Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati Bagian 1
1 Kabut menyelimuti puncak Gunung Anjasmoro. Pekat.
Menutupi sebuah tabir yang sukar terpecahkan.
Suasana yang hening menambah keangkeran Gunung Anjasmoro yang gagah perkasa, tak
ubahnya bagaikan seorang raksasa yang sedang tidur.
Di sanalah Ki Lingkih Manuk tinggal. Salah seorang dari anggota Panca Giri yang
dengan arif bijaksana memimpin Partai Gunung Anjasmoro, sejak dua puluh satu
tahun yang lalu.
Tak heran kalau laki laki berusia kira kira enam puluh tahun itu, rambutnya yang- -panjang teratur telah memutih. Mungkin terlalu banyak pikiran tercurah demi
kemajuan perguruannya. Wajah keriput mulai menghiasi. Pakaiannya jubah hitam dengan ikat pinggang putih. Pakaian khas murid
Partai Gunung Anjasmoro keseluruhannya berwarna putih.
Di perguruannya Ki Lingkih Manuk mengajarkan ilmu pedang yang sangat tinggi. Dan
itu memang ilmu warisan yang didapat dari gurunya, Panca Giri.
Sebelumnya, murid Panca Giri hanya lima orang. Dan kini masing masing sudah
-menguasai dan mendirikan partai gunung lainnya.
Beberapa bulan yang lalu, di tubuh murid murid Panca Giri hampir saja terjadi
-keributan yang nyaris menghasilkan pertumpahan darah itu terjadi gara gara
-amanat yang disampaikan Ki Panca Giri sendiri sebelum pulang ke akhirat sana.
Namun berkat bantuan dan
kecerdikan seorang pendekar urakan yang berkelakuan menjengkelkan, kemungkinan
hancurnya tubuh Panca Giri berhasil ditepiskan. Siapa lagi kalau bukan hasil
pemikiran Pendekar Slebor" (Untuk lebih jelasnya, silakan baca : "Sengketa di
Gunung Merbabu").
Untuk itulah, Ki Lingkih Manuk tak akan pernah melupakan jasa jasa Andika.
-Setiap hari pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu selalu diharap
-harapkan mampir ke kediamannya. Namun sampai sejauh ini, belum sekali pun
Pendekar Slebor menyambanginya. Entah bila seandainya Ketua Partai Gunung
Anjasmoro adalah seorang wanita cantik. Tanpa diharapkan pun, Andika selalu akan
mengunjunginya, walau dengan alasan yang dicari cari dan tak masuk akal.
-Pagi ini kegiatan di halaman Partai Gunung Anjasmoro berlangsung seperti biasa.
Sehabis berlatih yan dipimpin seorang pemuda tampan bertubuh tegap mereka
membuat barisan rapi. Sementara, Ki Lingkih Manuk memperhatikan dengan seksama.
Suasana hening, membawa alur pikiran masing masing. Namun mendadak....-Weerrr...!
Ketenangan mendadak digebah oleh satu benda berbentuk kotak panjang yang menderu
ke arah murid-murid Partai Gunung Anjasmoro. Dari luncurannya tercipta suatu
suara, bagaikan ribuan tawon yang sedang marah karena sarangnya diusik.
"Bubar!"
Serentak barisan yang teratur tadi terpecah oleh teriakan Ki Lingkih Manuk.
Mereka berlarian. Namun
sial bagi seorang murid. Kakinya terserimpung kakinya sendiri. Kalau tak ada
bahaya mengancam ingin rasanya dia mencubit kakinya sendiri. Tubuhnya kontan
jatuh terguling. Dan dia tak sempat lagi menghindar, ketika benda yang mirip
sebuah peti mati menderu ke arahnya. Dan....
Bukkk...! "Aaakhhhh...!"
Jeritan menyayat terdengar. Tubuh murid naas itu pun hancur berantakan terhantam
benda kayu berukir naga itu. Keadaannya tak terbentuk lagi. Dan anehnya, peti
kayu yang seukuran manusia dewasa ini kembali menderu, mencari mangsa lain. Dari
gerakannya jelas kalau itu dikendalikan oleh tenaga dalam dari jarak jauh.
"Hindari serangan! Jangan ada yang memapaki!"
seru Ki Lingkih Manuk, hampir terbatuk. Karena mendadak cairan kental di
tenggorokannya hendak mencelat keluar.
Setelah dengan enaknya menelan cairan kental itu, dengan sigap tubuh orang tua
ini melenting ke arah peti kayu berukiran naga yang sedang melayang layang di
-udara. Dicobanya untuk menahan desakan benda itu.
Namun sungguh di luar dugaan. Ketika kedua tangan Ki Lingkih Manuk mampu menahan
gerak lajunya, tiba-tiba saja bagian belakang peti kayu itu bergerak. Dan kontan
menghantam tubuh Ki Lingkih Manuk hingga tersuruk ke belakang.
Desss...! "Aaakh...!"
"Guru!" seru pemuda tampan bertubuh tegap yang tadi memimpin latihan.
Ki Lingkih Manuk mengibaskan tangannya.
"Minggir, Kusuma! Perintahkan yang lain untuk menjaga pendopo! Jangan biarkan
benda keparat itu masuk ke sana!"
Tanpa diperintahkan lagi, pemuda tampan yang tak lain Kusuma segera melesat ke
pendopo. Dia segera berseru seru pada beberapa rekannya untuk berjaga-jaga di
-sana. Bangunan pendopo yang terdiri dari beberapa tiang yang menyanggah atap itu
kini dijaga sepuluh orang murid Partai Gunung Anjasmoro.
Sedangkan yang lainnya bersiaga.
"Edan! Manusia jahil mana yang cari penyakit"!"
maki Ki Lingkih Manuk sambil menghindari serbuan benda kayu yang diyakini sebuah
peti mati. Di atas peti itu terdapat ukiran naga sedang bertarung!
Peti mati itu terus melayang layang dengan suara dahsyat menderu deru. Dalam - -hati, Ki Lingkih Manuk mengagumi kehebatan tenaga dalam si Pengendali peti mati
itu. Dari sini bisa diduga kalau orang yang mengendalikannya bertenaga dalam
kuat. Debu di halaman partai itu berterbangan ketika peti mati ukiran naga itu
menghantam tanah, tak berhasil menghantam Ki Lingkih Manuk yang sudah
bergulingan. Dan belum lagi orang tua itu sempat bernapas, peti mati itu kembali menderu deru
-ke arahnya. "Gila!"
Sambil mendesis Ki Lingkih Manuk melenting.
Sementara suasana di lereng Gunung Anjosmoro itu kini bagaikan sarang semut yang
terusik. Kacau balau.
Apalagi ketika peti mati itu melayang ke arah murid-murid yang berdiri bagaikan
pagar kokoh, siap
menghadang. Wuuusss! menderu tajam tercipta, membelah udara. Peti mati itu meluncur dengan kecepatan
tinggi ditunggangi hawa maut. Mereka yang jadi sasaran kocar kacir. Dua orang
-tak sempat menghindarkan diri.
Buk! Buk! "Aaakh...!"
Tubuh keduanya bagaikan terbawa satu dorongan yang kuat, lalu menghantam salah
sebuah tiang pendopo.
Krakkk...! Begitu tiang yang besar itu patah, runtuhlah sebagian dari pendopo Partai Gunung
Anjasmoro. Ki Lingkih Manuk menggeram murka. Langsung
diterjangnya peti mati itu yang masih melayang layang.
-Namun bagaikan memiliki mata yang tajam
mendadak saja peti itu seperti mengegos, seraya menghantam.
Duk! "Uhh...!"
Sebuah hantaman keras mampir di tubuh Ki Lingkih Manuk hingga terjajar ke
belakang. Dari hidungnya perlahan lahan meluncur darah.-"Suiiittt...!"
Tiba tiba saja terdengar suara siulan sangat keras, menerabas angkasa dan mampir
-di telinga yang mendengarnya.
Baru saja gema siulan lenyap, mendadak saja peti mati ukiran naga itu berbalik.
Bukan untuk menyerang, tapi melayang hinggap di tanah.
Bersamaan dengan itu, pintu peti mati terbuka. Lalu, satu sosok tubuh tinggi
besar dengan rambut berwarna keemasan melenting dari dalamnya. Setelah
berputaran di udara, dia mendarat manis di tanah.
