Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi Bagian 1
MANUSIA DARI PUSAT BUMI
oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor : Puji S.
Cover : Henky Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor
dalam episode 009 :
Manusia dari Pusat Bumi
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Seorang kakek tua renta tampak menggelantung terbalik pada seutas tali jerami
dengan kedua pergelangan kaki terikat. Sikapnya bersidekap rapat seperti seekor
kelelawar, diam tanpa bergeming.
Tubuhnya yang terbalik membuat untaian jenggot panjang berwarna putih yang telah
kotor itu menutupi wajahnya. Menjulur sampai tanah, sekitar satu depa.
Raut wajah lelaki bangkotan berumur seratus dua puluh tahun ini sulit dikenali.
Bukan hanya karena tertutup jenggot, tapi juga karena ruangan tempatnya
menggelantung tak memiliki cahaya, kecuali sebuah lubang sebesar biji mata
manusia di langit-langit ruang, tepat di dekat benang jerami tersangkut.
Seberkas cahaya dari lubang kecil tadi jatuh pada kain usang berwarna putih,
yang membungkus tubuh si Lelaki Bangkotan ini dari batas bahu hingga mata kaki,
seperti libatan kain kafan. Suasana di dalam ruangan kecil dan sempit ini
mengingatkan pada suasana di liang lahat. Kenyataannya memang begitu.
Ternyata lelaki bangkotan ini memang berada dalam perut sebuah kuburan yang
memiliki rongga lebih besar dari biasa.
Ketika pertama kali muncul sekitar delapan puluh tahun yang lalu, dia mendapat
gelar angker. Hakim Tanpa Wajah! Orang-orang dunia persilatan men-julukinya
demikian, karena lelaki itu nyaris tak memiliki wajah. Raut mukanya datar dengan
satu lubang hidung kecil. Bibirnya amat tipis, hingga nyaris tak
kentara. Sepasang kelopak mata sempit. Bahkan biji matanya sendiri sulit
ditegaskan, apakah berwarna hitam atau putih. Karena kelompak matanya memang
terlalu kecil. Selama berkecimpung dalam rimba persilatan, sepak terjangnya amat membingungkan.
Tak seperti tokoh golongan hitam yang memusuhi golongan putih.
Tak peduli tua atau muda, lelaki atau wanita. Setiap orang yang berurusan
dengannya, selalu dituduh sebagai 'si pembuat kesalahan'. Dan kemunculannya
untuk menjatuhkan satu-satunya hukuman....
Hukuman mati! Itu sebabnya, dia mendapat julukan lengkap Hakim Tanpa Wajah.
Pada masanya, Hakim Tanpa Wajah menjadi tak terkalahkan. Dia ditakuti layaknya
malaikat maut. Baik di kalangan bawah, maupun raja-raja.
Setiap kali bertemu seseorang yang memiliki ilmu kedigdayaan, Hakim Tanpa Wajah
langsung saja men-ceramahi dengan tuduhan-tuduhan. Kesalahan sekecil apa pun tak
luput dari penilaiannya. Banyak orang persilatan waktu itu terheran-heran,
bagaimana dia bisa tahu kesalahan-kesalahan seseorang, sehingga seolah-olah
memiliki mata di mana-mana. Tak ada seorang pun yang mampu menjawab. Karena
setiap kali ada yang berusaha menjawab, maka orang itu akan menerima hukuman
mati! Seorang demi seorang waktu itu hilang begitu saja tanpa bekas. Bahkan nasibnya
tak pernah diketahui lagi. Tak peduli dari kalangan bawah persilatan atau pun
kalangan atas. Baik yang punya nama besar, atau tidak.
Hanya ada tiga tokoh sakti yang waktu itu mampu luput dari kebiasaan aneh berbau
maut dari si Hakim Tanpa Wajah. Salah satunya adalah tokoh yang
berjuluk Lelaki Berbulu Hitam. Sedangkan dua orang lain adalah Raja Penyamar dan
Pendekar Dungu.
Seperti juga Hakim Tanpa Wajah, ketiga tokoh itu pun memiliki nama besar. Selain
Hakim Tanpa Wajah, tak ada seorang pun sanggup menandingi kehebatan ilmu
kedigdayaan mereka. Menurut kabar burung kala itu, keempatnya sebenarnya
memiliki kepandaian berimbang.
Setelah menggegerkan dunia persilatan sekian lama, keempatnya menghilang, tak
jelas ke mana. Seolah-olah mereka sama-sama mengadakan per-janjian untuk mengundurkan diri,
lalu akan muncul kembali suatu saat. Dan pada saat itulah mereka akan mengukur
kembali kesaktian masing-masing, untuk menentukan siapa yang lebih berhak
mendapat tempat teratas.
Delapan puluh tahun telah berlalu. Namun tak ada secuil tanda-tanda pun kalau
keempat tokoh sakti itu akan muncul kembali. Lambat tapi pasti, nama mereka
mulai dilupakan orang.
Dan hari ini, saat yang dikehendaki keempat tokoh sakti itu tampaknya telah
tiba. Karena, Hakim Tanpa Wajah yang sudah puluhan tahun menggelantung dalam
liang lahatnya, tiba-tiba saja membuka kelopak matanya yang sempit. Sesaat
kemudian, terdengar tawa kekeh yang menggema kasar, membuat tanah dalam kuburan
ganjil itu berguguran.
"He... he... he!"
Hakim Tanpa Wajah membuka bibir tipisnya.
Dan.... "Cuah!"
Hakim Tanpa Wajah menyemburkan ludahnya, hingga melesat ke arah tali jerami
rapuh yang sebenarnya tak akan kuat menahan berat tubuhnya,
seandainya saja lelaki bangkotan itu tak memiliki ilmu meringankan tubuh luar
biasa. Wesss...! Tasss...! Tali jerami putus menimbulkan bunyi halus. Tak berhenti sampai di situ. Ludah
Hakim Tanpa Wajah terus melesat begitu ludah laki-laki ini meng-hantamnya ke
satu sudut liang. Kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi yang terkandung dalam air
kental berwarna keputihan itu ternyata mampu membuat lubang kecil sedalam dua
depa! Mestinya tubuh kering kerontang lelaki bangkotan ini segera jatuh. Kenyataannya,
justru bertolak belakang. Hakim Tanpa Wajah tetap menggelantung tegak di atas.
Benar-benar mustahil!
"He... he... he, jenggot sialan! Mengganggu acara-ku saja," gerutu Hakim Tanpa
Wajah, lebih mirip gurauan orang kurang waras. Ditepuk-tepuknya jenggot putih
panjang merangas yang menjulur ke tanah di bawahnya.
Rupanya, jenggot itu telah kaku seperti akar pepohonan. Sehingga, dapat menopang
tubuh Hakim Tanpa Wajah yang memang seringan kapas.
Dengan gerakan indah lelaki bangkotan ini menurunkan kakinya, lantas berdiri.
Sebentar dia memandangi langit-langit kuburan ganjil yang digunakan untuk
bertapa puluhan tahun. Bibirnya tersenyum tipis, lalu kedua tangannya menghentak
ke atas. Dan....
Brolll! Dari luar, bongkahan koral dan tanah kering kontan berhamburan ke segenap
penjuru, bagai baru dibuncah angin puting beliung. Gundukan makam tua bernisan
tumpukan tengkorak kepala ini sekarang
berlubang besar. Dan dari situ tubuh lelaki bangkotan ini mencelat keluar.
Seperti tidak pernah peduli pada hawa segar yang baru saja memenuhi paru-parunya
kembali, Hakim Tanpa Wajah kembali terkekeh serak. Wajahnya yang pucat dengan
juntaian rambut putih yang alot dan kotor, membuat bibirnya yang sudah tak
kentara makin tak jelas saja, meski sedang terkekeh.
"Apa kalian bertiga kini sanggup menandingiku?"
gumam laki-laki tua ini berbicara sendiri.
Tentu saja yang dimaksud Hakim Tanpa Wajah adalah Lelaki Berbulu Hitam, Raja
Penyamar, dan Pendekar Dungu.
"Hm.... Mungkin hanya tinggal aku saja yang belum memiliki murid," sambung lakilaki ini. "Koaaak!"
Mendadak seekor burung gagak hitam kelam hinggap di batang pohon kering besar,
tak jauh dari tempat berdirinya lelaki bangkotan itu. Kedua sayapnya
dibentangkan dan dikepak-kepakkannya.
Paruhnya yang menyeramkan melempar teriakan nyaring beberapa kali, seakan hendak
menegur Hakim Tanpa Wajah.
Sementara lelaki berbebat kain kafan dari bahu hingga ke mata kaki itu menjadi
tertarik. Kepalanya segera menoleh ke arah gagak.
"Kau ingin mengatakan berita apa, 'saksi mata'?"
tegur laki-laki tua itu. Hewan berbulu hitam itu disebut
'saksi mata' oleh laki-laki tua ini seakan-akan dia adalah hakim pengadilan yang
sedang berbicara dengan seorang saksi dalam sebuah perkara.
"Kaoook!" sahut burung gagak itu. Kepalanya terayun ke depan dan ke belakang.
"Ada wanita hamil" Ah! Kau tak perlu mem-beritahukan aku tentang itu! Di manamana juga ada wanita hamil. Apalagi sudah makin banyak pasangan yang berhubungan
intim seenak perut, seperti monyet hutan," tukas Hakim Tanpa Wajah.
"Kak-koaaak-kaaak!"
"O, maksudmu wanita hamil itu telah mati seminggu lalu" Ah! Itu juga biasa. Tak
aneh bukan?"
"Kaaak-kaaak!"
"Apa"!"
Hakim Tanpa Wajah langsung menjulurkan kepalanya ke depan, karena agak tersentak
dengan ucapan gagak terakhir yang hanya bisa dimengerti olehnya.
"Kau bilang, jabang bayi dalam kandungannya masih tetap hidup"! Nah! Itu baru
luar biasa, 'saksi mata'! Pintar... pintar!" puji laki-laki tua ini. "Di mana
mayat wanita hamil itu" Aku harus mengeluarkan si Jabang Bayi. Anak itu pasti
memiliki kelebihan luar biasa. Kebetulan sekali, aku sedang berpikir untuk
mengangkat murid. He... he... he!"
"Koaaak!"
Burung gagak tadi berkoak sekali lagi. Di atas dahan tempatnya hinggap, dia
melompat berbalik.
Sebentar kemudian sayapnya dikepakkan kuat-kuat, langsung mengangkasa menerabas
angin siang yang panas.
Dan seketika itu pula, Hakim Tanpa Wajah segera mengikutinya.
*** Hakim Tanpa Wajah berlari cepat dengan cara melompat-lompat. Dan akhirnya, lakilaki bangkotan itu tiba bersama burung gagak di tepi sebuah danau alam yang tak begitu luas.
Sementara burung gagak hitam yang menuntunnya ke tempat itu sudah hinggap
kembali di pucuk sebongkah batu runcing, tak jauh dari Hakim Tanpa Wajah.
"Mana" Aku tak melihat wanita hamil, seperti yang kau katakan?" Hakim Tanpa
Wajah memberengut.
Seketika gagak hitam itu menaikkan sayap tinggi-tinggi, menanggapi dengan rasa
tak suka pada ucapan lelaki berusia seratus dua puluhan itu.
"Kaaak-kaaak-kaaak!" koak burung itu nyaring, merambah ke segenap bibir danau
berair keruh kecoklatan.
"He... he... he! Kau jangan bergurau padaku, 'saksi mata'. Mana mungkin wanita
hamil itu berada di dasar danau ini. Eh"! Tapi hewan sepertimu memang tidak
perlu ngibul dan suka berkata apa adanya.
Tidak seperti manusia yang suka mengobral ucapan untuk kepentingan perutnya
sendiri...."
Hakim Tanpa Wajah memandangi permukaan
danau yang dibelai angin beberapa lama.
"Baik-baik. Tak ada ruginya jika aku mencoba membuktikan beritamu, 'saksi
mata'...," kata Hakim Tanpa Wajah, akhirnya.
Laki-laki tua itu segera akan melaksanakan niat-nya untuk mencaritahu kebenaran
berita dari sang Gagak. Diangkatnya tangan pucat berkeriput di depan wajah,
dengan telapak saling bersilang ke depan.
Cukup lama Hakim Tanpa Wajah bersikap seperti itu, sampai akhirnya air danau
bergolak bagai diaduk-aduk dari dalam oleh sepasang tangan raksasa.
Rupanya laki-laki tua ini sedang mengerahkan tenaga batin berkekuatan dahsyat
yang dinamakan ilmu
'Rahasia Pikiran'. Karena hanya dengan membayangkan benda yang menjadi sasaran, dia dapat mengangkat, melempar, atau
bahkan meng-hancurkannya. Begitu juga dengan dasar danau di depannya.
Dibayangkannya dasar danau itu sedang teraduk-aduk kuat luar biasa. Maka, yang
terjadi pun demikian!
Sampai suatu saat terdengar gemuruh tertahan dari dasar danau, beriring sembulan
gelembung-gelembung udara yang demikian ramai. Sebentar kemudian menyusul
sesosok tubuh wanita hamil muncul ke permukaan. Tampaknya, mayat wanita hamil
itu terjebak di sebuah rongga batu besar yang berisi udara di dasar danau ini.
Sehingga air danau tidak dapat masuk ke dalam rongga batu. Dengan begitu, si
Jabang Bayi tetap bisa mengirup udara untuk bernapas. Meski, sampai saat ini
Hakim Tanpa Wajah tak bisa mengerti, bagaimana cara si Jabang Bayi bernapas.
Yang pasti, suhu rendah yang begitu dingin di dasar danau, telah membuat mayat
wanita hamil tidak cepat membusuk.
Mudah sekali Hakim Tanpa Wajah meniti permukaan air danau dengan daun-daun
kering yang diambil dari sebatang pohon. Di atas daun demi daun yang
dimanfaatkan sebagai pijakan lompatan, lelaki bangkotan itu mendekati mayat
wanita hamil tadi.
Dijemputnya tubuh kaku itu. Sebentar kemudian dibopong di bahu, lalu dibawanya
ke tepian. "He... he... he, 'saksi mata'! Kau telah berjasa padaku. Aku akan segera punya
murid luar biasa! Dia akan kudidik menjadi tokoh tak terkalahkan di dunia
persilatan. He... he... he!"
Baru saja kata-katanya selesai, Hakim Tanpa Wajah melesat pergi.
"Kau tentu tahu, di mana kau bisa menemuiku,
bukan?" Seru Hakim Tanpa Wajah pada si Burung Gagak.
"Kaaak!"
*** 2 "Eiii! Hi... hi... hi!"
Seorang wanita genit tampak berdiri berhadapan berjarak tiga tombak dengan
seorang pemuda di tengah jalan berbatu di satu lereng bukit, melihat
kemunculannya tadi wanita bertubuh sintal yang tersenyum menggoda ini agaknya
memang sengaja menghadang. Dengan pakaian ketat berwarna merah menyala, leluklekuk tubuhnya jadi membayang jelas.
Wanita berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu berambut panjang. Berkerudung
kuning tembus pandang yang menjulur hingga menutupi wajahnya.
Meski tertutup kain tertembus pandang, kecantikan-nya masih tetap bisa ditangkap
mata pemuda yang dihadang. Sayangnya, rias wajahnya terlalu berlebihan. Sehingga
terasa sebal dipandang. Bibirnya mekar memerah. Pipinya dipupuri tebal-tebal.
Matanya memandang sayu dengan bulu-bulu mata lentik.
Alis matanya dilukis demikian tebal menantang.
Sementara pipinya diberi pemerah.
Pemuda yang dihadang mengangkat alisnya yang seperti sayap elang, ketika wanita
genit itu mulai maju perlahan mendekatinya. Baginya, biasa kalau agak terpikat
dengan kecantikan wanita di depannya kini. Tapi kalau tingkahnya genit dengan
penampilan seronok, rasanya ketertarikan itu jadi buyar seketika.
Dia berpikir, hanya wanita-wanita nakal yang ber-dandan seperti dia.
"Mau ke mana, Anak Muda Tampan?" tanya
wanita genit ini mendayu-dayu.
"Ke sana boleh, ke sini juga boleh," jawab pemuda berpakaian hijau-hijau dengan
selembar kain bercorak catur tersampir di bahunya. Sambil menjentik anak rambut
yang panjang menghalangi pandangan, ditatapnya wanita genit itu acuh tak acuh.
"Kalau begitu, ke sini saja, ya" Ya"! Ya"!"
Pemuda tampan bertubuh kekar ini menarik napas. "Aneh-aneh saja manusia di dunia
ini. Seenaknya saja memaksa kehendaknya pada orang lain. Memang aku ini jongosnya
apa?" gerutu pemuda ini tak kentara.
"Ah! Jangan sesinis itu...!" sergah wanita itu seraya mencibir.
Telinga wanita ini ternyata cukup tajam juga. Dia bisa menangkap ucapan berbisik
pemuda tadi. "Kalau nanti kau sudah dekaaat denganku, baru tahu rasa kau. Bisa-bisa kau tidak
mau jauh-jauh dariku. Hi... hi...!" Dijawilnya dada bidang si Pemuda dengan
jarinya yang lentik.
"Ih...!"
Pemuda tampan ini menyurut ke belakang.
Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dadanya kontan menguncup karena geli.
"Jangan lancang, ya!" bentak pemuda itu agak mangkel.
"Itu tadi bukan lancang, Anak Muda! Hanya semacam ketrampilan tangan. Hi.. hi...
hi...." "Hus!"
Si Wanita genit cepat-cepat mengatupkan mulutnya. Dan secepat itu pula, bibir
merahnya dicibir-cibirkan kian kemari.
"Kenapa bibirnya" Keseleo" Atau salah urat?"
gurau pemuda ini asal bunyi. Mungkin karena cetusan rasa jengkel.
"Hi... hi... hi.... Bisa sajaaa!" Kembali dijawilnya dada bidang pemuda
berpakaian hijau ini.
"Ah, sudah! Aku ingin lewat. Tak ada waktu buat melayanimu!"
"Juwita Permatasari Megapuspita Ranasutra...."
"Apa itu?" tanya si Pemuda heran.
"Namaku."
"Aku tak tanya namamu!" hardik pemuda ini makin dongkol. "Sudah, minggir! Kasih
aku jalan!"
Pemuda itu maju selangkah untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, segera kembali
dihadang oleh wanita genit itu. Hampir-hampir saja, wanita ini ditabraknya.
"Aiii, nafsu nih"!" tukas wanita genit yang mengaku bernama Juwita Permatasari
Megapuspita Ranasutra itu.
"Sialan!" maki pemuda berbaju hijau ini sambil membelalakkan mata ke arah
perempuan di depannya. "Kalau kau sejenis wanita nakal, akan salah bila memilihku."
"Jadi namamu siapa, anak muda tampan yang gagah perkasa?"
"Sialan!"
Sekali lagi, pemuda ini memaki. Ucapannya barusan seakan hanya kentut bagi
perempuan cantik itu.
"Kalau kuberitahu, kau bersedia memberiku lewat?" usul pemuda itu kemudian,
supaya bisa cepat pergi dari sana dan tidak lagi berurusan dengan wanita binal
semacam ini. "Tergantung...," sahut si Wanita Genit.
"Tergantung apa?"
"Tergantung, apakah kau memiliki sesuatu yang digantung-gantung. Hi... hi...
hi!" celoteh wanita genit
ini makin menjurus.
Tingkah Juwita bahkan kian nakal saja. Malah bahu kekar pemuda itu mulai
digelayuti dengan kedua tangan. Sesekali matanya mengerling dan mengumbar senyum
tipis penuh arti.
"O, ya. Jadi siapa namamu, Pemuda Ganteng?"
"Aku..., ah! Apa perlu kuberitahu namaku"!"
"Perlu!" selak Juwita berbareng gerakan tangan jahil ke arah tubuh bagian bawah
pemuda di sisinya.
Tentu saja calon korban tangan usil itu terkesiap.
"Baik..., baik! Namaku Andika!" ujar pemuda yang tak lain pendekar muda kesohor
dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor.
"Amit-amit kalau tangan wanita ini sempat
'Bertemu' di tempat rahasiaku!" rutuk Andika tak kentara. "Dasar wanita nakal!
Biar cantik bisa-bisa malah bawa penyakit!"
"Apa katamu!" sentak Juwita dengan mata terbelalak besar-besar. Jelas, dia
tersinggung dengan gerutuan Andika.
Andika alias Pendekar Slebor meringis ngeri-ngeri.
Tapi dia cukup jujur untuk mengulang kembali gerutuannya tadi.
"Aku bilang, secantik-cantik wanita nakal, bisa saja bawa penyakit...."
"Kau harus membayar penghinaanmu itu!" teriak wanita genit ini persis di telinga
Andika. Satu tangan Juwita terangkat tinggi-tinggi, siap menampar wajah pemuda yang
menghinanya. "Jangan terlalu perasa! Aku kan, tidak bilang kalau kau membawa penyakit. Aku
hanya bilang...."
Andika berusaha berdalih. Tapi sebelum sempat ucapannya diselesaikan, tangan
wanita itu sudah melayang deras.
Bet! Angin keras segera saja terdengar, pertanda kalau tamparan tangan Juwita membawa
satu tenaga dalam tingkat tinggi. Dan ini sama sekali luput dari dugaan Pendekar
Slebor sebelumnya. Beruntung kesiagaannya tidak ikut terdesak oleh rasa kagum
pada kecantikan wanita yang kini menjadi lawannya.
Tanpa mau mengambil bahaya sedikit pun, Andika melempar tubuhnya jauh-jauh ke
belakang. Namun begitu, masih juga dirasakannya rasa pedih berdenyar pada bagian
tubuh yang sempat tersambar angin pukulan lawan.
"Apa kau sudah sinting, Perempuan Cantik"!
Kenapa kau tiba-tiba hendak membunuhku"!" sentak Pendekar Slebor, begitu bangkit
berdiri dengan satu lompatan indah.
Wanita cantik itu tertawa renyah menanggapi kebingungan Andika.
"Jangan heran, Anak Muda. Sebenarnya aku hanya ingin mengenal Pendekar Slebor.
Aku ingin tahu, apakah nama besarmu benar-benar bukan sekadar bungkus bubur
nasi!" "Jadi, sebenarnya kau telah tahu tentang diriku?"
tanya Pendekar Slebor.
"Hi... hi... hi. Siapa yang tak kenal ciri-ciri pemuda sakti kesohor seperti
kau, Pendekar Slebor! Pemuda tampan yang selalu berpakaian hijau-hijau dengan
kain bercorak catur tersampir di bahu. Dan, satu lagi yang tidak mungkin kau
lepaskan dari tubuhmu....
Tanda bintang berwarna hijau kebiru-biruan yang kau bawa dari lahir di tangan
kananmu!" urai Juwita.
Andika jadi tak habis pikir pada wanita yang kini dihadapinya. Jarang sekali
orang persilatan yang tahu tanda lahir di tangan kanannya, karena selalu tertutup lengan baju. Pendekar Slebor sendiri sudah tidak begitu memperhatikan hal
kecil ini. Dan sekarang, tiba-tiba saja ada orang asing yang baru saja bertemu,
tapi sudah tahu hal kecil tentang dirinya.
"Tampaknya aku sedang berhadapan dengan
orang yang tak bisa dibuat main-main," gumam Pendekar Slebor.
Entah bagaimana Andika jadi menduga kalau wanita ini adalah tokoh jajaran atas
yang lebih dulu malang melintang dalam dunia persilatan ketimbang dirinya.
Memang menurut cerita dari mulut rakyat, Andika mendapat kabar kalau setiap
pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan yang juga buyutnya, pasti memiliki
tanda seperti terdapat di tangan kanannya. Namun sejauh itu, orang-orang hanya
tahu tentang tanda khusus yang menjadi ciri khas pewaris pendekar panutan itu.
Sedangkan bentuk dan letaknya tak pernah ada yang tahu. Jika ada seorang yang
tahu tentang bentuk dan letak tanda lahir itu, bisa jadi dia adalah tokoh tua
yang cukup akrab dengan Pendekar Lembah Kutukan itu sendiri.
"Tapi, apa mungkin dia salah seorang sahabat buyutku, Pendekar Lembah Kutukan"
Bukankah buyutku itu hidup lebih dari seratus tahun lalu"
Sementara wanita ini mungkin baru berusia antara dua puluh tujuh sampai dua
puluh sembilan tahun,"
bisik Andika, mulai ragu dengan dugaannya.
"Kenapa kau bengong seperti kambing masuk angin?" sentak Juwita membuyarkan
dugaan-dugaan Andika.
"Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?" tanya Andika, hati-hati.
Bukan apa-apa. Pendekar Slebor hanya tak mau berbuat kurang ajar jika wanita itu
benar-benar sahabat buyutnya. Siapa tahu, dia memiliki ilmu awet muda!
Wanita cantik ini menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan kanan. Dan kerudungnya
yang tembus pandang itu ikut bergerak lemah gemulai.
"O, o! Belum waktunya kau mengenalku, Anak Muda Menggemaskan!" tandas Juwita
seraya memainkan jari telunjuk di depan kepala. "Suatu saat, kau akan tahu siapa
aku. Sekarang ini, kau cukup kubiarkan dongkol dan penasaran saja. Hi... hi...
hi!" Selesai berkata demikian perempuan mempesona itu berpindah tempat, tanpa
menggerakkan badan sedikit pun. Dari satu jarak, ke jarak lain. Sehingga,
akhirnya dia menghilang tanpa jejak. Sungguh satu unjuk kebolehan ilmu
meringankan tubuh yang mungkin hanya dimiliki oleh dua atau tiga orang di dunia
persilatan. Bahkan Andika sendiri pun tak sanggup melakukannya.
Tanpa sadar, mulut Andika berdecak. Sementara itu matanya terbuka lebar tanpa
berkedip. Dan ada satu lagi, hidungnya mencium aroma bunga sedap malam,
sepeninggalan wanita genit tadi.
*** Hakim Tanpa Wajah membawa mayat wanita hamil yang ditemukannya di danau, ke
sebuah rawa penuh buaya buas. Dia menyelam tanpa kesulitan ke dasar rawa
berlumpur seperti seekor katak besar. Anehnya, tak ada seekor buaya pun yang
berani mengusik.
Kehadirannya bagi binatang peninggalan zaman purba itu, seperti raja diraja yang
ditakuti. Binatangbinatang berdarah dingin itu langsung saja menyingkir ketakutan, manakala Hakim
Tanpa Wajah lewat.
Setelah menyelami sekian depa kedalaman rawa, Hakim Tanpa Wajah tiba di sebuah
lubang besar menganga. Dimasukinya lubang di dasar rawa itu.
Lorong panjang berliku-liku dalam lubang bukan sesuatu yang sulit buatnya, tanpa
perlu mengambil napas.
Beberapa lama kemudian, laki-laki tua ini muncul di sebuah kubangan air dalam
sebuah ruang besar di perut bumi, yang memiliki beberapa lorong lain.
Tempat itulah yang beberapa puluh tahun lalu, dijadikan sebagai penjara,
pengadilan, sekaligus tempat bagi orang-orang persilatan yang diculiknya
menjalani hukuman. Dan tempat itu dinamakan: Pengadilan Perut Bumi.
"Kita sudah tiba, Bocah Bagus!" kata Hakim Tanpa Wajah pada si Jabang Bayi dalam
perut mayat wanita hamil yang dipondongnya. "Sebentar lagi kau akan kukeluarkan
dari perut ibumu. He... he... he!"
Hakim Tanpa Wajah memasuki sebuah lorong yang di dalamnya hanya diterangi oborobor dari gas alami.
Diletakkan mayat yang dibawanya di lantai sebuah ruangan yang tak begitu luas
sebesar gubuk. Telinganya lantas didekatkan ke perut besar mayat wanita itu, seakan ingin
meyakinkan kalau si Jabang Bayi masih hidup.
"He... he... he. Kau benar-benar bocah kuat!" puji Hakim Tanpa Wajah seraya
menepuk-nepuk kandungan. "Bagaimana cara mengeluarkan kau, ya"
Aku jadi bingung juga. Kau tahu sendiri bukan, kalau aku bukan dukun beranak.
He... he... he!"
Layaknya orang kebingungan, Hakim Tanpa Wajah mondar-mandir di dekat mayat
wanita hamil ini.
Namun jalannya sungguh aneh. Dia seperti melompat-lompat!
Kini dia berpikir untuk menemukan cara, bagaimana mengusahakan si Jabang Bayi
hadir di alam yang baru, tanpa harus mencelakakannya. Tentu saja Hakim Tanpa
Wajah tak ingin si Jabang Bayi mendapat celaka. Hasratnya untuk menjadikan si
Jabang Bayi menjadi muridnya, telah membuatnya bertindak hati-hati.
Kebingungan laki-laki tua ini terjegal mendadak, saat matanya menangkap satu
gerakan ganjil dalam perut mayat wanita itu.
"Ei, apa itu?" tanya Hakim Tanpa Wajah ingin tahu.
Didekatinya perut buncit mayat wanita ini.
"We... we... we. Rupanya kau sudah tak sabar lagi, Bocah Bagus!" kata Hakim
Tanpa Wajah sewaktu melihat kandungan tersentak-sentak dari dalam.
"Kau tentunya sudah penat di dalam sana. Tapi, tampaknya kau ingin keluar
sendiri tanpa ingin dibantu.... Weee, begini saja. Biar kau kuberi sedikit
pertolongan."
Dengan kuku runcing jari telunjuknya, Hakim Tanpa Wajah menusuk hati-hati perut
besar mayat si Wanita. Maka lubang sebesar jari pun tercipta, tanpa mengeluarkan
darah. Tak ada lima kerdipan mata, lubang kecil itu mulai melebar, merobek kulit
perut wanita si Wanita.
Penyebab robekan yang kian besar itu tentu saja geliatan liar si Jabang Bayi di
dalamnya. Kemudian disusul menyembulnya sepotong kaki mungil, namun kokoh. Dan
sebelah kaki yang lain, membuat kulit perut ibu sang Bayi jadi terkuak makin
lebar. Maka sebagian jaringan rahim yang sudah agak liat pun terlihat. Ketika
lubang di perut sang Ibu makin
melebar, tampaklah seorang bayi. Mungil, sehat, dan masih merah seperti layaknya
bayi lain. Namun ada yang berbeda dengan bayi satu ini. Gusinya telah ditumbuhi
dua gigi runcing, berbentuk taring yang menyembul di sudut-sudut bibirnya!
*** 3 Puluhan tahun yang lalu, ada seorang pemuda digdaya yang selalu muncul bersama
monyet kecilnya. Bentuk tubuhnya gagah. Wajahnya tampan, hingga mampu
menggoyahkan hati setiap wanita yang melihatnya. Meski tindak-tanduknya lebih
tepat disebut tingkah orang tak punya otak, toh, tetap saja puluhan wanita
kalangan dunia persilatan mengejar-ngejarnya.
Otak pemuda itu memang bebal seperti kerbau.
Cara berpikirnya memang tak lebih daripada bocah ingusan berumur enam tahun.
Tapi untuk urusan kedigdayaan, jangan coba-coba menjajalnya. Begitulah pendapat
umum dunia persilatan kala itu, mengenai dirinya.
Sementara monyet kecilnya yang seringkali justru lebih cerdik dari pemuda itu
sendiri. Baginya, binatang peliharaannya itu adalah sahabat, sekaligus teman
mengambil keputusan. Bila ada orang-orang yang berurusan dengannya, maka hewan
yang memiliki naluri kuat itu akan memberinya pertimbangan. Apakah orang itu
akan dibunuh, atau dibiarkan hidup. Sesakti apa pun seseorang, jika si Kera
Kecil itu sudah berjingkat-jingkat liar seraya menampakkan wajah beringas, maka
akan digasak habis oleh pemuda tampan ini. Sejauh itu, tak ada seorang pun yang
bisa lepas dari tangan mautnya, kalau sudah mendapat isyarat dari hewan
peliharaannya. Hampir semua yang dihabisinya adalah orang-orang dari golongan
hitam. Karena itu, dia amat
dimusuhi habis-habisan oleh datuk-datuk sesat di empat penjuru angin. Apalagi,
kera kecilnya yang selalu saja bisa mencium sifat-sifat busuk seseorang.
"Sebaliknya, jika si Kera Kecil itu mulai melompat berputaran sambil bertepuk
tangan, maka orang itu akan dibiarkannya hidup. Meskipun, orang tersebut sudah
nyaris melemparnya ke liang kubur sekali pun.
Kini, setelah sekitar delapan puluh tahun berlalu, pendekar itu tidak lagi
gagah. Wajahnya pun sudah diramaikan kerutan di sana-sini. Tubuhnya yang dulu
kekar berisi, kini hanya seonggok tulang berbalut kulit keriput. Kalaupun ada
yang tidak berubah, hanya pakaiannya yang berwarna-warni, penuh tambalan di
sana-sini. Meski tubuhnya sudah melengkung seperti tongkat, dia masih bisa
berjalan cukup gagah tanpa perlu penyangga. Matanya kelabu, tapi tetap berbinar
riang. Rambutnya memutih rata dan ditutupi selembar topi pandan. Tanpa jenggot
dan kumis, dia seperti lebih muda daripada usia sebenarnya. Kalau laki-laki itu
cengengesan sendiri sesekali, maka tampaklah gusi yang hanya memiliki tiga
batang gigi kuning langsat. Ketuaan usianya mungkin hanya bisa ditaksir dari
panjang alis mata berwarna putih, yang menjuntai menutupi kelompak matanya yang
sayu. Tokoh inilah yang dulu kesohor dengan julukan Pendekar Dungu! Tua bangka itu
kini tengah berjalan melenggang di sebuah pematang sawah. Sayang, monyet kecil
sahabat setianya tak seberuntung dirinya diberi usia panjang. Binatang itu telah
mati sekitar enam puluh tahun lalu. Kini, tidak ada lagi yang bisa memberi
pertimbangan padanya untuk bertindak pada orang-orang yang berurusan dengannya.
Bahkan dia tidak bisa lagi membedakan, mana orang-orang dari golongan lurus dan
mana yang dari golongan sesat.
"Hoiii, Dungu!"
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang, saat Pendekar Dungu sampai di ujung
pematang. Langkah kakinya seketika tertahan, tapi tak segera menoleh ke asal
suara. Sesaat laki-laki tua itu hanya terpaku dengan mata berkedip-kedip lambat.
Selanjutnya kakinya digerakkan kembali untuk meneruskan perjalanan. Barangkali
hatinya sudah tidak yakin, apakah ada orang memanggilnya atau tidak. Atau,
barangkali dia sendiri sudah lupa dengan julukannya sendiri.
"Oooi, Bodoh! Lagakmu masih tetap menjengkelkan seperti dulu!"
Terdengar teriakan kembali. Kali ini terdengar agak kalap.
Jauh di belakang Pendekar Dungu, tampak seseorang berlari ringan mengejarnya.
Cara larinya bagai kesetanan. Blingsatan dengan langkah-langkah ngawur seperti
anak kecil baru bisa berlari.
Penampilannya membuat siapa pun merinding.
Seluruh badannya yang besar kelebihan lemak, ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat.
Bahkan sampai ke wajahnya. Kalau dilihat sekilas, laki-laki yang baru datang ini
mirip seekor kera. Namun begitu, wajahnya tidak seburuk itu. Untuk orang
kebanyakan, dia masih termasuk tampan. Sayang, pipinya agak tebal oleh lemak.
Bulu-bulu hitam lebat di badannya, membuatnya tak membutuhkan baju untuk
melindungi diri dari sengatan sinar matahari. Hanya bagian bawahnya saja yang
Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditutupi celana panjang hitam.
Tokoh ini salah satu yang tak tertandingi pada puluhan tahun yang lalu.
Julukannya, Lelaki Berbulu Hitam. Tak seperti Pendekar Dungu, lelaki itu tak
nampak dimakan usia. Walau berusia seratus tahun lebih, namun tak membuatnya
menjadi renta. Padahal dia sama sekali tidak memiliki ilmu awet muda. Bisa saja dia tetap muda
seperti berusia empat puluhan, karena konon dalam tubuhnya mengalir darah
keturunan serigala. Dan lelaki berbulu itu memang lahir dengan cara di luar
kebiasaan alam, yakni dari perut seekor serigala betina jejadian.
Mulanya, wanita itu adalah penuntut ilmu hitam serigala siluman. Habisnya batas
waktu ilmu hitam itu, menyebabkan si Wanita berubah wujud menjadi serigala.
Pada masa jayanya, Lelaki Berbulu Hitam dikenal sangat beringas. Wajar saja,
darahnya memang panas layaknya serigala. Dalam membunuh, dia tak pernah mengenal
batas-batas kekejian. Merencah-rencah lawan baginya merupakan hal biasa.
Namun begitu, sesungguhnya Lelaki Berbulu Hitam tetap memiliki hati nurani.
Kerap kali dalam dirinya terasa ada hembusan kuat, yang mencoba menyadar-kannya
dari kebuasan seekor binatang. Saat seperti itulah, akan terjadi pertarungan
batin antara dua kehendak yang saling bertentangan. Yang satu ingin
memperturutkan naluri kebuasan, sedang yang lain ingin mengikuti hati nurani.
Pernah, Lelaki Berbulu Hitam berurusan dengan Pendekar Dungu. Penyebabnya, hanya
karena Lelaki Berbulu Hitam merasa iri terhadap Pendekar Dungu yang memiliki
seekor kera berkemampuan
mengagumkan. Menurut Lelaki Berbulu Hitam, dengan bantuan kera kecil cerdik itu,
tentu dirinya bisa mulai menghilangkan sikap buas pada setiap orang.
Tentu saja Pendekar Dungu tidak ingin binatang
kesayangannya direnggut Lelaki Berbulu Hitam.
Karena, dia pun amat memerlukan kecerdikan binatang kecil itu. Maka pertentangan
itu pun menyulut pertarungan seru dan habis-habisan.
Setelah pertarungan dahsyat habis-habisan itu, mereka tidak pernah lagi muncul
di dunia persilatan.
Keduanya seperti disadarkan oleh sebuah kekuatan suci, bahwa mereka tidak bisa
bergantung dengan seekor hewan kecil. Mereka harus bisa mengatasi masalah
sendiri. Untuk itulah, mereka lalu meng-asingkan diri, meminta petunjuk sang
Penguasa Jagad agar bisa mengenyahkan kekurangan diri masing-masing.
*** Lelaki Berbulu Hitam telah sampai di dekat Pendekar Dungu.
"Kenapa kau dungu sekali, Dungu"!" tegur Lelaki Berbulu Hitam dengan wajah
memerah kesal. "Kau bilang aku dungu?" tanya Pendekar Dungu, ketolol-tololan.
"Ya!"
"Kenapa kau katakan begitu?"
"Karena kau dungu, Dungu!"
Pendekar Dungu mengangguk-angguk dengan alis mata berkerut.
"Ya, ya.... Aku memang dungu. Betapa dungunya aku...," gumam Pendekar Dungu.
"Ah, sudah! Kalau terus meributkan kedunguan-mu, kita tak akan selesai-selesai
sampai seratus abad lagi! Jadi, ke mana saja kau selama ini?" tanya Lelaki
Berbulu Hitam, seperti seorang sahabat yang lama tak bersua.
"Aku" Kalau tidak salah, aku menyembunyikan diri di Gunung Gangginggung. Aku
bertapa di sana.... Itu kalau tidak salah."
"Kalau tidak salah" Kau masih saja dungu seperti dulu."
"Ya, dasar dungu...."
"Sama seperti kau, aku juga mengucilkan diri. Dan aku juga bertapa untuk memohon
wangsit dari Yang Kuasa."
Pendekar Dungu mengupil hidung.
"Kalau tak salah, aku tidak bertanya soal itu,"
gumam Pendekar Dungu santai.
"Kau menjengkelkan, Dungu! Hih!"
Lelaki Berbulu Hitam melayangkan cakar panjangnya yang berwarna hitam ke perut
Pendekar Dungu.
Suara mendesau tajam terdengar menggiriskan saat tangan itu menyambar. Dan udara
pun terasa seperti bergetar tersambar kuku-kukunya.
Bet! Sementara itu, jari tangan kanan Pendekar Dungu segera menjentik kotoran
hidungnya yang menempel ke arah sambaran Lelaki Berbulu Hitam. Maka desir angin
yang tak kalah santer pun terdengar. Tahi hidung itu terus melesat, lalu
menghantam kuku kelingking Lelaki Berbulu Hitam.
Tak! Seperti sebuah bangunan beton amat tebal, secuil tahi hidung milik lelaki tua
berotak bebal itu sanggup menahan laju sambaran cakar Lelaki Berbulu Hitam.
Lelaki Berbulu Hitam jadi mendengus gusar. "Kau hendak menghinaku, Dungu"!"
bentak laki-laki seram ini setengah bertanya.
Rupanya Lelaki Berbulu Hitam tak mau kalah unjuk kebolehan. Satu gerakan tangan
dibuat. Maka seketika beberapa lembar bulu hitam di punggung jarinya terlepas, lalu melesat
deras ke sepasang mata Pendekar Dungu. Wesss!
Sementara itu Pendekar Dungu mendadak
menguap lebar-lebar. Setelah itu napasnya dihempas-kan.
"Hoaaah... huuuhhh!"
Semua itu dilakukan seperti di luar kesadaran.
Namun hasil yang terjadi sungguh luar biasa!
Lembaran-lembaran bulu berkekuatan hebat itu langsung terhambat di udara. Dan
begitu hembusan napasnya, terpenggal, bulu-bulu maut itu pun meng-gelepar turun
di udara kehilangan seluruh kekuatan seperti lembaran kapas. Namun beberapa
lembar di antaranya sempat tersangkut di lubang hidung Pendekar Dungu. Dan
sebentar kemudian....
"Aaa... aaa... haaachiiihhh!"
Orang tua berpakaian tambalan ini mendadak membersin keras. Lendir kental dari
hidungnya langsung terlontar menuju Lelaki Berbulu Hitam dengan kecepatan angin
topan. Sewaktu bergesekan dengan udara, lendir menjijikkan itu mengepulkan asap
tipis. Mungkin lubang hidung yang tak pernah dibersihkan selama puluhan tahun
itu, telah menyebabkannya beracun.
Mata Lelaki Berbulu Hitam kontan mendelik.
Secepat dadanya disingkirkan ke samping. Maka lendir si Pendekar Dungu pun
meluncur ke sasaran lain, seekor ular sawah besar yang naas. Batok kepala
binatang melata itu terhajar lendir tadi. Maka sekejap saja kepala ular itu
berhamburan. Sedangkan bekas hantaman lendir mengeluarkan asap tipis, mengambang
lamban di antara puncuk padi yang masih berwarna hijau.
"Ngomong-ngomong, apa yang kau dapat waktu bertapa?" Pendekar Dungu melontarkan
pertanyaan sambil menghindari tendangan kasar musuh lamanya. "Kalau tidak
salah..., sial! Kenapa aku jadi melatahimu! Maksudku, aku mendapat wangsit.
Masalah kita bisa diatasi dengan bantuan seseorang.... Hiaaat!" jawab Lelaki
Berbulu Hitam, masih terus menggempur liar.
"Lho" Kenapa bisa sama, ya"! Haih!"
"Jadi, kau mendapat wangsit seperti itu juga"!"
"Ya, ya! Kalau tidak salah..., hiaaah!"
Kedua tokoh itu bertukar jurus kian panas.
Gerakan mereka membongkar habis pematang sawah di bawah. Angin pukulan dan
tendangan satu sama lain menyapu bulir-bulir padi hijau hingga berterbangan ke
segenap penjuru.
"Lalu, apa kau mendapatkan ciri-ciri orang yang bakal bisa membantu kita untuk
mengenyahkan kekurangan diri kita?" tanya Lelaki Berbulu Hitam yang dibarengi
susulan terjangan.
"Kau sendiri"! Hey, jangan menyerang jidatku!
Otakku bisa jadi tambah bebal!" hardik Pendekar Dungu kalap.
"Ada bintang...."
"Di langit"!" selak Pendekar Dungu.
"Dungu! Heaaa!"
"Memang! Aiiit!"
"Maksudku, orang itu memiliki tanda bintang di tangan kanannya!" teriak Lelaki
Berbulu Hitam, sampai urat-urat di tenggorokannya membengkak.
"Lho" Kenapa bisa sama lagi dengan wangsitku, ya"!"
Srat! Prat! Pada saat yang bersamaan, telapak tangan Pendekar Dungu menyerempet bulu dada
laki-laki berpakaian tambalan. Sebaliknya cakar Lelaki Berbulu Hitam menyambar
pakaian di bagian dada si Tua Bangkotan. Sejengkal bulu dada lelaki keturunan
serigala itu tercukur gundul. Sementara, pakaian Pendekar Dungu koyak lebar.
"Kau merusak bajuku!" maki Pendekar Dungu kalap.
"Hanya baju dekil dan bau! Tapi, kau malah merontoki bulu dadaku! Kau merusak
penampilan-ku!" sentak Lelaki Bertubuh Hitam tak kalah kalap.
"Bulu-bulumu mestinya memang harus dirontokkan semua! Aku geli melihatnya!
Memandang bulumu, seperti melihat setumpuk lalat jamban!" ejek Pendekar Dungu
sambil memajukan wajah keriputnya, menantang Lelaki Berbulu Lebat.
Lelaki Berbulu Lebat jadi latah. Kepalanya ikut-ikutan dijulurkan. Kini keduanya
saling berhadap-hadapan wajah. Jidat keduanya bertemu, seperti sepasang domba
tua sedang bersabung.
"Kau yang mestinya menanggalkan pakaian
rombengmu itu! Pakaianmu hanya membawa
penyakit kudis saja!" balas Lelaki Berbulu Hitam.
"Ngomong-ngomong, apa kau berniat mencari orang bertanda bintang itu?" tanya
Pendekar Dungu sungguh-sungguh, seperti tak pernah terjadi apa-apa pada dirinya.
"Aku pikir begitu."
"Kalau kupikir..., ng.... Apa iya aku bisa berpikir?"
gumam Pendekar Dungu menyebalkan.
"Jadi kau akan mencari dia juga, apa tidak"!"
bentak Lelaki Berbulu Lebat ngotot sekali.
"Hayo! Hayo!"
Keduanya seketika menyudahi pertarungan. Dan seperti tak pernah terjadi apa-apa,
mereka berjalan bersisian ke arah timur. Matahari saat ini menggelantung dengan
warna Jingga di belakang. Cara jalan mereka seperti dua orang sahabat kental.
Tak beberapa jauh berjalan, mulut Pendekar Dungu mulai berkicau lagi.
"Kau punya murid" Muridmu apa sejelek kau juga?"
Tak lama kemudian kembali keduanya bertengkar.
Suara teriakan kasar seketika terdengar ke mana-mana.
*** 4 Apa yang dinamakan Pengadilan Perut Bumi tetap tersembunyi dari segenap mata
penghuni rimba persilatan. Di sana, lelaki bangkotan berkain kafan yang berjuluk
Hakim Tanpa Wajah sedang mempersiapkan sesuatu yang akan menggemparkan.
Selalu kegemparan yang bakal dimunculkan kembali, setelah terkubur delapan puluh
tahun lebih. Ya! Dia akan mempersiapkan satu pengadilan raya dunia persilatan.
Siap mendakwa, lalu menjatuhi hukuman bagi tokoh-tokohnya. Tak seperti dulu,
kemunculan pengadilan miliknya kali ini akan lebih menggetarkan nyali. Karena
lelaki tua yang merasa dirinya sebagai hakim sejagad, bakal didukung murid
tunggal yang baru sekali ini dimiliki.
Siapakah murid tunggalnya"
Dialah bayi ajaib yang ditemukan Hakim Tanpa Wajah dari dalam kandungan mayat
seorang wanita tak dikenal. Setelah keluar dari perut ibunya, keajaiban makin
menjadi-jadi. Tubuhnya berkembang pesat, tak seperti bayi biasa. Paling tidak,
bayi lain membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa berjalan.
Namun si Bayi Ajaib itu hanya perlu waktu satu minggu! Tangan dan kakinya yang
semula merah mungil, cepat menjadi kekar. Yang lebih gila lagi, dalam waktu
seminggu remasan jarinya sudah mampu menghancurkan batang pohon. Tak ada susu
buat pertumbuhannya, yang jadi makanannya hanya akar-akar pohon bakau yang
tumbuh di rawa, di atas Pengadilan Perut Bumi.
Hari terus berjalan, sesuai kodratnya. Dua bulan telah berjalan. Sementara
pertumbuhan si Bayi Ajaib kian tidak terkendali. Dalam usia sedini itu dia sudah
bisa berlari dan melompat kian kemari, menabraki dinding batu di dalam ruang
Pangadilan Perut Bumi hingga berguguran. Tubuhnya mulai disarati otot-otot
kenyal. Tulangnya makin kokoh. Sedangkan tingginya sudah seperti anak umur
sembilan tahun.
Di samping semua itu, wajah si Bayi Ajaib lebih menampakkan keganasan. Mulutnya
yang bertaring, seringkali menyeringai layaknya hewan buas.
Sepasang matanya seperti milik macan hutan. Bola mata hitamnya tegak lurus,
berbentuk pipih. Tidak seperti manusia umumnya, rambutnya berwarna merah menyala
seolah-olah dibuat dari bahan batuan neraka. Hakim Tanpa Wajah menamakan bocah
itu, Manusia Dari Pusat Bumi. Karena, lahirnya jauh di dasar bumi.
Lalu bagaimana si Bayi Ajaib bisa terkandung dalam perut mayat wanita tak
dikenal itu"
Kisahnya dimulai dari sebuah tempat, dalam kelebatan hutan bernama Rimba Selaksa
Mambang. Seorang gadis yang belum pernah sekali pun tersentuh lelaki, telah tersesat di
sana. Mulanya dia dikejar-kejar segerombolan bajingan yang bernafsu melampiaskan
hawa nafsu kelelakian di tepi hutan.
Waktu itu gadis ini hendak melewati tepi hutan untuk membuat jalan pintas menuju
sebuah kampung terpencil. Dia memang hendak membeli obat untuk bapaknya yang
hampir sekarat, sehingga harus mengambil jalan pintas.
Melihat gadis ayu dan molek berjalan sendiri di tepi hutan, gerombolan bajingan
jadi tergiur. Mereka berusaha menghadang. Seketika gadis yang tahu ada
segerombolan orang hendak berniat jahat padanya, langsung saja melarikan diri ke
dalam hutan. Tanpa disadarinya, wilayah hutan paling angker di kawasan barat itu
telah dimasuki. Selama ini, tidak ada seorang pun berani menjejakkan kaki di
sana. Begitu juga gerombolan bajingan yang mengejarnya.
Ketika makin dalam memasuki hutan, gadis itu mulai sadar kalau telah memasuki
hutan angker. Buktinya, gerombolan yang mengejarnya sudah tidak terlihat lagi. Namun
kesadarannya sudah terlambat, karena dirinya sudah telanjur terjebak dalam pusat
Hutan Rimba Selaksa Mambang.
Pepohonan raksasa bersisian satu sama lain dalam baris yang tak teratur. Ototnya
merangas, menggantung bagai ribuan tangan makhluk dasar neraka sedang menggapaigapai. Dedaunan yang lebat tak membiarkan cahaya matahari sempat menerobos. Bagi
gadis ini, pepohonan itu seperti berpuluh-puluh mata-mata dari alam gaib yang
sedang mengawasinya. Lalu, dia pun menjadi ketakutan.
Gadis itu berlarian kembali dengan perasaan tercekam. Namun, iniiah justru yang
menjadi kesalahan terbesar dalam hidupnya. Karena ternyata, dia makin masuk ke
tengah-tengah Rimba Selaksa Mambang, di mana berdiri istana para mambang,
siluman-siluman penghuni hutan!
Malam pun menjelang. Rimba Selaksa Mambang makin disergap kegelapan. Sementara,
si Gadis makin dililit perasaan takut luar biasa. Sampai suatu ketika, muncul
sosok-sosok menyeramkan secara tiba-tiba dari sebuah pohon raksasa sebesar
rumah! Ada sekitar dua puluh sosok bertubuh besar menampakkan diri secara samar-samar.
Rata-rata tinggi mereka sekitar tiga kali manusia dengan wujud yang begitu mengerikan. Ada
yang bertaring sepanjang lengan manusia. Ada yang bermata bulat amat besar,
seakan hendak keluar. Bahkan ada yang berkepala besar dengan tanduk menjulang,
malah sebagian lain memiliki perut buncit.
Mendapat semua itu, kontan saja si Gadis menjerit sejadi-jadinya. Benteng
kekuatan jiwanya hancur seketika. Dan saat itu juga dia tak sadarkan diri.
"Apakah purnama telah benar-benar berada tepat di atas kepala kita?" tanya
seorang siluman dengan bahasa mereka sendiri.
"Tinggal beberapa saat lagi," sahut yang lain.
"Kebetulan sekali ada seorang gadis manusia yang datang ke tempat kita. Tanpa
harus pergi keluar wilayah, kita bisa mendapatkan gadis yang dibutuh-kan. Tak
seperti sejuta purnama yang lalu."
"Kak..., kak..., kak! Purnama kesejuta kali ini rupanya kita benar-benar
beruntung!" timpal siluman berkepala gundul dan berpusar panjang.
"Nang..., ning..., ning.... Nang-gung...!" Siluman berperut buncit menari-nari
girang. Perutnya yang menggelantung hampir menyentuh tanah, terayun-ayun ke sana
kemari. "Tanpa susah-susah, kita akan mendapat hadiah dari Sri Ratu. Kak...,
kak..., kak!"
*** Purnama akhirnya tiba juga di pucuk angkasa.
Para siluman tadi mulai melaksanakan tugas yang diemban. Mereka harus menanam
benih keturunan bangsa siluman, ke dalam perut seorang gadis yang masih tetap
pingsan itu. Upacara gaib segera dilaksanakan, yang sulit
dipahami pikiran manusia. Mula-mula kedua puluh siluman itu melingkari tubuh
gadis ini yang meng-geletak. Perlahan-lahan mereka mulai bergerak mengitarinya.
Kian lama, putaran itu bertambah cepat menggila. Sampai akhirnya, tubuh halus
semua siluman itu mengabur, dan berubah menjadi pusingan angin kencang. Batang
Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
batang pohon besar yang tak begitu kuat menghujam bumi, pasti akan tercabut dan
melayang ke udara tak bedanya dengan lembaran bulu. Hutan lebat itu bagai
digasak angin topan maha hebat.
Anehnya, tubuh gadis itu tetap berada di tempat semula, seperti tak mendapat
pengaruh sama sekali.
Pada saat angin berbentuk pusaran makin tinggi merangsek angkasa, seberkas
cahaya kemerahan berkelebat cepat dari puncaknya menuju perut gadis itu.
Bersamaan dengan terlepasnya cahaya tadi, tercipta bebunyian menggidikkan bagai
suara segerombolan lebah dan denting sejuta genta.
Kesunyian hutan kian dipecah. Sepertinya kedua puluh siluman tadi sedang
mengumandangkan semacam mantera hitam untuk mengantar masuknya sang Benih
berbentuk cahaya, ke rahim si Gadis.
Sekian kejap berikutnya, cahaya merah sudah menelusup lenyap dalam perut gadis
itu. Dan saat itulah terlempar raungan menyayat dari mulut wanita malang ini,
memenggal bebunyian ganjil yang sebelumnya menyesaki hutan.
Alam mendadak sunyi. Hanya tersisa derak ranting yang terlambat jatuh serta
tiupan angin yang lelah.
Upacara gaib telah selesai. Para makhluk halus itu satu persatu meninggalkan
tempat ini. Nyawa si Gadis telah melayang sebagai tumbalnya.
Dan dari bawah pohon besar tempat menghilangnya para siluman, timbul mata air keruh berwarna kehitaman. Genangan mata
air itu kian besar, seiring membesarnya perut si Gadis Malang.
Pada saatnya, aliran air yang tercipta menghanyutkan tubuh gadis itu ke arah
selatan, di mana telah menanti danau tempat mayatnya ditemukan oleh si Hakim
Tanpa Wajah. *** "Pengadilan menanti!"
Dari balik sebuah bukit karang, meluncur teriakan beringas nan lantang dari
seseorang. Suaranya begitu menggebuk jantung setiap telinga yang mendengarnya.
Demikian pula bagi lima orang pejalan kaki di bawah lereng bukit.
Pakaian kelima lelaki itu sungguh tak sedap dipandang. Bertambal sulam serta
compang-camping.
Rata-rata tubuh mereka dekil, seolah menjadi pakaian sehari-hari. Dua orang di
antaranya malah berhias koreng di beberapa bagian tubuh. Satu orang di antaranya
berkaki pincang.
Kelima lelaki gembel ini berasal dari wilayah timur.
Di sana memang terdapat perkumpulan orang-orang macam mereka. Dunia persilatan
menamakan perkumpulan itu Partai Pengemis Timur.
Pada dasarnya, orang telah salah sangka terhadap kehadiran mereka. Penampilan
dekil para anggota perkumpulan itu, membuat nama mereka dekat dengan sebutan
pengemis, walau sebenarnya bukan pengemis. Jauh di lubuk hati masing-masing,
tetap memiliki harga diri untuk tidak meminta-minta.
Perkumpulan itu bisa hidup tanpa belas kasihan orang lain. Mereka punya lahan
usaha sendiri, untuk
menyambung hidup para anggotanya. Namun rupanya banyak orang menyamaratakan
dengan para pengemis. Akhirnya, mereka pun mendapat julukan itu. Kalaupun mereka
berpakaian seperti itu, karena masing-masing ingin mencoba menjauhi kesenangan
dunia yang berlebihan.
Anggota Partai Pengemis Timur rata-rata berkepandaian tinggi. Beberapa
pentolannya, bahkan amat disegani di kawasan timur. Beberapa tahun yang lalu,
pernah terjadi perampokan besar-besaran yang dilakukan kawanan begal berilmu
tinggi. Beberapa pendekar tangguh tak sanggup meladeni kebuasan mereka. Beberapa di
antaranya menemui ajal. Sedang yang lain harus menderita luka dan cacat seumur
hidup. Kebrutalan gerombolan begal itu akhirnya memancing tokoh-tokoh Partai Pengemis
Timur. Dari dua puluh anggota, sepuluh pentolan turun untuk menghadapi keganasan
gerombolan begal.
Meski kalah dalam jumlah dan senjata, kesepuluh pengemis itu sanggup memoratmaritkan anggota gerombolan berilmu tak tanggung, yang berjumlah banyak.
Pentolan-pentolannya bahkan dapat dibuat mati!
Para anggota Partai Pengemis Timur pulang dengan keadaan sehat walafial. Sejak
itu kehadiran mereka mulai diperhitungkan oleh orang persilatan wilayah timur.
Di antara kesepuluh lelaki yang turun menumpas gerombolan begal itu, lima orang
kumuh yang sedang berjalan di lereng bukit karang tadi ikut ambil bagian.
Mereka masing-masing bernama Kamasetya,
Dartasa, Damarsuta, Guruhdadi, dan Komajaya.
Kekompakan yang terjalin, membuat mereka dijuluki Lima Gembel Busuk, meski tak
harus keluar dari Partai Pengemis Timur.
Lima Gembel Busuk dikenal bukan karena
kehadirannya yang selalu membawa bau busuk atau berpenampilan tak karuan. Mereka
amat kesohor karena keistimewaannya dalam memainkan jurus gabungan yang
dinamakan 'Benteng Angin'. Jurus gabungan itu mampu menahan serangan, sehingga
lawan seperti menggasak angin.
Lima Gembel Busuk segera menghentikan langkah begitu mendengar teriakan yang
sulit dimengerti tadi.
Satu sama lain saling berpandangan heran.
"Kang! Apakah seruan itu ditujukan untuk kita?"
tanya Kamasetya, lelaki adik dari orang yang dipanggil Kamajaya. Usia masingmasing terpaut dua tahun. Sekitar empat puluhan.
"Entahlah. Aku sendiri bingung," jawab Kamajaya.
Dari puncak bukit karang di atas mereka, muncul-lah dua lelaki berusia jauh
berbeda. Yang seorang tampak masih begitu muda dengan penampilan menggidikkan.
Tubuhnya kekar sarat otot tebal.
Rambutnya merah, sedangkan di sudut bibirnya tersembul taring tajam.
Sementara lelaki yang satunya tampak amat renta.
Meskipun demikian, sinar matanya tetap me-mancarkan kekuatan berapi-api.
Tubuhnya dari batas leher hingga mata kaki ditutup kain kafan lusuh.
Siapa lagi kalau bukan Hakim Tanpa Wajah bersama muridnya, Manusia Dari Pusat
Bumi" Dalam setengah tahun saja, murid baru sang Hakim Sejagad itu telah
menjelma menjadi pemuda bengis.
"He... he... he!"
Hakim Tanpa Wajah terkekeh. Dikeluarkannya
segulungan daun lontar dari balik kain kalannya.
"Dengan ini, kalian Lima Gembel Busuk harus menjalani pengadilan di perut bumi!
Menurut sang 'saksi mata', kalian harus dituntut karena kesalahan mencampuri urusan orang
lain! Kalian telah lancang dengan mengusik-usik urusan gerombolan begal beberapa
tahun yang lewat! He... he... he!" sambung Hakim Tanpa Wajah di sela-sela
tawanya. "Sinting!" maki Guruhdadi, lelaki berkoreng berusia muda serta berambut gembel.
"Siapa dua orang ini"
Apa aku tak salah dengar" Mereka telah menyalah-kan kita karena telah
memberantas orang-orang bejad macam gerombolan begal itu?"
"Seumur hidup, baru kutemui manusia macam mereka!" timpal Kamajaya.
"Alah! Kenapa kita tak melanjutkan perjalanan saja! Tak perlu menggubris mereka.
Toh, kita tidak memiliki urusan apa-apa dengan mereka," sergah Guruhdadi sambil
menggaruk-garuk kudis di kakinya yang juga dipenuhi koreng. "Ayo!"
Keempat lelaki yang lain menyetujui saran Guruhdadi. Kini mereka mulai melangkah
beriringan lagi di lereng setapak. Tapi baru tiga langkah, terdengar lagi suaru
berat Hakim Tanpa Wajah.
"Karena itu, setelah menimbang dan menilai, maka kuputuskan kalau kalian harus
menerima hukuman mati di Neraka Perut Bumi!"
Diawali bunyi gelepar jubah hitamnya, Manusia Dari Pusat Bumi melompat ringan
untuk menghadang Lima Gembel Busuk. Dan tanpa basa-basi lagi, pemuda keturunan
siluman itu mengirim tamparan keras ke arah seorang dari Lima Gembel Busuk.
Wuuuk! Damarsuta, lelaki pincang yang diserang, tahu
kalau tamparan itu bisa meremukkan rahangnya dalam sekejap. Maka tubuhnya
langsung saja dilempar ke belakang, melewati keempat kawannya yang beriringan.
Tak berhasil menghajar Damarsuta, Manusia Dari Pusat Bumi maju setindak. Kini
dirangseknya Kamajaya dengan sebuah sapuan kaki deras ke bagian leher. Berbeda
dengan Damarsuta yang tak begitu siap, Kamajaya mencoba menyambut kaki pemuda
itu dengan tangkisan tangan.
Tak! Benturan keras kontan terjadi. Akibatnya, Kamajaya terdorong ke sisi. Wajahnya
menampakkan kesakitan luar biasa. Betapa tak dinyana kalau lawan yang demikian
muda memiliki tenaga luar begitu kuat! Bahkan pergelangan tangan yang digunakan
untuk menangkis tadi, terasa bagai remuk. Itu baru tenaga luar. Lantas,
bagaimana lagi kalau tenaga dalamnya sudah dikeluarkan"
Kemampuan Manusia Dari Pusat Bumi memang tak diragukan. Pada usia satu bulan
setelah bisa berlari lincah serta tubuh yang mulai ditumbuhi otot kenyal, Hakim
Tanpa Wajah sudah menurunkan ilmu-ilmu kesaktiannya. Yang paling awal diturunkan
adalah beberapa rangkaian jurus berisi tenaga luar.
Keyakinan sang Guru pada keajaiban si Bocah ternyata tak lari dari harapan.
Seperti orang rakus, bocah itu melalap jurus-jurus sakti bertenaga luar yang
diturunkan padanya.
Kemampuan yang mengagumkan itu memancing keinginan Hakim Tanpa Wajah untuk
segera menurunkan ilmu-ilmu lain yang setingkat lebih tinggi.
Pada tingkatan berikutnya, apa-apa yang diturunkan sang Guru pun habis dilalap
tanpa kesulitan. Maka,
Hakim Tanpa Wajah pun jadi demikian girang. Untuk melampiaskan rasa senangnya
yang membludak itu, kembali diturunkannya ilmu yang lebih tinggi. Begitu
seterusnya, sehingga si Bocah Ajaib menguasai ratusan jurus-jurus sakti serta
tata cara pengolahan tenaga secara ampuh. Sementara itu, dengan cepat pula si
Bocah tumbuh layaknya pemuda dewasa.
"Hiaaa!"
Kamasetya kalap melihat saudaranya dapat dibuat hilang keseimbangan oleh pemuda
kemarin sore. Setelah menahan tubuh Kamajaya yang oleng ke samping, Kamasetya maju ke muka.
Bersama wajah penuh ancaman, dihantamnya pemuda itu dengan kepala kurusnya.
Bet! Pukulan cepat Kamasetya seperti menerkam angin. Pemuda itu cepat melengoskan
tubuhnya tanpa dapat disentuh kepalan Kamasetya. Betul-betul gerakan teramat
lincah yang pernah ditemukan Kamasetya selama menjadi tokoh disegani wilayah
timur, bersama keempat kawan dan saudaranya.
Sekejap berikutnya, justru Kamasetya yang harus pontang-panting menghindari
serangan balasan Manusia Dari Pusat Bumi. Sama dengan saudaranya, dia juga
bertanya-tanya dalam hati. Siapa sesungguhnya pemuda belia berwajah bengis yang
sebenarnya sulit dipercaya jika memiliki gerak dan tenaga setangguh itu"
Terlebih, sewaktu mata Kamasetya menangkap sepasang taring runcing di sudut
bibir pemuda itu. Hatinya tanpa sadar tergedor.
Sekali lagi dia tak percaya ada manusia memiliki taring seperti hewan buas,
serta sepasang mata seekor macan hutan!
Sewaktu benak Kamasetya disarati keheranan,
satu babatan tangan cepat siap merontokan iganya.
Weeet! "Kamasetya awaaas!"
Kamajaya yang masih berdiri tak jauh darinya langsung berguling dijalan lereng
bukit menuju tubuh adiknya. Setibanya di dekat Kamasetya, dia bangkit dibarengi
satu terkaman ke perut Manusia Dari Pusat Bumi.
Begkh! Dua kepalan Kamajaya masuk mentah-mentah ke perut pemuda keturunan siluman itu,
memaksa tubuhnya terlempar deras tanpa ampun. Saat ambruk, Kamasetya yakin kalau
pemuda itu tak akan sanggup bangkit lagi. Pukulan seperti itu juga pernah
merontokkan nyawa tiga tokoh berilmu tinggi gerombolan begal, beberapa tahun
yang lalu dalam sekali pukul.
Tapi, dugaannya keliru. Tanpa luka sedikit pun, pemuda berwajah menyeramkan itu
bangkit seraya menggeram. Suaranya menerabas, hingga sampai ke sudut nyali....
*** 5 Sebuah kedai kini sepi pengunjung. Memang, waktu makan siang sudah lewat sekian
lama. Para buruh bandar, atau para pendatang dari Gujarat, Cina, dan Arab yang
biasa singgah untuk makan, sudah kembali semua ke bandar. Kebetulan, kedai itu
berada tak begitu jauh dari pusat niaga ini.
Dua orang pelayan wanita tengah membersih-bersihkan meja bekas makan para
pengunjung. Kedua wanita yang sama-sama cantik ini berkebaya agak ketat dengan kain
sepanjang lutut. Masing-masing kebaya berwarna merah, dan hijau. Dalam kerja
santai seperti ini, sesekali mereka bergurau. Tak jarang pula keduanya
bergunjing tentang segala hal.
Tawa mereka yang lembut, terkadang memenuhi ruang kedai.
Belum habis canda mereka, masuk seorang
pemuda tampan menawan. Rambutnya tak teratur, panjang sampai bahu. Seperti salah
seorang wanita pelayan, baju pemuda itu juga hijau. Begitupun celananya. Pada
bahunya yang tegap, tersampir selembar kain bercorak catur. Sambil menguap
berkepanjangan, kakinya melangkah acuh ke sebuah meja. Tentu saja, pemuda ini
adalah Andika alias Pendekar Slebor.
"Ssst... Ni Warsih..., kau sudah janji dengan seseorang, ya?" tukas wanita
berkebaya merah, menegur rekannya yang kebetulan membelakangi Andika.
"Janjian?" tanya wanita yang dipanggil Ni Warsih,
heran. "Itu lho!" wanita berkebaya merah mengerling ke arah Andika.
Mendapat isyarat mata itu, Ni Warsih berbalik mengikuti pandangan mata rekannya.
Dan matanya bertemu dengan pemuda tampan menggetarkan hati.
"O, Gusti...," bisik Ni Warsih.
Mata Ni Warsih terbelalak pada rekannya. Tangan kanannya yang masih memegang
serbet kotor, diletakkan di dada.
"Kenapa Ni Warsih?" tanya wanita berkebaya merah sambil tertawa kecil.
"Itu betul-betul manusia, ya" Kenapa tuampuan sekali...," kata Ni Warsih
setengah berbisik. "Aduh, rontok juga jantungku...."
"Itu bagianku, ya"!" serobot wanita berkebaya merah.
"Eee.... Enak saja, Kau Ningsih! Mau nyerobot rejeki orang"!"
"Hi... hi... hi!"
Wanita berkebaya merah yang dipanggil Ningsih cengengesan.
Di sisi lain, Andika merasa tak enak hati dibicara-an seperti itu.
"Ehem..., ehem!" Andika mendehem.
"Nah, lo...," ujar Ningsih menakut-nakuti Ni Warsih.
"Sana kamu layani! Katanya rejekimu...."
"Aduh.... Bagaimana, ya" Kok, aku jadi dag-dig-dug gitu lho!"
"Wajahmu juga mulai merah matang.... Nah!
Sekarang, malah mulai biru.... Merah lagi...," goda Ningsih.
"Masa'... masa'"!"
"Iya! Sumpah, biar disambar geledek barengbareng!" "Kalau gitu, kamu saja yang melayani dia, ya?"
"Wah.... Ketiban bulan aku...."
Wanita berkebaya merah menampakkan
kecerahan di wajahnya. Baru saja dia mulai beranjak, Ni Warsih menahannya.
"E-e, biar aku saja!"
Ni Warsih mendahului Ningsih menuju Andika.
Wanita itu jadi terlihat kampungan sekali, sewaktu berlari terburu-buru. Cetusan
antara perasaan gembira meluap bersama kegugupan.
"Kang mau...?"
Tenggorokan Ni Warsih mendadak tersekat.
Ucapannya terputus sebelum selesai. Lalu dia tertegun seperti orang bodoh di
sisi Andika. Mulutnya megap-megap ingin berkata, tapi tidak bisa.
"Mau apa?" kata Andika.
"Mak... maksud saya, Kakang mau mesan apa?"
Andika menatap lurus-lurus sepasang bola lentik Ni Warsih. Dan ini membuat
wanita itu makin gugup.
Dadanya jadi terasa sesak.
"Kalau memesan Nisanak sendiri boleh?" goda Andika sambil mengerling.
Mendadak saja Ni Warsih tambah megap-megap, semakin parah. Selanjutnya.... Bruk!
Wanita itu ambruk, semaput dengan mata
terbelalak ke atas. Tinggal Andika yang hanya bisa garuk-garuk kepala. Cepat
Ningsih menubruk rekannya, untuk menyadarkan. Sebentar saja, Ni Warsih siuman.
Ni Warsih kini dibawa masuk oleh Ningsih. Meski sudah siuman, tapi sama sekali
belum bisa bangun.
Kakinya masih lemas. Sampai Ningsih muncul, Ni Warsih belum menampakkan batang
Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hidungnya kembali. Maka 'Rejeki' Ni Warsih pun diambil alih oleh wanita berkebaya merah
ini. Dilayaninya Andika dengan mata terus melirik-lirik nakal. Dasar perempuan!
Sewaktu Andika mulai menyantap hidangan, dua lelaki asing masuk. Tidak hanya
asing, keduanya juga ganjil. Seorang tampak begitu rua renta. Bertopi pandang
lusuh, serta berpakaian tambalan di sana-sini. Meski agak bongkok, jalannya
tetap sigap. Alis matanya tampak memanjang, hingga menutupi kelopak mata dengan
warna putih. Seorang lagi membuat Ningsih hampir menjerit ketakutan kalau tidak segera
mendekap mulut.
Bagaimana wanita itu tidak terkejut" Ternyata orang itu ditumbuhi bulu lebat di
sekujur tubuhnya. Dikira ada orang utan mau makan siang di tempat ini.
Dari pintu masuk, kedua laki-laki aneh itu sudah tampak tak akur. Satu sama lain
saling mengomel tak karuan. Lelaki berbulu, terus saja menghardik-hardik kasar.
Sementara, yang lain berbicara ngalor-ngidul, seolah-olah tak mendengarkan
teriakan keras lelaki di sebelahnya. Terkadang pula dia balas membentak, setelah
itu acuh kembali.
Andika tak peduli pada kedua lelaki tadi. Pemuda itu terus melahap makanan penuh
selera. Cara makannya seperti orang yang baru bertemu makanan selama tiga hari.
Tak ada lagi tata cara kesopanan buat pemuda itu. Kakinya diangkat, duduk
bersila di bangku panjang tempatnya duduk. Mangkuk air tempat mencuci tangan pun
tak disentuhnya, meski tangan yang dipakai untuk meraup nasi ke mulut bisa
dibilang dekil. Apa mau dikata" Memang begitulah si Pendekar Slebor.
Dua lelaki yang baru datang sudah mengambil
tempat di satu sudut kedai, berhadap-hadapan dengan meja Andika. Lelaki tua yang
tak lain Pendekar Dungu itu sudah duduk dengan wajah bodoh di kursi panjang.
Sepertinya, dia tak tahu apa yang harus dilakukannya dalam kedai. Berbeda orang
yang satu lagi, yang tak lain Lelaki Berbulu Hitam.
Kawan seperjalanan Pendekar Dungu yang pernah menjadi lawan tangguhnya dulu
malah terus memaki-maki sambil mengitari meja makan.
"Sudah kubilang! Jangan urus perutmu dulu, sebelum kita temukan orang itu,
Dungu!" hardik Lelaki Berbulu Hitam dengan urat leher tertarik.
"Pantas saja otakmu jadi bebal. Karena, yang kau pikirkan hanya makan!"
Pendekar Dungu melirik sejenak pada lelaki kalap tadi. Lalu, matanya kembali
tertegun-tegun ke arah meja makan.
"Jangan berlagak bodoh! Kau pasti dengar ucapanku!" sambung Lelaki Berbulu
Hitam. Namun, setelah itu Lelaki Berbulu Hitam
menampar keras-keras kening sendiri.
"Siapa bilang dia berlagak bodoh! Memang dari dulu sudah bodoh!" gumam laki-laki
berbulu itu. Karena wataknya yang keras, gumamannya pun tak terdengar seperti gumaman. Bagi
yang mendengarnya, gumaman itu dianggap teriakan.
"Dunguuu! Kita mesti keluar dari tempat celaka ini!" seru Lelaki Berbulu Hitam
tak tanggung-tanggung. Kekesalannya yang memuncak, telah membuatnya mengerahkan
tenaga dalam bersama teriakannya.
Saat itu juga, dinding kayu kedai bergetar dan retak. Meja dan kursi terangkat
mendadak. Piring-piring tanah liat di meja Andika juga ikut menjadi
korban. Semuanya pecah berpetalan. Sementara wanita pelayan di ruang dalam kedai
langsung mendekap telinga masing-masing dengan wajah menahan sakit.
Sedangkan Andika tetap tenang, meski telinganya sempat terasa nyeri. Tanpa
kentara, Pendekar Slebor menyalurkan hawa murni ke gendang telinga untuk meredam
tenaga dalam kuat yang mencoba
merangsek ke dalam. Di samping itu, Andika juga mengirim hawa murni ke ruang
dalam kedai, agar gelombang teriakan hebat Lelaki Berbulu Hitam tidak begitu
mencelakakan dua pelayan wanita di sana.
Setelah berteriak kalap, Lelaki Berbulu Hitam agak menurun kemarahannya. Kakinya
melangkah menghampiri kursi di depan Pendekar Dungu dengan bersungut-sungut.
Dengan rasa kesal, didudukinya kursi itu. Baru saja tubuh gempalnya turun pada
kursi.... Bruk! Kursi kayu kontan terbelah dua, membuat Lelaki Berbulu Hitam terjatuh duduk di
lantai kedai. Salahnya sendiri. Teriakan bertenaga dalamnya tadi, telah membuat kursi kayu itu
retak. Sewaktu dibebani tubuh besarnya, tentu saja tak kuat lagi bertahan.
"Siaaal!"
Lelaki Berulu Hitam berteriak kuat-kuat lagi. Tapi lagi-lagi dia harus menelan
getah dari perbuatannya.
Langit-langit kedai yang memang sudah keropos segera berjatuhan. Pecahannya
sebagian masuk tanpa permisi ke mulutnya yang lebar.
"Afh... glek!"
"Astaga! Rupanya kau telah memesan makanan lebih dahulu! Dasar culas! Kenapa tak
ajak-ajak aku makan"!" maki Pendekar Dungu, sewaktu telinganya
menangkap suara mulut Lelaki Berbulu Hitam menelan sesuatu.
Lelaki gempal berbulu yang terduduk di lantai, mendelik mata sebesar-besarnya.
Ucapan lugu Pendekar Dungu terdengar di telinganya sebagai hinaan. Tak lama
kemudian, Lelaki Berbulu Hitam mulai mengomel-ngomel lagi. Mulai dikitarinya
meja tempat Pendekar Dungu sambil berkacak pinggang serta mencak-mencak
serabutan. Belum habis omelan Lelaki Berbulu Hitam masuk lagi seorang nenek-nenek peot
berpunuk besar, seperti seekor onta. Rambutnya putih panjang.
Karena terlalu panjang, rambut itu terseret-seret menyapu lantai kedai. Wajah
nenek tua ini bukan hanya keriput, tapi sudah begitu kendor. Pipinya
menggelantung ke sisi rahang. Matanya tak kalah parah, memutih tanpa warna hitam
lagi. Sementara, bibirnya yang berkerut-kerut, terus saja memamah sirih.
Sesekali disekanya cairan sirih di sudut bibir dengan lengan baju yang berwarna
jingga terang kebesaran.
"Ugh..., uhugh... ugh!"
Nenek itu terbatuk-batuk. Dilewatinya meja Andika tanpa mau ambil pusing untuk
menegur. Tanpa rasa bersalah, air sirih kental di mulutnya diludahkan
sembarangan. Masih wajar kalau singgah di bawah meja Andika. Tapi, air sirih
menjijikkan itu justru mampir di bibir gelas bambu tempat minum pemuda ini.
Pendekar Slebor jadi mendengus. Pangkal
hidungnya kontan terlipat. Kalau saja bukan orang lanjut usia yang berbuat
seperti itu, sudah disodoknya mulut orang itu dengan kepalan!
Dua meja setelah tempat Andika, nenek itu
mendapat tempat yang dianggap cukup nyaman. Dia duduk menghadap jendela besar
sebelah timur, sehingga angin menyapu wajah kendornya. Wajahnya bagai dibelaibelai, hingga matanya berkedip-kedip lamban seperti orang sekarat. Sebentar
kemudian, nenek itu sudah merebahkan diri melepaskan dengkurnya yang keras.
"Sebenarnya, nenek sial ini hendak makan atau hanya numpang tidur," gerutu
Andika, merasa terusik kenyamanannya.
Betapa tidak terusik" Sudah piring-piringnya hancur oleh teriakan sinting Lelaki
Berbulu Hitam, gelas bambunya disinggahi benda nyasar, kini ada pula senandung
yang sungguh mati tak sedap masuk telinga.
Sementara Lelaki Berbulu Hitam tak bosan-bosannya mencaci maki Pendekar Dungu,
nenek tua yang tak kalah bangkotan tadi dengan tenang menikmati mimpinya. Sirih
di mulut peot itu tak juga dibuang. Air liur berwarna merah sirih pun mulai
mengalir lambat tanpa dosa.
Andika sudah tak tahan lagi. Seacuh-acuhnya pemuda ini, tak akan bisa menahan
jijik kala menatap air liur kental itu. Nasi yang tersisa beberapa kepal lagi di
piringnya yang sebagian masih utuh ditinggal begitu saja.
"Niii!" panggil Andika pada pelayan.
Pelayan wanita berkebaya merah keluar tergopoh-gopoh ke arahnya. Wajahnya masih
tetap berkerut ketakutan. Sedang matanya tak berani sedikit pun melirik ke arah
para tamu lain, kecuali Andika.
"Ada apa, Kang?" tanya Ningsih pada Andika.
"Kenapa orang-orang sinting itu tidak dilayani?"
tanya Andika. Dia ingin, agar para pengunjung aneh
itu cepat-cepat diam karena sibuk dengan makanan yang dihidangkan.
"Mana aku berani melayani kalau mereka sinting,"
bisik Ningsih dengan mendekatkan mulut ke telinga Andika.
"Siapa yang bilang mereka sinting?" tanya Andika bingung.
"Lho" Kakang tadi bukan bilang begitu?"
"Aku tadi hanya dongkol. Jadi kusebut mereka sinting," tandas Andika tanpa
hendak menurunkan suara.
"Siapa yang sinting"!"
Mendadak saja, Lelaki Berbulu Hitam, tokoh kelas atas yang ditakuti pada
zamannya, berseru murka.
Hatinya kontan tersinggung pada ucapan Andika.
Memang, hanya orang tuli yang tak mendengar ucapan pemuda urakan yang cukup
keras tadi. Sementara wanita berkebaya merah itu langsung terlonjak kaget. Dia hampir
meloncat, karena begitu kagetnya. Matanya terbelalak, sedang mulutnya terbuka
lebar. Jangan ditanya, bagaimana pucat pasinya wajah Ningsih saat itu.
"Siapa yang sinting"!" ulang Lelaki Berbulu Hitam.
Dihampirinya Pendekar Slebor dengan langkah berdebam-debam.
Namun, pemuda yang didekati hanya tersenyum-senyum menikmati kekalapan lelaki
berpenampilan bagai orang utan itu. Sementara, pelayan wanita berkebaya merah
sudah terbirit-birit ke dalam sejak tadi. Masih bagus kalau tak terkencingkencing di celana.
"Kau yang barusan bilang aku orang sinting"!"
tanya Lelaki Berbulu Hitam, tak merasa harus sopan sedikit pun. Matanya sudah
mendeliki Andika.
"Aku tidak bilang begitu," sangkal Andika. "Yang kukatakan, kalian bertiga...."
"Kenapa kami bertiga?"
"Ya, sinting...."
"Pemuda busuk tak tahu adat!"
Lelaki Berbulu Hitam seketika meniup serakan piring di meja Andika. Pecahan
piring pun berhamburan secepat kilat ke wajah Pendekar Slebor.
Sungguh suatu pamer kekuatan yang mengagumkan!
Andika yang merasa mendapat tantangan adu kekuatan, dengan sigap meniup kembali
pecahan piring itu ke arah lelaki di depannya. Mula-mula, pecahan piring itu
berhenti di udara. Dan sesaat kemudian berbalik meluncur ke wajah Lelaki Berbulu
Hitam. Di tengah jalan, pecahan piring tanah liat itu tertahan lagi. Bukan karena ulah
Lelaki Berbulu Hitam. Nyatanya, mulut laki kasar itu memang belum lagi tampak
bergerak. Lalu, siapa yang usil ingin ikut campur adu kekuatan yang dimiliki
orang-orang kalangan atas itu"
*** 6 Sementara itu di bukit karang, di mana Lima Gembel Busuk dihadang Manusia Dari
Pusat Bumi. Pertarungan satu lawan lima telah memasuki jurus ke sembilan puluh.
Sebenarnya, Lima Gembel Busuk sanggup
membuat tekanan pada pemuda itu. Pukulan tangan mereka serta hantaman tongkat
milik si Pincang, berkali-kali menjebol benteng pertahanan Manusia Dari Pusat
Bumi. Namun sampai sejauh itu, Manusia Dari Pusat Bumi mampu meredam seluruh
hajaran di tubuhnya dengan cara aneh.
Lima Gembel Busuk benar-benar tak habis pikir, kenapa pemuda itu seperti memberi
kesempatan pada mereka untuk mendaratkan pukulan atau hantaman. Dan sewaktu
mereka merasakan satu sengatan luar biasa setiap kali berhasil mendaratkan
serangan, barulah disadari.
Sudah berkali-kali pukulan tokoh ternama dari wilayah timur itu berhasil memakan
bagian demi bagian tubuh Manusia Dari Pusat Bumi. Namun, yang semakin melemah
justru keadaan tubuh mereka.
Tenaga lima lelaki ini seperti disedot oleh kekuatan tak terlihat sebagian demi
sebagian. Meski agak terlambat, Kamajaya, orang yang paling berpengaruh di antara mereka,
segera memberi aba-aba.
"Hentikan serangan!" seru Kamajaya cepat. "Kita akan kehabisan tenaga kalau
terus mendaratkan serangan ke tubuhnya!"
Di lain tempat, Hakim Tanpa Wajah ikut terkejut dengan kemampuan tak terduga
murid tunggalnya.
Selama ini, dia hanya menurunkan ilmu-ilmunya yang diserap secara baik. Kalupun
Iblis Pemburu Wanita 1 Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Tengkorak Maut 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama