Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan Bagian 1
MUTIARA DARI SELATAN
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Mutiara dari Selatan
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Seekor kuda hitam berpacu cepat menyusuri tepian pantai berpasir putih.
Penunggannya, seorang pemuda bertubuh tegap yang otot-ototnya bersembulan
sehingga menampakkan kejantanannya.
Rambutnya panjang terurai, meriap mainkan melambai-lambai dipermainkan angin
pantai. Kuda hitam itu terus berpacu cepat bagaikan angin, menerjang ombak
pantai. "Hiya! Hiyaaa..."
Pemuda itu mendera kudanya semakin cepat.
Kuda hitam itu meringkik keras. Begitu cepat larinya sehingga bagaikan tidak
menapak pasir basah yang senantiasa dijilat ombak. Tiba-tiba saja kuda itu
berbelok, dan terus berlari kencang menembus kelebatan hutan bakau. Namun kuda
hitam itu tidak juga memperlambat larinya. Bahkan semakin cepat saja berpacu
bagai dikejar setan
"Hooop...!"
Penunggang kuda hitam Itu menarik tali kekang kudanya. Bersamaan dengan
terdengarnya ringkik kuda, pemuda itu melompat turun. Kuda hitam itu berhenti
seketika. Sungguh indah dan ringan lompatannya, pertanda pemuda itu memiliki
ilmu meringankan tubuh yang tidak rendah.
Pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih itu memandangi sekitarnya Tatapan
matanya begitu tajam. Sesekali kepalanya menggeleng ke kiri dan ke kanan, atau
mendongak ke atas. Sepertinya tengah menunggu sesuatu di tempat itu. Tempat yang
berpasir, dan dipenuhi tanaman bakau yang akar-akarnya menyemak rapat
Tiba-tiba saja dari arah samping kanan, meluncur sebatang anak panah. Pemuda itu
menarik tubuhnya ke belakang sedikit, lalu tangannya bergerak cepat menangkap
anak panah itu, tapi tidak terlihat satu bayangan pun yang berkelebat. Kemudlan
pandangannya beralih pada anak panah yang berada dalam genggamannya.
"Hm...!" gumamnya dengan kening berkerut Ada selembar daun lontar pada bagian
tengah anak panah berwarna keperakan itu, yang diikat pita merah muda. Pemuda
berbaju rompi putih itu membuka ikatan, dan mengamati lembaran daun itu.
Keningnya kembali berkerut, sehingga sepasang alis-nya yang tebal bertaut
menjadi satu. Hanya ada sebaris kalimat yang tertera di sana.
BERJALANLAH KE ARAH SELATAN.
MUTIARA DARI SELATAN.
Pemuda itu melipat daun lontar itu dan menyelip-kannya di balik lipatan sabuk.
Sebentar diangkat kepalanya, menatap ke arah Selatan. Arah datangnya anak panah
tadi. Digerakkan tangannya, maka kuda hitam itu melangkah mendekat. Binatang
tunggangan itu mendengus sambil mengangguk-anggukkan kepalanya di samping pemuda
berbaju rompi putih itu.
"Hitam, aku tidak tahu apa keinginan orang ini.
Sebaiknya kita ikuti saja petunjuknya," kata pemuda itu setengah bergumam
Kuda hitam pekat berotot kuat itu meringkik perlahan, seakan-akan mengerti
ucapan majikannya.
Pemuda berbaju rompi putih itu melompat naik dengan tangkasnya, dan menggebah
kuda hitam itu perlahan-lahan. Kuda itu berjalan lambat menuju ke arah Selatan.
"Hm..., siapa sebenarnya orang itu" Kenapa selalu menamakan dirinya Mutiara dari
Selatan...?" pemuda itu bergumam bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Sementara kuda hitam itu terus berjalan perlahan-lahan menerobos lebatnya hutan
bakau di sepanjang pantai ini. Semakin jauh masuk ke dalam, hutan bakau itu
semakin merenggang. Pemuda itu berdecak pelan, sehingga kuda hitam itu mulai
mempercepat langkahnya. Mereka terus bergerak menuju Selatan, seperti yang
tertulis pada daun lontar itu.
Hutan bakau yang menjadi pembatas pantai dengan daratan, telah terlewati. Dan
kini pemuda penunggang kuda hitam itu mulai memasuki suatu padang rumput yang
tidak begitu luas. Tampak di seberang sana terhampar hutan yang kelihatannya
tidak pernah terjamah manusia. Pemuda itu menghentikan laju kudanya, lalu
memandang ke sekeliling.
Arah pandangannya langsung tertuju pada hutan di seberang padang rumput ini.
"Kau merasakan sesuatu, Hitam?" tanya pemuda itu melihat kuda hitamnya tampak
gelisah. Kuda hitam itu terangguk-angguk, dan sebelah kaki depannya menggaruk-garuk tanah
berumput tebal. Pemuda itu melompat turun dari punggung kudanya. Dipegangi tali
kekang kuda hitam itu.
Namun binatang itu kelihatan masih tetap gelisah, meskipun sudah ditepuk-tepuk
lehernya untuk ditenangkan.
"Tenanglah, Hitam...," bisik pemuda itu mencoba menenangkan kudanya.
Tapi kuda itu malah meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggitinggi. Pemuda itu melompat melepaskan pegangannya pada tali kekangnya. Kuda
hitam itu mendengus-dengus menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Sedangkan
pemuda itu semakin heran melihatnya. Tapi belum juga keheranannya lenyap,
mendadak hatinya dikejutkan oleh munculnya satu bayangan biru.
"Heh...! Hup!"
Pemuda itu bergegas melentingkan tubuhnya ke belakang, karena bayangan itu
meluncur deras ke arahnya. Bayangan itu lewat di antara putaran tubuhnya, dan
terus meluncur deras menghantam sebuah pohon. Pemuda itu berdiri tegak menatap
wonggok kain berwama biru cerah yang tergeletak di antara pohon yang tumbang
kena terjangannya.
"Hm.... Apa pula ini...?" gumamnya bertanya-tanya sendiri.
*** Pemuda berbaju rompi putih melangkah perlahan-lahan mendekati seonggok kain biru
itu. Sejenak dipandangi bungkusan itu, kemudian dipungutnya.
Bungkusan kain biru itu tidak terlalu besar. Bentuknya bulat yang salah satu
ujungnya bulat besar dan satunya lagi kecil. Dibukanya lipatan kain biru itu,
dan matanya membeliak lebar ketika melihat isinya.
"Biadab...!" desisnya sambil membungkus kembali kain biru itu.
Hatinya geram bukan main, karena bungkusan kain biru itu ternyata berisi sebuah
kepala manusia yang darahnya sudah mengering. Pada kepala buntung itu ada ikat
kepala terbuat dari bahan seperti
emas yang dihiasi manik-manik dari mutiara. Pemuda berbaju rompi putih itu
meletakkan bungkusan itu di bawah pohon.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar.
Pemuda itu langsung berbalik, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara
tawa itu seolah-olah datang dari segala arah. Jelas, kalau suara itu disertai
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Hm...," gumam pemuda itu perlahan.
Belum sempat pemuda itu menemukan arah
sumber suara tawa itu, tiba-tiba satu bayangan berkelebat Tahu-tahu, tidak jauh
di depannya telah muncul seorang wanita tua berjubah kumal sambil memegang
tongkat keperakan. Wanita itu masih juga terbahak-bahak. Pemuda itu menggeser
kakinya ke depan beberapa tindak, dan pandangannya tajam menusuk langsung kea
rah wanita itu.
"Hebat sekali permainanmu, Nisanak," dengus pemuda itu kurang senang.
Wanita tua itu segera menghentikan tawanya.
Ditatapnya pemuda tampan di depannya dalam-dalam. Perlahan tongkatnya terangkat
dan tertuju langsung ke arah dada pemuda berbaju rompi putih itu. "Kuperingatkan
padamu, Pendekar Rajawali Sakti.
Jangan turun campur urusan ini!" dingin suara wanita tua itu.
"Kau sudah tahu namaku. Siapa kau sebenarnya?"
tanya pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku!" sahut wanita tua itu tetap dingin. Tongkatnya
diturunkan perlahan-lahan.
"Baik. Aku tidak kenal siapa dirimu. Tadi kau
katakan jangan mencampuri urusanmu" Aku tidak mengerti maksudmu, Nisanak,"
tenang, namun dingin sekali nada suara Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan berlagak bodoh, Pendekar Rajawali Sakti!
Aku tahu maksudmu datang ke daerah Selatan ini.
Maka kuperingatkan sekali lagi padamu. Tinggalkan daerah ini atau bernasib sama
dengannya!" ujar wanita tua itu seraya menunjuk bungkusan kain biru di bawah
pohon. "Hm..., siapa dia?" tanya Rangga atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti.
"Orang yang tidak menuruti kata-kataku. Terpaksa kupenggal kepalanya karena
keras kepala. Nah!
Sudah kuperingatkan padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tinggalkan daerah ini
sebelum kepalamu terpisah dari badan!" ancam wanita tua itu tidak main-main.
Setelah berkata demikian, cepat sekali tubuhnya melesat, dan tahu-tahu sudah
lenyap dari hadapan Rangga Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga
wanita tua itu bagaikan lenyap ditelan bumi.
Rangga menarik napas panjang, lalu menoleh. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali
Sakti, karena bungkusan kain biru itu juga lenyap entah ke mana.
Meskipun merasa terkejut, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu bisa mengertj. Cukup
dikagumi kehebatan wanita tua itu. Bisa melesat cepat sambil menyambar bungkusan
kain biru itu tanpa diketahui. Tapi di balik rasa kagumnya, Rangga juga jadi
tidak mengerti maksud wanita tua itu. Kedatangannya ke daerah ini karena selalu
mendapat pesan tertulis di daun lontar.
Sepanjang perjalanan, sudah didapatkan tidak kurang dari lima kali. Dan semua
pesan itu menunjukkan arah yang harus ditempuhnya, tanpa dijelaskan
apa maksudnya. Yang menjadi pertanyaan, siapa sebenarnya pengirim pesan dalam
daun lontar itu"
Setiap pesan selalu tertulis kata Mutiara dari Selatan.... Rangga tidak
mengerti, apakah Mutiara dari Selatan hanya sebuah julukan, atau mempunyai
maksud tertentu di dalamnya.
"Hm..., pesan itu seperti bernada meminta bantuan. Tapi bantuan apa...?" gumam
Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu makin tidak mengerti setelah menghubungkan semua
pesan-pesan itu dengan kejadian-kejadian membingungkan selama menempuh
perjalanan ke Selatan ini. Apalagi dengan munculnya wanita tua yang tidak mau
menyebutkan namanya tadi. Memang bisa dirasakan kalau peringatannya tidak mainmain, dan mengandung ancaman serius. Buktinya adalah sebuah kepala terbungkus
kain biru. Rangga mengernyitkan keningnya. Kepala buntung tadi memakai semacam gelang pada
kepalanya. Dan pengikat kepala macam itu biasanya dimiliki para pembesar
kerajaan sebagai pertanda kedudukan.
Walaupun Rangga sebagai raja, tapi belum pernah melihat bentuk ikat kepala
seperti ini. Bahkan juga tidak terdapat tanda tanda dari satu kerajaan mana.
Ikat kepala yang kelihatannya terbuat dari emas bertahtakan batu mutiara. Jelas
itu pertanda kalau pemiliknya bukan orang sembarangan dan memiliki kedudukan
yang tinggi pada suatu daerah.
"Hhh.... Aku jadi penasaran...," desah Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri kudanya yang hitam pekat dengan tubuh
tinggi tegap dan otot bersembulan. Binatang itu mendengus-dengus seraya
menganggukkan kepalanya beberapa kali. Rangga memperhatikan sejenak, lalu
melompat naik ke punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu. Tapi Rangga
lebih suka memanggil si Hitam saja.
Sepertinya kuda itu juga tidak keberatan terhadap nama barunya yang hanya
dipakai Pendekar Rajawali Sakti.
"Kita terus ke arah Selatan, Hitam," perintah Rangga seraya menghentakkan tali
kekangnya. Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggitinggi, kemudian melompat cepat dan berlari bagaikan sebatang anak panah lepas
dari busurnya. Begitu cepatnya kuda hitam itu berlari, seakan-akan keempat
kakinya tidak menapak tanah.
*** Rangga menghentikan lari kudanya. Pandangannya lurus menatap ke depan. Hampir
tidak dipercaya kalau di tengah-tengah hutan lebat begini masih ada sebuah
perkampungan yang begitu besar. Perkampungan ini sepertinya tidak pantas disebut
desa. Semua rumah berdinding batu dan besar-besar.
Bentuknya pun indah dikelilingi tembok benteng yang tinggi.
Perkampungan ini bagaikan sekelompok benteng.
Rangga berdecak pelan, lalu menghentakkan tali kekang kudanya. Si Hitam berjalan
perlahan-lahan memasuki perkampungan yang aneh luar biasa itu.
Dari atas punggung kudanya, Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke sekeliling.
Perasaannya jadi semakin aneh, karena sejak tadi tidak melihat seorang pun di
tempat ini. Keadaannya sangat sunyi,
seperti sudah begitu lama ditinggalkan.
Ketika pandangan Rangga tertuju pada sebuah bangunan yang di depannya terdapat
sebuah patung singa, di situ sebuah bayangan berkelebat menyelinap ke balik
pagar tembok yang tinggi besar itu.
Bergegas Rangga melompat ke arah bayangan itu.
Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah berada di balik tembok.
"Eh...!" Rangga terkejut bukan main begitu melihat seorang gadis berdiri tegak.
Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.
Punggung gadis itu menempel pada dinding tembok. Tiba-tiba saja dia jatuh
berlutut, kemudian menangis terisak-isak.
Rangga jadi heran. Dihampirinya gadis itu dan berlutut di depannya. Dengan
lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu. Tapi gadis itu malah tersentak, dan
berlutut. Tentu saja Rangga semakin keheranan tidak mengerti.
"Nisanak...," tegur Rangga pelan.
"Ampun, Den.... Ampun...," rintih gadis itu memelas.
"Bangunlah, jangan berlutut begitu," kata Rangga lembut.
Pendekar Rajawali Sakti mencekal kedua pundak gadis yang berbaju kain kasar
dengan beberapa bagian sobek. Rambutnya yang hitam pekat, tidak teratur
bentuknya. Perlahan-lahan gadis itu bangkit, tapi masih juga berlutut. Rangga
terpaksa tetap berlutut sehingga kedua lututnya menyentuh tanah.
"Siapa namamu, Nisanak?" tanya Rangga lembut Gadis itu tidak langsung menjawab.
Perlahan-lahan diangkat kepalanya. Tampak air mata berlinangan membasahi
wajahnya yang kotor berdebu. Tubuhnya masih gemetar menahan isaknya. Rangga
melepas- kan cekalan pada gadis itu. Ditatapnya gadis itu dengan lembut.
"Siapa namamu" Mengapa menangis?" tanya Rangga lagi lebih lembut
"Kencana...," sahut gadis itu pelan. Begitu pelan-nya, sehingga hampir tidak
terdengar kala menyebutkan namanya.
"Kenapa menangis?" tanya Rangga tetap lembut.
"Aku..., aku...," gadis itu tampak ketakutan.
Dan belum lagi dapat berkata benar, mendadak matanya membeliak menatap lewat
bahu Rangga. Tubuhnya semakin bergetar hebat, dan wajahnya pucat pasi. Mulumya yang dihiasi
bibir mungil dan berwarna merah delima, terbuka lebar seperti ingin mengucapkan
sesuatu. Rangga tidak mengerti, lalu menoleh. Tapi mendadak saja satu desiran halus
terdengar ke arahnya.
Dan belum lagi sempat disadari, tahu-tahu tubuhnya terpental ke samping.
Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh bergulingan di tanah, kemudian melompat
bangkit. Bibirnya meringis sedikit merasakan sakit pada bagian iganya.
Rangga masih belum mengerti apa yang terjadi, tahu-tahu satu bayangan besar
berkelebat cepat menerjang ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
melompat ke samping sambil mengayunkan satu pukulan disertai pengerahan tenaga
dalam tidak penuh.
"Hegh...!"
Terdengar erangan kecil, tapi Rangga merasakan tangannya seperti memukul
segumpal kapas yang begitu lunak. Pukulannya terasa berbalik, membuat
pergelangannya nyeri. Rangga cepat-cepat berbalik.
Matanya langsung membeHak begitu melihat
Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa berdiri tegak tidak jauh
di depannya. "Waladala! Manusia macam apa ini...?" desah Rangga terperangah.
Kepala orang itu menggeleng beberapa kali, membuat suara gemerincing dari
anting-anting yang dikenakannya. Rangga sendiri sampai terpana melihatnya. Orang
itu mengenakan pakaian yang sangat indah, terbuat dari bahan sutra halus
bersulamkan benang emas pada bagian tepinya.
Hiasan rambutnya juga terbuat dari emas, dengan kalung besar dan anting-anting
seperti boneka kayu.
Wajahnya cukup bersih dan tampan, tapi perawakan-nya seperti raksasa.
Penampilannya tadi benar-benar mengerikan.
"Siapa kau bocah cilik?" tanya orang itu.
"Kau bertanya padaku?" Rangga balik bertanya, karena merasa bukan bocah lagi.
"Gradah...! Aku bertanya padamu, tolol!" bentak orang itu keras.
Rangga sampai melangkah mundur mendengar bentakan yang demikian menggelegar,
bagai guntur di siang bolong. Bukan karena gentar, tapi terkejut mendengar suara
itu. "Kau sendiri, siapa?" Rangga malah balik bertanya.
"Ha ha ha...!" Manusia raksasa itu tertawa terbahak-bahak.
"Ditanya malah tertawa!" gerutu Rangga tidak enak mendengar tawa menggelegar dan
memekakkan telinga itu.
"Bocah edan! Aku yang bertanya padamu, goblok!"
bentak orang tinggi besar itu keras.
"Baik. Aku berikan namaku, tapi kau juga harus menyebutkan namamu," Rangga
menawarkan. "Berani sekali kau, setan cilik! Tapi baiklah, kuterima syaratmu!" kata orang
itu jadi tertawa kembali.
"Jangan tertawa! Telingaku sakit!" bentak Rangga keras.
Orang itu langsung diam. Dia menggereng dengan mata merah membara menatap
langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Sebutkan, siapa namamu!" bentaknya.
"Rangga, dan kau?"
"Raden Segara!"
Rangga menelan ludahnya mendengar orang bertubuh tinggi besar itu menyebutkan
namanya. Malah hampir-hampir tertawa. Sungguh mati tidak dikira kalau orang
bertubuh tinggi besar itu seorang bangsawan. Apakah di dunia ini ada sekelompok
manusia setengah raksasa"
*** 2 Raden Segara melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sepasang kakinya yang
besar, terayun berat Namun tidak ada suara sedikit pun saat melangkah. Manusia
tinggi besar itu berdiri tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Rangga.
Kemudian dia duduk bersila tanpa mempedulikan kalau tempat ini hanya tanah
berdebu. Rangga sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba manusia setengah raksasa itu
tidak garang seperti tadi. Bahkan sepasang bola matanya juga memancarkan cahaya
persahabatan, bukan seperti tadi yang merah menyala penuh rasa permusuhan. Raden
Segara merentangkan tangannya sedikit. Rangga mengerti, lalu duduk bersila di
depan manusia raksasa itu. Tubuhnya dua kali lipat dari tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. "Apa maksudmu datang ke tempat ini?" tanya Raden Segara. Meskipun suaranya
lunak, tapi masih juga terdengar besar dan kasar.
"Hanya kebetulan lewat," sahut Rangga.
"Hm.... Kau seorang pengembara?"
"Benar."
"Kalau kau tidak punya tujuan di sini, sebaiknya cepat angkat kaki. Aku tidak
mau kau celaka di sini.
Kau orang asing, dan aku tidak suka lagi ada pem-bunuhan orang asing di sini,"
tegas nada suara Raden Segara.
Rangga tidak bersuara. Diliriknya Kencana yang masing berlutut bersandar pada
dinding tembok pagar tinggi dan sangat besar. Raden Segara juga melirik ke arah yang sama.
"Kencana, kemari kau!" panggil Raden Segara.
"Hamba, Raden...," sahut Kencana dengan suara bergetar.
Gadis yang berpakaian koyak itu menggeser tubuhnya mendekat. Kepalanya
tertunduk, lalu memberi hormat pada manusia setengah raksasa itu.
"Kau sudah kuberi kesempatan, tapi kenapa tidak digunakan?" ujar Raden Segara
menatap tajam pada gadis itu.
"Ampun, Raden. Hamba..., hamba...," jawab Kencana tergagap.
"Aku tidak suka mendengar alasanmu lagi. Pergi-lah sebelum para pengawal
Ayahanda Prabu menemukanmu di sini."
Kencana memberi hormat dengan merapatkan telapak tangannya di depan hidung Gadis
itu melirik Rangga yang duduk tidak jauh di sampingnya.
"Sebaiknya gadis ini kau bawa pergi, aku percaya kau bersedia melindunginya,"
kata Raden Segara seperti bisa mengerti lirikan Kencana.
"Kenapa?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Cepatlah, sebelum mereka menemukan kalian di sini," desak Raden Segara.
Rangga bangkit berdiri, tapi benaknya masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan
dan keheranan. Sama sekali tidak dimengerti akan semua kejadian ini Rangga menghampiri Kencana
sambil bersiul sedikit Tidak berapa lama, seekor kuda hitam datang meng hampiri.
"Naiklah ke kudaku," kata Rangga.
Kencana memandangi pemuda di depannya,
kemudian menatap pada Raden Segara. Manusia
setengah raksasa yang sudah berdiri itu, menganggukkan kepalanya sedikit Gadis
itu segera naik ke punggung kuda hitam dibantu Rangga. Kemudian Pendekar
Rajawali Sakti itu juga melompat naik ke belakang gadis itu. Dewa Bayu masih
belum digebah, karena masih ada satu ganjalan yang mengganggu benaknya.
"Raden, kalau boleh aku tahu, kenapa kau tadi menyerangku?" tanya Rangga
"Hanya untuk mengujimu. Ah, sudahlah...! Cepat kalian pergi!" sahut Raden
Segara. Rangga ingin bertanya lagi, tapi manusia tinggi besar itu sudah melesat cepat.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menggebah kudanya kern ball ke arah semula,
tapi malah memacunya ke arah Selatan.
Dewa Bayu terus berlari kencang bagai melayang di atas tanah. Mungkin karena
debu yang mengepul itulah yang menandakan kalau keempat kakinya men-depak tanah.
Rangga terus memacunya cepat, dan keluar dari perkampungan aneh itu. Lari
kudanya dihentikan setelah berada di dalam hutan, jauh dari tempat yang
membuatnya jadi seperti orang gila.
Rangga benar-benar tidak mengerti akan semua peristiwa yang dialaminya sekarang.
Sepertinya berada di alam lain saja!
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun, kemudian membantu Kencana turun dari
punggung kuda hitam itu. Gadis itu langsung melangkah pelan, kemudian
menghenyakkan tubuhnya di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah.
Rangga menghampiri dan berdiri bersandar pada pohon itu.
Dibiarkan saja kudanya merumput
"Terima kasih! Raden telah membawaku keluar dari neraka itu," ucap Kencana
perlahan. "Apa maksudmu" Neraka?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Tempat itu merupakan penjara yang lebih menyakitkan daripada neraka...," jelas
Kencana sambil tertunduk. Suaranya juga terdengar begitu pelan, hampir tak
tertangkap. Rangga menghampiri dan duduk di sebelahnya.
Dipandangi gadis itu dalam-dalam, kemudlan di-angkatnya wajah Kencana dengan
ujung jari berada di dagu. Ditatapnya bola mata yang bulat indah itu.
Dalam hati, Rangga mengakui kecantikan Kencana.
Hanya saja keadaannya yang kotor dan tidak terawat membuat kecantikannya agak
memudar. Di dalam sinar mata indah itu, Rangga bisa menangkap adanya sesuatu yang
tersembunyi dalam diri gadis ini. Yang jelas, terlihat adanya tekanan penderitaan yang sangat besar. Pendekar Rajawali Sakti itu membetulkan letak
pakaian Kencana yang tidak karuan bentuknya. Gadis itu diam saja, bahkan malah
memandangi dengan sinar mata sukar diartikan.
*** Rangga duduk menghadapi api unggun kecil. Sedangkan tidak jauh di sampingnya,
Kencana tidur memeluk lutut. Udara malam ini memang dingin sekali. Sesekali
Rangga melirik gadis itu yang selalu merintih menggigil karena kedinginan. Kalau
saja bisa ditemukan sebuah goa di hutan ini, mungkin bisa lebih hangat. Tapi
sudah satu harian berjalan, tidak juga ditemukan tempat yang cocok untuk
bermalam. Hutan ini juga sangat luas, seperti tidak bertepi.
Rangga mengeluarkan lembaran-lembaran daun lontar dari balik lipatan sabuknya.
Dibukanya satu persatu lipatan daun lontar itu, lalu dibacanya setiap tulisan
yang tertera. Semua tulisan itu memberikan petunjuk agar dirinya menuju Selatan.
Tapi, tidak dijelaskan untuk apa petunjuk itu. Rangga mencoba menghubungkan
semua peristiwa yang dialami selama menuju Selatan ini. Beberapa kejadian memang
seperti ada hubungannya dengan kepergiannya ini. Yang sudah jelas adalah
perempuan tua itu Sama sekali Rangga tidak mengerti maksud perempuan tua itu
melarangnya pergi ke arah Selatan. Bahkan sempat mengancam! Sedangkan yang baru
terjadi... Itu pun belum bisa dimengerti.
Sampai saat ini Kencana masih belum bisa diajak bicara. Gadis itu seperti baru
saja menghadapi persoalan yang membuatnya selalu diliputi perasaan takut.
Sementara di daerah ini tidak ditemukan satu perkampungan pun, selain
perkampungan yang aneh itu.
Mendadak, Rangga tersentak ketika telinganya mendengar desiran halus mengarah
padanya. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Dan betapa terkejutnya dia ketika melihat
sebuah benda keperakan meluncur deras ke arahnya. Dengan sigap diangkat
tangannya, dan ditangkapnya benda itu.
"Panah perak...," desis Rangga begitu melihat sebatang anak panah berada dalam
genggamannya. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat ke arah datangnya anak panah ini,
tapi tidak menemukan apa-apa di sana. Agak lama juga matanya ditajamkan
mengamati ke sekeliling. Telinganya juga dipasang lebih tajam, tapi tetap saja
sunyi sepi. Tak
ada tanda-tanda ada seseorang di sekitar hutan ini.
Rangga kembali menghampiri api unggun, lalu duduk kembali di tempatnya semula.
"Daun lontar lagi...," desisnya begitu melihat ada daun lontar terikat pada
batang anak panah itu.
Rangga membuka ikatan daun lontar itu, dan melemparkan anak panahnya ke atas
api. Keningnya berkerut membaca tulisan yang tertera di atas daun lontar.
Sebentar ditatapnya Kencana yang masih tidur pulas, kemudian dibacanya lagi
tulisan itu seperti kurang percaya.
" Bawa gadis itu ke Gunung Sintruk. Mutiara dari Selatan," gumam Rangga membaca
tulisan itu sekali lagi
Rangga melipat daun lontar itu dan menyatukan-nya dengan yang lain di balik
sabuknya. Kembali dipandangi Kencana yang masih melingkar tertidur pulas.
Semakin memikirkan pesan pesan di dalam daun lontar itu, semakin kesal hatinya.
Rangga merasakan dirinya seperti dijadikan bahan permainan belaka tanpa tujuan
yang pasti. Tapi.
"Ah! Aku yakin, orang itu pasti punya tujuan. Hhh...!
Caranya saja yang membuatku kesal!" gerutu Rangga seorang diri. "Huh! Kalau
bertemu nanti, akan kuhajar dia!"
Rangga menggerutu kesal karena merasa dipermainkan. Dilemparkan ranting ranting
yang sudah lembab ke dalam api. Api itu memercik melahap ranting-ranting kering
itu. Sebentar nyalanya kecil seperti hampir mati, kemudian membesar sehingga
sekitarnya terasa hangat. Kencana menggeliat, dan Rangga melirik ke arah gadis
itu Rasa hangat dari api yang membesar, membuat gadis Itu tidak lagi memeluk
lututnya. Semalaman Rangga tidak bisa memejamkan
matanya sekejap pun. Pikirannya sibuk dibebani oleh tulisan-tulisan yang tertera
pada daun lontar. Pesan-pesan itu selalu ditujukan ke arahnya, menggunakan anak
panah berwama perak. Dia yakin, orang yang mengirimkan pasti memiliki kepandaian
memanah luar biasa. Dan yang pasti, punya tujuan tertentu.
Hanya saja sampai saat ini Rangga belum tahu maksudnya.
Rangga mengangkat kepalanya ketika Kencana datang menghampiri. Gadis itu
kelihatan segar dan cantik. Tidak jauh dari tempat Ini mengalir sungai kecil,
dan gadis itu baru saja membersihkan dirinya di sana. Meskipun bajunya masih
kotor dan koyak, namun wajahnya sudah begitu bersih memancarkan kecantikan yang
selama ini tersembunyi. Rangga sampai tidak berkedip memandangnya.
"Berangkat sekarang?" ucap Rangga seraya bangkit berdiri.
Kencana hanya mengangguk saja.
"Mari kubantu," ajak Rangga sambil memegangi tali kekang kudanya.
"Jalan kaki saja," tolak Kencana.
"Aku tidak tahu harus berjalan ke mana. Sebaiknya kau naik kuda, biar aku saja
yang jalan kaki," tegas Rangga.
"Kemarin kau sudah jalan kaki. Aku tidak ingin dimanjakan," rungut gadis itu.
"Baiklah, kalau itu keinginanmu," Rangga menyerah.
Tanpa bicara lagi, mereka berjalan. Rangga menuntun kudanya, sedangkan Kencana
melangkah di sampingnya. Mereka berjalan pelan-pelan tanpa bicara sedikit pun.
Kebisuan ini memang tidak
menyenangkan, apalagi bersama teman seperjalanan. Rangga mendehem tiga kali,
seolah tengah mengumpulkan kata-kata untuk diucapkan. Sedangkan Kencana tetap
saja membisu dengan kepala setengah tertunduk.
"Kencana, kau tahu di mana letaknya Gunung Sintruk?" tanya Rangga setelah cukup
lama diam. Kencana tidak langsung menjawab. Perlahan-lahan diangkat kepalanya, lalu
ditatapnya Rangga yang juga tengah menatapnya. Gadis itu kembali memalingkan
kepalanya menatap ke depan.
"Mau apa ke sana?" tanya Kencana tanpa menjawab pertanyaan Rangga tadi.
"Ada yang ingin kuketahui di sana," jawab Rangga.
Sedangkan bagi Rangga, jawaban gadis itu tadi sudah cukup untuk mengerti bahwa
dia tahu letak Gunung Sintruk.
"Tidak ada yang bisa didapatkan di sana, Raden,"
tegas Kencana. "Berarti kau tahu letaknya, bukan?"
"Ya," sahut Kencana mendesah.
"Tunjukkan, di mana?" desak Rangga.
"Di Selatan," sahut Kencana pelan.
"Hm..., bukankah ini daerah Selatan" Lalu ke arah yang mana lagi?" tanya Rangga
bingung juga. "Jalan saja terus ke Selatan. Setelah keluar dari hutan ini, nanti akan bertemu
sungai kecil. Seberangi sungai itu, terus akan bertemu sebuah desa.
Namanya, Desa Sintruk. Letaknya memang di Kaki Gunung Sintruk. Tapi percuma saja
kau ke sana. Desa itu sudah tidak berpenghuni lagi," jelas Kencana.
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Entahlah," jawab Kencana seraya menghembus-kan napas panjang.
Rangga menatap dalam-dalam. Dirasakan kalau gadis ini menyembunyikan sesuatu
padanya. Gadis itu pasti tahu kenapa desa itu tidak berpenghuni lagi, tapi tidak
bersedia mengatakannya. Dan Rangga sebenarnya ingin tahu, hanya saja tidak ingin
terlalu mendesak. Sepertinya Kencana memang belum bisa tenang. Gadis ini memang
terlalu pendiam, tidak suka bicara kalau tidak didahului.
Mereka terus saja melangkah perlahan-lahan menembus hutan yang cukup lebat
Pohon-pohonnya terlalu tinggi dan rimbun, menghalangi cahaya mata hari. Udara di
hutan ini terasa lembab sehingga lumut dan jamur tumbuh subur pada batang-batang
pohon dan bebatuan. Sampai tengah hari, mereka baru berhenti. Dan itu pun sudah
sampai di tepi hutan.
Memang benar apa yang dikatakan Kencana. Tidak jauh di depan, mengalir sebuah
sungai kecil yang aimya jernih.
"Hm.... Tidak terlalu sukar menyeberangi sungai ini," gumam Rangga seraya
melangkah lebih ke tepi.
"Sungai ini memang dangkal. Dulu sering dipakai penduduk Desa Sintruk untuk
mandi dan mencuci,"
sambung Kencana tanpa diminta
"O...," Rangga mengernyitkan keningnya menatap Kencana yang sudah berada di
sampingnya. Kencana seperti tidak tahu kalau tengah dipandangi. Wajahnya tetap lurus ke
depan, tapi tatapan matanya kosong ke seberang sungai. Rangga juga mengalihkan
Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pandangannya ke sana.
"Yuk...?" ajak Rangga.
Kencana tetap diam, tapi kakinya melangkah juga menyeberangi sungai itu. Rangga
mengikutinya dari belakang sambil menuntun kuda hitamnya. Mereka tidak mendapat
kesulitan sama sekali ketika
menyeberangi sungai kecil ini. Dasarnya begitu dangkal, dan aimya sejuk jemih
mengalir tenang.
Mereka langsung saja berjalan begitu keluar dari sungai, dan tanpa bicara lagi.
*** Rangga jadi heran setengah mati melihat Kencana tiba-tiba menangis begitu tiba
di depan sebuah rumah yang cukup besar di Desa Sintruk Desa yang tampak sunyi
senyap dan tidak berpenghuni sama sekali. Beberapa rumah tampak hancur, dan
sebagian lagi sudah roboh rata dengan tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu menepuk
pundak Kencana yang masih terisak memandangi rumah besar itu.
"Kenapa, Kencana?" tanya Rangga lembut.
"Tidak..., tidak apa-apa. Yuk, jalan lagi," jawab Kencana seraya mengayunkan
kakinya. Tapi Rangga cepat menarik tangan gadis itu, dan menahannya. Belum sempat Rangga
membuka mulut, mendadak dari dalam rumah besar itu melesat bayangan yang langsung
menerjang mereka. Cepat sekali Rangga melompat ke samping sambil menarik tubuh
Kencana. Untunglah terjangan itu luput dari sasaran. Rangga mendorong tubuh
gadis itu agar berlindung ke balik tembok yang berlumut
"Tunggu...!" seru Rangga ketika melihat seorang perempuan setengah baya sudah
bersiap hendak menyerangnya kembali. Wanita berbaju ketat warna kuning gading
itu telah menghunus sebilah pedang pendek yang tipis, agak kehitaman. Diurungkan
niatnya untuk menyerang setelah mendengar bentakan Rangga.
"Siapa kau" Kenapa menyerangku?" tanya Rangga.
"Tidak periu banyak tanya, Anak Muda! Siapa pun yang berani masuk ke sini harus
mampus!" ujar wanita setengah baya itu ketus.
"Kenapa" Apakah daerah ini terlarang?" tanya Rangga tidak mengerti.
Saat itu Kencana keluar dari persembunyiannya.
Wanita setengah baya itu menatap gadis berpakaian koyak yang baru muncul dari
balik tembok. Pada saat yang sama, Kencana juga menatap ke arahnya.
Sesaat mereka saling tatap. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi semakin tidak
mengerti. "Ibu...," desis Kencanan lirih.
"Kencana, Anakku...."
Tiba-tiba saja kedua wanita itu berlari, dan saling berpelukan erat sambil
mendesis lirih. Rangga hanya memperhatikan, tapi kepalanya dipenuhi tanda tanya
besar. Sungguh tidak bisa dipahami semua kejadian ini. Kencana memanggil wanita
setengah baya itu dengan sebutan Ibu. Sedangkan sebaliknya, wanita itu memanggil
anak pada Kencana. Apakah
mereka..."
Rangga belum berpikir lebih jauh lagi, tapi Kencana dan wanita setengah baya Itu
sudah melepaskan pelukannya. Mereka sama-sama menatap pada Pendekar Rajawali
Sakti. Kencana melangkah menghampiri sambil memegangi tangan wanita setengah
baya itu. "Ibu..., dia yang menolongku keluar dari mereka,"
tegas Kencana, memahami apa yang tengah
dipikirkan ibunya.
Rangga menganggukkan kepalanya sedikit, tapi benaknya tetap diliputi berbagai
macam pertanyaan.
Dijulurkan tangannya yang kemudian disambut wanita itu. Rangga menyebutkan
namanya dan melepaskan tangannya kembali.
"Aku Nyai Talut. Terima kasih atas pertolonganmu membebaskan anakku," ucap
wanita setengah baya itu memperkenalkan diri. Tapi nada suaranya agak tersendat.
"Maaf kalau tadi aku tidak ramah padamu, Den..."
"Rangga, Nyai. Panggil saja aku Rangga," potong Rangga mendengar suara Nyai
Talut terputus.
"Mari, sebaiknya kita ke dalam," ajak Nyai Talut Rangga tidak menolak, lalu ikut
melangkah di belakang Nyai Talut dan Kencana. Dua wanita itu berjalan sambil
berangkulan mesra. Sedangkan Rangga memperhatikan saja dari belakang. Mereka
masuk ke dalam rumah besar berdinding batu.
Sejenak Rangga memandangi bagian dalam rumah ini. Keadaannya sangat kotor,
seperti cukup lama tidak pernah terjamah tangan. Sarang laba-laba menyemati
bagian atas, ditambah debu yang menebal. Hampir semua perabotannya hancur berserakan di lantai. Nyai Talut membawa masuk ke ruangan lain, dan tibalah mereka
pada salah satu kamar yang cukup bersih. Sebuah kamar tidur dengan ranjang cukup
besar. Di situ juga ada seperangkat meja kursi yang terletak di bawah jendela,
dan lemari besar berukir di salah satu sudut kamar ini. Rangga menghenyakkan
tubuhnya di kursi setelah dipersilakan. Sedangkan Kencana merebah-kan dirinya di
pembaringan. Nyai Talut sendiri hanya duduk saja di tepi pembaringan.
"Bagaimana ceritanya sehingga kau bertemu dengan anakku, Den Rangga?" tanya Nyai
Talut setelah cukup lama berdiam diri.
"Tidak sengaja, Nyai," sahut Rangga yang sengaja menutupi hal yang sebenarnya
sehingga ada di
daerah Selatan ini.
"Ibu..., Raden Rangga masuk ke daerah terlarang itu. Semula aku takut. Tapi
setelah Raden Segara muncul dan menolong kami lari, aku jadi percaya kalau Den
Rangga orang baik, Bu," selak Kencana seraya duduk di samping ibunya.
"Raden Segara..."!" Nyai Talut nampak terkejut
"Benar, Bu. Raden Segara-lah yang selalu melindungiku, dan memintaku untuk
menjadi pelayan pribadinya. Dia orang baik, Bu. Bahkan selalu membelaku dari
mereka yang bermaksud kotor," tutur Kencana.
"Manusia-manusia busuk itu memang harus dibasmi!" dengus Nyai Talut dingin
"Bu...," terputus suara Kencana.
"Apa saja yang telah mereka lakukan padamu, Kencana?" tanya Nyai Talut.
"Mereka tidak melakukan apa apa, Bu. Sungguh...
Raden Segara selalu melindungiku, bahkan juga menolongku melarikan diri," kata
Kencana meng-ulang lagi.
"Apa pun katamu, mereka telah membuat keluarga kita berantakan. Bahkan seluruh
penduduk desa ini telah hancur karenanya. Mereka telah menyengsara-kan dirimu,
menjadikanmu budak! Penghinaan ini harus dibalas, Kencana!" tegas dan bernada
dingin kata-kata Nyai Talut.
Kencana terdiam. Sementara itu Rangga hanya memperhatikan saja tanpa membuka
suara sedikit pun. Dicobanya untuk menelaah setiap pembicaraan kedua wanita itu.
Namun Pendekar Rajawali Sakti masih juga belum bisa mengerti penuh. Apalagi
untuk menghubungkannya dengan tulisan-tulisan pada daun lontar yang membawanya
sampai ke daerah ini.
Daerah yang begitu jauh dari tempat asalnya.
Sementara Rangga masih disibuki dengan pikiran-nya, Kencana bangkit berdiri dan
menghampiri lemari besar, lalu membukanya. Diambilnya seperangkat pakaian,
kemudian gadis itu melangkah keluar dari kamar ini. Nyai Talut juga ikut keluar
setelah memberi pesan agar Rangga jangan pergi dulu sampai mereka kembali.
Rangga hanya mengangguk saja.
*** 3 Dua hari Rangga terpaksa tinggal di dalam rumah besar ini, dan baru sekaranglah
dapat mengetahui keadaan yang telah terjadi di Desa Sintruk yang terletak di
bagian Utara kaki Gunung Sintruk. Desa ini memang telah dihancurkan oleh
sekelompok orang yang menginginkan berdirinya sebuah kerajaan di daerah Selatan
ini. Seluruh penduluk desa telah di-angkut dan dijadikan budak untuk bekerja
paksa membangun daerah Selatan.
Dan perkampungan aneh yang dllihat Rangga ke-marin, merupakan benteng pertahanan
sekelompok orang itu. Bukan hanya Desa Sintruk yang dihancurkan, tapi desa-desa
lain pun mengalami nasib yang sama tanpa terkecuali. Mereka membunuh orang-orang
jompo dan lemah, mengangkut yang masih muda dan kuat. Tidak peduli apakah itu
laki-laki atau perempuan. Sedangkan anak-anak tidak dibutuhkan, sehingga
dibantai habis semuanya.
Darah Pendekar Rajawali Sakti mendidih tatkala mendengar semua penuturan Nyai
Talut dan Kencana itu. Nyai Talut masih beruntung dapat meloloskan diri dari
kekejaman orang-orang liar yang terlalu muluk keinginannya. Hanya saja, dia
tetap bertahan di tanah kelahirannya sambil menunggu saat yang tepat untuk
membalas semua kekejaman ini.
"Sebenarnya bukan aku saja yang berhasil lolos, Den. Masih ada beberapa lagi,
termasuk suamiku yang kini entah berada di mana...," tutur Nyai Talut di suatu
malam saat mereka berada di dalam kamar
yang hanya satu-satunya bisa ditempati.
"Jumlah mereka hanya sedikit, tidak lebih dari dua puluh orang. Kenapa tidak
dapat dilawan?" tanya Rangga.
"Terlalu tangguh, Den. Tubuh mereka besar-besar bagai raksasa. Bahkan juga kebal
terhadap senjata apa pun juga. Desa Sintruk ini juga mempunyai perguruan silat
Tapi semua muridnya, bahkan semua guru kami tewas di tangan mereka. Siapa saja
yang mencoba melawan akan dibunuh tanpa ampun," ujar Nyai Talut, agak pelan
suaranya. "Mereka berasal dari mana?" tanya Rangga yang teringat akan Raden Segara, lakilaki berwajah cukup tampan dan bertubuh tinggi besar setengah raksasa itu.
"Tidak ada yang tahu mereka datang dari mana, Den. Tahu-tahu muncul dan menjarah
harta kami semua. Mereka mendirikan sebuah perkampungan di sebelah Utara Hutan
Nangkil. Bahkan juga membangun rumah-rumah bagai benteng pertahanan.
Hhh.... Kau pasti sudah melihatnya, Den."
"Benar. Memang agak aneh juga bentuknya,"
desah Rangga. Rangga menatap Kencana yang sejak tadi diam saja. Gadis itu hanya duduk di tepi
pembaringan sambil memandang ke luar melalui jendela yang terbuka. Udara malam
yang cukup dingin berhembus kencang menerobos masuk. Kencana tampak cantik
dengan baju biru muda yang agak ketat Namun wajahnya masih terlihat murung,
seolah-olah masih menyembunyikan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang hanya
diketahuinya sendiri.
"Sudah lama aku berusaha mencari bantuan untuk membebaskan seluruh penduduk Desa
Sintruk dari cengkraman mereka, tapi semua usahaku sia-sia saja. Kebanyakan yang kumintakan
bantuan, mengharapkan imbalan yang sangat besar. Sedangkan aku sendiri tidak
punya apa-apa lagi," Nyai Talut mengeluh.
Rangga agak tersentak juga mendengar keluhan itu. Ingatannya langsung tertuju
pada daun-daun lontar yang diterimanya secara aneh dalam beberapa hari ini.
Kalimat-kalimat yang tertera di situlah yang membawanya sampai ke tempat ini.
Rangga mengeluarkan lipatan-lipatan daun lontar dari balik sabuknya, kemudian
menyerahkannya pada Nyai Talut.
Wanita setengah baya itu memandang Rangga tidak mengerti.
"Terus terang, aku sampai ke sini karena mendapat petunjuk seseorang yang tidak
jelas siapa orang-nya. Dia mengirimkan daun-daun lontar ini padaku,"
jelas Rangga. Nyai Talut menerima daun-daun lontar itu, lalu membuka lipatannya satu persatu.
Kencana menghampiri, dan ikut membaca setiap baris kali mat yang tertera pada
daun lontar itu. Sesaat kedua wanita itu menatap Rangga setelah selesai membaca
semua daun lontar itu. Nyai Talut menyerahkan kembali pada Rangga.
"Apakah Nyai yang mengirimkan semua ini?" tebak Rangga. Disimpannya kembali
semua daun lontar itu dalam sabuknya di pinggang.
"'Tidak...," sahut Nyai Talut keheranan.
"Aneh juga ya, Bu. Semua daun lontar itu ada tulisan Mutiara dari Selatan...,"
gumam Kencana seperti bicara kepada dirinya sendiri.
"Dugaanku, itu hanya sebuah kata samaran saja,"
kata Rangga. "Itu bukan nama samaran, tapi sebuah julukan yang sangat terkenal di sini,"
sergah Nyai Talut
"Oh..."!" Rangga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Sudah terlalu lama tidak kudengar lagi namanya.
Yaaah.... Sejak orang-orang liar itu menjarah ke desa ini, Mutiara dari Selatan
seperti menghilang begitu saja. Padahal aku pribadi mengharapkan kemun-culannya
untuk mengenyahkan mereka selamanya,"
ujar Nyai Talut agak pelan suaranya.
"Siapa Mutiara dari Selatan itu?" tanya Rangga.
Belum sempat Nyai Talut menjawab, tiba-tiba mereka dikejutkan suara bergemuruh
dari luar. Suara itu demikian jelas terdengar, dan menggetarkan seluruh isi
kamar ini. Rangga langsung melompat ke jendela, begitu pula Nyai Talut dan
Kencana Mereka membeliak begitu melihat apa yang ada di luar dari jendela kamar
ini. Sementara suara gemuruh itu semakin jelas terdengar.
*** "Hhh! Apa maksudnya mereka datang ke sini...?"
dengus Nyai Talut setengah bergumam.
Di luar sana memang terllhal enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai
raksasa. Pakaian mereka begitu indah, dan berhias manik-manik dari batu mutiara.
Mereka berdiri tegak di depan rumah ini. Di tangan masing-masing tergenggam
sebuah gada berwama kuning emas, yang ujungnya berbentuk bulatan berduri kasar
dan tajam. "Kencana! Tidak ada gunanya bersembunyi! Ke-luarlah kau...!" teriak salah
seorang dengan suara besar menggelegar. Orang itu berdiri paling tengah
menyandang gada besar di pundaknya.
"Ibu...," Kencana jadi bergetar. Wajahnya seketika pucat pasi. Dipeluk ibunya
erat-erat "Tenanglah, Kencana. Mereka tidak akan membawamu kembali. Kau aman bersamaku,"
Nyai Talut berusaha menenangkan anak gadisnya.
"Hm..., dari mana mereka tahu Kencana ada di sini?" gumam Rangga bertanya pada
dirinya sendiri.
"Raden Segara," sergah Nyai Talut menyahut Rangga menatap Nyai Talut dalamdalam, kemudian melirik Kencana. Gadis itu hanya diam saja, namun sinar matanya
menyiratkan bantahan atas dugaan ibunya tadi.
"Bukan hanya Kencana saja yang jadi umpan permainannya. Sudah banyak gadis yang
dilepas, kemudian diburu lagi untuk kesenangan," kata Nyai Talut.
"Bu...," Kencana ingin membantah.
"Kebaikannya hanya sementara, Kencana. Kau akan tahu nanti, siapa sebenarnya
Raden Segara itu.
Dia tidak lebih dari seorang iblis berhati kejam dan licik. Kalau dapat
tertangkap kembali, kau akan diperkosa dan dibunuh!"
Kencana bergidik mendengamya, namun sinar matanya masih juga belum percaya atas
keterangan ibunya itu. Sedangkan Rangga sudah mengalihkan perhatiannya kembali
pada enam orang laki-laki bertubuh setengah raksasa di depan rumah ini. Mereka
mulai bergerak perlahan menghampiri. Rangga membuka jendela lebar-lebar,
kemudian menatap pada Nyai Talut dan Kencana.
"Menyingkirlah sebelum mereka mengetahui," perintah Rangga setengah berbisik
"Sulit menghadapi mereka sendirian, Raden," kata
Nyai Talut. "Aku hanya mengalihkan perhatian mereka sampai kalian berada di tempal yang
aman," tegas Rangga.
"Ayo, Bu. Kita cepat pergi dari sini," desak Kencana ketakutan.
"Baik, hati-hatilah Mereka tidak bisa diajak damai,"
pesan Nyai Talut.
Rangga hanya tersenyum Nyai Talut mengajak anak gadisnya menghampiri pintu
lemari, lalu membukanya. Rangga memperhatikan sebentar. Ternyata itu adalah
sebuah pintu rahasia. Di balik lemari terdapat pintu lain yang langsung menembus
ke sebuah lorong. Nyai Talut bergegas masuk diikuti Kencana.
Mereka menutup kembali pintu lemari itu. Sedangkan Rangga bergegas melompat
keluar dari jendela setelah mematikan lampu ruangan ini.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna,
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung meluruk ke arah enam orang yang tengah
bergerak perlahan mendekati rumah besar ini. Mereka cukup terperanjat, karena
tiba-tiba mendapat serangan dari sebuah bayangan putih yang bergerak begitu
cepat bagai kilat.
Rangga ingat pesan Nyai Talut, dan mempercayai keterangan wanita setengah baya
itu. Enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu berlomatan menghindari
terjangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat. Dan belum lagi sempat
mengatur posisi, Rangga sudah menyerang mereka kembali. Tentu saja enam orang
bagai raksasa itu jadi kelabakan.
Rangga memang menyerang disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang begitu
sempurna, sehingga tidak bisa di ketahui arah dan kapan menyerangnya.
Pekikan melengking dan raungan keras terdengar
Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saling sambut, disertai tubuh-tubuh besar yang bergelimpangan ke tanah. Rangga
tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang. Saat mereka baru
bisa bangkit berdiri, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah cepat menyerang kembali.
"Berpencar...!" seru salah seorang tiba-tiba.
Enam orang itu langsung berlompatan berpencar.
Dan kini Rangga berada di tengah-tengah. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi sangat
gusar, karena tidak mungkin bisa menyerang sekaligus seperti tadi.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa menggelegar.
Rangga langsung menoleh ke arah sumber suara tawa itu. Tampak Raden Segara
berdiri tegak di atas tembok pagar rumah yang tidak begitu tinggi, namun cukup
tebal dan kuat. Sarung pedang panjang dan besar tergenggam di tangan kirinya.
"Raden Segara! Apa yang kau lakukan ini"!" geram Rangga merasa dipermainkan.
"Bocah cilik! Kau harus dihukum berat karena berani membawa lari pelayanku!"
kata Raden Segara keras menggelegar.
"Setan alas! Kau sendiri yang membantu melepaskannya!" bentak Rangga geram
"Ha ha ha...! Aku memang melepaskannya untuk binatang buruan. Tapi kemudian kau
muncul, maka buruanku jadi dua. Ha ha ha...!" Raden Segara tertawa terbahak-bahak.
Rangga menggeram dahsyat, benar-benar marah.
Kata-kata Raden Segara sungguh menyinggung perasaannya. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Rangga segera menggerakkan tangannya di depan dada. Dan seketika
itu.... "Aji 'Bayu Bajra'...!" seni Rangga keras.
Seketika itu juga tangannya menghentak ke arah Raden Segara. Dan bersamaan
dengan itu, meluncur aliran angin deras yang begitu kuat dan dahsyat Dorongan
angin itu langsung menghantam tembok yang dipijak Raden Segara. Tembok itu
langsung hancur berkeping-keping sehingga menimbulkan suara bergemuruh bagai
terjadi gempa. Perkiraan Rangga, tubuh Raden Segara pasti hancur berkepingkeping. Tadi dilihatnya laki-laki bertubuh setengah raksasa itu tidak bergeming
sedikit pun. Namun yang terjadi sungguh membuat Pendekar Rajawali Sakti
membeliak tidak percaya.
"Setan...!" geram Rangga.
Raden Segara masih tetap berdiri tegak di atas reruntuhan tembok batu itu.
Bahkan malah tertawa terbahak-bahak dan bersikap meremehkan. Rangga segera
menghimpun kembali ajiannya, dan cepat sekali dilontarkan kembali aji 'Bayu
Bajra' dengan kekuatan penuh.
"Ha ha ha...!"
Kembali Rangga terkejut. Jelas kalau gempuran-nya menghantam tubuh tinggi besar
itu, namun sama sekali Raden Segara tidak bergeming! Manusia setengah raksasa
itu benar-benar kebal, tidak mempan meskipun digempur ilmu kesaktian yang
tangguh. "Hm.... Akan kucoba dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'," gumam Rangga
dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti itu segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' pada tingkat terakhir. Begitu dahsyatnya jurus itu, sehingga kedua
kepalan tangannya berubah menjadi merah membara bagai terbakar. Dan Pendekar
Rajawali Sakti itu langsung melompat sambil berteriak keras menggelegar. "Hiyaaat..!"
*** Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada Raden Segara yang tidak bergeming sedikit pun. Bahkan menerima
pukulan itu tanpa membalas sama sekali. Namun yang terjadi sungguh di luar
dugaan. Pendekar Rajawali Sakti malah terpental ke belakang begitu pukulannya
menghantam dada laki-laki tinggi besar setengah raksasa itu.
Dua kali Rangga berputar di udara, kemudian manis sekali mendarat. Hampir tidak
dipercaya kalau pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
dapat berbalik. Seakan-akan baru saja memukul segumpal kapas yang begitu lunak.
Jurus ampuhnya seperti teredam begitu saja.
"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Rangga. Ha ha ha...!" Raden Segara tertawa
mengejek. Bahkan enam orang yang sejak tadi diam, juga ikut tertawa terbahakbahak Rangga jadi geram karena dua serangannya tidak berarti sama sekali bagi manusia
setengah raksasa, tapi berwajah cukup tampan itu. Rangga jadi ingat akan katakata Nyai Talut padanya. Semua kata-kata wanita setengah baya itu bukan bualan
belaka. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti merasakannya sendiri.
"Bunuh dia...!" perintah Raden Segara.
Enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar, langsung beriompatan menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Gada mereka yang besamya melebihi paha orang dewasa,
berdesiran cepat menimbulkan suara
bergemuruh. Rangga beriompatan menghindari serangan dahsyat yang datang bertubi
tubi. Setiap kali gada menghantam tanah, langsung berlubang membuat bumi
bergetar. Tembok dan rumah rumah hancur terkena sambaran gada berduri enam orang
setengah raksasa itu.
Tidak mudah bagi Pendekar Rajawali Sakti menghadapi enam orang lawannya kali
ini. Beberapa pukulannya berhasil disarangkan telak, namun enam orang laki-laki
bertubuh tinggi besar itu tidak terpe-ngaruh sama sekali. Gerakan mereka memang
tidak gesit, tapi tubuhnya begitu kebal. Rangga benar-benar kewalahan, tapi
tidak mungkin bisa bertahan lama dalam keadaan seperti ini. Semua jurus
andalannya sudah dikeluarkan, tapi tidak satu pun yang berguna.
Enam orang bertubuh besar setengah raksasa itu terus merangsek semakin ganas.
Namun sampai sejauh ini, belum ada yang dapat menghantam Pendekar Rajawali
Sakti. Padahal pemuda berbaju rompi putih itu sudah kewalahan. Sementara itu
Raden Segara memperhatikan pertarungan itu dari tempatnya berdiri.
"Cukup!" bentak Raden Segara tiba-tiba.
Enam orang yang menyerang Rangga, serentak berlompatan mundur. Tanpa diduga,
Rangga masih sempat melontarkan satu pukulan telak pada salah seorang dari
mereka, dan tepat mengenai bagian mata. Orang itu meraung keras sambil menutupi
wajahnya. Pukulan itu tepat menghantam di antara kedua matanya.
Tampak yang lain begitu terkejut, begitu pula Raden Segara. Orang itu
menggerung-gerung bergulingan di tanah. Tampak darah mengucur keluar dari kening
di atas hidungnya. Rangga sendiri tidak
mengerti, mengapa pukulannya kali ini membuat lawannya bergulingan dan
mengucurkan darah.
Padahal sudah tidak terhitung lagi pukulan dan tendangan bertenaga dalam penuh,
berhasil disarangkan pada tubuh lawannya, tapi tidak ada satu pun yang berarti
banyak. Dan ldni, pukulan ter-akhirnya ini.... Padahal tadi dilepaskan dengan
pengerahan tenaga setengah, tapi malah berakibat di luar dugaan sama sekali.
"Keparat! Kau lukai orangku!" geram Raden Segara seraya melompat ke depan
beberapa tombak jauhnya.
Pemuda berwajah tampan dan bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu, menjejak
bumi begitu keras.
Tubuhnya melesat, dan mendarat tepat sekitar lima langkah lagi di depan Rangga.
Bumi jadi bergetar bagai gempa. Rangga sempat terkejut juga, lalu melangkah
mundur setindak.
"Kau harus membayar mahal, setan cilik!" dengus Raden Segara sambil menahan
kemarahannya, melihat salah seorang pembantunya terluka menggerung-gerung di
tanah. Lima orang lainnya segera membantu temannya yang masih menggerung-gerung
menutupi wajahnya.
Darah semakin banyak keluar dari luka di antara kedua mata orang itu Raden
Segara memberi isyarat agar dua orang itu membawa pergi orang yang teriuka.
Sedangkan tiga orang lainnya segera bergerak mengepung Pendekar Rajawali Sakti
Rangga menyadari kalau semua lawannya diliputi kemarahan yang meluap-luap aklbat
salah seorang dari mereka teriuka. Dan Rangga juga mengetahui kelemahan mereka
sekarang. Seluruh bagian tubuh orang-orang tinggi besar ini memang kebal. Tapi
pada bagian di antara kedua mata jelas adalah kelemahan mereka!
"Hm..." Rangga bergumam perlahan. Dipandangi-nya empat orang yang sudah
mengepungnya. "Bunuh dia...!" seru Raden Segara memberi perintah.
"Yaaah...!"
Tiga orang serentak beriompatan sambil mengayunkan gada yang besamya bukan main.
Rangga melompat melentingkan tubuhnya menghindari hantaman gada itu, yang
langsung menghajar tanah hingga berlubang. Pada saat itu, "Rangga mengerahkan
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras melengking, Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak menukik
dan kedua kakinya bergerak cepat berputar. Ketiga orang itu terperangah, karena
sepasang kaki itu jelas meng-incar bagian tengah-tengah mata. Cepat-cepat mereka
berlompatan menghindar.
Tapi Rangga tidak membiarkan begitu saja. Begitu kakinya menjejak tanah, dengan
cepat diganti jurus-nya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', dan langsung
diarahkan ke wajah salah seorang yang berada di depannya.
"Ah...!" orang itu terperangah.
Namun belum juga pukulan Rangga mencapai sasaran, dengan cepatnya Raden Segara
melompat sambil mengibaskan pedang yang panjang dan besar.
Satu desiran angin keras membuat Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang,
menggagalkan serangannya. Dan belum lagi kaki Pendekar Rajawali Sakti itu
menjejak tanah, salah seorang sudah melompat sambil mengayunkan gadanya.
"Hait..!"
Rangga tidak bisa lagi berkelit. Cepat-cepat di-sampoknya gada itu dengan satu
tendangan keras.
Tapi Rangga malah memekik keras. Kakinya seperti remuk begitu menendang gada
itu. Buru-buru tubuhnya melompat ke atas, dan hinggap di atap rumah. Secepat itu
pula dilentingkan tubuhnya, dan langsung lenyap ditelan kegelapan malam.
"Kejar...! Jangan biarkan lolos!" seru Raden Segara memerintah.
Tiga orang pembantunya segera beriarian
mengejar. Dan Raden Segara sendiri bergegas melangkah menghampiri jendela kamar
yang terbuka lebar tempat Rangga keluar tadi. Raden Segara melompat masuk. Tak
lama, terdengar suara ribut dari barang-barang yang terbanting Sebentar kemudian
laki-laki tinggi besar itu sudah melompat kembali keluar. Wajahnya merah padam.
"Setan keparat..! Kubunuh kalian semua...!" teriak Raden Segara keras.
Begitu kerasnya teriakan Itu, sehingga suaranya menggelegar terpantul Gunung
Sintruk yang membelakangi desa ini. Raden Segara bergegas melompat mengejar ke
arah Rangga melailkan diri tadi. Malam yang semula bising oleh suara
pertempuran, kini jadi sunyi senyap bagai tidak pernah terjadi apa-apa di tempat
itu. *** 4 Rangga duduk merenung sendiri sambil memandang ke arah Desa Sintruk. Diyakini
kalau ini adalah tujuannya yang terakhir dari pesan pesan yang tertulis di atas
selembar daun lontar. Sejak sampai di desa itu, tidak ada lagi pesan-pesan yang
diterimanya. Hanya saja masih belum dimengerti, untuk apa orang yang menamakan diri Mutiara
dari Selatan itu menggiringnya ke tempat ini" Tempat yang aneh dengan peristiwaperistiwa yang membuat kepalanya serasa akan pecah. Dan kini dia sendiri tidak
tahu di mana kini berada.
"Kencana...," desis Rangga tiba-tiba.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu Rangga teringat gadis yang ditolongnya
sehingga membuatnya sekarang ada di tempat sunyi mengerikan ini.
Tempat ini ditumbuhi pohon-pohon besar yang sepertinya tidak pernah terjadi
siang. Sepertinya selalu diselimuti gelap. Rangga sendiri jadi heran.
Sejak masuk ke Desa Sintruk, suasana di sekitar Gunung Sintruk ini selalu
terlihat malam.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas bangkit berdiri, tapi sesaat kemudian
menjadi tercenung. Dia tidak tahu, di mana Kencana dan ibunya kini berada.
Apalagi untuk mengetahui, di mana tembusan jalan rahasia yang dimasuki kedua
wanita itu. Jalan satu-satunya hanya melalui rumah itu kembali. Tapi tidak
mungkin. Rumah itu sekarang ini pasti tengah diawasi.
Selagi Pendekar Rajawali Sakti kebingungan,
mendadak sebuah benda keperakan meluncur pesat ke arahnya. Dengan sigap sekali
Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke belakang, dan tangannya langsung bergerak
nuMinngkap benda itu.
"Panah perak..." desis Rangga.
Langsung diambilnya daun lontar yang terikat di tengah-tengah batang panah
berwarna perak itu.
Keningnya berkerut membaca tulisan di atas daun lontar itu. " Berjalanlah
membelakangi Desa Sintruk.
Kau akan menemukan sebuah kuil tua. Tunggu di sana!" Rangga membaca dengan suara
pelan. "Huh! Apa maksudnya orang ini...?" dengus Rangga jadi kesal sendiri.
Daun lontar itu diselipkan di balik sabuknya, menyatu dengan daun-daun lontar
sebelumnya. Sebentar Rangga memandangi sekitarnya, lalu berbalik membelakangi
arah Desa Sintruk. Kakinya mulai melangkah pergi. Meskipun benaknya dipenuhi
berbagai macam pertanyaan, namun Rangga tetap menuruti kata-kata yang tertera
pada daun lontar itu.
Hatinya memang semakin penasaran. Apa sesung-guhnya yang diinginkan orang itu"
Memberi petunjuk tanpa jelas maksudnya lewat selembar daun lontar pada sebatang
anak panah perak.
Namun belum lagi Rangga jauh berjalan, mendadak sebuah bayangan berkelebat di
depannya. Dan kini, tahu-tahu di depan Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berdiri
seorang perempuan tua yang ber-tongkat warna perak. Rangga terkejut juga atas
kemunculan perempuan tua berbaju kumal itu.
"Kau benar-benar keras kepala, bocah!" dingin nada suara perempuan tua itu.
"Kenapa kau selalu menggangguku, Nisanak?"
tanya Rangga, kesal juga terhadap perempuan tua ini.
Kemunculannya selalu membuat masalah, dan selalu menghalangi kepergiannya ke
daerah Selatan ini.
Sama sekali Rangga tidak tahu, apa keinginan perempuan tua yang tidak pernah
bersedia menyebut-kan namanya itu.
"Karena kau terlalu angkuh dan keras kepala, Pendekar Rajawali Sakti!" sahut
wanita tua itu ketus.
"Nisanak. Aku tidak kenal siapa dirimu. Aku juga tidak tahu apa maksudmu selalu
menghalangi jalanku. Sebelumnya belum pernah kita bertemu, kecuali waktu itu.
Dan kau muncul langsung membuat persoalan. Katakan yang sebenarnya, siapa
dirimu" Dan apa maksudmu selalu menghalangi" Apa tujuan-mu sebenarnya...?" Rangga
memborong semua pertanyaan dan kekesalan hatinya.
"Dasar bodoh! Seharusnya kau sudah bisa mengerti, Pendekar Rajawali Sakti!"
"Jangan berbelit-belit, Nisanak. Siapa kau ini sebenarnya?" desak Rangga tidak
sabar. "Kau lihat tongkatku ini, bocah...?" perempuan tua itu menunjukkan tongkat
peraknya. "Aku dikenal dengan nama si Iblis Tongkat Perak!"
Wanita tua yang memperkenalkan nama julukannya itu jadi tertegun, karena apa
yang diharapkan me-leset sama sekali. Semula diduganya pemuda itu bakal terkejut
mendengar namanya. Tapi. Rangga kini malah tersenyum senyum. Iblis Tongkat Perak
menghentakkan tongkatnya ke tanah, tepat dl ujung kakinya.
"Nama yang hebat. Cocok untuk menidurkan anak kecil," dengus Rangga sinis.
"Kadal! Harus kau bayar penghinaan ini, bocah keparat!" geram si Iblis Tongkat
Perak marah. "Lantas, kapan akan kau bayar keusilanmu?"
tantang Rangga berbalik.
"Aku bukan usil, tapi memperingatkanmu!"
"O, ya " Dengan cara menghambat perjalananku"
Begitu" Nisanak, sudah dua kali kau halangi jalanku.
Untuk apa kau lakukan itu?" selidik Rangga.
"Kau sendiri, apa maksudmu ke daerah Selatan ini?" Iblis Tongkat Perak malah
balik bertanya.
"Bukan urusanmu!" dengus Rangga sengit "Kau selalu menghalangi perjalananku.
Kenapa masih bertanya juga" Kau pasti sudah tahu jawabannya!"
"Bocah sombong!"
Iblis Tongkat Perak menghentakkan tongkatnya ke tanah. Perlahan-lahan diangkat
tongkat berwarna perak itu. Satu ujungnya ditujukan lurus ke arah dada Pendekar
Rajawali Sakti. Saat itu bisa ditebak kalau wanita tua itu menginginkan
pertarungan. Pendekar Rajawali Sakti segera bersiap-siap menyambut serangan
Iblis Tongkat Perak.
*** "Kau tidak akan berhasil, bocah. Kembalilah! Ini peringatanku yang terakhir!"
Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tegas dan dingin sekali nada suara si Iblis Tongkat Perak.
"Juga terakhir bagimu menghalangiku, Iblis Tongkat Perak!" sambut Rangga tidak
kalah dingin-nya.
"Kepala batu! Terimalah kematianmu! Hiyaaa...!"
Perempuan tua itu tidak mungkin menarik
serangannya kembali. Dia berteriak keras dan melompat cepat sambil mengibaskan
tongkatnya ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga yang sudah siap
sejak tadi, hanya menarik kepalanya sedikit ke belakang.
Di luar dugaan, Iblis Tongkat Perak cepat menusukkan tongkatnya begitu
kibasannya melewati sasaran. Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan.
Pada saat itu juga ditarik kakinya ke belakang.
Dan dengan kecepatan kilat, dihentakkan kakinya ke depan.
"Uts...!"
Iblis Tongkat Perak terperanjat. Buru-buru ditarik tubuhnya ke belakang
selangkah, dan langsung dikibaskan tongkatnya ke arah kaki Pendekar Rajawali
Sakti. Namun kaki itu bisa berputar, seraya mengikuti arah kibasan tongkat itu.
Dan begitu kaki Rangga menapak tanah, langsung dilentingkan tubuhnya ke depan
setelah ujung kakinya bertumpu pada tanah. Segera saja dikirimkan satu tendangan
keras bertenaga dalam sangat tinggi.
"Keparat!" dengus Iblis Tongkat Perak terkejut Buru-buru tubuhnya dibanttng ke
tanah dan bergulingan beberapa kali, lalu cepat-cepat melompat bangkit.
Sementara itu Rangga sudah berdiri tegak dan bersikap menantang. Iblis Tongkat
Perak mendengus kesal menyemburkan ludahnya. Sepasang matanya merah menyala
bagai bola api yang hendak membakar hangus tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Jangan bangga dulu dengan ilmu picisanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti.
Rasakanlah tongkatku ini.
Yaaat..!" Iblis Tongkat Perak kembali melompat sambil mengirimkan serangan
beruntun. "Hup! Hiyaaa...!"
Untuk menghadapi serangan itu, Rangga mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib'. Satu jurus yang mengandalkan kecepatan dan kelincahan gerak kaki. Itu
pun masih diimbangi kelenturan tubuh dalam
menghindari setiap serangan yang datang. Beberapa kibasan maupun tusukan tongkat
perak itu, dapat di-hindarkan dengan mudah. Hal itu membuat si Iblis Tongkat
Perak semakin bertambah berang.
Jurus demi jurus berlalu cepat Namun Iblis Tongkat Perak belum juga mampu
mendesak Pendekar Rajawali Sakti yang hanya berkelit dan meng hindar tanpa
memberikan perlawanan sama sekali Namun begitu, tidak mudah bagi Iblis Tongkat
Perak men-jatuhkannya. Untuk mendesak saja sampai saat ini belum bisa
dilakukannya. Dia tidak tahu kalau Rangga masih mempelajari setiap jurus yang
dikeluarkan Iblis Tongkat Perak.
"Hap! Lepas...!"
Tiba-tiba saja Rangga berseru nyaring. Tepat ketika ujung tongkat Iblis Tongkat
Perak mehusuk ke arah dada, Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke
samping. Dan tanpa diduga, tangan kanannya menghentak cepat Iblis Tongkat Perak
terperanjat setengah mati. Buru-buru ditarik pulang tongkatnya.
Namun gerakannya terlambat! Dupakan tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat
mengenai bagian tengah tongkat berwarna perak itu.
"Ikh!" Iblis Tongkat Perak memekik tertahan.
Tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai tingkat
sempurna. Aki-batnya tongkat Iblis Tongkat Perak terlepas begitu terhantam pukulan
Pendekar Rajawali Sakti itu.
Perempuan tua berjubah kumal Itu langsung melompat mengejar tongkat peraknya.
Namun secepat kilat, Rangga melesat mengejar pula. Buk! Buk!
Dalam keadaan tubuh melesat ke udara, Rangga masih sempat mengirimkan dua
tendangan keras ke arah perempuan tua itu. Tendangan yang tak terduga
sama sekali itu mendarat telak dl bagian dada dan perut Iblis Tongkat Perak
terpekik tertahan. Tubuhnya langsung terjungkal keras ke tanah
"Hup!"
Tap! Tangkas sekali Rangga menangkap tongkat lawannya yang melayang tinggi ke
angkasa. Tubuhnya segera meluruk turun dengan tangan terkembang.
Bersamaan dengan tergulingnya tubuh perempuan tua berjuluk Iblis Tongkat Perak
Itu, sepasang kaki Pendekar Rajawali Sakti menapak tanah, dan langsung melesat
ke arah tubuh warpa tua itu.
"Oh...!" Iblis Tongkat Petak terperanjat.
Ujung tongkat berwarnp perak yang runcing telah tertekan ke bagian tenggolokan
perempuan tua itu.
Saat itu, tubuhnya memang masih belum sempat bangkit. Apalagi Pendekar Rajawali
Sakti juga berada tepat di sampingnya. Iblis Tongkat Perak menatap tajam penuh
kebencian dan dendam atas kekalahan-nya ini, namun tidak bisa berbuat lebih.
Sedikit saja melakukan gerakan, ujung tongkatnya sendiri bisa memanggang
lehernya. "Jawab pertanyaanku sejujur-jujurnya, atau kau tewas dengan senjatamu sendiri!"
ancam Rangga tanpa tekanan nada suara sedikit pun.
"Huh!" Iblis Tongkat Perak hanya mendengus saja.
"Kenapa kau selalu membuntutiku, perempuan iblis?" tanya Rangga datar dan dingin
nada suaranya "Jawablah sendiri!" sahut Iblis Tongkat Perak ketus.
Rangga menekan ujung tongkat itu lebih keras.
"Ukh!" Iblis Tongkat Perak mengeluh pendek.
Ujung tongkat yang runcing itu mulai menyayat kulit leher perempuan tua itu.
Darah mulai merembes keluar. Iblis Tongkat Perak meringis menahan rasa
perih pada bagian lehernya yang tergores sedikit.
"Siapa yang memerintahmu untuk mengikutiku?"
tanya Rangga lagi lebih dingin
"Tidak ada seorang pun yang dapat memerintah-ku, bocah setan!" sahut Iblis
Tongkat Perak sinis.
"Lalu, apa maksudmu menghalangiku?" desak Rangga.
"Sudah kukatakan, kau bisa jawab sendiri!"
"Hhh...! Aku tidak yakin kepalamu sekeras baru, perempuan iblis!" ancam Rangga.
"Tidak ada gunanya mengancamku, bocah. Kau pikir kematian membuatku gentar" Ha
ha ha...!" Iblis Tongkat Perak malah tertawa terbahak-bahak.
Lalu, tiba-tiba saja tubuh perempuan tua itu menggerinjang, dan menusukkan
sendiri lehernya ke ujung tongkat itu. Rangga terkejut. Buru-buru ditarik
tongkatnya, tapi terlambat. Kepala Iblis Tongkat Perak ikut terangkat saat
dihentakkan tongkat yang sudah memanggang leher perempuan tua itu hingga tembus
ke belakang. Dengan kesal, Rangga mencampakkan tongkat yang telah menembus leher Iblis
Tongkat Perak. Wanita tua Itu langsung diam tidak bergerak-gerak lagi. Lehernya terpanggang
tongkatnya sendiri. Darah mengucur deras dari leher yang terpanggang. Rangga
mendengus kesal, dan menghentakkan kakinya ke tanah.
*** Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak menginginkan kematian perempuan tua
yang berjuluk Iblis Tongkat Perak itu. Masalahnya belum sempat diper-oleh apaapa darinya. Dengan perasaan kesal dan
kemarahan yang meluap, Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah pergi meninggalkan
mayat Iblis Tongkat Perak.
Tanpa diketahui, sepasang bola mata yang tersembunyi di balik semak
memperhatikan semua keja-dJan itu. Jaraknya memang cukup jauh. Mata itu juga
memperhatikan langkah Pendekar Rajawali Sakti yang terus menuju Selatan. Dan begitu tubuh Rangga lenyap, pemilik sepasang mata itu
menampakkan diri.
Dia kemudian langsung melesat cepat bagaikan kilat ke arah Selatan, ke arah
Pendekar Rajawali Sakti pergi.
"Bagus! Usahaku tidak sia-sia...," dia bergumam pelan sebelum pergi ke arah
Selatan. Gerakannya begitu cepat, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap bagai asap.
Sementara itu Rangga yang berjalan cepat dan sudah begitu jauh, semakin masuk ke
dalam hutan menuju arah Selatan.
Kelihatannya berjalan biasa, namun gerakan kakinya begitu ringan. Seolah-olah
jalannya tidak menapak tanah. Rangga memang berjalan menggunakan ilmu
meringankan tubuh agar lebih cepat sampai ke tujuan.
Langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti itu terhenti ketika di depannya menghadang
sebuah bangunan kuil yang tidak begitu besar. Kuil itu terbuat dari tumpukan
batu yang diukir indah. Hanya sayangnya seperti tidak terurus. Buktinya halaman
kuil dikotori oleh dedaunan kering dan rumput-rumput liar.
Bahkan hampir seluruh dindingnya tertutup lumut tebal.
"Hm.... Inikah tempat yang dimaksud...?" Rangga bergumam pelan.
Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah
perlahan-lahan mendekati kuil tua itu. Tatapan matanya tajam beredar ke
sekeliling. Rangga diam-diam juga mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Suara sekecii apa pun, bisa tertangkap oleh pen-dengarannya.
"Hm... Aku mendengar tarikan napas ringan di belakang," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja melangkah mendekaii kuil itu. Dan begitu
sampai di depan undakan baru, tubuhnya cepat melesat ke atas, dan langsung
menyelinap di balik batu-batu kuil itu.
Sesaat suasana menjadi sunyi sepi. Tidak sedikit pun terdengar suara, kecuali
desiran angin Tidak berapa lama berselang, muncul seorang berpakaian ketat putih yang
menonjolkan lekuk-lekuk tubuhnya. Ayunan kakinya ringan tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Tarikan napasnya juga halus, sampai-sampai sukar didengar telinga
biasa. Orang itu tetap melangkah ringan dan perlahan mendekati kuil.
Dan begitu kakinya baru menapak undakan batu pertama, tiba-tiba melesat sebuah
bayangan menghadangnya.
"Hait..!"
Orang berpakaian ketat putih itu melompat mundur dan langsung menarik pedangnya
yang ter-gantung di pinggang. Tapi begitu mengetahui siapa yang kini berdiri di
depannya, tiba-tiba dimasukkan kembali pedangnya. Sedikit dibungkukkan tubuhnya
untuk memberi hormat.
Rangga yang tadi melompat menghadang, jadi heran akan sikap orang berpakaian
putih itu. Wajahnya tidak teriihat jelas karena tertutup caping yang cukup
besar. Terlebih lagi cara memakai caping dari anyaman bambu itu agak diturunkan
ke depan. Tapi Rangga dapat memastikan kalau dia seorang wanita.
Bentuk tubuhnya yang ramping dan dadanya mem-bukit, sudah mengisyaratkan itu
adalah wanita. "Siapa kau?" tanya Rangga tetap bersikap waspada.
Beberapa peristiwa yang dialaminya selama dalam perjalanan ke Selatan ini,
membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi lebih hati-hati. Rangga menapak turun
dari undakan baru itu, dan baru berhenti setelah jaraknya dengan wanita berbaju
putih itu tinggal sekitar satu batang tombak.
"Salam hormatku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap wanita bercaping itu halus.
Sekali lagi dibungkukkan tubuhnya memberi hormat
"Hm.., kau tahu namaku. Siapa kau ini sebenarnya?" tanya Rangga tanpa membalas
salam hormat itu.
"Sebentar lagi kau akan tahu. Tunggulah barang beberapa saat lagi," sahut wanita
itu. Suaranya tetap halus dan lembut.
Rangga ingin membuka suara lagi, tapi tiba-tiba terdengar suara lonceng kecil
yang panjang dan tiada henri. Suara lonceng itu tidak jelas berasal dari arah
mana. Sepertinya datang dari segala penjuru. Rangga memiring-miringkan
kepalanya, mencoba mencari sumber suara itu mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan
Suara'. Tapi, tetap saja suara itu mem-bingungkannya.
Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu dapat menentukan suara lonceng itu,
muncul seseorang dari balik semak belukar yang berada di bagian kanan puri ini.
Seorang laki laki bertubuh gemuk dan pendek. Perutnya buncit seperti bola.
Kepalanya gundul dengan kalung dengan manik-manik besar
berwarna hitam melingkar di lehernya. Tangan kanannya menggenggam sebatang
tongkat kayu coklat yang bagian atasnya tersimpul sebuah lonceng kecil
Laki-laki gemuk berpakaian seperti pendeta itu melangkah ringan mendekati
Rangga. Sebentar kemudian dia sudah berdiri di tengah tengah antara Pendekar
Rajawali Sakti dengan wanita berbaju putih dan bercaping besar itu. Suara
lonceng berhenti, bersamaan dengan berhentinya langkah kaki laki-laki gemuk
berpakaian pendeta itu.
"Puji bagi Sang Hyang Widi yang memberkati seluruh umat manusia di Mayapada
ini...," ucap laki-laki gemuk itu ringan. Namun nada suaranya jelas terdengar
penuh kewibawaan.
Laki-laki berpakaian pendeta dan berkepala gundul itu berpaling menatap Rangga,
kemudian berpaling menatap wanita berbaju putih yang belum juga membuka
capingnya. Kepalanya pun mengangguk beberapa kali. Digerakkan tangan kanannya
yang memegang tongkat, maka suara lonceng pun terdengar kecil, namun begitu
nyaring menggema.
Tepat ketika suara lonceng itu berhenti, tiba-tiba dari dalam kuil bermunculan
orang-orang yang membawa golok di pinggangnya Mereka berdiri berjajar lalu
membungkukkan tubuhnya pada laki-laki gemuk itu. Dan tidak berapa lama kemudian,
muncul lagi beberapa wanita serta anak-anak Rangga hampir terpekik begitu
melihat Nyai Talut dan Kencana ada di antara kelompok para wanita dan anak-anak
itu. Dan sebelum Rangga bisa mengerti semua ini, muncul lagi seorang pemuda
tampan diikuti seorang wanita cantik memakai baju sama berwarna biru muda.
Masing-masing di punggungnya tersampir sekantung
anak panah berwarna perak. Sedangkan busurnya juga dari perak, yang tergenggam
Pedang Kiri 5 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Pangeran Perkasa 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama