Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun Bagian 1
ASMARA PUTRI RACUN Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Asmara Putri Racun
128 hal. https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Semburat cahaya jingga di langit menandakan fajar telah menyingsing. Ranting-ranting
pohon meliuk gemulai terbawa irama hembusan
sang bayu. Butiran embun berjatuhan dari lembar-lembar daun, membasahi tanah kering musim kemarau. Pemuda tampan yang tidur di atas dahan
pohon ini tersentak tatkala telinganya menangkap suara titir kentongan. Dia
pertajam pendengaran-nya untuk mengetahui dari mana asal suara yang
didengarnya. "Dusun Pakiaplang agaknya sedang tertimpa musibah...," kata hati si pemuda. "Tadi siang beberapa warga dusun itu telah
menyambutku seperti layaknya menerima tamu terhormat. Mereka telah menanam budi kepadaku. Maka, berdosalah aku bila tak memberi pertolongan."
Berpikir demikian, pemuda bernama Saka
Purdianta alias si Dewa Guntur ini lalu meloncat dari atas dahan yang telah
menopang tubuhnya
semalaman. Pakaiannya yang berwarna coklat
bergaris-garis hitam tampak berkibar saat tubuhnya meluncur turun setinggi dua
tombak. Tak ada suara yang terdengar ketika putra
Tumenggung Sangga Percona ini mendarat di tanah dengan bertumpu pada ujung jari kaki. Seperti bola karet, tubuh pemuda tampan ini lalu
mental ke udara. Dalam keadaan masih melayang, dia merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Begitu menginjak tanah lagi, tubuhnya melesat secepat kilat ke utara.
Untuk kedua kalinya Saka Purdianta terkesiap. Segera pemuda ini menghentikan lesatan
tubuhnya, lalu menyusup ke semak-semak yang
tumbuh di tepi jalan. Walau samar-samar, mata
Saka Purdianta dapat menangkap kelebatan tubuh seorang lelaki tinggi besar berpakaian serba kuning.
"Hmm.... Menilik buntalan yang dikempitnya di tangan kanan, orang itu tentu habis melakukan pencurian atau perampokan
di Dusun Pa- kiaplang. Aku akan menangkapnya hidup-hidup.
Biar kepala dusun yang menghukumnya."
Namun, Saka Purdianta jadi kecewa karena
orang yang hendak ditangkapnya tidak lewat di
depannya. Orang itu membelokkan arah larinya
memasuki hutan. Bergegas Saka Purdianta meloncat dari tempat persembunyiannya.
Diam-diam Saka Purdianta merasa kagum
akan kegesitan orang yang sedang dikuntitnya.
Lelaki tinggi besar yang rambutnya dikuncir dua itu dapat melesat cepat hingga
tubuhnya berubah jadi bayangan yang hampir tak dapat diikuti pandangan mata.
Agaknya dia telah mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Berkat matanya yang tajam, walau dalam
remang-remang fajar, Saka Purdianta masih dapat melihat benda terbungkus kain selimut di
kempitan lelaki tinggi besar. Saka Purdinta menjadi geram sekali ketika sayup-sayup didengarnya suara rintihan menyayat hati.
Suara itu berasal dari benda yang dikempit lelaki tinggi besar. Tak salah lagi,
itu adalah tangisan bayi yang agaknya telah mengalami siksaan hebat. Terbersit
dari rintihannya yang putus-putus.
"Menurut cerita ayahku, di rimba persilatan ada beberapa tokoh tua yang menggunakan
darah bayi sebagai sarana untuk menyempurnakan ilmu kesaktiannya. Apakah orang itu salah
satu dari mereka" Hmm.... Walau aku juga bukan
orang baik-baik, tapi hati kecilku tak rela melihat seorang bayi tak berdosa
mesti mati karena dijadikan tumbal...."
Saka Purdianta mengerahkan seluruh kemampuan berlari cepatnya. Tapi, lelaki tinggibesar yang sedang dikejarnya agaknya memang
bukan tokoh sembarangan. Setiap kali menjejak
tanah, tubuhnya akan melesat cepat sejauh limaenam tombak. Apalagi ketika memasuki padang
ilalang setinggi manusia dewasa, tubuh lelaki
tinggi-besar benar-benar laksana lenyap dari
pandangan. Saka Purdianta berkali-kali mengumpat
dalam hati. Pemuda ini jadi sangat penasaran.
Hanya karena bantuan matanya yang tajam, dia
tidak sampai kehilangan jejak.
Remang-remang fajar terusir oleh cahaya
perak Sang baskara yang telah beranjak naik.
Tanpa terasa Saka Purdianta telah berlari dua
peminum teh lamanya. Pemuda tampan yang
rambutnya diikat ke belakang ini tampak celingukan ketika bayangan orang yang
dikuntitnya hilang mendadak. Saka Purdianta menghentikan langkahnya
di mulut gua kecil bergaris tengah dua kaki.
"Mungkinkah orang itu memasuki gua kecil ini?"
tanyanya dalam hati.
Berkali-kali Saka Purdianta mengedarkan
pandangan. Pemuda ini jadi sangsi, akan meneruskan pengejarannya atau tidak. Akan tetapi karena sudah kepalang tanggung, dia
memasuki gua kecil yang ditemukannya. Oleh sebab mulut
gua terlalu sempit untuk dapat dimasuki, Saka
Purdianta mempergunakan ilmunya yang bernama 'Melemaskan Tulang Mengerutkan Otot'.
Baru saja Saka Purdianta memasukkan
kepala-nya, dia mendengar suara tawa bergelak
dari dalam gua. Maka, hatinya jadi yakin bila si penculik bayi itu berada di
dalam gua. Sedikit pun tak terdengar suara ketika Saka Purdianta menyelinap masuk. Di saat pemuda
ini bangkit berdiri, matanya melihat sosok bayangan kuning jauh di ujung gua
yang ternyata amat lebar bagian dalamnya. Saka Purdianta tahu bila itu adalah
bayangan orang yang sedang dikejarnya. Saka Purdianta hendak mengejar, namun
dia terkesiap. Hingga, niatnya jadi urung. Ruangan gua yang dimasukinya ternyata
dindingnya dipenuhi tulang-belulang anak kecil. Tulangbelulang itu ditata beraturan hingga tidak tampak
dinding gua yang asli. Cepat Saka Purdianta menekan perasaannya yang jadi tak karuan. Dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, pemuda ini memasuki lorong gua yang ada. Saka
Purdianta merasakan hawa yang lembab dan dingin. Ditambah kesunyian yang mencekam, bulu
kuduk Saka Purdianta pun berdiri. Apalagi seluruh dinding gua dipenuhi tulang-belulang.
Setelah melalui jalan berkelok-kelok yang
naik-turun tak rata, Saka Purdianta sampai di
sebuah ruangan lebar bercahaya terang. Agaknya
sinar matahari dapat menerobos masuk dari celah-celah atas.
Kali ini Saka Purdianta benar-benar dibuat
merinding hingga keringat dingin keluar bercucuran. Lantai gua di mana dia
berada dipenuhi tempurung kepala bayi! Penuh sampai ke sudutsudut ruangan gua!
Menurut perasaan Saka Purdianta, walau
sinar matahari dapat menerobos masuk, tapi dia
yakin ruangan gua tempatnya berdiri berada jauh di bawah tanah. Ini terbukti
ketika dia memasuki lebih jauh ke lorong gua. Bagian atas gua dipenuhi tanah
kapur berujung runcing. Ada yang
menggantung hingga mencapai lantai gua hingga
menyerupai tiang. Tapi, lebih banyak yang berbentuk kerucut menggantung. Menurut cerita
ayah Saka Purdianta, Tumenggung Sangga Percona yang berpengetahuan luas, tonjolan-tonjolan
itu terjadi dari hasil campuran tetesan batu kapur dan air hujan. Karena sangat
banyak dan terjadi
bertahun-tahun, cairan itu lalu membeku. Sebagian menggantung dalam bentuk kerucut Sebagian lagi dapat mencapai lantai gua hingga berbentuk seperti tiang. (Sekarang benda-benda buatan alam itu disebut sebagai
stalagtit dan stalagmit). Dari balik stalagtit yang cukup besar, Saka Purdianta
mengedarkan pandangan. Jantung pemuda ini berdegup lebih kencang tatkala melihat
tubuh bayi yang masih merah berada di atas stalagtit yang sengaja dirobohkan.
Menilik kain selimut yang dijadikan alas, Saka Purdianta yakin bi-la itu adalah
bayi yang diculik lelaki tinggi besar yang berpakaian serba kuning. Karena si
bayi tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Saka
Purdianta mengurungkan niatnya untuk memberi
pertolongan. Pemuda ini menyumpah-nyumpah
dalam hati, mengutuk perbuatan si penculik yang sedemikian kejam. Membunuh bayi
yang baru sa-ja dapat menghirup udara dunia!
Kini tahulah Saka Purdianta bila tulangbelulang yang baru saja dijumpainya di mulut
gua adalah berasal dari bayi korban lelaki tinggi-besar yang agaknya menganut
ilmu sesat Saka Purdianta terkesiap. Dan, cepat sekali
pemuda ini menyembunyikan tubuhnya di balik
stalagtit. Terlihat olehnya sesosok bayangan berkelebat menghampiri bayi yang
terbaring tanpa
nyawa. Karena ingin tahu apa yang akan diperbuat oleh lelaki tinggi besar itu, Saka Purdianta tetap bersembunyi di
tempatnya. Terdengar suara tawa dingin menyeramkan. Lelaki tinggi besar meloncat ke atas stalagtit tempat tubuh bayi terbaring.
Orang ini agaknya
belum sadar bila ada sepasang mata yang mengawasi gerak-geriknya.
Kebetulan si lelaki tinggi-besar duduk dengan muka menghadap Saka Purdianta. Sehingga
dengan jelas Saka Purdianta melihat wajahnya
yang penuh bulu kasar. Kulit tubuhnya juga penuh bulu kasar seperti orang hutan. Dahi dan
kedua pipinya terdapat banyak luka goresan senjata tajam. Saka Purdianta tidak mengenal siapa tokoh yang sedang diintainya itu
walau dia seorang pemuda yang sudah cukup matang pengalaman karena banyak mengembara dan berjumpa
dengan tokoh-tokoh tua rimba persilatan.
Mendadak, sambil mengeluarkan gerengan
keras yang bercampur dengan suara tawa, lelaki
muka buruk yang sudah berusia lanjut mengangkat si bayi di depan wajahnya. Di lain kejap, kepala si bayi sudah masuk dalam
cengkeraman jari-jari panjang penuh bulu, yang kemudian diangkat tinggi-tinggi
Geram kemarahan yang menggeluti hati
Saka Purdianta semakin menjadi-jadi melihat
perbuatan si muka buruk yang akan ditimpakan
kepada si bayi. Saka Purdianta hendak meloncat
keluar dari persembunyiannya. Tapi karena dia
tahu bila si bayi sudah tiada bernyawa, maka dia mengurungkan niatnya untuk
memberi pertolongan sekaligus mengajar adat si muka buruk yang
sudah dapat dipastikan sebagai tokoh jahat yang suka berbuat kejam. Akhirnya,
Saka Purdianta cuma memperhatikan lebih lanjut perbuatan
orang yang sedang diintainya.
Tampak kemudian, si muka buruk menancapkan jari-jari kedua tangannya ke kepala si
bayi. Sebuah aliran tenaga dalam dahsyat mengalir, membuat hancur isi perut si bayi. Lebih hebat lagi, darah si bayi yang
hampir membeku terhisap masuk ke pembuluh-pembuluh darah si muka
buruk lewat sepuluh jari tangannya!
Saka Purdianta terperangah sekaligus terkejut luar biasa. Waktu si bayi diturunkan, tubuhnya telah kering layu tanpa tulang. Hanya berupa kulit tanpa darah ataupun
daging! Keterkejutan Saka Purdianta berubah jadi perasaan ngeri ketika melihat si muka buruk
melempar bangkai
di bayi seperti melempar kertas!
Sambil menarik napas panjang berulang
kali, Saka Purdianta menekan perasaannya yang
menyentak-nyentak tak karuan. Apa yang dilihatnya barusan mengingatkannya pada cabang pelajaran ilmu tenaga dalam India yang lihai bukan
main. Untuk dapat menguasainya membutuhkan
waktu sekurang-kurangnya sepuluh tahun. Dan,
apabila sudah mencapai tingkatan terakhir, orang yang mempelajarinya membutuhkan
darah bayi sebagai sarana penyempurnaan. Tidak sedikit tokoh rimba persilatan tanah Jawa yang mengetahuinya. Tapi karena ilmu itu terlalu kejam, mere-ka jadi tidak sampai hati
mempelajari atau mendalaminya. "Hmm... Siapa sebenarnya orang itu?"
tanya Saka Purdianta dalam hati. "Menilik tubuhnya yang tinggi-besar dan
kulitnya yang penuh bulu, tampaknya dia memang orang India.
Tapi kalau dilihat dari cara berpakaiannya, menunjukkan bahwa dia orang Jawa. Mungkinkah
Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia orang India yang telah lama tinggal di tanah Jawa?" Terbawa rasa penasaran,
Saka Purdianta menajamkan penglihatannya untuk terus mengintai gerak-gerik si
muka buruk. Saka Purdianta
melihat cukup jelas lelaki tinggi-besar itu mengeluarkan sebuah kitab putih dari
balik bajunya. Terdengar si muka buruk tertawa terkekeh-kekeh
sambil menimang kitab di tangannya. Akan tetapi, tiba-tiba dia menghentikan tawanya seraya
memalingkan muka seperti sedang menajamkan
pendengaran. Dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, dia menyimpan kembali kitab putihnya ke balik bajunya.
"Hei! Siapa itu"! Cepat tunjukkan batang
hidung!" si muka buruk membentak dengan bola mata melotot lebar.
Saka Purdianta terkesiap. Pemuda ini
menduga bila tempat persembunyiannya telah diketahui. Saka Purdianta jadi tak habis mengerti.
Bukankah dia telah menggunakan ilmu simpanannya pada tingkat yang paling tinggi" Apakah
lelaki tinggi-besar itu mampu mencium keberadaannya walau dia telah mengetrapkan ilmu
'Penghilang Tanda Kehidupan'" Ilmu 'Penghilang
Tanda Kehidupan' adalah ilmu ajaran guru Saka
Purdianta yang dapat menyamarkan dengus napas dan detak jantung. Jangankan manusia, serigala yang mempunyai indera penciuman tajam
pun tak akan dapat mengetahui keberadaan Saka
Purdianta bila dia telah mengetrapkan ilmunya
itu. Tapi bila si muka buruk dapat mengetahuinya, dia tentu tokoh sakti pilih tanding yang pasti melebihi kesaktian Saka
Purdianta atau bahkan gurunya sekalipun!
Namun pada saat Saka Purdianta hampir
menampakkan diri, berkelebat sesosok bayangan
dari lorong gua yang sebelah depan. Kelebatan
bayangan itu disertai runtuhnya tiga buah stalagmit, yang meluncur deras dari atas hendak
meremukkan tubuh si muka buruk!
Blarrr...! Timbul ledakan keras saat si muka buruk
menghantam tiga buah stalagmit yang mengancam jiwanya. Batu kapur berbentuk kerucut itu
kontan hancur berkeping-keping!
Si muka buruk mendengus gusar ketika
melihat seorang nenek telah duduk santai di atas stalagtit, sekitar tiga tombak
dari stalagtit yang ditempatinya.
Saka Purdianta bernapas lega. Kiranya
yang diteriaki si muka buruk bukan dirinya, melainkan nenek yang baru datang itu. Lewat matanya yang tajam, Saka Purdianta dapat melihat
wajah si nenek yang ternyata sama buruk dengan
walah lelaki berbulu lebat yang didatanginya. Dia memakai pakaian putih-hitam,
dan tampak kotor
sekali sepertinya dia habis keluar dari pertapaan.
"Ah, kiranya kau yang datang, Nenek Keparat!" Terdengar si kakek berteriak memekakkan telinga. Nada ucapannya sungguh
membuat Saka Purdianta tersenyum geli. Walau si kakek berteriak keras sekali, namun jelas menunjukkan nada kasih sayang dan kerinduan.
Suatu tanda bahwa
dia pernah berhubungan dekat dengan si nenek.
"Angin apakah yang telah membawamu
kemari, Prabandati?" lanjut kakek muka buruk, menyebut nama si nenek.
"Tua bangka keparat Prajna Singh! Lupakah kau pada perjanjian kata dua puluh tahun
yang lalu"!"
Prajna Singh" Tergerak hati Saka Purdianta mendengar nama kakek muka buruk yang jelas
menunjukkan nama orang India. Segera mengingat-ingat cerita ayahnya. Hanya dalam beberapa
tarikan napas saja Saka Purdianta sudah dapat
mengetahui siapa sebenarnya orang India itu.
Prajna Singh adalah putra kedua seorang
raja di India. Karena bukan putra mahkota, dia
tak mungkin menggantikan kedudukan ayahnya.
Terbawa ketamakannya, dia bermaksud merebut
takhta secara paksa. Namun karena dia berotak
cerdas, dicarinya cara halus. Dia menjual rahasia istana kepada negara tetangga
dengan harapan di kelak kemudian hari negara tetangga itu bersedia
membantunya untuk melakukan pemberontakan.
Sayangnya, siasat liciknya terbongkar. Orangorang istana pun membencinya, tak terkecuali seluruh rakyat. Ayahnya berniat
menjebloskannya
ke dalam penjara. Tapi, rakyat malah menuntut
agar dia dijatuhi hukuman mati.
Untuk menyelamatkan diri, terpaksa Prajna Singh melarikan diri. Hingga bertahun-tahun
kemudian, tak terdengar lagi kabar beritanya.
Banyak orang mengatakan bahwa Prajna Singh
telah bunuh diri karena tak tahan hidup menderi-ta. Banyak pula yang mengatakan
bila Prajna Singh menemui ajalnya karena dikeroyok tokohtokoh sakti yang membencinya. Tapi sesungguhnya Prajna Singh melarikan diri ke tanah Jawa.
Kemudian, dia bertemu dengan Prabandari, nenek
yang kini mendatanginya.
"Oh ya! Sungguh kau mempunyai ingatan
yang baik. Aku sendiri benar-benar telah lupa.
Kalau tidak salah, dua puluh tahun yang lalu,
aku berjanji akan menyambut kedatanganmu di
liangku ini. Sungguh aku sudah tua dan menjadi
pelupa.... Mari... mari minum bersamaku...," ajak Prajna Singh sambil
melambaikan tangannya.
"Pelupa?" ejek Prabandari. "Kukira kau hanya pura-pura lupa! Aku tidak butuh
arak ha-rammu! Aku datang hanya untuk menagih janjimu. Bersiap-siaplah...!"
Di ujung kalimatnya, si nenek bangkit berdiri. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat cepat,
yang dibarengi kata-kata, "Aku hendak melihat
kemajuan apa yang telah kau peroleh selama dua
puluh tahun ini!"
Lelaki muka buruk Prajna Singh tertawa
bergelak. Dia tidak menangkis atau memberi perlawanan. Ketika pukulan si nenek sudah dekat,
dia cuma menggeser tubuh ke kanan.
"Nenek keparat Prabandari! Apakah kau tidak dapat bersabar" Atau, otakmu memang telah
kena Racun Ingatan, yang membuat dirimu jadi
lupa bahwa kita pernah sama-sama mencicipi
manisnya hidup sebagai suami-istri selama sepuluh tahun" Tak perlu kau tergesa-gesa. Tenangkan pikiranmu. Marilah kita minum arak sambil
menceritakan pengalaman masing-masing. Setelah sekian lama berpisah, tidakkah kau ingin melepas rindu?" ujar Prajna Singh
dengan nada sungguh-sungguh.
"Hmm.... Baiklah, kuterima tawaranmu.
Anggaplah untuk babak pertama ini aku telah
takluk oleh bujuk-rayumu. Hi hi hi...!"
Sambil tertawa genit, Prabandari yang parasnya sama buruk dengan Prajna Singh, duduk
di hadapan bekas suaminya itu. Sementara, Prajna Singh tertawa bergelak penuh luapan rasa
gembira. Dia lalu meloncat dari atas stalagtit. Beberapa kejap mata kemudian,
dia telah kembali
ke hadapan di nenek dengan membawa belahan
tempurung kepala bayi berisi arak merah.
"Terimalah ini cawan arakku...," ujar Prajna Singh seraya menyodorkan tempurung
kepala bayi berisi arak merah.
Prajna Singh bersikap menghormati sekali.
Tempurung kepala bayi yang tercengkeram di antara sepuluh jarinya disorongkan ke muka dengan badan membungkuk dan kepala menghadap
ke bawah. Namun, apa yang dia lakukan bukanlah penghormatan yang sewajarnya. Lewat sepuluh jarinya yang panjang-panjang berbulu, dia
mengalirkan tenaga dalam tingkat tinggi.
"Terima kasih... terima kasih...," sambut Prabandari dengan mengulurkan kedua
tangannya. Agaknya Prabandari pun telah mengetahui
maksud tersembunyi Prajna Singh yang ingin
menjajal kepandaiannya. Pada saat kedua tangan
Prabandari terjulur ke depan, urat-uratnya terlihat membiru. Jelas bila
Prabandari juga mengalirkan tenaga dalam tingkat tinggi.
Prajna Singh tak menarik kedua tangannya
ketika Prabandari telah menyentuh tempurung
kepala bayi. Mendadak, arak merah mendidih
kemudian bergolak dan mengepulkan asap tebal
seperti habis direbus di atas api ribuan derajat panasnya. Prajna Singh dan
Prabandari sama-sama tersenyum. Tapi di balik senyum itu, masing-masing menambah kekuatan tenaga dalam.
Tak ayal lagi, arak merah mengobarkan api, yang kemudian bermuncratan. Dua kejap
mata kemudian, tempurung kepala bayi yang menadahinya
meledak pecah! Cepat sekali Prajna Singh dan Prabandari
menggeser duduknya ke belakang untuk menghindari cipratan arak merah yang panas luar biasa. Permukaan stalagtit yang mereka tempati
tampak berlubang-lubang terkena cipratan minuman keras yang menjadi alat adu kekuatan tenaga dalam itu!
Menyaksikan kehebatan tenaga dalam dua
manusia yang sedang diintainya, Saka Purdianta
terkagum-kagum dalam hati. Pemuda ini semakin
tertarik untuk terus mengetahui apa yang akan
diperbuat oleh Prajna Singh dan bekas istrinya.
"Ha ha ha...!" Prajna Singh tertawa bergelak. "Selama dua puluh tahun kita
berpisah, ternyata kau telah maju pesat, Perempuan Keparat!
Wajahmu juga semakin cantik saja. Tergerak hatiku untuk dapat bermesra-mesraan lagi denganmu.... Melihat keadaanmu ini, tentunya kau sela-lu baik-baik saja. Ha ha ha...!"
"Hmm... hi hi hi...!" Prabandari turut tertawa sambil mempermainkan bola matanya
dan menggoyang-goyangkan kepalanya. Bertolak belakang dengan sikapnya saat baru datang. "Tepat sekali dugaanmu itu, Lelaki
Bangsat! Memang, sejak perpisahan kita tempo hari, aku selalu baik-baik saja.
Malah untuk menagih janjimu, yang
aku duga pasti kau ingkari, aku telah berusaha
keras melemaskan urat, menebalkan daging, belajar membekukan darah dan mengeraskan tulang.
Apakah kitab itu masih tersimpan baik?"
Mendengar ucapan-ucapan Prajna Singh
dan Prabandari yang sering menggunakan katakata kasar, Saka Purdianta tertawa geli dalam hati walau sebenarnya dia muak melihat sikap Prabandari yang dibuat-buat. Namun, Saka Purdianta tak pernah bosan mendengarkan ucapan mereka. Dia makin tertarik untuk mengetahui apa
yang akan diperbuat bekas suami-istri itu. Dan, kitab apa pula yang dimaksud
oleh Prabandari"
"Ha ha ha...! Sudah kubilang, kau tak perlu tergesa-gesa, Perempuan Keparat!
Cobalah kau lupakan dulu urusan lama kita. Aku ingin memeluk tubuhmu yang menggairahkan dan mencium
bibirmu yang tentunya lebih hangat dari yang du-lu pernah kurasakan...."
"Huh! Lelaki bangsat tak tahu malu! Kau
kira aku tak tahu apa yang ada di balik keinginanmu itu! Dari tulang-belulang bayi yang berserakan di tempat ini, tentunya kau
telah mengua- sai ilmu 'Lima Jari Pencabut Jiwa'. Hmmm.... Hi hi hi...! Ketika aku terlena
dalam pelukanmu, kau pasti akan membunuhku dengan ilmu setanmu
itu!' "Ha ha ha...! Sungguh buruk pikiranmu, Perempuan Keparat! Aku memang ingin
membunuhmu, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Karena, aku masih ingin mengulang
masa-masa indah ki-ta sebagai suami-istri. Dan ketahuilah, Perempuan Keparat Istriku Sayang.... Aku telah menguasai ilmu 'Lima Jari Pencabut
Jiwa' dengan sempurna. Beberapa bayi yang kujadikan tumbal akhir-akhir ini bangkainya tak akan bertulang. Itu tandanya ilmu yang kubawa dari
tanah kelahi-ranku telah sempurna. Tidakkah kau merasa
bangga akan berita ini, Sayang...?"
"Cih! Tak punya malu! Lelaki bangsat! Jangan katakan aku bangga atas kemajuan yang kau
peroleh. Ilmu setanmu itu pada akhirnya pasti
akan kau pergunakan untuk membunuhku. Tapi,
jangan dikira aku tak punya penangkalnya!"
Usai berkata, Prabandari tertawa ngakak.
Suaranya keras menggelegar, hingga stalagtit
yang ada di hadapannya runtuh separo tanpa
menimbulkan sedikit pun suara. Yang terdengar
hanyalah tawa panjang Prabandari yang terus
meledak-ledak. Melihat kehebatan tenaga dalam yang ditunjukkan bekas istrinya, Prajna Singh terkesiap.
Tapi, tak hendak lelaki tinggi besar ini memperlihatkan rasa kagumnya. Cepat dia
berkata, "Agaknya kau sengaja pamer kepandaian. Semakin lama, kau membuatku semakin gemas saja. Ha ha
ha...!" Prajna Singh melanjuti tawa Prabandari.
Stalagtit yang telah runtuh separo tadi tiba-tiba hancur-luluh rata dengan
lantai gua. Juga tak
memperdengarkan suara sedikit pun!
"Bedebah...!" geram Prabandari. Mukanya yang buruk penuh keriput semakin
bertambah buruk, karena terbawa luapan amarahnya.
"Maafkan aku, Perempuan Keparat! Bukannya aku hendak pamer kepandaian, tapi maksud hati ini hanya untuk memperlihatkan bahwa
diriku masih pantas untuk menjadi suamimu.
Bukankah begitu, Sayang" Melihat kepandaianmu barusan, kau pun masih pantas menjadi istriku." Mendengar ucapan Prajna Singh, Prabandari tersenyum genit. Matanya
Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerling penuh
arti. Hilang sudah amarah di hati nenek ini.
"Agaknya kau sudah dapat menguasai diri.
Sekarang terimalah peluk kerinduan Prajna Singh yang gagah-perkasa...."
Prabandari sama sekali tak mengelak ketika secara tiba-tiba Prajna Singh menerkamnya!
2 Prabandari memejamkan matanya seraya
balas memeluk. Dengan satu sentakan kasar
Prajna Singh menggulingkan tubuh Prabandari.
Dan, nenek tua renta ini merintih panjang tatkala Prajna Singh mendaratkan
ciuman ganas di lehernya.
"Aku ingin tahu apakah kau lebih perkasa
dari yang dulu, Lelaki Bangsat...!" ucap Prabandari di sela-sela rintihannya.
"Tak usah kau minta, aku pasti akan menunjukkannya. Aku akan membuatmu menggeliat
seperti cacing kepanasan...," sahut Prajna Singh.
"Oh, benarkah itu...?"
"Aku segera membuktikannya...."
Kasar sekali Prajna Singh menanggalkan
pakaian Prabandari satu persatu. Semakin ganas
ciuman Prajna Singh menelusuri sekujur tubuh
Prabandari. Kini bukan rintihan yang keluar dari mulut Prabandari, melainkan
erangan keras yang
menyertai kedua tangan dan kakinya yang menyentak-nyentak.
"Ough.... Kau benar-benar lebih perkasa...,"
ujar Prabandari dengan mata terpejam rapat
Prajna Singh tak menyahuti ucapan yang
didengarnya. Dia membenamkan wajahnya ke
dada Prabandari. Si nenek yang tengah digeluti
nafsu itu pun menggelinjang seraya mendekap
kepala Prajna Singh erat-erat
"Tak tahu malu!" umpat Saka Purdianta di tempat persembunyiannya. "Kalau tahu
mereka akan berbuat menjijikkan seperti itu, tak bakalan aku berlama-lama diam
di tempat ini."
Saka Purdianta menundukkan kepala. Pemuda ini benar-benar tak tahan menyaksikan
adegan yang berlangsung sekitar sepuluh tombak
dari hadapannya. Namun karena masih tersimpan rasa penasaran di hatinya, dia mempertahankan diri untuk tak beranjak dari tempatnya
bersembunyi. Pemuda ini baru menatap lurus ke
depan lagi saat terdengar tawa puas Prajna Singh.
"Ha ha ha...! Ternyata tubuhmu masih tetap hangat seperti dulu. Bahkan, geliatanmu
hampir saja membuat aku kewalahan. Ha ha
ha...!" Prabandari tak menimpali ucapan Prajna Singh. Begitu pakaiannya telah
usai dikenakan,
nenek ini mendengus dengan pandangan berkilat
menatap wajah Prajna Singh lekat-lekat
"Tak dapat kupungkiri bila kau memang lelaki jantan yang sangat perkasa walau usiamu telah bau tanah...," ujar si nenek
kemudian. "Setelah kita sama-sama mereguk kenikmatan, sampailah saatnya kita membuka urusan lama. Seperti janjimu dua puluh tahun yang lalu, sekarang ini kau harus menyerahkan kitab putih itu!"
"Ha ha ha.,.!" suara tawa Prajna Singh menyambung ucapan Prabandari. "Tidak
masuk ak-al! Sungguh tidak masuk akal! Tua bangka seperti dirimu yang sebentar
lagi akan memeluk bumi selama-lamanya, kenapa masih menginginkan kitab
yang hanya pantas dimiliki oleh anak muda...."
"Tutup mulutmu!" potong Prabandari. "Lekas serahkan kitab itu, atau kupecahkan
batok kepalamu!"
"Ha ha ha...! Aku tak akan menyerahkannya. Karena, kau tak pantas memilikinya! Ha ha
ha...!" Prabandari, menggeram marah mendengar ucapan Prajna Singh. Matanya
melotot dan giginya yang tinggal beberapa buah terdengar berkerot-kerot. Lupa sudah nenek ini pada kemesraan yang baru saja didapatkannya dari Prajna
Singh. Lalu dengan suara kaku-dingin, dia berka-ta, "Aku sudah menduga bila kau
akan berbuat culas mengingkari janjimu, Lelaki Bangsat! Tapi, aku masih mau
memberi kesempatan untuk berpikir agar kau tak menyesal nantinya bila aku
terpaksa menjatuhkan tangan maut!"
"Baiklah... baiklah akan kuserahkan kitab
itu. Tapi, tidak sekarang. Kau tunggu setelah aku selesai mempelajarinya. Kitab
itu akan kuserahkan kepadamu setelah ku rubah bentuknya menjadi abu. Ha ha ha...!"
Semakin mendidih darah Prabandari mendengar ucapan Prajna Singh. Kemarahannya memuncak sampai membuat terengah-engah napasnya. Nenek ini semakin lupa bila Prajna Singh
adalah bekas suaminya. Sambil menggereng keras, dia meloloskan empat buah gelang dari pergelangan tangannya. Gelang-gelang
itu berwarna hitam legam. Bulatannya tidak rata. Terbuat dari
perak, yang entah telah diapakan sehingga warnanya bisa berubah hitam-legam.
Di tempat persembunyiannya, Saka Purdianta memandang heran. Apa yang akan diperbuat si nenek dengan empat buah gelang yang garis tengahnya hanya sekitar seperempat kaki itu"
Karena sudah mempunyai pengalaman cukup
luas, dapatlah Saka Purdianta menduga bila gelang si nenek tentu senjata yang amat ampuh.
Terlihat kemudian, Prabandari melontarkan salah satu gelangnya disertai dorongan tena-ga dalam yang luar biasa
kuatnya. Karena khawatir lontaran gelang pertamanya dapat dihindari
Prajna Singh, dia melontarkan juga gelang kedua dan ketiganya!
Sing! Sing! Sing!
Prajna Singh sama sekali tak menjadi terkejut melihat serangan mematikan itu. Dia sudah menduga sebelumnya. Cepat sekali
dia menggu- lingkan tubuh ke lantai stalagmit seraya melontarkan tempurung kepala manusia!
Prakkk...! Walau tenaga lontaran masing-masing sama kuat, tetapi tempurung kepala manusia jelas
kalah keras bila dibanding dengan gelang perak.
Senjata Prajna Singh hancur-luluh. Akan tetapi
karena hempasan tenaga dorong yang amat kuat,
ketiga gelang Prabandari melesat balik hendak
menghajar tuannya!
Prabandari terkesiap, tapi cepat sekali nenek ini dapat menyadari keadaan. Dengan sigap
dia menjulurkan tangan kanannya. Ketiga gelang
melesat masuk ke tempat asalnya. Hebatnya, pergelangan tangan Prabandari laksana dapat berubah jadi karet yang amat kenyal. Ketiga gelang
miliknya terlontar lagi. Sedangkan satu gelang
yang berada di tangan kiri, yang tadi belum digunakan, turut dia lontarkan pula.
Semuanya men- gancam jalan darah penting di tubuh Prajna
Singh! Karena masih khawatir serangannya mengalami kegagalan, Prabandari menjejak lantai stalagmit, hingga tubuhnya melesat
cepat dengan kedua tangan telah mencekal sepasang kapak!
Gerakan ini cepat sekali, sampai-sampai Saka
Purdianta yang tengah mengintai menduga bila
Prabandari dapat menghilang!
Tak kalah cepatnya Prajna Singh merontokkan gelang-gelang yang menghujamnya dengan melontarkan beberapa tempurung kepala
manusia. Di lain kejap, kakek tinggi besar ini telah mencekal senjata tulangbelulang yang dirangkaikan dengan tempurung kepala berada di
ujung, Disertai suara tawa keras menyeramkan,
Prajna Singh menggerakkan senjata cambuk tulangnya ke muka. Sepasang kapak Prabandari
hendak dibelitnya!
Seperti seekor bajing meloncat, Prabandari
melentingkan tubuhnya ke atas. Alangkah terkejutnya nenek keriputan itu. Sewaktu tubuhnya
melayang di atas kepala Prajna Singh, dia merasakan hembusan angin keras dari arah belakang.
Cambuk tulang Prajna Singh berbelok arah hendak menggedor punggung Prabandari!
Trakkk...! Untunglah Prabandari masih sempat melindungi punggungnya dengan putaran salah satu
kapaknya ke belakang. Cambuk tulang tertangkis.
Namun, Prabandari menjerit kecil karena tubuhnya melesat cepat tanpa terkendali karena tenaga dorongan cambuk tulang di
tangan Pranam Singh! Dengan bersalto beberapa kali di udara,
Prabandari dapat mendarat dengan mulus di lantai gua. Sementara, Prajna Singh tertawa bergelak seraya meloncat turun dari
stalagtit "Kulihat wajahmu pucat, Perempuan Keparat!" ejek Prajna Singh. "Tidakkah kau mengurungkan niatmu untuk meminta kitab
putih" Aku
punya dua tawaran untuk dapat kau pilih baikbaik. Pertama, tinggalkan tempat ini setelah aku bersumpah untuk tak akan
menampakkan batang hidung di hadapanku lagi. Kedua, kau boleh tinggal di tempat
ini selama kau suka, tapi kau pun harus bersumpah untuk tak mengungkit-ungkit
lagi masalah kitab putih. Bila tawaran kedua yang kau pilih, kita bisa menjadi
suami-istri lagi, yang tentunya hari-hari akan kita lalui dengan penuh
kemesraan. Ha ha ha...!"
"Jahanam! Lelaki bangsat!" geram Prabandari. "Mestinya kau mengajukan tiga
tawaran, Kunyuk Busuk! Dan, aku pasti akan memilih tawaran yang ketiga itu!"
"Tak ada tawaran ketiga, Perempuan Bawel!" "Ada! Tawaran itu aku sendiri yang membuatnya!"
"Apa?"
"Aku akan pergi dari tempat kotor ini setelah kau berlutut di hadapanku.
Mengakui kesalahanmu, dan menyerahkan kitab putih, lalu bunuh diri dengan memecahkan batok kepalamu
sendiri!" "Ha ha ha...! Rupanya semakin tua, bukan
saja kau semakin menggairahkan, tapi juga semakin pandai melucu. Ha ha ha...!"
Prajna Singh tertawa terbahak-bahak. Bahunya naik-turun dengan kepala tengadah ke
atas. Lelaki itu agaknya hendak berlaku licik.
Sambil terus tertawa, dia menggerakkan cambuk
tulangnya. Namun, Prabandari pun berlaku tak
kalah liciknya. Dia menendang bongkahan batu
kapur yang kebetulan berada di depan kakinya!
Wusss...! Blaaarrr...! Batu kapur sebesar kepala kerbau hancur
berkeping-keping terhantam ujung cambuk tulang yang berupa tempurung kepala. Segera Prabandari meloncat ke belakang karena senjata
Prajna Singh hendak menyodok dadanya. Betapa
terkejutnya nenek tua-renta ini melihat cambuk
tulang yang tak lebih dari dua tombak panjangnya ternyata dapat bertambah panjang. Dengan
mengeluarkan suara berkeretekan, senjata Prajna Singh seakan telah berubah
menjadi seekor ular
hidup yang terus menyambar-nyambar mencari
jalan kematian di tubuh Prabandari.
Dalam keterkejutannya Prabandari masih
sempat membuat gerakan 'Bangau Bermain di
Atas Air'. Sambaran cambuk tulang dapat dihindarinya. Ketika masih melambung di udara, Prabandari melentingkan tubuhnya seraya melancarkan serangan beruntun dengan sepasang kapaknya. Prajna Singh dan Prabandari segera terlibat
dalam pertarungan sengit. Keduanya sama-sama
mempunyai ilmu simpanan yang aneh-aneh.
Membuat Saka Purdianta yang juga bukan tokoh
sembarangan jadi terkagum-kagum. Dan, berkat
kecerdasannya, Saka Purdianta dapat menangkap
beberapa gerakan Prajna Singh dan Prabandari,
yang lalu dicatat dalam otaknya.
Walau dalam gebrakan pertama Prabandari
telah dibuat terkejut oleh kehebatan senjata Prajna Singh, tapi karena dia mampu
bergerak gesit, melebihi kegesitan Prajna Singh yang bertubuh
tinggi-besar, pertempuran jadi berjalan seimbang.
Tanpa terasa seratus jurus telah berlalu. Tak
tampak sedikit pun siapa yang akan kalah. Keduanya masih sama-sama tangguh.
Satu ketika, Prajna Singh ingat sifat ganjil
Prabandari semasa mereka masih hidup bersamasama sebagai suami-istri. Prabandari amat takut pada anjing. Bahkan, pada anak
anjing yang baru lahir sekalipun, Prabandari akan lari terbirit-birit ketakutan.
Teringat akan hal itu, Prajna Singh segera mendapat akal bagus untuk dapat
menyu- dahi perlawanan Prabandari.
Sigap sekali Prajna Singh meloncat dari
ajang pertempuran. Lalu, kakek berbulu lebat itu berteriak-teriak dengan sikap
seperti sedang memanggil anjing. "Belang! Hitam! Segera sergap kedua kaki nenek
bawel itu! Kamu Putih, terkam
punggungnya! Cepat...!"
Wajah Prabandari jadi pucat mendadak.
Nenek tua-renta ini agaknya termakan muslihat
Prajna Singh. Belum sempat Prabandari berpikir
apa yang harus diperbuatnya, cambuk tulang
Prajna Singh telah berkelebat mengincar beberapa jalan darah penting di
tubuhnya. Prabandari jadi kerepotan. Selain harus
menghindari cecaran cambuk tulang, dia pun
mesti menjaga kedua kaki dan punggungnya yang
dia kira hendak dijadikan sasaran terkaman anjing-anjing Prajna Singh. Dalam keadaan seperti itu, pertahanan Prabandari
berkurang enam bagian. Dan, tentu saja Prajna Singh tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang telah diperolehnya. Prabandari meloncat tinggi seraya memba
Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
batkan salah satu kapaknya ke belakang tubuhnya. Maksudnya untuk membelah si Putih yang
dikira benar-benar hendak menerkam punggungnya. Malang bagi nenek berpakaian lusuh-kotor
ini. Begitu babatan kapaknya mengenai angin kosong, dia memekik kesakitan. Bahu kanannya
kena hajar cambuk tulang. Oleh karena senjata
Prajna Singh itu digerakkan oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, otak Prabandari
sampai turut bergetar. Hingga, Prabandari jadi linglung beberapa kejap mata.
Pada saat cambuk tulang ganti
menghajar dadanya, Prabandari memekik lebih
keras. Tubuhnya terlontar, dan membentur dinding gua yang penuh rangkaian tulang-belulang!
Susah-payah Prabandari bangkit berdiri.
Dari mulutnya menyembur darah segar. Tenaga
dalam nenek ini sudah sedemikian tinggi, hingga tulang bahu dan dadanya tidak
sampai remuk. "Setan alas!" maki Prabandari yang telah menyadari bila dirinya telah kena tipu.
"Ha ha ha...!" Prajna Singh tertawa bergelak
"Sebetulnya aku tidak tega untuk mencabut nya-wamu, Nenek Keparat. Tapi kalau
kau nekat, jangan menyesal kalau aku jadi lupa diri dan menjadikan dirimu sebagai korban ilmu 'Lima Jari Pencabut Jiwa'!"
Prabandari menggembor. Dalam keadaan
terluka dalam, nenek ini merasa tak mungkin dapat mengalahkan Prajna Singh. Namun, benaknya
dipenuhi keinginan untuk mati bersama-sama
daripada mati sendiri. Maka tanpa memikirkan
keselamatannya sendiri, dia meloncat ke depan
seraya melontarkan sepasang kapaknya bergantian. Begitu kapaknya terlepas dari cekalan, nenek yang sudah gelap mata ini
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan, melancarkan
pukulan jarak jauh. Tapi, Prabandari tiba-tiba tak dapat melihat lagi, semua
jadi gelap. Menyusul
kemudian, tubuhnya jadi sangat ringan, lalu melayang jatuh ke lantai gua. Seketika itu juga jan-tungnya berhenti berdetak!
Rupanya kepala Prabandari telah pecah
terkena hantaman cambuk tulang. Sementara,
Prajna Singh sendiri mesti merelakan sebagian
daging bahu kirinya tersayat salah satu kapak
yang disambitkan Prabandari.
Prajna Singh marah bukan alang-kepalang.
Matanya berkilat-kilat menatap Prabandari yang
telah terbujur kaku tanpa nyawa. Tanpa mempedulikan bahwa mayat itu adalah bekas istrinya,
Prajna Singh melangkah maju lima tindak. Lalu,
sepuluh jari tangannya meraup kepala Prabandari yang sudah tak karuan lagi
wujudnya. Luar biasa sekali! Mendadak, tubuh Prabandari terangkat
naik dengan kepala tercengkeram sepuluh jari
Prajna Singh! "Ha ha ha...! Perempuan keparat Prabandari! Hari ini kau akan merasakan kehebatan ilmu
'Lima Jari Pencabut Jiwa'!"
Wajah Prajna Singh jadi tegang. Diiringi
suara menggembor amat keras, tiba-tiba pergelangan kaki Prabandari yang terjulur ke atas
tampak terkulai layu. Sekejap mata kemudian,
tubuh Prabandari telah berubah jadi selembar
kulit tanpa daging dan tulang!
Prajna Singh melemparkan lembaran kulit
yang di tangannya. Mendadak, kakek ini menjerit nyaring. Luka di bahu kirinya
terasa panas bukan main bagai ditempeli besi cap kuda yang habis ditempa. Kalau
ada orang terkejut karena disambar petir, seperti itulah yang dirasakan Prajna
Singh saat ini. Luka di bahu kirinya ternyata bertambah lebar dan semakin lama
semakin terasa panas.
"Kurang ajar! Racun...! Racun...!" Prajna Singh memekik-mekik melihat luka di
bahu kirinya yang terus melebar dan membengkak. Dalam kekalu-tannya, terlintas
di benak kakek ini sebuah ilmu mengeluarkan racun yang pernah dipelajari di negeri kelahirannya, India.
Bergegas Prajna Singh menggenjot tubuhnya ke atas, lalu mendarat dalam keadaan terbalik. Kedua telapak tangan menopang tubuhnya
yang terjulur lurus ke atas. Kemudian, dia bergerak melompat-lompat. Lompatan
yang disertai pengerahan tenaga dalam membuat aliran darahnya kacau, memberi tekanan ke kanan dan ke kiri. Luka di bahu kirinya segera mengalirkan darah kental kehitaman. Darah yang
mengandung racun itu lalu menggumpal di punggung telapak
tangan kiri Prajna Singh.
Sepuluh lompatan selanjutnya, panas yang
dirasakan Prajna Singh berangsur-angsur lenyap.
Kejernihan otaknya pulih kembali. Tubuhnya pun
menjadi lebih segar.
Pada lompatan selanjutnya, mendadak kitab putih yang ada di balik baju Prajna Singh meloncat keluar. Saka Purdianta
yang sedang mengintai melototkan mata. Timbul niat buruk dalam benak pemuda ini. Kitab yang
baru saja jadi rebu-tan Prajna Singh dan Prabandari tentu kitab ilmu kesaktian
yang luar biasa, demikian pikir Saka
Purdianta. Maka tanpa pikir panjang lagi, pemuda yang pada dasarnya punya sifat
jahat ini segera meloncat dari tempat persembunyiannya. Karena
telah tahu kesaktian Prajna Singh, dia mengeluarkan seluruh kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya, yang membuat loncatannya melebihi kecepatan anak panah lepas dari busur!
Tahu ada bayangan orang berkelebat ke
arahnya, Prajna Singh terkesiap. Cepat dia normalkan aliran darahnya. Karena masih dalam
keadaan berdiri terbalik, Prajna Singh tidak men-dapatkan cara lain untuk
menghentikan maksud
si bayangan yang hendak menyambar kitabnya,
kecuali menyampokkan gumpalan darah yang ada
di punggung tangan kirinya!
Srattt...! Saka Purdianta yang sudah merasa senang
karena akan dapat menyambar kitab putih dengan mudah, mendadak memekik. Gumpalan darah bercampur racun yang hampir membeku menyiram mukanya. Karena terkejut, mulutnya jadi
terbuka. Akibatnya, lebih dari setengah bagian
gumpalan darah masuk tertelan dan tak dapat
dimuntahkan lagi!
Gagal sudah usaha Saka Purdianta yang
hendak menyambar kitab putih yang tergeletak di lantai sekitar satu depa dari
muka Prajna Singh.
Loncatannya terhenti, dan tubuhnya berdiri ter-huyung-huyung karena pandangannya
mulai ge- lap. Pada saat inilah cambuk tulang Prajna Singh meluncur deras hendak
memecahkan batok kepalanya Antara sadar dan tidak, Saka Purdianta
menjulurkan kedua tangannya ke depan untuk
melindungi kepalanya. Apa yang terjadi sungguh
di luar dugaan. Cambuk tulang Prajna Singh
hancur berantakan ketika membentur telapak
tangan Saka Purdianta!
"Celaka...!" pekik Prajna Singh. Kakek ini tak habis mengerti pada kejadian yang
baru saja terjadi. Cambuk tulangnya bukanlah senjata
sembarangan. Untuk membuatnya membutuhkan
waktu yang cukup lama. Setelah tulang-belulang
dirangkaikan menjadi satu jalinan, senjata itu
dimandikan sinar matahari selama tiga ratus hari, mulai matahari muncul sampai terbenam, dan
tak boleh sekejap pun tertimpa cahaya rembulan.
Sesudahnya, direndam dalam tumpukan salju selama seratus hari. Usai digembleng, cambuk tulang itu disimpan di ruang gelap selama tujuh ha-ri, barulah kemudian dapat
dipergunakan. Selama malang-melintang di rimba persilatan, belum
ada satu pun senjata yang mampu menandingi
kekerasan cambuk tulang Prajna Singh. Semua
senjata tajam, baik yang terbuat dari logam biasa maupun logam simpanan, akan
patah atau hancur bila membentur senjata yang terbuat dari
rangkaian tulang-belulang manusia itu. Kecuali, sepasang kapak Prabandari yang
memang berupa senjata mustika.
Tapi, sekarang.... Kenapa senjata ampuh
milik Prajna Singh bisa hancur-berantakan saat
membentur telapak tangan Saka Purdianta" Bahkan, urat-urat di sekujur tubuh Prajna Singh pun turut bergetar menimbulkan rasa
nyeri! Dalam keterkejutannya, Prajna Singh mengira Saka Purdianta adalah setan gentayangan
yang hendak membalas segala kekejamannya.
Maka tanpa pikir panjang lagi, Prajna Singh memutar tubuh, lalu lari terbirit-birit keluar gua. Dia tidak peduli lagi pada
kitab putih yang tergeletak di lantai, yang baru saja dia pertahankan dengan
taruhan nyawa. Beberapa saat setelah bayangan Prajna
Singh tak tampak lagi, Saka Purdianta jatuh
pingsan. Entah berapa lama tubuhnya terbaring
telentang di lantai gua, yang Saka Purdianta tahu ketika siuman, ruangan gua
telah remang- remang. Apa yang telah terjadi" Bagaimana tenaga Saka Purdianta bisa berlipat ganda tapi otaknya jadi gelap setelah tanpa
sengaja minum darah Prajna Singh yang telah bercampur racun"
Sebenarnya Prajna Singh pun tak tahu bila
darahnya yang bercampur racun memiliki khasiat
luar biasa. Racun yang masuk melalui babatan
kapak Prabandari dilawan kuat oleh darah putih
Prajna Singh yang dibantu dengan ilmu 'Hawa
Kodok Kahyangan'. Racun kapak yang bertemu
dengan darah putih menjadi senyawa yang berubah sifat menjadi anti racun yang amat kuat.
Hingga apabila ada orang yang minum senyawa
darah itu setetes saja, tenaganya akan bertambah besar. Jadi, tak mengherankan
apabila cambuk tulang Prajna Singh hancur berantakan ketika
berbenturan dengan telapak tangan Saka Purdianta yang telah minum senyawa darah Prajna
Singh cukup banyak. Karena tambahan tenaga
itu berlangsung cepat, jantung Saka Purdianta
pun berdegup lebih kencang dan berlanjut dengan aliran darahnya yang kacau. Hal
inilah yang membuat Saka Purdianta jatuh pingsan.
"Uh!" keluh Saka Purdianta sambil bangkit berdiri. Pandangan pemuda tampan ini
masih berkunang-kunang. Hatinya diliputi perasaan
sangsi, apakah dirinya masih hidup.
Saka Purdianta menggigit bibirnya. Karena
merasa sakit, sadarlah pemuda ini bila dirinya
masih berada di alam fana. Segera dia menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir bayangbayang gelap yang mengabuti pandangannya.
Saka Purdianta menghela napas panjang
saat melihat bangkai Prabandari yang tinggal kulit tipis bagai selembar kertas
lebar. Pemuda itu jadi heran melihat lantai gua tempatnya berbaring telah
berlubang sejengkal mirip cap manusia.
"Bagaimana tubuhku bisa jadi sedemikian
berat sampai lantai gua yang keras ini pun dapat berlubang tertimpa tubuhku
tatkala aku jatuh
pingsan tadi?" tanya Saka Purdianta kepada diri sendiri.
Selang beberapa saat, setelah ingatannya
terkumpul kembali, Saka Purdianta mencium bau
amis dan mulutnya terasa asin. Teringat dirinya telah minum darah tanpa sengaja,
segera Saka Purdianta mengambil sikap semadi untuk kemudian mengatur jalan pernapasannya.
Heran tiada terkira Saka Purdianta. Pemuda ini pun semakin tak habis mengerti. Tidak ada tanda-tanda tubuhnya telah
terserang racun.
Bahkan, dia merasa tenaganya bertambah besar.
Dirasa tak perlu melakukan semadi, dia lalu
bangkit berdiri. Mendadak, matanya bersinar
aneh. Sekitar dua depa di hadapannya, tergolek kitab putih yang tadi hendak
dirampasnya. Ketika kitab putih telah dipungutnya, Saka
Purdianta mengumpat-umpat dalam hati. Bukan
kitab ilmu kesaktian yang didapatkannya, melainkan sebuah kitab yang sebetulnya tak pantas untuk dimiliki Prajna Singh
ataupun Prabandari.
Sampul kitab putih itu bertuliskan : 'Seni Memikat Pria dan Wanita'.
"Gila...!" maki Saka Purdianta seraya me-remas kitab di tangannya. Pemuda ini
terkejut setengah mati. Walau dia hanya mengerahkan seperdelapan tenaga dalam, tapi kitab yang diremasnya dapat hancur menjadi abu, bahkan menyemburkan lidah api biru.
"Ya, Tuhan.... Apa yang telah terjadi pada diriku...?" sebut Saka Purdianta
kemudian. Walau benaknya masih dipenuhi berbagai tanda tanya,
pemuda ini berkelebat keluar dari gua. Merasa
tubuhnya dapat bergerak lebih ringan dari biasanya, dia tertawa terbahak-bahak.
3 Remaja tampan berpakaian putih penuh
tambalan ini duduk di atas pelana kuda dengan
kening berkerut. Hembusan napasnya panjang
dan berat, pertanda dia tengah memikirkan sesuatu yang sulit Sementara kudanya melangkah pelan menapaki jalan kecil di pinggiran desa, dia mendongak sebentar. Dilihatnya
langit cerah sore hari. Lalu, remaja tampan yang menyelipkan
tongkat butut di pinggang ini menggaruk kepalanya walau tak terasa gatal.
"Ini hari kedua aku mencari Kusuma alias
Putri Racun. Kalau sampai empat hari lagi aku
tak menemukannya, jiwa Arya Wirapaksi tak akan
tertolong lagi...," gumam si remaja. "Kasihan dia.
Kasihan juga Baginda Prabu Arya Dewantara. Aku
tak dapat membayangkan bagaimana sedih hati
beliau ketika menjumpai putra mahkotanya telah
terbujur kaku menjadi mayat. Ah...."
Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil mendesah panjang, remaja tampan
ini menggaruk kepalanya lagi. Melihat jalan panjang di depan yang tampak sepi,
dia cengar-cengir dan tangan kanannya terus menggaruk-garuk,
hingga rambutnya yang panjang jadi terburai tak karuan. Melihat sikap yang amat
menyebalkan ini, siapa lagi dia kalau bukan Suropati atau Pengemis Binal.
"Hei...!" seru Suropati tatkala melihat seorang gadis meluncur di atas kuda yang
muncul dari kelokan jalan di depan.
Karena seruannya tak mendapat sahutan,
Suropati segera menggebah kudanya. Kuda yang
ditunggangi Suropati adalah kuda Adipati Danubraja yang dipinjamkan kepadanya. Selain mempunyai daya tahan tinggi yang membuatnya tak
cepat lelah, juga bertenaga dalam. Sehingga sebentar saja Suropati telah dapat menyusul kuda
yang berlari cukup jauh di depannya.
"Hei...!" seru Suropati lagi.
Gadis penunggang kuda menoleh. Raut wajahnya yang semula muram, berubah cerah mendadak. "Oh, kau, Suro...," sahutnya seraya menghentikan laju kudanya.
Mata Suropati berbinar melihat seraut wajah cantik yang telah dikenalnya. Gadis di atas punggung kuda yang berpakaian
biru-biru adalah
Puspita atau si Pedang Perak, salah seorang dari kepercayaan Prabu Arya
Dewantara. Suropati
mengenalnya tatkala Puspita menyusup ke sarang
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah untuk menumpas sekelompok orang yang hendak makar
terhadap kerajaan itu (Baca serial Pengemis Binal dalam episode : "Bidadari
Lentera Merah").
"Kebetulan sekali aku berjumpa denganmu
di tempat ini, Suro...," ujar Puspita dengan mata berbinar pula.
"Kebetulan pula aku berjumpa denganmu.
Ada sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu," sahut Suropati.
"Hmm.... Yah! Beberapa hari ini aku mencarimu. Setiap anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang kutanya tak dapat menunjukkan di mana kau berada. Aku butuh bantuanmu,
Suro. Dan, aku membawa sepucuk surat dari Baginda Prabu untuk disampaikan kepadamu."
Usai berkata, Puspita mengeluarkan gulungan kertas kecil dari balik lipatan bajunya. Suropati menerimanya tanpa turun
dari punggung kuda. Sebelum membuka gulungan kertas, dia
menatap wajah cantik Puspita dalam-dalam.
"Kenapa kau menatapku seperti itu, Suro?"
tanya Puspita, sedikit jengah.
"Setelah lama kita tak berjumpa, kau tambah cantik saja," puji Suropati. "Kau masih senang tinggal di istana?"
Puspita diam. Pendekar pedang ini menunduk dalam. Tak mampu membalas tatapan Suropati. "Bagaimana kabar Kapi Anggara?" tanya Suropati lagi. Kapi Anggara atau
Pendekar Asmara juga sahabat baik Suropati. Dalam menjalankan tugas yang diembankan Prabu Arya Dewantara, Kapi Anggara biasanya selalu bersama Puspita. "Dia baik-baik saja, Suro," jawab Puspita.
"Karena suatu hal, kami harus berpisah."
"Kau bertengkar?"
"Ah, sudahlah. Kenapa kau bertanya yang
tidak-tidak. Bacalah surat dari Baginda Prabu
itu." Perlahan sekali Suropati membuka gulungan kertas yang dibawanya. Tak ada
perubahan raut wajah tatkala Suropati membaca tulisan
yang tertera. Remaja tampan ini memang telah
menduga isi yang tersirat sebelumnya.
Untuk Pendekar Budiman Suropati, Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Bukan sekali-dua Kerajaan Anggarapura
membutuhkan pertolonganmu. Untuk itu, saya haturkan banyak terima kasih. Namun,
kali ini istana dilanda musibah lagi. Putra mahkota Arya Wirapaksi menghilang.
Ssya sudah menyebar tokoh istana, tapi ha-silnya sia-sia belaka. Bila kau baca
surat ini, sudi-lah kau membantu mencarinya. Budi baikmu akan tercatat dalam
sejarah kerajaan. Arya Dewantara
"Arya Wirapaksi di tempat yang aman sekarang," beri tahu Pengemis Binal. Suaranya ringan dan datar, namun tersimpan
kekhawatiran. "Jadi, kau sudah menemukan Arya Wirapaksi?" kejut Puspita. Sinar matanya menyala-nyala, terbawa luapan rasa gembira.
Suropati mengangguk lemah.
"Di mana dia" Kita harus membawanya
kembali ke istana. Baginda Prabu sangat cemas
memikirkan keadaannya."
Pengemis Binal menggeleng "Tidak mungkin," ucapnya, perlahan dan hampir tak dapat didengar.
"Kau bilang apa, Suro" Arya Wirapaksi tak
mungkin dibawa kembali ke istana" Kenapa" Apa
yang telah terjadi pada dirinya?" cecar Puspita.
Kegembiraan di hatinya langsung hilang, berganti dengan kekhawatiran.
"Ingatannya telah hilang."
"Hah"!"
Bukan main terkejutnya si Pedang Perak.
Kalau saja yang bicara bukan Suropati, gadis cantik ini tentu tak akan percaya
pada apa yang telah didengarnya.
"Apa maksudmu, Suro" Apakah... apakah
dia telah...."
"Tenanglah. Saat ini Kakek Wajah Merah
tengah merawatnya di Pendapa Kadipaten Bumiraksa." "Kakek Wajah Merah" Tabib ternama itu?"
"Ya. Dan menurut penuturannya, usia Arya
Wirapaksi tinggal empat hari saja."
Mengelam paras Puspita mendengar pemberitahuan Pengemis Binal. Saking terkejutnya,
mulut gadis ini sampai terbuka beberapa saat.
"Bagaimana bisa begitu, Suro" Apakah dia benar-benar tak dapat ditolong lagi?"
"Arya Wirapaksi telah mempelajari sebuah
ilmu kesaktian dahsyat. Entah karena dia keliru menerapkannya atau karena suatu
hal yang lain, jalan pikirannya jadi terganggu. Bila sedang kam-buh, dalam jiwanya terkandung
keinginan mem- bunuh. Tak peduli siapa pun dia, semua yang ditemuinya akan dibunuhnya...."
"Celaka!" seru Puspita sambil mendekap mulutnya.
"Kakek Wajah Merah mengatakan bahwa
otak Arya Wirapaksi telah tercampuri racun ganas, sehingga dia tak dapat berpikir jernih lagi.
Karena otaknya telah bercampur racun, dia tak
mungkin hidup lama. Empat hari lagi dia akan
mati." "Aku harus memberitahukan hal ini kepada Baginda Prabu," ujar si Pedang
Perak. "Tunggu dulu!" cegah Suropati melihat Puspita hendak menggebah kudanya.
"Ada apa lagi, Suro. Aku tak punya waktu.
Dari sini untuk menuju istana butuh waktu setengah hari. Ini gawat Baginda Prabu harus cepat diberi tahu. Kau carilah Kapi
Anggara. Suruh dia kembali ke istana. Ceritakan apa yang kau ketahui."
'Tunggu dulu, Puspita! Aku belum selesai
bicara!" ujar Pengemis Binal, setengah membentak. "Apa lagi yang akan kau
katakan?" bum Puspita, tak sabaran.
"Daripada kembali ke istana, bantulah aku
mencari Putri Racun."
"Putri Racun" Siapa dia?"
"Dia seorang ahli racun yang telah berumur lebih dari satu abad, tapi wajahnya
masih cantik-jelita persis gadis berumur dua puluh tahunan."
"Kenapa bisa begitu" Dia mempunyai ilmu
awet muda" Kalau sudah kita temukan, apakah
dia bisa menolong nyawa Arya Wirapaksi?"
"Mudah-mudahan begitu. Aku juga pernah
disembuhkan olehnya. Dulu darahku pernah tercampuri racun ganas yang membuat seluruh kesaktianku lenyap, dan Putri Racun-lah yang menyembuhkannya."
"Kau katakan tadi Putri Racun telah berumur satu abad lebih tapi wajahnya masih cantik Pedang Inti Es 1 Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut Pendekar Aneh Naga Langit 33
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama