Ceritasilat Novel Online

Manusia Pemuja Bulan 2

Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan Bagian 2


'Unggulan Dewa' yang
sedang kupelajari! Bila sudah selesai, dengan ajian
'Unggulan Dewa' ini aku akan menguasai dunia persilatan!
Ha ha ha...," lanjut laki-laki berwajah tirus ini.
Mata Ki Wedokmurko menatap tubuh gadis yang
terbujur tanpa busana itu. Lalu perlahan-lahan, dia bangkit berdiri sambil
melepas jubahnya. Kemudian kedua
tangannya dimasukkan ke dalam sebuah cawanyang berisi cairan berwarna kuning.
Seketika terlihat kedua tangannya berwarna kuning pula.
Mulut laki-laki ini berkomat-kamit sambil meniup
kedua telapak tangannya berkali-kali. Lalu diusapnya wajah dan sekujur tubuh
gadis yang pingsan itu. Gerakannya begitu perlahan. Sementara tubuhnya bergerak
bagai orang mabuk.
Bertepatan dengan itu, mulut Ki Wedokmurko
komat-kamit kembali.
Suasana yang menggetarkan
sekaligus mengerikan, berubah menjadi suasana dalam pengaruh sihir.
Mendadak saja teri hat sekujur tubuh Ki Wedokmurko memerah dan bergetar hebat. Semakin lama getarannya semakin
mengencang. Sementara gadis itu tetap dalam keadaan pingsan.
Setelah beberapa saat, getaran tubuhnya pun melemah, seiring pudarnya warna
merah yang menyelimuti tubuhnya.
"Ha ha ha.... Tak seorang pun yang akan mampu menandingi kesaktianku ini!" kata
Manusia Pemuja Bulan pongah.
Lalu Ki Wedokmurko membuka kedua telapak
tangan, dan mengusapkannya satu sama lain. Mendadak terlihat asap hitam mengepul
dari sana. Semakin lama semakin banyak.
Wedokmurko meniup-niup asap hitam itu, lalu
menariknya melalui napas. Berbondong-bondong asap itu masuk ke mulutnya dalam
satu tarikan napas.
Tiba-tiba Ki Wedokmurko mengibaskan kedua
tangannya ke muka, ke arah sebuah batu besar yang ada di situ. Gerakannya teri
hat sangat lambat. Bahkan seolah tidak ada tenaga yang dihempaskan. Namun....
Duaaarrr! Mendadak saja terdengar suara menggelegar keras.
Batu besar itu hancur seketika. "Ha ha ha...!"
Kembali Ki Wedokmurko terbahak-bahak penua
kepuasan. Wajahnya semringah dengan kedua mata terl
buka lebar. "Ajian 'Unggulan Dewa' sebentar lagi akan ku kuasai dengan sempurna! Ha ha
ha.... Begitu mudah kudapatkan tumbal untuk penyempurnaan ilmuku. Darah perawan
itulah yang akan menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa'!
Ha ha ha...."
Tawa Ki Wedokmurko semakin menggema.
Ya! Hanya tinggal beberapa kali saja Manusia Pe-j
muja Bulan menyempurnakan ajian 'Unggulan DewaJ
Hanya tinggal empat kali lagi mengorbankan dara perawan.
Sementara itu, tubuh gadis malang yang telah
dikorbankan Ki Wedokmurko sebagai tumbal ilmunya
mendadak saja menyusut bagai nenek-nenek kurus kering.
Darahnya bagai kering tiba-tiba. Lalu, teriihat asap mengepul dari sekujur
tubuhnya. Dan perlahan-lahan bagaikan ada sebuah aliran aneh, sekujur tubuhnya
me pelupas. Yang ada hanya tinggal tulang-belulang saja!
Ki Wedokmurko menggerakkan tangannya. Wuuuttt!
Mendadak saja tulang-belulang gadis itu lenyap dari pandangan. Dan sinar
kepuasan semakin membayang di wajahnya yang menyeramkan.
"Hhh...!"
Tiba-tiba saja Manusia Pemuja Bulan mendengus.
"Mengapa manusia gembel itu belum datang juga hingga saat ini" Apakah dia hendak
mempermainkan aku?"
*** Seorang laki-laki tengah melangkah di jalan setapak.
Usianya kira-kira delapan puluh lima tahun. Tubuhnya kurus, namun masih nampak
gagah. Cara berpakaiannya pun seperti seorang pendekar. Hanya mengenakan celana
pangsi berwarna hitam dengan rambut terurai panjang tak beraturan. Kumis
putihnya cukup le-hat. Dia tidak
mengenakan baju, sehingga memperlihatkan tubuhnya
yang kurus dan menampakkan tulang-tulang di tubuhnya.
Wajahnya yang kukuh dan keras, mencerminkan wataknya sebagai seorang yang keras.
Tetapi, juga patuh.
Tiba-tiba saja laki-laki tua itu menghentikan langkahnya. Telinganya seperti
menegak, mendengar sesuatu yang menarik perhatiannya. Dan mendadak saja, dia
melompat ke sebuah dahan pohon tinggi tak jauh dari tempatnya.
Wuuuttt! Dari atas sana laki-laki tua ini melihat seorang
pemuda berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur tersampir di bahu,
sedang berlari. Tak lama, pemuda itu berhenti tepat di bawah pohon yang diduduki
laki-laki tua itu.
Kening laki-laki tua ini berkerut. melihat dari mana pemuda itu datang. Tak ada
yang mengejarnya, tak ada siapa-siapa di sana. Kenapa anak muda itu berlari
seperti dikejar setan"
Lalu tiba-tiba saja laki-laki tua ini melompat turun tepat di depan pemuda
berpakaian hijau pupus.
"Ops! Copot, copot!" Pemuda itu tersentak kaget.
Sementara laki-laki tua ini langsung menatap tajam Biji matanya yang kelabu
lekat ke bola mata pemuda itu yang masih mengusap-ngusap dadanya seolah untuk
mengusir kekagetannya.
"Siapakah kau, Anak Muda?" tanya laki-laki tua itu dengan suara sedikit angker.
"Aku" Namaku Andika. Kau sendiri?" kata pemuda itu yang tak lain Andika, alias
Pendekar Slebor.
Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Belum
pernah seorang pun berani bertanya kepadanya seentang itu.
"Anak muda! Kau punya nyali juga rupanya, hah"!'
kata laki-laki tua ini. Suaranya terdengar dingin.
Kening Andika berkerut. Dia agak heran kenapa laki-laki tua di depannya seperti
marah padanya" Andika pun menyadari kesalahannya, karena terlalu enteng
bertanya. "Maatkan aku, Ki... Hmmm, siapakah namamu?"
ucap Pendekar Slebor.
"Ha ha ha...!"
Kali ini laki-laki tua itu terbahak-bahak. Dan Andika pun membelalakkan matanya,
mendengar suara tawa itu.
"Hei"! Apa kau sedang latihan nyanyi, Ki?" dengus Andika kesal sambil
mengalirkan tenaga dalam ke gendang telinganya. "Kalau memang iya, suaramu hanya
pantas diadu dengan burung gagak!"
Laki-laki tua itu masih terbahak-bahak. Sampai urat-urat di lehernya menegang.
Dan mendadak saja,
tangannya melesat ke wajah Andika.
Wuuuttt! Brrr! "Uts.. !"
Angin dingin menerpa wajah. Namun Andika cepat
menarik kepalanya ke belakang. Lalu dengan gerakan ringan tubuhnya melenting ke
atas, sambil menangkis scrangan berikut yang datang dengan cepat dengan
kakinya. "Hei"! Aku belum tahu siapa kau, Orang Tua Keriput!
Kenapa tahu-tahu menyerangku, hah"!" seru Andika, begitu mendarat di tanah.
Namun laki-laki bertelanjang ada itu kembali
menyerang Andika dengan gencarnya. Serangan- serangannya sangat berbahaya. Bahkan teriihat kalau bukan ingin menguji Andika,
namun ingin membunuhnya!
Gerakan laki-laki tua ini demikian cepat, penuh
gerak tipu yang mematikan dan daya gempur yang dahsyat.
Kalau bukan Andika alias Pendekar Slebor, sudah bisa dipastikan akan mapus dalam
sekali gebrak saja. Tetapi karena diserang terus menerus seperti itu, Andika
kerepotan juga akhirnya.
"Gila! Lama kelamaan aku bisa mampus juga, nih!"
dengus Andika dalam hatinya,
Lalu Pendekar Slebor bersalto dengan lincahnya
Namun Andika harus langsung melenting kembali, karena serangan berikutnya
datang. Kali ini Pendekar Slebor tidak mau menghindar terus menerus, seperti
monyet yang dikejar buaya. Begitu serangan berikut datang, mendadak saja
tubuh Pendekar Slebor meluncur deras ke arah laki-lakl tua itu yang tengah
menyerang. "Heaaah...!"
Plak! Duk! Benturan tangan terjadi. Andika terjajar beberapa
tindak. Tangannya langsung terasa
bergetar. Bisa dirasakan, betapa kuatnya tenaga dalam laki-laki bertelanjang dada itu.
Sementara, laki-laki itu pun mundur beberapa
tindak. Wajahnya tidak menggambarkan apa-apa, walaupun sebenarnya tangannya sangat nyeri. Justru matanya terbelalak kaget.
"Hei! Kau?" seru laki-laki tua ini terperangah.
"Kenapa, hah"! Kau tahu tidak, benturan ini sangat sakit! Enaknya saja main
serang! Siapa sih, sebenarnyaj kau ini" Sebangsa manusia yang iri karena kau
jelek,,. ataukah setan yang lagi menyamar"!" dengus Andika mendongkol.
Tetapi lagi-lagi orang tua itu tidak menghiraukan
kata-kata Andika. Justru kembali diserangnya Andika dengan ganas.
"Kutu busuk! Kadal buntet! Monyet pitak!"
Sumpah serapah Andika pun keluar karena harus
kembali melayani serangan-serangan yang aneh dan cepat itu.
Setiap kali tangan laki-laki itu bergerak, maka hawa dingin yang sangat kuat
langsung menyergap. Untunglah Andika sudah mengalirkan tenaga 'inti petir'
tingkat ke tiga puluh, sehingga tubihnya tidak menjadi kaku kedinginan.
Lalu dengan gerakan dan ilmu yang didapat dari
Iembah Kutukan, Pendekar Slebor tidak lagi hanya
menghindar. Bukan pula hanya mengimbangi Bahkan
mulai membalas.
"Bagus! Aku memang ingin melihat jurus-jurusmu!"
seru laki-laki tua itu sambil menyilangkan kedua tangan di dada dan menyerang
kembali. Andika yang memang kali ini harus melawan pun
mengeluarkan jurus yang didapat dari Pendekar Lembah Kutukan.
Tenaganya yang mengandung
petir pun mcngimbangi pukulan dingin dari laki-laki tua itu.
Ketika Andika hendak mengeluarkan ajian 'Guntur
Selaksa', tiba-tiba saja laki-laki tua itu bersalto ke belakang.
"Tahan!" seru laki-laki tua ini. Andika mendengus.
"Enaknya! kau sudah menyerangku! Sekarang,
giliranku! Ayo, bersiap!" seru Pendekar Slebor tak ubahnya anak kecil yang
sedang bermain sesuatu dan sekarang mendapat giliran.
Tetapi laki-laki tua itu hanya menggelengkan kepala saja. Andika melihat biji
matanya yang kelabu yang Kcjak tadi memancarkan sinar angker, kini nampak cerah.
"Aku tahu, aku tahu sekarang.... Anak Muda, kau kah yang digembar-gemborkan
orang rimba persilatan sebagai pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan?" tanya
laki-laki tua ini tiba-tiba dengan tatapan cerah meminta jawaban.
Kening Andika berkerut. Kenapa lagi laki-laki ini"
Tadi menyerang begitu saja, kini justru bersikap baik.
"Kenapa memangnya?" tanya Andika yang sua telanjur kesal.
"Jawab saja, Anak Muda. Apakah kau pewaris ilmu Lembah Kutukan?"
"Kalau iya, kenapa" Kalau tidak, kenapa". Aku tidak punya urusan denganmu, Akiaki Peot!" semprot Andika.
"Aku bertanya!" seru laki-laki tua itu keras.
"Kalau aku tidak mau jawab, kenapa?" balas Andika, tidak kalah kerasnya.
Mata kelabu laki-laki itu kembali nyalang. Tetapi
kemudian meredup kembali.
"Baik! Kita tidak usah bertengkar.
Jawablah pertanyaanku tadi...," desah laki-laki tua ini kemudian.
Andika memalingkan wajahnya. Hatinya masih
jengkel melihat sikap laki-laki bertelanjang dada itu. I
"Kau benar. Aku memang pewaris ilmu Lembah
Kutukan. Buyutku Pendekar Lembah Kutukan."
"Oh, Tuhan! Gusti Allah.... Kau.. , kau... "
Wajah laki-laki tua itu terperanjat. Dan tiba-tiba saja dia menjatuhkan tubuhnya
dan bersujud di kaki Andika.
"Maafkan hamba...," ucap laki-laki tua ini.
"Hei"
Andika berjingkat kaget. Kenapa laki-laki ini" Gila"
Benar-benar tidak bisa dimengerti. Kalau tadi marah marah bertanya, kini
menyembah. Busyet! Mimpi apa pendekar muda ini semalam kalau ada orang yang
menyembah kakinya yang baunya cukup lumayan.
"Orang tua..., bangunlah! Apa-apaan kau ini...," ujar PendekarSlebor.
"Tuanku..., maafkan hamba...," ucap orang tua ini.
"Kenapa sih?" tanya Andika sambil menggaruk-ga-nik kepala yang tidak gatal.
"Hamba bernama Tridarma, Tuanku. Hamba dulu
Pelayan di Lembah Kutukan. abdi setia Ki Saptacakra .,"
jelas laki-laki tua itu, tanpa mengangkat kepala yang bersujud.
Andika mengerutkan keningnya. Abdi setia Ki
Saptacakra"
"Ki Tridarma..., bangunlah...."
"Ampunkan hamba, Tuanku.... Karena hamba telah menyerang Tuanku.... Itu hamba
lakukan, semata ingin membuktikan dugaan hamba tadi, kalau yang hamba lihat
adalah jurus-jurus dari Lembah Kutukan...," ucap laki laki tua yang mengaku
bernama Tridarma.
Andika menggaruk-garuk kepala tidak mengerti. Mau
apa lagi ini"
"Sudahlah.... Kau kumaafkan. Bangunlah...."
"Begitulah,
Tuanku.... Setelah

Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Saptacakra melakukan tapa suci, hamba pun keluar meninggalkan Lembah Kutukan," tutur
Tridarma bercerita pada Andika.
Keduanya duduk di bawah rindangnya pohon. "Tetapi, setelah keluar dari sana...,
hamba justru ragu untuk kembali ke Lembah Kutukan. Karena hamba tahu, Ki
Saptacakra sangat marah bila ada yang keluar dari
Lembah Kutukan tanpa izin. Apalagi, hamba sudah keluar terlalu lama. Karena...,
terus terang, dunia luar sangat indah dan mengasyikkan. Sehingga hamba melupa
untuk kembali ke Lembah Kutukan. Setelah ingat har kembali, justru ketakutan
itulah yang mendera ham Karena rasa takut itulah, akhirnya hamba memutus" untuk
tidak kembali ke sana. Dan sungguh, hamba ti tahu..., apakah yang sekarang
terjadi dengan Ki S tacakra..."
Andika mendesah pendek. Matanya lekat mena
Tridarma yang berkata-kata sambil menunduk" kepala.
"Ki Tridarma...."
"Jangan panggil hamba seperti itu, Tuanku. J-jungan KiSaptacakra memanggil hamba
dengan sel an nama
saja," tolak Tridarma, lagi-lagi tanpa me angkat kepala.
"Apa bedanya?"
"Jelas ada, Tuanku. tuanku adalah majikan ham Dan hamba pelayan Tuanku....
Sehingga, Tuaku n mangil
hamba dengan sebutan apa pun, hamba me rimanya."
Andika tersenyum.
"Bagaimana kalau kau kusebut, Kebo Kurus?" ge Andika."Hamba, Tuanku."
Andika mengulapkan tangannya. Ini orang kok gitu
patuhnya, ya"
"Sudahlah.... Kau akan kupanggil dengan nama saja.
Tridarma, ketahuilah.... Sampai saat ini, Ki Saptacakra mungkin masih melakukan
tapa suci. Aku tidak tahu
secara pasti. Tetapi ketika pertama kali aku berjumpa dengannya, dia memang
sedang melakukan tapa suci jelas Andika. (Untuk mengetahui tentang Ki Saptacakra
silakan baca episode: "Dendam dan Asmara").
"Apakah.... Junjungan Ki Saptacakra menanyakan hamba, Tuanku?" tanya Tridarma
takut-takut. "Tidak. Dia tidak bertanya apa-apa...." sahut Andika.
"Oh! Apakab dia marah kepada hamba?"
"Aku tidak tahu. Tetapi, sudahlah. Sekarang ini..., kau hendak ke mana?"
"Ke mana?"
Tridarma mengangkat kepalanya. "Sudah tentu
hamba akan mengikuti Tuanku," tegas Tridarma
Kali ini ganti Andika yang membelalakkan matanya.
"Ikut denganku" Oh! Lebih baik jangan. Aku lebih suka menyendiri...," tolak
Andika. "Tetapi, Tuanku. Hamba ingin menebus segala dosa yang telah hamba perbuat pada
Ki Saptacakra. Maka, perkenankanlah hamba melakukannya pada Tuanku, vang
merupakan turunan terakhir dari Pendekar Lembah
Kutukan...," tegas Tridarma.
Andika menggeleng-geleng. "Ah! Aku tidak tahu, apakah aku mengizinkan atau
tidak," keluh Pendekar Slebor.
"Tetapi untuk sekarang mi, bila kau memang ingin mengikutiku..., silakan...-"
Andika bangkit.
"Ke manakah Tuanku akan pergi?"
"Aku hendak kembali ke desa di lereng Gunung
Pengging" "Apakah ada persoalan, Tuanku?" "Kuceritakan sambil berjalan "
*** 6 Malam Jumat. Kembali orang-orang yang tinggal di sekitar gunung Pengging mendatangi
lerengnya, untuk mengikuti upacara pemujaan Dewa Bulan dan penyerahan korban.
Seperti biasanya, sebelum malam Jumat, gadis yang
hendak dikorbankan sebagai tumbal mendadak saja
lenyap dari rumahnya. Orang-orang yang mengalami seperti itu sudah tidak
terkejut lagi, meskipun sedih bukan main.
Dan mereka hanya pasrah saja, sehingga rel mengorbankan anak gadisnya. Apalagi menurut Ketua
Wedokmurko, justru dia telah memilih anak gadis mereka untuk dijadikan teman di
alam sana. Kini mereka pun yakin, kalau Mayang sudah lenyap
dari rumahnya. Karena, biasanya memang begitu.
Seperti biasanya pula, orang-orang itu membentuk
sebuah lingkaran besar yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah api unggun
besar. Lalu, muncullah enam orang laki-laki berpakaian dan bertopeng merah.
Mereka bergerak bagaikan orang mabuk, menari mengelilingi api unggun di ringi senandung
para penduduk. Suasana sangat mencekam, bagai di alam gaib. Susasana yang
mencekam itu dapat dirasakan pemuda berpakaian hijau pupus yang bersembunyi di
balik rimbunnya dedaunan pohon besar, tak jauh dari tempat upacara dilaksanakan.
"Tuanku..., upacara apakah ini?" tanya seorang laki laki tua bertelanjang dada.
di sebelah pemuda yang tak lain Pendekar Slebor.
"Mungkin, inilah upacara memuja Dewa Bulan yang sebentar lagi akan
dilaksanakan...," jawab Andika berbisik di telinga laki-laki tua yang tak lain
Tridarma. Mereka melihat suasana mencekam dari tempat
ynng tak jauh. Suatu s uasana yang penuh kekuatan sihir kuat sekali. Lalu,
mendadak muncul satu sosok tubuh berjubah hitam.
"Inikah Manusia Pemuja Bulan" Manusia laknat yang
mempergunakan kesaktian dan ilmu sihirnya untuk
mempengaruhi para penduduk...," desis Andika pcrlahan.
Sekali lagi, Andika melihat satu sosok tubuh bagai melayang tiba di dekat api
unggun itu. "Gila! Tenaga dalam yang sangat kuat!" sentak Andika tetap berbisik.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu
sudah banyak makan asam garam dalam dunia persilatan.
Sehingga dengan sekali lihat saja bisa tahu, kalau tubuh yang melayang itu
dikendalikan tenaga dalam yang luar biasa tingginya.
"Saudara-saudaraku semua.... Kini sesajen akan kita serahkan pada sesembahan kita, Yang Muha Dewa Bulan!"
Terdengar suara dari mulut laki-laki berjubah hitam.
"Gila! Itu pasti Mayang, gadis yang memasrahkan dirinya dijadikan sesajen.
Rupanya, ajaran menyembah bulan yang diajarkan Manusia Pemuja Bulan sudah
meresap di hati mereka. Hingga pengorbanan nyawa pun dilakukan dengan suka
rela...," kata Andika lagi, jengkel.
Andika memperhatikan apa yang terjadi kemudian.
Tampak kedua tangan Manusia Pemuja Bulan
terangkat ke atas. Dari mulutnya keluar kata-kata bagaikan mantera. Lalu
tubuhnya naik turun. Sementara senandung dari mulut para penduduk terus
terdengar, perlahan-lahan dan menggema di sekitar lereng Gunui Pengging.
"Dewa Bulan yang kami cintai..., terimalah sesajen yang kami berikan ini!"
Wuuuttt! Mendadak saja sosok tubuh yang berada di
hadapannya tadi itu lenyap dari pandangan"Hei, ke mana gadis itu?" desis
Tridarma kaget.
Manusia Pemuja Bulan tersenyum puas, lalu
meminta orang-orang itu yang mempunyai keluhan untuk datang kepadanya. Dan
nyatanya satu persatu yang sakit berhasil disembuhkan.
*** Setelah upacara selesai, Manusia Pemuja Bulan
langsung menuju gua persembunyiannya.
"Ha ha ha..., orang-orang bodoh yang memang
sangat mudah dibodohi! Sebentar lagi ilmuku akan
sempurna!" seru Wedokmurko sambil tertawa keras.
Lalu Manusia Pemuja Bulan berkelebat menuju ke
satu tempat yang berada di sisi sebelah kiri gua dengan mempergunakan tenaga
dalamnya, Wedokmurko menarik
keluar dan mengirimkan lagi korbannya ke tempat itu.
Sambil terbahak-bahak, Ki Wedokmurko membuka
sebuah pintu yang terbuat dari batu. Begitu masuk.
tawanya semakin menggema keras.
"Ha ha ha.... Manis... Kau tidak akan kukorbankan dulu untuk penyempurnaan
ilmuku. Tetapi..., kau harus memberitahukan di mana kakekmu menyimpan
hartanya... ha ha ha.... Harta itu kuperlukan untuk membangun
istanaku kelak, sebelum mengukuhkan diri menjadi orang nomorsatu di rimba
persilatan ini...," kata Manusia Pemuja Bulan. Dengan kasar, Manusia Pemuja
Bulan menyibakkan sebuah tirai berwarna hitam yang memagari tempat itu dengan
tempat gadis korbannya. Sinar matanya sudah tidak sabar untuk melihat gadis itu
kembali. Karena, malam ini juga, dia akan mengorek keterangan dari mulut Mayang
tentang harta yang disembunyikan kakeknya.
Setelah itu, barulah darah perawannya dimanfaatkan sebagai tumbal penyempurnaan
ajian 'Unggulan Dewa'
"Heh"!"Alangkah terkejutnya Ki Wedokmurko ketika tidak melihat sosok Mayang di
sana. "Manusia Pemuja Bulan celingukan, lalu memeriksa sekelilingnya dengan cepat.
Tetapi sosok Mayang tidak berada di sana.
"Hm.... Apakah aku salah melemparkan tubuh
Mayang dengan menggunakan ajian 'Silap Mata' sehingga tidak jatuh pada tempat
yang biasanya?" tanya laki-laki berwajah tirus ini dalam hati.
Tetapi, tidak mungkin. Tidak mungkin Manusia
Pemuja Bulan salah melakukan gerakan ajian 'Silap Mata'
yang sudah sangat tinggi kesempurnaannya.
Tiba-tiba Ki Wedokmurko menggeram keras. Murkalah Manusia Pemuja Bulan setelah menyadari pasti ada seseorang yang sakti
telah menantangnya.
"Keparat busuk!" geram Manusia Pemuja Bulan dengan kedua tangan terkepal.
"Siapa pun kau adanya aku tidak akan membiarkan mu hidup lebih lama lagi!"
dengus Ki Wedokmurko.
Manusia Pemuja Bulan lantas berkelebat, kembali
ke tempatnya semula. Sebentar saja, Ki Wedokmurko telah sampai di tempat itu.
Dia langsung duduk di sebuah batu besar setelah mengambil cawan yang berisi
cairan berwarna kuning. Perlahan-lahan kedua tangannya dijadikan menjadi satu, dan diusap-usapnya hingga
mengeluarkan asap berwarna hitam.
"Di mana pun kau berada, kau harus mampus!" desa Manusia Pemuja Bulan.