Jadi salah besar kalau Ki Lingkih Manuk menduga bahwa peti itu dikendalikan dari
jarak jauh. Buktinya, sosok yang melenting berasal dari dalam peti itu sendiri.
Pakaian yang dikenakan pun berwarna kuning
keemasan. Di pergelangan tangannya terdapat
beberapa buah gelang bahar. Begitu pula di kakinya.
Wajahnya bisa dibilang tidak menarik sama sekali.
Penuh goresan bekas luka. Namun melihat raut wajahnya yang tak berkeriput, bisa
ditebak, kalau usianya kira kira dua puluh dua tahun.
-"Ha ha ha...!"
Terbahak bahak pemuda itu. Suaranya dingin dan angker.
-"Rupanya hanya begitu saja kehebatan Ki Lingkih Manuk, Ketua Partai Gunung
Anjasmoro!" ejeknya, jumawa.
Ki Lingkih Manuk menyipitkan matanya, memperhatikan sosok berambut emas itu dengan seksama. Rasanya, dia sama sekali
belum pernah bertemu manusia satu ini. Yang jelas, bila melihat peti mati ukiran
naga yang bisa dikendalikan itu, bisa dipastikan sosok berambut emas bukanlah
tokoh sembarangan. Tenaga dalamnya luar biasa sekali. Dan yang mengagumkan,
sosok itu masih muda. Tetapi sayang, kedatangannya agaknya untuk menebar
bencana. Sementara itu tanpa diperintah lagi, Kusuma dan
beberapa murid Partai Gunung Anjasmoro segera mengurung lelaki berambut emas itu
dengan pedang di tangan. Meskipun mereka menyaksikan kehebatan tenaga dalam
sosok itu, namun sedikit pun tak gentar.
"Orang muda rambut emas! Siapakah kau
sebenarnya" Tak ada angin dan hujan, tahu tahu sudah membuat keonaran di Partai -Gunung Anjasmoro...,"
tegur Ki Lingkih Manuk dengan suara ditahan, mencoba menutupi kegeramannya. Dia
memang tidak ingin mencari masalah, lebih baik mencoba untuk berdamai.
Sosok berambut emas itu terbahak bahak.
-"Bagus! Sopan sekali kedengarannya, Ki Lingkih Manuk! Namaku, Seta Lelono! Aku
datang dari wetan, yang jaraknya memakan waktu sekitar satu bulan berjalan kaki.
Orang orang menjulukiku Malaikat Peti Mati!"
-Ki Lingkih Manuk kembali mengira ngira, apakah pernah mendengar julukan itu
-sebelumnya" Akan tetapi, ia gagal mengingatnya. Justru kesimpulannya semakin
bulat, kalau memang belum pernah
mendengar julukan itu.
"Malaikat Peti Mati! Ada apa gerangan, sehingga kau menebar petaka di sini
dengan melenyapkan tiga nyawa muridku?"
"Pertanyaan bodoh, Ki Lingkih Manuk! Aku datang, untuk bertanya padamu, di
manakah Pendekar Slebor berada?" tukas pemuda berjuluk Malaikat Peti Mati.
Sombong sekali lagaknya.
Kening Ki Lingkih Manuk berkerut.
"Ada apa kau menanyakan Pendekar Slebor?" tanya lelaki Ketua Partai Gunung
Anjasmoro. "Hhh!" dengus Malaikat Peti Mati tiba tiba saja.
-"Telah lama aku mendengar tentang sanjungan orang rimba persilatan pada Pendekar
Slebor! Dan aku yakin, hanya orang orang bodohlah yang memujinya setinggi
-langit! Karena, tak lama lagi dia akan mampus di tanganku!"
"Mengapa" Apakah kau punya silang sengketa dengannya?"
Wusss! Sebagai jawaban atas pertanyaan Ki Lingkih Manuk, serangkum angin kencang
menderu ke arahnya. Dengan cepat lelaki tua ini melompat ke samping. Serangan
itu memang luput. Namun yang mengherankan, sama sekali tak terlihat bagaimana
Malaikat Peti Mati melancarkan serangan"
"Aku tak suka orang yang banyak tanya! Jawab pertanyaanku! Atau, kau akan mampus
beserta nama Partai Gunung Anjasmoro!" dengus lelaki berbaju keemasan itu
dingin. Tatapannya menusuk, membuat siapa saja menjadi keder melihatnya.
Dalam sekilas saja, Ki Lingkih Manuk bisa menebak apa kemauan Malaikat Peti
Mati. Tentunya dengan modal keberanian, dia ingin membuktikan diri sebagai orang
yang patut disanjung ketimbang Pendekar Slebor.
Hhh! Suatu usaha yang hanya akan menumpahkan darah saja. Tapi dunia persilatan
memang selalu begitu.
Ada saja orang yang suka mencari bencana, hanya untuk kepuasan pribadi saja.
"Terus terang, aku tak tahu di manakah Pendekar Slebor berada saat ini." kata Ki
Lingkih Manuk kemudian. "Karena, pemuda itu hanya akan mengikuti
langkahnya saja. Ke mana langkahnya membawanya di sanalah dia berada."
"Keparat! Jangan mencoba mempermainkan aku, Ki Lingkih Manuk! Kudengar kau
bersahabat erat dengannya sejak Pendekar Slebor membantumu
mempersatukan keutuhan di tubuh Lima Partai Gunung! Apakah kau masih mau
mungkir, hah"!"
Ki Lingkih Manuk terdiam. Rupanya manusia ini banyak tahu tentangnva dan juga
tentang Pendekar Slebor.
"Kukatakan sekali lagi, demi langit dan bumi. Aku tak tahu di mana pemuda
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu berada." katanya tegas.
Tiba tiba saja Malaikat Peti Mati terbahak bahak.- -"Baiklah kalau begitu! Tapi sekarang kau harus mengakui bahwa aku lebih hebat
daripada Pendekar Slebor!"
Wajah Ki Lingkih Manuk memerah mendengar kata-kata penuh hinaan itu.
"Tak semudah itu aku mengatakannya!" desis lelaki tua ini.
"Kalau begitu, cepat ambil pedangmu! Penggal kepalamu sendiri!"
"Sombong!"
"Ha ha ha.... Ki Lingkih Manuk! Usiamu sudah semakin senja. Kekuatanmu akan
semakin pudar. Kau harus mengakui, kalau akulah orang nomor satu yang patut
dipuji, ketimbang Pendekar Slebor! Karena, yang menolak mengakuiku sebagai
paling teratas di rimba persilatan, hukumannya adalah mati!"
Kemarahan Kusuma yang sejak tadi ditahan kontan
jebol begitu mendengar ejekan terhadap gurunya. Dan tiba tiba saja, dia menyerbu
-dengan pedang.
"Pemuda sombong! Mampuslah kau!"
Sementara, sikap Malaikat Peti Mati tak bergeming sedikit pun. Menunggu serangan
yang dalam pandangannya sangat lambah. Begitu serangan
mendekat, tangan kanannya bergerak mengibas.
Wuttt...! Desss...! Mendadak saja tubuh Kusuma terpental ke belakang.
Begitu ambruk di tanah, nyawanya putus seketika. Satu serangan balik yang kasat
mata telah menghantamnya.
Ki Lingkih Manuk melengak.
"Keparat!"
"Kau pun akan mampus seperti yang akan terjadi terhadap
Pendekar Slebor! Untuknya, telah kupersiapkan peti mati yang berukir naga itu. Tetapi untukmu, kau hanya patut
dibuang di kawah Gunung Anjasmoro!"
Mendengar penghinaan terhadap gurunya, murid-murid Partai Gunung Anjasmoro
langsung menyerbu gagah berani. Apalagi, hati mereka juga panas dan marah
melihat Kusuma sudah tergeletak tanpa nyawa.
Wuuttt...! Namun lagi lagi tubuh mereka yang berterbangan ke belakang, begitu Malaikat Peti-Mati mengebutkan langannya. Ketika ambruk di bumi, mereka sudah tak bernyawa
lagi. Ki Lingkih Manuk akhirnya tak kuasa lagi menahan amarahnya yang sudah naik
sampai ubun ubun.
-Diambilnya sebatang pedang yang tadi dipegang salah
seorang muridnya yang telah menjadi mayat. Lalu seketika diserbunya Malaikat
Peti Mati. "Keparat hina! Kau harus membayar nyawa murid-muridku dengan nyawamu!" bentak
lelaki tua itu seraya menyabetkan pedangnya.
"Bagus! Karena, orang yang tak mau mengakui kehebatanku dan menunjukkan
keberadaan Pendekar Slebor, maka jawabannya hanya satu. Mati!"
Dengan jurus 'Pedang Kilat' yang sangat diandalkan, Ki Lingkih Manuk terus
menggebrak Malaikat Peti Mati yang sedang tertawa tawa jumawa.
-Wusss...! Namun saat Malaikat Peti Mati mengebutkan
tangannya, sebuah angin telah menderu kencang. Ki Lingkih Manuk cepat menyadari
kalau serangan ini cukup berbahaya bila dipapak. Maka tubuhnya segera dibuang ke
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kiri. "Ha ha ha...! Satu persatu orang orang yang bersahabat dan menyembunyikan -Pendekar Slebor akan mampus!"
Ki Lingkih Manuk yang sudah bangkit, kembali menerjang dengan kekuatan dan
kecepatan penuh.
Namun kembali dia harus melompat ke samping, karena serangkum angin berkekuatan
dahsyat telah menderu ke arahnya. Dan belum lagi hinggap sempurna di tanah,
tiba tiba saja peti mati yang tadi tergeletak di tanah sudah melesat cepat.
-Dan.... Desss...! "Aaakh...!"
Tubuh Ki Lingkih Manuk kontan terpental, terhantam peti mati pada bagian
dadanya. Dari mulut termuntah
darah segar, sepanjang luncuran tubuhnya. Dan baru saja dia bangkit, mendadak
saja satu sosok tubuh telah menderu ke arahnya dengan kaki terjulur.
Des! "Aaakh...!"
Jeritan menyayat terdengar bersamaan ambruknya tubuh Ki Lingkih Manuk dengan
dada jebol! Malaikat Peti Mati tersenyum puas. Dia berdiri gagah.
Rambutnya yang berwarna keemasan dipermainkan angin pagi. Matanya menyapu mayat-mayat murid Ki Lingkih Manuk,
lalu beralih pada peti matinya yang sudah tergeletak kembali di tanah.
Hanya dengan mengibaskan kepala, Malaikat Peti Mati mampu membuat peti mati itu
melayang kembali ke arah pendopo.
Brak! Sesaat kemudian, terdengarlah suara berderak keras ketika peti mati ukiran naga
itu menghancurkan pendopo Partai Gunung Anjasmoro hingga rata dengan tanah.
*** 2 Seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur yang tersampir
di bahu berjalan melenggang dengan kedua tangan ke belakang saling bertautan.
Lagaknya seperti mandor perkebunan saja.
Langkahnya tenang dengan tatapan beralih ke kiri dan kanan. Menurutnya, dia
seperti tengah menikmati pemandangan. Tapi bila ada yang melihat, malah seperti
maling jemuran yang takut ketahuan. Sepasang alis menukik bagaikan kepakan elang
menghias wajahnya yang berseri seri. Rambut gondrongnya dimainkan angin senja -yang semilir.
"He he he.... Rasanya indah sekali pemandangan di sini. Apalagi kalau jadi
burung. Aku akan terbang ke mana saja. Bahkan..., mengintip orang mandi,"
ocehnya, ngawur.
Mulut pemuda itu bersiul siul mendendangkan
-kidung yang tak jelas.
Tiba tiba saja pemuda berbaju hijau pupus itu berhenti melangkah. Telinganya
-yang peka menangkap suara rintihan dari balik semak. Untuk beberapa saat, dia
mencoba menangkap suara rintihan lebih jelas lagi.
Lalu dengan sigap si pemuda melompat mencari asal suara.
Sebentar saja pemuda itu melihat satu sosok tubuh wanita berusia kira kira enam
-puluh lima tahun tengah tergolek tak berdaya. Pakaiannya yang berwarna merah itu
dilumuri darah pekat yang berasal dari luka di sekujur tubuhnya. Rambutnya yang
digelung ke atas
dengan tusuk konde terbuat dari tulang terbuka.
Pemuda berbaju hijau pupus itu tersentak.
"Nyai Selastri!" serunya.
Wanita yang tengah tak berdaya itu membuka kedua matanya, ketika kepalanya
terasa diangkat lembut dan berada di pangkuan seseorang. Tiba tiba saja sepasang
-matanya yang redup terbuka, dan bibirnya tersenyum.
"Oh! Kau rupanya, Andika...," desis wanita itu setelah mengenali siapa pemuda
itu. "Nyai! Sedang apa kau tidur tiduran di sini?" tanya pemuda yang memang Andika
-alias Pendekar Slebor.
Maksud Pendekar Slebor, mungkin hendak bertanya, ada apa sebenarnya sampai
wanita itu tergolek di sini dengan luka luka di sekujur tubuh. Namun karena
-kesleborannya yang meluncur dari mulutnya malah kata kata bernada berkelakar.
-Padahal wanita yang dihadapi dalam keadaan sekarat.
Pendekar Slebor memang mengenal wanita
berpakaian merah tua ini. Dia bernama Nyai Selastri, atau yang berjuluk si Naga
Gunung (Untuk lebih jelasnya bagaimana Pendekar Slebor mengenal si Naga Gunung,
silakan baca : "Neraka Di Keraton Barat").
Nyai Selastri sendiri tidak menyangka kalau akan berjumpa Pendekar Slebor,
pemuda urakan pewaris ilmu Lembah Kutukan yang dikaguminya.
"Goblok! Andika, Andika. Sudah tahu aku terluka, malah dibilang tidur-tiduran.... Ini hanya kecelakaan kecil, tahu"!" tukas Nyai Selastri.
Andika melotot. Busyet! Dalam luka separah ini masih dibilang kecelakaan kecil.
"Anu, maksudku..., apa yang telah terjadi, Nyai?"
ralat Andika. "Rupanya kau bisa perhatian juga, ya?" desisnya.
"Hm..., Andika. Ada seorang pemuda yang mengaku bernama Seta Lelono. Wajahnya
penuh goresan luka.
Dia mencarimu. Kalau tak salah, dia mengaku berjuluk Malaikat Peti Mati.
"Mencariku" Kenapa, Nyai?" Terus terang, aku belum butuh peti mati. Entah kalau
kau sendiri...."
"Dia ingin menantangmu adu kesaktian," sahut Nyai Selastri, tak mempedulikan
kelakar Andika. Namun dia cukup maklum.
"Oh, Gusti! Sombong sekali dia!" desis Andika. "Lalu, mengapa kau jadi begini,
Nyai?" "Manusia keparat itu memaksaku untuk mengatakan di mana keberadaanmu, Andika.
Meskipun sudah kukatakan kalau aku tak tahu, dia tetap tak percaya.
Bahkan kemudian, membuatku terkapar seperti ini.
Andika.... Ilmu yang dimiliki pemuda itu sangat luar biasa. Tenaga dalamnya pun
sangat tinggi. Terbukti dengan hebatnya dia menggerakkan sebuah peti mati ukuran
naga yang katanya akan dijadikan tempat mayatmu, Andika...."
"Peti mati ukiran naga?" ulang Andika. "Untuk mayatku" Wah..., gegabah sekali
dia. Kenapa tidak kau katakan, kalau aku sudah menyiapkan keranjang sampah
untuknya" "Dia begitu yakin sekali dapat membunuhmu, Andika! Jangan terlalu meremehkan.
Dia menginginkan semua orang menjunjungnya sebagai manusia teratas di rimba
persilatan ini...."
Dasar pendekar urakan, bukannya merenungi kata
-kata Nyai Selastri, Andika malah cengengesan. Bagi Andika, kalau belum
berhadapan langsung dengan Malaikat Peti Mati, dia belum mau percaya.
"Nyai..., bertahanlah sedikit.... Aku akan mengobatimu...," kata Pendekar Slebor malah hendak memeriksa luka tanpa peduli
peringatan Nyai Selastri.
Bila melihat lukanya, memang disebabkan ilmu yang sangat hebat. Karena untuk
mengalahkan si Naga Gunung, dibutuhkan kemampuan yang tinggi.
Nyai Selastri tersenyum. Lalu, kepalanya menggeleng. Percuma, Andika.... Seluruh ilmu yang kumiliki telah punah. Manusia keparat itu
telah memutuskan urat-urat di pergelangan tangan dan kakiku...."
