Ceritasilat Novel Online

Durjana Pemetik Bunga 2

Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga Bagian 2


kuti dengan pandangan mata, sampai wanita itu pergi
dengan kudanya menuju arah yang ditunjuk Rangga
tadi. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh dan tersenyum melihat Ki Sarman sudah berdiri di ambang
pintu yang berhubungan langsung dengan belakang
kedai ini. * * * Bayan Sangkuni tetap yakin kalau yang ada di
hadapannya sekarang ini adalah Raja Karang Setra
yang baru dinobatkan beberapa waktu lalu. Meskipun
dia bukan undangan khusus waktu itu, tapi sempat
melihat jelas wajah Rangga ketika dinobatkan sebagai
raja di Karang Setra.
Keyakinan Bayan Sangkuni ini membuat Rangga
sedikit kikuk mulanya. Meskipun sudah diyakinkan
dan disanggah semua keyakinan Sangkuni, tapi tetap
saja sesepuh Desa Jati Ireng itu menganggap Rangga
adalah Raja Karang Setra. Dengan demikian berarti
seluruh rakyat Desa Jati Ireng berada di bawah
kekuasaannya karena Desa Jati Ireng dibawah kekuasaan Kerajaan Karang Setra.
"Maafkan atas penyambutan kami yang kurang
berkenan di hati Gusti Prabu," kata Bayan Sangkuni
seraya membungkukkan badannya.
Rangga mengangkat bahunya melihat Ki Sarman,
Somad, Mirad dan Ki Parungkit serentak duduk bersimpuh di lantai kedai ini, mengikuti sikap Bayan
Sangkuni. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi setelah Bayan Sangkuri mengatakan
kalau dia melihatnya ketika hari penobatan berlangsung. "Seharusnya kalian tidak perlu bersikap begitu.
Marilah, duduk di sini bersamaku," kata Rangga.
Dengan sikap ragu-ragu, akhirnya mereka semua
duduk bersama-sama Rangga pada satu meja. Tanpa
diperintah lagi, Ki Sarman menyediakan hidangan istimewa dengan menu khusus pula. Ada rasa haru di
dalam hati Rangga melihat orang-orang itu menunjukkan kesetiaannya.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi di sini?" tanya
Rangga. "Semua ini akibat perbuatan si Durjana Pemetik
Bunga, Gusti," Ki Parungkit mencoba menjelaskan.
"Kami sudah berusaha untuk mengadakan perlawanan, tapi si Durjana Pemetik Bunga sangat tangguh. Kami tidak berdaya menghadapinya, Gusti," sambung Bayan Sangkuni.
"Ya, aku tahu siapa yang kalian maksud. Aku pernah memergokinya ketika hendak berbuat cabul dengan seorang gadis di desa ini." kata Rangga tidak
menyebutkan dengan jelas.
"Ah! Jadi Gusti yang menolong keluarga Ki Masahar! Syukurlah, Rara Inten telah selamat dari nafsu
setannya Kamandaka!" Ki Parungkit terlonjak
"Aku hanya kebetulan lewat," Rangga merendah.
"Hamba akan menegur Ki Masahar karena berlaku
tidak layak kepada Gusti Prabu," sambung Parungkit.
"Sudahlah, lupakan saja! Yang kita bicarakan
sekarang adalah si Durjana Pemetik Bunga," sergah
Kangga. "Maaf, Gusti," sembah Ki Parungkit.
"Kalau begitu perintahkan seluruh warga Desa Jati
lreng untuk mengadakan perondaan setiap malam
karena Dewi Mawar Merah sudah berada di desa ini,
kata Rangga. Semua yang hadir di situ ternganga mendengarnya.
Hanya Ki Sarman saja yang kelihatan tenang, sebab
dialah yang mengenali pertama kali meskipun perempuan iblis itu sedang menyamar.
"Kalian juga jangan melakukan tindakan apa-apa
karena orang yang akan dihadapi bukanlah tandingan
kalian," kata Rangga melanjutkan lagi. "Dan kalau
terjadi sesuatu, cepat kalian hub...." Rangga tidak
melanjutkan kata-katanya ketika matanya yang tajam
menangkap sebuah bayangan berkelebat cepat. Denngan satu genjotan saja, tubuh Pendekar Rajawali
Sakti itu telah melesat ke udara, menjebol atap kedai
itu. "Siapa kau"!" bentak Rangga begitu kakinya menjejak atap kedai.
"Hm, hebat! Tidak percuma kau memiliki nama
besar sebagai pendekar pilih tanding, Pendekar Rajawali Sakti!" dingin dan datar suara orang yang kini
berdiri sekitar satu batang tombak di depan Rangga.
Orang itu mengenakan pakaian ketat, dengan kuku
kuku panjang berwarna hitam. Siapa lagi kalau bukan
Cakar Racun. "Kau datang menyelinap seperti maling. Apa maksudmu menguping pembicaraanku"!" bentak Rangga
tidak kalah dinginnya.
"He he he..., hiya!!" orang yang berjuluk Cakar
Racun itu tertawa sejenak, tapi tiba-tiba saja tangan
kanannya menghentak ke samping.
"Awas...!" teriak Rangga terkejut.
Dari jari-jari tangan Cakar Racun meluncur beberapa butir benda kecil berwarna hitam, dan meluruk
cepat ke arah orang-orang yang ada di depan kedai.
Secepat kilat Rangga mengibaskan tangannya, dan...
Glarrr...! Ledakan keras terjadi saat cahaya merah yang meluncur dari telapak tangan Rangga menghantam
butir-butir kecil berwarna hitam itu.
"Kalian menyingkir semua!" teriak Rangga.
Ki Parungkit dan Bayan Sangkuni segera memerintahkan beberapa orang yang ada di sekitar
halaman depan kedai itu untuk segera menyingkir.
Rangga kembali memusatkan perhatiannya pada
Cakar Racun ynng terkekeh-kekeh.
"Hebat.., hebat! Kau mampu merontokkan aji 'Racun Hitam'ku," puji Cakar Racun seraya terkekeh.
"Gusti...! Dia si Cakar Racun, dan pasti ada hubungannya dengan si Dutjana Pemetik Bunga!" teriak
Bayan Sangkuni keras.
"Huh, si besar mulut itu! Biar kubesarkan lagi mulutnya!" dengus Cakar Racun menatap tajam pada Bayan Sangkuni. Mendadak saja tubuh Cakar Racun meluruk cepat
ke bawah, dan langsung mengarah pada Bayan Sangkuni. Bersamaan dengan itu, Rangga juga meluncur
sambil mengirimkan satu tendangan menggeledek.
Cakar Racun melentingkan tubuhnya, menghindari
tendangan dahsyat bertenaga dalam sempurna itu.
"Phuih!" Cakar Racun menyemburkan ludahnya
sengit. Mata Cakar Racun sempat melirik Bayan Sangkuni setelah kakinya menjejak tanah dengan manis.
Hampir bersamaan waktunya, Rangga pun telah hinggap dengan lincah di depan Cakar Racun.
"Biar kami yang hadapi. Gusti!" teriak dua orang
yang serentak melompat ke depan.
Dua orang yang ternyata Somad dan Mirad itu
memberi hormat pada Rangga, kemudian segera
menghadapi Cakar Racun. Sebenarnya Rangga tidak
ingin kedua orang pemuda itu menghadapi lawan
yang bukan tandingannya. Tapi melihat Somad dan
Mira sudah mencabut goloknya masing-masing, Ran
pun beringsut mundur memberi kesempatan. Ki Parungkit dan Bayan Sangkuni mendekati Pendekar
Rajawali Sakti.
* * * 59 "Ah! Kenapa cacing tanah yang harus maju! Minggir! Aku tidak perlu nyawamu! Biar dia yang jadi lawanku!" geram Cakar Racun menuding Rangga. Dia
merasa terhina sekali karena harus melayani lawan
yang bukan tandingannya.
"Setan! Kupengga! kepalamu!" bentak Somad.
"Huh! Rupanya tikus-tikus di sini besar mulut
semua," dengus Cakar Racun.
"Lihat kepala, Bangsat Hiyaaa!" Somad cepat
meluruk sambil mengibaskan goloknya ke arah leher.
Cakar Racun hanya menarik sedikit kepalanya ke
belakang, maka kibasan golok Somad hanya lewat di
depan lehernya. Bersamaan dengan itu, Mirad juga
memberikan serangan ke arah perut Cakar Racun segera menggerakkan tangannya dengan cepat, dan menangkap golok Mirad. Dengan kecepatan tinggi dan
sulit diikuti mata biasa, kaki si Cakar Racun melayang deras, dan....
"Hughk!" Mirad mengeluh tertahan. Tubuhnya
langsung terjungkal begitu perutnya kena sodok kaki
Cakar Racun. Bersamaan dengan itu tangan kiri Cakar Racun
ber-elebat cepat, lalu menghantam dada Somad yang
belum menarik goloknya. Tubuh Somad terpental ke
belakang. Sebentar dia menggeliat di tanah, lalu diam
tak bergerak lagi. Dadanya hangus berlubang besar.
Begitu pula yang dialami Mirad Perutnya terburai
hitam bagai terbakar.
Dalam satu gebrakan saja dua orang pemuda Desa
Jati lreng itu tewas mengenaskan sekali. Rupanya Cakar Racun langsung mengerahkan aji 'Racun Hitam'
hanya untuk menghadapi dua orang lawan yang tingkat kepandaiannya belum ada seujung kuku jari. Hal
ini membuat Rangga menggeram marah.
"Iblis!" geram Rangga marah.
"Sudah kuperingatkan, jangan salahkan aku kalau
semua penduduk di sini mati karena mereka memang
tolol semua!" kata Cakar Racun pongah.
"Perbuatanmu sudah melewati batas, Cakar Racun. Sudah sepantasnya aku menjatuhkan hukuman
buatmu!" kata Rangga dingin dan datar suaranya.
"He he he..., hukuman apa yang akan kau berikan!
padaku" Atau kau sendiri yang akan kukirim ke neraka!" tantang Cakar Racun makin pongah.
"Bersiaplah untuk menerima hukumanku, Cakar
Racun!" Rangga menggeram.
"He he-he...," Cakar Racun terkekeh saja.
"Hih, yeaaah...!" Rangga langsung membuka jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Seketika itu juga kedua tangan Pendekar Rajawali
Sakti berubah merah membara bagai terbakar. Cakar
Racun pun segera mengerahkan jurus andalannya
yang diberi nama 'Sepuluh Jari Maut'. Dua tokoh sakti itu kini sudah saling berhadapan dengan mempersiapkan jurus andalannya masing-masing. Beberapa
saat satu sama lain hanya saling tatap, seperti sedang
mengukur tingkat jurus yang akan digunakan.
"Tahan seranganku, hiyaaa...!" bentak Cakar Racun berteriak nyaring.
Bagaikan kilat tubuh Cakar Racun meluruk dengan
kesepuluh jari-jari tangannya yang mengembang
kaku. Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, dan
dengan cepat meluruk seraya melontarkan pukulan
mautnya. Untung saja Cakar Racun buru-buru membanting diri ke tanah, sehingga pukulan maut itu
hanya menghantam tanah di sampingnya.
Tanah yang terkena pukulan Pendekar Rajawali
Sakti itu langsung berlubang mengepulkan debu.
Cakar Racun tersentak sejenak, lalu dengan cepat
kembali melancarkan serangannya dengan cepat dan
beruntun. Kedua tokoh sakti itu bertarung dengan
jurus-jurus tingkat tinggi. Gerakan-gerakannya sangat
cepat, sulit diikuti mata biasa, sehingga yang terlihat
hanya bayangan saja berkelebatan saling sambar.
Dalam waktu singkat mereka sudah beberapa kali
mengganti jurus. Semakin lama pertarungan itu berjalan, jurus-jurus yang digunakan semakin dahsyat
dan berbahaya. Tempat di sekitar pertarungan sudah
porak-poranda. Debu mengepul ke angkasa menghalangi pandangan mata. Tiba-tiba saja tubuh Cakar
Racun melenting ke luar dari pertarungan.
"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas melihat
lawannya kini mengerahkan ilmu kesaktiannya.
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Rajawali
Sakti segera mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Satu ilmu kesaktian yang sangat dahsyat dan jarang
dikeluarkan kalau tidak perlu sekali. Cahaya biru
langsung bergulung-gulung pada kedua tangan
Rangga begitu dikerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
"Hiyaaa...!" mendadak Cakar Racun berteriak keras
melengking. Bersamaan dengan itu tubuhnya melayang deras
ke arah Rangga dengan kedua tangan terpentang
depan. Jari-jari tangannya yang memiliki kuku-kuku
panjang hitam menegang kaku. Seluruh tangan Cakar
Racun berubah warnanya menjadi hitam pekat bagai
arang. "Hih!"
Rangga segera mengangkat tangannya menerima
serangan itu. Ledakan keras terdengar ketika dua
pasang tangan beradu. Cakar Racun tersentak, kaki
Rangga tidak sedikit pun bergeser posisinya, bahkan
masih tetap berdiri tegak. Tubuh Cakar Racun te
mengambang di udara dengan kedua telapak tangan
menempel pada telapak tangan Rangga.
"Heh! Apa yang terjadi!" sentak Cakar Racun kaget.
Buru-buru disentakkan kedua tangannya hendak
melepaskan diri. Tapi dia semakin kaget karena kedua


Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya bagai terpatri erat, sulit untuk dilepas lagi.
Wajah Cakar Racun langsung berubah merah s
merasa ada aliran deras mengalir keluar dari dari
tubuhnya. "Kekuatanku...!" Cakar Racun segera menya kalau
kekuatannya tersedot tanpa diinginkan.
Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri dari
cengkeraman aji 'Cakra Buana Sukma'. Tapi semakin
dikerahkan tenaganya dengan keras, semakin kuat
tangannya tersedot. Bahkan kini tubuh Rangga terangkat naik pelahan-lahan ke udara.
"Hiyaaa...!" bentak Rangga tiba-tiba dengan keras.
Bersamaan dengan itu, kedua tangannya disentakkan dengan kuat sambil membanting tubuh Cakar
Racun ke bawah. Tak ampun lagi, tubuh Cakar Racun
terbanting keras ke tanah. Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, Rangga sudah melepaskan dua
buah bola cahaya biru yang dengan cepat menggulung
tubuh Cakar Racun
"Aaaakh...!" si Cakar Racun berteriak melengking.
Dalam gulungan cahaya biru. tubuh Cakar Racun
menggeliat-geliat di tanah. Rangga mendarat lunak
dekat tubuh yang menggelepar-gelepar tergulung cahaya biru. Pendekar Rajawali Sakti itu mengangkat
tangannya tinggi-tinggi. Sambil berteriak keras, dihantamnya tubuh Cakar Racun dengan kedua tangan
yang terkepal. Suara ledakan keras terdengar bersamaan dengan
hancurnya tubuh Cakar Racun. Asap mengepul dari
tanah yang berlubang besar dan dalam di depan
Rangga. Sambil menarik napas panjang, Pendekar
Rajawali Sakti itu bangkit berdiri.
"Kuburkan tubuhnya di dalam lubang ini," kata
Rangga begitu Bayan Sangkuni menghampiri.
"Baik, Gusti. Hamba laksanakan," jawab Bayan
Sangkuni sambil membungkuk hormat.
Bayan Sangkuni segera memerintahkan beberapa
ornang pemuda yang entah kapan datangnya, untuk
mengurusi mayat Cakar Racun. Rangga melangkahkan kakinya menuju kedai Ki Sarman yang bagian
depannya porak-poranda akibat pertarungan tadi. Ki
Sarman segera menyongsonya dengan menyediakan
minuman setelah Rangga duduk di kursi dekat jendela. Ki Parungkit mendampinginya di kiri Pendekar
Rajawali Sakti itu. Rangga memperhatikan beberapa
orang pemuda di bawah komando Bayan Sangkuri,
menguburkan tiga mayat.
6 "Keparat!" geram Kamandaka.
"Aku khawatir penyamaran Dewi Mawar Merah
telah terbongkar," kata Iblis Muka Hitam yang melaporkan kematian Cakar Racun pada Kamandaka sore
itu. "Seharusnya dia tidak bertindak setolol itu!" celetuk
Datuk Arak menyesali tindakan Cakar Racun yang
ceroboh. "Tugasnya hanya mengawasi Dewi Mawar
Merah! Bukannya menantang Pendekar Raja-wali
Sakti seorang diri! Benar-benar bodoh!"
"Aku sudah memperingatkannya, tapi dia nekat
ingin lebih jelas mengetahui pembicaraan mereka"
sambung Iblis Muka Hitam lagi.
"Pembicaraan apa" Siapa mereka itu?" tanya Kamandaka. "Pendekar Rajawali Sakti dan beberapa sesepuh
desa, berikut Kepala Desa Jati Ireng sendiri. Aku tidak
tahu persis apa yang mereka bicarakan. Terlalu jauh
jaraknya. Lagi pula aku tidak bisa mening-galkan
Dewi Mawar Merah seorang diri. Dia lebih penting dari
mereka," jawab Iblis Muka Hitam mem-beri alasan.
"Lalu, di mana Dewi Mawar Merah sekarang?"
Tanya Kamandaka.
"Ada di kamar penginapannya. Sudah kupesan agar
tidak keluar sampai aku kembali," sahut Iblis Muka
Hitam lagi. "Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan orang
orang kampung. Tapi kelihatannya terpaksa harus
kulakukan juga," kata Kamandaka pelan.
"Belum saatnya, Kamandaka!" celetuk Datuk Arak
cepat. "Aku punya cara tersendiri, Datuk Arak. Akan
kubuat si keparat itu kehilangan kontrol dirinya?"
Kamandaka bersikeras.
"Aku khawatir, jangan-jangan kau sendiri yang terjebak arus emosi," gumam Datuk Arak pelan.
"Kekhawatiranmu tidak beralasan, Datuk Arak Aku
tahu apa yang harus kukerjakan. Aku hanya minta
kalian berdua mendukung semua rencanaku untuk
melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti itu!" tegas
suara Kamandaka
Datuk Arak mengangkat bahunya seraya memandang Iblis Muka Hitam, yang dipandang pun ikut
mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Mereka tahu betul
watak Kamandaka. Kalau sudah membuat keputu-san
sulit untuk dirubah kembali. Dalam hati, mereka
sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Kamandaka untuk membuat Pendekar Rajawali Sakti
kewalahan. Tapi mereka juga ragu akan keberhasilan
rencana itu. "Aku akan kembali ke Desa Jati Ireng! Rasanya
sudah terlalu lama meninggalkan Dewi Mawar Merah. Aku khawatir dia tidak sabar menunggu," kata
Iblis Muka Hitam berpamitan.
"Bawa dia ke sini sekalian! Hentikan saja penyamarannya!" perintah Kamandaka.
''Kamandaka...!" sentak Datuk Arak terkejut.
'Tidak ada gunanya lagi dia menyamar, Datuk Arak!
Aku tidak Ingin dia celaka. Semua orang pasti
mencurigainya, bahkan bukannya tidak mungkin ada
yang mengenali penyamarannya!" Kamandaka beralasan. "Iblis Muka Hitam, cepatlah pergi. Bawa Dewi Mawar Merah ke sini," kata Datuk Arak bisa mengerti
alasan Kamandaka.
"Baik, aku pergi dulu," pamit Iblis Muka Hitam.
"Hati-hati! Jangan sampai ada yang melihatmu,"
pesan Datuk Arak.
Iblis Muka Hitam hanya tersenyum saja, kemu-dian
melesat cepat. Dalam sekejap saja bayangannya
sudah hilang dari pandangan mata Kamandaka masih duduk merenung di atas batu hitam. Pikirannya
jadi kacau dengan kematian Cakar Racun di tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Datuk Arak
sudah asyik dengan guci-guci araknya.
* * * Sementara itu di Desa Jati lreng, Dewi Mawar Merah yang menyamar sebagai Rakawuni tengah merejuk kenikmatan dengan seorang pemuda di kamar penginapannya. Pemuda tampan yang diperoleh di desa
ini tidak menyadari bahwa yang tengah menggeliatgeliat dalam pelukannya adalah seorang wanita iblis.
Kecantikan dan kemolekan tubuh Dewi Mawar Merah
telah membuatnya lupa oleh desakan gairah yang
menggebu-gebu. Seluruh tubuh pemuda itu telah
basah oleh keringat, dan nafasnya memburu tak
teratur. Sementara Dewi Mawar Merah menge-rang
dan merintih menikmati permainan cinta pemu-da itu.
Mereka terus mendaki mencapai puncak, hingga
lemas lunglai dengan tubuh bersimbah keri-ngat.
"Uh, kuat sekali dia. Hampir aku tidak sanggup
mengimbanginya," keluh Dewi Mawar Merah dalam
hati. "Kenapa buru-buru...?" pemuda itu menarik tangan Dewi Mawar Merah.
"Istirahat dulu, Gandis!" Dewi Mawar Merah
menolak cekalan tangan pemuda itu dengan halus.
"Kau cantik sekali! Aku suka padamu," rayu Gandis lembut "Ahhh...!" Dewi Mawar Merah mengeluh panjang.
Gandis beringsut bangkit Tangannya melingkar di
pinggang ramping Dewi Mawar Merah. Bibirnya cepat
menciumi wajah dan leher wanita cantik itu. Dewi
Mawar Merah menggeliat berusaha melepaskan diri
tapi ciuman-ciuman hangat Gandis membuatnya terrangsang kembali gairahnya.
Dewi Mawar Merah tidak lagi menolak dan meronta, tapi kini malah membalas tidak kalah hangatnya.
Rintihan lirih kembali terdengar dari bibirnya. Jarijari tangan Gandis bergerilya menyusup masuk ke
dala pakaian yang belum terbuka sempurna itu. Sedikit demi sedikit tangan Gandis menggusur pakaian
Dewi Mawar Merah.
"Gandis...!" rintih Dewi Mawar Merah seraya
menggelinjang. Dewi Mawar Merah tidak peduli lagi dengan tubuhnya yang semakin terbuka. Kulit putih mulus terpampang jelas, membuat Gandis semakin liar dan
ganas. Jari-jari tangannya semakin aktif menjelajah
ke bagian-bagian tubuh Dewi Mawar Merah yang
paling peka. Tentu saja hal ini membuat wanita itu
semakin menggelinjang tak mampu menahan gejolak
gairahnya. Untuk kedua kalinya mereka terkulai setelah menempuh perjalanan pendek yang melelahkan, namun
membuat bibir tersenyum. Mendadak Dewi Mawar
Merah tersentak setelah tubuh Gandis bergulir ke
samping. Telinganya yang peka menangkap suara halus di atas atap kamarnya ini. Bergegas wanita cantik
itu meloncat turun dari ranjang. Dengan gerakan
cepat, dikenakan kembali pakaiannya. Baju merah
menyala dengan ikat pinggang berkepala lempengan
logam merah berbentuk bunga mawar telah melekat di
tubuhnya. "Ada apa?" tanya Gandis sambil menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Diam di situ!" sentak Dewi Mawar Merah.
"Hey...! Kau..."!" Gandis nampak terkejut saat melihat bunga mawar merah tersunting di telinga wanita
yang ditidurinya tadi.
"Kau tahu siapa aku?" Dewi Mawar Merah tersenyum sinis. "Kau..., kau..., Dewi Mawar Mer...," Gandis tidak
dapat lagi meneruskan kata katanya.
"Kau memang hebat, Gandis. Tapi aku tidak membutuhkanmu lagi!" dingin suara Dewi Mawar Merah.
"Ja.,.. Akh!"
Dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, mendadak saja Dewi Mawar Merah melemparkan sekuntum bunga mawar merah yang terbuat dari logam
keras, dan kini menancap di dada pemuda itu. Dewi
Mawar Merah tersenyum melihat tubuh laki-laki yang
telah memuaskan nafsunya tadi telah tergeletak tak
bernyawa dengan dada berlubang berlumuran darah.
"Hm..., apa yang dilakukannya di atas...?" bisik
Dewi Mawar Merah bergumam lirih.
Hanya dengan satu genjotan saja, tubuh ramping
itu melesat ke atas, dan menjebol atap kamar penginapan ini. Dewi Mawar Merah tahu-tahu sudah berada di luar, dan dengan manis hinggap di atas atap.
Wajahnya langsung berubah ketika melihat di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan dengan
rambut panjang terikat.
"Rangga...," desis Dewi Mawar Merah mengenali
pemuda tampan di depannya. "Mau apa kau ke sini
seperti maling"!"
"Menangkapmu!" sahut Rangga dingin dan datar.
"Menangkapku..." Heh! Apa aku tidak salah dengar"!"
"Tidak! Aku yakin kau tidak tuli mendadak, Dewi
Mawar Merah!"
"O.... Rupanya kau sudah tahu siapa aku. Baik!
lakukanlah kalau kau mampu!" tantang Dewi Mawar
Merah. "Bersiaplah menerima hukumanku. Perempuan
Iblis!" dengus Rangga menggeram.
"Hait...! Hup!"
Dewi Mawar Merah melompat turun. Rangga
dengan cepat mengikutinya. Namun ketika Rangga
hampir mencapai tanah, tiba-tiba beberapa benda
berwarna merah berkelebat ke arahnya. Cepat sekali
Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya
ilan berputaran di udara, lalu dengan manis menjejak tanah. "Licik!" geram Rangga.
"Hebat! Kau bisa menghindari mawar-mawar beracunku," Dewi Mawar Merah salut.
"Bunga-bunga busukmu tidak berarti bagiku!
Lihat..!" Dewi Mawar Merah tersentak kaget melihat bungabunga mawar beracunnya berada dalam genggaman
tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Belum hilang rasa
terkejutnya, mendadak bunga-bunga mawar di tangan
tangga mendesing cepat ke arahnya.
"Kurang ajar! Hup...!"
Dewi Mawar Merah jumpalitan menghindari senjata rahasianya sendiri yang berbalik menyerangnya.
Merah padam wajah wanita cantik itu. Begitu terlewat dari bahaya, secepat kilat dikerahkan jurus andalannya 'Seribu Mawar Berbisa'. Bagaikan hujan saja
bunyi mawar dari logam keras berwarna merah itu
meluncur deras mengincar Pendekar Rajawali Sakti.


Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga berlompatan menghindari serbuan bunga
mawar yang begitu banyak jumlahnya bagaikan hujan Serangan jurus 'Seribu Mawar Berbisa' ini membuat Rangga sedikit kewalahan juga. Bunga-bunga
mawar itu bagai tidak habis-habisnya mengincar
tubuhnya. "Kalau begini terus, aku bisa kehabisan tenaga!"
dengus Rangga dalam hati.
Secepat kilat direntangkan tangannya, kemudian
tubuhnya berputar cepat bagai baling-baling. Begitu
cepatnya putaran tubuh Rangga, sehingga yang terlihat hanya bayangan putih yang bergulung-gulung
merontokkan bunga-bunga mawar yang dilontarkan
Dewi Mawar Merah.
Gulungan bayangan putih tubuh Rangga yang
berputar cepat bagai gasing itu, bergerak mendekati
Dewi Mawar Merah. Semakin lama jarak mereka semakin dekat saja, sedangkan bunga-bunga mawar
yang dilontarkan perempuan itu berguguran sebelum
sampai ke tubuh Rangga.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Rangga berteriak keras. Tubuhnya melenting cepat ke udara, lalu meluruk deras ke arah
kepala Dewi Mawar Merah. Pendekar Rajawali Sakti
itu cepat sekali meluruk dengan menggunakan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Akh...!" Dewi Mawar Merah memekik kaget.
Tepat ketika kedua kaki Rangga yang bergerak
cepat mengarah kepalanya, perempuan iblis itu menjatuhkan diri dan bergulingan beberapa kali di tanah.
Cepat sekali dilentingkan tubuhnya, dan kembali
bangkit berdiri. Namun belum juga melanjutkan jurus
'Seribu Mawar Berbisa'nya, Rangga telah kem-bali menyerang dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Setan!" Dewi Mawar Merah mengumpat geram.
* * * Pertarungan Rangga melawan Dewi Mawar Merah
terus berfangsung sengit. Masing-masing sudah
menggunakan jurus-jurus andalannya. Bahkan Dewi
Mawar Merah sudah menggunakan senjata yang
paling diandalkannya, berupa tongkat pendek dengan
kepala berbentuk bunga mawar yang sangat besar
ukurannya. Dari kepala tongkat pendek itu mengepul
uap tipis berwarna kemerahan. Uap itu menyebar
mengikuti gerakan-gerakan tangan Dewi Mawar
Merah yang menggenggam tongkat itu.
"Senjata itu berbahaya sekali. Hawanya mengandung racun yang sangat mematikan," gumam Rangga
dalam hati. "Aku harus segera meredamnya!"
Sret! Begitu Rangga mencabut pedang pusaka Rajawali
Sakti, seketika itu juga sekeliling tempat pertarungan
menjadi terang benderang oieh cahaya biru yang memancar dari mata pedangnya. Sejenak Dewi Mawar
Merah terperanjat melihat pamor pedang itu, tapi
tidak bisa berbuat banyak, karena dengan cepat
Rangga sudah menyerangnya.
Cahaya biru berkelebatan cepat mengurung tubuh
Dewi Mawar Merah Rangga benar-benar tidak memberi kesempatan lagi pada wanita cantik itu untuk
membalas serangannya. Sengaja dikerahkan pedangnya ke senjata Dewi Mawar Merah untuk meredam
racun yang memancar dari senjata aneh itu.
Tring! Rangga berhasil memapak senjata lawan, sehingga
Dewi Mawar Merah melompat mundur. Mulutnya ternganga melihat senjatanya buntung menjadi dua bagian. Belum lagi hilang rasa kagetnya, mendadak
sebuah tendangan keras dengan pengerahan tenaga
dalam sempurna, menghantam dada Dewi Mawar
Merah yang membusung.
"Akh!" Dewi Mawar Merah memekik tertahan.
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu keras sekali, sehingga tubuh Dewi Mawar Merah terpental jatuh ke belakang, lalu menabrak sebuah pohon besar
hingga hancur berantakan. Pada saat perempuan iblis
hendak bangkit. Rangga sudah menekan lehernya
dengan ujung pedang.
Dewi Mawar Merah tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Dadanya terasa sesak. Darah mengalir dari sudut
bibirnya. Kedua matanya membeliak lebar, menatap
tajam wajah tampan tanpa ekspresi di depannya.
"Ki Parungkit...!" panggil Rangga keras.
Begitu mendengar panggilan. Ki Parungkit segera
muncul dari tempat persembunyiannya diikuti Bayan
Sangkuni dan beberapa anak muda dengan senjata
golok di tangan.
"Ikat perempuan ini, jaga jangan sampai lolos!"
perintah Rangga tegas.
Trek! Rangga memasukkan lagi pedang pusakanya ke
dalam warangkanya di punggung. Dua anak muda
mengikat tangan dan tubuh Dewi Mawar Merah dengan rantai besar dan kuat. Perempuan iblis itu
menatap Rangga dengan sinar mata penuh kebencian
dan dendam membara. Gerahamnya bergemeletuk
menahan marah yang menggelegak di dalam dada.
"Bawa dia!" perintah Rangga lagi.
"Baik, Gusti Prabu," sahut Ki Parungkit.
"Ayo'"
"Urusan kita belum selesai, Rangga! Aku belum
kalah!" kata Dewi Mawar Merah menggeram.
"Ayo, jalan!" bentak Bayan Sangkuni mendorong
tubuh perempuan iblis itu.
"Aku akan membunuhmu, Rangga! Semua keturunanmu!" teriak Dewi Mawar Merah.
Bayan Sangkuni terus menggiring Dewi Mawar
Merah yang berteriak-teriak mengancam Rangga. Sedangkan Ki Parungkit menemani Pendekar Rajawali
Sakti itu. Dewi Mawar Merah terus berteriak teriak
digiring sekitar dua puluh orang termasuk Bayan
Sangkuni. "Kenapa tidak dibunuh saja perempuan iblis itu,
Gusti?" tanya ki parungkit.
"Tidak! Aku masih perlu keterangannya. Aku yakin,
masih ada lainnya," jawab Rangga seraya melangka.
"Memang ada, Gusti. Si Durjana Pemetik Bunga,"
sambung Ki Parungkit.
Rangga tak lagi bicara, tapi terus saja melangkah
mengikuti orang-orang yang mengiring Dewi Mawar
Marah. Ki Parungkit juga tidak mau banyak bicara
lagi. Disejajarkan langkahnya disamping Pendekar
Rajawali Sakti itu. Sementara malam semakin larut.
Kesunyian kembali menyelimuti tempat itu. Tidak ada
lagi yang tampak, kecuali bekas-bekas pertarungan
yang malang melintang tidak beraturan di sekitar
rumah penginapan itu. Sesekali masih terdengar
teriakan-teriakan dan sumpah serapah Dewi Mawar
Merah. * * * Seorang wanita tua dengan dandanan tebal, muncul di depan pintu ketika Iblis Muka Hitam menggedor
pintu rumah penginapan di ujung jalan Desa Jati
Ireng itu. Iblis Muka Hitam langsung menerobos
masuk dan menutup kembali pintunya. Perempuan
setengah baya yang tubuhnya masih kelihatan padat
itu memandangi dengan paras wajah pucat pasi.
"Apa yang terjadi disini?" tanya Iblis Muka Hitam.
"Mereka menangkap Nini Dewi, Tuan," sahut perempuan setengah baya itu.
"Mereka siapa" Bicara yang jelas, Nyi Pingkan!"
bentak Iblis Muka Hitam.
"Kepala desa dan orang-orangnya. Nini Dewi kalah
bertarung melawan seorang pemuda gagah. Aku tak
kenal pemuda itu, sepertinya bukan penduduk desa
ini." "Kurang ajar! Pasti ini perbuatan Pendekar Rajawali
Sakti!" Iblis Muka Hitam mengeram.
"Jangan bawa-bawa saya, Tuan," rengek Nyi Pingkan ketakutan. "Aku memang tidak akan menyangkut-pautkanmu,
Nyi Pingkan! Tapi kau sudah tak berguna lagi bagiku!"
dingin sekali suara Iblis Muka Hitam berkata.
"Apa yang akan Tuan lakukan?" Nyi Pingkan gemetaran melihat tatapan Tajam Iblis Muka Hitam yang
menegang. Iblis Muka Hitam tidak menyahut. Pelan-pelan
kakinya terayun mendekati perempuan tua itu. Lalu
dengan kecepatan kilat tangannya melayang, dan....
"Akh!" Nyi Pingkan tak mampu lagi bersuara
banyak. Tubuhnya melorot kena gampar Iblis Muka
Hitam. Kepala perempuan setengah baya itu pecah.
Darah muncrat menyembur tembok. Iblis Muka Hitam
menatap tajam pada tubuh perempuan malang yang
sudah tak bernyawa lagi dengan kepala hancur.
"Kau terlalu banyak ikut campur, Perempuan
Setan! Pergilah keneraka dengan tenang!" gumam Iblis
Muka Hitam dingin.
Iblis Muka Hitam segera melangkah menuju ke lorong yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu
kamar. Langkahnya terhenti setelah mencapai depan
pintu kamar paling ujung. Dengan kasar dibukanya
pintu kamar Itu. Matanya langsung membeliak lebar
melihat sesosok tubuh pemuda tampan dengan dada
berlubang berlumuran darah tergolek di atas ranjang.
Hanya lembar kain yang menutupi bagian bawah
tubuh muda Itu.
"Dewi Mawar Merah..., masih sempat juga bermain
cinta dalam keadaan begini!" desis Iblis Muka Hitam.
Laki-laki berwajah hitam itu segera meninggalkan
kamar yang ditempati Dewi Mawar Merah. Iblis Muka
Hitam melangkah cepat dan terburu-buru keluar dari
rumah penginapan itu Wajahnya semakin hitam saja
terlihat. "Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan.
Kamandaka pasti marah mendengar berita Ini! Huh.
Aku tidak peduli! Kalau pun dia marah, aku sanggup
meladeninya!" Iblis Muka Hitam bergumam dalam hati. Begitu kakinya sampai di depan pintu rumah penginapan di ujung jalan Desa Jati lreng itu, Iblis Muka
Hitam segera melompat cepat. Dalam sekejap saja,
tubuhnya sudah hilang ditelan kegelapan malam.
Sebentar dia hinggap di atas atap rumah, sebentar
kemudian berlindung di balik pohon. Berpindah-pindah tempat dengan cepat sekali bagaikan setan saja.
Tujuan Iblis Muka Hitam sudah dapat dipastikan. Dia
menuju ke rumah Kepala Desa Jati lreng.
"Sepi...," desah Iblis Muka Hitam begitu sampai
dekat tembok pagar rumah kepala desa.
Sekeliling tembok yang terbuat dari tumpukan batu
tanah merah itu kelihatan sepi. Tidak ada seorang
penjaga pun yang tampak. Beberapa obor terpasang
pada setiap sudut. Mata Iblis Muka Hitam terbelalak
lebar ketika melihat ke tengah tengah halaman depan
yang luas. Tampak di sana terdapat sebuah tonggak
kayu besar berpalang. Di tonggak kayu itu terikat
Dewi Mawar Merah dengan posisi terbalik.
Kaki perempuan cantik itu berada di atas, sedangkan kepalanya berada di bawah dengan tangan terentang lebar ke samping. Tampak sekali keadaan tubuh
Dewi Mawar Merah sangat lemah. Kepalanya terkulai
lemas. Dari sudut bibirnya menetes darah segar.
"Setan alas! Mereka harus membayar mahal perbuatan ini!" geram Iblis Muka Hitam.
Bergemeletuk geraham Iblis Muka Hitam menahan
amarah. Kedua tangannya terkepal memperdengarkan
suara gemeretak keras. Wajahnya semakin hitam
dengan bola mata terbuka lebar menatap nyalang
penuh kemurkaan.
"Pendekar Rajawali Sakti...! Ini pasti perbuatan
setan keparat itu! Dia harus membayar mahal....
Harus!" Iblis Muka Hitam menggeram lagi.
"Aku memang akan membayarnya, Iblis Muka
Hitam...!"
Betapa terkejutnya Iblis Muka Hitam mendengar
suara itu, sehingga melumpat dan bersiap-siap. Kedua
matanya membeliak lebar, nyalang memandang ke
sekelilingnya. Tidak seorang pun yang terlihat di
sekitarnya. Keadaan masih tetap sepi seperti semula.
"Bangsat! Keluar kau!" bentak Iblis Muka Hitam.
"Aku di sini, Iblis Muka Hitam "
"Heh...!"
* * * 77 Rangga berdiri tegak pada sebatang cabang pohon
dekat pagar tembok, rumah Kepala Desa Jati Ireng.
Kemudian dengan satu gerakan manis, dia meluncur
ke bawah. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah sejauh dua batang tombak di
hadapan Iblis Muka Hitam.
"Sudah kuduga, pasti ada yang datang ke sini,"
kata Rangga kalem. Sorot matanya begitu tajam, lurus
kepada Iblis Muka Hitam.
"Pengecut! Bisanya hanya menyiksa perempuan
lemah!" geram Iblis Muka Hitam.
"Wanita memang ditakdirkan sebagai makhluk
lemah. Tapi temanmu itu bukan makhluk lemah! Kekejamannya melebihi iblis!" dingin suara Rangga terdengar. Raut wajahnya juga tidak memancarkan eks

Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

presi apa-apa, kaku dan datar.
"Kau memang pandai bersilat lidah, Pendekar Rajawali Sakti! Orang lain boleh gentar mendengar namamu. Tapi aku... Tidak sulit bagiku membungkam
mulutmu!" Iblis Muka Hitam menggeser kakinya sedikit ke
samping. Mendadak telinganya mendengar sesuatu
yang mencurigakan. Dan, sekelebatan matanya me
nangkap bayangan seseorang berlindung di balik pohon. Bukan..., bukan hanya satu orang, tapi.... Iblis
Muka Hitam menggeram setelah menyadari dirinyi
telah terkepung. Jelas, dia telah masuk perangkap dengan nujan umpan Dewi Mawar Merah.
"Phuih! Cerdik juga kau, Pendekar Rajawali Sakti!
Rupanya bukan hanya golongan kami yang menggunakan akal bulus! Tapi, kau pun bisa memanfaatkan
cara yang sama!" dengus Iblis Muka Hitam, sedikit
mengakui kecerdikan Rangga.
"Memang tidak enak masuk perangkap. Seperti
tikus menjelang ajal!" sindir Rangga sinis
"Bedebah! Kau pikir aku gentar, hehl" Majulah
kalian semua! Majulah! Jangan bisanya hanya main
sembunyi begitu!" bentak Iblis Muka Hitam keras.
"Tidak perlu sesumbar begitu, Iblis Muka Hitam.
Sebaiknya kau berdoa saja agar dosa-dosamu diampuni Yang. Maha Kuasa," kata Rangga memanasi.
"Kurang ajar! Aku tidak butuh khotbahmu!"
"Sebutlah nama Tuhanmu, sebelum kugiring kau
ke neraka," kata Rangga lagi. Suaranya masih terdengar tenang dan datar.
"Setan alas! Kuplintir batang lehermu! Hiyaaa..!'
Iblis Muka Hitam tidak sanggup lagi menahan amarahnya. Bagaikan harimau lapar, dia menggeram
keras seraya meluruk menyerang Rangga. Begitu
cepat serangan Iblis Muka Hitam, sehingga membuat
Rangga harus melentingkan tubuhnya menghindari
terjangan itu. "Cabut senjatamu. Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Iblis Muka Hitam menggelegar.
"Menghadapimu tidak perlu pakai senjata, Iblis
Muka Hitam!" sambut Rangga mengejek.
"Setan! Jangan menyesal kalau kau pulang tinggal
nama!" Setelah berkata demikian, Iblis Muka Hitam kembali melompat dan menyerang dengan jurus-jurus
tangan kosong yang cepat dan mengandung tenaga
dalam cukup tinggi. Namun serangan-serangan itu
hanya dilayani Rangga dengan bibir tersenyum. Dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dipelajarinya dari Satria Naga Emas, Rangga berhasil mengelakkan semua serangan ttu dengan mudah.
Jurus itu pada kenyataannya sangat berguna sekali
bagi Rangga dalam menghadapi pertarungan tangan
kosong dengan jurus-jurus pendek, walau lawan
cukup cepat dan tinggi tingkatannya. Sepasang kaki
Pendekar Rajawali Sakti itu begitu lincah dan cepat
gerakannya. Diimbangi dengan gerakan tubuh yang
lentur bagai karet, tubuh Rangga meliuk liuk bagai
seekor ular Sebentar saja Iblis Muka Hitam telah menghabiskan sepuluh jurus tangan kosong. Tapi sampai saat
ini, dia belum bisa menandingi jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Rangga. Sungguh sulit dijangkau tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Padahal,
jarak mereka begitu dekat, dan bahkan kadangkadang hampir merapat. Sungguh tidak mudah bagi
Ibiis Muka Hitam untuk menyentuh tubuh lawannya.
Ketika Rangga mendapat kesempatan yang tepat,
setepat keadaan Iblis Muka Hitam yang tengah putus
asa, dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti merubah
jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Begitu cepatnya perubahan itu, sehingga Iblis Muka
hitam tidak sempat lagi menyadari apa yang terjadi,
tiba-tiba saja satu pukulan telah menghantam dadanya. "Hugh!" Iblis Muka Hitam mengeluh pendek.
Seketika itu juga tubuhnya terjajar beberapa lari kah
ke belakang. Belum sempat berpikir dua 1" tiba-tiba
satu tendangan menggeledek mendarat , kepala lakilaki berwajah hitam ilu. Kali ini Iblis Muk Hitam
terjungkal mencium tanah.
"Satu lagi, htyaaa...!" teriak Rangga keras.
Seketika itu juga tubuh Rangga melenting ke udara. Dengan kecepatan yang cukup tinggi, tubuh
Pendekar Rajawali Sakti menukik lurus dengan kedua
tangan terpentang ke depan. Kedua tangan itu memancarkan sinar merah bagai terbakar.
"Aaakh...!" Iblis Muka Hitam menjerit keras.
Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti amblas kedalam dada Iblis Muka Hitam. Darah langsung muncrat begitu pendekar muda dan tampan itu menarik
tangannya. Dengan satu teriakan keras, Pendekar
Rajawali Sakti itu melompat seraya melayangkan
kakinya menghantam tubuh Iblis Muka Hitam.
Tubuh IbHs Muka Hitam berputar beberapa kali
kemudian ambruk tak bangun bangun lagi. Rangga
berdiri memandangi tubuh lawannya yang kini membujur kaku tidak bernyawa lagi.
Ki Parungkit, Bayan Sangkuri, dan beberapa orang
anak muda serentak keluar dari persembunyiannya
setelah melihat Iblis Muka Hitam telah tewas mandi
darah. Rangga memerintahkan Bayan Sangkuni
untuk menguburkan mayat Iblis Muka Hitam. Tanpa
banyak membantah lagi. Bayan Sangkuri memimpin
anak-anak muda itu membawa mayat Iblis Muka Hitam. "Mereka pasti akan datang ke sini, Gusti Prabu.
Bisa-bisa Desa Jati Ireng menjadi lautan api...," Ki
Parungkit mengungkapkan kekhawatirannya dengan
takut-takut. "Hal itu tidak akan terjadi, Ki Parungkit. Percayalah!" Rangga coba meyakinkan laki-laki tua itu.
"Hamba percaya, Gusti," sahut Ki Parungkit.
Rangga menoleh, dan matanya tertumbuk pada
Dewi Mawar Merah yang masih terikat dengan posisi
tubuh terbalik. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri, dan berdiri tepat di depan perempuan cantik itu.
Dipandanginya tubuh ramping dan indah menggiurkan itu. "Kau akan terus begini sampai kekasihmu datang,"
kata Rangga sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Kau tidak akan mampu menandinginya, Rangga!
Aku akan bebas, dan akan membantai seluruh
keluarga dan keturunanmu!" desis Dewi Mawar Merah
menggeram. "Aku khawatir kata-katamu hanyalah angan-angan
kosong belaka," ejek Rangga.
"Kalaupun aku mati, masih ada yang akan si
janjiku! Camkan itu, Rangga!" ancam Dewi Mawar
Merah "Sayang sekali..., selama aku masih hidup, orangorang sepertimu tidak akan bisa bebas bergerak,"
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sombong! Dengar sumpahku, Rangga! Suatu saat
kelak, aku akan menghirup darahmu dan mengunyah jantungmu!" dingin dan datar suara Dewi MawarMerah bersumpah.
"Siapa yang akan mendengarkan sumpah i macam
itu!" ejek Rangga lagi.
"Aku...!"
* * * Rangga terkejut, langsung menoleh ke arah datangnya suara. Ki Parungkit juga tersentak kaget.
Buru-buru dia berlindung di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Di atas tembok dekat pintu gerbang, tampak seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk berdiri
dengan tongkat berkeluk-keluk menyangga tubuhnya.
Pakaiannya berwarna biru tua dan sedikit longgar.
Laki-laki tua itu bertubuh kurus dengan rambut
seluruhnya memutih, tergelung ke atas. Matanya yang
cekung, menatap tajam kemerahan. Ketika tubuhnya
meluncur ke bawah, terdengar suara mendesir disusul
hawa busuk yang amat menyengat hidung. Ringan sekali kakinya menjejak tanah di depan Rangga, berjarak kira-kira dua batang tombak.
"Siapa Kisanak" Apa maksudnya malam-malam
begini datang ke sini?" tanya Rangga sopan.
"Hik...! Orang-orang memanggilku si Mayat Hidup
dari Lembah Gundil," laki-laki tua dan aneh itu memperkenalkan diri. Suaranya sangat kering, tanpa tekanan sedikit pun. Wajahnya juga terlihat pucat bagai
tidak teraliri darah.
"Apa maksudmu datang ke sini?" Ki Parungkit
mengulangi pertanyaan Rangga.
"Siapa perempuan itu" Hik...!" Mayat Hidup tidak
mempedutikan pertanyaan Ki Parungkit
"Dia pengacau dan pembunuh!" jawab Ki Parungkit
keras. "Ah..., hik! Benar begitu, Anak Manis?"
"Benar!" sahut Dewi Mawar Merah lantang.
"Hebat..., hik! Hebat..! Baru kali ini aku mendengar
seorang pembunuh mengakui perbuatannya! Aku
senang, kau jujur sekali meskipun keadaanmu sangat
kritis, hik..!"
"Kalau kau suka, mengapa aku tidak kau bebaskan?" "Mengapa kau ingin bebas?"
"Aku ingin memenggal kepalanya!" Dewi Mawar Merah menunjuk Rangga dengan sorot matanya.
"Nada bicara dan sorot matamu mengandung dendam membara Hik... Aku suka dengan hati yang
penuh dendam!" kata Mayat Hidup kalem.
"Kisanak, apa maksudmu bicara seperti itu?" tanya
Rangga sedikit kaget.
"Tidakkah kau dengar permintaan Cah Ayu itu jl 1
Meminta dibebaskan karena ingin membunuhmu!"
Rangga memberi isyarat kepada Ki Parungklt untuk
segera menyingkir. Tanpa diucapkan lagi, Ki Parungkit
menggeser kakinya menjauh. Pada saat itu juga,
Bayan Sangkuni bersama sekitar dua puluh orang
pemuda mulai berdatangan. Mereka segera menjaga
tawanan wanita berhati iblis itu. Rangga menggeser
kakinya ke kiri, menjauhi orang-orang yang telah siap
melindungi tawanan dari serobotan orang tua yang
mengaku bernama Mayat Hidup ini.
"Sayang sekali, kalian belum cukup mampu menawan Cah Ayu itu," kata Mayat Hidup datar.
"Kisanak! Kalau kau tidak ada keperluan lain di
sini, kuminta jangan campuri urusan kami!" kata
Rangga tegas. "Hik...! Kau mengusirku. Pendekar Rajawali Sakti?"
"Kau tahu namaku?" kaget juga Rangga dibuatnya.
"Namamu begitu dahsyat Tokoh-tokoh sakti rimba
persilatan harus berpikir dua kali menghadapimu,
Pendekar Rajawali Sakti. Namun demikian, kau jangan pongah dulu! Setinggi-tingginya langit masih ada
yangj lebih tinggi lagi!"
Rangga tercenung sesaat. Orang tua ini aneh sekali! Kata-katanya kadang kadang bijak, tapi kadangkadang bisa kasar seperti toltoh golongan hitam.
Melihat sikap dan tutur katanya, Rangga sudah bisa mengukur kalau tokoh tua ini bukanlah orang sem
barangan. Tidak bisa dianggap remeh orang tua aneh
semacam itu "Aku tidak suka jalan kekerasan. Dengan baik-baik, kuminta Cah Ayu itu. Aku suka dengan kejujurannya meski aku tahu hatinya kotor. Aku suka dengan
orang yang memiliki dendam di hatinya," ujar Mayat
Hidup. 'Tidak semudah itu, Kisanak!" dengus Rangga.
"Sungguh tidak kusangka, aku akan berhadapan
dengan seorang pendekar kondang," gumam Mayat
Hidup. "Aku tidak peduli siapa engkau! Tapi yang jelas,
aku tidak akan membiarkan perempuan iblis itu kau
bawa!" tegas kata-kata Rangga.
"Hik...! Sudah kuduga, kau pasti akan mempertahankannya. Baiklah! Aku terpaksa menggunakan
caraku sendiri!"
Setelah berkata demikian. Mayat Hidup bergerak
cepat dan tak terduga. Begitu cepatnya, sehingga
Rangga sedikit terperangah. Namun dengan cepat
Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit kesadarannya.
Seketika itu juga, dihentakkan tangannya. Secercah
sinar merah meluncur deras ke arah tubuh Mayat Hidup yang tengah melesat ke arah Dewi Mawar Merah.
"Hup...!"
Mayat Hidup memutar tubuhnya beberapa kali di
udara menghindari terjangan sinar merah yang memancar dari telapak tangan Rangga. Dan sebelum
orang tua aneh itu berhasil mendekati Dewi Mawar
Merah yang masih dijaga sekitar dua puluh orang
dengan cepat sekali Rangga memapaknya
Desss...! Dua telapak tangan beradu keras di udara. Tubuh
Pendekar Rajawali Sakti bersalto di udara seben
sebelum mendarat di tanah. Pada saat yang
bersaman, Mayat Hidup juga telah mendarat setelah
tiga kali

Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berputar di udara. Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
Seketika itu pula kedua tangannya menjadi merah
membara bagai terbakar.
"Hik..., hebat..., hik, hik!" puji Mayat Hidup.
"Sudah kukatakan, tidak mudah membebas perempuan iblis itu!" kata Rangga coba memperingatkan.
"Jangan besar kepala dulu, Bocah! Aku belum
mengeluarkan apa-apa," tenang dan kering suara
Mayat Hidup. "Hm...," Rangga menggumam pelan.
Sebenarnya Rangga juga merasakan tangannya
seperti tersengat ribuan lebah ketika beradu tangan
dengan Mayat Hidup tadi. Tapi anehnya, orang itu
mengatakan belum mengeluarkan apa-apa. Dan lagi,
kelihatannya dia tidak terpengaruh sama sekali.
Padahal, Rangga tadi telah mengeluarkan tenaga
dalam yang sempurna sekali.
"Mari, Pendekar Rajawali Sakti. Ingin kue
jurus-jurus 'Rajawali Sakti'mu!" ajak Mayat Hidup.
"Baik! Bersiaplah! Jangan katakan aku tidak tahu
adat bila kau terluka, Mayat Hidup!" sambut Rangga.
"Jangan terlalu sungkan. Aku puas bila mati di
tangan seorang pendekar tangguh sepertimu!"
Rangga segera bersiap-siap menerima serangan.
Sedangkan Mayat Hidup kelihatan belum akan melancarkan serangan. Sepertinya dia juga menunggu
Rangga melakukan serangan.
"Silakan kau mulai menyerang, Mayat Hidup,"
tantang Rangga.
"Hik...! Ternyata nama besarmu bukan nama kosong belaka, Pendekar Rajawali Sakti! Baiklah, tahan
seranganku!"
Setelah berkata demikian, Mayat Hidup langsung
menyerang dengan jurus-jurus tongkatnya yang maut
dan sangat dahsyat. Pertarungan sengit antara dua
tokoh sakti tidak dapat dihindari lagi. Sebuah pertarungan tingkat tinggi yang benar-benar menakjubkan.
Tubuh mereka lenyap terselimuti gerakan-gerakan
mereka sendiri yang sangat cepat dan sulit diikuti
pandangan mata biasa. Yang terlihat hanyalah
bayangan-bayangan mereka yang berkelebat saling
sambar. Dalam waktu singkat, Mayat Hidup telah menghabiskan tidak kurang dari dua puluh jurus. Sedangkan
Pendekar Rajawali Sakti masih menggunakan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang dikombinasikan
dari beberapa jurus. Sesekali, diselingi dengan jurus
jurus yang didapatkannya dari Satria Naga emas.
"Cukup...!" bentak Mayat Hidup ketika menyelesaikan jurus yang kelima puluh.
Rangga cepat melompat mundur ketika Mayat
Hidup menggenjot tubuhnya ke luar arena pertarungan. Kembali mereka saling tatap. Kini bibir Mayat
Hidup tersungging senyuman tipis yang hampir tidak
terlihat Matanya pun bersinar lebih merah daripada
sebelumnya. "Aku tidak kecewa berhadapan denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau sanggup menandingiku
dalam lima puluh jurus tanpa celaka sedikit pun,"
kata Mayat Hidup sedikit mengakui kehebatan
Rangga. "Kau ingin menyudahi pertarungan tidak berguna
ini, Mayat Hidup?" ajak Rangga memberi penawaran,
"Hik...! Kita baru bertarung menggunakan ilmu
silat. Kini aku ingin menjajal ilmu kesaktian andalanmu!" "Aku tidak memiliki ilmu kesaktian yang tangguh,"
Rangga coba merendah.
"Jangan terlalu sungkan, Anak Muda! Ayo, keluarkan ilmu kesaktianmu!" rungut Mayat Hidup.
Rangga tidak punya pilihan lain melihat Mayat
Hidup telah bersiap-siap mengerahkan ilmu kesaktiannya. Pendekar Rajawali Sakti itu sebenarnya enggan melayani kemauan orang tua aneh itu, tapi
keadaan yang memaksanya.
"Hm..., akan kucoba dulu dengan aji 'Guntur Geni'
yang kudapat dari Satria Naga Emas," gumam Rangga
dalam hati. "Hiyaaa...!" tiba-tiba Mayat Hidup berteriak nyaring
sambil mengangkat tangannya ke depan.
"Aji 'Guntur Geni'...!" teriak Rangga hampir bersamaan. Rangga menepuk kedua telapak tangannya, maka
terdengarlah suara bergemuruh yang memekakkan
telinga. Pada saat itu pula, dari tangan Mayat hidup
mengepul asap hitam yang meluruk ke arah Rangga.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu menghentakkan tangannya ke depan.
Suara ledakan keras terjadi begitu seleret sinar
yang meluncur dari kedua telapak tangan Rangga
menyambar asap hitam yang keluar dari tangan
Mayat Hidup. Dua tokoh sakti itu masih berdiri tegak,
tak bergeming sedikit pun.
"He he he..., hik! Hebat...!" puji Mayat Hidup.
Wajahnya semakin cerah meskipun sedikit kelihatan
pucat. Satu per satu ajian dikerahkan, tapi belum ada
tanda-tanda yang mulai terdesak. Tingkat kepandaian
dua tokoh sakti itu tampaknya seimbang. Keringat
telah mengucur deras membasahi tubuh mereka.
Napas pun mulai memburu tersengal-sengal.
Dalam hati Rangga mengakui kehebatan orang tua
aneh itu. Telah dikerahkan hampir seluruh kemampuannya. Dan yang belum dikeluarkan hanya tinggal
aji pamungkasnya. Aji 'Cakra Buana Sukma' Rangga
tahu betul kehebatan dan kedahsyatan ajian, makanya masih ditangguhkannya. Tapi kini, hampir semua
ajian yang dimiliki telah dikeluarkannya semua,
dengan demikian tidak ada pilihan lain lagi Rangga.
Dan tentu saja Rangga tidak akan menggunakannya
bersama pedang pusaka Rajawali Sakti. Terlalu berbahaya akibatnya jika aji Cakra Buana Sukma
dikerahkan bersama dengan pedang pusaka.
"Ini aji pamungkasku, Pendekar Rajawali Sakti.
Kalau kali ini kita masih berimbang, kau harus melayaniku dengan senjata!" kata Mayat Hidup sedikit tersengal suaranya.
"Aku menghormatimu, Mayat Hidup. Tapi karena
kau memaksa, ya, apa boleh buat. Aku akan melayanimu!" sahut Rangga terpaksa.
"Ayo, keluarkan aji pamungkasmu!" bentak Mayat
Hidup. Rangga melangkah maju beberapa tindak. Sengaja
didekati lawannya agar dapat mengontrol bila terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan. Aji 'Cakra Buana Sukma' terlalu dahsyat. Belum ada seorang pun yang
sanggup menandinginya. Terus terang, dia khawatir
kalau-kalau orang tua aneh ini akan mendapat
celaka. "Apa nama aji pamungkasmu, Pendekar Rajawali
Sakti?" tanya Mayat Hidup.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'," jawab Rangga.
"Hik...! Akhirnya kau mau juga mengeluarkannya.
Ayo, kita mulai!" seru Mayat Hidup tidak sabar, tawa
diwarnai kegembiraan.
Rangga heran juga dengan sikap orang tua aneh
ini. Kelihatannya dia begitu gembira sekali mendengar
aji 'Cakra Buana Sukma'. Apa sebenarnya maksud
orang tua aneh ini" Rangga tidak sempat lagi beipikir
lebih banyak. Mayat Hidup telah mengerahkan aji
pamungkasnya. Segera saja Pendekar Rajawali Sakti
itu mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
"Hih! Yeaaah...!" teriak Mayat Hidup. Keras suaranya. "Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" suara Rangga menggelegar. Pada saat seluruh tubuh Mayat Hidup tergulung
cahaya berwarna warni, di saat itu pula kedua tangan
Rangga memancarkan cahaya biru berkilauan. Begitu
tangan Rangga ditarik ke bawah dan dihentakkan ke
depan, Mayat Hidup juga melompat ke depan.
Rangga kaget bukan main karena Mayat Hidup
langsung memeluknya erat. Seluruh tubuh Rangga
masuk ke dalam cahaya berwarna-warni yang bergulung-gulung dan berputar-putar pada seluruh tubuh
Mayat Hidup. Seketika itu juga Rangga merasakan
seluruh aliran darahnya bagai terbalik, dan jantungnya berdebar keras bagai hendak pecah.
"Yeaaah...!" Rangga segera mengerahkan seluruh
kekuatannya. Cahaya biru di tangan Rangga yang semula redup,
kini mulai memancar kembali dan menggumpal membentuk bola. Tanpa ragu-ragu lagi. Rangga juga
memeluk pinggang Mayat Hidup dengan kuat. Cahaya
biru kini berbaur menjadi satu dengan putaran cahaya warna-warni bagai pelangi. Kini seluruh cahaya
telati menyelimuti mereka berdua.
Lama juga dua tokoh sakti itu saling berpelukan.
"Aaakh.!" tiba-tiba terdengar jeritan melengking
panjang. dengan mengerahkan seluruh kekuatan mereka
yang terakhir. Semua orang yang ada di halaman
rumah kepala desa menjadi berdebar debar menyaksikan pertarungan adu kesaktian yang sangat aneh
dan dahsyat. Bersamaan dengan itu, satu sosok tubuh terjengkang ke luar arena pertarungan. Dan ketika sinar
warna-warni di tubuhnya lenyap, tampaklah Pendekar
Rajawali Sakti berdiri tegak memandangi Mayat Hidup
yang kini menggelepar-gelepar di tanah dengan seluruh tubuh tergulung cahaya biru menyilaukan mata.
"Kembali...!" bentak Rangga seraya menghentikan
tangannya ke depan.
Begitu tangan Rangga mendorong ke depan, cahaya
biru yang menggulung tubuh Mayat Hidup meluruk
ke arah Rangga, lalu lenyap setelah menyentuh kedua
telapak tangannya yang terbuka. Tampak Mayat
Hidup tergeletak di tanah dengan napas tersengalsengal. Rangga segera memburu, lalu membantu
Mayat Hidup untuk bangkit berdiri.
"Hik...! Biarkan aku," kata Mayat Hidup menolak
bantuan Rangga.
"Kau terluka dalam," kata Rangga bernada cemas.
"Jangan khawatir, aku bisa mengatasi," sahut
Mayat Hidup. Lemah suaranya.
"Tidak! Jangan kau kerahkan tenaga dalam dan
hawa murni! Kau akan mati karena tenaga dalammu
dapat berbalik menyerang dirimu sendiri!" Rangga
memperingatkan.
Mayat Hidup kaget mendengarnya. Tidak disangka
kalau aji 'Cakra Buana Sukma' akan sedemikian
dahsyat akibatnya. Laki-laki tua itu tidak lagi menolak
ketika Rangga memintanya untuk bersila.
"Kendorkan seluruh urat syarafmu. Kosongkan
pikiran dan jiwamu. Lemaskan seluruh tubuhmu, dan
jangan sekali-kali mengerahkan tenaga. Jika itu kau
lakukan, kau akan mati dengan tenagamu sendiri!"
kata Rangga, panjang lebar menjelaskan
Mayat Hidup tidak membantah. Diturutinya saja
apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga kemudian duduk bersila di belakang Mayat
Hidup. Sebentar dipejamkan matanya, lalu kedua
telapak tangannya ditempelkan ke punggung Mayat
Hidup. Pelahan-lahan matanya kembali terbuka bersamaan dengan mengepulnya asap tipis dari sela-sela
jari tangan yang menempel di punggung.
"Kosongkan jiwamu, Mayat Hidup," kata Rangga.
Tubuh Rangga mulai bergetar sedikit. Tak lama
kemudian, dari ubun-ubun Mayat Hidup mengepul
asap berwarna kebiru-biruan. Semakin lama asap itu
semakin menggumpal, dan akhirnya masuk ke dalam
dada Pendekar Rajauali Saku
"Hhh...!" Rangga menarik napas dalam dalam ketika seluruh asap kebiru-biruan yang mengepul dari
ubun-ubun Mayat Hidup tuntas, dan masuk ke dalam
dadanya. Rangga melepaskan tangannya dari punggung
Mayat Hidup, kemudian bangkit berdiri dan kembali
duduk bersila di depan bekas lawannya itu. Tampak
mata Mayat Hidup masih terpejam. Tapi ketika bat
..)].! Rangga bersila, mata itu terbuka pelahan-lahan,
"Mengapa kau menolongku, Pendekar Rajawali
Sakti?" tanya Mayat Hidup lemah.
"Aku tidak pernah memusuhimu, dan kau juga tidak pernah memusuhiku," jawab Rangga kalem, namun suaranya penuh kewibawaan.
"Terima kasih! Aku berhutang nyawa padamu,"
ucap Mayat Hidup.
"Tidak ada yang berhutang dan tidak ada yang
mengutangi."
"Aku kagum padamu, Pendekar Rajawali Sakti."
Rangga hanya tersenyum saja, lalu bangkit berdiri
ketika Mayat Hidup berdiri. Pendekar Rajawali Sakti
itu memandangi Mayat Hidup yang melangkah menghampiri Dewi Mawar Merah. Rangga memberi isyarat


Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar orang-orang yang menjaga Dewi Mawar Merah
segera menyingkir untuk memberi jalan pada Mayat
Hidup. "Kau harus berusaha sendiri, Cah Ayu. Aku sarankan padamu, sebaiknya kau mohon ampun dan
hilangkan rasa dendam di hatimu," kata Mayat Hidup.
"Aku tidak memerlukan khotbahmu Kakek Tua!"
dengus Dewi Mawar Merah kesal.
"Rupanya Pendekar Rajawali Sakti benar. Kau memang tidak patut dikasihani. Terimalah nasib burukmu dengan senyum, Cah Ayu," kata Mayat Hidup lagi.
Setelah berkata demikian, Mayat Hidup berbalik
dan kembali menghampiri Rangga. Dia berdiri di
depan Pendekar Rajawali Sakti itu Sinar matanya
redup memandang wajah Rangga.
"Datanglah ke Lembah Gundul, saudaraku," pinta
Mayat Hidup sambil menepuk pundak Rangga
"Aku janji," sambut Rangga dengan senyum tak
lepas dari bibirnya.
"Terima kasih."
Mayat Hidup segera melompat pergi dengan cepat.
Dalam sekejap mata saja, bayangan tubuhnya telah
lenyap ditelan kegelapan malam yang menjelang pagi
ini. "Orang yang kau tunggu ada di Bukit Jati Ireng!
Dia bersama Datuk Arak!" terdengar suara menggema
yang berasal dari Mayat Hidup.
"Mayat Hidup...! Aku tidak akan melupakanmu.
Kubunuh kau...!!" teriak Dewi Mawar Merah.
"Besok kau akan mati, Perempuan Iblis!" rungut
Bayan Sangkuni.
"Phuih!"
Hari masih pagi sekali Matahari belum sepenuhnya
menampakkan diri. Rangga masih duduk melongo di
tangga beranda depan rumah kepala desa. Disampingnya duduk Ki Parungkit dan Bayan Sangku Tampak di
tengah-tengah halaman, Dewi Mawar Merah masih
terikat dengan tubuh terbalik, dijaga sekitar enam
orang bersenjata golok.
Rangga masih memikirkan si Mayat Hidup yang
menurutnya aneh sekali. Dia tidak tahu, berada dari
golongan mana si Mayat Hidup itu. Sikapnya be aneh
dan membingungkan. Selama malang-melintang dalam rimba persilatan, baru kali ini Rangga menemukan orang seperti itu. Tidak jelas maksud kedatangannya. Rangga sedikit menyesal karena belum sempat
menanyakannya, sebelum dia pergi.
"Adakah yang Gusti Prabu pikirkan?" tiba-tiba
Bayan Sangkuni menegur sopan.
"Oh!" Rangga tersentak dari lamunannya.
"Maaf. Nampaknya Gusti Prabu tengah memikirkan
sesuatu. Boleh hamba tahu?" pinta Bayan Sagkuni
lebih sopan lagi.
"Kau tahu, siapa Mayat Hidup itu?" tanya Rangga.
"Setahu hamba, dia seorang tokoh rimba persilatan
yang berperangai aneh dan berilmu tinggi. Tidak ada
yang tahu dia berada dalam golongan mana. Kadangkadang ia membantu yang lemah dan memerangi
kezaliman, tapi kadang-kadang pula membantu kejahatan," ujar Bayan Sangkuni menjelaskan.
"Tampaknya kau memiliki pandangan luas tentang
dunia persilatan," puji Rangga.
"Hamba selalu mengikuti perkembangan dunia persilatan, Gusti Prabu," Bayan Sangkuni mengakui.
"Kalau begitu, apa pendapatmu tentang tujuan
Mayat Hidup datang ke sini semalam?"
"Mungkin hanya ingin mencoba kesaktian Gusti
Prabu," jawab Bayan Sangkuni ragu-ragu.
"Aku rasa tidak, Bayan Sangkuni," bantah Rangga.
"Gusti Prabu punya pemikiran lain?"
"Kulihat ada sesuatu yang tersembunyi di balik
maksud kedatangannya semalam."
"Sebaiknya Gusti Prabu tidak perlu memikirkan hal
itu. Kita harus terpusat untuk menghadapi si Durjana
Pemetik Bunga," celetuk Ki Parungkit
"Kau benar, Ki Parungkit," sambut Rangga setuju
"Persoalan yang kita hadapi belum lagi selesai. Apa
pendapatmu, Ki Parungkit?"
"Sebaiknya kita mendahului iblis itu, sebelum ia
datang menghancurkan desa ini," saran Ki Parungkit.
"Aku kenal Datuk Arak. Tingkat kepandaiannya
sulit diukur. Terlalu berbahaya kalau orang-orangmu
menghadapi mereka," Rangga tidak setuju.
"Kami memang tidak berdaya menghadapi mereka,
Gusti Prabu. Tapi kami punya semangat! Apa Gusti
Prabu ada bersama kami!" kata Bayan Sangkuni.
"Lalu, siapa yang akan menjaga Dewi Mawar Huh?"
"Rasanya sulit baginya untuk meloloskan diri,"
gumam Bayan Sangkuni.
Rangga mengeleng-gelengkan kepalanya, kemudian
bangkit berdiri. Satu siulan keras terdengar dari
mulutnya. Tidak lama kemudian terdengar suara ringkik kuda, disusul munculnya seekor kuda hitam
menghampiri Rangga. Begitu kuda itu berhenti di
depannya Rangga langsung melompat ke punggung
kuda hitam itu.
"Kalian jaga perempuan itu! Aku akan ke Bukit Jati
lreng," kata Rangga.
"Gusti Prabu...!" Bayan Sangkuni mencegah.
Rangga tidak mempedulikan cegahan Bayan Sangkuni. Dia langsung menggebah kudanya. Kala hitam
itu segera melesat cepat bagaikan anak panah lepas
dari busurnya. Sangkuni memandang Ki Parungkit
begitu kuda hitam yang ditunggangi Rangga hilang di
balik tembok pagar rumah ini.
"Kau tetap di sini, Sangkuni. Aku akan mengikutinya. Begitu ada perkembangan, aku akan segera
pulang, kata Ki Parungkit.
"Sebaiknya Ki Parungkit mengikutsertakan beberapa orang pilihan," usul Bayan Sangkuni.
"Tidak perlu! Aku bisa menjaga diri!" tolak Ki
Parungkit. Laki-laki tua kepala desa itu menghampiri seekor
kuda coklat yang tertambat di bawah pohon. Tanpa
bicara lagi, dia segera naik dan menggebah kuda itu.
Sangkuni tidak bisa mencegah lagi. Dia segera mengatur orang-orangnya untuk menjaga. Sedangkan lainnya yang bertugas malam, diperbolehkan beristirahat.
* * * Sepeninggal Pendekar Rajawali Sakti, tepatnya
begitu matahari menampakkan diri sepenuhnya,
terjadi kegemparan di halaman depan rumah Kepala
Desa Jati lreng itu. Kamandaka bersama Datuk Arak
datang mengacau dan membantai para penjaga yang
jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang itu.
Bayan Sangkuni yang akan beristirahat, langsung
melompat ke luar begitu mendengar suara ribut-ribut.
Dia terkejut sekali melihat beberapa orangnya sudah
tergeletak jadi mayat kena amukan dua tokoh sakti
yang sangat mereka takutkan saat ini.
"Jangan gentar! Hadapi terus...!" teriak Sangkuni
cepat melompat ke dalam kancah pertempuran.
"Bagus! Ayo maju semua! Biar kupatahkan batang
leher kalian!" sambut Kamandaka gembira melihat
Bayan Sangkuni ikut terjun ke kancah pertempuran.
"Setan laknat! Hadapi aku!" bentak Bayan Sangkuni segera menghadapi si Jurjana Pemetik Bunga
itu. "Datuk Arak! Bebaskan Dewi Mawar Merah!" seru
Kamandaka. "Jangan khawatir, Kamandaka!" sahut Datuk Arak.
Bayan Sangkuni tidak bisa lagi mempertahankan
tawanannya. Dia telah sibuk menghadapi gempurangempuran dahsyat Kamandaka. Sangkuni sadar kalau
dirinya bukan tandingan Durjana Pemetik Bunga ini,
tapi tidak ambil peduli. Dengan segala kemampuan
yang dimilikinya, dia terus berusaha membendung
gempuran Durjana Pemetik Bunga itu
"Akh!" Bayan Sangkuni memekik tertahan ketika
dadanya kena tendangan keras Kamandaka.
Belum lagi Sangkuni mampu bangkit, satu jejakan
kuat bersarang di perutnya. Laki-laki setengah baya
itu bergulingan ke samping. Dengan menahan rasa
sakit pada dada dan perutnya, dia segera bangkit.
Tanpa menghiraukan keadaan dirinya lagi, Sangkuni
kembali bergerak dengan senjata golok di tangan.
Sementara itu Datuk Arak terus mengamuk sambil
berusaha mendekati Dewi Mawar Merah. Dalam
waktu yang tidak berapa lama, telah lebih dari
separuh penjaga tewas berlumuran darah. Dan begitu
dia melompat, tahu-tahu telah berada di dekat Dewi
Mawar Merah yang masih terikat rantai. Bahkan
tangannya yang menggenggam guci arak berhasil
merobohkan tiga orang sekaligus.
"Edan! Guciku pecah!" rungut Datuk Arak.
"Datuk Arak, cepat bebaskan aku!" seru Dewi Mawar Merah. "Huh! Guciku pecah, arakku habis!" rungut Datuk
Arak. "Akan kubelikan yang terbaik nanti! Cepat bebaskan aku!" seru Dewi Mawar Merah.
Datuk Arak mengelebatkan tangannya menyambar
rantai yang membelenggu tangan Dewi Mawar Merah.
Dengan satu sentakan saja rantai itu putus. Begitu
tangannya terbebas dari belenggu, Dewi Mawar Merah
segera membuka ikatan rantai di kakinya yang menggantung di atas.
"Bagus! Ayo kita habisi mereka!" seru Dewi Mawar
Merah setelah bebas.
"Kau berhutang padaku, Dewi!" kata Datuk Arak.
"Aku punya beberapa guci arak pilihan! Jangan
khawatir!"
"He he he..., bagus..., bagus!" sambut Datuk Arak
gembira. Mereka serentak mengamuk membunuhi penjaga
yang sudah kendor nyalinya. Dalam wa yang tidak
lama, mayat-mayat telah bergelimpangan. Para penjaga itu kini hanya tinggal lima orang lagi. Sedangkan
Bayan Sangkuni sudah tidak mampu lagi melayani
Kamandaka. Dia jadi bulan bulanan, dihantam, dan
ditendang bagaikan patung kayu.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar bentakan meng
gelegar, "Gusti Prabu...." desis Bayan Sangkuni gembira m.
Rangga melompat dari punggung kudanya. Sebentar dipandanginya sekeliling. Tidak kurang dari
enam puluh lima orang telah bergelimpangan menjadi
mayat. Hanya lima orang saja yang masih hidup
termasuk Bayan Sangkuni. Pendekar Rajawali Sakti
itu menggeretak geram melihat pembantaian kejam
ini. Pandangannya tajam kepada Kamandaka, Datuk
Arak, dan Dewi Mawar Merah, yang berdiri berdampingan. "Aku tidak tahu lagi, hukuman apa yang pantas
untuk kalian bertiga!" kata Rangga datar.
"Hati-hati Gusti. Mereka sangat tangguh," kata
Bayan Sangkuni mempenngatkan.
"Menyingkirlah, Paman. Biar mereka kuhadapi
sendiri," kata Rangga.
Bayan Sangkuni segera melangkah mundur diikuti
lima orang lainnya. Rangga mengayunkan kakinya
mendekati ketiga orang itu Tatapan matanya tetap
tajam tidak berkedip sedikit pun. Bibirnya terkatup
rapat menahan kemarahan yang kian memuncak
sampai ke ubun-ubun.
"Sudah kuduga, kalian pasti datang ke sini," kata
Rangga tetap datar suaranya.
"Sudah lama kutungu kesempatan ini. Pendekar
Rajawali Sakti!" kata Kamandaka tersenyum sinis.
"Kau yang bernama Kamandaka, si Durjana Pemetik Bunga?"
'Tidak salah! Aku sengaja menunggumu di sini,
karena kita punya perhitungan!" sahut Kamandaka.
"Aku belum pernah bertemu denganmu! Aku tidak
punya persoalan denganmu!" ketus suara Kangin.
"Jangan berlagak bodoh, Pendekar Rajawali Sakti!
Kau berhutang nyawa padaku! Kau telah membunuh
saudara perempuanku, Klenting Kuning si Iblis Wajah
Seribu!" "O..., pantas watakmu tidak jauh berbeda. Satu
saudara, satu selera!"
"Sudah saatnya kau bayar hutangmu, Pendekar
Rajawali Sakti!"
"Hm....!"
Kamandaka mengeluarkan sebatang tongkat kecil
yang berlubang-lubang kecil. Rupanya suling yang
sering ditiupnya merupakan sebuah senjata. Begitu
disentil salah satu lubangnya, dari ujung tongkat kecil
itu muncul sebuah mata pisau tipis keperakan.
Kamandaka segera membuka jurus dengan senjata
anehnya itu. "Hm...," Rangga hanya bergumam kecil. Matanya
sedikit menyipit melihat gerakan-gerakan Kamandaka.
Jurus pembuka yang dimainkan Kamandaka mengingatkan Rangga pada seorang wanita cantik yang
pandai merubah wajah dan penampilannya. Wanita
yang menjuluki dirinya Iblis Wajah Seribu! Rupanya
jurus-jurus silat Kamandaka tidak jauh berbeda dengan kakak perempuannya. Tentu saja Rangga sudah
paham sekali dengan jurus-jurus lawannya itu, tapi


Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ingin menganggap enteng.
"Tahan seranganku, hiyaaa.. !" bentak Kamandaka
keras. "Uts!"
Cepat sekali serangan yang dilakukan Kaman daka.
Namun dengan manit. sekali Rangga berhasil menghindari setiap serangan berbahaya itu. Apa yang
dilihat Rangga memang benar, jurus-jurus yang di
mainkan Kamandaka tidak jauh berbeda dengan Iblis
Wajah Seribu. Tidak heran kalau Rangga mampu melayaninya dengan mudah. Bahkan beberapa kali Kamandaka harus jungkir baik menerima seranganserangan balasan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Jurus-jurusnya lebih cepat dan lebih berbahaya.
Aku harus hati-hati menghadapinya," gumam Rangga
dalam hati. Seketika itu juga, Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dengan jurus itu Rangga
kini benar-benar berada di atas angin. Lain halnya
dengan Kamandaka yang kini malah terdesak hebat.
Bahkan beberapa kali harus menelan pil pahit,
terkena sepakan kaki dan pukulan maut Pendekar
Rajawali Sakti.
Kalau bukan Kamandaka, pasti telah sejak tadi
tubuhnya jebol terkena pukulan dan sepakan itu. Tapi
keadaan Kamandaka memang telah benar-benar payah. Dari mulut dan hidungnya telah mengucurkan
darah. Bahkan bajunya robek-robek ditambah beberapa bagian tubuhnya yang memar.
"Aku bantu kau, Kakang...!" seru Dewi Mawar
Merah. Perempuan cantik itu langsung melompat ke dalam
kancah pertempuran. Kini Rangga dikerubuti dua
orang. Tapi bantuan itu kelihatannya sia-sia saja
Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak terpengaruh. Dia tahu benar kalau keadaan tubuh perempuan itu telah luka parah akibat siksaan berat
yang harus dilakoninya. Gerakan-gerakan Dewi
Mawar Merah tidak lagi efektif. Bahkan Rangga
dengan mudah dapat membaca dan mematahkannya
di tengah jalan.
"Akh!" Dewi Mawar Merah memekik tertahan ketika
satu sodokan keras bersarang di dadanya.
Belum lagi perempuan cantik itu mampu menguasai dirinya yang limbung, satu tendangan geledek
mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna
menghantam kepalanya. Dewi Mawar Merah menjerit
melengking sambil memegangi kepalanya. Tubuhnya
berputar beberapa kali, lalu ambruk ke tanah. Sebentar menggelepar-gelepar, lalu tubuhnya diam tidak
berkutik. Kepalanya retak dan mengucurkan darah
membasahi tanah.
"Dewi...!" teriak Kamandaka. "Setan! Kubunuh
kau!" Kamandaka benar-benar kalap melihat kekasihnya
tewas mengenaskan. Segera dia menyerang dengan
cepat dan membabi buta. Rangga sedikit kerepotan
juga menghadapinya. Untungnya hal itu tidak berlangsung lama, ketika satu tendangan keras berhasil
disarangkan Rangga di punggung si Durjana Pemetik
Bunga itu Kamandaka limbung beberapa saat, kemudian berusaha menguasai dirinya. Namun belum juga keadaan
dirinya dapat dikuasai benar, tiba tiba satu tendangan
lurus kembali menghunjam pundaknya. Bersamaan
dengan itu, Rangga mencekal tangan Kamandaka
yang memegang senjata seruling.
Krek..! "Akhh"
Kamandaka memekik tertahan. Dengan satu kali
puntiran saja, tulang tangan kanan Kamandaka
patah. Dan seperti tidak ada lagi, senjata andalannya
pun jatuh lunglai ke tanah. Dengan ujung jarinya,
Rangga menggamit senja seruling berujung mata pisau itu, lalu menangkapn sambil melompat ke udara.
Begitu Rangga berhasil menjangkau senjata itu,
dengan cepat sekali tubuhnya meluruk turun. Dan
kini, senjata seruling itu mengarah, mengancam dada
Kamandaka. "Aaakh...!" Kamandaka menjerit keras. Senjata
andalannya sendiri kini telah menghunjam tepat pada
jantungnya. Rangga tidak berhenti sampai di situ.
Dengan satu tendangan kerasnya, tubuh Kamandaka
terdorong sejauh dua batang tombak ke belakang.
Sebentar terhuyung-huyung, lalu tubuh Kamandaka
ambruk tidak bangun-bangun lagi. Sebatang seruling
berujung mata pisau menancap di dada. Tembus
sampai ke punggung. Darah mengucur deras dari
lubang di dada itu. Tamat sudah riwayat Kamandaka.
"Sekarang giliranmu, Datuk Arak!" dengus Rangga
menggeram. "He he he... " Datuk Arak hanya terkekeh.
*** Pelan-pelan Rangga mengayunkan kakinya mendekati Datuk Arak yang tidak memiliki guci arak lagi.
Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri tegak dengan sikap
menantang sejauh satu batang tombak di hadapan
Datuk Arak. Laki-laki tua kurus dengan perut buncit
itu terus terkekeh. Sepertinya ingin meremehkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tahu kau seorang pendekar sejati, Pendekar
Rajawali Sakti," kata Datuk Arak setelah berhenti
tertawanya. "Hm...," Rangga hanya bergumam saja.
"Kau lihat, apakah aku bersenjata" Aku tidak akan
mampu menandingimu tanpa seguci arak pun di tanganku," kata Datuk Arak.
"Cepat pergi dari sini, sebelum pikiranku berubah!"
sentak Rangga. "Sudah kuduga. Kau memang pantas dijuluki Pendekar Rajawali Sakti, pendekar nomor satu tanpa tertandingi," puji Datuk Arak.
"Aku tidak butuh pujianmu. Datuk Arak! Enyahlah
dari hadapanku!"
"Baik..., baik! Aku pergi, tapi di lain waktu kita
akan bertarung sampai mati."
Setelah berkata demikian, Datuk Arak langsung
mencelat pergi. Begitu cepatnya ia bergerak, tahutahu tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.
Rangga menarik napas dalam-dalam, lalu membalikkan tubuhnya. Bayan Sangkuni dan Ki Parungkit
berjalan cepat, tergopoh-gopoh menghampiri Rangga.
"Mengapa Gusti Prabu melepaskan orang itu?"
Tanya Ki Parungkit menyesali.
"Pantang bagiku bertarung melawan orang yang
tidak bersenjata lagi Dia kehilangan guci yang menjadi
senjata andalannya," jelas Rangga.
"Tapi, bukankah dia bisa menggunakan tangan
kosong, atau senjata lain?" Ki Parungkit seperti belum
bisa menerima. "Lupakan saja. Dia tidak akan kembali lagi ke sini,"
desah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu berjalan menghampiri
kudanya. Tanpa banyak bicara lagi, segera dia melompat ke punggung kuda hitamnya itu. Saat itu matahari telah kian tinggi. Sementara beberapa penduduk
yang mendengar suara-suara pertarungan mulai berdatangan. Mereka berdiri saja di sekitar pagar tembok
rumah kepala desa.
"Kuharap desa ini kembali tenang. Kalau terjadi
apa-apa, hubungi saja Kerajaan Karang Setra. Aku
yakin Mahapatih Jaladara pasti akan membantu
kalian semua," ujar Rangga berpesan.
"Terima kasih, Gusti Prabu," ucap Ki Parungkit
membungkukkan badannya.
Rangga menggebah kudanya. Seketika itu juga
kuda hitam itu melesat pergi bagai anak panah lepas
dari busurnya. Pendekar Rajawali Sakti kembali melanjutkan perjalanannya untuk membela kebenaran
dan keadilan. SELESAI Pengelana Rimba Persilatan 5 Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga Naga Sasra Dan Sabuk Inten 43

Cari Blog Ini