Ceritasilat Novel Online

Pemburu Kepala 2

Pendekar Rajawali Sakti 40 Pemburu Kepala Bagian 2


Anjar. Sedangkan dirinya sendiri bersama Raden Nadara
hendak menyelidiki keadaan dalam istana. Tentu saja mereka
tidak datang secara terang-terangan, karena sudah pasti hal itu
tidak diinginkan sama sekali. Terlebih lagi keberadaan Pendekar
Rajawali Sakti yang memang sedang ditunggu-tunggu
kepalanya. "Cukup ketat penjagaan di dalam istana ini, Raden," bisik
Rangga. "Iya," sahut Raden Nadara setengah mendesah.
Sejak matahari tenggelam tadi, mereka mengamati sekitar
istana dari tempat yang cukup tersembunyi. Di sekitar benteng
istana memang dijaga ketat oieh para prajurit bersenjata
tombak dan pedang. Bahkan di bagian atas benteng, terlihat
pasukan panah sudah siap dengan bidikannya. Mereka benarbenar seperti sedang
menunggu musuh untuk berperang. Yang
pasti, di dalam istana juga sudah siap.
"Aku tidak menyangka kalau Prabu Raketu sudah
mengetahui akan adanya pemberontakan...," gumam Rangga
pelahan, sepertinya bicara pada dirinya sendiri.
"Ya. Itu sebabnya Ayahanda Prabu mengutusku untuk
meminta bantuan ke Karang Setra. Tapi sayang sekali, Raja
Karang Setra tidak pernah ada di istanej Sedangkan adiknya
tidak bisa memutuskan begitu saja," jelas Raden Nadara
setengah mengeluh.
"Raden, ada yang hendak kutanyakan. Tapi kuharap kau
tidak tersinggung," kata Rangga lagi.
'Tanyakan saja, Rangga. Aku yakin, kau benar benar berada
di pihakku. Kau seorang pendekar, dai tentunya akan berada di
pihak yang benar," sahut Raden Nadara mantap.
'Terima kasih, tapi ini tentang adikmu."
Raden Nadara menatap dalam-dalam pemuda berbaju rompi
putih di sampingnya. Sama sekali tidak disangka kalau Rangga
akan bertanya seperti itu, yang ada hubungannya dengan
adiknya. Tapi Raden Nadara belum ingin berpikir lebih jauh lagi.
Apalagi berpikir buruk tentang maksud Rangga.
"Raden, apakah Rara Ayu Ranti selalu bersamamu selama
ini?" tanya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti teringat dengan
kemunculan Ranti yang menyerang dan ingin membunuhnya.
"Ranti tidak pernah jauh dariku. Apalagi selama perjalanan
ke Karang Setra," sahut Raden Nadara.
Rangga mengerutkan keningnya.
"Ada apa. Rangga?" tanya Raden Nadara.
Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti
menceritakan tentang pertemuan dan bentroknya dengan
Ranti. Tampak jelas kalau Raden Nadara tidak percaya kalau
Ranti bisa terpisah dengannya, dan bertarung dengan pemuda
berbaju rompi putih ini.
Raden Nadara memang mengakui kalau adiknya Miiiliki
tingkat kepandaian tinggi. Tapi tidak mungkin Ia berada dalam
dua tempat dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan saat
Rangga diserang Ranti, inilah saat yang sama pula Raden
Nadara tengah ber-bincang dengan gadis itu di tempat lain.
Tempat yang sangat jauh dan harus ditempuh dalam waktu
lima hari perjalanaa Jadi hal itu benar-benar mustahil!
"Itulah yang membuatku tidak mengerti. Raden. Aku
memang yakin kalau gadis yang menyerangku itu bukan Ranti,"
tegas Rangga pada akhir ceritanya.
Kedua pemuda itu sama-sama terdiam setelah satu sama
lain menceritakan kebersamaannya dengan gadis yang
bernama Ranti. Gadis yang bisa berada dalam dua tempat
berbeda jauh dalam waktu bersamaan. Untuk beberapa saat,
mereka jadi mengalihkan perhatiannya pada Istana Kedung
Antal. "Raden, apakah Ranti punya saudara kembar?" tanya
Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Setahuku..., tidak," sahut Raden Nadara seraya berpikir
keras. "Lho" Kau kan kakaknya. Tentu iebih tahu tentang Ranti
daripada aku,"
Rangga agak kaget bercampur heran karena Raden Nadara
sebagai kakak Ranti, tapi tidak tahu tentang adiknya sendiri.
"Tidak juga. Rangga," potong Raden Nadara cepat
"Tidak...?" Rangga mengerutkan alisnya. "Apa madsudmu,
Raden?" "Sebenarnya aku hanyalah anak angkat Ayahanda Prabu
Raketu. Setahun setelah aku diangkat anak Ranti lahir dari
Ibunda Permaisuri. Tapi malang Ibunda Permaisuri meninggal
setelah melahirkan Ranti. Kemudian, kami hidup di bawah
asuhan seorang emban. Waktu itu aku baru berusia sekitar tiga
tahun, jadi tidak begitu.tahu persis apa yang terjadi," Raden!
Nadara mengakui.
"Kau tahu kalau kau anak angkat, Raden..."!" tanya Rangga.
'Tentu. Ayahanda Prabu selalu mengatakan begitu agar aku
tidak putus hubungan anak dengan orang tuaku sendiri. Dan
aku memang dibebaskan untuk mengunjungi orang tua
kandungku di Desa Aripat Bahkan Ranti juga tahu kalau aku
hanya kakak angkat saja. Tapi dia tidak ambil peduli, dan tetap
menganggapku sebagai kakaknya sendiri. Itu sebabnya aku dan
Ranti begitu akrab, karena kami saling menyayangi dan saling
menyintai sebagai kakak dan adik"
"Dan selama ini, apakah ada orang yang mencoba mengusik
kehidupanmu" Hm..., maksudku mencoba memisahkanmu dari
kehidupan Ranti," ujar Rangga ingin tahu.
"Tidak."
Rangga terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya
saat ini. Pandangannya kembali tertuju kearah bangunan istana
yang masih terjaga ketat Sekitar istana itu tampak sunyi
senyap. Bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya bagai tak
berpenghuni lagi. Itu sunyi, bahkan tak ada yang menyalakan
pelita untuk penerangan. Kerajaan Kedung Antal ini benarbenar seperti kerajaan
mati tak berpenghuni. "Kita kembali lagi
saja besok, Raden," ajak Rangga
"Kenapa tidak sekarang saja?" tanya Raden Nadara
"Kurasa waktunya kurang tepat. Aku akan mencari jalan
terbaik. Tapi mungkin pertumpahan darah tidak bisa
terelakkan," Rangga mencoba menjelaskan.
"Ini memang sudah menjadi ajang pertempuran bersaudara,
Rangga. Bahkan aku sendiri tidak segan-segan lagi membunuh
saudaraku bila ternyata memang bergabung dengan para
pengkhianat itu!" desis Kaden Nadara.
"Ayolah, kita tinggalkan tempat ini. Aku tidak ingin ada
pemburu kepala yang melihat kita berada di sini."
"Baiklah, Aku percaya padamu, Rangga."
*** Rangga menahan ayunan langkah kakinya Seketika
ditariknya tangan Raden Nadara agar berhenti berjalan.
Pendengarannya yang tajam langsung dapat mendengar
gemerisik langkah kaki beberapa orang tidak jauh dari tempat
ini. Menghadapi keadaan seperti Ini, kewaspadaan memang
perlu ditingkatkan. Terlebih lagi sekarang di mana-mana
tersebar para pemburu kepala yang menginginkan kepala
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ke atas pohon itu," bisik Rangga.
"Hup...!"
"Houp...!"
Raden Nadara yang juga sudah mendengar adanya langkah
kaki yang semakin dekat itu, langsung saja melompat ke atas
pohon mengikuti Rangga. Sebentar saja mereka sudah lenyap
di balik kerimbunan daun pohon yang cukup tinggi itu.
Tidak lama berselang, muncul sekitar dua puluh orang
kalangan rimba persilatan. Salah satu di antara nya, terlihat
seorang laki-laki berusia sekitar tujui puluh tahun. Di tangan
kanannya tergenggam sebatang tongkat panjang berwarna
keemasan yang bagian pangkalnya berbentuk bintang bersegi
enam. "Paman Patih Karuni...," desis Raden Nadara saat mengenali
laki-laki berjubah merah muda yang membawa tongkat bintang
segi enam itu. "Patih Karuni....?" Rangga jadi menyipit matanya.
Pendekar Rajawali Sakti itu juga mengenali laki laki berjubah
merah muda yang membawa tongkat bintang segi enam itu.
Sebentar diamatinya laki-laki itu, kemudian beralih pada Raden
Nadara. Rangga belum bisa berpikir tentang keterlibatan Patih
Karuni di Kerajaan Kedung Antal ini. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti sendiri sebenarnya mengenal laki-laki tua
bertongkat bintang itu dengan nama lain. Dia adalah Ki Sakar,
salah seorang pengikut Wira Permadi, adik tiri Rangga yang
mencoba menguasai wilayah Karang Setra (Baca serial
Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah, "Api di Karang Setra").
Laki-laki tua bertongkat bintang itu memang berhasil
meloloskan diri di saat kekuasaan Wira Permadi runtuh.
"Huh! Mereka pasti mencoba masuk ke istana...!"
Terdengar Patih Karuni mendengus bernada kesal. "Benar,
Gusti Patih. Sudah semua tempat dijelajahi, tapi yang ada cuma
para prajurit kacangan ditambah dua orang patih dan dua
panglima yang sok setia!" sambut orang yang berada di
samping Patih Karuni.
Orang itu masih kelihatan muda. Mungkin usianya baru
sekitar dua puluh lima tahun. Dia menyandang sebuah kapak
besar yang digabung dengan mata tombak pada ujungnya.
Meskipun wajahnya cukup tampan, tapi sorot matanya
mencerminkan kekejaman.
"Biar mereka menemukan mayat-mayat temannya di sana,
Gusti Patih," sambung orang lainnya lagi yang berjalan di
samping kiri Patih Karuni.
Orang itu sudah setengah baya, namun bertubuh tegap dan
kekar, meskipun rambutnya sudah berwarna dua. Sebilah
pedang tampak tergantung di pinggangnya.
Sementara itu, Rangga dan Raden Nadara yang
mendengarkan semua percakapan dari atas pohon yang cukup
tersembunyi, jadi menahan kemarahan. Sudah bisa ditebak
kalau orang-orang itu baru saja membunuh habis pengikut setia
Raden Nadara. Kini mereka benar-benar tinggal berdua
menghadapi para pemberontak dengan jumlah prajurit yang
ribuan orang banyaknya.
