Ceritasilat Novel Online

Macan Kepala Ular 1

Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular Bagian 1


MACAN KEPALA ULAR
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Macan Kepala Ular
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Sinar matahari naik cepat ke puncak hari. Tepat di ubun-ubun setiap
penghuni bumi, sinar tajamnya menghujam. Dalam terik yang ganas itu, seseorang melakukan semadi di tengahtengah perbukitan pasir tandus.Badan orang itu amat kurus. Tulang iganya
menonjol keluar, cuma berbalut kulit. Kulitnya sendiri hitam. Tentu saja bukan
cuma akibat garangan sinar matahari saat itu.
Kulitnya memang hitam semenjak dia lahir ke bumi. Lelaki kurus itu mengenakan
semacam sorban dekil kecil di kepalanya.
Bersemadi di puncak bukit pasir tandus serta di
bawah hujanan sengatan matahari saja sudah memancing perhatian. Terlebih lagi
karena dia seperti sengaja membiarkan dirinya digarang sampai gosong dengan
tubuh terbuka tanpa pakaian cukup itu. Yang dikenakan cuma kain penutup dekil di
bagian 'rahasia' saja.
Wajahnya terlalu asing untuk disebut sebagai
penduduk asli tanah Jawa. Hidungnya memancung
kelewatan. Agak membengkok seperti paruh burung
kakatua. Bibirnya tipis. Sedangkan matanya yang berbiji besar, terpejam khusuk.
Tak seperti lazimnya cara semadi penduduk tanah
Jawa, orang satu ini melakukan hal itu dengan cara unik.
Kedua telapak tangannya bertemu di depan dada.
Sementara kedua telapak kakinya dipertemukan di atas tengkuk! Dari kejauhan,
tubuh lelaki itu terlihat seperti hewan aneh negeri antah berantah....
Luar biasanya lagi, dalam keadaan yang begitu
menyiksa bagi orang lain, wajah si orang kurus bersorban malah memperlihatkan
ketenangan. Tak terbersit sedikit pun mimik tersiksa.
Sementara karena kelewat hebatnya diganyang
panas, kulit lelaki bersorban menjadi demikian kering. Tak ada
lagi keringat. Bahkan kulit tersebut seperti memantulkan kembali sinar matahari. Sampai seorang wanita datang tergopoh-gopoh
padanya. "Amitha, berhentilah kau melakukan yogamul Aku perlu bicara!" bentak wanita yang
juga berkulit hitam
'langsat'. Badannya sebesar biang kerbau. Kalau dihitung-hitung, mungkin
lemaknya bisa cukup untuk persediaan makan orang satu rumah selama sebulan.
Wajah perempuan yang baru datang ini pun tak beda dengan lelaki kurus bersorban.
Hidungnya mancung dan agak membengkok. Matanya besar dengan bulu mata
hitam pekat. Di antara sepasang alis lebatnya diberi tanda titik hitam.
Rambutnya hitam panjang, serta dikepang dua.
Dengan pakaian yang mempertontonkan perut
kendornya, perempuan itu berlari-lari mendekat. Bumi menjadi
'gonjang-ganjing'
akibat hentakkan badan borosnya.... Dung! Dung! Dung!
Ngeri-ngeri, lelaki kurus yang dipanggil Amitha
membuka sebelah matanya. Menyaksikan perempuan
bengkak tadi datang, matanya cepat-cepat dipejamkan kembali. Bibirnya sedikit
meringis, meski dia sudah mati-matian berpura-pura tidak tahu.
Tiba di depan Amitha, perempuan bengkak bertolak pinggang. Perutnya yang selebar
'jagat' menaungi wajah keling Amitha dari sengatan matahari. Itu bagus. Yang
tidak bagus,bau
seperti lobak mentah justru langsung menyengat hidung Amitha!
Amitha terbangkis.
"Hua... hua... chuihh!"
Kalau sedang melakukan yoga, Amitha biasa
mengendalikan inderanya. Dia bisa membuat telinganya tidak menangkap s uarasuara. Biasa membuat kulitnya menjadi mati rasa. Atau bisa membuat hidungnya
tidak menangkap bau dan aroma. Tapi, aneh! Kalau giliran bau istrinya, dia bisa
mencium juga"!
Ya, perempuan bengkak itu memang istri Amitha.
Istri sah yang dinikahi Amitha di tepian Sungai Suci
Gangga, sebelum mereka berangkat ke pulau Jawa dengan menumpang kapal dari
Gujarat. Keduanya berasal dari satu kasta yang sama. Mereka berasal dari kasta
sudra* Orang sudra hanya boleh menikah dengan sudra, begitu aturannya.
Belum lagi sewindu masa pernikahan, Amitha sudah merasa telah keliru besar
mengawini perempuan bernama Neelam itu. Bagaimana tidak begitu"
Dulu. Dulu sewaktu baru menikah di hadapan
pendeta tua Hindu, tubuh Neelam begitu sintal, begitu menggiurkan bagi lelaki
mana pun. Wajahnya begitu mempesona juga bagi lelaki mana pun. Memandang
matanya seolah menemukan keindahan purnama yang
tertangkap permukaan Sungai Gangga.
Tapi kalau sekarang, setelah hanya dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya, setelah mereka menikah dan berat perempuan itu
langsung bertambah dengan pesat, pesona Neelam berubah menjadi kiamat bagi
Amitha. Tubuhnya kini begitu menggidikkan... bagi lelaki mana pun!
"Kau jangan berpura-pura tidak mendengarku, Amitha!" geram istrinya di depan
Amitha. Geramannya lebih menyeramkan dari seekor serigala betina kelaparan.
Amitha bergidik. Biasanya tangan besar Neelam bisa seenaknya mendarat sesuka
hati. Bisa di ubun-ubunnya, bisa di pipinya, bisa juga di tengkuknya. Tahu
sendiri, tangan orang sebengkak itu pasti beratnya sama dengan gada Manik
Angkeran, musuhnya Damar Wulan dalam
cerita rakyat! Itu masih mending. Bagaimana kalau istrinya tahu-tahu memeluntir
kaki Amitha yang kebetulan
disangkutkan di tengkuk" Bisa-bisa dia benar-benar menjadi hewan aneh!
Makanya Amitha langsung menyahut mendayu-dayu.
Sedikit merayu istrinya yang sedang marah-marah.
"Ada apa, Adinda Sayang...?"
"Ada apa, ada apa! Bangun kau! Kerjamu cuma bisa yoga saja. Sana ke kotapraja!
Cari kerja atau apa! Kita butuh
makan, tahu"!"
semprot Neelam tak berperikemanusiaan.
Beringsut Amitha bangkit. Hatinya terus mengutuk-ngutuk, sedangkan wajahnya
dibuat tetap semanis
mungkin. Memang mesti begitu. Kalau tidak, bogem Neelam bisa langsung melayang.
"Ayo sana cepat pergi!" usik Neelam.
"Baik Adinda...."
"Pergi!"
"Baik! Baik!"Tergopoh-gopoh, Amitha pergi dari tempat itu.
*** Hari mulai agak bersahabat ketika Amitha tiba di
kotapraja. Sore jatuh melamat.
Matahari condong
sepenggalan. Suasana kotapraja seperti hari biasa. Dari awal pagi tadi sampai
menjelang maiam nanti, denyut daerah itu tak berhenti barang sejenak. Kalau hari
mulai agak larut, barulah sepi agak menguasai.
Sore itu juga Amitha tiba di sana. Selama hampir sepertiga hari dia berjalan.
Amitha memang harus begitu.
Kuda dia tidak punya. Uangnya saja tak cukup untuk menyewa kereta reyot sekali
pun. Di tangannya ada semacam keranjang belanjaan
besar yang sebetulnya tak sesuai dengan ukuran badan lelaki kurus itu. Tadi,
sebelum dia benar-benar beranjak jauh, istrinya memanggil santer. Diperintahnya
Amitha membawa keranjang belanjaan sekalian.
"Beli keperluan kita untuk seminggu!" begitu pesan Neelam tegas, beringas dan
mengancam. "Tapi uangku hanya cukup untuk makan setengah hari" Dengan apa aku membeli
keperluan makanan untuk seminggu?" keluh Amitha, berusaha membantah.
"Kerja! Kerja! Orang sudra tak akan bisa makan kalau tidak kerja! Kita bukan
orang-orang Ksatria*. yang boleh uncang-uncang kaki sambil mengelus perut mereka
lalu menerima pajak dari perasan keringat orang-orang
kecil seperti kita," sembur Neelam sengit.
Amitha ngeri kalau Neelam sudah bicara dengan
mata mendelik-delik. Bingung tidak bingung, lelaki kurus itu jalan juga. Pesan
istrinya yang lebih terasa sebagai ancaman baginya tinggal bagaimana nanti saja.
Mana bisa dia belanja keperluan seminggu sementara uangnya c uma cukup untuk
makan setengah harian"
Ah, jalan satu-satunya dia harus kerja dulu untuk memenuhi 'sabda' istrinya. Itu
artinya dia tidak akan pulang dalam satu dua hari. Itu artinya Neelam di rumah
akan menunggu lebih lama. Itu artinya....
"Hoi, jalan jangan bengong begitu! Apa kau mau terlindas"!" bentak seseorang
pada Amitha. Amitha terkejut bukan main. Rupanya dia melamun
di tengah jalan kotapraja. Satu kereta kuda terhalang olehnya. Dan itu
menyebabkan sang sais menjadi gusar.
Amitha hendak meminta maaf, tapi kereta itu sudah meluruk cepat.
"Ada-ada saja...," gumam Amitha.
Lalu Amitha berjalan gontai kembali di jalan
berdebu. Perasaannya serasa dijepit, mengingat dirinya dilahirkan hanya sebagai
orang sudra. Kenapa dia harus dilahirkan sebagai sudra" Gumam hatinya, seperti
mencoba menghujat Tuhan. Apa memang Tuhan tak punya cukup keadilan" Bukankah
sewaktu dilahirkan semuanya sama, tanpa pakaian dan embel-embel apa pun" Apa
Tuhan hanya memihak para hartawan dan bangsawan"
Kalau begitu, tidak perlu ada sorga, tak juga perlu ada neraka. Bukankah kedua
tempat akhir itu diciptakan untuk menyempurnakan keadilan Tuhan yang tak
ditegakkan manusia secara benar di dunia"
Dunia... dunia, keluhnya membatin. Banyak jurang yang telah diciptakan manusia
sendirl Sudah terlalu penat dunia ini dengan sekian dalih beberapa manusia dan
beberapa golongan untuk memelihara kepentingan sendirl Amitha mengenyahkan
segala pikiran tadi. Dia harus cepat membereskan urusan. Ke kotapraja tujuannya
hendak mencari keperluan hidup, sekaligus mencari penghidupan. Bukan hendak
menyesali nasib. Tapi, belum lagi jauh Amitha beranjak dari tempat semula, dari
arah selatan terdengar teriakan menggidikkan seorang lelaki.
Teriakan tadi begitu giris di telinga Amitha. Memaksa lelaki kurus ini menoleh
dengan mata membesar.
Ada apa" Tanya hatinya, penasaran.
Dilihatnya sekitar seratus depa dari tempatnya
berdiri, seorang bertelanjang dada sedang meregang-regang di udara. Ada yang
membuat tubuh kekar berotot itu melayang setinggi belasan kaki. Selain itu,
seperti ada tenaga kasat mata yang mencekik lehernya, membuat orang tadi bagai
direjam sakaratul maut!
Amitha berlari memburu ke tempat kejadian. Hatinya dirasuki keingin tahuan
membludak. Sementara berlari, dia terus bertanya-tanya membatin. Ada apa" Tak
lagi dipedulikannya keranjang besar di tangannya. Seperti dia tak peduli pada
amukan Neelam nanti jika tahu dia malah melancong ke urusan lain.
Ada hal yang sebenarnya membuat Amitha merasa
harus melihat kejadian itu dari dekat. Orang yang sedang meregang maut di udara
berasal dari negeri yang sama dengan dirinya: India. Itu diketahui Amitha dari
bentuk tubuh dan wajahnya. Di tanah rantau yang jauh dari negeri asal,
selayaknya orang-orang seperti mereka saling menolong, pikir Amitha.
Tiba di tempat kejadian, Amitha s udah nyaris
terlambat. Lelaki yang terapung di udara sudah mendekati ajal. Regangan tubuhnya
melemah, sebelum akhirnya terjuntai tanpa gerak. Sebagai seorang yang cukup tahu
banyak tentang perihal tubuh manusia yang dipelajarinya dari ilmu yoga, Amitha
menyadari lelaki itu belum lagi mati.
Cuma, kalau dia sempat terlambat sedikit saja, maka nyawanya akan benar-benar
terlempar dari raga!
Untuk menolongnya, Amitha harus tahu dulu dalang perbuatan keji itu. Jika tidak,
sama artinya dia hendak mengeringkan sumur, kerja yang belum tentu ada hasilnya.
Cepat mata cekung Amitha mencari biang keladi
perbuatan keji tersebut. Tak sulit menemukannya. Amitha menyaksikan seorang
lelaki berpakaian kelabu dari kulit kerbau berdiri melipat tangan di dada. T
ubuhnya tinggi kekar. Berdada penuh bulu lebat Wajahnya di samping
memperlihatkan paras kejam, juga menakutkan. Kedua sisi wajahnya tak memiliki
keselarasan satu dengan yang lain.
Lobang hidungnya besar sebelah. Seperti juga matanya.
Sementara bibirnya sebelah kiri melekuk ke bawah, dan yang sebelah kanan melekuk
ke atas. Berkali-kali kulit pipi sebelah kanannya bergerak-gerak. Ada
ketidakberesan saraf wajah lelaki itu.
Sambil mendeliki terus lelaki India yang mengapung sekarat di udara, otot
dadanya mengejang. Tampaknya lelaki berwajah buruk sedang mengerahkan tenaga
amat kuat. Tenaga itulah yang pasti sedang merejang lelaki India dengan cara
yang aneh di udara.
*** 2 "Hei, berhenti, kau!"
Bentakan Amitha membawa hasil. Lelaki berkebangsaan India yang sedang melayang meregang nyawa di udara saat itu juga
terjatuh ke tanah bersamaan dengan teralihnya perhatian lelaki berparas buruk.
Dengan mata membersitkan kegeraman tak terhingga, si lelaki berparas buruk menatap Amitha.
Sebelah matanya yang sudah besar makin membesar.


Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa berujar apa-apa, dilepasnya senyuman mencemooh.
Satu sikap yang selalu ditampakkan oleh orang-orang berjiwa angkuh, menganggap
dirinya terlalu besar dan hebat untuk orang lain,
Amitha tak mempedulikan hal itu. Cepat diburunya lelaki India yang baru saja
terjatuh. Keadaan orang itu kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya yang
semula membiru matang mulai kembali pulih. Pernapasan yang semula bagai tercekik
tangan makhluk gaib mulai pula dapat berhembus kembali, meskipun masih tersedaksedak."Kau tak apa-apa, Saudara?" tanya Amitha, mencoba memastikan keadaan
lelaki yang mencoba menyanggah tubuh lemahnya dengan sebelah siku. Satu tangan
yang lain memegangi lehernya.
"Kau terlalu nekat mencoba menolongku, Saudara...," rintih lelaki itu pada Amitha. Bukan dia tak sudi ditolong. Namun,
nampaknya dia lebih tahu siapa yang tengah berurusan dengan mereka saat ini.
Baginya, lelaki dari satu negeri yang mencoba menolongnya telah
melakukan kesalahan besar.
Dan itu menyangkut persoalan nyawa!
"Kau tak tahu kalau kau telah mengusik manusia iblis, Saudara," desah lelaki
tadi, menambahkan.
Amitha mendengus seraya melepas tatapan benci
kepada lelaki berparas buruk.
"Apa pun kau sebut dia, aku tak bisa membiarkan
kau diperlakukan semena-mena," tepis Amitha. Untuk hal satu itu, Amitha memang
tak memandang siapa pun. Tak ada kata takut untuknya ketika dia harus melakukan
tindakan ksatria. (Entah kalau Nee?lam)!
Si lelaki sebangsa yang dibantu berdiri menggelenggelengkan kepala.
"Kau tak lihat bagaimana dia melakukan perbuatan tadi pada diriku, Saudara" Dia
itu manusia iblis. Matanya mampu mengeluarkan kekuatan yang mengerikan...,"
desisnya. "Sebaiknya, kau cepat pergi dari sinl Jangan pikirkan aku....?"Aku tak akan
pergi sebelum memastikan kau selamat," tandas Amitha tegas.
Mendadak terdengar ledakan tawa deras
di belakangnya. Tawa serak bernada terpecah itu melompat keluar dari tenggorokan
lelaki berparas buruk.
"Kau merasa telah cukup hebat untuk menentangku, Orang Kurus?"
Amitha menoleh mendengar hinaan tadi. Mata
besarnya membeliak marah. Cuping hidungnya meninggi.
"Tak ada yang perlu kutakuti. Kau pikir dengan wajah menyeramkan dan kekuatanmu
tadi aku menjadi takut untuk menghadapi kelalimanmu?"
Lelaki berparas buruk tertawa lagi.
"Kalau begitu, nyawamu akan menggantikan nyawa rekan Indiamu itu!" ancam si
lelaki buruk, menandaskan.
Amitha menggeram. Dia sudah tak peduli lagi.
"Jangan...,"
cegah lelaki India tadi, sekali memperingati ketika Amitha hendak beranjak mendekati si lelaki buruk. "Kalau
tadi saja dia hendak membunuhku dengan cara yang begitu menyakitkan hanya karena
aku tak sengaja melanggarnya, apa yang bakal ia perbuat padamu kalau kau
menentangnya seperti itu" Kumohon padamu Saudara, sebaiknya kau cepat menyingkir
dari sini." Amitha mendengus.
"Kumohon padamu, Saudara. Sebaiknya kau mengetahui bahwa kelaliman di atas bumi ini tidak bisa didiamkan saja," sahut
Amitha tegas. Lalu lelaki India naas tadi tak bisa lagi menahannya.
Amitha telah telanjur melangkah ke dalam bahaya yang dianggapnya harus dihadapi
demi sepotong kebenaran, meski dia sadar nyawanya bisa saja melayang karena itu.
"Sekarang apa maumu?" tantang Amitha jumawa.
Lelaki berwajah buruk tergelak. Suara tawanya
meninggi seperti melompati ruang di atas ubun-ubun awan.
"Kau akan segera mampus!"
Di akhir ancaman tak main-mainnya, sebelah mata
lelaki buruk tadi mendadak membesar. Mata yang besar sebelah itu menjadi
memerah. Seperti ada aliran darah berlebihan meruyak ke aliran darah di matanya.
Amat pekat, amat menakutkan.
Dan sebentuk tenaga dahsyat kasat mata kala itu
juga menerjang Amitha. Amitha merasa lehernya ada yang mencekik dengan kekuatan
regangan seratus tambang kapal.
"Aaakh...."
Hanya erangan yang mampu dikeluarkan kerongkongan lelaki kurus dari India itu.
Amitha tak bisa memahami apa yang telah dilakukan oleh lelaki berparas buruk
terhadap lelaki tadi, dan kini terhadap dirinya sendiri. Semuanya begitu aneh
bagi Amitha.Tubuh Amitha meregang, berkutat untuk
membebaskan jalan napas di kerongkongannya. Setiap kali dadanya hendak menarik
udara, saat itu juga dia
merasakan rasa sesak teramat sangat. Perlahan-lahan, wajah Amitha berubah
kebiru-biruan. Kulit wajahnya yang hitam makin membuatnya terlihat matang.
Matanya membeliak-beliak.
Kalau semula lelaki berparas buruk begitu bersemangat melepas gelak tawa, kini dia justru
memperlihatkan garis wajah keras mengejang. Sebelah
pipinya terus saja bergetar-getar. Napasnya tertarik dan terlepas teratur serta
panjang. Juga terdengar mendesis sesekali.
Seperti lelaki sebelumnya, Amitha pun merasakan
tubuhnya mulai terangkat naik. Perlahan tapi pasti dia terangkat semakin tinggi.
Sementara itu, sekujur otot-otot tubuhnya mengejang keras. Amitha menggeliatliat liar. Pandangannya mengabur dan mengabur, seiring dengan siksaan yang mendera sekujur
tubuhnya. Menyaksikan Amitha meregang maut seperti itu,
lelaki India rekannya menjadi nekat. Tak adil baginya jika dia tak peduli pada
keadaan Amitha,
sementara sebelumnya dia telah ditolong Amitha. Dia memang takut, menyadari bagaimana
hebatnya lelaki berparas buruk itu.
Tapi, dia tak ingin dianggap pengecut.
Terhina rasanya jika dia lari membiarkan orang yang menolongnya dari kematian
justru mati menanggung akibatnya.
"Bajingan kau!"
Tanpa mempedulikan keadaan yang masih terlalu
lemah untuk melakukan serangan, lelaki tadi menerjang si lelaki berparas buruk.
Cara menyerangnya tak teratur, menandakan dia bukanlah seorang warga persilatan.
Belum lagi sampai ke arah sasaran, tangannya sudah terayun liar entah ke mana.
Memang, lelaki India itu bukanlah warga persilatan.
Dan di sana terlihat bagaimana tak tahu malunya si lelaki berparas buruk telah
memperlakukan orang lemah seperti dia.
Setibanya di dekat si lelaki berparas buruk, lelaki tadi mencoba menyarangkan
pukulan sekenanya ke wajah lelaki berparas buruk.
Sebelum sempat hantaman mendarat, lelaki berparas buruk tiba-tiba saja mengalihkan bola matanya kepada penyerang. Sebelah
matanya membersitkan sinar kemurkaan berbaur dengan sinar kekejian. Tak sampai
sekedipan mata, terjangan lelaki India tadi tertahan
seketika. Tangannya yang sudah terangkat tinggi-tinggi menjadi kaku di udara
saat itu juga. Lelaki India tadi menjerit. Otot di sekujur tangannya seperti ditarik paksa oleh
empat ekor kuda jantan! Pada saat yang sama, tubuh Amitha meluncur menghantam
tanah. Terdengarlah teriakan keduanya menyatu menjadi satu.
"Akkhhh!"
"Teriakan demi teriakan susul-menyusul. Yang terakhir terpelanting keluar dari
tenggorokan lelaki India tadi. Tampaknya dia merasakan siksaan yang diterimanya
meningkat beberapa kali lipat, menyusul hentakan suara lelaki berparas buruk.
Dirasa tulang di bagian lengannya hendak diremukkan dari dalam. Sedangkan
sendinya hendak tercerabut
Itu bukan sekadar perasaan si lelaki India. Karena tak lama kemudian, bagian
siku di lengannya be-nar-benar terkuak seperti potongan dahan kering yang
dipatahkan. Krrk! Dari bagian kulit yang terkoyak, bersemburan darah segar, menyiram bumi, dan
memerciki sebagian wajah lelaki berparas buruk. Selanjutnya, tangan lelaki tadi
benar-benar terlepas dari sikunya!
Menyaksikan terjatuhnya bagian tangan korban,
orang yang melakukan perbuatan keji itu tergelak-gelak diberondong
kegiranganyang mengerikan. Darah korban yang menempel di sebagian wajahnya
disapu dengan telapak tangan seiring seringainya.
Lalu seperti seekor kelelawar penghisap darah,
dijilatinya darah dari telapak tangan.
"Manusia iblis!" kutuk Amitha, menyaksikan kejadian mengerikan tadi. Sekarang
dia mulai mengerti kenapa lelaki yang senegeri dengannya meminta dia agar tidak
berurusan dengan manusia satu ini. Lelaki itu benar. Orang berparas buruk memang
bukan lagi manusia, melainkan iblis berwujud manusia!
Dijerang kemarahan meluap-luap dan napas yang
memburu, Amitha hendak menerjang lelaki buruk tadi. Apa pun akibatnya, dia tak
ambil peduli, yang ada dalam dirinya saat ini cuma kebencian mendidihkan segenap
kemurkaan dan keberaniannya.
Belum lagi Amitha benar-benar menerjang, dari
kejauhan terdengar siulan bernada tinggi. Dari suaranya, terdengar kalau siulan
itu dilepas dari jarak yang amat jauh. Sepertinya suara tinggi dan panjang tadi
telah melanglangi langit lalu mendarat di tempat itu.
Mendengar siulan, lelaki berparas buruk melirik ke satu arah, di mana siulan
tadi berasal. Tangannya merogoh sesuatu dari balik baju di bagian dada. Sebentuk
mata kalung dari ujung tanduk rusa dikeluarkan. Lalu benda sebesar jari telunjuk
berbentuk pi-pih setengah lingkaran dan memiliki lubang di satu sisinya itu
ditiup. Maka, terdengarlah siulan yang serupa dengan siulan di kejauhan
sebelumnya. Satu-satunya kesimpulan yang bisa diduga Amitha bahwa orang itu
sedang menjawab pesan yang diterima melalui siulan pula. Selesai meniup mata
kalungnya, tanpa mempedulikan dua korban kekejamannya, dia melenting bagai tanpa bobot dari satu atap ke atap lain.
Sampai akhirnya dia menghilang di sebelah barat seolah diterkam matahari senja.
*** Neelam didatangi tiga orang asing.
Seorang perempuan muda, dan dua lelaki. Yang perempuan
memiliki wajah cantik mengundang hasrat lelaki. Dari wajahnya seolah terpancar
kuat godaan birahi. Matanya berbulu lebar, merangsang namun berkesan jahat.
Bibirnya merah ranum, namun selalu tampak menyimpan seringai.
Kulit putih halus tanpa cacatnya terbungkus seronok dengan pakaian yang terbuka
lebar pada bagian punggung dan perut, makin memadatkan kesan menggoda pada
dirinya. Sedang dua lelaki di sisinya bertampang kelewat
bengis. Salah seorang adajah lelaki yang berurusan dengan Amitha di kotapraja.
Yang lain, berwajah tak kalah menggidikkan. T ubuhnya cebol dengan wajah
melebar. Hidungnya pesek. Matanya besar dan mencekung dalam.
Tulang pipinya menonjol dengan kudis sebesar uang logam di pipi kiri. Kepala
lelaki cebol ini gundul. Berpakaian kebesaran dari kulit ular sanca.
Wajah ketiganya tak sebetik pun memperlihatkan
sikap manis ketika menegur Neelam. Wanita India
kelebihan lemak yang ditegur saat itu sedang merajut keranjang buah yang
biasanya dijual untuk mendapatkan nafkah."Hei perempuan!" sapa lelaki cebol.
Neelam menoleh acuh. Karena dia tak suka pada
cara si lelaki cebol menegur, kembali dia melanjutkan menganyam.
"Hei, aku bicara padamu!" bentuk si cebol
berangasan. "Aku tak sudi menyahuti teguran orang tak tahu adat," gerutu Neelam.
"Bangsat!" si cebol gundul mengutuk. Dia hendak maju
menghajar bokong gempal Neelam yang membelakangi. Tapi, tangan perempuan cantik di se-belahnya cepat menahan.
"Kami cuma ingin bertanya," ujar perempuan cantik tadi pada Neelam.
"Apa yang hendak kalian tanyakan?" Untuk
perempuan cantik itu, Neelam masih bersedia menyahut, meski badannya tetap tak
dihadapkan ke arah tiga orang tadi. "Apakah kau berasal dari negeri India?"
susul perempuan cantik.
"Ada urusan apa dengan kalian?" sahut Neelam ketus. Dilemparnya anyaman
keranjang yang baru saja diselesaikan ke tumpukan. Diambilnya potongan bambu
tipis dari tumpukan di sisinya. Dia memulai anyaman baru.
"Jika benar kau dari negeri India, kami ingin mencari
tahu tentang satu hal...."
"Aku tak ada waktu. Kau lihat aku sedang bekerja?"
"Sebaiknya
kau menjawab pertanyaan kami, Perempuan Gemuk! Kami tak mempunyai waktu untuk
bertele-tele!" si cebol mulai berangasan kembali.
"Kalau begitu, kenapa kalian tak segera saja menyingkir dari sini"!" ketus
Neelam. "Kau terlalu memaksa kami untuk berlaku kasar padamu...," kata perempuan cantik
kembali. "Jadi, jangan salahkan kami kalau...."
Kalimat perempuan cantik tadi belum lagi selesai, Neelam sudah bangkit dengan
wajah garang. Lemak di sekitar perut tambunnya berayun-ayun karena dia begitu


Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergegas. Kalau lemak di perutnya saja begitu, jangan tanya 'daging lebih' di
bagian dadanya!
"Kalau aku tak mau bicara, kalian mau apa, hah"!"
hardik Neelam, menantang sekali. "Jangan mentang-mentang aku ini cuma orang
kecil, lalu kalian menganggap bisa berbuat seenaknya padaku!" semburnya kembali
menggebu-gebu, berapi-api.
"Perempuan jahanam!" Meledak sudah kegusaran si orang cebol. Ditepisnya tangan
perempuan cantik yang mencoba menahan kemarahannya.
"Biar kukuliti kulit berlemaknya!"
Neelam diserang si cebol.
Kalau dilihat perbedaan tubuh antara Neelam denga orang cebol yang menerjangnya,
sungguh seperti kerbau betina bengkak dengan anak kunyuk botak.
"Uaaah!"
Dengan kepala gundulnya, si cebol menyeruduk
perut kelebihan lemak Neelam. Gerak larinya berangasan.
Semangat seekor domba sabung tak ada apa-apanya
dengan keberangasan lelaki kekurangan tinggi tubuh ini.
Neelam tertawa. Dia geli melihat bagaimana lucunya cara menyerang si cebol. Di
benaknya, terbersit pikiran untuk membiarkan perut besamya di tanduk kepala
lawan. Dia pikir, orang sebogel itu tak akan memaksa tubuhnya
terpental ke belakang. Sakit saja mungkin tidak. Bahkan mungkin dia justru akan
memaksa tubuh lawan terpental balik dengan sedikit sentakan pada otot perutnya.
Geliat pikiran Neelam bertolak belakang dengan
kenyataan. Ketika....
Begh! Tepat manakala kulit kepala klimis si cebol mendarat di perut Neelam, tubuh perempuan subur India itu mencelat ke belakang.
Ibarat sebatang daun kering terhajar hantaman godam raksasa!
Dalam kancah rimba persilatan, kedigdayaan seseorang tidak diukur dari bentuk tubuh, melainkan dari seberapa hebat dia
menguasai jurus-jurus, tenaga dalam, kelincahan serta ajian-ajiannya. Biarpun
ukuran tubuh lawan terlalu kecil dibanding Neelam, namun kesaktiannya justru
jauh di atas Neelam. Apa-lagi modal Neelam hanyalah ilmu bela diri biasa yang
baru dipelajarinya di tanah Jawa. Tenaga dalam sempat pula dipelajarinya. Tapi,
apalah arti tenaga dalam yang baru dilatih selama beberapa bulan"
Tubuh besar perempuan India itu akhirnya jatuh di dalam gubuk, setelah
sebelumnya menjebol dinding kayu randu.
"Cebol busuk! Akan kulumat tubuhmu...," ge-ram Neelam terbata. Perutnya didekap
kuat. Napasnya seperti ditahan oleh cekikan rantai baja. Sesak luar biasa.
Susah payah, Neelam bangkit.
Untuk orang kelebihan bobot seperti dia, mengangkat tubuh adalah pekerjaan paling menyiksa.
Terlebih setelah menerima hantaman hebat di bagian perut.
Melalui lubang besar di dinding gubuknya, Neelam keluar lagi, menggiring golak
kemarahan yang paling ditakuti suami tercintanya. Kaki sebesar telapak badak
menghantami lantai tanah, membayangkan bagaimana gusarnya dia dengan si cebol.
Kalau ada sekawanan tikus bersarang di bawah lantai gubuknya, dijamin mereka
akan terkena serangan jantung seketika!
3 Mentari boleh ngotot mengganyang siapa saja. Boleh menyuburkan perasaan tersiksa
dalam diri siapa pun dengan gempuran panas nya Siang di musim kemarau yang
melibas tanah Jawa memang sama sekali tak bersahabat.
Jangan lagi manusia, tetumbuhan dan binatang pun menelan bulat-bulat akibatnya.
Rerumputan menjelma sekering jerami. Pohon tergunduli. Tanah retak-retak.
Sawah sekarat. Kemarau kali ini adalah kemarau terburuk selama
sepuluh tahun belakangan. Bencana sepertinya tersebar merata ke segenap pelosok
Jawa T imur, Barat, atau Tengah. Lumbung padi milik rakyat kembang-kempis. Sisa
padi mungkin cuma cukup untuk persedian seminggu dua minggu. Sementara, kemarau
belum lagi diketahui
juntrungannya kapan hendak selesai.
Debu kering berlarian sekehendak hati. Menggiring bibit-bibit penyakit menular
mengerikan ke mana pun mereka melayang. Korbannya sudah ratusan orang. Dan belum
pasti akan berhenti dalam bulan-bulan belakangan.
Malaikat maut tak pernah peduli untuk mencabut nyawa siapa saja. Tua atau muda.
Perempuan atau lelaki.
Banyak orang bijak berpendapat, kejadian itu
sekadar isyarat. Orang-orang tanah J awa telah banyak melupakan sang Khalik,
ujar mereka. Bumi yang ber-tasbih selalu pada Penciptanya, mulai uring-uringan
karena banyak insan berubah jadi hewan di atas ubun-ubunnya.
Mereka berjalan dengan segenap ke-angkuhan dan
kerakusan. Jadi, ratakan saja dengan tanah! Agar mereka tak bisa lagi
membusungkan dada terlalu tinggi dan meraup sekehendak nafsu. Wabah dan bencana
pun tercipta. Bagi seseorang yang kini tampak berjalan di tanah pematang kering, siksaan panas
luar biasa tak pernah terlalu mengusik hari-harinya. Terus ke barat dia
berjalan. Tanpa beban. Orang ini berusia muda. Tampan. Kekar berotot.
Rambut panjang ikal sebatas bahu. Tanpa tataan, anak rambutnya jadi meliuk-liuk
liar diterpa angin panas.
Pakaiannya hijau-hijau. Di bahunya berkibaran kain bercorak catur, berlomba
dengan gerakan lemah gemulai anak rambut.
Sejenak kakinya berhenti melangkah pada percabangan pematang kering. Ditebarnya pandangan ke sekitar. Di sana-sini yang
ditemukan cuma petak-petak kering kerontang. Angin mengikir permukaan-nya yang
berubah menjadi debu.
Bibir tipisnya meringis. Satu tangannya mengu-sap-usap perut.
"Jangan-jangan, besok aku sudah tak bisa makan nasi lagi.... Syukur-syukur masih
bisa ketemu ubi. Kalau yang ada cuma sandal bakiak" Apa aku mesti makan sandal
bakiak?" gumamnya.
Ah, gara-gara alam uring-uringan semuanya jadi
scngsara. Bahkan yang tak berdosa pun jadi ikut susah, bisik batinnya.
Barangkali, supaya semua manusia sadar bahwa memelihara amanat sang Pencipta
adalah tanggung jawab bersama.... Jangan ada yang seenak udel mengeruk untuk
membuat gendut perut sendiri!
Usai berbincang dengan diri sendiri, anak muda itu melanjutkan langkah.
Dia tentu saja Pendekar Slebor. Tujuannya tak jelas.
Dia sendiri belum yakin benar apa benar-benar berniat melangkah terus ke arah
barat. Di mana-mana keadaannya nyaris sama. Kekeringan, kekerontangan!
Melewati hamparan sawah kering, anak muda itu
sampai di lembah berbukit. Di sana juga kering. Di tengah-tengah lembah, matanya
menemukan satu gubuk kecil.
Sepi saja di luar. Terlihat tak ada satu manusia pun.
Namun, bukan berarti tidak ada orang. Siapa tahu pemiliknya sedang berada di
dalam. Pendekar Slebor melangkah ke sana. Kerongkongannya sudah seperti karet terbakar. Terlalu kering,
hingga seperti melekat satu sama lain. Dia perlu sedikit minum. Barangkali orang
di dalam gubuk bisa memberi seteguk dua teguk air pelepas dahaga, harapnya.
Sampai di sana, Pendekar Slebor malah disuguhkan pemandangan yang membuat
kerongkongannya makin
kering. Disaksikannya seorang perempuan gemuk tergeletak menjadi mayat. Tubuhnya tergeletak di belakang gubuk dalam keadaan
menyedihkan, kalau tak cukup dibilang mengenaskan. Burung-burung pemakan bangkai
yang kelaparan dan akhir-akhir ini kebanjiran rezeki karena banyak yang mati
sekali ini mendapat santapan besar.
Ada sekitar tujuh ekor burung pemakan bangkai
mulai mencabik-cabik tubuh berlemak mayat perempuan tadi. Satu sama lain saling
menguasai bagiannya. Dengan tamak dan rakus, mereka akan mematuk yang lain jika
merasa bagiannya diserobot.
Pendekar Slebor mengambil batu. Dilemparnya batu itu untuk mengusir burungburung pemakan bangkai.
Binatang-binatang itu pun berhamburan ke angkasa, terbang dengan riuh rendah
koakan yang memaki-maki perbuatan Andika.
"Koak! Koak! Koak!" teriak mereka merangas.
"Kau yang 'koak'!" balas Pendekar Slebor bersungut-sungut.Anak muda itu lalu
mendekati mayat perempuan tadi. Seorang perempuan India. Neelam. Perempuan itu
tertimpa nasib malang di tangan si cebol. Si cebol dan dua rekannya sendiri
sudah tak ada di sana. Entah ke mana mereka.
Pendekar Slebor meneliti sejenak. Debu menutupi
sebagian mayat Neelam. Dalam musim kemarau seperti sekarang, wajar saja debu
cepat campur tangan. Tapi kalau menilik tebalnya debu, Andika yakin perempuan
itu belum lama mati. Lebih jelas lagi ketika dia melihat genangan darah yang
sudah agak mengental di samping leher Neelam. Darah itu rupanya terpaksa keluar
dari mulut karena satu hantaman hebat di bagian dada.
Untuk meyakinkan dugaannya, Pendekar Slebor
memeriksa bagian dada mayat perempuan itu. Matanya membesar menyaksikan bagian
kiri mayat ternyata
mencekung dalam. Lebarnya sebesar telapak tangan bocah kecil. Dalamnya sekitar
setengah jengkal.
Pendekar muda dari Lembah Kutukan itu makin
yakin saja kalau cekungan itu bekas pukulan tinju seseorang ketika menemukan
bentuknya yang mirip
kepalan. Tapi kalau menilik ukurannya, Pendekar Slebor jadi ragu lagi. Apa
mungkin seorang bocah dapat
melakukan hal sehebat itu" Sebab, menurutnya bukan sembarang orang dapat
melakukan. Pukulan itu adalah hasil olahan sempurna tenaga dalam tingkat tinggi.
"Bocah kecil?" desisnya, masih tetap bersimpuh di sisi mayat. Ingat bocah, dia
jadi ingat Walet. Anak itu pun memiliki kesaktian tinggi.
Tapi, dia bukan bocah
sembarangan. Dia sesungguhnya adalah titisan seorang pangeran. (Lihat ceritanya
dalam episode: "Mustika Putri Terkutuk", dan "Bayang-Bayang Ga-ib").
Lalu apakah orang yang membunuh mayat
perempuan ini juga bocah ajaib seperti Walet" Andika belum bisa memastikan.
Selanjutnya, kembali diteliti mayat tadi. Di tangan kanannya, anak muda itu
menemukan satu kalung. Tentunya kalung itu tersambar tanpa sengaja ketika
bertarung dengan lawannya, duga Andika. Diperhatikannya kalung itu seksama. Mata kalungnya terbuat dari ujung tanduk
rusa. Besarnya seukuran jari telunjuk. Berbentuk pipih setengah lingkaran dan
memiliki lubang di satu sisinya.
"Tampaknya ini semacam peluit," reka Pendekar Slebor. "Dengan benda ini, kuharap
aku akan menemukan pembunuh perempuan ini," tekadnya. Selaku seorang ksatria
sejati, tak pada tempatnya kalau Pendekar Slebor tak mau ambil peduli. Memang,
dia sama sekali tidak tahu jelas persoalannya. Kemungkinan kalau mayat perempuan
itu adalah seorang tokoh sesat pun ada di benaknya. Tapi, bagaimana kalau
perempuan itu justru orang teraniaya"
Untuk itu Andika merasa harus lebih jauh terlibat.
Kecamuk rasa penasaran di hati Pendekar Slebor
diberangus teriakan menggila seseorang di belakangnya.
"Neelaaaam! Wuaaa haaa!"
Andika terlonjak kaget. Dia sampai melompat tak
sadar seperti seekor anak kunyuk. Tolol sekali ke-lihatannya. Padahal Andika
sebal kalau dirinya terlihat tolol tanpa disengaja seperti itu. Maunya dia,
kalau kaget ya kaget saja. Tidak usah pakai melompat seperti itu segala.
Ya, yang namanya kaget masa' bisa diatur"
Orang yang baru datang ternyata Amitha. Dia
kembali ke tempat tinggalnya dengan perasaan tak menentu. Lelaki di pasar yang
berasal dari negeri yang sama dengannya telah mati kehabisan darah. Sebelum
berangkat pulang, Amitha telah mengurus jenazahnya dengan tata cara adat dari
negeri mereka. Meski
sederhana, Amitha berharap dia telah melakukan dengan sebaik-baiknya.
Tujuan semula untuk belanja keperluan sehari-hari atas 'titah' istrinya sudah
menguap dari benak lelaki itu.
Pikirannya terus saja digerayangi peristiwa di pasar tadi.
Setibanya di rumah gubuknya, betapa terperanjatnya Amitha menyaksikan sang istri. Dari kejauhan, dilihatnya tubuh istrinya
sudah membujur kaku di depan seseorang tak dikenal tahu 'Adinda' tercinta yang
sekaligus dibencinya habis-habisan mati menyedihkan, lelaki itu jadi mata gelap.
Bukan sedih lagi pasti. Setidak-tidaknya perasaan Amitha sebanding dengan
kesedihan seribu satu ditambah seribu satu
kakek pikun kehilangan istri kelima! Wih!
"Kau apakah dia anak muda keparat"! Kau apakan dia"! Haaa!" teriak Amitha
meledak-ledak selagi berlari serimpungan mendekati jenazah Neelam.
"Jeee, memangnya aku apakan?" tangkis Andika tersurut.
Andika beringsut ngeri-ngeri dari tempat semula.
Melihat penampilan Amitha saat itu, seperti menyaksikan
setumpuk tahi lalat sedang berlari. Hitam, dekil, bau....
Amitha menubruk mayat Neelam. Dia seseguk-an di
atas (maaf) pusar mancung istrinya. Membuat bangkai empuk itu bergoyang-goyang
bak alunan ge-lombang lautan teduh. Sudah buyar begitu saja ajaran-ajaran yoga
yang selama ini dicoba didalaminya. Padahal yoga menekankan pada seni penguasaan
tubuh dan pikiran. Sekarang, pikiran dan perasaan Amitha lebur jadi bubur.
Keraknya malah!Puas sesegukan, diangkatnya kepala. Lagipula, kalau terlalu lama
dia bisa jatuh pingsan diserang baunya.
"Kau membunuhnya bukan"!" hardik Amitha dengan mata berpijar-pijar pada Pendekar
Slebor. Andika serba salah. Mulutnya mengobral se-nyum
badak!"Bukan aku, Saudara...," aku Andika jujur.
"Memang kau!"
"Bukan Saudara...," kata Andika lagi, berusaha bersabar.
"Ah, memang! Memang! Memang!"
"Kutu kupret!" jengkel Pendekar Slebor dalam hati.
Apa dimusim kemarau otak orang-orang jadi meleleh"
Masa' tak ada angin tak ada kentut, menuduh orang seenaknya"
"Aku menemukan dia sudah menjadi mayat,
Saudara!" tandas Pendekar Slebor, mulai naik juga darahnya."Aku juga!"
"Maksudku, aku tidak membunuhnya! Mengerti
tidak"!?"Huu-huu-haaa!" Amitha mulai merengek-rengek lagi.
Air matanya terburai-burai, berlinangan melimpah. Aneh juga kalau mengingat saat
itu sedang kemarau panjang.
"Jadi siapa yang telah membunuh dia kalau ternyata kau tidak mengaku"!" cecar
Amitha kembali.
Entah karena tidak tahu lagi pada siapa harus
menumpahkan segala kegundahan,
kesedihan dan kemarahan. Segalak tikus sawah Amitha melabrak
Pendekar Slebor juga. Nah lo! Kena getahnya anak muda itu.... "Kau harus mati!
Bayar nyawa istriku! Heuaaa!"
"Bayar" Seenaknya menyuruh orang bayar. Memangnya aku hutang apa sama dia?"
rutuk Pendekar Slebor membatin. Sampokan telapak tangan selebar tiga kantong
kemenyan milik Amitha dihindarinya tanpa kesulitan.


Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amitha jelas bukan tandingan nama besar Pendekar Slebor. Sama sekali bukan.
Amitha cuma seorang lelaki biasa yang hanya memiliki keahlian yoga. Itu pun
terbilang tanggung. Jurus-jurus hebat dia tak punya. Apalagi ilmu kanuragan yang
sang-gup membuat bocor jidat seseorang.
Buktinya, di kotapraja dia dijadikan bulan-bulanan empuk lelaki berwajah jelek.
Untunglah Pendekar Slebor masih punya pikiran
sehat. Biarpun dongkolnya sudah berdenyut-denyut seperti bisul, Andika tak akan
meladeni kekalapan tolol Amitha.
"Sudah! Sebaiknya aku pergi saja! Nanti kalau kau sudah dingin, aku akan
kembali! Aku janji akan mencari siapa yang bertanggung jawab atas kematian
istrimu!" tukasnya mengakhiri. Setelah itu dia buron dengan mengerahkan ilmu peringan
tubuhnya. Tinggal Amitha meraung-raung sendiri sambil
mengacung-acungkan tinjunya.
Sekian jam berlalu sesudah menyingkirnya Pendekar Slebor, Amitha sudah
kekeringan air mata. Matanya bengkak sembab. Sesekali dia masih terisak. Untuk
seorang lelaki, dia tak keberatan dibilang cengeng. Baginya Neelam adalah
segala-galanya setelah dirinya. Biar gembrot, cuma dia satu-satunya orang yang
dimiliki Amitha.
Buat Amitha, cintanya tulus. Murni. Putih. Cinta sejenis itu, tak pernah dan tak
perlu memandang zahir.
Cintanya datang langsung dari Hang hati. Ya, biar orang bilang dia beristrikan
gentong arak sekali pun, kalau cinta mau bilang apa"
Terbayang kembali hidupnya bersama Neelam.
Pahit, getir dan manisnya hidup dilalui bersama. Biarpun lebih banyak
getirnya.... "Neelam. Aku berjanji akan menuntut balas
kematianmu! Akan kucari pembunuhmu dan akan kubunuh dia! Aku bersumpah Neelam!
Aku bers umpah!" ucap Amitha di dekat perapian jenazah istrinya. Dengan upacara
sederhana, dia membakar jenazah Neelam. sebagaimana kepercayaan yang dianut
selama hidup. Kayu pembakar. Bunyinya bergemeletakan. Api
mengangkasa. Merahnya seperti hendak membakar langit.
Dalam gerak jalan lidah api, Amitha menusukkan
pandangan. Matanya pun memendam api. Lebih panas dari pembakaran jenazah, lebih
merah dari darah.
Lalu di antara tabir api, lamat-lamat disaksikannya wajah Pendekar Slebor, orang
yang dianggap bertanggung jawab atas kematian Neelam.
"Aku bersumpah Demi Dewa akan kubunuh kau...,"
desisnya. *** 4 Tak habis-habisnya Pendekar Slebor menyumpahi
kesialannya hari ini. Bertemu Amitha, baginya tak lebih dari kesialan.
Menyakitkan kalau dirinya dituduh untuk satu perbuatan
yang tidak dilakukan. Sudah begitu, tenggorokannya urung mendapat siraman air. Padahal dahaganya sudah keterlaluan
sekali. Sementara ini, dia akan melupakan dulu soal kalung yang didapatnya dari tangan
mayat Neelam. Sumpah mampus, dia tak ingin mati kehausan.
Kebetulan dilewatinya satu sumur terbengkalai di balik bukit wadas. Tampaknya,
sumur itu sengaja dibuat untuk tempat minum para buruh pengangkut batu.
Dijulurkannya kepala ke mulut sumur. Dalam sekali.
Cahaya tak sampai. Andika tak bisa menentukan apakah di dalam sana dia bisa
mendapatkan air.
Untuk memastikan, sengaja dilemparnya batu kerikil ke dalam sumur tersebut.
"Aneh juga. Kenapa tak ada suara sedikit pun kudengar," bisik Pendekar Slebor
setelah beberapa lama tak juga didengarnya bunyi selang batu dilemparkan ke
dalam. Anak muda itu penasaran. Diambilnya batu kedua.
Dilemparnya pula ke dalam sumur. Lagi-lagi tak ada seberkas bunyi pun
didengarnya. Seperti sebelumnya, tak ada suara percikan air, atau bunyi tanah
terbentur jika sumur itu ternyata kering. Tidak ada sama sekali.
"Kalau begitu, bukan kupingku yang tidak beres.
Sumur ini jelas...."
"Hoi i! Siapa yang iseng-iseng menjahiliku"! Jangan gila, ya"!"
Andika terperanjat. Sedang seru-serunya dia melongok-longokkan kepala, tahu-tahu melompat keluar suara serak cempreng dan
berlendir. Kepala anak muda itu sampai tersentak ke belakang. Pasalnya, kekuatan
suara tadi mengundang dorongan seperti tenaga besi sembrani
sebesar biang gajah. Ah, itu belum cukup. Tepatnya mungkin sebesar biang gajah
bengkak dan buncit pula!
Andika pikir dia sedang berurusan dengan memedi
sumur tua. Tapi apa iya memedi nekat keluar tengah hari bolong begini"
"Siapa di dalam"!" seru Pendekar Slebor, ingin mencari tahu.
"Siapa di luar"!"
Anak muda itu merengut. Pertanyaannya terjawab
juga belum, malah dia ditodong pertanyaan balik.
"Aku seorang pengelana yang membutuhkan sedikit air untuk pelepas dahaga!"
Pendekar Slebor mengalah.
Dijawabnya dulu pertanyaan dari dasar sumur. Dia c uma tak mau harus menahan
haus lagi. Siapa pun di dalam sana, mau memedi kek, mau manusia lumut kek, kalau
bisa diminta sedikit air 'kan tak ada salahnya sedikit beramah-tamah, pikir anak
muda itu. "Mau air?"
Pendekar Slebor lega sekali. Tawaran yang sumpah mampus disambar geledek pelanpelan akan di sambutnya dengan suka cita,
Terdengar lagi suara dari dasar sumur.
"Nih kau terima... khoek cuih!"
Plok! Wajah tampan pemuda itu dihinggapi 'air' berbau
kotoran siluman pemakan jengkol!
Dua kali Pendekar Slebor terperanjat. Tak pernah disangkanya kalau orang di
dasar sumur meludahinya demikian rupa. Tak sempat disadari, tahu-tahu wajahnya
sudah basah. Betapa hebat orang di dalam sana telah melakukan itu demikian cepat
dan dari jarak yang demikian jauh. Kalau si anak muda kesohor yang membuat
banyak warna sesat dunia persilatan pontang-panting saja bisa terkecoh,
bagaimana pula kesaktian orang di dasar sumur"
Rasa jijik menggerayangi cepat.
Terburu-buru disapunya wajah dengan telapak tangan. Wajah Pendekar
Slebor meringis-ringis. Cuping hidungnya kembang-kempis.
Baunya membuat dia nyaris muntah. Slompret!
"Apa air itu yang kau minta"!"
Dari dasar sumur, terlempar lagi pertanyaan.
"Tentu saja bukan dedemit!" maki Pendekar Slebor dongkol. "Aku butuh minum.
Bukan butuh ' racun'!"
sambungnya sewot.
"Oooo, bilang kenapa dari dulu...."
"Dari dulu... dari dulu...," gerutu Pendekar Slebor mengekori.
"Kalau begitu, turunkan timbanya!"
Berhubi ng haus makin menjadi-jadi, Andika tak bisa banyak rewel. Diturutinya
perintah tadi. Tali timba di palang sumur diturunkan.
"Sekarang tarik!" susul suara dari dasar sumur ketika tali timba sudah terulur
seluruhnya. Sekali lagi pendekar muda bernama besar itu
dijadikan kambing congek. Dia mengangkat juga tali timba sesuai perintah.
Ditarik... ditarik. Tak lama, dari kegelapan dan kelembaban mulut sumur
menyembul kepala
seseorang. Wajah keriput perempuan tua terlihat. Ya ampun, seorang nenek jompo
nangkring di atas timba!
Pendekar Slebor mendelik. Hatinya saat itu juga
berdoa habis-habisan supaya orang yang dilihatnya c uma mimpi. Dia itu Nyai
Silili-lilu. Dia adalah adik kandung buyut Andika, Pendekar
Lembah Kutukan. Seorang petapa wanita berusia amat uzur. Hidup lebih dari tiga
keturunan. Dunia persilatan bahkan telah menganggapnya siluman perempuan karena
kesaktian dan keganjilan tindak-tanduknya.
Bagi Pendekar Slebor, perempuan bangkotan tengik itu adalah salah seorang yang
paling ingin dihindarinya setelah buyutnya sendiri! Nenek jompo sakti yang
tingkahnya setiap saat bisa membuatnya mati berdiri!
(Untuk mengetahui tentang tokoh ini, bacalah episode:
"Sepasang Bidadari Merah").
"Oeei i! Kita ketemu lagi!" seru Nyai Silili-lilu meriah.
"Pantas semalam aku bermimpi bertemu ular kadut! Hi hi hi!"
Andika sendiri terpaku seolah benar-benar mati
berdiri! *** Sehari terlewati. Amitha terlihat di dalam gu-buknya.
Lelaki India kurus kering itu berjalan hilir-mudik. Ada sesuatu yang begitu
mengganggu pikirannya. Wajahnya menampakkan kebimbangan kental. Kematian Neelam
tentu saja membuat dirinya seperti direnggut dari kehidupan. Tapi yang
merisaukannya kali ini bukan hal itu.
Ada sesuatu yang lain.
Lama Amitha hanya melakukan hal itu. Sebentarsebentar dia berhenti melangkah. Dipandanginya satu bagian lantai gubuk dengan
mata nanap. Tangannya mengepal kuat,
seakan ingin membulatkan tekad.
Sebentar kemudian, kepalanya menggeleng-geleng ragu.
Dia berjalan lagi. Tak lama, diulanginya pula memperhatikan satu bagian lantai tanah gubuknya.
Sampai akhirnya, lelaki itu memutuskan untuk
melaksanakan niat yang terus mendidih dalam dirinya.
"Aku harus melakukannya! Harus!" tekadnya seraya bergegas mengambil cangkul
kecil dari gantungan dinding.
Membawa benda tadi, didekati bagian lantai tanah yang sejak tadi diperhatikan.
Di bagian tersebut, Amitha mulai menghujamkan mata cangkul dengan wajah
mengeras. Gambaran rasa tegang dan waswas yang bertumbukan kasar dalam dirinya.
Selam seperempat jam berikutnya, sudah tercipta
lobang selebar roda pedati. Dalamnya satu kaki. Di dasar lubang, didapat satu
peti kayu berkerangka baja. Kayunya sudah tampak begitu tua. Namun tetap kokoh.
Sedangkan kerangka bajanya sudah berkarat. Tampaknya sudah begitu tua.
Peti tersebut diangkat Amitha dari dasar lubang.
Dibawanya ke atas meja kayu, dan diletakkan di tepi-nya.
Untuk beberapa saat, si lelaki kurus hitam itu hanya memandangi peti itu.
Keraguan tampaknya meruyak lagi dalam dirinya. Lebih terlihat jelas dalam bersit
sinar matanya. Ketika ingat kematian mengenaskan Neelam, wajahnya mengeras.
Garis-garisnya menguat, menebarkan hawa dendam, lalu menying-kirkan keraguan
dalam dirinya. Dengan rahang mengejang, tangan Amitha lambatlambat mendekati peti di depannya. Tangan kurus itu agak bergetar, pertanda dia
hendak melakukan sesuatu yang pasti amat berat untuk dikerjakan. Tutup peti lalu
dibukanya jalang, seakan ingin membunuh keraguan yang masih mencecarnya bertubi.
Kini, terlihatlah satu kitab kuno setebal setengah jengkal. Sampulnya terbuat
dari kulit Harimau Jawa.
Sedangkan lembar-lembar di dalamnya terbuat dari kulit ular sendok yang disamak
demikian tipis. Tepat di pusat sampul, tertulis aksara Jawa kuno berbunyi: Kitab
Ular dan Macan.Amitha terpaku sejenak menatapi gurat aksara tadi, lekuk demi
lekuk. Tangannya makin bergeletar. Dibaliknya sampul kitab. Di halaman kedua,
ditemukan dua baris tulisan lain.
Gagal akan mati, berhasil akan sesat!
Kitab Ular dan Macam adalah kitab kanuragan sesat yang telah ada jauh sebelum
zaman kejayaan Majapahit.
Kitab itu ditulis oleh seorang petapa sakti dari puncak Gunung Krakatau.
Petapa sakti itu sendiri sebenarnya menulis kitab tersebut untuk diwariskan pada
seseorang yang mampu mengembannya. Namun apa lacur, pengaruh kesaktian di dalam
kitab justru membuat sifat seseorang menjadi serendah hewan.
Sang petapa sakti baru menyadari kesalahan yang
dibuatnya ketika dia menyerahkan Kitab Ular dan Macan pada seorang petapa muda
dari kaki bukit anak Krakatau.
Petapa muda itu menjadi sosok manusia yang tak
mengenal peri kemanusiaan. Rasa manusiawi dalam
dirinya digantikan oleh sifat-sifat buas seekor macan lapar.
Dan kekejiannya bagai dirasuki darah dingin seekor ular.
Rupanya, wangsit yang selama ini diterimanya
sengaja diturunkan Penguasa Semesta untuk menguji hati manusia. Manusia
seringkali tergiur oleh hal-hal yang bisa membuatnya berkuasa di dunia. Entah
itu kekayaan, kedudukan, atau kekuatan. Dengan diturunkan wangsit pembawa ajianajian yang ditulis dalam kitab, setiap orang yang kebetulan mendapatkannya akan
diuji ketegaran hatinya. Ibarat ujian bagi Adam yang diperintahkan Tuhan untuk
tidak me-makan buah khuldi dalam Taman Firdaus.
Ketika sang Petapa Suci dari puncak Krakatau
hendak memusnahkan kitab tersebut, datang lagi wangsit pada satu malam. Wangsit
itu mencegah sang petapa untuk memusnahkan Kitab Ular dan Macan.Dengan berat
hati, petapa itu tak jadi memusnahkan benda tersebut.
Untuk mengingatkan siapa pun yang kebetulan mendapatkan Kitab Ular dan Macan, dia menuliskan dua bait pesan dalam hala-man
pertama. Pesan itulah yang berbunyi: Gagal akan mati, berhasil akan sesat!
Sesuai wangsit terakhir, sang Petapa Suci kemudian meletakkan Kitab Ular dan
Macan dalam peti. Peti itu kemudian dilemparkan ke tengah kawah Gunung Krakatau.
Beberapa puluh tahun kemudian, terjadi amukan
Krakatau. Gunung itu meletus sejadi-jadinya, sehebat-hebatnya,
sedahsyat-dahsyatnya.
Bumi diguncang. Samudera disibak. Lahar termuntah. Peti yang selama ini terkubur dalam lahar
dingin di permukaan kawah
Krakatau, saat itu juga dimuntahkan keluar. Terlempar jauh ke tengah samudera.
Lahar panas membara yang tersembur membakar bagian luar peti kayu berkerangka
baja itu. Merubah warnanya dari coklat kayu menjadi hitam. Gelombang akibat
letusan Krakatau kemudian menggiringnya sampai ke pulau Jawa. Letusan teramat
hebat saat itu membuat kekuatan gelombang sanggup
menggapai jauh ke dalam pulau Jawa.
Peti itu lalu terkubur dalam endapan lumpur selama beratus-ratus tahun. Waktu
bergulir. Endapan lumpur itu kemudian menjadi daerah pertanian s ubur di sekitar
wilayah Kulon Jawa,
Amitha dan Neelam, kebetulan adalah pendatang
yang mengolah tanah di mana peti penyimpanan kitab terpendam. Sewaktu dia hendak


Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membajak ladang,
cangkulnya tanpa sengaja menghantam benda keras. Peti tua itu ditemukan.
Semula sepasang suami-istri perantau itu mengira peti yang mereka temukan adalah
harta karun. Belum lagi dibuka,
Neelam sudah mengidam-idamkan menjadi
Kanjeng Putri hartawan. Setidak-tidak-nya menjadi bandar martabak seantero Jawa
Namun .ketika dibuka, Neelam langsung kecewa. Mimpinya berubah menjadi gerutuan
sebulan penuh. Amitha menanggapi hal tersebut tak seperti Neelam.
Dia tertarik dengan kitab kuno tersebut. Dia yakin telah mendapatkan satu kitab
kesaktian tinggi. Ketika dia mulai berniat
menyimpannya, Neelam langsung pasang bogemnya di depan batang hidung Amitha. Amitha ngeri.
Tapi dia tak berniat menyingkirkan kitab itu. Diam-diam, disimpannya benda
tersebut dalam tanah tepat di bawah lantai gubuk.
Kejadian aneh mulai saat itu menghantui diri Amitha.
Seminggu berturut-turut semenjak mendapatkan kitab itu, dia didatangi seseorang
dalam mimpi. Mula-mula seorang lelaki tua berpakaian putih berjenggot. Tubuhnya
seperti diselubungi sinar. Lelaki tua itu mengangkat tangannya, seolah-olah
mencegah Amitha melakukan sesuatu. Sosok lelaki tua itu lalu memupus. Digantikan
oleh sosok menyeramkan. Besar, bertaring, bermata satu. Di tangan kirinya ada
air dalam bejana berwarna merah bara dan di tangan kanannya ada api.
Sosok menyeramkan itu menyodor-nyodorkan air
pada Amitha. Kalau lelaki tua tak pernah berbicara sepatah
pun, makhluk menyeramkan ini justru membujuk-bujuknya.
"Ayo, terimalah air ini. Dengan air ini, kau akan berkuasa! Kau akan abadi
seperti abadinya diriku. Kau akan menjadi raja diraja manusia! Ayo,
terimalah...."
Sekujur tubuh Amitha saat itu menjadi panas. Meski dalam mimpi, dia begitu
merasakan bagaimana sodoran air di tangan kiri makhluk menyeramkan tadi demikian
menyengat. Lebih hebat dari slaksa kali sengatan bara paling panas di muka bumi.
Aneh, api di tangan kanannya justru sama sekali tak terasa panas.
Ketika Amitha mencoba memandang air itu, wujud
air dalam bejana semerah bara tadi berubah menjadi satu baris tulisan: Ular dan
Macan.... Mulai saat itu, Amitha terus digerayangi ketakutan dalam setiap tarikan
napasnya. Mimpi tentang makhluk alam kegelapan demikian menjejak jelas di
benaknya. Karena terus dihantui, dia lalu berusaha mengusir bayangan menakutkan tersebut
dengan memperdalam
yoga. Selama itu pula, Amitha berusaha menafsir-nafsir mimpinya. Karena
penasaran, dilihatnya kembali kitab itu tanpa sepengetahuan Neelam. Dia mulai
menyadari kitab apa yang telah didapatnya ketika membaca dua bait tulisan di
halaman pertama. Sebuah kitab sesat yang menuntut nyawanya jika dia gagal
mempelajari. Kalaupun berhasil, dia akanjatuh ke jurang kesesatan teramat dalam.
*** Di lain tempat, tepatnya di sumur tua di balik bukit wadas.
Karena setengah modar tak suka bertemu dengan
Nyai Silili-lilu, Pendekar Slebor cepat-cepat melepas tali timba yang
dipegangnya. Dia berharap nenek setengah edan yang nangkring seenaknya di atas
timba segera terjatuh kembali ke dasar sumur.
Andika boleh berharap
begitu. Kenyataannya berbalik seratus delapan puluh derajat. Timba tetap menggelantung di tempat.
Bobot Nyai Silili-lilu mungkin tak lebih berat dari seekor kadal.
Menyaksikan kegagalannya, Pendekar Slebor menepak kening kuat-kuat. Baru dia sadar kalau si nenek sinting memiliki ilmu
kanuragan setaraf dengan buyutnya sendiri. Pendekar Lembah Kutukan. Jadi, jangan
heran kalau dia bisa menguasai berat tubuhnya demikian rupa.
"Mau main licik" Atau 'main' yang lain?" goda Nyai Silili-lilu genit.
Pendekar Slebor menarik napas. Panjang-panjang.
Dalam-dalam. Bakal benar-benar kena musibah, pikirnya.
Tabah... tabah....
Dari atas timba, si nenek sakti melompat ringan.
Hinggap di samping Pendekar Slebor membawa senyum sarat kemenangan.
"Weleh... kau makin guanteng saja, Andika!" pujinya.
Kumat lagi penyakit genitnya. Orang sejompo dia mestinya sadar kalau bau
tubuhnya sudah seperti tanah. Kalau yang namanya Nyai Silili-lilu, hal seperti
itu justru jadi tabu. Apa tidak sinting"
"Boleh dong, aku meminta sedikit ciuman sebagai salam pertemuan?" serbunya lagi.
Andika cengengesan. Cium katanya" Daripada cium
dia, lebih baik cium telapak kaki buto ijo sekalian, pikir Andika merajuk.
"O, jadi tidak mau?" desak Nyai Silili-lilu semena-mena. Mata keriput berwarna
kelabunya mendelik. Pakai tolak pinggang segala lagi. Lagaknya sudah mirip
penjajah dari Mongol.
"Kalau begitu, cium tangan saja!" bentaknya, mulai memerintah.
Wajah Pendekar Slebor tambah terlipat. Mau dituruti, dia tak sudi. Tidak dituruti, tahu sendiri. Nenek sinting satu itu bukan
cuma bisa membuatnya jadi bulan-bulanan.
Dijitaki bertubi-tubi saja masih untung. Bagaimana kalau dia dibuat telanjang bulat" Andika takut"
Bukan soal takut. Ini masalah menyebalkan baginya. Cuma itu.
"Eee, cicit kemenakanku mulai membantah, ya?"
Selesai menghardik, Nyai Silili-lilu menggeram. Di telinga Pendekar Slebor,
geramannya lebih menakutkan dari gonggongan biang setan.
"Cepat cium!"
Nyai Silili-lilu menyodorkan punggung tangan tinggi-tinggi. Meski badannya sudah
membengkok bak tongkat, masih juga sok ditegak-tegakkan. Biar terlihat lebih
berwibawa di mata cicit kemenakannya, barangkali.
Dengan terpaksa, Pendekar Slebor akhirnya 'bertekuk-lutut'. Diciumnya juga punggung tangan Nyai Silili-lilu. Khidmat tidak
khidmat, peduli setan, rutuknya.
"Sebenarnya, sedang apa kau di sini, Uwak?"
Tanya Andika setelah dia terbangkis-bangkis berkali-kali. "Usaha," jawab Nyai
Silili-lilu singkat.
Andika kebingungan. Jawaban tadi sulit dimengerti, meski otaknya sudah tergolong
encer. "Bertapa, tolol! Cari tambahan ilmu. Barangkali masih ada sisa jatah buatku. Apa
itu namanya bukan usaha?"
Andika mengangguk-angguk mengerti. Heran juga
dia, orang sesakti Nyai Silili-lilu masih juga mau menambah ilmunya.
"Apa merasa belum cukup, Wak?"
"Apanya yang belum cukup?"
"Ilmunya" Kurasa kau sudah cukup sakti...."
"Bocah gendeng tidak punya otak! Apa kau pikir aku bertapa untuk mencari ilmu
kesaktian tambahan?"
"Jadi?"
"Aku mencari hikmah! Ini...," Nyai Silili-lilu menunjuk dadanya. "Hati kita
selama hidup pasti penuh kekotoran.
Aku yang sudah mau mampus, ingin sekali membersihkannya terlebih dahulu dengan cara mencari
hikmah. Itu yang aku perlukan - "
'Tapi kok heran ya...."
"Heran bagaimana?"
"Anu, tingkahUwak masih saja tengik...," gumam Andika takut-takut.
"Eee, jaga bacotmu!"
*** 5 Amitha tiba di atas puncak Gunung Kawi,
Karisidenan Cirebon. Berhari-hari dia melakukan perjalanan kaki dari Kulon Jawa menuju Wetan Jawa. Di balik pakaiannya tersembul
Kitab Ular dan Macan.
Sejak terakhir mengangkat kitab dari lubang, Amitha telah memeram tekad untuk
mempelajarinya. Apa pun akibat yang akan menimpa, akan ditanggungnya. Dia sudah
tak peduli lagi. Dia nekat. Dendam telah
membutakan mata hatinya. Lelaki kurus hitam itu tak bisa lagi membedakan mana
cara yang benar dan mana cara sesat. Waktu itu, tepat ketika Amitha mencoba
membaca halaman kedua Kitab Ular Macan, mendadak saja dari tempatnya berpijak
tersembur asap hitam pekat, tebal dan menggumpal padat.
Amitha ketakutan. Amitha panik. Setakut-takutnya dia, sepanik-paniknya dia,
lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa. Seluruh jaringan otot dan persendiannya
seperti mati. Dia tak mampu bergerak, meski sekadar mengedipkan kelopak mata.
Dalam kungkungan ketakutan teramat sangat, asap
kelam yang merubunginya di tempat perlahan tapi pasti mengumpul menjadi sosok
tinggi besar berbulu. Mulutnya menyembulkan dua taring besar. Matanya hanya
satu, tepat di atas batang hidungyang tak kalah besar dengan bola mataberwarna
merah darah. Ada desis menggebah bulu roma ketika mata itu me-natap Amitha.
Makhluk terkutuk itulahyang dilihat Amitha dalam mimpi!Si lelaki perantau dari
India itu merasa jantungnya berhenti berdenyut untuk sekian saat. Badannya
bergetar hebat. Jauh lebih hebat dari gigil orang terserang malaria.
Apalagi ketika makhluk mengerikan itu mendekat dengan cara aneh. Tanpa
menggerak-kan kaki, tubuh menebar bau itu bergerak seperti kabut memperpendek
jarak dengan Amitha.Satu tombak dari Amitha, gerak tubuh makhluk itu berhenti. Tawa terlepas
dari mulut yang melebar
mendadak, seakan ingin menelan Amitha bulat-bulat.
Suaranya terdengar terpendam, tapi juga melengking.
Terdengar menggaung, tapi juga mendenging. Terdengar pekat, tapi juga
menghambur. Serak, juga mengabur.
"Aku Daj al Yang Terkutuk. Datang untuk memberimu apa-apa yang kau
kehendaki...," ucapnya. Suara makhluk itu mendadak mendayu lebih memikat dari
suara Dewa Kebajikan atau Bidadari dari sorga.
Amitha tidak berkata apa-apa. Pita di kerongkongannya seperti melekat erat.
"Kau ingin membalas kematian istrimu. Pelajari kitab itu di puncak Gunung
Kawi...." Selesai menambahkan, sosok itu mendadak pupus.
Asap tebal pekat pun menghilang seketika, tak beda dengan gelombang mimpi yang
tiba-tiba terjaga.
Keesokan harinya, Amitha benar-benar berang-kat
ke Wetan J awa. Gunung Kawi yang dituju. Akan
dipelajarinya kitab sesat di sana. Dan hari ini, dia tiba.
Di atas batu besar seukuran tiga ekor gajah, Amitha duduk bersila. Dibukanya
Kitab Ular dan Macan yang sejak tadi hanya ditatapinya tanpa gemik.
Tepat ketika halaman yang berisi tentang ajian-ajian maut dalam kitab tersebut,
bumi diguncang gelegar halilintar. Lidah petir seperti menebas ubun-ubun Gunung
Kawi. Alam berubah kelam dalam pandangan Amitha.
Amitha tidak peduli sama sekali pada apa pun yang terjadi. Tekadnya sudah penuh.
Dia harus memulai!
*** Tampaknya hari-hari belakangan Pendekar Slebor
sedang dilanda kesialan demi kesialan. Semula dia bertemu Amitha dalam haus
teramat sangat. Belum cukup kenyang dengan kesialan itu, ada lagi kesialan baru
yang tak kepalang tanggung. Bertemu dengan Nyai Silili-lilu.
Bertemu saja tak terlalu merongrong dirinya. Tapi kalau si perempuan bangkotan
itu ingin mengikutinya" Sama saja sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Edannya
lagi, perawan lapuk itu minta digendong pula!
"Aku sebenarnya sedang ada urusan penting, Uwak.
Kenapa kau ingin sekali turut denganku?" tanya Andika.
Dongkolnya berusaha ditahan-tahan sekuat mungkin. Di sumur tadi,
dia belum sempat minum.
Sekarang perjalanannya malah ditambah beban di punggung.
Mestinya berat nenek kerempeng seperti Nyai Silili-lilu tak terlalu merepotkan
seorang pemuda kekar berotot seperti Andika. Herannya, anak muda itu justru
merasa sedang menggendong seekor kerbau!
Pendekar Slebor tahu dia sedang dikerjai. Nyai Silili-lilu memang usil. Andika
bukan tak mau maklum. Cuma saja, dia tak habis mengerti kenapa mesti tertimpa
'musibah' bertemu dengan perempuan peot itu" Di lain sisi, Andika tak bisa
menolak begitu saja permintaan ngotot Nyai Silili-lilu. Mana bisa nenek keras
kepala dan mau menang sendiri itu ditolak" Sehebat-hebatnya sifat keras kepala
Pendekar Slebor, Nyai Silili-lilu barangkali seribu satu kali lebih hebat.
"Aku juga ada urusan penting. Memangnya cuma kau saja?" tukas Nyai Silili-lilu
ketus. Merasa nenek buyut kemenakannya tak mempercayai kesungguhan ucapannya, Pendekar Slebor mencoba
meyakinkan. Dikeluarkannya kalung yang ditemukan dalam genggaman mayat Neelam.
"Aku hendak mencari seorang pembunuh, Wak. Ini buktinya...," kata Andika
bersungut. Diperlihatkannya kalung tadi ke depan hidung Nyai Silili-lilu yang
nangkring seenak perut di punggungnya.
"Ah, cuma kalung butut! Apa hubungannya dengan seorang pembunuh yang hendak kau
cari" Kau cuma mau mengibuli aku saja!"
"Aku tidak bohong, Uwak! Apa kau pikir aku mau
kualat membohongimu?"
"Coba kulihat!"
Andika menyerahkan kalung pada Nyai Silili-lilu.
"E, buyut!" Nyai Silili-lilu tersentak.
"Ada apa, Uwak?"
"Aku kenal dengan kalung ini."


Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masa'?"
"Jangan masa'-masa'!" "Katanya tadi aku cuma mau mengibuli...." "Sudah jangan
banyak bacot! Kau mau mencari pemilik kalung ini apa tidak?"
"Ya, mau."
"Kalau gitu, kita mesti cepat ke pesisir Pantai Laut Selatan!"
"Pantai Laut Selatan" Dengan menggendong Uwak?"
"Jangan banyak bacot, kataku. Lari saja ke sana!"
"Lari sih, lari. Cuma kalau sambil menggendong manusia bau seberat kerbau, apa
tidak cari susah namanya" Apalagi tempat yang dituju jauhnya bukan main.
Dasar apes!" maki Pendekar Slebor membatin.
*** Pertarungan sengit sedang berlangsung di sekitar
Kadipaten Karang Gantung. Tiga orang sedang terlibat pengeroyokan terhadap
seseorang. Ketiga pengeroyok adalah orang-orang yang pernah mendatangi Neelam beberapa hari
lalu. Seorang lelaki India kalang-kabut digempur mereka. Si lelaki India
bertubuh tegap. Berpakaian jubah kurung khas negerinya berwarna
merah hati. Wajah banjir peluhnya memperlihatkan raut tegar usia empat puluhan. Rambutnya amat pendek, dibiarkan tumbuh hanya
sepanjang setengah kuku.
Perkelahian berjalan sama sekali tak seimbang.
Bentrokan-bentrokan tangan, dan kaki terdengar susul-menyusul. Diricuhi pula
oleh deru gerakan demi gerakan cepat. Pertarungan tersebut telah berlangsung
cukup alot. Orang yang dikeroyok punya cukup kemampuan yang
diandalkan untuk bertahan dari serangan ketiga lawan, meski dia terus terdesak.
Bersenjatakan sebuah gada besar yang ujungnya
berbentuk bulat, lelaki India tadi berusaha mengim-bangi serangan-serangan para
pengeroyoknya. Sementara, di sisi para
pengeroyok, hanya perempuan cantik mempergunakan senjata rantai panjang bermata baja berbentuk cakar.
Pertarungan mereka beringsut terus, dari tempat
yang satu ke lain tempat. Terjadi karena orang yang dikeroyok berusaha untuk
membebaskan diri dari
kepungan. Tiba di tepi sebuah telaga, lelaki India jatuh dalam keadaan terjepit. Dia tidak
bisa lagi bergerak lebih leluasa dalam usaha melepaskan diri dari kepungan.
Telaga terbentang dibelakangnya. Sementara di depan dan sisinya, tiga lawan
setiap saat dapat menendangnya ke hang lahat.
"Sekarang kau tak dapat menyingkir ke mana pun, lelaki
India!" cibir perempuan cantik, mencoba meruntuhkan semangat perlawanan lelaki India.
"Ya, kau tak bisa lagi menghindar dari kami. Dan kami pun tak perlu sungsangsumbel mencarimu. Karena hari ini kau akan segera mati!" timpal orang berwajah
bengis yang beberapa waktu lalu telah membunuh seorang India pula di kotapraja.
"Kenapa kalian begitu menginginkan kematianku"!"
tanya lelaki India, serak. Dadanya kembang-kempis tak beraturan. Wajahnya setiap
kali membersitkan ketakutan.
Tampaknya meski dia punya cukup kepandaian bela diri untuk bertahan, tak urung
dia digerayangi rasa takut.
Orang cebol terkikik geli. Sehabis tertawa singkat, wajahnya berubah berangasan
kembali. "Kau pikir kami akan melepaskan begitu saja orang yang akan merusak
rencana besar kami, heh"!" tukasnya sinis.
"Tapi kalian memang merencanakan suatu yang
busuk!" kecam lelaki India.
"Itu sebabnya kau harus kami singkirkan! Rencana kami tak boleh bocor! Tak boleh
ada satu orang golongan putih persilatan yang tahu rencana kami itu. Kami tak
ingin mereka menyusun kekuatan untuk menghalangi kami!"
sela wanita cantik. Wajah merangsangnya tetap dingin.
"Tapi apa urusannya denganku"! Aku tidak akan mencampuri urusan kalian!"
"Ketika kau mendengar secara tak sengaja pertemuan kami di hutan waktu itu, itu
artinya kau telah mencampuri urusan kami!" tandas lelaki berwajah bengis.
"Mana aku tahu kalian mengadakan pertemuan
rahasia di sana. Aku sendiri tak berniat mencuri pembicaraan kalian. Aku waktu
itu hanya berniat mencari kayu bakar! Apa salahnya dengan perbuatan itu"!"
sangkal lelaki India lagi.
"Salahnya" Kau mau tahu salahmu" Salahmu,
kenapa kau bertemu dengan kami..."
"Ah, kalian memang cuma orang-orang sesat yang mencari segala alasan untuk
membenarkan tin-dakan laknat kalian!" maki lelaki India gusar.
Si cebol terkikik meriah. Sulit menentukan apa yang dianggapnya lucu dari makian
lelaki India tadi. Yang jelas, sepasang bola matanya tetap menerjangkan sinar
haus darah ke arah lawan.
"Sekarang, berdoalah secepatnya kepada Tuhanmu, sebab kami akan segera
mengirimmu ke akhirat!"
Akhir ucapan orang cebol menjadi pemicu pengeroyokan tak seimbang kembali. Manusia bertubuh kerdil itu memulai dengan satu
lepasan tinju menggeledek di atas selangkangan lawan.
Wukh! Deb! Lelaki India tahu
dirinya tak mungkin lagi menghindar ke mana pun, selain memapaki tinju lawan.
Dengan agak nekat, disambutnya tinju si cebol dengan senjatanya.
Prak! Hantaman hebat mengenai ujung gada dari batu
alam itu. Saat bersamaan, terdengar derak keras.
Ujung senjata tadi berserpih menebari udara dalam pecahan-pecahan kecil. Tinju
ganas yang pernah mengirim nyawa Neelam ke akhirat kini dipergunakan si cebol
kembali! Lelaki India terkesiap. Semula dia tak memperkirakan tinju si cebol memiliki kekuatan penghancur yang hebat. Tapi, tak sedikit pun dia memperhitungkan kalau kehebatan
tinju lawan sanggup melantakkan senjatanya. Padahal dia tahu pasti, batu yang
dipergunakan untuk ujung senjatanya termasuk batu mulia yang memiliki kekerasan
tak diragukan. Tak dapat dibiarkan berlarut-larut keterkesiapannya tadi manakala tangan si
cebol yang lain menderu pula mengejar dirinya.
Wukh! "Haih!"
Jarak yang terlalu dekat memaksa lelaki India
berjumpalitan ke depan, melewati kepala si cebol. Sayang, di sana sudah menunggu
lelaki berwajah berangasan.
Pijakan kakinya di tanah disambut oleh sepakan setengah putaran kaki lelaki itu.
Zeb! Sekali lagi, lelaki India pontang-panting
menyelamatkan diri. Tak ingin dibiarkan kepalanya diremukkan punggung kaki
lawan. Dia mengembalikan tubuh ke belakang dengan salto sempit agar tak terlalu
dekat ke arah si cebol.
Belum lagi napasnya lega, wanita cantik mulai pula melepas gempuran. Senjata
rantainya menanduk udara, memperdengarkan desing tipis
di sisi bu-ruannya,
sementara tubuh lelaki India sendiri masih berada di udara.Lelaki India benarbenar hendak dijadikan bulan-bulanan!
Keadaan yang sudah amat terjepit membuat lelaki
India tak bisa lagi melakukan kelitan seberapa lincah pun dia. Jalan satusatunya, dia harus mementahkan ancaman rantai berujung cakar baja tadi. Dengan
gagang baja sisa gadanya, untung-untungan disampoknya tandukan hebat ujung
rantai. Trangng! Cuma satu harapan lelaki India agar ujung maut
berbentuk cakar itu urung menghantam iganya. Sayang, tenaga yang terkandung
dalam senjata lawan nyatanya jauh dari perkiraan. Gagang gadanya terpental saat
itu juga. Nyeri luar biasa menjalari sekujur tangannya.
Saat berikutnya, bukan cuma nyeri di tangan dirasakan, tapi juga sebentuk rasa sakit tak alang kepalang menerjang bagian bahu
kirinya. Tendangan susulan lelaki berwajah seram rupanya
telah bersarang empuk. Tenaga tendangan itu melontarkan tubuh lelaki India ke
tengah-tengah telaga.
Byur! Permukaan telaga menelannya. Air beriak. Gelombangnya mengembang sampai jauh, membentuk
cincin-cincin bergerak mengembang. Perlahan-lahan, riak permukaan telaga
menghilang. Tubuh lelaki tadi tak kunjung muncul di permukaan.
Telah direnggut ajalkah dia"
"Apakah kau yakin dia bakal benar-benar menemui ajal Mata Dewa Kematian?" tanya
si cebol. "Aku yakin sekali," sahut lelaki berwajah seram yang dipanggil Mata Dewa
Kematian. "Tendanganku mengenai dada kirinya.
Setidaknya jantungnya telah
pecah!" tambahnya yakin.
"Jangan ceroboh mengambil kesimpulan," sela wanita cantik di tengah-tengah
mereka. "Dalam hal ini, kita tak bisa berjudi. Kita harus memastikan lelaki itu benarbenar telah mati! Apa kalian mau dia membocorkan rencana rahasia kita pada orang
dunia persilatan kalau ternyata dia masih hidup?"
"Benar juga," timpal si cebol.
"Jadi meriurutmu, sebaiknya kita memastikan dia benar-benar mampus?" kata Mata
Dewa Kematian agak tersinggung.
"Kalau kau tak mau melakukannya, sebaiknya biar Katak Merah yang melakukan,"
sergah wanita cantik datar, namun menusuk Si cebol yang disebut Katak Merah
menyeringai. Dia ingin mengejek Mata Dewa Kematian.
"Kerja mudah buatku," tukasnya meremehkan.
Mata Dewa Kematian mendengus.
"Kau pikir apa yang hendak kau lakukan. Katak Merah" Mencoba menyelam seperti
katak buduk ke dasar telaga?" gerutu Mata Dewa Kematian.
Katak Merah mengepalkan tinju. Rahangnya mengeras. Dia hendak menindak lelaki tadi. Tapi cepat dicegah oleh si wanita
cantik. Mata Dewa Kematian terpancing juga oleh ulah
Katak Merah. Mata merahnya menatap tajam-tajam. Dari mata mautnya itu membersit
kilatan menggidikkan.
"Kerjakan saja apa yang diperintahkan!" sentak si wanita cantik, melihat gelagat
yang tak baik. *** 6 Puncak Gunung Kawi. Tempat di mana sebentang
kekuatan hitam alam gaib membentuk benteng. Tempat di mana manusia banyak datang
melakukan pemujaan.
Tempat di mana banyak manusia terjerembab dalam
Si Racun Dari Barat 2 Pendekar Bloon 19 Nagari Batas Ajal Pedang Kiri Pedang Kanan 3

Cari Blog Ini