"Gila! Ini kacau, Tuanku. Oh! Tuanku" Tuanku
Andika.... di manakah kau?" Tridarma jadi celingukan ketika menoleh, Andika
sudah tidak ada. Sementara
rombongan orang-orang itu semakin lama semakinmenjauh dengan bersuara berbisik, seolah pantang bagi mereka berbicara keras kalau masih berada di lingkungan tempat
pemujaan. Laki-laki ini sama sekali tidak memperhatikan kalau Andika mendadak saja lenyap.
Tridarma menggeleng-gelengkan kepala, mengagumi kesaktian pemuda yang
telah mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Ilmu yang sangat sulit dicarikan
tandingannya, kecuali memang para tokoh yang teramat sakli.
Tridarma melompat bersalto dengan ringan ke
bawah. Kepalanya kembali celingukan. Tak ada siapa-siapa di Sana. Rembulan mulai
tersaput awan hitam, tidak lagi sebulat tadi.
"Tuanku Andika.... Di mana kau" Di mana?" bisik laki
laki tua ini sambil menajamkan pandangan dan
pendengarannya.
Tetapi sosok Andika tidak muncul juga, membuat
Tridarma kebingungan. Dia mencari-cari lagi di sekitarnya sambil memanggilmanggil. Tetapi, Andika tetap tidak ada.
"Oh! Ke manakah dia?" gumam Tridarma sambil mengingat-ingat kejadian tadi.
Laki-laki tua ini memang terlalu asyik memperhatikan upacara pemujaan bulan tadi. Tetapi, diam-diam dia pun yakin akan
kesaktian pemuda berbaju hijau pupus yang di bahunya selalu terdapat kain
bercorak catur. Pasti Andika telah menggunakan ilmu meringankan tubuh yang
paling tinggi, sehingga Tridarma tidak
menyadari sama sekali.
Tridarma memutuskan untuk segera mencarinya.
*** Sebenarnya, apa yang dilakukan Andika tadi" Dari
mata yang tcrlatih dan pendengarannya yang tajam, Andika merasa yakin kalau
sosok Mayang tadi didatangkan
dengan menggunakan tenaga dalam tinggi.
Pendekar Slebor pun teringat cerita Menggolo
sebelum ajalnya, kalau sesajen yang akan diberikan kepada Dewa Bulan akan lenyap
mendadak. Katanya,
Dewa Bulan berkenan menerima sesajen yang diberikan.
Tcringat itu, semakin yakin di benak Andika, kalau sosok Mayang akan kembali
dilenyapkan menggunakan
tenaga dalam Andika pun menunggu dengan hati berdebar. Dia
harus berlomba dengan waktu sebelum terlambat. Maka begitu yakin Ki Wedokmurko
akan kembali melenyapkan Mayang, dengan cepat tubuhnya melesat mcnangkap
tubuh gadis itu. Gerakannya sangat ringan dan cepat.
Namun sejenak tadi dia hampir saja terbawa lemparan tenaga
dalam tinggi. Untung saja, Andika sudah mempersiapkan diri dengan tenaga dalam pula. Sehingga,
dia bisa menghentikan laju sosok gadis itu yang hendak lenyap ke satu tempat.
Pendekar Slebor segera membawanya tubuh
Mayang yang terselimuti kain hitam ke sebuah tempat yang cukup jauh. Di tepi
sungai yang terdapat di hutan kecil kaki Gunung Pengging, Pendekar Slebor
berhenti. Andika membaringkan tubuh gadis itu. Lalu dengan
cepat dialirkannya tenaga dalam dan hawa murni untuk menyadarkan Mayang dari
pingsan.

Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat Andika terkejut. Baru disadari kalau gadis itu bukanlah pingsan akibat
sesuatu yang wajar, melainkan seperti terkena pengaruh sihir.
Andika segera membuka kain bercorak catur yang
tersampir di bahunya. Lalu kain pusaka itu direndam dengan air sungai, dan
diusapkan ke wajah gadis itu. Pada saat yang sama kembali dialirkannya tenaga
dalam. Perlahan-lahan Pendekar Slebor membuka kain
hitam yang menyelimuti tubuh gadis itu, tetapi terburu-buru segera membalutnya
lagi. Karena di balik kain hitam itu, Mayang tidak mengenakan pakaian penutup
secarik pun! Wajah Andika memerah.
"Bangsat kau. Manusia Pemuja Bulan! Perbuatanmu sudah tidak bisa dimaafkan
lagi!" rutuk Pendekar Slebor.
Tetapi kemudian Andika tersenyum, seperti geli
menyadari kalau dirinya telah melihat tubuh gadis itu.
"Untung tidak ada orang lain di sini. Kalau ada..., he he he !Aku jadi malu
juga, kan?"
Kembali Andika merendam kain pusakanya. Dan
dengan kain itu kembali dibasuhnya wajah Mayang. Lalu disusurinya tubuh gadis
itu. Dibiarkannya saja kain hitam yang menyelimuti tubuh Mayang sampai basah.
Selanjutnya, Pendekar Slebor menekan kedua
jempol kaki gadis itu sambil mengalirkan hawa murninya.
Perbuatan itu dilakukan cukup lama juga, sampai
kemudian.... "Okh..., di mana aku ini?"
Terdengar suara dari mulut Mayang.
Andika mendesah panjang. Dia bersyukur karena
berhasil melepaskan pengaruh Manusia Pemuja Bulan
pada gadis itu.
"Mayang...," panggil Andika sambil memperhatikan sepasang mata yang bergerakgerak. "Tenanglah.... Kau sudah aman sekarang...."
"Apakah aku berada di sorga" Ataukah di neraka?"
tanya gadis itu bingung. Dia merasakan kepalanya berat sekali.Andika mengangkat
tangan kanan gadis itu, lalu mencubitnya. Pelan.
"Sakitkah?" tanya Pendekar Slebor.
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Kau tidak berada di sorga atau di neraka. Kau masih memiliki rasa sakit.
Berarti kau belum mati...," jelas Andika."Tetapi aku di mana?" tanya Mayang
sambil mengangkat tubuhnya perlahan-lahan. Sementara kedua kakinya masih dalam
keadaan berselonjor.
Untungnya, tadi Andika mengikat kembali lipatan
kain itu ke dada Mayang. Sehingga ketika gadis iti mengangkat tubuhnya, kain itu
tidak melorot Dan Andika pun terkekeh membayangkannya.
"Kau berada di satu tempat yang sungguh, aku
sendiri tidak tahu namanya," jawab Andika. "Tetapi, kau aman. Kau jauh dari
tangan Manusia Pemuja Bulan," jelas Andika lagi.
Mata gadis itu membuka.
"Manusia Pemuja Bulan?" tanya Mayang.
"Ya. Kau ingat dia?"
Gadis itu terdiam.
"Ya, ya...," kata Mayang seperti masih merenung.
"Aku ingat. Tetapi, mengapa aku berada di sini" Bukankah seharusnya malam Jumat
aku akan dikorbankan untuk
Dewa Bulan?"
"Sekarang malam Jumat, Mayang."
"Malam Jumat" Oh! Seingatku masih satu hari lagi.
Bukan! Sekarang bukan malam Jumat. Aku harus kembali ke rumah. Aku harus
bersiap-siap untuk dijadikan sesajen.
Kasihan Aki. Kalau aku tidak melakukannya, maka dosa-dosanya tidak akan
diampuni.... Dia akan disiksa
sepanjang masa," keluh Mayang.
Andika mendesah panjang. Rupanya pengaruh
Manusia Pemuja Bulan itu sudah sangat kuat.
"Mayang! Dengarkan kata-kataku. Ini sudah malam Jumat.... Dan kau baru saja akan
dikorbankan oleh
Manusia Pemuja Bulan...," ujar Pendekar Slebor. Mayang terdiam. Matanya
terpekur. "Bukankah masih ada waktu satu hari lagi?" gumam Mayang masih bingung.
Andika menangkap sesuatu yang asing pada gadis
ilu. "Ceritakanlah, Mayang... Apa yang kau alami?" pinta Andika.
Mayang terdiam beberapa saat.
"Senja itu..., aku baru saja ingin mandi. Ya, kau ingat.... Aku ingin mandi.
Tetapi mendadak saja kurasakan kepalaku sangat pusing. Rasanya begitu menyengat.
Aku ingin sekali berteriak, namun tak kuasa. Suaraku seolah hilang. Lalu tubuhku
terasa bagai melayang. Ingatanku hilang. Dan aku tidak tahu, dibawa ke mana.
Karena..., aku tidak ingat sama sekali.... Yah! Hanya itu yang aku tahu.
Selebihnya tidak....," tutur Mayang.
Kini Andika yakin, kalau Manusia Pemuja Bulan
dengan kekuatan sihirnya, telah lebih dulu menculik Mayang. Kini gilirannya
untuk mengatakan kepada
Mayang, kalau Manusia Pemuja Bulan adalah tokoh sesat.