Baru Andika trenyuh.... Sial! Kelihatannya Malaikat Peti Mati tidak bisa dibuat
main main! Gerutu Andika.-"Satu yang perlu kau ketahui. Andika.... Manusia itu telah membunuh Ki Lingkih
Manuk, Ketua Partai Gunung Anjasmoro. Dia memang sengaja tidak
membunuhku; biar bisa mengatakan semua ini
padamu...."
Kembali Andika terhenyak. Bahkan wajahnya
memerah. Pendekar Slebor tahu Ki Lingkih Manuk memang Ketua Partai Gunung
Anjasmoro yang bijaksana. Kepandaiannya sudah sangat tinggi. Dan bila Malaikat Peti Mati bisa
membunuhnya..."
Bukan.... Andika bukannya takut. Bagi kamus hidupnya, tak ada kata takut. Yang
ada kata waspada!
Orang itu memang patut diwaspadai.
Andika berusaha menekan kegeramannya mendengarkan kematian Ki Lingkih Manuk. Dia juga
merasa sedih. Namun kesedihannya tidak untuk ditunjukkan.
Kini Pendekar Slebor tersenyum.
"Maaf, Nyai.... Biar kuobati luka lukamu ini...," ujar Pendekar Slebor.-"Tidak usah," sahut Nyai Selastri, tegas.
"Nyai.... Kau masih bisa ditolong. Jadi biarkan aku menolongmu," desak Andika.
Lalu tanpa mempedulikan kata kata si Naga Gunung, Pendekar Slebor segera
-mengalirkan tenaga dalam demi memulihkan tenaganya kembali.
"Andika.... Kau hanya membuang tenagamu saja,"
desis si Naga Gunung pelan.
"Tenanglah, Nyai.... Kau akan pulih kembali...," kata pendekar yang juga
terkenal keras kepala.
"Andika.... Urat di pergelangan tangan dan kakiku telah putus.... Aku tetap tak
bisa mempergunakan ilmuku lagi. Dengan kata lain, seluruh ilmuku telah
punah...."
"Tidak! Kau akan pulih seperti sedia kala, Nyai Selastri...," Andika ngotot,
seraya terus mengerahkan tenaga dalam dan hawa murninya.
Dalam sesaat saja sekujur tubuh Pendekar Slebor telah mengeluarkan keringat.
Kedua telapak tangannya yang menempel di punggung Nyai Selastri telah
mengepulkan asap putih.
"Andika.... Jangan buang tenagamu...," desah Nyai Selastri sekali lagi.
Perempuan ini bisa merasakan hawa panas yang mengaliri sekujur tubuhnya yang
perlahan lahan akan mengusir hawa dingin yang mengendap di tubuhnya.
-Dirasakan pula sebuah dorongan tenaga halus menyusup.
Tetapi Andika tidak mempedulikan kata kata si Naga Gunung. Tenaga dalam dan hawa
-murninya tetap dialirkan.
"Andika...." panggil si Naga Gunung.
Perempuan ini benar benar terharu melihat
-kesungguhan Andika untuk menyembuhkannya.
Padahal, dia sendiri tidak yakin, apakah masih bisa mempergunakan seluruh
ilmunya" Apakah bisa
mengembalikan urat urat pergelangan tangan dan kakinya menjadi utuh kembali"
-Teringat kembali dalam benak perempuan tua itu, bagaimana tiba tiba pemuda
-berambut emas dengan peti mati ukiran naga menyerang secara tiba tiba. Saat itu,
-dia menjawab tidak tahu keberadaan Pendekar Slebor seperti yang ditanyakan
Malaikat Peti Mati. Di usianya yang senja ini, Nyai Selastri baru pertama kali
melihat suatu serangan yang tak terlihat. Namun hasil dari serangan itu sangat
menakjubkan dengan kekuatan tenaga dalam yang sukar sekali dibayangkan.
*** Senja pun terpuruk di barat. Hari telah malam terselimut kegelapan di sekitar
dataran penuh pepohonan, tempat Andika menemukan Nyai Selastri.
Hanya sinar rembulan yang menjadi penerang. Suara hewan malam mulai terdengar,
seolah berlomba untuk unjuk gigi.
Pendekar Slebor perlahan lahan membaringkan-tubuh si Naga Gunung yang tertidur. Rupanya, kelelahan sudah mendera Nyai
Selastri sehingga tak mampu menahan kantuknya.
Andika sendiri pun merasa sudah cukup mengalirkan tenaga dalam dan hawa
murninya. Dibukanya kain bercorak
catur yang tersampir di bahunya. Diselimutinya sosok berpakaian warna merah tua itu dari desir angin malam yang
dingin menusuk tulang.
Lalu Pendekar Slebor sendiri duduk bersemadi, untuk mengembalikan kekuatan
tubuhnya yang terkuras dari penyembuhan Nyai Selastri.
Selang sepeminuman teh, Pendekar Slebor menarik napas panjang. Tubuhnya
terasakan segar kembali.
Tubuhnya digerakkan beberapa kali guna melancarkan peredaran darahnya.
Pendekar Slebor sendiri melirik si Naga Gunung yang masih tertidur. Di wajahnya
terpancar senyuman yang agung. Membuat siapa saja merasa yakin kalau si Naga
Gunung saat ini tidak mengalami penderitaan.
"Malang benar nasibmu, Nyai...," desahnya.
Pendekar Slebor mengingat ingat
-kembali pertemuan pertama kali dengan si Naga Gunung. Saat itu dengan gigihnya dia
mencoba menghentikan sepak terjang Raja Akherat yang sedang mengamuk setelah
menguasai Keraton Barat! (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Neraka Di
Keraton Barat").
Lalu ingatan Pendekar Slebor beralih pada Ki Lingkih Manuk yang menurut si Naga
Gunung telah tewas.
Andika memang pernah berjanji untuk menyambangi Ki Lingkih Manuk, setelah
berhasil memecahkan kemelut yang terjadi di tubuh Lima Partai Gunung. Namun
sebeIum janjinya bisa ditunaikan, Ki Lingkih Manuk dikabarkan telah tewas.
"Ah! Maafkan aku, Ki.... Gara gara aku, kau harus menemui sang Pencipta dengan -cara seperti itu. Tetapi aku yakin, kau mati tidak sia sia. Mati kesatria...!"
-desah Andika pelan. "Tetapi, percayalah! Aku akan mencari Malaikat Peti Mati.
Bukan untuk membalaskan sakit hatimu, namun untuk menghentikan perbuatan
gilanya." Andika pun menjadi tidak tenang ketika mengingat sahabat sahabat dan orang orang
- -yang dikenalnya.
Siapakah saat ini yang tengah mendapat giliran" Sukar sekali ditebaknya. Apalagi
begitu banyak orang yang mengenalnya. Apakah orang orang yang mengenalnya akan
-mengalami nasib sama seperti dialami Ki Lingkih Manuk maupun si Naga Gunung"
Hati Andika redup kembali. Dirinya memang tak bisa disalahkan, karena berkenalan
dengan orang orang itu termasuk Ki Lingkih Manuk dan si Naga Gunung. Yang bisa
-dilakukannya, hanyalah mencari Malaikat Peti Mati! Menghentikan sepak terjang
gilanya! Kembali Pendekar Slebor melirik si Naga Gunung yang masih tertidur. Andika tidak
yakin dengan pengobatan yang baru saja dilakukan. Memang, si Naga Gunung akan
kembali pulih seperti sediakala. Hanya saja, seluruh ilmunya lenyap sudah.
Karena urat urat di pergelangan tangan dan kakinya telah diputuskan.
-Meskipun begitu. Andika terharu juga melihat ketabahan si Naga Gunung yang bisa
menerima semuanya dengan senyum. Padahal, bagi seorang tokoh rimba persilatan,
tanpa memiliki ilmu sudah tentu tak
akan pernah dipandang! Sudah tentu akan menjadi bulan bulanan yang berilmu.
-Sekali lagi. Andika mendesah masygul. Dibayangkannya, bagaimana penderitaan si Naga Gunung sebelum ditemukannya.
Andika yakin, kalau saja terlambat menemukan si Naga Gunung, tak mustahil wanita
berpakaian warna merah tua akan menyusul Ki Lingkih Manuk.
Perlahan lahan Pendekar Slebor bangkit. Diambilnya kembali kain bercorak catur -miliknya, lalu disampirkan kembali ke lehernya yang seperti biasa. Kemudian,
dicarinya beberapa helai daun pisang. Ditutupinya tubuh si Naga Gunung dari
angin dingin. Sejenak ditatapnya sosok yang sedang tidur itu.
