Ceritasilat Novel Online

Jari Malaikat 1

Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat Bagian 1


1 Saat ini masih terlalu pagi untuk membuka mata. Kabut pun masih terlalu tebal
menyelimuti permukaan bumi.
Cahaya matahari yang menyemburat merah jingga di balik Gunung Bekasan seakanakan tak sanggup menembus
kabut yang menggumpal, menutupi puncak gunung itu.
Namun kesunyian yang syahdu ini mendadak pecah oleh teriakan-teriakan keras
diwarnai denting senjata beradu.
Sesekali terdengar ledakan dahsyat menggelegar bagai guntur membelah angkasa.
Suara-suara itu jelas datang dari Puncak Gunung Bekasan. Di dalam selimut kabut
tebal, terlihat dua sosok tubuh tengah berkelebat saling sambar bagai dua sosok
bayangan malaikat yang bertarung memperebutkan bidadari kahyangan.
Dua bayangan putih dan biru itu berkelebat cepat saling sambar di antara
kelebatan kabut tebal, pepohonan, semak, dan bebatuan sekitar tempat pertarungan
itu sudah porak-poranda bagai habis diamuk ribuan gajah yang marah akibat ruang
lingkupnya tergusur keserakahan manusia. Mereka tak mempedulikan cahaya matahari
pagi yang mulai menyibak kabut dengan kehangatan dan
keindahan sinarnya. Dua sosok itu terus bertarung bagaikan tak akan pernah
berhenti. Entah sudah sejak kapan terjadi pertarungan di Puncak Gunung Bekasan
ini. Glarrr! Tiba-tiba suatu ledakan yang begitu dahsyat terdengar.
Tampak batu-batu besar dan kecil beterbangan ke udara.
Pepohonan bertumbangan, tanah terbongkar menimbulkan awan debu tebal. Seakanakan Gunung Bekasan tengah murka. Namun yang terjadi sebenarnya, orang yang
mengenakan baju putih telah melepaskan satu ajian sangat dahsyat. Akibatnya,
gunung yang biasanya tenang itu seperti meletus. Begitu dahsyatnya, hingga
daerah sekitarnya bergetar seperti terjadi gempa dahsyat!
"Ha ha ha...!"
Terdengar tawa terbahak-bahak dari seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga
puluh tahun yang mengenakan baju putih ketat kotor berdebu. Beberapa puluh
tombak di depannya tertihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun,
tergeletak menggeliat-geliat di tanah. Baju warna biru yang dikenakan sudah
koyak bercampur bercak darah dan debu serta keringat.
"Kuakui ketangguhanmu, Pendekar Bayangan Dewa.
Tapi itu belum cukup untuk bisa menandingiku! Ha ha ha...!" laki-laki muda
berbaju putih ketat itu kembali tertawa tergelak-gelak.
Sedangkan orang yang mengenakan baju biru tampak
diam, tak bergerak-gerak lagi. Kedua matanya terpejam rapat. Sedikit pun tak ada
gerakan di tubuhnya. Sebatang pohon yang cukup besar menimpa sebelah kakinya
hingga sedikit terbenam ke tanah. Sedangkan sebongkah batu sebesar anak domba
menghimpit dadanya. Keadaan orang itu sungguh mengenaskan. Malah sepertinya
tidak ada harapan untuk hidup kembali
"Ha ha ha...!" laki-laki muda berbaju putih ketat itu kembali tertawa terbahak
bahak. Slap! Sungguh ringan dan cepat bagaikan kilat lompatan laki-laki berbaju putih ketat
itu. Tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di samping tubuh yang tergeletak, tak
bergerak-gerak lagi. Sebentar diamati lawannya tadi, kemudian bibirnya bergerak
menyunggingkan senyum. Semakin lama senyum di bibirnya itu semakin lebar,
kemudian tawanya kembali pecah menggelegar.
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang ingin menantangku..."!"
serunya pongah. "Dewata pun tak akan sanggup menandingi kesaktianku! Ha ha ha...!"
Swing! Tiba-tiba saja pemuda berbaju putih ketat yang telah dibasahi keringat itu
melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah lenyap dari
pandangan mata.
Bagaikan lenyap ditelan bumi saja layaknya. Namun suara tawanya masih terdengar,
lalu lambat laun menghilang terbawa angin pagi yang dingin menebarkan kabut ke
angkasa luas. Sebentar saja kesunyian sudah mencekam menyelimuti seluruh
permukaan Puncak Gunung Bekasan ini. Sisa-sisa bekas pertarungan masih terlihat.
Dan sosok tubuh baju biru yang koyak, dan kotor berdebu, masih tergeletak
tertindih batang pohon serta batu sebesar anak domba. Tak ada gerakan sedikit
pun. Namun tak lama setelah orang berbaju putih tadi pergi, muncul seorang perempuan
tua mengenakan jubah kumal.
Tangannya menggenggam tongkat berbentuk seekor ular.
Gerakannya begitu ringan, dan kelihatannya terkejut begitu mendapati ada orang
tergeletak tertindih batang pohon dan batu di puncak gunung yang sunyi ini.
Bergegas dihampiri orang yang tergeletak itu, lalu berlutut di situ.
Tanpa menunggu waktu lagi, perempuan tua berjubah kumal itu memeriksa laki-laki
yang masih tak bergerak bagai mati.
"Oh..., untung belum mati. Hm..., siapa yang melakukan ini...?" perempuan tua
itu bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri. Memang tidak ada orang lain
lagi yang bisa diajak bicara.
Sebentar diedarkan pandangannya berkeliling, lalu cepat sekali digerakkan
tongkatnya. Sungguh luar biasa!
Dari tongkat berbentuk ular itu keluar cahaya putih keperakan yang langsung
menyelimuti batang pohon besar itu. Pelahan-lahan diangkat tongkatnya. Seketika
pohon yang begitu besar dan tidak mungkin dilingkari dua orang sambil
berpegangan tangan itu terangkat bagai segumpal kapas tertiup angin.
"Hiya...!"
Brak! Pohon itu menghantam pohon-pohon lain hingga
tumbang, begitu perempuan tua betiubah kumal itu
menghentakkan tongkatnya. Kemudian, dilakukannya hal yang sama untuk memindahkan
batu yang menghimpit
dada laki-laki berbaju biru iu. Ringan sekali batu sebesar domba itu
dipindahkan, dan dibuang jauh-jauh melewati beberapa pohon tinggi. Batu itu
bagaikan terbang dilemparkan sepasang tangan raksasa yang bertenaga luar biasa
sekali. "Siapa pun yang melakukan ini padamu, kau harus selamat dan membalas!" desis
perempuan tua berjubah kumal itu pelan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, diangkatnya tubuh laki-laki separuh baya yang
belum juga bisa bergerak itu.
Sebentar perempuan tua itu memandangi wajah yang
berlumuran darah dan kotor berdebu, kemudian melesat cepat bagaikan kilat
meninggalkan Puncak Gunung
Bekasan ini. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tak
berbekas lagi. Kembali Puncak Gunung Bekasan dilanda kesunyian
yang mencekam. Namun kesunyian itu tak berlangsung lama, karena burung-burung
mulai berkicau menyemarak-kan pagi yang telah dikoyak oleh ulah segelintir
manusia. Dan sinar matahari pun kembali tersenyum. Begitu hangat menyirami permukaan
puncak gunung itu. Kabut pun telah sejak tadi memudar, sebagai tanda dimulainya
kegiatan rutin setiap hari. Tak ada lagi yang tersisa. Sementara alam kembali
normal seperti biasa. Akankah hal ini berlangsung untuk selamanya..." Itulah
kehidupan. *** Suasana di Desa Banyu Reges yang terletak di Kaki
Gunung Bekasan tidak seperti hari-hari biasanya.
Desa itu kelihatan meriah, dihiasi umbul-umbul di setiap sudut desa yang tidak
begitu besar itu. Wajah-wajah ceria terpancar dari setiap orang yang memadati
jalan berdebu. Anak-anak berkejar-kejaran, bermain riang. Pemuda-pemuda dan gadis-gadis
bergerombol bercanda ria. seperti tak akan menemui lagi hari esok untuk
bergembira. Seluruh warga Desa Banyu Reges tumpah ke jalan, seolah-olah hari ini hendak
kedatangan seorang pembesar dari kotaraja.
Seluruh warga Desa Banyu Reges berbondong-bondong menuju suatu tempat yang
merupakan sebuah tanah
lapang luas berumput tebal. Di tengah-tengah lapangan itu berdiri sebuah
panggung berukuran cukup besar dan tampak kokoh. Kelihatannya, terbuat dari
balok-balok kayu pilihan. Tanah lapang luas itu merupakan halaman depan sebuah
padepokan yang terletak di sebelah Barat Desa Banyu Reges. Lapangan luas itu
bagai tak mampu lagi menampung orang yang memadatinya. Bahkan banyak
anak-anak dan pemuda yang terpaksa harus memanjat pohon agar dapat melihat jelas
ke panggung. Suasana gaduh di sekitar lapangan itu mendadak sunyi senyap ketika seorang lakilaki berusia setengah baya dan berbaju putih panjang melangkah tenang menaiki
panggung. Di belakangnya ikut melangkah dua orang anak muda berwajah tampan.
Wajah maupun bentuk tubuh
mereka hampir mirip. Dua pemuda itu berjalan tenang mengapit seorang wanita
berusia sekitar empat puluh tahun. Di belakang mereka juga berjalan delapan
orang menyandang pedang di pinggang. Mereka berhenti tepat di tengah-tengah
panggung. Seluruh warga Desa Banyu Reges mengenal betul
mereka yang kini berada di atas panggung. Laki-laki setengah baya yang berdiri
paling depan itu adalah Ketua Padepokan Pedang Perak. Julukannya Dewa Pedang.
Sedangkan di belakangnya adalah istri dan dua anak laki-lakinya. Delapan orang
yang berdiri di belakang mereka adalah para ketua cabang Padepokan Pedang Perak
yang tersebar di delapan penjuru mata angin.
"Terima kasih atas kedatangan saudara-saudaraku semua dalam acara tahunan
memperingati berdirinya Padepokan Pedang Perak yang keduapuluhsatu ..." ucap
Dewa Pedang. Suaranya terdengar dalam dan berwibawa.
Semua yang hadir terdiam mendengarkan. Tak ada
seorang pun yang membuka mulut untuk menyelak.
Seluruh perhatian mereka tertumpah ke atas panggung.
"Seperti tahun-tahun yang lalu, dalam peringatan ini, Padepokan Pedang Perak
mencari pemuda-pemuda ber-kemauan keras untuk ditempa menjadi seorang pendekar
sejati..." sambung Dewa Pedang.
Sorak-sorak bergemuruh menyambut pengumuman
yang memang sedang dinanti-nantikan itu. Sambutan meriah datang dari para pemuda
desa yang datang bukan saja dari Desa Banyu Reges, tapi juga datang dari desadesa lain di sekitar Kaki Gunung Bekasan. Padepokan Pedang Perak memang sudah
terkenal sebagai padepokan yang melahirkan pendekar-pendekar tangguh pembela
kebenaran, dan sudah tersebar ke seluruh jagat.
"Seperti biasa, selain akan menerima murid baru, kami juga akan mengadakan
pertandingan untuk mempererat jalinan persahabatan antar sesama. Untuk itu,
dipersilakan kepada siapa saja untuk mencoba murid-murid Padepokan Pedang
Perak," lanjut Dewa Pedang.
Kembali seluruh hadirin bersorak gembira menyambut pengumuman itu. Memang mereka
tengah menantikan
kehebatan murid-murid Padepokan Pedang Perak. Dewa Pedang mengakhiri pidatonya
dengan mengucapkan salam dan mempersilakan pembawa acara melanjutkan kembali
acara peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak.
Dewa Pedang didampingi istri dan anaknya serta para ketua cabang dari delapan
penjuru meninggalkan
panggung. Mereka kembali ke tempat semula di beranda depan bangunan utama
Padepokan Pedang Perak.
Sementara di atas panggung, pembawa acara sudah
mengumumkan untuk memulai pertandingan.
Acara dimulai dengan menampilkan sepuluh orang
murid Padepokan Pedang Perak yang memperagakan
beberapa kembangan jurus tangan kosong maupun jurus penggunaan senjata dari
berbagai jenis. Namun kelihatannya mereka lebih mahir menggunakan senjata pedang
yang menjadi senjata andalan padepokan itu. Secara bergantian mereka
memperagakan kepandaian masingmasing. "Bosan...!"
Tiba-tiba saja terdengar gerutuan yang begitu keras.
Suaranya menggema bagai datang dari segala arah.
Sepuluh orang murid Padepokan Pedang Perak yang
tengah berlaga memamerkan kepandaian, berhenti
seketika. Demikian pula seluruh pengunjung yang jadi terkejut. Bahkan tak urung
Dewa Pedang juga tersentak.
Dia tahu kalau gerutuan itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang
cukup tinggi. "Kisanak, kami menghendaki kau keluar dan memilih untuk menguji murid-murid
Padepokan Pedang Perak!"
tegas pembawa acara lantang. Dia seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun. Wajahnya cukup tampan, dan bentuk tubuhnya tegap berotot. Sebilah pedang
tergantung di pinggangnya.
"Tidak ada gunanya sesumbar. Dewa Pedang sendiri belum tentu mampu
menghadapiku!" terdengar sahutan menggema.
Sahuran itu tentu saja membuat semua orang yang
hadir jadi terpana. Berbagai macam suara terdengar bagai lebah terusik
sarangnya. Bahkan kedua putra Dewa
Pedang langsung melompat berdiri.
"Jangan terpancing, Anakku," kata Dewa Pedang lembut dan berwibawa.
"Tapi, Ayah..." ujar salah seorang yang mengenakan baju ketat berwarna biru
dengan ikat kepala juga biru.
Namanya, Arya Dipa.
"Kembalilah kalian," kata Dewa Pedang tegas.
Arya Dipa memandang adiknya yang dikenal bernama
Arya Gara. Mereka tak berani membantah perintah ayahnya. Sambil menahan geram,
kedua anak muda itu kembali ke tempatnya masing-masing. Dewa Pedang bangkit
berdiri. Tangan kanannya menggeser gagang pedang yang tergantung di pinggang.
Wajahnya begitu tenang. Sinar matanya yang bening merayapi sekitarnya.
"Aku tahu di mana kau, Kisanak. Keluarlah...!" lantang dan sangat berwibawa suara
Dewa Pedang. "Ha ha ha...!" terdengar suara tawa menggelegar.
Belum lagi hilang suara itu, mendadak berkelebat
sebuah bayangan hitam dari kerumunan pengunjung yang memadati lapangan itu. Dan
tahu-tahu, di atas panggung sudah berdiri seorang laki-laki berusia lanjut
mengenakan baju panjang berwarna hitam pekat. Pada bagian dadanya, terdapat
gambar kepala tengkorak manusia. Di tangannya tergenggam dua buah kapak
berukuran besar. Di tiap ujung tangkai kapak, terdapat seuntai rantai cukup
panjang yang menyatu dengan pergelangan tangan.
"Kapak Maut..." desis Dewa Pedang mengenali laki-laki tua yang kini berdiri
tegak di atas panggung.
Sepuluh orang murid Padepokan Pedang Perak yang
tadi berlaga mempertunjukkan keahliannya, bergegas turun dari atas panggung.
Kini di atas panggung hanya ada si Kapak Maut yang berdiri bersikap angkuh
menantang. "Satu kehormatan baglku kau bersedia hadir di Padepokan Pedang Perak, Kapak
Maut," sambut Dewa Pedang ramah.
"Tidak perlu basa-basi, Dewa Pedang! Aku datang khusus hendak menantangmu!"
lantang suara si Kapak Maut.
"Ayah...," Arya Dipa berdiri. Dia tidak tahan lagi mendengar kepongahan si Kapak
Maut. Tapi Dewa Pedang sudah memberinya isyarat agar
putranya tetap tenang di tempatnya. Istri Dewa Pedang yang bernama Dewi Ratih
menarik tangan putranya agar duduk kembali. Arya Dipa terpaksa mengikuti
perintah dan isyarat itu, namun wajahnya menyimpan geram. Dewi Ratih sendiri
sebenarnya seorang pendekar wanita yang berjuluk Dewi Selendang Sakti.
"Saudaraku, Dewa Pedang. Ijinkan aku memberi pelajaran manusia tak tahu adat
itu," tiba-tiba salah seorang wakil dari cabang Padepokan Pedang Perak, bangkit
berdiri seraya menjura memberi hormat.
Dewa Pedang memandang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu. Bibirnya
tersenyum, seraya menganggukkan kepalanya. Sebagai seorang pemimpin besar sebuah
padepokan, tidak layak kalau melarang seorang ketua cabang untuk mengusir
seorang pengacau seperti si Kapak Maut itu.
"Terima kasih, Saudaraku."
"Hati-hatilah. Darma Surya. Dia sangat licik dan kejam,"
ujar Dewa Pedang memberi tahu.
Darma Surya menjura memberi hormat sekali lagi,
kemudian melompat ke atas panggung. Begitu indah dan ringan sekali gerakan


Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lompatannya. Tak bersuara sedikit pun. Bahkan saat kaki menapak papan panggung,
seperti kapas saja layaknya.
"He he he.... Bodoh sekali kau mengirim monyet busuk tiada guna padaku, Dewa
Pedang!" ejek Kapak Maut meremehkan.
"Beri sedikit pelajaran beberapa jurus kepadaku, Kapak Maut," kata Darma Surya
masih bersikap sopan.
"Sebaiknya kau mundur saja, monyet jelek!" bentak Kapak Maut tak memandang
sebelah mata pun pada calon lawannya.
"Aku akan mundur jlka kau bersedia turun dari panggung ini!" tegas jawaban Darma
Surya. Geram juga hatinya diejek sedemikian rupa.
"Phuah! Rupanya kau sudah bosan hidup, heh"!"
"Mungkin aku akan mati di sini. Tapi, aku akan puas bila mati di tangan seorang
tokoh digdaya berjiwa besar. Bukan di tangan pengacau busuk sepertimu yang
merusak kesucian suatu acara."
Kata-kata Darma Surya yang begitu tenang, mampu
juga membuat air muka Kapak Maut berubah merah
kehitaman. Mulutnya mengumpat dan menyemburkan
ludahnya karena menahan marah.
"Kurobek mulutmu, monyet! Hiyaaat...!"
Kapak Maut tidak bisa lagi memendam amarahnya. Dia langsung melompat menerjang
Darma Surya sambil
melontarkan kapak besar yang berada di tangan kanannya.
Wut! "Hap...!"
*** 2 Dengan suatu gerakan indah dan manis sekali, Darma Surya berhasil menghindari
serangan pertama si Kapak Maut. Begitu serangan pertamanya yang cepat dapat
dihindari lawan, si Kapak Maut jadi semakin geram.
Kembali diserangnya lawan dengan ganas. Kedua kapak besarnya berkelebatan cepat
mengurung tubuh Darma Surya yang masih melayani dengan tangan kosong.
"Setan alas..!" geram Kapak Maut.
Wut! Wut! Kapak Maut melayangkan kedua kapaknya hampir bersamaan secara menyilang mengarah ke bagian kaki dan dada Darma Surya. Namun
lewat satu gerakan manis, Darma Surya melompat ke belakang sambil memutar
tubuhnya. Maka, kembali serangan si Kapak Maut luput dari sasaran. Namun belum
juga Darma Surya menjejakkan kakinya, Kapak Maut sudah melayangkan satu
tendangan keras menggeledek.
Buk! "Hugh!" Darma Surya mengeluh pendek.
Tendangan si Kapak Maut begitu keras dan cepat,
sehingga tak bisa dihindari lagi. Darma Surya terjungkal keras menghantam
panggung hingga bergetar. Tendangan itu tepat menghantam dadanya.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak si Kapak Maut keras.
"Uts!"
Darma Surya buru-buru menggulingkan tubuhnya ke
samping begitu sebuah kapak besar meluncur ke arahnya.
Brak! Papan panggung kontan hancur berantakan begitu
kapak besar itu menghantam keras. Si Kapak Maut mengumpat habis-habisan melihat
lawannya berhasil lolos meski-pun sudah terjepit. Cepat-cepat dihentakkan rantai
yang menyatu dengan tangkai kapaknya. Pada saat itu Darma Surya sudah mampu
berdiri. Darah menetes dari mulutnya.
Sret! Cring...!
Cepat sekali Darma Surya mencabut pedangnya yang
tergantung di pinggang. Pedang berwarna keperakan itu berkilat tertimpa cahaya
matahari. Darma Surya mengibas-ngibaskan pedangnya di depan dada. Namun si Kapak
Maut hanya terkekeh saja melihat lawannya yang kini sudah memegang senjata.
"Bagus! Lebih cepat kau mati, lebih bagus!" dengus si Kapak Maut. "Tahan
seranganku! Hiyaaat...!"
"Hap!"
Wuk! Darma Surya mengebutkan pedangnya ke depan begitu sebuah kapak besar berantai
meluruk deras ke arahnya.
Kapak itu terpental begitu terbabat pedang Darma
Surya. Namun Darma Surya sendiri sampai terdorong tiga langkah ke belakang. Pada
saat tubuhnya limbung, si Kapak Maut melompat sambil melontarkan satu kapak
lainnya. Begitu cepat serangan laki-laki tua berbaju hitam itu, sehingga Darma
Surya tak mungkin lagi menghindarinya.
"Hiya...!"
Darma Surya bergegas mengibaskan pedang menyambut kapak yang meluruk mengancam nyawanya. Trang!
Kembali kapak itu terpental. Namun belum juga Darma Surya bisa menarik napas
lega, kembali satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi mendarat di
dadanya. "Akh!" Darma Surya memekik keras tertahan.
Pada saat tubuh Darma Surya terpental ke belakang, si Kapak Maut sudah
melepaskan kembali senjata dahsyatnya. Kapak besar berantai itu meluruk cepat
kilat mengancam nyawa Darma Surya.
"Oh, tidak...!" sentak Darma Surya yang dalam keadaan tidak menguntungkan ini.
Cras! "Aaakh..!" Darma Surya menjerit keras.
Kapak itu berhasil membelah dada laki-laki separuh baya itu. Darah seketika
mengucur deras dari dada yang terbelah cukup dalam. Kalau saja Darma Surya tidak
melentingkan tubuhnya ke belakang, kapak itu bisa tembus sampai ke punggung.
Namun begitu, Darma Surya tetap ambruk ke tanah, keluar dari panggung dengan
dada sobek berlumuran darah.
Beberapa orang murid Padepokan Pedang Perak berhamburan mencoba menolong Darma Surya. Sedangkan si Kapak Maut berdiri congkak
bertolak pinggang. Dia tertawa terbahak-bahak menyaksikan lawannya digotong enam
orang murid Padepokan Pedang Perak keluar arena.
"Biadab...!" geram Arya Dipa.
Kemunculan si Kapak Maut rupanya sudah memberi
tanda kalau hari peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak akan kacau. Dan
ini membuat seluruh pengunjung yang ingin menyaksikan hiburan segar, jadi
menggerutu tidak senang. Namun ada juga yang senang, karena bisa menyaksikan
pertarungan tokoh-tokoh persilatan. Hampir seluruh pengunjung yang tadi memadati
tepi panggung, sudah menyingkir. Hanya beberapa orang saja yang
memiliki kepandaian cukup tinggi tetap tinggal di situ. Juga para undangan yang
hadir, tetap setia duduk di kursinya masing masing.
Wajah-wajah para undangan itu memang menunjukkan
ketidaksenangan, walaupun tidak semuanya demikian.
Bahkan ada yang tersenyum-senyum seperti mendapatkan pertunjukan indah dan
menghibur hati. Entah apa yang ada di dalam benak masing-masing. Yang jelas,
suasana ceria kini berubah jadi menegangkan dan mencekam.
*** "Manusia biadab! Akulah lawanm...! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Arya Dipa melompat dari kursinya,
langsung meluruk ke arah pangggung.
"Arya Dipa!" Dewa Pedang tersentak kaget.
Namun Ketua Besar Padepokan Pedang Perak itu tidak bisa lagi mencegah putra
sulungnya. Karena, Arya Dipa kini sudah berada di atas panggung berhadapan
dengan si Kapak Maut. Bukannya meragukan kemampuan putranya, namun dia tahu
betul siapa si Kapak Maut itu. Laki-laki tua betiubah hitam itu adalah seorang
tokoh persilatan kondang dan terkenal akan kekejamannya. Dia beraliran sesat dan
menjadi musuh kaum pendekar yang berjalan di jalur lurus.
"Kapak Maut! Aku putra Dewa Pedang menantangmu untuk bertarung sampai mati!"
tegas Arya Dipa lantang.
"Ha ha ha...!" si Kapak Maut tertawa terbahak-bahak.
Tenggorokannya sungguh terasa tergelitik melihat
seorang anak muda berusia sekitar dua puluh tahun berani menantangnya. Terlebih
lagi bocah itu adalah putra Dewa Pedang yang ditantangnya. Kapak Maut sudah
mempersiapkan cukup lama agar bisa bertarung melawan Dewa Pedang. Kelihatannya
memang tidak ada persoalan pribadi di antara mereka. Namun, memang sudah tidak
asing lagi bagi kaum persilatan untuk saling menantang dan
mengukur tingkatan kepandaiannya.
"Bocah! Sebaiknya kau turun dan suruh ayahmu ke sini!" tegas si Kapak Maut
bernada penuh ejekan.
"Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa menghadapi ayahku!" sahul Arya Dipa
lantang. "Bocah edan!" geram si Kapak Maut merasa terhina.
"Jangan salahkan jika kau harus mati muda!"
"Lihat saja nanti, siapa yang lebih dahulu terbang ke akherat!" tantang Arya
Dipa. "Kadal buduk! Tahan seranganku! Hiyaaat...!"
Si Kapak Maut tidak dapat lagi menahan amarah yang meluap dan menggelegak, saat
mendapat tantangan dari seorang anak muda yang sangat jauh berbeda usia dan
pengalamannya. Dia langsung melompat menerjang sambil melontarkan secara cepat
sebuah kapaknya.
Wuk! "Hup! Hiyaaat...!
Sret! Arya Dipa langsung mencabut pedangnya, dan secepat itu pula dikibaskan ke kapak
yang meluncur mengarah ke dada.
Trang! Kapak besar berantai itu terpental ke udara tersabet pedang Arya Dipa. Dan belum
lagi ada yang menyadari, tahu-tahu Arya Dipa sudah melentingkan tubuhnya. Cepat
sekali kakinya melayang deras mengarah dada si Kapak Maut. Bukan main
terperangahnya si Kapak Maut mendapat serangan balasan yang sama sekali tidak
diduga sebelumnya.
"Hait!"
Kapak Maut mengegoskan tubuhnya ke samping,
sehingga tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu berhasil dielakkannya.
Namun hatinya begitu terperanjat. Ternyata angin tendangan itu membuat tubuhnya
terhuyung ke belakang. Pada saat itu Arya Dipa menggunakan kesempatan yang
sedikit ini. Cepat sekali dilontarkan satu pukulan tangan kiri yang keras dan
bertenaga dalam cukup tinggi.
Duk! "Akh!" Kapak Maut terpekik kaget.
Sungguh tidak disangka kalau anak muda itu memiliki kepandaian yang begitu
mengagumkan. Gerakannya lincah cepat luar biasa, dan tidak terduga sama sekali.
Pukulan Arya Dipa telak mengenal dada si Kapak Maut, membuat orang tua berbaju
hitam itu terpental ke belakang beberapa langkah.
"Kampret! Phuih...!" geram Kapak Maut langsung menguasai keseimbangan tubuhnya.
"Heh! Hanya sampai di sini sajakah orang yang hendak menantang ayahku?" ejek
Arya Dipa memanasi.
"Setan alas! Kubunuh kau!" umpat Kapak Maut geram.
Tanpa diduga sama sekali, semua pengunjung yang
menyaksikan pertarungan itu bersorak gembira menyambut kehebatan putra sulung
Dewa Pedang ttu. Dan hal ini tidak membuat Arya Dipa jadi besar kepala. Tapi
sebaliknya, si Kapak Maut bertambah geram, marah luar biasa.
Segera dibukanya jurus kembali, lalu melompat menerjang dahsyat.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Hiya...'"
Pertarungan pun kembali berlangsung sengit. Kini pertarungan berjalan semakin
dahsyat menggunakan jurus-jurus luar biasa. Namun tampaknya Arya Dipa mampu
menandingi si Kapak Maut. Jurus-jurus pemuda itu ternyata tidak bisa dianggap
enteng. Serangan-serangannya juga sangat berbahaya dan sering membuat si Kapak
Maut kewalahan. Laki-laki tua itu harus jatuh bangun menghindarinya.
Tapi Arya Dipa tidak bisa memandang rendah lawannya.
Dia sendiri juga kewalahan menghindari setiap serangan si Kapak Maut yang begitu
dahsyat dan sangat berbahaya.
Sedikit saja lengah, nyawa taruhannya. Pertarungan terus berjalan semakin
sengit. Jurus demi jurus terlewati tanpa terasa. Mereka sama-sama sudah
menghabiskan lebih dari sepuluh jurus, namun belum ada tanda-tanda bakal yang
terdesak. Para penonton selalu bersorak bila Arya Dipa berhasil membuat lawannya
jatuh bangun. Tapi, sebaliknya mereka mengejek si Kapak Maut jika tengah
mendesak pemuda itu. Dan hal itu membuat si Kapak Maut semakin marah luar biasa.
Sementara itu di bawah panggung, Dewa Pedang yang duduk di samping istrinya
tidak berkedip memperhatikan jalannya pertarungan. Sebenarnya dia bisa saja
membantu putranya secara diam-diam. Tapi, itu tidak akan pernah dilakukan. Bukan
saja para undangan yang terdiri dari tokoh persilatan tingkat ringgi yang
mencela perbuatannya, tapi itu bukanlah jiwa seorang pendekar jika harus membokong lawan. Dewa Pedang hanya bisa mengharap, putra sulungnya tidak terpancing
atau besar kepala. Arya Dipa harus mampu mengontrol diri dan tidak terpancing
kelicikan lawan.
"Lihat pedang...!" tiba-tiba Arya Dipa berteriak keras.
Wuk! Seketika itu juga Arya Dipa meliukkan tubuhnya sambil menusukkan pedangnya ke
arah leher si Kapak Maut.
Serangan yang begitu cepat selagi lawannya tengah mengerahkan serangan juga. Si
Kapak Maut jadi terperangah. Cepat-cepat ditarik lehernya ke belakang sambil
memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan.
Namun tanpa diduga sama sekali, Arya Dipa menarik pedangnya sebelum sampai pada
tujuan serangan. Dan sungguh tidak ada yang menyangka sama sekali kalau itu
merupakan serangan pancingan agar dada lawan terbuka.
Cepat sekali kaki Arya Dipa melayang menghantam dada si Kapak Maut yang terbuka.
Buk! "Heghk!" Kapak Maut mengeluh pendek.
Tendangan yang begitu keras dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi itu tidak
dapat dielakkan lagi. Tubuh si Kapak Maut terhuyung-huyung ke belakang. Tangan
kanannya menekap dada, dan dari mulutnya mengucurkan darah segar. Pada saat itu
Arya Dipa tidak membuang-buang kesempatan lagi. Sambil berteriak keras
melengking tinggi, pemuda itu melentingkan tubuhnya ke udara. Dan...
Bet! "Aaa...!" tiba-tiba saja si Kapak Maut menjerit keras.
Selagi di udara. Arya Dipa mengibaskan pedangnya
seraya memutar tubuhnya dengan posisi lurus. Seketika pedang keperakan itu
berhasil membabat kepala lawan hingga hampir terbelah jadi dua bagian.
Si Kapak Maut meraung keras, dan tubuhnya terhuyung-huyung. Kedua tangannya memegangi kepalanya yang hampir terbelah oleh
pedang Arya Dipa. Dan selagi laki-laki tua itu terhuyung meregang nyawa, Arya
Dipa langsung menghunjamkan pedangnya ke dada hingga
tembus ke punggung. Secepat ditarik ke luar pedangnya, secepat itu pula kakinya
melayang menghantam perut lawan.
Brak! Tak ayal lagi, si Kapak Maut tertontar jauh dan jatuh menghantam deretan kursi
kosong di depan panggung.
Kursi itu patah berantakan. Si Kapak Maut menggelepar sebentar, lalu diam tidak
bergerak-gerak lagi. Seketika itu juga tokoh sesat itu tewas dengan kepala pecah
dan dada berlubang besar.
Kemenangan Arya Dipa langsung disambut sorak sorai seluruh penonton yang
menyaksikan peristiwa itu dengan perasaan tegang. Seketika itu juga lapangan
depan Padepokan Pedang Perak menggemuruh dan bergetar
bagai terjadi gempa. Semua orang mengelu-elukan Arya Dipa yang berdiri tegak di
atas panggung sambil memegang pedang berlumuran darah lawannya. Sambil
melangkah menuruni panggung, pemuda itu memasukkan kembali pedang ke dalam
sarungnya di pinggang.
*** Waktu terus berjalan, berputar sesuai kodratnya. Siang pun berganti senja. Dan
upacara peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak ditutup untuk sementara,
begitu senja merambat menyelimuti mayapada ini. Seperti tahun-tahun lalu,
peringatan itu akan berlangsung selama tiga hari berturut-turut.
Beberapa murid padepokan membenahi panggung yang
berantakan akibat pertarungan di luar susunan acara, setelah para pengunjung
meninggalkan tempat itu. Para tamu undangan kembali ke kamar peristirahatan yang
disediakan. Sedangkan Dewa Pedang masih duduk di
beranda depan bersama istri dan kedua putranya, serta tujuh orang ketua cabang


Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padepokan ini. "Bagaimana keadaan Darma Surya, Arya Gara?" tanya Dewa Pedang pada putra
bungsunya. "Masih dalam perawatan. Ayah. Lukanya tidak begitu berbahaya, tapi perlu
istirahat banyak," sahut Arya Gara.
"Hhh...! Syukurlah," desah Dewa Pedang.
"Kenapa Kakang kelihatan begitu gelisah?" tegur Dewi Ratih.
Peristiwa ini pasti akan berbuntut panjang." sahut Dewa Pedang terasa berat.
"Maksud Ayah?" tanya Arya Dipa.
"Kematian si Kapak Maut tentu akan membangkitkan dendam tokoh persilatan
golongan hitam. Terlebih lagi...,"
Dewa Pedang tidak melanjutkan kalimatnya.
"Apa pun yang terjadi, akan kuhadapi, Ayah. Akulah yang membunuh si pengacau
itu!" tegas Arya Dipa.
Dewa Pedang tersenyum dan menepuk pundak putra
sulungnya dengan perasaan bangga. Namun dari sorot matanya memancarkan
kekhawatiran terhadap Arya Dipa.
Dan ini sangat terasakan. Bukan saja oleh Arya Dipa, tapi juga yang lainnya.
"Ada apa sebenarnya, Ayah?" tanya Arya Dipa.
"Sebenarnya aku bangga padamu, Arya Dipa. Tapi aku sungguh menyesalkan kejadian
ini. Tidak seharusnya hal seperti ini terjadi pada hari-hari suci, saat kita
sedang memperingati berdirinya padepokan tercinta ini," pelan sekali suara Dewa
Pedang. "Kenapa Ayah berkata begitu" Kami semua rela ber-korban nyawa demi ketegakan dan
kejayaan Padepokan Pedang Perak. Tak ada satu lalat pun yang akan dibiarkan
mengusik, Ayah." tegas Arya Dipa.
"Benar, Saudaraku. Kami semua rela mati demi padepokan yang kita cintai ini."
celetuk salah seorang ketua cabang yang duduk dekat Arya Dipa.
"Aku menghargai kesetiaanmu, Waneng Pati. Juga kalian semua yang tentunya selalu
setia padaku dan Padepokan Pedang Perak ini. Tapi persoalan yang akan dihadapi
tidaKiah ringan. Persoalan ini tidak seperti mengusir lalat busuk yang hanya
akan mengotori tempat yang kita cintai ini," kata Dewa Pedang tanpa bermaksud
mengecilkan arti teman-temannya.
Tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka
tidak mengerti apa yang dimaksudkan Ketua Besar
Padepokan Pedang Perak itu. Mereka tidak pernah berpikir kalau kejadian siang
ini membuat risau hati Dewa Pedang.
Mereka semua menduga kalau kemunculan si Kapak Maut hanyalah suatu kekacauan
kecil yang cepat dapat
ditanggulangi tanpa menimbulkan banyak korban. Tapi kini Dewa Pedang kelihatan
begitu masygul.
Apa sebenarnya yang tengah mengganggu pikiran Dewa Pedang" Sebelum ada yang
bertanya lebih jauh lagi, Dewa Pedang sudah beranjak berdiri dari kursinya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun dilangkahkan kakinya, masuk ke dalam rumah
besar yang berdiri di antara rumah-rumah panjang tempat tinggal seluruh murid
padepokan ini. Sedangkan tujuh orang ketua cabang Padepokan Pedang Perak hanya
saling berpandangan saja dengan sorot mata penuh tanda tanya.
Dewi Ratih bergegas mengikuti suaminya. Sedangkan Arya Gara pergi ke samping dan
berkumpul bersama murid-murid Padepokan Pedang Perak. Tinggal Arya Dipa yang
masih termenung duduk di kursinya. Satu persatu sahabat Dewa Pedang meninggalkan
tempat itu. Tinggal Waneng Pati yang masih tetap menemani Arya Dipa. Lama juga
mereka tidak ada yang bicara.
"Apa sebenarnya yang terjadi pada ayahmu, Arya Dipa?"
tanya Waneng Pati seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Entahlah, Paman," sahut Arya Dipa rnendesah panjang.
"Tidak biasanya ayahmu bersikap seperti itu jika menghadapi persoalan," gumam
Waneng Pati. "Paman, siapa sebenarnya si Kapak Maut itu?" tanya Arya Dipa ingin tahu.
"Hhh...! Dia seorang tokoh sesat dalam rimba persilatan..." sahut Waneng Pati
seraya mendesah panjang.
"Aku tahu itu, Paman. Tapi apa hubungannya dengan Ayah?" desak Arya Dipa.
"Aku tidak tahu, Arya Dipa. Aku dan ayahmu memang sudah puluhan tahun
bersahabat. Bahkan sebagian besar kepandaianku berasal darinya. Tapi aku tidak
begitu tahu kehidupan pribadinya. Bahkan musuh-musuhnya saja tidak semuanya
kuketahui," jelas Waneng Pati.
"Apakah Ayah pernah bertarung dengan si Kapak Maut, Paman?" tanya Arya Dipa
lagi. "Setahuku tidak pernah. Tapi..."
"Tapi kenapa, Paman?"
"Si Kapak Maut memang pernah menantang, tapi ayahmu tidak pernah melayani hingga
sekarang ini. Sampai akhirnya laki-laki itu tewas di tanganmu tadi."
terdengar pelan suara Waneng Pati
"Kenapa begitu?" Arya Dipa jadi semakin ingin tahu.
"Entahlah, Arya Dipa. Aku sendiri tidak tahu, kenapa ayahmu tidak pernah mau
menerima tantangan si Kapak Maut."
"Aneh..."! Padahal Ayah selalu menerima setiap tantangan yang datang secara adil
dan jujur. Kenapa Ayah tidak mau menerima tantangan si Kapak Maut?" Arya Dipa
bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri.
Arya Dipa memandang dalam dalam Waneng Pati,
sahabat ayahnya yang begitu dekat. Bukan saja usianya yang hampir sama, tapi
Waneng Pati adalah pengikut setia Dewa Pedang semasih pendekar itu melanglang
buana dan belum mendirikan padepokan di pinggiran Desa Banyu Reges ini. Hampir
semua ilmu yang dimiliki Dewa Pedang diajarkan pada Waneng Pati. Dan Arya Dipa
tidak percaya kalau orang yang sudah dianggap sebagai pamannya ini tidak
mengetahui tentang kehidupan pribadi ayahnya.
Terlebih lagi yang berhubungan dengan si Kapak Maut, hingga akhirnya membuat
Dewa Pedang itu gelisah hatinya.
"Penat rasanya seluruh badanku. Aku istirahat dulu, Arya Dipa," ujar Waneng Pati
seraya bangkit bendiri dan menggeliat-geliatkan badannya.
"Sebentar, Paman." cegah Arya Dipa meminta Waneng Pati duduk lagi.
"Ada apa lagi, Arya Dipa?" tanya Waneng Pati seraya duduk kembali di kursinya.
"Paman tahu, dari mana si Kapak Maut berasal?" tanya Arya Dipa.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Arya Dipa?" Waneng Pati terkejut juga mendengar
pertanyaan pemuda itu.
"Aku akan menyelidikinya, Paman."
"Jangan bergurau, Arya Dipa."
"Aku tidak main-main, Paman."
"Ah, sudahlah. Biar semua ini ayahmu yang menyelesaikan."
"Paman...!"
Tapi Waneng Pati sudah beranjak berdiri, lalu melangkah meninggalkan beranda. Arya Dipa tidak bisa mencegah lagi, dan hanya
memandangi saja kepergian Waneng Pati. Pemuda itu duduk merenung. Berbagai
macam pikiran berkecamuk di kepalanya. Macam-macam pertanyaan menyemaraki
benaknya, namun tak satu pun mampu terjawab.
"Uh! Apa sebenarnya yang terjadi pada Ayah...?" keluh Arya Dipa dalam hati.
*** 3 Keramaian masih terasa di Desa Banyu Reges, meskipun hari peringatan berdirinya
Padepokan Pedang Perak sudah berakhir sepekan lalu. Dan semua orang sudah
melupakan peristiwa berdarah yang terjadi pada hari pertama peringatan itu.
Bahkan murid-murid padepokan itu sendiri tidak lagi membicarakannya. Keramaian
di Desa Banyu Reges terjadi karena masa menuai hampir tiba. Apalagi ditambah
para undangan Padepokan Pedang Perak yang belum semuanya kembali pulang. Masih
ada juga yang ingin tinggal lebih lama untuk menikmati keindahan desa itu.
Kehadiran tokoh-tokoh rimba persilatan di Desa Banyu Reges bukan saja membuat
penduduknya senang, tapi juga membuat persoalan yang tidak biasa terjadi menjadi
terjadi. Berbagai macam tingkah polah mereka, sehingga membuat para penduduk
Desa Banyu Reges sukar untuk memahami. Apa yang diperbuat terasa janggal. Dan
ini membuat para pemuka desa dirundung kegelisahan jika tokoh-tokoh rimba
persilatan masih terlalu lama tinggal di situ. Mereka khawatir kalau kalau
tingkah polah tokoh persilatan itu merambat dan merasuki pemuda pemuda desa yang
masih polos dan lugu.
Namun suasana seperti itu tentu sangat dimanfaatkan pemilik kedai dan rumah
penginapan. Tempat-tempat seperti itulah yang selalu dikunjungi mereka hingga
padat. Terlebih lagi kedai atau rumah makan yang menyediakan minuman keras serta gadisgadis penghibur. Tidak heran lagi jika keributan selalu muncul dari kedai-kedai
minum ataupun rumah-rumah penginapan. Desa Banyu Reges
yang sehari-harinya aman tentram dan tenang, kini mendadak berubah bagai desa
mesum yang penuh tingkah polah manusia-manusia berkelakuan sesuka hati.
"Heh! Pembunuhan lagi...!" dengus Ki Junta, Kepala Desa Banyu Reges saat
menerima laporan adanya
perkelahian di sebuah kedai.
Empat orang yang melaporkan perkelahian itu hanya diam saja, sambil menunggu
perintah dari kepala desa itu.
Tapi laki-laki tua yang rambutnya sudah memutih semua itu hanya diam saja seraya
mengayunkan kaki keluar dari rumahnya. Empat orang laki-laki bertubuh tegap yang
menyandang sebilah golok di pinggang itu mengikuti dari belakang.
"Di mana perkelahian itu, Teja?" tanya Ki Junta terus saja berjalan tak terburuburu. "Di kedai Ki Sangir," sahut Teja yang berjalan di sebelah kiri Ki Junta.
"Huh! Selalu saja terjadi di situ...!" rungut Ki Junta.
Sudah beberapa kali ini Ki Junta menerima laporan perkelahian yang berakhir
dengan terbunuhnya dua atau tiga orang di kedai Ki Sangir. Letak kedai itu agak
mendekati perbatasan desa sebelah Barat. Memang agak jauh dari pemukiman
penduduk, namun yang paling ramai dikunjungi orang. Ki Junta merasa jengkel
karena setiap saat selalu menerima laporan perkelahian atau tindak kekerasan
lain yang membuatnya jadi sukar beristirahat.
Letak kedai Ki Sangir memang tidak seberapa jauh dari kediaman kepala desa,
sehingga bisa ditempuh dalam waktu singkat. Sebentar saja Ki Junta yang
didampingi empat orang bawahannya sampai di kedai Ki Sangir.
Suasana kedai itu tampak ramai, tapi tak ada tanda-tanda bekas terjadi
keributan. Ki Junta langsung masuk ke dalam kedai. Dipanggilnya Ki Sangir
pemllik kedai itu. Laki-laki tua bertubuh agak bungkuk, dan bernama Ki Sangir
bergegas menghampiri.
"Oh, Ki Junta. Silakan, masih ada tempat kosong,"
sambut Ki Sangir, bersikap hormat
"Kedatanganku bukan untuk makan atau minum di sini!" kata Ki Junta ketus.
Ki Sangir terdiam. Sempat diliriknya empat orang laki-laki di belakang kepala
desa itu. Ki Sangir sudah bisa meraba maksud kedatangan Ki Junta ke kedainya
ini. Sedangkan Ki Junta mengedarkan pandangannya ke
seluruh ruangan kedai ini. Cukup padat juga pengunjungnya, tapi masih ada
beberapa meja yang belum terisi.
Kebanyakan, para pengunjung itu adalah orang rimba persilatan. Ini ditandai dari
pakaian dan senjata yang dibawa.
Pandangan mata Ki Junta tertumpu pada satu sudut
yang agak terhalang oleh dinding kayu berlubang-lubang.
Pada sebuah meja yang hanya ada seguci arak serta beberapa potong pisang goreng,
duduk seorang laki-laki muda berwajah tampan. Rambutnya panjang tergelung ke
atas. Pemuda itu mengenakan baju warna putih tanpa lengan. Sebuah gagang pedang
berbentuk kepala burung rajawali, menyembul dari balik punggungnya. Ki Junta
kembali mengalihkan pandangannya ke arah Ki Sangir yang masih tetap berdiri
terbungkuk di depannya. Tubuh Ki Sangir memang agak bungkuk.
"Ki Sangir! Sudah berapa kali kuperingatkan padamu"
Jangan biarkan tamu-tamu mabuk-mabukan seenaknya
hingga mengganggu ketertiban dan keamanan, mengerti!"
tegas sekali kata-kata kepala desa itu.
"Ah! Sudah dua hari ini tidak ada keributan di sini. Ki,"
sahut Ki Sangir.
"Jangan suka menutup mata di depanku, Ki Sangir!"
sentak Ki Junta Jengkel.
"Maaf, Ki Apa sebenarnya yang telah terjadi" Kenapa Ki Junta seperti tidak
menyukai kedai ini dikunjungi banyak tamu?" tanya Ki Sangir merasa tidak suka
pada sikap kepala desa itu.
"Bukannya tidak suka. Tapi aku sering dengar kalau di kedaimu selalu terjadi
keributan yang membuat penduduk resah!" kata Ki Junta, agak keras nada suaranya.
"Oh...!" Ki Sangir mengeluh panjang.
Laki-laki tua bungkuk pemilik kedal itu kembali melirik empat orang di belakang
Ki Junta. Memang sejak datangnya tokoh-tokoh rimba persilatan di desa ini,
selalu saja terdengar keributan yang berakhir dengan jatuh korban nyawa dari
orang-orang persilatan itu sendiri. Untunglah sampai sekarang ini belum ada
seorang penduduk pun yang tewas akibat perkelahian atau apa saja.
Ki Sangir memang mengakui kalau sudah tiga kali
kedainya jadi ajang pertarungan yang tidak jelas per-masalahannya. Mereka hanya
memamerkan kepandaian
yang selalu berakhir kematian. Tapi sudah dua hari ini tidak terjadi perkelahian
di kedainya, walaupun per-tengkaran kecil memang selalu saja ada.
"Sebaiknya kau tidak usah mendengar, tapi melihat sendiri keadaan desamu...!"
tiba-tiba terdengar sebuah suara menggema.
Ki Junta tersentak kaget. Suara itu jelas ditujukan untuk dirinya. Tapi, entah
siapa yang baru saja berbicara. Kedai ini begitu banyak orang yang kelihatannya
tidak peduli antara satu dengan lainnya. Ki Junta mengedarkan
pandangannya. mencoba mencari arah sumber suara tadi.
Sedangkan empat orang yang berada di belakangnya
sudah memegang gagang golok masing-masing, tapi belum dicabut dari sarungnya.
"Kisanak, siapa kau yang berbicara"!" lantang suara Ki Junta.
Tak ada sahutan sama sekali. Ki Junta jadi gusar sekali.
Kembali diedarkan pandangannya berkeliling, mencoba mencari orang usil tadi.
"Mata lebih sempurna dari pada telinga. Melihat lebih baik daripada
mendengar...," kembali terdengar suara yang bernada sama.
Ki Junta langsung berpaling, dan menatap seorang
pemuda berwajah tampan duduk di dekat jendela.
Pakaiannya putih bersih dan ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap
berisi. Pemuda itu kelihatan tenang menghadapi arak dan beberapa piring makan
yang sudah kosong.
"Ilmu pemindah suaramu cukup bagus, Kisanak. Tapi belum cukup untuk
mengelabuiku!" dengus Ki Junta dingin.
Belum lagi kata-kata Ki Junta hilang dari pendengaran, mendadak saja kepala desa
itu mengibaskan tangannya ke arah pemuda yang duduk di bawah jendela itu. Dari
balik lengan bajunya meluncur sebuah benda kecil berwarna hitam. Benda kecil
seperti mata tombak tersebut bagaikan kitat meluruk ke arah pemuda tampan itu.
Tap! Tapi sungguh di luar dugaan sama sekali. Pemuda itu hanya mengangkat guci
araknya sedikit ke depan. Maka, benda hitam berbentuk mata tombak itu menancap
di guci. Masih bersikap tenang, ditenggaknya arak dari dalam guci.
Tak ada setetes arak pun yang keluar, meskipun guci itu berlubang tertancap mata
tombak hitam yang dilemparkan Ki Junta.
"Ki, sebaiknya jangan di sini. Meja dan kursiku baru diganti semua," kata Ki
Sangir, agak bergetar suaranya.
"Minggir kau!" bentak Ki Junta kasar seraya mendorong tubuh laki-laki bungkuk
pemilik kedai itu.
Ki Sangir terhuyung-huyung ke belakang. Kalau saja tidak ditahan seorang gadis
muda berbaju biru, mungkin tubuhnya sudah menabrak meja.
"Oh! Terima kasih, Nini." ucap Ki Sangir bergegas membungkuk memberi hormat.
"Menyingkirlah, Ki. Kelihatannya kepala desa itu sudah kerasukan setan," kata
gadis cantik berbaju biru itu lembut.
"Heh! Apa katamu, Nisanak"!" bentak Ki Junta berang.
"Ini, Ki," gadis itu tidak mempedulikan bentakan Ki Junta.
Sambil berdiri, dibayar makanan dan minumannya pada Ki Sangir, kemudian
dilangkahkan kakinya pelahan-lahan ke luar kedai. Tapi belum juga mencapai
ambang pintu, dua orang yang mendampingi Ki Junta sudah
menghadangnya. Gadis itu terpaksa berhenti melangkah.
*** Suasana di dalam kedai Ki Sangir semakin bertambah panas. Gadis berbaju biru
yang menyandang pedang
bergagang seekor naga di punggung itu menatap tajam dua orang yang menghadangnya
di depan pintu kedai.


Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangan kirinya menggeser sebuah kipas putih yang
tertutup di balik sabuk ikat pinggang. Sempat juga diliriknya pemuda berbaju
rompi putih yang duduk di sudut.
Pemuda itu memberikan senyum sambil mengangkat
gelasnya sedikit. Gadis itu pun tersenyum kecil, lalu menatap tajam Ki Junta.
"Maaf, aku akan keluar," kata gadis cantik itu ramah.
"Kau sudah menghina kepala desa kami, Nisanak!" ujar salah seorang yang
menghadang di depan pintu dengan suara dingin
"Hm..., lucu sekali. Aku hanya membantu pemilik kedai, kenapa dituduh menghina?"
"Kembalilah ke tempatmu, Nisanak!" bentak laki-laki itu lagi.
"Baik. Apa yang akan kalian lakukan?"
"Tunggu sampai Ki Junta menyelesaikan urusan dengan manusia kurang ajar itu!"
dengus orang itu lagi.
Gadis berbaju biru itu mengangkat pundaknya setelah melirik pemuda berbaju rompi
putih yang duduk di sudut.
Pemuda itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Kemudian gadis
itu berbalik dan melangkah kembali ke kursinya, tapi tidak jadi duduk di sana.
Dia berjalan menghampiri pemuda yang duduk di sudut, dan duduk di depannya.
"Sudah kukatakan, Kakang. Desa ini tidak ramah untuk disinggahi," kata gadis
cantik itu setengah berbisik.
"Tapi aku tertarik pada sikap kepala desa itu," sahut pemuda berbaju rompi putih
itu tidak lepas mengamati Ki Junta yang sudah melangkah menghampiri pemuda
berbaju putih yang duduk di bawah jendela.
"Huh! Sok jual lagak!"
"Diamlah. Calon lawanmu memperhatikan terus. Sebaiknya kita terus saja seperti
tidak saling mengenal"
"Percuma!"
Pemuda berbaju rompi putih itu mengangkat pundaknya sedikit. Perhatiannya tidak
pernah beralih ke arah Ki Junta yang kini sudah berada di depan pemuda berbaju
putih yang duduk di bawah jendela kedai ini. Jelas sekali kalau sikap pemuda itu
tampak tenang dan seperti tidak mempedulikan suasana yang semakin panas
menegangkan. "Anak muda, siapa kau" Mau apa datang ke desa ini?"
tanya Ki Junta bernada dingin.
"Maaf, apakah Kisanak bicara denganku?" pemuda berbaju putih itu malah balik
bertanya. "Bocah kadal! Kau pikir aku bicara dengan siapa, heh"!"
bentak Ki Junta semakin berang.
"Oh... Kau bicara denganku...?" sikap pemuda itu masih juga tidak peduli.
Tentu saja hal ini membuat dua orang yang duduk di sudut jadi menahan senyum.
Terlebih lagi gadis berbaju biru. Dia sampai terkikik kecil, sehingga membuat
empat orang pengikut Ki Junta mendelik.
Ki Junta semakin berang saja melihat sikap pemuda itu yang tidak peduli sama
sekali. Bahkan dia berdiri dan hendak pergi dari kedai ini. Dengan kasar sekali
Ki Junta menyentakkan bahu pemuda itu. Seketika satu pukulan keras melayang,
tepat mendarat di perut pemuda berbaju putih itu.
Dig! "Heghk! "
Selagi pemuda itu terbungkuk, Ki Junta kembali
melayangkan satu pukulan keras menghantam wajah
pemuda itu hingga terdongak. Belum lagi pemuda itu mampu melakukan apa-apa, Ki
Junta sudah meng-hantamkan satu pukulan lagi ke dada. Akibatnya pemuda berbaju
putih itu terjungkal menabrak meja sampai hancur berantakan.
"Bangun!" bentak Ki Junta keras
Pemuda berbaju putih itu bangkit berdiri. Disekanya darah yang mengalir dari
sudut bibir. Kejadian itu membuat seluruh pengunjung kedal jadi tidak tenang.
Mereka bergegas ke luar, tidak ingin ikut campur. Hanya beberapa orang saja yang
masih tetap tinggal di kedai ini. Pelahan-lahan pemuda itu berdiri tegak. Sorot
matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Ki Junta.
"Heh...!" Ki Junta menghentakkan tangannya sejajar dengan bahu.
Dua orang yang sejak tadi mengawalnya segera
melompat maju, seraya mencabut goloknya. Langsung saja dirangsek pemuda berbaju
putih itu. Namun sungguh di luar dugaan sama sekali, pemuda berbaju putih ketat
itu melentingkan tubuhnya ke udara. Seketika kedua kakinya menyentak menendang
dua orang bersenjata golok yang hendak meringkusnya.
Dug! Des! Kedua orang itu mengeluh pendek dan terjungkal ke belakang sampai menabrak meja
kursi. Bergegas mereka bangkit berdiri sambil menggeram marah. Dua orang
pengawal Ki Junta itu langsung berlompatan menyerang pemuda itu dengan senjata
golok berkilat.
"Hiya! Yeaaah...!"
Sukar untuk diikuti pandangan mata biasa, mendadak saja pemuda itu memutar
tubuhnya sambil melompat
sedikit. Tangan kanannya berkelebat cepat bagai kilat, maka tahu-tahu dua orang
penyerangnya menjerit keras dan terpental ke belakang. Dua orang itu menggeliat
sebentar di tanah, lalu diam tak berkutik lagi.
"Hah...!" Ki Junta terperanjat bukan main.
Kedua bola mata kepala desa itu mendelik, ketika
mendapati kening kedua anak buahnya berlubang
mengucurkan darah segar. Ki Junta menatap pemuda
berbaju putih itu yang berdiri tenang melipat kedua tangannya di depan dada.
Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyuman sinis. Ki Junta melangkah mundur
beberapa tindak.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Junta berbalik dan langsung melangkah cepat
keluar dari kedai Ki Sangir. Dua orang pengawalnya jadi kebingungan, tapi
bergegas mengikuti kepala desa itu. Sedangkan pemuda berbaju putih itu juga
keluar dari kedai, melangkah tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa padanya
tadi. Tinggal Ki Sangir yang sibuk memerintahkan pekerjanya menyingkir-kan dua
mayat yang tergeletak dengan kening bolong sebesar jari!
*** "Mustahil...!" dengus Dewa Pedang seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Berani sumpah, Dewa Pedang. Aku sendiri melihat, bahkan sempat bertarung
dengannya sebelum orang itu membunuh dua orang pengawalku," kata Ki Junta.
Dewa Pedang bangkit berdiri dari duduknya, lalu
berjalan menghampiri jendela ruangan kecil yang khusus untuk bersemadi.
Pandangannya lurus menatap bulan yang bersinar penuh malam ini, kemudian
berbalik dan menatap Ki Junta yang masih duduk bersimpuh di lantai.
Kepala Desa Banyu Reges itu sudah menceritakan
semua peristiwa di kedai Ki Sangir siang tadi. Dan setiap kali terjadi peristiwa
di Desa Banyu Reges, Ki Junta selalu melaporkan hal itu pada Ketua Padepokan
Pedang Perak itu. Dan ini membuat Dewa Pedang jadi gundah. Belum pernah terjadi
tamu-tamu yang diundang tidak langsung pulang. Bahkan menetap beberapa hari di
Desa Banyu Reges. Yang menjadi beban pikirannya, tokoh-tokoh persilatan yang
kini berada di Desa Banyu Reges sebagian beraliran hitam. Bahkan tidak sedikit
tokoh persilatan yang tidak dikenalnya berada di desa itu. Apa sebenarnya yang
mereka inginkan" Ataukah sedang menunggu sesuatu"
Tapi, apa yang ditunggu..." Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu menghantui
Dewa Pedang. "Ki Junta tahu, apa tujuan orang itu datang ke desa ini?"
tanya Dewa Pedang setelah cukup lama berdiam diri.
"Entahlah, Dewa Pedang. Dia tidak banyak bicara, tapi setiap ucapannya sungguh
menyakitkan sehingga ke-marahanku tidak bisa lagi ditahan," sahut Ki Junta.
"Hhh.... Setahuku, orang yang memiliki jurus 'Jari Malaikat' hanya Pendekar Jari
Malaikat. Tapi pendekar itu sudah lama tidak terdengar sepak terjangnya lagi
Rajawali Emas 16 Hancurnya Sian Thian San Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke Iv Karya Lovelydear Persekutuan Pedang Sakti 14

Cari Blog Ini