dia. "Naluriku mengatakan kau yang
membunuh guruku. Kau harus
berhadapan denganku, Setan Playboy!"
"Jangan. Jangan memaksa
pertarungan. Kita akan merasa sia-sia jika ada yang jadi korban salah satu di
antara kita, Awan Sari!"
Pendekar Romantis masih tetap
tenang, namun ia sangat waspada. Dalam hatinya sempat membatin, "Aku harus hatihati dengan pedangnya. Jangan sampai aku terkena racunnya lagi.
Sebaiknya kugunakan jurus-jurus yang melumpuhkan, tak perlu main-main dan cobacoba dengan si cantik yang galak ini!"
Maka ketika Pandu Puber ingin
berkata lagi, Awan Sari sudah lebih dulu mencabut pedangnya.
Sreeet...! Claaap...! Sepasang sinar merah melesat
dari kedua jari kanan-kiri. Jurus
'Sepasang Sayap Cinta' dilepaskan Pandu Puber. Sinar itu salah satunya mengenal
pedang tembaga Awan Sari.
Duaaar...! Sinar yang satu kenai lengan
gadis tersebut.
Craaab...! "Uuhg...!" terdengar pekikan berbarengan dengan bunyi ledakan yang membuat tubuh
gadis itu terpental. Ia jatuh dan menggelepar-gelepar.
Wajahnya pucat, sebentar lagi pasti mati. Pandu Puber jadi kebingungan sendiri.
"Wah... gimana nih" Cantikcantik kok mati, sayang dong!" Pandu Puber ingin sembuhkan luka berbahaya itu,
tapi ia ragu-ragu. "Kalau kusembuhkan nanti menyerangku lagi"
Kalau nggak disembuhkan, wah...
kasihan sekali dia! Pasti belum kawin.
Masa' belum kawin kok sudah mati" Rugi kan" Tapi... gimana ya?"
LIMA CUKUP lama gadis judes itu
kelenger nggak sadar diri. Padahal waktu itu bumi telah dibungkus petang,
seperti lontong dalam daun jati.
Pendekar Romantis terpaksa bawa itu gadis ke tempat yang aman. Kalau nggak gitu,
embun dan kabut petang yang datang merambah bumi dapat bikin gadis itu membeku.
Maklum, suhu udara kala itu menunjukkan tiga puluh derajat celcius dalam
kelembaban udara nyaris turun hujan.
Tempat yang ditemukan Pendekar
Romantis untuk menaruh 'benda cantik judes' itu adalah sebuah gua karang di tepi
pantai. Gua itu ditemukan secara tidak sengaja. Sebenarnya Pandu ingin bawa Awan
Sari ke perkampungan
nelayan. Tapi letak perkampungan itu masih jauh. Di samping itu, kalau mereka
berdua bermalam di perkampungan nelayan tanpa surat nikah, takutnya digerebek
hansip setempat dikira yang nggak-nggak, kan repot" Jadi, demi keamanan bersama
lebih baik masuk ke dalam gua. Toh gua itu ternyata aman-aman saja. Tak ada
binatang buas, tak ada ular, tak ada ranjau.
Satu-satunya ranjau yang
ditemukan Pandu adalah kecantikan si gadis judes itu serta kemontokan dada yang
masih sekal dan keras itu. Yakin,
keras! Sebab Pandu tadi
sengaja menyentuhnya. Entah dadanya atau ujung pundaknya yang tadi tersentuh lengan Pandu, yang
jelas hati Pandu sempat berdebar-debar pada waktu itu.
Gua tersebut tidak terlalu
dalam. Langit-langitnya tidak begitu tinggi. Tapi tempatnya datar walau banyak
bebatuannya. Sang gadis masih dibaringkan
dalam keadaan pucat pasi. Bibirnya membiru, bagian bawah dadanya memar karena
hantaman sinar tenaga dalam Pandu tadi. Pedangnya masih utuh.
Mestinya pedang itu pecah karena terkena sinar merah jurus 'Sepasang Sayap
Cinta'. Mungkin karena di pedang itu ada kekuatan gaib yang cukup besar, maka
sang pedang malas untuk hancur. Mestinya pula tubuh gadis itu hancur berkepingkeping, tapi karena mempunyai kekebalan tenaga dalam yang sangat tinggi, maka
sang tubuh hanya memar dan urat nadinya terhenti, bagian dalamnya terpaksa
hangus merata. "Kuat juga gadis itu!" pikir Pandu sambil memperhatikan sang gadis dari atas
batu yang berjarak empat langkah samping kirinya.
"Nggak sangka kalau ilmunya tinggi juga. Atau barangkali karena dia punya jimat
lain, sehingga jurus
'Sepasang Sayap cinta' tidak dapat
menghancurkan tubuhnya" Tapi, benar juga. Kalau sampai hancur aku akan merasa
menyesal tujuh belas turunan, tiga tanjakan! Memang sebaiknya gadis itu kubuat
kelenger kayak gitu aja, sebagai penghajaran baginya.
Barangkali nanti kalau sudah siuman bisa sadar bahwa niatnya untuk
membalas dendam padaku itu salah besar."
Gadis itu memang belum diapaapakan oleh Pandu Puber. Sejumlah potongan kayu dikumpulkan. Disusun sedemikian
rupa, lalu dihantam dengan jurus tenaga dalam kecil-kecilan.
Claaap...! Buuulll...!
Maka jadilah api unggun yang
menerangi gua tersebut. Setelah
suasana terang, Pendekar Romantis mulai dekati sang gadis yang berbaring di
samping pedangnya.
"Ternyata dia punya nilai
kecantikan tersendiri," kata batin Pendekar Romantis ketika bermaksud mengobati,
namun terlebih dulu
memandangi si gadis. "Nggak sangka kalau Hantu Congkak mempunyai murid secantik
ini" Wajah judesnya ini berkesan angkuh, maklum, gurunya sendiri congkak pasti
muridnya angkuh.
Tapi berani sumpah mati, biar judes, biar angkuh wajah ini memancarkan daya
sensual yang tinggi."
Makin lama dipandang, makin
terpancar daya tarik yang menggcda iman. Hati sang pendekar berdebar-debar penuh
kegelisahan yang bernada indah. Sepasang mata kebiruan itu memandang antara
bibir dan dada berulang-ulang.
"Gemes juga aku jadinya," geram hati Pandu. Maka, mumpung masih
pingsan, bibir sensual itu pun dikecup oleh Pandu Puber. Cuuuup...! Lalu
dikunyah-kunyah dengan lembut, mirip makan permen karet. Namun kunyahan itu
hanya ada di ujung bibirnya. Sang gadis pasrah, mau diapakan saja diam.
Terang saja begitu, habis masih
pingsan sih. Coba kalau nggak pingsan, bisa nampar wajah Pandu yang kurang ajar
itu. Semakin lama menciumi wajah
gadis yang berbau wangi rempah-rempah itu, setelah puas melumat bibir tebaltebal nikmat itu, ciuman pun merambat ke leher sang gadis, lalu ke dada.
"Wow...! Benar-benar sangat wow...!"
Memang nakal dia itu. Anak dewa
yang nakal hanya dia. Maklum, dulu bapaknya diusir dari kayangan gara-gara
pelecehan cinta dengan beberapa bidadari. Jadi bapaknya sendiri memang nakal.
Tak heran kalau anaknya juga nakal, persis bapaknya.
Namun setelah gairahnya nyaris
membakar jiwa, tiba-tiba Pandu
menemukan kesadarannya sehingga ia kaget sendiri melihat tingkah lakunya dan
segera istigfar dalam hati.
"Kenapa aku jadi begini
rendahnya" Ya, ampuuun... mestinya aku nggak boleh berbuat begini. Jorok, kan"
Memalukan sekali. Tapi hasratku begitu meletup-letup, kepingin
menikmati kehangatan tubuhnya. Dan...
dan... ah, jangan, ah! Aku nggak boleh begini! Aku kan seorang pendekar, sangat
memalukan kalau berbuat tak senonoh begini!. Untung tak ada orang yang
melihatnya!"
Sambil merapikan pakaian sang
gadis, akhirnya Pandu menemukan
penyebab kenakalannya itu.
"Rupanya pengaruh ramuan teh yang kuminum di pondoknya si Janda Keramat itu
masih membekas kuat dan sewaktu-waktu bereaksi dalam jiwaku.
Pantas gairahku menggebu-gebu, rupanya daya gugah asmara yang ada di dalam teh
itu cukup kuat menguasai batinku.
Aku harus membersihkan diriku dari obat perangsang yang telanjur membaur dalam
darahku ini!"
Dengan lakukan semadi beberapa
saat, penyaluran hawa murni yang memutari peredaran darahnya, akhirnya kekuatan
daya rangsang yang terminum dan menyatu dalam darahnya itu dapat dibersihkan.
Bukan berarti Pandu kehilangan gairah dan menjadi pemuda
yang 'frigid', tapi pengendalian hawa nafsu menjadi normal kembali.
Setidaknya, ia bisa menahan diri walaupun melihat belahan dada yang menggunduk
ranum menantang itu.
Setelah keadaan si gadis
dirapikan serapi mungkin, Pandu Puber segera pergunakan jurus 'Hawa Bening'
untuk mengobati luka dalam Awan Sari.
Sinar putih bening melesat dari jari tengahnya dan menghantam bagian bawah leher
yang memar bundar itu. Sinar putih bening itu memancar sekitar empat helaan
napas. "Uhhg...," gadis itu mulai sadar dan mengerang lirih. Pandu Puber cepat-cepat
lompat dalam keadaan tetap duduk dan pindah di atas batu yang jaraknya empat
langkah dari tempat Awan Sari terbaring. Dari situ ia tersenyum-senyum
memandangi sang gadis yang mulai menggeliat dan bernapas sedikit memburu. Warna
biru di bawah leher mulai hilang, warna pucat di bibir mulai lenyap. Lama
kelamaan sang gadis pun melek.
"Hah..."!" Awan Sari terkejut menyadari dirinya ada di dalam sebuah gua. Ia
tersentak bangun dan memandang liar sesaat. Begitu pandangannya menemukan seraut
wajah ganteng, ia cepat-cepat memungut pedangnya dan berdiri dengan kuda-kuda
siap serang. "Hai...!" sapa Pandu Puber dalam
senyum dan lambaian tangan kecil. Tapi yang disapa justru cemberut dan
menampakkan keangkuhannya. Rupanya sang gadis menaruh curiga kepada Pandu Puber
sehingga tidak menaruh simpati sedikit pun.