"Nyai.... Suatu saat kita akan bertemu kembali. Aku akan mencari manusia keparat
yang telah membuatmu menderita seperti ini. Manusia yang telah menyebabkan Ki
Lingkih Manuk menemui ajalnya...."
Sesudah berkata begitu. pemuda berbaju hijau pupus itu pun mengempos tubuhnya.
Dalam sekali kelebat, tubuhnya telah menghilang menerobos kegelapan malam.
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** 3 "Heaaa! Heaaa!"
Pagi kembali membentang. Sinar mentari menghangati seluruh persada. Angin bertiup perlahan.
Satu sosok tubuh dengan lincah menggebrak kudanya yang berwarna coklat pekat.
Dari mulutnya terdengar suara seruan keras.
Kuda itu bergerak lincah. Si penunggang kuda ternyata seorang gadis manis
berusia tujuh belas tahun.
Wajahnya bulat telur dengan hidung bangir. Sepasang bibirnya memerah basah.
Pakaiannya agak ketat berwarna biru. Sehingga tubuhnya yang padat menantang
terpetakan. Di usia yang menjelang dewasa ini, rupanya gadis itu sudah memiliki
bentuk tubuh yang bagus. Di punggungnya terdapat sebilah pedang berwarangka
hitam. Sementara di belakang kuda gadis itu, terdengar suara derap kuda pula.
"Menur! Tunggu! Hhh! Ke mana lagi anak nakal itu!"
seru si penunggang kuda berwarna hitam, menggerutu kesal.
Penunggang kuda hitam adalah seorang lelaki bertubuh gempal. Wajahnya bulat,
sebulat bentuk tubuhnya. Pakaiannya berwarna hitam yang terbuka, seolah tak
kuasa menutupi tubuhnya yang gendut.
Celana pangsinya yang berwarna hitam pun agak kesempitan.
"Menuuurrr! Jangan cepat cepat!"-"Guru! Ayo, kejar aku! Masa sih tidak bisa mengejar"
Mungkin yang kau tunggangi bukan kuda, tapi keledai...?" sahut gadis bernama
Menur. Si tubuh gempal mendengus, seraya mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Maka
kudanya terlihat berlari secepat angin. Kalau tadi kelihatan keberatan membawa
beban tubuhnya, kini justru seolah tanpa beban. Bahkan ada dorongan tenaga dari
si lelaki tubuh gempal yang ternyata guru gadis itu. Tak heran kalau dalam
sekejap saja, dia bisa menyamai laju kuda Menur.
"Curang! Guru mempergunakan ilmu meringankan tubuh!" desis Menur cemberut,
ketika menoleh dengan wajah terkejut.
Si tubuh gempal hanya terkekeh kekeh saja.
-"Bukankah kau bilang, aku sedang naik keledai?"
tukas lelaki itu.
"Tetapi Guru curang! Kenapa pakai ilmu meringankan tubuh sih" Kalau begini, aku mengaku kalah!" cibir Menur, seraya
menarik tali kekang kudanya tiba tiba. Kuda itu meringkik keras, lalu berhenti
-tiba-tiba. Sementara itu kuda yang di tunggangi si tubuh gempal terus melesat. Dan
ternyata, penunggangnya tak bisa mengendalikan lagi.
"Hei, hei! Berhenti! Berhenti!" teriak lelaki itu, kalang kabut.
Menur bukannya menolong, tapi malah tertawa-tawa.
"Ayo, Guru! Kendalikan kuda itu!" serunya. "Jangan-jangan, kuda itu malah
membanting Guru nanti!"
Si tubuh gempal mendengus mendengar ejekan
muridnya. Tiba tiba saja salah sebuah urat di kudanya
- ditotok. Tuk! "Hieeekh...!"
Dan seketika kuda itu berhenti berlari. Dan kalau saja si tubuh gempal tidak
menahan tubuhnya bisa dipastikan akan terpental ke depan, menabrak beberapa buah
pohon. "Hiyaaa! Aku bisa! Aku bisa!" soraknya bagai anak kecil.
yang sudah membawa kudanya mendekati gurunya hanya tersenyum saja.
"Curang! Curang! Guru curang!" cibir gadis itu.
"He he he...! Muridku yang manis, kalau tidak begini, aku bisa kalah darimu. Kau
kan tahu, seorang Guru tidak boleh kalah dari muridnya?"
"Boleh saja!" sambar Menur.
"He he he..., tidak boleh. Tetapi, ya, ya.... Boleh saja.
Karena, toh, seluruh ilmunya akan diturunkan pada muridnya. Bukan begitu?"
Kali ini Menur tersenyum.
"Guru betul!"
"Aku memang selalu betul! Namanya juga Kaliki Lorot...."
Menur cemberut. "Takabur!"
Si tubuh gempal cuma tertawa tawa saja. Lalu dia melompat dari kudanya dengan -gerakan ringan sekali.
Tindakannya diikuti Menur.
Percakapan seperti itu selintas memang aneh.
Karena, tak wajar dilakukan antara seorang guru dan murid. Tetapi bagi lelaki
bertubuh gempal yang ternyata bernama Kaliki Lorot bukanlah sesuatu yang aneh.
Lelaki bertubuh gempal yang dalam rimba persilatan dikenal sebagai Dewa Api
Angin itu memang sangat menyayangi muridnya yang cuma satu satunya. Dia tidak
-ingin sikapnya seperti layaknya seorang guru.
Melainkan ingin mencoba akrab dengan muridnya dalam bentuk persahabatan, tanpa
menghilangkan batas batas kewajaran.
-Tiba tiba saja Kaliki Lorot menoleh pada muridnya yang jelita itu. Tapi yang
-ditatap justru melotot.
"Ayo, kenapa melihat lihat seperti itu?" tegur Menur. "Tidak sopan! Guru selalu
-mengajarkan, kalau ada pandangan lelaki seperti itu pada seorang gadis namanya
tak sopan."
"Hush! Tidak semuanya, dong."
"Maksudnya, kalau Guru boleh?"
"Boleh, tapi sedikit saja."
Menur terbahak bahak. "Mengapa Guru melihatku seperti itu?"-"Menur....
Rasa rasanya, -kau sudah pantas mempunyai suami," kata Kaliki Lorot tiba tiba.
-Mulut Menur terbuka sesaat, lalu terdengar suara tawanya yang merdu.
"Guru ini ada ada saja! Usiaku baru tujuh belas tahun! Dan lagi, aku belum mau
-menikah!"
"Eh! Untuk yang satu ini, kau tak boleh membantah!
Kau harus menurut!"
"Guru ini plin plan! Waktu itu Guru bilang, kalau ada sesuatu yang tak berkenan
-di hati, boleh berterus terang dengan mengemukakan alasan yang masuk akal.
Kok, sekarang malah dilarang?" tukas Menur.
Kaliki Lorot menggaruk garuk kepalanya yang
-berambut pendek.
"Aku pernah ngomong begitu, ya?" tanyanya lugu.
"Iya! Nah, aku kan boleh membantah?" tukas Menur yang sangat mencintai dan
menghormati gurunya.
Meskipun sikapnya nampak seperti layaknya seorang teman, namun tetap menghormati
gurunya. "Tidak! Tidak boleh! Kau tidak boleh membantah yang satu ini! Pokoknya, kau
harus menikah!"
"Kok Guru jadi marah marah?" tanya Menur tanpa rasa takut sedikit pun.
-"Aku bukannya marah marah. Karena sudah tua, aku ingin melihat ada orang lain
-yang menjagamu."
"Kata siapa Guru sudah tua?"
"Hei" Usiaku sudah delapan puluh tujuh tahun!"
"Tetapi wajah dan kelakuan Guru masih seperti remaja layaknya."
"Ini gara garamu yang secara tidak langsung memaksaku untuk bersikap sepertimu!"
-Menur cemberut.
"Aku lagi yang disalahkan!"
"Menur.... Menurutlah dengan permintaanku ini....
Ayo, mengangguklah. Toh, aku bukan sembarangan saja menjodohkanmu."
Menur terdiam sesaat. Tiba tiba dia merasa sedih dan berat bila memang harus -menikah dan berpisah dari gurunya. Sebagai seorang gadis yatim piatu yang tak
pernah mengenal kedua orangtua, Menur teramat menyayangi Kaliki Lorot. Kalaupun
harus berpisah" Oh, rasanya tak akan sanggup.
"Guru.... Siapakah pemuda yang kau inginkan menjadi suamiku?" tanya gadis itu
kemudian. Mendengar pertanyaan itu, wajah Kaliki Lorot berseri seri.
-"Kau ingat, kalau aku pernah menceritakan padamu tentang seorang pemuda berjuluk
Pendekar Slebor?"
"Ya! Pendekar urakan itu?" tukas Menur.
"Hush! Jangan ngomong begitu!" dengus si Dewa Api Angin.
"Lalu maksud Guru, aku hendak dijodohkan dengannya?" belalak Menur.
"Tidak salah."
"Oh, tidak! Mana mau aku punya suami yang urakan seperti itu!"
Menur memasang wajah cemberut. Kedua tanganya
dilipat di dada.
"Kau harus mau, Menur! Pemuda itu sangat bijaksana dan cerdik. Pokoknya kau
harus menjadi istrinya...!" desak Kaliki Lorot. Dan tiba tiba dia tertawa,
-"Aku yakin.... Pendekar Slebor akan jatuh hati melihat kecantikanmu."
"Masa bodoh! Aku tidak mau dengannya, Guru!"
dengus Menur. "Kau harus mau!"
"Guru terlalu memaksa!"
"Menur.... Sudah kukatakan tadi, usiaku sudah semakin senja. Paling lama, aku
hanya bertahan sepuluh tahun. Nah, setelah itu..., kau sendirian. Kalau kau
menikah dengan Pendekar Slebor, selain memiliki suami yang akan menemanimu, juga
akan dijaga olehnya.
Pokoknya..., awas, Menurrr!"
Tiba tiba saja tubuh gempal Kaliki Lorot mendorong tubuh Menur, seraya menepak
-kedua kuda yang sedang
memakan rumput, seketika sebuah benda terbuat dari kayu berbentuk kotak panjang,
meluncur deras. Di atas benda yang seperti peti mati terdapat ukiran naga sedang
bertarung! *** "Guru! Apa itu?" seru Menur setelah bangkit di sisi gurunya. Wajahnya mendadak
menjadi pias. Kalau saja gurunya tidak mendorong, bisa dipastikan terhantam peti
mati yang melayang layang.-"Mana aku tahu" Tetapi sepertinya, benda itu adalah peti mati!" seru Kaliki
Lorot. Tadi kakinya sempat menendang peti mati, sambil melompat ke samping.
Peti mati ukiran naga itu sempat terpental ke belakang, namun sesaat kemudian
menderu lagi ke arah Kaliki Lorot. Kecepatannya lebih cepat dari yang pertama.
Lagi lagi Kaliki Lorot bergerak cepat. Rupanya tubuh gempalnya bukanlah suatu
-penghalang untuk bergerak secepat angin. Dan kembali kakinya menghantam peti
mati itu. Duk! "Ha ha ha...!"
Peti mati berukir naga melayang ke belakang. Dan bersamaan dengan itu, terdengar
tawa angker. "Tak kusangka! Ternyata ada seorang gendut seperti botol yang mampu menendang
peti mati kesayanganku sebanyak dua kali!"
Tepat ketika peti mendarat di tanah, penutupnya terbuka. Lalu dari dalamnya
melenting satu sosok tubuh
tinggi besar, dan hinggap di hadapan Kaliki Lorot dan Menur. Sedangkan peti mati
ukiran naga itu menutup kembali di sebelah kaki sosok tubuh yang ternyata
berambut emas. Kaliki Lorot menyipitkan matanya. Dan merasa baru melihat sosok yang baru datang
ini. "Hei, Rambut Emas! Kau hampir saja membuatku mampus dan muridku itu, tahu"!"
bentak Kaliki Lorot.
Sosok berambut emas tak lain dari Malaikat Peti Mati. Tujuannya terjun ke dalam
rimba persilatan jelas, mencari Pendekar Slebor!
"Orang tua bertubuh gempal, aku tak banyak cakap!
Katakan, di mana Pendekar Slebor?" tanya Malaikat Peti Mati, langsung.
Sejenak Kaliki Lorot mengerutkan keningnya. Apa-apaan orang ini" Menanyakan
Pendekar Slebor padanya. Dia sendiri tidak tahu, di mana pemuda itu.
"Jangan mengigau! Mana aku tahu"!" serunya sewot
"Sialan juga kau, ya"! Tanya, ya tanya! Jangan main serang begitu! Apa kau sudah
merasa jago?"
"Hhh! Tadi kau menyebut nyebut namanya!-Ketahuilah.... Siapa pun yang bersahabat dengannya dan tak mau mengatakan dimana
keberadaannya, maka kematianlah imbalannya!"
"Masa bodoh! Aku memang tidak tahu! Ayo, Menur!
Kita tinggalkan tempat ini! Rupanya ada orang gila yang telah mencat rambutnya
dengan warna emas!"
Belum lagi Kaliki Lorot melangkah....
Wesss...! Mendadak serangkum angin menderu ke arah lelaki tua ini.
"Busyet! Gendeng juga, nih orang!"
"Siapa pun yang ada hubungan dengan Pendekar Slebor, maka akan mampus!
Ketahuilah! Aku si Malaikat Peti Mati akan menghancurkan Pendekar Slebor!" desis
Malaikat Peti Mati, jumawa.
"Itu urusanmu!" sahut Kaliki Lorot tak acuh. Padahal, dia sedang mengira ngira
-kalau kekuatan tenaga dalam sosok berambut emas itu sangat luar biasa!
"Orang tua gempal! Kau lihat peti mati ukiran naga ini, hah"! Di peti mati
itulah akan membujur tubuh Pendekar Slebor.... Ha ha ha.... Dan, semua orang
rimba persilatan akan mengakui, kalau akulah yang patut disanjung!"
"Gila!"
"Apa kau bilang?"
"Hei! Guruku bilang, kau gila!"
Bukannya Kaliki Lorot yang menyahut, Menur sudah berseru dengan nada muak.
Memerah wajah Malaikat Peti Mati. Tatapannya dingin mengarah pada Menur yang
mendadak seolah ditelanjangi bulat bulat.
-"Kalian harus mampus!"
Tiba tiba saja peti mati yang berada, di sisi Malaikat Peti Mati kembali
-meluncur deras. Suaranya menderu dahsyat, seperti hendak memecahkan gendang
telinga. "Menur! Minggir! Kau tak pantas meladeni orang gila seperti dia!" teriak Kaliki
Lorot. "Guru.... Aku ingin menampar pipinya!" sahut Menur, keras kepala.
"Nanti aku akan melakukannya dua kali! Satu untukmu,
dan satu lagi untukku! Sekarang, menyingkirlah!" desak Kaliki Lorot sambil melompat dan bergulingan, menghindari
serbuan peti mati ukiran naga yang sangat dahsyat itu.
Sedangkan Menur pun mengikuti perintah gurunya.
Gadis itu mundur beberapa langkah saja. Dipandanginya Kaliki Lorot yang sedang
menghindari serbuan peti mati ukiran naga itu.
"Monyet! Ke mana aku menghindar, peti sialan itu pasti akan mengejar!" gerutu
Kaliki Lorot. "Bahkan akan membunuhmu, Orang tua gempal!"
sahut Malaikat Peti Mati terbahak bahak.-Kaliki Lorot mendengus dan memaki maki. "Enak saja kau ngomong! Kau pikir mudah
-untuk mengalahkan aku, hah"!" bentaknya.
Dan tiba tiba tubuh Kaliki Lorot melesat. Di tangannya terlihat sebuah cahaya
-kemerahan yang cukup terang. Dan dengan tangan bersinar merah itu dihadangnya
laju peti mati ukiran naga itu. Lalu dihantamnya sekuat tenaga. Dukkk...!
Begitu menghantam, Kaliki Lorot langsung membuang tubuhnya ke belakang. Dan seketika, terdengar kembali makiannya.
Memang, ajian yang baru dipergunakannya bukan sembarang ajian. Sebenarnya, ajian
'Hawa Panas
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mengaduk Laut' mampu menghantam dinding gunung hingga hancur. Bahkan anginnya saja, membuat dedaunan
sebuah pohon akan meranggas seketika.
Tetapi peti mati yang hanya terbuat dari kayu itu tidak pecah sedikit pun. Hanya
terpental ke belakang!
Bersamaan dengan itu, tubuh Malaikat Peti Mati melenting dan mendaratkan kedua
kakinya di bagian
atas peti mati. Melalui aliran tenaga dalam pada kakinya, dibawanya peti mati
itu turun perlahan lahan.-"Hebat! Hanya sayang, hari ini nyawamu akan putus!" desis Malaikat Peti Mati
dengan wajah memerah.
Baru kali ini pemuda berwajah penuh luka itu melihat ada yang mampu menandingi
kecepatan dan kekuatan peti matinya yang dikendalikan melalui tenaga dalam.
"Hm.... Kau akan kumaafkan, Orang Tua Gempal!
Tapi katakan, di mana Pendekar Slebor berada. Dan paling tidak, kau harus
mengakuiku sebagai orang nomor satu yang patut dipuja!"
"Gila pangkat!" cibir Menur. "Kalau kau sudah merasa kalah, ya pergi saja sana
menetek pada ibumu!
Jangan sesumbar dan jual lagak kayak kambing mau kawin seperti itu!"
Malaikat Peti Mati menoleh ke arah Menur.
Dikirimkannya pandangan maut pada gadis itu. Dan kali ini Menur terpaksa
mempergunakan hawa murni agar tidak terpengaruh tatapan penuh undangan maut.
Bahkan matanya dibelalakkan. Dan secara tiba tiba, lidahnya melelet.
-"Yeee! Dipikir aku tak tahu itu" Tidak usah ya?" kata Menur berkacak pinggang.
Kelamlah wajah Malaikat Peti Mati.
"Rupanya kalian memang manusia manusia dungu yang tak tahu terima kasih. Kini,
-tibalah saatnya bagi kalian untuk terbang ke neraka! Dan kalian akan mengakui
kehebatanku sebagai orang nomor satu!
Orang yang akan menginjak injak kepala Pendekar
-Slebor!" "Enaknya ngomong!" sentak Menur. "Apa kau pikir akan mampu menandingi Pendekar
Slebor, hah"! Anak yang baru selesai berguru saja, pasti mampu mengalahkanmu,
Rambut Jelek!"
Tanpa banyak cakap lagi, tubuh Malaikat Peti Mati sudah meluruk ke arah Menur.
Namun gadis itu telah mencabut pedangnya.
"Menuuurrr! Hati hati!" ingat Kaliki Lorot. "Kau jangan mati dulu. Karena, aku
-ingin melihat kau bersanding dengan Pendekar Slebor!"
*** 4 Begitu tubuh Malaikat Peti Mati meluruk tajam, dengan sigap Menur menggerakkan
pedangnya. Bukan gerakan sembarangan, tapi sebuah jurus pedang yang diciptakan
Kaliki Lorot. Jurus 'Pedang Menghancurkan Rembulan'.
Memang tak heran kalau Kaliki Lorot menciptakan jurus jurus pedang bagi Menur -yang memang pantas memilikinya. Karena, bentuk tubuhnya langsing, ditunjang
gerakan yang sudah terlatih.
Seharusnya dalam sekali kibas saja, pedang Menur bisa membabat tubuh Malaikat
Peti Mati. Namun mudah sekali serangan Menur dihindari. Hal itu membuat gadis
itu jadi ngotot dan tak percaya. Bahkan tak terlihat bagaimana Malaikat Peti
Mati menghindar.
Dengan cepat Menur kembali mempergencar
serangannya, sehingga menimbulkan suara bagai desingan kuat. Namun lagi lagi
-serangannya tak mengenai sasarannya. Bahkan dengan satu gerakan aneh yang sukar
diikuti mata, Malaikat Peti Mati meliukkan tubuhnya seraya mengibaskan
tangannya. Lalu.... Desss...! "Aaakh...!"
Gadis itu tahu tahu merasakan dadanya sesak dengan tubuh terjajar ke belakang.
-Dia berusaha menjaga
keseimbangannya
agar tidak ambruk. Sementara itu. Kaliki Lorot sudah bergulingan ketika melihat Malaikat Peti Mati
sudah menderu kembali hendak menghabisi nyawa Menur yang dalam keadaan
sulit menghindar.
"Pemuda jelek! Ayo hadapi aku!" teriak Kaliki Lorot dengan kemarahan luar biasa.
Hatinya panas melihat murid kesayangannya dihantam seperti itu. Segera tubuhnya
meluruk sambil menghentakkan tangannya.
Wuusss! Gerakan Kaliki Lorot sangat cepat, mengandung kekuatan tinggi. Namun Malaikat
Peti Mati kelihatan tenang tenang saja.
-"Tak perlu kau suruh, aku akan membuat kau mampus!" seru pemuda itu dingin,
penuh keangkeran.
"Sombong! Bisa bisa bukan Pendekar Slebor yang akan menempati peti mati ukiran -naga itu, tetapi jasadmu sendiri!" seru Kaliki Lorot sambil terus menyerang.
"Mana mungkin kau mampu menghadapi pemuda sakti itu hah"! Kau hanya besar mulut.
Hanya bisa jual tampang dengan rambut norakmu itu!"
Mendengar kata kata itu, wajah Malaikat Peti Mati jadi kelam. Pendengarannya
-terasa bagaikan ditusuk sembilu. Hatinya penuh kegeraman, hingga membuat
wajahnya merah padam.
"Heaaa...!"
Dengan teriakan keras memancarkan kemarahan, Malaikat Peti Mati bergerak secepat
angin. Sementara, Menur yang baru saja lolos dari maut, mendesah pendek. Buru buru hawa
-murninya dialirkan untuk mengusir rasa sakit di dada. Baru disadari kalau ilmu
pemuda berambut emas itu sangat tinggi. Akan tetapi, hal itu bukan membuat ciut
nyalinya. Hatinya justru penasaran ingin menghadapi lagi. Hanya saja, saat ini
dia merasa lebih baik menyaksikan saja
pertarungan sengit antara gurunya menghadapi pemuda berambut emas itu.
Dua sosok tubuh berbeda usia dan bentuk saling serang dengan jurus jurus
-dahsyat. Tanpa terasa, sepuluh jurus sudah berlalu. Dan dua sosok tubuh itu
bagai kelebatan bayangan saja yang terus saling libas.
Hanya sesekali terdengar seruan mereka, menambah semangat pertarungan,
ditingkahi suara benturan beberapa kali.
Diam diam Kaliki Lorot mendengus. Disadari, betapa tingginya ilmu Malaikat Peti
-Mati. Kalaupun manusia itu sesumbar ingin menantang sekaligus membunuh
Pendekar Slebor, karena merasa yakin dengan ilmunya.
Terbukti, ia sendiri cukup kewalahan menghadapi serangan serangan mengandung
-hawa maut. Sedangkan Malaikat Peti Mati merasa heran karena sampai sekian jurus berlalu,
belum juga mampu menjatuhkan lelaki bertubuh gempal itu. Biasanya dalam beberapa
jurus saja, lawan sudah terjengkang menjadi mayat atau terluka parah.
Dengan geram dan amarah yang semakin menjadi-jadi, pemuda berambut emas itu
mencecar Kaliki Lorot dengan serangan serangan berbahaya. Serangkum angin
-laksana topan dahsyat berkelebat setiap kali menyerang Kaliki Lorot.
Bagi Kaliki Lorot sendiri, dia merasa yakin dalam beberapa jurus berikutnya tak
akan mampu menandingi pemuda berambut emas. Beberapa kali pula tubuhnya di
hantam pukulan dahsyat, yang bagaikan godam sangat besar.
"Katakan, di mana Pendekar Slebor bila tak ingin
mampus?" bentak Malaikat Peti Mati sambil meluruk dengan satu tendangan penuh
bertenaga dalam tinggi.
Kaliki Lorot menghindari serangan dengan berguling-gulingan.
"Manusia busuk! Justru kau yang akan mampus.
Entah di tanganku, atau di tangan Pendekar Slebor!"
"Keparaaat! Tak seorang pun yang mampu menandingi kesaktianku! Tak terkecuali
Pendekar Slebor!"
Dan serangan Malaikat Peti Mati pun semakin dahsyat. Menur yang menyaksikan
pertarungan tak urung dibanjiri keringat dingin. Selama ini gurunya dianggap
yang nomor satu di rimba persilatan. Tetapi nyatanya, dalam lima belas jurus
saja Kaliki Lorot sudah kewalahan menghadapi serangan Malaikat Peti Mati yang
datang bertubi tubi.-Lalu dengan berani dan kemarahan membludak, tiba tiba saja Menur bergerak dengan
-pedang berkelebatan. Justru Kaliki Lorot yang terkejut melihatnya.
"Menuuurrr! Kau melanggar perintahku!" seru orang tua ini sambil berjumpalitan.
Malaikat Peti Mati tertawa dingin ketika Menur menyerangnya. Bahkan mendadak
saja tubuhnya berputar dengan mengibas, menghantam kedua kaki Menur hingga ambruk. Gadis itu
pun bergulingan secepatnya, ketika kaki Malaikat Peti Mati hendak menjejak
punggungnya. Brolll...! Tanah sebatas dengkul amblas ketika sebelah kaki Malaikat Peti Mati menjejak
tanah. Sementara Menur
bangkit dengan wajah pucat. Dadanya terasa semakin sesak. Keringat dingin
mengucur di wajahnya yang jelita.
Malaikat Peti Mati terbahak bahak.
-"Sekali lagi kukatakan, kemunculanku hendak menantang Pendekar Slebor. Tetapi
kalian, orang orang yang menyembunyikan pun harus kubunuh! Kecuali, kalau kalian
-mau mengatakan keberadaannya, dan mengakuiku sebagai orang nomor satu di rimba
persilatan ini!"
Kaliki Lorot mengeluarkan suara mendengus. Berat.
"Kau bermimpi di siang bolong! Mengalahkan aku saja kau tak akan mampu!"
"Kusumbat mulutmu yang kurang ajar itu!" geram Malaikat Peti Mati.
Lalu dengan gerakan secepat angin dan tenaga kuat menderu deru, pemuda berambut
-emas itu kembali menerjang Kaliki Lorot. Kali ini serangannya benar-benar luar
biasa, menutup setiap gerak Kaliki Lorot.
Sekali pun tak diberikannya kesempatan pada Kaliki Lorot untuk membalas. Bahkan
ruang geraknya menghindar pun dengan cepat ditutupnya.
"Guruuu!" sentak Menur dengan wajah pucat.
Serentak gadis itu menyerbu kembali ke arah Malaikat Peti Mati. Tak diingatnya
lagi kalau bahaya mau tengah mengintainya. Baginya, yang ada saat ini adalah
membunuh manusia keparat yang kejam itu.
Akan tetapi ketika Malaikat Peti Mati mengibaskan tangannya....
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Menur mendadak sontak terpelanting ke belakang terhantam pukulan yang
sangat hebat! Darah tampak menetes sepanjang luncuran tubuhnya.
Seketika gadis cantik itu jatuh pingsan.
"Menuuurrr!" seru Kaliki Lorot, kalang kabut.
Orang tua itu mencoba menerobos serangan
Malaikat Peti Mati. Tetapi serangan balik yang dahsyat pemuda rambut emas itu
membuat niatnya diurungkan bila tidak ingin segera mampus. Cepat tubuhnya
melompat kesamping, menghindari.
"Kau pun akan mampus, Orang Tua!" Gempuran-gempuran berbahaya mengandung
kekuatan maha dahsyat membuat Kaliki Lorot harus menghindar berkali kali. Dan sekali tubuhnya -kembali dihantam.
Rupanya, Kaliki Lorot memiliki tubuh cukup kedot, sehingga masih mencoba
bertahan. Tetapi yang dipikirkan orang tua itu saat ini adalah Menur. Kalau tidak segera
diobati, bisa bisa nyawa gadis itu melayang. Maka dengan nekat dia berkelebat
-menyeIamatkan gadis itu. Seketika tubuhnya bergulingan ke arah Menur. Sambil bergulingan tubuhnya mengeluarkan api yang
menjilat jilat. Itu adalah salah satu simpanan miliknya, ajian 'Gulungan Api
-Membelah Laut' yang dahsyat.
Malaikat Peti Mati sejenak terhenyak. Sehingga, tubuhnya harus dibuang ke
samping. Namun seketika, dia telah melancarkan serangan kembali, meluruk kearah
Kaliki Lorot yang bergulingan terus ke arah Menur.
Desss! Tubuh Kaliki Lorot yang gempal terpental bagaikan
bola beberapa tombak begitu terhantam tendangan Malaikat Peti Mati.
"Ha ha ha...! Siapa saja yang mencoba menyembunyikan Pendekar Slebor, maka akan
mampus!" leceh Malaikat Peti Mati, begitu mendarat dengan tawa terbahak bahak.-Lalu Malaikat Peti Mati melompat ke atas peti mati ukiran naga. Seketika
tubuhnya melayang meninggalkan tempat itu bersama peti mati. Tapi baru saja
bergerak beberapa tombak....
"Hei, Tukang Kayu! Mau ke mana?"
Terdengar teriakan keras, membuat Malaikat Pet Mati tersentak.
Tubuhnya lantas melompat dari peti mati ukiran naganya, dan mendarat kokoh di
tanah. "Keparat busuk! Siapa yang ingin menjual lagak di hadapan Malaikat Peti Mati!"
bentak Malaikat Peti Mati.
Sementara, peti mati ukiran naganya telah mendarat di sisinya.
*** Satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus melompat dari satu tempat. Wajahnya yang
tampan cengengesan di depan Malaikat Peti Mati.
"Siapa kau" Apa kau ingin cepat mampus"!" bentak Malaikat Peti Mati.
"Wah, wah.... Sepak terjangnya hebat juga, ya.... Tapi sayang, lawanmu hanya
seorang lelaki tua yang sudah keropos. He he he.... lawan dong orang yang
sepantaran seperti aku ini...," kata pemuda berbaju hijau pupus yang tak lain Andika alias
Pendekar Slebor.
Sejenak mata Andika memperhatikan pemuda
berambut emas yang malah terbahak bahak. Matanya pun melihat sebuah peti mati
-berukir naga yang menurut si Naga Gunung adalah tempat jasadnya.
"Luar biasa! Seorang pemuda kemarin sore berani lancang berbicara seperti itu!
Hhh! Bila kau tahu di mana Pendekar Slebor, aku akan membiarkanmu hidup!" seru
Malaikat Peti Mati, angker.
Dari wajahnya yang cengengesan, Pendekar Slebor mengerutkan keningnya. Rupanya,
manusia keparat ini belum mengenal dirinya. Ini di luar dugaannya sama sekali.
Pendekar Slebor memang bermaksud mencari Malaikat Peti Mati. Dia tadi sempat
melihat pertarungan antara Malaikat Peti Mati dengan sosok tua yang belum sempat
dikenalinya. Kedatangan Andika memang terlambat. Karena
begitu tubuhnya sampai di tempat, sosok tua lawan Malaikat Peti Mati sudah
terhajar hingga melayang entah ke mana.
Seperti yang dikatakan si Naga Gunung, kalau pemuda yang mencarinya memiliki
rambut emas. Tadi, Pendekar Slebor dari kejauhan memang melihat sosok berambut
emas yang tengah bertarung. Makanya, dia segera mendatangi. Dan ternyata
dugaannya tak meleset sosok itu memang Malaikat Peti Mati.
Sementara, pemuda rambut emas itu ternyata tidak mengenalnya!
"Jangan sesumbar.... Aku sih cuma mengingatkan, kau tak akan mampu mengalahkan
Pendekar Slebor...,"
kata Andika, kalem.
"Bangsat!" bentak Malaikat Peti Mati keras, "Katakan pada Pendekar Slebor,
Malaikat Peti Mati akan membunuhnya! Seperti yang kulakukan pada Ki Lingkih
Manuk, si Naga Gunung, Perguruan Naga Emas, dan barusan seorang lelaki tua yang
mungkin sudah mampus!
Demikian pula seorang gadis jelita muridnya...."
"Aku akan mengatakan di mana Pendekar Slebor berada. Tetapi aku tak percaya
kalau kau bisa membunuh lelaki tua tadi. Mana buktinya! Tunjukkan di mana mayat
lelaki tua dan muridnya seperti yang kau katakan tadi?" pancing Andika, pura-pura.
Malaikat Peti Mati kembali terbahak bahak.
-Suaranya menggetarkan sampai menggugurkan dedaunan.
Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baru sekali ini kudengar ada yang mau mengatakan di mana Pendekar Slebor
Golok Halilintar 2 Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Kisah Si Rase Terbang 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama