Ceritasilat Novel Online

Kitab Tapak Geni 1

Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni Bagian 1


KITAB TAPAK GENI
oleh Teguh S. Cetakan pertama Penerbit
Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh S. Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Kitab Tapak Geni
128 hal. ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Tukang Edit: Aura PandRa
1 Musim menuai hampir tiba. Sawah
menguning terhampar sedap dipandang
mata. Anak-anak bertelanjang dada
berlarian sambil menjeritjerit
mengusir burung-burung pengganggu padi mereka. Kegembiraan yang seharusnya
datang manakala musim menuai padi
hampir tiba. Seharusnya dunia yang
ceria tergambar jelas saat itu. Tapi
hanya manusia-manusia serakah dan
tamak saja yang membuat dunia ini jadi murung bersimbah darah dan air mata.
Keceriaan anak-anak itu tidak
dapat dirasakan oleh orang tua mereka.
Para petani yang lelah sehabis
mengolah sawah ladang, hanya bisa
duduk lesu di dangau. Wajah mereka
murung dengan tatapan sayu, memandangi sawah yang terhampar luas. Suasana
yang amat kontras ini tidak luput dari perhatian seorang pemuda yang sejak
tadi duduk di atas batu.
Pemuda itu berpakaian rompi
dengan pedang tersampir di punggung.
Matanya memandang ke arah anak-anak
yang ceria, lalu beralih ke arah
petani yang duduk di dangau-dangau
dengan wajah lesu tanpa gairah.
Beberapa di antaranya duduk
berkelompok membicarakan sesuatu.
Pemuda yang masih duduk di batu besar itu, ternyata adalah Rangga. Rambutnya
yang panjang seperti berkibar-kibar
dipermainkan angin. Perhatiannya terus ke arah dangau-dangau, sementara air
sungai yang mengalir di bawahnya terus saja beriak seperti tak peduli dengan
suasana sekitarnya.
"Seharusnya mereka gembira karena sebentar lagi akan memetik hasil jerih payah
mereka. Tapi, mengapa mereka
seperti tidak gembira?" Rangga
bergumam lirih.
Mata Pendekar Rajawali Sakti kini
beralih memandangj wanita-wanita yang tengah mencuci di sungai, tidak jauh
dari tempatnya. Wajah mereka juga
tidak menggambarkan kegembiraan sama
sekali. Tidak ada canda tawa
sebagaimana layaknya. Bibir Rangga
tersenyum ketika mendengar dua gadis
berceloteh sambil melirik ke arahnya.
"Ratih, tampan juga ya?"
"Siapa?" tanya wanita muda
berambut panjang yang ternyata bernama Ratih.
"Itu tuh, yang duduk di batu."
Ratih menoleh ke arah Pendekar
Rajawali Sakti. Pada saat yang sama,
Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti
tengah menatap ke arahnya. Sesaat mata mereka bertemu. Cepat-cepat Ratih
memalingkan wajahnya.
"Lho, kok wajahmu jadi merah?"
"Sudah, ah. Tidak usah bicara itu lagi, Komala."
"Naksir ya?" desak Komala
menggoda. Ratih hanya tersenyum tersipu.
Dari sudut matanya, dilirik Rangga
yang masih tetap memandangnya.
Mendadak seluruh darahnya seperti
membeku. Jantungnya berdebar lebih
keras dari semula.
"Ah, dia memang tampan seperti
seorang pangeran. Tapi..., apa iya
sih, seorang pangeran mau pakai baju
seperti itu?" Ratih berbisik dalam hati. Beberapa kali tatapannya tertuju pada
Rangga lewat sudut ekor matanya.
Tanpa disadari, rupanya Komala
memperhatikan sejak tadi. Dia hanya
tersenyum melihat Ratih yang salah
tingkah. Ratih memang gadis paling
cantik di antara gadis-gadis lain di
Desa Ganggang ini. Apalagi dia anak
seorang kepala desa. Jelasnya, Ratih
bagaikan sekuntum bunga mekar di
antara bunga-bunga yang telah layu.
"Pulang, yuk. Lihatlah, matahari telah tinggi," ajak Ratih.
Komala mengangkat bahunya.
Kemudian dijinjing keranjang
cuciannya, dan beranjak mengikuti
Ratih. Matanya sempat melirik ke arah Rangga duduk. Namun hatinya mendadak
terkesiap ketika matanya tidak lagi
melihat Rangga di sana. Komala segera bergegas menyusul Ratih yang sudah
berada di tepi sungai.
"Ratih..., Ratih, tunggu!"
panggil Komala.
"Ada apa, sih?" tanya Ratih seraya berhenti melangkah.
"Dia tidak ada lagi."
"Siapa?" Ratih pura-pura. Tapi matanya segera menatap ke arah tempat duduk
Rangga tadi. "Ah!"
Dua gadis itu jadi mclongo karena
Rangga seperti lenyap ditelan sungai.
Mata Ratih beredar berkeliling, tapi
tidak ada tanda-tanda sama sekali
kalau Rangga bersembunyi. Setelah
yakin tidak ada, segera dia berbalik
dan melangkah pergi. Komala
mengikutinya dari belakang dengan
langkah dipercepat.
Langkah mereka telah sampai di
sebuah jalan desa yang menuju ke
rumah. Mereka benar-benar mempercepat langkahnya bagai habis melihat setan
saja. Tak ada kata-kata yang keluar
dari mulut mereka. Semuanya bisu. Tapi tiba-tiba saja langkah mereka berhenti
ketika mencapai tikungan jalan. Di
sana, Rangga tengah berdiri
membelakangi. "Ratih...," Komala mengkeret ketakutan berlindung di belakang
Ratih. Ratih memandang punggung Rangga
yang berdiri membelakanginya. Pelanpelan pemuda ini berbalik. Rangga
kelihatannya sedikit terkejut ketika
melihat ada dua gadis berdiri di
belakangnya. "Oh, maaf. Apakah aku menghalangi jalan kalian?" lembut dan sopan suara Rangga
terdengar. "Kalau merasa, silakan minggir,"
agak ketus suara Ratih menyahut.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia
melangkah mendekat dan berhenti
sekitar tiga langkah di depan Ratih.
Dalam hati, dikagumi juga kecantikan
gadis ini Ratih sedikit risih
dipandangi seperti itu. Dibenahi
kainnya yang menutupi bagian bahu dan dadanya. Namun kain itu tidak bisa
menyembunyikan kulit putihnya di
bagian leher dan wajahnya.
"Aku baru datang ke desa ini.
Kalau adik-adik tidak keberatan, boleh minta tolong?" masih terdengar lembut
suara Rangga. Ratih menoleh ke arah Komala.
"Apa nama desa ini?" tanya
Rangga. "Desa Ganggang," sahut Komala yang berangsur-angsur hilang rasa
takutnya setelah mendengar suara
Rangga yang lembut dan sopan.
"Maaf, kami harus segera pulang,"
celetuk Ratih. Buru-buru ditarik tangan Komala,
dan melangkah pergi. Rangga tidak
mencegah, hanya dipandangi saja dua
gadis itu yang telah berlalu. Matanya menatap lekat pada punggung Ratih yang
sedikit terbuka.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas.
Senja baru saja merayap turun
ketika sepuluh ekor kuda berderap
kencang membelah jalan yang berdebu.
Kuda paling depan ditunggangi oleh seorang laki-laki dengan wajah penuh
berewok dengan luka gores memanjang di pipi kanan. Pakaian yang dikenakan
sangat indah dan mewah. Di belakangnya, sembilan penunggang kuda
berpakaian seragam mengikutinya.
Beberapa penduduk yang berada di
jalan segera menepi seraya membungkuk ketika kuda-kuda itu lewat di
depannya. Mereka terus berpacu cepat
meninggalkan debu-debu yang
berterbangan di belakangnya. Jelas
kalau mereka tengah menuju ke rumah
Kepala Desa Ganggang. Rumah itu berada di tengah-tengah desa, dan yang
terbesar di antara rumah-rumah
lainnya. Laki-laki codet berewokan yang
berada paling depan, segera melompat
turun dari kudanya ketika tiba di
depan rumah Kepala Desa Ganggang.
Lompatannya cukup indah dan ringan,
menandakan ilmu peringan tubuhnya
cukup tinggi. "Ki Jagabaya...!" laki-laki codet itu berteriak menggelegar.
Bergegas seorang tua berambut dan
berkumis putih keluar dari rumah besar itu bersamaan dengan turunnya
kesembilan orang dari kuda masingmasing. Orang tua itu terbungkukbungkuk menghampiri para penunggang
kuda yang telah berdiri angkuh
bertolak pinggang.
"Oh, Tuan Parang Kati. Hamba
tidak mengira tuan akan datang begini cepat," parau suara laki-laki tua yang
ternyata bernama Ki Jagabaya. Dialah
Kepala Desa Ganggang.
Laki-laki codet berewokan yang
tinggi lagi angker itu hanya mendengus saja. Langkahnya berat mendekari Ki
Jagabaya. Matanya lantas melirik ke
sekitarnya. Segera saja beberapa
penduduk menutup pintu dan jendela
rumah mereka. Dalam sekejap saja
keadaan desa menjadi sepi lengang.
"Baginda Prabu Salya
memerintahkan agar desa ini segera
membayar upeti sekarang juga!" bentak laki-laki codet berewokan yang bernama
Parang Kati ini.
"Ah...," Ki Jagabaya ternganga mendengarnya. "Mana mungkin, Tuan.
Mereka belum lagi panen,
sedangkan...."
"Aku tidak peduli! Baginda Prabu Salya menghendaki sekarang juga kau
mengumpulkan upeti!" Parang Kati memotong cepat dengan suaranya yang
berat menggelegar.
"Tapi...."
"Mau coba-coba membangkang heh"!"
bentak Parang Kati. "Hih!"
Tanpa memandang siapa yang
dihadapinya, Parang Kati melayangkan
tangannya. Plak! Ki Jagabaya memekik tertahan.
Tubuh tua yang kurus renta itu
sempoyongan, langsung ambruk dengan
darah menetes dari sudut bibirnya.
Baru saja Ki Jagabaya akan
bangkit, Parang Kati telah
menendangnya. Kembali tubuh tua renta itu terjungkal terguling-guling sejauh dua
batang tombak. Betapa kerasnya
tendangan Parang Kati, membuat Ki
Jagabaya menjadi sesak napas. Matanya berkunang-kunang dengan kepala pening
seperti berputar.
"Ayah...!" tiba-tiba terdengar suara jeritan keras.
Ratih berlari kencang menghambur
ke arah ayahnya yang menggeletak di
tanah. Darah semakin deras mengucur
dari sudut bibirnya. Gadis itu segera membantu ayahnya duduk. Dengan ujung
baju, disekanya darah dari mulut
ayahnya. "Kejam!" Ratih mendengus geram.
Matanya tajam menatap Parang Kati.
Melihat ada gadis cantik di
depannya, Parang Kati tertegun dengan jakun turun naik. Lidahnya menjulur
menjilati bibirnya sendiri yang tebal.
"He he he..., ternyata si tua
bangka menyimpan mutiara yang
mempesona," Parang Kati terkekeh seraya menelan ludahnya.


Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh! Perampok! Kenapa tidak kau bunuh saja kami sekalian?" geram Ratih. Matanya
semakin lebar membelalak tajam.
"Ah, rupanya kelinci cantik ini
bisa galak juga," goda Parang Kati sambil terus terkekeh.
Sembilan orang yang berdiri di
belakang Parang Kati pun ikut tertawa-tawa melihat pemandangan yang justru
tidak lucu itu. Mata mereka jelalatan penuh nafsu memandangi wajah cantik
Ratih yang memasang wajah garang. Di
mata mereka semua, wajah garang Ratih malah semakin cantik menggairahkan.
Ditertawakan semacam itu, Ratih semakin mengkelap marah.
"Ratih, jangan...," cegah Ki Jagabaya ketika putrinya bangkit.
"Huh! Mereka harus diberi
pelajaran, Ayah!" dengus Ratih tidak dapat mengendalikan amarahnya.
"Ratih...!"
Gadis itu tidak lagi mempedulikan
panggilan ayahnya. Dia telah melangkah mendekati Parang Kati. Tangannya
meraih bagian bawah kain dan
disingsingkannya. Parang Kati dan
kesembilan orang lainnya sempat
menahan napas ketika betis putih indah tersingkap. Dan betapa terbelalaknya
mata mereka ketika melihat celana
pangsi hitam melekat membungkus kaki
yang indah itu.
Ratih membelitkan kainnya di
pinggang. Selanjutnya tangannya
bergerak ke atas menggulung rambutnya yang panjang. Pandangannya tajam
kepada Parang Kati yang telah
menganiaya ayahnya. Darah gadis cantik ini mendidih bergolak, sehingga tidak
peduli lagi siapa yang dihadapinya.
Padahal mereka adalah para punggawa
Kerajaan Parakan.
Sret, cring! Tiba-tiba saja Ratih mengeluarkan
dua bilah pisau belati dari balik
lipatan bajunya. Dua berkas sinar
keperakan memantul dari mata belati
yang terjilat cahaya matahari senja.
Parang Kati terlonjak mundur dua
langkah. Bukannya takut, tapi kaget
juga melihat gadis cantik di depannya telah siap mengancam dengan dua bilah
belati. "Ratih, jangan. Hentikan, Nak,"
Ki Jagabaya tertatih-tatih mencoba
menenangkan luapan emosi putrinya.
"Tidak, Ayah. Mereka bukan lagi
manusia, tapi binatang! Mereka tidak
pantas lagi hidup di dunia!" sahut Ratih tanpa menoleh.
Ki Jagabaya tahu benar akan sifat
anaknya yang keras hati itu. Dia tidak mungkin lagi menghalanginya. Laki-laki
tua renta itu hanya bisa berdiri
diliputi perasaan cemas. Rasa cemas
itu beralasan karena Parang Kati
adalah orang kepercayaan Baginda Prabu Salya. Tentunya tingkat kepandaiannya
perlu diperhitungkan pula.
Meskipun Ratih hanya seorang
gadis desa, tapi sejak berusia lima
tahun telah dididik berbagai ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian oleh
pamannya. Memang kebetulan sekali,
pamannya adalah guru besar padepokan
di Gunung Lawu.
"Tinggalkan desa ini, atau kalian semua mati seperti binatang!" ancam Ratih
tidak main-main.
"He he he...," Parang Kati hanya terkekeh. Sikapnya menganggap enteng
gadis cantik ini
"Phuih!" Ratih menyemburkan ludahnya penuh kebencian.
Semburan ludah yang disertai
pengerahan tenaga dalam, meluncur
deras menghantam wajah Parang Kati.
Sangat keras dan pedas, sampai-sampai Parang Kati terdongak. Seketika
wajahnya memerah menahan geram.
"Setan! Kurobek mulutmu!" geram Parang Kati.
Dengan ujung baju, diseka ludah
yang mampir di wajahnya. Dengan suatu dengusan berang, ditarik ikat
pinggangnya yang ternyata sebuah
pecut. Seluruh batang pecut sepanjang
satu depa itu, dipenuhi duri-duri
halus yang tajam. Pada ujungnya,
terdapat rambut-rambut halus yang
terkuncir bagai buntut kuda.
Ctar! *** Kehebatan cambuk saat menggeletar
membelah udara, dapat dirasakan Ratih.
Suaranya bagai guntur di siang bolong, tapi menimbulkan hawa dingin menusuk
tulang. Gadis itu segera menggerakkan kedua tangannya menyilang di depan
dada. Seketika dikerahkannya hawa
murni untuk melawan hawa dingin yang
kian menusuk. "Hhh, hanya mainan domba kau
pamerkan di sini," ejek Ratih memanasi
"Wewe Gombel! Rasakan cambuk
saktiku!" dengus Parang Kati sengit.
Sehabis berkata demikian, Parang
Kati berteriak nyaring sambil
mengebutkan cambuk saktinya. Suara
yang menggelegar dan memekakkan
telinga menggema beberapa kali. Ujung pecut yang mirip ekor kuda seketika
menegang kaku. Parang Kati sangat lihai
memainkan cambuk itu. Seperti memiliki mata saja, ujung cambuk itu bergerak
mengjncar bagian-bagian tubuh yang
mematikan. Persis ular yang tengah
mengincar mangsanya. Namun sampai
lewat tiga jurus, belum seujung rambut pun cambuk itu menyentuh kulit gadis
itu. Hal ini membuat Parang Kati
gusar. "Setan! Jangan menyesal kalau
wajahmu yang cantik kurusak!" geram Parang Kati.
"Lakukanlah jika kau mampu, kebo dungu!" balas Ratih mengejek.
Makin panas telinga Parang Kati.
Segera dikeluarkannya jurus 'Cambuk
Maut', suatu jurus yang cukup
berbahaya. Dari
ujung cambuk bersemburan bunga-bunga api yang
meletup-letup menyambar-nyambar ke
arah Ratih. Tapi kelihatannya gadis itu
tenang saja menghindari setiap
serangan yang mengincar nyawanya. Dua bilah pisau belati di tangannya
berkelebatan mengacaukan setiap arah
ujung cambuk lawan. Dan pada satu
kesempatan, Ratih sengaja membiarkan
ujung cambuk itu menyabet ke arah
dadanya. Trak! Tanpa terduga ujung cambuk yang
hampir menyabet dada, terjepit oleh
dua bilah belatinya. Rupanya dengan
cepat Ratih telah lebih dulu
mengatupkan kedua belatinya. Parang
Kati belingsatan mencoba menarik
senjata andalan yang terjepit pada
ujungnya itu. Bahkan kini jepitan itu semakin kuat dan rapat.
"Uh!" Parang Kati mengemposkan tenaga dalamnya sambil menarik cambuk andalannya.
Ratih yang tengah mengerahkan
jurus 'Capit Baja' tidak memberi
kesempatan lagi bagi lawannya untuk
melepaskan senjata dari jepitan dua
belati. "Ya...!"
Tiba-tiba saja gadis itu menjerit
keras seraya melayangkan tubuhnya
cepat, dengan kaki lurus ke depan.
Begitu cepat gerakan Ratih, membuat
Parang Kati terkesiap. Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, karena jarak
mereka memang hanya satu depa saja.
Parang Kati terpaksa melepaskan
pegangan tangan kanannya pada cambuk, lalu dengan cepat menangkis kaki Ratih
yang melayang mengincar kepala. Tapi
rupanya, tendangan menggeledek tadi
hanya tipuan saja. Saat tangan kanan
Parang Kati terangkat, mendadak Ratih menyentak ujung cambuk yang masih
terjepit belatinya itu.
"Akh!" Parang Kati memekik
tertahan. Tangan kiri yang telah berfungsi
memegang cambuknya, tersentak bagai
ditarik seribu ekor gajah. Tubuh
Parang Kati limbung seketika ke depan.
Kesempatan ini digunakan Ratih dengan cepat. Dilepaskan jepitan dua
belatinya, lalu tangan kanannya
bergerak cepat bagai kilat.
"Ikh!"
Cras! Parang Kati tersentak kaget Dia
sudah berusaha menjatuhkan din, namun ujung belati Ratih telah lebih cepat
merobek bahu kanannya. Darah pun
mengalir dari luka yang cukup panjang.
Parang Kati yang masih bergulinggulingan di tanah, segera mencelat
kembali berdiri dengan kokoh.
"Setan!" dengus Parang Kati geram.
Baru kali ini Parang Kati
dicundangi seorang gadis muda yang
cantik lagi menggiurkan. Wajah lakilaki bercodet itu merah padam. Matanya membelalak lebar, merah menyala bagai
hendak melahap tubuh Ratih yang
berdiri penuh senyum ejekan.
"Serang! Cincang gadis edan itu!"
perintah Parang Kati.
Seketika itu juga sembilan orang
yang sejak tadi menonton saja,
bergerak mengepung Ratih. Di tangan
mereka masing-masing telah tergenggam sebilah pedang panjang berkilatan.
Sementara itu Parang Kati membebat
lukanya dengan sobekan bajunya
sendiri. Mulutnya masih mendesis-desis menahan marah. Sungguh tak disangkanya
kalau gadis yang dianggap remeh,
ternyata mampu membuat malu di depan
anak buahnya sendiri.
Trang, trang, trang!
Para prajurit Kerajaan Parakan
telah mulai menyerang Ratih. Peluh
mulai membasahi wajah cantik yang
kemerahan. Dia memang harus menguras
tenaga menghadapi sembilan prajurit
pilihan itu. Ilmu pedang mereka memang boleh juga. Ilmu silat mereka pun
rata-rata lumayan. Tidak heran kalau
Ratih agak kewalahan juga
menghadapinya. Beberapa kali pedang para
prajurit itu hampir merobek tubuhnya.
Namun gadis jebolan Padepokan Gunung
Lawu ini masih mampu menghindari
setiap serangan yang mengepung rapat.
Bahkan tidak jarang membalas dengan
serangan yang mengejutkan. Dalam waktu yang tak lama, pertarungan yang tidak
seimbang itu telah berjalan lebih dari lima jurus.
"Uh, tidak kusangka. Ternyata
Jagabaya punya anak cantik yang begitu tangguh," bisik hati Parang Kati.
Namun kali ini Parang Kati dapat
tersenyum kembali. Ternyata setelah
lewat sepuluh jurus, Ratih tampak
mulai kelelahan. Tenaganya telah
terkuras ketika melawan Parang Kati
tadi. Dan kini dia harus melawan
sembilan prajurit. Lebih-lebih
permainan pedang mereka cukup lihai
dan berbahaya. Sedikit demi sedikit Ratih mulai
terdesak. Keringat semakin deras
mengalir membasahi tubuhnya. Dengus
napas gadis ini mulai terdengar keras dan memburu. Gerakan-gerakannya juga
tidak selincah sebelumnya. Namun
demikian pukulan dan tendangannya
masih keras dan berbahaya. Sisa-sisa
tenaganya terpaksa harus semakin
dikuras lagi. "Tidak tahu malu, mengeroyok
seorang gadis!"
Tiba-tiba terdengar suara keras
menggema, seakan-akan datang dari
segala penjuru. Seketika itu juga
pertarungan terhenti. Sembilan
prajurit itu berlompatan mundur dua
langkah. "Tikus busuk! Siapa kau"!" teriak Parang Kati.
"Memalukan!" terdengar lagi suara keras menggema.
Parang Kati yakin kalau suara itu
datang dari orang yang berada di satu tempat. Tapi suaranya datang dari
semua penjuru angin. Pertanda pemilik suara itu seorang sakti yang memiliki
tenaga dalam cukup sempurna. Siapakah orang yang mempunyai suara menggema
itu" *** 2 Mendadak sebuah bayangan putih


Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelebat cepat ke arah para
prajurit. Begitu cepat bayangan itu,
membuat para prajurit hanya dapat
tertegun. Hanya sekedipan mata saja,
tahu-tahu sembilan orang prajurit itu sudah tidak lagi memegang senjata.
Crab, crab.... Pedang-pedang itu tiba-tiba
melayang dan menancap berjajar rapi di tanah. Parang Kati benar-benar
terkesiap bingung. Matanya segera
mendapatkan seorang laki-laki muda
mengenakan baju rompi. Gagang pedang
berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Dia berdiri tegak
di atas dua batang pedang yang
menancap di tanah.
"Oh...," Ratih mendesah ketika mengenali pemuda itu.
Memang, pemuda itu ternyata
adalah Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. Ilmu peringan tubuhnya tidak
disangsikan lagi sehingga dapat
berdiri tegak di atas pedang yang
menancap di tanah tanpa sedikit pun
goyah. Tanpa sadar Ratih tersenyum manis
seorang diri. Kakinya bergerak
mendekati ayahnya yang sejak tadi
berdiri saja di depan tangga rumahnya.
Di samping ayahnya Ratih berdiri,
sambil matanya tidak lepas memandang
Rangga. Dalam hati, diakui kehebatan
ilmu meringankan tubuh pendekar muda
ini. "Jika kalian masih sayang dengan nyawa, tinggalkan desa ini segera!"
tegas suara Rangga terdengar.
Parang Kati yang terkesiap dengan
kehebatan Rangga, menjadi mengkeret
nyalinya. Dengan cepat dia melompat ke punggung kudanya, diikuti sembilan
orang prajurit Kerajaan Parakan. Tanpa berkata apa-apa lagi, sepuluh orang
itu menggebah kuda mereka meninggalkan halaman rumah kepala desa.
Rangga melenting indah dari
pedang yang masih tertancap itu, dan
tepat berdiri di depan Ki Jagabaya dan putrinya. Pendekar Rajawali Sakti
sedikit membungkukkan badannya memberi hormat, lalu berbalik hendak berlalu.
"Tunggu!" cegah Ratih buru-buru.
Rangga membalikkan tubuhnya lagi
"Siapa kau" Kenapa ikut campur
urusanku?" tanya Ratih beruntun.
"Aku Rangga," sahut Rangga
memperkenalkan diri. "Maaf, kalau kau tersinggung terhadap kelancanganku.
Aku hanya tidak dapat melihat
kekejaman dan kecurangan. Apalagi
pengeroyokan terhadap seorang gadis."
"Kau kira aku suka menerima
bantuanmu?" Ratih tersenyum sinis.
Rangga mengemyitkan alisnya.
Tidak disangka, gadis cantik yang
bertampang lemah lembut dapat juga
berkata ketus. Pandangan Pendekar
Rajawali Sakti beralih pada laki-laki tua yang berdiri agak ke belakang dari
gadis cantik ini. Dalam sekali pandang saja, Rangga telah dapat menilai kalau
laki-laki tua itu tidak kosong.
"Hm, rupanya dia tadi bersikap
mengalah, mungkin ada pertimbangan
lain," bisik hati Pendekar Rajawali Sakti.
Sedikit Rangga menganggukkan
kepala, lalu berbalik lagi. Namun baru saja melangkah tiga tindak, laki-laki tua
Kepala Desa Ganggang ini berseru
mencegah. "Hm, apa lagi?" agak segan juga Rangga membalikkan tubuhnya.
"Maafkan putriku, anak muda. Mata tuaku mungkin masih belum dapat
ditipu. Kalau tidak salah lihat, kau
yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Benar?" kata Ki Jagabaya seraya maju dua langkah.
Lagi-lagi Rangga mengernyitkan
alisnya. Dia agak terkejut dengan
tebakan Ki Jagabaya yang tepat.
"Aku dapat mengenalimu dari
gagang pedang yang kau sandang di
punggung. Dan lebih yakin lagi,
setelah kau mengeluarkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tadi," ujar Ki
Jagabaya membuyarkan keheranan Rangga.
"Bagaimana bisa tahu kalau...,"
belum habis Rangga berkata, Ki
Jagabaya menyelak.
"Nama besarmu yang membuat mata
tuaku terbuka."
Sementara Ratih yang mendengar
percakapan itu, tidak berkedip menatap pemuda tampan di depannya. Dia memang
sering mendengar sepak terjang
Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau masih muda
dan tampan. Pantas dalam sekali gebrak saja, dengan mudah merebut pedang para
prajurit yang berjumlah sembilan orang itu.
Wajah gadis itu seketika
menyemburat merah dadu ketika tanpa
sengaja matanya tertumbuk dengan mata Rangga. Cepat-cepat ditundukkan
kepalanya. Entah kenapa, tiba-tiba
saja Ratih merasakan detak jantungnya semakin keras. Dia benar-benar tidak
sanggup membalas tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kalau kau tidak keberatan,
singgahlah di gubukku barang sejenak,"
ajak Ki Jagabaya merendah.
Rangga tidak segera menjawab.
Matanya malah menatap Ratih kembali.
Puas menatap Ratih, segera dia
memandang ke sekelilingnya. Tampak
beberapa jendela rumah penduduk mulai terbuka. Dan kepala-kepala yang semula
bersembunyi, kini telah bermunculan
dari balik jendela. Seolah-olah ingin melihat wajah pendekar muda yang mampu
mengusir para prajurit Kerajaan
Parakan yang terkenal bengis.
Ratih mendekati ayahnya, kemudian
berbisik-bisik. Kepala Ki Jagabaya
terangguk-angguk, kemudian bibirnya
yang tertutup kumis putih tebal
tersenyum-senyum. Rangga mengemyitkan alisnya. Menyesal dia tidak
mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara'
sehingga tidak dapat mendengar bisikan gadis itu.
Selesai berbisik pada ayahnya,
gadis itu segera berbalik masuk ke
dalam rumah. Rangga hanya memandangi
tanpa dapat mengerti maksud bisikbisik tadi. Ki Jagabaya menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti setelah tubuh Ratih lenyap ditelan rumah yang paling
besar di Desa Ganggang ini.
"Putriku akan menyiapkan makanan.
Katanya, dia ingin minta maaf atas
keketusannya di sini dan di sungai
tadi," kata Ki Jagabaya pelan dan lembut
Rangga tersenyum geli, Pikirnya,
gadis ini manja juga! Pendekar
Rajawali Sakti hanya mengangkat
pundaknya sambil melangkah mengikuti
Ki Jagabaya. Beberapa kali kepala
pendekar ini menggeleng memikirkan
sikap Ratih yang sulit diterka
kemauannya. "Ah...," Rangga mendesah panjang.
*** Sepuluh ekor kuda berpacu cepat
melintasi jalan berdebu. Jika dilihat dari pakaian seragam, jelas mereka
adalah para prajurit Kerajaan Parakan yang dipimpin Punggawa Parang Kati.
Dengan hati mangkel mereka memacu kuda bagai kesetanan. Hanya sekali gebrak
saja pendekar muda itu mampu
mengalahkan mereka.
Lebih-lebih Parang Kati. Dia
begitu dendam dapat dipecundangi
seorang gadis cantik yang seumur
dengan anaknya. Kalau saja tidak
muncul pendekar muda itu, mungkin
telah nekad berhadapan sampai mati
dengan gadis cantik itu. Baginya lebih baik mati daripada harus jadi
pecundang. Saat mereka memacu kuda
demikian cepat, mendadak....
"Awas...!" teriak Parang Kati.
Seketika Parang Kati melompat
dari punggung kudanya. Sebuah pohon
besar tiba-tiba saja tumbang. Tidak
ampun lagi, kuda Parang Kati dan
beberapa prajurit yang kurang sigap
melompat, tertimpa pohon itu. Lima
ekor kuda dan empat orang prajurit
langsung mati seketika. Lima orang
prajurit yang selamat, segera turun
dari kuda masing-masing. Sementara
Parang Kati telah berdiri tegak dengan mata jelalatan mengawasi sekitarnya.
Sing...! Tiba-tiba saja beberapa benda
kecil berkilat keperakan meluruk deras ke arah Parang Kati dan lima prajurit.
Sret, trang! Parang Kati dengan sigap menarik
sebilah senjata trisula berwarna
kuning keemasan. Beberapa benda
keperakan itu berhasil dipatahkan di
tengah jalan. Sedangkan lima prajurit itu berjumpalitan menghindari serangan
gelap itu. Mereka memang para prajurit yang cukup andal. Dengan mudah
senjata-senjata rahasia itu dapat
dihindarkan. Malahan dua di antara senjata itu
berhasil ditangkap Parang Kati.
Sebentar diamati benda yang kini ada
di tangannya. Senjata rahasia yang
berbentuk bintang berujung enam. Di
tengah-tengahnya terukir gambar
sekuntum bunga mawar.
"Dewi Selaksa Mawar," desis Parang Kati.
Desisan yang agak keras itu
didengar jelas oleh lima prajurit
bawahannya. Saat itu pula wajah mereka menjadi tampak pucat. Sedangkan Parang
Kati cepat mengeluarkan senjata
andalannya, cambuk buntut kuda. Cambuk itu telah siap dalam genggaman tangan
Parang Kati. Melihat pimpinannya mengeluarkan
senjata, kelima prajurit itu
mengikutinya dengan mencabut trisula.
Masing-masing menggenggam dua trisula.
Senjata itu memang selalu tersembunyi di balik baju, dan baru dikeluarkan
jika pedang telah lepas dari tangan.
Kenyataannya memang mereka tidak lagi mempunyai pedang. Kini posisi mereka
dalam keadaan siap siaga dengan wajah menegang.
"Hi hi hi..., tikus-tikus busuk
yang besar mulut! Baru menghadapi
bocah bau kencur saja, lari tunggang
langgang," terdengar suara kecil nyaring.
"Dewi Selaksa Mawar, keluar!
Jangan hanya umbar bacot saja seperti burung beo! Tapi nyalimu seperti
cacing tanah!" teriak Parang Kati geram.
"Hi hi hi...," terdengar lagi suara mengikik. Belum hilang suara
tawa itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah. Kira-kira berjarak
tiga tombak di depan Parang Kati,
bayangan itu berhenti berkelebat. Kini jelaslah yang ada hanya sesosok
perempuan tua berambut merah bagai
darah. Pakaiannya pun merah, sesuai
dengan julukannya Dewi Selaksa Mawar.
"Mengapa kau hadang perjalanan
kami?" tanya Parang Kati ketus.
"Karena aku ingin nyawa kalian
semua!" tidak kalah dingin dan ketus suara Dewi Selaksa Mawar.
"Setan! Kami tidak punya urusan
denganmu," dengus Parang Kati.
"Kalian semua anjing-anjing si
tua bangka Kalasewu. Karena itu kalian semua harus mati di tanganku!"
"Siapa Kalasewu" Aku tidak
kenal!" "Hi hi hi..., kalian memang
picik." Merah padam wajah Parang Kati
diejek terus menerus. Seingatnya, dia tidak pernah berurusan dengan Dewi
Selaksa Mawar. Dan, siapa Kalasewu"
Baru kali ini didengarnya nama itu.
Dirinya adalah seorang punggawa
kerajaan, jadi tidak tahu menahu
dengan dunia persilatan.
Meskipun sehari-harinya Parang
Kati berhadapan dengan tokoh-tokoh
rimba persilatan, tapi dia selalu
menjaga jarak agar tidak berurusan
secara pribadi. Bukannya gentar, tapi dia merasa enggan saja jika tidak
menyangkut masalah kerajaan.
"Parang Kati. Namamu sebagai
punggawa telah terkenal. Tapi tak
kusangka ternyata matamu buta, tidak
dapat membedakan orang," kata Dewi Selaksa Mawar.
"Kata-katamu makin berbelit-belit tidak karuan," gumam Parang Kati yang tidak
mengerti arah pembicaraan Dewi
Selaksa Mawar. "Huh! Dijelaskan juga percuma,"
dengus Dewi Selaksa Mawar. "Bersiaplah kalian untuk mati!"
Selesai berkata, Dewi Selaksa
Mawar langsung mencelat. Parang Kati
mengebutkan cambuknya menghadang
gerakan wanita tua itu. Namun tanpa
diduga sama sekali, ujung jari kaki


Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Selaksa Mawar menekan ujung
cambuk Parang Kati. Dan dengan
indahnya melenting berputar di udara.
Angin kelebatan tubuhnya
menimbulkan bau harum bunga mawar.
Parang Kati terkejut. Dia pernah
mendengar ilmu-ilmu tangguh perempuan tua ini. Bau harum mawar yang menyebar
dari tubuhnya, menandakan perempuan
tua itu langsung mengerahkan ilmu
'Mawar Berbisa'. Suatu ilmu andalannya yang cukup berbahaya.
Dua kali Dewi Selaksa Mawar
bersalto di udara, kemudian meluruk ke arah lima orang prajurit yang sejak
tadi bersiaga. Begitu cepatnya gerakan Dewi Selaksa Mawar, membuat lima
prajurit Kerajaan Parakan menjadi
kelabakan. Mereka langsung menyebar
mengurung tubuh perempuan tua
berpakaian merah darah itu. Senjatasenjata trisula berkelebatan mengarah ke tempat sasaran. Namun kelihatannya Dewi
Selaksa Mawar bukanlah tandingan mereka. Meski dengan tangan kosong
saja, lima prajurit itu tidak mampu
mendesak. Wus! Angin kebutan pukulan Dewi
Selaksa Mawar begitu hebat sekali.
Ketika bau harum mawar menyebar,
bergegas lima prajurit melompat mundur dua langkah. Tetapi angin kebutan itu
masih juga membuat mereka limbung
sedikit. "Modar!" teriak Dewi Selaksa Mawar.
Sambil berteriak demikian, tangan
perempuan tua itu bergerak menyambar
dua orang lawannya. Sangat cepat
sambaran tangan Dewi Selaksa Mawar,
sehingga dua prajurit itu tak mampu
mengelak lagi. Plak! Plak! Dua prajurit terhantam pukulan
tangan yang disertai ilmu 'Mawar
Berbisa'. Dua orang yang terkena
sasaran itu terjengkang ke belakang
sejauh dua batang tombak. Sebentar
mereka menggeliat, lalu tewas tanpa
menimbulkan suara lagi. Tampak di dada mereka tergambar bunga mawar berwarna
merah menyala. Dari mulut dan hidung, mengucur darah kehitaman.
"Iblis...!" geram Parang Kati mertyaksikan ke-kejaman perempuan tua itu.
"Hi hi hi.., kalian sebentar lagi pasti menyusul ke neraka," Dewi
Selaksa Mawar mengikik.
"Bedebah! Rasakan cambuk
saktiku!" geram Parang Kati.
"Hi hi hi..., kau memang pantas
jadi kusir."
"Yeaaah...!" Parang Kati melompat ganas sambil mengerahkan jurus 'Ekor
Naga Weling'. Ujung cambuknya seketika menegang bagai ribuan jarum yang siap
terbenam di tubuh lawan. Cekatan
sekali tangannya mengebut-ngebutkan
cambuk itu mengincar bagian tubuh Dewi Selaksa Mawar. Ke mana saja perempuan
serba merah itu menghindar, ujung
cambuk itu selalu memburu mengincar
maut. Lima jurus berlalu dengan cepat.
Sepertinya Dewi Selaksa Mawar masih
tangguh bagi Parang Kati. Beberapa
kali ujung cambuk hampir menyentuh
sasaran, tapi dengan manis dapat
dihindari. Bahkan tidak jarang Dewi
Selaksa Mawar mem-berikan serangan
balasan yang cukup dahsyat.
"Kalian jangan hanya bengong!
Serang iblis perempuan laknat ini!"
teriak Parang Kati sengit melihat
prajuritnya hanya mematung terkesiap
menyaksikan pertarungan itu.
Bagai tersentak dari mimpi, tiga
orang prajurit yang tersisa itu segera melompat mengeroyok Dewi Selaksa
Mawar. Tiga prajurit yang memiliki
kepandaian lumayan itu hanya dihadapi dengan kikikan suara tawa Dewi Selaksa
Mawar. Kelihatan sekali kalau
perempuan tua ini menganggap remeh
lawan-lawannya.
"Hih! Aku tidak butuh kau!"
sungut Dewi Selaksa Mawar tiba-tiba.
Belum lagi senyap kata-katanya,
secepat kilat perempuan tua itu
melontarkan tiga buah senjata
rahasianya. Cahaya keperakan
berkelebat cepat menyambar tiga
prajurit itu. Trak! Trak! "Akh!"
Dua bintang berhasil ditangkis
dengan baik, tapi sisanya langsung
menerobos dada salah seorang prajurit yang naas itu. Seketika tubuhnya
terjengkang ke belakang. Bintang
bersegi enam yang mengandung racun
ganas itu tertanam dalam hingga ke
jantung. Tubuh orang itu menggelepar
sebentar, lalu diam tidak bergerak
lagi. Seputar luka di dadanya
perlahan-lahan membiru.
"Setan!" geram Parang Kati
melihat seorang bawahannya terjungkal mati.
Kini tinggal tiga orang saja yang
masih hidup. Hati Parang Kati mulai
ciut juga. Bagaimana tidak, dari
sembilan orang prajurit pilihan yang
dibawanya, kini tinggal dua orang
saja. Sedangkan dia sendiri belum
tentu dapat menandingi kesaktian Dewi Selaksa Mawar.
Parang Kati memang geram
menyaksikan kekalahan telak di
pihaknya. Pertimbangannya, kalau masih nekad menghadapi iblis tua ini tidak
mustahil nyawanya juga akan melayang.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Parang Kati berteriak nyaring. Dua kali
kakinya menjejak tanah dengan keras
dan sambil mengempos seluruh tenaga
dalam dikerahkan ilmu meringankan
tubuh. Dalam sekejap tubuh Parang Kati mencelat ke udara. Tangannya
mengebutkan cambuk ke arah kepala Dewi Selaksa Mawar.
"Uts!" Dewi Selaksa Mawar
menundukkan kepalanya sedikit. Maka
ujung cambuk itu hanya lewat beberapa helai rambut di atas kepalanya.
Pada saat yang sama, dua orang
prajurit cepat melompat dengan senjata trisula terhunus. Mendapat serangan
beruntun dari tiga arah ini, membuat
perempuan tua serba merah itu menjadi sibuk juga. Cepat-cepat dijatuhkan
tubuhnya ke belakang, dan bersalto
tiga kali. Kesempatan yang hanya sedetik ini
dimanfaatkan Parang Kati untuk
melarikan diri. Dia melesat dan
bersalto tiga kali, lalu hinggap di
punggung salah seekor kuda. Sekali
sentak saja, kuda itu bergerak bagai
anak panah lepas dari busur.
"Pengecut! Jangan lari kau!"
dengus Dewi Selaksa Mawar.
Baru saja akan mengejar, dua
prajurit yang mengetahui pimpinannya
dapat meloloskan diri, langsung
melompat menyerang. Dewi Selaksa Mawar kembali melenting menghindari serangan
kembar yang berbahaya itu. Gerahamnya bergemelutuk menahan marah yang sangat
terhadap dua prajurit yang berusaha
melindungi pimpinannya itu.
"Uh! Monyet beledek!" dengus Dewi Selaksa Mawar.
Secepat kilat dilontarkan pukulan
mautnya disertai pengerahan ilmu
'Mawar Berbisa'. Bau harum mawar
segera tersebar ketika kedua tangan
Dewi Selaksa Mawar mendorong kuat ke
depan. Dalam keadaan marah seperti
ini, Dewi Selaksa Mawar tidak
tanggung-tanggung lagi untuk
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Hasilnya memang luar biasa.
Seberkas sinar merah melesat
cepat ke arah dua orang prajurit
Kerajaan Parakan. Serangan dahsyat itu tak dapat dihindari lagi. Dua orang
itu hanya melolong tanpa mampu berbuat apa-apa.
"Akh!"
"Aaaa...!"
Dua jeritan panjang saling susul
diikuti oleh terjengkangnya dua tubuh ke belakang sejauh empat depa. Tidak
sedikit pun mereka menggelepar. Yang
terlihat hanya darah yang mengucur
dari mata, mulut, dan hidung, yang
kental kehitaman. Sedangkan di dada
tergambar sekuntum bunga mawar merah
mengepulkan asap tipis kemerahan.
Dewi Selaksa Mawar cepat melesat
ke udara. Dua kali bersalto, lalu
kakinya menjejak kokoh di atas sebuah batu besar yang hanya satu di tempat
itu. Matanya menatap ke arah Parang
Kati pergi. "Sial!" dengus Dewi Selaksa Mawar kesal.
Sekeliling telah sepi senyap
seperti tidak terjadi apa-apa. Hanya
mayat-mayat yang bergelimpangan
menandakan kalau di tempat itu baru
saja terjadi pembantaian sembilan
orang prajurit Kerajaan Parakan.
Sementara matahari telah kian
condong ke arah Barat. Sinarnya yang
mulai redup keemasan, terasa lembut
menyapu permukaan mayapada ini. Namun keindahan dan kelembutan sang mentari
tidak dapat dinikmati perempuan tua
yang bernama Dewi Selaksa Mawar ini.
Hatinya masih diliputi kekesalan
karena satu orang lawannya berhasil
meloloskan diri.
"Kalasewu, sampai ke neraka pun
akan kukejar!" desis Dewi Selaksa Mawar.
Sebenamya apa yang terjadi
terhadap perempuan serba merah ini"
Mengapa begitu membenci orang yang
bernama Kalasewu" Lalu apa hubungannya dengan prajurit Kerajaan Parakan"
Hanya Dewi Selaksa Mawar saja yang
tahu. "Kubunuh kau, Kalasewu!
Hiyaaa...!"
Dewi Selaksa Mawar kini mengamuk
sendiri seperti orang gila. Tangannya menghantam batu besar yang dipijaknya.
Suaranya menggelegar terdengar
memekakkan telinga, bersamaan dengan
hancurnya batu sebesar gubuk dangau
itu. Kepingan-kepingannya berterbangan ke segala penjuru.
Dewi Selaksa Mawar masih berdiri
tegak di tengah-tengah butiran batu
yang dihancurkannya tadi. Debu masih
mengepul di sekitarnya. Dengan tangan tolak pinggang, dia menatap sang
mentari yang secara pasti mulai
tenggelam di balik peraduannya.
*** 3 Pagi baru saja merayapi bumi.
Sinar matahari mulai memancar
menerangi belahan Timur bumi. Napas
kehidupan kembali bangkit setelah
semalaman bagai mati dicekam kegelapan sang dewi malam. Pagi yang cerah itu
kini terusik oleh derap langkah kuda
yang dipacu bagai kesetanan.
Kuda hitam tegap berlari kencang
menerjang apa saja yang menghalangi.
Debu bergulung-gulung di belakangnya.
Penunggangnya berpakaian kotor dan
lusuh mendera kuda yang seolah-olah
masih kurang cepat. Padahal, kuda
tunggangannya itu telah mendengusdengus hampir mati kelelahan. Tampak
dari wajahnya yang lecek dan penuh
debu, sebuah guratan panjang di
pipinya. Guratan itu menandakan kalau dia adalah Parang Kati.
"Hiya..., hiya...!"
Parang Kati terus mendera kudanya
menuju kota praja Kerajaan Parakan.
Semalaman dia berpacu tanpa henti, dan tak mempedulikan keadaan dirinya yang
kotor dan berbau. Apalagi terhadap
kudanya yang hampir mati kelelahan
didera terus menerus sepanjang malam
hingga pagi ini.
"Buka pintu, cepat...!" teriak Parang Kati ketika di depannya
terbentang pintu kokoh yang dijaga dua orang prajurit bersenjata lengkap.
Mengenali siapa yang datang, dua
orang prajurit itu bergegas membuka
pintu. Namun ketika pintu baru terbuka setengah, Parang Kati telah menerobos
tanpa mengendorkan lari kudanya. Dua
penjaga itu menjadi bingung melihat
Parang Kati memasuki benteng kerajaan tidak seperti biasanya.
Tali kekang kuda tiba-tiba
ditariknya, ketika telah tiba di depan pendopo utama istana Parakan. Seketika


Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda berhenti seraya meringkik dan
mengangkat kaki depannya. Parang Kati mencelat dan berputar dua kali di
udara sebelum kakinya mencapai tanah.
Tanpa mempedulikan kudanya yang
langsung tertunduk dengan mulut
menganga, Parang Kati melangkah lebar memasuki pendopo utama. Seluruh
tubuhnya yang masih kotor dan berbau
tidak dihiraukannya lagi. Beberapa
penjaga pintu pendopo menatapnya penuh keheranan. Tidak biasanya Parang Kati
memasuki pendopo dalam keadaan seperti itu.
"Parang Kati...!" tiba-tiba sebuah bentakan keras menghentikan
langkah Parang Kati.
Parang Kati segera berbalik.
Seketika itu juga dijatuhkan tubuhnya untuk berlutut. Di depannya kini
berdiri seorang laki-laki tua dengan
rambut seluruhnya berwarna putih.
Kumisnya panjang dan putih pula.
Laki-laki bertubuh kurus tinggi
dan berwajah dingin itu mengenakan
baju biru dari bahan sutra halus.
Matanya tajam tanpa ekspresi menatap
wajah Parang Kati yang tertunduk
berlutut di depannya. Raut wajahnya
begitu pucat seperti tak pernah
teralirkan darah kehidupan lagi
"Bangun," kata laki-laki tua itu.
Suaranya terdengar dingin.
"Maafkan hamba, Ki Sanggamayit.
Hamba menghadap dalam keadaan kotor,"
kata Parang Kati setelah bangkit
berdiri. "Kenapa kau masuk pendopo dalam
keadaan begini?" tanya laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Sanggamayit.
Suaranya masih dingin datar. Tak ada
sedikit pun tekanan dan ekspresi sama sekali.
"Hamba terburu-buru, Ki
Sanggamayit. Hamba semalaman berkuda
dari Desa Ganggang," lapor Parang Kati.
"Hm..., kau ditugaskan untuk
menarik upeti dari desa itu, dan
dikawal sembilan prajurit pilihan.
Tapi sekarang kembali hanya seorang
diri. Apa yang terjadi?"
"Ceritanya panjang, Ki," sahut Parang Kati. "Ceritakan."
Panjang lebar Parang Kati
menceritakan kejadian di Desa Ganggang hingga tentang penghadangan yang
dilakukan oleh Dewi Selaksa Mawar.
Hanya dia sendiri yang mampu
meloloskan diri.
Ki Sanggamayit masih diam
tertegun meskipun Parang Kati telah
selesai bercerita. Agak lama kesunyian menyelimuti mereka berdua. Terdengar
desahan berat panjang dari hidung Ki
Sanggamayit. Kembali matanya tajam tanpa
ekspresi memandang Parang Kati. Yang
dipandang hanya tertunduk, takut untuk membalasnya.
"Apa kau tidak salah lihat?"
tanya Ki Sanggamayit memecah
keheningan. "Maksud Ki Sanggamayit?" Parang Kati malah balik bertanya.
"Bodoh! Siapa lagi kalau bukan
perempuan edan itu?" bentak Ki
Sanggamayit. "Oh, tid..., tidak, Ki. Hamba
tidak salah lihat. Bahkan Dewi Selaksa Mawar menyebut-nyebut nama Kalasewu,"
agak gugup Parang Kati menjawab.
"Monyet buntung!" Ki Sanggamayit terlonjak, sampai melompat ke belakang satu
tindak ketika mendengar nama
Kalasewu disebut-sebut.
Parang Kati semakin heran melihat
atasannya yang begitu terkejut
mendengar ceritanya. Hidung Ki
Sanggamayit kembang kempis seperti
menahan marah. Wajah semakin terlihat pucat. Dua bola matanya berputar-putar
memandang Parang Kati. Dia seolah-olah tidak percaya dengan ucapan laki-laki
codet yang ada di depannya ini.
"Sebaiknya kau pulang sekarang.
Biar kusampaikan sendiri berita ini
pada Gusti Prabu," kata Ki Sanggamayit setelah agak reda emosinya.
Parang Kati membungkukkan
badannya sedikit, sambil mundur tiga
langkah. Ketika membalik, segera
kakinya diayun lebar-lebar. Ki
Sanggamayit memandangi dengan tatapan dingin. Dia baru beranjak setelah
Parang Kati tak terlihat lagi.
*** Ki Sanggamayit duduk bertopang
dagu di depan meja dari marmer putih
mengkilat. Di hadapannya duduk dua
orang yang sudah kelihatan tua. Mereka adalah Iblis Mata Satu, dan yang
mengenakan pakaian serba hitam adalah Setan Jerangkong. Dinamakan Setan
Jerangkong karena tubuhnya kurus
kering seperti tinggal tulang terbalut kulit saja.
Mereka bertiga memang dikenal
sebagai Tiga Setan dari Neraka. Sepak terjangnya yang kejam tak kenal
perikemanusiaan, sudah menjadi buah
bibir di seluruh dunia persilatan.
Mereka tidak segan-segan membunuh
siapa saja yang berani berurusan.
"Sejak tadi kau kelihatan murung.
Ada yang mengganggu pikiranmu,
Sanggamayit?" Iblis Mata Satu
memecahkan kesunyian.
Sanggamayit mengangkat kepalanya
pelan-pelan. Matanya yang dingin
terarah pada Iblis Mata Satu. Desah
napasnya terdengar berat dan panjang.
"Aku tadi pagi lihat Parang Kati kembali seorang diri. Bukankah dia
ditugaskan untuk menarik upeti ke Desa Ganggang" Lagi pula, aku tak melihat
sembilan orang prajurit yang
menyertainya. Adakah persoalan yang
dibawanya sehingga kau jadi murung?"
Setan Jerangkong kelihatan mendesak.
"Persoalan lama," desah
Sanggamayit berat.
"Jelaskan. Persoalan apa?" desak Iblis Mata Satu.
Sanggamayit mendesah kembali,
kemudian diceritakan semua yang
didengarnya dari Parang Kati. Setan
Jerangkong dan Iblis Mata Satu
mendengarkannya dengan serius, tanpa
sedikit pun menyelak. Kelihatan sekali wajah mereka menjadi berubah ketika
Dewi Selaksa Mawar disebut-sebut
mencari Kalasewu. Seketika itu juga
mereka teringat dengan peristiwa yang terjadi sekitar dua puluh tahun lalu.
Iblis Mata Satu dan Setan
Jerangkong menatap tajam pada
Sanggamayit. Lama juga kesepian
menyelimuti ruangan luas ini. Tidak
ada yang bersuara sedikit pun.
"Aku tidak menyangka, dia tahu
kita semua ada di sini," gumam Iblis Mata Satu pelan.
"Dia bukan mencari kita, tapi
Kalasewu," sergah Sanggamayit.
"Apa bedanya?" Setan Jerangkong seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Jelas ada bedanya?" dingin tajam Sanggamayit menyahuti. "Kita dikenal sebagai
Tiga Setan Neraka. Sedang yang dicari Dewi
Selaksa Mawar adalah
Kalasewu."
"Haha ha...!" mendadak saja Iblis Mata Satu tertawa terbahak-bahak.
"Tidak ada yang lucu!" bentak Setan Jerangkong.
"Justru bagiku sangat lucu,"
sungut Iblis Mata Satu ketika berhenti tertawa. "Kalian mempersoalkan nama yang
tidak pernah ada. Kalasewu atau
Tiga Setan Neraka, atau apa lagi
namanya, tidak pernah ada. Kalau toh
ada, orangnya adalah kita-kita juga."
"Terus terang saja, kau menuduh
orangnya," dingin suara Sanggamayit
"Aku tidak mengatakan bahwa kau
adalah Kalasewu."
'Tapi, kenapa kau berkata
begitu?" "Dewi Selaksa Mawar mencari orang yang bernama Kalasewu. Sedangkan, yang
diketahuinya adalah satu Kalasewu
yaitu kau sendiri. Padahal, kita semua adalah Kalasewu!"
Sanggamayit terdiam. Kata-kata
Iblis Mata Satu memang tidak salah.
Dewi Selaksa Mawar hanya mengenal satu Kalasewu. Dan sekarang dia mencarinya
untuk membalas dendam peristiwa dua
puluh tahun yang lahi. Dendam yang
telah dilupakan Sanggamayit.
"Sejak semula kau telah
kuperingatkan. Masih juga buta untuk
mendapatkannya. Dia memang cantik,
tapi ular!" Iblis Mata Satu mengenang peristiwa dua puluh tahun yang lalu,
saat mereka semua masih kelihatan muda dan gagah.
Sanggamayit belum bersuara.
Memang, yang diperbuatnya waktu itu
hanya dia sendiri yang tahu. Meskipun Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong
tahu, tapi hanya bagian luarnya saja.
Yang mereka ketahui hanya masalah
asmara antara Sanggamayit dengan Dewi Selaksa Mawar. Anggapan mereka,
Sanggamayit tertarik dengan Dewi
Selaksa Mawar adalah karena kecantikan saja. Lain tidak.
Namun sesungguhnya, di balik
asmara itu ada maksud-maksud dari
Sanggamayit. Dan semua itu telah
terlaksana dengan baik. Hanya saja,
Sanggamayit tidak mengira kalau
masalahnya menjadi panjang. Dua puluh tahun telah terlupakan, kini tiba-tiba
muncul pada saat Tiga Setan Neraka
berhasil mencapai tujuan, yakni
menguasai Kerajaan Parakan dan
menjadikan Prabu Salya sebagai raja
boneka. "Kurasa, sebaiknya kita
tinggalkan istana Parakan ini. Aku
khawatir kedok kita terbongkar dengan kemunculan Dewi Selaksa Mawar, si
perempuan gila itu!" kata Sanggamayit.
"He he he..., kau ingin menyianyiakan kesempatan yang telah
bertahun-tahun kita perjuangkan dengan darah dan keringat, Sanggamayit?"
Iblis Mata Satu belum mengerti jalan
pikiran Sanggamayit
"Urusan ini lebih penting
daripada kekuasaan," selak Sanggamayit dingin.
"Bagaimana, Setan Jerangkong?"
Iblis Mata satu meminta pendapat.
Setan Jerangkong hanya mengangkat
bahu saja. "Baiklah! Kita sudah berjanji
untuk selalu bersama-sama, walaupun
apa yang terjadi. Susah dan senang
selalu bersama-sama. Sepuluh tahun
lebih, rasanya sudah cukup kita
menikmati kesenangan," kata Iblis Mata Satu.
"Aku berjanji, setelah urusan ini selesai, maka rencana semula harus
dijalankan," ujar Sanggamayit
"He he he..., itu urusanmu.
Kaulah yang berambisi ingin jadi
raja," Iblis Mata Satu terkekeh
panjang. Sanggamayit hanya mendengus saja.
Sementara Setan Jerangkong tersenyumsenyum. Tak jelas arti senyum itu.
Sanggamayit tidak peduli meskipun
kedua saudara angkatnya ini seperti
mengejek. Bisa jadi mengejek
kebimbangan dan kegelisahannya dalam
menghadapi kemunculan Dewi Selaksa
Mawar yang tak pernah diduga dan
diharapkannya sama sekali.
"Besok kita tinggalkan istana
Parakan," ucap Sanggamayit
"Lalu, bagaimana urusan dengan
Prabu Salya?" tanya Setan Jerangkong.
"Aku rasa Parang Kati dapat
dipercaya," jawab Sanggamayit
"He he he..., bocah dungu begitu kau percaya," agak sinis suara Iblis Mata Satu.
Sanggamayit menatap dingin dan
tajam ke arah Iblis Mata Satu. Dia
tidak mengerti mengapa saudara
angkatnya ini tidak pernah menyukai
Parang Kati. Apa mungkin karena Parang Kati itu bekas perampok jalanan yang
hanya memilild kepandaian jauh di
bawah mereka beriiga" Atau ada sebab
lain yang hanya diketahui Iblis Mata Satu saja"
"Sebaiknya kau temui adikmu, dan tekan dengan ancaman agar dia tidak
berbuat sesuatu yang merugikan," kata Iblis Mata Satu memberi saran.
Sanggamayit hanya tersenyum
tipis, lalu bangkit berdiri.
Langkahnya ringan saat menuju ke pintu ruangan khusus ini. Hanya mereka
bertiga saja yang boleh memasukinya.
Iblis Mata Satu terkekeh-kekeh melihat Sanggamayit ke luar ruangan ini.
Sementara Setan Jerangkong ikut
bangkit berdiri setelah Sanggamayit


Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak terlihat lagi.
"Mau ke mana?" tanya Iblis .Mata Satu.
"Jalan-jalan," jawab Setan
Jerangkong seenaknya sambil terus
berlalu. Iblis Mata Satu mengangkat
bahunya sedikit, lalu juga keluar dari ruangan itu. Dua orang penjaga
membungkuk ketika Iblis Mata Satu
melewati pintu. Laki-laki tua
berpakaian serba putih itu terus melangkah pergi. Sementara malam telah
semakin pekat membuai penghuni
mayapada ini, untuk terus lelap dalam tidur bersama sapuan sang bayu.
*** Ketika matahari baru saja
mengintip dari ufuk Timur, tampak tiga ekor kuda dan penunggangnya keluar
dari pintu gerbang istana Parakan.
Mereka adalah Tiga Setan Neraka.
Gerakan mereka kelihatan tidak
tergesa-gesa, seolah-olah kepergian
mereka tidak ingin diketahui oleh
siapa pun! Mereka memacu kudanya tidak
terlalu terburu-buru. Seolah-olah
kepergian mereka tidak ingin diketahui oleh orang lain.
Ketika tiba di perbatasan
kotapraja, segera mereka menggebah
kuda dengan cepat. Kabut masih
menyelimuti meskipun matahari telah
mulai mengintip dengan sinar kemerahan yang memancar lembut dari balik
pepohonan. Tiga ekor kuda terus dipacu ke arah matahari terbit.
"Bukankah ini jalan menuju Desa
Ganggang?" Setan Jerangkong tiba-tiba memecah kebisuan mereka.
"Benar. Tujuan kita memang ke
desa itu," sahut Sanggamayit
"Untuk apa ke sana?" tanya Setan Jerangkong.
"Hm, rupanya kau sekarang menjadi pelupa. Parang Kati melapor kalau desa ini
mulai membangkang," Iblis Mata Satu menggumam.
"Kurasa tujuan kita bukan untuk
mengurusi Desa Ganggang," Setan
Jerangkong kurang sependapat
"Dewi Selaksa Mawar mencegat di
perbatasan desa. Barangkali saja masih ada di sana. Yaah, sekalian memberesi
desa pembangkang itu," celetuk
Sanggamayit. "Huh! Buang-buang waktu saja!"
dengus Setan Jerangkong.
'Tidak! Sama sekali tidak. Desa
Ganggang diam-diam menyimpan dua
pendekar tangguh. Dan ini berbahaya
jika tidak cepat cepat diselesaikan,"
Sanggamayit menjelaskan.
"Ah, hanya pendekar ingusan. Aku rasa kita tak perlu turun tangan
sendiri. Parang Kati saja yang goblok sampai dapat dipecundangi seperti
itu!" "Mungkin aku akan menganggap
begitu terhadap Parang Kati jika dia
tidak menyebutkan ciri-ciri pendekar
muda yang merampas pedang dari tangan para prajurit hanya dengan sekali
gebrak saja."
"Sekali gebrak"!" Setan
Jerangkong nampak terkejut
"Apa yang menarik dari pendekar
itu?" tanya Iblis Mata Satu.
"Parang Kati menyebutkan kalau
pendekar itu menyandang pedang di
punggung yang bertangkai kepala
burung. Bajunya rompi berwarna putih.
Aku yakin kalian pasti mengenalinya,"
kata Sanggamayit.
"Pendekar Rajawali Sakti," gumam Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong
hampir bersamaan.
"Tepat!" sahut Sanggamayit cepat.
Iblis Mata Satu dan Setan
Jerangkong terdiam. Sementara kuda
yang mereka tunggangi menjadi lambat
jalannya. Pikiran seluruh Tiga Setan
Neraka kini tercurah pada Pendekar
Rajawali Sakti. Siapa yang tak kenal
dengan nama itu" Satu nama yang sangat disegani dan ditakuti hampir seluruh
tokoh rimba persilatan, baik yang
beraliran putih maupun hitam.
Kini Iblis Mata Satu dan Setan
Jerangkong mengerti, kenapa
Sanggamayit gelisah sedemikian rupa.
Ternyata bukan hanya karena kemunculan Dewi Selaksa Mawar saja yang jadi
beban pikirannya. Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang membantu Desa
Ganggang dalam pembangkangan dapat
menjadi sumber malapetaka besar bagi
mereka. Tiga tokoh hitam ini tahu
benar tentang sepak terjang Pendekar
Rajawali Sakti yang tidak kenal
kompromi terhadap tokoh-tokoh rimba
persilatan beraliran hitam.
"Lalu siapa pendekar satu lagi?"
tanya Setan Jerangkong.
"Putri Jagabaya, Kepala Desa
Ganggang," jawab Sanggamayit.
"Sejak kapan si tua bangka
Jagabaya punya anak?" gumam Setan Jerangkong seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Kita tak usah mempersoalkan dia anak siapa. Yang penting sekarang,
lenyapkan siapa saja yang coba-coba
menjadi penghalang!" dengus Iblis Mata Satu.
Bisu kembali menjalari mulut
mereka di atas kuda tunggangan masing-masing. Kini mereka telah memasuki
Hutan Dandaka. Dengan jalan seperti
ini, sore nanti mereka baru mencapai
perbatasan Desa Ganggang yang berada
di tepi Hutan Dandaka. Hutan yang
sering dilalui manusia ini sudah tidak begitu lebat lagi. Jalan yang mereka
lalui sekarang, seperti sengaja dibuat untuk jalan pintas desa-desa sekitar
Hutan Dandaka menuju Kerajaan Parakan.
Saat mereka tiba di tengah hutan,
sekonyong-konyong Sanggamayit
menghentikan kudanya. Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong yang berada di
samping kanan dan kiri ikut berhenti.
Tidak seperti biasanya, keadaan di
tengah hutan ini sangat sepi dan
sunyi. Bahkan sepertinya burung-burung enggan berkicau memamerkan suaranya
yang merdu. Tiga Setan Neraka memasang
telinga lebih tajam. Menyadari suasana di tengah hutan tidak seperti
biasanya, seketika itu juga mereka
segera waspada. Tanpa ada suara
sedikit pun, mereka melompat hampir
berbarengan dari kuda masing-masing.
Ringan sekali gerakan kaki-kaki
mereka. Pertanda kalau ilmu
meringankan tubuh mereka cukup tinggi, hampir mencapai kesempurnaan.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba
terdengar suara tawa mengikik,
menggema dari segala penjuru.
Belum lagi hilang suara tawa itu,
mendadak sinar-sinar keperakan melesat cepat menyambar tiga orang itu. Begitu
cepatnya, sehingga tiga orang itu
terkejut setengah mati. Dalam sekejap saja mereka berlompatan menghindari
sinar-sinar itu.
Tap! Sanggamayit melenting seraya
menangkap salah satu sinar keperakan
yang mengancam dirinya. Bahkan Iblis
Mata Satu dan Setan Jerangkong pun
berhasil menangkap satu dari sekian
banyak sinar yang berkilatan bagai
hujan. Kilatan sinar-sinar keperakan
kini berhenti. Tiga Setan Neraka
menjejakkan kakinya di tanah dengan
manis. Gerakan mereka benar-benar
ringan dan sedap dipandang mata.
"Dewi Selaksa Mawar...," desis Sanggamayit ketika mengetahui sinar-sinar
keperakan yang datang itu
berbenruk bintang segi enam yang di
tengah-tengahnya tergambar sekuntum
bunga mawar. "Hm..., rupanya dia sudah
mengetahui kehadiran kita," gumam Setan Jerangkong.
"Hi hi hi..., tiga tikus got
akhimya keluar juga dari sarang
busuknya," terdengar suara mengikik bergema.
"Dewi Selaksa Mawar, keluar kau!
Jangan main sembunyi-sembunyi seperti bocah ingusan!" teriak Iblis Mata Satu.
Suaranya menggema ke sekitarnya karena disertai pengerahan tenaga
dalam yang tinggi.
"Hi hi hi...!" kembali suara mengikik terdengar menggetarkan.
"Uh! Aku tidak suka main kucingkucingan begini!" dengus Setan
Jerangkong sengit.
Sanggamayit yang mengetahui kalau
Dewi Selaksa Mawar hanya menginginkan dirinya seorang, hanya diam saja.
Namun matanya tajam beredar ke
sekeliling. Telinganya dipertajam
dengan mengerahkan ilmu 'Pemecah
Suara'. Sedikit saja suara terdengar
mencurigakan, matanya segera mengawasi ke arah suara itu.
"Awas...!"
* * * 4 Tiga berkas sinar merah menyambar
cepat ke arah Tiga Setan Neraka.
Peringatan Sanggamayit yang lebih
cepat, membuat Iblis Mata Satu dan
Setan Jerangkong seketika melenting
ketika sinar merah hampir mengancam
diri mereka. Sanggamayit pun tak kalah sigap. Dia melompat dan berputar dua
kali di udara. Sinar-sinar merah itu
hanya menyambar sasaran kosong.
"Hiya...!"
Sanggamayit menjerit keras seraya
mengerahkan jurus 'Pukulan Petir'.
Kedua tangannya didorong ke depan
dalam posisi tubuh masih di udara.
Seketika dari kedua telapak tangan
yang terbuka, meluncur dua kilatan
sinar yang menyilaukan mata ke arah
pohon besar. Memang tadi, Sanggamayit selintas
melihat sumber datangnya dua sinar
merah adalah dari balik pohon itu.
Seketika suara ledakan keras terdengar setelah kilatan sibar yang dilontarkan
Sanggamayit menghantam pohon. Dalam
sekejap saja pohon itu hancur
berkeping-keping. Jelas kalau jurus
'Pukulan Petir' tadi disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Sanggamayit kembali menjejak
tanah. Matanya dingin memandang pohon yang kini hancur seperti baru saja
diseruduk ribuan gajah. Asap yang
mengepul akibat hantaman sinar pada
pohon itu, mulai menipis dan akhirnya hilang sama sekali. Mata Sanggamayit
terbelalak lebar ketika tidak mendapat apa yang diharapkan dari pohon yang
hancur itu. "Hebat...! Sayang, hanya
membuang-buang tenaga percuma,"
terdengar suara keras penuh ejekan.
"Kadal!" dengus Sanggamayit geram.
Kembali dipasang telinganya
dengan mengerahkan ilmu 'Pemecah
Suara'. Hati Sanggamayit benar-benar
penasaran dipermainkan seperti kerbau dungu. Tapi hatinya sedikit cemas juga
seandainya Dewi Selaksa Mawar telah
mengalami kemajuan yang pesat dalam
kesaktiannya. Jelas sekali kalau Sanggamayit
melihat sinar merah tadi bersumber
dari balik pohon itu. Tapi setelah
pohon itu hancur, kenapa dia tidak ada di situ" Sementara Iblis Mata Satu dan
Setan Jerangkong pun telah dengan ilmu
'Pemecah Suara' mengamati suara-suara yang mencurigakan. Mata Tiga Setan
Neraka jelalatan mencari-cari arah
sumber suara tawa mengikik yang
seperti datang dari segala penjuru
mata angin. "Setan! Ilmu apa yang
digunakannya?" dengus Sanggamayit gusar.
Seluruh kemampuan dalam ilmu
'Pemecah Suara' Sanggamayit telah
dikeluarkan semaksimal mungkin, namun sumber suara tawa yang mengikik belum
dapat dipastikan dari arah mana
datangnya. Demikian pula yang dialami Iblis
Mata Satu dan Setan Jerangkong. Mereka belum dapat menentukan di mana jati
diri Dewi Selaksa Mawar berada. Dalam hati, diakui juga kehebatan ilmu
'Pemindah Suara' yang dimiliki Dewi
Selaksa Mawar. Memang, tinggi rendah suatu ilmu
dapat diukur dari cara seperti ini.
Cara adu ilmu. Pada kenyataannya


Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang, ilmu 'Pemecah Suara' yang
dimiliki Tiga Setan Neraka tidak mampu menandingi ilmu 'Pemindah Suara' Dewi
Selaksa Mawar. Jelas kalau dari segi
ilmu seperti ini, tingkat tenaga dalam Dewi Selaksa Mawar lebih tinggi
daripada Tiga Setan Neraka. Mungkin
hampir mendekati titik kesempurnaan.
Namun dari segi ilmu semacam itu,
belum bisa menjadi jaminan bagi Dewi
Selaksa Mawar untuk mengalahkan Tiga
Setan Neraka. Mereka ini rata-rata
memiliki kelebihan yang dapat menjadi andalan. Tingkat kesaktian Tiga Setan
Neraka memang tidak bisa dianggap
enteng. Apalagi kalau sampai adu
kesaktian pamungkas.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Iblis Mata Satu berteriak nyaring.
Seketika dia berbalik seraya
tangan kanannya mendorong ke depan.
Dan bersamaan dengan itu, seleret
sinar merah juga meluncur deras ke
arahnya. Dari tangan kanan Iblis Mata Satu pun keluar sinar hijau membentuk
bulatan sebesar kepalan tangan manusia dewasa.
Yang terjadi selanjutnya adalah
benturan dua sinar yang berbeda, serta menimbulkan suara ledakan yang amat
dahsyat. Pada saat yang sama,
Sanggamayit tidak ketinggalan dengan
'Pukulan Petir' nya. Lalu disusul oleh Setan Jerangkong yang menghantam
dengan ilmu 'Cakra Buana' ke arah yang sama.
Kemilau kilat dan bulatan bagai
bola api meluncur hampir bersamaan ke arah yang dituju Iblis Mata Satu.
Suara ledakan dahsyat kembali
terdengar saat dua pukulan sakti jarak jauh menghantam sebuah batu besar di
antara tiga pohon jati.
Bersamaan dengan itu, berkelebat
sebuah bayangan merah keluar dari batu yang hancur terkena hantaman dua
pukulan jarak jauh tadi. Bayangan
merah tadi berjumpalitan di udara,
kemudian meluruk deras ke arah
Sanggamayit. Belum lagi sampai di
tanah, bayangan itu kembali
mengeluarkan sinar-sinar keperakan ke arah Sanggamayit.
"Bedegul, keparat!" geram
Sanggamayit sambil berlompatan
menghindari sinar-sinar yang mengancam dirinya.
Belum sempat Sanggamayit
menjejakkan kakinya ke tanah, bayangan merah telah menyerang dengan ganas.
Untunglah, pada saat yang tepat Setan Jerangkong melemparkan ranting kering ke
arah kaki Sanggamayit Ketika
ranting kering itu menyentuh ujung
jari kakinya, segera tidak disiasiakan kesempatan ini. Sanggamayit
melesat dengan meminjam ranting tadi
sebagai pijakan.
Serangan bayangan merah yang
cepat bagai kilat itu gagal total.
Sanggamayit bersalto dua kali di
udara, kemudian dengan manis mendarat di tanah. Sementara wujud bayangan
merah telah nampak jelas. Terlihat
Dewi Selaksa Mawar berdiri angkuh
dengan wajah tegang menahan geram. Matanya tajam memandang Setan Jerangkong yang
telah menolong Sanggamayit.
"Curang!" dengus Dewi Selaksa Mawar.
Tiga Setan Neraka tidak
mempedulikan dengusan itu. Mereka
segera menggeser dan berdiri berjajar.
Sanggamayit berada di tengah-tengah.
"Sanggamayit, kembalikan kitab
Tapak Geni padaku. Kau tidak berhak
memilikinya!" ujar Dewi Selaksa Mawar.
"Kau salah sangka, Dewi Selaksa
Mawar. Aku tidak mencuri kitab itu,
apalagi memilikinya!" sahut
Sanggamayit. "Dusta! Kau curi kitab Tapak Geni dari serambi bilik semadi guruku. Kau gagal
mendustainya, lalu mencuri kitab itu!" sentak Dewi Selaksa Mawar. "Aku sudah
bersumpah untuk mencari kitab
itu dan membunuhmu, Sanggamayit.
Kaulah penyebab kematian guruku,
setelah kau curi kitab Tapak Geni!"
Iblis Mata Satu dan Setan
Jerangkong saling pandang. Mereka
tidak tahu sama sekali kalau urusannya menyangkut sebuah kitab pusaka yang
menyimpan berbagai macam ilmu-ilmu
kesaktian Tapak Geni. Ternyata urusan antara Sanggamayit dengan Dewi Selaksa
Mawar bukan sekedar urusan asmara
belaka, tapi lebih. rumit dari yang
mereka sangka. 'Tidak ada yang memiliki benda
ini selain kau, Sanggamayit!" bentak Dewi Selaksa Mawar sambil melemparkan
sebuah ruyung kecil dari perak. "Guruku tewas karena benda keparat itu!"
Tiga Setan Neraka terkejut
melihat senjata rahasia itu. Jelas
sekali kalau senjata itu memang milik Sanggamayit. Ini dapat dikenali dari
tangkainya yang terukir gambar kepala tengkorak manusia terbelah. Tak ada
yang mempunyai ruyung perak semacam
itu selain Sanggamayit.
"Hm..., aku kena fitnah," gumam Sanggamayit.
"Masih ingin mengelak dari
tanggung jawab, Sanggamayit?" sinis suara Dewi Selaksa Mawar.
"Aku tahu siapa yang berbuat
curang seperti ini," lagi Sanggamayit bergumam.
"Siapa?" tanya Setan Jerangkong mendengar gumaman itu.
"Setan Arak," jawab Sanggamayit pasti.
"Kalau begitu, kau harus buktikan kalau kau tidak mencuri kitab itu,"
kata Iblis Mata Satu.
"Sulit," Sanggamayit menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu di mana
Setan Arak tinggal. Dia tidak pernah menetap pada satu tempat"
Benar juga kata-kata Sanggamayit
itu. Mencari Setan Arak sama juga
mencari sebatang jarum di padang luas.
Mereka semua tahu siapa sebenarnya
Setan Arak. Dia adalah seorang tokoh
rimba persilatan yang kejam, serta
selalu menggunakan berbagai cara demi mencapai apa yang diinginkan.
Sebenamya, Setan Arak masih ada
hubungan kerabat dengan Sanggamayit.
Dua puluh tahun yang lalu, Setan Arak pernah berkunjung ke kediaman
Sanggamayit selama satu minggu. Tapi, sepeninggal Setan Arak tiba-tiba saja guru
Dewi Selaksa Mawar tewas. Saat
itu bersamaan waktunya dengan aksi
Tiga Setan Neraka merebut istana
Kerajaan Parakan.
Rupanya, peristiwa yang telah
terpendam dua puluh tahun itu baru
terungkap sekarang. Namun sampai saat ini belum jelas penyelesaiannya. Setan
Jerangkong dan Iblis Mata Satu belum
bisa memutuskan siapa sebenarnya yang bersalah. Salah atau benar, yang jelas
mereka berada di jalan yang salah.
"Memang sulit, karena Dewi
Selaksa Mawar telah menjatuhkan
tuduhan," gumam Iblis Mata Satu.
"Serang dia dari beberapa
jurusan, lalu cepat pergi," kata Sanggamayit pelan.
Setan Jerangkong dan Iblis Mata
Satu mengangguk berbarengan. Mereka
cepat mengerti maksud Sanggamayit.
Seketika itu juga mereka melompat
menjauhi Sanggamayit
Melihat dua orang yang melompat
itu telah mengambil posisi, Dewi
Selaksa Mawar langsung memasang kudakuda. Matanya menjadi sibuk
memperhatikan tiga jurusan yang saling berjauhan letaknya. Dia sadar kalau
lawan-lawan yang dihadapinya sekarang tidak bisa dianggap enteng.
Tiba-tiba Tiga Setan Neraka
berteriak nyaring bersamaan.
Wusss...! *** Dewi Selaksa Mawar memutar
tubuhnya dengan cepat melihat tiga
orang itu telah melompat bersamaan.
Cepat gerakan Tiga Setan Neraka,
sehingga yang terlihat hanya
bayangannya saja. Mereka berlompatan
melewati atas kepala Dewi Selaksa
Mawar. Untuk menghindari serangan itu,
Dewi Selaksa Mawar terpaksa
menjatuhkan diri. Tubuhnya bergulingguling, karena Tiga Setan Neraka
langsung mencecar dengan pukulanpukulan jarak jauh. Debu-debu dan
daun-daun kering berterbangan di
sekitar tubuh Dewi Selaksa Mawar.
"Celaka!" desis Dewi Selaksa Mawar.
Dengan cepat, Dewi Selaksa Mawar
menggunakan totokan jari telunjuknya
ke tanah sebagai tolakan untuk
melenting di udara. Tiga kali dia
bersalto di udara, lalu turun. Namun
baru saja kakinya menjejak tanah, Tiga Setan Neraka telah menyerang lagi
dengan pukulan-pukulan jarak jauh yang sangat berbahaya. Sungguh tidak
disadari oleh Dewi Selaksa Mawar kalau semua serangan itu hanya untuk
mengacaukan perhatiannya saja. Memang sengaja Tiga Setan Neraka tidak
mengarahkan pada sasaran yang tepat,
tapi cukup membuat repot lawannya itu.
Dewi Selaksa Mawar yang terlambat
melenting kembali, menjadi tertegun
beberapa saat. Ternyata, pukulan Tiga Setan Neraka hanya jatuh tepat pada
ujung kakinya. "Setan! Kalian mempermainkan
aku!" geram Dewi Selaksa Mawar ketika menyadari kalau serangan-serangan itu
hanya pura-pura saja.
Dalam ketertegunan yang hanya
sejenak itu, dimanfaatkan Tiga Setan
Neraka untuk kabur. Begitu cepat dan
ringannya gerakan mereka, sehingga
dalam sekejap bayangan tubuhnya telah tak terlihat lagi. Dewi menjadi
bingung karena tidak tahu harus
mengejar yang mana. Tiga Setan Neraka kabur ke arah tiga jurusan yang
berbeda, namun tidak jelas masingmasing mengarah ke jurusan mana.
Melihat hal ini, Dewi Selaksa
Mawar menjerit sekuat-kuatnya untuk
melampiaskan kejengkelan yang
menggelegak dalam dada. Dia kesal
sekali karena masih dapat terkecoh
oleh Tiga Setan Neraka. Belum puas
dengan pelampiasannya, Dewi Selaksa
Mawar terus mengumbar nafsunya dengan memuntahkan semua aji 'Pukulan Batara
Geni' sekuat-kuatnya.
"Hiya...! Yaaa...!"
Dari kedua tangannya terlontar
sinar-sinar merah yang berkelebat
menghantam batu-batu dan pepohonan di sekitarnya. Dewi Selaksa Mawar mengerahkan
seluruh kekuatan ilmu
'Pukulan Batara Geni' yang dibarengi
oleh rasa amarah yang luar biasa.
Akibatnya memang menggetarkan. Batubatuan dan pepohonan hancur berantakan terkena pukulan dahsyat itu.
"Sanggamayit, kau harus mati di
tanganku..., hiyaaa!" teriak Dewi Selaksa Mawar kalap.
Hutan Dandaka bagai diamuk ribuan
gajah, hancur tidak karuan terkena
jurus maut itu. Pohon-pohon
bertumbangan, batu-batu hancur
berantakan mengepulkan debu pekat.
Puas melampiaskan kekesalannya, Dewi
Selaksa Mawar jatuh tertunduk lemas.
Kepalanya lunglai bagai tak memiliki
tulang leher. Dengus napasnya
mengguruh, diikuti oleh dada dan bahu yang berguncang hebat menahan isak.
Ya..., Dewi Selaksa Mawar menangis.
Rasa marah, benci, kecewa, sakit hati, serta cinta, membuat batinnya bagai
tertindih batu gunung yang amat besar dan berat.
Dua puluh tahun diperdalam ilmuilmu kesaktiannya hanya untuk
menghadapi Sanggamayit. Selama waktu
itu pula dicarinya laki-laki itu. Tapi kini, setelah bertemu masih juga dapat
diperdaya. Akan sia-siakah semua
usahanya selama dua puluh tahun ini"
Apakah wanita memang ditakdirkan
selalu kalah oleh laki-laki" Tidak!
Sanggamayit harus mati di tanganku!
Batin Dewi Selaksa Mawar terus
bergolak. "Uh! Siapa kau?" Dewi Selaksa Mawar terkejut ketika mengangkat
kepalanya. Entah dari mana datangnya, tibatiba saja di depannya telah berdiri
seorang pemuda tampan. Bergegas Dewi
Selaksa Mawar bangkit seraya menghapus air matanya. Tatapannya tajam bagai
hendak menelan bulat-bulat pemuda di
depannya itu. Dua langkah dia mundur
ke belakang. "Ada yang mengganggumu, Nek?"
tanya suara lembut dan sopan.
"Siapa kau?" tanya Dewi Selaksa Mawar tidak menggubris pertanyaan anak muda itu.
"Aku..., namaku Rangga."
*** "Mengapa Nenek menangis di tengah hutan seperti ini?" tanya Rangga alias


Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa menghiraukan tatapan tajam
Dewi Selaksa Mawar, pendekar muda ini duduk bersila di tanah. Pandangan
matanya tetap lembut ke arah wajah tua keriput di depannya.
"Mungkin kehadiranku
mengejutkanmu. Maaf, aku hanya sekedar lewat dan ingin beristirahat di sini,"
ujar Rangga merasa tidak mendapat
tanggapan apa-apa dari lawan
bicaranya. Dewi Selaksa Mawar mengedarkan
pandangannya ke sekeliling.
Pemandangan hutan yang sebelumnya
indah menyejukkan mata, kini porak
poranda tidak karuan.
"Mau ke mana tujuanmu?" tanya Dewi Selaksa Mawar. Suaranya masih
belum ramah. "Ke kotapraja," jawab Rangga kalem. Bibirnya menyungging senyum
tipis. "Untuk apa ke sana?"
"Mencari seseorang."
"Siapa?"
"Gusti Prabu Salya."
"Edan! Untuk apa kau mencari raja boneka?" agak kaget juga perempuan tua itu
mendengar kejujuran Rangga.
"Raja boneka" Aku tidak mengerti maksudmu, Nek," Rangga mengamati wajah
perempuan tua di depannya.
Dewi Selaksa Mawar menarik napas
dalam-dalam sebentar, lalu duduk di
depan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Namun jaraknya masih cukup jauh,
sekitar satu setengah batang tombak.
Sedikit demi sedikit ketegangan di
wajah Dewi Selaksa Mawar mulai
berkurang. Perempuan itu telah dapat
meraba kalau anak muda ini bukan orang sembarangan. Anak ini paling tidak
memiiiki tingkat kepandaian yang
tinggi, pikir Dewi Selaksa Mawar.
"Mau apa kau cari raja boneka
itu, heh?" tanya Dewi Selaksa Mawar.
"Mau protes," sahut Rangga tegas.
"Protes..." Ha ha ha...!" Dewi Selaksa Mawar malah tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa kau tertawa" Apa ada yang lucu?" tanya Rangga sedikit kurang senang.
"Dari desa mana asalmu, anak
muda?" Dewi Selaksa Mawar berbalik bertanya.
"Desa Ganggang," jawab Rangga.
"Hm..., tidak jauh dari sini,
hanya setengah hari perjalanan
berkuda. Desa itu memang masih bagian wilayah Kerajaan Parakan," gumam Dewi
Selaksa Mawar. Rangga hanya berdiam diri dengan
bola matanya tetap mengamati raut
wajah keriput di depannya. Hatinya
bertanya-tanya tentang maksud katakata raja boneka.
"Percuma saja. Jangan kau
teruskan niatmu, anak muda. Gusti
Prabu Salya tidak bisa menentukan
sendiri. Dia dikendalikan orang lain
dalam memimpin tampuk pemerintahan,"
ujar Dewi Selaksa Mawar.
"Aku tak mengerri maksudmu, Nek?"
Rangga belum paham benar maksud
perkataan Dewi Selaksa Mawar.
"Gusti Prabu Salya yang sekarang, bukanlah gusti prabu yang dulu. Segala
tindakannya kini dikendalikan oleh
tiga orang yang menamakan dirinya Tiga Setan Neraka. Semua yang terjadi di
Kerajaan Parakan dan sekitarnya,
sebenarnya bukan tanggung jawab Gusti Prabu Salya, tapi tanggung jawab tiga
orang itu," Dewi Selaksa Mawar
menjelaskan. "Siapa Tiga Setan Neraka itu
sebenarnya?" tanya Rangga semakin tertarik.
"Mereka adalah Iblis Mata Satu,
Setan Jerangkong, dan Sanggamayit,"
Dewi Selaksa Mawar menekan suaranya
saat menyebut nama Sanggamayit "Mereka adalah tokoh rimba persilatan golongan
hitam. Sepak terjangnya selalu
merugikan. Mereka tidak segan-segan
membunuh siapa saja yang coba-coba
menghalangi niat mereka."
"Bagaimana mereka bisa menguasai Gusti Prabu Salya?" tanya Rangga.
"Sangat mudah, karena Sanggamayit anak dari salah satu selir raja
Parakan yang terdahulu."
"Maksud Nenek, Ayah Gusti Prabu
Salya?" "Benar."
"Hm, jadi antara Gusti Prabu
dengan Sanggamayit masih saudara
tiri...," gumam Rangga mulai dapat mengerti duduk persoalannya.
'Tepat! Sanggamayit tahu kalau
dirinya tidak bisa menjadi raja
Parakan, karena hanya anak selir.
Lalu, dia bersama dua saudara
angkatnya berhasil menguasai kerajaan dengan menempatkan Gusti Prabu Salya
tetap menjadi raja."
"Dan semua tampuk pemerintahan
dikendalikan mereka," celetuk Rangga.
Dewi Selaksa Mawar menganggukkan
kepalanya. "Hal ini tidak boleh didiamkan,"
desis Rangga. Bibir Dewi Selaksa Mawar
tersenyum mendengar desisan itu.
Hatinya mulai sedikit terhibur. Dia
sadar kalau hanya seorang diri, tidak mungkin dapat mengalahkan Tiga Setan
Neraka. Dan sekarang ada orang lain
yang akan memusnakan mereka bertiga
meskipun dengan maksud dan tujuan
berbeda. Dewi Selaksa Mawar semakin
lebar senyumnya. Benaknya penuh dengan rencana-rencana untuk memanfaatkan
kehadiran anak muda ini.
"Maaf, Nek Aku harus segera ke
kotapraja," kata Rangga seraya
berdiri. "Untuk apa ke sana" Orang yang
kau cari tidak ada lagi di sana,"
cegah Dewi Selaksa Mawar.
Rangga tercenung.
"Mereka baru saja dari sini. Aku telah berusaha menghalangi tujuan
mereka, tapi aku kalah," ucap Dewi Selaksa Mawar menekan suaranya.
"Jadi, itu sebabnya kau mengamuk tadi?"
"Ya. Lebih baik aku mati dalam
pertarungan daripada kalah menderita
malu." "Ke mana tujuan mereka?"
"Desa Ganggang."
Rangga tercengang mendengarnya.
Mendadak hatinya cemas, karena desa
itu tentu akan hancur lebur diamuk
oleh Tiga Setan Neraka yang terkenal
kejam dan ganas. Tidak mungkin Ratih
dapat menandingi hanya seorang diri.
Tanpa berkata-kata lagi, Rangga
cepat mencelat pergi. Dewi Selaksa
Mawar tidak mencegah, tapi hanya
tersenyum saja. Kemudian kakinya
melangkah pelan mengikuti arah
kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dia berjalan dengan tujuan pasti, Desa Ganggang.
"Aku yakin anak muda itu pasti
mampu menandingi Tiga Setan Neraka,"
gumam Dewi Selaksa Mawar.
*** 5 Rangga tercenung menyaksikan
rumah Kepala Desa Ganggang berantakan.
Dua mayat laki-laki yang biasa menjaga rumah ini telah menggeletak menjadi
mayat di tangga pintu rumah yang
hancur berantakan. Rangga terus menuju ke dalam melewati dua mayat itu.
Matanya membelalak menyaksikan keadaan ruangan yang porak poranda seperti
kapal pecah. Meja kursi pecah tak
tentu arah. Darah berceceran di manamana. "Ratih...," desis Rangga tiba-tiba ketika teringat gadis cantik
putri kepala desa.
"Ooohhh...," tiba-tiba terdengar suara rintihan memelas dari salah satu kamar.
Pendekar Rajawali Sakti itu
bergegas melangkah menuju kamar itu.
Kedua bola matanya melebar bagai
hendak loncat ke luar ketika melihat
Ki Jagabaya tergeletak di antara
puing-puing dari barang-barang yang
hancur. Darah membanjiri sekitar
tubuhnya. Dadanya terkoyak lebar
seperti terkena sabetan senjata tajam.
"Ki...!" seru Rangga langsung menghampiri.
'Tolong..., tolong Ratih...,"
Brih dan terputus-putus suara Ki
Jagabaya. "Ratih! Di mana Ratih?" tanya Rangga begitu khawatir akan
keselamatan Ratih.
"Dia..., aaah...!"
"Ki..., Ki Jagabaya!" Rangga mengangkat kepala laki-laki tua itu.
Didekatkan telinganya ke bibir Ki
Manusia Penyebar Kutuk 3 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Badai Laut Selatan 18

Cari Blog Ini