Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Asmara 1

Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara Bagian 1


DARAH DAN ASMARA
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar Sampul : Syam CK.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 041:
Darah dan Asmara
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Mega...!"
Suatu teriakan keras tiba-tiba mengejutkan dua anak muda yang tengah duduk
berdampingan di lereng
sebuah bukit, menghadap ke arah lembah yang subur dengan sawah menguning dan
kicauan burung pipit berebut padi. Seketika dua anak manusia itu saling berpandangan.
Sementara, wajah pucat
nampak tersirat pada gadis cantik yang duduk merapat di sebelah pemuda yang
mengenakan baju kulit
binatang tanpa lengan. Wajahnya cukup tampan, dengan rambut panjang tergelung ke
atas. "Mega...!"
Terdengar lagi suara panggilan keras dari arah kaki lereng gunung ini. Suaranya
terdengar keras.
Bahkan seakan-akan begitu dekat, terpantul oleh dinding tebing batu yang hampir
memenuhi seluruh
permukaan Lereng Gunung Parakan ini. Wajah gadis itu semakin terlihat pucat. Dan
pemuda itu meraih tangannya, menggenggam hangat. Bibirnya menyunggingkan senyum manis,
seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.
"Pulanglah dulu. Ayahmu sudah memanggil,
Mega," lembut sekali suara pemuda itu.
"Maafkan aku, Kakang Partanu," ucap Mega lirih.
"Aku sudah cukup bahagia jika kau selalu mencintaiku, Mega," tetap lembut nada
suara Partanu. "Hhh...! Mengapa ayah selalu begitu..." Kenapa dia begitu benci padamu, Kakang...?"
nada suara Mega terdengar mengeluh.
"Mega...."
Mereka saling bertatapan mesra, kemudian
perlahan-lahan pemuda itu merengkuh tubuh Mega dan membawanya ke dalam pelukan.
Mega menyandarkan kepalanya di dada yang bidang dan kekar itu, seakan hendak
mendengarkan suara hati
kekasihnya ini. Pelarian mereka saling melepaskan pelukan, dan kembali saling
bertatapan. "Pulanglah. Sebentar lagi malam," ujar Partanu lagi. Tetap lembut suaranya.
"Aku besok akan datang lagi ke sini, Kakang," jelas Mega.
"Jangan terlalu sering. Aku tidak ingin ayahmu jadi kalap. Nanti kau sendiri
yang akan susah, Mega,"
Partanu menasehati.
"Kakang... Sebenarnya aku ingin sekali kau membawaku pergi ke mana saja, asal jauh
dari desa ini. Jauh dari orang-orang yang selalu membencimu. Kau bersedia membawaku pergi kan,
Kakang...?"
nada suara Mega penuh harap.
Partanu hanya tersenyum saja, kemudian menarik napas dalam-dalam dan bangkit
berdiri. Mega ikut
berdiri dibantu pemuda itu.
"Mega...! Di mana kau...?"
Terdengar lagi suara keras bernada panggilan dari arah kaki gunung ini. Mega
memandangi wajah
kekasihnya dalam-dalam, seakan enggan untuk berpisah lagi. Gadis itu tahu, kalau
sudah berpisah sukar untuk bertemu lagi.
"Aku pulang dulu, Kakang," ucap Mega pelan.
"Pulanglah," desah Partanu.
Mega melangkah mundur beberapa tindak.
Sebentar dipandanginya pemuda itu, kemudian tubuhnya berbalik dan langsung
berlari menuruni
lereng. Sementara Partanu masih berdiri mematung memandangi gadis itu yang
semakin jauh menuruni lereng.
"Hhh...!" Partanu menghembuskan napas panjang begitu bayangan tubuh Mega sudah
lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
Partanu masih berdiri mematung, dan pandangannya tidak berkedip ke arah kaki
gunung ini. Beberapa
kali ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Terngiang-ngiang lagi
kata-kata Mega yang
meminta untuk membawanya lari. Gadis itu sudah tidak tahan lagi berada dalam
kungkungan dan pengawasan ayahnya yang ketat. Sebentar saja menghilang, pasti sudah dicari.
"Kasihan kau, Mega. Sudah terlalu banyak penderitaan yang kau alami. Aku tidak
ingin membuatmu
semakin menderita...," desah Partanu pelan.
"Partanu...!"
"Oh!" Partanu tersentak ketika mendengar suara panggilan dari arah belakang.
Pemuda itu cepat memutar rubuhnya, dan tersenyum begitu melihat seorang lakilaki berusia sekitar
enam puluh tahun tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya. Sungguh tidak
diketahuinya, kapan laki-laki
bertubuh tegap yang wajahnya dihiasi brewok ada di situ. Gagang golok menyembul
keluar dari balik
ikat pinggangnya.
"Ayah.... Aku tidak tahu kalau Ayah ada di sini,"
ujar Partanu buru-buru.
"Aku sudah ada di sini sejak tadi, Partanu," berat dan besar sekali suara lakilaki itu. Namanya Puliga,
tapi orang-orang lebih mengenalnya sebagai Iblis Gunung Parakan. Itu julukannya.
"Oh...!" Partanu mendesah kaget.
"Kau mencintai anak si Anta itu, Partanu?"
langsung saja Puliga bertanya.
"Benar, Ayah," sahut Partanu seraya tertunduk.
Pemuda itu benar-benar tidak sanggup menatap sinar mata ayahnya yang tajam
memerah bagai sepasang bola api.
"Kau sanggup menanggung segala akibatnya?"
"Maksud Ayah..."!" Partanu tidak mengerti.
Langsung diangkat kepalanya, menatap wajah laki-laki berwajah kasar itu.
"Partanu, tidak ada seorang pun yang akan sudi menerimamu. Kau adalah anak
Puliga, si Iblis Gunung
Parakan yang sudah terkenal tukang begal, perampok, dan pembunuh berdarah
dingin. Tak ada seorang
pun yang akan menerimamu, Partanu," jelas Puliga lagi.
"Tapi kami sudah bertekad, Ayah," mantap suara Partanu.
"Jika itu memang tekadmu, kau harus mendapat-kannya dengan cara apa pun juga.
Dan yang lebih penting lagi, kau harus menghadapi segala tantangan. Sanggup?"
"Sanggup!" jawab Partanu langsung tanpa berpikir lagi.
"Ha ha ha...!"
*** Di saat sinar matahari bersinar terik menyengat kulit, yang utama ada dalam
pikiran setiap orang
adalah air. Dalam keadaan panas seperti ini, semua orang pasti akan mencari
tempat-tempat yang
dekat air. Bahkan lebih menyenangkan lagi jika berendam di sungai.
Siang ini, seluruh udara di atas permukaan bumi Desa Parakan, terasa begitu
panas menyengat.
Matahari bersinar amat terik, seakan-akan hendak menghanguskan seluruh mayapada.
Hampir semua penduduk desa itu jadi enggan pergi ke ladang, dan lebih senang berangin-angin
di bawah rindangnya
pohon. Atau bahkan merendam diri di dalam sejuknya air sungai. Sungai yang
biasanya hanya ramai
di waktu pagi dan sore, kini setiap saat selalu didatangi orang.
"Huh...! Panas sekali...," keluh seorang pemuda yang tengah duduk di bawah pohon
yang cukup rindang. Meskipun daun yang menaunginya sempat
menahan sinar matahari, namun udara panas tetap saja tak mampu dihalangi.
Seluruh tubuhnya telah
dibasahi keringat. Bahkan wajahnya begitu memerah bagai terbakar. Dipandanginya
orang-orang yang
tengah berendam di dalam sungai, seakan-akan tidak ada lagi tempat kosong di
sekitar sungai itu.
"Kakang Rangga...."
Pemuda berbaju rompi putih itu menoleh ketika mendengar suara yang memanggil
namanya. Bibir yang tipis dan agak memerah, menyunggingkan senyuman ketika melihat seorang
laki-laki berusia
sekitar lima belas tahun berlari-lari kecil menghampiri dalam keadaan basah
kuyup. Langsung saja dihempaskan tubuhnya, duduk di samping pemuda berbaju rompi
putih itu. "Kotor nanti bajumu, Carika," kata pemuda itu memperingatkan.
"Biarlah. Habis, panas sekali sih...," sahut pemuda yang dipanggil Carika. "Segar
rasanya berada di
dalam air. Banyak gadis-gadisnya, Kang," sambung nya seraya cengar-cengir.
"Kau ini..., belum waktunya melirik gadis!"
Pemuda belasan tahun itu hanya tertawa saja.
Begitu renyah suara tawanya, lepas berderai memperlihatkan baris gigi yang putih
dan rapi. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga, hanya tersenyum saja.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali mengarahkan pandangannya ke sungai.
Memang, di sana banyak gadis yang tengah merendam diri, melindungi kulitnya yang
putih dari sengatan sinar matahari.
"Carika, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan saja,"
ajak Rangga. "Mau ke mana lagi, Kakang" Ini kan Desa
Parakan." "Sudah tiga hari kita di sini, tapi pamanmu tidak ada. Bahkan tidak ada yang
kenal dengan pamanmu
di sini. Barangkali kau salah, Carika," ujar Rangga mengemukakan alasannya.
Carika tertunduk diam. Wajahnya langsung saja berubah murung. Dikorek-koreknya
tanah dengan sebatang ranting di ujung jari kakinya, sambil memeluk lutut Rangga menggeser
duduknya lebih mendekat. Diraihnya kepala Carika dan diusap-usapnya. Carika mengangkat
kepalanya, langsung
menatap sepasang bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih,"
ucap Rangga lembut.
"Kau memang benar, Kakang. Mungkin aku yang salah," ujar Carika lirih.
Rangga hanya tersenyum saja, mencoba memberi ketabahan pada pemuda belasan tahun
itu. "Maaf. Aku jadi menyusahkanmu, Kakang," ucap
Carika lagi. Suaranya terdengar semakin lirih.
"Sama sekali tidak. Aku senang jika kau menemukan pamanmu," sahut Rangga
diiringi senyum
manis. "Aku jadi ragu-ragu, Kakang...," ada nada keputus asaan dalam suara Carika.
"Kenapa?" tanya Rangga.
"Barangkali pamanku memang tidak pernah ada."
"Kalau tidak ada, dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Rangga lagi.
"Ibu."
"Kau masih ingat pesan ibumu, bukan?" Carika mengangguk.
"Kau tidak boleh putus asa, Carika. Tunjukkan kalau kau adalah anak yang
berbakti pada orang tua.
Temukan pamanmu, di mana pun berada. Berikan benda itu padanya. Setelah itu, kau
boleh bebas menentukan jalan hidupmu sendiri," Rangga memberi dorongan semangat dan
kepercayaan. "Ya..., aku memang tidak boleh putus asa. Satu-satunya keluargaku hanya paman yang
masih ada,"
desah Carika. "Bagus! Ayo, kita jalan lagi. Tidak betah rasanya aku di sini terus. Panas...!"
ajak Rangga. Mereka kemudian bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan tempat itu. Tak ada
lagi yang membuka
suara. Mereka berjalan pelahan-lahan menyusuri jalan berdebu. Beberapa kali
Carika menendang batu
kerikil sambil mendengus. Rangga hanya memperhatikan saja tingkah anak itu,
namun merasa iba
juga. Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat saat pertama kali bertemu Carika. Saat
itu, anak ini tengah
dikejar-kejar sambil memondong ibunya yang terluka parah akibat sebuah anak
panah menembus dadanya. Keadaannya sudah demikian parah. Dan Carika tidak bisa lagi berlari sambil
memondong ibunya,
sehingga jatuh tergulir. Tapi untung pada saat orang-orang yang mengejarnya
datang, Pendekar
Rajawali Sakti tiba.
Langsung saja dia menolong Carika yang hampir saja terpenggal lehernya.
Meskipun sudah berusaha, tapi anak panah yang menembus sampai ke jantung tak
bisa lagi menyelamatkan nyawa ibu Carika. Dia tewas, tapi masih sempat menitipkan anaknya
pada Rangga. Wanita itu memang sempat meminta pada Rangga untuk membantu Carika mencari
pamannya. Tapi Rangga tidak tahu-menahu kalau Carika telah dititipkan sebuah benda yang
terbungkus kain putih.
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak tahu, mengapa orang-orang itu mengejar dan
membunuhnya. "Tolooong...!"
"Heh..."!" Rangga tersentak ketika tiba-tiba mendengar teriakan itu.
Sejenak Rangga menatap Carika, dan rupanya anak itu juga mendengar suara jeritan


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi. "Tolooong...!"
Begitu terdengar suara jeritan lagi, Rangga langsung melompat cepat ke arah
suara teriakan itu.
Carika tidak mau kalah, lalu cepat berlari sekuatnya mengejar Pendekar Rajawali
Sakti yang sudah
lenyap tidak terlihat lagi dalam sekejap mata saja.
*** "Hiyaaa...!"
Rangga langsung melompat sambil melontarkan tendangan keras ke arah punggung
seorang laki-laki
yang sedang berusaha membawa paksa seorang
gadis. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu terjungkal mencium tanah. Pendekar
Rajawali Sakti langsung menarik tangan wanita itu, dan membawanya menjauh.
"Ghrrr...!" laki-laki bertubuh tinggi besar itu meng-gereng marah, dan langsung
cepat melompat bangkit Sementara Rangga sudah membawa wanita itu menyingkir ke tempat yang
aman, kemudian melangkah beberapa tindak ke depan. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu
bisa berbuat sesuatu, dari arah belakang laki-laki bertubuh tinggi besar itu muncul dua orang
lagi berperawakan
sama. Mereka semua menggenggam sebilah golok besar, bagai tukang jagal binatang.
Tanpa ada yang bicara sedikit pun, ketiga orang itu langsung berteriak keras
menggelegar. Lalu
dengan kecepatan luar biasa, mereka berlompatan menyerang Pendekar Rajawali
Sakti. "Hup! Yeaaah...!"
Cepat Rangga melompat, dan secepat itu pula melepaskan dua pukulan keras
disertai satu tendangan
menggeledek. Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu memang cepat luar biasa.
Sehingga sebelum
ketiga orang itu sempat melakukan penyerangan, telah lebih dulu mendapat
serangan yang tidak bisa
terelakkan lagi.
Ketiga orang itu menjerit keras begitu terkena pukulan dan tendangan yang
dilepaskan Pendekar
Rajawali Sakti. Mereka jatuh bergulingan di tanah.
Pada saat yang sama, Rangga sudah kembali bergerak seraya mengibaskan tangannya.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berdiri
tegak tidak jauh dari
ketiga laki-laki yang merintih bergelimpangan di
tanah. Di tangan pemuda berbaju rompi putih itu tergenggam tiga buah golok
besar. Ketiga orang itu
serentak bangkit berdiri, tapi menjadi terkejut bukan main saat melihat
senjatanya sudah terampas.
Trak! Hanya sekali hentak saja, Rangga mematahkan golok-golok itu jadi dua bagian,
lalu melemparkannya
ke depan tiga orang laki laki bertubuh besar dan berwajah kasar itu. Mereka jadi
terlongong dengan
mulut terbuka lebar dan mata mendelik hampir tidak percaya terhadap apa yang
dilihatnya. Golokgolok besar itu patah hanya sekali sentakan saja.
"Yaaa...!" teriak Rangga keras.
Teriakan Pendekar Rajawali Sakti itu, membuat ketiga laki-laki berwajah kasar
itu langsung lari
lintang pukang dan sekuat tenaga meninggalkan tempat itu.
Rangga tersenyum melihat tingkah ketiga orang itu.
Tubuhnya berbalik lalu menghampiri gadis cantik yang hanya mengenakan selembar
kain agak basah
melilit tubuhnya. Bagian bahu dan sedikit dadanya terbuka lebar, memperlihatkan
kulitnya yang putih
halus. Pada saat itu Carika muncul, dan langsung menghampiri Rangga yang sudah
berada di depan
gadis itu. "Kau tidak apa-apa, Nisanak?" tanya Rangga.
"Ada apa...?" celetuk Carika bertanya, sebelum gadis itu menjawab pertanyaan
Rangga. Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Wajahnya yang cantik, masih
terlihat pucat,
dan tubuhnya bergetar.
"Terima kasih, kau telah menolongku," ucap gadis itu pelahan. Suaranya masih
terdengar bergetar.
"Di mana rumahmu" Mari kuantarkan pulang,"
Rangga menawarkan jasa.
"Tidak jauh dari sini, di Desa Parakan," sahut gadis itu lagi.
Rangga berpaling pada Carika yang berada di sampingnya.
"Kau masih punya simpanan baju, Carika?" tanya Rangga.
"Ada...," sahut Carika.
Anak itu buru-buru membuka buntalan yang selalu tersampir di pundaknya.
Diambilnya sepotong baju
berwarna merah muda, dan diberikannya pada gadis itu. Dengan ragu-ragu, gadis
itu menerima setelah
didesak Carika. Dikenakannya baju itu dengan wajah masih terlihat memucat.
Memang kebesaran
bajunya, karena tubuh Carika lebih besar daripada tubuh gadis itu. Tapi cukup
untuk melindungi
tubuhnya agar tidak terlalu terbuka.
"Ayo, kuantarkan pulang," ajak Rangga.
Mereka kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. Carika kembali menyampirkan
buntalan kainnya
di pundak, lalu berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada yang
berbicara. Semuanya
terdiam membisu. Sedangkan beberapa kali Carika mencuri-curi pandang pada gadis
cantik yang berjalan di samping Rangga.
"Ada apa sih tadi, Kakang?" tanya Carika
memecah kebisuan.
"Hanya berandal-berandal tengik yang mencoba mengganggunya," sahut Rangga seraya
melirik gadis di sebelahnya. "Mega. Namaku Mega," selak gadis itu memperkenalkan diri.
"Aku Carika, dan ini kakakku. Namanya Rangga,"
sahut Carika langsung saja memperkenalkan Rangga sebagai kakaknya.
Sedikit Rangga melirik pada anak itu, tapi hatinya mengatakan kalau tidak
keberatan Carika
mengakui-nya sebagai kakak. Dan memang sebaiknya begitu, daripada membuat
persoalan yang bisa
menghambat perjalanan mereka.
"Kalian pasti bukan dari desa ini," tebak Mega.
"Benar. Kami hanya pengembara," sahut Rangga cepat, sebelum diserobot Carika.
"Apakah di desa ini banyak berandalnya, Kak?"
tanya Carika. "Sebenarnya tidak. Tapi entah, belakangan ini selalu saja terjadi kerusuhan,"
sahut Mega agak
mendesah. "Wah.... Jangan khawatir, Kak. Kakang Rangga pasti bisa mengusir mereka," kata
Carika lagi seraya
menyikut iga Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga jadi mendengus dalam hati. Carika
memang terlalu banyak bicara, dan selalu membesar-besarkan. Terlebih lagi,
selalu memuji-muji
Rangga di depan siapa saja yang ditemuinya. Akibatnya, memang tidak jarang
mereka mendapat
kesulitan dalam perjalanan ini.
"Oh..., apakah Kakang seorang pendekar?" tanya Mega.
"Ti...."
"Iya, Kak. Tidak ada yang bisa mengalahkannya.
Kakang Rangga seorang pendekar tangguh," selak Carika cepat sebelum Rangga
sempat menjawab
tuntas. Rangga jadi mendelik, tapi Carika tidak peduli.
Bahkan malah pindah ke samping Mega. Hal ini membuat Rangga jadi kesal juga,
tapi tidak bisa
berbuat apa-apa. Carika memang selalu begitu, tapi Rangga sebenarnya menyenangi.
Memang, Carika begitu periang dan penuh kelakar yang membuat hati siapa saja akan senang
padanya. Sikapnya
memang selalu menyenangkan orang lain, meskipun kadang-kadang suka
menjengkelkan. "Kemarin, Kakang Rangga baru saja membabat habis sepuluh perampok, Kak.
Pokoknya, ilmunya
tinggi..., deh," bual Carika memuji Rangga setinggi langit
"Carika...!" desis Rangga mencoba menghentikan bualan anak itu.
"Biasa, Kak.... Orang yang punya ilmu tinggi biasanya selalu merendah. Lain dengan
aku, tidak punya
apa-apa. Paling-paling kalau ketemu maling, ambil langkah seribu!" sergah Carika
tidak mempedulikan peringatan Rangga.
Mega tertawa mendengar kelakar Carika. Hilang sudah ketakutannya akibat
kekasaran tiga laki-laki
berandal tadi. Dan gadis itu semakin sering tertawa mendengar gurauan Carika.
Namun kadangkadang omongan anak itu terlalu lepas. Dan ini membuat Rangga
semakin sering menahan jengkel.
"Kalian harus ketemu ayah. Pasti ayah senang berkenalan dengan kalian," kata
Mega seraya melirik
pada Rangga. "'Terima kasih, tapi...," ucap Rangga terputus.
"Dengan senang hati kami menerima, Kak," selak Carika cepat
Lagi-lagi Rangga hanya bisa mendengus dan matanya mendelik pada Carika. Namun
anak itu malah memalingkan mukanya ke arah lain, bahkan langsung saja berkicau membuat kelakarkelakar yang kali ini dirasakan Rangga tidak menggelitik. Tapi, membuat Mega terus-menerus
tertawa. 2 Rangga benar-benar tidak bisa lagi berkata apa-apa, saat Ki Anta menawarkannya
untuk tinggal beberapa hari di rumahnya. Karena Carika sudah langsung menyetujui. Bahkan anak
itu semakin membual besar dengan menyanjung-nyanjung Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini
semakin membuat Ki
Anta tertarik. Memang, sebenarnya laki-laki itu memerlukan bantuan seorang pendekar digdaya
untuk menghadapi
gerombolan pengacau yang akhir-akhir ini selalu mengganggu ketentraman penduduk.
"Kau keterlaluan, Carika!" dengus Rangga saat mereka berdua saja di dalam kamar
yang disediakan
Ki Anta. "Keterlaluan bagaimana, Kakang...?" ringan sekali suara Carika seraya
menghempaskan tubuhnya di
pembaringan. "'Tidak perlu kau bercerita begitu banyak tentang diriku. Kau tidak pernah bisa
menghilangkan kebiasaan burukmu. Membual itu tidak baik, Carika...," Rangga menasehati.
"Tapi yang kukatakan itu benar, bukan?"
"Tidak seluruhnya!" dengus Rangga.
"Paling tidak, ada benarnya," Carika tidak mau kalah.
Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Sungguh tidak dimengerti sikap
anak ini. Bisa dikatakan nakal, tapi juga pandai. Beberapa hari bersama Carika, Rangga sudah
bisa mengetahui
wataknya. Dan sudah bisa diduga, sikap Carika kali
ini tentu ada maksudnya. Carika tidak akan bertingkah seperti ini secara
berlebihan jika tidak
mempunyai maksud tertentu. Hanya saja anak itu tidak akan mengatakannya,
meskipun didesak.
"Lumayan, Kakang. Malam ini kita tidak perlu tidur di dalam hutan lagi," kata
Carika lagi. "Iya! Tapi kau mempertaruhkan nyawaku!" dengus Rangga masih jengkel.
"Ah..., paling juga hanya berandal biasa, Kakang.
Tidak perlu dipikirkan. Aku juga hanya berandalan biasa, dan juga bisa
menghadapinya. Aku pernah
belajar ilmu olah kanuragan dari ayah. Memang tidak tinggi, tapi cukup untuk
menjaga diri," jelas
Carika lagi. Rangga baru akan membuka mulutnya, ketika terdengar suara ketukan di pintu.
Carika langsung
melompat turun dari pembaringan dan membuka pintu. Di ambang pintu muncul Mega
yang sudah berganti baju. Gadis itu membawa baki berisi makanan dan minuman serta beberapa
potong buah pepaya. Mega kelihatan cantik sekali dengan baju warna biru muda yang agak ketat,
sehingga membentuk
lekuk tubuhnya yang ramping dan indah. Baju bagian dada yang agak rendah,
menampakkan tonjolan
berkulit putih mulus. Sejenak Rangga terpesona me-natapnya, tapi buru-buru
mengusir semua bayangan tentang gadis itu dari benaknya. Mega melangkah masuk, lalu menyerahkan
baki di tangannya pada Carika. Dengan senang hati Carika menerimanya dan langsung
membawa ke meja.
"Ayah ingin bicara denganmu setelah makan, Kakang," kata Mega memberitahu.
Suaranya begitu
lembut, bagai seorang putri bangsawan.
"Sebaiknya kutemui saja sekarang," kata Rangga.
"Kau tidak makan dulu...?"
"Aku masih kenyang. Itu juga nanti habis oleh Carika sendirian."
"Dia lagi marah, Kak," celetuk Carika.
"Marah..." Memangnya kenapa?" tanya Mega.
Rangga mendengus. Dihampirinya Carika seraya menyambar sepotong ikan. Lalu
dengan cepat disumpalkan ikan itu ke mulut Carika. Anak itu jadi gelagapan. Mega tertawa
terpingkal-pingkal
melihat kejadian itu.
"Sial...!" rutuk Carika seraya meletakkan lagi ikan yang disumpalkan ke mulutnya.
"Sudahlah. Kalian ini selalu saja bertengkar,"
Mega melerai. "Kalau kau bukan kakakku, pasti sudah kubalas!"
dengus Carika, tapi bibirnya tersenyum juga.
Dan Rangga jadi tidak tahan juga melihat mimik muka anak itu. Buru-buru kakinya
melangkah keluar
sebelum tawanya meledak. Tapi belum juga jauh meninggalkan kamar itu, terdengar
suara Carika yang terbahak-bahak dibarengi tawa Mega yang lembut dan merdu. Rangga terus saja
berjalan meninggalkan kamar itu.
Kelakuan Carika memang membuatnya jengkel.


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi entah kenapa, Rangga tidak bisa marah padanya. Bahkan kalau dia ingin
marah, selalu saja
Carika bisa membuatnya jadi tertawa. Dan hampir saja tawanya tidak bisa ditahan
kalau tidak segera
keluar. Rangga terus melangkah keluar. Pendekar
Rajawali Sakti melihat Ki Anta sedang mengelus-elus kuda hitam gagah yang
tertambat di bawah
pohon. Rangga jadi teringat kudanya sendiri. Kuda Dewa Bayu yang sudah lama sekali
tidak dijumpainya.
Tapi dia memang belum memerlukan kuda itu, yang kini tentu ada di istal Istana Karang
Setra. "Ah, Rangga.... Kemarilah!" panggil Ki Anta begitu melihat Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah menghampiri. Sedangkan Ki Anta terus
mematut-matut kudanya. Ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu, lalu laki-laki itu duduk di
bangku di bawah pohon
tidak jauh dari kuda. Rangga langsung duduk di
sampingnya tegitu Ki Anta menyuruhnya duduk.
*** "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Nak Rangga. Sesuatu yang
sebenarnya sangat
pribadi, tapi menyangkut ketentraman seluruh warga Desa Palakan ini," jelas Ki
Anta. "Katakan, Ki. Mungkin bisa kubantu," sambut Rangga.
"Begini. Sebenarnya, aku sudah tahu siapa dirimu...."
Rangga agak terkejut juga mendengarnya, tapi cepat-cepat menyembunyikan
keterkejutannya.
"Aku tahu kalau kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada seorang pun yang
mempunyai ciri sepert?mu. Muda, memakai baju putih tanpa lengan, membawa pedang bergagang
kepala burung. Itu
merupakan tanda kalau kau adalah Pendekar Rajawali Sakti," sambung Ki Anta.
"Rupanya aku tidak bisa menyembunyikan tentang diriku di depanmu, Ki," Rangga
mengakui. "Aku gembira sekali atas kedatanganmu di desa ini. Dan aku memang mengharapkan
adanya seorang pendekar yang singgah. Ternyata harapanku kini
terkabul," ungkap Ki Anta dengan wajah cerah.
"Sebenarnya apa yang hendak kau bicarakan denganku, Ki?" tanya Rangga tidak
ingin berlarut-larut.
"Aku tidak tahu, apakah kau kenal atau tidak. Tapi terus terang saja, aku tidak
sanggup menghadapinya. Bahkan seluruh warga desa ini pun tidak akan mampu menghadapinya. Dia seorang
yang berkepandaian sangat tinggi dan kejam. Hhh...!" Ki Anta menghembuskan napas
panjang. "Siapa orang yang kau maksudkan, Ki?" tanya Rangga mendesak.
"Puliga. Dia dikenal berjuluk Iblis Gunung Parakan.
Sudah lama sekali desa ini berada di dalam cengkeramannya. Dan selama kami masih
sanggup menyediakan upeti, dia tidak akan mengganggu. Tapi belakangan ini, orangorangnya selalu membuat
keributan. Yaaah..., semua ini gara-gara anakku yang susah diatur," ada nada
keluhan pada suara Ki
Anta. "Mega...?"
"Benar. Dia anakku satu-satunya. Sudah sering ku-peringatkan agar tidak
berhubungan dengan
Partanu, tapi masih saja membandel. Bahkan selalu meng-adakan pertemuan secara
sembunyisembunyi."
"Siapa itu Partanu?"
"Anak laki-laki Puliga. Dia juga punya kemampuan olah kanuragan tinggi. Bahkan
kabarnya hampir
setaraf dengan ayahnya."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah bisa dimengerti, apa kesulitan yang
kini dihadapi Ki Anta. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa mengambil keputusan begitu
saja, karena ini
persoalan pribadi. Persoalan cinta dua anak manusia dengan latar belakang
kehidupan yang berbeda
dan saling bertolak belakang.
Tidak mudah menyelesaikan persoalan ini.
Masalah cinta bukanlah masalah sepele. Meskipun kelihatannya kecil sekali, tapi
bisa berakibat sangat
fatal. Bahkan bukannya tidak mungkin bisa menimbulkan pertumpahan darah.
Terlebih lagi, yang
dihadapi Ki Anta adalah seorang tokoh sakti rimba persilatan yang berkemampuan
sangat tinggi dan
kejam. "Boleh kutahu, Ki. Kenapa kau tidak menyetujui hubungan mereka?" tanya Rangga
hanya ingin tahu
isi hati laki-laki tua Kepala Desa Parakan ini.
"Nak Rangga..., orang tua mana yang sudi anaknya berhubungan dengan keturunan si
Iblis Gunung Parakan" Hanya orang tua gila saja yang mengijinkan anaknya punya hubungan
dengan Partanu. Sudah
pasti anak itu tidak jauh berbeda dengan ayahnya,"
sahut Ki Anta. "Apakah tindakan Partanu memang mengikuti jejak ayahnya?" tanya Rangga lagi.
"Terus terang, sampai saat ini aku belum pernah mendengar Partanu melakukan
perampokan atau
tindak kejahatan lainnya. Bahkan aku belum pernah mendengar dia bertarung.
Apalagi membunuh
orang," sahut Ki Anta jujur.
"Maaf, Ki. Sebenarnya aku tidak berhak ikut campur dalam urusan ini. Tapi
menurutku, sebaiknya
selidikilah dulu lebih jauh lagi tentang Partanu.
Mungkin dia tidak seperti ayahnya," kilah Rangga bijaksana.
"Tapi, Nak Rangga.... Seorang anak tidak akan mungkin jauh dari ayahnya. Terlebih
lagi sejak kecil
selalu hidup dalam lingkungan para perampok.
Malah, ayahnya sendiri yang menjadi pemimpin
perampok itu. Maka sudah pasti dia tidak jauh berbeda dengan ayahnya," bantah Ki
Anta. "Yaaah.... Sayang sekali, Ki. Aku tidak bisa melakukan apa-apa," ujar Rangga agak
mendesah. "Tolonglah, Nak Rangga. Pada siapa lagi aku harus meminta bantuan...?" rengek Ki
Anta. "Seandainya aku mau, apa yang harus kulakukan untukmu, Ki?"
"Hancurkan mereka. Bunuh si keparat Partanu dan ayahnya itu. Dengan demikian,
bukan saja kau menolong keluargaku, tapi juga membebaskan rakyat dari cengkeraman dan
kekejamannya," tegas Ki
Anta. Rangga tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang, bukannya
Pendekar Rajawali
Sakti tidak bersedia membantu, tapi memang tidak terlihat adanya sesuatu yang
bisa dilakukan.
Sedangkan masalah yang dikemukakan Ki Anta, menurutnya hanya persoalan cinta dua
anak manusia. Persoalan yang tidak perlu dibesar-besarkan, asal tidak ada yang mengipasi bara.
"Yaaah..., mungkin aku terlalu berlebihan. Kau seorang pendekar digdaya, dan
tentunya lebih sempurna cara memandangnya daripada diriku," kata Ki Anta bernada mengeluh.
"Maaf, Ki. Bukan maksudku membuatmu kecewa,"
ujar Rangga menyesal.
"Tidak. Hal ini bisa kupahami. Kau pasti akan bertindak bijaksana. Memang
seharusnya aku tidak
perlu membesar-besarkan persoalan ini," balas Ki Anta.
Rangga menepuk punggung tangan laki-laki tua itu, kemudian bangkit berdiri.
Namun sebelum kakinya terayun, teriihat Mega berlari-lari kecil keluar dari dalam rumah. Gadis
itu langsung menghampiri. "Kakang, boleh aku minta tolong padamu?" pinta Mega langsung begitu mendekat.
"Tentu," sahut Rangga.
"Aku ingin ke pusara ibu. Apakah kau mau
mengantarku ke sana, Kakang?"
"Jika ayahmu mengijinkan."
"Pergilah. Tapi jangan terlalu sore pulangnya," kata Ki Anta langsung
mengijinkan sebelum anaknya
meminta. Dengan sikap manja dan riang sekali, Mega menggamit tangan Pendekar Rajawali
Sakti itu, dan mengajaknya pergi. Sebentar Rangga masih sempat melirik Ki Anta yang tersenyumsenyum melihat keceriaan anak gadisnya. Setelah beberapa hari belakangan ini, baru kali ini
Mega terlihat begitu
gembira. "Ah, mudah-mudahan dia sudah melupakan
Partanu," desah Ki Anta berharap.
*** Mega berjalan lincah di samping pendekar muda berbaju rompi putih. Wajah gadis
itu begitu riang,
sekali-kali terdengar senandung kecilnya yang merdu terdengar di telinga. Rangga
berjalan pelahanlahan, sehingga kadang-kadang Mega harus menarik tangan pemuda
itu agar lebih cepat lagi berjalan.
"Sebentar, Mega. Bukankah ini tidak menuju...?"
"Memang bukan," sahut Mega cepat sebelum
Rangga menyelesaikan pertanyaannya.
"Lalu, kenapa mengajakku ke sini?" tanya Rangga seraya menghentikan ayunan
langkahnya. Mega tidak langsung menjawab, dan juga berhenti berjalan. Perlahan tubuhnya
diputar, maka pandangannya langsung terarah ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya.
Mendadak saja wajah gadis itu menjadi murung.
"Maaf, aku telah membuatmu tersinggung," ucap Rangga buru-buru.
'"Tidak," sahut Mega pelan. "Aku memang sengaja mengajakmu ke sini. Aku ingin
bicara berdua saja
denganmu. Itu jika kau tidak keberatan, Kakang."
"Tentu saja tidak. Tapi, kenapa di sini" Bukankah di rumah lebih baik?"
"Tidak ada yang bisa mendengar di tempat ini. Aku tidak sebebas yang kau kira
bila berada di rumah,
Kakang," ada kesenduan pada nada suara Mega.
Rangga jadi tertegun, dan langsung teringat kembali percakapannya dengan Ki Anta
tadi. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak, apa yang akan dibicarakan gadis
ini. "Mungkin di dunia ini aku adalah orang yang paling tidak bahagia, Kakang,"
ungkap Mega memulai.
Rangga masih tetap diam.
"Aku tahu, ayah telah banyak cerita tentang diriku, hubunganku dengan Partanu,
dan sikap ayah yang
menentang hubungan kami. Dan pasti ayah meminta-mu untuk memisahkan aku dengan
Partanu untuk selama-lamanya," sambung Mega lagi.
Rangga hanya mengangkat bahu saja.
"Aku memang berhutang budi padamu, Kakang.
Tapi kumohon, jangan campuri urusanku. Apalagi menerima permintaan ayah. Partanu
orangnya baik, pengertian, dan penuh rasa tanggung jawab. Meskipun ayahnya kejam, perampok,
pembunuh dan pemerkosa gadis-gadis. Tapi Partanu tidak pernah melakukan semua itu. Bahkan
sangat menentang
ayahnya. Dia sungguh-sungguh mencintaiku. Dan
aku...," suara Mega terputus.
Rangga merengkuh gadis itu saat air mata mulai menitik membasahi pipi yang putih
halus. Mega tidak kuasa lagi membendung air matanya, langsung menangis di dalam pelukan
Pendekar Rajawali
Sakti. "Aku selalu mencoba gembira di depan ayah, karena tidak ingin membuat ayah
sedih. Padahal hatiku
selalu menjerit..," rintih Mega di sela isak tangisnya.
"Aku mengerti, Mega," bisik Rangga lembut.
Bisikan Rangga yang begitu lembut, membuat tangis Mega semakin keras. Namun
gadis itu berusaha
menahan, sehingga tubuhnya jadi berguncang menahan isaknya yang tersendat.
Rangga membiarkan
saja dadanya dibasahi air mata. Dia bisa merasakan apa yang kini tengah
dirasakan gadis itu.
"Mega...!" tiba-tiba saja terdengar bentakan keras.
Baik Rangga maupun Mega, jadi tersentak kaget.
Cepat gadis itu melepaskan pelukannya. Dan dia semakin terkejut ketika melihat
seorang pemuda berbaju kulit binatang, tiba-tiba sudah berdiri di depan mereka.
"Kakang Partanu...," desis Mega hampir tidak terdengar suaranya.
Rangga sedikit melirik Mega yang kelihatan kebingungan, karena dipergoki sedang
memeluk seorang
pemuda. Buru-buru diseka air matanya, lalu melangkah mendekati Partanu.
"Berhenti di situ, Mega!" bentak Partanu keras.
Mega langsung menghentikan langkahnya.
"Kakang...," tersendat suara Mega.
"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa, Mega.
Pantas kau semakin jarang menemuiku lagi, rupanya sudah punya laki-laki lain!"
dengus Partanu dingin. "Kakang...!" sentak Mega terperanjat mendengar tuduhan itu.
"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa, Mega. Kau milikku. Tidak seorang pun yang
boleh menjamahmu!" bentak Partanu.
"Kisanak, akan kujelaskan yang se..."
"Tutup mulutmu!" bentak Partanu memutus
ucapan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menutup mulutnya.
"Menyingkir kau, Mega...," desis Partanu
memerintah. "Kakang...!"
"Menyingkir kataku...!" bentak Partanu berang.
Mega jadi kelabakan melihat Partanu begitu marah. Gadis itu memandang Rangga,
dan hanya dibalas
dengan anggukan kepala sedikit disertai senyum di bibir. Dengan wajah memucat
dan tubuh gemetar,
Mega bergerak menyingkir menjauh.
Sementara itu, Partanu sudah menggeser kakinya sedikit ke samping. Diloloskan


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang dengan sarungnya dari pinggang. Sarung pedang itu dipegang tepat pada bagian tengah.
Tatapan matanya
begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan
Rangga masih berdiri tegak dan bersikap tenang. Namun, matanya tidak berkedip memperhatikan
setiap gerakan kaki
Partanu yang menggeser menyusur tanah pelahan-lahan.
Tring! Partanu melemparkan pedangnya ke tanah.
Pemuda itu ingin menunjukkan kalau dirinya seorang laki-laki jantan dan
menghendaki pertarungan
jujur. Melihat itu, Rangga jadi kagum akan jiwa besar Partanu. Maka kemudian Pendekar
Rajawali Sakti melepaskan tali pengikat pedangnya, dan meletakkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti
pelahan-lahan ke
tanah di samping kakinya.
"Bagus! Rupanya kau punya nyali besar juga, Keparat!" dengus Partanu mendesis
dingin. "Masih ada waktu untuk memberi penjelasan padamu, Partanu," kata Rangga mencoba
menghindari pertarungan yang tidak ada gunanya ini baginya.
"Sayang sekali, waktumu sudah habis!" dengus Partanu.
"Aku...."
"Cukup! Hiyaaat...!" keras sekali suara Partanu.
Bagaikan kilat, mendadak saja pemuda itu
melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Seketika itu juga, Partanu
melontarkan dua pukulan
beruntun bertenaga dalam tinggi. Sementara Rangga cepat-cepat menggeser kakinya
ke samping, lalu
meliukkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan dengan manis sekali.
Hasilnya, dua pukulan beruntun yang dilepaskan Partanu tidak mengenai sasaran.
Namun pemuda berbaju kulit binatang itu, cepat menarik kembali tangannya. Dan
seketika itu juga,
dihentakkan kakinya ke depan. Cepat sekali gerakan Partanu, sehingga Rangga
sempat terkesiap.
Namun dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu menarik tubuhnya ke belakang,
maka tendangan Partanu luput dari sasaran.
"Hiya! Yeaaah...!"
Dua kali Partanu melancarkan serangan, namun berhasil dihindari dengan mudah.
Akibatnya pemuda
itu semakin geram saja. Partanu segera meningkatkan serangan-serangannya.
Dikerahkan kekuatan
tenaga dalam setiap kali melontarkan
pukulan ataupun tendangan. Sementara Rangga masih tetap menghindar, meliukliukkan tubuhnya
diimbangi gerakan kakinya yang lincah dan cepat dalam pengerahan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib'.
Suatu jurus yang selalu digunakan dalam awal pertarungan seperti ini.
Meskipun kelihatannya Rangga terdesak dan hanya bisa berkelit menghindar, namun
sampai lima jurus berlalu Partanu belum juga mampu
menyarangkan satu pukulan atau tendangan ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Hal
ini membuat kemarahan Partanu semakin memuncak.
Sambil berteriak keras menggelegar, pemuda berbaju kulit binatang itu
meningkatkan jurus-jurusnya.
Bahkan kini menggunakan jurus-jurus yang sangat dahsyat dan berbahaya.
Peningkatan serangan
dalam kadar yang tinggi dan berbahaya ini sangat dirasakan Rangga. Maka Pendekar
Rajawali Sakti tidak ingin mengambil resiko dengan terus-menerus mempergunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib'.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu merubah jurusnya, mengambil jurus-jurus
dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
"Modar...!" tiba-tiba Partanu berteriak keras.
Seketika itu juga dilepaskan satu pukulan keras ke arah dada Pendekar Rajawali
Sakti yang kelihatan
lowong setelah menghindari sepakan kaki yang mengarah ke kaki. Namun cepat
sekali Rangga menyilangkan tangannya di depan dada, sehingga pukulan Partanu menghantam tangan
Pendekar Rajawali Sakti itu.
Blarrr! Satu ledakan keras terdengar ketika pukulan Partanu menghantam tangan Rangga.
Tampak Partanu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti terdorong enam langkah ke belakang. Cepat Rangga menggerak-gerakkan tangannya di
depan dada. Sementara Partanu juga melakukan hal yang sama.
Meskipun gerakan mereka berbeda, namun mempunyai tujuan sama.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja, Partanu mengebutkan tangannya ke depan. Maka seketika itu juga
melesat sebuah benda kecil berwarna keperakan dari tangan kanan pemuda itu. Cepat sekali benda
keperakan itu meluncur, membuat Rangga agak terperangah sesaat.
"Hup...!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke angkasa, sehingga
benda keperakan itu
lewat di bawah kakinya. Dua kali Rangga berputaran di udara. Pada saat itu,
Partanu melompat, lalu
bergulingan di tanah beberapa kali mendekati pedangnya. Secepat pedangnya yang
menggeletak di tanah diraih, maka secepat itu pula dicabut.
Langsung pedang itu dikibaskan ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang saat itu
tengah turun. Sret! Wut! "Uts...! Yeaaah...!"
Buru-buru Rangga memutar tubuhnya, dan manis sekali menotok ujung pedang Partanu
dengan kakinya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu melenting ke udara sambil
berputaran beberapa kali,
kemudian hinggap di batang dahan pohon.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Partanu memindahkan pedangnya ke
tangan kiri. Dengan cepat sekali dihentakkan tangan kanannya ke arah pohon yang dihinggapi
Pendekar Rajawali
Sakti. Srat...! *** 3 Secercah sinar merah meluncur deras keluar dari telapak tangan Partanu, dan
langsung menghantam
dahan pohon yang dihinggapi Rangga.
Glarrr! Kembali terdengar ledakan dahsyat begitu sinar merah menghantam pohon. Tampak
pohon itu hancur
berkeping-keping, menyebar ke segala arah. Pada saat yang bersamaan, tubuh
Pendekar Rajawali Sakti
melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya segera mendarat
ringan, tepat di
samping pedangnya yang tergeletak di tanah. Cepat Rangga memungut pedang
pusakanya, dan menggenggam tepat di tengah-tengah sarung pedangnya.
"Hiyaaa...!"
Kembali Partanu menghentakkan tangannya ke depan, mengarah kepada Pendekar
Rajawali Sakti.
Kembali sinar merah melunak deras dengan
kecepatan bagai kilat
"Hup!"
Rangga cepat melompat menghindari terjangan sinar merah itu. Seketika ledakan
dahsyat kembali
terdengar saat sinar merah itu menghantam tanah.
Debu langsung mengepul membumbung tinggi ke angkasa, dan tanah itu berlubang
besar bagai sebuah
lubang kuburan gajah. Sementara, beberapa kali Rangga bergulingan di tanah, lalu
cepat melompat bangkit berdiri
"Hhh! Rupanya kau cukup tangguh juga, Monyet Keparat..!" geram Partanu dingin.
"Hm...," Rangga hanya menggumam pelan tidak jelas.
Saat itu, Partanu merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping. Pedangnya
dimasukkan kembali ke
dalam sarung, dan disampirkan ke pinggang, lalu perlahan menjauh. Kemudian
tangan itu bergerak
perlahan seperti melambai turun naik dengan gemulai.
Sedangkan Rangga pelahan-lahan menggeser
kakinya sambil memasang kembali pedangnya di punggung. Juga, segera dirapatkan
kedua tangannya
di depan dada, tepat di saat kedua tangan Partanu yang kini memerah bagai bara,
berada di pinggang.
Lalu perlahan-lahan seluruh tubuh pemuda itu ter-selimut cahaya merah.
"Hm...," kembali Rangga bergumam pelan.
Udara di sekitarnya jadi terasa panas menyesak-kan. Dan Rangga langsung bersiap
menghadapi serangan selanjutnya. Pelahan Pendekar Rajawali Sakti itu menurunkan kedua
tangannya, lalu
memutar tangan kanan di depan dada, dan meletakkannya di samping pinggang.
Sedangkan tangan
kirinya terbuka dengan ibu jari menempel pada dada.
"Yeaaah...!" tiba-tiba Partanu berteriak keras melengking tinggi.
"Yaaa...!" Rangga juga berteriak keras.
Hampir bersamaan, mereka melompat ke depan dengan kecepatan yang tinggi sekali.
Masing-masing tangan merentang lurus ke depan dengan telapak terbuka dan jari-jari merapat
menjadi satu. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Glarrr...! Ledakan keras menggelegar kembali terdengar.
Kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya, tepat ketika dua pasang telapak tangan
beradu di udara.
Tampak, kedua tubuh berpentalan ke belakang, lalu jatuh bergulingan di tanah.
Mereka sama-sama
me-muntahkan darah dari mulut, tapi dengan cepat bangkit berdiri kembali.
Sret! Partanu langsung mencabut pedang, lalu
menyilangkannya di depan dada. Sedangkan Rangga menggerak-gerakkan tangannya di
depan dada, karena merasa jalan pemapasannya menjadi agak tersendat. Namun hanya sedikit
mengerahkan hawa
mumi, pernapasannya kembali seperti semula.
"Hiyaaat..!"
Partanu sudah kembali melompat menyerang
sambil menghunus pedang di tangan. Pada saat itu, Rangga baru saja selesai
mengatur pernapasannya
kembali. Terjangan Partanu demikian cepat, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu
sedikit tergagap.
Namun cepat sekali dijatuhkan dirinya ke tanah di saat Partanu menebaskan pedang
ke arah leher. "Hup!"
Bergegas Rangga melompat bangkit berdiri, karena pada saat itu Partanu sudah
kembali menyerang
lewat tebasan pedangnya yang dahsyat dan cepat luar biasa. Kembali mereka
terlibat pertarungan
sengit. Namun sampai sejauh ini, Rangga belum menggunakan senjata karena masih
sanggup melayaninya dengan tangan kosong.
Tapi setelah pertarungan itu sudah lebih dari sepuluh jurus. Pendekar Rajawali
Sakti mulai merasa
terdesak. Serangan-serangan yang dilancarkan Partanu semakin dahsyat, terlebih
lagi sekarang ini
menggunakan senjata pedang.
"Phuih...!" Rangga mendengus dalam hati. Tepat ketika pedang Partanu mengibas ke
arah kepala, Rangga cepat-cepat menarik kepalanya ke belakang.
Dan begitu pedang Partanu lewat, dengan cepat dicabut pedang pusakanya dari
warangka di punggung.
Sret! Cring! Tepat pada saat itu, Partanu sudah kembali menebaskan pedangnya ke arah dada.
Seketika, Rangga
membabatkan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau itu ke arah pedang
lawannya. Trang! "Hah..."!"
Partanu terbeliak kaget begitu melihat pedangnya terbabat buntung jadi dua. Dan
lebih terkejut lagi,
pegangannya pada pedang juga terlepas, disertai rasa nyeri pada seluruh
persendian lengan. Buru-buru
pemuda itu melompat mundur sejauh lima langkah.
Sinar matanya masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Tapi
kenyataannya, pedangnya kini tergeletak di tanah dalam keadaan buntung.
Sedangkan Rangga berdiri tegak dengan pedang bersinar biru melintang di depan
dada. "Kali ini kau boleh bangga, Kisanak. Tapi tunggu-lah pembalasanku!" desis
Partanu menggeram.
Setelah berkata demikian, Partanu langsung berbalik dan melesat pergi. Cepat
sekali lesatan pemuda
itu. Sehingga dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata.
Rangga memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di
punggung, dan seketika sinar biru lenyap.
Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuhnya dan menghampiri Mega yang masih
berdiri agak jauh
dari tempat pertarungan tadi.
*** Sudah dua hari ini Mega selalu kelihatan murung, dan lebih senang menyendiri.
Sejak pertarungan
Rangga dengan Partanu yang berlangsung di depannya, gadis itu jadi berubah.
Bahkan di depan
ayahnya, dia tidak bisa lagi berpura-pura gembira. Hal ini membuat Ki Anta jadi


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya-tanya. Tapi
setiap kali dia ingin bicara, gadis itu selalu menghindar disertai berbagai
macam alasan. Sepertinya
Mega benar-benar tidak ingin bicara pada siapa pun juga.
Sejak pagi tadi Mega duduk menyendiri di halaman belakang rumahnya. Tidak
dipedulikan lagi
sengatan matahari yang begitu terik membakar kulit. Bahkan gadis itu tidak
menyadari kalau Rangga
sudah berdiri di dekatnya. Mega baru tersadar saat mendengar batuk kecil. Kepala
gadis itu berpaling
sebentar menatap Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian kembali menatap kosong
lurus ke depan.
Rangga duduk di sampingnya tanpa diminta lebih dahulu lagi.
"Kalau kau datang ke sini karena permintaan ayah, sebaiknya pergi saja dan
jangan temui aku lagi,"
kata Mega, ketus nada suaranya.
"Tidak," sahut Rangga lembut "Justru aku
menemuimu untuk berpamitan."
Mega langsung menatap pemuda berbaju rompi putih itu. Memang tidak bisa lagi
disembunyikan keterkejutannya mendengar Rangga akan berpamitan. Dan itu berarti, pemuda ini
tidak lagi tinggal di
rumahnya. Dan itu berarti pula, mereka tidak lagi bisa bertemu. Agak lama juga
Mega memandangi
wajah pemuda itu, seakan-akan hendak mencari
kebenaran dari ucapan Rangga tadi.
"Mega, aku juga menyesalkan kejadian dua hari yang lalu itu. Sungguh tidak
kukehendaki, tapi dia
terus mendesakku," kata Rangga pelan dengan nada penuh penyesalan.
"Lupakan saja, Kakang. Aku tahu, kau memang tidak bersalah. Kakang Partanu
memang keras, tapi
sangat mencintaiku. Aku tahu itu, Kakang. Dan mungkin sekarang dia sudah
membenciku," ujar Mega
lirih. "Mega. Jika kau mengijinkan, aku akan menemui dan bicara dengannya," tegas
Rangga. "Untuk apa...?" Mega terkejut
"Aku akan menjelaskan hal yang sebenarnya. Aku yakin, dia bisa memahami."
"Sebaiknya jangan lakukan itu, Kakang. Kau akan celaka. Terlebih lagi bila
bertemu ayahnya. Aku
tidak ingin kau celaka gara-gara...," Mega tidak melanjutkan ucapannya.
Gadis itu kemudian menundukkan kepalanya, menekuri ujung jari kakinya sendiri.
Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri membisu. Mega kembali mengangkat kepalanya
pelahan seraya menghembuskan napas panjang.
"Kakang, ke mana kau akan pergi?" tanya Mega.
"Aku tidak tahu. Yang jelas, terserah kakiku melangkah," sahut Rangga.
"Kau tidak akan kembali ke sini lagi?" tanya Mega lagi.
Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Diambilnya tangan gadis itu,
dan digenggamnya
dengan hangat Mega membiarkan saja tangannya digenggam. Entah kenapa, terasakan
adanya suatu kedamaian setiap kali Rangga menggenggam
tangannya. Dan perasaan ini tidak pernah didapatkan meskipun yang melakukan itu
adalah Partanu.
Mega sendiri tidak mengerti, mengapa bisa menangis di dalam pelukan pemuda ini.
Bahkan saat mendengar suaranya yang lembut, Mega benar-benar merasakan bagaikan tersiram air
sejuk di tengahtengah kegersangan hatinya. Dan saat Rangga mengatakan hendak
berpamitan, terasa seperti akan ada
yang hilang. Yaaa... Mega tidak bisa lagi membohongi dirinya. Dia akan kehilangan
sekeping hatinya.
Gadis itu sendiri jadi tidak mengerti, mengapa sejak bertemu pemuda ini, dia
selalu membandingbandingkannya dengan Partanu.
Sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Terlebih lagi setelah disaksikan sendiri, bagaimana Rangga mencoba bertahan dari
gempuran Partanu.
Pendekar Rajawali Sakti ini benar-benar tidak ingin mencelakakan Partanu,
meskipun sebenarnya bisa
saja mengalahkannya dengan cepat. Tapi sepertinya hal itu disengaja, bahkan
Rangga ingin menjelaskan hal yang sebenarnya. Hanya saja Partanu tidak memberi kesempatan,
karena telah hangus
terbakar api cemburu.
"Kapan kau akan berangkat, Kakang?" tanya Mega setelah bisa menguasai diri
kembali. "Sebentar lagi," sahut Rangga.
"Kenapa secepat ini...?" tanya Mega tanpa sadar.
"Mega, aku pasti akan segera kembali setelah bisa mempertemukan Carika dengan
pamannya. Kuharap, saat aku kembali nanti, kau sudah menjadi istri yang baik bagi
Partanu," ucap Rangga.
"Ah, Kakang. Kau hanya menghiburku saja," desah Mega tersipu.
Wajah gadis itu memerah. Namun sinar matanya
mengandung arti yang lain, dan terlihat sangat bertentangan. Mega memaki dirinya
sendiri dalam hati.
Dirutuki dirinya yang mudah sekali terpikat pada pemuda berbaju rompi putih ini.
Bahkan nama Partanu serasa semakin jauh terkikis dari hatinya, dan berganti dengan nama
Rangga yang semakin
nyata terukir. "Aku pergi dulu, Mega," pamit Rangga seraya bangkit berdiri.
Mega hanya bisa menganggukkan kepalanya saja.
Sebenarnya gadis itu ingin meminta agar Rangga bersedia tinggal barang satu atau
dua hari lagi saja.
Tapi lidahnya terasa kelu, dan sukar diajak bicara.
Mega hanya bisa memandangi wajah pemuda itu dengan sinar mata begitu banyak
menyiratkan katakata yang tak terucapkan. Pelahan Rangga membungkukkan tubuhnya,
dan dengan lembut sekali
mengecup kening gadis itu.
"Aku harap kau bisa berbahagia nanti," bisik Rangga lembut
Pendekar Rajawali Salrti itu bergegas pergi.
Sementara Mega semakin terpaku, kaku tak mampu berbuat apa-apa lagi. Dia hanya
bisa memandangi
punggung Pendekar Rajawali Sakti yang semakin jauh dan menghilang di dalam
rumah. Mega masih
duduk tanpa berkedip menerawang jauh. Kecupan lembut di keningnya masih terasa
hangat dan membekas dalam di hati.
"Rangga...," desah Mega.
*** Carika bersiul-siul, dan kakinya terayun ringan di samping Rangga. Dari seorang
perambah hutan yang ditemui, mereka mendapat keterangan kalau Paman Sentanu berada tidak jauh di
Lereng Bukit Langgang sebelah Selatan. Dan itu berarti hanya tinggal sedikit lagi sampai di
tempat tinggal paman
anak ini "Kau tampaknya gembira sekali, Carika," tebak Rangga memperhatikan tingkah anak
itu. "Ya! Aku gembira sekali, Kalcang. Karena sebentar lagi bisa bertemu Paman
Sentanu," sahut Carika,
berbinar sinar matanya.
"Apa yang akan kau lakukan bila bertemu
pamanmu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Apa ya...?"
Rangga memandangi anak itu sambil terus
berjalan. "Tidak tahu, ah! Pokoknya aku senang...."
"Ya, sudah. Itu berarti tugasku sudah selesai," kata Rangga tidak memaksa.
"Selesai...?" Carika mengerutkan keningnya.
"Iya, kenapa?"
"Tidak apa-apa," desah Carika.
Rangga bisa melihat adanya perubahan di wajah Carika. Direngkuhnya pundak anak
itu, dan dipeluknya dengan penuh rasa sayang. Carika melingkarkan tangannya di
pinggang Rangga. Mereka terus
berjalan tanpa bicara lagi.
Setelah melewati sebuah sungai kecil, mereka sampai di sebuah tempat yang sangat
indah. Padang rumput nampak terhampar luas, dihiasi ratusan ekor domba tengah merumput tenang
di sana. Sebuah
sungai kecil berair jernih yang mengalir di tepi padang rumput itu, seakan-akan
membatasi padang
rumput itu dengan hutan yang lebat. Tampak di dekat sungai, berdiri sebuah
pondok yang tidak
seberapa besar.
Di depan pondok, terlihat seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun tengah mengayunkan kapaknya membelah kayu. Kulit
tubuhnya yang kecoklatan, berkilat tertimpa sinar matahari. Otot-ototnya bersembulan saat
kapaknya diayunkan.
"Paman...!" teriak Carika begitu dekat.
Laki-laki itu menghentikan ayunan kapaknya yang sudah berada di atas kepala. Dia
berpaling memandang Carika yang berlari-lari kecil
menghampiri. Sepertinya tidak dipercayai ketika melihat anak berusia sekitar
lima belas tahun itu
beriari-lari menghampiri.
"Carika...!"
Laki-laki itu langsung melemparkan kapaknya, dan tangannya merentang lebar.
Carika langsung
masuk dalam pelukannya, tidak peduli kalau tubuh laki-laki itu penuh keringat
Sementara Rangga
terus saja berjalan menghampiri disertai senyum di bibir.
Mereka berpelukan lama sekali, seakan-akan hendak melepaskan seluruh
kerinduannya yang selama
ini terpendam. Mereka baru melepaskan pelukan setelah Rangga berada dekat di belakang Carika.
Laki-laki kekar
berkulit kecoklatan itu memandangi Rangga. Carika buru-buru menarik tangan
Pendekar Rajawali
Sakti itu, dan memperkenalkannya pada pamannya.
"Kakang, ini pamanku. Paman Sentanu."
Mereka saling berjabatan tangan sambil
menyebutkan nama masing-masing. Paman Sentanu mempersilakan tamunya masuk ke
dalam pondoknya, tapi Rangga dan Carika masih senang berada di luar sambil menghirup
udara segar dan
menikmati keindahan alam di sini.
"Paman, Kakang Rangga ini banyak menolongku.
Kalau tidak ada Kakang Rangga, mungkin aku tidak
bisa sampai di sini," jelas Carika.
"Aku tidak tahu, harus bagaimana mengucapkan terima kasih padamu," ucap Paman
Sentanu. "Aku hanya memenuhi pesan mendiang ibunya saja, Paman," sahut Rangga merendah.
"Mendiang..."!" Paman Carika terkejut mendengar Rangga menyebut ibu Carika dengan
tambahan kata mendiang. "Benar, Paman. Ibu sudah meninggal," jelas Carika.
Tanpa diminta lagi, Carika menuturkan semua kejadian yang dialaminya. Dari dia
dan ibunya dikejarkejar, sampai ditolong oleh Rangga.
Paman Sentanu mendengarkan dengan wajah
mendung dan mata berkaca-kaca. Mulutnya masih membisu walaupun Carika telah
selesai bercerita.
Carika juga menyerahkan benda yang terbungkus kain putih pada laki-laki hampir
separuh baya itu.
Kedua bola mata Paman Sentanu semakin
merembang berkaca-kaca.
"Sudah kuduga, ini pasti akan terjadi. Seharusnya ayah dan ibumu mau menuruti
kata-kataku," ujar
Paman Sentanu lirih.
Paman Sentanu merengkuh pundak Carika dan memeluknya. Anak itu membiarkan saja,
meskipun meringis merasakan sakit mendapat pelukan yang begitu kuat. Untung saja tidak
lama, jadi tulangtulang anak itu tidak remuk. Tubuh Paman Sentanu memang kekar,
dan otot-ototnya bersembulan.
Tenaganya pasti besar sekali, membuat Carika menggeliatkan tubuhnya begitu
terlepas dari pelukannya. "Tapi, biarlah. Semua yang sudah terjadi tak perlu disesalkan lagi. Aku gembira
kau sekarang sudah
berada di sini, Carika," ujar Paman Sentanu mencoba
tersenyum, meskipun terasa getir.
"Aku juga senang, Paman," sambut Carika.
Paman Sentanu mengusap-usap kepala anak itu, dan Carika membiarkan saja.
"Tapi aku lapar, Paman..."
"Kau belum makan...?"
"Cuma kelinci bakar," sahut Carika meringis.
Paman Sentanu tidak bisa lagi menahan gelak tawanya. Ditepuknya punggung Carika
dan disuruhnya cepat makan. Carika menawarkan pada Rangga, tapi ditolak. Tanpa menunggu waktu
lagi, Carika masuk ke dalam pondok, tapi tidak lama
menyembulkan kepalanya.
"Habiskan saja sekuat perutmu, aku sudah makan tadi," kata Paman Sentanu sebelum
Carika membuka mulut. Carika menyengir kuda. Kepalanya kembali
tenggelam di dalam pondok. Paman Sentanu
menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menarik napas panjang.
"Anak itu..., sepertinya tidak pernah merasakan kesedihan. Selalu saja membuat
orang jadi lupa akan
persoalan hidup," ujar Paman Sentanu seperti untuk dirinya sendiri.
"Tapi menyenangkan, meskipun kadang-kadang menjengkelkan," sambung Rangga jujur.
"Memang. Aku juga sering dibuatnya jengkel. Tapi aku sangat sayang padanya. Biar
begitu, dia cerdas
dan tidak malas. Yaaah..., terkadang tingkah lakunya sangat konyol, membuat orang
sering jengkel.
Tapi tak ada yang bisa marah padanya, karena selalu saja bisa membuat orang jadi
tertawa," kata
Paman Sentanu lagi seraya tersenyum.
Rangga jadi ikut tersenyum. Juga dirasakan,
beberapa hari bersama Carika sepertinya ada kelainan dalam jalan kehidupannya.
Namun, terkadang
Rangga jadi suka berpikir juga tentang anak itu. Carika sepertinya selalu
menganggap enteng segala
sesuatu yang dihadapi. Jika sikap seperti ini terus berlanjut sampai dewasa, dia
tidak akan punya


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pegangan dalam mengarungi kehidupan yang ganas ini.
*** 4 Setelah dua hari tinggal di pondok Paman Sentanu, Rangga baru kembali
melanjutkan perjalanannya.
Pendekar Rajawali Sakti merasakan kali ini tidak ada beban yang harus
ditanggung, sehingga berjalan
enak tanpa harus diburu-buru. Sengaja jalan yang diambil dengan memutari Bukit
Langgang. Tapi sungguh tidak disadari kalau jalan yang ditempuhnya ini, justru menuju Gunung
Parakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu baru menyadari setelah melihat dua buah batu kembar
yang berdiri berdampingan bagai menyerupai gerbang. Batu itu merupakan sebuah tanda memasuki
daerah Gunung Parakan. "Berhenti...!"
Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba
mendengar bentakan keras. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, mendadak
saja muncul seorang laki-laki setengah baya berwajah kasar penuh brewok. Bajunya warna hijau
tua yang ketat,
membentuk tubuhnya yang kekar berotot. Sebuah gagang golok berwarna hitam,
menyembul dari balik pinggang.
"Kau yang bernama Rangga...?" tanya laki-laki setengah baya itu. Suaranya besar
dan terdengar berat
sekali. "Benar, dan kau siapa?" Rangga balik bertanya.
"Aku Puliga."
Rangga mengerutkan alisnya begitu mendengar laki-laki berbaju hijau tua itu
menyebutkan namanya.
Dia teringat cerita Ki Anta. Ternyata orang ini yang
bernama Puliga dan berjuluk si Iblis Gunung Parakan.
Saat itu juga Rangga sudah bisa menebak maksud laki-laki itu mencegatnya di
tempat ini. "Kau memang cukup gagah, Rangga. Tapi itu bukan berarti bisa seenaknya saja
merebut kekasih
orang. Kau tahu, apa akibatnya bila berani berurusan dengan Iblis Gunung
Parakan?" jelas sekali kalau
nada suara Puliga mengandung ancaman.
"Aku tidak mengerti maksudmu...?" Rangga berpura-pura.
"Phuih!" Puliga menyemburkan ludahnya. "Jangan berpura-pura di depanku, Bocah!
Kau bisa saja berbangga hati telah mengalahkan anakku, tapi jangan harap bisa lepas dari
tanganku!"
"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya, sehingga matanya hampir menyipit.
Sementara Puliga sudah menggeser kakinya ke samping agak ke depan. Sorot mata
laki-laki berbaju
hijau tua itu demikian tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Digesernya gagang golok dengan ujung sikutnya. Dua kali ludahnya disemburkan, mencoba
menggertak pemuda
yang kelihatan tenang di depannya.
"Dengar, Anak Muda. Aku akan memberi
kesempatan hidup jika kau bersedia berjanji untuk menjauhi Mega. Dia calon istri
anakku!" dengus
Puliga, dingin nada suaranya.
"Maaf, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Mega. Sedangkan pertarunganku
melawan anakmu,
karena aku diserang lebih dahulu. Aku hanya mem-pertahankan diri," sahut Rangga
mencoba menjelaskan. "Setan...! Kau merendahkan anakku!" geram Puliga, langsung memerah wajahnya.
"Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya...!"
"Cukup!" bentak Puliga memutus ucapan Rangga.
'"Ternyata kau memang tidak bisa dikasih hati, Bocah! Sekarang bersiaplah untuk
mati...!" Setelah berkata demikian, Puliga mengecutkan kedua tangannya di depan dada. Lalu
sambil berteriak
nyaring melengking tinggi, laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu
melompat cepat. Dua kali
dilontarkan pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hup...!"
Cepat Rangga menggeser kakinya ke belakang sedikit, kemudian mengegoskan
tubuhnya, mencoba
menghindari terjangan si Iblis Gunung Parakan itu.
Namun setelah serangan pertamanya itu lolos, Puliga langsung menyambung dengan
serangan berikut.
Dan ini membuat Rangga sedikit kerepotan juga. Cepat-cepat dikerahkan jurus
'Sembilan Langkah
Ajaib', sehingga serangan-serangan yang dilancarkan Puliga tidak ada yang
mengenai sasaran.
Pertarungan itu terus berlangsung semakin sengit.
Jurus demi jurus berganti cepat, namun belum ada tanda-tanda kalau pertarungan
itu bakal berakhir.
Mereka sama-sama memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dan sama-sama mempunyai
jurus-jurus ampuh dan dahsyat
Sekitar tempat pertarungan sudah porak-poranda tidak berbentuk lagi. Batu-batu
berhamburan dan
pecah berkeping-keping. Pepohonan juga ber-tumbangan tak tentu arah, terkena
sambaran pukulan
bertenaga dalam tinggi yang nyasar.
Meskipun mereka sudah sama-sama mengerahkan jurus andalan, namun tampaknya
pertarungan masih akan berlangsung lama.
"Hhh! Tangguh juga dia...," ujar Rangga mengakui dalam hati ketangguhan lawannya.
"Sepuluh orang seperti dia, bisa mengancam kehidupanku," desah Puliga dalam
hati. Di dalam hati masing-masing, satu sama lain saling mengakui dan memuji
ketangguhan lawan.
Tapi mereka tidak akan menunjukkan pujian itu di saat bertarung seperti ini.
Entah sudah berapa jurus
berlangsung, tapi belum juga ada tanda-tanda bakal mengakhiri pertarungan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Puliga melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sekali tubuhnya
berputaran di udara,
kemudian mendarat manis sekali di tanah. Saat itu juga langsung dicabut golok
hitamnya yang mengepulkan asap tipis berwarna kehitaman.
Puliga melintangkan goloknya di depan dada.
Kakinya pelahan bergeser ke samping. Matanya menyorot tajam memerah, bagai
hendak membakar
hangus seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Rangga masih belum mau mencabut senjatanya, karena diyakini dirinya
masih bisa menandingi laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu dengan tangan kosong.
Namun demikian kewaspadaannya semakin bertambah, melihat golok di tangan Puliga semakin tebal
mengeluarkan asap kehitaman.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Puliga melompat cepat sambil mengibaskan goloknya tiga kali ke
arah bagian tubuh
Rangga yang mematikan.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat Rangga menggeser kakinya ke kanan, lalu menarik tubuhnya ke belakang
seraya meliuk menghindarkan diri dari tebasan golok berwarna hitam pekat itu. Namun mendadak
saja hatinya terkejut, karena cuping hidungnya langsung kembang kempis begitu menghirup asap
hitam yang keluar dari golok itu.
"Hap...!"
Buru-buru Rangga melompat berjumpalitan ke belakang, tepat pada saat Puliga
mengibaskan senjatanya ke arah kaki. Dua kali Rangga
berjumpalitan di udara, kemudian mendarat ringan di tanah. Saat itu, Puliga
sudah kembali melompat
menerjangnya. Gerakan laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu, sungguh
cepat luar biasa,
sehingga membuat Rangga secfikit terperangah.
Namun Pendekar Rajawali Sakti itu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya berkelit,
saat golok hitam
mengepulkan asap itu mengibas ke arah dada.
"Hap! Yeaaah...!"
Rangga cepat-cepat menghentakkan tangannya ke depan begitu golok hitam itu lewat
di depan dada. Dan sentakan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat menghantam
dada si Iblis Gunung Parakan yang lowong tak terjaga keselamatannya.
Dughk! *** "Akh...!" Rangga memekik agak tertahan.
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, ketika pukulannya tepat
menghantam dada Puliga.
Saat itu juga Rangga merasakan seperti menghantam sebongkah bukit baja yang
keras luar biasa.
Tulang-tulang tangannya berkeretak seperti remuk. Buru-buru Rangga melompat
mundur sambil menarik pulang tangannya.
"Ha ha ha...!" Puliga tertawa terbahak-bahak.
"Gila! Ilmu apa yang dipakainya?" dengus Rangga dalam hati.
Sebelum keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti lenyap, Puliga sudah kembali
melompat sambil
berteriak keras menggelegar. Dikibaskan goloknya cepat-cepat ke arah leher
lawan. Buru-buru Rangga
menarik kepalanya ke belakang, maka tebasan golok berwarna hitam yang
mengepulkan asap itu lewat
sedikit di depan tenggorokannya.
Namun sebelum Rangga bisa menarik kembali kepalanya ke depan, si Iblis Gunung
Parakan sudah memberi satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi ke arah perut.
"Yeaaah...!"
Beghk! "Ughk...!"
Rangga mengeluh pendek begitu merasakan
perutnya seperti terhantam sebuah palu godam baja yang sangat berat dan keras.
Seketika perutnya
terasa mual, dan kepalanya jadi pening dengan mata berkunang-kunang. Pendekar
Rajawali Sakti itu
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya.
"Hih! Hsss...!"
Cepat Rangga mengerahkan hawa murni sambil mengatur jalan napasnya. Sebentar
digerak-gerakkan
tangannya, mencoba mengusir rasa mual dan pening yang menyerang, akibat
tendangan Si Iblis
Gunung Parakan yang bertenaga dalam cukup tinggi.
Meskipun rasa pening dan mual bisa terusir, namun masih juga perutnya terasa
kaku. "'Terimalah kematianmu, Rangga! Hiyaaa...!" seru
Puliga keras menggelegar.
Seketika itu juga, si Iblis Gunung Parakan itu melompat bagai kilat seraya
mengibaskan goloknya
beberapa kali ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hih!"
Sret! Secepat Rangga mencabut senjata pusakanya, secepat itu pula dikibaskan.
Disampoknya tebasan
pertama golok berwarna hitam itu.
Trang! Dua senjata sakti beradu keras di udara, membuat percikan api yang menyebar ke
segala arah disertai
dentingan memekakkan telinga. Tampak mereka sama-sama berlompatan mundur sejauh
tiga langkah. "Setan...!" desis Puliga menggeram.
Bet! Bet! Dua kali Puliga mengecutkan goloknya di depan dada. Tampak asap yang mengepul
keluar dari mata
golok itu berubah menjadi hitam bercampur kemerahan. Saat itu, pelahan-lahan
Rangga melintangkan
pedangnya di depan dada. Telapak tangan diletakkan pada mata pedang yang
bersinar biru berkilau itu.
Tapi, dia tidak jadi mengerahkan aji
'Cakra Buana Sukma'.
"Hm.... Racun yang menyebar semakin kuat,"
gumam Rangga dalam hati.
Memang, asap yang mengepul dari golok di tangan si Iblis Gunung Parakan itu
mengandung hawa
racun yang begitu kuat dan dahsyat mematikan. Namun bagaimanapun kuatnya racun,
Pendekar Rajawali Sakti tidak akan berpengaruh apa-apa. Namun demikian, dia masih juga
menjaganya dengan
menutup bagian-bagian penang pada jalan darah lewat penyaluran hawa murni.
Meskipun Pendekar Rajawali Sakti kebal terhadap segala jenis racun, tapi tidak
pernah memanjakan
kekebalannya. Dia selalu berhati-hati terhadap racun.
Setiap kali berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu beracun, jalan darah
terpentingnya selalu
ditutup lewat penyaluran hawa murni. Bahkan dengan cara itu pula, dia bisa
menyaring udara yang
terhisap ke dalam paru-paru. Hal ini dimaksudkan agar selalu mendapatkan udara
bersih, tanpa harus
mengotori paru-parunya dengan udara beracun.
"Sebut nama gurumu sebelum kukirim ke neraka, Rangga!" desis Puliga dingin.
"Kita lihat, siapa yang lebih dahulu terbang ke neraka!" balas Rangga tidak
kalah dinginnya.
"Bersiaplah! Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Puliga melompat menerjang sambil mengibaskan goloknya beberapa
kali. Seketika asap yang keluar dari senjata itu menyebar memenuhi sekitar tempat pertarungan
ini. "Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Rangga juga
melompat menyambut serangan dahsyat si Iblis Gunung Parakan itu.
Trang! Glarrr! Tepat pada satu titik temu, dua senjata sakti beradu keras di udara sehingga


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menimbulkan ledakan
dahsyat, membuat tempat sekitarnya berguncang hebat. Namun tak ada seorang pun
yang terpental balik. Bahkan mereka sama-sama mendarat manis di tanah, dengan senjata masih
tetap saling menempel. Pada saat mereka mendarat bersamaan, cepat sekali Puliga menghentakkan
kakinya mengarah ke perut Rangga disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Yaaa...!"
"Uts!"
Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, sehingga tendangan Puliga tidak
mengenai sasaran. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik kembali tubuhnya seperti
semula, Puliga sudah
menghentakkan senjatanya pulang. Lalu dengan cepat, dikibaskan ke arah kaki
seraya menekuk kedua
kakinya, hingga lutut hampir menyentuh tanah.
Wut! "Hap...!"
Cepat Rangga melompat menghindari tebasan golok hitam yang mengepulkan asap itu.
Dan secepat itu pula, Rangga mengibaskan pedangnya ke arah kepala si Iblis Gunung Parakan
sambil cepat memutar tubuhnya.
Wut! "Hih...!"
Puliga cepat mengibaskan goloknya ke atas kepala, menyampok tebasan pedang yang
bersinar biru berkilau itu. Trang! Kembali dua senjata sakti beradu di atas kepala Puliga. Pada saat yang
bersamaan, si Iblis Gunung
Parakan itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dan langsung bergulingan beberapa
kali sebelum cepat
melompat bangkit berdiri. Golok hitamnya sudah bersilang di depan dada, begitu
kedua kakinya tegak
menjejak tanah. Saat itu, Rangga juga sudah berdiri tegak.
"Kita tuntaskan pertarungan ini dengan aji pamungkas, Rangga," dengus Puliga.
"Baik, kerahkan aji pamungkas yang paling kau andalkan," sambut Rangga.
Trek! Rangga memasukkan pedang pusaka ke dalam
warangkanya kembali di punggung. Melihat Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
menggunakan senjata,
si Iblis Gunung Parakan juga memasukkan goloknya dalam sarungnya di pinggang.
Mereka berdiri berhadapan, berjarak sekitar enam langkah.
Mereka saling menatap tajam, seakan-akan
sedang mengukur kekuatan ajian yang digunakan.
Pelahan-lahan Puliga merapatkan kedua telapak di depan dada. Napasnya ditarik
dalam-dalam, dan
pelahan-lahan tangan kanannya naik sejajar tangan kiri yang masih berada di
depan dada. Sedangkan Rangga mulai menggerakkan pelahan kedua tangannya di depan. Secara
bersamaan dirapatkan kedua telapak tangan di depan dada, dan langsung dimiringkan tubuhnya
ke kiri. Kemudian
dengan cepat tubuhnya bergerak agak memutar ke kanan. Pelahan-lahan pula
Pendekar Rajawali Sakti
itu menurunkan tangannya hingga sejajar pinggang, begitu tubuhnya kembali tegak.
Pada saat Puliga menghentakkan tangan
kanannya ke depan, Rangga juga menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan hampir
bersamaan, mereka berlari cepat menerjang. Satu tangan masing-masing merentang lurus ke
depan dengan telapak
tangan terbuka.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Begitu telapak tangan mereka saling berbenturan, dengan cepat pula mereka samasama menghentakkan tangan yang satunya lagi ke depan.
Akibatnya kembali kedua telapak tangan saling berbenturan, menimbulkan ledakan
dahsyat. Tampak,
tubuh mereka sama-sama berpentalan ke belakang, dan bergulingan di tanah
beberapa kali. Namun
mereka cepat bangkit berdiri, dan kembali mempersiapkan ajian lagi.
"Hup!"
"Hap...!"
Puliga cepat mengecutkan tangannya beberapa kali. Sementara Rangga masih berdiri
tegak, lalu menaikkan tangan kanannya ke atas hingga sejajar hidung. Lalu pelahan-lahan
tangan kanannya turun
ke bawah, sedangkan tangan kirinya terkepal ke samping pinggang. Saat itu,
Rangga mengerahkan aji
'Cakra Buana Sukma'. Ini bisa diketahui dari sinar biru yang memancar pada kedua
tangannya. "Yeaaah...!" tiba-tiba Puliga berteriak keras.
Seketika tubuhnya meluncur deras ke arah
Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Rangga masih berdiri tegak dengan kedua
tangan terkepal di
samping pinggang. Kedua kakinya merentang lebar agak tertekuk. Dia menunggu
datangnya serangan
si Iblis Gunung Parakan itu.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak kencang, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang langsung
terbuka lebar dengan jari-jari menegang kaku. Pada saat itu, kedua tangan Puliga sudah begitu
dekat dengan tubuh
Pendekar Rajawali Sakti, sehingga benturan dua pasang tangan tak dapat dihindari
lagi. Glarrr...! *** 5 "Akh...!" Rangga memekik keras. Pendekar Rajawali Sakti itu terpental jauh ke
belakang, langsung
menghantam lima buah pohon hingga hancur
berkeping-keping. Tubuhnya terhenti setelah menghancurkan sebongkah batu cadas
yang cukup besar.
Rangga menggeliat sambil merintih lirih.
Tampak dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah segar dan kental. Sungguh dia
tidak tahu kalau
ajian yang dilepaskan Ki Puliga bisa menahan aji
'Cakra Buana Sukma'. Rangga langsung menyadari kalau ajian yang dimiliki Ki
Puliga satu aliran
dengan ajian yang dimilikinya. Dan hal ini memang kelemahan aji 'Cakra Buana
Sukma', yang tidak
bisa digunakan untuk melawan ajian sealiran.
"Ha ha ha...!" Ki Puliga tertawa terbahak-bahak.
Laki-laki tinggi besar itu berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Dengan
mantap, diayunkan kakinya
mendekati Rangga yang masih menggeletak di atas reruntuhan batu sambil mengerang menahan
rasa sakit. Sekujur tubuhnya terasa seperti remuk.
"Tiba saatmu untuk pergi ke neraka, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Ki Puliga
dingin. Sret! Ki Puliga mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Golok hitam itu
mengepulkan asap agak
kehitaman yang mengandung racun. Sambil
menyeringai, langkahnya terus semakin mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!" Ki Puliga berteriak keras menggelegar.
Cepat sekali si Iblis Gunung Parakan itu melompat sambil mengayunkan goloknya ke
tubuh Rangga yang masih tergeletak sambil menggeliat dan merintih merasakan sakit pada
sekujur tubuhnya.
Bet! Bagaikan kilat, golok Iblis Gunung Parakan mengibas ke arah leher Pendekar
Rajawali Sakti. Saat itu,
Rangga benar-benar sudah tidak berdaya untuk menghindar. Dia hanya bisa
memejamkan mata saja.
Pikirannya mengatakan kalau mungkin ini adalah akhir dari segala petualangannya.
Namun sebelum golok berwarna hitam mengepulkan asap itu sampai pada sasaran di leher Pendekar
Rajawali Sakti,
mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat, langsung menyambar tubuh Rangga
yang tergeletak
tak berdaya. Cras! Golok Ki Puliga menghantam tanah berbatu.
"Setan...!" geram Ki Puliga marah.
Cepat-cepat dilayangkan pandangannya, namun bayangan yang menyambar tubuh
Pendekar Rajawali
Sakti sudah lenyap tak berbekas lagi. Ki Puliga memaki-maki dan menggeram marah.
Kakinya menendang batu-batuan yang berserakan di
sekitarnya. Dia mengamuk, membabatkan goloknya pada pepohonan untuk melampiaskan
kemarahan. "Aku tidak akan puas sebelum kau mampus,
Rangga...!" geram Ki Puliga dengan suara keras.
Suara si Iblis Gunung Parakan itu menggema keras, karena dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga
dalam tinggi. Suara itu masih terdengar menggema meskipun tubuhnya sudah melesat
pergi dengan kecepatan luar biasa.
*** Malam itu udara di seluruh permukaan Desa Parakan dingin sekali. Angin bertiup
kencang, seakanakan hendak merobohkan seluruh rumah penduduk.
Debu beterbangan bercampur daun-daun yang berguguran. Suara angin yang bertiup
keras, menderuderu, membuat jantung terasa bergetar mendengarnya. Dalam keadaan
cuaca seperti ini, tak ada
seorang pun yang ingin meninggalkan rumahnya.
Namun tidak demikian halnya dengan seseorang yang bergerak cepat menyelinap dari
satu rumah ke rumah lainnya. Gerakannya demikian ringan, tak menimbulkan suara sedikit pun.
Terlebih lagi suara
angin yang menderu kencang, cukup membantu untuk tidak terdengar.
Sosok rubuh yang mengenakan baju hitam itu berhenti bergerak setelah dekat
dengan sebuah rumah
besar dan berhalaman luas. Matanya yang tajam, mengamati rumah itu tanpa
berkedip. "Hup. .!"
Ringan sekali tubuhnya melesat, langsung hinggap di atas atap rumah itu.
Sebentar dia diam sambil
agak merapatkan tubuhnya di atap. Matanya semakin tajam memperhatikan
sekelilingnya, lalu
bayangan itu kembali melesat turun ke bagian samping. Namun sebelum melakukan
sesuatu, mendadak saja terdengar suara bentakan keras.
"Hei...! Siapa itu...?"
"Sial...!" dengus bayangan itu kesal.
Dan sebelum sempat menyembunyikan diri, dari pintu ke luar seorang laki-laki
setengah baya sambil
menghunus sebilah golok berkilat. Sosok bertubuh hitam itu tidak bisa
menyembunyikan diri lagi.
"Siapa kau"! Mau apa malam-malam menyelinap ke sini"!" bentak laki-laki setengah
baya yang tak lain adalah Ki Anta, Kepala Desa Parakan ini.
Pertanyaan Ki Anta tidak dijawab orang berbaju hitam gelap. Laki-laki setengah
baya itu mencoba
mempertajam penglihatannya. Namun sukar baginya untuk bisa mengenali wajah dalam
keadaan gelap seperti ini. Terlebih lagi, jarak mereka cukup jauh, sekitar tiga batang tombak
lebih. "Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja orang berbaju hitam itu berteriak keras, seraya mengelebatkan
tangan kanannya cepat
ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk ke samping. Seketika dari tangan
kanannya melesat deras
dua buah benda kecil berwarna keperakan.
Begitu cepatnya, sehingga membuat Ki Anta terperangah.
Crab! Crab! Naga Sasra Dan Sabuk Inten 37 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Pendekar Cacad 10

Cari Blog Ini