"Mengapa kau bawa aku kemari?"
"Kau pingsan!"
"Kenapa pingsan"!"
"Kena pukulan jarak jauhku"
jawab Pandu sambil nyengir, tetap duduk di batu itu.
"Lalu apa yang kau lakukan pada diriku di gua ini selama aku pingsan.
Jawab!" bentaknya. Pedang masih terhunus, siap untuk ditebaskan
sewaktu-waktu. Bahkan ketika Pandu hanya cengar-cengir terus tanpa
jawaban yang diharap, Awan Sari
mendekatkan ujung pedangnya ke leher Pandu.
Seeet...! "Jawab pertanyaanku tadi!"
bentaknya keras dan galak.
"Per... pertanyaan yang mana?"
Pandu berlagak bego.
"Apa yang kau lakukan selama aku pingsan"!"
"Cuma... cuma mengobatimu
menggunakan jurus 'Hawa Bening'-ku!"
"Bohong!"
"Yaaah... nggak percaya," ucap Pandu pelan dan tak berani banyak gerak karena
lehernya tertodong pedang
dan ia tahu pedang itu dapat semburkan racun berbahaya, walau racun itu telah
habis dan belum diisikan ke dalam pedang lagi.
"Katakan sejujurnya!"
"Kok kayak judul lagu aja," ujar Pandu sambil nyengir. Ujung pedang mulai
menempel dan agak ditekankan di leher. Pandu ngeri.
"Jawab dengan jujur atau kurobek lehermu dengan pedangku!" hardik Awan Sari
dengan tampang galaknya.
"Aku tidak berbuat apa-apa, Nona Cantik!" jawab Pandu menyabarkan nada suaranya.
"Berani dicubit seribu bidadari, aku tidak berbuat apa-apa kepadamu."
"Hmm...!" dengus Awan Sari sambil menarik pedangnya dan mundur dua tindak.
"Bodoh...!"
Pandu berkerut dahi mendengar
gerutuan 'bodoh' dari mulut yang berbibir cemberut itu.
"Apa maksudmu mengatakan 'bodoh'
padaku"!"
Gadis itu tidak menjawab, tapi
ia pergi ke balik batu setinggi lewat kepala. Di sana ia memeriksa keadaan
dirinya, pakaiannya, 'perabotnya', dan rambutnya. Sesaat kemudian ia keluar dari
balik batu dengan pedang sudah disarungkan. Ia memandang tajam pada Pandu Puber
dengan sikap menantang.
"Kusangka kau memang bodoh,
ternyata tidak sebodoh dugaanku!"
Pandu berlagak geli, bahkan
berlagak melengos seakan meremehkan pendapat Awan Sari.
Sang gadis mendekat, berhenti
dalam jarak satu langkah di depan Pandu Puber. Wajah ketusnya jelas-jelas
dipamerkan di depan si pemuda tampan.
"Kau telah melakukan sesuatu terhadap diriku!"
"Melakukan apa?"
"Kau telah menggagahi tubuhku!"
"Ah, ngaco aja lu! Siapa bilang aku berani begitu"!"
"Mengakulah!" ucapnya pelan penuh geram.
"Nggak mungkin aku berani
melakukannya!"
Wajah cantik itu makin mendekat
dan berkata seperti orang berbisik,
"Letak dadaku yang kiri geser ke kanan dari arah sebenarnya!"
"Ah, itu sih mungkin karena...."
"Bilang saja terus terang, aku akan memaafkanmu."
Karena didesak demikian akhirnya Pandu mengangguk sambil nyengir malu sekali.
"Hmmm... iya sih. Tapi... tapi nggak semuanya tergeserkan?"
Plaaak...! Sebuah tamparan cepat dan keras
mendarat di pipi Pandu Puber. Pemuda itu sempat terpelanting ke samping.
Kaget sekali dapat tamparan sekeras itu. Pipinya menjadi panas seperti disengat
tawon. "Mengapa kau menamparku"!
Katanya kau memaafkanku kalau aku berkata jujur"!" protes Pandu dengan dongkol.
"Begitulah caraku memaafkan kekurangajaranmu!" ucap Awan Sari sambil melangkah
memunggungi Pandu, lalu berbalik ke arah semula sambil sandarkan pinggulnya di
batu setinggi perut. Dengan angkuh dan sinis ia berkata lagi,
"Masih untung kau kutampar
dengan tangan. Semestinya kutampar dengan pedangku!"
"Kenapa tidak kau lakukan"!"
bentak Pandu kesal sekali.
"Belum saatnya!" jawabnya dingin sekali. "Sekarang aku hanya minta kejujuranmu
untuk...."
Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sumpah mati aku belum
menodaimu! Sumpah mati!" sambil Pandu melangkah dekati gadis itu dan
mengajak bersalaman.
Plak...! Tangan Pandu ditepisnya.
"Bukan soal itu yang ingin
kutanyakan!" sentak Awan Sari. "Aku tahu kau tidak menodaiku, karena aku tidak
merasakan keindahan apa pun setelah sadar dari pingsanku."
"Jadi apa maksudmu?"
"Aku hanya ingin kau berkata sejujurnya, sebagaimana seorang
pendekar dan ksatria menjawab hasil perbuatannya. Kau harus berani sportif dan
konsekwen."
Pandu kerutkan dahi makin tajam, pandangan matanya makin lurus ke mata bundar
galak milik Awan Sari. Gadis itu berkata lagi,
"Siapa yang membunuh guruku; Hantu Congkak"!"
"Sudah kubilang sejak sore tadi, yang membunuh gurumu adalah Shoguwara!
Dia menggunakan Patung Iblis Banci saat membunuh gurumu. Ia melakukannya dari
jarak jauh dengan menusukkan pisau kecil ke bagian jantung patung itu, maka yang
tertusuk adalah jantung gurumu. Memang begitulah kehebatan Patung Iblis Banci!
Kalau tak percaya, bisa kau tanyakan kepada seorang tokoh tua yang bernama
Layang Petir, yang dulu bekas murid Iblis Banci Itu!"
"Maksudnya, Layang Petir gurunya Sawung Seta"!"
"Ya!" jawab Pandu dengan sentakan tegas. Lalu ketegangannya dikendurkan dan ia
bertanya, "Kau mengenal si Layang Petir?"
"Dia adik dari almarhum
kakekku!" "Ooo... pantas."
"Apanya yang pantas"!" hardik Awan Sari masih menampakkan sikap
kurang bersahabat.
"Pantas kau tahu kalau dia punya murid Sawung Petir, eh Sawung Seta!
Apakah kau juga kenal dengan Sawung Seta"!"
"Aku muak dengannya. Kalau tak ingat dia murid paman Kakek Layang Petir, sudah
kubuntungi tangannya!"
"Sadis amat sih" Memangnya
kenapa?" "Dia memburuku terus, ingin menjadi kekasihku!"
"Terima saja sudah!"
"Gundulmu yang diterima"!"
gerutu Awan Sari sambil bersungut-sungut. "Aku jijik berdekatan dengan lelaki
macam dia!"
"Memangnya kenapa?" tanya Pandu memancing percakapan terus biar
semakin akrab. "Dia seorang gigolo!"
"Gigolo itu makanan apa?"
"Dasar dungu!" gerutunya sambil bersungut-sungut. "Gigolo itu sama
dengan pelacur lelaki. Kerjanya
melayani wanita yang kesepian dan membutuhkan kehangatan, lalu dia dibayar
dengan cara apa pun. Kadang dibayar pakai uang, kadang dibayar pakai beras, ada
kalanya dibayar pakai tembakau!"
Pandu Puber jadi ingat cerita
Rani Adinda. Istri Sultan, yaitu ibunya Rani Adinda, berbuat serong
dengan seseorang yang bernama Hantu Putih. Perempuan itu agaknya menjadi
ketagihan cinta sang Hantu Putih. Lalu tak mau melayani cinta suaminya dan tak
mau makan kalau belum bertemu Hantu Putih. Sedangkan Sawung Seta adalah gigolo,
tugasnya melayani kebutuhan batiniah perempuan yang merasa kesepian dan
mengharapkan kepuasan batin. Sedangkan Sawung Seta berpakaian serba putih. Besar
kemungkinan Sawung Seta itulah yang berjuluk Hantu Putih.
"Kalau begitu, sebenarnya Rani Adinda harus membunuh Sawung Seta dong! Karena
memang itulah syarat yang diajukan oleh Sultan agar Rani Adinda diterima kembali
sebagai keluarga kesultanan! Tapi, apakah Rani Adinda tega membunuh bekas
kekasihnya sendiri?" Melihat pemuda ganteng
beranting-anting satu termenung dalam lamunannya, Awan Sari segera bertanya,
masih dengan nada ketus.
"Apa yang kau lamunkan" Kau melamunkan hal jorok pada diriku, ya?"
Pandu tersenyum sumbang. "Untuk apa melamunkan hal jorok pada dirimu.
Kalau aku mau, tak perlu dilamunkan.
Langsung praktek saja, pasti bisa!"
"Coba saja kalau berani!"
tantang Awan Sari. "Ayo, coba dipraktekkan kalau kau ingin
kehilangan kepala!" gagang pedang mulai digenggam, siap dicabut dengan cepat.
Tapi sikap itu hanya
ditertawakan Pandu dengan kalem.
"Aku melamunkan tentang Layang Petir dan muridnya itu! Aku ingin bertemu dengan
mereka. Apakah kau bisa bantu aku menunjukkan tempat tinggal mereka?"
"Tidak!" Jawab Awan Sari dengan singkat dan tegas.
"Barangkali suatu saat kau butuh pertolonganku, aku akan menolongmu dengan suka
rela tanpa mengharap imbalan, kecuali sekadar uang buat beli nasi saja!"
"Kau ini pendekar apa pengemis?"
"Aku cuma bercanda," kata Pandu sambil tertawa. Lalu ia dekati gadis itu, si
gadis menjauh. "Bantulah aku menemui mereka.
Ada persoalan yang harus kuluruskan berkenaan dengan si Sawung Seta!"
"Pergi aja sendiri!"
Pandu mendekat lagi, si gadis
sudah terpojok dinding gua. Akhirnya hanya diam saja, tapi memandang sangar
kepada Pandu. Pendekar Romantis tetap tenang, menyunggingkan senyumannya yang
punya daya pikat tinggi itu.
Pandu ingin ulangi permohonannya tadi, tapi terkesima memandang seraut wajah
cantik angkuh dengan mata indah dan bibir sensual yang kini dalam
keadaan segar itu. Akibatnya, mata Pandu tak berkedip menatapi wajah itu dengan
sorot pandangan mata yang lembut dan sangat romantis. Suaranya pun terdengar
bagai berbisik, lembut dan romantis pula.
"Ternyata kau lebih cantik dari seorang ratu mana pun. Kalau saja saat ini ada
kembang, aku ingin memetiknya sekuntum dan kusematkan di rambutmu, Awan Sari!"
"Aku nggak suka kembang!"
ketusnya. "Kalau saja aku punya berlian, ingin rasanya kukalungkan di lehermu biar
kecantikanmu lebih terpancar lagi. Kalau bisa seluruh mata dunia tertuju
kepadamu, dan aku yakin mereka akan berdecak mengagumi kecantikanmu.
Sayang sekali aku tak punya berlian.
Tapi barangkali sekerat hati lebih berharga dari sebutir berlian!"
"Hmmm...!" Awan Sari mencibir.
Melengos ke kiri. Tapi hatinya tampak gelisah, karena gerakan matanya tak
stabil. "Awan Sari, mengapa kau seangkuh itu padaku" Apakah kau tak ingin menjalin
persahabatan yang baik dengan orang yang tak pernah punya dosa padamu" Apakah
kau akan selamanya membenciku?"
"Aku nggak membencimu!" ucapnya ketus juga, masih buang muka.
"Pandanglah aku, dan kau akan temukan kejujuran hati seorang lelaki yang selalu
mengalah padamu ini!
Pandanglah, Awan Sari," ucapan lirih penuh kelembutan membuat Awan Sari melirik.
Cuma melirik, tapi itu sudah merupakan pertanda bahwa ia mau turuti kemauan
Pandu Puber. Lalu, dengan tanpa ragu dan penuh keyakinan, Pandu Puber meraih
ujung dagu gadis itu.
Pelan-pelan sekali diputarnya wajah cantik tersebut hingga saling
berhadapan. Anehnya, si gadis ternyata menurut dan kini ia jadi menatap wajah
Pandu. Cukup lama juga ia memandangi Pandu, sampai akhirnya senyum Pandu yang
mekar itu mendekati wajahnya.
Dekat... dekat... dan dekat lagi. Awan Sari gundah, lalu pejamkan matanya pelanpelan. Cup... Bibir pendekar tampan menempel
di bibir Awan Sari. Bibir itu memagut dengan lembut sekali. Awan Sari
seperti diterbangkan sampai mentok langit-langit gua. Gerakan bibir Pandu
memancing rasa dan emosi, maka Awan Sari pun membalas lumatan bibir Pandu dengan
sedikit lebih lincah. Tambah lama tambah lincah, akhirnya gadis itu menjadi
buas. Bibir Pandu habis Sudah dilumatnya. Kedua tangan Awan Sari tak tanggungtanggung memeluk tubuh Pandu.
Tangan itu meremas punggung Pandu.
Keras dan keras sekali.
Pandu membatin, "Lho, kok jadi begin!"! Hmmm... ngelunjak deh!
Ngelunjak ini namanya! Udah, ah! Kalau diterusin nanti malah dia yang
berbahaya!"
Ketika Pandu melepaskan
kecupannya dengan gerakan amat pelan, Awan Sari mengeluh panjang. Tak jelas apa
arti keluhan itu, mungkin puas, mungkin kecewa, mungkin pula emang ngos-ngosan.
Yang jelas mata galaknya menjadi sayu romantis saat menatap mata Pandu. Senyum
Pandu pun mekar dengan indahnya, walau si gadis tak punya senyum sedikit pun.
Lalu, dengan suara lirih dan lembut Pandu berkata kepadanya,
"Bantulah aku menemui mereka.
Kau mau kan?"
"Mereka ada di Bukit Gerhana!"
"Aku tidak tahu di mana arah Bukit Gerhana."
"Sebelah selatan dari tempat ini!"
"Kalau begitu aku akan menuju ke sana malam ini juga."
Dengan mata masih memandang tak
berkedip, Awan Sari gelengkan kepala dan berkata lirih, "Jangan malam ini.
Besok saja!"
"Baiklah. Kalau begitu besok aku akan ke sana!"
"Aku akan mengantarmu supaya kau
tak tersesat!"
Pandu tersenyum kian lebar, lalu membatin, "Akhirnya mau juga kan"
Rupanya memang harus ditaklukkan dengan kelembutan."
"Malam ini... malam ini kau mau menemaniku di gua ini, kan?"
"Yeeesss...!" bisik Pandu tegas.
ENAM SEKELEBAT sinar merah melintas
cepat bagaikan meteor. Munculnya dari semak-semak sebelah kiri Awan Sari.
Arah sinar itu adalah tubuh Awan Sari.
Tetapi Pandu Puber yang berjalan sedikit ke belakang gadis itu melihat gerakan
sinar maut yang dapat
merenggut nyawa Awan Sari. Dengan gerakan refleks, kaki Pandu menjejak tubuh
Awan Sari. Buugh...! Wuuut...! Gubras...! Awan Sari jatuh
tersungkur. Hampir saja ia menjadi berang kepada Pandu karena merasa diserang mendadak.
Namun setelah mendengar suara ledakan menggelegar dan dua pohon di seberang
kanannya pecah seketika, Awan Sari jadi terbengong melompong. Ia baru sadar
tindakan Pandu tadi demi
menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut seseorang.
"Setan retak!" makinya sambil bangkit, lalu tangan gadis itu
menyentak ke arah semak-semak.
Claap...! Sinar merah berbentuk seperti
telur ayam melesat dan menghantam semak-semak itu.
Duaaar...! Semak-semak menjadi hancur
terpotong-potong lembut dan menyebar ke udara. Dari semak-semak itu muncul
sekelebat gerakan bersalto sebelum sinar merah telur tadi menghantam semak.
Sosok yang muncul dari semak tadi tak lain adalah sosok gadis berdada pabrik.
Siapa lagi yang punya dada semontok itu kalau bukan Rani Adinda yang berjubah
kuning. "Dinda..."!" gumam Pandu dengan terheran-heran.
"O, kau rupanya"!" ucap Awan Sari penuh permusuhan. Rani Adinda memandang tajam
kepada Awan Sari.
Sikapnya jelas-jelas bermusuhan. Pandu Puber sempat mencemaskan keadaan
tersebut. Karena ia tahu kedua
perempuan itu sama-sama mempunyai keberanian bertarung sampai mati jika dilihat
dari cara mereka dalam saling memandang.
"Rupanya kau telah bebas dari Sawung Seta, Dinda!" Pandu mencoba mengalihkan
suasana agar jangan
terjadi pertumpahan darah di antara kedua gadis tersebut. Tapi ucapan Pandu itu
tidak mendapat reaksi apa-apa dari Rani Adinda.
"Apa maksudmu menyerangku secara licik, Gadis Jalang"!" sentak Awan Sari dengan
kasar sambil lebih
mendekat lagi. "Jauhi pemuda itu!" kata Rani Adinda dengan menuding Pandu tapi
tidak memandang pemuda tersebut.
"Apa hakmu melarangku mendekati Pandu" Kau tak berhak mengatur
hidupku, Rani Adinda!"
"Kuingatkan sekali lagi," tegas Rani Adinda tanpa senyum sedikit pun,
"Jauhi Pandu atau jauhi nyawamu!"
"Setan! Kau menantangku, hah"
Belum puas menjadi kekasih seorang
'pelanang' seperti Sawung Seta itu"!"
Pandu membatin, "Apa itu
'pelanang'" Apakah sejenis dengan gigilu, eh... gigolo" Hmmm... mungkin
'pelanang' singkatan dari 'Pelacur Lanang'. Ah, persetanlah. Ngapain aku malah
mikirin singkatan seperti itu"
Bego!" Pandu Puber buru-buru mendekati
Awan Sari yang tampak siap-siap
lepaskan serangan maut ke arah Rani Adinda.
"Awan Sari, jangan layani dia!
Mungkin dia sedang jengkel sama Sawung Seta, sehingga emosinya tak
terkontrol! Jangan...!"
"Minggir!" sentak Awan Sari sambil mengibaskan pundaknya yang disentuh Pandu
Puber. Matanya tetap tertuju pada Rani Adinda dengan tangan di ke ataskan dan
siap lakukan serangan jarak jauh.
"Majulah kalau kau ingin segera pergi ke neraka!"
Rani Adinda mengelebatkan
tangannya bagaikan membuang sesuatu ke arah depan, Wuuus...! Dan seberkas sinar
merah seperti bintang melesat hendak menghantam Awan Sari. Tetapi Awan Sari
melawannya. Dari tangannya yang ada di atas
keluar sinar biru lurus dan menghantam sinar merahnya Rani Adinda
Claap...! Blaaarrr...!
"Gila!" sentak Pandu, karena ia sendiri tersentak jatuh ke belakang karena
kekuatan daya ledak yang
menggelegar itu. Awan Sari dan Rani Adinda sama-sama tersentak mundur pula, tapi
Awan Sari lebih parah. Ia terjungkal berguling-guling ke
belakang bagaikan dilemparkan badai liar. Sedangkan Rani Adinda hanya bergeser
mundur sekitar dua langkah, masih tegak dan tegar. Jurusnya
dimainkan kembali dengan gerakan mirip seekor burung perkasa hendak
mengepakkan sayapnya.
Wuuut...! Tiba-tiba tubuh Rani Adinda
melayang bagaikan terbang. Awan Sari yang baru saja bangkit itu disambarnya
dengan tendangan kaki beruntun.
Dus, dus, dus, dus, dus...!
Tendangan itu sangat cepat dan
sukar ditangkis ataupun dihindari.
Akibatnya Awan Sari terpental kembali pada tendangan yang terakhir. Wajahnya
Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlumur darah, karena lubang
hidungnya keluarkan darah segar.
"Ganas juga Adinda kalau lagi marah begitu, ya" Urusannya sepele, cuma cemburu,
tapi kok jadi seganas itu, ya?"
Kecamuk batin Pendekar Romantis
terhenti karena melihat jurus yang dilancarkan Rani Adinda kali ini.
Gadis berjubah kuning itu melesat tinggi ke atas pada saat Awan Sari berusaha
bangkit sambil berpegangan pada batang pohon. Tiba-tiba dari mata, tangan, kaki,
dan pertengahan dada montoknya Rani Adinda keluar berlarik-larik sinar putih
perak yang menghantam tubuh Awan Sari.
Zrraab...! "Tidaaak...!" teriak Pandu yang merasa jurus itu akan menghancurkan tubuh Awan
Sari. Jelas keroyokan sinar itu tak akan bisa dihindari oleh Awan Sari. Maka,
dengan emosi yang meluap karena ketegangannya, Pandu Puber melesat cepat,
pergunakan jurus 'Angin Jantan'. Zlaaap...!
Tahu-tahu sudah ada di depan
Awan Sari, dan melepaskan pukulan jurus 'Cakram Biru', yaitu sinar biru dari
pergelangan tangannya yang
berbentuk cakram. Sinar itu muncul dan melesat beberapa kali sesuai dengan
jumlah sinar putih peraknya Rani Adinda. Akibatnya, setiap sinar putih bisa
dilumpuhkan oleh sinar biru
tersebut dan menimbulkan dentuman yang menggelegar beberapa kali.
Blegar...! Duuur...! Blaaam...!
Duaaar...! Blaaar...!
Gemanya menggaung bergemuruh
mirip langit mau runtuh.
Lhaaarrrr...! Seandainya ada orang melihat
dari kejauhan, maka ia akan menyangka telah terjadi kiamat di tempat itu.
Pohon-pohon tumbang, tanah berguncang, sebagian retak membentuk lubang dalam,
membentuk celah bagaikan potongan bumi. Udara menjadi hitam karena asap ledakan
berkali-kali itu. Bebatuan pecah menyembur ke mana-mana. Angin badai terjadi
beberapa saat dan
membuat beberapa pohon di tempat agak jauh dari situ menjadi tumbang pula.
Bagaimana dengan tubuh mereka" Pandu Puber terpental kehilangan
keseimbangan dan jatuh di samping pohon yang tumbang, delapan langkah jauhnya
dari tempatnya berdiri tadi, sedangkan tubuh Awan Sari terpental tinggi, lalu
jatuh terbanting tanpa sadar diri lagi. Tetapi tubuh Rani Adinda masih tetap
tegar, berdiri tanpa guncang sedikit pun di tempatnya mendaratkan kaki dari
lompatannya tadi. Tak ada luka sedikit pun, bahkan pakaiannya tak ada yang robek
seinci pun. Hanya rambutnya yang morat-marit dihempas badai kencang tadi.
Gelombang ledakan yang
menghentak kuat beberapa kali membuat mulut pemuda ganteng itu memuntahkan darah
segar walau tak banyak. Dadanya terasa panas sekali, dan ia menahannya dengan
menyalurkan hawa dingin ke sekujur tubuhnya. Hawa salju itulah yang membuat
Pandu Puber mampu bangkit kembali walau sedikit sempoyongan.
"Jurus edan-edanan itu tadi!"
katanya membatin. "Tak kusangka Rani Adinda mempunyai jurus sedahsyat itu.
Benar-benar berbahaya bagi keselamatan orang lain dan keselamatan dirinya kalau
harus kulayani dengan adu
kesaktian. Sebaiknya kubujuk saja dengan kelembutan, siapa tahu bisa reda
emosinya...."
Pandu Puber berdiri dalam jarak
tujuh langkah dari Rani Adinda. Ia ingin ucapkan sesuatu, tapi sudah didahului
oleh Rani Adinda.
"Tinggalkan gadis itu!" Dingin sekali kata-kata tersebut. Lebih dingin ucapan
itu daripada sebalok es batu atau es cendol. Pandu dapat rasakan kecemburuan
yang begitu besar tertanam di dada gadis itu. Tapi ia sendiri merasa heran,
mengapa kecemburuannya bisa sebesar itu"
Padahal mereka baru saja bertemu dan belum menjalin hubungan apa-apa.
"Seharusnya tak perlu sampai begini, Dinda!"
"Jauhi saja dia! Jangan banyak memberi saran padaku!"
Setelah berkata begitu, Rani
Adinda berkelebat pergi. Tapi kira-kira dalam jarak pandang yang masih nyata,
gadis itu berhenti. Lalu
menyentakkan tangan kanannya ke atas.
Dari tangan kanan itu melesat sinar merah yang segera mengembang di
angkasa. Claap! Wuuurss...! Mata Pandu Puber terbelalak
kaget melihat sinar merah itu pecah dan membentuk hiasan bunga mawar merah.
Jantung Pandu bagaikan terhenti seketika karena ia segera ingat dengan wajah
cantik milik bidadari Dian Ayu Dayen. Bidadari itulah yang harus diburu dan
dijadikan istrinya, karena tanpa diperistri sang bidadari, maka Pandu Puber
tidak akan bisa naik ke kayangan dan hidup sebagai dewa.
Sementara itu, Dian Ayu Dayen sendiri tak mudah ditangkap dan dijerat
hatinya. Bukan berarti Dian Ayu Dayen tak mencintai Pandu, melainkan karena
bidadari Penguasa Kecantikan itu menyukai calon suami yang mampu
mengalahkan kesaktiannya maupun
kekerasan hatinya. Repotnya lagi, Dian Ayu Dayen mampu merubah wujud seperti apa
saja, asal bukan seperti singkong goreng.
Pandu bagaikan terpaku di tempat melihat Rani Adinda berselimut hijau pendarpendar. Dari sinar hijau itu muncullah wajah asli bidadari Dian Ayu Dayen.
Pakaiannya serba putih, halus,
dan lembut. Sebagian rambutnya
disanggul dengan indahnya. Di belahan dadanya terselip setangkai bunga mawar
asli, bukan hiasan.
Bidadari super cantik itu
kirimkan suara yang hanya bisa
didengar oleh telinga Pendekar
Romantis saja. "Aku cemburu. Memang cemburu.
Tapi itulah kasihku. Sayang kau belum bisa cabut bunga mawar dari dadaku.
Cabutlah bunga mawar itu dari dadaku dan kau akan kurenggut dalam pelukan
selama-lamanya, Pandu Puber."
Pandu bicara dalam batinnya,
"Bagaimana aku bisa mencabutnya jika kau tak berani muncul lama didepanku?"
Rupanya ucapan batin itu
didengar oleh Dian Ayu Dayen, sehingga Pandu Puber mendengar jawaban di
telinganya, "Carilah aku dalam kecantikan-kecantikan yang menyebar di
sekelilingmu. Aku ada di antara
mereka. Dekap aku dan ciumlah
keningku, maka aku akan berubah
menjadi wujud asliku seperti ini. Dan kau bisa cabut bunga mawar Ini dari
dadaku." "Tapi,..." Kata-kata Pandu terpotong,
"Jangan mengumbar cinta dan kemesraan, Kasihku. Karena jika aku melihatnya dari
kayangan, aku akan turun dan menghajar sainganku. Tapi tentu saja tak akan
sampai mati. Sembuhkan gadis itu, setelah itu jauhi dia!"
Zlaaasss Tubuh perempuan cantik itu
memancarkan asap putih, makin lama semakin tebal. Pandu buru-buru
mengejar dengan maksud menahan
kepergian Dian Ayu Dayen. Tetapi
sekalipun ia pergunakan jurus 'Angin Jantan' ternyata ia masih kalah cepat
dengan kepergian Dian Ayu Dayen. Asap itu ditangkapnya dalam pelukan. Tapi Pandu
tidak menyentuh apa-apa. Asap pun sirna disapu angin. Dian Ayu Dayen sudah tidak
ada di situ. "Brengsek!" bentak Pandu kesal sekali. Sebongkah batu ditendangnya.
Wuuut...! Weeessss...! Batu itu
melayang terbang dan menghantam pohon di kejauhan sana.
Blegaaar...! Ternyata batu itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam dari hasil tendangan kaki Pandu yang sedang
jengkel itu. Pohon tersebut pecah terbelah.
"Masa bodoh! Aku nggak mau jauhi
Awan Sari atau gadis mana pun! Aku akan mengumbar cinta, habis kamunya gitu sih,
Dian! Kalau kamu nggak mau aku pacaran sama cewek lain, kamunya datang dong!
Jangan hanya muncul sekejap-sekejap! Aku kan butuh kasih sayang dan kemesraan!
Bukannya aku nggak cinta sama kamu, tapi kau
permainkan aku sih, jadinya aku ya kayak gini. Bandel! Tapi... tapi kayaknya
memang aku harus lebih jeli lagi. Siapa tahu Awan Sari pun bisa berubah menjadi
wujudnya yang asli.
Dia bisa muncul dan menjelma dalam berbagai kecantikan dan wajah wanita.
Aku harus mengecup keningnya. Jika keningnya kukecup dan dia berubah menjadi
wujud aslinya, maka akan kucabut bunga mawar itu dari dadanya!"
Pandu sengaja ngoceh sendiri
untuk hilangkan kekesalan hatinya. Ia hampiri Awan Sari yang terkapar tak
sadarkan diri itu. Pandu geleng-geleng kepala dengan cemberut. Lalu, jurus
'Hawa Bening' dilepaskan dari jari tengahnya.
Claaap...! Dalam beberapa detik
saja gadis itu sudah bisa konsen terhadap keadaan sekelilingnya.
"Mana si keparat Rani Adinda tadi"!" geramnya dengan mata galak memandang ke
sana-sini. "Dia bukan Rani Adinda," jawab Pandu dengan lesu.
"Kau tak perlu melindunginya!
Aku bukan anak kecil yang bisa kau tipu dengan caramu itu!" Awan Sari jadi
jengkel sendiri pada Pandu Puber.
"Ke mana larinya si jalang itu, hah"!"
"Sudahlah, jangan pikirkan dia lagi! Dia bukan Rani Adinda!" sambil Pandu
bersikap merangkul pundak Awan Sari, tapi rangkulan itu dikibaskan, dibuang oleh
Awan Sari. "Katakan, ke mana larinya si jalang itu"! Akan kukejar dia dan kubalas
kekalahanku kali ini. Mungkin aku akan lebih kejam lagi dalam
membalasnya!"
"Nanti malah kacau semuanya, Sari!"
"Nggak peduli! Kalau kau tak mau tunjukkan, aku akan cari dia ke
perguruannya! Ku obrak-abrik perguruannya itu! Heh!"
Weeesss.... "Sariii...! Sariii...!"
Awan Sari berlari cepat,
pergunakan jurus peringan tubuhnya.
Pandu Puber terpaksa harus mencegah amukan Awan Sari karena akan terjadi
kesalahpahaman yang menimbulkan korban sia-sia. Tapi baru saja Pandu Puber ingin
bergerak menggunakan jurus
'Angin Jantan'nya, tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang.
"Pandu...!"
Suara tua itu membuat langkah
Pandu Puber tertunda. Ia berpaling ke belakang. Kaget. Matanya terkesiap dalam
memandang si nenek berjubah ungu tanpa lengan, rambutnya putih perak.
"Siapa nenek itu" Kayaknya aku pernah melihatnya"!" pikir Pandu yang belum sadar
bahwa nenek peot itu adalah si Janda Keramat.
"Pandu, tolonglah aku...," ucap sang nenek peot dengan wajah menghiba sekali. Ia
makin dekati Pandu yang diam terheran-heran.
"Apakah... apakah kau... kau Janda Keramat"!" tanya Pandu dalam keraguan yang
besar. "Benar. Akulah Hapsari, si Janda Keramat itu, Pandu!"
"Astaga!"
Pandu membelalak.
"Belum ada dua hari kita berpisah, mengapa kau sudah menjadi setua itu, Janda
Keramat"!"
"Yaaah..., nasib!" keluh Janda Keramat dengan nada sedih. Lalu ia menceritakan
pertarungannya dengan Nyai Perawan Busik, juga menceritakan tentang
pertarungannya empat tahun yang lalu dengan Nyai Perawan Busik yang dulu juga
cantik sepertinya. Kini mereka sama-sama tua dan peot. Tapi di dalam darah tua
si nenek jubah ungu itu masih berkobar gairah bercumbu jika melihat Pandu.
"Aku... aku butuh bantuanmu, Pandu sayang...," sang nenek mencoba
bergelendot di pundak Pandu Puber.
Risi sekali digelayuti seorang nenek yang kini terbatuk-batuk itu. Tapi Pandu
mencoba bertahan untuk tidak menampakkan perasaan risinya itu.
Kasihan, dapat membuat hati sang nenek kian tersinggung dan sakit.
"Tolong pulihkan keadaanku, Pandu."
"Mana kubisa" Aku tidak tahu ramuan yang kau minum sehingga kau bisa awet muda
dan cantik seperti kemarin itu?"
"Kekuatan tenaga pembangkit serat dalam tubuhku diracuni oleh kekuatan yang
menghantamku dari Nyai Perawan Busik! Ramuan yang biasa kuminum hanya pembangkit
semangat dan pengencang serat dan urat-urat. Tapi itu semua bisa pulih kembali
jika racun yang menguasai serat daging dan urat-uratku bisa ditawarkan dengan
suatu kekuatan hawa sakti. Sedangkan hawa saktiku tak bisa kugunakan lagi karena
sudah ikut tercemari oleh racunnya si Busik celeng itu!
Tolonglah, pergunakan cahaya beningmu yang tadi kulihat kau pakai untuk
mengobati gadis berbaju merah itu!"
Pandu diam sebentar. Ia manggutmanggut dalam hati. Rupanya saat ia mengobati Awan Sari, si Janda Keramat
melihatnya dari balik
persembunyiannya. Tapi apakah si Janda
Keramat juga melihat kemunculan Dian Ayu Dayen"
"Apa saja yang kau lihat tadi?"
tanya Pandu. "Hanya cara pengobatanmu dan perdebatanmu yang menyinggung-nyinggung nama Rani
Adinda tadi. Cuma itu, sebelumnya aku tak tahu kau apakan gadis itu sehingga
sampai pingsan. Mungkin kau cumbu di luar batas, seperti kau mencumbuku" Oh,
jelas itu tak mungkin kuat dialami perempuan lain. Hanya akulah yang bisa
menandingi kekuatanmu, Pandu."
"Jangan jorok terus otakmu, ah!"
sentak Pandu, lalu mengendurkan
ketegangannya. "Begini saja, akan kucoba menggunakan 'Hawa Bening'ku, tapi...."
"Untuk apa menggunakan sayur bening" Aku tak butuh makanan...."
"'Hawa Bening', budge!" sentak Pandu geli-geli dongkol.
"Ooo.... 'Hawa Bening'"
Kedengarannya tadi kamu bilang sayur bening. Yah... maklumlah kuping tua memang
suka tulatit. Salah sambung!"
"Tapi kau mau berjanji padaku, bahwa kalau kau berhasil kusembuhkan dan menjadi
seperti kemarin, kau akan insaf"!"
" Mudah-mudahan."
"Jangan mudah-mudahan! Harus pasti! Kau harus bisa menjadi manusia
yang berwatak jujur, sabar, baik budi, suka menolong, dan... pokoknya jadi orang
baik deh! Jangan jadi orang sesat terus kayak yang udah-udah! Kau harus menjadi
tokoh aliran putih!"
"Tapi... soal kelainan gairahku bagaimana?" ujarnya dengan wajah tua memanja.
Enak untuk ditabok.
"Mudah-mudahan kelebihan
gairahmu bisa terobati dengan 'Hawa Bening'ku juga."
"Yaaah... kalau gairahku hilang, aku nggak bisa happy dong," kata suara tua yang
pletat-pletot itu. Pandu jadi ingin tertawa mendengarnya. Tapi setelah beberapa
kali diberi penjelasan, akhirnya nenek kempot itu mau berjanji akan hidup menjadi orang
baik-baik, yang tidak banyak merugikan pihak lain.
"Asal... aku tetap bersamamu, sebab aku selalu butuh asmaramu!"
"Itu tergantung bagaimana hatiku nanti!" Maka, Pandu Puber pun segera melepas
jurus pengobatannya yang hanya dimiliki oleh para dewa dan
keturunannya itu. Dan ternyata usaha itu tidak sia-sia. Janda Keramat yang
bernama Hapsari itu mengalami
perubahan sedikit demi sedikit,
Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akhirnya menjadi muda, cantik, dan seksi, seperti kemarin.
Saking gembiranya ia melonjak
dan memeluk Pandu, lalu menciuminya
dengan bertubi-tubi. Clepat, clepot, cetot...! Habis deh wajah Pandu
sebagai pelampiasan ucapan terima kasih sang janda.
Sang Janda pun akhirnya berbisik dalam pelukan, "Tapi... kok gairahku belum bisa
hilang pula" Masih
menggebu-gebu seperti kemarin tuh.
Gimana ini, Pandu?"
"Gawat...!" gumam Pandu dengan merenung bingung.
TUJUH JANDA KERAMAT yang cantik dan
menggairahkan itu tetap mendesak Pandu Puber untuk melupakan Rani Adinda dan
kasus Hantu Putih. Tentu saja itu dinilai Pandu sebagai sikap egois sang janda
berambut perak dan berkulit putih mulus tersebut. Pandu tidak mau terpengaruh
sikap egois tersebut. Ia tetap menuju ke Bukit Gerhana untuk selesaikan
persoalan tersebut. Karena Sawung Seta harus pertanggungjawabkan perbuatannya
terhadap istri Sultan, alias ibu Rani Adinda. Setidaknya Pandu harus bicara
dengan gurunya Sawung Seta tentang nasib Rani Adinda yang ditolak kesultanan dan
mempunyai syarat untuk membunuh Sawung Seta agar diterima kembali oleh
keluarganya. Pandu mendesak Janda Keramat untuk temui Layang Petir, si guru Sawung Seta itu.
"Aku tidak bersedia mengantarmu ke Bukit Gerhana!" kata Janda Keramat dengan
tegas. "Aku sudah menolongmu, kenapa kau tak mau menolongku?"
"Aku... aku... ah, pokoknya aku tak mau ke sana!"
"O, mungkin kau takut terpikat lagi oleh Sawung Seta?"
Janda Keramat mencibir.
"Hmmm...! Tak ada lelaki lain yang
bisa memikatku sekarang ini, Pandu.
Biar ada seribu ketampanan Sawung Seta, aku sudah tidak tertarik lagi untuk
menjajal kehebatan jurus
cintanya. Seolah-olah, jiwa, raga, sukma, dan batinku telah terkuasai oleh jurus
cintamu, Pandu!"
"Habis, kenapa kau tak mau
antarkan aku ke Bukit Gerhana?"
Janda Keramat diam sebentar, ada keraguan yang terbendung di ujung lidahnya.
Tapi pada akhirnya ia pun berkata,
"Aku takut kepada Layang Petir!"
"Ooo... jadi itu sebabnya kau tak berani ke sana?" Pandu tersenyum berkesan
meremehkan. Janda Keramat hanya mengangguk dan segera buang muka, sepertinya
menahan kedongkolan dalam hati yang ingin ditentangnya sendiri.
"Jika kau ingin ke sana, aku hanya bisa mengantarmu sampai di seberang sungai.
Setelah itu berjalanlah terus ke selatan dan kau akan sampai di Bukit Gerhana yang bentuknya
seperti bulan separo
bagian." "Baiklah kalau begitu!"
"Tapi janji, ya" Habis itu kau pulang ke pondokku. Oke?"
"Itu bisa diatur!" jawab Pandu sengaja memberi jawaban mengambang.
Karena ia sendiri tak tahu apakah
setelah menyelesaikan urusan Hantu Putih ia akan kembali ke pondoknya Janda
Keramat atau pergi ke tempat lain"
Sebelum mereka sampai di tepian
sebuah sungai yang menjadi batas wilayah Bukit Gerhana, langkah mereka terhenti
bukan karena dihadang oleh lawan siapa pun, melainkan karena menemukan sesosok
mayat terkapar di bawah pohon. Pandu terkejut dan segera berseru di luar
kesadarannya, "Adinda..."!"
Ya, memang Rani Adinda yang
terkapar di sana dengan tubuh terluka panjang. Luka yang mengucurkan darah itu
menandakan luka bekas sabetan pedang. Tubuh itu membiru, berarti pedang itu
mempunyai racun yang
berbahaya jika menggores kulit
manusia. Dilihat dari kesegaran
darahnya dan masih hangat, berarti Rani Adinda baru saja melangsungkan
pertarungan. Mungkin musuhnya belum jauh dari tempat tersebut. Pandu Puber
segera mencari dengan gerakan cepatnya ke berbagai penjuru. Namun ia tidak
menemukan siapa-siapa di sana. Ia kembali ke tempat Rani Adinda terkapar dengan
wajah penuh kekecewaan.
Janda Keramat berkata, "Dia belum meninggal. Kurasakan ada denyut nadinya, tapi
lemah sekali!"
Pandu tegang, segera memeriksa
denyut nadi Rani Adinda dengan
menempelkan tangannya ke dada montok itu. Janda Keramat menampel tangan Pandu
keras-keras. Plak! "Jangan periksa daerah itunya dong! Sini lho... di pergelangan tangan! Uuuh...
dasar cowok ganjen!"
umpatnya sambil bersungut-sungut.
Sebenarnya kalau Pandu tidak
tegang, ia akan tertawa melihat
kecemburuan Janda Keramat. Tapi karena ia masih serius, ia tak bisa
menertawakan hal itu.
"Benar, masih ada sisa denyut nadinya! Kalau begitu masih
memungkinkan untuk kusembuhkan! Akan kucoba!"
"Ah, sudahlah! Tinggalkan saja, cepatlah pergi ke bukit!"
"Jangan begitu! Kau pasti suka kalau dia mati kan?"
"Biar tak ada saingan lagi!"
"Sainganmu bukan hanya dia!"
kata Pandu sambil bersiap melepaskan jurus 'Hawa Bening'-nya. Janda Keramat
akhirnya menjauh dan bersikap tak mau tahu tentang apa yang dilakukan Pandu.
Ia memang tak ingin gadis itu hidup karena dapat menghambat perhatian Pandu
terhadap dirinya.
Ternyata Rani Adinda memang
belum mati secara tuntas. Sisa denyut nadinya sangat menentukan nasibnya
saat itu. Dan kedatangan Pandu
ternyata belum terlambat. Gadis
berdada pabrik susu itu akhirnya dapat disembuhkan dan menjadi sehat kembali.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Pandu kepada Rani Adinda.
"Awan Sari!" jawab Rani Adinda.
"Aku bertemu dengannya di sini dan ia menyangka ku telah mencelakainya dl
depanmu. Padahal aku merasa sedang kebingungan mencarimu, Pandu! Ku jelaskan
berulang kali, tapi dia tetap ngotot dan menuduhku menyerangnya sampai ia hampir
mati. Katanya, untung segera ditolong olehmu, jadi ia punya kesempatan untuk
menebus kekalahannya itu! Ah, aku tak mengerti apa
maksudnya sebenarnya!"
Pandu hanya bisa prihatin
mendengar cerita itu. Baginya amat sulit menceritakan apa sebenarnya yang
terjadi, baik kepada Rani Adinda ataupun kepada Awan Sari. Kemunculan Dian Ayu
Dayen dan statusnya sebagai bidadari adalah sesuatu yang sukar dipercayai oleh
setiap orang. Karenanya Pandu hanya bisa diam dan menyimpan kenyataan itu di dalam hatinya.
"Oh, rupanya kau datang bersama si jalang itu?" kata Rani Adinda begitu melihat
Janda Keramat. Pandangan mata si Janda Keramat
menjadi nanar setelah mendengar ucapan
sinis Rani Adinda.
"Apakah kau tak malu berjalan bersama janda rakus itu, Pandu?"
"Adinda, sudahlah...!" bujuk Pandu Puber yang mencemaskan
pertarungan di antara mereka berdua.
"Jaga mulutmu, Bocah Liar!" kata Janda Keramat dengan kasar sambil menuding Rani
Adinda. "Sudah merebut kekasihku,
sekarang ingin merebut sahabatku lagi"
Hmm... benar-benar nggak tahu malu kau ini! Rakusmu kelewat batas, Janda Kodok!
Kenapa harus orang-orang yang dekat denganku yang kau ganggu dan kau racuni
dengan kemesraan setanmu itu, hah"!"
"Sekarang kau mau apa sebenarnya sih" Mau apa"!" Janda Keramat dekati sambil
tolak pinggang. Pandu membatin,
"Membosankan sekali! Perkaranya cuma begitu-begitu melulu. Tapi, yah...
maklumlah, saling terkait sih, jadi ya... ya... memang harus begini!"
Sambil membatin demikian ia menengahi pertengkaran tersebut. Ia berkata kepada
Janda Keramat dengan suara pelan,
"Jangan layani emosinya!
Pulanglah, nanti setelah keselesaikan masalahku dengannya aku akan ke
pondokmu dan kita akan berlayar
melewati samudera kemesraan lagi."
"Tapi dia kurang ajar padaku,
dan..." "Pulanglah!" ucap Pandu lirih, sabar, tapi punya penekanan.
"Jangan bikin aku jengkel, nanti aku tak mau datang lagi padamu."
"Mau pulang kek, mau ngelayap kek, itu urusanku!" kata Janda Keramat dengan hati
dongkol kepada Pandu.
Sebelum si janda pergi ia sempat tarik napas dalam-dalam. Memandang benci kepada
Rani Adinda. Yang
dipandang malahan menyentak sambil tolak pinggang dan sedikit majukan dada,
"Apa lu..."! Apa lihat-lihat begitu, hah"!"
Memang lucu kalau lihat dua
cewek cekcok gara-gara cemburu. Lucu dan seru, tapi kadang juga
membosankan. Hanya saja, kasus saling cemburu ini rupanya punya ujung
masalah yang menuju kepada misteri Hantu Putih. Pada dasarnya sih, Rani Adinda
tidak cemburu kepada Janda Keramat. Cuma dia sakit hati gara-gara hubungannya
diganggu oleh si Janda Keramat yang membuatnya kini membenci Sawung Seta.
Bagaimana nggak sakit hati kalau Rani Adinda melihat dengan mata kepala sendiri,
bukan dengan mata kaki, bahwa Janda Keramat merenggut tubuh Sawung Seta dan
menciuminya dengan bebas merdeka" Sudah begitu, eh... si Sawung
Seta pakai ikut-ikut kasih balasan segala. Mana tangannya ke mana-mana lagi.
Uuuh...! Karuan saja Rani Adinda muak dengan Sawung Seta. Cintanya yang dulu
tumbuh subur langsung layu dan mati dimakan rayap.
"Lalu, bagaimana kau bisa lolos darinya?" tanya Pandu, setelah Janda Keramat
pergi. "Yah, terpaksa kukibulin dulu!"
jawab Rani Adinda. "Setelah ia sembuhkan aku dari luka serangannya itu, aku
berlagak tenang. Tapi selalu mengelak jika ingin dijamahnya.
Setelah badanku terasa segar dan kuat, aku melarikan diri darinya."
"Apakah dia tidak mengejarmu?"
"Memang mengejarku, tapi segera terhenti karena ia mendengar panggilan dari
gurunya." "Jadi, sekarang dia ada di
mana?" "Di pesanggrahan sang Guru!"
"Apakah..., o, ya... Awan Sari sendiri pergi ke sana setelah
melukaimu?"
"Mana kutahu" Aku kan dalam keadaan sekarat" Masa' harus
memandangi kepergiannya dulu baru sekarat sih" "
"Maksudku," kata Pandu sambil tersenyum geli, ".... Apakah dia menyinggungnyinggung akan pergi ke perguruanmu?"
"Nggak! Agaknya ia cukup puas bisa bertemu denganku. Sebenarnya apa sih yang
terjadi padanya, Pandu?"
Pandu hanya menarik napas, tetap tak mau ceritakan hal yang sebenarnya.
Ia malah mengalihkan percakapan,
"Sebaiknya kita temui Sawung Seta ke pesanggrahan sang Guru!"
"Ogah, ah!" sentak Rani Adinda.
"Kita selesaikan masalahmu dari sana!"
"Maksudmu?"
"Aku kenal dengan gurunya Sawung Seta! Aku akan bicara pada Layang Petir tentang
sikapnya selama ini!"
"Ah, malas! Nanti dia macem-macem lagi sama aku!"
"Kalau kau ingin selesaikan masalahmu, kalau kau ingin diterima kembali sebagai
keluarga kesultanan, kau harus menemui gurunya Sawung Seta!"
Kini dahi si cantik berdada
besar yang dari tadi dilirik nakal oleh Pandu Puber itu menjadi berkerut.
Dahinya yang berkerut lho, bukan dadanya! Gadis itu merasa heran dan curiga
dengan maksud kata-kata Pandu.
"Apakah gurunya Sawung Seta ada hubungannya dengan Hantu Putih?"
Pandu Puber diam sebentar,
mempertimbangkan jawabannya. Beberapa saat kemudian, berkata ia kepada Rani
Adinda dengan hati-hati.
"Kudengar kabar dari seseorang, Sawung Seta itu gigolo, maksudnya sering
melayani wanita kesepian dengan sejumlah upah yang dijanjikan. Apakah kau tak
pernah mendengar kabar itu?"
Dengan lesu Rani Adinda
menjawab, "Memang sih, aku pernah juga dengar kabar begitu. Tapi ia ngaku tak
pernah lakukan hal itu. Bahkan berani sumpah-sumpah segala. Aku sih percaya
saja!" "Sumber informasiku mengatakan, jijik kepada Sawung Seta karena ia sering layani
perempuan lain. Nah, apakah tak menutup kemungkinan jika kehebatan cintanya itu
sampai didengar oleh masyarakat dalem kesultanan"
Menurutmu bagaimana?".
"Maksudmu...
maksudmu ibuku mendengar hal itu dan memanggil Sawung Seta untuk berskandal ria" Begitu"!"
Pandu sulit lagi menjawabnya.
Tak sampai hati. Tapi ia punya
diplomasi sendiri untuk membuat gadis itu menjawab pertanyaannya sendiri.
Dengan kalem dan hati-hati Pandu berkata,
"Orang yang membuat ibumu
tergila-gila cinta adalah Hantu Putih.
Apakah tak terbayang olehmu bahwa orang yang berjuluk Hantu Putih itu adalah
orang yang gemar mengenakan pakaian serba putih?"
"Sawung Seta juga mengenakan
pakaian serba putih, tapi... tapi...,"
Rani Adinda tertegun sejenak, lalu berkata lagi dengan suara lirih karena
memendam geram.
"Kalau begitu, Sawung itulah si Hantu Putih yang harus kubunuh"!"
"Jangan mudah menyimpulkan hal itu. Kita harus bicarakan dulu
kepadanya dan di depan gurunya kita utarakan kasusmu ini!"
Dada gadis itu sudah naik turun.
Bukan dibuat mainan sepasang tangan, tapi karena napas amarahnya mulai menggebugebu. Naik turunnya dada itu menjadi pusat perhatian Pandu sesaat, tapi hanya
sesaat. Karena Pandu tak membiarkan pikirannya berkelana.
Kemudian Pandu melanjutkan
perjalanannya ke Bukit Gerhana. Kali ini ia didampingi oleh Rani Adinda.
Hawanya lain. Merasa lebih indah didampingi Rani Adinda daripada si Janda
Keramat. Debar-debar keindahan di dalam hati Pandu bukan semata-mata debar-debar
kemesuman, melainkan debar-debar seni bercinta. Rasa-rasanya Pandu ingin
berjalan lebih jauh lagi bersama gadis berdada luber itu ketimbang berjalan
bersama seekor sapi.
Namun tiba-tiba tangan Pendekar
Romantis segera menyambar lengan Rani Adinda. Bahkan tubuh Rani Adinda diseret
di balik semak-semak, mulutnya
dibekap dengan tangan Pandu.
Rani Adinda sempat gelagapan dan membatin, "Wah, asyik mau diperkosa!"
"Ssst...! Jangan bicara apa-apa dulu, dengarkan percakapan di balik rumpun bambu
sebelah timur itu!"
Bisikan Pandu dimengerti, Rani
Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adinda manggut-manggut. Tapi tubuh Rani Adinda tak mau bangkit, masih merebah
saja dalam pelukan Pandu walau mulutnya telah dilepas dari bekapan tangan Pandu.
Entah keenakan atau memang lupa
bangkit lagi, yang jelas dahinya jadi berkerut kala didengarnya suara
percakapan dua orang di balik pohon bambu yang rimbun itu.
"Tidak! Aku tidak mau kembali padamu, Sawung Seta! Aku sudah punya pilihan lain.
Sebaiknya kau kembali saja kepada Rani Adinda, supaya
kekasihmu itu tidak mengganggu
kemesraanku dengan pacar baruku!"
Rani Adinda berbisik kepada
Pandu, "Suaranya seperti suara si Janda Keramat!"
"Memang dia. Dan lawan bicaranya adalah Sawung Seta! Rupanya dia tadi tidak
pulang ke pondoknya, tapi
menemui Sawung Seta lewat jalan pintas lain."
"Iya. Kurasa...."
"Sssst...!" Pandu menempelkan telunjuknya di bibir gadis itu. Tapi
perhatian Pandu segera terpusat ke percakapan di balik semak bambu itu.
"Rani Adinda sudah benar-benar tak mau lagi kujamah. Ia kecewa berat melihat
kita bermesraan tempo hari itu!"
"Bujuk dia dengan caramu
sendiri. Yang jelas jangan ganggu aku lagi. Aku tak mau melayani
keinginanmu, Sawung!"
"Ah, kau kejam nian. Satu kali saja masa' nggak mau sih?"
"Sekali kubilang tidak, tetap tidak!"
"Apakah kau juga tidak ingin lagi bercinta dengan Wirayoso?"
"Kepadanya pun aku sudah tak mau lagi menemuinya!"
"Juga tak mau lagi bercinta dengan Nirmala Weni?"
"Tidak. Aku sudah tidak mau bercinta dan kencan dengan siapa pun kecuali
dengannya!"
"Maksudmu, kau hanya ingin
bercinta dengan Gusti Lesung Dewi?"
"Kepada Gusti Lesung Dewi pun tidak. Aku hanya inginkan Pandu!"
Rani Adinda berbisik tegang,
"Gusti Lesung Dewi itu ibuku!"
"Ssst...!"
Lalu terdengar lagi kata-kata
Sawung Seta yang merayu penuh harapan untuk bisa bercumbu.
"Kau tega membiarkan aku
kesepian, Hantu Putih?"
"Aku sudah tidak ada urusan apa-apa lagi denganmu."
"Tapi, tidakkah kau ingin
memberikan salam perpisahan yang terakhir kalinya padaku, Hantu
Putih"!"
"Cukup dengan bicara begini saja!"
Wajah Rani Adinda menjadi merah
bagai terpanggang matahari dari jarak satu jengkal. Pandu Puber sendiri menjadi
tegang dan terbungkam di tempat itu. Percakapan mereka yang masih terus
berlangsung sudah tidak terdengar lagi oleh Pandu dan Rani Adinda.
"Ternyata Janda Keramat itulah yang berjuluk Hantu Putih"!" gumam Rani Adinda
dengan suara bisikan bergetar.
"Mungkin karena rambutnya yang putih perak dan badannya yang putih mulus, maka
ia dikenal dengan nama Hantu Putih, khususnya bagi orang-orang yang menjadi
langganan kencan dengannya. Rupanya pula Janda Keramat bukan perempuan normal
lagi. Selain dengan lelaki, ia juga gemar bercinta dengan perempuan. Dan bagi
seorang perempuan yang belum pernah merasakan kencan dengan sejenis, ia akan
ketagihan karena penyakit kejiwaan dan kelainan cinta itu dapat menular pada
diri orang yang sebenarnya waras."
"Kalau begitu aku harus segera membunuhnya!"
"Hei, tunggu...!"
Wuuut...! Rani Adinda sudah tak bisa
ditahan lagi gerakannya. Ia berkelebat cepat tanpa pedulikan lagi tentang
Pendekar Romantis. Begitu muncul di pertengahan jarak antara semak dengan
rimbunan bambu, tangannya menyentak dan cahaya merah bagai gumpalan api
menghantam pepohonan bambu itu.
Wuuus...! Duaaar...!
Pohon bambu sebegitu banyaknya
buyar mendadak. Pecah ke mana-mana bagaikan diterjang terpedo. Dua orang yang
ada di balik pepohonan bambu itu pun terpental dan jatuh tunggang langgang.
"Gawat! Rani Adinda mengamuk!"
pikir Pandu Puber. "Apa yang harus kulakukan kalau begini" Mencegah pertarungan
atau membiarkannya" Serba salah saja rasanya kalau begini!"
"Sekarang terbuka sudah kedokmu, Hantu Putih!" seru Rani Adinda dengan lantang.
"Kaulah yang selama ini merusak bayang-bayang masa depanku!
Sekarang kau harus berhadapan
denganku! Majulah!"
Pandu Puber segera dekati Rani
Adinda dan berbisik, "Serahkan padaku.
Aku akan menangkapnya, jangan terjadi
pertumpahan darah."
"Diam kau!" bentak Rani Adinda bagai tak kenal siapa orang yang dibentaknya.
Pandu Puber maklum, segera jauhi gadis yang sedang
mengamuk itu. Sementara itu, Janda Keramat dan Sawung Seta sudah bergegas
bangkit dan kini segera menghampiri Rani Adinda.
"Kau benar-benar setan yang perlu kuhancurleburkan, Rani!" geram Janda Keramat
dengan kemarahannya pula akibat rasa kaget yang membuat
tubuhnya nyaris babak belur kalau tak segera pergunakan ilmu pelapis diri dengan
tenaga dalamnya.
"Tugasku adalah memenggal
kepalamu, Janda Keramat! Kau telah mengacak-acak tubuh ibuku seenaknya dan
membuat ayahku kehilangan
kebahagiaan rumah tangga! Sekarang saatnya aku membalaskan sakit hati ayahku,
Hantu Putih!"
"Bagus! Aku pun ingin memenggal kepalamu dengan jurus 'Surya Pedang Malaikat'
ini. Hiaaah...!"
Janda Keramat yang berambut
putih perak itu melompat dalam keadaan rambutnya meriap mekar, mirip seekor
merak. Tapi dari ujung telunjuknya keluar sinar merah yang bergerak dari kanan
ke kiri dalam keadaan memanjang mirip besi.
Claaap...! Wuuus...!
Rani Adinda merundukkan badan,
sinar merah berkerliap lewat atas kepalanya, menghantam pohon dan pohon itu
terpotong seketika tanpa suara apa pun kecuali suara, craaas...!
Rani Adinda sendiri keluarkan
jurus simpanannya. Ia berguling satu kali di tanah, lalu bangkit dengan satu
kaki berlutut. Dan tangannya segera mengambil sesuatu dari belahan dada
lubernya. Lalu sesuatu itu
dilemparkan ke arah Janda Keramat yang sedang mendarat dari lompatannya tadi.
Ziiing...Ziiing...!
Jurus itu rupanya jurus pelempar senjata rahasia yang berbentuk
lempengan logam baja putih menyerupai bunga matahari. Dua senjata rahasia
melesat menghantam tubuh Janda
Keramat. Tetapi si Janda Keramat atau si Hantu Putih ganti merundukkan badan dan
kepala hingga senjata itu lewat di atas kepalanya. Di belakang sana ada pohon,
dan senjata itu menghantam pohon.
Deb, deb...! Oh, ternyata senjata itu
memantul balik dalam keadaan cepat dan berubah jumlahnya menjadi empat.
Rupanya senjata itu setiap memantul balik jumlahnya akan bertambah dengan
sendirinya. Janda Keramat bersalto ke sana-sini menghindari senjata
tersebut. Tapi keempat senjata itu
akhirnya membentur gugusan batu cadas.
Sraaak...! Weeersss...!
Empat senjata yang memantul
kembali itu kini menjadi delapan buah dan semuanya menyerang ke arah Janda
Keramat. Pandu Puber dibuat bengong melihat kehebatan senjata rahasia itu.
Menurutnya Janda Keramat bisa mati kalau tidak segera hancurkan kedelapan
senjata rahasia tersebut.
Dugaan Pandu memang benar. Janda Keramat juga berpikir demikian. Maka dengan
satu sentakan bersama, dua tangannya melepaskan sinar hijau tua yang menyerupai
gumpalan kabut,
semakin jauh dari tangan semakin besar bentuknya dan kedelapan rombongan senjata
aneh itu dihantamnya dalam satu hantaman sekaligus.
Praang...! Blegaaar!
Ledakan itu membuat tanah
bagaikan terlonjak naik dan menggeliat liar. Pohon-pohon banyak yang tumbang
karena akarnya bagaikan terdongkel dari kedalaman tanah. Tubuh kedua perempuan
itu saling terlempar terbang karena daya hentak ledakan dahsyat tadi. Termasuk
Pandu dan Sawung Seta juga ikut terjungkal tak tentu arah.
Ketika dua pemuda itu sama-sama
bangkit berdiri, ternyata jarak mereka tidak terlalu jauh. Mata mereka saling
pandang. Tapi mata Sawung Seta tampak lebih tajam dan nanar, bagaikan
memancarkan permusuhan. Pandu Puber mulai merasakan adanya niat tak beres di
hati Sawung Seta.
Ternyata firasatnya itu memang
benar. Sawung Seta tiba-tiba
menyerangnya dari belakang ketika Pandu hendak menengahi pertarungan kedua
perempuan itu dengan caranya sendiri. Tendangan kaki yang
berkelebat cepat bersama raganya itu membuat Pandu Puber berbalik arah, dan
menangkisnya dengan kedua tangan berkelebat cepat.
Plak, plak, duuus...! Satu
pukulan pada mata kaki diderita oleh Sawung Seta yang membuat pemuda itu
tersentak dan jatuh sambil menyeringai kesakitan, ia tak mampu berteriak saking
sakitnya. Rupanya pukulan Pandu di mata kaki lawan disertai tenaga dalam yang
mampu membuat mata kaki itu terasa hampir pecah. Jika yang dipukul mata kaki
orang biasa tanpa ilmu, pasti sudah pecah menjadi mata sapi atau menjadi apa,
entahlah" "Mengapa kau menyerangku"!"
hardik Pandu dengan sikap masih
tenang, sebentar-sebentar matanya melirik ke arah pertarungan Rani Adinda dengan
Janda Keramat yang makin seru itu.
"Kau adalah penyebab hancurnya kebahagiaanku!" tuding Sawung Seta kepada Pandu.
"Kau yang membuat hati
Adinda beralih dariku dan juga membuat kemesraan Hantu Putih itu pergi
dariku! Kau memang iblis yang perlu dimusnahkan juga rupanya! Heaaat...!"
Pandu Puber segera melenting ke
udara dan bersalto satu kali ketika Sawung Seta lepaskan pukulan bersinar merah
bagaikan telur angsa. Pukulan bersinar merah itu akhirnya menghantam batu dan
batu tersebut hancur
seketika. Praaak...! Tak ada ledakan yang ditimbulkan akibat benturan sinar
merah dengan batu itu,
Pandu Puber segera lepaskan
pukulan jurus 'Salam Sayang'nya. Kedua tangan menyodok lurus dengan semua jari
mengeras dan dilakukan secara berturut-turut. Cepat sekali.
Wut, wut, wut, wut...!
Dari ujung jari itu keluar
tenaga dalam yang cukup besar tanpa sinar. Menghantam telak beberapa kali di
dada Sawung Seta. Akibatnya tubuh Sawung Seta tersentak-sentak mundur dengan
badan melengkung dan tangan merenggang lemas. Yang terakhir dari sentakan lurus
tersebut membuat Sawung Seta jatuh terjungkal dengan keluarnya erangan tertahan
yang memanjang.
"Huuuhgg...!"
Gusrak...! Ia jatuh di bekas
pecahan pepohonan bambu tadi. Matanya mendelik bagaikan sukar bernapas.
Mulutnya ternganga-nganga. Sikunya
berdarah karena tergores keruncingan pecahan bambu. Bahkan dari mulutnya tampak
mengalir darah walau tak
banyak. Pandu Puber ingin segera hampiri Sawung Seta untuk tanyakan: Mau
diteruskan atau berhenti sampai di situ saja" Tapi niatnya segera
dibatalkan begitu ia melihat keadaan Rani Adinda terdesak oleh serangan Janda
Keramat. Tubuh gadis berdada besar itu
terhempas dan membentur pohon ketika sinar biru dari lima kuku Janda
Keramat menyergapnya dari samping, menghantam bagian rusuk si gadis.
Tampak pula asap mengepul dari baju yang terbakar dan kulit yang hangus itu.
Sedangkan tubuh Rani Adinda tergeletak tak berkutik lagi di bawah pohon itu.
Keadaannya sangat parah.
"Sekarang saatnya menghancurkan jasadmu, Kecoa!" teriak Janda Keramat yang
segera merapatkan kedua tangan di atas kepala. Lalu kedua telapak tangan yang
saling merapat itu disentakkan secara tiba-tiba sehingga keluarkan sinar biru
besar melesat ke arah tubuh Rani Adinda.
Wuuusss...! Namun bertepatan dengan
terbukanya dua telapak tangan itu, kaki Pandu sudah mendahului menerjang
punggung Janda Keramat dengan gerak
'Angin Jantan'nya.
Druuk...! Wuuus...!
Akibatnya sinar itu melesat
dalam keadaan miring dan meleset mengenai seonggok batu. Sementara tubuh si
Janda Keramat tersungkur babak belur.
Blaaam...! Batu itu menjadi tepung hitam.
Halus sekali. Itulah kedahsyatan sinar birunya Janda Keramat. Seandainya tepat
kenai tubuh Rani Adinda, entah apa jadinya gadis itu.
"Hentikan pertarungan ini!"
bentak Pandu kepada Janda Keramat yang masih bermaksud menyerang Rani Adinda.
Tetapi seruan itu tidak dihiraukan, sehingga Pandu terpaksa menyerangnya lagi
ketika Janda Keramat ingin
pergunakan jurus sinar biru seperti tadi.
Wuuut...! Kedua tangan Pandu menguncup,
lalu dihantamkan ke rusuk, ketiak, dan leher sang janda.
Des, des, des...! Totokan
bergerak cepat membuat Janda Keramat jatuh terpuruk bagaikan karung tanpa beras.
Brruk...! Tubuhnya lemas, tak
bisa bergerak, tak bisa bicara, bahkan tak bisa berkedip. Ilmu totokan yang
dipergunakan Pandu itu bernama jurus
'Cocor Bebek'. Ia menamakan jurus itu
seenaknya saja karena ia tak tahu nama aslinya.
Treeet...! Tetet, tetet,
treeeet...! Sawung Seta pergunakan senjata terompet kecilnya. Suara yang keluar
ternyata mempunyai getaran tenaga dalam tinggi, hingga Pandu terpelanting dan
jatuh berlutut sambil pegangi kupingnya, menutup rapat-rapat. Gendang telinga
terasa mau pecah. Ia menggeliat-geliat kesakitan.
"Treeet... treeet, teet,
teooot!" Plook! Brruk...!
Ada orang yang menampar Sawung
Seta membuat suara terompetnya hilang dan pemuda itu terpelanting jatuh, lalu
diam tak bergerak dalam keadaan terkapar. Sawung Seta pingsan hanya karena satu
tamparan seseorang yang baru saja muncul di tempat itu. Orang tersebut adalah
gurunya sendiri: Layang Petir.
"Bocah dogol!" maki si Layang Petir yang berjubah biru lusuh dan berambut putih
panjang sepunggung tapi diikat ke belakang. Si tubuh kurus itu memaki kembali,
"Kayak udah jago aja lu, Tong!
Berani-beraninya melawan anak dewa!
Nggak mampus seketika sudah untung lu!"
Lalu, tokoh tua yang usianya
sudah mencapai sembilan puluh tahunan
Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu segera temui Pandu Puber. Saat itu Pendekar Romantis sedang salurkan hawa
murninya ke telinga, sehingga rasa sakit di telinga mulai berkurang.
"Maafkan kelancangan muridku, Pandu!"
"Pak Tua...," sapa Pandu lirih bagai sedang sibuk menahan rasa sakit di kepala
dan telinganya walau sudah berkurang juga, namun masih ada sisa sakit yang perlu
ditahan. Pandu memanggil Layang Petir
dengan sebutan 'Pak Tua', sebab memang begitulah permintaan Layang Petir saat
bertemu Pandu dan Dardanila di dalam gua, (Guanya ada di serial Pendekar
Romantis episode : "Patung Iblis Banci"). Sejak peristiwa penghancuran patung
itu, Pandu dan Pak Tua
bersahabat dengan baik. Tapi Pandu tak tahu kalau Pak Tua punya murid Sawung
Seta. Tahunya ya dalam kasus Hantu Putih ini.
"Apa permasalahannya sampai muridku berani sok-sokan di depanmu, Pandu Puber,
Pendekar Romantis, Anak Dewa, Bocah Tampan"!"
"Bagaimana"!" Pandu ganti bertanya karena telinganya budeg, masih berdengungdengung. Layang Petir bertanya lagi, dan Pandu menjelaskan masalahnya. Lalu,
Layang Petir berkata, "Kalau begitu, tangkap dan
bawalah Janda Keramat, si Hantu Putih.
Serahkan kepada Sultan dan biar Sultan yang memutuskan hukumannya. Sementara
itu, bawa pula putrinya supaya kau tidak nyasar ke panti pijat!"
"Baik, Pak Tua! Aku pun punya rencana begitu!" jawab Pandu yang segera mengobati
luka Rani Adinda, lalu menyerahkan Hantu Putih ke tangan Sultan Danuwija,
babenya si gadis berdada pabrik.
SELESAI Segera terbit!!!
KITAB PANCA LONGOK
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Lengan Buntung 2 Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Perawan Lembah Wilis 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama