Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria Bagian 2
gemis Binal. "Ayahkulah yang memerintahkan Karma Salodra untuk merampas Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi. Beliau tahu kitab itu berisi siasat dan strategi perang,
sedangkan aku tak
mau membantu perjuangannya...."
"Perjuangan apa?" Pengemis Binal purapura tidak tahu. Hendak dilihatnya sampai
di mana kejujuran Saka Purdianta.
"Ayahku telah bersekongkol dengan I Halu
Rakryan Subandira untuk...."
"Merebut takhta Prabu Singgalang Manjunjung Langit"!" sela Suropati.
Dewa Guntur mengangguk: "Dari mana
kau mengetahui hal itu, Suro?" tanyanya heran.
"Ketahuilah, Saka..., kedok I Halu Rakryan Subandira dan Tumenggung Sangga
Percona telah terbuka."
"Benar begitu" Berarti..., berarti Katumenggungan Lemah Abang akan digempur prajurit kerajaan...," Saka Purdianta tampak begitu cemas. "Sekarang kau ikut aku ke
Pendapa Katumenggungan Lemah Abang, Suro. Aku pun sebenarnya memang hendak ke sana. Aku mengejar
Karma Salodra yang kuperkirakan akan menyerahkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi kepada ayahku...."
"Baiklah, aku ikut kau...," Suropati men-giyakan. Ia teringat dengan dugaannya.
Bisa saja orang yang menolong I Halu Rakryan Subandira
juga membantu ayah Saka Purdianta. Bukankah
mereka telah berkomplot" "Kalau I Halu Rakryan Subandira bersekongkol dengan
Tumenggung Sangga Percona, tentu dia melarikan diri ke Katumenggungan Lemah Abang...," tuturnya.
"Baiklah. Kita berangkat..." Saka Purdianta melompat ke punggung kuda hitamnya.
Lalu, dia mengisyaratkan pada Suropati untuk turut naik.
Dalam perjalanan menuju Katumenggungan Lemah Abang, Suropati tak habis pikir mendapati Saka Purdianta yang sangat membencinya
tiba-tiba kembali sangat bersahabat. Suropati jadi teringat pada ramalan kakek
tak bermata yang
mengenalkan diri sebagai Dewa Peramal. Menurut
kakek itu, Suropati akan meminta bantuan musuh besarnya untuk mengatasi tugas yang diemban. Kini setelah bertemu dengan Saka Purdianta, ternyata ramalan Dewa Peramal
terbukti kebena-rannya (Perihal Dewa Peramal, bisa dibaca pada
episode: "Sengketa Orang-orang Berkerudung").
*** Sang baskara telah kembali ke peraduan.
Semburat cahaya jingga di langit barat berbaur
dengan gumpalan awan perak. Senja akan rebah
memeluk malam yang segera tiba.
Walau hari belum gelap benar, lampulampu di Pendapa Katumenggungan Lemah Abang telah dinyalakan. Empat orang prajurit bersenjata tombak tampak berjaga di pintu gerbang.
Ketika seorang lelaki setengah baya berpakaian
serba putih turun dari kuda, mereka membungkuk hormat. "Tuan Karma Salodra telah dinanti oleh
Gusti Tumenggung di ruang dalam," ujar salah seorang penjaga.
Lelaki setengah baya yang memang Karma
Salodra atau Malaikat Baju Putih, melangkah masuk tanpa mempedulikan empat orang penjaga
yang masih saja membungkuk hormat. Baru saja
telapak kakinya menginjak lantai teras pendapa,
seorang lelaki tinggi besar berpakaian pembesar datang menyambut.
"Melihat sinar matamu yang terang dan
raut wajahmu yang cerah, kau tampaknya datang
membawa hasil...," ujar lelaki tinggi besar. Dia adalah Tumenggung Sangga
Percona. "Benar ucapan Gusti Tumenggung. Sebagai
orang upahan, Malaikat Baju Putih tak pernah
mengecewakan tuannya...," sahut Karma Salodra sambil membungkukkan badan.
"Sebaiknya kita bicara di dalam." Mereka tampak begitu bersahabat. Memang,
karena Salo-dralah yang menolong ayah Saka Purdianta setelah berhasil dikalahkan oleh Suropati dan
Anggraini Sulistya di taman keputren istana. Ma-ka..., karena Salodra jugalah
yang telah membebaskan I Halu Rakryan Subandira dari pengawalan Patih Sanca Singapasa dan Senopati Guntur
Selaksa, lelaki itu pun telah menyembuhkan luka dalam I Halu Rakryan Subandira,
hingga dia dapat meneruskan tindakannya yang hendak makar
terhadap kerajaan.
Lelaki berbaju putih itu dibimbing masuk
menuju ruangan luas yang sangat indah. Namun,
sedikit pun Karma Salodra tak tertarik akan kein-dahan ruangan itu.
"Aku akan menjamu apa pun yang kau sukai setelah Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
ada padaku," kata Tumenggung Sangga Percona setelah mempersilakan Karma Salodra
duduk di kursi. "Saya tidak membutuhkan jamuan apaapa, Gusti Tumenggung. Hanya satu saja permintaan saya, segera berikan sekantung uang emas
lagi. Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi akan segera saya serahkan kepada Gusti Tumenggung."
"Ha ha ha...!" Tumenggung Sangga Percona tertawa bergelak. "Mana mungkin aku
menging-kari janjiku, Salodra" Mari..., mari masuk ke
tempat rahasiaku...," ajaknya.
"Tempat rahasia" Untuk apa?" tanya Malaikat Baju Putih, heran bercampur curiga.
"Bukankah kau meminta sekantung uang
emas, Salodra?"
"Hmm.... Yah, baiklah...."
Tumenggung Sangga Percona kembali meraih bahu Karma Salodra. Mereka berjalan beriringan. Ketika melewati sebuah lorong sempit
yang agak gelap. Karma Salodra menepis tangan
Tumenggung Sangga Percona.
"Eh, ada apa?" tanya lelaki tinggi besar itu sambil menatap wajah Karma Salodra.
"Gusti Tumenggung silakan berjalan di depan...," pinta Malaikat Baju Putih.
Tumenggung Sangga Percona tersenyum
maklum. "Sebagai orang upahan yang sangat ber-pengalaman, sikap hati-hati memang
baik. Tapi patutkah kau mencurigaiku, Salodra?"
"Saya tidak mempunyai sakwasangka buruk. Tapi saya memang harus selalu waspada."
"Itu sama saja kau tidak mempercayaiku!"
dengus Tumenggung Sangga Percona.
"Terserah apa kata Gusti Tumenggung. Tapi sebaiknya Gusti Tumenggung menuruti permintaan saya. Berjalanlah di depan. Saya mengikuti di belakang. "
"Hmm.... Baiklah...."
Akhirnya kaki Tumenggung Sangga Percona terayun maju, walau dalam hati dia mengumpat-umpat tak karuan. Karma Salodra mengikuti
dengan mengambil jarak tiga depa dari penguasa
Katumenggungan Lemah Abang itu.
Sesampai di tempat yang dituju, Tumenggung Sangga Percona mengeluarkan sekantung
uang emas dari dalam peti besi. Langsung diserahkannya kantung uang itu kepada Malaikat
Baju Putih. "Terima kasih...," ucap Karma Salodra.
"Sekarang serahkan Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi padaku!" perintah Tumenggung Sangga Percona tak sabaran.
"Bersabarlah sedikit, Gusti Tumenggung...," tukas Karma Salodra. "Kitab itu akan segera menjadi milik Gusti
Tumenggung. Hanya saja...." "Hanya saja apa"!" mendelik mata Tumenggung Sangga Percona mendengar
ucapan Karma Salodra. "Sebaiknya Gusti Tumenggung mengendalikan hawa amarah dulu. Saya tak bisa melayani
orang yang sedang naik pitam."
"Keparat!" umpat Tumenggung Sangga Percona dalam hati. Dicobanya untuk bersabar.
Tapi, sorot matanya tetap saja tajam berkilat.
"Saya akan berterus-terang kepada Gusti
Tumenggung...."
"Apa" Cepat katakan!"
"Bersabarlah, Gusti.... Kenapa mesti terbu-ru-buru?" Karma Salodra rupanya ingin
mem-permainkan perasaan Tumenggung Sangga Percona. "Siapa dapat bersabar melihat sikapmu yang mengulur-ulur waktu seperti
ini"!" bentak Tumenggung Sangga Percona. Lenyap sudah semua kesabaran yang coba
dikumpulkannya.
"Baiklah..., baiklah..., saya tidak akan
mengulur waktu lagi. Toh, semuanya pasti terjadi...," Karma Salodra tersenyum tipis. "Gusti Tumenggung tentu mengenal benar I
Halu Rakryan Subandira...."
"Ya. Dia sahabat baikku."
"Setelah saya mendapatkan Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi dari tangan Saka Purdianta,
saya berjumpa dengan kepala pengawal istana
itu...." "Lalu?" cecar Tumenggung Sangga Percona semakin tak sabar.
"I Halu Rakryan Subandira adalah kakak
kandungku."
"Dusta! I Halu Rakryan Subandira tidak
mempunyai adik! Aku-tahu betul itu!"
"Terserah Gusti Tumenggung mau percaya
atau tidak. Saya tidak bisa memaksa. Yang jelas, I Halu Rakryan Subandira
bermaksud memiliki Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi."
"Ap..., apa..."!" Gelagapan kata-kata Tumenggung Sangga Percona. "Kalau begitu,
sekarang kau tidak membawa kitab itu?"
"Benar!"
"Keparat!"
Tumenggung Sangga Percona langsung
mencabut keris di pinggangnya. Tapi, gerakannya terhenti. Keluh pendek keluar
dari mulut. Karma Salodra telah menikam jantung lelaki tinggi besar itu dengan
sebilah pisau kecil!
Kedatangan Saka Purdianta dan Suropati
di Pendapa Katumenggungan Lemah Abang hanya
disambut tubuh beku Tumenggung Sangga Percona. Walau bagaimanapun bencinya Saka Purdianta mengetahui ayahnya memberontak, tapi
setelah pengukir jiwa raganya itu terbujur tanpa nyawa, sedih juga hati Saka
Purdianta. Sebagai
seorang anak tentu saja dia merasa kehilangan.
Kini yatim piatulah pemuda yang bergelar Dewa
Guntur itu. Karena, ibunya telah lama meninggal.
Malam itu juga seluruh punggawa katumenggungan mempersiapkan upacara pemakaman junjungan mereka esok hari. Saka Purdianta
sendiri duduk terpekur di sebuah ruangan. Suropati yang berada di dekatnya mau tak mau turut
berduka juga. Walau Saka Purdianta masih menganggapnya sebagai musuh, tapi setelah tahu
pemuda itu sangat terpukul karena kehilangan
ayahnya, jiwa Suropati tersentuh.
"Bila kau duduk terpekur seperti itu, kau
tak tampak lagi sebagai Dewa Guntur yang perkasa dan berhati baja," sindir Pengemis Binal, berusaha menepis kesedihan hati
Saka Purdianta.
"Aku duduk terpekur bukannya menyesali
kepergian ayahku. Aku sedang mencoba menduga-duga siapa pelaku pembunuhan ini," kilah Dewa Guntur.
"Oh, ya.... Sudah kau temukan jawabannya?" "Aku mencurigai seseorang. I Halu Rakryan Subandira!" jawab Saka Purdianta
dengan sinar mata berapi-api.
"Kau yakin?"
"Yakin sekali! Ayahku dan I Halu Rakryan
Subandira telah membuat persekongkolan untuk
menggulingkan takhta Prabu Singgalang Manjunjung Langit. Aku tahu betul I Halu Rakryan Subandira orang yang berbudi halus dan lemah-lembut perangainya. Tapi, di balik kebaikannya itu tersimpan sifat iri dengki dan
licik. Aku sadar diriku pun bukan orang baik-baik. Namun, yang
membedakan aku dengan I Halu Rakryan Subandira adalah pandangannya tentang kenegaraan.
Di bawah pimpinan Prabu Singgalang Manjunjung Langit, rakyat Pasir Luhur sudah hidup
aman tenteram. Kenapa I Halu Rakryan Subandira hendak merebut takhta kalau dia tidak memiliki jiwa serakah?"
"Benar katamu, Saka...," sahut Pengemis Binal. "Bagaimana kau bisa mempunyai
alasan I Halu Rakryan Subandira yang membunuh ayahmu?" "Bukan dia yang
melakukan, tapi orang su-ruhannya!"
"Siapa?"
"Itu yang aku tak tahu."
Sampai di situ pembicaraan terhenti. Saka
Purdianta kembali terpekur. Suropati pun terbawa pada pikiran di benaknya.
"Hmm.... Ke mana aku harus mencari Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi" Saka Purdianta
tampaknya benar-benar tak membawa kitab
itu...," kata hati Pengemis Binal. "Aku menduga ada hubungannya antara pembunuh
Tumenggung Sangga Percona dengan Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi. Tentu saja berhubungan pula
dengan I Halu Rakryan Subandira."
Suropati menatap wajah Dewa Guntur
yang keruh. "Kita harus segera dapat menemukan I Halu Rakryan Subandira!"
katanya. Saka Purdianta tetap duduk terpekur.
"Setelah pengkhianat itu ditemukan, akan
terbuka tabir pembunuhan ayahmu, Saka...," lanjut Pengemis Binal.
Mendadak, Dewa Guntur meloncat dari
tempat duduknya. "Aku telah menemukan cara untuk mencari jejak I Halu Rakryan
Subandira!"
ujarnya penuh keyakinan.
Pengemis Binal menatap dengan pandan
Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gan tak mengerti. Saka Purdianta enak saja berla-lu dari hadapannya. Sepeminum
teh menunggu, Pengemis Binal dikejutkan oleh kehadiran seorang lelaki setengah baya yang mengenakan jubah kuning. "I Halu Rakryan Subandira!" pekik Suropati. Tanpa sadar remaja tampan ini
tersurut mun- dur setindak. "Aku Saka Purdianta, Suro," ujar orang yang baru datang.
"Kau..., kau Saka Purdianta?" tanya Pengemis Binal tak percaya. Lelaki yang
berdiri di hadapannya persis I Halu Rakryan Subandira.
"Kau lupa kalau aku mempunyai ilmu penyamaran yang hebat, Suro...," ujar orang yang bam datang sambil mengusap
wajahnya. Pengemis Binal tercengang. Orang berjubah
kuning itu memang Saka Purdianta. Tangan kanannya memegang topeng tipis dari getah karet.
"Dengan menyamar sebagai I Halu Rakryan
Subandira, aku akan membuat heboh pasukan
tersembunyi di kotapraja. I Halu Rakryan Subandira sendiri pasti akan terpancing keluar...," tutur Dewa Guntur tentang
rencananya. "Cerdik sekali kau, Saka," puji Pengemis Binal. "Tapi, bukankah kau memiliki
ilmu 'Pelacak Jejak'" Untuk mencari I Halu Rakryan
Subandira apa susahnya?"
"Pengkhianat kerajaan itu sekarang mengenakan Pusaka Jubah Kuning. Benda mustika
itu melindungi dirinya, sehingga aku tak dapat
menangkap getaran hidup yang terpancar dari
tubuhnya."
"Kalau begitu, aku menurut saja pada rencanamu. Yang penting, kita harus segera dapat
menemukan I Halu Rakryan Subandira secepatnya juga Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi yang
dibawanya. Sebelum dia memimpin pasukannya
untuk menyerbu istana."
"Besok pagi setelah upacara pemakaman
jenazah ayahku, kita berangkat ke kotapraja!" putus Saka Purdianta.
*** Candi Salontar terletak di bagian barat kotapraja. Bangunan dari susunan batu yang biasanya sunyi itu kini dipenuhi suara teriakan dan denting senjata tajam.
Seorang lelaki setengah baya berjubah
kuning tampak dikeroyok sepuluh orang prajurit
kerajaan. Melihat jurus-jurus yang dimainkan pa-ra prajurit itu, bisa dipastikan
mereka anggota pasukan khusus di bawah pimpinan Senopati
Guntur Selaksa.
"Menyerahlah kau, Subandira! Daripada
kepalamu menggelinding di tanah siang ini juga, lebih baik jatuhkan pedangmu!"
ujar salah seorang prajurit
Orang yang dipanggil I Halu Rakryan Subandira cuma mendengus. Dia memainkan jurus
pedangnya yang lebih hebat. Namun, serangan
para prajurit kerajaan datang silih berganti bagai siraman air hujan.
"Menyerahlah, Subandira!" teriak seorang prajurit yang lain.
"Aku menyerah setelah tubuhku tiada bernyawa!" sahut orang berjubah kuning.
"Baik, kalau itu maumu! Gusti Prabu pun
telah memerintahkan pada kami untuk menangkapmu hidup atau mati!"
Segera lelaki berjubah kuning meloncat
mundur saat tiga sambaran pedang datang dari
depan. Tapi belum sampai kakinya menginjak tanah, dua tusukan mengarah ke bagian tubuh
yang berbahaya.
Trang! Trang! Lelaki berjubah kuning memutar pedangnya. Dia pun luput dari lubang kematian. Untuk
sementara kepala pengawal istana yang makar itu bisa bernapas lagi. Namun
setelah para penge-royoknya memburu dengan membentuk lingkaran, terdesak hebatlah dia.
"Kami datang, Tuan Subandira!"
Dalam keadaan yang cukup mengkhawatirkan itu, tiba-tiba terdengar teriakan. Dibarengi kelebatan lima sosok tubuh.
Kesepuluh prajurit
kerajaan terkejut, mendapati orang-orang yang
baru datang langsung menggempur. Pertempuran
pun bertambah sengit.
Sambil terus memainkan pedangnya, lelaki
berjubah kuning tersenyum. Lima orang yang
membantunya memakai pakaian seperti warga
kotapraja biasa. Tapi ilmu pedang mereka bisa
dibilang lumayan. Dan memang, mereka sebagian
dari pasukan pemberontak yang sedang menyamar. Bertempur di tempat terbuka tentu saja
kurang menguntungkan mereka. Penyamarannya
akan dapat terbongkar. Maka, salah seorang dari pasukan tersembunyi itu
berteriak, "Ikuti saya, Tuan Subandira!"
Lelaki berjubah kuning tersenyum lagi. Dia
meloncat jauh mengikuti kelebatan tubuh orang
yang berteriak. Sementara empat orang temannya
merangsek maju para prajurit kerajaan yang
mencoba mengejar.
"Jangan biarkan pengkhianat itu lolos!" pekik salah seorang prajurit yang
agaknya menjadi pimpinan.
Namun, peringatan itu sia-sia. Sosok lelaki
berjubah kuning keburu hilang dari ajang pertempuran. Disusul kemudian empat orang dari
pasukan tersembunyi. Mereka berloncatan menyebar untuk turut melarikan diri. Tinggallah ke-sepuluh prajurit kerajaan
dengan hati kesal.
Lelaki berjubah kuning terus berlari mengikuti kelebatan tubuh lelaki kekar di depannya.
Sesampai di sebuah puri kecil di perbatasan selatan kotapraja, lelaki kekar
berbaju hitam menghentikan langkah.
"Tuan Subandira lebih baik bersembunyi di
puri ini," kata lelaki berbaju hitam. Dipersilakan orang yang berhasil
diselamatkannya masuk ke
puri. Belasan lelaki kekar ternyata penghuni pu-ri kosong itu. Melihat
kedatangan lelaki berjubah kuning, mereka langsung membungkuk hormat.
Setelah menatap satu persatu wajah orangorang di sekelilingnya, lelaki berjubah kuning
berkata, "Aku ingin bertemu dengan kepala pasukan." "Sayalah orangnya, Tuan
Subandira...," sahut lelaki berbaju hitam. "Apakah ada yang aneh dengan diri
saya?" Lelaki berjubah kuning terkejut. Orang
yang dicarinya ternyata si dewa penolong. Tapi
segera disembunyikan perubahan raut wajahnya
dengan senyum tipis.
"Aku yang sudah tua ini kenapa jadi sangat pelupa...," kilah I Halu Rakryan
Subandira. "Sampai-sampai kepala pasukanku sendiri tak kukenali. Oh, ya siapa namamu?"
Lelaki berbaju hitam mengerutkan kening.
"Apakah benar ada yang aneh dengan diri saya, Tuan Subandira" Tuan Subandira
tidak lagi mengenali saya?" Sambil berkata begitu, orang ini memperhatikan
keadaan dirinya. "Bukankah
Tuan Subandira tahu nama saya Kalasangit?"
"Hmm.... Yah, kau memang Kalasangit, kepala pasukanku...," desis lelaki berjubah kuning.
Dengan alis berkerut rapat lelaki bernama
Kalasangit bertanya, "Bagaimana Tuan Subandira bisa dikeroyok prajurit-prajurit
itu?" "Prabu Singgalang Manjunjung Langit telah
mengetahui rencanaku. Aku mencoba melarikan
diri. Tapi, prajurit-prajurit busuk itu terus mengejar." "Kalau begitu,
kedudukan kita di sini berbahaya?"
"Tidak! Sapi Tua Singgalang Manjunjung
Langit memang sudah mencium adanya pasukan
tersembunyi di kotapraja. Namun, dia tak akan
bertindak apa-apa selama penyamaran kalian belum terbuka."
Kalasangit mengangguk-angguk. Belasan
temannya diperintahkan berjaga-jaga di luar.
Orang-orang itu juga mengenakan pakaian rakyat
jelata, sama seperti yang dikenakan Kalasangit.
"Ada kabar buruk...," bisik lelaki berjubah
kuning. "Kabar buruk apa, Tuan Subandira?" tanya Kalasangit sambil beringsut mendekat.
"Tumenggung Sangga Percona telah meninggal." Kalasangit terkejut. Dia sampai meloncat
berdiri. "Benar ucapan Tuan Subandira?" tanyanya meminta kepastian.
"Dia dibunuh seorang tokoh lihai di pendapa katumenggungan."
"Siapa?"
"Aku tak tahu. Aku mendengar kabar ini
dari salah seorang kepercayaanku."
"Lalu, bagaimana dengan rencana yang telah Tuan Subandira susun bersama Tumenggung
Sangga Percona?" tanya Kalasangit. Tampaknya dia khawatir rencana yang telah
disusun akan hancur berantakan.
"Tetap kita laksanakan. Tapi, untuk selanjutnya aku yang menjadi pemimpin tunggal di sini." Kalasangit mengangguk pasti.
Ketika lelaki berjubah kuning bangkit dari
duduknya, di ruang depan puri terdengar ributribut. "Pencoleng keparat! Bagaimana kau bisa menyusup kemari"!"
Kalasangit terkejut setengah mati. Di depannya muncul seorang lelaki berjubah kuning
yang lain. "Tuan Subandira...!"
Kalasangit bergantian menatap kedua lelaki setengah baya di depannya. Wajah dan penampilan mereka sama persis. Di tempat itu ada dua I Halu Rakryan Subandira!
4 "Bunuh dia, Kalasangit!" perintah I Halu Rakryan Subandira yang baru datang.
Kalasangit cuma mengusap-usap mata. la
tak dapat melaksanakan perintah itu dengan begitu saja. Sementara, I Halu Rakryan Subandira
kedua tertawa terbahak-bahak.
"Muncul juga akhirnya kau, Pengkhianat
Busuk!" ujar lelaki berjubah kuning yang berada di dekat Kalasangit. "Katakan
apa maksudmu membunuh Tumenggung Sangga Percona"!"
"Buka dulu topengmu, Keparat!"
Perlahan orang yang dituding mengusap
wajah. Dan, lepaslah topeng tipis yang membuat
wajahnya tampak mirip I Halu Rakryan Subandira. "Saka Purdianta!" pekik I Halu Rakryan Subandira yang asli.
"Ya! Aku memang Saka Purdianta atau
Dewa Guntur. Sekarang katakan apa maksudmu
membunuh ayahku?"
"Jawabnya mudah saja, Bocah Edan! Aku
menginginkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi. Adikku yang bergelar Malaikat Baju Putih-lah yang melaksanakan pembunuhan
itu." "Keparat!"
Umpatan Saka Purdianta dibalas dengan
isyarat I Halu Rakryan Subandira kepada Kalasangit dan belasan anak buahnya. Mereka langsung meloloskan pedang untuk mengeroyok Saka
Purdianta. "Hadapi aku seorang diri, Subandira!" ujar Dewa Guntur. "Jangan libatkan krocokroco seperti mereka!"
"Anggap itu sebagai pemanasan, Bocah
Edan!" balas I Halu Rakryan Subandira. Lalu, diperintahkan Kalasangit dan anak
buahnya untuk mulai menggempur. "Cincang tubuhnya!"
Cepat sekali Saka Purdianta berkelebat.
Hendak digedornya dada I Halu Rakryan Subandira. Tapi, lelaki berjubah kuning itu telah lebih dahulu menghindar.
Sambil berteriak keras, Dewa Guntur mencabut pedang dari balik jubah yang dipakainya.
Dengan satu tebasan, dua orang anak buah Kalasangit tersungkur tewas. Rupanya Saka Purdianta juga ahli memainkan pedang. Maka
ketika dia terdesak melawan sepuluh prajurit kerajaan di
depan Candi Salontar, itu hanya tipuan. Seperti halnya dia menipu prajuritprajurit itu sehingga mereka menganggapnya I Halu Rakryan Subandira.
Melihat dua anak buahnya tak berkutik
Kalasangit menggeram marah. Apalagi dia telah
terkecoh dengan penyamaran Saka Purdianta.
Diserangnya pemuda tampan itu membabi-buta.
"Hendak lari ke mana kau"!" teriak Dewa Guntur sambil menangkis serangan pedang
Kala- sangit. Pemuda tampan itu menghempos tubuh
mengejar I Halu Rakryan Subandira yang meloncat keluar ruangan.
"Tahan dia!" perintah I Halu Rakryan Subandira ketika mencapai pintu puri.
Kepala pen- gawal istana ini merasa tak menguntungkan bila
harus bertempur. Hanya akan mengundang
orang-orang istana datang ke tempat itu. Maka
diperintahkannya Kalasangit dan anak buahnya
untuk mencegat langkah Saka Purdianta.
Dewa Guntur dibuat repot oleh para pengeroyoknya. I Halu Rakryan Subandira segera mengambil langkah seribu. Tapi baru saja menginjak halaman puri, seorang remaja
tampan berpakaian
putih penuh tambalan datang mencegat.
"Suropati keparat! Pengemis Edan!" maki I Halu Rakryan Subandira.
"He he he...," Pengemis Binal tertawa terkekeh. "Dalam kebingungan, wajahmu
seperti monyet minta kawin, Tuan Subandira yang terhormat!" I Halu Rakryan Subandira mendengus gusar. Dia menjejak tanah. Tubuhnya pun
melesat hendak meninggalkan halaman puri. Namun,
Pengemis Binal tahu gelagat lelaki berjubah kuning itu. Dengan satu loncatan
Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ringan tubuhnya
melayang dan memapaki luncuran tubuh I Halu
Rakryan Subandira.
Duk...! Pukulan I Halu Rakryan Subandira berhasil ditangkis Suropati. Begitu kakinya mendarat di tanah, ditusukkan ujung
tongkatnya ke ulu hati.
Tapi I Halu Rakryan Subandira malah menadahi.
Dia sangat yakin akan keampuhan Pusaka Jubah
Kuning yang dipakainya. Dan memang benar, tusukan tongkat Suropati tak menghasilkan apaapa walau mengenai sasaran dengan tepat.
Tanpa terasa pertempuran telah berlangsung lima jurus. Pengemis Binal berseru girang
ketika ujung tongkatnya berhasil menyambar
kain jubah I Halu Rakryan Subandira. Kain jubah yang tersingkap memperlihatkan
di pinggang I Halu Rakiyan Subandira terselip kitab bersampul hitam. "Serahkan Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi!" ujar Pengemis Binal dengan dilambari kekuatan sihir hasil
ajaran gurunya yang bergelar Periang Bertangan Lembut.
Sejenak I Halu Rakryan Subandira kebingungan. "Serahkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi!" ujar Pengemis Binal lagi. Kali ini dia me-nambahkan kekuatan sihirnya.
Kepala I Halu Rakryan Subandira menggeleng-geleng. Namun begitu Suropati mengulang
kalimatnya, lelaki berjubah kuning itu mengeluarkan kitab yang terselip di
pinggangnya. Lalu,
disodorkannya kepada Suropati.
"Jangan...!"
Sebuah teriakan membuat I Halu Rakryan
Subandira mundur selangkah. Teriakan itu mampu menghilangkan pengaruh sihir yang menguasai jalan pikiran kepala pengawal istana ini.
Suropati pun terkejut. Tapi ia tak mau kehilangan kesempatan. Secepat kilat disambarnya
Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi di tangan kiri I Halu Rakryan Subandira.
Ketika Pengemis Binal berhasil menyentuh
kitab yang diinginkannya, sesosok bayangan putih berkelebat cepat berusaha menggagalkan.
Des...! Bahu kiri Pengemis Binal terhantam pukulan. Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi yang
berhasil dipegangnya mencelat ke atas. Sewaktu
Pengemis Binal jatuh tersungkur, sosok bayangan putih berkelebat lagi. Hendak
disambarnya kitab yang masih melayang di udara
Wusss...! Alangkah terkejutnya bayangan putih. Telapak tangannya tak menyentuh apa-apa. Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi bagai lenyap begitu
saja. Suropati yang telah melompat bangkit ber-sorak girang. Di tempat itu hadir
Anggraini Sulistya dengan tangan kanan memegang sebuah kitab
bersampul hitam. Tidak jauh dari tempatnya berdiri tampak Raka Maruta duduk di atas pelana
kuda. Orang berpakaian serba putih yang gagal
mendapatkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
mengumpat-umpat tak karuan. Dia adalah Karma
Salodra atau Malaikat Baju Putih, adik I Halu Rakryan Subandira. Sedangkan
lelaki berjubah kuning masih berdiri termangu-mangu tak tahu apa
yang baru saja terjadi.
"Kita pergi dari tempat ini, Kakang Subandira!" ajak Malaikat Baju Putih.
Melihat keadaan yang sangat tak menguntungkan itu, I Halu Rakryan Subandira bersuit
nyaring. Dalam sekejap mata berhamburan belasan lelaki kekar dari dalam puri. Kalasangit terlihat di antara mereka. Disusul
Saka Purdianta yang masih mengenakan jubah kuning
Begitu mengetahui di halaman puri berdiri
Anggraini Sulistya, mulut Saka Purdianta langsung ternganga. Matanya memandang tak berkedip. Anggraini Sulistya sendiri mengurungkan
niatnya untuk mengejar I Halu Rakryan Subandira. "Saka Purdianta keparat!" pekik Putri Cahaya Sakti seraya meloloskan pedang.
Langsung diterjangnya Dewa Guntur yang masih ternganga
dalam keterkejutan.
Trang...! Ketika pedang Anggraini Sulistya tinggal
sejengkal lagi memenggal leher Saka Purdianta,
Pengemis Binal melontarkan tongkatnya. Selamatlah Saka Purdianta dari lubang kematian.
"Kenapa kau menghalangi aku membunuh
pemuda bejat itu, Suro"!" hardik Anggraini Sulistya setelah meloncat ke hadapan
Pengemis Binal.
"Bila kau membunuh Saka Purdianta, kau
akan menyesal...," kilah Suropati.
"Menyesal" Kenapa aku mesti menyesal
membunuh orang yang telah membuatku menderita oleh Racun Jarum Mati Sekejap?"
"Lupakan masa lalu itu, Aini...," bujuk Suropati dengan lembut. "Saka Purdianta
yang kau jumpai sekarang, bukan Saka Purdianta yang dulu." "Apa maksudmu, Suro" Seekor harimau yang memakai bulu kambing tetap saja
seekor harimau!" Pengemis Binal menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, Aini. Kau harus mendengar pen-jelasanku...."
"Sudahlah, Suro!" teriak Saka Purdianta.
Pemuda itu masih berdiri di tempatnya. "Dosaku terhadap Anggraini Sulistya
memang terlalu besar. Dosa itu hanya dapat kutebus lewat kematian." Putri Cahaya Sakti menatap wajah Saka Purdianta lekat-lekat. "Kau memang
layak untuk dibunuh, Binatang!" makinya.
Putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit
itu menghemposkan tubuhnya dengan ujung pedang lurus ke jantung Saka Purdianta. Dan, tampaknya Saka Purdianta tak berniat untuk berkelit. Malaikat kematian benar-benar mengintai
nyawa pemuda itu!
Karena tak melihat cara lain untuk menyelamatkan jiwa Dewa Guntur, Pengemis Binal berteriak lantang dengan dilambari ilmu sihir. "Tahan, Aini!"
Namun tetap saja tubuh Putri Cahaya Sakti melesat cepat. Ujung pedangnya tak lagi mengarah ke jantung Saka Purdianta. Sedikit ke bawah. Tapi tak kalah berbahayanya.
Trang...! Putri Cahaya Sakti mendengus marah. Pedangnya terpental lepas dari pegangan. Kali ini yang menyelamatkan jiwa Saka
Purdianta adalah
Raka Maruta. Dengan mempergunakan kipas baja
putihnya, pemuda berwajah lembut itu meloncat
dari punggung kuda dan menangkis tusukan pedang Anggraini Sulistya.
"Kenapa kau ikut campur urusanku, Maruta"!" bentak Putri Cahaya Sakti.
"Pendekar tak akan membunuh orang yang
tak memberikan perlawanan...," ujar Pendekar Kipas Terbang.
"Kau belum tahu siapa Saka Purdianta,
Maruta!" bentak Anggraini Sulistya. Mata gadis cantik ini tampak memerah. "Di
Kapal Rajawali dia hampir saja menodaiku. Bahkan..., bahkan...." Putri Cahaya
Sakti tak dapat melanjutkan kalimatnya. Air matanya keburu menetes,
"Saka Purdianta telah menyesali perbuatannya...," tutur Suropati sambil berjalan mendekat. "Bahkan dia sudah membantu
mengatasi kemelut di negeri Pasir Luhur ini. Kalau tidak ada dia, kita tidak akan berjumpa
I Halu Rakryan Subandira. Aku pun tak akan mendapatkan Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi."
Sambil berlinang air mata, Anggraini Sulistya menatap kitab bersampul hitam di tangan
Pengemis Binal.
"Kitab ini berisi siasat dan strategi perang...," lanjut Suropati. "Kekuatan di pihak istana sangat lemah. Tapi aku
yakin dengan mempelajari kitab ini, para pemberontak akan dapat kita
tumpas." "Kita kembali ke istana sekarang, Aini...,"
usul Pendekar Kipas Terbang.
Anggraini Sulistya tak memberi jawaban.
Tapi, dia menurut saja ketika Pengemis Binal me-rengkuh bahunya. Bersama Raka
Maruta, mereka melangkah menuruti jalan menuju istana. Saka
Purdianta berkelebat pergi tanpa berkata apa-apa.
Kalasangit beserta anak buahnya juga Malaikat Baju Putih dan I Halu Rakryan Subandira
telah pergi sejak tadi. Mereka memanfaatkan kesempatan ketika terjadi bentrokan antara
Anggraini Sulistya dengan Saka Purdianta.
5 Pengemis Binal menghabiskan waktunya
seharian untuk membaca isi Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi. Dipelajarinya tentang selukbeluk perang. Bagian yang berisi cara-cara menghimpun tenaga prana untuk
sementara disisihkan. "Panglima Pranasutra benar-benar seorang panglima perang yang hebat...,"
puji Pengemis Binal pada penyusun kitab yang sedang dipelajarinya. Mata Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu berbinar ketika menutup sampul kitab. Saat hendak bangkit dari duduknya,
terdengar pintu diketuk dari luar.
"Siapa?" tanya Suropati.
"Buka pintu, Suro. Ini aku!" jawab orang di balik pintu.
"Oh, kau, Putri. Masuk saja. Pintu tidak
dikunci." Pintu terkuak. Muncullah seraut wajah
cantik jelita. Matanya mengerjap ke arah Pengemis Binal. Dan, bibirnya menyunggingkan senyum manis. Jantung Pengemis Binal kontan
berdegup lebih kencang. Ditatapnya sosok gadis
berpakaian serba merah yang berdiri di ambang
pintu. "Ada apa, Putri?" tanya remaja tampan itu.
"Kau menyelesaikan semadimu, apakah luka dalam yang kau derita telah dapat
diatasi." "Sudah kubilang hanya luka dalam ringan,
Suro. Kenapa kau begitu khawatir?" ujar Ingkanputri atau Dewi Baju Merah.
"Aku khawatir karena tak mau kehilangan
kau," sahut Pengemis Binal sambil tersenyum-senyum.
"Uh! Rayuan gombal!" rutuk Ingkanputri seraya berjalan mendekat.
"Apakah kau hendak meminta kitab milikmu ini?" Pengemis Binal menunjuk kitab yang terletak di atas meja.
"Sudah selesai kau pelajari?"
Suropati mengangguk.
"Kebetulan sekali. Tadi Ayahanda Prabu
memintaku untuk memanggil kau."
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk membicarakan kemelut
di negeri ini. Sudahkah kau mendapat siasat jitu
untuk menghadapi kekuatan pemberontak?"
tanya Ingkanputri. Ingin diketahuinya rencana
Suropati, setelah membaca Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi. Pengemis Binal menggaruk-garuk kepala.
Ditatapnya wajah Ingkanputri dalam-dalam. Lalu, dia bangkit dan menutup daun
pintu. "Eh, kau mau apa, Suro?" tanya Dewi Baju Merah, curiga.
"Uts! Jangan keras-keras!"
"Ayo! Gendengmu mulai kumat! Aku tidak
suka!" Ingkanputri melompat ke samping untuk menghindari pelukan Pengemis Binal.
Tapi, remaja konyol itu terus memburu.
"Kutampar wajahmu baru tahu rasa!" ancam Dewi Baju Merah.
"Nih! Tampar saja!"
Suropati berjalan mendekat sambil menyodorkan wajah dengan bibir dimonyongkan. Mata
Ingkanputri mendelik. Tangan murid Dewi Tangan Api itu bergerak hendak menampar. Tapi, keburu ditangkap oleh Pengemis Binal. Ditariknya
tubuh gadis itu dan dipeluknya erat-erat.
"Kau cantik sekali, Putri...."
"Uh! Uh! Lepaskan! Aku tidak butuh
rayuan gombal!" rungut Dewi Baju Merah sambil menggeliat-geliat berusaha
melepaskan diri.
"Lalu, apa yang kau butuhkan" Ciuman?"
Suropati mempererat pelukannya. Ingkanputri membuang wajah ketika remaja konyol itu
hendak mendaratkan ciuman. Suropati tertawa
terkekeh-kekeh. Dia hendak memaksakan kehendak. Namun.... Bluk...! "Aduh!"
Pengemis Binal meloncat ke belakang. Didekapnya celana bagian depan yang terhantam
lutut Ingkanputri. Saking sakitnya, remaja konyol itu menggeliat-geliat sambil
terus mengaduh. Ingkanputri malah tertawa cekikikan melihat Suropati berlinang air mata.
"Rasakan!" ejek Dewi Baju Merah.
Namun..., betapa terkejutnya gadis cantik
itu. Geliatan tubuh Suropati melemah dan tibatiba tergeletak di lantai tak bergerak lagi.
"Suro!" pekik Ingkanputri, khawatir.
Tubuh Suropati diguncang-guncangkan.
Tapi, tubuh remaja konyol itu tetap terbujur di-am. "Pingsan sungguhankah dia?"
ujar Ingkanputri berkata sendiri. "Jangan-jangan dia hendak menipuku. Mau
mengambil kesempatan ketika
aku lengah...."
Ingkanputri membuka kelopak mata Pengemis Binal. Begitu melihat bola mata remaja konyol itu bergerak ke atas, bibir
Ingkanputri menyungging senyum. Lalu....
Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduh!"
Suropati menjerit kesakitan ketika cubitan
keras Ingkanputri mendarat di pahanya.
"Kau pikir bisa menipuku?" ejek Dewi Baju Merah. "Kau menyakiti aku, Putri.
Apakah kau su- dah tidak mencintaiku lagi?"
Mendengar pertanyaan Pengemis Binal, Ingkanputri jadi gelagapan. "Aku..., aku...."
"Aku apa?" buru Pengemis Binal.
"Caramu ini yang tidak aku suka!"
"Yang kau suka?"
"Sudah! Sudah! Kau ditunggu Ayahanda
Prabu!" Suropati memegang lengan Ingkanputri ketika gadis itu hendak membuka daun pintu. "Sebentar...," katanya. "Ada sesuatu
yang harus kau ketahui."
Melihat kesungguhan Suropati, Ingkanputri mengurungkan niatnya. Tapi begitu dia lengah, Suropati bertindak cepat.
Dilumatnya bibir gadis itu.... "Uh! Lepaskan!"
Tentu saja Suropati yang sedang kumat
gendengnya tak mau menuruti permintaan Ingkanputri. Tapi, terkejutlah Suropati ketika daun pintu diketuk.
"Suro! Suro!" panggil orang di luar ruangan. Di saat Pengemis Binal melepas
dekapan- nya, Ingkanputri menghadiahkan jitakan di kepala. Remaja konyol itu tak berani mengaduh.
Hanya, sudut bibir kirinya tertarik ke atas karena menahan rasa sakit.
"Suro!" panggilan di luar terdengar lagi.
"Ya," sahut Suropati seraya bergegas membuka daun pintu. Ternyata Anggraini
Sulistya yang mengetuk pintu.
"Eh, sedang apa kalian?" tanya gadis itu ketika melihat Ingkanputri berada di
dalam ruangan. "Ah, kami sedang main kelereng tadi...," kilah Pengemis Binal
sekenanya. Anggraini Sulistya mendekap mulutnya karena tak mampu menahan geli. Ingkanputri langsung menyepak kaki Pengemis Binal.
"Main kelereng gundulmu itu!" maki Dewi Baju Merah.
"He he he...," Suropati tertawa terkekeh.
"Jangan mungkir, Putri. Kau tadi telah menen-dang 'kelereng'-ku! Ayo, mengaku
saja!" Di ujung kalimatnya Pengemis Binal tertawa terkekeh lagi. Ingkanputri cemberut. Putri Cahaya Sakti langsung menukasnya,
"Hentikan ta-wamu, Suro! Saat ini bukan waktunya untuk bercanda!" "Ya..., ya, aku tahu, Aini...," sahut Pengemis Binal. "Aku harus segera
menghadap Ayahanda Prabu. Bukankah kedatanganmu juga untuk menyampaikan panggilan itu?"
"Kau sudah mempelajari isi Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi hingga tuntas?" bukannya menjawab, Anggraini Sulistya malah
membelok-kan pembicaraan.
Suropati mengangguk.
"Kau sudah menemukan cara untuk mengatasi pasukan I Halu Rakryan Subandira si
pengkhianat keparat itu?"
Suropati terlihat garuk-garuk kepalanya.
"Bagaimana, Suro?" desak Anggraini Sulistya. Suropati hanya nyengir kuda, lalu tertawa terkekeh-kekeh. *** Walau tampak konyol dan amat bodoh, tapi
otak Pengemis Binal sebenarnya sangat cemerlang. Prabu Singgalang Manjunjung Langit mengangguk-anggukkan kepala ketika Suropati menyampaikan gagasannya.
"Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi berisi
tentang seluk-beluk peperangan. Termasuk bagaimana mengatasinya. Tapi, cara mengatasi itu tergantung pada kemampuan kepala
pasukan untuk menyusun siasat. Tergantung juga pada besarkecilnya pasukan...," tutur Pengemis Binal. "Jadi, untuk mengatasi kemelut di
negeri ini Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi tidak memberikan cara apa-apa. Siasat yang jitu harus kita susun
sendiri. Tentu saja dengan berpedoman pada isi
kitab." "Kau yakin apa yang telah kau sampaikan kepadaku tadi dapat membuahkan
hasil?" tanya sang Raja, menimbang keyakinan Pengemis Binal.
Suropati menggaruk kepalanya yang tak
gatal. "Tadi sudah saya katakan kepada Ayahanda Prabu, untuk mengatasi kemelut
di negeri ini ada dua cara. Pertama, kita tangkap pemimpinnya.
Dengan demikian nyali pasukan pemberontak
akan ciut. Mereka perlu berpikir beberapa kali la-gi untuk melanjutkan
pemberontak. Mereka juga
butuh pemimpin baru. Nah, ketika mereka sedang
dilanda kesulitan inilah saat yang tepat untuk
menggempur."
"Tapi, kukira cara pertama itu sulit dilaksanakan. Kita tidak tahu di mana I
Halu Rakryan Subandira berada. Setelah kepergok di puri kecil di perbatasan
selatan kotapraja, dia tentu akan lebih berhati-hati," tutur Prabu Singgalang
Manjunjung Langit.
"Agaknya memang demikian. Cara pertama
tampaknya sulit dilaksanakan...," tegas Pengemis Binal. "Namun, cara kedua lebih
mudah. Bila Ayahanda menyetujui, sore ini juga kita laksanakan." "Aku mendukung
jalan pikiranmu sepenuhnya, Anakku...," ujar sang Raja. Direngkuh-nya bahu
Suropati, lalu dipeluknya erat-erat.
"Hyang Widhi maha adil...," bisiknya. "Kebenaran pada akhirnya akan dapat
mengalahkan kebati-lan." Suropati terharu mendengar ucapan Prabu Singgalang
Manjunjung Langit. Dia balas memeluk. Dinikmatinya kebahagiaan bersama orangtua
kandung yang baru diketahuinya beberapa hari
lalu. Lama sekali mereka saling berpelukan. Tapi, Suropati yang konyol tiba-tiba
menggaruk-garuk
kepala sambil cengar-cengir.
"Kenapa kau, Suro?" tanya sang Raja, heran. "Ah, tidak apa-apa. Hanya...."
"Hanya apa?"
"Tadi Ayahanda Prabu memelukku sangat
erat. Padahal aku belum mandi sejak pagi. He he
he...." Mendengar ucapan putranya, Prabu Singgalang Manjunjung Langit tersenyum
tipis. Lalu, turut tertawa terkekeh-kekeh.
*** Sore itu juga diumumkan kepada seluruh
warga kotapraja bahwa akan terjadi penyerbuan
pasukan tak dikenal. Prabu Singgalang Manjunjung Langit memerintahkan agar mengungsi esok
pagi buta, demi keselamatan warga kotapraja.
Maka ketika keesokan harinya seluruh
warga kotapraja berbondong-bondong mengungsi,
bingunglah pasukan pemberontak yang dipimpin
I Halu Rakryan Subandira. Apalagi Prabu Singgalang Manjunjung Langit membagi warga kotapraja
menjadi dua. Satu bagian mengungsi ke selatan.
Satu bagian lagi ke utara.
"Apa tidak sebaiknya kesempatan ini kita
gunakan untuk menggempur istana?" usul Karma Salodra saat mengadakan perundingan
kilat. I Halu Rakryan Subandira mengerutkan
kening. Otaknya dipaksa berpikir keras.
"Aku tahu pengungsian seluruh warga kotapraja ini adalah siasat Prabu Singgalang Manjunjung Langit...," lanjut Malaikat Baju Putih.
"Sebaiknya siasat itu kita lawan pula dengan siasat. Kalau kita gempur istana,
mereka tidak akan mengira."
"Siapa bilang?" sahut I Halu Rakryan Subandira. "Raja tua itu tentu telah
memperhitung- kan segalanya. Aku khawatir bila kita menggempur istana, justru kita masuk perangkap."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
I Halu Rakryan Subandira terdiam. Diperasnya otak lebih keras lagi. Wajahnya terlihat semakin tua dan murung.
"Kalau saja Kakang Subandira menyerbu
istana sejak dulu-dulu, akibatnya tidak akan seperti ini...," gerutu Karma
Salodra. "Jangan menyalahkan aku!" bentak I Halu Rakryan Subandira. "Semua rencana yang
telah kususun hancur berantakan gara-gara kemunculan Suropati dan Ingkanputri
keparat itu. Dan la-gi, Tumenggung Sangga Percona pun sangat bertele-tele dalam mengambil keputusan. Makanya
aku perintahkan untuk membunuh Tumenggung
Lemah Abang itu!"
Mendengar keluhan kakaknya. Karma Salodra hanya membisu.
"Aku tak mau kekuatan pasukanku terbaca
pihak istana," lanjut I Halu Rakryan Subandira.
"Segera kau kembali ke kotapraja, Salodra. Bagi pasukan menjadi dua. Ikuti ke
mana warga kotapraja mengungsi."
"Lalu?"
"Begitu mendapat kesempatan, kita gempur
istana!" "Kenapa tidak langsung saja saat warga kotapraja mengungsi?" tanya Karma Salodra sekaligus mengajukan lagi usulnya.
"Bodoh! Bagaimana kita bisa menyatukan
kekuatan bila keadaan di kotapraja sedang kacau" Di istana ada Anggraini Sulistya dengan Pasukan Hitam-nya. Belum lagi
Suropati, Ingkanputri, dan Raka Maruta. Ada pula Senopati Guntur
Selaksa dan Patih Sanca Singapasa. Mereka semua orang-orang yang tak bisa dipandang rendah." "Baiklah, aku ke kotapraja sekarang," Karma Salodra akhirnya menyerah juga
pada ke- mauan kakaknya.
*** Pagi baru saja datang. Sinar mentari menyapa Kotapraja Pasir Luhur. Namun, sapaan itu
tak tersambut keramaian orang seperti hari-hari biasa. Seluruh warga kotapraja
telah meninggalkan tempat kediaman mereka.
Para pengungsi yang menuju arah selatan
tampak bingung ketika Senopati Guntur Selaksa
memerintahkan untuk kembali. Alasannya, pasukan tak dikenal mengurungkan niat untuk menyerbu. Sebagian orang menyambut gembira. Sebagian lagi menggerutu. Mereka menduga Prabu
Singgalang Manjunjung Langit terlalu cepat mengambil keputusan untuk mengungsikan warganya. Ternyata kekhawatiran akan terjadinya
pertempuran tak terbukti. Tapi walau bagaimanapun, mereka menurut saja.
Di pintu gerbang kotapraja mereka disambut puluhan prajurit bersenjata lengkap. Tidak
semua warga kotapraja boleh memasuki kota. Mereka harus dapat menunjukkan bukti sebagai
warga kotapraja. Dari sinilah terlihat siapa warga yang asli dan siapa pasukan
pemberontak yang
dipimpin I Halu Rakryan Subandira. Akhirnya para pemberontak itu bersembunyi di suatu tempat.
Mereka tak kembali ke kotapraja.
Saat pengungsi yang menuju ke selatan telah kembali, pengungsi kelompok kedua ganti diminta kembali ke kotapraja. Dengan penjagaan
yang sangat ketat di gerbang kotapraja, pasukan I Halu Rakryan Subandira yang
sedang menyamar
tak satu pun dapat masuk ke kotapraja.
"Langkah pertama berhasil kita laksanakan
dengan baik, Ayahanda Prabu...," ujar Pengemis Binal di istana. "Langkah
berikutnya adalah menggempur para pemberontak itu. Karena mereka kelompok yang
terdiri dari ratusan orang,
mudah saja untuk mengetahui di mana mereka
berada." "Benar otakmu, Suro," tegas Prabu Singgalang Manjunjung Langit. "Lebih baik
menggempur daripada digempur. Sekarang kau bantu Senopati
Guntur Selaksa dan Patih Sanca Singapasa untuk
menumpas pasukan I Halu Rakryan Subandira."
"Saya akan membantu dengan sekuat tenaga," ujar Pengemis Binal.
*** Pertempuran besar-besaran terjadi di sebuah bukit yang terletak di sebelah barat kotapraja. Walau prajurit istana kalah
dalam jumlah, tapi karena dibantu tokoh-tokoh persilatan, mereka
dapat memukul mundur pasukan I Halu Rakryan
Subandira. Ketika Kalasangit terbunuh, pasukan pemberontak makin kocar-kacir. I Halu Rakryan Subandira melarikan diri ke utara. Karma Salodra
atau Malaikat Baju Putih turut melarikan diri pu-la, arahnya ke timur. Kedua
pemberontak itu
memendam rasa kecewa yang sangat karena citacita mereka tak kesampaian.
Karma Salodra berlari ke arah Kerajaan
Anggarapura. Namun, langkahnya terhenti ketika
dia tahu di belakangnya mengikuti seorang pemuda berpakaian putih-kuning.
"Kentut busuk! Berani benar kau mengikuti Malaikat Baju Putih!" maki Karma Salodra sambil menggedrukkan kaki ke tanah.
Penguntit yang tak lain Raka Maruta atau
Pendekar Kipas Terbang cuma tersenyum. "Kenapa kau malah berlari ketika anak
buahmu terde- sak" Bukankah itu menandakan dirimu seorang
pengecut?" ejeknya.
"Ha ha ha...!" Malaikat Baju Putih malah tertawa bergelak. "Bila jalan yang
dituju sudah tak dapat dilewati, kenapa kau tidak mengambil
jalan yang lain?"
"Itu tandanya kau memang seorang pengecut! Tidak kau coba singkirkan aral yang merintangi jalanmu itu."
"Apakah itu berarti kau memintaku untuk
meneruskan pemberontak?" jebak Malaikat Baju Putih. "Tidak. Aku hanya ingin kau
bersikap ksa- tria." "Persetan dengan semua itu! Biarkan aku pergi. Aku akan sangat berterima
kasih." "Tapi, aku akan sangat berterima kasih lagi seandainya kau menyerah untuk
dihadapkan ke pengadilan istana."
"Baik, aku menyerah. Tapi, terimalah dulu
salam perkenalan dari Malaikat Baju Putih!"
Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karma Salodra meloloskan pedang yang
tersimpan di punggung. Tubuhnya langsung berkelebat dengan tusukan maut ke ulu hati Raka
Maruta. Trang...! Kipas baja putih di tangan Pendekar Kipas
Terbang mampu mementalkan pedang Karma Salodra. Lelaki itu menggeram gusar merasakan
tangannya kesemutan. Untung pedangnya tidak
lepas dari pegangan.
"Aku beri kesempatan kepadamu untuk
menyerah. Barangkali Baginda Prabu berkenan
memberi hukuman yang lebih ringan," ujar Raka Maruta.
"Simpan kata-katamu itu!"
Usai berkata, kembali tubuh Malaikat Baju
Putih berkelebat. Pendekar Kipas Terbang segera mengibaskan senjata andalannya
ke samping kanan. Selarik sinar putih melengkung memapaki
tubuh Karma Salodra yang masih melayang.
Lelaki itu terkejut setengah mati. Tusukan
pedangnya diurungkan. Dalam kedudukan tak
menguntungkan ini pedang panjangnya diputar di
depan dada. Terdengar letusan yang menyakitkan. Bunga api memercik ke berbagai penjuru. Tubuh
Karma Salodra terpental balik lalu terjengkang ke tanah. "Uh!" keluh Malaikat
Baju Putih seraya bangkit berdiri. "Keparat kau, Maruta!"
Kembali adik I Halu Rakryan Subandira itu
menerjang Raka Maruta. Kali ini dia lebih waspa-da. Dimainkan jurus-jurus pedang
terhebat yang dimilikinya. Namun Raka Maruta yang memainkan jurus 'Kipas Terbang Membelah Angin' dapat
mengimbangi. Bahkan, kipas baja putih Raka Maruta terlihat melayang-layang di udara bagai bu-merang yang dikendalikan dari
jauh. Repotlah Karma Salodra. Semua serangannya selalu dapat
digagalkan. Trang...! Malaikat Baju Putih memekik keras. Pedang di tangannya terlontar ke udara ketika
membentur kipas baja putih. Belum sempat dia
mengawali serangannya, kipas baja putih telah
melesat sangat cepat.
"Argh...!"
Karma Salodra bergerak mundur tiga langkah. Tangannya mendekap bahu kiri yang koyak
lebar terpapas senjata Raka Maruta. Cairan darah merembes dari sela-sela jemari.
Tiba-tiba mata Malaikat Baju Putih bersinar aneh. "Diamlah di tempatmu, Maruta!" perin-tahnya dengan dilambari ilmu
sihir. Rupanya ilmu sihir lelaki berambut dikucir
itu mempunyai kekuatan hebat. Raka Maruta
termangu di tempatnya. Kipas baja putih yang
masih melayang di udara langsung jatuh ke tanah karena tak dikendalikan lagi.
Melihat kesempatan bagus ini, Malaikat
Baju Putih menyorongkan kedua telapak tangannya ke depan. Dua larik sinar kuning meluruk ke arah Raka Maruta yang masih
berdiri terpaku!
Wuuusss...! Blaaarrr...! Ledakan dahsyat membahana di angkasa.
Bebatuan bercampur gumpalan tanah berhamburan. Tubuh Pendekar Kipas Terbang mencelat dan
jatuh berdebam ke tanah. Tapi, dia segera bangkit berdiri tanpa mengalami cedera
yang berarti. Tubuhnya hanya terhempas akibat guncangan bumi. Agaknya, ada orang yang telah memapaki pukulan jarak jauh Karma Salodra.
"Aku menduga kaulah orang suruhan I Halu Rakryan Subandira yang membunuh ayahku,
Salodra!" ujar Saka Purdianta atau Dewa Guntur.
Pemuda ini tiba-tiba saja muncul.
"Hmm.... Kau hendak mencampuri urusan
orang, Saka!" sahut Karma Salodra. "Kenapa kau menyelamatkan Raka Maruta" Apakah
kini kau telah menjadi orang baik-baik untuk menebus
semua dosamu?"
"Jangan banyak bacot! Akui saja kalau kau
yang telah membunuh ayahku!"
"Ha ha ha...!" Malaikat Baju Putih tertawa bergelak. Namun, segera terhenti
karena darah terus mengucur dari luka di bahu kirinya. "Aku tak punya waktu bermain-main
dengan kalian!"
Karma Salodra menghemposkan tubuhnya
untuk berlalu dari hadapan Saka Purdianta dan
Raka Maruta. "Mau lari ke mana kau"!" bentak Dewa
Guntur seraya meloncat tinggi. Dihadangnya gerakan Karma Salodra.
Duk...! Kepalan tangan Saka Purdianta membentur siku kanan Karma Salodra. Begitu menginjak
tanah, Saka Purdianta meloloskan pedang yang
terselip di pinggang.
"Aku ingin kau mengakui bahwa kau yang
membunuh ayahku, Salodra!" ujar Dewa Guntur sambil menudingkan ujung pedangnya
ke muka Karma Salodra. Malaikat Baju Putih tersenyum tipis. "Kalau benar aku yang membunuh ayahmu, kau
mau apa" Bukankah Tumenggung Sangga Percona itu kakek-kakek lamban yang sudah patut mati?" "Bangsat!" umpat Dewa Guntur. Pedangnya dikibaskan ke leher Karma Salodra. Tapi,
lelaki setengah baya itu telah lebih dulu meloncat ke
samping. Ketika terjadi pertempuran antara Saka
Purdianta dengan Karma Salodra, Raka Maruta
mencari kipas baja putihnya yang tadi mencelat
jauh. Begitu didapatkan, dia segera turut menerjang Karma Salodra.
"Aku tak hendak membunuhmu, Salodra.
Kecuali kau terus melawan," ujar Pendekar Kipas Terbang.
"Tapi aku tetap akan membunuhmu, Bangsat!" sahut Malaikat Baju Putih di antara cecaran serangan.
Menghadapi dua lawan bersenjata, keadaan Karma Salodra sangat payah. Apalagi luka
di bahu kirinya masih terus mengucurkan darah.
Itu membuat tenaganya semakin terkuras. Tak
sampai sepeminum teh, pedang Saka Purdianta
berhasil merobek punggung lawan. Raka Maruta
pun membuat luka di pinggang kiri.
"Keparat!" umpat Malaikat Baju Putih. Tubuhnya sudah berdiri sempoyongan.
Pakaian yang dikenakannya berlumuran darah. Tapi, tak
hendak dia menyerah. Tiba-tiba matanya berkilat aneh, sementara tangan kanannya
mengeluarkan pisau kecil dari balik baju.
"Awas! Dia hendak mengeluarkan ilmu sihir!" Pendekar Kipas Terbang mengingatkan Dewa Guntur.
Peringatan itu sebenarnya tak perlu. Dewa
Guntur telah mengetahuinya. Maka sebelum
Karma Salodra mengeluarkan ilmu sihirnya, dia
telah berkelebat.
Crash...! Jerit nyaring membahana di angkasa. Beberapa saat tubuh Karma Salodra tetap berdiri.
Namun ketika angin berhembus lebih kencang,
tubuh terbungkus pakaian putih noda darah itu
jatuh berdebam ke tanah dengan tanpa kepala!
Saka Purdianta menarik napas panjang.
Ditatapnya wajah Raka Maruta lekat-lekat. "Aku tahu kau mencintai Anggraini
Sulistya. Aku pun
tahu putri Baginda Prabu itu juga mencintaimu.
Tak ingin aku menghancurkan kebahagiaan kalian." Mendengar kata-kata Saka Purdianta, Raka Maruta diam saja. Dia tak tahu
akan mengucapkan apa. Yang jelas, Raka Maruta tahu benar
kalau Saka Purdianta patah hati. Cintanya pada
Anggraini Sulistya tak kesampaian.
"Kau sangat gagah, Maruta...," puji Dewa Guntur dengan suara bergetar.
"Anggraini Sulistya pun cantik jelita. Kalian adalah pasangan
yang serasi. Dewa Guntur mengucapkan selamat..." Di ujung kalimatnya, Saka Purdianta berkelebat pergi meninggalkan Raka
Maruta. Pemuda itu masih juga belum membuka suara. Hanya dipandanginya kepergian Saka Purdianta.
*** Di pinggir hutan jati jauh ke utara kotapraja tampak pertempuran sengit. Seorang lelaki setengah baya melawan seorang
remaja tampan dua
puluh tahunan. Yang tua mengenakan jubah
kuning sedang yang muda berpakaian putih penuh tambalan dan bersenjatakan tongkat kayu
butut. Mereka adalah I Halu Rakryan Subandira
dan Suropati atau Pengemis Binal. Rupanya, Suropati dapat menyusul I Halu Rakryan Subandira
yang melarikan diri setelah pasukannya terdesak.
Dilihat dari keadaan ajang pertempuran,
kedua petarung itu agaknya sudah sekian lama
saling serang. Di sana-sini terlihat kubangan di tanah. Beberapa pohon jati
telah tumbang. Ke-mungkinan besar tertimpa pukulan jarak jauh
yang nyasar. Pedang di tangan I Halu Rakryan Subandira berkelebatan sangat cepat. Setiap lelaki tua itu membabat atau menusuk maka
malaikat maut pun mengintai nyawa lawannya.
Serangan I Halu Rakryan Subandira terkadang dapat dimentahkan dengan tangkisan tongkat Pengemis Binal. Suropati tak dapat berbuat
banyak ketika I Halu Rakryan Subandira mengebutkan ujung lengan jubahnya. Tubuh remaja
konyol itu terjajar dua depa. Gelombang angin besar yang timbul dari kebutan
Pusaka Jubah Kuning telah menghempaskan tubuhnya. Saat itulah I Halu Rakryan Subandira melesat
cepat dengan ujung pedang diacungkan lurus ke depan.
Tas...! Untunglah Suropati masih sempat berkelit
ke samping. Tapi, tak urung tongkatnya mencelat lepas dari pegangan ketika
membentur pedang.
"Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira tertawa penuh kemenangan. "Kini tamatlah
ri-wayatmu, Pengemis Binal. Akan kutusuk jantungmu!" Pengemis Binal meloncat tinggi ketika I Halu Rakryan Subandira meluruk maju. Dalam keadaan masih melayang di udara, dihantamkan telapak kaki kanannya ke punggung kepala pengawal istana tersebut.
Desss...! Tendangan Suropati mengenai sasaran
dengan telak. I Halu Rakryan Subandira terjungkal, lalu bergulingan di tanah. Tapi dia segera bangkit tanpa mengalami luka.
Pusaka Jubah Kuning yang dikenakan telah menyelamatkannya.
Pengemis Binal terkejut juga melihat lawannya bangkit begitu mudah. Padahal tendangannya tadi dilambari seluruh kekuatan tenaga
dalam. "Hmm.... Wajahmu pucat, Bocah Edan!
Agaknya kau sudah melihat Malaikat Kematian!"
ejek I Halu Rakryan Subandira.
"Tepat! Aku memang melihat Malaikat Kematian. Namun, yang akan dia cabut adalah nyawamu!" balas Pengemis Binal.
I Halu Rakryan Subandira menggeram.
Diserangnya Suropati lebih ganas. Tapi dengan
mengandalkan jurus 'Pengemis Meminta Sedekah', remaja konyol itu mampu menepis semua
serangan. Bahkan berkali-kali tubuh I Halu Rakryan Subandira kena pukulan atau tendangan.
Suropati pun bertambah penasaran. Pusaka Jubah Kuning benar-benar membuat tubuh I Halu
Rakryan Subandira jadi kebal.
"Hmm.... Kenapa tak kugunakan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'?" pikir Suropati.
Merasa mendapat akal bagus, Pengemis
Binal bergegas menghemposkan tubuh menjauhi
ajang pertempuran. Begitu menginjak tanah, dia
satukan dua telunjuk jari tangannya di depan da-da. Dikerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalam dan ilmu sihirnya. Tubuh Pengemis Binal berkelebat menjadi sebuah bayangan hampir kasatmata. Blab! Blab! Blab!
Bayangan Suropati mengitari tubuh I Halu
Rakryan Subandira yang cuma berdiri terpaku
karena terkena pengaruh sihir.
Namun, betapa terkejutnya Suropati. Ketika melancarkan totokan, ujung jari telunjuknya
bagai membentur lempengan baja amat keras. Ilmu totokan 'Delapan Belas tapak Dewa' ternyata
tak mempan. "Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira yang sudah lepas dari pengaruh sihir
langsung tertawa terbahak-bahak. "Kenapa kau malah me-mijat-mijat tubuhku, Bocah Edan"!"
"Uh! Jubah Kuning yang dikenakan
pengkhianat itu benar-benar jubah pusaka...," ka-ta hati Pengemis Binal. "Untuk
mengalahkannya aku harus menanggalkan jubah itu."
"Hei! Kenapa kau malah diam, Bocah
Edan"!" ejek I Halu Rakryan Subandira. "Apakah kau berpikir untuk melepaskan
aku" Atau,
mungkin kau ingin menjadi muridku?"
"Cih! Siapa sudi menjadi murid pengkhianat busuk sepertimu"!" sahut Pengemis Binal.
Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Remaja konyol itu segera memusatkan seluruh
pikirannya untuk menghimpun kekuatan batin.
Begitu dapat, matanya langsung memancarkan
sinar aneh. "Tanggalkan jubah yang kau pakai, Subandira!" perintah Suropati dengan dilambari seluruh kekuatan sihirnya.
Tapi, I Halu Rakryan Subandira yang tak
mau terkecoh untuk kedua kalinya ketika termakan sihir Suropati saat menyerahkan Kitab Selak-sa Dewa Turun Ke Bumi, segera
mengebutkan jubahnya tiga kali. Hasilnya sungguh luar biasa.
Bukan saja pengaruh sihir Suropati yang lenyap, gelombang angin amat dahsyat pun
meluruk. Pengemis Binal berloncatan ke sana kemari
menghindari gelombang angin dahsyat. Jadi bebal otaknya memikirkan cara untuk
mengalahkan I Halu Rakryan Subandira. Tapi dia tidak mau putus asa. Suropati teringat pada pesan Anggraini Sulistya sebelum berangkat
memburu kepala pengawal istana yang hendak makar itu. Anggraini Sulistya meminjamkan padanya Keris Sengkelit Bayu Geni yang merupakan benda
pusaka kerajaan. Suropati dapat mempergunakan keris itu ji-ka memang keadaan
begitu mendesak dan keberadaan Keris Sengkelit Bayu Geni sangat diperlukan. "Sekarang kita sama-sama
memakai benda mustika. Agaknya, pertempuran ini harus berak-hir dengan kematian
salah seorang di antara kita," ujar Pengemis Binal seraya mengacungkan Keris Sengkelit Bayu Geni di tangan
kanannya. "Hmmm.... Walau umurmu masih bau
kandungan, tapi aku tahu kau memiliki kesaktian hebat. Tak malu aku mati di
tanganmu," sahut I Halu Rakryan Subandira. Raut wajahnya terlihat
tenang-tenang saja. Tapi sesungguhnya jauh di
dalam hati lelaki tua itu merasa cemas juga. Dia tahu pasti keampuhan keris
pusaka kerajaan tersebut. I Halu Rakryan Subandira memasang kuda-kuda, Pengemis Binal memandang sebentar
pamor Keris Sengkelit Bayu Geni di tangannya.
Lalu saat I Halu Rakryan Subandira menerjang,
Pengemis Binal menghemposkan tubuh memapaki tendangan lawan.
Pertempuran sengit berlangsung kembali.
Dalam beberapa kali gebrakan saja, I Halu Rakryan Subandira berhasil dibuat sangat kerepotan. Dan ketika Pengemis Binal memainkan jurus
'Pengemis Menebah Dada'....
Set...! "Wuaah...!"
Mata I Halu Rakryan Subandira mendelik.
Sikunya tergores ketajaman Keris Sengkelit Bayu Geni. Bayangan ngeri jelas
terpancar di wajahnya.
Suropati terlihat kaget melihat perubahan
di tubuh lelaki berjubah kuning itu. Kulit tubuh I Halu Rakryan Subandira
sedikit demi sedikit melepuh. Lalu, jerit kesakitan pun membahana di
angkasa. I Halu Rakryan Subandira ambruk ke
tanah. Lolongan yang lebih keras terdengar. Kulit I Halu Rakryan Subandira yang
melepuh tampak mengelupas. Dan..., matilah pengkhianat itu dengan keadaan yang mengerikan.
Pengemis Binal bergidik ngeri. Dengan sangat hati-hati diambilnya Pusaka Jubah Kuning
yang dikenakan I Halu Rakryan Subandira. Begitu jubah itu terlepas dari tubuhnya
tak ada bekas-bekas yang menempel akibat melepuhnya kulit
tubuh. Suropati kemudian bergegas kembali ke
istana. Hampir bersamaan waktunya dengan kematian I Halu Rakryan Subandira, prajurit kerajaan berhasil memukul mundur pasukan pemberontak. Banyak yang melarikan diri. Tapi lebih
banyak yang mati di ajang pertempuran. Hanya
beberapa orang saja yang bersedia menyerahkan
diri untuk menjadi tawanan.
Anggraini Sulistya, Ingkanputri, Patih Sanca Singapasa, Senopati Guntur Selaksa bersama
prajurit segera kembali ke kotapraja dengan
membawa kegembiraan.
Padamlah api pemberontakan di negeri Pasir Luhur. Kebahagiaan Prabu Singgalang Manjunjung Langit tak bisa digambarkan lagi. Selain mendapatkan kembali putranya
yang hilang ketika masih bayi, juga dapat teratasi cobaan di nege-rinya. Semua
ini merupakan anugerah Tuhan
yang tak ternilai harganya. Sang Prabu pun berkenan mengadakan pesta syukuran. Sekaligus
pesta pernikahan Anggraini Sulistya dengan Raka Maruta alias Pendekar Kipas
Terbang. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Pedang Pelangi 21 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Tiga Dara Pendekar 31
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama