Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit Bagian 1
1 Gerimis masih terus turun. Tak ada tanda-tanda kalau limpahan air dari langit
itu akan segera reda. Padahal telah hampir setengah harian hamparan tanah dibasahinya. Salakan guntur dan kerjapan kilat mem-bungkam seluruh senandung satwa
malam. Yang kini terdengar rinai rintik air yang menimpa daun pepohonan, atau meninju
atap-atap rumbia rumah penduduk. Sesekali desah angin dingin ikut memeriahkan
tarian titik-titik air yang bagai jarum-jarum halus di angkasa. Saat itulah,
langit yang gelap pekat karena malam, bagai hendak dibelah selarik cahaya merah
bara. Selubung udara ditembusnya dalam kecepatan yang amat dahsyat. Cahayanya yang
terang berbentuk memanjang, seperti kelebatan seekor naga api.
Sementara, bulatan di ujung depan memperlihatkan cahaya merah yang lebih terang
daripada bagian lain.
Tanpa terlihat oleh siapa pun, benda angkasa itu terus meluncur deras dalam
suatu tukikan tajam.
Dengan sinarnya yang kemerahan benda itu melintasi beberapa daerah membuat garis
memanjang. Akhirnya dalam sekejap benda itu lenyap, tenggelam dalam sebuah danau
besar, Danau Panca Warna!
Benda apakah itu"
Mungkin tak ada seorang pun yang bisa meng-ungkapkannya, sehingga mengundang
teka-teki. Kini benda angkasa itu tergolek di dasar Danau Panca Warna. Dingin air danau
yang bisa membunuh seseorang di malam hari, ternyata tak mampu
meredam cahayanya yang memerah bagai bara.
Sebagian dasar danau malah menjadi terang benderang oleh warna merah kemilau.
Benda angkasa itu pun tergolek dengan kebisuan-nya. Tidak seorang pun yang tahu,
benda apa itu. Tapi bisa jadi benda itu bakal membuat kegemparan di dunia
persilatan. Hari bergulir dalam putaran waktu. Dua purnama telah berlalu, sejak jatuhnya
benda angkasa ke dalam Danau Panca Warna. Seperti biasa penduduk di desa sekitar
danau itu melakukan kegiatan sehari-hari.
Belum ada pengaruh yang berarti bagi mereka.
Apalagi mereka tidak pernah menyadari adanya sebuah kekuatan dahsyat yang
tersimpan dalam benda angkasa itu.
Jantung Desa Ambangan tampak sibuk hari ini.
Tidak mengherankan, pusat desa dijadikan pasar, tempat warga desa mengeruk
nafkah atau membeli kebutuhan sehari-hari.
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pasar di Desa Ambangan pun begitu ramai.
Ada-ada saja suara ribut yang terdengar. Satu sama lain saling tindih, seperti
sebuah paduan suara tak beraturan.
Matahari terus merambat hingga tepat di atas kepala. Kini semakin siang, suasana
pasar semakin tidak nyaman. Kebisingan bukannya mereda, malah makin memuncak.
Sengatan matahari pun makin ngotot menggigit ubun-ubun kepala. Tapi orang-orang
di pasar tidak ambil peduli sama sekali. Mereka terus melakukan kegiatan masingmasing. Sampai akhirnya,
"Hiii... haaa...!"
Sebuah teriakan lantang membahana tiba-tiba menghentikan kesibukan mereka
serempak. Dengan tatapan bingung, para pengunjung
menoleh berbarengan ke asal teriakan. Kini semua orang melihat sosok lelaki
hitam bertubuh kekar, tapi pendek. Dia mengenakan celana pendek dengan baju.
Kulitnya yang hitam, terlihat berkilatan dijilati cahaya matahari. Begitu juga
kulit wajahnya. Tak ada yang pantas dilihat dari lelaki berumur tua itu.
Tubuhnya kumal dan rambutnya kotor bergulung.
"Siapa dia?" bisik seorang pedagang.
"Tidak tahu. Barangkali orang gila nyasar," jawab orang yang ditanya. "Tapi
kalau diperhatikan, sepertinya aku pernah melihat wajahnya...."
"Iya! Aku juga begitu. Tapi siapa ya?"
Sementara, penghuni pasar mulai kasak-kusuk tak menentu membicarakan orang yang
baru saja berteriak tadi, tapi ada juga yang kembali meneruskan pekerjaannya,
karena menganggap lelaki itu hanya orang gila.
"Oooi! Apa kalian semua tidak tahu ada benda langit maha dahsyat jatuh ke desa
kita"! Benda langit bercahaya, yang menyimpan kekuatan bintang!
Kekuatan amat dahsyat! Hua ha ha...! Kalau aku yang memilikinya, tentu akan
menjadi tokoh nomor satu dunia persilatan. Aku akan menjadi sakti mandraguna.
Kalau aku sudah sakti, akan kukawini sembilan puluh sembilan janda desa ini!
Aminah, Tukiyem, Samijah, Jinten, Rokayah... ng, siapa lagi, ya!
O, iya... Sulastri, Iyam, Diding..., eh! Si Diding kan bukan janda, dia kan
duda" Masa' aku mesti kawin sama lelaki buduk itu" Hi hi hi...! Tak usah,
ya...," oceh laki-laki berkulit hitam itu.
Di sebuah kedai, beberapa lelaki muda yang mendengar teriakan kacau orang itu
menoleh ke arahnya. Ucapannya barusan sedikit memancing rasa
ingin tahu mereka, selaku warga dunia persilatan.
"Apa aku tak salah dengar tadi?" tanya seorang lelaki berjubah biru tua.
Wajah orang itu tak sebagus pakaiannya. Malah boleh dikatakan pasaran. Rambutnya
digelung dengan sisiran rapi. Sedang di punggungnya tampak sebatang toya pendek.
"Jangan ikut-ikutan gila, Paksi! Kenapa kau harus percaya pada omongan orang
sinting itu"!" sergah lelaki yang duduk di depan lelaki bernama Paksi tadi.
Sama seperti Paksi, laki-laki itu pun mengenakan jubah biru tua. Wajahnya amat
menawan. Kulitnya putih dan berkumis tipis. Rambutnya dibiarkan terurai lepas,
tapi tetap tertata rapi. Dia sering dipanggil dengan nama Rudapaksa. Sebagai
kakak seperguruan Paksi atau bernama lengkap Rudapaksi cukup wajar kalau berani
menegurnya agak keras.
"Tapi mungkin saja dia memang pernah melihat benda keramat yang dimaksud, Kang,"
bantah Paksi, takut-takut.
Rudapaksa kali ini tertawa ringan.
"Ya! Tapi, hanya dalam angan-angan. Sudahlah, Paksi. Habiskan saja makananmu
itu. Tugas kita untuk menyampaikan amanat Guru mesti didahulu-kan."
Rudapaksi menaikkan sudut bibirnya. Dia agak kesal juga pada sikap kakak
seperguruannya. Tapi biar begitu, ucapan Rudapaksa tetap juga dituruti.
Mereka mulai melanjutkan makan yang terpenggal beberapa saat tadi. Tapi baru
saja mulai mengunyah beberapa kali, kembali keduanya terhenti oleh kericuhan
yang terjadi di tengah pasar. Rupanya teriakan itu berasal dari orang gila tadi,
yang kini kedua tangannya dipegangi dua orang kekar berkulit
hitam juga. "Lepaskan aku! Lepas! Kalau tidak, akan kukutuk kalian menjadi kodok bunting!
Ah! Kodok bunting kurang bagus. Sebaiknya kalian kukutuk menjadi tikus bingung.
Hua ha ha... tikus bingung... ngung...
ngung!" "Ayo, Buntar! Kau harus pulang. Jangan bikin keributan di pasar!" bujuk lelaki
yang ada di kanan orang gila bernama Buntar itu. Nadanya seperti rayuan seorang
ibu kepada anak bungsunya yang merajuk minta dibelikan mainan.
"Benar, Bun. Ibumu di rumah menunggu. Istri dan anakmu juga," timpal lelaki yang
ada di kiri Buntar.
"Huh! Aku tak peduli mereka. Aku hanya ingin memiliki benda sakti itu!" bentak
Buntar. Matanya mendelik bagai hendak meloncat dari ceruknya.
"Mana ada benda yang kau sebutkan itu! Kau hanya dicolek setan danau!" balas
lelaki di kanan Buntar.
Buntar makin mendelik. Sepertinya, dia akan menelan bulat-bulat kepala lelaki di
kanannya itu. "Siapa yang bilang begitu"!" hardik Buntar keras.
Sampai-sampai, air liur terciprat ke mana-mana.
"Sialan," gerutu orang yang mendapat bagian cipratan air liur Buntar.
"Kau, sih! Jangan bilang begitu, Somad! Bilang saja benda itu ada di rumahnya.
Pasti dia mau pulang tanpa dipaksa," bisik lelaki yang ada di kiri Buntar hatihati sekali. "Kami sudah mendapatkan benda angkasa itu, Bun. Sekarang ada di meja makan
rumahmu," ucap lelaki yang dipanggil Somad tadi.
"Kok di meja makan, Mad. Memangnya kerupuk"!"
sergah lelaki teman Somad dengan wajah bersungutsungut. "Biar saja, Rimang. Yang penting dia mau pulang!
Kenapa kau jadi goblok, sih?" hardik Somad.
"O. Iya, Bun. Kerupuk itu, eh! Benda angkasa itu sudah ada di meja makanmu. Wah!
Bagus, lho! Kalah perkedel gosong!" kata lelaki yang dipanggil Rimang, kebodohbodohan. "Kalian bohong! Kalian akan dustai aku! Tidak! Aku tidak mau pulang, sebelum
mendapat benda sakti itu!" teriak Buntar kalap.
Laki-laki pendek itu melonjak-lonjak liar. Sekuat tenaga lelaki gila itu
berontak dari cekalan Rimang dan Somad. Tingkahnya sudah seperti kuda liar yang
sulit dikendalikan. Sehingga meski sudah sepenuh tenaga lengan laki-laki gila
itu dipegangi, tetap saja mereka terhempas juga oleh tenaga amukannya.
Buk! Buk! Tubuh Rimang dan Somad langsung menghantam tanah berbatu. Begitu bangkit, mereka
meringis-ringis menahan sakit tak kepalang tanggung di bagian bokong. Sementara
puluhan orang di pasar malah menertawakan mereka. Padahal, kedua lelaki itu
bukan tontonan kuda lumping!
"Kalian tidak punya kerjaan, ya" Masa' orang gila dilayani...," celoteh seorang
lelaki tua yang biasa menyabung ayam di pasar.
"Ah! Apa pedulimu, Ki!" sergah Somad sambil menepuk-nepuk bagian belakang
tubuhnya, untuk mengenyahkan debu. Kemudian kembali dicobanya menggiring pulang
Buntar bersama Rimang.
Sebelum mereka sempat mencekal pergelangan tangan Buntar, tiba-tiba keganjilan
terjadi. Buntar mendadak ambruk bergelinjang liar di atas tanah.
Tubuhnya berguling-gulingan tak karuan. Sesekali
tangannya mengejang keras, lalu mencakar-cakar permukaan jalan.
Hal itu tentu saja membuat Rimang dan Somad terbengong, layaknya sapi ompong.
Bibir mereka yang kebetulan sama-samar dower, terayun-ayun begitu saja. Sama
sekali tidak disangka kalau Buntar akan menjadi liar seperti itu. Selama ini,
mereka hanya tahu kalau lelaki itu lebih banyak berbicara simpang siur daripada
mengamuk seperti ini.
"Nah, lo. Kenapa dia, Mat?" tanya Rimang. Somad hanya bisa mengangkat bahu.
Sementara, wajah hitamnya diliputi keheranan luar biasa.
Belum lagi keheranan dua lelaki itu terjawab, Buntar bangkit tiba-tiba. Matanya
jalang, mengawasi sekeliling pasar. Wajahnya yang semula lugu, kini berubah
bengis. Otot-otot wajahnya menegang sedemikian rupa, dengan sepasang alis
terpaut ketat. Sesaat kemudian, mulut orang gila itu menggeram.
Suara yang dihasilkan tenggorokannya terdengar bagai auman serigala. Bahkan
tangan Buntar mengejang dengan jari-jari langsung membentuk cakar. Perlahanlahan tubuhnya membungkuk, seakan siap menerkam.
"Aaargkh...!"
Berbareng satu erangan mengerikan, tubuh Buntar menerjang kedua kawannya penuh
kebengisan. "Wuaaa!"
Sambil menjerit sejadi-jadinya, Somad menubruk tubuh kawannya yang berdiri
termangu-mangu di sisinya. Ketakutan yang teramat sangat membuatnya mampu
bergerak tanpa sadar. Dan hasilnya, mereka memang bisa lolos dari terkaman ganas
Buntar, meski harus berguling-gulingan di tanah berdebu.
Sementara, Buntar sendiri langsung menabrak
tiang kayu penyangga kedai yang berdiri tak jauh dari situ. Tiang kayu jati itu
langsung dijadikan sasaran kebuasan Buntar. Tangannya mencabik-cabik kayu
sebesar paha manusia, seperti mencabik-cabik batang pohon pisang.
Dua lelaki yang mencoba membawa Buntar jadi menelan ludah menyaksikan kejadian
itu. Di samping ngeri saat membayangkan bila jadi sasaran amukan Buntar, mereka
juga terperangah bingung. Selama ini, Buntar dikenal sebagai laki-laki yang
tidak pernah memiliki ilmu olah kanuragan sedikit pun. Apalagi sampai mampu
mengoyak-ngoyak kayu jati seperti itu. Tapi kini yang disaksikan ternyata
bertolak belakang dari kenyataan yang diketahui selama ini.
Dari mana kekuatan Buntar ini" Mereka tak bisa menjawab pertanyaan yang
menggayut di benak.
Bagaimana mungkin kekuatan Buntar bisa bagai sepuluh ekor singa jantan,
sementara tak pernah terlihat berguru pada guru mana pun"
Sesaat berikutnya, mata Buntar beralih kembali pada Rimang dan Somad. Bahkan
kali ini berkilat-kilat lebih menggidikkan. Dua lelaki hitam itu tercekat.
Jantung mereka seperti hendak pensiun saat itu juga.
*** 2 Somad dan Rimang, menjerit bersahut-sahutan seperti dua orang yang menyaksikan
setan di siang bolong, saat Buntar menerkam. Tentu saja mereka tak pernah
berharap menjadi sasaran cabikan jari-jari laki-laki gila itu.
"Wuaaa! Kita akhirnya mondar juga. Mad!" teriak Rimang kalang kabut.
"Buntar! Ampun, Tar! Biar Rimang saja yang kau cakar-cakar!" jerit Somad, tak
kalah bingung. Buntar tak mempedulikan teriakan-teriakan mereka. Tubuhnya melaju deras, laksana
kuda binal menuju Somad dan Rimang. Kali ini tampaknya calon korbannya tak
berniat dibiarkan lolos begitu saja. Itu terlihat dari sinar merah matanya yang
menancap, tepat pada kedua calon korbannya.
Sesaat lagi Somad dan Rimang menjadi korban terkaman Buntar, saat yang bersamaan
meluruk serangkum angin pukulan jarak jauh. Angin itu terus mendesir cepat, ke
arah lelaki gila yang sudah sebuas singa lapar. Dan.... Buk!
"Aaargkh!"
Berbareng satu erangan mendirikan bulu roma, tubuh Buntar terpental lima tombak
ke samping. Diiringi bunyi keras berdebam, Buntar jatuh ke tanah.
Tubuhnya berguling-gulingan beberapa saat, bergerak deras. Kemudian tubuhnya
menghantam kaki meja dagangan seorang penjual batik. Brak!
Para penghuni pasar yang menyaksikan seluruh kejadian langsung berteriak kalang
kabut. Apalagi pedagang batik yang merasa dagangannya jadi kacau balau tak karuan. Demikian
pula wanita-wanita yang kebetulan sedang berbelanja di pasar itu.
"Kalem..., kalem!" seru seorang pemuda tampan dari satu sudut pasar. "Kalau
kalian berteriak-teriak seperti itu, pasar ini akan mirip tempat penampungan
orang-orang sinting."
Pemuda tampan itu berpakaian hijau muda.
Perawakannya tegap dan gagah. Rambutnya yang panjang sebatas bahu, tertata rapi.
Sementara di bahu kekarnya tersampir sehelai kain bercorak papan catur.
Dengan langkah santai serta alis legam yang terungkit tinggi-tinggi, pemuda
tampan itu mendekati Somad dan Rimang. Mereka masih berpelukan satu sama lain.
Sementara, Rimang pucat pasi seperti mayat. Kakinya tertekuk lemas dan bergetar
hebat. Sedang Somad malah lebih parah lagi. Celana kumalnya malah sudah dibanjiri
cairan basah berbau pesing.
"Kenapa dia?" tanya pemuda yang baru datang itu.
"Tit..., tidak tahu. Sejak dia terakhir mengambil pasir di dasar Danau Panca
Warna, tahu-tahu jadi begini," jawab Somad tersendat, seraya memiringkan jari
telunjuk di dahinya.
"Kalian pencari pasir di danau itu?" tanya pemuda itu lebih lanjut.
"Benar," jawab Rimang ikut bicara. "Kami mencari makan dari hasil menjual pasir.
Tapi sejak Buntar seperti itu, keluarganya tidak ada yang kasih makan lagi.
Kasihan, ya Den" Sekarang, kesintingannya makin gawat. Bagaimana, Den.... Apa
bisa menolong kami?"
Pemuda berpakaian hijau muda termangu di
tempat. Matanya memperhatikan Buntar yang masih bergelinjangan di tanah lekatlekat. Sinar ke-prihatinan tampak di matanya melihat nasib lelaki gila itu.
Sementara itu, Buntar mulai berusaha bangkit, walaupun terhuyung-huyung. Pukulan
jarak jauh yang beberapa lama melumpuhkan kekuatannya, kini mulai dapat
dikuasai. Matanya tetap berkilat jalang, siap menerkam orang yang telah
menyerangnya. "Tuh.... Tuh, Den! Si Buntar bangun lagi, tuh!" seru Rimang kelimpungan. Matanya
yang sudah besar kian membesar seperti jengkol matang.
"Kalian lebih baik menyingkir dulu ke tepi jalan,"
ucap si Pemuda tampan datar. "Biar kucoba mengurus kawanmu...."
Tanpa menyahut lagi, Somad dan Rimang
langsung lari tunggang langgang ke tepi jalan. Tentu saja, mereka tidak akan
sudi isi perut mereka dikorek-korek jari Buntar.
Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diamati puluhan pasang mata. Pemuda yang ternyata Andika dan amat tersohor
dengan julukan Pendekar Slebor, tegak mematung di jalanan pasar.
Sebelas tombak di depannya, Buntar telah siap menerjang. Sasarannya kali ini
adalah Andika. Untuk beberapa saat, keduanya hanya bertatapan. Mata merah Buntar
menghujam tajam, ke manik-manik mata laki-laki berjuluk Pendekar Slebor yang
mem-balasnya dengan tatapan iba.
"Aaargkh!"
Buntar kini melesat menerkam Pendekar Slebor.
Kebuasan serangannya terlihat jelas pada jari-jemarinya yang meregang membentuk
cakar. Wusss! Dengan tenaga meledak-ledak, cakaran Buntar
mencoba merobek wajah Pendekar Slebor. Namun hanya sedikit Andika melengos ke
samping, sambaran tangan itu pun luput begitu saja di sampingnya.
Mendapati kegagalan pada serangan pertama, tentu saja Buntar jadi kalap. Dua
tangannya segera bergerak sekaligus, untuk mencabik-cabik wajah Pendekar Slebor
bagai gerakan seekor kera yang hendak menyambar buah.
Sekali lagi Andika dapat meredam serangan, dengan memiringkan sedikit kepalanya
ke belakang. Sementara, tubuhnya tetap pada tempat semula.
Sementara, orang-orang di pasar berseru kagum melihat gerakan Andika yang
berkesan gesit dan berani. Namun, lain halnya Somad dan Rimang mereka malah
seperti orang latah. Karena terlalu ngerinya melihat serangan buas Buntar,
keduanya jadi mengikuti gerakan Pendekar Slebor tanpa sadar.
Mereka ikut memiringkan kepala berbarengan, kemudian bergerak ke arah yang
saling bertemu.
Dan.... "Adow!" seru keduanya, seakan yang sedang diserang.
Berbarengan dengan itu, wajah mereka tampak meringis-ringis tak karuan. Ternyata
kepala mereka saling berbenturan.
Di arena pertarungan, Buntar makin binal men-cecar Pendekar Slebor. Bukan hanya
tangannya yang mencoba merencah tubuh Andika. Kini, kedua kakinya pun turut
ambil bagian. Deb! Deb! Dua kali tendangan ganas yang terlihat liar, memapas ke arah dada Pendekar
Slebor. Gerakannya seperti seseorang yang hendak melempar tubuh
Andika dengan hentakan telapak kakinya.
Sampai saat ini, Pendekar Slebor sendiri hanya berkelit untuk menghadapi setiap
serangan. Dia memang masih menimbang berkali-kali untuk melancarkan serangan
balasan. Apalagi lawan yang dihadapinya kali ini bukan tokoh jahat yang haus
darah. Melainkan, hanya seorang pencari pasir malang yang sedang dipengaruhi satu
kekuatan ganjil. Meski sampai saat itu Andika belum tahu, kekuatan apa yang
mempengaruhi, namun bisa diyakini kalau kekuatan itu memiliki daya cengkeram
luar biasa pada diri seseorang. Bahkan mampu membuat orang yang dirasukinya
menjadi sebuas singa lapar dan sekuat seekor gajah jantan!
Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan Pendekar Slebor menotok Buntar agar
tenaganya lumpuh.
Untuk melumpuhkannya, Andika harus menotok jaring saraf di bagian punggung. Tapi
sampai sejauh itu, memang belum ada kesempatan. Buntar selalu saja bisa menutup
kesempatan gerak Andika dengan kibasan tangan yang liar. Itu sebabnya, Andika
belum dapat menotoknya.
Sampai suatu saat, Buntar melakukan terkaman bernafsu ke arah Pendekar Slebor.
Maka, mata jeli Andika dapat melihat kalau saat itu adalah kesempatan baik untuk
melakukan totokan. Selincah macan kumbang, tubuhnya cepat melenting ke depan
dengan arah yang berlawanan dengan gerak Buntar.
Sehingga, tubuh masing-masing seperti dua batang tombak yang dilempar dari arah
berbeda. Andika meluncur di atas, sedang Buntar meluncur di bawah.
"Hup!"
Tiba-tiba Pendekar Slebor berputaran di tanah berdebu, bagai sebuah bola
bergulir. Sebelum guliran
tubuhnya terhenti, sepasang kakinya menghentak ke tanah. Bersama kepulan debu
yang menyebar di udara, Pendekar Slebor kembali melenting ringan dengan satu
gerakan menawan, sehingga membuat semua mata yang menyaksikan menjadi
terbengong-bengong kagum. Tubuhnya lantas berputaran di udara bagaikan seutas
cemeti yang dilempar, lalu meluruk membawa satu serangan menakjubkan.
"Hup!"
Tanpa memberi kesempatan pada laki-laki gila itu untuk berbalik, Andika telah
tiba tepat di belakangnya. Lalu dengan kecepatan sukar diikuti mata awam,
tangannya mengirim satu totokan ke bagian bawah tengkuk Buntar.
Tuk! Bruk! Tanpa dapat melontarkan suara sedikit pun, Buntar menggeloso di jalanan pasar.
Seluruh kerangka tubuhnya seakan dilolosi tanpa sisa. Dan ketika tubuhnya
menghantam tanah, terciptalah kepulan debu tebal yang merambah di sekitarnya.
"Fhuih...."
Andika membuang napas lega. Rasanya dia seperti baru saja melepas beban amat
berat yang menggelayuti pundaknya. Bertempur dengan orang tak berdosa seperti
Buntar, baginya lebih berat ketimbang harus bertempur melawan tokoh sesat
golongan atas. Bukan karena tingkat kepandaian atau kebuasan yang telah
diperlihatkan Buntar.
Melainkan, karena beban batin yang amat berat jika menurunkan tangan kejam pada
orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Somad dan Rimang lantas bertepuk tangan
menyaksikan keberhasilan Andika melumpuhkan
Buntar. Wajah mereka langsung cerah ceria, tak beda wajah kuli pelabuhan yang
baru mendapat upah. Bibir mereka bahkan sampai bergerak maju mundur saking
senangnya. "Hebat, Den!" seru Rimang.
Andika yang merasa mendapat sanjungan lugu, jadi tersenyum-senyum dalam hati.
"Yah, sudahlah.... Kisanak berdua lebih baik membawa teman Kisanak pulang," ujar
Andika seraya menggandeng bahu kedua lelaki itu.
Rimang dan Somad mengangguk-angguk berbarengan. Setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil menawarkan Andika
singgah ke rumah mereka, Somad dan Rimang akhirnya membawa Buntar pulang.
*** Desa Ambangan terletak tak jauh dari Bandar Sunda Kelapa, salah satu bandar yang
cukup ramai di Pulau Jawa Dwipa. Banyak pedagang dari Malaka yang singgah ke
sana untuk melanjutkan pelayaran ke Maluku. Ada pula para saudagar dari
Tiongkok, Arab, Gujarat, Persi, dan saudagar dari negeri lain.
Sehari setelah kejadian di pasar Desa Ambangan, Andika semula berniat
mengunjungi beberapa negeri di kawasan nusantara dengan menumpang kapal dagang
para saudagar. Namun sejak berurusan dengan lelaki gila kemarin, niatnya
akhirnya diurungkan. Meski demikian, Andika tetap menyinggahi Bandar Sunda
Kelapa. Sekadar untuk melihat-lihat keadaan.
Saat ini kapal dagang dari Maluku merapat di dermaga. Para kuli kapal tampak
sibuk menurunkan
rempah-rempahan dari lambung kapal. Semangat kerja mereka menciptakan keriuhan
yang sampai di telinga Andika. Padahal, dia berdiri dalam jarak yang cukup jauh.
Sementara di tepi dermaga, seorang syahbandar sedang berbincang dengan Saudagar
Ternate pemilik kapal. Dari cara berbicara, tampaknya mereka sedang membahas
sesuatu yang penting, berkaitan dengan denyut perdagangan di bandar ini.
Ketika pandangan Andika beredar ke arah lain, matanya melihat lelaki
berperawakan kekar dan berpakaian pendekar turun dari geladak kapal. Pakaiannya
memperlihatkan ciri khas kstaria Tiongkok.
Bajunya yang memanjang ke lutut, memiliki belahan pada sisi-sisinya. Kalau
bajunya berwarna merah darah, maka celananya yang memanjang berwarna hitam
hingga tertutup lilitan tali sepatunya. Di tepi lengan bajunya, terdapat rajutan
dari benang ber-sepuh emas. Ini menandakan kalau lelaki itu bukan rakyat jelata.
Malah bisa jadi seorang terhormat di negerinya.
Sebagaimana orang Tiongkok, kulitnya begitu kuning. Apalagi ketika wajahnya
disengat sinar mentari. Matanya yang segaris terlihat makin menyipit kala
mentari di ubun-ubun Bandar Sunda Kelapa mengusik dengan sengatannya yang terik.
Kaki orang Tiongkok itu menuruni jembatan menuju tepi dermaga dengan langkah
mantap. Dengan mantap pula kakinya melangkah menjauhi dermaga ke arah Andika berdiri.
Ketika makin dekat ke arah Pendekar Slebor, bisa ditangkap ketampanan wajah
lelaki Tiongkok itu. Dengan ikatan rambut di atas kepala, dia terlihat lebih
muda dari pada usianya yang berkisar antara tiga puluh, hingga tiga puluh
lima tahun. Sekitar tiga puluh tombak dari tempat Andika, dua lelaki lain datang
menyambutnya. Kalau melihat ciri-cirinya, mereka adalah Rudapaksi dan Rudapaksa,
dua pendekar muda yang terlihat di sebuah kedai di pasar Desa Ambangan.
"Selamat datang di Sunda Kelapa, Saudagar Chin Liong!" sambung Rudapaksa, lelaki
yang tertua. Sikapnya penuh keramahan serta kehangatan.
Sambil tetap tersenyum, tangan kanannya diulurkan.
Berbeda dengan sikap Rudapaksa, lelaki Tiongkok bernama Chin Liong tak
memperlihatkan kehangatan.
Dia memang menjabat uluran tangan Rudapaksa.
Namun, wajahnya sedikit pun tak menampakkan seulas senyum.
"Ah, ya. Ini adik seperguruanku. Namanya, Rudapaksi," lanjut Rudapaksa, tak mau
memper-besar hal sepele dari sikap Chin Liong.
Rudapaksi ikut menjulurkan tangan kanan. Lalu disambut Chin Liong dengan wajah
tetap dingin. "Kenapa saudara Chin Liong begitu terlambat dari rencana semula?" tanya
Rudapaksa selanjutnya.
"Mmm, aku terpaksa melalui jalur Maluku, karena musuh kerajaan kami tentu sudah
mempersiapkan penyerangan di sekitar Selat Malaka yang biasa kami lalui... jadi
meski agak jauh, aku harus menempuh Laut Tiongkok Selatan," tutur Chin Liong
dengan bahasa Melayu terpatah-patah.
"Musuh kerajaan?" tanya Rudapaksi agak heran.
"Apa mereka menginginkan benda itu juga?"
Sesaat Chin Liong menatap Rudapaksi lekat-lekat.
"Ya. Mereka bahkan bersedia memenggal kepala rakyat tak berdosa, untuk
mendapatkan benda ini."
Rudapaksa dan Rudapaksi menautkan alis berbareng. Rupanya, mereka mendapat tugas yang tidak main-main dari guru mereka!
*** Sementara itu, ada hal-hal yang mengundang teka-teki di daerah Pesisir Utara
Pulau Jawa Dwipa ini, bagi Andika. Pertama kali menjejakkan kaki, Pendekar
Slebor sudah dihadang pada kejadian aneh. Tentang orang yang tiba-tiba menjadi
hilang ingatan, lalu memiliki kekuatan raksasa dan bertingkah buas.
Sehari berikutnya, Andika dibuat penasaran oleh pertemuan tiga lelaki di Bandar
Sunda Kelapa yang hati-hati memperbincangkan tentang sesuatu.
Bahkan tampaknya akan mengakibatkan pertumpahan darah!
"Aku harus menyelidiki semua itu agar semuanya menjadi jelas," bisik Andika
perlahan. Untuk itu Pendekar Slebor harus pergi ke Danau Panca Warna, sebagaimana
disebutkan kawan Buntar.
Matahari mulai tersuruk di barat cakrawala. Andika pun mengayunkan kakinya,
meninggalkan Bandar Sunda Kelapa yang tetap berdenyut dengan kesibukannya,
kembali ke Desa Ambangan.
*** 3 Di Desa Ambangan, Andika langsung menanyakan letak Danau Panca Warna pada
seorang penduduk yang kebetulan berpapasan dengannya di jalan.
Setelah mengetahui letak danau itu, Andika melanjutkan langkahnya. Namun baru
saja kakinya terayun dua tindak, pemuda desa yang ditanyainya tadi menahannya.
"Tunggu, Kang!" panggil pemuda itu. Andika menoleh.
"Ada apa, Kisanak?" tanya Pendekar Slebor seraya berbalik, dengan penasaran.
"Sebaiknya Kakang jangan ke tempat itu," lanjut pemuda tadi. Wajahnya tampak
bersungguh-sungguh, saat mengucapkan kalimat terakhir.
"Kenapa, Kisanak?" tanya Andika lagi. Wajahnya makin dipulas warna penasaran.
"Apa kau tidak tahu danau itu kini sudah dihuni mambang jahat?" pemuda itu malah
balik bertanya.
Mendengar penjelasan pemuda itu, Andika jadi melepas tawa ringan. Memang,
masyarakat Jawa Dwipa seringkali menghubung-hubungkan satu kejadian dengan halhal berbau takhayul. Bisa jadi, mungkin karena pengaruh kepercayaan nenek
moyang. "Mambang jahatnya pakai brewok, ya," seloroh Andika tanpa maksud mengejek.
Maksudnya, Andika sekadar berkelakar. Tapi kepercayaan seseorang, rupanya
terlalu peka untuk dijadikan sedikit gurauan. Buktinya, pemuda itu
langsung memperlihatkan wajah tak senang pada Pendekar Slebor. Andika akhirnya
hanya bisa mengangkat bahu tinggi-tinggi.
"Kenapa Kisanak bisa berkata seperti itu?"
"Sampai hari ini, sudah lima orang penggali pasir yang tiba-tiba gila setelah
menyelam ke dasar danau...," jelas pemuda itu.
"Lima orang?" penggal Andika tanpa sadar. Tentu saja Pendekar Slebor menjadi
terkejut, sebab yang diketahui hanya Buntar.
"Ya! Kemarin sore empat penggali pasir menjadi hilang ingatan secara bersamaan.
Mereka mengoceh-kan sesuatu yang mereka lihat di dasar danau. Entah, benda apa.
Apa kau belum mendengar berita itu?"
tanya pemuda itu. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya terdengar tertahantahan. Ada kesan ketakutan dalam dirinya.
Andika hanya menggeleng sebagai jawabannya.
Sementara itu, tangannya mengusap-usap dagu perlahan. Tampaknya, berita yang
keluar dari mulut Buntar sinting tak bisa dianggap main-main lagi!
"Jadi, sebaiknya urungkan saja niatmu untuk pergi ke Danau Panca Warna. Para
penggali pasir saja tak sudi lagi menjadikan tempat itu sebagai mata pencaharian sejak hari ini," lanjut pemuda itu, memperingati.
Andika mengangguk-angguk. Bisa dimaklumi perhatian penduduk desa seperti pemuda
di hadapan-nya. Sifat tolong menolong penduduk desa memang masih berakar kuat.
"Terima kasih atas nasihatnya, Kisanak," ucap Andika tulus.
Pemuda itu hanya membalas ucapan terima kasih Andika dengan senyum ramah dan
tulus pula. "Kalau begitu, aku mohon pamit," tutur pemuda itu sopan seraya mengangkat tangan
tinggi-tinggi. "Silakan," sahut Andika, juga mengangkat tangan.
Pemuda desa itu melangkah, meninggalkan Andika yang masih terpaku di tengah
jalan setapak. Ketika dia sudah berjalan sepuluh tombak, Andika segera
menggenjot ilmu meringankan tubuhnya untuk segera tiba di Danau Panca Warna. Itu
sebabnya, ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan sampai pada tingkat yang paling
tinggi. Dalam sekerdipan mata, tubuh Andika sudah lenyap dari tempat berdiri semula.
Bumi seakan menelannya begitu saja. Sementara pada saat yang bersamaan, pemuda
desa tadi menoleh ke arah tempat Andika berdiri. Dia ingin memastikan apakah
Andika melangkah menuju Danau Panca Warna.
Melihat tubuh Andika tiba-tiba hilang tanpa bekas di depannya, biji mata pemuda
desa itu langsung terbelalak tak tanggung-tanggung. Sepasang bola matanya seakan
hendak melompat keluar. Beberapa saat dia tampak tergagap-gagap. Seluruh
wajahnya saat itu pula seperti kehilangan darah. Tak lama kemudian, dia lari
tunggang langgang dengan wajah seputih mayat.
"Tolooong! Ada mambang danau!" jerit pemuda itu terseok-seok.
*** Cakrawala telah diselimuti lembayung, ketika Andika tiba di Danau Panca Warna.
Hari menjelang senja. Matahari tampak memudar berwarna jingga di atas permukaan
danau. Kemilau bayangannya tampak menari-nari bersama riak halus air danau.
Jika diperhatikan sepintas, danau itu berkesan damai. Panorama sore yang
melingkupinya, mampu menyejukkan hati setiap insan yang menikmatinya.
Tidak hanya itu. Kulit pun seperti dimanja dengan hembusan angin sepoi-sepoi
basah yang sesekali berlari di permukaan danau.
Namun di balik kedamaian itu, sebenarnya ter-sembunyi sebuah kekuatan dari luar
bumi pembawa bencana pertumpahan darah. Dan Andika bisa merasakannya, meski
belum bisa menduga lebih jauh akan akibat yang bakal menimpa dunia persilatan
oleh kehadiran benda asing di dasar danau ini.
Pada dasarnya, Pendekar Slebor sudah cukup yakin oleh berita yang disampaikan
Buntar melalui setiap ocehannya. Tak mungkin orang awam seperti Buntar mendadak
memiliki kekuatan raksasa kalau tak ada sesuatu yang mempengaruhinya. Namun
Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu, Andika tetap merasa penasaran untuk melihat sendiri benda yang dimaksud
Buntar dengan mata kepala sendiri.
Maka tanpa berpikir untuk kedua kali, pendekar muda itu langsung melempar diri
ke dalam danau.
Rasa penasarannya yang makin membludak, membuatnya tak sempat berpikir untuk
membuka pakaian.
Byur! Air dingin Danau Panca Warna menusuk seluruh permukaan kulit Andika. Sesaat bisa
dinikmati kesegaran alami, mengenyahkan kepenatan yang sejak siang tadi
menggelayuti tubuhnya. Setelah mengisi penuh paru-parunya dengan udara di
permukaan danau, Andika langsung menyelam.
Cahaya senja ternyata masih cukup mampu
menembus ke dalam danau. Bahkan masih bisa
menerangi dasarnya, biarpun kilaunya sudah redup.
Perlahan-lahan Pendekar Slebor menyelam menuju dasar danau sedalam sekitar
sepuluh tombak. Makin menembus ke dalam, air makin terasa dingin menggigit. Dan
tekanan pun makin memberat di sekitar dadanya.
Saat matanya sudah dapat menangkap permukaan dasar danau, Pendekar Slebor mulai menelusuri dari satu bagian ke bagian
lainnya. Indra penglihatannya saat ini benar-benar dipertajam, agar mampu
menangkap keganjilan keganjilan yang ada.
Namun sampai sejauh itu tak juga ditemukan benda yang dimaksud. Yang terlihat
hanya hamparan pasir danau, batu-batu alam, tumbuhan danau, dan ikan-ikan yang
riang bebas di dalamnya.
Sementara itu, dada Pendekar Slebor mulai terasa sesak. Sudah beberapa kali
napasnya dihembuskan sedikit demi sedikit. Kini, persediaan udara dalam paruparu benar-benar telah menipis. Andika harus kembali ke permukaan dulu untuk
mengambil napas kembali, lalu menyelam lagi.
Dan baru saja Andika hendak membuang sisa udara pernapasannya, tiba-tiba saja
matanya menangkap sesuatu yang amat menarik. Suatu kilauan cahaya merah bara!
Andika memekik girang dalam hati. Pasti, benda ini yang dimaksud Buntar tempo
hari! Maka tanpa mempedulikan sesak di dadanya, mulai didekatinya benda
bercahaya yang berjarak sekitar tujuh tombak dari tempatnya.
Andika makin dekat. Dan matanya pun terus menyipit, karena terpaan cahaya
menyilaukan dari benda asing itu. Anehnya cahaya merah bara menyilaukan itu
terasa seperti mengirimkan getaran
ke dalam diri Andika. Suatu getaran yang makin menarik dirinya, untuk terus
mendekati. Menyadari hal itu, dada Andika mulai berdegup-degup kencang. Dan ini tentu saja
menyebabkan persediaan udara dalam paru-parunya menjadi cepat terkuras. Apalagi,
dia hanya mengandalkan sisa udara saja. Semua itu benar-benar di luar perhitungan. Biarpun telah memiliki pengalaman matang dalam dunia persilatan, namun
dalam menghadapi keganjilan benda itu Andika tak mau ambil resiko.
Segera Andika memutuskan kembali ke permukaan, untuk menghirup udara segar. Setelah itu, dia akan kembali lagi. Tapi,
maksud itu hanya sempat terpercik di benaknya. Sebab satu tarikan tiba-tiba saja
membetot tubuhnya! Kekuatannya lebih kuat daripada cengkeraman tangan-tangan
sepuluh gurita raksasa!
Andika tergagap. Dalam keterkejutannya, air danau jadi tertelan. Tentu saja hal
itu membuatnya makin blingsatan.
Andika sedikit menenangkan hatinya, tapi itu pun tak menolong. Bahkan ketika
dicoba untuk mengerahkan kekuatan sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan,
hasilnya tetap nihil.
"Gila!" maki pemuda itu dalam hati.
Bagaimana dia tidak memaki, kalau kekuatan tarikan tadi seperti menelan kekuatan
sakti miliknya"
Sebagai pendekar keras kepala, Andika tidak mau menyerah begitu saja. Sekali
lagi, tenaga sakti miliknya dikerahkan. Bahkan sampai sehabis-habisnya.
Glrrrblb... blp!
Sekejap, tercipta suatu pusaran besar yang diramaikan oleh beribu-ribu gelembung
udara. Itu pun masih ditingkahi kerjapan sinar menyilaukan akibat benturan tenaga sakti Andika
dengan tenaga tarikan benda aneh itu.
Setelah itu, semuanya bagai tersapu begitu saja.
Sinar menyilaukan yang tadi tercipta, pusaran air, dan ribuan gelembung, lenyap
tanpa bekas. Hanya sisa-sisa pasir yang bertebaran tak beraturan di sekitar
tempat itu. Sementara Andika kembali dikekang tenaga tarikan yang tak bisa
dipahaminya. Andika kian gelagapan. Dan ini amat membahayakan bagi dirinya. Maka tanpa dapat ditahan lagi, pernapasannya menarik air
danau dalam satu sedotan tak disengaja. Air pun merambah ke saluran pernapasan
pendekar muda ini, sehingga membuat dadanya bagai dicabik-cabik sekawanan
serigala. Sesaat kemudian kepalanya berdenyut amat keras, menyusul rasa sakit seakan
dihimpit dua gunung raksasa.
Tubuh Andika kejang. Kesadarannya perlahan mengabur. Begitu pula pandangannya.
Sampai akhirnya, dia tak ingat apa-apa lagi. Pingsan!
*** 4 Seseorang tampak berdiri mematung dalam
kegelapan malam di tepian Danau Panca Warna. Cara berdirinya seperti menantang
rembulan yang bagai mengambang sepenggalan di atas permukaan air Danau Panca
Warna. Pakaiannya berwarna biru tua ketat. Rambutnya pendek dengan ikat kepala
yang sewarna pakaiannya. Di pinggangnya terselip dua toya pendek sepanjang
lengan. Entah, apa yang sedang diperbuat orang itu di tepi danau yang kini dijauhi
penduduk. Yang pasti, matanya jatuh lurus pada bayangan lembut rembulan di
permukaan air. Sesaat kemudian terdengar keluhan dari mulutnya. Setelah itu,
ditariknya napas dalam-dalam, dan dihempaskannya keras. Seakan, dirinya sedang
dirasuki kejengkelan.
Rupanya orang itu telah puas memandang permukaan danau. Setelah sekian lama
hanya berdiam tanpa bergerak, kini tubuhnya dipalingkan untuk segera berlalu
dari tempat sunyi ini. Tapi niat untuk pergi mendadak diurungkan, manakala
matanya menangkap sesuatu terapung lamban di tengah danau.
Orang itu menyipitkan matanya, berusaha mem-perjelas pandangan. Bisa jadi, dia
telah salah lihat.
Namun semakin ditatapnya lebih jelas, malah hatinya semakin yakin kalau
pandangannya tidak keliru.
Yang dilihatnya adalah tubuh seseorang berbaju hijau muda.
"Ya, Tuhan...," desis orang itu meninggi, disergap
keterkejutan. "Aku harus segera menolongnya.
Mudah-mudahan masih bernapas!"
Orang itu lantas berlari menuju sebuah sampan kecil yang tertambat tak jauh dari
tempatnya. Dengan sigap, dia melompat ke lambung sampan. Gerakannya terlihat
amat ringan. Sehingga sampan itu tidak terbalik meski kakinya menjejak di
sisinya. Diambilnya pengayuh yang tergeletak di lambung sampan.
Lalu dikayuhnya sampan itu penuh ketergesa-gesaan.
Tanpa banyak memakan waktu, orang itu telah sampai di dekat tubuh yang terapung
tadi. Segera diangkatnya tubuh itu ke atas sampan. Setelah berada di pangkuan,
diperiksanya denyut nadi lelaki malang yang ternyata Andika.
"Ahhh," desah orang itu lega. "Untunglah masih bernyawa. Rupanya, kau memiliki
nasib cukup baik, Kisanak. Kalau saja terapung dalam keadaan tertelungkup, tentu
nyawamu sudah ditunggu para penghuni kubur."
*** Pagi telah menjelang, beriring kicau burung di pucuk-pucuk pepohonan. Kabut
tipis tampak merambat lamban, diiringi alunan kokok ayam jantan di kejauhan.
Sementara terabasan sinar tipis di sela-sela dedaunan bagai menghiasi garisgaris ke-hidupan.
Setelah semalaman tak sadarkan diri, kini Andika siuman. Kelopak matanya terbuka
perlahan, lalu mengerjap-ngerjap sesaat.
"Di mana aku?" desah Pendekar Slebor, masih dalam keadaan telentang.
Perlahan pemuda itu bangkit, lalu duduk lemah di
bibir balai-balai bambu tempatnya terbaring. Sambil menarik napas berkali-kali,
pandangannya beredar ke sekeliling ruangan.
Ternyata, Andika berada dalam sebuah gubuk kecil yang terbilang kotor. Di sana
sini terlihat sarang laba-laba serta debu tebal. Di lantai tanah, tampak bekas
api unggun yang masih mengepulkan asap tipis.
Sementara, jendela yang hanya satu-satunya di gubuk bilik itu sedikit terkuak,
membiarkan cahaya matahari menerobos masuk.
"Ke mana tuan rumah yang jorok ini!" gerutu Andika.
Andika segera bangkit, dan melangkah menuju pintu gubuk yang sudah berlubanglubang dimakan rayap. Matanya lantas mengerut, tatkala sinar matahari menimpa
wajahnya yang agak pucat.
Dengan tangan kanan, dia berusaha menghalangi cahaya matahari yang langsung
menimpa matanya.
Setelah dapat menguasai silau, matanya mulai mencari-cari. Tentu saja hendak
mencari pemilik gubuk yang seperti kandang setan itu.
"Oi, Kisanak!" seru Pendekar Slebor tatkala matanya telah menemukan seseorang
berbaju biru tua sedang memancing.
Dengan agak tertatih, gubuk di tepi danau tadi ditinggalkannya untuk menghampiri
orang berbaju biru yang membelakanginya.
"Kisanak," tegur Andika sekali lagi, karena orang itu sama sekali tidak menoleh
waktu diteriakinya tadi.
Tangannya dijulurkan ke bahu orang berambut pendek itu, lalu disentuhnya.
Orang yang ditegur akhirnya menoleh juga. Dan betapa terperanjatnya Andika,
ketika melihat wajah orang berambut pendek yang ternyata seorang
wanita. Sedikit gelagapan, Andika segera menarik tangannya dari bahu wanita itu.
"Ma.... maaf, Nisanak. Aku tak bermaksud kurang ajar. Kukira kau...," ucap
Andika terbata.
"Lelaki?" terabas wanita itu, seperti tidak mempedulikan ucapan Andika. "Atau
memang kau berpura-pura tidak tahu, agar dapat menyentuh tubuhku?"
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Apalagi yang meski dikatakan kalau menghadapi wanita kenes macam ini.
"Kenapa aku berada di gubukmu?" tanya Andika lagi.
"Itu bukan milikku, tapi hanya gubuk terbengkalai di tepi danau ini. Tapi yang
penting bisa dimanfaatkan untuk bermalam," sahut wanita tadi, acuh. Kemudian dia
terlihat asyik kembali dengan kailnya.
"Jadi, kenapa aku berada di gubuk itu?" ulang Andika, sedikit memperbaiki
kalimatnya. "Kau sendiri kenapa berada di danau ini?" wanita itu balik bertanya, tanpa
berpaling. "Aku?" Andika tergugu.
Entah kenapa, Pendekar Slebor tak ingat apa-apa lagi. Tentang kejadian yang
kemarin sore dialaminya pun tidak ada di benaknya. Itu sebabnya, dia tak
mengerti maksud ucapan wanita di depannya.
"Kenapa aku ada di danau ini?" tanya Andika kebodoh-bodohan.
Ucapan Andika barusan tentu saja memancing kejengkelan wanita berambut pendek
ini. "Kau orang dungu atau pemuda pikun?" ledek wanita itu memalingkan tubuhnya ke
arah Andika. "Aku..., aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa.
Apa kau sudi menjelaskan padaku?" pinta Andika.
Wajahnya tampak sulit dijelaskan, dengan alis terangkat kecil.
Wanita itu menatap Andika lekat-lekat. Kelopak matanya yang berhias bulu mata
lentik berwarna legam, tampak mengerut. Begitu juga kening di wajahnya. Setelah
menemukan kesungguhan di wajah Andika, wanita itu tersenyum tipis.
"Aku menemukanmu terapung di danau ini tadi malam."
"Aku" Terapung" Kenapa begitu?" tanya Andika beruntun.
Pendekar muda itu benar-benar diombang-ambing kebingungan. Tak ada sedikit pun
ingatan yang tertinggal di kepalanya.
"Mana aku tahu!" sahut wanita itu cepat. Kembali dia jengkel. Lalu, tubuhnya
berbalik lagi. Kailnya kali ini rupanya mendapat mangsa.
"Hih!"
Berbareng dengan satu teriakan kecil, wanita itu menarik kail yang bergerakgerak. Tapi yang terkait di mata kail membuat wanita itu tertawa renyah.
"Hi hi hi...! Kukira mendapat ikan besar, tak tahunya hanya kain gombal!" ujar
wanita itu diselingi tawa sambil menggoyang-goyangkan kail yang kini digelayuti
kain bercorak catur.
Sementara dia sibuk tertawa, Andika malah menatap kain itu penuh perhatian. Kain
itu meng-ingatkannya pada sesuatu. Tapi, entah apa. Pendekar Slebor sendiri
masih samar. "Hey" Kenapa kau tidak tertawa?" sentak wanita berambut pendek ini pada Andika.
"Apa kau tidak berselera untuk berguyon?"
Andika menyahuti hanya dengan gelengkan
kepala. "Huh! Rupanya aku telah menolong pemuda
bodoh," rutuk wanita itu dongkol.
Andika tak mempedulikan. Malah kakinya melangkah kembali menuju gubuk dengan
kepala tertunduk. Benaknya masih tidak habis pikir, kenapa ingatannya hilang
begitu saja. "Apakah aku memang pemuda bodoh seperti
disebut wanita itu" Lalu, siapa aku" Siapa namaku"
Dan, kenapa aku berada di sini?" kata batin Pendekar Slebor, bertanya pada diri
sendiri. "Hey!" panggil wanita tadi. "Kau tidak tersinggung dengan ucapanku tadi, kan?"
Andika menoleh, lalu menggeleng.
"Aku Ratna Kumala. Kau boleh memanggilku Ratna. Siapa namamu?" lanjut wanita itu
bersama sebaris senyum tipis sebagai permohonan per-sahabatan.
Andika menaikkan keningnya. "Aku tidak tahu,"
jawab pemuda itu perlahan. Ratna Kumala merengut lagi. "Nisanak! Boleh aku minta
kain itu?" pinta Andika.
"Untuk apa gombal ini?" tukas Ratna Kumala, sambil menahan tawa.
"Aku tidak tahu. Rasanya kain itu ingin kumiliki."
Ratna Kumala tertawa. Kali ini lebih nyaring, dan terdengar riang.
"Kau bisa menjengkelkan, sekaligus lucu! Nih!
Ambillah!"
Ratna Kumala melempar kain bercorak catur basah pada Andika. Dan seketika
Pendekar Slebor pun menangkapnya.
"Terima kasih," hatur Andika.
Kemudian Pendekar Slebor melanjutkan langkahnya, meninggalkan wanita itu.
"Hey! Jangan panggil aku Nisanak lagi, ya! Apalagi Kisanak!"
Andika tak menyahut, dan terus berjalan sambil terus mengamati kain bercorak
catur di tangannya.
*** Desa Ambangan kini telah dibanjiri pendatang dari berbagai daerah. Mereka ratarata tokoh persilatan, baik dari golongan putih atau hitam, dari kelas bawah
hingga kelas atas.
Orang-orang itu layaknya semut yang mendatangi gula. Ya! Desa Ambangan
belakangan ini menjadi gula bagi seluruh kalangan persilatan, setelah tersiar
kabar tentang benda sakti di dasar Danau Panca Warna.
Tujuan utama mereka tentu saja untuk mendapatkan benda sakti itu. Di samping,
ada pula yang hendak bertemu rekan segolongan, yang pada umumnya dilakukan oleh
para pendekar golongan putih.
Sementara ada pula yang berniat mencari guru atau menjajal ilmu yang sudah
dimiliki. Dan pagi ini, datang lagi tiga orang berpenampilan sangar. Yang seorang adalah
laki-laki berwajah penuh brewok kasar. Rambutnya berdiri tegak, seperti duri
landak. Matanya memancarkan sinar kekejaman dengan alis yang tumbuh samar-samar.
Hidungnya pesek. Wajahnya yang berbentuk persegi, menampakkan rahangnya yang
kokoh. Lelaki berperawakan tinggi besar itu dikenal dengan nama Atma Sungsang.
Yang berjalan di tengah bernama Kebo Ireng. Jika mendengar namanya, bisa
terbayang kalau
perawakannya besar dan kekar. Padahal sebaliknya,
justru lelaki itu berbadan kerempeng. Dan tubuhnya paling tinggi dibanding dua
temannya. Wajahnya tirus, sebagaimana orang kurus. Hidungnya lancip dan matanya
cekung. Sejumput jenggot ikut menghiasi wajahnya yang mirip tikus.
Yang terakhir bernama Jarjaran. Melihat penam-pilannya yang mirip Atma Sungsang,
sudah bisa dipastikan kalau dia masih bersaudara dengannya.
Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bedanya, Jarjaran tidak memelihara brewok. Dagunya tampak licin, karena sering
dipangkas dengan goloknya.
Mereka bertiga mengenakan pakaian sewarna.
Hitam. Celananya sebatas lutut. Laki-laki bernama Atma Sungsang menyandang
parang berukuran besar pada pinggangnya. Sedangkan Kebo Ireng membawa senjata
berbentuk kipas.
Ketiga lelaki sangar itu kini memasuki sebuah penginapan. Sebagaimana desa yang
dekat bandar, penginapan itu diramaikan oleh para pendatang dari beberapa negeri
yang menginap untuk menunggu bongkar muat barang di kapalnya. Namun mulai tiga
hari yang lalu, penginapan ini juga dipenuhi para pendekar yang mengisi kamar
demi kamar di sana.
Kebo Ireng selaku lelaki tertua, memasuki ruang tengah penginapan lebih dahulu.
Langkahnya terlihat angkuh. Tak beda Atma Sungsang dan Jarjaran di belakangnya.
"Kami pesan tiga kamar," ucap Kebo Ireng dingin pada pemilik penginapan di meja
penerimaan tamu.
"Aduh.... Sayang sekali, Tuan. Kami hanya punya sisa dua kamar," jawab pemilik
penginapan ramah.
"Tiga!" terabas Kebo Ireng, keras.
"Wah! Kalau Tuan menghendaki tiga kamar, sebaiknya cari di penginapan lain saja.
Barangkali di sana masih banyak kamar, Tuan...," usul pemilik penginapan, sambil tersenyum
sopan. "Jangan bertele-tele! Menyediakan tiga kamar, atau ditukar nyawamu"!" ancam Kebo
Ireng, tetap dingin.
Diancam seperti itu, laki-laki tua pemilik penginapan ini jadi mengerut.
Wajahnya berubah pias pasi.
"Ma..., af, Tuan. Kami sungguh-sungguh hanya punya dua kamar. Kamar lain sudah
terisi semua,"
ucap laki-laki tua itu agak memelas.
Brakkk! Baru saja ucapan pemilik penginapan itu selesai mendadak saja Kebo Ireng
menggebrak meja setinggi pinggang di depannya.
Gebrakannya terlihat ringan. Tapi akibatnya tidak pernah diduga. Meja jati itu
langsung jebol berkeping-keping. Padahal tebalnya hampir sejari telunjuk.
Pemilik penginapan tersentak ke belakang. Wajahnya makin memucat. Bulir-bulir
keringat dingin pun sudah membasahi keningnya.
"Apa kau tak punya otak"! Kenapa tak diusir saja seorang tamu yang menempati
kamarmu?" dengus Kebo Ireng tanpa perubahan pada wajahnya. Wajah dan bicaranya
tetap dingin. Sedangkan matanya memandang penuh ancaman.
"Ba..., bagaimana aku harus mengusir tamuku sendiri, Tuan?" jawab pemilik kedai,
masih berusaha menolak.
"Kau bertele-tele sekali, Bangsat!" hardik Atma Sungsang dari belakang Kebo
Ireng. Lelaki ini rupanya sudah tidak sabar lagi. Gagang parang di pinggangnya bahkan
sudah diangkat.
Namun, Kebo Ireng mengangkat tangan kanannya,
memberi isyarat pada Atma Sungsang untuk tetap tenang.
"Jangan sia-siakan nyawamu...," ujar Kebo Ireng setengah berbisik pada pemilik
penginapan. "Toh lebih baik kau kehilangan seorang pelangganmu, ketimbang mesti
kehilangan nyawa?"
"Baik..., baiklah," sahut pemilik penginapan terbata-bata.
Kemudian laki-laki tua itu segera meninggalkan meja penerima tamu. Dia naik ke
lantai atas dengan setengah berlari.
Sementara tiga lelaki sangar itu hanya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah
pemilik kedai yang terlihat bagai tikus comberan di mata mereka. Dan tawa mereka
langsung putus ketika....
"Kunyuk! Apa kau kira aku ini anjing yang bisa kau usir seenaknya, hah!"
Terdengar keributan dari lantai atas. Rupanya pelanggan yang hendak diminta
keluar oleh pemilik penginapan, tidak bisa menerima perlakuan itu begitu saja.
Kemudian terdengar suara langkah berlari, diselingi makian-makian kasar.
Pemilik penginapan itu berlari serabutan menuruni anak tangga penginapan yang
terbuat dari kayu yang disusun berputar pada satu tiang. Sementara seorang
lelaki setengah baya berbadan tegap menyusul di belakangnya, dengan mengacungacungkan samurai.
"Ampun, Tuan.... Ampun!" teriak si pemilik penginapan mengiba-iba sambil tetap
berlari. "Berhenti!" bentak Jarjaran.
Kedua yang tengah kejar-kejaran berhenti tiba-tiba begitu mendengar bentakan
yang terasa menggetarkan dinding kayu penginapan.
"Kisanak! Kuminta kau meninggalkan penginapan
ini. Kamarmu akan kami pergunakan," sentak Kebo Ireng lantang dari lantai bawah.
"Apa"!" balas lelaki yang memegang samurai.
Wajahnya yang hitam tampak semakin matang terbakar kegusaran. "Seenak dengkulmu
saja bicara. Kau pikir dirimu raja"!"
Sementara Kebo Ireng menatap laki-laki itu disertai sebaris senyum sinis.
Sikapnya begitu mengejek, seolah-olah menganggap kemarahan lelaki setengah baya
itu hanya sebagai tontonan meng-asyikkan.
"Jangan menatapku seperti itu, Kunyuk!"
Kebo Ireng malah terkekeh.
"Kau terlalu banyak bacot, Kisanak," cemooh Kebo Ireng seraya menjentik pecahan
meja jati di depannya.
Zing! Mendadak melesat sesuatu dari tangan Kebo Ireng. Begitu cepatnya, sehingga lakilaki yang memegang samurai tak menduga sama sekali. Dan....
Jep! "Wuaaa...!"
Lengkingan panjang terdengar dari mulut lelaki setengah baya malang itu. Tanpa
pernah diduga, pecahan kayu itu ternyata langsung menembus perutnya. Dari sini
bisa diukur, betapa dahsyatnya tenaga dalam Kebo Ireng.
"Satu... dua," dengan santai Kebo Ireng meng-hitung. "Tiga..."
Bersamaan dengan berhentinya hitungan Kebo Ireng, tubuh lelaki itu ambruk, lalu
menggelinding di atas anak tangga.
Brak! Tubuh laki-laki itu baru berhenti bergulir, setelah
menabrak dinding ruangan di bawah. Tak ada gerakan sedikit pun di tubuhnya.
Tampak darah mengalir dari lukanya akibat terjangan pecahan kayu.
Sementara, semua mata memandang ke arah
sosok yang telah diam tak berkutik lagi. Sedangkan mata Kebo Ireng telah tertuju
pada pemilik penginapan.
"Nah! Sekarang, kami bisa mendapat kamar, bukan?" kata Kebo Ireng pada pemilik
penginapan. Pemilik penginapan tak bisa menyahut. Tubuhnya masih mengejang kaku, setelah
menyaksikan satu kejadian mengerikan. Bibirnya bergetar hebat, seakan hendak
mengucapkan sesuatu yang tak bisa di-keluarkannya.
"Tidak perlu, Ki. Beri saja mereka kandang kambing!" tiba-tiba terdengar suara
wanita yang berasal dari pintu masuk penginapan.
Sumpah Palapa 5 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Rajawali Lembah Huai 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama