Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah Bagian 3
sempurna. "Hik hik hik...!"
*** 7 Nyi Rongkot atau si Ular Betina menghentikan larinya ketika mendengar suara
pertarungan di tengah-tengah Hutan Gading. Sebentar dimiringkan kepalanya
mencoba untuk mencari arah sumber suara pertarungan itu. Kakinya kembali terayun
setelah dapat memastikan arah suara itu.
Matanya mengernyit saat melihat kelebatan-kele-batan sinar keemasan. Tampak dua
orang sedang bertarung
menggunakan senjata masing-masing. Dari ayunan berat disertai suara gemuruh,
dapat diketahui salah satu dari yang bertarung itu adalah si manusia liar Buto
Dungkul. Sedangkan yang menggenggam pedang mengeluarkan
cahaya keemasan adalah Dewa Pedang Emas. Sejak
semalam hingga pagi ini mereka sudah bertarung puluhan jurus. Namun belum ada
yang tampak terdesak. Masing-masing melancarkan serangan yang cukup berbahaya
dan mematikan. Nyi rongkot menurunkan tubuh Sekar Telasih dari pon-dongannya.
"Hm..., Dewa Pedang Emas. Benar-benar nama yang patut diperhitungkan oleh Buto
Dungkul," gumam Nyi Rongkot.
Perkiraan Nyi Rongkot memang tepat. Dalam beberapa jurus kemudian, tampak Buto
Dungkul terdesak terus-menerus. Pantas saja kalau mendapat julukan Dewa Pedang
Emas. Permainan jurus-jurus pedangnya sungguh lihai dan cepat Pedang dari emas
itu berkelebatan berada di
tangannya. Cepat, sehingga yang terlihat hanya berupa sinar
keemasan bergulung-gulung
mengurung Buto Dungkul. Pada satu kesempatan baik, pedang emas berkelebat
cepat membabat pundak Buto Dungkul. Gerakan yang
begitu cepat dan tiba-tiba tidak dapat dihindari lagi. Pundak kiri si manusia
liar itu terkena sabetan pedang emas.
"Ha ha ha...!" Buto Dungkul tertawa terbahak-bahak.
Dewa Pedang Emas melompat mundur tiga tindak ke
belakang. Matanya membeliak lebar, hampir tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri. Jelas-jelas mata pedangnya membabat pundak si manusia liar itu, tapi
tidak sedikit pun ada luka goresan di sana. Bahkan dari ujung pedang sampai
pangkal lengannya, Dewa Pedang Emas merasakan getaran yang amat dahsyat.
"Gila! Pedang emasku tidak mempan," dengus Dewa Pedang Emas.
Dewa Pedang Emas berteriak nyaring. Dikebutkan
pedangnya kuat-kuat lalu dia melompat menerjang. Buto Dungkul masih tetap
tergelak tanpa menghiraukan cahaya keemasan yang berkilat mengarah dadanya.
"Mampus kau, setan!" geram Dewa Pedang Emas. Trak!
Dewa Pedang Emas membabat si manusia liar Buto
Dungkul dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Seketika tubuh Dewa Pedang Emas terpental ke belakang begitu pedangnya
menghantam sasaran. Sedangkan si
manusia liar Buto Dungkul masih terbahak-bahak berdiri tegar.
"Setan! Dmu apa yang dipakainya?" geram Dewa Pedang Emas begitu melihat mata
pedangnya gompal.
Tidak sedikitpun ada luka di dada si manusia liar ini. Dia berdiri congkak
bertolak pinggang. Tubuhnya yang tinggi besar berguncang-guncang karena tawanya
terus tergelak.
Sementara itu Nyi Rongkot yang menyaksikan hanya
tersenyum-senyum. Lain halnya dengan Dewa Pedang. Dia
tampak kebingungan menghadapi lawan begini tangguh, tidak
mempan oleh senjata pusaka yang sangat diandalkannya. 'Terpaksa, aku harus gunakan paku-paku emas," gumam Dewa Pedang Emas.
Dia melemparkan pedang emasnya yang gompal besar
pada matanya yang tajam. Segera dia bersiap-siap
mengeluarkan jurus 'Seribu Paku Emas'. Sambil berteriak nyaring, Dewa Pedang
Emas bergerak cepat melontarkan paku-paku emas yang menjadi senjata rahasianya
yang sangat diandalkan.
Aneh! Si manusia liar Buto Dungkul tidak sedikitpun bergeming. Paku-paku emas
meluncur deras menghantam dubuh tinggi besar bagai raksasa itu. Lagi-lagi Dewa
Pedang Emas terbeliak lebar. Paku-paku emas yang
dilontarkan dengan menggunakan jurus 'Seribu Paku Emas', tidak sedikit pun
melukai lawannya. Paku-paku emas yang mengandung racun dahsyat, rontok begitu
saja setelah menghantam tubuh Buto Dungkul.
"Habiskan semua ilmu yang kau miliki bocah!" ejek Buto Dungkul jumawa.
"Bedebah!" geram Dewa Pedang Emas jengkel
"Kenapa bengong" Apa kau sudah tidak punya lagi ilmu kesaktian?"
Dewa Pedang Emas tidak menyahut Otaknya berpikir
keras mencari cara untuk mengalahkan si manusia raksasa ini. Matanya melirik Nyi
Rongkot, si Ular Betina yang berdiri tersenyum-senhum. Hati Dewa Pedang Emas
jadi panas saat matanya tertumbuk pada sesosok tubuh ramping menggeletak dekat
kaki si Ular Betina.
"Iblis! Rupanya dia sudah berhasil menculik Sekar Telasih. Hm, bagaimana nasib
Rangkuti dan Bayangan Malaikat" Apakah mereka sudah tewas?" Dewa Pedang Emas
bertanya-tanya sendiri dengan hati geram.
"Cukup waktumu untuk berpikir, Dewa Pedang Emas.
Bersiaplah untuk ke neraka!" sentak Buto Dungkul.
Begitu selesai berkata, gada besar penuh duri dikebut-kebutkan di atas kepala.
Suara angin men-deru-deru memekakkan telinga. Begitu besar tenaga yang dimiliki
si manusia liar itu, sehingga dalam seketika saja tempat itu seperti dilanda
badai topan yang amat dahsyat.
Secepat kilat Buto Dungkul berlari sambil mengayunkan gada besar berdurinya.
Dewa Pedang Emas melompat ke samping menghindari sambaran gada yang sebesar
pahanya sendiri. Bumi bergetar begitu gada itu menghantam tempat Dewa Pedang
berdiri tadi. "Graaagh...!" Buto Dungkul meraung dahsyat.
Kembali diayunkan gadanya kuat-kuat. Kembali Dewa
Pedang Emas melompat, namun kali ini kaki Buto Dungkul terayun cepat hampir
bersamaan dengan ayunan gada.
Dewa Pedang Emas yang terlalu memusatkan perhatian pada senjata lawan, tidak
menyangka kalau kaki Buto Dungkul melayang.
Buk! Keras sekati kaki manusia liar yang bagai raksasa itu menghantam pinggang Dewa
Pedang Emas. Tak ayal lagi tubuh Dewa Pedang Emas terjungkal menyuruk tanah.
Belum sempat memperbaiki diri, gada besar berduri telah terayun deras ke
arahnya. "Aaakh...!" Dewa Pedang Emas menjerit keras.
Kaki kirinya langsung remuk kena hantam gada Buto
Dungkul. Darah muncrat dari kaki yang hancur. Buto Dungkul kembali mengayunkan
gadanya. Prak! Kali ini Dewa Pedang Emas tidak bisa lagi bersuara.
Kepalanya langsung hancur terkena hantaman keras gada berduri Buto Dungkul.
Tubuh Dewa Pedang Emas
menggeletak tak bernyawa lagi.
Buto Dungkul kembali tertawa tergelak. Tawanya
langsung berhenti begitu tubuhnya berbalik. Gada besar penuh duri dipanggul di
pundak. Matanya yang merah besar menatap tajam pada Nyi Rongkot
"Kau sudah datang, Rongkot?" suara Buto Dungkul terdengar berat menggelegar.
"Aku datang membawa hadiah untukmu," Nyi Rongkot menunjuk Sekar Telasih yang
masih tegeletak lemas di tanah.
"Sekar Telasih...!" mata Buto Dungkul berbinar.
Buru-buru dia melangkah menghampiri
'Tunggu!" cegah Nyi Rongkot
Buto Dungkul menghentikan langkahnya seketika. Jarak antara dia dengan Sekar
Telasih tinggal empat langkah lagi.
Matanya langsung menatap Nyi Rongkot yang berdiri tepat di depannya di samping
Sekar Telasih yang menggeletak di tanah. Kembali ditatapnya gadis itu. Keningnya
agak berkerut. "Dia..., dia mati...?" suaranya agak parau serak.
'Tidak. Cuma pingsan," sahut Nyi Rongkot
"Lalu, kenapa kau menghalangiku?" Buto Dungkul menatap Ular Betina itu dengan
pandangan tajam tidak mengerti.
"Belum saatnya kau menyentuh putriku."
"Rongkot! Kau sudah berjanji akan menyerahkan Sekar Telasih padaku. Kau sudah
kuberi Kitab Naga Merah. Dan kau
sudah menguasainya, kenapa masih juga menghalangiku?"
"Masih ada satu syarat lagi yang belum kau laksanakan."
"Membunuh si tua-bangka Rangkuti" Ha ha ha....
Dengan sebelah mata saja aku bisa mengirimnya ke
neraka!" "Kenapa tidak kau lakukan?"
'Tidak! Aku harus taat pada janjiku sendiri. Belum waktunya aku membunuh si tua
keparat itu!"
"Kalau begitu, kau juga belum waktunya menyentuh putriku."
"Kau licik, Rongkot!" dengus Buto Dungkul.
"Lebih licik lagi dirimu, Buto Dungkul. Kau sudah kuberi ilmu kekebalan tubuh,
masih juga menginginkan putriku."
"Huh!" Buto Dungkul hanya mendengus.
"Nah! Sambil menunggu waktu perjanjianmu, selama itu aku tidak mengijinkan kau
mengganggu Sekar Telasih.
"Baiklah," desah Buto Dungkul pasrah.
Nyi Rongkot tersenyum puas. Kemudian dia kembali
memondong tubuh Sekar Telasih di atas pundaknya.
Kakinya mulai terayun melangkah di dampingi si manusia liar Buto Dungkul. Mereka
melangkah terus lebih masuk ke
dalam Hutan Gading yang lebat tak pernah terjamah
manusia. Hutan yang selalu dijauhi para penduduk di selatarnya.
*** Sementara itu Ki Rangkuti termenung di beranda depan
rumahnya. Di depannya duduk Bayangan Malaikat Sejak acara penguburan Darmasaka,
Ki Rangkuti terlihat lebih banyak diam termenung. Memang berat rasanya
kehilangan putra tunggal yang sedang dipersiapkan untuk menjadi seorang
pendekar. Lebih-lebih sekarang ini dia juga kehilangan anak angkat, seorang
gadis cantik yang diurus sejak masih bayi.
Belum lagi dia harus mempersiapkan diri untuk
menghadapi tantangan Buto Dungkul yang kebal terhadap segala jenis senjata
pusaka. Bayangan Malaikat yang mengetahui persis persoalan yang tengah dihadapi
sahabatnya, tidak bisa meninggalkannya sendirian. Ke mana Ki Rangkuti pergi, dia
selalu mendampingi. Mereka memang benar-benar sahabat sejati.
"Sudah ada berita tentang Dewa Pedang Emas?" tanya Ki Rangkuti tiba-tiba seraya
mengangkat kepalanya.
Pandangan matanya sayu tanpa gairah hidup.
"Belum," sahut si Bayangan Malaikat "Tapi aku sudah mengirim beberapa orang
murid pilihan Padepokan
Jatiwangi untuk memeriksa sekitar Hutan Gading."
"Berapa orang yang kau kirim?"
"Hanya sepuluh."
Ki Rangkuti mendesah panjang.
"Aku tidak mau mengambil resiko kehilangan banyak orang. Hutan itu sangat
berbahaya, masih untung kalau tidak bertemu si manusia liar."
"Terima kasih."
"Jangan berterima kasih padaku Aku hanya melaksanakan apa yang kumampu saja," Bayangan Malaikat merendah.
Ki Rangkuti tersenyum kecut. Namun senyumnya
mendadak hilang ketika matanya melihat sepuluh orang berkuda datang. Mereka
langsung turun dari kuda masing-masing setelah sampai di depan rumah Kepala Desa
Jatiwangi itu. Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat serentak berdiri lalu berjalan ke luar beranda
menghampiri sepuluh orang yang datang itu. Mereka adalah murid-murid Padepokan
Jatiwangi. Yang berjalan paling depan, laki laki tinggi tegap berkumis tebal.
Dia salah satu guru pengajar olah
kanuragan "Bagaimana, Sayuri?" tanya Ki Rangkuti tidak sabar.
"Kami hanya menemukan mayatnya saja, Ki," sahut Sayuri yang jadi pemimpin dalam
pencarian Dewa Pedang Emas di samping sebagai guru pengajar olah kanuragan di
Padepokan JaEwangi.
"Maksudmu...?" Ai Rangkuti tidak bisa lagi melanjutkan pertanyaannya.
"Dewa Pedang Emas tewas di tengah Hutan Gading."
"Jagat Dewa Batara...," Ki Rangkuti mengeluh lirih.
Sebentar dia mendongakkan kepalanya, kemudian
berpaling pada Bayangan Malaikat Tampak sepasang bola matanya berkaca-kaca. Ki
Rangkuti benar-benar terpukul
mendengar kematian sahabat karibnya. Sahabat sejati, tewas membela kemurnian
persahabatan. Dewa Pedang
Emas mempertaruhkan nyawa demi kehormatan sahabatnya, Ki Rangkuti.
"Bagaimana dengan Sekar Telasih?" tanya Bayangan Malaikat
"Kami tidak menemukan Nini Sekar Telasih. Hanya ini,"
Sayuri menyerahkan kain warna biru muda.
Ki Rangkuti mengambil kain ikat kepala yang biasa
dikenakan Sekar Telasih. Kepala Desa Jatiwangi yang bekas
seorang pendekar itu tidak dapat lagi menyembunyikan kesedihannya. Dia berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah. Air matanya tidak bisa lagi ditahan. Kain ikat
kepala Sekar Telasih diciuminya beberapa kali..
Bayangan Malaikat dan sepuluh orang lainnya hanya
bisa memandang dengan perasaan sedih. Belum pernah mereka melihat Ki Rangkuti
begitu sedih sampai
menitikkan air mata. Kejadian yang menimpa Ki Rangkuti benar-benar sudah tidak
bisa dikendalikan lagi. Setegar-tegamya dia, hancur juga hatinya kehilangan
orang-orang yang dicintai secara beruntun.
"Kau tidak menemukan mayat Nini Sekar?" tanya Bayangan Malaikat setengah
Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbisik. "Tidak. Hanya itu yang saya temukan," sahut Sayuti.
'Tidak menemukan jejak?" Sayuti menggelengkan kepalanya.
"Hhh...." Bayangan Malaikat menarik napas panjang.
"Di sekitar tempat itu kelihatannya bekas terjadi pertempuran. Di situ juga saya
menemukan ikat kepala Nini Sekar Telasih."
"Baiklah, terima kasih," ucap Bayangan Malaikat "Aku percayakan padamu mengatur
penjagaan untuk keamanan desa ini."
Sayuti membungkuk sedikit, lalu mengajak yang lain meninggalkan tempat itu.
Mereka menuntun kuda masing-masing kembali ke padepokan. Bayangan Malaikat masih
berdiri cukup lama di depan beranda rumah. Sebentar ditarik napasnya dalamdalam, kemudian kakinya terayun hendak pergi.
Baru saja dia melangkah tiga tindak, telinganya
mendengar suara langkah kaki di belakang. Bayangan Malaikat berhenti dan
menoleh. Keningnya agak berkerut melihat Ki Rangkuti berjalan ke luar dengan
pakaian lengkap seorang pendekar. Pakaian putih-putih yang ketat membentuk
tubuhnya yang kekar.
Sebilah pedang tergantung di pinggang.
"Kau akan ke mana?" tanya Bayangan Malaikat setelah Ki Rangkuti berada di
depannya. "Membunuh iblis-iblis itu!" sahut Ki Rangkuti dingin.
"Pikirkan dulu, Rangkuti. Aku tidak menyangsikan kesaktianmu, tapi mereka berdua
bukanlah orang-orang yang bisa dianggap remeh. Aku tidak ingin kehilangan lagi
seorang sahabat Tinggal kau satu-satunya sahabatku di dunia ini, Rangkuti,"
Bayangan Malaikat mencoba meredakan rasa dendam di hati Kepala Desa Jatiwangi
itu. "Mereka telah merampas orang-orang yang kucintai!"
"Aku mengerti, aku tahu. Aku juga bisa merasakan apa yang kau rasakan sekarang.
Tapi cobalah kau bertindak dengan kepala dingin. Jangan turuti hawa dendam dan
amarahmu. Aku yakin Sekar Telasih tidak dibunuh. Dia pasti masih hidup."
"Mereka harus mati. Nyawa anakku harus mereka tebus!"
"Darmasaka mati membela kebenaran. Kau harus
bangga punya putra yang berjiwa pendekar. Salah besar kalau kau menyesali
kematiannya. Sebaliknya kau harus bangga, Rangkuti. Darmasaka mati karena
membela kehormatanmu!"
Ki Rangkuti terdiam. Kata-kata Bayangan Malaikat tepat mengena pusat hatinya.
Dia memang harus bangga dengan Darmasaka yang mati sebagai pendekar. Tidak
gentar menghadapi musuh meskipun tahu tingkatannya jauh lebih tinggi. Putranya
tidak mati secara sia-sia. Dia mati karena membela kehormatan keluarga.
"Sempurnakan dulu ilmu 'Pukulan Karang Baja' mu.
Aku rasa waktu tiga purnama cukup untukmu menyempurnakan ilmu itu," kata Bayangan Malaikat.
Ki Rangkuti menatap Bayangan Malaikat dengan mata
sayu. Bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun tidak ada
kata-kata yang terucapkan. Tiba-tiba ia merangkul sahabatnya dengan ketat
Bayangan Malaikat menepuk-nepuk punggung Ki Rangkuti.
"Aku akan selalu berada di sampingmu, Sobat," bisik Bayangan Malaikat
"Kau benar-benar sahabat sejatiku," balas Ki Rangkuti lirih.
"Sudahlah, aku sendiri akan menyempurnakan ilmu
'Bayangan Maut'. Kita bisa bersatu mengalahkan mereka."
Ki Rangkuti tersenyum penuh haru. Memang dalam
persahabatan ditemui banyak ujian. Kejadian seperti inilah merupakan satu ujian
berat dalam persahabatan. Kalau perlu nyawa akan dikorbankan demi persahabatan
yang murni dan sejati.
Mereka berpelukan hangat agak lama. Kemudian
Bayangan Malaikat melepaskan pelukan perlahan-lahan.
Sesaat mereka hanya saling pandang saja. Kemudian pelan-pelan melangkah menuju
ke rumah besar yang kini tampak sepi senyap.
"Aku akan menyediakan kamar khusus untukmu
bersemedi," kata Ki Rangkuti.
'Terima kasih. Ilmu 'Bayangan Maut' tidak bisa dilatih di dalam kamar. Aku akan
berlatih di pinggiran desa setiap malam hari," sahut Bayangan Malaikat "Maaf,
aku lupa."
Bayangan Malaikat hanya tersenyum tipis.
"Kau yakin Sekar Telasih tidak apa-apa?" tanya Ki Rangkuti masih memikirkan
keselamatan anak angkatnya itu.
"Aku yakin. Meskipun Ular Betina berada di jalan yang sesat, tidak mungkin
mencelakakan anaknya sendiri."
"Yah, itu kalau tidak bersama Buto Dungkul," desah Ki Rangkuti berat
"Jangan terlalu dipikirkan, biarpun dia liar, masih bisa taat pada janji. Kau
ingat perjanjian Mahesa Jalang, 'kan?"
"Ya."
"Nah! Itu satu bukti kalau Buto Dungkul selalu mentaati perjanjiannya."
Agak sedikit tenang hati Ki Rangkuti. Namun belum
seluruhnya begitu. Bagaimanapun juga, dia masih
memikirkan keselamatan nyawa Sekar Telasih. Gadis itu belum tahu seluk-beluk
orang-orang rimba persilatan.
Meskipun sudah mendapat gemblengan dalam berbagai
ilmu olah kanuragan, tapi tingkatannya jelas masih kalah jauh bila dibandingkan
dengan Buto Dungkul dan si Ular Betina.
*** 8 Tiga purnama hampir menjelang. Sementara itu di
Lembah Bangkai, Pendekar Rajawali Sakti tengah menguji ilmu yang baru dipelajari
dari kitab yang diberikan burung rajawali raksasa. Dia puas melihat hasil dari
ilmu 'Pedang Pemecah Sukma'. Dengan pedang rajawali sakti, dia dapat
menghancurkan batu karang sebesar gunung sekalipun hanya dengan menggoreskan
ujungnya saja. Kehebatan pedang itu adalah mampu membabat benda
tanpa memperlihatkan bekas sabetan. Tapi di dalam benda itu hancur. Rangga sudah
mencobanya pada sebatang
pohon besar. Dari luar pohon itu nampak habis ditebas, tapi tidak berapa lama
kemudian daun-daunnya berguguran semua, dan seluruh batangnya menjadi kering
seperti habis terbakar saja.
Kini Pendekar Rajawali Sakti itu tengah memusatkan seluruh konsentrasinya pada
ilmu 'Cakra Buana Sukma'.
Kedua bola matanya lurus menatap pohon ara yang besar dan tinggi. Perlu tiga
orang dewasa untuk bisa melingkari batang pohon itu dengan tangan saling bertaut
Tangan kanannya menggenggam pedang sampai ke ujung.
Kemudian kembali lagi, dan berhenti tepat di tengah-tengah.
'"Cakra Buana Sukma'....'" teriak Rangga keras.
Seketika itu juga dari seluruh batang pedang yang
memancarkan sinar biru berkilau, sinar itu berkumpul jadi satu. Secepat kilat
sinar itu menggumpal menerjang lurus ke depan. Seleret sinar biru memanjang
membentur pohon ara yang tinggi besar itu. Seluruh pohon itu diliputi sinar biru
dari pangkal akar sampai ke puncaknya.
"Yeaaah!" Rangga berteriak nyaring melengking.
Suara ledakan dahsyat terdengar, bersamaan dengan
hancurnya pohon itu. Dan sinar biru yang menggumpal berieret panjang pun lenyap.
Kini Pedang Rajawali Sakti kembali seperti biasa, memancarkan cahaya biru
berkilau. "Kraaargh!" burung rajawali raksasa mengibas-ngibaskan sayapnya sambil melonjaklonjak. Rangga menoleh sambil tersenyum. Kepala burung itu terangguk-angguk dengan bola
mata bulat berbinar-binar.
Rangga memasukkan pedang pusaka ke dalam sarungnya.
Dia melangkah dengan bibir tersungging senyuman
menghampiri burung raksasa itu. Tangannya terkembang, dan kepala rajawali itu
menyorong ke depan. Pendekar Rajawali Sakti memeluk kepala burung rajawali itu
dengan penuh kasih sayang.
"Bagaimana
penilaianmu?" tanya Rangga
setelah melepaskan pelukannya.
Burung rajawali raksasa itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Rangga tersenyum puas karena burung sakti itu telah menyatakan
kepuasannya melihat dua ilmu dahsyat telah dapat dikuasai Rangga dalam waktu
kurang dari tiga purnama.
"Sebaiknya aku segera keluar dari lembah ini," kata Rangga.
"Argh!" Rajawali Ku mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua
kakinya. Rangga dengan sigap melompat ringan dan
hinggap di punggung rajawali raksasa itu. Sekejap saja burung itu mengepakkan
sayapnya. Melesat terbang tinggi ke angkasa sambil berkaokan. Rangga memandang
ke bawah, yang terlihat dibawahnya permukaan bumi yang hijau dan berbukit bukit
"Agak rendah sedikit, Rajawali'" teriak Rangga.
"Argh!"
Rajawali raksasa itu merendahkan terbangnya. Kini
Rangga dapat melihat ke bawah lebih jelas lagi. Sinar matahari sore seperti
berada tepat di punggungnya. Hangat dan indah dipandang mata. Rangga
mengernyitkan alisnya saat melihat Desa Jatiwangi berada tepat di bawahnya.
Tampak desa itu kelihatannya sepi seperti tidak
berpenduduk saja.
'Turun di tepi hutan itu, Rajawali!" tenak Rangga sambil menunjuk Hutan Gading.
"Argh!"
Rajawali raksasa menukik menuju ke Hutan Gading
yang ditunjuk Rangga. Ringan sekali tubuh Pendekar Rajawali Raksasa itu melompat
turun dari punggung
burung raksasa setelah mendarat di tepian Hutan Gading yang sepi. Rangga
sebentar mengamati sekitarnya.
'Terima kasih. Kau boleh kembali," kata Rangga.
"Argh!"
Rangga menepuk-nepuk kepala Rajawali yang merunduk ke depan. Kemudian burung
raksasa itu kembali melesat ke angkasa
memperdengarkan
suaranya yang serak melengking tinggi. Rangga mengamati kepergian burung raksasa itu sampai hilang
di balik awan. Kembali dia mengamati ke sekelilingnya. Matanya langsung menatap
ke arah Desa Jatiwangi yang kelihatan jelas dari tempat tinggi seperti ini.
"Aku harus ke desa itu. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa di sana," gumam
Rangga. Namun baru saja hendak melangkah, mendadak
telinganya yang tajam mendengar langkah kaki orang.
Langkah kaki yang masih terdengar jauh. Rangga
celingukan sebentar, kemudian tubuhnya melesat ringan.
Dalam sekejap saja sudah nangkring di atas pohon.
Matanya langsung menatap lurus ke arah suara langkah kaki yang semakin dekat
terdengar. Tampak seorang berjalan ke arahnya. Pakaiannya serba putih. Dan tidak ada satu
senjata pun tampak di tubuhnya.
Dia berjalan pelan satu-satu, namun jelas kalau orang itu menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Meskipun begitu, telinga Rangga yang sudah terlatih baik,
masih juga dapat mendengar suara langkahnya yang ringan hampir tidak menapak
tanah. "Bayangan Malaikat..,"
gumam Rangga begitu mengenali orang yang berjalan ke arahnya.
Memang benar, orang itu adalah Bayangan Malaikat.
Dia berjalan sendirian menuju ke tepi Hutan Gading.
Rangga memperhatikan terus setiap gerak langkah
Bayangan Malaikat dari atas pohon.
"Mau apa dia ke Hutan Gading?" pikir Rangga dalam hati.
Bayangan Malaikat berjalan melewati pohon yang di
atasnya bertengger Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa sadar kalau dirinya diamati
sejak tadi, Bayangan Malaikat terus berlalu menembus Hutan Gading.
Rangga yang tadi penasaran, ingin tahu maksud
Bayangan Malaikat ke hutan yang sangat ditakuti seluruh penduduk desa di
sekitarnya. Dia melompat ringan dari satu pohon ke pohon lainnya. Tidak sedikit
pun suara yang ditimbulkan. Gerakan Pendekar Rajawali Sakti sungguh ringan bagai
kapas. Pendekar Rajawali Sakti mengerutkan keningnya.
Bayangan Malaikat berlompatan menyelinap dari balik pohon satu ke pohon lainnya.
Sepertinya dia takut terlihat oleh siapa pun. Tentu saja kelakuan Bayangan
Malaikat ini semakin menarik perhatian Rangga. Terus saja dibuntutinya dari atas
pohon. Matanya tajam bagai mata rajawali mengamati setiap gerakan Bayangan
Malaikat "Berhenti...?" Rangga jadi bertanya tanya saat melihat Bayangan Malaikat
berhenti di tengah hutan.
Mata Pendekar Rajawali Sakti memandang
ke sekelilingnya. Tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitar tempat ini.
Bayangan Malaikat juga berdiri di balik sebuah batu besar memandang ke depan.
Matanya lurus menatap sebuah gundukan tanah di bawah pohon rindang.
"Kuburan siapa itu?" tanya Rangga dalam hati.
Belum juga Rangga bisa menjawab, matanya langsung
melihat pada Bayangan Malaikat. Orang berpakaian serba putih itu melangkah
menghampiri gundukan tanah yang dikelilingi batu-batuan yang bertata rapi.
Sebentar dia berdiri mematung di samping kuburan, lalu berlutut
"Dewa Pedang Emas, sudah tiba saatnya untuk
membalas sakit harimu. Malam nanti di tempat ini Ki Rangkuti akan menyabung
nyawa membela kehormatan
keluarganya. Aku juga tidak akan tinggal diam untuk membalaskan dendam hatimu,"
bisik Bayangan Malaikat pelan.
"Dewa Pedang Emas..."!" Rangga terkejut "Siapa yang membunuhnya?" Pendekar
Rajawali Sakti segera melayang turun, dan hinggap di belakang Bayangan Malaikat
Tentu saja kedatangan Pendekar Rajawali Sakti yang tiba-tiba itu membuat
Bayangan Malaikat kaget bukan main. Dia
sampai terlompat sejauh dua batang tombak. Bayangan
Malaikat menarik napas panjang begitu mengetahui siapa yang datang.
"Maaf, aku mengejutkanmu, Paman," ucap Rangga
"Ah, tidak," sahut Bayangan Malaikat seraya melangkah mendekat
"Apakah ini makam Dewa Pedang Emas?" tanya Rangga menatap kuburan di depannya.
"Benar," sahut Bayangan Malaikat
"Bagaimana kejadiannya" Kenapa sampai dikuburkan di Hutan Gading ini?"
"Dia bertarung dengan manusia liar Buto Dungkul tiga purnama yang lalu,"
Bayangan Malaikat menceritakan.
Rangga Mendengarkan cerita Bayangan Malaikat
dengan penuh perhatian. Tidak sedikitpun memotong cerita itu sampai selesai.
Diceritakan pula kalau tengah malam nanti akan terjadi pertarungan antara Ki
Rang-kuti melawan Buto Dungkul.
Pendekar Rajawali Sakti kini semakin mengerti duduk persoalannya. Bukan saja Buto Dungkul yang akan
dihadapi Ki Rangkuti nanti, tapi juga Ular Betina yang telah berhasil membawa
lari Sekar Telasih. Rangga
Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang belum pernah bertemu dengan Buto Dungkul, tapi mendengar cerita Bayangan
Malaikat, dia sudah bisa memperkirakan seperti apa orang yang bernama Buto
Dungkul itu. "Hm, jadi Paman ke sini mendahului Ki Rangkuti?"
gumam Rangga seolah bertanya dalam hati.
"Benar. Aku
hanya ingin mencegah terjadinya kecurangan. Mereka orang-orang yang licik dan curang.
Aku yakin, Dewa Pedang Emas bisa tewas karena
kecurangan. Rasanya kalau baru menghadapi Buto
Dungkul saja, Dewa Pedang Emas tidak akan sampai
tewas. Pasti ada campur tangan Ular Betina!" suara Bayangan Malaikat terdengar
penuh rasa benci dan
dendam. "Di mana pertarungan itu dilaksanakan?" tanya Rangga.
"Di sini!"
*** Pada saat yang sama, di tempat tinggal Buto Dungkul,
Nyi Rongkot menikmati angin sejuk di depan goa.
Sementara di dalam goa yang sangat tersembunyi, Sekar Telasih duduk beralaskan
daun-daun kering. Agak jauh di depannya, manusia liar Buto Dungkul asyik
menikmati daging menjangan bakar.
Keadaan Sekar Telasih tidak kekurangan satu apa-apa.
Hanya raut wajahnya saja yang tidak mencerminkan
kegembiraan, matanya sayu tanpa sinar gairah kehidupan.
Hatinya terpukul sekali manakala mengetahui dirinya bukan anak Ki Rangkuti, tapi
anak perempuan iblis yang berjuluk Ular Betina.
Dan sekarang nasibnya ditentukan dengan pertarungan antara ayah angkatnya dengan
Buto Dungkul. Sekar Telasih bergidik begitu matanya melirik Buto Dungkul yang lebih mirip
raksasa daripada manusia.
Haruskah dia mendampingi hidup laki-laki menyeramkan ini" Hidup terpencil di
dalam hutan rimba yang ganas"
Sungguh tidak terpikirkan sama sekali dalam hidupnya.
Sekar Telasih membenci Nyi Rongkot yang membawa
dirinya untuk diserahkan pada manusia yang menyeramkan ini. Kalau saja dia
mampu, ingin rasanya membunuh kedua orang itu. Bahkan kalau mungkin melarikan
diri. "Lari...!" sentak Sekar Telasih dalam hati. "Lari.... Aku harus bisa lari dari
tempat ini. Tapi, bagaimana caranya?"
Sekar Telasih memutar otak, mencari cara untuk bisa meloloskan diri dari tempat
kotor ini. Bibirnya yang selalu merah merekah menyunggingkan senyum begitu
matanya melirik Buto Dungkul. Satu rencana mendadak mengalir begitu saja dalam
benaknya. "Raksasa ini memang kuat dan sakti, tapi aku yakin dia bodoh. Tindakannya hanya
mengandalkan kekuatan tanpa mampu berpilar," gumam Sekar Telasih dalam hati.
Sekar Telasih bangkit berdiri. Mata Buto Dungkul
menatapnya tidak berkedip. Dalam pandangannya, gadis itu bagaikan bidadari baru
turun dari kahyangan. Dada Buto Dungkul berdebar-debar ketika Sekar Telasih
tersenyum manis padanya, lebih-lebih saat gadis itu melangkah menghampiri.
"Kakang...," lembut sekali suara Sekar Telasih.
"Kau..., kau memanggilku, cah ayu?" Buto Dungkul seperti tidak percaya dengan
pendengarannya.
"Iya, memangnya aku bicara dengan siapa?" makin manis senyum Sekar Telasih.
"He he he...," Buto Dungkul gembira karena Sekar Telasih bersedia bicara
dengannya. Lama sekali ditunggu-tunggu saat seperti ini.
"Sudah berapa lama aku di sini, ya?" Sekar Telasih seperti bertanya pada dirinya
sendiri. "Hampir tiga purnama Dan besok kau sudah jadi milikku sepenuhnya," sahut Buto
Dungkul gembira.
"Rasanya lama ya, menunggu sampai besok...?" gumam Sekar Telasih.
"Mak..., maksudmu?" Buto Dungkul jadi tergagap. Dia menelan ludahnya menahan
napsu birahi. "Yaaah..., kenapa harus menunggu sampai besok"
Kenapa tidak sekarang saja?"
"Apa...?"
"Aku bersedia jadi istrimu, Kakang."
"Kau..., kau mau ya...," saking nafsunya Buto Dungkul jadi susah bicara.
"Iya, sekarang juga aku bersedia jadi istrimu."
Begitu gembiranya Buto Dungkul, sampai dia melompat dan menubruk Sekar Telasih.
Gadis itu menjerit kecil. Dia tidak mampu lagi melepaskan pelukan manusia liar
itu. Sekar Telasih meronta coba melepaskan diri.
'Tunggu, Kakang. Jangan kasar begini, ah!" rajuk Sekar Telasih manja.
"He he he..., aku senang kau mau jadi istriku. Aku gembira!"
"Iya, tapi jangan begini dong, sakit!"
Buto Dungkul melepaskan pelukannya. Matanya liar
menatap wajah Sekar Telasih yang cantik memerah saga.
Rasanya sudah tidak sabar lagi menunggu sampai besok.
Sambil menahan rasa jijik dan takut, Sekar Telasih berusaha sekuat tenaga untuk
tetap tersenyum dan berlaku manis.
Dia tidak ingin rencana yang memenuhi benaknya jadi berantakan.
"Kau ingin merasakan tubuhku, 'kan?" pancing Sekar Telasih.
"He he he...," Buto Dungkul terkekeh.
"Jangan!" Sekar Telasih mencegah tangan Buto Dungkul yang mau menjambret
bajunya. "Kau tadi menawarkan, kenapa sekarang menolak?"
Buto Dungkul tidak sabaran
"Maksudku jangan di sini."
"Kenapa?"
"Ada ibu," Sekar Telasih menekan suaranya. Hatinya perih menyebut ibu pada Nyi
Rongkot. Sungguh mati dia tidak
ingin mengakui sedikitpun
perempuan yang melahirkan dirinya.
"He he he..., kau malu?"
Sekar Telasih mengangguk.
"Lalu di mana?"
"Cari tempat yang aman dan tenang. Aku suka tempat di pinggir sungai. Kau tahu
tempatnya?"
Si manusia liar Buto Dungkul terkekeh kesenangan.
Kembali dia memeluk tubuh ramping gadis itu dan
memutar-mutarnya sambil tertawa gembira. Sekar Telasih memekik-mekik minta
diturunkan. Dia ngeri berada dalam pelukan manusia raksasa ini.
"Ayo kita ke tempat yang kau inginkan!" ajak Buto Dungkul setelah menurunkan
tubuh gadis itu.
Sekar Telasih tersenyum. Dibiarkannya saja tangannya digenggam manusia raksasa
itu. Mereka kemudian
melangkah ke luar goa. Nyi Rongkot mengerutkan
keningnya melihat Sekar Telasih kelihatan berseri-seri berjalan bergandengan
tangan dengan Buto Dungkul.
Mereka seperti tidak melihat dirinya yang berdiri menatap penuh keheranan.
"Buto Dungkul akan ke mana kau?" teriak Nyi Rongkot
"He he he..., bersenang-senang!" sahut Buto Dungkul terus saja melangkah.
Sekar Telasih tidak sedikitpun menoleh. Dia terus
melangkah di samping manusia raksasa ini. Langkah
kakinya agak cepat dan sedikit berlari mengimbangi langkah kaki Buto Dungkul
yang lebar-lebar. Mereka terus berjalan menembus kelebatan Hutan Gading. Dalam
benak Sekar Telasih terus berputar mengatur rencana untuk bisa membodohi si
manusia liar ini.
Sampai pada jalan yang sulit dan agak menanjak, Sekar Telasih membiarkan dirinya
dipondong. Sama sekali dia tidak memandang wajah seram yang memondongnya.
Gadis itu minta diturunkan ketika sampai pada sebuah sungai yang jernih dengan
aimya yang tenang mengalir.
Tidak jauh dari tempat itu terlihat sebuah air terjun kecil mengalunkan lagu
indah memercik.
"Aku mau mandi dulu, biar segar," kata Sekar Telasih sambil melangkah mendekati
tepian sungai. Buto Dungkul mengikutinya dari belakang. Bibirnya
menyeringai dengan bola mata liar melalap tubuh ramping gadis itu. Sejak keluar
dari goa tadi dia sudah tidak lagi bisa menahan diri. Tapi dia tidak ingin gadis
cantik itu jadi takut dan membencinya lagi. Dia harus bisa menahan diri sampai
Sekar Telasih benar-benar rela menyerahkan diri dan tubuhnya.
"Kau mau mandi, Kakang?" Sekar Telasih menawarkan.
"He he he...," Buto Dungkul terkekeh sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Huh! Pantas badanmu bau, mungkin telah bertahun-tahun tidak pernah kena air,"
dengus Sekar Telasih dalam hati.
Sekar Telasih berdiri di atas batu yang menjorok ke sungai. Sebentar
dipandanginya arus sungai yang tenang dan tidak terlalu keras. Kemudian dia
menoleh pada Buto Dungkul yang berdiri agak jauh.
"Selamat tinggal, orang jelek!" dengus Sekar Telasih pelan.
Seketika tubuhnya melayang dan terjun ke dalam sungai.
Tubuh gadis itu terus masuk ke dalam air. Buto Dungkul berlari mengejar. Dia
berlutut di atas batu tempat Sekar Telasih tadi berdiri. Kepalanya menjulur
melihat sungai yang menelan tubuh ramping gadis cantik itu.
Tidak kelihatan sama sekali di mana Sekar Telasih
berada. Buto Dungkul jadi kebingungan, matanya liar mencari-cari Sekar Telasih.
Hatinya mulai diliputi kecemasan karena sama sekali Sekar Telasih tidak munculmuncul. "Jangan-jangan dia.... Ah! Tidak, tidak mungkin dia bunuh diri!" Buto Dungkul
bergumam sendirian.
Dia berdiri bertolak pinggang memandangi sekitar sungai di depannya. Dari ujung
sampai ke ujung lainnya tidak terlihat adanya Sekar Telasih. Kecemasan dalam
diri Buto Dungkul semakin menjadi-jadi. Dia berlarian menyusuri tepian sungai.
Namun tidak juga menemukan gadis itu.
"Celaka! Nyi Rongkot harus tahu Bodoh! Kenapa aku membiarkannya mandi di sini"
Kenapa tidak di dalam goa saja" Aku bisa mengambilkan air sebanyak yang
diperlukan. Bodoh!" Buto Dungkul memaki-maki dirinya sendiri.
Bergegas dia berlari kencang menerjang lebatnya hutan, kembali menuju goa tempat
tinggalnya selama ini.
Suaranya menggelegar bagai guntur memanggil-manggil Nyi Rongkot Belum juga
mencapai goa, tiba-tiba Nyi Rongkot sudah muncul di depannya.
"Ada apa" Kelihatannya kau kebingungan," tanya Nyi Rongkot
"Anakmu...," sahut Buto Dungkul.
"Ada apa dengan Sekar?"
"Dia hilang di sungai "
Nyi Rongkot langsung melompat cepat begitu mendengar Sekar Telasih hilang di sungai. Buto
Dungkul langsung berlari mengikuti. Dalam waktu yang singkat saja mereka sudah
mencapai tepian sungai. Dua pasang mata beredar mencari kalau-kalau melihat
tubuh Sekar Telasih.
"Bagaimana mungkin bisa terjadi?" tanya Nyi Rongkot.
Buto Dungkul menceritakan semuanya, mulai dari
dalam goa sampai ke tepian sungai ini. Sedikit pun dia tidak merasakan dirinya
bersalah, namun dalam nada suaranya terdengar nada kecemasan. Buto Dungkul cemas
kalau-kalau Sekar Telasih tewas terbawa arus sungai. Dia tidak mau gadis itu
mati sebelum sempat dijamah dan
dinikmatinya. "Bodoh!" geram Nyi Rongkot begitu Buto Dungkul selesai bercerita.
"Lho...!" tentu saja Buto Dungkul terkejut melihat Nyi Rongkot kelihatan begitu
marah sekali. "Dasar otak udang! Dia menipumu, goblok!" dengus Nyi Rongkot
"Apa..."!"
"Dia pura-pura baik padamu supaya bisa keluar dari goa.
Rupanya dia tahu kalau kau tidak bisa berenang. Makanya mengajakmu ke sini. Huh!
Aku tidak mau tahu lagi, kau harus mencarinya sendiri kalau masih menginginkan
Sekar Telasih!" sungut Nyi Rongkot
"Setaaan...!"
Buto Dungkul meraung
keras dan menggelegar. Dia benar-benar marah sekarang karena telah ditipu mentah-mentah oleh seorang
gadis cantik. Buto Dungkul mengamuk membabi-buta menghajar batubatu, dan pohonpohon di sekitar sungai dengan gadanya.
"Sekar Telasih tidak ketemu kalau ngamuk begitu!" kata Nyi Rongkot.
"Akan kubunuh dia, Rongkot! Kubunuh dia...!"
*** Malam semakin larut. Sekitar Hutan Gading telah
terselimuti kabut tebal. Angin bertiup agak keras
menyebarkan hawa dingin menusuk tulang. Sebelum
tengah malam tadi, Ki Rangkuti telah berdiri tegak menanti datangnya Buto
Dungkul. Sementara, agak jauh dari tempat itu tampak Bayangan Malaikat dan
Pendekar Rajawali Sakti bersembunyi di balik batu besar. Mata mereka tetap
tertuju pada Ki Rangkuti yang tidak menyadari kalau tengah diawasi oleh
sahabatnya. Tepat ketika bulan berada di atas kepala, Buto Dungkul datang bersama Nyi
rongkot. Mereka berdiri sejauh kira-kira dua batang tombak di depan Ki Rangkuti.
Laki-laki tua berpakaian serba putih itu mengerutkan keningnya karena dua orang
itu tidak membawa Sekar Telasih
"Mana anakku?" tanya Ki Rangkuti.
"Anak setan itu telah kabur!" dengus Nyi rongkot.
"Rongkot!" bentak Ki Rangkuti geram. "Kalau terjadi apa-apa terhadap Sekar
Telasih, aku bersumpah akan membunuhmu!"
"Hik hik hik.... Kau akan mati sebelum membunuhku, Rangkuti." '
"Setan alas! Iblis!" geram Ki Rangkuti.
Seketika itu juga Ki Rangkuti melompat bagai kilat seraya mencabut pedang yang
tergantung di pinggang.
Seleret cahaya keperakan melesat cepat membentuk
lingkaran panjang menusuk ke arah Nyi Rongkot. Serangan mendadak itu dengan
cepat dielakkan Ular Betina. Dia hanya memiringkan sedikit tubuhnya, sehingga
tusukan pedang Ki Rangkuti hanya menemui tempat kosong.
Bersamaan dengan itu, Buto Dungkul mengayunkan
gadanya bagai geledek. Ki Rangkuti membuang dirinya dan bergulingan di tanah.
Bergegas dia bangkit berdiri. Gada besar penuh duri menghantam tanah sampai
bergetar seperti terjadi gempa.
"Kau berurusan denganku, Rangkuti!" bentak Buto Dungkul menggelegar suaranya.
Bersamaan dengan menghilangnya suara bentakan itu, Buto Dungkul kembali
mengayunkan gadanya dengan
kekuatan penuh. Ki Rangkuti melompat ke samping, sambil mengibaskan pedangnya
menghantam pergelangan tangan Buto Dungkul yang menggenggam gada.
Gerakan Buto Dungkul yang lambat tidak mungkin
menghindari sabetan pedang itu. Deras sekali sabetan pedang Ki Rangkuti itu,
namun pedang itu malah terpental
lagi seperti membabat karet kenyal. Ki Rangkuti melompat mundur. Tangannya
Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seketika terasa kaki kesemutan. Benar-benar kebal manusia liar ini.
"Ha ha ha..., keluarkan semua senjatamu, Rangkuti!"
Buto Dungkul tertawa jumawa.
Ki Rangkuti segera mengeluarkan ilmu 'Pukulan Karang Baja' setelah membuang
pedangnya yang gompal. Ki
Rangkuti berteriak nyaring dan segera mengirimkan
serangan dengan ilmunya itu. Tetapi Buto Dungkul malah tetap berdiri tegak
membiarkan tubuhnya jadi sasaran. Dia begitu yakin dengan ilmu kebal yang
dimilikinya. "Modar!" bentak Ki Rangkuti menggelegar.
Satu ledakan keras terjadi begitu kedua tangan Ki
Rangkuti membentur dada Buto Dungkul. Tubuh Ki
Rangkuti terpelanting
sejauh dua batang tombak. Sedangkan Buto Dungkul masih berdiri tegak tertawa terbahak-bahak. Laki-laki tua
yang masih kelihatan gagah itu segera bangkit berdiri. Matanya membeliak lebar
menyaksikan lawan tidak mempan dengan ilmu 'Pukulan Karang Baja' yang sudah
disempurnakan selama tiga bulan ini.
"Ambil pedangmu," tiba-tiba telinga Ki Rangkuti mendengar suara bisikan halus
namun jelas. Ki Rangkuti menoleh ke kanan dan ke lari. Tidak ada yang terlihat, kecuali Nyi
Rongkot yang berdiri agak jauh.
Rasanya kalau Ular Betina yang membisikinya, tidak mungkin Masih dalam
kebingungan, datang lagi suara bisikan halus.
"Jangan buang waktu. Ambil pedangmu, gunakan ilmu peringan tubuh. Arahkan
sasaran pada mata dan ubun-ubun."
"Siapa pun orangnya, pasti bermaksud baik," bisik Ki Rangkuti.
Segera dia melompat dan menyambar pedangnya yang
menggeletak di tanah. Dengan menggunakan ilmu peringan tubuh, segera dilakukan
serangan disertai jurus-jurus pedang yang cepat ke arah mata dan ubun-ubun Buto
Dungkul. Tampaknya serangan Ki Rangkuti ini membuat Buto
Dungkul menjadi kelabakan. Setengah mati dia berusaha melindungi daerah mata dan
ubun-ubunnya dari serbuan yang cepat bagai kilat. Memang sulit juga bagi Ki
Rangkuti untuk dapat menancapkan pedangnya ke mata dan ubun-ubun lawan. Gada
besar penuh duri selalu menghalau setiap kali ujung pedang Ki Rangkuti menuju
sasaran. Sementara itu Nyi Rongkot rupanya juga mendengar
bisikan halus yang diterima Ki Rangkuti. Dia segera mengerahkan ilmu pemecah
suara dan pembeda gerak.
Dalam sekejap saja dia telah bisa mengetahui ada orang lain di sekitar tempat
ini. Mendadak tubuhnya mencelat ke arah batu besar tempat Bayangan Malaikat dan
Pendekar Rajawali Sakti bersembunyi.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti juga melompat ke arah Nyi Rongkot.
Satu benturan keras terjadi di udara. Dua tokoh sakti itu terlontar dan jatuh ke
tanah bergulingan. Mereka segera bangkit berdiri berhadapan.
Melihat Pendekar Rajawali Sakti telah berhadapan dengan lawannya, Bayangan
Malaikat pun melompat keluar.
"Bantu Ki Rangkuti, Paman," kata Rangga agak keras.
"Pusatkan perhatian pada mata dan ubun-ubun Buto Dungkul!"
"Setan! Rupanya kau yang membisiki Rangkuti!" geram Nyi Rongkot
"Dan kau lawanku, iblis betina!" dengus Rangga.
"Phuih!"
Nyi Rongkot langsung memutar tongkat ular saktinya.
Sinar merah segera bergulung-gulung, lalu dengan cepat dihantamkan ujung
tongkatnya ke tanah. Seketika itu juga tongkat berubah menjadi ular berwarna
merah menyala. "Naga Merah...!" Nyi
Rongkot berteriak keras.
Bersamaan dengan itu,
tangannya menuding ular
yang meliuk-liuk di tanah.
Dari ujung jarinya meluncur sinar merah yang langsung membungkus ular itu. Dalam sekejap saja ular
itu berubah menjadi seekor naga merah. Rupanya Nyi Rongkot langsung mengeluarkan ilmu andalannya setelah tahu siapa yang dihadapinya kini.
Dia tidak lagi memandang enteng Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga segera mencabut pedang saktinya. Sinar biru berkilau
langsung memancar menerangi sekitarnya.
Secepatnya dikerahkan ilmu 'Pedang Pemecah Sukma'.
Sinar biru pedang itu segera bergulung-gulung menjadi satu.
Sementara itu jelmaan ular naga yang sebesar pohon kelapa telah menyerang bagai
kilat. Rangga menghunus pedangnya sehingga sinar biru
berkelebat cepat menghajar ular naga itu. Tampak ular naga merah seperti
diselimuti sinar biru yang berkilau di seluruh
tubuhnya. Naga itu menggeliat-geliat
seraya menyemburkan api dari mulutnya.
"Yeaaah...!" Nyi Rongkot berteriak melengking dengan tubuh melenting sambil
mengirimkan pukulan 'Naga
Merah' ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Rangga mengangkat tangan kirinya yang tergulung sinar biru. Begitu disentakkan
tangannya, sinar biru langsung meluncur cepat ke arah Ular Betina yang berada di
udara. Dari kedua telapak tangannya yang memerah juga
meluncur sinar merah. Dua sinar bertemu di udara, dan saling mendorong. Pelanpelan tubuh Nyi Rongkot turun dan menjejak tanah kembali. Jarak mereka tinggal
satu tombak lagi.
"'Cakra Buana Sukma...!" teriak Rangga yang merasa kewalahan juga menghadapi dua
makhluk maut ini.
Seketika itu juga Rangga menempelkan telapak tangan kirinya ke batang pedangnya,
lalu digosok-gosokkan dan berhenti di tengah-tengah pedang. Sinar biru kini
semakin banyak menggumpal menyelimuti tubuh ular naga merah.
Sedangkan dari telapak tangan kiri yang menempel pada tengah-tengah pedang,
keluar sinar biru yang makin menggumpal ke arah sinar merah milik Ular Betina.
*** Agak lama juga kedua tokoh sakti itu mengadu
kekuatan. Namun sedikit demi sedikit sinar merah mulai terdesak. Seluruh tubuh
dan wajah Ular Betina telah basah oleh keringat. Tangan dan kakinya mulai
bergetar menahan ilmu 'Cakra Buana Sukma'.
Pelan-pelan Rangga mulai merenggangkan telapak kiri dengan pedangnya. Kemudian
ujung pedang yang terus
mengeluarkan sinar biru, mengarah pada naga merah yang menggeliat-geliat dan
terus menyemburkan api dari
mulutnya. 'Yeah!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring.
Seketika dikebutkan pedangnya ke atas. Ular naga merah sebesar pohon kelapa itu
terangkat, melayang deras mengikuti tarikan pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Secepat kilat Rangga mengerahkan ilmu 'Pedang Pemecah Sukma'.
Pedang pusaka itu dikebutkan, dan....
Cras! "Aaaargh...!"
Ular naga merah meraung menggelegar. Dengan keras
tubuhnya terbanting ke tanah. Sebentar menggelepar-gelepar, lalu diam tidak
bergerak lagi. Perlahan-lahan ular naga merah itu berubah wujud kembali ke
asalnya. Kini yang menggeletak di tanah hanya sebatang tongkat
berbentuk ular.
Rangga langsung menempelkan kembali pedangnya ke
telapak tangan kiri. Kakinya mulai terayun melangkah mendekati Nyi Rongkot. Si
Ular Betina yang mulai kejang-kejang, kini tersentuh sinar biru pada telapak
tangannya. Perlahan-lahan sinar biru menyelimuti seluruh tangan. Kaki Pendekar Rajawali
Sakti terus melangkah semakin dekat
"Aaakh...!" Nyi Rongkot menjerit keras ketika seluruh tubuhnya terselimuti sinar
biru. Tepat ketika tinggal selangkah lagi, dengan cepat
Pendekar Rajawali Sakti mengelebatkan pedangnya. Tanpa ampun lagi pedang pusaka
Rajawali Sakti itu menghantam dada Ular Betina. Rangga langsung melompat ke
belakang. Dia mencabut kembali ilmu 'Cakra Buana Sukma' yang dipadukan dengan ilmu
'Pedang Pemecah Sukma'. Begitu pedang Rajawali Sakti masuk dalam sarungnya,
sinar biru langsung hilang dari pandangan.
Tubuh Ular Betina menggeletak di tanah dekat
tongkatnya yang telah menjadi tepung. Rangga berdiri memperhatikan tubuh Nyi
Rongkot yang mulai lumer.
Perlahan tapi pasti, tubuh perempauan tua itu menjadi onggokan abu hitam.
Pendekar Rajawali Sakti menarik napas panjng. Matanya langsung beralih pada Ki
Rangkuti dan Bayangan Malaikat yang tengah berhadapan dengan si manusia liar
Buto Dungkul. Tampaknya pertarungan masih berjalan seimbang.
Secepat kilat dia melompat sambil merentangkan kedua tangannya. Pendekar
Rajawali Sakti kini mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sedangkan
Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat langsung melompat
mundur. Rangga segera menyerang dengan jurus andalannya dengan cepat ke arah Buto Dungkul.
"Grrr...!" Buto Dungkul menggeram berat.
Dadanya yang penuh duri tajam berkelebatan mengincar tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Namun gerakan pendekar muda ini sangat lincah. Tidak sedikitpun gada itu
dapat menyentuh tubuhnya. Bahkan beberapa kali tangan Rangga berhasil bersarang
telak di tubuh manusia liar itu.
Buto Dungkul beberapa kali terjajar sambil mengeram marah. Kedau bola matanya
makin merah menyala. Tiba-tiba Rangga melenting tinggi ke udara, lalu dalam
sekejap merubah jurusnya menjadi 'Rajawab Menukik Menyambar Mangsa'. Kedua kaki
Rangga bergerak cepat dan berputar.
"Aaargh!" Buto Dungkul meraung keras.
Dua kali kaki Rangga menghantam kepalaa si manusia liar itu. Dan begitu kakinya
menjejak tanah, tangan kanannya melunak ke depan sambil melompat. Rangga
kembali merubah jurusnya jadi 'Cakar Rajawali'. Jari-jari tangannya menegang
keras dan kaku. Buto Dungkul yang masih merasakan sakit pada kepalanya, tidak
bisa lagi mengelak. Dua jari tangan Pendekar Rajawali Sakti
langsung mencoblos matanya.
Lagi-lagi Buto Dungkul meraung keras. Dua biji mata mencelat keluar bersamaan
dengan ditariknya kembali jari-jari Pendekar Rajawali Sakti. Kaki Rangga
langsung melayang deras menghantam dada Buto Dungkul. Tubuh Rangga melambung
tinggi ke udara. Kembali diubah
jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tangan kanan Rangga terkepal
melunak ke arah ubun-ubun kepala si manusia liar Buto Dungkul.
Prak! Buto Dungkul meraung keras. Tubuhnya limbung
beberapa saat Batok kepalanya hancur. Keras sekali tubuh si manusia raksasa itu
terbanting ke tanah. Sebentar
berkelejotan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
Rangga berdiri mematung memandangi tubuh Buto
Dungkul yang menggeletak tak bernyawa lagi. Dia menoleh begitu mendengar
langkah-langkah kaki menghampiri
Rangga membalikkan tubuhnya. Kedua orang itu berdiri dengan jarak sekitar
setengah batang tombak lagi.
"Terima kasih, kau te...," belum habis Ki Rangkuti menyelesaikan
ucapannya, tiba-tiba
terdengar suara
panggilan keras.
"Ayah...!"
Hampir bersamaan mereka menoleh. Tampak seorang
gadis berlari-lari dengan pakaian tidak karuan.
"Sekar Telasih...!" seru Ki Rangkuti.
Laki laki tua yang tegap itu langsung berlari
menyongsong anak angkatnya. Mereka bertemu dan
berpelukan hangat Bayangan Malaikat menyaksikannya dengan mata berkaca-kaca.
Mereka sampai lupa pada
Pendekar Rajawali Sakti. Ketika sadar, tidak lagi mereka dapati pendekar muda
digdaya di tempatnya.
"Ke mana dia?" tanya Ki Rangkuti.
Bayangan Malaikat juga kebingungan, tidak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri
sampai tidak memperhatikan dan tidak mengetahui kapan Pendekar Rajawali Sakti
itu pergi. "Siapa, Ayah?" tanya Sekar Telasih.
"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Rangkuti.
"Aku yakin dia tidak memerlukan ucapan apa-apa. Hm, benar-benar seorang pendekar
sejati," kata Bayangan Malaikat agak bergumam.
"Apakah dia yang membunuh kedua orang itu?" tanya Sekar Telasih.
"Ya, nanti Ayah ceritakan."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka kemudian melangkah pergi
meninggalkan Hutan Gading ini. Dalam perjalanannya Sekar Telasih menceritakan bagaimana ia bisa meloloskan diri. Dia
tidak tahu jalan pulang, lalu mendengar suara pertarungan serta melihat kilatan
kilatan sinar saling sambar. Sayang sekali, kedatangannya setelah pertarungan
selesai, jadi tidak bisa menyaksikan.
"Ayah mau menceritakan semuanya, 'kan?" desak Sekar Telasih.
"Tentu, lapi tidak di sini."
"Janji?"
"Janji!"
Sekar Telasih tersenyum manis. Kakinya terayun ringan bagai tidak memiliki beban
apa-apa lagi. Dia seperti baru terbebas dari sebuah belenggu yang hampir
Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghancurkan seluruh
hidupnya. Sedangkan
Ki Rangkuti masih
memikirkan Pendekar Rajawali Sakti yang datang dan pergi secara
misterius. Namun hatinya dengan tulus mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan ke Djvu : Syaugy_arr
http://hanaoki.wordpress.com
Convert & Editor text : Dewi KZ
Pdf by : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
http://dewi-kz.info/
Sinopsis : "Nyi Rongkot..!" Ki Rangkuti sangat terkejut melihat siapa yang berdiri di
depannya. "Hik hik hik... lama kita tidak berjumpa, Ki. Aku datang mau mengambil anakku!"
"Sekar Telasih bukan anakmu!"
Nyi Rongkot menggerang marah. Sembilan belas tahun dia mencari anaknya,
bagaimanapun kini dia harus merebut
kembali anaknya. Dia sudah terlanjur berjanji pada si Manusia Liar. Janji apakah
itu" Apakah Ki Rangkuti, sebagai ketua padepokan Jatiwangi dan orang tua Sekar
Telasih, harus mengalah begitu saja"
Bagaimana tindakan Rangga setelah mengetahui duduk persoalannya" Mampukah dia
menandingi ilmu Naga
Merah yang sangat sakti..."
-ooo0dw0ooo- Gelang Perasa 2 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Menuntut Balas 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama