Ceritasilat Novel Online

Geger Ratu Racun 1

Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun Bagian 1


Dunia persilatan digemparkan dengan munculnya seorang
wanita berpakaian hitam-hitam dan bercadar merah darah.
Dengan kedahsyatan racunnya, dia dikenal dengan julukan
Ratu Racun. Setumpuk pertanyaan melanda Pendekar Slebor.
Dari golongan mana Ratu Racun sebenarnya" Hitam atau
putih" Mengapa dia membunuh beberapa begal yang memiliki
kesaktian tinggi" Kenapa pula harus membunuh orang yang
lemah tanpa alasan" Dengan setumpuk kecerdikan dan
kekonyolannya, Pendekar Slebor mengungkap misteri di balik
Geger Ratu Racun Dan, tanpa diduga, Pendekar Slebor pun
menemukan seseorang yang amat dekat dengan dirinya. Siapa
dia" Serial Pendekar Slebor dalam episode :
GEGER RATU RACUN
DJVU by Ani KZ http://kangzusi.com/
Pijar El GEGER RATU RACUN
CINTAMEDIA penerbit buku silat bermutu
GEGER RATU RACUN
oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperb
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor dalam episode: Geger Ratu Racun
128 hal. 1 Hutan Watuabang yang begitu lebat membuat sinar
mentari siang ini tak mampu menerabas hingga ke tanah.
Terlebih lagi di malam hari. Ketika gelap telah menyelimuti
permukaan bumi, maka hutan menjadi pekat seperti tempat
berkumpulnya para makhluk halus.
Di wilayah timur kekuasaan Kerajaan Alengka, Hutan
Watuabang terhampar. Perbukitan yang menjadi latar
belakangnya, semakin menampakkan keangkeran-nya. Daerah
ini memang masih berada di kaki pegunungan. Maka tak
heran kalau udara di Hutan Watuabang menjadi dingin
menusuk. Tidak saja pada malam hari. Bahkan kala s iang pun
udara masih terasa cukup menggigit kulit.
Di kaki pegunungan inilah berdiri sebuah bangunan besar
yang berpagar balok-balok kayu randu hutan berdiri.
Bangunan dari papan itu beratapkan pelepah kelapa kering
yang sudah berwarna coklat matang. Bentuknya yang terlihat
seadanya, membuat bangunan ini tidak sedap dipandang.
Kayu randu yang dijadikan dinding tidak pula dihaluskan.
Sehingga warna dinding bangunan ini tampak suram. Bahkan
lumut hijau dan tebal sudah menutupi permukaan dindingdindingnya. Belum ada yang tahu kalau di tempat itulah sisa-sisa
pengikut Begal Ireng menetap. Mereka sengaja membuat
markas di sana untuk menghindari pengejaran dari prajurit
Kerajaan Alengka (Untuk jelasnya, baca serial Pendekar Slebor
dalam episode "Dendam dan Asmara").
Memang, setelah Begal Ireng tewas di tangan Pendekar
Slebor, sisa pasukan pemberontak ini dipimpin oleh seorang
yang bernama Kranggaek. Dia dulu adalah kaki tangan Begal
Ireng, yang merupakan tokoh aliran sesat jajaran atas. Sepak
terjangnya juga tak kalah menggiriskan. Banyak tokoh hitam
yang mengakui kehebatannya.
Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun itu bertubuh tinggi
besar. Gagah berotot, meski usianya sudah menjelang senja.
Kulitnya sawo matang. Rambutnya yang dipangkas tipis,
melengkapi penampilan garangnya. Wajahnya angker,
seangker Hutan Watuabang. Matanya seperti menjorok keluar,
alisnya tipis, serta hidung dan bibirnya besar.
Di rumah yang tak begitu sedap dipandang ini, suasana
ramai tampak terdengar semarak. Suara gelak tawa yang
ditingkahi teriakan-teriakan kegembiraan, mengisyaratkan
kalau di tempat itu sedang diadakan pesta. Sore ini,
Kranggaek dan anak buahnya memang tengah merayakan
keberhasilan mereka dalam perampokan di sebuah desa tadi
pagi, tanpa diketahui pihak istana.
Di kursi kebesarannya, Kranggaek
duduk sambil meletakkan kakinya di atas meja. Rompi hitamnya tampak
tersingkap lebar-lebar, memperlihatkan dada bidang yang
berbulu lebat. Celana merahnya terangkat sebatas lutut,
membuat otot-otot betisnya yang menonjol terlihat jelas.
"Semoga iblis hutan ini ikut senang atas keberhasilan kita!"
kata Kranggaek sambil mengangkat gelas bambu berisi tuak.
Sementara anak buahnya yang duduk di kursi masingmasing, mengelilingi meja besar terbuat dari kayu jati kasar,
menyambut ucapan itu dengan tawa lebar. Jumlah mereka
yang mencapai dua puluh tiga orang, menyebabkan tawa itu
terdengar menggelegar riuh, menggetarkan dinding markas
ini. "Ha ha ha...! Jayalah para penjahat negeri ini!" seru
seorang anak buahnya.
"Ya," sambut Kranggaek lantang. "Dan mudah-mudahan,
para iblis seluruh jagat mengirim wabah bagi para pendekar
yang bersikap sok pahlawan!"
Kembali tawa riuh menggema, diiringi tegukan tuak keras
di gelas bambu masing-masing hingga tandas. Dari sebuah
lodong bambu besar tempat menyimpan tuak, mereka mengisi
kembali gelas bambu masing-masing, kemudian meneguknya
kembali. Ketika makin banyak tuak masuk ke dalam rongga perut,
kedua puluh tiga orang itu mulai mabuk. Mulut mereka
mengoceh kian kemari, mengucapkan perkataan yang tidak
senonoh. Pikiran yang telah berkarat dengan warna hitam
keangkaramurkaan, kini makin dikotori oleh pengaruh
minuman keras. Saat melahap rakus kambing panggang hasil jarahan di
desa sasaran perampokan, tingkah orang-orang itu sudah
seperti serigala lapar mencabik mangsa. Tak terlihat lagi
perilaku manusia yang semestinya berharkat mulia daripada
makhluk lain. Gelap mulai menyergap Hutan Watuabang. Tanpa ada yang
tahu, di balik dinding kayu markas Kranggaek, seseorang
berpakaian serba hitam diam-diam mengawasi tingkah
memuakkan itu. Sinar matanya berkobar-kobar penuh
kemarahan. Tubuhnya tampak tak terlalu besar, tidak pula
terlalu tinggi. Hitamnya malam yang menyatu dengan warna
pakaian, menyebabkan dia sulit ditebak apakah wanita atau
lelaki. Begitu asyiknya mengintai, membuat orang berpakaian
serba hitam itu tidak memperhatikan keadaan sekeliling.
Sehingga.... "Hei! Siapa kau"!"
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang anak buah Kranggaek,
sehingga membuyarkan pikiran yang berkecamuk di benak
pengintai ini. Bola matanya langsung bergulir sigap ke arah
orang yang berteriak. Di samping kanannya, dalam jarak
sepuluh tombak, tampak seorang lelaki kasar sambil
membawa tombak bermata golok, sedang memburu ke
arahnya. Namun belum lagi anak buah Kranggaek itu mampu
menjamah tubuhnya, tangannya bergerak cepat menjentikkan
kuku-kukunya yang panjang.
Tik! T ik! Sss! Dalam sekejap, dari kukunya membersit dua pijaran sinar
seperti kunang-kunang yang terus melayang cepat, menerabas gelap ma lam. Dan seketika dua pijaran sinar itu
segera menghunjam wajah penyerangnya.
"Aaakh...!"
Wajah anak buah Kranggaek itu langsung terbakar.
Kulitnya berpendar merah seperti bara. Kemudian, perlahanlahan wajah lelaki itu terkelupas sebagian demi sebagian,
layaknya daging panggang! Tentu saja akibatnya, lelaki itu
meraung-raung tak terkira. Tubuhnya berguling-guling liar di
atas rumput. Sedangkan tangannya mendekap wajahnya yang
tak bisa dikenali lagi.
Sesaat kemudian, tubuh anak buah Kranggaek ini
mengejang kaku. Penderitaan yang menyiksa membuatnya tak
mampu lagi mempertahankan nyawa.
"Ada apa itu"!" teriak Kranggaek sigap, ketika menangkap
jeritan membahana seorang anak buahnya.
Tubuh laki-laki tua yang masih kelihatan gagah ini segera
berkelebat cepat menuju pintu utama. Tanpa perlu memakan
waktu lama, dia telah tiba di luar bangunan. Dengan mata
jalang dicarinya sumber teriakan tadi. Tapi yang ditemuinya di
samping jendela markasnya, hanya sesosok mayat anak
buahnya yang terbubur kaku.
"Keparat! Siapa yang melakukan ini"!" maki laki-laki
berwajah seram itu penuh desakan kemurkaan.
Tak sepatah jawaban pun yang ditangkap telinganya.
Sementara itu, anak buahnya yang lain sudah menyusul
keluar. "Ada apa, Ketua?" tanya seorang tangan kanannya.
Kranggaek tak menjawab. Hanya matanya saja mengisyaratkan ke arah mayat di sisi jendela yang membujur
kaku dengan wajah mengelupas.
"Rupanya ada anjing yang mencoba menggonggong di
kandang singa...," lanjut orang tadi, berdesis.
Semuanya menjadi tegang. Padahal, mereka sudah kerap
kali menghadapi hal-hal semacam itu. Y a! Biar bagaimanapun,
tidak ada manusia yang benar-benar tidak memiliki rasa takut.
Apalagi, jika berkenaan dengan soal kematian!
"Kenapa kalian tampak begitu tegang"! Apa kalian iri
melihat nasib kawan kalian yang telah sampai di neraka lebih
dahulu" Kalau hanya itu, kalian akan mendapat jatah juga...."
Tiba-tiba terdengar sahutan dari suatu tempat yang sulit
ditentukan. Suaranya terdengar berpindah-pindah. Entah
bagaimana orang itu mengirim suara dari satu tempat ke
tempat lain. Tapi yang pasti, suaranya terdengar halus seperti
suara wanita. "Bedebah! Kenapa kau tak langsung keluar menghadapi
aku"!" teriak Kranggaek. Giginya bergemerutuk keras,
membuat rahangnya yang bergaris mengejang sedemikian
rupa. "Aku tak perlu terburu-buru, karena sedang menunggumu
sampai terhuyung-huyung tanpa tenaga, setelah beberapa
saat kau meminum Racun Sirna Daya-ku! Setelah itu, barulah
kau akan kuhadapi!" balas sosok yang bersembunyi itu.
Mata Kranggaek melirik ke sana kemari, disertai rasa
kegusaran dan kecemasan. Sementara hendak menemukan
orang yang telah berani menyatroni markasnya, benaknya
juga terusik dengan ucapan orang itu.
"Racun," bisik laki-laki tua itu.
Bisa saja dia menganggap ucapan tadi sekadar gertak
sambal. Tapi dalam dunia persilatan yang sudah lama
diarungi, kecerobohan adalah hal yang harus dihindari.
Kranggaek tak pernah menganggap remeh siapa pun.
Menganggap remeh lawan, adalah suatu kecerobohan yang
bisa mengirimnya ke liang kubur.
"Apa benar ucapannya, Ketua?" tanya seorang anak buah
Kranggaek yang bertubuh kurus, dengan mimik wajah cemas.
Lagi-lagi Kranggaek hanya menggerakkan mata ke arah
mayat anak buahnya yang terlebih dahulu menjadi korban.
"Lihatlah wajahnya, Tengkorak Merah. Apakah kau pikir dia
tidak terkena racun yang amat jahat?" ujar Kranggaek,
setengah berbisik.
Laki-laki kurus yang dipanggil Tengkorak Merah itu tiba-tiba
bergidik. Dapat ditangkap maksud jawaban ketuanya.
Apa yang dicemaskan mereka ternyata benar-benar terjadi.
Perlahan-lahan tubuh mereka terasa melemah dan melemah.
Racun Sirna Daya seperti kata si penyerang tadi rupanya mulai
bekerja. Mulanya otot-otot terasa dibetot paksa oleh suatu
kekuatan tak terlihat. Selanjutnya, racun itu menyerang
tulang. Dan kini tubuh mereka terasa bagai tanpa kerangka
lagi. "Ternyata aku tak hanya menggertak, bukan?" ledek orang
yang menebar racun. "Ketika kalian sudah mulai mabuk tadi,
tanpa disadari aku menebar racun berbentuk asap tipis. Racun
itu kemudian terhirup napas, terbawa ke dalam tubuh, lalu
disebarkan darah ke seluruh jaringan tubuh. Kini, hasilnya
mulai terlihat. Racun itu memang tidak bekerja cepat. Tapi,
hasilnya dapat meluluhkan tubuh kalian untuk selamalamanya. Kalian tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Itu
artinya, kalian hidup tidak, mati pun tidak...."
Tak lama, dari sebuah pohon besar melayang turun
sesosok tubuh berpakaian serba hitam. Dan dia mendarat
tujuh tombak tepat di hadapan Kranggaek dan anak buahnya.
Kranggaek sendiri sedang berusaha mati-matian melawan
racun yang mulai menggerogoti saraf-saraf di tubuhnya.
Dikerahkannya seluruh hawa murni dari pusat tubuhnya agar
racun itu dapat ditawarkan. Paling tidak, mampu menahan
gerak racun agar tidak merusak jaringan tubuhnya lebih
lanjut. Namun usaha itu tampak tidak membawa hasil. Tubuhnya


Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makin lemas tak karuan. Sementara, seluruh anak buahnya
yang memiliki ilmu lebih rendah telah ambruk semua tanpa
tenaga. "Betapa nikmatnya hidup tanpa dapat berbuat apa-apa
lagi," sindir sosok berpakaian hitam, penuh nada ejekan.
"Kalau tak ditolong orang, maka kau tidak bisa minum atau
makan. Maka, kau akan mati pelan-pelan dan penuh
penderitaan...."
Dengan kemurkaan yang berkecamuk dalam dada,
Kranggaek menatap lawan di depannya. Dalam kere-mangan
cahaya obor yang terpancar dari dalam rumah, orang itu sulit
dikenali. Hanya satu yang diketahui Kranggaek, kalau
lawannya adalah wanita. Itu pun hanya dari suara saja.
"Kau..., hanya kecoak pengecut!" maki Kranggaek murka.
"Siapa bilang aku pengecut"! Aku hanya berusaha
bijaksana terhadap diriku. Kau tak mungkin kukalahkan,
karena kepandaianmu jauh lebih tinggi dariku. Lalu, apa
salahnya kalau aku membuatmu sedikit lemah agar dapat
kukalahkan. Bukankah itu adil?"
"Bajingan busuk!"
"Hi hi hi.... Dunia ini kenapa seringkah jadi aneh. Banyak
maling teriak ma ling. Banyak orang kotor sepertimu, menuduh
orang lain nista. Bajingan busuk kau katakan padaku" Apa tak
kau sadari kalau dirimu lebih busuk daripada bangkai!" kilah
wanita berpakaian serba hitam itu.
"Kubunuh kau! Hiaaat...!"
Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Kranggaek segera
menyerang. Memang tak ada guna lagi banyak bacot dalam
menghadapi musuhnya. Makin lama mengulur waktu, maka
tubuhnya makin melemah saja. Itu tentu akan lebih
menguntungkan lawan. Lagi pula, dia lebih memilih mati
dalam pertempuran adu nyawa, daripada mati perlahan akibat
racun yang kini masih terus meng-geragoti tubuhnya sedikit
demi sedikit. Tak tanggung-tanggung lagi, Kranggaek melabrak lawan.
Jurus pamungkasnya yang bernama 'Gajah Murka Melumat
Mangsa', dikeluarkan. Sepasang tangannya bertaut menjadi
satu. Seperti belalai gajah, kedua tangannya mencoba
meremukkan kepala orang berpakaian serba hitam ini.
Wuuut! Namun, sabetan tangan Kranggaek luput, ketika lawannya
dapat berkelit cepat ke bawah dengan menekuk satu kakinya
ke bawah. Sementara kaki yang lain merentang ke belakang.
"Hiaaa...!"
Bersama satu teriakan melengking, orang berbaju serba
hitam itu balas menyerang. Jemarinya yang lurus meregang,
menusuk ulu hati Kranggaek. Kalau ditilik dari serangannya,
tampaknya dia tidak ingin membiarkan lawannya hidup lebih
lama. Buktinya tusukan tadi adalah serangan mematikan yang
disertai Racun Ular Laut, yang mampu membinasakan lawan
dalam beberapa kedipan.
Wesss! Meski tubuhnya kian melemah, Kranggaek ternyata masih
mampu menghindari tusukan orang berpakaian serba hitam
itu. Tubuhnya segera dibuang ke samping kiri dengan deras,
meski beberapa saat limbung. Lalu segera otot kakinya
diregangkan agar kuda-kudanya dapat tegak kembali. Tapi,
wanita berpakaian serba hitam itu rupanya tidak ingin
memberinya kesempatan sedikit pun.
"Hiaaa...!"
Bet! Satu sabetan menyamping dari wanita berpakaian serba
hitam itu menyusul. Jari-jarinya secepat kilat mengarah pada
tenggorokan pemimpin perampok itu. Untunglah Kranggaek
masih mampu mengangkat sepasang tangannya, sehingga
dapat memapak jari lawan agar tidak merobek tenggorokannya.
Plak! Benturan pergelangan tangan terjadi. Akibatnya, wanita
berpakaian serba hitam itu terdorong beberapa tindak ke
belakang. Dari sana dapat terlihat kalau dirinya masih jauh di
bawah Kranggaek, dalam hal tenaga dalam. Meskipun
keadaan lelaki setengah baya itu makin melemah.
"Rupanya kau hanya perempuan kemarin sore yang hanya
pandai bermain racun," cemooh Kranggaek, memancing
kemarahan lawan.
"Kau boleh berbicara sesukamu sebelum membisu
selamanya!" geram perempuan berbaju hitam itu. Kemudian
dia mulai menyerbu lagi.
"Haaat...!"
Kali ini perempuan itu mengeluarkan sebuah senjata aneh
berbentuk tombak sepanjang lengan. Pada ujungnya terdapat
jari-jari yang melingkari batang tombak. Dengan sepasang
tangannya, tombak itu diputar seperti baling-baling. Jari-jari
sepanjang jengkal lengan yang berputar di ujung tombak,
mendadak mengeluarkan asap kehijau-hijauan yang kemudian
menebar akibat angin yang ditimbulkan putaran jari-jari
tombak. Tentu saja sasaran tebarannya adalah ke arah
Kranggaek! Sebisa-bisanya Kranggaek melenting ke belakang beberapa
kali. Namun dorongan angin yang ditimbulkan tombak berjarijari milik lawan rupanya lebih cepat menghembuskan asap
racun yang bernama Perontok Raga. Akibatnya, asap itu
langsung menyapu tubuh Kranggaek di udara.
"Aaakh...!"
Terdengar teriakan memilukan dari mulut lelaki kekar itu.
Sebelum sampai di tanah, satu persatu bagian tubuhnya
berpencaran ke bagian yang berbeda! Sungguh dahsyat
pengaruh racun itu.
Dan Kranggaek sudah terbujur kaku. Mati! Memang pantas
kalau jurus pamungkasnya dikeluarkan untuk menghadapi
lawan. Tubuhnya yang semakin lemah, membuatnya tak bisa
lagi bertahan lebih lama menghadapi gempuran-gempuran
perempuan itu. Niatnya untuk mengadu jiwa tak kesampaian.
Ternyata lawan telah lebih dahulu melepaskan serangan
dengan cara mengerikan.
Begitu telah mengirim Kranggaek ke neraka, penyerang
aneh itu melabrak anak buah Kranggaek habis-habisan.
Laksana banteng ketaton, seluruh bajingan itu dihajarnya
sampai menemui ajal satu demi satu di ujung tongkat
mautnya. Hanya dengan mengerahkan dua puluh lima jurus,
penyerang berbaju serba hitam itu telah membantai habis
mereka semua. Kini, mayat-mayat bertebaran mengerikan.
Dan sekitar tempat ini sudah seperti tempat penjagalan hewan
saja. Hutan Watuabang kini hening. Rintih hewan malam serta
desah angin menyelimuti keheningan, sekaligus membawa
kabar kematian.
-0o0oa-zo0o0- 2 Dalam kehidupan, manusia sering kali mendapatkan
pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab. Tentang kematian
yang mesti datang, tentang nasib yang sulit diduga, juga
tentang hakikat hidup itu sendiri.
Sebagai manusia, Pendekar Slebor pun tak luput dari
pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab. Di antara banyak
pertanyaan hidup, persoalan asa l-usul dirinyalah yang paling
mengusik hari-harinya belakangan ini.
Setelah Pendekar Slebor yang bernama Andika ini
mengetahui kalau dirinya masih termasuk keluarga Kerajaan
Alengka ketika menemukan lukisan K i Saptacakra di istana, dia
memutuskan untuk mencari orangtuanya sekaligus mencoba
menguak asal-usul dirinya (Untuk lebih jelas, silakan ikuti
serial Pendekar Slebor dalam episode "Dendam dan Asmara").
Berhari-hari Pendekar Slebor telah menyusuri desa demi
desa, bukit demi bukit, hutan dan sungai, dalam usaha
mencari orangtuanya. Sepanjang perjalanan, benaknya selalu
digerayangi pertanyaan. Siapa ibunya" Siapa pula ayahnya"
Kenapa dirinya dibuang di dalam hutan" Apa salahnya"
Apakah dia anak haram"
Perjalanan yang dihantui berbagai macam pertanyaan
benar-benar menyiksanya, ibarat berjalan dalam hutan semak
berduri. Namun begitu, tekadnya terus bergelora sehingga tak
membuatnya menyerah. Bukan Andika kalau tidak keras hati
dan tidak kepala batu.
Kini Pendekar Slebor tiba di sebuah desa, ketika hari telah
menjelang petang. Matahari tersuruk lelah di sudut barat
cakrawala. Cahayanya tampak menciptakan sapuan lembayung di hamparan langit.
Memasuki mulut desa, mata Pendekar Slebor menemukan
kedamaian di sini. Kelengangan menyelimuti. Jauh dari hirukpikuk sebagaimana kotapraja. Rumah-rumah panggung yang
berdiri berdekatan seperti hendak memperlihatkan keakraban
antar penduduknya.
"Apa nama desa ini?" gumam Andika, seraya terus
melangkah. Tak beberapa jauh memasuki desa, Andika merasakan
kedamaian. Namun mendadak....
"Aaa...!"
Tiba-tiba, kedamaian itu lebur oleh suatu lengkingan
nyaring seorang wanita. Kesiagaan yang terlatih dalam dirinya,
membuat Pendekar Slebor segera bergerak. Begitu terkejutnya, sehingga tanpa sadar tubuhnya terus melenting.
Namun bibirnya segera mencibir ketika menyadari kebodohannya ini.
"Manusia setengah goblok! Kenapa mesti melenting kalau
tidak ada yang menyerang"!" rutuk Andika, memaki diri
sendiri, ketika kakinya mendarat di sebuah batang pohon.
Dan seketika Pendekar Slebor bergegas melesat dari satu
pohon ke pohon lain menuju asal jeritan. Tak begitu sulit
untuk menentukan arahnya. Selain pendengarannya yang
tajam, jaraknya pun tak terlalu jauh. Maka sebentar saja
Andika telah tiba di tempat kejadian. Dengan amat ringan,
kakinya menjejak di sebatang pohon yang amat kecil. Tanpa
warisan kesaktian dari Pendekar Lembah Kutukan, seumur
hidup hal ini tak akan bisa dilakukannya. Ranting yang
semestinya hanya kuat menahan tubuh seekor burung kenari,
nyatanya tidak patah ketika dihinggapinya.
Dari ketinggian seperti itu, Andika bisa leluasa melihat
keadaan di bawah. Dan ketika matanya menangkap puluhan
mayat yang bergelimpangan di pekarangan-pekarangan
rumah, gerahamnya jadi bergemelutuk. Jiwa kependekarannya
seketika bergolak.
"Astaga! Pembantaian keji macam apa pula ini?" desis
Andika geram. "Aaakh...!"
Belum juga keterkejutannya pudar, terdengar kembali
teriakan memilukan dari dalam sebuah rumah yang terletak
tepat searah dengan pohon yang dihinggapi Andika.
Tampak sesosok tubuh terlempar deras ke tanah berlumpur
di depan rumah itu. Lelaki tampan gagah berbaju coklat itu
sesaat menggelepar-gelepar. Sesaat kemudian tubuhnya kaku.
Dari mulut, hidung, dan telinganya keluar cairan kuning
berbentuk busa. T idak itu saja. Dari setiap pori-pori tubuhnya
pun keluar darah berwarna kehitaman.
"Astaga...!" desis Andika sekali lagi.
Sesaat kemudian, mata Andika menangkap seorang wanita
berbaju hitam keluar dari rumah tadi. Langkahnya terlihat
demikian angkuh. Tubuhnya memang sintal dan terlihat elok.
Tapi dari caranya berjalan, tampak sekali kalau sifatnya
kejam. Dan tampaknya dia adalah perempuan bertangan
dingin. "Wanita jadah! Berhenti kau!" hardik Andika ketika melihat
perempuan itu hendak melesat pergi.
Walaupun tubuhnya berbalik, namun perempuan itu
menghentikan langkahnya. Dari pohon pinus, tubuh Andika
melayang turun. Lalu mantap sekali dia mendarat dan berdiri
gagah tujuh tombak di belakang wanita berbaju hitam. Baju
hijaunya serta kain bercorak catur yang tersampir di pundak
berkibar ditiup angin senja, saat matanya menatap wanita itu
dalam kobaran kemurkaan.
Hal yang paling dibenci dalam hidup Pendekar Slebor
adalah penganiayaan terhadap orang-orang lemah. Jadi
pantas saja jika saat itu dadanya seperti hendak meledak.
Namun pengalamannya selama ini menyadarkan kalau sebuah
kekalapan bisa berakibat buruk bagi suatu pertarungan. Sadar
akan hal ini perasaannya yang membara segera dikendalikan.
"Mau apa kau, Bocah?" tanya wanita berbaju hitam,
meremehkan. Berbareng dengan pertanyaannya, wanita itu berbalik ke
arah Andika. Kini terlihatlah kalau wanita telengas itu
mengenakan kain penutup wajah berwarna merah yang
tembus pandang. Meski wajahnya tertutup, namun dia dapat
melihat jelas wajah tampan Andika. Sedang bagi Andika yang
melihatnya, wajah wanita itu terlihat samar-samar. Sulit untuk
dapat mengenalinya.
"Aku seorang penganggur. Aku ingin minta pekerjaan
padamu. Kalau tidak diberi, kau akan kupaksa...," jawab
Andika ngelantur.


Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampaknya ketenangan diri Pendekar Slebor telah kembali
seperti sediakala. Artinya, sifat-sifat gelandangan kotapraja
yang mendarah daging dalam dirinya pun siap muncul.
"Enyah kau! Aku tak ada waktu untuk meladenimu!" hardik
wanita itu. Nada suara wanita itu seakan menganggap Andika hanya
patung cakil yang tak menarik perhatian. Apalagi, sampai
dipedulikan. Maka tubuhnya kembali berbalik, membelakangi
Pendekar Slebor. Kemudian, kakinya hendak melangkah.
"Apa kau tak tahu kalau aku sangat penting bagimu?" kata
Andika kembali, membuat wanita itu menghentikan langkah.
"Aku tak pernah memerlukan anak ingusan macam dirimu!"
bentak wanita itu gusar, tanpa berbalik. Sekali lagi, kakinya
mulai melangkah untuk pergi dari tempat pembantaian itu.
"Hei, tunggu! Aku tak bohong dengan ucapanku tadi. Aku
memang sangat penting bagimu, karena memiliki sesuatu
yang akan kuperlihatkan padamu!"
Kembali wanita berpakaian hitam menahan langkahnya.
Wanita berambut panjang itu tampaknya mulai penasaran
mendengar ucapan Andika. Padahal, tanpa disadarinya semua
itu hanya pancingan, agar Andika bisa mengorek keterangan
yang berkaitan dengan pembantaian tadi.
Pendekar Slebor memang tak mau bertindak terge-sagesa.
Dia ingin tahu dulu alasan wanita itu berada di tempat ini.
Mungkin saja dia hanya membela diri, karena suatu kesalahan
yang tak diperbuatnya. Mungkin juga yang dibunuhnya adalah
orang-orang jahat, yang pernah berhutang nyawa padanya.
Dan kemungkinan-kemungkinan lain pun bisa saja.
Pancingan Pendekar Slebor berhasil. Buktinya wanita
bercadar merah itu mengurungkan kepergiannya. Tubuhnya
malah kini berbalik kembali menghadap Andika.
"Kau jangan coba-coba mempermainkan aku, Bocah! Cepat
perlihatkan sesuatu yang akan kau tunjukkan! Kalau tidak, kau
harus bayar dengan nyawamu!" ancam perempuan itu.
Andika tersenyum-senyum. Entah ingin meledek kebodohan
wanita di depannya yang begitu mudah dikibuli, atau karena
hanya ingin iseng.
"Mana berani aku mempermainkanmu jika banyak mayat
berserakan di sekitar sini, karena perbuatanmu. Aku tidak
ingin senasib dengan mereka," ucap Andika dengan mimik
sungguh-sungguh. "Tapi sebelum aku memperlihatkannya
padamu, kau harus mengatakan dulu alasanmu membunuh
mereka semua."
Andika mencibirkan bibir pada mayat-mayat di sekitarnya.
Sikapnya benar-benar terlihat acuh tak acuh, seolah hendak
membalas perlakuan wanita bercadar yang begitu meremehkannya. "Itu urusanku! Kau tak perlu ikut campur, Kau pikir siapa
dirimu sampai berani mencampuri urusanku"!"
"Ooo.... Itu berarti kau tidak ingin kuperlihatkan sesuatu
yang kumaksud...?"
"Bedebah! Kenapa tak langsung saja diperlihatkan padaku"!
Apa mesti menunggu kulitmu kusayat dulu"!" dengus wanita
itu. Dan kesabarannya pun mulai tidak bisa dikuasai lagi.
"Tak ada gunanya menyayat kulitku, yang tidak semahal
kulit buaya," celoteh Andika.
Rupanya Pendekar Slebor mulai dapat mengambil
kesimpulan kalau calon lawannya telah membantai orangorang desa dengan niat busuk.
Memang, bagi Andika, amat mudah menentukan, apakah
seseorang memiliki hati busuk atau tidak. Dari tutur kata,
pribadi seseorang memang bisa dinilai. Paling tidak, baikburuk sifatnya. Mulut memang penyambung hati seseorang
pada lingkungannya. Maka tak terlalu sulit bagi anak muda itu
untuk menilai wanita di hadapannya sebagai perempuan
berhati busuk, manakala kata-kata yang mengalir dari
mulutnya ternyata ucapan kotor dan kasar. Meskipun,
Pendekar Slebor. belum tahu pasti niat apa yang
disembunyikan wanita itu.
"Rupanya kau lebih suka memilih celaka!" desis wanita
bercadar, dilanda kemarahan membludak.
Kemudian tangan wanita itu terangkat tinggi-tinggi.
Kesepuluh jarinya mengembang lebar. Kelihatannya, dia akan
melontarkan pukulan jarak jauh.
"Tunggu!" cegah Andika cepat. "Baik, baik... Akan
kuperlihatkan sesuatu yang kumaksud tadi...."
Tangan kanan Pendekar Slebor segera merogoh sesuatu di
balik baju hijau pupusnya. Setelah itu, dilemparkannya sebuah
benda dari balik baju ke arah wanita bercadar di depannya.
"Nih, tangkap!"
Wesss! Gerakan tangan Andika yang cepat tak tertangkap mata,
membuat wanita bercadar tersentak. Dia ingin menghindar
secepat kilat, tapi benda yang dilempar Pendekar Slebor
meluncur demikian deras. Tak ada waktu lagi baginya untuk
mengelak. Jalan satu-satunya bagi wanita itu adalah
menangkap benda yang melayang dalam kecepatan gila.
"Hih!"
Dengan satu hentakan napas untuk mengerahkan tenaga
dalam, wanita bercadar merah menangkap sesuatu yang
dilempar Andika.
Tep! Betapa terperanjatnya wanita itu ketika menyadari bahwa
yang baru saja ditangkapnya ternyata hanya sekepal nasi basi
yang terbungkus dalam kertas kumal! Jelas saja matanya
langsung membelalak sejadi-jadinya. Bahkan mulutnya
menganga, sebagai cerminan rasa terperanjat yang berbaur
kegeraman. Sayang, mimik wajahnya yang penuh kekecewaan
itu berlangsung di balik cadar merahnya. Kalau tidak, tentu
akan menjadi bahan ejekan pendekar muda yang ugal-ugalan
ini. "Kenapa kau jadi terpaku seperti itu" Apa tak pernah
melihat nasi bungkus" Nasi itu sisa makanku siang tadi. Aku
pikir, aku masih bisa menyimpannya untuk makan sore. He he
he....! Oh, ya. Apakah benda itu penting bagimu" Yah, kalau
tidak penting, buang saja," tukas Andika berpura-pura bodoh.
"Keparat!" wanita ini benar-benar kalap. Suaranya
menggelegar bagai guntur. "Apa kau tidak kenal Ratu Racun,
sehingga berani mempermainkanku"!"
"Hm... Jadi julukannya Ratu Racun," bisik Andika. Satu hasil
dari pancingan Pendekar Slebor telah didapat dari mulut
wanita bengis itu. Dalam gelombang amarah, seseorang
sering kali melontarkan sesuatu dari mulutnya, yang mestinya
tak diucapkan. Itu sebabnya, Andika berusaha membakar
kemarahan calon lawannya.
"Aku tak kenal segala macam ratu-ratuan," sahut Andika
tenang. "Ratu Kodok kek, Ratu Kadal kek. Apalagi, Ratu Racun
Tikus, he he he...!"
"Rupanya kau hanya cari mampus!"
Selesa i menghardik, wanita yang ternyata berjuluk Ratu
Racun itu mengangkat tangan kembali. Sepuluh jemarinya
terkembang di udara bersama satu getaran hebat. Beberapa
saat kemudian, sepasang tangannya merah membara.
"Wah! Tampaknya tanganmu bisa untuk memanggang sate
juga, ya?" Lagi-lagi Pendekar Slebor mencemooh.
Sambil berkata tadi, sepasang mata Andika menyipit rapat
Seakan, dia adalah seorang kakek tua yang sedang
memperhatikan seorang cucu nakalnya.
"Hiaaah...!"
Ratu Racun langsung memulai serangan. Wanita bercadar
ini tak sudi lagi mendengar cemoohan Pendekar Slebor yang
membuatnya makin kalap. Bagaimana amarahnya tidak
membludak kalau harga dirinya sebagai seorang tokoh sakti
diinjak-injak seenak udel oleh bnak ingusan ini"
Gebrakan pertama Ratu Racun mengarah pada kening
Pendekar Slebor. Jurus 'Jari Beracun'nya memang berisi
serangan yang mengarah pada kening. Sepasang tangannya
yang semula terangkat tinggi-tinggi, kini menghentak cepat.
Maka berkas merah bara dari sepasang telapak tangannya
melesat ke udara, berbarengan dengan luncuran tubuhnya ke
arah Pendekar Slebor.
Zesss...! "Weleh-weleh!" ejek Andika seraya memutar tubuh ke
belakang. Pendekar Slebor bersalto gemulai dengan kedua tangan
sebagai tumpuan. Sehingga terkaman Ratu Racun hanya
menebas angin saja. Perempuan itu segera menapakkan
tangannya lebih dulu ke tanah. Kemudian tangannya digenjot
dengan pengerahan tenaga dalam, hingga tubuhnya bersalto
menyusul Andika. Secara berbarengan, tubuh mereka berputar
di udara laksana sepasang baling-baling kembar. Dan selagi
ada di udara, tangan Ratu Racun terus menjecar Pendekar
Slebor dengan pukulan bertubi-tubi ke bagian kening.
Sementara Andika tentu saja tak sudi kepalanya remuk
redam seperti adonan perkedel. Maka tangannya segera
memapak tusukan jemari Ratu Racun.
"Uts!"
Dek! Dek! Dek...!
Telapak Pendekar Slebor seketika bertumbukan dengan
jemari Ratu Racun yang lentik, namun ganas. Seketika uap
putih tampak mengepul di antara pertemuan tangan Andika
dengan tangan perempuan itu.
"Akh...!" pekik Andika tertahan. Tak disangka kalau tangan
Ratu Racun yang sudah tak berwarna merah bara, ternyata
terasa begitu panas. Rupanya hanya pada saat awal saja
telapak tangan wanita itu berubah merah matang. Yang
tertinggal selebihnya hanyalah hawa panas dahsyat! Apakah
hanya hawa panas" Ternyata tidak. Tanpa disadari Pendekar
Slebor, Racun Bara Neraka dari Negeri Tibet milik perempuan
itu telah merasuki tubuhnya.
Sementara, kaki Pendekar Slebor sudah menjejak mantap
di tanah berumput. Begitu juga Ratu Racun.
"Kalau hanya panas seperti itu yang diandalkan, kau tak
akan mampu mengalahkanku, Ratu Racun Tikus.... Aku biasa
menerima panas yang lebih dahsyat, panas petir!" cemooh
Andika, dengan sikap dibuat sesombong mungkin. Tujuannya
tentu saja untuk terus memancing kemarahan lawan.
Ratu Racun menyeringai, menanggapi ejekan pemuda
lawannya. "Jangan sesumbar dulu, Anak Sundal! Coba lihat rumput
yang baru saja kau pijak!" ujar Ratu Racun.
"Eit...! Kau tidak bisa menipuku. Tentu kalau aku menengok
ke bawah dan di saat aku lengah, kau akan melabrakku
kembali. Mengaku sajalah.... Orang jujur disayang tukang
sayur...," sambut Andika enteng.
Tapi ketika hidung Pendekar Slebor menangkap bau rumput
hangus yang berasal dari bawah, mau tak mau matanya
melirik juga ke sana. Maka terlihatlah rumput yang menyentuh
kakinya telah gosong menghitam.
Pendekar Slebor kontan bergidik. Tiba-tiba disadari kalau
rumput itu gosong bukan sekadar karena hawa panas. Lebih
berbahaya lagi, karena rumput itu telah diganyang racun
ganas. "Racun...," desis Andika.
"Ya, racun. Kalau mayat-mayat di sekitar tempat ini
mampus karena Racun Kelabang Biru-ku, maka kau akan
segera mampus dengan Racun Bara Neraka...," tandas Ratu
Racun tatkala mendengar desisan Andika.
Perlahan tapi pasti, tubuh Pendekar Slebor terasa seperti
dipanggang dalam tungku raksasa. Andika sadar, racun yang
disebutkan lawannya mulai bekerja. Entah apa yang bakal
terjadi pada dirinya, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas, kini
rasa panas luar biasa telah menderanya.
"Hi hi hi.... Racun itu akan bekerja, kemudian membakar
habis seluruh sel-sel dalam tubuhmu. Dan kau akan mati
perlahan-lahan dalam keadaan kering kerontang. Pada
puncaknya nanti, tubuhmu akan terpecah pecah seperti tanah
kering. Hi hi hi...!" kata Ratu Racun, seperti berusaha
melemahkan semangat Pendekar Slebor.
Apakah kesaktian warisan Pendekar Lembah Kutukan akan
mampu menghancurkan Racun Bara Neraka" Pertanyaan
seperti itu yang muncul begitu saja dalam diri Andika. Dan dia
ragu untuk menjawabnya.
"Hi hi hi.... Selamat menikmati kematianmu, Bocah
Sombong!" ujar Ratu Racun terdengar puas.
Setelah itu tubuhnya melesat jauh ke balik pepohonan
besar, dan menghilang di keremangan senja.
Tinggal Andika sendiri yang terpaku seperti orang tolol.
Bibirnya meringis-ringis menahan penderitaan yang mulai
berlangsung. "Aduh, Maaak.... Aku bisa jadi tempe gosong hari ini!"
keluh Pendekar Slebor blingsatan.
-0o0oa-zo0o0- 3 Secara jujur, Andika mengaku kalau dirinya masih
tergolong hijau dalam rimba persilatan. Selama turun dari
Lembah Kutukan, yang dihadapinya hanya tokoh-tokoh
golongan hitam yang tidak mengandalkan racun dalam
pertarungan. Jadi wajar saja kalau kali ini Pendekar Slebor
agak kelimpungan, menyadari racun yang bersarang dalam
tubuhnya akibat pukulan beracun dari Ratu Racun.
Pendekar Slebor segera mengempos tenaganya, untuk
melesat pergi dari situ. Dia memang membutuhkan
pertolongan. Paling tidak, dia harus mencari tabib, untuk bisa
mengeluarkan racun yang bersarang di tubuhnya.
Walaupun dengan sisa-sisa tenaganya, Andika berusaha
berlari. Sudah cukup jauh dia berlari tapi tak seorang pun
ditemuinya, kecuali sebuah pondok yang kelihatan sepi.
Sementara racun dalam tubuh Pendekar Slebor sudah
menjalar ke bagian-bagian lain. Tubuhnya kini makin didera
panas luar biasa. Sedangkan sendi-sendi di bagian tangan
yang terlebih dahulu terkena racun, mulai mengejang tanpa
bisa digerakkan. Begitu panasnya, sehingga bagian tubuh
yang telah dijalari racun terasa seperti mengelotok.
"Kadal budek! Tikus gondrong! Kodok pincang! Racun ini


Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar akan menghabisi nyawaku," dengus Andika dalam
gelombang penderitaan yang makin memuncak.
Tubuh Pendekar Slebor bergetar hebat. Keningnya pun
sudah dibanjiri cucuran keringat berwarna kebiru-biruan akibat
pengaruh Racun Bara Neraka.
"Uh! Sebaiknya aku bersemadi dulu di sini. Racun ini tidak
bisa didiamkan terus-menerus!" kata Andika, perlahan.
Andika segera duduk bersila dengan mata terpejam. Cepatcepat Pendekar Slebor memusatkan seluruh pikiran, perasaan,
dan panca inderanya ke satu titik dalam benak. Akan
dicobanya bersemadi, untuk mematikan pengaruh Racun Bara
Neraka. Dan seluruh tenaga sakti yang dimilikinya akan
dikerahkan. Pendekar Slebor mulai melawan keganasan Racun Bara
Neraka. Harapannya hanya satu. Mudah-mudahan hawa murni
dari kesaktian yang diwariskan Ki Saptacakra yang lebih
dikenal berjuluk Pendekar Lembah Kutukan, mampu
menghancurkan kekuatan racun yang menjalari tubuhnya.
Namun harapannya tetap berpulang kepada Tuhan Penguasa
Jagat yang berkuasa atas segala sesuatu. Untuk itulah jiwa
raganya dipasrahkan dalam semadi kepadaNya.
Saat-saat menegangkan berlalu. Cukup lama sudah Andika
bersemadi. Tapi, racun di tubuhnya tidak juga melemah.
Bahkan usaha perlawanan Andika membuat Racun Bara
Neraka semakin bekerja cepat.
Tapi Andika tidak pernah mengenal kata menyerah dalam
kamus hidupnya. Sebagai anak muda keras kepala, pantang
baginya untuk putus asa sebelum benar-benar tak mampu
berbuat apa-apa lagi.
Pendekar Slebor pun kembali mengerahkan seluruh hawa
murninya. Semakin pikirannya terhanyut dalam pengerahan
kekuatan hawa murni, tubuhnya semakin bergetar hebat.
Lama-kelamaan, tubuhnya tidak hanya bergetar. Bahkan juga
mulai memancarkan sinar berwarna merah kehijau-hijauan.
Tampaknya, pertempuran antara Racun Bara Neraka melawan
hawa murni dalam tubuhnya sudah mencapai puncak. Sampai
akhirnya.... Jezzz...! Terdengar desisan tinggi yang didahului letupan kecil.
Setelah itu, tubuh Pendekar Slebor terjengkang ke belakang.
Dari lubang telinga, hidung, dan mulutnya tampak mengalir
darah kental kehitam-hitaman. Dan anak muda gagah itu
tergeletak tanpa bergerak sedikit pun.
Matikah dia"
-o0o0a-z0o0o- Sinar matahari hangat menerobos ke sebuah jendela gubuk
di tepian Hutan Watuabang. Kehangatan sinar mentari yang
menimpa wajah seorang pemuda berpakaian hijau pupus,
membuatnya tersadar.
"Uuuh...," keluh pemuda itu lirih. "Di mana aku?"
Sambil mencoba bangun, pemuda itu memandang ke
sekelilingnya. Sungguh terasa asing.
"Ah! Rupanya kau sudah sadar, Nak!" sapa seseorang dari
pintu masuk di belakang pemuda itu.
Pemuda berpakaian hijau pupus itu menoleh, dengan
kening berkerut. Lalu, bibirnya melepaskan senyum tipis.
"Kau kutemukan dalam keadaan pingsan, tidak jauh dari
pondokku. Apa yang terjadi, Anak Muda?" tanya laki-laki
berusia sekitar enam puluh lima tahun itu.
Pemuda yang tak lain Andika tak langsung menjawab. Dia
berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Dan ketika
merasakan otot di bagian punggung dan lehernya masih
terasa nyeri, Pendekar Slebor baru ingat kalau tubuhnya telah
terkena racun, setelah bertarung dengan wanita yang berjuluk
Ratu Racun. Dan tampaknya, Racun Bara Neraka telah
menyebar hampir ke semua bagian tubuhnya dari tangan
hingga punggung. Untung saja racun ganas itu tidak sempat
menerabas ke dalam jantung dan otak, karena Pendekar
Slebor telah berusaha mementahkannya dengan bersemadi
tidak jauh dari pondok yang ditempatinya itu. Dan itulah yang
membuatnya pingsan.
"Selamat pagi...," ucap Andika ramah pada lelaki tua yang
telah melangkah menghampirinya.
"Pagi...," jawab orang tua itu tak kalah ramah. "Bagaimana
keadaanmu" Apa sudah agak baikan?"
Andika menjawab hanya dengan meringis.
"Oh, ya. Namaku Patigeni. Kau bisa panggil aku, Ki Pati
atau boleh juga Ki Geni," tambah lelaki tua yang mengaku
bernama Patigeni itu.
"Aku Andika, Ki...."
Seraya mengangguk hormat, Andika pun turut memperkenalkan diri.
"Tunggu dulu...," sergah Ki Patigeni tiba-tiba.
Mata Ki Patigeni yang sudah menyipit karena keriput di
sudut-sudutnya, makin menyipit setelah mendengar nama
Andika. Dari mimik wajahnya terlihat kalau dia sedang
mengingat-ingat sesuatu.
"Ada apa, Ki" Apa aku salah bicara?" tanya Andika
terheran-heran.
"Tentu saja tidak. Tapi aku hanya merasa pernah
mendengar namamu. Entah di mana, dan kapan...."
"Yah! Tentu saja kau pernah mendengar nama seperti itu,
Ki. Nama Andika memang nama pasaran yang biasa dipakai
setiap ibu-ibu di rumah dukun beranak, untuk menamakan
anaknya yang baru lahir," seloroh Andika.
Ki Patigeni mendadak tertawa.
Mulanya Andika hanya menatap wajah Ki Patigeni dengan
pandangan terheran-heran. Tapi mendadak pula ikut tertawa.
"Ha ha ha.... Kenapa kita mesti tertawa, Ki" Bukankah
ucapanku tak terlalu lucu?" kata Andika kebo-doh-bodohan.
"Aku tertawa bukan karena ucapanmu, Nak. Tapi aku
menertawakan diriku yang bodoh ini...," tutur Ki Patigeni
dengan bibir masih menyisakan senyum.
"Bodoh?" tanya Andika.
"Ya, bodoh. Karena tanpa kusadari, ada pendekar besar di
depanku. Bukankah kau yang berjuluk Pendekar Konyol, dan
menjadi bahan pembicaraan orang-orang dunia persilatan
belakangan ini" Kehebatanmu dalam menghancurkan Begal
Ireng, menjadi bahan pembicaraan hangat orang banyak,"
urai Ki Patigeni.
"Ah! Itu kan hanya kehendak Tuhan, Ki...," kilah Andika
sungkan. Pemuda itu memang tidak begitu senang dipuji.
"Jadi dugaanku benar?"
Andika tersentak. Hatinya mengumpat habis-habisan.
Betapa tololnya dia, bisa begitu gampang terpancing.
Pendekar Slebor yang pernah bertemu Ratu Ra-naran
dugaan lelaki tua itu diakuinya.
"Bukan begitu maksudku, Ki...," sergah Andika, ingin
meralat ucapannya tadi.
"Ah, sudahlah.... Pendekar berjiwa besar selalu ingin
menyembunyikan keharuman namanya. Ibarat padi, makin
berisi makin merunduk," tukas Ki Patigeni tanpa maksud
menyindir. "Ya, ya.... Terus kau pujilah aku, Ki.... Biar hidungku terus
kembang-kempis dan kepalaku membesar seperti tempayan,"
gurau pendekar tampan itu.
Sekali lagi K i Patigeni terbahak-bahak.
"Rupanya julukan yang kau sandang memang pantas. Kau
memang konyol, Anak Muda," ledek Ki Patigeni di sela tawa
meriah. "Oh iya, Ki Pati. Dari mana kau mendengar tentang diriku?"
tanya Andika, selesai Ki Patigeni tertawa.
"Yah.... Biarpun tinggal di daerah terpencil seperti ini untuk
menyepi dari hingar-bingar rimba persilatan, tapi aku tetap
mengikuti perkembangannya.
Termasuk mengenai kemunculanmu...," jawab Ki Patigeni.
'Kebetulan kalau begitu. Apakah kau tahu tentang Ratu
Racun, Ki?"
"Ratu Racun?"
Ki Patigeni mendekati balai-balai tempat Andika terbaring
semalaman. Dia lalu duduk bersila di samping pemuda itu.
"Apa kau mempunyai ganjalan dengannya?" Ki Patigeni
balik bertanya.
"Kalau aku tak bertempur dengan orang itu kemarin,
mungkin aku tidak akan sampai di depan gubukmu, Ki."
"Kau bertempur dengannya" Aneh...."
"Aneh! Aneh kenapa, Ki Pati?"
Ki Patigeni terdiam sesaat. Tangan kanannya membelaibelai kumis putih di atas bibirnya.
"Seperti juga kau, Nak Andika. Ratu Racun pun baru saja
hadir dalam kancah dunia persilatan. Awal sepak terjangnya
yang membuat namanya melambung adalah, setelah dia
membantai sisa-sisa anak buah Begal Ireng di Hutan
Watuabang. Entah apa alasannya dia me lakukannya. Yang
pasti, dia telah berhasil menumpas gerombolan bajingan di
bawah pimpinan Kranggaek, seorang bekas tangan kanan
Begal Ireng," urai Ki Patigeni.
"Kalau begitu, memang aneh. Sewaktu aku bertemu,
kulihat dia sedang membantai beberapa penduduk sebuah
desa yang tak jauh dari tepi hutan ini. Mulanya aku mengira
wanita itu sedang memberantas para perampok yang
mencoba menjarah desa itu. Sampai akhirnya, aku tidak bisa
menghindari pertempuran dengannya," tutur Andika, ganti
bercerita. Untuk beberapa saat, dua lelaki berbeda usia itu samasama membisu. Mata mereka terlihat menerawang, memikirkan tindak-tanduk Ratu Racun yang ganjil, menurut
pandangan mereka. Apa alasan wanita itu membantai
gerombolan Kranggaek, lalu membantai pula penduduk yang
tidak berdosa" Jika dari golongan putih, tak mungkin akan
tega membunuh penduduk secara keji. Kalaupun dari
golongan hitam, apa mungkin akan sudi membunuh rekan
segolongan seperti Kranggaek"
Sepak terjang yang bertentangan itulah yang kini menjadi bahan pikiran mereka
berdua. "Nak Andika, ada satu hal yang perlu kau ketahui. Sebagai
golongan muda, kau perlu pula mengenal beberapa tokoh tua
aliran sesat. Salah satunya, Guntara alias Iblis Petaka
Racun...," tutur Ki Patigeni kembali. "Tokoh tua itu memang
menghilang dari rimba persilatan, sejak seorang pendekar
golongan putih mempecundanginya tiga puluh lima tahun
silam. Maka sejak saat itu, dia tak pernah menampakkan
batang hidungnya lagi, menghilang seperti tertelan bumi. Tak
ada seorang pun yang tahu, di mana keberadaannya,"
Ki Patigeni sesaat menghentikan ceritanya, untuk
mengambil napas. Sedangkan Andika tak melepaskan
pandangannya ke wajah laki-laki tua itu.
"Ketika aku menjumpai mayat Kranggaek dan anak
buahnya, aku sempat dibuat terkejut. Ternyata, ketika
kuperiksa, racun yang membunuh mereka adalah racun milik
Guntara. Mulanya aku menyangka, lelaki busuk itu turun
kembali dalam dunia persilatan dan hendak membuat
keangkaramurkaan. tapi ketika seorang penebang kayu
menceritakan padaku tentang kejadian yang disaksikannya,
aku jadi tahu kalau si pembunuh itu ternyata seorang wanita."
Kembali laki-laki tua itu menghentikan ceritanya.
Sepertinya, dia berusaha mengingat-ingat apa yang
dialam inya. "Ketika aku pergi ke kadipaten, kudengar banyak orang
membicarakan perihal Ratu Racun yang telah berhasil
mengirim Kranggaek ke neraka bersama seluruh anak
buahnya. Maka, dugaanku tentang kemunculan Guntara makin
tak beralasan. T api, ada satu pertanyaan yang muncul dalam
diriku. Mungkinkah Ratu Racun adalah murid tunggal Guntara
alias Iblis Petaka Racun?" Ki Patigeni mengakhiri penjelasannya dengan satu tarikan napas panjang dan berat.
Andika ikut menarik napas dalam-dalam. Kalau memang
benar Ratu Racun itu murid Guntara, maka tugasnya akan
semakin berat. Pundaknya akan semakin menerima beban
untuk membasmi keangkaramurkaan di atas jagat ini.
Keduanya kembali terhanyut dalam pikiran masing-masing.
-0o0oa-zo0o0- 4 Sejak Pendekar Slebor merawat diri di gubuk Ki Patigeni
hingga berangsung-angsur pulih, belum juga diketahui secara
pasti, siapa sesungguhnya lelaki tua itu. Setiap kali Andika
mencoba mengorek keterangan tentang dirinya, Ki Patigeni
selalu dapat menghindar dengan berbagai alasan.
Siapakah orang tua itu"
Bagaimana Andika tidak habis pikir tentang diri Ki Patigeni"
Maalahnya, orang tua itu begitu banyak tahu tentang liku-liku
dunia persilatan. Padahal, hidupnya cukup terpencil.
Menurut Andika, kerahasiaan diri Ki Patigeni adalah tekateki yang harus segera dipecahkan. Secara tak langsung,
benaknya merasa ditantang untuk mengungkapkan tentang
jati diri Ki Patigeni. Apalagi, ketika lelaki tua itu merawat luka


Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andika untuk melenyapkan sisa Racun Bara Neraka di
tubuhnya. "Apa ini, Ki?" tanya Andika saat Ki Patigeni menyerahkan
semangkuk ramuan berwarna merah kehijau-hijauan.
"Minumlah. Itu ramuan Bunga Puspatuba yang hanya
tumbuh di puncak gunung tertentu, yang dicampur akarakaran.... Ah, sudahlah. Kenapa kau jadi banyak tanya"
Minum sajalah. Mudah-mudahan Racun Bara Neraka yang
masih mengendap di dalam tubuhmu bisa
segera dilumpuhkan," jawab Ki Patigeni.
"Lho! Kenapa kau bisa tahu kalau aku terkena Racun Bara
Neraka" Bukankah aku belum memberita-hukanmu, Ki?" tanya
Andika heran. Ki Patigeni saat itu hanya mengibaskan tangan acuh tak
acuh, membuat Andika semakin heran dan penasaran.
-0o0oa-zo0o0- Empat hari telah berlalu. Kini Andika yang telah merasa
benar-benar pulih sedang menikmati udara tepian Hutan
Watuagungyang sejuk. Pagi memang baru saja lahir. Matahari
pun belum begitu garang membakar bumi. Sambil menghirup
udara pagi yang segar, pandangannya menebar ke sekitar
Hutan Watuagung yang terlihat angker.
Saat itulah mata Pendekar Slebor tertumbuk pada sesuatu
yang menarik perhatiannya. Sekitar dua puluh lima depa dari
tempatnya berdiri, Andika melihat Ki Patigeni sedang
menebang dahan-dahan pohon randu. Sebenarnya pekerjaan
itu tak terlalu luar biasa. Para penebang kayu pun sering
melakukannya. Tapi tampaknya akan jadi lain lagi, bila
pekerjaan itu dilakukan hanya menggunakan punggung
tangan untuk memapas batang-batang pohon randu yang
cukup besar. Seakan, Ki Patigeni sedang menebas sebatang
lidi Terkadang tubuhnya amat ringan merayap seperti cicak di
pohon randu untuk mencapai batang pohon yang hendak
diambilnya. "Dugaanku tepat," bisik Andika tertahan. "Ki Patigeni
memang bukan orang sembarangan. Dia pasti seorang tokoh
tua dari aliran putih yang kini mengundurkan diri dari dunia
persilatan."
Kini Pendekar Slebor harus mencari akal agar lelaki tua itu
bersedia mengatakan siapa dirinya sesungguhnya. Tapi ini
tentu perlu sedikit akal bulus. Sesaat Andika menimbangnimbang, takut perbuatannya terlalu kurang ajar terhadap
lelaki tua itu. Tapi rupanya sifat nakal dirinya lebih kuat
mempengaruhi. "Bolehlah sekali-kali kurang ajar terhadap orang tua seperti
Ki Patigeni," bisik Andika perlahan sambil menyeringai bodoh.
-0o0oa-zo0o0- "Andika! Andika, ke mana kau"!" panggil K i Patigeni keras.
Di dalam gubuknya, Ki Patigeni mencari-cari pendekar
muda itu. Entah ke mana dia. Yang pasti, Ki Patigeni tidak
menemukannya di balai-balai tempatnya biasa terbaring.
Bukan keadaan tubuh anak muda itu yang membuat Ki
Patigeni khawatir. Tapi ada satu hal yang membuat lelaki tua
berwajah berwibawa itu menjadi agak was-was. Di lantai
gubuknya, tampak banyak darah berceceran di mana-mana.
Dalam keadaan masih lemah, memang tidak mustahil ada
tokoh aliran hitam yang membokong anak muda itu.
Mendapat dugaan seperti itu, Ki Patigeni berubah tegang.
Wajahnya menegang sedemikian rupa. Pandangan matanya
berubah penuh kesiagaan. Sementara, pendengarannya
dipasang setajam mungkin untuk dapat menangkap suarasuara mencurigakan. Lama keadaan tegang itu berlangsung.
Sampai akhirnya....
"Patigeni! Keluar kau, Tua Bangka!"
Terdengar seruan lantang dari luar gubuknya. Ki Patigeni
terkesiap, walaupun sudah menjaga kewaspadaan.
"Aku tahu, kau berada di gubuk reot itu, Patigeni! Apa
keasyikanmu menyepi telah membuatmu takut mati dan tak
jumawa lagi"!"
Kembali terdengar teriakan menatang.
Ki Patigeni tak menanggapi. Bukannya takut, tapi hanya
ingin memastikan siapa orang di luar sana.
"Baik, kalau kau tak tertarik terhadap tantanganku.
Mungkin kau tertarik bila namaku kusebutkan.... Aku adalah
Guntara, Iblis Petaka Racun! Kedatanganku untuk membayar
kekalahanku tiga puluh lima tahun yang lalu!"
Untuk yang kedua kalinya, Ki Patigeni terkesiap.
"Guntara"! Jadi keparat itu memang masih hidup?" desis Ki
Patigeni dalam getaran hebat.
Mendadak orang tua itu diserbu kegeraman memuncak,
walau tidak membuatnya kalap. Ketenangannya selaku tokoh
kawakan tetap terjaga. Maka dengan langkah tenang dan
mantap, Ki Patigeni menuju pintu gubuknya.
"Rupanya kau belum juga menjadi penghuni neraka,
Guntara"!" seru Ki Patigeni ketika sudah berdiri di ambang
pintu. Tampak samar-samar di dalam rimbunnya pepohonan
hutan, terlihat sebuah bayangan yang berdiri gagah
menantang. Tak begitu jelas wajahnya, namun mengaku
sebagai Guntara.
"Aku mati" Ha ha ha.... Kau mimpi, Patigeni! Nyawaku tak
akan sudi meninggalkan jasad, kalau kau belum mampus di
tanganku!"
Ki Patigeni tidak menanggapi ucapan orang itu. Dia
mematung dalam kebisuan, seraya menatap tajam pada calon
lawannya. "Kenapa kau diam, Patigeni" Rupanya waktu tiga puluhan
lima tahun telah memupuskan nama besarmu! Tapi, aku tidak!
Nama besarku tetap ada. Dan tak lama lagi, julukan Iblis
Petaka Racun akan berkibar kembali. Lalu, julukanmu...."
"Pendekar Tangan Baja bisa saja menghilang dari rimba
persilatan. Tapi keinginanku untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan, tak akan lenyap sampai mati," penggal Ki
Patigeni penuh wibawa.
"Pendekar Tangan Baja" Ha ha ha...."
Ki Patigeni melihat sosok orang itu terpingkal-pingkal di
kegelapan hutan.
"Kenapa kau tertawa " Aku tak pernah menganggap
ucapanku lucu!" hardik Ki Patigeni. "Dan, mana anak muda
yang berada di gubukku tadi" Jangan sekali-kali mencoba
membunuhnya, Guntara!"
Jawaban dari orang itu ma lah tawa yang terus semakin
bergema. "Kau menanyakan padaku tentang anak muda tolol itu" Kau
pikir darah yang berceceran dalam gubukmu itu darah siapa"
Darah ayam?" ejek orang yang mengaku sebagai Guntara
setelah puas tertawa.
"Jadi kau telah membunuhnya" Manusia tidak tahu malu!
Apa kau tak merasa hina dengan membunuh orang yang
dalam keadaan lemah"!" rutuk Ki Patigeni murka.
"Kau salah jika berbicara tentang welas asih padaku,
Patigeni. Apa kau sudah lupa kalau aku tidak segolongan
denganmu?"
Gigi Ki Patigeni beradu, hingga terdengar gemeletuk yang
dalam. Sementara rahangnya mengejang keras dalam garis
wajah yang diselimuti api kemarahan, mendengar kalau
Andika telah dibunuh Guntara. Kedua tangannya yang pernah
membuatnya terkenal dengan julukan Pendekar Tangan Baja,
mendadak mengepal kuat-kuat. Sesaat kemudian.....
"Hiaaa...!"
Tubuh Ki Patigeni me luncur deras di udara menuju orang
yang bernama Guntara. Saat itu, tekadnya sudah bulat untuk
mengadu jiwa dengan manusia keparat yang pernah
dipecundanginya tiga puluh lima tahun lalu. Memang, dialah
pendekar yang mengalahkan Guntara. Pada saat Ki Patigeni
bercerita pada Andika pada waktu itu, hal dirinya sebagai
seorang tokoh kawakan dirahasiakannya. Itu dilakukan hanya
untuk menjaga agar dapat menyepi dengan tenang, tanpa
harus mengotori tangannya dengan darah. Rasanya, tugas itu
sekarang sudah menjadi tanggung jawab pendekar-pendekar
muda. Maka, pantas saja kalau lelaki tua itu akan marah besar
tatkala pemuda yang diharapkan mampu menerima tongkat
tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan menegakkan
keadilan dan kebenaran, ternyata dibunuh musuh lamanya.
Pada saat Ki Patigeni melayang di udara, lawannya yang
tetap berdiri di kegelapan rerimbunan pohon melontarkan
sesuatu yang melesat cepat ke arahnya.
Wesss...! Ki Patigeni terkesiap sejenak. T api sebagai tokoh kawakan
yang sudah banyak makan asam garam, serangan mendadak
itu tak membuatnya kelimpungan. Karena untuk menghindar
tidak ada kesempatan lagi, dengan tangkas ditangkapnya
benda sebesar kepala manusia itu dengan sepasang
tangannya. Tep! Benda itu tertangkap di udara. Bersamaan dengan itu,
tubuh Ki Patigeni meluncur ke bawah. Saat itu hatinya benarbenar dibuat was-was, karena sudah menduga kalau benda
yang dilempar musuhnya adalah kepala Andika. Tapi apa yang
didapatnya"
"Astaga!" Ki Patigeni berseru bingung.
Ternyata benda di tangannya hanya seekor ayam yang
sudah disembelih!
"Apa-apaan ini"!" dengus Ki Patigeni dalam hati. Orang tua
itu sama sekali tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.
"Hehehe....!"
Terdengar lagi tawa orang yang mengaku Guntara,
sehingga membuat Ki Patigeni tersadar dari keheranannya.
"Kita sudah impas, ya Ki! Waktu itu, aku terpancing olehmu
sehingga tanpa kusadari aku mengakui julukanku. Kini kau
yang berhasil kupancing!"
seru orang itu sete lah menghentikan tawanya.
Sosok itu kemudian keluar dari kerimbunan hutan dengan
berlenggang santai. Dia ternyata Andika. Pemuda ugal-ugalan
itu lalu mendekati Ki Patigeni yang masih terpana.
"Salam hormatku, Pendekar Tangan Baja, tokoh tua yang
telah mempecundangi Guntara a lias Iblis Petaka Racun," ucap
Andika seraya menjura hormat. Sementara, mulutnya sibuk
menahan tawa yang hendak ambrol begitu saja.
"Kau meledekku, ya" Anak muda brengsek! Dari mana kau
tahu kalau Guntara itu musuhku"!" semprot Ki Patigeni sedikit
mangkel dijadikan kambing congek oleh Andika.
"Aku memang tidak tahu, sebelum kau sendiri yang
mengakuinya tadi Aku hanya coba-coba melihat tanggapanmu, bila aku berteriak-teriak mengaku sebagai Guntara.
Kupikir untung-untunganlah. Kalau ternyata kau memang
pendekar yang telah mempecundangi Iblis Petaka Racun,
syukurlah. Kalau ternyata bukan, toh aku tidak rugi...," jawab
Andika santai. "Kau...," ujar Ki Patigeni seraya mendelikkan mata.
"Oh, iya Ki. Lebih baik ayam di tanganmu itu kita bakar
untuk makan siang. Dan soal darah di gubukmu itu, aku m inta
maaf. Aku lupa kalau gubukmu bukan tempat potong ayam.
He he he...!" kilah Andika, berpura-pura tak melihat mata Ki
Patigeni yang membesar.
-0o0oa-zo0o0- Malam telah menjelang. Seperti hari-hari biasa, angin
dingin mulai berlarian bebas di alam terbuka. Daun pepohonan
mulai merebah perlahan untuk beristirahat. Matahari benarbenar telah terpulas beberapa saat lalu.
Ki Patigeni dan Andika tengah duduk santai di balai-balai
Suling Emas 16 Pendekar Gila 16 Istana Berdarah Rahasia Golok Cindar Buana 1

Cari Blog Ini