Tapi bukan banyaknya prajurit yang dipikirkan, tapi di
belakang para pemberontak itu ada tokoh-tokoh rimba
persilatan yang memiliki kemampuan tinggi. Belum lagi para
pemburu kepala yang sampai saat ini tentu masih berkeliaran
akibat pengumuman yang dikeluarkan pihak istana atas nama
Prabu Raketu. "Pengkhianat...! Mereka semua harus mampus!'! geram
Raden Nadara tidak bisa lagi menyembunyikan kemarahannya.
"Hiyaaat...!"
Seketika itu juga, Raden Nadara langsung melompat turun
dari atas pohon tempat persembunyiannya. Tindakan pemuda
itu tentu saja membuat Rangga terkejut setengah mati.
Memang tidak bisa dicegah lagi, karena Raden Nadara sudah
meluruk turun dengari cepat sambil mencabut pedangnya.
"Awas...!" seru Pauh Karuni begitu mendengari teriakan
keras dari atas.
Seketika itu juga, Patih Karuni mengebutkanl tongkatnya ke
atas, menyambut tebasan pedang Raden Nadara yang terarah
kepadanya. Sedangkan yang lainnya langsung bedompatan
menghindar. Trang...! Percikan bunga api langsung memijar ketika dua senjata
beradu keras disertai dentingan yang memekakkan telinga.
Tampak Raden Nadara melentingkan tubuhnya kembali ke
udara, lalu berputaran dua kali sebelum menjejakkan kaki di
tanah. "Raden...!" tampak Patih Karuni terkejut begitu melihat
Raden Nadara tahu-tahu sudah berdiri di depannya.
Patih Karuni mengegoskan kepalanya sedikit memandangi
orang-orang yang menyertainya. Mereka semua serentak
menganggukkan kepala, lalu menggeprakan kaki membentuk
lingkaran mengepung Raden Nadara. Sedangkan pemuda itu
melintangkan pedangnya di depan dada. Pandangan matanya
begitu tajam merayapi orang-orang yang kini sudah
mengepungnya. "Raden sudah kembali, kenapa tidak langsung ke istana?"
Patih Karuni mencoba ramah.
"Agar kau lebih mudah menggantungku, begitu..."!" dengus
Raden Nadara ketus.
Patih Karuni mendesis mendengar jawaban Raden Nadara
yang begitu ketus. Diliriknya orang-orangnya yang langsung
menganggukkan kepala. Patih Karuni melangkah beberapa
tindak mendekati pemuda itu.
"Jika Raden hendak ke istana, mari bersama-sama.
Kebetulan kami semua juga hendak ke istana," ajak Patih
Karuni, "Kalian semua tidak akan pernah kembali ke istana lagi. Aku
akan membawa kalian ke neraka!" dengus Raden Nadara
semakin ketus. "Kenapa Raden bicara begitu...?" Patih Karuni masih bersikap
manis. "Karena aku sudah tahu
kebusukan hati kalian! Terutama kau, Paman Patih
Karuni...!" Raden Nadara
menunjuk laki-laki tua berjubah merah muda di
depannya "Hm..., rupanya Raden
sudah mengetahui...," desis
Patih Karuni, agak dingin
nada suaranya "Ya, dan kalian baru saja
membantai pengawalkul"
Trak! Patih Karuni menghentakkan tongkatnya ke tanah. Seketika
itu juga empat orang langsung melompat sambil mengibaskan
senjatanya Mereka semua memegang senjata golok berukuran
cukup besar. Tebasan yolok itu demikian kuat, sehingga
menimbulkan angin menderu kencang.


Pendekar Rajawali Sakti 40 Pemburu Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hait...!"
Cepat sekali Raden Nadara mengegoskan tubuhnya ketika
sebilah golok membabat ke arah pinggang. Dan saat itu juga
dihentakkan tangan kirinya menyodok ke arah dada orang itu.
Namun sebelum tangannya sampai, datang sebilah golok
membabat ke arah sodokan Raden Nadara.
"Uts"
Cepat sekali Raden Nadara menarik pulang tangannya,
sebelum golok besar seperti pemenggal kerbau itu
membuntungj tangannya. Raden Nadara langsung melompat
mundur. Namun belum juga kakinya sempurna menjejak tanah,
datang lagi serangan dari arah samping kiri. Sebilah golok
kembali mengibas bagai kilat mengarah ke kepalanya.
Bet! "Setan...!" dengus Raden Nadara seraya menundukkan
kepalanya, maka tebasan golok itu lewat sedikit di atas kepala.
*** Wukk! Wukk! Dua kali Raden Nadara mengecutkan pedangnya begitu
terlepas dari tebasan golok salah seorang penyerangnya.
Namun tebasan yang mengarah dada orang yang berada di
samping kiri, berhasil dipatahkan oleh orang yang berada di
depan dengan mengadukan goloknya pada pedang Raden
Nadara. Senjata mereka sama-sama terpental balik. Dan Raden
Nadara segera melompat mundur ketika dari arah kanan
datang sodokan golok yang begitu cepat Dan pada saat itu,
kaki Raden Nadara terayun menyamping menghantam
punggung orang itu. Ayunan yang cepat dan tidak terduga
sama sekali itu, tak dapat dihindarkan lagi
Bughk...! "Akh!" orang itu memekik tertahan.
Tubuhnya langsung terdorong ke depan, dan goloknya
terhunus lurus. Sedangkan di depan ada seorang temannya
yang hanya bisa terbeliak melihat ujung golok temannya
meluruk deras ke arah dada. Dan kejadian berikutnya sungguh
tidak terbayangkan sama sekali
Crab! "Aaa...!" laki-laki bertubuh tegap berotot itu men-I |i'tit
melengking tinggi ketika golok temannya sendiri | menembus
dadanya. "Hah..."l" orang yang memegang golok terperanjat
Cepat-cepat ditarik goloknya keluar, dan seketika darah
muncrat dari dada yang tertembus golok. Sebentar orang itu
mampu berdiri limbung, kemudian ambruk menggelepar
dengan dada mengucurkan darah segar.
Pada saat semua orang tengah terperangah terhadap
peristiwa yang tidak terduga itu, Raden Nadara memanfaatkannya dengan baik. Dia langsung melompat cepat
bagai kilat seraya mengebutkan pedangnya beberapa kati,
disertai lontaran tendangan keras bertenaga dalam cukup
tinggi. "Hiyaaat...!"
Bret! Crab! Des! Seketika dua orang menggeletak setelah terkena sabetan
pedang Raden Nadara, dan seorang lagi merintih lirih sambil
mendekap dadanya. Dari mulut menyemburkan darah kental
agak kehitaman.
"Setan...! Bunuh bocah keparat itu...!" seru Patih Karuni
keras bernada marah.
Saat itu juga, orang-orang yang memang sejak tadi tinggal
menunggu perintah saja, langsung berlompatan menyerang
Raden Nadara. Mereka semua menghunus senjata yang
berbentuk beraneka ragam. Sejenak Raden Nadara
terperangah, namun dengan cepat memutar pedangnya sambil
berlompatan dan meliukkan tubuhnya
Namun belum juga pertarungan tidak seimbang itu
berlangsung lama, tiba-tiba dari atas pohon meluruk sebuah
bayangan putih yang langsung cepat menyambar dan
menghajar para pengeroyok Raden Nadara. Kemunculan
bayangan putih itu sungguh mengejutkan, karena sebentar saja
telah membuat empat orang tergeletak tak bernyawa lagi
dengan kepala remuk berJ simbah darah.
"Gusti Rangga...," desis Patih Karuni begitu mengenali
pemuda berbaju rompi putih yang kini berdiri tegak di samping
Raden Nadara. "Perbuatan kotor apa lagi yang kau rencanakan di sini, Ki
Sakar...?" dingin sekali nada suara Rangga Matanya menatap
tajam laki-laki tua berjubah merah muda yang memegang
tongkat berkepala bintang bersegi enam berwarna keemasan.
Patih Karuni bergerak mundur tiga langkah. Sungguh tidak
disangka kalau Pendekar Rajawali Sakti itu ada di sini, dan
masih mengenalinya. Laki-laki tua itu memang dulu bernama Ki
Sakar, salah seorang yang berhasil lolos dari kejaran prajurit di
Karang Setra. "Kenapa bengong..." Dia itu Pendekar Rajawali Sakti! Kalian
akan mendapat hadiah dan diangkat menjadi panglima jika
berhasil memenggal kepalanya...!" seru Patih Karuni yang juga
bernama Ki Sakar.
Mendengar teriakan laki-laki tua berjubah merah itu, orangorang yang masih
mengepung di tempat ini langsung saja
tergugah semangat tempurnya. Apalagi setelah Patih Karuni
memberitahu kalau pemuda berbaju rompi putih yang baru
muncul itu adalah Pendekar Rajawali Sakti, orang yang selama
ini dijadikan buruan para pemburu kepala. Dan mereka sendiri
adalah para pemburu kepala juga yang mengharapkan hadiah
besar serta kedudukan tinggi menjadi penglima perang yang
membawahi seribu prajurit. Suatu hadiah yang menggiurkan
sekali. "Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Serentak mereka berlompatan menerjang Pendekar Rajawali
Sakti, dan jadi melupakan Raden Nadara. Bahkan tidak
mempedulikannya sama sekati. Mereka lebih tertarik untuk
menghabisi Pendekar Rajawali Sakti daripada bertarung dengan
Raden Nadara. Hal ini membuat Raden Nadara jadi geram
bukan main, sehingga langsung saja bergerak membantu
Rangga. Pada saat itu, Patih Karuni bergegas kabur meninggalkan
tempat Itu. Namun Rangga dapat mengetahuinya, namun tidak
bisa mencegah kepergian laki-laki tua berjubah merah muda
itu. Hal ini karena serangan-serangan yang datang padanya
begitu gencar dan luar biasa dahsyatnya. Rangga memang
sempat melihat kalau Raden Nadara yang membantunya, tidak
mendapatkan perhatian sama sekali.
"Raden, cepat kejar pengkhianat itu!" seru Rangga
Raden Nadara yang langsung teringat Patih Karuni, masih
sempat melihat bayangan laki-laki tua Itu berkelebat sebelum
menghilang ditelan kegelapan malam. Merasa dirinya memang
tidak mendapat perhatian, Raden Nadara langsung melesat
keluar dari kancah pertempuran, dan tak ada seorang pun yang
mempedulikannya. Perhatian semua orang memang terpusat
pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Kita akan bertemu lagi nanti, Rangga...!" seri Raden
Nadara. "Cepatlah, sebelum dia jauh...!" balas Rangga keras.
Raden Nadara langsung melesat cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh, mengejar Patih Karuni yang melarikan diri
sebagai seorang pengecut Sementara Rangga harus
menghadapi orang-orang yang begitu tergiur dengan hadiah
atas kepalanya. Mereka adalah pemburu-pemburu kepala
berdarah dingin yang langsung silau dengan janji hadiah besar
dan menggiurkan.
"Kalian manusia-manusia keparat! Jangan menyesal jika
kukirim ke neraka!" desis Rangga menggeram.
*** 6 "Buka pintu...!" teriak Patih Karuni begitu sampai di depan
pintu gerbang benteng istana.
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang, bergegas
membuka pintu itu. Patih Karuni langsung menerobos masuk,
tapi cepat berhenti dan membalikkan tubuh.
"Jangan biarkan siapa saja masuk, mengerti..."!" lantang
sekali suara Patih Karuni.
"Mengerti, Gusti Patih," sahut kedua prajurit penjaga pintu
itu bersamaan. "Tutup lagi."
Patih Karuni kembali memutar tubuhnya, lalu bergegas
berjalan cepat setelah pintu gerbang ditutup. Laki-laki tua itu
berteriak-teriak memanggil kepala penjaga dan memerintahkan
untuk memperkuat penjagaan di sekitar istana ini Setelah itu
dia langsung menerobos masuk ke dalam bangunan besar itu.
Ayunan langkahnya kembali terhenti setelah berada di
bagian dalam ruangan depan. Di sana sudah menunggu empat
orang, yang terdiri dari dua orang laki-laki berusia setengah
baya dan dua orang wanita. Yang seorang masih muda dan
cantik, sedangkan seorang lagi sudah berusia sekitar enam
puluh tahun. "Ada apa kau berteriak-teriak, Ki Sakar?" tanya wanita tua
yang mengenakan baju warna hitam. DI pinggangnya melilit
selembar selendang berwarna kuning gading yang pada bagian
ujungnya terdapat untaian baja putih berbentuk jarum halus
dan lemas, "Raden Nadara.... Rupanya masih hidup! Sekarang dia
bersama Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Patih Karuni. Sama
sekali tidak dipedulikan saat wanita tua itu memanggil nama
aslinya. "Apa kau juga melihat ada Ranti bersamanya?" tanya
perempuan tua berbaju hitam itu lagi.
'Tidak," sahut Patih Karuni.
Perempuan tua itu melirik gadis muda yang berdiri di
sampingnya. "Kau kembali bekerja, Nini Calak. Kali ini kau tidak boleh
gagal," perintah perempuan tua itu lagi.
Gadis cantik berbaju biru muda itu tersenyum.
"Jauhkan Raden Nadara dari sini, lalu kau harus
melenyapkan untuk selamanya. Kau pasti tahu bagaimana
caranya, Nini Calak. Lakukan sekarang juga sebelum bocah itu
sampai ke sini," kata perempuan itu lagi.
"Jangan khawatir, Nyi Pari. Tapi aku tidak ingin ada yang
mengusik pekerjaanku," sahut Nini Calak seraya mengerling.
"Ini bukan saatnya bersenang-senang, Ni Calak!" dengus
perempuan tua yang dipanggil Nyi Pari Itu.
Ni Calak hanya tertawa saja. Suara tawanya begitu lepas dan
terdengar merdu sekali. Diayunkan kakinya dengan langkah
gemulai meninggalkan ruangan yang besar dan indah ini.
Sedangkan Nyi Pari hanya mendengus saja melihat tingkah
gadis itu. Namun dua orang yang berada di sampingnya hanya
tersenyum-senyum saja. Mereka seperti menikmati lenggaklenggok langkah Ni Calak
yang begitu gemulai dan mempesona, membuat mata laki-laki mana pun tidak akan
mampu berpaling bila menatapnya.
"Sagala, Parangrang. Kau ikut Ki Sakar. Lenyapkan Pendekar
Rajawali Sakti malam ini juga," perintah Nyi Pari tegas.
"Baik, Nyi," sahut dua laki-laki setengah baya yang berada di
samping perempuan tua berbaju hitam itu.
"Hm..., Apakah kalian melihat adikku?" taya Nyi Pari
setengah bergumam.
'Tidak, Nyi," sahut Sagala seraya memandang Parangrang di
sampingnya. "Sudahlah. Sebaiknya, kalian cepat pergi. Ki Sakar, kau
antarkan mereka ke tempat Pendekar Rajawali Sakti itu."
"Baik, Nyi," sahut Ki Sakar yang juga memakai nama Patih
Karuni. Tiga orang laki-laki itu bergegas melangkah keluar.
Sedangkan Nyi Pari masih berdiri di tengah-tengah ruangan itu
sampai tiga orang laki-laki itu tidak terlihat lagi di balik pintu.
Nyi Pari membalikkan tubuhnya. Tapi baru saja hendak
melangkah, muncul seorang perempuan tua lain yang
mengenakan jubah warna merah, dan rambutnya memutih tak
teratur. Tampaknya dia lebih tua dari Nyi Pari, tapi sebenarnya
lebih muda. "Dari mana saja kau, Dewi Merah?" tanya Nyi Pari.
Perempuan tua berjubah merah itu tidak menjawab, tapi
malah menghenyakkan tubuhnya di sebuah kursi. Wajahnya
nampak murung dengan pandangan mata kosong menatap
lurus ke lantai. Dihentak-hentakkan ujung tongkatnya ke lantai.
"Kau ke penjara bawah tanah lagi...?" tebak Nyi Pari.
"Huh! Dia tetap keras kepala. Kalau tidak ingat bahwa aku
pernah mengandung anaknya, sudah kuhancurkan batok
kepalanya!" rungut Dewi Merah Penghisap Darah.
"Aku sudah peringatkan padamu, tidak akan mungkin dia
akan mengakui. Kau tidak cantik lagi, Dewi Merah. Lihat! Tubuh
dan wajahmu, kelihatan lebih tua dariku dua puluh tahun."
"Ini semua gara-gara laki-laki keparat itu! Aku sudah cukup
banyak berkorban hingga rela menjadi tua sebelum waktunya.
Ini hanya karena ingin membahagiakannya. Kulanggar semua
pantangan untuk mempunyai anak. Sepertinya aku tidak lebih
dari seonggok sampah busuk!" nada suara Dewi Merah
Penghisap Darah masih terdengar geram.
"Itulah akibatnya jika kau tidak suka menuruti nasihatku,
Dewi. Kau terlalu percaya pada rayuan manisnya."
"Huh! Seandainya anak yang kulahirkan laki-laki, mungkin
tidak akan sepera ini jadinya. Malah aku masih bisa
membendung ketuaan, paling tidak sampai Bga puluh tahun.
Tapi kenapa aku harus melahirkan anak perempuan..." Kenapa
fidak kubunuh saja anak itu sejak lahir...?"
"Kau tidak boleh menyesali anakmu, Dewi. Kau lihat, dia
cukup berbakat dan pandai menyamar. Kepandaiannya tinggi
dan selalu setia, meskipun tahu kalau ibunya berwajah buruk
dan sudah tua. Kau patut bertangga memiliki Calak, Dewi."


Pendekar Rajawali Sakti 40 Pemburu Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yaaah..., aku memang bangga. Hanya saja rasa sakit hatiku
belum tuntas kalau tidak membunuh semua keturunan si
keparat Raketu!"
"Pasti, Dewi. Semua pasti terlaksana. Sekarang saja,
mungkin anakmu sudah menghabisi nyawa Raden Nadara," Nyi
Pari membesarkan hati adiknya.
"Heh...! Dia menemukan bocah setan itu..."!" Dewi Merah
Penghisap Darah terperanjat, dan langsung bangkit berdiri.
"Ki Sakar diserang Pendekar Rajawali Sakti dan Raden
Nadara. Sekarang anakmu sedang mengejar Raden Nadara.
Sedangkan dua orang muridku serta Ki Sakar mengejar
Pendekar Rajawali Saka," jelas Nyi Pari.
'Tanpa prajurit...?"
"Untuk apa" Manusia-manusia tolol itu, toh sebentar lagi
akan mati. Mereka tidak ada gunanya. Mereka akan patuh pada
siapa saja yang terkuat Aku tidak pernah suka dengan para
prajurit yang hanya memikirkan gentong nasi, tapi kerjanya
tidak pernah becus!" dengus Nyi Pari.
"Aku akan pergi, Nyi," kata Dewi Merah Penghl sap Darah.
"Ke mana?"
Dewi Merah Penghisap Darah tidak menyahut, bahkan
langsung saja melesat pergi. Sekejap saja bayangannya sudah
tidak terlihat lagi di ruangan ini. Nyi Pari hanya mendesah
panjang dan mengangkat pundaknya. Dia sendiri kemudian
meninggalkan ruangan besar dan indah itu. Suasana kembali
menjadi sunyi senyap, tak terdengar lagi suara sedikit pun.
*** Sementara itu di tepi hutan Kaki Gunung Anjar, Rangga
sudah menyelesaikan pertarungannya. Tak ada lagi lawan yang
tersisa. Mereka semua tewas dengan tubuh beriumuran darah.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat pergi mengejar
Raden Nadara yang sedang mengejar Patih Karuni.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali
Sakti memang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Maka
dalam waktu sebentar saja, dia sudah begitu jauh
meninggalkan arena pertarungan tadi. Rangga terus berlari
cepat menembus kegelapan malam yang teramat pekat Namun
mendadak saja, Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan larinya.
"Raden...," panggil Rangga begitu melihat Raden Nadara
tengah berbicara dengan seorang gadis berbaju biru muda.
Raden Nadara dan gadis itu berpaling, sementara Rangga
bergegas menghampiri. Pendekar Rajawali Sakti itu agak
terkejut juga, karena gadis itu ternyata Ranti, adik angkat
Raden Nadara sendiri. Rangga jadi bingung juga, karena belum
lama tadi, Raden Nadara mengatakan kalau Ranti menunggu di
Istana Karang Setra. Tapi mengapa sekarang sudah ada di sini"
"Kebetulan kau datang, Rangga...," sambut Raden Nadara.
Rangga menatap dalam-dalam wajah Ranti. Dan gadis itu
juga menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Sejak pertama
bertemu, Ranti memang sudah berselisih karena masalah kecil
memperebutkan kelinci buruan. Tapi bukan karena sikap Ranti
yang selalu membuat jarak permusuhan, namun akibat
pengalaman Pendekar Rajawali Sakti itu sendiri yang masih
belum bisa mengerti kalau ada dua Ranti di sini.
"Rangga, Ranti baru saja datang dari Karang Setra. Dia
mengatakan, prajurit Karang Setra sebentar laki akan datang
membantu merebut kembali Istana Kedung Antal," tutur Raden
Nadara dengan wajah cerah.
Rangga hanya diam saja, dan sepertinya tidak mendengar
kata-kata Raden Nadara. Tatapan matanya masih begitu tajam
terarah langsung pada gadis berbaju biru itu.
"Ranti juga mengatakan kalau sudah bertemu Ayahanda
Prabu, dan sekarang menunggu di suatu tempat yang aman
dan rahasia," kata Raden Nadara lagi.
"Raden Nadara, bisa aku bicara sebentar berdua saja
denganmu?" pinta Rangga, datar nada suaranya
"Ada apa, Rangga" Kau kelihatannya...."
Rangga tidak mempedulikan keberatan Raden Nadara, dan
cepat menarik tangan pemuda itu. Dibawanya Raden Nadara
menjauh dari Ranti. Sedangkan gadis itu menunggu saja
dengan bibir mengulas senyuman tipis seperti mengejek Raden
Nadara jadi kebingungan juga, tapi terpaksa mengikuti.
"Ada apa, Rangga...?" tanya Raden Nadara setelah cukup
jauh dari Ranti jaraknya.
"Kau ingat tentang ceritaku, Raden...?" Rangga balik
bertanya dengan suara datar dan agak dingin.
"Cerita yang mana...?" Raden Nadara tidak mengerti.
"Pertarunganku dengan Ranti."
"Rangga..., kau ja...."
"Aku belum selesai, Raden!" sentak Rangga cepat memutus.
Raden Nadara benar-benar tidak mengerti akan sikap
Rangga yang begitu sungguh-sungguh. Sebentar dilayapinya
wajah pendekar muda berbaju rompi putih itu, kemudian
melirik pada Ranti yang masih sabar menunggu.
"Berapa hari dari Karang Setra ke sini?" tanya Rangga.
"Apa maksudmu bertanya seperti itu, Rangga?" nada suara
Raden Nadara seperti tidak senang.
"Jawab saja pertanyaanku, Raden. Ini demi keselamatan
nyawamu, juga keutuhan kerajaan ini."
"Tujuh hari," sahut Raden Nadara masih belum mengerti
sikap Rangga. "Kau mengatakan kalau Patih Argabaya dan Panglima Kitin
menyusul setelah dua hari kau pergi, dan bertemu di sini
setelah kau tiba dua hari pula di sini. Bukankah begitu?"
"Benar."
"Dan kau juga tanyakan tentang Ranti di sana, bukan?"
"Iya. Ranti masih ada, dan tetap ingin menunggu Gusti
Prabu Karang Setra," sahut Raden Nadara semakin
kebingungan. "Rangga.... Jangan membuatku bingung. Apa
sebenarnya maksudmu ini...?"
"Aku hanya ingin agar kau bisa berpikir panjang dan tidak
cepat terpedaya yang justru akan membuatmu menyesal
seumur hidup," sahut Rangga kalem.
"Aku jadi bingung," Raden Nadara benar-benar tidak
memahami maksud Rangga sebenarnya.
"Raden, baru dua hari kau berada di sini. Dan baru siang tadi
kau bertemu Patih Argabaya dan Panglima Kirin. Apakah
mungkin Ranti bisa berada di sini dalam satu hari" Apakah
mungkin Ranti berada di dua tempat dalam waktu yang sama"
Kau harus ingat pertarunganku dengannya. Malah kau sendiri
yang mengatakan kalau pada saat itu adikmu ada bersamamu,
jauh dari tempat ini."
Raden Nadara langsung terdiam membisu. Diliriknya Ranti
yang masih menunggu cukup jauh jaraknya. Tidak mungkin
gadis itu bisa mendengarkan percakapan ini, kecuali bila
memiliki ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara' seperti yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti. Kata-kata Rangga yang terakhir,
membuat Raden Nadara jadi berpikir keras.
"Aku akan menguji apakah dia Ranti asli atau pai su. Aku
harap kau diam saja, Raden," kata Rangga meminta.
"Baiklah. Tapi kalau ternyata dugaanmu salah, kau harus
mencium kakinya," sahut Raden Nadara.
"Akan kulakukan kalau memang dia itu Ranti"
Mereka kemudian kembari menghampiri Ranti yang masih
menunggu sabar. Tapi. wajah gadis itu langsung memberengut
begitu matanya bertemu pandang dengan sorot mata Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ranti, apa benar prajurit Karang Setra akan datang ke sini?"
tanya Rangga langsung.
"Iya! Memangnya aku bohong...?" sahut Ranti ketus.
"Siapa yang memimpin?" tanya Rangga lagi.
"Mana aku tahu" Aku pergi lebih dahulu. Mereka menjanjikan
akan mengirim pasukan secepatnya ke sini, dan langsung
menggempur setelah mendapat perintah dari Kakang Nadara,"
sahut Ranti lagi.
"Mereka..." Memangnya siapa yang menjanjikan pengiriman
prajurit itu?" tanya Rangga lagi tetap memancing.
"Pembesar-pembesar istana, dan...," suara Ranti terputus.
"Dan, siapa?" desak Rangga.
"Untuk apa sih kau ingin tahu" Ini urusan kerajaan, dan kau
sendiri orang luar yang tidak perlu ikut campur?" sentak Ranti
ketus. "Ranti, Rangga sudah banyak membantu. Dia pedu tahu.
Apa salahnya jika menjawab saja," desah Raden Nadara lembut
"Huh! Tentu saja Raja Karang Setra yang akan mengirim
prajuritnya!" dengus Ranti memberengut
Mendengar jawaban itu, Rangga langsung tersenyum lebar.
"Kau bertemu dengannya?" tanya Rangga lagi.
"Untuk apa aku menunggu kalau tidak bertemu dengannya"
Gusti Prabu sendiri yang bicara denganku, dan akan
mengirimkan prajurit ke sini dalam waktu dekat. Makanya aku
terus saja ke sini untuk memberi kabar," masih bernada ketus
jawaban Ranti. Dan senyum di bibir Rangga semakin melebar. Tentu saja
sudah bisa dipastikan kalau gadis di depannya ini bukan Ranti
yang sebenarnya. Buktinya jawaban yang diberikan hanya
karangannya belaka. Untung saja Ranti tidak tahu siapa itu
Raja Karang Setra. Bahkan jarang ada orang yang tahu tentang
Raja Karang Setra, kecuali orang-orang tertentu saja.
"Baiklah, di mana Prabu Raketu menunggu sekarang?" tanya
Rangga dengan bibir tersenyum terus.
"Ayahanda Prabu hanya ingin bertemu dengan Kakang
Nadara. Bukan kau!" dengus Ranti lagi.
"Ranti, biarlah Rangga ikut bersama kita. Aku yang akan
menjelaskan pada Ayahanda Prabu nanti," selak Raden Nadara.
'Tidak! Aku tidak ingin kena marah nanti!" sentak Ranti,
bersikeras. "Kalau begitu, aku akan memaksa ikut!" tegas
"Heh..."!" Ranti mendelik gusarr
"Kenapa kau tidak memperbolehkan aku ikut" Kau takut
topengmu terbongkar" Kau takut kalau aku menggagalkan
rencana busukmu" Siapa sebenarnya kau ini..."! dingin sekali
nada suara Rangga.
"Rangga...!" sentak Raden Nadara terkejut
"Dia bukan Ranti, Raden. Aku tahu kalau dia tidak dari
Karang Setra, dan tidak bertemu Raja Karang Setra. Bahkan
tidak tahu, siapa Itu Raja Karang Setra!" jelas Rangga.
"Perempuan ini akan membunuhmu di tempat yang sudah
direncanakan, Raden."
Raden Nadara tampak kebingungan. Gadis itu, baik wajah
maupun bentuk tubuhnya tidak jauh berbeda dengan Ranti.
Bahkan suaranya pun mirip sekali. Tak ada perbedaannya
sedikit pun juga. Sedangkan Rangga memastikan kalau gadis
itu bukan Ranti, tapi orang lain yang menyamar.
"Kau memang selalu mencari gara-gara, pemuda setan!"
geram Ranti sengit.
'Tidak ada gunanya terus-terusan bermain sandiwara di
depanku, Nisanak. Siapa kau sebenarnya...?" sentak Rangga
ketus. "Kakang Nadara...! Dia sudah berani kurang ajar padaku...!"
sentak Ranti, memerah wajahnya.
Sedangkan Raden Nadara kelihatan kebingungan, dan tidak
mampu lagi menentukan sikap. Dipandanginya Ranti dan
Rangga bergantian. Benar-benar membingungkan...!"
"Nisanak, sebaiknya lepaskan saja topengmu. Pasti wajahmu
jelek sekali di balik topeng wajah Ranti," kata Rangga, semakin
sinis nada suaranya.
"Keparat...!" geram Ranti memuncak amarahnya. Rangga
hanya tersenyum saja. Seketika dijulurkan tangannya ke wajah
gadis itu. Tapi cepat sekali Ranti menyentakkan tangannya.
Tapi dengan cepat pula Rangga menarik tangannya, dan
langsung memutar ke bawah. Kembali tangannya menyentak
cepat ke wajah gadis Itu.
"Setan...!" geram Ranti sengit. Buru-buru ditarik kepalanya
ke belakang, dari kakinya bergerak mundur dua tindak. Cepat
sekali gadis itu mencabut pedang yang tergantung di pinggang,
dan secepat itu pula dikibaskan ke arah perut Pendekar
Rajawali Sakti. Wut!
-oo0dw0oo- 7 "Uts!"
Buru-buru Rangga menarik perutnya ke belakang, sehingga
tebasan ujung pedang Ranti hanya sedikit lewat di depan
perutnya. Dan sebelum gadis itu bisa memutar arah
pedangnya, dengan cepat sekali Rangga mengibaskan tangan
kiri, menotok ke arah pergelang an tangan kanan gadis itu.
"lkh...!" Ranti terpekik tertahan.
Buru-buru ditarik tangannya, sehingga totokan Rangga tidak
mengenai sasaran. 'Saat itu juga, Ranti melompat ke belakang
sejauh dua batang tomba Namun pada saat yang sama,
Rangga sudah meles mengejar sambil mengerahkan jurus
'Sayap Rajaw-Membelah Mega'. Dua kali tangan Pendekar
Rajawa Sakti itu bergerak mengibas dengan kecepatan tinggi
Wuk! Bet! "Oh...!"
Ranti terperanjat ketika pada kibasan tangan ya kedua,
berhasil menyambar wajahnya. Gadis itu be putar, narnun
tubuhnya terhuyung. Pada saat kesei" bangan tubuh Ranti
belum terjaga, Rangga sudah me lepaskan satu tendangan
keras ke arah dada. Tendangan itu tak dapat dihindarkan lagi,
sehingga tepat menghantam dada gadis itu. . "Akh...!" Ranti
terpekik keras. Tubuh yang ramping itu terjajar ke belakang,
dan jatuh terjerembab ke tanah. Rangga tidak ingin lagi
memberi kesempatan pada gadis ini untuk bertindak lebih jauh.
Dia sudah pernah kecolongan, dan tidak akan terulang untuk
kedua kalinya, karena kini dia tahu kalau gadis ini bukan Ranti.
Dengan cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat
memburu, dan menjejak leher gadis itu dengan telapak
kakinya. Dan dengan gerakan yang cepat, tangannya
menyambar ke arah wajah. Bret!
"Akh...!" lagi-lagi Ranti terpekik.
"Hih...!"
Rangga mencampakkan kulit tipis yang dijambretnya dari
wajah gadis berbaju biru muda itu, kemudian melompat
mundur. Tubuh Rangga agak membungkuk, memungut pedang
yang terlepas dari genggaman gadis itu ketika tendangannya
bersarang di dada yang membusung ita Pendekar Rajawali
Sake menempelkan ujung pedang itu ke leher pemiliknya.


Pendekar Rajawali Sakti 40 Pemburu Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah gadis itu kini sudah berubah. Bukan lagi wajah Ranti,
melainkan wajah seorang gadis lain yang bernama Nini Calak.
"Heh..."!" Raden Nadara yang baru saja mendekati, terkejut
bukan main begitu melihat wajah gadis itu memang benar
bukan wajah adiknya.
Raden Nadara memungut kulit tipis yang dicam pakkan
Rangga tadi Kulit tipis yang berbentuk wajah cantik yang
sangat mirip wajah Ranti. Ternyata Nini Calak menggunakan
topeng dari kulit binatang yang dibuat setipis mungkin, dan
dibentuk agar mirip wajah Ranti. Gadis itu memang pandai
membuat samaran, seperti yang dikatakan Nyi Pari.
"Siapa kau sebenarnya...?" tanya Raden Nadara
"Huh!" Nini Calak hanya mendengus saja.
"Raden, aku yakin bukan dia biang keladinya. Tapi masih ada
orang lain lagi di istana," tegas Rangga.
"Siapa pun biang keladinya, perempuan Ini harus menerima
hukuman yang setimpal," tegas Raden Nadara.
"Itu urusanmu, Raden."
Rangga menjauhkan ujung pedang dari leher Nini Calak.
Dibuangnya pedang itu, dan ditariknya tangan Nini Calak,
sehingga gadis itu tersentak sampai bangkit berdiri.
"Kau bawa tali, Raden?" tanya Rangga tetap memegangi
tangan gadis itu yang dipelintir ke belakang tubuhnya.
"Ada di kudaku," sahut Raden Nadara.
Sebelum Rangga meminta untuk mengambil, Raden Nadara
sudah cepat melangkah menghampiri kudanya yang sedang
merumput di bawah pohon. Diambilnya segulung tambang
yang tersampir di pelana kudanya. Bergegas dihampiri Rangga
kembali untuk menyerahkan tambang itu padanya. Cepat
Rangga menerima, lalu mengikat tangan Nini Calak yang
disatukan ke belakang tubuhnya. Kemudian dililitkan tambang
itu ke tubuh dan leher. Kini Nini Calak benar-benar tidak punya
daya lagi. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Rangga?" tanya
Raden Nadara. "Bawa dia ke istana," sahut Rangga.
"Gila...! Kau akan menyerahkan diri pada mereka..."!" sentak
Raden Nadara terkejut
"Kita punya jaminan untuk tetap selamat, Raden. Aku yakin,
mereka akan berpikir seribu kali untuk bertindak."
"Jika mereka tidak mempedulikan keselamatan gadis itu?"
"Untuk mencapai keberhasilan, perlu perjuangan berat,
Raden. Darah tak akan ada artinya bBa membuat bumi yang
kita pflak menjadi harum," kata Rangga menjawab pertanyaan
Raden Nadara dengan kata kiasan.
Raden Nadara tidak bersuara lagi. Sudah bisa dipahami
maksud Pendekar Rajawali Sakti itu. Untuk mencapai keinginan,
memang diperlukan suatu perjuangan berat dan panjang. Dan
perjuangan itu sendiri membutuhkan suatu pengorbanan yang
tidak kecil artinya.
Sebuah pondok kecil yang tidak berpenghuni lagi, menjadi
tempat bagi Rangga dan Raden Nadara untuk menunggu siang.
Mereka tentu saja tidak mungkin dapat tidur, karena harus
menjaga seorang tawanan yang sangat berarti lagi berbahaya.
Sedikit kelengahan saja akan memberikan kesempatan besar
bagi Nini Calak untuk berusaha meloloskan diri.
Mereka memang tidak mungkin bergerak malam ini juga.
Apalagi sudah terlalu lelah melakukan pertarungan yang seperti
tidak ada habis-habisnya sejak siang tadi. Sementara malam
masih terlalu panjang untuk ditunggu. Rangga meminta Raden
Nadara untuk tidur, tapi pemuda itu menolak dan ingin tetap
menunggu hingga fajar.
"Kenapa kita tidak membuat api agar tidak terlalu dingin,
Rangga?" keluh Raden Nadara seraya bergidik mengusir rasa
dingin yang menggigit tulang.
"Aku tidak ingin membuat perhatian. Mereka tentu sedang
mencari kita, Raden," sahut Rangga.
"Hhh.... Aku benar-benar
Maafkan," desah Raden Nadara.
menyusahkanmu, Rangga. "Kau hanya belum terbiasa hidup di alam bebas, Raden,"
hibur Rangga. "Ya. Selama ini aku memang terbiasa hidup dalam
lingkungan istana. Sebenarnya aku ingin mengembara mencari
pengalaman, tapi Ayahanda Prabu tidak pernah mengijinkan.
Katanya, banyak yang bisa dikerjakan dan diperoleh di dalam
wilayah kerajaan," ungkap Raden Nadara kembali, dan
terdengar nada keluhan.
"Jika kau mendekatkan diri pada rakyat, tentu banyak yang
bisa diperoleh, Raden. Teriebih lagi, wilayah Kerajaan Kedung
Antal ini begitu luas. Kau pasti akan bisa mendapatkan banyak
pelajaran di sini. Yaaah..., kurasa kata-kata ayahmu benar juga.
Tentu dia menginginkan agar kau menimba pengalaman lebih
dahulu di dalam, sebelum melangkah lebih jauh lagi," kembali
Rangga membesarkan hati pemuda itu.
"Kau bijaksana sekali, Rangga. Kau pasti sudah mengembara
sejak muda belia. Aku jadi iri padamu," ucap Raden Nadara
tanpa malu-malu lagi.
"Alamlah yang membuatku seperti ini, Raden," Rangga
merendah. "Sebenarnya kehidupan seperti Radenlah yang
selalu diidamkan banyak orang."
"Tapi aku merasa seperti terkungkung dalam sangkar emas,
Rangga. Memang segalanya bisa kuperoleh dengan mudah, tapi
apa yang diperoleh dan kunikmati, bukan dari hasil jerih
payahku sendiri. Aku dihormati, bukan karena apa yang
kulakukan, tapi karena apa yang kupakai dan kusandang.
Yaaah..., penghormatan palsu...."
Rangga hanya tersenyum saja. Keluhan Raden Nadara
memang pernah juga dirasakan saat dirinya berada di dalam
Istana Karang Setra. Hanya bedanya. Rangga masih punya
kebebasan untuk menentukan jalan hidup sendiri, tanpa ada
seorang pun yang bisa menentangnya. Sedangkan yang dialami
Raden Nadara tidak sebebas yang dimilikinya. Ada benteng
yang sukar ditembus mengelilingi kehidupan pemuda itu.
Tapi, nampaknya benteng itu semakin menipis saja saat ini.
Peristiwa ini telah membuka jalan bagi Raden Nadara untuk
memulai kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan di alam
bebas, bagai burung yang bebas terbang ke mana saja dia
suka. Namun masih ada keterbatasan pada diri Raden Nadara.
Pemuda itu masih mempunyai tanggung jawab untuk
mengembalikan dan memulihkan Kerajaan Kedung Antal seperti
semula. Suatu tanggung jawab yang tidak kecil artinya, dan
sangat besar manfaatnya. Di sinilah harus dibuktikan bahwa
dirinya sudah mampu untuk hidup mandiri.
"Rangga, boleh tanya sesuatu padamu...?" pinta Raden
Nadara setelah cukup lama berdiam diri.
"Silakan," sahut Rangga terbuka.
"Bagaimana kau bisa yakin kalau Ranti yang tadi palsu?"
tanya Raden Nadara langsung mengalihkan pembicaraan.
"Dengan iri...," sahut Rangga seraya menunjuk
"Maksudmu..." Dengan perkiraan waktu?" tebak Raden
Nadara. "Salah satu di antaranya." 'Tapi, kenapa kau begitu yakin"
Bahkan membuatnya marah."
"Dia melakukan kesalahan besar yang diyakininya benar.
Padahai suatu keyakinan, tidak selamanya akan bisa menolong
diri sendiri," sahut Rangga kalem.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Rangga...?"
"Dia menelanjangi dirinya sendiri saat bercerita tentang
Karang Setra, dan rajanya. Padahal dia tidak pernah mengenal
seperti apa itu Raja Karang Setra. Dusta itulah yang
membuatnya tidak bisa lagi menyembunyikan kedoknya," jelas
Rangga. "Bagaimana mungkin kau bisa tahu dia berdusta?" tanya
Raden Nadara ingin tahu.
Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
Rasanya memang tidak mungkin dijelaskan tentang dirinya
yang sebenarnya. Dan hal ini akan tetap dijaga. Entah, sampai
kapan nanti. Yang jelas, sedapat mungkin, kerahasiaan dirinya
harus tetap terjaga rapi. Dan rupanya Raden Nadara juga
termasuk laki-laki yang sukar untuk bisa cepat mengerti.
'Terus terang, aku sendiri tidak tahu kalau dia itu bukan
Ranti. Bahkan sebenarnya aku tadi ingin marah ketika kau terus
memojokkannya. Tapi, yaaah.... Aku sendiri tidak tahu,
mengapa aku begitu percaya padamu," ujar Raden Nadara lagi.
"Mungkin itu sebabnya, mengapa ayahmu tidak pernah
mengijinkan kau mengembara, Raden. Kau masih terlalu polos,
dan masih perlu banyak belajar tentang watak seseorang.
Dunia persilatan itu ganas sekali. Penuh daya tipu dan kelicikan,
di samping mengandalkan tingkatan kepandaian ilmu olah
kanu-ragan dan ilmu kesaktian. Namun, semua kekuatan itu
tidak akan berguna jika tidak diimbangi akal pikiran yang
cerdas dan cepat tanggap dalam menilai keadaan
bagaimanapun macamnya," kembali Rangga memberi
penjelasan tentang kehidupan.
"Ah! Semakin jauh aku mengenalmu, rasanya semakin kecil
aku di matamu, Rangga. Aku. memang masih terlalu dangkal
dalam hal apa pun juga."
"Tidak dalam segala hal, Radea Dalam hal-hal tertentu, kau
pasti punya kelebihan. Dan setiap manusia tidak ada yang
sempurna. Pasti ada kekurangan dan kelebihannya," kembali
Rangga membesarkan hati pemuda itu.
'Terima kasih. Rangga. Tapi kali ini aku memang tidak ingin
menutupi segala kekuranganku, dan ingin lebih banyak belajar
darimu," tegas Raden Nadara.
"Raden bisa belajar pada siapa saja, dan di mana saja.
Bukan hanya para petinggi, tapi juga rakyat biasa. Bahkan bisa
pula belajar dari para pengemis, gelandangan, tukang kayu
atau siapa saja yang hampir semua orang menganggapnya
rendah. Padahal justru dari merekalah kita bisa belajar banyak
tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Karena, mereka
hidup dalam kepolosan dan apa adanya. Lain hal jika kau
belajar dari orang-orang berada dan para petinggi. Mereka
biasanya menutupi yang lemah, dan mengangkat yang kuat."
Raden Nadara mengangguk-anggukkan kepalanya. Semua
kata yang diucapkan Rangga benar-benar diresapi. Hatinya
benar-benar kagum pada pemuda berbaju rompi putih itu.
Setiap kata yang diucapkan, mengandung arti yang sangat
dalam, dan yang akan membawa kebahagiaan hidup.
Tiga ekor kuda berjalan pelahan-lahan memasuki gerbang
perbatasan Kota Kerajaan Kedung Antal. Saat itu, matahari
baru saja menampakkan ujudnya di balik cakrawala sebelah
Timur. Sinarnya yang kemerahan menyemburat indah,
menyongsong pagi yang cerah ini. Sepanjang jalan yang dilalui,
tampak sunyi senyap.
Beberapa orang yang kebetulan berpapasan, langsung
menyingkir dengan mimik wajah menyiratkan ketakutan yang
amat sangat Tampak pula, kepala-kepala bersembulan keluar dari balik
pintu dan jendela yang setengah tertutup. Sementara
penunggang kuda yang terdiri dua orang pemuda yang
mengapit seorang wanita muda dengan tubuh terikat tambang,
terus mengendalikan kudanya agar jalan pelahan-lahan.
Mereka adalah Rangga, Raden Nadara dan seorang tawanan
wanita yang bernama Ni Calak. Tiga orang itu terus bergerak
menuju bangunan Istana Kerajaan Kedung Antal. Tidak seperti
biasanya, jalan utama kerajaan ini begitu sunyi. Hanya terlihat
beberapa orang yang berada di luar rumah. Namun sepanjang
jalan yang di kanan kirinya berdiri rumah-rumah, tampak
kepala-kepala bersembulan.
"Mereka seperti hidup di dalam neraka," desis Raden Nadara
lirih. "Mereka sudah cukup menderita. Kewajibanmu untuk
mengembalikan mereka pada kehidupan yang damai," sahut
Rangga. "Ya..., aku akan membuat mereka bergembira. Dan sekarang
saatnya yang tepat" tekad Raden Nadara.
"Heh...! Kalian cuma bermimpi!" dengus Ni Calak ketus
bernada sangat sinis.
"Tidak seperti mimpimu yang buruk di dalam penjara nanti,
Nisanak!" timpal Raden Nadara sengit
"Ha ha ha...! Sebentar lagi pasti kalian akan bermimpi di
dalam neraka!"
Hampir saja Raden Nadara mencabut pedangnya, jika
Rangga tidak segera mengerdipkan matanya. Dan mereka
seketika menghentikan langkah kuda setelah tiba tidak jauh di
depan pintu gerbang benteng istana. Dua orang prajurit
penjaga pintu gerbang itu terbeliak begitu melihat kedatangan
Raden Nadara. Namun yang lebih membuat mereka terkejut
lagi adalah adanya Ni Calak bersama Raden Nadara dalam
keadaan tubuh terikat dan tangan juga terikat ke belakang.
Kedua prajurit penjaga pintu gerbang itu seperti jadi serba
salah. Bagaimanapun juga, mereka mengenal Raden Nadara
dan gadis muda itu. Sikap dua prajurit itu, bisa dipahami Raden
Nadara. Dan pemuda itu melompat turun dari punggung
kudanya. Dengan tangkah yang tegap dan pasti, dihampirinya
kedua prajurit penjaga pintu gerbang itu.
"Raden..," hampir bersamaan mereka membuka suara
dengan tubuh bergetar.
"Apakah hanya kalian berdua yang menjaga sini?" tanya
Raden Nadara. "B..., beb..., benar, Raden," sahut salah seorang jadi
tergagap. "Kalian senang melakukan tugas dari orang yang bukan
junjungan kalian?" tanya Raden Nadara lagi.
Kedua prajurit penjaga itu tidak bisa menjawab. Mereka
langsung melirik Ni Calak, kemudian tertunduk dan kembali
memandang Raden Nadara.
"Jika mengaku sebagai prajurit sejati, tunjukkan jiwa
keprajuritan kalian. Tunjukkan bahwa kalian adalah prajurit
yang taat dan setia pada junjungan. Pada Gusti Prabu Raketu,"
kata Raden Nadara lagi.
"Raden...."
Kedua prajurit itu menjatuhkan dirinya berlutut Mereka tidak
lagi memandang wajah pemuda itu. Kepala mereka tertunduk
dalam. Melihat sikap kedua prajurit itu, Ni Calak jadi mendesis
geram. Sedangkan Raden Nadara tersenyum. Dengan sikap
kedua prajurit ini, bisa disimpulkan kalau semua prajurit yang
masih ada di dalam benteng istana, tentu mendapat tekanan


Pendekar Rajawali Sakti 40 Pemburu Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan keterpaksaan dalam batinnya. Mereka ingin memberontak,
tapi tak kuasa menentang para pengkhianat kerajaan yang
memiliki tingkat kepandaian tinggi di samping kejam. Mereka
tidak segan-segan memenggal kepala prajurit yang mencoba
membangkang. "Ampunkan hamba. Raden. Hamba tetap setia pada Gusti
Prabu Raketu," ucap salah seorang prajurit tanpa mengangkat
kepalanya. "Benar, Raden. Sebenarnya kami menunggu perintah dari
Raden, karena kini kami tidak lagi mempunyai pemimpin,"
sambung prajurit satunya lagi.
"Bagus! Jika kalian masih tetap setia pada Prabu Raketu,
ajak teman-teman kalian untuk menemuiku di tepi Hutan Kaki
Gunung Anjar. Kita akan bersama-sama mengusir para
pengkhianat itu dari bumi Kedung Antal ini!" tegas nada suara
Raden Nadara. "Akan hamba laksanakan, Raden," sahut kedua prajurit itu
berbarengan. Raden Nadara tersenyum senang. Dia berbalik dan
menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan, pemuda itu
melompat naik ke punggung kudanya. "Ayo, Rangga. Kita
kembali ke pondok," ajak Raden Nadara.
Rangga tidak membantah. Segera digebah kudanya sambil
menuntun kuda yang ditunggangi Ni Calak. Mereka menggebah
kudanya cepat, meninggalkan bagian depan istana itu. Kedua
prajurit penjaga pintu gerbang, bangkit berdiri setelah suara
langkah kaki kuda tidak terdengar lagi. Mereka sejenak
memandang debu yang berkepul membumbung tinggi di
kejauhan sana. Kedua prajurit itu saling berpandangan, dan sama-sama
berpaling menatap pintu gerbang yang tertutup rapat Rupanya
mereka kini jadi bimbang hatinya. Apalagi bila teringat
beberapa temannya yang tewas terpenggal rianya sedikit saja
melakukan kesalahan. Dan kini, mereka diminta untuk
membawa teman-teman mereka kembali bergabung dengan
Raden Nadara dan berkumpul di tepi Hutan Kaki Gunung Anjar.
"Bagaimana...?" tanya salah seorang prajurit yang berkumis,
meminta pendapat temannya.
"Kau sendiri bagaimana?"
"Aku merasa, ini saat yang tepat untuk lepas dari
cengkeraman manusia-manusia iblis itu."
"Kalau begitu, cepat kita hubungi yang lain. Terutama dari
kelompok kita dulu."
"Ayolah, kita tinggalkan saja gerbang ini."
-oo0dw0oo- 8 Raden Nadara tersenyum memandangi para prajurit yang
sudah berkumpul di lapangan rumput tepi Hutan Kaki Gunung
Anjar ini. Meskipun tidak semua, tapi jumlah mereka sudah
lebih dari separuh prajurit yang ada di Kerajaan Kedung Antal.
Dan semuanya sudah menyatakan untuk tetap setia pada
junjungan Prabu Raketu. Mereka juga bersumpah untuk
mentaati perintah yang datang dari Raden Nadara.
Ternyata apa yang dikatakan Rangga semalam, memang
terbukti kenyataannya. Para prajurit itu sebenarnya tidak ingin
memberontak pada kerajaan. Mereka hanya menunggu seorang
pimpinan, dan menunggu waktu untuk mengadakan perebutan
kembali. Melihat kesiapan para prajurit itu. Raden Nadara tidak
menunggu waktu lagi. Mereka segera diperintahkan untuk
segera berangkat. Sebelumnya, ditunjuk dua puluh orang
prajurit serta tiga orang punggawa untuk tetap berada di
tempat ini menjaga Ni Calak.
Raden Nadara berkuda paiing depan didampingi Pendekar
Rajawali Sakti. Di belakangnya, tampak para panglima perang
dan patih yang tetap setia, serta beberapa pembesar kerajaan
yang memiliki ilmu olah keprajuritan. Lebih ke belakang,
tampak para tamtama, punggawa, dan para prajurit. Barisan
mereka begitupanjang dan terbagi dalam empat kelompok yang
masing-masing dipimpin seorang panglima.
"Kau benar, Rangga. Ternyata mereka adalah prajurit setia.
Aku benar-benar terharu terhadap kesetiaan mereka," ungkap
Raden Nadara. Rangga yang berkuda di samping pemuda itu, hanya
tersenyum saja. Masalahnya, hai seperti ini pernah dialami
juga. Itu sebabnya, mengapa dia begitu yakin kalau para
prajurit itu sebenarnya masih setia pada Prabu Raketu, dan
sebenarnya sedang menunggu seorang pemimpin.
"Rasanya aku tidak mungkin bisa membalas jasamu,
Rangga," kata Raden Nadara lagi.
"Aku sudah senang jika Kerajaan Kedung Antal kembali utuh
seperti semula," sahut Rangga merendah.
"Itu semua berkat jasamu, Rangga."
"Berkat pengabdianmu yang suci. Raden."
"Ah! Kau selalu saja membuatku melambung, Rangga. Aku
khawatir akan menjadi besar kepala nanti,' desah Raden
Nadara tersipu.
Mereka tidak bicara lagi. Dan rombongan yang berjumlah
besar itu terus bergerak memasuki kota. Rakyat yang melihat
para prajurit kerajaan dipimpin Raden Nadara, langsung
menyambutnya dengan sorak-sorai dan gegap gempita. Mereka
begitu gembira, karena akan kembali terbebas dari
cengkeraman manusia iblis. Inilah hari yang ditunggu-tunggu
sejak lama. Dan kegembiraan ini diungkapkan dengan
menggabungkan diri ke dalam barisan.
Raden Nadara tidak bisa mencegah, dan hanya semakin
terharu melihat kesetiaan rakyat Kedung Antal. Mereka rela
menyabung nyawa, demi keutuhan Kerajaan Kedung Antal
yang dicintai. Rombongan yang dipimpin Raden Nadara itu semakin
mendekati Istana Kedung Antal. Dan semakin lama jumlah
mereka semakin bertambah banyak, karena para pemuda dan
laki-laki yang merasa tubuhnya masih kuat, langsung
menggabungkan diri begitu mengetahui Raden Nadara yang
memimpin pasukan prajurit ini.
"Perintahkan setiap kelompok menempati posisi," kata Raden
Nadara begitu mereka berada di depan istana.
Salah seorang panglima yang berada di belakang Raden
Nadara, langsung memberikan perintah itu. Maka pasukan yang
sudah dibagi dalam empat kelompok itu, langsung menyebar
menempati posisi yang sudah ditentukan.
"Bagaimana dengan rakyat, Rangga?" tanya Raden Nadara
meminta pendapat
"Katakan pada para patih dan pembesar untuk bergabung
bersama rakyat, dan mencegah rakyat bentrok langsung jika
tidak terpaksa," sahut Rangga.
Raden Nadara tersenyum, lalu segera memberikan perintah
pada seorang patih untuk mengatur rakyat agar tidak bentrok
langsung jika tidak terpaksa. Setelah itu, Raden Nadara kembali
menghampiri Rangga yang sudah turun dari kudanya. Raden
Nadara juga turun dari kudanya, lalu berdiri di samping pemuda
berbaju rompi putih itu.
'Tampaknya mereka sudah siap menyambut, Rangga," kata
Raden Nadara. "Benar," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati bagian atas benteng.
Tampak jelas, kalau di sana sudah siap pasukan panah. Dan
yang pasti, di dalam benteng istana ini juga sudah siap para
prajurit yang lebih memilih membangkang daripada bergabung
dengan Raden Nadara. Tapi, Pendekar Rajawali Saku itu juga
melihat banyaknya orang yang tidak mengenakan seragam
prajurit Dan itu sudah pasti dari kalangan rimba persilatan
golongan hitam.
"Kau punya cara untuk mendobrak pintu gerbang, Rangga?"
tanya Raden Nadara.
"Aku ingin kau yang melakukannya, Raden. Kau harus bisa
memimpin. Ini kesempatan terbaikmu, Raden," sahut Rangga
memberi kesempatan pada pemuda itu.
"Baiklah, akan kucoba semampuku."
"Cobalah. Kegagalan bukan berarti kehilangan segalagalanya. Dalam keadaan
seperti ini, segala kemungkinan patut
dicoba," kata Rangga memberi semangat.
Raden Nadara mengangguk dan tersenyum. Hatinya begitu
mantap bersama Pendekar Rajawali Sakti. Dipanggilnya
seorang panglima dan diperintahkan panglima itu bersama dua
puluh prajurit untuk mer coba mendobrak gerbang benteng.
Seorang panglima dan dua puluh orang prajurit berkuda,
sudah siap di garis depan. Mereka akan mencoba mendobrak
pintu gerbang istana. Sedangkan Rangga sudah bisa menduga
kalau hal ini pasti tidak akan berhasil. Bahkan akan membuat
mereka menggeletak jadi mayat. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
itu tidak ingin mencegah. Dia ingin memberi kesempatan agar
Raden Nadara bisa belajar banyak dari peristiwa ini.
"Hiyaaa...!" panglima itu berteriak nyaring
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke atas kepala.
sambil Seketika itu digebah kudanya, maka seketika juga dua puluh
orang prajurit segera mengikuti menggebah kuda dengan
cepat. Mereka semua menghunus pedang di atas kepala sambil
berteriak-teriak keras membahana. Namun belum juga mereka
bisa mencapai pintu gerbang benteng istana itu, dari atas
berhamburan puluhan batang anak panah.
Jeritan-jeritan melengking langsung terdengar, diiringi
berjatuhannya para prajurit yang mencoba men-, dekati pintu
gerbang. Tampak panglima yang berkuda paling depan, dengan
tangkas sekali memutar pedangnya di atas kepala. Namun
usahanya tidak berjalan lama. Ketika sebatang anak panah
menancap leher kudanya, dan membuatnya terpelanting, maka
seketika perhatiannya langsung buyar. Sebelum bisa menguasai
keadaan, beberapa batang anak panah menghunjam ke
tubuhnya. "Aaa...!"
Hujan panah itu langsung berhenti ketika tidak ada lagi yang
hidup. Tampak panglima masih bisa bergerak, namun akhirnya
diam tak berkutik. Ada enam batang panah yang memanggang
tubuhnya, di samping dua puluh prajurit tergeletak bersama
bangkai kuda. "Oh..., apakah prajuritku harus dikorbankan lagi?" keluh
Raden Nadara lirih.
Rangga memandangi pemuda itu. Raden Nadara memang
masih hijau dalam pengalaman bertempur. Pendekar Rajawali
Sakti itu jadi merasa iba juga. Dan disadari, kalau tidak
mungkin mengandalkan sepenuhnya pada Raden Nadara.
Sedangkan mereka tidak tahu, berapa banyak kekuatan di
dalam benteng istana itu.
"Raden! Aku akan mendobrak pintu gerbang itu, dan
secepatnya kau menyerbu masuk begitu pintu hancur," ujar
Rangga. "Rangga..:!" Raden Nadara terkejut Tapi pemuda itu tidak
bisa berbuat apa-apa, karena Rangga sudah berlari cepat
mempergunakan Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Seketika itu juga, dari atas
benteng berhamburan puluhan anak panah menuju ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
Namun Rangga terus berlari cepat sambil sesekali
berpelantingan di udara. Tampaknya mereka yang menghujani
anak panah, jadi kebingungan juga, karena Rangga semakin
dekat dengan pintu gerbang istana. Dan....
"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak nyaring.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat ke arah
pintu gerbang. Segera dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' pada tahap yang terakhir. Kedua tangannya
jadi berwarna merah bagai terbakar. Dan begitu kedua kakinya
berpijak pada tanah di depan pintu, seketika itu kedua
tangannya dihentakkan.
"Yeaaah...!"
Glarrr! Ledakan keras terjadi bersamaan- dengan hancurnya pintu
gerbang itu. Sungguh luar biasa daya pukulan jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali'. Pintu dari kayu jati yang tebal itu hancur
berkeping-keping. Saat itu juga, Rangga langsung melompat
menerobos masuk ke dalam.
"Serang...!"
perintah. teriak Raden Nadara 'langsung memberi "Serbuuu...!"
Suara-suara teriakan terdengar gegap gempita, diiringi
berhamburannya para prajurit Mereka langsung mengikuti
Raden Nadara yang menunggang kuda menerobos masuk ke
dalam benteng istana yang pintunya sudah hancur berkepingkeping. Mereka terus
menerobos maju, meskipun hujan anak
panah seperti tidak berhenti. Teriakan-teriakan membahana,
kini bercampur jerit dan pekik melengking tinggi menyayat hati.
Tubuh-tubuh bersimbah darah kembali bergelimpangan
terpanggang panah.
Sementara itu. Rangga yang sudah berhasil berada di dalam
lingkungan pagar benteng, langsung melesat ke atas. Langsung
dihajarnya orang-orang di atas benteng, yang menghujani
panah terhadap para prajurit Raden Nadara. Jeritan-jeritan
melengking tinggi, kembali terdengar disusul berjatuhannya
tubuh-tubuh dari atas benteng.
Rangga mengobrak-abrik pasukan panah itu, sehingga
membuat para prajurit yang dipimpin Raden Nadara semakin
leluasa menerobos masuk ke dalam. Namun, seketika mereka
disambut para prajurit pembangkang yang dibantu orang-orang
persilatan. Pertempuran di halaman depan istana itu pun tidak
bisa terelakkan lagi. Jeritan melengking kematian dan teriakan
pertempuran bercampur menjadi satu, ditingkahi denting
senjata beradu. Tubuh-tubuh bersimbah darah mulai
bertumbangan membasahi tanah. Korban memang tidak
mungkin terelakkan dalam setiap pertempuran di manapun
juga. "Hiyaaa...!" Rangga yang selesai membereskan pasukan
panah di atas benteng, langsung meluncur deras ke bawah.
Bahkan langsung menuju ke bagian belakang pertahanan
lawan. Seketika itu juga, Rangga melontarkan beberapa
pukulan dahsyat sambil berjum palitan, diimbangai gerakan
tubuh yang lincah dan cepat luar biasa. Setiap pukulannya


Pendekar Rajawali Sakti 40 Pemburu Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu menimbul kan korban yang tak bisa bangkit berdiri lagi.
Mereka langsung tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
"Hiyaaa...!"
Rangga langsung melesat begitu melihat seorang perempuan
tua tengah mengamuk membantai para prajurit yang
mengeroyoknya. Tongkatnya berkelebatan cepat menyebarkan
maut bagi siapa saja yang mencoba mendekati.
"Menyingkir kalian semua...!" seru Rangga menggelegar.
Mereka yang tengah bertarung dengan perempuan tua
berjubah merah, langsung berlompatan mundur. Pada saat itu,
Rangga langsung mendarat tepat sekita lima langkah di depan
perempuan tua berjubah merah itu.
"Pendekar Rajawali Sakti...."
"Akulah lawanmu, Dewi Merah Penghisap Darah!" dengus
Rangga dingin. "Phuih! Mampus kau. Hiyaaat...!"
Dewi Merah Penghisap Darah, langsung melompat
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Tongkatnya berkelebatan
cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Namun Rangga cepat menghindari serangan dahsyat itu.
Bahkan langsung membalasnya dengan tidak kalah dahsyatnya.
Sementara pertarungan lain masih terus berlangsung sengit.
Tampak Raden Nadara kini tengah bertarung melawan Patih
Karuni yang sebenarnya bernama Ki Sakar. Raden Nadara
tampaknya bertarung penuh semangat. Setiap serangannya
sangat berbahaya, sehingga membuat Patih Karuni jadi
kerepotan juga menghadapinya. Sehingga pada satu saat...
"Modar...!" teriak Raden Nadara.
Seketika itu juga dikibaskan pedangnya ke arah kaki. Namun
Patih Karuni dengan cepat melompat menghindar. Tapi tanpa
diduga sama sekali, Raden Nadara melentingkan tubuhnya ke
atas sambil cepat menarik pedangnya. Seketika langsung
dikirimkan satu pukulan lurus dengan tangan kiri.
Pukulan yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, tak dapat
dihindari lagi, telak mendarat di dada Patih Karuni.
Bughk! "Aaakh...!" Patih Karuni menjerit melengking tinggiPada saat tubuh Patih Karuni
terjajar ke belakang, dengan
cepat sekali Raden Nadara melentingkan tubuhnya seraya
mengibaskan pedangnya ke arah leher.
'Yeaaah...!"
Cras! "Aaa...!" Patih Karuni menjerit melengking tinggi.
Darah langsung menyembur keluar dari lehernya yang
hampir buntung tertebas pedang Raden Nadara. Tubuh laki-laki
itu ambruk menggelepar di tanah. Sebentar dia menggeliat, lalu
diam tak bernyawa lagi.
Raden Nadara sebentar memandangi sekitarnya, kemudian
melompat begitu melihat seorang laki-laki setengah baya
tengah mengamuk membantai para prajurit.
"Hiyaaa...!"
Laki-laki setengah baya itu ternyata murid Nyi Pari yang
bernama Sagala. Dia begitu terkejut begitu tiba-tiba Raden
Nadara melompat menyerangnya. Sagala langsung berkelit
sambil mengibaskan senjatanya. Kembali Raden Nadara terlibat
dalam kancah pertarungan'sengit
Sengaja Raden Nadara memilih lawan bukan dari para
prajurit yang membangkang. Maksudnya, dia ingin mengurangi
kekuatan lawan yang dibantu orang-orang rimba persilatan.
Sementara itu, Rangga masih bertarung ketat melawan Dewi
Merah Penghisap Darah. Tapi tampaknya perempuan tua
berjubah merah itu sudah semakin terdesak. Terlebih lagi,
sekarang Rangga sudah mencabut senjata pusakanya yang
memancarkan cahaya biru berkilauan.
"Yeaaah...!" Rangga berteriak nyaring.
Bersamaan dengan itu, dikibaskan pedangnya kearah dada
Dewi Merah Pengisap Darah. Saat ini keadaan Dewi Merah
Pengisapo Darah tidak memungkinkan untuk berkelit Maka
dengan cepat dihentakkan tongkatnya menangkis pedang yang
memancarkan sinar biru berkilau itu.
Trak! "Akh...!" Dewi Merah Penghisap Darah terkejut setengah
mati. Tongkat kebanggaannya terpotong menjadi dua bagian, dan
perempuan tua itu sendiri terpental ke belakang. Memang,
tenaga dalamnya jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Pada
saat tubuh perempuan tua itu terjajar ke belakang, cepat sekali
Rangga melepaskan satu tendangan keras menggeledek.
"Yeaaah...!"
Des! "Aaakh...!" lagi-lagi Dewi Merah Penghisap Darah menjerit
melengking tinggi.
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang keras mengandung
pengerahan tenaga dalam sempurna itu, tepat menghantam
dadanya. Dan sebelum Dewi Merah Penghisap Darah bisa
menguasai keadaan, Rangga sudah mengibaskan pedangnya ke
arah leher. Dan perempuan tua berjubah merah itu hanya
mampu terbeliak. Rasanya memang, tidak ada kesempatan lagi
untuk berkelit Sehingga....
Cras! . "Aaa...l"
Satu jeritan panjang melengking tinggi, mengantarkan
kematian Dewi Merah Penghisap Darah. Perempuan tua
berjubah merah itu langsung tewas sebelum tubuhnya
menyentuh tanah. Tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti
menebas lehernya, dan hampir membuat buntung kepalanya.
Darah seketika mengucur deras dari leher yang menganga
lebar. 'Yeaaah....'"
"Heh..."!"
Beghk! Rangga terkejut ketika tiba-tiba dari arah belakang melesat
sebuah bayangan hitam. Dan sebelum sempat melakukan
sesuatu, terasa satu hantaman keras mendarat di
punggungnya. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu
terjerembab ke tanah. Namun dia cepat bergulingan begitu
melihat sebuah benda panjang berwarna kuning gading
meluncur deras ke arahnya.
Satu ledakan keras terdengar menggelegar ketika benda
kuning gading itu menghantam tanah di samping Rangga.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat
bangkit, tepat saat benda kuning panjang itu tertarik kembali.
Kini di depan Rangga berdiri seorang lagi perempuan tua
berbaju hitam sambil mengibas-ngibaskan selendang berwarna
kuning gading yang merupakan senjatanya.
"Berani kau membunuh adikku...! Kau harus mampus,
Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!" teriak perempuan tua itu
yang ternyata adalah Nyi Pari.
Perempuan tua berbaju hitam itu langsung melesat cepat
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Selendang yang berujung
untaian logam berbentuk jarum itu meliuk-liuk menyambar ke
arah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Serangan ini membuat
Rangga jadi kerepotan sesaat Namun ketika Pendekar Rajawali
Sakti teringat kalau pernah bertarung melawan seseorang yang
juga menggunakan senjata selendang, dengan cepat keadaan
bisa dikuasai. Bahkan ketika selendang itu meluncur ke arah kepala,
Rangga tidak bergeming sedikit pun juga. Dan begitu
selendang itu dekat, dengan cepat ditarik kepalanya ke
samping. Lalu bagaikan kilat, dikibaskan pedangnya disertai
pengerahan tenaga dalam sempurna.
'Yeaaah....'"
Bet! Reeet! "Hah...!" Nyi Pari terperanjat bukan main begitu melihat
selendangnya terpotong jadi dua bagian.
Dan sebelum rasa keterkejutannya lenyap, Rangga sudah
melompat secepat kilat menerjang sambil mengibaskan
pedangnya tiga kali berturut-turut Buru-buru Nyi Pari meliukkan
tubuhnya sambil melompat ke belakang. Namun sungguh tidak
diduga sama sekali, saat tubuhnya ditarik ke belakang, tiba-tiba
Rangga melesat lurus dengan pedang tertuju lurus ke arah
dadanya. "Hiyaaa...!"
"Hak..!"
Crab! "Aaa...!"
Nyi Pari benar-benar tidak kuasa lagi menghindar. Matanya
terbeliak dan mulutnya ternganga memperdengarkan suara
jeritan melengking tinggi menyayat Pedang Pendekar Rajawali
Sakti langsung menembus dadanya hingga ke punggung. Cepat
Rangga menarik pedangnya, maka darah langsung menyembur
deras dari dada yang berlubang.
Sebentar Nyi Pari masih mampu berdiri tegak, kemudian
limbung dan ambruk ke tanah, tak bernyawa lagi. Rangga
berdiri tegak memandangi tubuh berlumuran darah tak
bernyawa lagi. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya,
karena tidak lagi mendengar suara pertempuran. Tapi yang
terdengar kini malah sorak-sorai para prajurit Raden Nadara
yang telah mencapai kemenangan gemilang.
Rangga mengedarkan pandangannya mencari Raden Nadara,
dan menemukan pemuda itu tengah berdiri d! ujung tangga
istana bersama seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun. Meskipun tubuhnya kotor dan compang-camping,
namun Rangga dapat mengenali kalau laki-laki itu adalah Prabu
Raketu. "Rangga...!" panggil Raden Nadara. Rangga yang baru saja
hendak pergi, jadi mengurungkan niatnya. Sebentar dipandangi
Raden Nadara yang berdiri di samping Prabu Raketu. Pelahan
diayunkan kakinya menghampiri. Satu persatu kakinya menaiki
undakan istana yang berjumlah lima belas buah.
"Dewata Yang Agung.... Kau...," desah Prabu Raketu
terperanjat begitu Rangga sudah dekat di depannya.
Tanpa dapat dibendung lagi, laki-laki itu langsung
menghambur memeluk Rangga. Hal ini membuat Raden Nadara
jadi terlongong tidak mengerti. Hati pemuda itu semakin heran
melihat mata ayahandanya merembang berkaca-kaca. Pelarian
Rangga melepaskan pelukan Prabu Raketu, kemudian
mengajaknya masuk ke dalam.
"Jangan katakan tentang diriku pada Raden Nadara," kata
Rangga berbisik. Begitu dekat di telinga Prabu Raketu, dan
suaranya juga pelan sekali sehingga Raden Nadara tidak bisa
mendengarkannya.
"Kenapa...?" tanya Prabu Raketu.
"Rahasia," sahut Rangga.
"Kenapa harus dirahasiakan"!"
"Sudahlah, aku juga tidak ingin tahu apa yang terjadi di sini."
"Baiklah, kalau itu keinginanmu."
"Anggap saja kita sudah pernah kenal satu sama lain sebagai
sesama pendekar."
Prabu Raketu tertawa terbahak-bahak.
"Ada apa, Ayah?" tanya Raden Nadara.
"Tidak ada apa-apa, rianya senang saja bertemu sahabat
lama," sahut Prabu Raketu.
"Jadi.."!" suara Raden Nadara terputus.
"Sahabat sesama pendekar dulu," kata Prabu Raketu
langsung tertawa terbahak-bahak.
Rangga hanya tersenyum saja. Sedangkan Raden Nadara
belum bisa mengerti. Dipandanginya Rangga dan ayahnya
bergantian, namun tidak juga diketahuinya persahabatan itu.
Dan lagi, selama ini Rangga tidak pemah mengatakannya.
Raden Nadara bertekad harus mengetahui, tapi harus
menunggu saat yang tepat. Tapi saat yang dinanti tidak juga
kunjung datang, karena Pendekar Rajawali Sakti cepat pergi.
Sedangkan Prabu Raketu tidak bersedia menjelaskan apa-apa.
Kerahasiaan Rangga tetap terjaga. Dan, sampai saat ini Raden
Nadara tidak pernah tahu, siapa sebenarnya Rangga itu.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Pedang Ular Mas 18 Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana Terbang Harum Pedang Hujan 10

Cari Blog Ini