"Mayang..., kau telah kuselamatkan darmya...," jelas Pendekar Slebor.
"Kau selamatkan" Oh, hei" Aku ingat...! Bukankah kau pemuda yang datang ke
rumahku tempo hari?"
"Benar.... Namaku Andika." "Aku pun ingat nama itu. Kang Andika..., apa maksud
dengan mengatakan kau telah
menyelamatkan aku?" tanya Mayang.
Andika mendesah pendek.
"Mayang..., ketahuilah... Manusia Pemuja Bulan itu bukanlah orang baik-baik. Dia
adalah orang sesat yang menggunakan
kesaktiannya untuk menipu kalian. Termasuk, mengorbankan perawan sebagai sesajen untuk Dewa Bulan," jelas Andika.
"Tetapi...."
"Mayang!" potong Andika. "Seluruh warga di sekitar Gunung Pengging ini percaya
dengan Manusia Pemuja
Bulan. Tetapi masih ingatkah kau, kalau kakekmu tidak mempercayainya?"
Mayang mengangguk-angguk.
"Ya.... Aki menentangnya...," desah gadis itu.
"Kakekmu benar, Mayang. Dialah satu-satunya orang yang tidak terpengaruh Manusia
Pemuja Bulan. Entahlah, bagaimana sebenarnya perasaannya. Yang jelas, meskipun
pernah terpengaruh, namun pada akhirnya dia sadar kalau yang diajarkan Manusia
Pemuja Bulan...."
"Tetapi Dewa Bulan murka, sehingga kakek harus menerima hukuman...," tukas
Mayang. "Ya! Tetapi bukan Dewa Bulan yang melakukannya, karena tak ada Dewa Bulan yang
patut disembah. Apalagi orang yang datang bulan, he he he...!" kata Pendekar
Slebor, berseloroh.
"Oh! Siapa yang melakukannya?" tanya Mayang.
Andika jadi malu sendiri, karena selorohannya tak
ditanggapi. Namun dia segera mendesah pelan
"Seperti yang pernah kukatakan padamu tempo hari, yang melakukannya adalah
Manusia Pemuja Bulan," jelas Andika, kembali sungguh-sungguh. Sebenarnya
Pendekar Slebor paling benci kalau berbincang-bincang tidak pakai canda. Namun
karena gadis itu tak bisa diajak bercanda, akhirnya Andika jadi mengalah saja.
"Ketua Wedokmurko" Oh, tidak...! Kau salah, Kang Andika. Dia adalah seorang
laki-laki baik hati. Dialah yang mampu menghadapi malapetaka yang seringkali
datang menimpa desa kami. Dia juga yangmemberi jalan keluar
bagi kami untuk menanggulangi bahaya-bahaya alam.
sehingga tidak pernah lagi terjadi bencana seperti itu,"
papar Mayang. "Ya! Karena dia sendiri yang melakukannya!" desis Andika dalam hati.
Memang sulit untuk menerangkan persoalan ini
pada Mayang. Tetapi, Andika tetap bertekad untuk memulihkan kesadaran Mayang
kembali. "Percayalah kepadaku, Mayang.... Manusia Pemuja Huian yang kalian sebut sebagai
ketua itu, adalah manusia sesat yang memantaatkan kesaktiannya. Ah, sudahlah.
Mayang..., aku ingin bertanya kepadamu.... Harta apakah yang dimaksudkan
kakekmu?" Mayang menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, Kang Andika...," sahut Mayang,
lirih. "Kakekmu tidak pernah menceritakannya?"
"Tidak."
"Mayang, sekarang dengarkan aku. Manusia Pemuja Bulan bukanlah orang baik-baik.
Buanglah segala pikiran kalau dia adalah laki-laki yang telah berbuat baik
dengan memberitahukan cara menanggulangi segala macam
bencana. Hu salah besar, Mayang... Karena, justru dia sendirilah yang telah
membuat bencana-bencana itu.
Mayang, sayangkah kau kepada kakekmu?" ujar Pendekar Slebor.Mayang mengangguk
sambil menggigit bibirnya.
"Kalau begitu, taatilah dia. Kakekmu telah menentang ajaran yang diberikan Manusia Pemuja Bulan.
Dan sudah seharusnya kau pun berbuat yang sama,
Mayang." "Tetapi..... "
"Hilangkanlah segala keyakinanmu tentang ajaran sesat Manusia Pemuja Bulan yang
mengorbankan perawan untuk kepentingannya sendiri. Mayang! Mulai aat ini,
taatilah kata-kata terakhir kakekmu...," ujar Andika menyudutkan gadis itu.
Mayang terdiam. Angin menghembus rambutnya.
Dingin begitu menusuk. Fajar hampir segera tiba di ufuk timur. Tiba-tiba air
mata gadis jelita itu menitik.
"Aki...," desis Mayang pelan.
Pendekar Slebor mendesah pendek. Sedikit banyaknya, kata-katanya sudah meresap di hati Maya Lalu dirangkulnya gadis itu
erat-erat. Mayang sendiri yang sudah cukp lama tidak
merasakan kasih sayang kecuali dari kakeknya, meresapi rangkulan hangat Bahkan
kepalanya disusupkan, membuat kening Andika sejenak berkerut. Tetapi kemudian
Andika tak acuh saja. Toh tak ada maksud lain kecuali untuk menenangkan gadis
itu. "Mayang..., lebih baik kita beristirahat saja dulu."
*** Andika datang membawa buah-buahan yang dipetik
dari pohon di sekitar kaki Gunung Pengging ini. Sejenak Pendekar Slebor terkejut
ketika tidak melihat Mayang di tempat semula.
"Hei" Apa lagi yang terjadi?" desis
Andika. Diletakkannya buah-buahan itu, lalu mencari ke sekeliling.
Namun tak ada Mayang di sana. "Busyet! Kenapa jadi begini sih?"
Tiba-tiba Pendekar Slebor menangkap suara air
berkecipak. Bergegas dia melompat mencari sumber suara itu. Alangkah terkejutnya
Andika ketika melihat Mayang sedang mandi dalam keadaan tanpa busana.
Andika cepat memalingkan kepala.
Wajahnya bersemu merah. "Ya, ampuuunnn.... Tapi, he he he... menyenang-Karena merasa Mayang dalam
keadaan aman, Andika
kembali ke tempat semula. Ditunggunya gadis itu nampai muncul kembali.
"Makanlah buah-buahan ini dulu, Mayang," ujar Pendekar Slebor.
"Kang Andika tidak mandi?" tanya gadis itu sambil
mengibaskan rambutnya yang bsah.
Andika menggelengkan kepala. Dia teringat lagi,
kalau telah dua kali melihat tubuh Mayang tanpa busana.
Pertama, ketika tak disengaja melihatnya saat hendak mengobati gadis itu. Kedua,
barusan tadi! "Kenapa, Kang Andika?" tanya Mayang, yang melihat Andika jadi geli sendirian.
"Ah, tidak.... Makanlah dulu," kilah Pendekar Slebor.
Andika kini memperhatikan Mayang yang tengah
memakan buah-buahan yang tadi dipetiknya. Cantik.
Sayang sekali kalau sempat menjadi korban dari Manusia Pemuja Bulan.
Mayang yang diam-diam sadar kalau diperhatikan
Andika, tersenyum senang. Dalam pertemuannya yang
kedua kalinya, entah mengapa di hatinya sudah tertanam sesuatu yang sangat sulit
ditebak. Diperhatikan begitu rupa, lama kelamaan Mayang
tidak tahan juga. Tiba-tiba saja wajahnya diangkat, memergoki Andika yang kontan
gelagapan. "Kenapa, Kang Andika" Apakah ada sesuatu yang aneh?" tanya Mayang.
Andika makin blingsatan.
"Oh, tidak. Tidak...," kilah Pendekar Slebor. Sungguh mati, baru kali ini Andika
tersipu-sipu seperti itu.
"Kalau tidak apa-apa, mengapa Kang Andika tida memakan buah-buahan ini?"
"Oh, ya, ya.. "
Andika mengambil sebuah jambu segar dan
langsung menggigitnya. Tetapi seketika itu juga disemprotnya keluar.
"Kenapa, Kang?" tanya Mayang dengan wajah ter kejut.
"Semut!" sahut Andika.
Mayang terkikik melihatnya.
"Makanya, jangan terburu nafsu!"
Andika tersenyum. Hatinya senang melihat Mayan
sudah tidak tegang seperti tadi.
Setelah yakin Mayang sudah benar-benar tenang,
Pendekar Slebor pun mengajaknya untuk meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum
menggandeng tangan
Mayang.... "Heh"!"
Betapa terkejutnya Pendekar Slebor ketika tiba-tiba telah berlompatan enam orang
berpakaian dan bertopeng merah. Dan tahu-tahu mereka sudah berdiri di hadapan
Pendekar Slebor dengan tatapan nyalang!
*** 7 Andika mendengus. Dia yakin, mereka adalah para
pcngawal dari Manusia Pemuja Bulan. Buktinya, Andika memang melihat mereka tadi
saat upacara penyembahan sesajen pada Dewa Bulan.
"Kang Andika...,"
desis Mayang ketakutan, bersemnunyi di balik tubuh Andika
Melihat sikap Mayang ketakutan seperti itu, Andika hanya nyengir. Sikapnya
benar-benar tenang sekali, meskipun tatapan matanya begitu membenci orang-orang


Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertopeng merah yang mengurungnya.
"He he he..., tenang saja,
Mayang. Enteng menghadapi para topeng monyet ini...," ujar Andika.
"Mereka orang yang kejam, Kakang...," tukas Mayang.
"Aku tahu, mereka juga yang telah menjaga
rumahmu waktu itu...."
"Ya, Kakang.... Mereka utusan Manusia Pemuja
Bulan yang menjagaku dengan ketat. Karena, dia khawatir aku melarikan diri saat
penyembahan sesajen untuk Dewa Bulan...," jelas gadis itu.
Andika mendesah lega. Dari ucapan gadis itu, dia
yakin kalau sekarang Mayang sudah sadar akan
kesalahannya. Kalau tidak, mengapa berkata seperti itu"
"Tenanglah, Mayang.... Menghadapi yang beginian sih, kecil. Kecil sekali!" ujar
Andika sambil menjentikkan ibu jarinya dengan jari kelingking. Lalu dia bertolak
pinggang, mengangkat dagunya. "Hei, orang bertopeng yang mukanya bopeng! Mau apa
sih, kalian"!"
Sementara Mayang makin menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Andika.
"Kalau hanya mau berkenalan denganku yang
ganteng ini, tidak usah pakai tolak pinggang seperti itu!"
lanjut Andika. "Serahkan gadis itu kepada kami!' bentak salah seorang dengan suara ditekan.
Tatapannya nyalang, geram
melihat tingkah Andika yang menjengkelkannya itu.
"Serahkan" Wooo..., aku mendapatkannya saja
susah, kok enaknya meminta begitu" Tidak usah, ya?"
Andika menggoyang-goyangkan tangannya dengan
bibir mencibir.
"Anak muda...! Kau sudah membuat kami pusing...!
Jadi, jangan banyak tingkah sekarang!"
"He he he.... Kalau pusing, mengapa tidak membeli jamu godok saja" Jangan
diminum, tetapi pupurkan di matamu yang belo dan jelek itu!" ejek Andika. "He he
he.... Kontan bopeng-bopeng di wajahmu itu akan hilang!
Eh" Apa hubungannya, ya" Kok mata yang dikasi pupur, bopengnya yang hilang" Wah,
wah... salah! Maksudku..., hidung kalian yang akan hilang!"
Andika semakin ngoceh tak karuan. Sedang Mayang
yang ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuh
Andika, mau tak mau tersenyum juga melihat tingkah Andika yang konyol. Namun
gadis itu tetap saja ketakutan melihat keenam orang bertopeng yang bermata
sengit itu. Sementara wajah di balik topeng merah itu
menggeram. "Anak muda..., sayangilah nyawamu yang hanya
selembar itu...."
"Lho" Apa kau punya nyawa dua lembar?" balas Andika. "Enak juga ya, kalau mampus
digigit ular masih bisa hidup lagi!"
"Jangan memancing kemarahan kami!" bentak orang bertopeng itu.
Andika hanya nyengir.
"Habisnya, menyuruh kalian tertawa juga perc uma Karena, gigi kalian tidak
kelihatan! Jadinya, aku tidak tahu apakah kalian bergigi ompong atau rata!"
Bukannya menjawab, keenam orang itu secara
serempak menyerang dengan hantaman telapak tangan.
Wuuuttt! Srattt! "Heeii ttt!"
Andika melenting sambil mendorong tubuh Mayang
ke samping. Sehingga, gadis itu jatuh terduduk. Namun tidak terhempas, karena
Andika sudah menggunakan
tenaga dalam pengendali beban yang memang jarang
sekali digunakan.
"Kalem saja! Aku akan melayani serangan kalian yang kayak banci itu, kok!" kata
Andika, mengejek.
Keenam orang bertopeng merah itu terus merangsek
dengan ganas. Serangan-serangan
mereka sangat berbahaya. Orang bertopeng yang melakukan gebrakan pertama tadi, semakin marah
saja melihat tingkah Andika yang menjengkelkan.
"Bikin mampus manusia iseng ini!" bentak orang bertopeng itu sambil mengirimkan
pukulan kuat ke wajah Andika, disusul yang lainnya. Wuuuttt!
"Heaaa!"
Andika cepat berkelit ke sana kemari. Namun
menghadapi serangan secara serempak yang bertujuan untuk mematikan ruang
geraknya, membuat Andika harus mengeluarkan kecepatannya dalam menghindar.
Gerakan Pendekar Slebor pun semakin gencar saat menghindari setiap serangan
beruntun yang datang. Di samping itu ketika tangannya berkelebat, terdengar
bagai menyalak.
Memang pelan. Namun hasilnya sungguh mantap. Rupanya Pendekar Slebor sudah
mengalirkan tenaga 'inti petir'
tingkat ketiga puluh dua di tangannya Dengan tenaga dan kecepatan itulah
dicobanya untuk menghadapi setiap serangan yang datang. "Heerri! Sabar, sabar!
Ntar juga kebagian!" seru Pendekar Slebor sambil berkelit dengan menarik kepala.
Lalu Pendekar Slebor mengangkat sebelah kakinya
sambil berjumpalitan ke depan. Dan tiba-tiba kedua tangannya dikibaskan ke
samping, lalu meluruk ke salah seorang lawan yang tengah bersiap menyerang.
Duuuk! "Aaakh...!"
Pukulan itu tepat menghantam
dada orang bertopeng merah yang bersiap menyerang. Tubuh orang itu terhempas ke belakang
disertai pekik kesakitan. Setelah muntah darah, dia meregang nyawa.
Melihat salah seorang kawannya mati, lima orang
yang lain semakin mempergencar serangan. Dan ini
membuat Andika semakin berhati-hati saat menghindar dan membalas.
"Bentuk rangkaian 'Lima Iblis Membunuh Naga'l"
teriak salah seorang, keras.
Mendadaksaja kelima orang bertopeng itu membuat
gerakan melingkar, lalu saling mendekat. Satu orang berada didepan, dua orang
berada di tengah, dan dua orang lainnya berada paling belakang. Masing-masing
membuat gerakan berlainan. Yang berdiri di depan
membuka kedua tangannya. Kaki kanannya membujur ke bawah dan tubuh berlutut,
bertopang pada kekuatan kaki kiri. Sedangkan yang di tengah salah seorang
melebarkan kaki kirinya ke samping. Kaki kakannya di tekuk.
Sementara seorang lagi melebarkan kaki kanan ke
samping dengan kaki kiri ditekuk pula. Tangan mereka mengembang bagaikan kepakan
sayap rajawali. Yang berada paling belakang berdiri tegap dengan kedua tangan
mengepal ke depan.
"Itulah jurus 'Lima Iblis Membunuh Naga'. Sebuah jurus yang sangat ampuh dan
hebat! Andika yang tadi menganggap ringan lawannya, kini
harus mengerutkan keningnya. Dia yakin, jurus yang diperlihatkan lawan-lawannya
bukanlah jurus kosong belaka. Suatu jurus yang tangguh dan sudah pasti sangat
hebat. Tetapi bukan Andika yang berjuluk Pendekar Slebor kalau dalam suasana
seperti itu tidak mengejek.
"He he he..., apakah kalian ingin bermain dolanan bocah yang kalau tak salah
namanya dolanan ular tangga"
Wah, wah...! yang depan menjadi dadu, yang di belakang menjadi ularnya, dan yang
paling belakang menjadi tangga.
Aku peserta yang paling tangguh, pasti! Pialanya, sudah
tentu Mayang, bukan?" leceh Andika.
"Pemuda sinting! Serahkan gadis itu kepada kami.
Maka kau akan selamat!" bentak yang berada di depan.
"Lho, enak saja ngomong! Memangnya tape yang
bisa diserahkan begitu saja. Bilang saja, kalian iri kan?"
Lima wajah di balik topeng itu merah padam. "Sekali lagi kuperingatkan, serahkan
gadis itu!" desak salah seorang.
"Baik! Aku akan menyerahkannya. Tetapi..., sudah tentu kalau kalian sudah
terkapar di tanah. Bagajmana"
Usul yang menarik, bukan?" balas Andika, enteng.
Kali ini tak ada yang bersuara lagi. Karena orang
bertopeng yang berdiri paling depan sudah menyerbu dengan gerakan berguling. ,
Andika terkejut menerima serangan semacam itu!
Karena tak mungkin dalam keadaan seperti itu, seseorang bisa menggerakkan
tubuhnya secara bergulingan. Lebih terkejut lagi, ketika dua orang yang berada
di tengah menerjang
bagaikan melunc ur! Kemudian disusul serangan dari arah samping yang berlawanan oleh dua orang paling belakang
Andika harus menghindar ke sana kemari sambil
memapak setiap serangan. Rupanya, di balik serangan aneh yang dilakukan secara
serempak itu. tenaga mereka bisa terangkum menjadi satu.
Buktinya begitu Andika memapak salah satu
pukul? n yang melesat ke arahnya, tidak lagi merasakan tenaga | lembek
dibandingkan tenaga miliknya. Tetapi, suatu tenaga yang berlipat ganda!
"Kutu busuk! Hebat juga jurus kalian itu!"semprot Andika sambil melenting.
"Sejak tadi kukatakan, jangan banyak tingkah!
Sekarang sudah terlambat, Anak Muda!"
"Terlambat, terlambat! Kok lucu, ya" Apanya yang terlambat" O iya, aku ingat.
Kalian bangun kesiangan, sih!
Makanya jangan jadi pemalas, dasar kebluk!" ejek Pendekar Sleborsambil membalas
serangan yang datang
beruntun itu. Tubuhnya berkelebat ke sana kemari dengan cepatnya.
Namun seperti yang dialami tadi, setiap benturan
yang terjadi, bukannya membuat kelima lawannya mundur, malah semakin ganas
menyerang. Kini justru Andika yang harus kalang kabut menghindari seranganserangan yang mematikan itu.
Sementara itu, Mayang hanya bisa menekuk kedua
lututnya ke dada sambil mendekap wajah. Gadis ini ngeri melihat pertarungan yang
mendebarkan itu. Kini, lambat laun di hatinya timbul kesadaran, kalau yang
dikatakan Andika ternyata benar.' Manusia-manusia ini adalah makhluk jahat!
"Oh, Aki.... Kau menjadi korban kejahatan mereka pula!" desah gadis itu.
Sementara itu, Andika terus menerus menghindari
tanpa diberi kesempatan membalas. Karena setiap kali hendak menyerang, kelima
lawannya sudah menutup
ruang geraknya dengan cara mengirimkan serangan secara serempak.
"Ini sih tidak boleh dibiarkan!" dengus Pendekar Slebor.Tiba-tiba Andika
melenting ke belakang dua kali. Dan ketika hinggap di tanah dengan ringan,
Pendekar Slebor sudah merangkum jurus 'Guntur Selaksa', salah satu jurus dahsyat
yang didapat dari Pendekar Lembah Kutukan.
"Ayo! Sampai di mana kehebatan jurus 'Monyet Bu-duk Membunuh Nyamuk'!" tantang
Pendekar Slebor.
Dan mendadak saja, Andika mengempos tubuhnya.
Pada saat yang sama, kelima lawannya menyerang secara bersamaan dengan jurus
berbeda, namun berada dalam satu mata rantai jurus 'Lima Iblis Membunuh Naga'.
Plak! Des! Duk!
Tiga benturan keras terjadi. Namun kelima lawannya hanya mundur selangkah, dan
kembali menyerang dengan ganas.Andika mendengus lagi dalam hati. Dia tidak
percaya kalau jurus 'Guntur Selaksa' bisa lumpuh hanya sekali gebrak. Maka kali ini
tenaga dalamnya ditambah hingga tingkat kedua puluh.
Dengan satu gerakan manis
sekali, setelah melenting ke kiri dan meluruk dengan satu gerak tipuan, Aiw dika kembali memapak
serangan lawannya.
Buk! Des! Plak!
Kalau tadi Andika merasa seimbang dalam soal
tenaga dalam dibanding kelima lawannya yang terangkai menjadi satu, kini
akibatnya menjadi lain. Karena, tiga dari lima lawannya bukan hanya mundur satu
tindak, tapi segera terpelanting deras ke belakang tak bangun-bangun lagi.
Andika yang melihat kesempatan untukmenghabisi]
lawan-lawannya, segera bergerak laksana kilat. Des! Duk!
"Aaakh...! Aaakh...!"
Dua pukulan Pendekar Slebor mampir di dua dada
yang tertutup pakaian berwarna merah. Seperti yang dialami ketiga lawannya tadi,
tubuh mereka pun terlon-tar deras ke belakang. Yang satu menabrak pohon, yang
satu lagi tercebur ke sungai dan segera digulung arus yang cukup deras.
*** Andika mendengus. Matanya melirik Mayang yang
masih menutup kedua mata dengan tangannya.
"Hhh! Masih cetek ilmu kalian!"
Sambil mengejek, Andika melangkah memeriksa
lawan-lawannya yang terkapar. Tiga orang telah menjadi mayat. Namun yang seorang
lagi masih bernapas dalam rasa sakit yang luar biasa. Andika berjongkok di depan
sosok itu. "Hei, Kutu Koreng! Katakan, di mana Manusia
Pemuja Bulan itu berada?" bentak Pendekar Slebor.
Bukannya jawaban yang didapatkan Andika, justru
pelototan marah.
"Wah, masih nekat! Padahal, kau sudah mau
mampus! Katakan di mana Manusia Pemuja Bulan"!" ulang I'endekar Slebor.
Mata orang itu semakin memerah.
"Carilah dia di neraka!"
"Tempatnya memang pantas di neraka. Hei, hati-hati kalau ngomong. Nanti didengar
manusia bau tau itu, bisa mampus kau dibuatnya!" desis Andika, memasang wajah
ketakutan. "Hii ! Memang, kalau yang s udah mau mampus suka ngelantur!"
"Kau tak akan bisa menemuinya...."
Seperti kesalahan bicara, orang yang tengah
menahan rasa sakit itu berkata lagi.
"Eh! Nekat, ya?"
Mendadak saja Andika menunggingi laki-laki itu.
Dan.... Dut! "He he he.... Makanlah uap beracun yang mematikan itu!" Orang itu nampak
gelagapan. Dan gerakannya itu justru menyakitkan napasnya yang sudah Senin-Kemis
' "Ayo, katakan di mana dia"!" desah Andika. Orang itu hanya melotot dengan
pancaran sinar kemarahan yang tinggi.
"Kau tak akan mampu mengalahkannya!" kau !
orang itu dengan suara ditekan meskipun dikeluarkan susah payah.
"Eh! Kau menantang, ya" Sayangnya kau akan
mampus! Tetapi..., he he he.... Tunggu, kau pasti akan mau mengatakan di mana
manusia monyet itu berada," ujar Andika yang mendapat akal paling mengasyikkan.


Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andika berdiri dan menghampiri tanah yang
ditumbuhi rumput. Diambilnya sehelai, lalu dia melangkah kembali lagi ke tempat
orang yang sekarat itu berada Namun ketika sampai, telah berdiri satu sosok tua
tanpa baju dengan wajah bengis menatap sosok berbaju
merahyang telah meregang nyawa.
"Hei! Apa yang kau lakukan itu, Tridarma?" seru Andika terkejut.
Sosok yang berwajah bengis itu tiba-tiba menjunr
pada Andika. "Maafkan hamba, Tuanku.... Manusia seperti itu sudah selayaknya mampus," ucap
Tridarma. "Tetapi, aku membutuhkannya untuk mengetahui di mana Manusia Pemuja Bulan
berada!" sahut Andika gemas."Maafkan hamba, Tuanku...," ucap Tridarma lagi.
Andika yang nampak jengkel kembali mendengus.
"Tridarma...! Lain kali, jangan sembarangan bertin| dak sebelum kuperintahkan!"
"Hamba, Tuanku!"
Andika berbalik, menghampiri Mayang yang nampak
begitu ketakutan. Dirangkulnya gadis itu perlahan-lahan.
"Sudahlah, Mayang... Kau sudah aman...," ujar Pendekar Slebor, lembut.
"Kang Andika.... Kini aku sadar, mereka memang manusia-manusia jahat...," kata
Mayang sambil menangis pelan di rangkulan Andika.
"Ya, kita akan membasmi Manusia Pemuja Bulan itu hingga ke akarakarnya.... . . . "
"Oh! Aku menyesal mengapa aku mau saja dijadikan sebagai korban untuk Dewa
Bulan.... Kang Andika, bila saja kau tidak berada di sini..., entah apa yang
akan kualami...,"
desah gadis itu.
Andika membelai-belai rambut Mayang. Tiba-tiba
matanya melotot pada Tridarma yang sedang tersenyum-senyum.
"Kenapa kau senyam-senyum begitu, hah"!" bentak Andika yang membuat laki-laki
tua tanpa baju itu tersentak.
"Oh, maaf, Tuanku...," ucap Tridarma. "Jangan berpikir yang jorok, ya" Aku hanya
menenangkan gadis ini saja!" ujar Pendekar Slebor.
"Hamba, Tuanku...," sahut Tridama sambil menahan geli.
"Masih nyengir kau?" bentak Andika lagi.
"Maaf, Tuanku...."
"Maaf, maaf! Cepat kuburkan mayat-mayat itu!"
*** Ki Wedokmurko yang melihat kejadian itu dari
pandangan batinnya melalui cawan yang berisi cairan wama kuning, menggeram
marah. "Bangsat! Rupanya pemuda itu adalah Pendekar
Slebor! Pemuda pembuat onar yang telah banyak
menghancurkan orang-orang golonganku! Hhh! Kali ini kau akan mendapat batunya,
dan merasakan akibatnya dan kelancanganmu itu!!'
Tangan Manusia Pemuja Bulan terangkat. Seketika
serangkum sinar berwarna putih melesat, menghantam dinding gua.
Blarrr...! Terdengar suara bagai ledakan yang cukup keras
Dan seketika dinding gua itu pun berantakan.
"Kau akan mampus, Pendekar Slebor! Kau akan
mampus!" desis Ki Wedokmurko.
Tiba-tiba Manusia Pemuja Bulan bangkit. Dengan
gerakan ringan kakinya melangkah menuju ke satu tempat yang berada di sudut gua.
Tiba di hadapan sebuah
keranjang yang bersusun dua. Dari dalam keranjang
terdengar suara mendengung yang ramai dan panjang.
"Ayo, Manis-manisku.... Kini tibalah saatnya bag!
kalian untuk bekerja...," kata Manusia Pemuja Bulan sambil membuka pintu
keranjang. Lalu berkeluaranlah makhluk-makhluk kecil yan
ganas. Rupanya, ribuan tawon yang telah dipelihara Manusia Pemuja Bulan.
"Datanglah kalian ke desa-desa. Buat onar di sana Biar semua orang merasakan
kepedihan kembali. Biar Pendekar Slebor kelabakan, karena akan mendapatka
amukan dari mereka. Dan dia akan dituduh sebagai biang keladi malapetaka ini! Ha
ha ha..," ujar Manusia P muja Bulan, tertawa girang.
Lalu tawon-tawon itu bergerak cepat, menimbulkan
suara mendengus yang sengau memekakkan telinga.
Suara yang mengandung kemarahan!
*** 8 Mata Sawedo terbelalak begitu mendengar penuturan seorang pemuda tanggung di depannya. Dia sampai berdiri dari duduknya,
dan memegang bahu
pemuda berusia sekitar enam belas tahun ini. Saat ini senja baru saja datang.
Angin berhembus sejuk.
"Benarkah yang kau katakan itu, Sawung"!" sentak Sawedo.
"Beb..., benar, Kang.... Aku melihat Kak Mayang tengah berjalan bersama seorang
pemuda berpakaian
warna hijau," tegas pemuda tanggung bemama Sawung, takut-takut. Dia ngeri
melihat mata Sawedo yang
menatapnya nyalang begitu. "Juga..., seorang..., seorang laki laki tua... yang
tidak mengenakan baju...."
"Gila!" desis Sawedo. "Rupanya pemuda sialan itu belum pergi dari sini! Bagus!
Ini kesempatan kita untuk membalas kematian Medi, Kang Menggolo, dan istrinya!"
"Tetapi, justru yang mengherankan tentang Mayang,"
kata pemuda lain yang bertubuh gempal dengan kening berkerut.
Saat ini beberapa pemuda memang sedang
berkumpul di halaman depan rumah Sawedo, membicarakan tentang Mayang yang dijadian korban
kepada Dewa Bulan.
"Mengapa Mayang bersamanya" Bukankah dia
sudah dikorbankan kepada Dewa Bulan?" lanjut pemuda bertubuh gempal itu, seperti
bertanya pada diri sendiri.
Kali ini bukan hanya para pemuda itu yang merasa
keheranan. Bahkan Sawedo sendiri harus
terdiam beberapa saat, mendengarkan penuturan pemuda bertubuh gempal yang dikenal bernama Barojo. Yah! Bukankah Mayang sudah dipersembahkan kepada
Dewa Bulan"
Ketika Sawedo hendak menanyakan lagi kebenaran
berita yang dibawa Sawung, anak tanggung itu sudah tidak ada di tempatnya.
Diam-diam dia telah minggat meninggalkan pembicaraan tadi. Katanya, lebih baik pergi dari pada harus
dibentak-bentak begitu.
Mayang. Mayang bersama pemuda sialan itu"
Bagaimana mungkin" Jelas sekali diketahui kalau malam Jumat kemarin Mayang
dijadikan sebagai tumbal untuk Dewa Bulan" Pertama, untuk keselamatan daerah
ini. Kedua, untuk menebus dosa-dosa Ki Seta. Tetapi yang dikatakan Sawung tadi"
Hm.... Apakah anak tanggung itu hanya mengada-ada saja"
Tetapi kemudian, Sawedo mempunyai pikiran lain.
"Hmm.... Kini aku tahu. Aku tahu...," kata Sawedo sambil berjalan mondar-mandir.
"Apa yang kau ketahui?" tanya seorang pemuda bertubuh kurus sambil
memperhatikannya.
Sawedo menghentikan langkahnya.
"Seperti yang kita ketahui, Mareko! Pemuda itu telah membuat keonaran di daerah
ini. Dia bukan hanya telah membunuh saudara-saudara kita yang lain, tetapi juga
mengacaukan upacara sesembahan."
"Maksudmu?" tanya pemuda bertubuh kurus yang dipanggil Mareko. Kali ini dia agak
tegang. "Pemuda itu memang harus diajar adat!"
"Mengapa?"
"Karena telah mengacaukan jalannya upacara,
Mungkin, dia mengambil tubuh Mayang selagi Ketua
Wedokmurko lengah."
"Tetapi bagaimana mungkin dia melakukannya!
Bukankah kita semua melihat, tubuh Mayang mendadak saja lenyap dari hadapan
Ketua Wedokmurko?" tukan Mareko.
Kali ini Sawedo tidak tahu apa yang harus
dikatakannya. Pikirannya benar-benar bingung dengan somua ini. Yah! Bagaimana
mungin Mayang yang siap
dikorbankan kepada Dewa Bulan, ternyata masih segar bugar seperti yang
diberitahukan Sawung.
"Untuk meyakinkan kebenaran berita yang dibawa Sawung, kita harus
membuktikannya!" ujar Sawedo
"Maksudmu?" tanya Barojo.
"Kita harus melihat, apakah memang Mayang yang bersama pemuda sialan itu," jelas
Sawedo. "Kalau ternyata bukan?"
"Pemuda itu tetap harus membayar nyawa saudara saudara kita dengan nyawanya."
"Kalau ternyata iya?"
Sawedo merenung pelan.
"Berarti..., kita akan menghadapi bencana....
Tak ada yang bers uara Para pemuda itu kelihatan
sangat tegang. Mengacaukan jalannya upacara korban untuk Dewa Bulan, sama saja
menantang maut. Ya! Seperti yang sudah-sudah, kalau belum ada korban yang
dijadikan sesajen untuk Dewa Bulan, maka desa ini selalu dicekam ketakutan dan
malapetaka. Apa yang dikatakan oleh Sawedo kemungkinannya
memang bisa jadi kenyataan. Oh! Akankah bencanabencana lalu itu sekarang ini terjadi lagi"
Terlalu lancang pemuda itu. Tetapi, bagaimana
caranya Mayang sampai bisa diculik" Mengapa tahu-lahu Mayang berada bersamanya"
Seperti biasanya, mereka akan melihat tumbal yang dipersembahkan kepada Dewa
Bulan akan lenyap begitu saja. Entah ke mana. Sampai saat ini, belum ada yang
tahu pasti. Tetapi cukup puas bila Ketua Wedokmurko mengatakan kalau gadis yang
Tiga Dara Pendekar 8 Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Si Bungkuk Pendekar Aneh 1

Cari Blog Ini